AGRIMETA AGRIMETA JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta..................................................................... 1 2. UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG DAN KASCING I Ketut Widnyana............................................................................................... 20 3. ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI I Ketut Arnawa................................................................................................... 32 4. INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL: An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province Nyoman Utari Vipriyanti.................................................................................. 39 5. PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.) DENGAN PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI I Made Sukerta................................................................................................... 62 6. REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING AND COMMUNITY-BASED TOURISM Cening Kardi.......................................................................................................70 7. ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan Ni Made Muriati dan Wayan Guwet Hadiwijaya...............................................78 Daftar Isi (Content) AGRIMETA Vol. 01 No. 01 Hal. 1 -101 Denpasar Oktober 2011 ISSN 2088-2521 SELAMATKAN BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN SELAMATKAN BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
93
Embed
1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT ...perpus.unmas.ac.id/jurnal_unmas/Agrimeta_Vol1_No2.pdf · 2019. 4. 23. · Makalah dapat ditulis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
AGRIMETAAGRIMETAAGRIMETAJURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEMJURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM
PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI
KARANGASEM, BALI
I Made Tamba dan I Wayan Cipta..................................................................... 1
2. UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN
MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI
BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG
DAN KASCING
I Ketut Widnyana............................................................................................... 20
3. ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI
I Ketut Arnawa................................................................................................... 32
4. INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL
CAPITAL: An Empirical Approach at Different Communities in Bali
tinggi, dan 1,01% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat
secara kumulatif menunjukkan bahwa PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem
Tahun 2009 mendapat respon dan dukungan yang tinggi oleh kelompok
masyarakat. Masyarakat penerima program sudah mampu untuk melakukan
perencanaan, melaksanakan, memanfaatkan, dan melakukan monitoring dan
evaluasi program secara baik. Tingginya dukungan secara kumulatif ini juga
disebabkan karena modal sosial (terutama tingkat kepercayaan dan partisipasi)
pada kelompok-kelompok nelayan di kecamatan Kubu relatif masih tinggi.
Gambar 8. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap
PNPM-MKP pada Aspek Secara Kumulatif
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
14
Secara keseluruhan respon masyarakat terhadap beberapa aspek di atas dapat
dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9 berikut ini.
Tabel 2. Respon masyarakat terhadap aspek penilaian.
Respon (%)
Aspek rendah sedang tinggi
sangat
tinggi
Perencanaan 12,12 67,68 16,16 4,04
Pelaksanaan 1,01 52,53 40,4 6,06
Pemanfaatan 2,02 53,54 40,4 4,04
Monev 2,02 43,43 46,47 8,08
Kumulatif 3,03 40,4 55,56 1,01
Gambar 9. Respon Masyarakat terhadap PNPM
4.3. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan
Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM - MKP
di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan dukungan
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP yaitu kelompok umur, tingkat
pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dari pekerjaan utama dan
jumlah kepemilikan alat tangkap.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
15
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang
Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan
PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009
No Jenis Faktor X2-hitung X
2-tabel (α=5%)
1. Kelompok Umur 60,48* 9,49 2. Tingkat Pendidikan 42,46* 9,49 3. Jumlah Tanggungan Keluarga 33,88* 9,49 4. Pendapatan dari Pekerjaan Utama 40,53* 9,49 5. Jumlah Kepemilikan Alat Tangkap 23,86* 9,49
Keterangan : ns) = non signifikan, *) = siginifikan
Sumber : Data Primer (diolah).
4.3.1 Kelompok umur
Kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok umur 21-37
tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai hubungan
yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada
suatu kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki
dukungan yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang
lebih tua memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada
kecenderungan semakin muda responden semakin tinggi dukungannnya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor umur mempengaruhi
kemampuan sesorang untuk beraktivitas dan berproduktivitas.
4.3.2 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pendidikan tinggi,
pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Tingkat pendidikan mempunyai
hubungan yang signifikan dengan dukungan responden terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan
bahwa ada suatu kecenderungan responden pada tingkat pendidikan yang lebih
tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP
atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan yang lebih rendah
memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin
tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih
rasional;
4.3.3 Jumlah tanggungan keluarga Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu 5-6
anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2 anggota keluarga. Jumlah
tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya
terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki
tanggungan keluarga yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi
terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki jumlah
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
16
tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih
rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena anggota keluarga
dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan melaksanakan PNPM-MKP.
4.3.4. Pendapatan dari pekerjaan utama
Pendapatan dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp.
2.300.000-3.000.000 per bulan, Rp. 1.600.000-<2.300.000 per bulan dan Rp.
<1.600.000 per bulan. Pendapatan dari pekerjaan utama mempunyai hubungan
yang signifikan dengan dukunganya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa
responden yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi memiliki kecendrungan
dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden
yang memiliki pendapatan yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan
yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi
makna bahwa ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendapatan responden
semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi
karena tingkat pendapatan akan mempengaruhi jumlah pengeluaran yang dapat
dibiayai di dalam meningkatkan taraf hidupnya nelayan. Pendapatan juga akan
berpengaruh terhadap kemampuan nelayan untuk lebih berpartisipasi di dalam
memberikan sumbangan dalam bentuk material (dana) terhadap suatu program;
dan
4.3.5. Kepemilikan alat tangkap
Kepemilikan alat tangkap dibagi menjadi tiga kategori yaitu kepemilikan
alat tangkap 5-6 set, 3-4 set, dan 0-2 set. Kepemilikan alat tangkap mempunyai
hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-
MKP di Kecamatan Kubu. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan
responden yang memiliki alat tangkap yang lebih banyak memiliki dukungan
yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang
memiliki alat tangkap yang lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang
lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Jadi ada kecenderungan bahwa
semakin banyak kepemilikan alat tangkap semakin tinggi dukungannya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP. Hal ini terjadi karena kepemilikan alat tangkap akan
berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan nelayan yang nantinya akan
berpengaruh dengan tingkat pendapatan nelayan yang merupakan faktor
pendukung dalam pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem.
5. KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI
5.1. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu,
Kabupaten Karangasem Tahun 2009 sudah berjalan sesuai dengan pedoman teknis
dan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (bottom up); 2) Tingkat dukungan
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP pada aspek perencanaan program
masuk kategori sedang, pada aspek pelaksanaan program masuk kategori sedang,
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
17
pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek
monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara
kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan
dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan
Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan
dari pekerjaan utama.
5.2. Saran
Dari hasil dan pembahasan dapat diberikan saran sebagai berikut : 1)
program PNPM-MKP tetap dapat dilanjutkan oleh pemerintah; 2) Pemerintah
hendaknya lebih melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring program sehingga program tersebut
benar-benar sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat (bottom up). Dalam
pedoman teknis PNPM-MKP semestinya tidak ada pembatasan desa/kecamatan
calon penerima dan pembatasan menu dari barang-barang yang boleh dibiayai dari
program tersebut; dan 3) Untuk meningkatkan tingkat dukungan masyarakat dari
kategori sedang ke kategori yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP
baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring dan
evaluasi program, hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan
dengan dukungan masyarakat seperti kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap dan jumlah pendapatan
dari pekerjaan utama dari calon penerima program.
5.3. Implikasi
Peningkatan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan
pola PNPM-MKP dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat pada kelompok
umur muda (usia produktif), meningkatkan pendidikan peserta, meningkatkan
pendapatan masyarakat, serta mengupayakan peningkatan kepemilikan alat
tangkap nelayan.
Oleh karena program PNPM-MKP benar-benar dapat dilaksanakan dan
bermanfaat bagi masyarakat, maka pemerintah maupun stake holder terkait dapat
menggunakan program tersebut untuk dipakai sebagai salah satu model program
pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam mengentaskan kemiskinan di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi Program
Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan, Jakarta :
Bumi Aksara.
Alistair, Cockburn. 2000. OO Analysis Model (Online).(http://training.fws.gov/
bahasa Indonesia). PT. Bina Aksara, Jakarta. 454 hal.
Tjokrosudarmo, C. (1989). Pengaruh Posisi Ruas Bahan Setek dan Urine Sapi
terhadap Pertumbuhna Setek Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex
Froehner) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya IPB. Bogor. 62 hal.
Widianto (1988). Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. PT. Penebar Swadaya.
Jakarta. 68 hal.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
70
REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE
FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING
AND COMMUNITY-BASED TOURISM
Cening Kardi
Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is agricultural ritual and practicing
agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. It is carried out by subak (institution
for water-control-system in Bali). In this case using organic inputs towards sustainable
farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda. The values of tradition-religion-aspiration-culture in subaks were weakened and rather meaningless as the
impacts of: neglect to metaphysical agriculture; and capital based tourism development.
Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich and to beautify objects of tourism in villages, likewise their income generating for the
population. Subaks were rather not powerful and not authoritative in performing
agricultural ritual effectively and meaningfuly, neither in signifying organic techniques in farming. Therefore, a study on revitalization of metaphysical agriculture should be
conducted, with aims: (1) to determine the level of success of metaphysical agriculture;
and (2) to analyze factors of subaks which affecting the success of metaphysical
agriculture. A survey method through questionnaire was used to collect data from 42 subaks in 42 different desa adats (customary villages) which were selected using
purposive sampling. The all questionnaires used Likert scale. Percentage the total score of
a variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level of the variable on that subak. Regression analysis was used to estimate the effect of factors
of subaks to the success of metaphysical agriculture. Result of the research indicated that
the level of success of metaphysical agriculture was medium. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule);
and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were strongly affected the
success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was
quitely affected, but Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture.
Based on the findings in this research, it could be suggested as follows. It needs an
assistance process at subaks to revitalize metaphysical agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with sophisticated technology. First before this
program, disseminating explanation regarding: implementation of meaningful agricultural
rituals and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda. More adroitly
to decipher sangkepan and awig-awig, and more aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig. It requires pilot project activity, namely by performing
assistance for the formation of farmer cooperative at some subaks.
Key words : metaphysical, subak, revitalization, Rwa Bhineda.
1. INTRODUCTION
Transformation and dynamism are very essential characteristic of
community and culture. It is irrefutable fact that ”transformation” denotes
phenomenon which always features the passage of community and its culture.
There isn’t a statics community in absolutly. Every community always gains
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
71
transformation on time function, so there isn’t a community has same portraits on
different periods, neither ”traditional” nor modern community, although they
change with varied rapidity (Haferkamp dan Smelser, 1992).
The communities with their cultures in Bali are not exception in this case.
In other words, Bali always changes from age to age and even from day to day.
Something has been worried ” isn’t Bali spoiled?” due to the effect of global
population dynamism that has caused intensive and extensive capital-based tourism
development as the policy and program for economic improvement of the
government, to catch the trend of the world.
The capital-based tourism development brought about great batterer
energy that caused very structural changes in Baliness society and culture.
Tourism in Bali much changed from cultural-based tourism (in the era before
1975) to be competitive and commercial tourism. Unfortunately, these
competitive and commercial attitudes and behaviours spreaded to the nearly all of
social-traditional-religious institutions in Bali, especially Subaks (institutions for
agricultural water-control-system in Bali) and desa adats (customary villages).
Actually, subak denotes a technology developing and synergizing with
community culture. On that account, subak is known as an institution having
socio-cultural characteristic. It is reflected by the activities of subak predominated
by mutual assistance and ritual ceremonies (Windia et al., 2010). So much local
genius and local wisdoms as the part of subak’s and desa adat’s sermons which
they are neglected, mainly in the concepts and implementations of metaphysical
agriculture. Finaly the values of tradition-religion-aspiration-culture in subaks are
weakened and rather becoming meaningless, whereas tourism sector apparently
has been taking benefits from the assets which rooted in tradition-religion-
aspiration-culture of subaks and desa adats.
The agricultural activities in Bali are not only in physical study but also in
metaphysical. The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is as follows.
1. Agricultural ritual and customary ceremonies. There are two biggest ritual:
Nyapah which take place in center village temple (Bale Agung temple)
twice in every year; and Usaba in a hill temple of subak (Bedugul temple).
These two rituals are very facilitated by desa adat. Various medium and
small rituals which are arranged by members (krama) of subak in each
their farm fields.
2. Practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. These
activities of agriculture concern to keep on the balance of ecosystem in
farming land. In this case using organic inputs towards sustainable
farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda.
The rituals were established and developed as the corollary of sincere
characteristics of farmers in subak to possess devotion and sacred deed/karma
through giving sacred offering to Goddess Sri (the omnipresent Deity in farming
area), after they got crops and exploited some resources for plants farming. it was
karma of take and give (Namayudha 1999).
Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich
and to beautify objects of tourism in the villages of Bali, likewise their income
generating for population in the villages. But nowadays subaks and desa adats
are rather not powerful and not authoritative in performing rituals agriculture
effectively and meaningfuly, neither in signifying techniques for organic farming.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
72
Concerning with the weakness owned by subaks, a study on revitalization of
metaphysical agriculture should be conducted. The aims of this study were: (1) to
determine the level of success of metaphysical agriculture; and (2) to analyze
factors of subaks which affecting the success of metaphysical agriculture. These
factors were: authority of subak to determine their own life; effectiveness of awig-
awig (subak’s customary rule); effectiveness of sangkepan (social-religious
gathering); social relation of subak to desa adat; and intensity of discussion Weda
script in subak.
2. RESEARCH METHODS
2.1 Theoretical Frame of Metaphysical Agriculture Urgency
Popper, 1983 explained that every form is natural objective, and every idea
is subjective. There is objective truth that unrestricted by space and time, it is in
the higher level than both objective forms and subjective ideas and it has
metaphysical quality.
Orderliness of the cosmos is objective and metaphysical truth, it is in
transcendent level and ordered by the God as creator. The steadiness of universe,
like there are: noon vs night, prey vs predator; natality vs mortality, and
plentifully others are coming into sight the omnipotence of the God. These pairs
of two qualities in one (dichotomies) which appear in contrary are some
exsamples of Rwa Bhineda. The forms of Rwa Bhineda must be controled to be
stable and balance in anyhow, anyplace and particularly in agricultural activities
(producing food) which have kept on population to be alive.
The universe is pervading by conciousness. The conciousness can be
classified to be partial/limited conciousness and super conciousness. When the
conciousness takes embodiment through a birth, it becomes partial/limited
conciousness. Since the conciousness to be restricted by its body. Sadness,
happiness, anger, love, etc., are some impressions/feelings emerged by body. The
super conciousness standing firmly and never be dissolved in feeling is named
Paramaatma. Paramaatma denotes source of Atma, this Atma dwells within
body. The merging of Atma to body performs soul, the efforts of soul continuesly
to achieve Paramaatma makes happen metaphysical activities, while
Paramaatma permanently in transcendent level (Sri Sathya Narayana, 1996).
Tattwamasi (you are essentially me), and Advesta Sarwa Bhutanam (love
all creatures) were some sacred directions of Weda script. They were strong
believed and done by farmers of subak. Because of revolution on agriculture
latter, introduced pesticides that were adopted by farmers. Actually, pesticides
gave more dangers to all creatures, those were poison residue in food, damaged
ecosystem, resistance and resurgence of plant pests and diseases. Therefore,
Tattwamasi and Advesta Sarwa Bhutanam denoted metaphysical practicality
should be believed and done. For the present days, practicing organic farming is
indicator for metaphysical practicality in agriculture (Geriya et al., 2006).
2.2 Data and Analytical Methods
A survey method through questionnaire was used to collect data from 42
subaks in 42 different desa adats (customary villages), which were selected using
purposive sampling (in the year 2010). In the region of south Bali were selected
20 desa adats, and the rest 22 desa adats were selected in the region of north
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
73
Bali. In every desa adat was taken respondents which consist of 5 men from the
board of desa adat, 10 men from the board of subak, 25 men members of subak
and 10 men members of desa adat but not members of subak.
The variables those were examined can be described briefly as presented
in Table 1. The strength of every element of variables was scored as very low (1),
low (2), medium (3), high (4) and very high (5). Percentage the total score of a
variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level
of the variable on that subak. So, the interval scale of variable could be
categorized: 20-36% was very low; 37-52 % was low; 53-68% was medium; 69-
84% was high; and 85-100% was very high. Regression analysis was used to
estimate the effect of factors of subaks to the success of metaphysical agriculture.
Table 1. Variables description
No Variable Descripton
(1) (2) (3)
1 The success of
metaphysical
agriculture
On ritual aspect (Seven elements): 1)
understanding to the viewpoint (tattwa) of the
ritual; 2) coordination in ritual implementation; 3)
solidarity among the followers of ritual; 4) freedom
in partaking ritual; 5) orderliness of ritual
processing; 6) completeness of facilities for ritual;
and 7) creativity in achieving ritual.
On the aspect of practicing agriculture based on
local genius of Rwa Bhineda (seven elements): 1)
intensity of pesticide treatment; 2) intensity of
chemical fertilizer treatment; 3) wholeness to follow
the planting season; 4) intensity of plant rotation; 5)
intensity to process waste of livestocks and harvest
to be fine compost; 6) intensity to plant greeneries
with high level Nitrogen for fertilizer; and 7) quality
of integrated crop-livestock system.
2 Authority of
subak to
determine their
own life
Four elements: 1) percentage of land conversion from
agricultural to non agricultural; 2) intensity of watter
sources for irrigation were changed to be non
agricultural purpose; 3) Intensity of blockading subak’s
groud athway and watter canal by outer force of
subak; and 4) intensity of conflict between subak and
industry/government.
3 Effectiveness of
awig-awig
(subak’s
customary rule)
Four elements: 1) clearness of awig-awig; 2)
democratic system in establishing awig-awig; 3) awig-
awig socialization; and 4) firmness in executing
punishment to transgressors of awig-awig.
4 Effectiveness of
sangkepan (social-
religious
gathering)
Six elements: 1) Sangkepan routine; 2) follow-up of
sangkepan’s decisions; 3) atmosphere in sangkepan; 4)
percentage of members of subak to attend sangkepan;
5) sovereignty for giving comments in sangkepan; and
6) sanction for members of subak who absent in
sangkepan.
5 Social relation of Three elements: 1) coordination between the board of
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
74
subak to desa adat desa adat and subak in holding ritual; 2) participation
of seke-seke (small grups for special duty in desa adat)
in ritual; and participation of desa adat members but
not members of subak to attend agricultural ritual.
3. RESULTS AND DISCUSSION
3.1 The Level of Success of Metaphysical Agriculture
The level of success of metaphysical agriculture was assessd from two
aspects, ritual aspect and aspect of practicing agriculture based on local genius of
Rwa Bhineda. From the ritual aspect, the result was decribed as follows.
The understanding to the viewpoint (tattwa) of the ritual was low, since most of
the people especially in traditional institutions (like subak and desa adat) had no
interest to read or to learn manuscripts regarding tattwa of the ritual or religion.
They prefered to follow the expressions of tattwa like to make some complicated
offerings/sacrifices. Grup dynamism in the most of subaks were becoming weak
due to the decreasing productivity and profitability of rice farming, hence
coordinations in ritual implementation were not good and subaks had no enough
funding to complete facilities and to be creative in achieving ritual. Finally, The
level of success of metaphysical agriculture from ritual aspect became low.
The success of of metaphysical agriculture from aspect practicing
agriculture based on local genius of Rwa Bhineda was as follows. The level of its
success was categorized as medium, it implied that the farmers and their subaks
had adopted slightly organic farming methods. Chemical fertilizers (like UREA,
TSP, KCl, Ponska, NPK) were still very intensively to be applicated by the
farmers and even they were very dependently on these chemical fertilizers, on the
other hand, they were lack of treatments towards producing fine compost from
waste of livestocks and harvest. The farmers of subaks were very averse to follow
the planting season in the area of subak. It was very potentially to cause pests and
diseases continuesly spreaded and attacked the growing plants everywhere, and
difficultly to be cut down. All of these poured in decreasing productivity and
profitability of rice farming. From the all of these explanations, it could be
assessed that the success of metaphysical agriculture was in medium level.
Table 2. Description for the elements of ritual aspect
Element Min
(%)
Max
(%)
Average
(%)
Category level
of success
1) Understanding to the
viewpoint (tattwa) of the ritual 21.6 70.4 41.6 Low
2) Coordination in ritual
implementation 47.2 88.8 49.6 Low
3) Solidarity among the followers
of ritual 52.0 87.2 56.0 medium
4) Freedom in partaking ritual 54.4 97.6 87.2 very high
5) Orderliness of ritual processing 49.6 91.2 80.8 High
6) Completeness of facilities for
ritual 24.0 73.6 51.2 Low
7) Creativity in achieving ritual 23.2 72.0 56.8 medium
Average 60.4 medium
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
75
Table 3. Description for the elements of practicing agriculture based
on local genius of Rwa Bhineda
Element Min
(%)
Max
(%)
Average
(%)
Category level
of success
1) intensity of pesticide treatment 34.5 90.0 56.0 medium
2) intensity of chemical fertilizer
treatment 23.5 93.0 44.0 Low
3) wholeness to follow the planting
season in the area of subak 27.0 77.0 46.5 Low
4) intensity of plant rotation 42.0 91.5 72.0 High
5) intensity to process waste of
livestocks and harvest to be fine
compost 29.0 91.5 54.0 medium
6) intensity to plant greeneries with
high level Nitrogen for fertilizer 30.0 84.0 61.0 medium
7) quality of integrated crop-
livestock system 47.0 88.5 58.0 medium
Average 55.9 medium
3.2 Factors of Subak Affecting The Success of Metaphysical Agriculture
The level of factors: Authority of subak to determine their own life;
Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule); and Intensity of discussion
Weda script in subak were medium. The level of factors: Social relation of subak
to desa adat; and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were
rather high. The result of regression analysis on the factors of subak affecting the
success of metaphysical agriculture was as follows (Table 4). The factors
Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig; and
Effectiveness of sangkepan were strongly affected the success of methaphysical
agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was quitely affected the
success of metaphysical agriculture, but Intensity of discussion Weda script in subak
was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture.
As an institution having socio-cultural characteristics, subak has a power
or wisdom and weakness. Some of those indigenous wisdoms are organization
having good governance, flexibility, having capability of absorbing or adopting
tecgnology developing around them and having capability of absorbing the culture
developing in surrouding community. If the all of factors of subak are vigorous
and effectively, actually the force in subak can be an indigenous wisdom and
social asset that can shore up some government programs, especially the food
security program and community-based tourism development. Meanwhile, the
weakness of subak as an institution having socio-cultural characteristic is that it
could not resist the intervention from external parties. This incapability is
reflected in the large number of land undergoing transfer of function to sectors
beyond agriculture like to building for hotel and building for hausing complex. In
addition, there is relatively a large amount of withdrawing of irrigation water and
blockading subak’s groud pathawy by other sectors such as Municipal Waterwork,
hotels and other tourism components.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
76
Table 4. The result of regression analysis on factors of subak affecting
the success of metaphysical agriculture
No Factor of Subak Coeficient t-ratio Sig.
1 Constant -8.039 -7.731 0.000*
2 Authority of subak to determine their own life 0.297 6.074 0.000* 3 Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule) 0.335 4.632 0.000*
4 Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) 0.227 3.731 0.001*
5 Social relation of subak to desa adat 0.106 2.240 0.031* 6 Intensity of discussion Weda script in subak 0.131 1.480 0.147
ns
R Square = 0.9938 F = 1201.5* Informations: * = significantly; ns = non significantly
4. CLOSURE
4.1 Conclusions
Based on the previous descriptions, it could be concluded as follows.
1. The level of success of metaphysical agriculture was categorized into
medium.
2. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness
of awig-awig; and Effectiveness of sangkepan were strongly affected the
success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to
desa adat was quitely affected the success of metaphysical agriculture, but
Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the
success of metaphysical agriculture.
4.2 POLICY IMPLICATION
Based on the findings in this research, it could be formulated policy
implications as follows.
1. It needs an assistance process at subak to revitalize metaphysical
agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with
sophisticated technology. First before this program, disseminating
explanation regarding: implementation of meaningful ritual for agriculture
and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda.
2. More adroitly to decipher sangkepan and awig-awig, and more
aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig.
3. It requires pilot project activity, namely by performing assistance for the
formation of farmer cooperative at some subaks.
REFERENCES
Geriya, W., Yudha Triguna, dan I Nyoman Dhana, 2006. Pola Kehidupan
Petani Subak Di Bali. Javanologi: Denpasar.
Haferkamp, H. and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity.
The University of California Press: Berkeley.
Namayudha, I.B., 1999. Upacara Ngusaba Nini. Parisada Hindu: Denpasar.
Narayana, S.S. 1996. Discourses on Bhagawad Gita. Sri sathya Sai Book and
Publication Trust: Bangalore-India.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
77
Popper, K.R. 1983. Realism and The Aim of Science. Rowman and Littlefied:
New Jersey.
Windia, W., Ketut Suamba and Wayan Sudarta. 2010. The Development of
Food Security Model Based on Subak System In Bali. Jurnal SOCA.
Vol. 10. No.1. Februari 2010: 8-14.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
78
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN
HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN
KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan
Ni Made Muriati1)
dan Wayan Guwet Hadiwijaya2)
1)
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali
2)
Jurusan Agroteknologi Universitas mahasaraswati Denpasar
Abstrak
Tujuan penelitian yaitu: (1) mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang
menentukan kelangsungan hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa
Kusamba; (2) mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan;
dan (3) merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra
pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak
terhadap lingkungan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang (50
orang dari unsur pemilik usaha dan 50 orang dari unsur pekerja). Analisis data
yang digunakan adalah pendekatan konsep manajemen strategis yang dilakukan
secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada. Posisi
ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-strategi untuk
memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang dihadapi.
Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan sebaiknya menerapkan strategi
pertahankan dan pelihara. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus
menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik
serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang
produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi
tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup
(sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan
kompetitif dalam pengembangan produk.
Kata kunci: Hasil perikanan, Pindang, Strategi, Internal dan Eksternal
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Klungkung mempunyai luas wilayah 315 km² yang terletak di
antara 115º21’28” - 115º37’43”BT dan 8º 49’00” LS, dengan panjang pantai
keseluruhan ± 144 km. Potensi perikanan laut di Kabupaten Klungkung cukup
tinggi terutama perikanan tangkap. Potensi tersebut diperkirakan sebesar 4.140,7
ton per tahun yang terdiri atas ikan pelagis 2.898,2 ton dan ikan demersal 1.242,5
ton.
Program pembangunan perikanan laut di Kabupaten Klungkung terutama
diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas melalui pemberdayaan SDM
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
79
nelayan, pembudidaya pengolah, masyarakat pesisir lainnya, peningkatan nilai
tambah dan mutu produk serta pemasaran, menciptakan iklim usaha yang
kondusif, peningkatan dan pengembangan kemitraan usaha dan peningkatan
kapasitas kelembagaan, meningkatkan dan daya dukung serta kualitas lingkungan
perairan. Produk hasil perikanan merupakan sumber protein hewani yang
bermutu dan sangat bermanfaat bagi tubuh manusia dan merupakan komoditas
ekspor hasil perikanan yang telah menyumbangkan devisa. Namun di pihak lain
kerugian atau kerusakan produk hasil perikanan (losses) mencapai 20 % akibat
penanganan yang kurang baik. Penanganan ikan segar merupakan salah satu
bagian penting dari mata rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi
mutu yang dihasilkan.
Pada sektor kelautan dan perikanan usaha pengolahan hasil perikanan pada
umumnya masih didominasi oleh pengolahan ikan berskala usaha mikro, kecil dan
menengah. Usaha pengolahan perikanan umumnya masih bersifat tradisional,
cendrung dikelola oleh anggota turun-temurun dengan kapasitas produksi yang
terbatas, dengan kegiatan usaha bersifat rutinitas. Usaha pengolahan hasil
perikanan berskala miro kecil biasanya lemah dalam berbagai dimensinya, lemah
dalam aspek permodalan, teknologi dan informasi, lemah dalam manjemen dan
pemasaran, umumnya tersebar parsial, sehingga pada umumnya belum memenuhi
standar sesuai ketentuan, sehingga hasilnya belum mampu bersaing dengan
produk lainya. Mereka juga dihadapkan pada kesulitan melakukan penguatan
internal, seperti peningkatan produktivitas, riset pengembangan produk, pelatihan
dan bimbingan SDM serta promosi usaha.
Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, yaitu
meningkatkan kapasitas usaha bersekala ekonomi dengan kelembagaan yang kuat
serta dikelola secara profesional dengan akses dan penetrasi pasar yang kuat dan
berdaya saing, serta mampu berproduksi lebih efisien dalam kawasan
pengembangan, dan dalam rangka meningkatkan percepatan pemberdayaan dan
pembinaan unit-unit pengolahan ikan (UPI) dan revitalisasi industri pengolahan,
maka diperlukan penerapan konsep pengembangan sentra pengolahan hasil
perikanan melalui pendekatan pengembangan sentra-sentra pengolahan dan
strukturisasi UKM Pengolahan Hasil Perikanan. Upaya ini dilakukan dengan
memberikan dukungan kebijakan dan program penyediaan lembaga layanan
pengembangan bisnis yang dilakukan secara terpadu di lokasi kawasan produksi
perikanan.
Salah satu usaha pengolahan ikan yang sudah berkembang di kabupaten
Klungkung adalah pengolahan pindang. Usaha pengolahan pindang tersebut
berada di Desa Kusamba yang terletak di wilayah Kecamatan Dawan. Usaha ini
sudah ada sejak lama dan merupakan salah satu bentuk aktivitas ekonomi
masyarakat Desa Kusamba yang berbasis rumah tangga. Pada awalnya kegiatan
pengolahan pindang dilakukan di rumah-rumah penduduk, bahan baku hanya
diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan setempat, proses pengolahan masih
dilakukan secara tradisional. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan, karena
tercampurnya aktivitas rumah tangga dan aktivitas produksi sehingga lingkungan
di rumah menjadi kumuh, kotor dan berbau, produksinya terbatas karena
kekurangan bahan baku dan mutu produk belum terjamin.
Untuk memudahkan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan
pengolahan pindang di Desa Kusamba, maka pada tahun 1998 pemerintah
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
80
membangun bangsal pemindangan dengan tujuan untuk penataan kegiatan
pengolahan pindang dari lingkungan perumahan ke lokasi khusus pemindangan
dan menjadikan lokasi tersebut sebagai Sentra Pemindangan .
Pada tahun 2007, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor: KEP.01/MEN/2007, tentang Lokasi Pengembangan
Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Sentra Pengolahan Pindang di Desa
Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung ditetapkan sebagai lokasi
Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan. Akan tetapi dalam
perkembangannya, fasilitas yang disediakan meliputi penyediaan sarana prasarana
yang ada tidak berfungsi sesuai dengan harapan, misalnya proses pengolahan ikan
belum dilakukan dengan baik, drainase yang penuh dengan sampah dan sisa-sisa
pengolahan yang menyebabkan aliran air tidak lancar sehingga menimbulkan bau.
Di samping itu konstruksi bangunan belum memenuhi standar karena dari segi
sanitasi dan hygienitas kurang memenuhi syarat, sehingga berdampak pada
kualitas dan mutu produk.
Melihat permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu strategi untuk
mengembangkan sentra pemindangan di Desa Kusamba. Upaya tersebut
bertujuan menjadikan sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi
persyaratan kelayakan unit pengolahan dan kelayakan pengolahan sehingga
menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk di konsumsi seta sehat dan
nyaman bagi para pelaku usaha.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan
beberapa permasalahan, yaitu.
1. bagaimanakah kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan
hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba?
2. bagaimanakah kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal
yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di
Desa Kusamba?
3. bagaimana strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra
pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak
terhadap lingkungan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan umum penelitian ini
adalah untuk mengembangkan sentra pengolahan pindang di Desa Kusamba
menjadi sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi persyaratan unit
pengolahan dan dapat menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk
dikonsumsi serta menguasai pasar. Sedangakan tujuan khususnya adalah sebagai
berikut.
1. Mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan
hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba.
2. Mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di Desa
Kusamba.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
81
3. Merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra
pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak
terhadap lingkungan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut;
1. Memberikan informasi dan masukan pada bidang kajian perencanaan dan
pengembangan wilayah khususnya yang berkaitan dengan pembangunan atau
pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
2. Memberikan masukan kepada Pemerintah atau pengambil kebijakan, sebagai
kebijakan dalam upaya pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba
Kabupaten Klungkung dengan pertimbangan Sentra Pengolahan Pemindangan
Desa Kusamba Kabupaten Klungkung merupakan salah satu pengembangan
sentra pengolahan hasil perikanan di Provinsi Bali. Penelitian dilakukan pada
bulan Desember 2011
2.2 Penentuan Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku usaha pengolah hasil
perikanan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba, Kabupaten
Klungkung yang berjumlah 50 unit usaha. Pada setiap unit usaha diambil masing-
masing satu orang responden dari unsur pemilik, dan satu orang dari unsur
pekerja. Sehinga seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.
Khusus untuk pemberian rating atau peringkat untuk masing-masing faktor
internal maupun eksternal, diajukan kepada beberapa responden yang
berkompeten dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, yaitu:
para pemilik usaha pemindangan yang paling maju (10 rang), Kepala Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Klungkung, dan dua orang pakar agribisnis
perikanan di Bali.
2.3 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian adalah data
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berwujud kuantitas
atau angka yang merupakan hasil membilang atau mengukur, seperti luas lahan
usaha, kapasitas produksi, jumlah produksi, biaya produksi dan besarnya
pendapatan usaha. Data kualitatif yaitu berupa keterangan atau uraian yang
berkaitan dengan objek penelitian dan tidak dapat dihitung atau tidak berupa
angka melainkan keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1) Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta keterangan
langsung kepada responden melalui daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
82
2) Wawancara mendalam, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta
keterangan langsung kepada para informan melalui pedoman wawancara yang
telah dipersiapkan sebelumnya.
3) Observasi, yaitu suatu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di
lapangan untuk menguji dan melengkapi data lainnya.
4) Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dan informasi yang telah tercatat pada
berbagai dokumen tentang berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian.
2.4 Metode Analisis Data
Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah pendekatan
konsep manajemen strategis. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan
disajikan dalam bentuk uraian.
2.4.1 Analisis lingkungan internal dan eksternal
Langkah ringkas untuk mengidentifikasi faktor internal adalah dengan
menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) yang meringkas dan
mengevaluasi faktor internal yakni kekuatan dan kelemahan perusahaan di
bidang-bidang fungsional (David, 2001). Tujuan dari penilaian faktor eksternal
adalah mengembangkan daftar terbatas peluang yang dapat dimanfaatkan
perusahaan dan ancaman yang harus dihindari. Langkah yang ringkas dalam
melakukan penilaian faktor eksternal adalah dengan menggunakan matriks EFE
(Eksternal Faktor Evaluation). Matriks ini mengarahkan perumus strategi untuk
mengevaluasi informasi dari luar perusahaan.
Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap varibel
terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus (Kinnear,
1996) :
Dimana: αi = bobot variabel ke-i
Xi = nilai variabel ke-i
i = 1,2,3…n
n = jumlah variabel
Penilaian setiap variabel baik yang merupakan faktor internal maupun eksternal
perusahaan menggunakan skor skala empat, di mana kekuatan masing-masing
variabel tersebut dinilai sebagai sangat lemah (skor 1), lemah (skor 2), kuat (skor
3) dan sangat kuat (skor 4).
Berikan rating atau peringkat (dalam kolom 4) untuk masing-masing
faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1
(poor), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan
yang bersangkutan (seperti contoh matriks evaluasi faktor internal pada Tabel 1).
Pemberian nilai rating kekuatan pada matriks IFE dengan skala yang digunakan,
yaitu: 1 = sangat lemah; 2 = lemah; 3 = kuat; dan 4 = sangat kuat. Sedangkan
faktor yang menjadi kelemahan pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya.
Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk
memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor
Xi
αi = n
∑ Xi
1
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
83
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0
(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
Tabel 1. Contoh Matriks evaluasi faktor internal
No Kekuatan Bobot Rating Skor
1
2
…..
…..
…..
…..
…..
SDM yang terampil, disiplin dan ulet
Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
Kelemahan
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
Tidak aktif dalam kelompok usaha yang ada
Tidak melakukan promosi
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
Pemberian nilai rating peluang pada matriks EFE dengan skala yang digunakan,
yaitu: 1 = rendah (respon kurang); 2 = sedang (respon sama dengan rata-rata); 3 =
tinggi (respon di atas rata-rata); dan 4 = sangat tinggi (respon jauh di atas rata-
rata). Sedangkan untuk faktor yang menjadi ancaman pemberian nilai rating
dilakukan sebaliknya (seperti contoh matriks evaluasi faktor eksternal pada Tabel
2). Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk
memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0
(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
Tabel 2. Contoh Matriks evaluasi faktor eksternal
No Peluang Bobot Rating Skor
1
2
…..
…..
…..
…..
…..
Permintaan terhadap pindang yang tinggi
Kepercayaan dari pihak Bank
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
Ancaman
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
Mahalnya harga ikan dan bahan bakar
Banyaknya pesaing
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
84
2.4.2 Matriks i-e (internal-eksternal)
Sumbu horizontal pada matriks IE menunjukkan skor total IFE, sedangkan
pada sumbu vertical menunjukkan skor total EFE. Pada sumbu horizontal skor
antara 1,00 – 1,99 menunjukkan posisi internal lemah. Skor 2,00 – 2,99
menunjukkan posisi internal rata-rata, dan skor 3,00 – 4,00 menunjukkan posisi
internal kuat. Begitu pula pada sumbu vertikal yang menunjukkan pengaruh
eksternal (lihat Gambar 1)
I II III
IV V VI
VII VIII IX
Gambar 1. Matriks Internal-Eksternal (IE)
Diagram tersebut dapat mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan
perusahaan, tetapi pada prinsipnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan
menjadi tiga strategi utama, yaitu
a. Sel I, II dan IV disebut strategi tumbuh dan bina. Strategi yang cocok
adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan
pengembangan produk) atau strategi integratif (integrasi ke belakang,
kedepan dan horizontal).
b. Sel III, V dan VII disebut strategi pertahankan dan pelihara. Penetrasi
pasar dan pengembangan produk merupakan dua strategi yang banyak
dilakukan apabila perusahaan berada di dalam sel ini.
c. Sel VI, VII dan IX disebut strategi panen dan diversifikasi.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan serta Peluang dan Ancaman
Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Faktor-faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan serta peluang dan ancaman perusahaan pada Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan berasal dari identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang
telah digunakan di atas. Hasil identifikasi ini kemudian digunakan untuk
menyusun matriks IFE dan EFE .
1. Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan
Identifikasi faktor internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden. Hasil ringkasan
faktor strategis internal disajikan pada Tabel 3
Tinggi Rata-rata Lemah
4,0 3,0 2,0 1,0
1,0
2,0
3,0
4,0 Tinggi
Sedang
Rendah
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
85
Tabel 3. Faktor Strategis Internal Sentra pengolahan hasil perikanan
No Kode Kekuatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
A
B
C
D
E
F
G
H
SDM yang terampil, disiplin dan ulet
Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik
Teknologi pemindangan yang mudah dikuasai
Dekat dengan tempat pendaratan ikan
Memiliki mobil operasional
Sistem pemasaran (jalur distribusi) yang jelas
Modal cukup besar
Lahan usaha yang cukup luas
Kelemahan
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
I
J
K
L
M
N
O
Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha
pemindangan masih rendah
Letak sentra pengolahan hasil perikanan dekat dengan
pemukiman penduduk
Tata letak bangunan dan jalan/gang antar unit pengolahan
Produk mudah rusak/tidak tahan lama
Masih menggunakan modal pribadi
Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif
Tidak melakukan promosi
2. Identifikasi Peluang dan Ancaman Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Sejumlah peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan pada sentra
pengolahan hasil perikanan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden
masyarakat pengolah pindang, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Hasil
ringkasan faktor strategis eksternal disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Fakator Strategis Eksternal Sentra pengolahan hasil perikanan
No Kode Peluang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
A
B
C
D
E
F
G
Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi
Kepercayaan dari pihak Bank
Infrastruktur jalan yang baik
Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan
merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung
Pangsa pasar untuk Bali cukup prospektif
Kondisi ekonomi masyarakat Bali yang sangat baik
Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang
cukup tinggi dan mumpuni
Ancaman
8.
9.
10.
11.
12.
H
I
J
K
L
Cuaca yang tidak menentu sehingga dapat mengurangi
ketersedian bahan baku
Mahalnya harga ikan dan bahan bakar
Banyaknya pesaing
Gangguan kesehatan para pengolah
Keamanan lingkungan dari gangguan luar
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
86
3. Tahap Masukan Skala Besar dan Kecil
1) Matriks Evaluasi Faktor Internal
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap faktor-faktor internal,
selanjutnya dilakukan pembobotan untuk melihat derajat kepentingan atau
pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap perusahaan sentra
pengolahan hasil perikanan serta pemberian rating untuk mengetahui kemampuan
perusahaan menjalankan usahanya.
Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama
bagi perusahaan, yaitu:
a) SDM yang terampil, disiplin dan ulet
b) Memiliki mobil operasional
c) Lahan usaha yang cukup luas
Sedangakan faktor internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra
pengolahan hasil perikanan, yaitu:
a) Sanitasi yang buruk
b) Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha
pemindangan masih rendah
c) Kelayakan unit pengolahan hasil perikanan
d) Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif
e) Tidak melakukan promosi
Jumlah skor 2,67 menunjukkan bahwa sentra pengolahan hasil perikanan
berada sedikit di atas rata-rata (2,50) dalam kekuatan internal keseluruhannya.
Hal ini menunjukkan posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan
cukup mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan
yang ada.
Tabel 5. Matriks Evaluasi Faktor Internal Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
No Kode Bobot Rating Skor
1. A 0.08 4 0.33
2. B 0.06 3 0.17
3. C 0.06 3 0.17
4. D 0.08 4 0.33
5. E 0.05 4 0.20
6. F 0.06 4 0.23
7. G 0.08 4 0.32
8. H 0.08 2 0.16
9. I 0.08 2 0.15
10. J 0.05 1 0.05
11. K 0.08 2 0.16
12. L 0.05 1 0.05
13. M 0.05 1 0.05
14. N 0.07 2 0.15
15. O 0.08 2 0.15
Total 2.67
2) Matriks Evaluasi Faktor Eksternal
Hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 6 diperoleh total skor 2,58
(sedikit di atas rata-rata 2,50). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sentra
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
87
pengolahan hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan
strategi-strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi
ancaman yang dihadapi.
Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan
berpengaruh terhadap perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu:
a) Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi
b) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan
merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung
c) Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup
tinggi dan mumpuni.
Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan, yaitu:
a) Mahalnya harga ikan dan bahan bakar
b) Gangguan kesehatan para pengolah
c) Keamanan lingkungan dari gangguan luar.
Tabel 6. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan
No Kode Bobot Rating Skor
1. A 0.10 4 0.40
2. B 0.06 2 0.13
3. C 0.07 3 0.20
4. D 0.10 4 0.40
5. E 0.10 3 0.31
6. F 0.07 3 0.21
7. G 0.09 3 0.26
8. H 0.07 1 0.07
9. I 0.09 2 0.17
10. J 0.08 1 0.08
11. K 0.09 2 0.18
12. L 0.09 2 0.17
Total 2.58
3.2 Strategi Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Setelah proses pengumpulan informasi internal dan eksternal yang
dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE, selanjutnya informasi-informasi ini
menjadi input untuk perumusan strategi pengembangan yang dapat diwujudkan
dalam bentuk matriks I-E dari analisis SWOT. Dalam tahap perumusan strategi
pengembangan ini, perencana strategi dapat melakukan perpaduan antara
sumberdaya dan keterampilan internal dengan peluang dan ancaman yang
diciptakan oleh faktor-faktor eksternal.
Beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan para pelaku usaha pada
sentra pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dilakukan seperti berikut.
1. Biaya input ikan hasil tangkapan dan bahan bakar yang mahal
sementara harga jual pindang itu rendah, maka diimbangi dengan
meningkatkan efisiensi produksi. Lebih mengaktifkan dan
meningkatkan efektifitas kelembagaan kelompok pengolahan hasil
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
88
perikanan dalam menetapkan harga produk serta penanganan input dan
promosi produk.
2. Diperlukan perencanaan usaha dengan pertimbangan faktor waktu
mengingat sifat produk yang tidak tahan lama, termsuk dibutuhkannya
teknologi preservasi.
3. Diperlukan kerja sama antar unit usaha pengolahan perikanan berskala
besar dan kecil untuk bersama-sama maju dan berkembang, misalnya
untuk memenuhi tingginya permintaan akan produk hasil pengolahan
perikanan.
4. Lebih membangun sistem agribisnis perikanan yang secara terintegrasi
dari hulu sampai hilir dan membangun jaringan distribusi yang mantap
serta meningkatkan kualitas produk pengolahan perikanan untuk
menghadapi persaingan dengan produk pengolahan perikanan dari
daerah lain atau luar Bali.
5. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para pelaku usaha
pengolahan perikanan dalam mengelola limbah hasil kegiatan produksi
yang kini terlihat masih sangat lemah dan kurang. Termasuk
didalamnya mengenakan sanksi-sanksi yang tegas kepada unit-unit
usaha pengolahan perikanan yang mengabaikan upaya pengelolaan
limbah yang dapat mencemari lingkungan.
6. Menetapkan standar kelayakan unit pengolahan hasil perikanan yang
tepat yang dapat memperbaiki sanitasi, kenyamanan kerja serta
mencegah mewabahnya penyakit yang mengancam kesehatan para
pengolah hasil perikanan.
7. Meningkatkan dukungan Bank dan atau lembaga keuangan lainnya
dalam memberikan kredit ringan untuk meningkatkan produksi dan
kualitas pengelolaan limbah, yang dilakukan baik secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama. Termasuk dukungan pemerintah
daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan.
Focus strategi yang tepat untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan
dengan menggunakan matriks I-E dapat dijelaskan seperti pada uraian berikut ini.
1. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Matriks I-E digunakan untuk melihat strategi mana yang tepat diterapkan
untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan. Matriks I-E melibatkan
semua komponen unit-unit usaha dalam sentra pengolahan hasil perikanan ke
dalam diagram skematis sehingga disebut matriks portofolio. Setelah
mendapatkan nilai total skor bobot dari faktor internal (IFE) dan faktor eksternal
(EFE) sentra pengolahan hasil perikanan, nilai-nilai tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam matriks Internal-Eksternal (I-E).
Berdasarkan hasil analisis faktor internal menggunakan IFE diperoleh skor
2,67 dan hasil analisis faktor eksternal menggunakan EFE diperoleh skor 2,58
yang menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada sel V
(lihat Gambar 2). Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra
pengolahan hasil perikanan memiliki kondisi internal pada level rata-rata dan
kondisi eksternal pada level sedang, sehingga sebaiknya menerapkan strategi
pertahankan dan pelihara. Artinya perusahaan sentra pengolahan hasil
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
89
perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi
yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang
menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan
lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan
kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta
memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk.
Gambar 2. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Berdasarkan posisi sel V, maka tipe strategi utama yang dapat diterapkan adalah
strategi intensif dalam bentuk penetrasi pasar, pengembangan produk dan pasar,
perbaikan kelayakan unit pengolahan serta peningkatan kapasitas kelembagaan
dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan.
Penetrasi pasar atau pertumbuhan terkosentrasi dapat dilakukan dengan:
1. Menambah tingkat penggunaan pelanggan lama melalui: menambah
jumlah pembelian, mengiklankan penggunaan lain, dan memberi
insentif harga untuk penggunaan lebih banyak.
2. Memikat pelanggan pesaing melalui mempertajam diferensiasi merk,
meningkatkan promosi dan menurunkan harga.
3. Memikat bukan pengguna untuk membeli produk melalui: merangsang
keinginan mencoba produk contoh (sampling), insentif harga dan
mengiklankan penggunaan baru.
Strategi pengembangan pasar yang dapat dilakukan yakni dengan
menambah daerah pasar sasaran. Selama ini produk sentra pengolahan ikan di
Kusamba hanya dipasarkan di wilayah Klungkung, Denpasar dan Badung. Perlu
dilakukan ekspansi pasar dengan menembus seluruh wilayah Bali serta Lombok
Barat.
Strategi pengembangan produk berkaitan erat dengan pencitraan produk.
Tidak sulit bagi perusahaan sentra pengolahan perikanan untuk melakukan
pengembangan produk dalam bentuk selain pindang, seperti pepes, otak-otak atau
produk setengah jadi untuk dipasarkan ke restoran dan super market. Selain itu
yang harus dipertahankan adalah adanya perlakuan sebelum produk dipasarkan,
yaitu dengan seleksi, standarisasi atau grading. Sehingga didapatkan produk
pengolahan ikan yang berkualitas tinggi. Penggunaan merk yang selama ini tidak
dilakukan, sebaiknya dibrikan merk untuk membangun citra produk dan
memudahkan pelanggan untuk mengingat produk sentra pengolahan perikanan
yang telah beredar.
Perbaikan kelayakan unit pengolahan dapat dilakukan dengan membangun
layout/tata letak bangunan unit pengolahan sedemikian rupa agar efisien, murah,
praktis, memudahkan dalam bekerja, memudahkan dalam pengelolaan limbah dan
tampak indah. Peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dicapai dengan
pemberdayaan kelompok pekerja dan pelaku usaha pengolahan ikan, yaitu melalui
restrukturisasi kepengurusan, penguatan modal kelompok serta pola pembinaan
Tinggi
Sedang
Rendah
I II III
IV VI
VII VIII IX
4,0 3,0 2,0 1,0
3,0
2,0 1,0
Tinggi Rata-rata
Lemah
V
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
90
dan pengembangan dapat dilakukan dengan kombinasi Pola Empu dan Pola
Pemasaran Bapak Angkat. Hal ini dapat diupayakan dengan membuat
kesepakatan dan kerja sama dengan pihak terkait berdasar MoU. Pola Empu
dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dengan menempatkan seorang pakar,
di mana secara berencana dan berkesinambungan melaksanakan pembinaan dan
membantu pengembangan. Pola Bapak Angkat lebih ditekankan pada bantuan
modal kerja dan penjaminan resiko usaha serta membantu dalam pendekatan
akses pasar untuk menjual produk dalam hal ini dilakukan dengan mengundang
pengusaha mitra, badan atau LSM.
Peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan adalah melalui
memberi bantuan dana pembangunan IPAL dan bahan penetralisir limbah.
Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap unit-unit usaha pengolahan
ikan pada sentra pengolahan perikanan dalam hal pengelolaan lingkungan masih
sangat perlu ditingkatkan. Di antaranya dengan menjadi agensia teknologi dan
fasilitas pengelolaan limbah cair hasil kegiatan pengolahan ikan, serta dengan
memberikan kontrol, pengawasan dan sanksi yang lebih ketat terhadap pelaku
usaha yang melakukan pencemaran lingkungan.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan:
1) Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama bagi
perusahaan, yaitu: (1) SDM yang terampil, disiplin dan ulet; (2) Memiliki
mobil operasional; dan (3) Lahan usaha yang cukup luas. Sedangakan faktor
internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra pengolahan
hasil perikanan, yaitu: (1) Sanitasi yang buruk; (2) Pengetahuan dan sikap
terhadap pengelolaan limbah usaha pemindangan masih rendah; (3) Kelayakan
unit pengolahan hasil perikanan; (4) Kelembagaan kelompok pengolahan
perikanan kurang aktif; dan (5) Tidak melakukan promosi. Posisi internal
perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu memanfaatkan
kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada.
2) Posisi ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan
hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-
strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang
dihadapi. Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan
berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu: (1) Permintaan terhadap pindang ikan
yang cukup tinggi; (2) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan
perikanan merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung; (3)
Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup tinggi dan
mumpuni. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan, yaitu: (1) Mahalnya
harga ikan dan bahan bakar; (2) Gangguan kesehatan para pengolah; dan (3)
Keamanan lingkungan dari gangguan luar.
3) Matriks I-E menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada
sel V. Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan sebaiknya menerapkan strategi pertahankan dan pelihara.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
91
4.2 Saran
Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini dapat disarankan
sebagai berikut. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus menjaga dan
mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta
melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi,
pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya
kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable)
sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam
pengembangan produk.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan untuk
Kesejahteraan Rakyat. Penerbit LISPI, Jakarta.
David, FR., 2001. Manajemen Strategik. Prenhallindo, Jakarta.
Downey, W.D. dan S.P. Erickson, 1992. Manajemen Agribisnis. Diterjemahkan
oleh Ganda S. dan A. Sirait dari Agribusiness Management.
Erlangga, Jakarta.
Hadiwiyoto,S., 1993. Teknik pengolahan Hasil Perikanan. Liberty, Yogyakarta.
Kinnear, TL. dan Taylor, 1996. Marketing Research An Aplied Approach
5th
Edition. Mc Graw Hill, New York.
Kotler, P., 1991. Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan
Jaka Warsana. Airlangga, Jakarta.
Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT TehNPK Membedah Kasus Bisnis.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Resssohadiprojo, S., 1992. Manajemen Strategik . BPFE UGM, Yoyakarta.
Rustam, 2002. Pendapatan Menurut Standar Akutansi Keuangan. Digilib Usu,
Medan.
Suparta, N., 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. CV Bali Media
Adhikarsa, Denpasar.
Suwarsono, M., 2005. Manajemen Strategik. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.