BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi uraian atas teori-teori yang berkaitan dengan LSB, validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, dimensi kualitas produk serta metode yang akan digunakan dalam pengembangan desain. Teori-teori tersebut diuraikan dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai landasan dalam melakukan penelitian ini. Selain itu bab ini juga berisi penjelasan tentang perbandingan antara penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini. 2.1 Long Spinal Board (LSB) LSB adalah alat yang digunakan untuk imobilisasi tulang belakang bagi korban kecelakaan yang diduga memiliki cedera tulang belakang (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2004). Bentuk dasar dari seperangkat LSB dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Seperangkat LSB Standar Merek Ferno (Sumber: http://www.ferno.com.au/, 2015) Papan LSB Tali Pengikat Penahan Leher Penahan Kepala
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi uraian atas teori-teori yang berkaitan dengan LSB, validitas
dan reliabilitas instrumen penelitian, dimensi kualitas produk serta metode yang
akan digunakan dalam pengembangan desain. Teori-teori tersebut diuraikan
dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai landasan dalam melakukan penelitian
ini. Selain itu bab ini juga berisi penjelasan tentang perbandingan antara
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini.
2.1 Long Spinal Board (LSB)
LSB adalah alat yang digunakan untuk imobilisasi tulang belakang bagi
korban kecelakaan yang diduga memiliki cedera tulang belakang (American
College of Surgeons Committee on Trauma, 2004). Bentuk dasar dari seperangkat
LSB dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Seperangkat LSB Standar Merek Ferno (Sumber: http://www.ferno.com.au/, 2015)
LSB serbaguna untuk digunakan pada lingkungan pra-Rumah sakit karena
memiliki beberapa fungsi lain diantaranya sebagai perangkat untuk pengangkatan
korban, perangkat untuk melakukan transfer korban, perangkat perlindungan
korban selama berada dalam kendaraan serta perangkat untuk imobilisasi korban
dengan fraktur berat pada tulang belakang, kaki atau panggul. Meskipun ada
banyak upaya untuk menggantikan penggunaan alat ini namun tidak ada
kemampuannya dalam merefleksikan konstruk teoritis yang mendasari
penyusunan instrumen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa validitas konstruk
dapat secara tepat menilai kesahihan suatu instrumen karena dapat menentukan
ketepatan dan kecermatan dalam mengukur apa yang hendak diukur. Semua
customer requirement pada instrumen yang telah memiliki validitas konstruk
berarti telah dapat mengukur konsep yang ingin diukur (Yusrizal, 2008). Beberapa
cara yang digunakan untuk menguji validitas konstruk adalah contrasted groups,
pengujian hipotesis, analisis faktor dan MT-MM (Devon et al., 2007).
Salah satu uji validitas dengan pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan
mencari korelasi Pearson Product Moment menggunakan program SPSS. Analisis
ini dengan cara mengkorelasikan masing-masing skor item dengan skor total.
Skor total adalah penjumlahan dari keseluruhan item. Item-item pertanyaan yang
berkorelasi signifikan dengan skor total menunjukkan item-item tersebut mampu
memberikan dukungan dalam mengungkap apa yang ingin diungkap. Pengujian
menggunakan uji dua pihak dengan taraf signifikansi 0,05. Kriteria pengujian
adalah sebagai berikut (Putra et al., 2014):
1. Jika r hitung ≥ r tabel (uji dua pihak dengan sig. 0,05) maka instrumen
atau item-item pertanyaan berkorelasi signifikan terhadap skor total
(dinyatakan valid).
2. Jika r hitung < r tabel (uji dua sisi dengan sig. 0,05) maka instrumen atau
item-item pertanyaan tidak berkorelasi signifikan terhadap skor total
(dinyatakan tidak valid).
Rumus dari korelasi Pearson Product Moment yaitu:
r hitung = n . (ΣXY ) - (ΣX ) .(Σ Y )
√ (n .ΣX2 - (ΣX )2) .( n . ΣY2 - (Σ Y )2)
...(2.1)
Keterangan:
X = Skor customer requirement
Y = Skor total customer requirement
n = Jumlah responden
9
2.2.2 Internal Consistency
Internal consistency adalah salah satu metode yang digunakan dalam
pengujian reliabilitas. Metode ini mengukur konsistensi dalam sebuah instrumen
dan mempertanyakan seberapa baik customer requirement di dalamnya dapat
mengukur perilaku responden dalam kegiatan pengukuran. Koefisien reliabilitas
pada metode ini diperoleh dari rata-rata interkorelasi antar semua customer
requirement pada hasil pengukuran (Drost, 2011).
Cara yang paling populer digunakan untuk uji reliabilitas dengan metode
internal consistency adalah menghitung koefisien alfa. Koefisien alfa
dipopulerkan oleh Cronbach (1951) sehingga sering disebut dengan Cronbanch’s
alpha. Kegunaan koefisien ini telah diakui secara umum dan lebih tepat
digunakan untuk memperkirakan reliabilitas pengukuran yang sifatnya
unidimensional. Hal ini mendasari pentingnya dilakukan perhitungan terhadap
Cronbanch’s alpha ketika menggunakan skala Likert, karena skala Likert
termasuk unidimensional. Melalui Cronbanch’s alpha, koefisien reliabilitas
internal consistency dapat diperoleh dengan menentukan hubungan antar satu
customer requirement dengan customer requirement lainnya dan hubungan antara
setiap customer requirement dengan keseluruhan customer requirement dalam
instrumen. Cronbanch’s alpha biasanya berkisar antara 0 dan 1, namun
sebenarnya tidak ada batas bawah untuk koefisien reliabilitas ini. Internal
consistency dari suatu instrumen akan semakin besar jika Cronbanch’s alpha
semakin mendekati nilai 1 (Gliem dan Gliem, 2003). Rumus Cronbanch’s alpha
yaitu (Warmbrod, 2014):
Cronbanch’s alpha ¿nn - 1 (1 - ΣVi
V obs )...(2.2)
Keterangan: n = Jumlah customer requirement pada instrumen
Vi = Variansi dari nilai pada setiap customer
requirement
10
Vobs = Total variansi dari nilai keseluruhan pengukuran
2.3 Dimensi Kualitas Produk
Kualitas produk didefinisikan sebagai ukuran terpenuhi atau terlampauinya
harapan pengguna atas persyaratan yang ada pada produk. Kualitas produk
menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan bagi industri manufaktur sehingga
mendasari Garvin (1987) untuk mengembangkan kerangka pengukur kualitas
produk. Kerangka tersebut terdiri atas delapan dimensi kualitas yang telah
mencakup berbagai konsep (Ashim dan Qureshi, 2014). Besterfield (1994)
kemudian melengkapi kerangka ini dengan menambahkan dimensi response
sehingga total dimensi kualitas menjadi sembilan. Kesembilan dimensi kualitas
tersebut yaitu (Besterfield, 1994):
1. Performance
Dimensi ini mengacu pada karakteristik utama dari produk, seperti
kenyamanan dan keamanan.
2. Features
Dimensi ini mengacu pada karakteristik sekunder dari produk atau dapat
dikatakan sebagai karakteristik yang melengkapi fungsi dasar suatu produk
contohnya remote control pada televisi.
3. Conformance
Dimensi ini mengacu pada kesesuaian antara produk dengan spesifikasi
atau standar industri contohnya keahlian pekerja dalam membuat produk.
4. Reliability
Dimensi ini mengacu pada konsistensi produk dalam memenuhi fungsi
dasarnya selama dipakai atau dapat dikatakan sebagai besarnya
kemungkinan produk mengalami kerusakan dalam periode waktu tertentu.
5. Durability
Dimensi ini mengacu pada umur pakai produk atau jumlah pemakaian
produk yang dapat diperoleh sebelum produk mengalami kerusakan atau
perlu perbaikan.
11
6. Service
Dimensi ini mengacu pada pemecahan masalah atau penyelesaian keluhan
atas produk contohnya kemudahan dan kecepatan produk untuk diperbaiki.
7. Response
Dimensi ini mengacu pada interaksi antar muka manusia yang berkaitan
dengan produk contohnya keramahan agen penjualan produk terhadap
pengguna.
8. Aesthetics
Dimensi ini mengacu pada bagaimana produk dilihat, didengar atau
dirasakan contohnya tampilan luar dari produk.
9. Reputation
Dimensi ini berkaitan dengan citra produk selama ini contohnya merek
produk atau peringkat yang telah diraih produk.
2.4 Pengembangan Produk
Pengembangan produk memiliki risiko kegagalan yang besar sehingga
perusahaan harus fokus pada kekurangan yang terdapat pada produk kemudian
menemukan dan mengukur kebutuhan dan keinginan pengguna secara tepat (Zaim
dan Sevkli, 2002). Beberapa teknik yang digunakan dalam pengembangan produk
antara lain model Kano, QFD (Quality Function Deployment), TRIZ (Teoriya
Resheniya Izobreatatelskikh Zadach) dan FMEA (Failure Mode Effect Analysis).
Teknik-teknik tersebut dapat membantu untuk mewujudkan atau meningkatkan
kualitas karena memenuhi kriteria sebagai berikut (Mazur, 2000):
1. Dapat diukur atau menggunakan metrik.
2. Secara sistematis mengikuti langkah didefinisikan dengan input, analisis,
dan output.
3. Menghasilkan dokumentasi untuk dapat diperiksa dan digunakan kembali.
2.4.1 Model Kano
12
Customer Satisfaction
Customer Dissatisfaction
Requirement Unfulfilled
Requirement Fulfilled
AttractiveOne-dimensional
Reverse
Must-be
Indifferent
Model Kano dikembangkan pada tahun 1984 oleh Noriaki Kano. Melalui
model ini dapat dilihat hubungan antara terpenuhinya persyaratan produk dengan
kepuasan pengguna. Diagram kano dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Diagram Kano (Sumber: Kano et al., 1984)
Sumbu horizontal pada diagram Kano menunjukkan sejauh mana customer
requirement pada produk dapat memenuhi kebutuhan pengguna dan sumbu
vertikal menunjukkan sejauh mana pengguna puas terhadap produk. Pada model
Kano customer requirement yang terdapat dalam produk dibagi ke dalam lima
kategori berdasarkan pengaruh pemenuhannya terhadap kepuasan pengguna.
Kelima kategori tersebut adalah Attractive, One-dimensional, Must be, Indifferent
dan Reverse. Kategori yang mempengaruhi kepuasan pengguna tertinggi adalah
Attractive, One-dimensional dan Must-be (Qiting et al., 2013). Berikut ini
penjelasan dari kategori-kategori tersebut (Kano et al., 1984):
1. Must-be
Kategori ini mengacu pada persyaratan dasar produk. Customer
requirement yang termasuk ke dalam kategori ini minimal harus ada atau
terpenuhi dalam suatu produk. Jika customer requirement ini tidak
dipenuhi maka pengguna akan merasa tidak puas dan tidak tertarik dengan
produk. Namun jika customer requirement ini sepenuhnya terpenuhi,
13
pengguna tetap hanya akan memperoleh kepuasan di tingkat standar, tanpa
ada kepuasan tambahan.
2. One-dimensional
Kategori ini harus diprioritaskan dalam pengembangan produk karena bisa
menjadi sumber kepuasan pengguna terhadap produk. Pengguna akan
semakin puas jika customer requirement yang termasuk dalam kategori ini
terpenuhi di dalam produk namun sebaliknya jika tidak terpenuhi
pengguna akan merasa tidak puas.
3. Attractive
Kategori ini berkaitan dengan customer requirement yang tidak secara
eksplisit dinyatakan atau diharapkan pengguna. Terpenuhinya customer
requirement yang termasuk dalam kategori ini di dalam produk akan
memberikan kepuasan kepada pengguna namun jika tidak terpenuhi,
pengguna tidak akan memperoleh ketidakpuasan.
4. Indifferent
Kategori ini tidak memberikan pengaruh besar terhadap produk karena
terpenuhi atau tidaknya customer requirement yang termasuk ke dalam
kategori ini, tidak akan memberikan kepuasan atau ketidakpuasan terhadap
pengguna.
5. Reverse
Customer requirement yang termasuk ke dalam kategori ini akan
memberikan ketidakpuasan terhadap pengguna jika terpenuhi dan begitu
juga sebaliknya akan memberikan kepuasan terhadap pengguna jika tidak
terpenuhi.
Keuntungan penggunaan model Kano adalah sebagai berikut (Qiting et al.,
2013):
1. Menentukan prioritas pengembangan.
Model Kano menunjukkan bahwa kategori must-be memiliki prioritas
tertinggi dalam pengembangan produk. Jika kategori ini telah terpenuhi,
14
maka inevstasi sebaiknya lebih dititikberatkan kepada peningkatan kualitas
kategori one-dimensional dan attractive.
2. Pemahaman yang lebih baik terhadap persyaratan produk.
Penggunaan model Kano dapat memberikan kemudahan dalam
mengidentifikasi secara kuantitatif customer requirement produk yang
dapat memberikan pengaruh lebih besar terhadap kepuasan pengguna
berdasarkan nilai koefisien kepuasan pengguna.
3. Pembeda antara karakteristik segmen pasar.
Segmen pasar yang berbeda dapat dibentuk berdasarkan harapan pengguna
terhadap produk yang ditunjukkan oleh hasil kuesioner dalam diagram
Kano.
4. Membantu dalam trade-off proses desain.
Model Kano bisa menentukan secara kuantitatif customer requirement
produk yang akan memberikan kepuasan lebih tinggi terhadap pengguna
jika dalam proses desain ditemui dua customer requirement yang
mengalami trade-off berdasarkan nilai koefisien kepuasan pengguna.
Langkah-langkah dalam menggunakan model Kano adalah sebagai berikut
(Qiting et al., 2013):
1. Pembuatan kuesioner Kano
Kuesioner Kano terdiri atas dua jenis pertanyaan berpasangan (fungsional
dan disfungsional) terkait customer requirement. Pertanyaan disfungsional
merupakan bentuk negatif dari pertanyaan fungsional. Setiap pertanyaan
memiliki lima alternatif jawaban. Kelima alternatif jawaban tersebut diberi
skor sebagai berikut:
1 = suka apabila dipenuhi (like)
2 = harus dipenuhi (must-be)
3 = netral (neutral)
4 = tidak suka tetapi jika dipenuhi tidak berpengaruh apapun (live with)
5 = sangat tidak suka jika dipenuhi (dislike)
15
2. Evaluasi hasil kuesioner
Langkah ini dilakukan dengan menggunakan tabel evaluasi Kano untuk
menghitung dan meringkas hasil. Tabel evaluasi Kano dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Evaluasi Kano (Sumber: Qiting et al., 2013)
1. Like 2. Must-be 3. Neutral 4. Live with 5. Dislike1. Like Q A A A O2. Must-be R I I I M3. Neutral R I I I M4. Live with R I I I M5. Dislike R R R R Q
FUNCTIONAL QUESTION
DISFUNCTIONAL QUESTION
Keterangan:
A = Attractive
O = One-dimensional
M = Must-be
I = Indifferent
R = Reverse
Q = Questionable result
3. Menentukan kategori Kano
Frekuensi setiap kategori pada setiap customer requirement direkapitulasi
kemudian kategori kano untuk setiap customer requirement ditentukan
dengan Blauth’s formula. Aturan Blauth’s formula adalah sebagai berikut:
a. Jika frekuensi kategori (O + A + M) > frekuensi kategori (I + R + Q),
maka kategori yang dipilih merupakan kategori yang memiliki nilai
paling maksimum diantara (O, A, M).
b. Jika frekuensi kategori (O + A + M) < frekuensi kategori (I + R + Q),
maka kategori yang dipilih merupakan kategori yang memiliki nilai
paling maksimum diantara (I, R, Q).
c. Jika frekuensi kategori (O + A + M) = frekuensi kategori (I + R + Q),
maka kategori yang dipilih harus mengikuti urutan prioritas M > O >
A > I.
4. Menentukan koefisien kepuasan pengguna
Koefisien kepuasan pengguna menunjukkan sejauh mana kepuasan
meningkat jika persyaratan produk terpenuhi atau sejauh mana kepuasan
16
berkurang jika persyaratan produk tidak terpenuhi. Hal ini berguna untuk
mengetahui rata-rata dampak persyaratan produk terhadap kepuasan semua
pengguna. Rumus untuk menghitung koefisien kepuasan pengguna yaitu:
Satisfaction Coefficients = A + OA + O + M + I
...(2.3)
Dissatisfaction Coefficients = O + MA + O + M + I
× -1 ...(2.4)
Satisfaction coefficients berada pada kisaran nilai 0 dan 1 dimana semakin
mendekati nilai 1 maka pengaruh customer requirement tersebut terhadap
kepuasan pengguna semakin tinggi. Hal ini juga berlaku pada
dissatisfaction coefficients yang nilainya berada pada kisaran 0 dan -1
sehingga semakin mendekati -1 maka pengaruh customer requirement
terhadap ketidakpuasan pengguna akan semakin tinggi.
2.4.2 QFD (Quality Function Deployment)
QFD adalah metode perencanaan dan pengembangan produk yang
terstruktur dan memungkinkan tim pengembang untuk menentukan dengan jelas
keinginan dan kebutuhan pengguna kemudian mengevaluasi secara sistematis
dampak setiap usulan atas produk terhadap pemenuhan kebutuhan tersebut. Proses
dalam QFD terdiri atas 4 fase. Masing-masing fase tersebut menggunakan matriks
untuk menerjemahkan persyaratan pengguna sehingga setiap fase menghasilkan
persyaratan produk yang semakin spesifik. Fase-fase tersebut antara lain (Jaiswal,
2012):
1. Perencanaan Produk:
Fase ini dipimpin oleh departemen pemasaran dan menitikberatkan pada
pengumpulan data yang tepat atas pengguna. Pada fase ini dibuat HoQ
(House of Quality) yang mencakup dokumen persyaratan pengguna, data
garansi, peluang kompetitif, pengukuran produk, pengukuran produk
saingan, dan kemampuan teknis perusahaan untuk memenuhi setiap
persyaratan pengguna.
17
2. Desain Produk:
Fase ini dipimpin oleh departemen teknik. Selama fase ini konsep produk
dibuat dan spesifikasi part produk didokumentasikan. Part yang
ditetapkan paling penting untuk memenuhi kebutuhan pengguna kemudian
diserahkan ke fase selanjutnya.
3. Perencanaan Proses
Fase ini dipimpin oleh manufacturing engineering. Selama fase ini aliran
proses manufaktur dari produk dibuat dan parameter proses
didokumentasikan.
4. Pengendalian Proses
Fase ini dipimpin oleh departemen penjaminan kualitas. Pada fase ini
indikator kinerja dibuat untuk memantau proses produksi, jadwal
perawatan dan pelatihan keterampilan bagi operator. Selain itu pada fase
ini ditentukan proses yang berisiko besar mengalami kegagalan sehingga
perlu memerlukan kontrol lebih untuk mencegah kegagalan tersebut.
Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan QFD antara lain (Jaiswal,
2012):
1. Minimasi waktu dan biaya pengembangan serta memperpendek siklus
desain. Selain itu secara signifikan mengurangi biaya, pengulangan dan
masalah start up.
2. Mengacu kepada kepuasan pengguna secara utuh.
3. Meningkatkan komunikasi dalam organisasi dimana partisipasi dan
kerjasama tim yang sifatnya multifungsi didorong secara bersama-sama.
4. Kualitas dan produktivitas pelayanan menjadi lebih tepat dalam proses
perbaikan yang berkesinambungan sehingga perusahaan dapat mencapai
kelas dunia.
5. QFD memperjelas prioritas pengguna untuk keunggulan kompetitif.
6. Memungkinkan seseorang untuk fokus secara proaktif pada persyaratan
pengguna di awal tahapan desain produk. Customer requirement yang
penting diidentifikasi untuk menjadi parameter desain sehingga
18
perencanaan produk jauh lebih mudah untuk dilaksanakan. Selain itu
diperoleh kepastian konsistensi antara perencanaan dan proses produksi
produk.
QFD tradisional memiliki banyak kelemahan dalam pelaksanaannya
terutama yang berkaitan dengan diagram HoQ (House of Quality). Kelemahan
tersebut antara lain (Zhang et al., 2014):
1. Ukuran matriks yang terlalu besar sehingga memakan waktu dan
meningkatkan kompleksitas perhitungan .
2. Kelengkapan dan efektivitas kebutuhan pengguna tidak dapat dijamin.
3. Penentuan karakteristik teknis produk bergantung pada individu perancang
yang tentunya memiliki subjektivitas yang kuat.
4. Metode QFD tradisional tidak melibatkan cara-cara khusus dan alat untuk
memecahkan masalah yang inovatif.
5. Metode QFD tradisional tidak melibatkan metode untuk evaluasi
alternatif.
Kelemahan pada QFD tradisional tersebut telah mendorong perlunya
pendekatan baru untuk penerapan metode QFD yaitu dengan cara menggabungkan
QFD dengan teknik lainnya (Bouchereau dan Rowlands, 2000). Penelitian
Hashim dan Dawal (2012) telah menunjukkan bahwa integrasi model Kano dan
QFD dapat diterapkan dalam pengembangan produk yang ergonomis. Langkah-
langkah pembuatan HoQ pada integrasi model Kano dan QFD yaitu (Hashim dan
Dawal, 2012):
1. Penentuan customer requirement
Customer requirement yang dimasukkan ke dalam HoQ adalah customer
requirement yang berdasarkan hasil model Kano termasuk kategori
attractive, one-dimensional atau must-be.
2. Penentuan k value
K value untuk kategori indifferent adalah 0, untuk kategori must-be adalah
0,5; untuk kategori one-dimensional adalah 1 dan untuk kategori attractive
adalah 1,5.
19
3. Penentuan tingkat kepentingan pengguna (i)
Nilai (i) untuk setiap customer requirement diperoleh dengan membagi
total nilai tingkat kepentingan pada setiap customer requirement dengan
jumlah pengguna. Nilai (i) berada pada rentang antara 1 sampai 5.
4. Penentuan nilai tingkat kepuasan pengguna (u)
Cara menentukan nilai (u) ini sama dengan nilai tingkat kepentingan,
5. Penentuan nilai adjustment factor (f)
Nilai adjustment factor ditentukan oleh nilai absolut maksimal antara
satisfaction coefficients dan dissatisfaction coefficients. Berikut ini rumus
untuk menentukan adjustment factor:
Adjustment factor = max ( [SC] , [DC] ) ...(2.5)
Keterangan:
SC = Satisfaction coefficients
DC = Dissatisfaction coefficients
6. Penentuan nilai improvement ratio (R0)
Rumus untuk menentukan improvement ratio adalah sebagai berikut:
Improvement ratio (R0) = tu ...(2.6)
Keterangan:
t = Target kepuasan pengguna
u = Tingkat kepuasan pengguna terhadap produk yang dikembangkan
7. Penentuan nilai adjusted improvement ratio (R1)
Rumus untuk menentukan nilai adjusted improvement ratio adalah:
1 Ekstrim serius Menyebabkan cacat, kematian atau hilangnya rasa aman2 Sangat kuat Menyebabkan kerugian3 Sedang Kerugian kecil atau hampir tidak ada4 Lemah Dapat diabaikan
Prosedur pelaksanaan FMEA adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi fungsi setiap bagian produk.
2. Mengidentifikasi alasan operasi tidak berjalan dengan mulus.
3. Menganalisis tingkat dari dampak dan memilih faktor kunci.
4. Mengusulkan strategi perbaikan untuk faktor kunci yang dipilih.
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang berkaitan dan mendasari penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu
27
Penulis (Tahun)
Tujuan Metode Hasil Penelitian
Hashim dan Dawal (2012)
Menunjukkan bahwa model Kano dan QFD mampu
meningkatkan desain stasiun kerja lokakarya sekolah menjadi lebih ergonomis
Model Kano dan QFD (Quality Function
Deployment )
Model Kano dan QFD dapat mengidentifikasi dan menentukan prioritas persyaratan teknis yang akan
diterapkan dalam pengembangan stasiun kerja bengkel sekolah berdasarkan pendekatan ergonomi.
Zhang et al. (2014)
Mengembangkan desain ergonomis yang baik pada kompor yang merupakan
produk inti untukmemasak di dapur Cina
QFD, TRIZ dan pengambilan keputusan
untuk grup fuzzy
Integrasi beberapa pendekatan yaitu identifikasi kebutuhan dan kepuasan konsumen (CSNs), diagram
rumah kualitas dari QFD, TRIZ dan teori pengambilan keputusan fuzzy menghasilkan desain kompor dapur terpadu yang lebih baik, inovatif dan
layak.
Hsiao (2002)
Menciptakan mainan musik untuk anak-anak berusia di
bawah tujuh tahun yang kualitas totalnya dapat
dikelola.
QFD, Analytic Hierarchy Process (AHP), Design for
Assembly (DFA) dan Failure Mode and
Effect Analysis (FMEA)
Integrasi beberapa teknik yaitu QFD, AHP, DFA dan FMEA dapat menghasilkan desain produk mainan musik anak-anak yang memiliki harga
terjangkau, berkualitas tinggi, minim kegagalan dan sesuai dengan kebutuhan penggunanya.
Putra (2014)
Membuat rancangan ulang Long Spinal Board (LSB)
yang lebih ergonomisQFD
Proses perancangan dengan menggunakan metode QFD dapat menghasilkan rancangan ulang LSB yang
lebih ergonomis jika ditinjau dari segi material dan perfomansi produk.
Bifadhlih (2014)
Membuat modifikasi rancangan thresher yang
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen
Model Kano, QFD dan TRIZ
Penggunaan model Kano, QFD dan TRIZ dalam proses modifikasi menghasilkan rancangan thresher
yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen, seperti tersedianya roda yang
mempermudah mobilisasi, gigi perontok yang didesain portabel serta meja pengumpul yang dimensinya telah
disesuaikan dengan data antropometri.
Penelitian yang dilakukan oleh Hashim dan Dawal (2012) menggunakan
integrasi metode Kano dan QFD dalam proses desain. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa dengan menggunakan integrasi kedua metode tersebut dapat
diperoleh desain stasiun kerja workshop baru yang lebih ergonomis karena sesuai
dengan antropometri dan kebutuhan siswa sebagai pemakai stasiun kerja. Hal ini
menunjukkan bahwa integrasi model Kano dan QFD juga dapat digunakan untuk
memperoleh desain LSB yang ergonomis pada penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Hsiao (2002) bertujuan untuk
menghasilkan desain produk mainan musik anak-anak yang sesuai dengan
keinginan konsumen melalui integrasi metode QFD, AHP, DFA dan FMEA.
Penerapan FMEA dalam penelitian ini terlihat dalam proses evaluasi desain
mainan musik yang telah dikembangkan sebelumnya dengan menggunakan
metode QFD. FMEA mampu menunjukkan faktor penyebab kegagalan pada
desain sehingga dapat dilakukan tindakan preventif sebelum proses produksi
produk dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi antara FMEA dan QFD
juga sesuai untuk diterapkan dalam pengembangan desain LSB ini.
28
Zhang et al. (2014) melakukan penelitian untuk menciptakan desain
kompor dapur yang ergonomis melalui integrasi beberapa metode yaitu
identifikasi kebutuhan konsumen, house of quality pada QFD, TRIZ serta fuzzy.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa integrasi beberapa metode tersebut
mampu meningkatkan proses desain sehingga diperoleh alternatif desain kompor
dapur yang inovatif, ergonomis dan teruji kelayakannya. Hal ini menunjukkan
bahwa metode TRIZ bisa digunakan pada penelitian pengembangan desain LSB
ini, sebagai tindak lanjut bila terdapat kontradiksi antar karakteristik teknis dalam
pembuatan House of Quality dengan metode QFD. Selain itu Zhang et al. (2014)
juga menghasilkan model terintegrasi yang dapat digunakan dalam proses desain
produk yang ergonomis lainnya. Model tersebut menunjukkan langkah-langkah
penggunaan keempat metode yang ada dalam penelitiannya. Adanya beberapa
metode pada penelitian Zhang et al. (2014) yang juga digunakan pada penelitian
pengembangan desain LSB ini seperti metode house of quality pada QFD dan
TRIZ menunjukkan bahwa model hasil penelitian Zhang et al. (2014) ini dapat
dikembangkan melalui penyesuaian model tersebut dengan langkah-langkah
penggunaan metode yang ada dalam penelitian pengembangan desain LSB ini.
Model hasil penelitian Zhang et al. (2014) dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut.
Gambar 2.5 Model Terintegrasi untuk Desain Produk yang Ergonomis (Sumber: Zhang et al., 2014)
29
Penelitian Putra (2014) menunjukkan bahwa penggunaan QFD telah tepat
untuk menghasilkan rancangan LSB yang ergonomis. Namun kontradiksi antar
karakteristik teknis pada penelitian tersebut tidak dibahas lebih lanjut, sehingga
persyaratan desain LSB hasil penelitian Putra (2014) sebenarnya masih bisa
diinovasikan. Oleh sebab itu penelitian tentang pengembangan desain LSB ini
dilakukan dengan mengintegrasikan metode QFD dengan beberapa metode lain
agar persyaratan desain LSB yang diperoleh lebih optimal.
Penelitian yang dilakukan Bifadhlih (2014) menunjukkan bahwa integrasi
antara model Kano, QFD dan TRIZ dapat menghasilkan desain thresher yang
lebih ergonomis. Namun penelitian ini tidak mengevaluasi kegagalan yang
mungkin terjadi dari desain baru thresher. Oleh sebab itu penelitian tentang
pengembangan LSB ini dilakukan dengan mengintegrasikan model Kano, QFD,
TRIZ dan FMEA untuk mewujudkan desain hasil pengembangan LSB yang
ergonomis, sesuai dengan kebutuhan konsumen dan minim kegagalan.