BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, semakin terbukanya kesempatan untuk berkomunikasi secara internasional, dan pelaksanaan pasar bebas menuntut bangsa Indonesia memiliki kompetensi yang kompetitif dalam segala bidang. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan sumber daya alam dan kemampuan fisik untuk mencapai kesejahteraan bangsanya tetapi harus lebih mengandalkan sumber daya manusia yang profesional. Salah satu syarat untuk mencapainya adalah kemampuan berbahasa Inggris, khususnya untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Penguasaan bahasa Inggris sangat penting karena hampir semua sumber informasi global dalam berbagai aspek kehidupan menggunakan bahasa ini (Durand, 2006:7). Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa internasional yang diajarkan secara luas di berbagai negara di dunia ini. Banyak penduduk di berbagai negara memakai bahasa Inggris sebagai alat komunikasi dalam berbagai pertemuan penting pada tingkat internasional (Richards and Rodgers, 1986:1). Dalam bidang pendidikan, bahasa Inggris mempunyai andil besar karena hampir semua buku teks dalam berbagai disiplin ilmu ditulis dalam bahasa Inggris, yakni dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Bahasa Inggris mempunyai peranan yang sangat penting dalam memasuki era globalisasi. Fungsinya tidak hanya sebagai alat atau media untuk 1
102
Embed
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era kemajuan ilmu ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat,
semakin terbukanya kesempatan untuk berkomunikasi secara internasional, dan
pelaksanaan pasar bebas menuntut bangsa Indonesia memiliki kompetensi yang
kompetitif dalam segala bidang. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan
sumber daya alam dan kemampuan fisik untuk mencapai kesejahteraan bangsanya
tetapi harus lebih mengandalkan sumber daya manusia yang profesional. Salah
satu syarat untuk mencapainya adalah kemampuan berbahasa Inggris, khususnya
untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Penguasaan bahasa
Inggris sangat penting karena hampir semua sumber informasi global dalam
berbagai aspek kehidupan menggunakan bahasa ini (Durand, 2006:7).
Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa internasional yang diajarkan
secara luas di berbagai negara di dunia ini. Banyak penduduk di berbagai negara
memakai bahasa Inggris sebagai alat komunikasi dalam berbagai pertemuan
penting pada tingkat internasional (Richards and Rodgers, 1986:1). Dalam bidang
pendidikan, bahasa Inggris mempunyai andil besar karena hampir semua buku
teks dalam berbagai disiplin ilmu ditulis dalam bahasa Inggris, yakni dari jenjang
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Bahasa Inggris mempunyai peranan yang sangat penting dalam memasuki
era globalisasi. Fungsinya tidak hanya sebagai alat atau media untuk
1
2
berkomunikasi antarbangsa tetapi semakin luas dan penting, yaitu sebagai bahasa
ilmu pengetahuan, teknologi, sosial-ekonomi, budaya, bahkan seni. Sebagai
bahasa global, bahasa Inggris memegang fungsi dan peran yang sangat besar.
Implikasinya adalah semakin banyak orang berusaha belajar agar mampu
berbahasa Inggris dengan baik. Agar mampu berbahasa Inggris dengan baik dalam
menghadapi persaingan global, banyak siswa, bahkan siswa sekolah dasar (SD)
mempelajari bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal (local content).
Hal ini menjadi fenomena baru bagi beberapa negara di Eropa dan Asia dalam
kurun waktu dua puluh tahun belakangan ini. Situasi ini pula yang mendorong
sejumlah sekolah dasar sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia
menyelenggarakan pendidikan bahasa Inggris sejak usia dini.
Pemakaian bahasa Inggris yang sangat luas juga menyebabkan produksi
barang Amerika menjadi lebih dikenal seperti McDonald, Coca Cola, KFC, Nike,
Ford, dan yang lainnya. Beberapa negara seperti Jepang, Cina, Korea Selatan,
Jerman, Perancis, dan Belanda menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
sehingga mampu menjalin kerja sama perdagangan dengan negara-negara seperti
Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Akibatnya, semua
dokumen perdagangan ekspor dan impor menggunakan bahasa Inggris. Hal ini
berarti bahasa Inggris mempunyai peran internasional dalam era globalisasi ini
(Crystal, 2003). Kenyataan ini mendorong banyak negara untuk memasukkan
bahasa Inggris dalam kurikulum sekolah formal yang diajarkan mulai sekolah
dasar sampai perguruan tinggi.
3
Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar di Indonesia belum maksimal
(Atsuyama, 2008). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan bahasa Inggris
untuk pembelajar muda hanya bisa diberikan di beberapa sekolah swasta yang ada
di kota-kota besar. Demikian pula hanya sekolah dasar yang bergengsi saja
mampu memberikan pelajaran bahasa Inggris dengan guru penutur asli yang dapat
memberikan pendidikan bahasa Inggris dengan baik. Hal sebaliknya terjadi di
daerah pedalaman seperti Kalimantan dan Papua serta daerah terpencil lainnya
sangat sulit didapatkan pendidikan bahasa Inggris. Bahkan di kota besar seperti
Jakarta, Bandung, dan Surabaya, bahasa Inggris hanya sebagai mata pelajaran
muatan lokal pilihan. Dalam berbagai level, bahasa Inggris diberikan mulai kelas
empat, lima, dan enam oleh guru bahasa Inggris yang tidak mempunyai
kemampuan pedagogis bahasa Inggris untuk pembelajar muda. Jikalau kondisi ini
berlanjut, generasi muda Indonesia tidak akan mampu bersaing dalam tataran
global. Oleh karena itu, tindakan nyata harus diambil oleh pemerintah. Dalam hal
ini pengajaran bahasa Inggris usia muda harus dilaksanakan untuk memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mempersiapkan diri bersaing dalam dunia
global ini (Rixon, 1992; Kubanek-German, 1998).
Pendidikan bahasa Inggris di Indonesia mendapat perhatian dari
pemerintah cukup besar, yakni dengan ditetapkannya sebagai salah satu mata
pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Perhatian pemerintah lebih besar
lagi tatkala kebanyakan hasil ujian nasional para siswa gagal dalam mata pelajaran
bahasa Inggris. Dalam hal ini, banyak kegiatan yang semuanya bertujuan
meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Inggris, baik berupa peningkatan
4
kemampuan guru lewat penataran maupun pelatihan di dalam dan luar negeri.
Dari fenomena ini muncul pemikiran dari kalangan pendidik, khususnya dari
kalangan guru dan dosen bahasa Inggris agar memberikan porsi pelajaran bahasa
Inggris yang lebih banyak di tingkat SMP sampai perguruan tinggi. Bahkan
belakangan ini banyak sekolah dasar memberikan mata pelajaran bahasa Inggris
sebagai mata pelajaran wajib.
Kenyataan menunjukkan bahwa penguasaan bahasa Inggris tamatan
pendidikan dasar di Indonesia tidak berhasil dibandingkan dengan negara
tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Kegagalan penguasaan bahasa Inggris
di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik, seperti: lingkungan,
budaya, ekonomi, latar belakang keluarga, fasilitas pendidikan, sikap siswa, serta
orangtua. Semua faktor ini sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa dalam mata
pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing bagi masyarakat Indonesia
membuat bahasa ini tidak banyak dikuasai oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal
ini, tidak sedikit siswa ataupun mahasiswa mengalami kesulitan berkomunikasi
dengan bahasa ini. Mereka menganggapnya sebagai bahasa yang sulit dipelajari
karena beberapa alasan, misalnya, sistem bunyi verbal bahasa Inggris yang
tampak sangat berbeda dengan tanda tulisannya. Hal ini berbeda dengan bunyi
verbal bahasa Indonesia yang tidak banyak berbeda dengan tanda tulisannya.
Penguasaan kosa kata bahasa Inggris oleh siswa sangat terbatas di samping
penguasaan grammar yang terbatas pula. Alasan lain yang sangat krusial adalah
bahwa strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan bahasa ini (desain
5
pembelajaran dan metode mengajar) terkesan monoton dan kurang memberi
tantangan bagi siswa untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini dengan baik. Guru
kurang memahami karakteristik siswa karena lemahnya kemampuan psikologis
guru dalam mengidentifikasi kebutuhan siswa dalam belajar bahasa, khususnya
bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Dalam era informasi dan globalisasi ini, pemerintah menyadari pentingnya
peran bahasa Inggris dan sumber daya manusia yang memiliki keandalan
berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pemerintah telah menerbitkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990
tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pengembangan sumber daya
manusia dalam dunia pendidikan, yakni dalam bentuk pengembangan dan
peningkatan kualitas kemampuan (kompetensi) dan keterampilan guru, siswa,
serta tenaga kependidikan yang terkait. Selain itu, terdapat kebijakan mengenai
mata pelajaran muatan lokal di sekolah dasar, yaitu Kebijakan Depdikbud
Republik Indonesia Nomor 0487/14/1992 Bab VIII yang menyatakan bahwa
sekolah dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, dengan
syarat pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Mata
pelajaran tambahan biasanya merupakan mata pelajaran yang memang dibutuhkan
oleh sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, mata pelajaran muatan
lokal sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Hal ini terlihat,
yakni adanya mata pelajaran bahasa daerah dan mata pelajaran kesenian.
6
Setahun kemudian, kebijakan ini disusul oleh Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 Tanggal 25 Februari 1993
tentang Dimungkinkannya Program Bahasa Inggris Diajarkan Lebih Dini sebagai
Satu Mata Pelajaran Muatan Lokal. Mata pelajaran ini dapat dimulai pada kelas
empat sekolah dasar sesuai anjuran pemerintah. Munculnya muatan lokal ini
berawal dari pertimbangan bagaimana cara mengatasi anak-anak yang putus
sekolah.
Anak-anak yang putus sekolah di Indonesia cukup tinggi. Setiap tahun
sekitar empat juta lulusan sekolah dasar tidak bisa melanjutkan ke tingkat sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan sekitar sembilan ratus ribu tamatan SLTP
tidak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)
(Ngadiman, 2005). Dengan adanya program muatan lokal, diharapkan anak-anak
tamatan sekolah dasar ataupun SLTP yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi dapat mencari nafkah berbekal keterampilan yang
mereka dapatkan dari muatan lokal tersebut. Alasan lain dimunculkannya muatan
lokal di sekolah dasar adalah bahwa kegiatan pendidikan di mana pun selalu
berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan ini dapat memberikan
pengaruh terhadap perkembangan anak didik. Dengan muatan lokal ini pula di
Bali banyak sekolah dasar memberikan pelajaran bahasa Inggris, yakni dengan
harapan para siswa mempunyai keterampilan dalam berbahasa Inggris. Oleh
karena hal ini sangat diperlukan dalam lingkungannya yang merupakan daerah
tujuan wisata terkenal di dunia dengan pariwisata budayanya.
7
Di Indonesia, bahasa Inggris tidak dipakai sebagai alat komunikasi sehari-
hari. Di daerah-daerah tertentu yang merupakan daerah kunjungan wisata, seperti:
Bali, Lombok, dan Yogyakarta yang menjadi daerah tujuan wisata budaya untuk
wisatawan mancanegara, dalam hal ini bahasa Inggris sangat tepat untuk diajarkan
sebagai mata pelajaran muatan lokal. Pembelajaran bahasa Inggris sangat
bermanfaat, terutama terkait dengan penyediaan sumber daya manusia yang
mampu berkomunikasi dengan para wisatawan sekaligus untuk mengisi
kebutuhan tenaga kerja seperti menjual cenderamata, bekerja di hotel atau menjadi
pemandu wisata. Di samping itu, dengan keterampilan berbahasa Inggris anak-
anak di daerah dapat memperkenalkan kebudayaan daerahnya kepada wisatawan
asing.
Mata pelajaran muatan lokal sebenarnya ditetapkan sebagai kebijakan
daerah dengan memperhatikan beberapa hal, seperti keterlibatan pemerintah
daerah, para pakar pendidikan, penyusunan bahan ajar, dan anggota masyarakat
lainnya. Di samping itu, perlu dipertimbangkan kondisi lingkungan alam, sosial,
dan budaya serta tersedianya tenaga pengajar bahasa Inggris yang kompeten.
Kebijakan tentang program bahasa Inggris sekolah dasar ini selanjutnya
ditindaklanjuti oleh beberapa provinsi yang ditanggapi dalam bentuk kebijakan
juga, misalnya: Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Jawa Barat mengeluarkan surat keputusan dan mengembangkan kurikulum
muatan lokal (Kasihani, 2007:2).
Dalam rangka pelaksanaan kurikulum muatan lokal 2004 yang berbasis
kompetensi, Dinas Pendidikan Provinsi Bali, melalui dana DASK tahun anggaran
8
2004, menerbitkan standar kompetensi muatan lokal wajib dan standar
kompetensi muatan lokal pilihan. Mata pelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di
wilayah Provinsi Bali ditetapkan menjadi mata pelajaran muatan lokal pilihan.
Kebijakan ini ditanggapi secara positif oleh masyarakat luas, terutama oleh
sekolah-sekolah dasar yang merasa memerlukan dan mampu menyelenggarakan
pembelajaran bahasa Inggris.
Kurikulum bahasa Inggris sebagai muatan lokal yang ada di lapangan,
berdasarkan pengamatan awal, masih memiliki banyak kelemahan. Tujuan yang
merupakan salah satu komponen penting dalam pengajaran bahasa Inggris kurang
sesuai dengan perkembangan anak usia 6-12 tahun. Kurikulum muatan lokal
bahasa Inggris yang pernah dikaji pada empat provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, menunjukkan adanya
perbedaan dalam pendekatan pengembangan, tujuan, dan topiknya (Kasihani,
2003). Isi atau bahan ajar bisa berbeda sesuai dengan apa yang ada di
lingkungannya, tetapi tujuan secara nasional perlu dipertimbangkan sesuai dengan
kebijakan, situasi, dan kondisi yang ada. Oleh karena kenyataan menunjukkan
bahwa pada saat kebijakan diberlakukan, para pembuat kebijakan terkesan kurang
atau tidak melakukan analisis kebutuhan secara cermat sebelumnya. Seharusnya
sebelum kebijakan berlaku sudah diperkirakan hal-hal, seperti: apakah tenaga di
lapangan sudah siap, apakah kurikulum atau silabus sudah ada, serta apakah
sarana dan media pembelajaran yang sesuai sudah ada.
Walaupun disebutkan bahwa bahasa Inggris di sekolah dasar bukan
merupakan mata pelajaran wajib dan tidak harus diajarkan apabila memang belum
9
siap, tetapi banyak sekolah yang memaksakan diri untuk melaksanakan program
ini. Permintaan masyarakat, terutama orangtua murid, menginginkan agar anaknya
juga belajar bahasa Inggris seperti yang ada di sekolah lain. Di samping itu,
perintah atau keputusan dari Dinas Pendidikan setempat yang mewajibkan sekolah
untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris sebagai pelajaran muatan lokal wajib.
Hal ini membuat pelajaran bahasa Inggris terkesan dilaksanakan seadanya.
Dalam kenyataannya, pengembangan suatu program baru (dalam hal ini
program pengajaran bahasa Inggris) tidaklah mudah. Sebenarnya, perlu ada alasan
yang tepat untuk melandasi program tersebut dengan dasar pemikiran yang kuat,
yakni mengapa program bahasa Inggris perlu dimasukkan dalam kurikulum
sekolah dasar. Pemikiran ini harus beranjak dari kebutuhan pedagogis dan pasar
kerja saat ini, kemudian dikembangkan, misalnya, apakah memang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan bidang tertentu agar sejajar dengan sekolah lain.
Atas dasar beberapa pandangan yang positif dan rasional tentang
pengajaran bahasa Inggris, ada masuknya pengajaran bahasa Inggris di sekolah
dasar dapat diterima. Namun, dalam praktik di lapangan banyak masalah yang
timbul, baik yang berkaitan dengan kurikulum, materi pengajaran, pengadaan
guru yang terlatih ataupun sarana dan prasarana penunjang yang lain, metode
pengajaran yang tepat, serta motivasi siswa dalam belajar. Masalah tersebut pada
umumnya timbul dalam pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Hal tersebut diuraikan secara singkat berikut ini.
Kurikulum dan materi pengajaran merupakan faktor utama dalam proses
belajar-mengajar. Kurikulum merupakan kunci dalam pemilihan materi
10
pengajaran. Sampai saat ini, kurikulum bahasa Inggris untuk sekolah dasar yang
dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional hanya untuk kelas empat
sampai kelas enam, sedangkan kurikulum bahasa Inggris dari kelas satu sampai
kelas tiga belum ada, apalagi pedoman pelaksanaannya.
Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan kurikulum ini adalah siapa yang
menentukan dan merancang kurikulum muatan lokal ini, apakah pusat atau
daerah. Apabila setiap daerah boleh menyusun kurikulum, harus ada banyak
kurikulum bahasa Inggris untuk sekolah dasar mengingat tujuan pengajaran
bahasa Inggris antara daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini
membawa konsekuensi terhadap penyusunan materi pengajaran. Materi
pengajaran juga harus berbeda. Oleh karena itu, diperlukan petunjuk teknis
mengenai pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, baik dalam
pengembangan kurikulum maupun penyusunan materi pengajaran. Tanpa adanya
pedoman pelaksanaan dan garis-garis besar, program pengajaran bahasa Inggris
sebagai muatan lokal di sekolah dasar akan mengalami masalah besar, misalnya:
berapa jam bahasa Inggris harus diajarkan, keterampilan mana yang harus
diajarkan dan dicapai atau dituntaskan, serta apakah pengajaran bahasa Inggris
harus berlangsung secara improvisasi.
Guru bahasa Inggris yang mempunyai kualifikasi sebagai pengajar pemula
untuk sekolah dasar, masih menjadi kendala. Selama ini tujuan pendidikan guru
bahasa Inggris di IKIP dan FKIP adalah menciptakan guru bahasa Inggris untuk
sekolah tingkat pertama dan sekolah menengah atas, sedangkan sampai saat ini
belum ada LPTK yang mendidik guru bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar.
11
Padahal di sekolah dasar guru merupakan figur yang sangat menentukan dalam
mengelola proses belajar-mengajar di kelas. Dengan kata lain, guru merupakan
model dalam kelas saat berlangsungnya pelajaran. Oleh karena itu, guru bahasa
Inggris di sekolah dasar harus mempunyai keterampilan bahasa Inggris yang baik
serta wawasan psikologis dan pedagogis yang baik pula.
Strategi pengajaran merupakan aspek penting dalam proses belajar-
mengajar. Medode pengajaran adalah strategi yang dipakai oleh guru dalam
menyampaikan materi pengajaran. Banyak strategi atau teknik pengajaran yang
dikembangkan oleh para ahli bahasa dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai
bahasa asing. Namun, tidak semua strategi atau teknik pengajaran cocok untuk
setiap tujuan atau kelompok umur pembelajar. Strategi pengajaran yang cocok
untuk SMP dan SMA belum tentu cocok diterapkan pada siswa sekolah dasar.
Penelitian mengenai teknik atau strategi pengajaran bahasa Inggris untuk sekolah
dasar belum ada sehingga dapat dipastikan strategi dan teknik mengajar yang
dipakai bersifat spontan dan intuitif serta dilakukan dengan cara trial and error.
Hal ini terjadi karena ketidaksiapan guru dengan teknik atau strategi pengajaran
yang harus dipilih.
Motivasi adalah kunci yang paling utama dalam suatu proses belajar-
mengajar. Walaupun guru mempunyai keterampilan berbahasa yang baik, cara
mengajar yang baik, sarana pengajaran yang baik dan lengkap, tetapi jika siswa
tidak mempunyai motivasi belajar, maka semuanya akan sia-sia. Guru, sekolah,
sarana lain seperti alat peraga hanyalah berfungsi sebagai alat bantu. Dalam hal
ini, yang belajar, yang mencerna, dan yang memproses input adalah
12
siswa/pembelajar itu sendiri. Masalahnya sekarang adalah apakah semua siswa
sekolah dasar mempunyai motivasi atau minat yang tinggi untuk belajar bahasa
Inggris. Tugas guru adalah menciptakan iklim yang kondusif dengan
membangkitkan pandangan positif pada diri siswa terhadap manfaat bahasa
Inggris sebagai sarana untuk memeroleh lapangan kerja. Dalam kaitan ini, hal
yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan sikap positif pada diri siswa
bahwa bahasa Inggris tidak perlu ditakuti atau sesuatu yang sukar untuk dipelajari.
Oleh karena pengalaman menunjukkan bahwa mata pelajaran bahasa Inggris
adalah mata pelajaran yang tidak disukai oleh kebanyakan siswa SMP dan SMA,
termasuk mahasiswa jurusan nonbahasa Inggris. Mereka menganggap bahasa
Inggris adalah mata pelajaran yang sulit dan sangat sukar untuk dipelajari.
Pengadaan buku-buku teks masih menjadi kendala dalam pengajaran
bahasa Inggris di sekolah dasar. Sampai saat ini belum banyak buku teks bahasa
Inggris yang dapat menunjang pengajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal di
sekolah dasar. Buku teks yang beredar saat ini, meskipun dirancang untuk
pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, masih bersifat umum dan belum
menunjang pengajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Dengan demikian
pengadaan buku teks merupakan masalah serius yang harus segera dipecahkan.
Oleh karena tujuan pengajaran bahasa Inggris bersifat lokal, maka harus disusun
berbagai ragam buku yang berisi materi pengajaran yang disesuaikan dengan
muatan lokal daerah tertentu.
Kesiapan sarana belajar-mengajar untuk mengajarkan bahasa Inggris di
sekolah dasar dirasakan masih belum memadai. Oleh karena pelajaran bahasa
13
Inggris merupakan sesuatu yang baru di sekolah dasar sehingga dapat diramalkan
bahwa banyak sekolah dasar yang memerlukan pengajaran bahasa Inggris belum
siap dengan sarana penunjang, seperti: alat peraga dan yang lainnya. Hal ini perlu
mendapat perhatian dari sekolah yang akan memasukkan bahasa Inggris sebagai
muatan lokal.
Munculnya pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar memungkinkan
terjadinya interferensi. Dalam waktu bersamaan anak sekolah dasar harus
mempelajari tiga bahasa sekaligus, yaitu bahasa daerah, bahasa nasional (bahasa
Indonesia), dan bahasa Inggris. Dalam situasi semacam ini, kemungkinan
terjadinya interferensi antara ketiga bahasa tersebut sangat besar, apalagi bila
jadwal jam pengajarannya sangat berdekatan. Misalnya, pada jam pertama mereka
harus belajar bahasa Indonesia, pada jam kedua atau ketiga mereka harus belajar
bahasa Inggris atau bahasa daerah. Pengaturan jam pelajaran semacam ini sangat
tidak bijaksana. Oleh karena itu, jadwal jam pelajaran harus ditata secara
bijaksana. Di samping itu, strategi dan teknik pengajaran harus dipilih secara tepat
untuk menghindari terjadi saling interferensi di antara ketiga bahasa tersebut.
Pemerolehan bahasa terjadi karena adanya input yang memadai dan cukup
terpahami. Pada hakikatnya bahasa Inggris di Indonesia bukan merupakan alat
komunikasi sehari-hari. Apabila dipakai sebagai alat komunikasi hal ini sudah
tentu sangat terbatas. Padahal tanpa adanya input atau pajangan (expose), proses
pemerolehan bahasa tidak terjadi. Dengan demikian, guru bahasa Inggris harus
menjadi sumber input yang potensial. Konsekuensinya, guru harus mempunyai
14
keterampilan bahasa Inggris yang baik, ucapannya harus baik, tata bahasanya juga
harus baik.
Menurut Krashen (1982: 62-67) input harus menjadi intake agar proses
pemerolehan bahasa terjadi. Dalam hal ini, agar berfungsi menjadi intake,
pertama, input harus terpahami (comprehensible). Ada beberapa kriteria yang
memungkinkan input menjadi terpahami: (1) struktur dan kosa kata tidak sukar,
artinya bahasa guru harus memakai struktur dan kosa kata yang sudah dimiliki
oleh siswa; (2) berorientasi kini dan sekarang, artinya guru harus memakai
konteks yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, agar bahasa guru dapat
menjadi sumber input yang potensial, guru bahasa Inggris harus menggunakan
struktur bahasa yang sederhana, tidak banyak kalimat majemuk, kosa kata yang
sudah diketahui oleh siswa dan yang berkaitan dengan masalah di lingkungan
anak, serta ia harus berbicara pelan dengan ucapan yang sangat jelas tetapi tepat.
Kedua, agar input terpahami, input harus menarik dan relevan. Input yang
menarik dan relevan akan membuat siswa mencurahkan perhatiannya kepada isi
pesan dan motivasi mereka unuk belajar lebih banyak. Dalam kaitan ini, Krashen
menyatakan bahwa pemerolehan bahasa akan terjadi secara maksimum apabila si
pembelajar tidak sadar terhadap pesan yang disampaikan dalam bahasa asing.
Dalam hal ini, tugas guru adalah mencari materi pengajaran yang menarik dan
relevan bagi sekolah dasar dan dengan bahasa yang sederhana. Hal ini merupakan
tugas yang tidak ringan, perlu kerja keras, keterampilan tinggi, dan biaya yang
tidak murah.
15
Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian adalah kemampuan
berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia siswa SD, siswa SMP, dan siswa
SMTA, bahkan mahasiswa masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena sikap
negatif mereka terhadap kedua bahasa tersebut, terlebih terhadap bahasa daerah.
Dengan masuknya bahasa Inggris di sekolah dasar, dikhawatirkan sikap mereka
terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia semakin negatif dalam arti bahasa
tersebut diremehkan dan dipinggirkan. Minat mereka untuk belajar bahasa daerah
dan bahasa Indonesia akan berkurang. Padahal secara kultural, baik bahasa daerah
maupun bahasa Indonesia menjadi ciri jati diri dan kepribadian manusia dan
bangsa Indonesia. Bangga terhadap bahasa Inggris akan memotivasi mereka untuk
belajar bahasa Inggris, tetapi apabila hal ini terjadi berlebihan akibatnya tidak
baik. Mereka tidak akan mencintai bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang
mengakibatkan penguasaan bahasa tersebut dirasakan sangat rendah.
Kenyataannya bahasa Indonesia yang sekarang dipelajari oleh orang Australia
sebagai bahasa asing justru tidak dinikmati oleh siswa Indonesia. Oleh karena itu,
tugas guru bahasa daerah dan bahasa Indonesia menjadi lebih berat. Mereka harus
bekerja lebih keras untuk membuat pelajaran bahasa daerah dan bahasa Indonesia
menarik sehingga peserta didik termotivasi dan tidak memandang kedua bahasa
tersebut lebih rendah daripada bahasa Inggris. Di samping itu, guru bahasa Inggris
sendiri harus mempunyai pandangan positif terhadap bahasa daerah dan bahasa
Indonesia.
Menurut Curtain dan Pesola (1994), dewan sekolah atau komite sekolah
dan persatuan orangtua murid perlu memberikan alasan kuat dan bukti nyata
16
sebelum sekolah membuat keputusan atau kebijakan. Dalam hal ini, perlu
dipertimbangkan tentang waktu yang tersedia, dana, dan jenis program ini. Selain
itu, program bahasa Inggris ini perlu mengetengahkan manfaat pembelajaran
bahasa, pilihan bahasa yang harus diajarkan, jenis kegiatan pembelajaran yang
akan dipakai, dan sebagainya. Dasar pemikiran yang meyakinkan dan
perencanaan yang mantap akan membantu perlunya keberadaan pelajaran bahasa
asing di sekolah dasar.
Kebijakan lain yang perlu dipahami adalah adanya pengelompokan mata
pelajaran, khususnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dengan
adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu diketahui bagaimana posisi mata
pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Dari kerangka dasar dan struktur
kurikulum yang ada saat ini dapat dilihat Pasal 7 Ayat 7 bahwa pelajaran bahasa
Inggris di sekolah dasar termasuk kelompok mata pelajaran estetika. Mata
pelajaran bahasa Inggris yang termasuk mata pelajaran muatan lokal memerlukan
kegiatan bahasa yang relevan dengan tingkat pembelajarannya.
Kebijakan-kebijakan yang telah dituangkan dalam bentuk surat keputusan
atau peraturan pemerintah merupakan pegangan yang dapat dipakai sebagai dasar
untuk mengembangkan mata pelajaran bahasa Inggris, terutama di sekolah dasar.
Landasan seperti ini penting untuk diketahui, terutama bagi pengembang dan
pengelola program mata pelajaran bahasa Inggris untuk usia muda atau siswa
sekolah dasar.
17
Kebijakan tahun 2006 yang perlu diketahui berkaitan dengan mata
pelajaran muatan lokal adalah Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 Tanggal
23 Mei 2006. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk
keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata
pelajaran yang ada. Menurut kebijakan ini, substansi muatan lokal ditentukan oleh
satuan pendidikan dan jam mata pelajaran muatan lokal yang dialokasikan dua
jam, yaitu berarti 2 x 35 menit. Selain itu, dalam peraturan menteri, mata pelajaran
muatan lokal diprogramkan di kelas empat, lima, dan enam sekolah dasar.
Selain kebijakan yang sifatnya nasional seperti yang disebutkan di atas, ada
pula kebijakan yang bersifat regional dan institusional. Kebijakan semacam ini
biasanya diambil oleh pimpinan atau kepala sekolah setelah dirapatkan dengan
staf guru atau komite sekolah. Mata pelajaran muatan lokal seperti pelajaran
bahasa Inggris di sekolah dasar merupakan wewenang sekolah untuk menentukan
apakah mata pelajaran bahasa Inggris perlu diberikan di sekolahnya. Jika
diperlukan dimulai pada kelas berapa dan seminggu berapa jam. Apabila sudah
ada keputusan, maka diperlukan persiapan yang cermat, yaitu berkaitan dengan
tenaga pengajar dan bahan ajarnya.
Sebenarnya, tujuan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia berbeda dengan
tujuan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di negara tempat bahasa
Inggris sebagai media komunikasi. Bahasa Inggris merupakan bahasa asing
pertama yang wajib diajarkan di SMP dan SMA. Akan tetapi, di sekolah dasar
merupakan salah satu pelajaran muatan lokal pilihan dan belum merupakan mata
18
pelajaran wajib. Tujuan pengajaran bahasa Inggris mencakup semua kompetensi
bahasa, yaitu menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan
menulis (writing). Bahasa Inggris sangat berbeda dengan bahasa pertama anak-
anak di Indonesia (bahasa Indonesia, Bali, Sunda, Jawa, dan bahasa daerah
lainnya di Indonesia). Beberapa perbedaan kebahasaan ini penting untuk dipahami
oleh guru agar pembelajaran dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal-hal
tersebut berupa ucapan, ejaan, struktur bahasa, tekanan dan intonasi, kosa kata,
serta nilai kultur bahasa asing.
Kebijakan berikutnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan
(SKLSP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan. Mata
pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar mencakup tujuan sebagai berikut. (1)
Mendengarkan, yaitu memahami instruksi, informasi, dan cerita yang sangat
sederhana yang disampaikan secara lisan dalam konteks kelas, sekolah, dan
lingkungan sekitar. (2) Berbicara, yaitu mengungkapkan makna secara lisan dalam
wacana interpersonal dan transaksional yang sangat sederhana dalam bentuk
instruksi dan informasi dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (3)
Membaca, yaitu membaca nyaring dan memahami makna dalam instruksi,
informasi, teks fungsional pendek, dan teks deskriptif bergambar sangat sederhana
yang disampaikan secara tertulis dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan
sekitar. (4) Menulis, yaitu menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek
yang sangat sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat.
19
Dalam hal ini, dimasukkannya bahasa Inggris sebagai muatan lokal di
sekolah dasar, sampai saat ini masih mengundang pro dan kontra di antara pakar
pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia. Ada banyak pakar
yang mengatakan bahwa pengajaran bahasa Inggris akan berhasil apabila
diberikan sedini mungkin. Akan tetapi banyak juga yang mengatakan bahwa
apabila bahasa Inggris diajarkan mulai di sekolah dasar, hal ini justru menambah
beban siswa, mengingat siswa sekolah dasar mempunyai beban berat dalam tugas
mereka. Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar akan menimbulkan banyak
masalah dan dikhawatirkan akan memperpanjang kegagalan pengajarannya di
Indonesia.
Kota Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali dan dikenal dengan
paradigma “berwawasan budaya” sangat berkaitan dengan kebijakan
pembelajaran bahasa Inggris dalam keberadaannya sebagai kota pendidikan, kota
bisnis, kota pariwisata, dan kota budaya. Sekolah-sekolah dasar yang ada, baik
negeri maupun swasta, mengedepankan proses pembelajaran bahasa Inggris. Hal
ini berkenaan dengan persoalan ekologi bahasa karena bahasa yang memberikan
kehidupan dan kesejahteraanlah yang akan hidup dan dihidupkan. Pemerolehan
kemampuan awal atau permulaan bahasa Inggris yang baik dan benar sejak dini
akan memungkinkan pembelajar mendapatkan kehidupan yang lebih baik pada
masa depan.
Sebagai bagian dari kajian budaya kritis (critical cultural studies),
penelitian ini berfokus pada kebijakan pemerintah yang menyangkut pelaksanaan
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar di Kota Denpasar. Dengan
20
demikian, kebijakan tersebut akan dilihat secara kritis, termasuk kaitannya dengan
kekuasaan di baliknya, sampai pelaksanaannya secara nyata di lapangan dalam
rangka emansipasi masyarakat yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut.
Dalam hal ini adalah murid-murid sekolah dasar di Kota Denpasar yang menjadi
sasaran pembelajaran basasa Inggris.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam fenomena yang dialami terkait dengan
implementasi kebijakan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota
Denpasar, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan-
pertanyaan seperti berikut ini.
1) Bagaimanakah implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada
sekolah dasar di Kota Denpasar?
2) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi implementasi kebijakan
pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar?
3) Bagaimanakah makna implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris
sekolah dasar di Kota Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini dilakukan untuk memahami secara mendalam
dan kritis berbagai input, proses, dan output implementasi kebijakan pembelajaran
bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar, yaitu sekolah dasar negeri dan swasta,
khususnya di Kota Denpasar. Sebagai ibu kota provinsi, Kota Denpasar memiliki
21
sirkumstansi lokal-global, terutama keberadaannya sebagai kota budaya di satu
sisi dan kota bisnis dan pariwisata di sisi lain. Hal ini menyebabkan dalam banyak
aspek cukup beralasan untuk diterapkan kebijakan pembelajaran bahasa Inggris di
sekolah-sekolah dasarnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui bentuk implementasi kebijakan pemerintah kota dalam
penyelelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota
Denpasar.
2) Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan
pemerintah dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar
di Kota Denpasar.
3) Untuk menginterpretasi makna terbentuknya implementasi kebijakan
pemerintah dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar
bagi sekolah, siswa, dan masyarakat di Kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan wawasan
keilmuan dan kerangka teoretis-konseptual yang lebih jelas dan komprehensif
mengenai fenomena implementasi kebijakan pendidikan bahasa Inggris di sekolah
dasar dan pelaksanaannya di Kota Denpasar sebagai sebuah penelitian kritis
kajian budaya (critical cultural studies). Kajian budaya dalam keberadaannya
22
sebagai disiplin ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin berupaya mengkaji dan
mengkritisi efektivitas kebijakan dan pelaksanaan pendidikan bahasa Inggris serta
melihat hubungan-hubungan kuasa politik, ekonomi, dan budaya yang
melingkupinya. Dengan demikian, kebijakan tersebut akan dilihat secara kritis,
termasuk kaitan kekuasaan di baliknya, sampai pelaksanaannya secara nyata di
lapangan dalam rangka emansipasi masyarakat yang terlibat dalam proses
pendidikan tersebut dalam hal ini siswa-siswa sekolah dasar di Kota Denpasar.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kota Denpasar,
terutama dalam mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendidikan bahasa
Inggris sekolah dasar di wilayah pemerintahannya. Di samping itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memerkaya khazanah pengetahuan/kepustakaan
dalam penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris yang selama ini diasumsikan
tidak terkoordinasi secara baik di antara sekolah-sekolah dasar yang telah
mengajarkan bahasa Inggris. Di samping itu, perbaikan dan penyempurnaan
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar dapat memperkuat jati diri dan sikap
positif terhadap bahasa daerah dan bahasa nasionalnya. Akhirnya, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pemberdayaan dan emansipasi bagi masyarakat
pada umumnya dan murid-murid sekolah dasar pada khususnya sebagai pihak-
pihak yang menjadi sasaran (pasar) bagi kebijakan pembelajaran yang dimaksud.
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Mata pelajaran muatan lokal merupakan mata pelajaran yang menyangkut
kebijakan tersendiri yang ditentukan oleh setiap provinsi. Dalam kebijakan itu,
bahasa Inggris dijadikan sebagi mata pelajaran muatan lokal pada sekolah dasar di
Kota Denpasar. Bahasa Inggris dinyatakan sebagai muatan lokal Berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 Tanggal 25
Februari 1993. Sebenarnya pengertian lokal atau daerah dapat berarti pada tingkat
provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, bahkan sekolah. Dalam kaitan ini, pelajaran
muatan lokal ini dapat ditetapkan dengan memperhatikan kondisi lingkungan
alam, sosial dan budaya. Selain itu, diharapkan adanya keterlibatan pemerintah
daerah, pakar pendidikan serta pakar bahan ajar (Suyanto, 2001).
Beberapa penelitian tentang pembelajaran bahasa asing untuk anak-anak
yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Rachmajanti dkk,
(2000) dalam penelitiannya tentang penyelenggaraan pengajaran bahasa Inggris di
sekolah dasar Kabupaten Malang, Jawa Timur menemukan fakta tentang belum
memadainya kompetensi guru sesuai dengan tuntutan pengajaran bahasa Inggris
di sekolah dasar. Hampir semua guru yang mengajarkan bahasa Inggris di sekolah
dasar bukanlah guru yang dipersiapkan secara akademis untuk keperluan tersebut.
Kondisi yang kurang menguntungkan ini berdampak negatif dalam proses belajar-
23
24
mengajar di kelas karena guru cenderung menerapkan cara yang sama dengan
pendekatan pengajaran orang dewasa.
Curtain dan Pesola (1994), dalam hasil penelitian dan observasinya
menemukan bahwa sebagian besar guru bahasa Inggris belum memiliki
keterampilan berbahasa dan metodologi mengajar yang sesuai dengan kebutuhan
siswa. Dalam hal ini direkomendasikan bahwa dalam mempersiapkan guru untuk
mengajar di sekolah dasar perlu mengacu pada tiga hal, yaitu (1) keterampilan
berbahasa dan pemahaman budaya, terutama tentang anak-anak tempat bahasa
tersebut dipakai; (2) metodologi dan pengalaman pengajaran bahasa untuk anak-
anak; serta (3) latar belakang pengetahuan dalam kurikulum dan filsafat sekolah.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru yang mengajar di
sekolah dasar bukanlah guru yang dipersiapkan untuk mengajarkan bahasa
Inggris, apalagi mengajari anak-anak. Hampir semua guru yang mengajarkan
muatan lokal bahasa Inggris terpaksa melakukannya karena diberi tugas oleh
kepala sekolahnya. Padahal bekal guru untuk mengajarkan bahasa Inggris bagi
siswa sekolah dasar sangat minim. Siswa sekolah dasar akan senang apabila
pelajaran bahasa asing ini menarik. Mereka akan berhasil apabila belajar hal baru,
yakni dilakukan dengan cara learning by doing, learning by playing, dan learning
by singing (Philips, 1995). Oleh karena itu, guru sekolah dasar seharusnya
terampil dalam memperkenalkan bahasa Inggris kepada siswanya melalui
berbagai kegiatan berupa games, song, dan story telling. Hal ini sudah terbukti
dari penelitian terdahulu, Di samping ditunjang oleh beberapa teori yang sudah
ditetapkan (Vale dan Feuntuen, 1996).
25
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Inggris di
sekolah dasar sebagai muatan lokal kurang menguntungkan. Dardiri (1994)
mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa teknik mengajar guru tidak bervariasi
dan cenderung menggunakan teknik yang lazim dipakai guru untuk mengajari
orang dewasa, seperti; tanya jawab, hafalan, dan menerangkan. Selain itu, kualitas
dan kuantitas media pembelajaran dianggap kurang memadai.
Temuan penelitian tersebut di atas mengisyaratkan antara lain bahwa
lemahnya proses belajar-mengajar disebabkan karena faktor guru dan sarana
penunjang, terutama keberadaan dan pemanfaatan media pembelajaran. Faktor
guru memang penting dalam proses belajar-mengajar, tetapi keberadaan guru
tanpa sarana penunjang tampaknya mengurangi kualitas proses belajar-mengajar.
Artinya, pemanfaatan sarana pembelajaran seperti buku teks dan media
sebenarnya dapat lebih mempertinggi kualitas pembelajaran (Ellington, 1985).
Sejak tahun 1998, terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap semua
aspek kehidupan bangsa Indonesia. Perubahan itu disebabkan oleh perubahan
politik dan tata pemerintahan yang semula bersifat sentralistik menjadi
desentralistik. Dalam pemerintahan sentralistik, kebijakan penting dilakukan oleh
pemerintah pusat. Pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
menjadi pelaksana kebijakan pemerintah pusat. Pada saat ini fungsi dan
wewenang pemerintah daerah lebih besar dalam membuat kebijakan dan
melaksanakannya sesuai dengan variasi potensi dan kepentingan pengembangan
daerahnya masing-masing. Dalam hal ini, salah satu desentralisasi pendidikan
adalah desentralisasi kurikulum. Pemerintah, dalam hal ini Kementrian
26
Pendidikan Nasional hanya menentukan standar-standar minimal yang harus
dipenuhi oleh satuan pendidikan di tingkat daerah. Standar minimal itu berupa
standar kompetensi lulusan, standar isi, standar evaluasi, dan standar sarana dan
prasarana. Pengembangan lebih jauh terhadap standar-standar tersebut diserahkan
kepada masing-masing daerah.
Dengan adanya desentralisasi kebijakan itu, daerah dapat mengembangkan
potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu
kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat kurikulum sekolah yang
berbasis keunggulan lokal. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas
sudah diatur pelaksanaan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat, tetapi
harus dilakukan di daerah. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum sebagai
salah satu substansi utama dalam pengembangan pendidikan perlu di-
desentralisasikan, terutama kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi
daerah. Dengan demikian, daerah atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk
merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan. Sehubungan dengan
kondisi daerah dan potensi daerah di Indonesia yang cukup beragam, maka daerah
perlu menggali, meningkatkan, dan mempromosikan potensinya melalui
pendidikan di sekolah.
Masing-masing daerah mempunyai keunggulan potensi daerah dan potensi
itu perlu dikembangkan lebih baik lagi. Keunggulan yang dimiliki oleh masing-
masing daerah sangat bervariasi. Dengan keberagaman potensi daerah ini,
pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu mendapatkan perhatian
secara khusus bagi pemerintah daerah. Dengan demikian, anak-anak daerah tidak
27
asing dengan daerahnya sendiri serta paham betul dengan potensi dan nilai-nilai
serta budaya daerahnya sendiri sehingga dapat mengembangkan dan
memberdayakan potensi daerahnya sesuai dengan tuntutan ekonomi global yang
telah disepakati oleh pemerintah Indonesia. Dalam kaitan ini diharapkan dengan
ekonomi global tersebut, masing-masing daerah mampu berlomba dan bersaing
dengan negara lain untuk memasarkan keunggulan daerahnya sendiri.
Muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan media
penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan
lingkungan budaya, serta kebutuhan pembangunan daerah yang perlu diajarkan
kepada siswa. Lingkungan alam adalah lingkungan hidup dan tidak hidup yang
mencakup komponen hewan dan tanaman beserta tempat tinggalnya, di samping
hubungan timbal balik di antara komponen tersebut. Lingkungan budaya adalah
lingkungan yang mencakup segenap unsur budaya yang dimiliki masyarakat di
suatu daerah tertentu, termasuk di dalamnya adalah kepercayaan, kebiasaan-
kebiasaan, adat istiadat, aturan-aturan umum yang tidak tertulis (misalnya: tata
krama, cara pergaulan, dan etiket dengan orangtua, muda-mudi, serta tetangga),
nilai-nilai serta penampilan perlambang-perlambang yang menyatakan perasaan,
seperti yang terdapat dalam upacara adat/tradisional, bahasa daerah, dan kesenian
daerah.
Perpaduan antara lingkungan alam, sosial, dan budaya pada hakikatnya
membentuk suatu kehidupan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang disebut dengan
pola kehidupan. Jadi, pola kehidupan masyarakat mencakup interaksi antar
anggota masyarakat tersebut yang meliputi interaksi antar individu, antara
28
individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok lainnya baik
secara formal maupun informal.
Dalam kenyataannya, pola kehidupan suatu masyarakat dapat berbeda
dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan
alamnya dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Kebudayaan suatu
masyarakat, yakni mencakup: gagasan, keyakinan, pengetahuan, aturan dan nilai,
serta perlambang (simbol-simbol) yang digunakan untuk menanggapi
lingkungannya. Dengan demikian, pengembangan bahan pelajaran bermuatan
lokal, yakni mengacu pada pola kehidupan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam mengembangkan wawasan lingkungan alam,
lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Dengan memahami arti dan hakikat
kurikulum muatan lokal, siswa tidak hanya mengetahui dunia global, tetapi
budaya lokal perlu dipahami dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk
Sekolah Dasar yang Dikembangkan Berdasarkan Tujuan setiap Satuan
Pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah sebuah acuan kompetensi
yang harus dimiliki seorang anak jika ia lulus pada jenjang pendidikan tersebut.
Berikut ini adalah SKL mata pelajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar. (1)
Mendengarkan: memahami instruksi, informasi, dan cerita sangat sederhana yang
disampaikan secara lisan dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar.
(2) Berbicara; yakni mengungkapkan makna secara lisan dalam wacana
interpersonal dan transaksional sangat sederhana dalam bentuk instruksi dan
29
informasi dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (3) Membaca;
yakni membaca nyaring dan memahami makna dalam instruksi, informasi, teks
fungsional pendek, dan teks deskriptif bergambar sangat sederhana yang
disampaikan secara tertulis dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar.
(4) Menulis; yakni menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek sangat
sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat.
Berdasarkan asumsi hasil perbincangan dengan para praktisi, khususnya
guru bahasa Inggris di SMP serta pengamatan di lapangan, bahwa siswa yang
telah memiliki bekal pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar tidak akan
mengalami kesulitan yang berarti ketika mengikuti pembelajaran bahasa Inggris di
kelas tujuh. Mereka akan show of force atau menunjukkan apa yang telah mereka
dapat dan mereka kuasai di sekolah dasar. Kemampuan kosakata dan ungkapan-
ungkapan sederhana dalam konteks kelas yang mereka dapatkan di sekolah dasar
cukup memberikan kontribusi dalam proses pembelajaran di SMP. Kondisi
demikian biasanya terjadi di SMP perkotaan karena mereka memiliki bekal
bahasa Inggris sejak kelas empat, bahkan ada beberapa sekolah dasar yang
memberikan muatan lokal bahasa Inggris sejak kelas satu. Mereka tidak asing lagi
terhadap ucapan-ucapan bahasa Inggris. Hal ini sangat membantu proses
pembelajaran di SMP. Terlebih lagi jika guru yang mengajar di kelas tujuh
mampu memberikan motivasi dan membantu siswa tersebut untuk memelihara
kompetensinya. Sementara itu, SMP yang berada di daerah pinggiran atau
pedesaan, pada umumnya memiliki input siswa yang tidak semuanya memiliki
bekal bahasa Inggris ketika di sekolah dasar. Keadaan ini cukup menjadi kendala
30
karena guru kelas tujuh harus mengenalkan bahasa Inggris dari awal. Dalam hal
ini siswa yang pernah mendapatkan sebelumnya akan merasa sedikit bosan karena
materi itu terulang lagi. Oleh karena itu, guru harus mampu memberikan variasi
pembelajaran untuk kondisi kelas yang demikian.
Dalam pembelajaran bahasa Inggris, kematangan siswa di kelas tidak
hanya ditentukan oleh usia atau jenjang pendidikan, tetapi juga oleh faktor utama
yaitu guru, media pembelajaran, serta metode atau teknik yang digunakan. Selain
itu, ada pula faktor pendukung lainnya, seperti: sekolah, lingkungan (perkotaan
atau pedesaan), budaya setempat, minat, dan pengaruh orangtua. Oleh karena itu,
maka dapat ditarik simpulan bahwa keberadaan muatan lokal bahasa Inggris di
sekolah dasar sangat mendukung proses pembelajaran di SMP dan jenjang
selanjutnya. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam penyelenggaraan bahasa Inggris sebagai muatan lokal di SD,