BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Manajemen Operasi Perusahaan – perusahaan besar pada umumnya memiliki tiga fungsi utama yang saling berhubungan secara integral antara satu dengan yang lainnya. Ketiga fungsi utama itu adalah Pemasaran, Keuangan/Akuntansi, dan Produksi/Operasi. Fungsi Pemasaran untuk menghasilkan permintaan, atau paling tidak menerima pemesanan untuk sebuah barang atau jasa (tidak akan ada aktivitas jika tidak ada penjualan). Keuangan/Akuntansi untuk mengawasi sehat atau tidaknya sebuah organisasi, membayar tagihan, dan mengumpulkan uang, serta Produksi/Operasi berkaitan dengan seluruh aktivitas produksi barang dan jasa. (Heizer & Render, 2011). Roberta S. Russell dan Bernard W. Taylor III (2011) mendefinisikan operasi sebagai berikut : 8
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Manajemen Operasi
Perusahaan – perusahaan besar pada umumnya memiliki tiga fungsi utama
yang saling berhubungan secara integral antara satu dengan yang lainnya. Ketiga
fungsi utama itu adalah Pemasaran, Keuangan/Akuntansi, dan Produksi/Operasi.
Fungsi Pemasaran untuk menghasilkan permintaan, atau paling tidak menerima
pemesanan untuk sebuah barang atau jasa (tidak akan ada aktivitas jika tidak ada
penjualan). Keuangan/Akuntansi untuk mengawasi sehat atau tidaknya sebuah
organisasi, membayar tagihan, dan mengumpulkan uang, serta Produksi/Operasi
berkaitan dengan seluruh aktivitas produksi barang dan jasa. (Heizer & Render,
2011).
Roberta S. Russell dan Bernard W. Taylor III (2011) mendefinisikan
operasi sebagai berikut :
“Operations is a transformations process, inputs (such as
materials, machines, labor, management, and capital) are transformed
into outputs (goods and sevices).”
Sedangkan manajemen operasi didefinisikan :
“Operations management, is the design and operation of production
system.”
8
Sedangkan pakar manajemen operasi lainnya, Jay Heizer dan Barry
Render (2011), memberikan definisi dari manajemen operasi sebagai berikut :
“Operations management (OM) is the set of activities that creates
values in the form of goods and services by transforming inputs into
outputs.”
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa manajemen
operasi merupakan suatu kegiatan untuk mentransformasi masukan – masukan
menjadi keluaran – keluaran berupa produk yang mempunyai nilai tambah, baik
itu berupa barang atau jasa.
Fungsi operasi merupakan bagian yang membutuhkan pendanaan terbesar
dalam suatu organisasi, di mana persentase terbesar dari pendapatan suatu
perusahaan dipergunakan untuk fungsi manajemen operasi. Dengan demikian,
melalui manajemen operasi, maka sebuah perusahaan memiliki kemungkinan
yang cukup besar untuk meningkatkan keuntungan serta layanannya.
Dalam hal ini terdapat 10 fungsi operasi yang merupakan keputusan
strategis pada manajemen operasi (Heizer & Render, 2011), yaitu :
1. Desain produk dan jasa : barang/jasa apa yang akan dibuat, bagaimana
membuat desainnya
2. Manajemen mutu : bagaimana kita mendefinisikan kualitas, siapa yang
bertanggung jawab terhadap kualitas
3. Proses dan desain kapasitas : Proses dan kapasitas yang dibutuhkan oleh
produk
4. Penetapan lokasi : di mana lokasi ditetapkan, apa kriterianya
9
5. Tata letak fasilitas : bagaimana menata seluruh fasilitas, berapa luas yang
dibutuhkan
6. Sumber daya manusia dan desain pekerjaan: bagaimana memberikan suasana
kerja yang mendukung
7. Manajemen rantai pasokan : keputusan membuat atau membeli, menetapkan
pemasok
8. Manajemen persediaan : berapa tingkat persediaan yang harus ada
9. Penjadwalan intermediet dan jangka pendek : pekerjaan apa yang akan
dilakukan selanjutnya
10. Pemeliharaan : siapa yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, kapan
kita melakukan pemeliharaan
Semua keputusan di atas bersifat sangat strategis dan memberi kontribusi yang
tinggi bagi keunggulan bersaing suatu produk. Dalam penelitian ini akan diteliti
perihal strategi ke-8 yaitu manajemen persediaan.
2.1.2 Pengertian Manajemen Persediaan
Menurut Charles T. Hongren (2012) dikatakan bahwa :
“Inventory management is the planning, coordinating, and
controlling activities related to the flow of inventory into, through and out
of an organization.”
Fungsi persediaan merupakan salah satu fungsi manajemen operasi yang
memiliki nilai strategis, karena merupakan bagian integral dalam setiap kegiatan
operasi.
10
Masalah persediaan dapat memberi implikasi yang serius bagi fungsi
finansial, operasi, dan pemasaran. Pengaruh finansial ada pada likuiditas dan
return on investment (ROI), terhadap produksi melalui efisiensi dan pembiayaan
operasional dan pengaruh terhadap pemasaran melalui tingkat penjualan dan
kepuasan pelanggan.
Penanganan persediaan menjadi isu penting karena seringkali investasi
persediaan menjadi asset perusahaan terbesar sehingga ada upaya untuk menekan
besarnya persediaan agar dapat menurunkan biaya. Tetapi di lain pihak, proses
produksi dapat berhenti dan pelanggan kecewa, jika ada suatu komponen material
yang stock-out. Hanya melalui manajemen material yang baik keseimbangan
antara investasi persediaan dengan layanan pelanggan dapat diperoleh.
2.1.3 Fungsi Persediaan
Kebutuhan akan barang persediaan timbul karena ada kesulitan untuk
menyelaraskan dengan tepat antara suplai dengan kebutuhan. Kecepatan suplai
seringkali berbeda dengan kecepatan pemakaian sehingga diperlukan adanya
persediaan (Tersine R.J., 1994). Persediaan dapat memberi beberapa fungsi yang
akan menambah fleksibilitas operasional perusahaan, yaitu :
1. Faktor waktu
Terdapat waktu yang cukup panjang untuk produksi maupun distribusi
sebelum produk tiba di konsumen. Adanya persediaan dapat
menurunkan lead time dalam memenuhi permintaan. Keuntungan
dapat diperbesar dengan memiliki produk yang selalu tersedia.
11
2. Faktor diskontinuitas
Persediaan memberikan fungsi ‘decoupling’ yang memungkinkan
perusahaan dapat memenuhi permintaan pelanggan tanpa tergantung
pada supplier. Dengan adanya persediaan, masalah diskontinu produk
(bahan baku, bahan setengah jadi, dan produk jadi) tidak seketika
menjadi masalah namun perusahaan tetap dapat melakukan
aktivitasnya pada tingkatan yang masih wajar sambil tersedia waktu
untuk mengatasi masalah yang terjadi.
3. Faktor ketidakpastian
Disini dipertimbangkan berbagai faktor yang tidak terduga sebelumnya
yang dapat mempengaruhi rencana awal perusahaan. Termasuk
kesalahan dalam perkiraan kebutuhan, hasil produksi yang bervariasi,
Sumber : Tersine, Richard J., Principles of Inventory and Materials Management, 1994
X1 = faktor kesalahan =estimasi /aktual
Tabel tersebut menunjukkan bahwa bilamana pada salah satu parameter terjadi
kesalahan sampai 100%, kesalahan pada TVC (total variabel cost) yang terjadi
hanyalah 41,4%. Perlu diperhatikan disini bahwa estimasi yang lebih kecil dari
actual memberikan tingkat kesalahan yang lebih besar disbanding estimasi yang
terlalu besar.
Hubungan antara faktor kesalahan dengan akibatnya pada TVC dapat dilihat
dengan lebih jelas pada gambar berikut.
28
Diagram 2.4 Hubungan antara Faktor Kesalahan dengan Biaya KeseluruhanSumber : Tersine, Richard J., Principles of Inventory and Materials Management, 1994 hal 99
Berdasarkan data dan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa model dasar
persediaan tidak terlalu sensitif terhadap kesalahan pada nilai parameter yang
diambil. Variasi yang cukup besar pada parameter kebutuhan dan biaya tidak
memberi banyak variasi terhadap model keluaran. Situasi ini sangat
menguntungkan karena dalam penggunaan model EOQ, sering terjadi
penyimpangan terhadap parameter yang digunakan sebagai estimasi dalam
perhitungan. Baik komponen biaya pemesanan, biaya penyimpangan, maupun
angka kebutuhan per tahun seringkali merupakan angka hasil peramalan atau
estimasi berdasarkan data dan pengalaman yang telah terjadi (Tersine R.J., 1994).
29
2.1.12 Sistem Telaah Kontinyu (Sistem Q)
Dalam kenyataan praktek, penggunaan model EOQ memiliki
keterbatasan yang disebabkan oleh asumsi permintaan yang konstan (Schroeder,
Roger. G, 2013). Sistem Q memberikan suatu model dimana permintaan yang
fluktuatif dapat dipenuhi. Sistem ini dikenal juga sebagai sistem Fixed Order Size.
Pada sistem ini, posisi persediaan terus menerus dimonitor pada setiap transaksi
dan dibandingkan dengan titik pemesanan ulang (ROP/reorder point). Bilamana
posisi persediaan telah mencapai titik ROP (B), pemesanan ulang dilakukan dalam
jumlah unit Q yang tetap yaitu sebesar nilai EOQ (Economic Order Quantity).
Diagram berikut ini memberikn grafik operasi sistem Q.
Diagram 2.5 Sistem Telaah Kontinyu (Q) kurang Q Q Q di sebelahSumber : Schroeder, Roger G. Manajemen Operasi : Pengambilan Keputusan dalam Suatu Fungsi Operasi, 2000 hal 313Slope : permintaan barang, bervariasi
Q : kuantitas pesanan, tetap
B : titik pemesanan ulang, tetap
30
Oa, ac, ce : interval waktu antar order, bervariasi
ab=cd=ef=L : tenggang waktu
S : stok pengaman
Parameter utama pada sistem Q adalah Q (jumlah pesanan) dan B (titik
pemesanan ulang). Diasumsikan bahwa Q ditetapkan sama dengan nilai EOQ dan
B adalah jumlah kebutuhan pada masa lead time ditambah stok pengaman.
B = M + S
Dimana :
B = ROP, S = Stok pengaman
M = kebutuhan rata – rata pada masa lead time
Bagaimana cara menentukan stok pengaman akan dibahas pada sub
bab berikutnya. Masalah pada penggunaan sistem ini adalah memerlukan
perhitungan yang kontinyu atas persediaan untuk mengetahui secepatnya kapan
titik pemesanan ulang dicapai. Diperlukan suatu sistem pencatatan yang baik atas
setiap transaksi yang terjadi, kesalahan pada pencatatan transaksi dapat
mengakibatkan masalah besar.
Sistem sesuai untuk dipergunakan pada jenis barang yang bersifat
independen dan memerlukan pengendalian ketat (kelompok A pada klasifikasi
ABC) karena :
(1) Menggunakan jumlah order yang efisien (EOQ)
(2) Jumlah stok pengaman tidak terlalu besar, diperlukan hanya untuk periode
masa lead time.
31
(3) Sistem relatif tidak sensitif terhadap perubahan parameter – parameter
persediaan. (Tersine, R.J., 1994)
2.1.13 Sistem Telaah Berkala (Sistem P)
Pada sistem P, jumlah persediaan dalam penyimpanan ditinjau ulang
secara berkala pada interval waktu yang tetap, untuk selanjutnya dilakukan
pemesanan sesuai kebutuhan. Dalam hal ini, jumlah order bervariasi pada setiap
periode (Schroeder, Roger G., 2013).
Diagram 2.6 memberikan gambaran mengenai sistem periodik dari
satu jenis persediaan. Tingkat persediaan maksimum T ditetapkan untuk setiap
item persediaan. Kuantitas order adalah tingkat persediaan maksimum dikurangi
posisi persediaan pada tanggal pemesanan. Pada sistem ini periode review tetap,
sementara kuantitas order, kecepatan pemakaian, titik pemesanan kembali (ROP),
dan lead time, bervariasi.
32
Diagram 2.6 Sistem Telaah Berkala (P) T grs pts2Sumber : Schroeder, Roger G. Manajemen Operasi : Pengambilan Keputusan dalam Suatu Fungsi Operasi, 2000 hal 318
Dimana :
P : periode antar pesananp
T : stok maksimum
Q1, Q2, Q3 : jumlah pesanan yang besarnya persediaan maksimum (T)
dikurangi jumlah stok pada akhir periode P
a-b, c-d, e-f : lead time kedatangan barang
slope : jumlah permintaan
Pada sistem ini, terdapat 2 parameter yang perlu ditetapkan yaitu periode waktu
antar pesanan P dan jumlah stok maksimum T yang menjadi target persediaan
(Tersine, R.J., 1994 p 134 - 136).
Periode waktu antar pesanan yang ekonomis (EOI) diperoleh dari angka EOQ
dibagi kebutuhan R.
P = EOI = EOQ/R
Tingkat persediaan maksimum T harus cukup besar agar dapat memenuhi
kebutuhan selama masa interval pemesanan T dan selama lead time L.
T = RP + RL = R (P + L) = tingkat persediaan maksimum
Dengan adanya stok pengaman yang berfungsi sebagai penyangga terhadap
fluktuasi permintaan dan masa tunggu, maka :
33
T = M + S
Dimana :
T : target tingkat persediaan
M : kebutuhan rata-rata selama periode P + L
S : stok pengaman
Bila dibandingkan dengan sistem Q, ada beberapa kelemahan maupun kelebihan
dari penggunaan sistem P ini. Kelemahannya ialah membutuhkan stok pengaman
yang lebih tinggi karena harus mencakup masa periode antar interval pemesanan
(P) dan masa lead time (L). Adapun kelebihannya diantaranya :
- Sistem pencatatan lebih sederhana
- Dapat melakukan pemesanan beberapa jenis barang ke satu pemasok pada
waktu bersamaan, sehingga dapat memberikan nilai ekomis.
Sistem P sesuai untuk digunakan pada satuan – satuan barang dengan harga tidak
terlalu mahal (Schroeder, R.G., 2013).
2.1.14. Stok Pengaman (Safety Stock)
Resiko dan ketidakpastian pada analisis persediaan datang dari
berbagai variabel, tetapi yang paling utama adalah variasi kebutuhan dan lead
time. Situasi ini diatasi melalui stok pengaman yang akan bertindak sebagai
penyangga untuk mengatasi kebutuhan selama masa pengisian kembali pada lead
time dalam hal realisasi kebutuhan lebih tinggi dari yang diperkirakan maupun
lead time yang melebihi perkiraan sebelumnya. Terhadap pembiayaan perusahaan
34
stok pengaman memberi 2 efek, yaitu menurunkan biaya stock out dan
meningkatkan biaya penyimpanan (Tersine, R.J, 1994).
Pada sistem persediaan yang ideal, pola kebutuhan rata – rata akan
berulang tanpa variasi. Dapat digambarkan seperti pada diagram berikut ini :
Diagram 2.7 Sistem Persediaan yang Ideal B hrsnya ESumber : Tersine, Richard J., Principles of Inventory and Materials Management, 1994 hal 206
Pada kenyataannya pola kebutuhan selalu berubah dari waktu ke waktu seperti
contoh pada gambar berikut :
35
Diagram 2.8 Sistem Persediaan Sumber : Tersine, Richard J., Principles of Inventory and Materials Management, 1994 hal 207
Pada daur pertama, kebutuhan pada masa lead time sangat besar sehingga terjadi
stock out. Pada daur kedua kebutuhan pada lead time lebih kecil dari yang
diperkirakan, pengisian barang diterima sebelum stok pengaman dicapai. Pada
daur ketiga kebutuhan pada lead time lebih besar tetapi masih dapat ditanggulangi
oleh stok pengaman. Stok pengaman diperlukan karena baik peramalan maupun
estimasi tidak selalu tepat dan kadangkala pemasok terlambat dalam pengiriman
barang. Beberapa hal yang memerlukan perhatian :
(1) Kecepatan pemakaian yang lebih besar dari ramalan/estimasi
(2) Keterlambatan pengiriman barang
(3) Barang yang datang tidak memenuhi persyaratan / reject.
Tanpa adanya stok pengaman, situasi di atas dapat menimbulkan terjadinya stock
out, sementara perlu pula diperhatikan bahwa setiap peningkatan pada stok
36
pengaman dapat mengurangi keuntungan. Reaksi pelanggan terhadap kondisi
stock out ada 2 kemungkinan :
(1) Menerima backorder atau penundaan penerimaan.
Dalam situasi ini umumnya perusahaan akan mengeluarkan pesanan
darurat untuk mendapatkan barang yang diperlukan, mengakibatkan
munculnya biaya tambahan (biaya stock out) dalam ekspedisi, biaya
penanganan, biaya pengapalan, dan biaya pengepakan ekstra.
(2) Membatalkan pembelian (lost sale)
Kebutuhan pelanggan akan barang akan diganti oleh pesaing. Dalam
hal ini biaya stock out bervariasi mulai dari kehilangan keuntungan
penjualan sampai kehilangan yang tak spesifik seperti nama
baik/goodwill.
Pada saat barang diterima, tingkat persediaan akan tinggi, namun saat
sebelum kedatangan barang, tingkat persediaan akan rendah dan berada disekitar
besarnya stok pengaman. Waktu kritis untuk memenuhi permintaan adalah pada
masa lead time. Bila kuantitas order bertambah besar, maka berarti frekuensi order
per tahun menjadi kecil sehingga kemungkinan terjadinya kekurangan persediaan
juga berkurang.
Stok pengaman dapat dipandang sebagai investasi permanen dalam
persediaan. Bila pada model deterministik fixed order size besar rata – rata
persediaan adalah Q/2, dengan adanya stok pengaman, rata – rata persediaan
menjadi S + Q/2 dimana S adalah jumlah stok pengaman dan Q adalah besarnya
37
pesanan. Stok pengaman (demikian pula reorder point) menjadi lebih besar untuk
kondisi :
(1) Biaya stock – out tinggi
(2) Tingkat layanan tinggi
(3) Biaya penyimpanan rendah
(4) Variasi permintaan yang besar
(5) Variasi yang besar dalam lead time
Berapa besarnya stok pengaman yang perlu disediakan sangat bergantung kepada
fluktuasi permintaan pada lead time, fluktuasi lead time, dan tingkat pelayanan
yang diinginkan.
Permintaan yang probabilistik dan bersifat kontinu pada umumnya
mengikuti pola distribusi normal. Dalam hal ini reorder point dapat dihitung
dengan mengikuti rumus :
B = M + S
= M + Z
Dimana : B = Reorder point
M = Rata – rata permintaan pada masa lead time
S = Stok pengaman
Z = Standard normal deviasi
= simpangan baku dari lead time demand
Melalui rumus ini, titik pemesanan ulang ditetapkan sama dengan
permintaan rata – rata sepanjang tenggang waktu pemesanan M ditambah
38
sejumlah tertentu penyimpangan standar untuk melindungi dari kehabisan
persediaan.
Pola distribusi permintaan dapat ditunjukkan melalui diagram pada
halaman berikut ini :
Diagram 2.9 Distribusi probabilitas permintaanSumber : Schroeder, Roger G. Manajemen Operasi : Pengambilan keputusan dalam Suatu Fungsi Operasi, 2000
Titik pemesanan ulang B ditetapkan sama dengan permintaan rata –
rata sepanjang tenggang waktu pemesanan M ditambah sejumlah tertentu
simpangan baku untuk melindungi dari kehabisan persediaan. Dengan
mengendalikan nilai Z, titik pemesanan ulang maupun tingkat pelayanan dapat
dikendalikan. Pada Z = 1, akan diperoleh distribusi normal sebesar 68,27% yang
memberi probabilitas tingkat pelayanan sebesar 84,13%. Pada Z = 2, diperoleh
distribusi normal sebesar 95,45% yang memberi probabilitas tingkat pelayanan
39
sebesar 97,72%. Tingkat pelayanan 95% atau probabilitas kehabisan stok = 5%
memerlukan faktor pengaman Z = 1,65.
Diagram berikut menunjukkan pengaruh dari simpangan baku pada
pola distribusi normal terhadap tingkat pelayanan.
Diagram 2.10 Pengaruh standar deviasi pada distribusi normalSumber : Stock, J.R. Strategic Logistic Management, 2001 hal 247
Pada kondisi dimana baik permintaan maupun masa lead time
bervariasi, Stock memberi rumus untuk perhitungan stok pengaman :
c = √ R ¿¿
Dimana :
c = stok pengaman unit diperlukan untuk 84,1% probabilitas tingkat
pelayanan (1 simpangan baku normal)
40
R = daur pengisian rata – rata (lead time)
s = simpangan baku pemakaian
S = pemakaian rata – rata
R = simpangan baku daur pengisian (lead time)
Simpangan baku dihitung menggunakan rumus :
s =√ fd 2
n−1
Dimana :
s = simpangan baku
f = frekuensi
d = deviasi terhadap rata – rata
n = jumlah pengamatan
2.1.15 Model Pengendalian Persediaan
Sesuai sifat kebutuhan dan pengadaannya, terdapat beberapa model
pengendalian persediaan yang disesuaikan dengan sifat dan karakteristik dari
barang persediaan.
(1) Sistem kebutuhan independen : model deterministik
(2) Sistem kebutuhan independen : model probabilistilk
(3) Sistem kebutuhan tanpa pemesanan kembali (discrete) : model
deterministik
(4) Sistem kebutuhan yang saling tergantung (depended demand)
41
(1) Sistem kebutuhan independen : model kebutuhan tetap (deterministik)
Melalui model ini diberikan besarnya lot size yang ekonomis untuk item
persediaan yang bersifat independen. Beberapa parameter yang diperlukan
disini adalah :
(1) Kebutuhan pemakaian
(2) Biaya persediaan
(3) Lead time
Pada model deterministik, semua parameter dan variabel diketahui atau
dapat dihitung dengan pasti. Sistem pengendalian dapat dilakukan baik
dengan sistem pengendalian Q maupun sistem pengendalian P (Tersine,
R.J., 1994).
(2) Sistem kebutuhan independen : model kebutuhan tidak tetap (probabilistik)
Pada model deterministik, kebutuhan dan lead time bersifat konstan
sementara pada model probabilistik, kedua parameter ini bersifat variabel
atau tidak tetap. Persediaan dari barang – barang yang independen dapat
dibagi menjadi 2 kelompok :
1. Working stock, yaitu persediaan yang diperkirakan akan terpakai pada
suatu periode. Besaran rata-rata adalah setengah dari jumlah order
(Q/2).
2. Stok pengaman yang tidak bergantung pada lot size, ditentukan
berdasarkan peramalan, diperlukan untuk menjaga persediaan terhadap
tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya.
42
Sistem pengendalian dapat dilakukan dengan sistem Q maupun sistem
P sambil memperhatikan besarnya stok pengaman yang diperlukan
(Tersine, R.J., 1994).
(3) Sistem kebutuhan tanpa pemesanan kembali (diascrete): model deterministik
Sistem ini berlaku untuk kebutuhan yang hanya berlangsung dalam suatu
interval tertentu saja, tanpa pengulangan yang berpola. Digunakan untuk
mengatasi permintaan yang sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Ada
beberapa pendekatan terhadap sisten ini :
(1) Lot-for Lot Ordering
Merupakan pendekatan paling sederhana. Pemesanan dijadwalkan pada
setiap periode di mana terjadi permintaan dengan jumlah yang sesuai
dengan kebutuhan pada periode tersebut.
(2) Periodik Order Quantity
Menyatakan interval waktu yang ekonomis untuk melakukan pemesanan.
EOI = EOQR
=√ 2CR PF
Dimana :
EOI = Economic OrderInterval
C = biaya pesanan per order
F = biaya penyimpanan tahunan, sebagai fraksi dari biaya per unit
P = biaya pembelian per unit
R = kebutuhan rata – rata per periode
43
Besarnya lot pesan merupakan akumulasi dari permintaan pada setiap
interval pemesanan (Tersine, R.J., 1994)
(4) Sistem kebutuhan yang saling tergantung (dependent demand) : Material
Requirement Planning (MRP) System
Pada sistem ini besarnya kebutuhan suatu barang sangat tergantung pada
kebutuhan barang lainnya melalui pola hubungan matematis. Ketergantungan
antar barang dapat dituangkan dalam suatu bentuk resep atau formula.
2.1.16 Konflik dalam Masalah Persediaan
Persediaan seringkali menjadi sumber konflik antar manajemen dalam
suatu perusahaan karena setiap manajer mempunyai pertimbangan yang berlainan
dalam masalah persediaan.
Tujuan utama dari manajemen persediaan adalah meminimalkan investasi
persediaan, memaksimalkan layanan pada pelanggan dan mendukung operasional
yang efektif. Secara lebih spesifik, tujuan pengendalian persediaan dapat
dinyatakan sebagai : biaya per unit yang rendah, perputaran persediaan (inventory
turnover) yang tinggi, kualitas yang konsisten, hubungan yang baik dengan
pemasok dan suplai yang kontinu. Pada kenyataannya, semua tujuan di atas tidak
selalu sesuai dengan kebutuhan secara keseluruhan. Penekanan pada inventory
turnover bias saja menyebabkan biaya per unit menjadi lebih tinggi karena
pembelian yang lebih sering dalam jumlah kecil. Sebaliknya bila biaya per unit
yang menjadi rendah karena pembelian dalam jumlah besar, hal ini dapat
menggambarkan perbedaan orientasi antar departemen terhadap persediaan.
Tabel 2.3 Perbedaan orientasi antar departemen terhadap persediaan
Departemen Tanggung JawabTujuan dalam
PersediaanTingkat persediaan
Marketing Menjual produk Layanan yang baik TinggiProduksi Membuat produk Ukuran lot yang
efisienTinggi
Pembelian Membeli barang Biaya per-unit rendah
Tinggi
Keuangan Modal kerja Efisiensi modal RendahEngineering Desain produk Menghindari
onsolensiRendah
Sumber : Tersine, R.J., 1994
Sementara konflik antar departemen terhadap persediaan dapat digambarkan pada
tabel berikut.
Tabel 2.4 Konflik antar departemen terhadap persediaanDepartemen Respon Tipikal
Marketing
Kami tidak dapat menjual barang kosong. Bagaimana kami dapat mempertahankan pelanggan bila selalu terjadi kekurangan persediaan dan persediaan produk tidak lengkap.
Produksi Dengan lot size yang lebih besar, kami dapat menurunkan biaya per unit dan berfungsi lebih efisien
Pembelian Biaya per unit dapat diturunkan bila membeli dalam jumlah besar
Keuangan Bagaimana mendapatkan dana untuk persediaan,tingkat persediaan lebih baik diturunkan
Warehouse Tidak ada tempat penyimpanan untuk menyimpan semua barang persediaan
Sumber : Tersine, R.J., 1994
Tanggung jawab atas persediaan sering kali dibagi antar departemen
sesuai dengan fungsinya. Pembelian ambil bagian atas bahan baku dan semua
45
barang yang dibeli, bagian produksi atas barang dalam proses, dan bagian
marketing mengontrol produk jadi. Pengalokasian tanggung jawab ini nampak
logis, namun kemampuan untuk melakukan kontrol yang berimbang tidak ada di
semua departemen. Pada umumnya akan lebih baik untuk menempatkan semua
tanggung jawab atas barang persediaan di satu lokasi di bawah tanggung jawab
manajerial. Konflik antar departemen serta suboptmasi jarang terjadi bilamana
semua jenis persediaan berada di bawah control material manajer.
Manajemen material bekerja untuk mengkonsolidasikan aktifitas,
meningkatkan koordinasi dan menyediakan satu sumber informasi bagi persediaan
tidak dapat diselesaikan sendiri di masing-masing area karena terdapat saling
ketergantungan antara distribusi, penyimpangan, produksi, penanganan material,
pembelian, pemasaran, dan keuangan. Bilamana aktivitas yang saling tergantung
dikelola sebagai aktivitas yang independen, besar kemungkinan terjadi konflik
antar aktivitas (Tersine, R.J., 1994).
2.2 Kerangka Pemikiran
Manajemen operasi memiliki suatu peranan yang sangat penting dalam
suatu perusahaan karena seluruh kegiatan perusahaan difokuskan untuk membantu
dan mendukung kegiatan manajemen operasi. Menurut Kant, S, et al. (2007) dan
Gopalakrishnan, P. (1987) yang dikutip oleh Anand, T., et. al. (2010) bahwa
sekitar sepertiga dari anggaran rumah sakit tahunan dihabiskan untuk membeli
bahan-bahan dan perlengkapan rumah sakit, termasuk obat-obatan. Obat – obatan
mengkonsumsi sekitar 60% dari total biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit.
46
Oleh karena itu, obat-obatan merupakan salah satu pusat terapi yang paling
banyak digunakan dalam fasilitas pelayanan kesehatan, di mana sejumlah besar
biaya pengeluaran di rumah sakit dihabiskan untuk pembelian obat-obatan secara
berulang.
Sejauh ini, banyak obat yang kehabisan stok dan kadaluarsa sebelum
digunakan. Tidak adanya atau kurangnya jumlah obat-obatan di instalasi farmasi
dapat menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi buruk dan reputasi yang kurang
baik bagi rumah sakit. Dengan demikian, kebutuhan untuk perencanaan,
perancangan, dan mengatur instalasi farmasi dengan cara yang dapat
menghasilkan layanan klinis dan administratif yang efisien menjadi hal yang
relevan dalam situasi ini.
Pengendalian persediaan adalah sistem ilmiah yang menunjukkan seperti
apa yang dipesan, kapan waktu pemesanan, berapa banyak yang dipesan, dan
berapa banyak stok yang tersedia sehingga biaya pembelian dan biaya
penyimpanan dapat dijaga serendah mungkin. Hal ini dapat membantu melindungi
perusahaan terhadap fluktuasi persediaan dan permintaan, ketidakpastian, dan
meminimalisasikan waktu tunggu. Terdapat beberapa metode yang berkaitan
dengan pengendalian persediaan, namun dua metode yang umum digunakan
adalah Analisis ABC dan VED. Analisis ABC membantu mengidentifikasi barang
yang membutuhkan perhatian yang lebih untuk dikendalikan. Dalam hal ini,
kelompok A mencakup 10% dari total jumlah persediaan dan menyerap dana
sekitar 70% dari total biaya persediaan. Kelompok B mencakup 20% dari total
jumlah persediaan dan menyerap dana sekitar 20% dari total biaya persediaan, dan
47
kelompok C mencakup sekitar 70% dari total jumlah persediaan dan menyerap
dana sekitar 10% dari total biaya persediaan. Kemudian, terhadap barang-barang
yang termasuk kelompok A, yakni kelompok barang dengan pengendalian yang
ketat dilakukan analisis VED berdasarkan nilai kritisnya.