PETUNJUK DAN GAGASAN ADMINISTRASI PERWAKAFAN Oleh HM. Cholil Nafis, Ph.D, Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia Wakaf merupakan ibadah maliyah yang erat kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan umat. Peran wakaf sebagai pranata keagamaan sangat penting. Ia tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi. Sehingga wakaf perlu ditingkatkan kemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah. Sebagai sebuah ajaran Islam, wakaf telah dikenal sejak masa Rasulullah saw. karena wakaf disyariatkan setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali melaksanakan wakaf. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw., yaitu wakaf tanah Rasulullah saw. untuk dibangun masjid Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Umar ibn Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang meriwayatkan bahwa Umar ibn Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah saw. untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah saw.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PETUNJUK DAN GAGASAN ADMINISTRASI PERWAKAFAN
Oleh HM. Cholil Nafis, Ph.D, Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia
Wakaf merupakan ibadah maliyah yang erat kaitannya dengan pembangunan
kesejahteraan umat. Peran wakaf sebagai pranata keagamaan sangat penting. Ia tidak
hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki
potensi ekonomi yang sangat tinggi. Sehingga wakaf perlu ditingkatkan
kemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah. Sebagai sebuah ajaran Islam, wakaf
telah dikenal sejak masa Rasulullah saw. karena wakaf disyariatkan setelah
Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali melaksanakan wakaf. Pendapat
pertama menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah
saw., yaitu wakaf tanah Rasulullah saw. untuk dibangun masjid
Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
wakaf adalah Umar ibn Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang meriwayatkan
bahwa Umar ibn Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia
menghadap kepada Rasulullah saw. untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya
Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah
mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?
Rasulullah saw. menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan
kamu sedekahkan hasilnnya. Kemudian Umar menyedekahkan tanahnya dan
mewasiatkan bahwa tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan
tidak boleh diwarisi. Umar menyalurkan hasil tanah tersebut kepada orang-orang
fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, ibnu sabil dan tamu. (Nasa’i, Sunan Nasa’i, 1995,
h. 233).
Dalam perkembangan selanjutanya, dari masa ke masa, umat Islam telah menjabarkan
hadits tersebut dengan mewakafkan sebagian harta bendanya untuk kepentingan umat.
Harta benda wakaf dikelola sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat digunakan untuk
pengembangan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan, seperti pendidikan, kesehatan
sarana publik lainnya. Keberadaan wakaf telah terbukti banyak membantu
pengembangan dalam berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan
lainnya. Biasanya, hasil pengelolaan harta benda wakaf digunakan untuk membangun
fasilitas-fasilitas publik di bidang keagamaan, kesehatan dan pendidikan –
pembangunan masjid, rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung dan lainnya.
Sejarah telah mencatat bahwa di Mesir, pada masa pemerintahan Daulah Bani
Umayyah, perhatian terhadap wakaf nampak cukup tinggi sehingga masalah wakaf
diserahkan kepada sebuah lembaga khusus untuk menangani wakaf di bawah
pengawasan hakim. Menurut Abu Zahra, orang yang pertama kali melakukan hal
tersebut adalah Taubah ibn Numairi, seorang Qadli Mesir di masa pemerintahan
Hisyam ibn Abdul Malik. Taubah menegaskan bahwa tujuan utama dari peruntukan
sedekah/wakaf ini adalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin.
(Muhammad Abu Zahra, 1959, h. 11). Untuk itu, lembaga ini diorientasikan pada
pembelaan rakyat yang tidak mampu.
Menurut kesimpulan para ahli, lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan
dalam administrasi wakaf di Mesir dan bahkan di seluruh negera Islam. Pendirian
lembaga khusus yang serupa juga telah dilakukan oleh hakim Taubah di Basrah
sehingga sejak saat itu harta benda wakaf mulai dikelola dengan baik dan hasilnya
didistribusikan sebagaimana mestinya
Di Indonesia, praktek wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di
Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus
memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid
bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di
bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial maupun pasca-
kolonial (Indonesia merdeka). Sehingga harta benda wakaf sudah menyebar di negeri
ini, mulai dari Aceh, Gayo, Tapanuli, Gorontalo, Lombok, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat dan lain-lain. Di antara beberapa daerah tersebut berbeda-beda dalam
menyebut harta benda wakaf. Di Aceh wakaf disebut dengan Wakeuh, di Gayo
disebut dengan Wakos, di Payakumbuh disebut dengan Ibah dan lain-lain. (Imam
Suhadi, 2002, h. 38).
Namun karena sejak semula tidak diiringi dengan kebijakan dan peraturan perundang-
undangan yang memadai, harta benda wakaf tersebut tidak teradministrasikan dengan
baik, dan bahkan tidak sedikit yang sering menimbulkan permasalahan (sengketa).Hal
inilah antara lain yang memunculkan kesadaran pemerintah Hindia Belanda untuk
menertibkan tanah wakaf di Indonesia. Pada waktu Priesterraad (Pengadilan Agama)
didirikan berdasarkan Staatsblad No. 152 Tahun 1882, salah satu yang menjadi
wewenangnya adalah menyelesaikan masalah wakaf.
Pasca-kemerdekaan, Pemerintah RI juga mengeluarkan peraturan-peraturan
perwakafan, namun kurang memadai. Karena itu, dalam rangka pembaharuan Hukum
Agraria di Indonesia, persoalan perwakafan tanah diberi perhatian khusus
sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49. Dalam pasal itu disebutkan
bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia, pemerintah
akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP tersebut baru
dikeluarkan setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu, yakni PP Nomer 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Di samping Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, ada beberapa peraturan lain yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia,
antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata
Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan tanah milik; Peraturan Menteri Agama No.
1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik; Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
No. Kep/D/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan
tentang Perwakafan Tanah Milik; Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978
tentang Pendelegasian wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama
Propinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap
kepala KUA Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.
Perhatian pemerintah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi dengan
ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU itu, dalam Bab III
tentang Kekuasaan Pengadilan, Pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a).
perkawinan; (b). kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam; (c). wakaf dan shadaqah. Dengan adanya berbagai peraturan itu, diharapkan
pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan tertib. Namun kenyataannya,
peraturan-peraturan yang berkenaan dengan wakaf tersebut sampai dengan tahun
1990 belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah perwakafan.
pada tahun 2004, DPR dan pemerintah telah mengesahkan Undang Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU ini secara komprehensif mengatur tentang
perwakafan, mulai dari pedaftaran dan pengumuman Harta Benda wakaf, perubahan
status harta benda wakaf, pengelolaan harta benda wakaf dan lain-lain. Namun
langkah yang lebih maju dari UU tersebut adalah merekomendasikan dibentuknya
Badan Wakaf Indoenasi (BWI). Dan saat ini BWI sudah terbentuk. Kemudian pada
tahun 2006, juga sudah kelaur Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan UU Wakaf yang cukup detail menjelaskan mekanisme tertib administrasi
perwakafan yang dapat digunakan sebagai dasar hukumnya.
Untuk itu, menciptakan tertib hukum dan tertib administrasi sangatlah penting guna
melindungi harta benda wakaf. Upaya demikian, saat ini, akan menemui tantangan
yang lebih berat lagi, karena harta benda wakaf, sebagaimana dijelaskan dalan
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut, tidak hanya benda
tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, tetapi juga benda bergerak seperti uang,
logam mulia, surat berharga, kendaraan dan lain sebagainya. Selain itu, dalam UU
tersebut juga mengamanatkan kepada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia
(BWI) untuk mengadministrasikan harta benda wakaf serta mengumumkan harta
benda wakaf yang telah terdaftar. Dengan adanya upaya demikian, tertib administrasi
perwakafan diharapkan dapat terwujud.
Mengenal Unsur Wakaf
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dijelaskan bahwa
Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut Syariah. Perbuatan untuk menyerahkan sebagian harta
benda tersebut memiliki beberapa unsur, yaitu;
a. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
b. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
c. Harta benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama
dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut
syariah yang diwakafkan oleh Wakif
d. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan
dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
e. Peruntukan harta benda wakaf adalah bagi: sarana dan kegiatan ibadah; sarana
dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak
terlantar, yatim piatu, bea siswa; kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang
tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang – undangan.
f. Jangka Waktu Wakaf adalah unsur wakaf yang khusus untuk wakaf uang,
karena wakaf uang dapat diwakafkan secara muabad (abadi) atau mu’aqad
(berjangka).
Kebijakan Tertib Administrasi Perwakafan
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 Tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik telah
diatur bahwa Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan ditunjuk sebagai
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), dan administrasi perwakafan
diselenggarakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan.[1] Peraturan tersebut hanya
mengatur mengenai pendaftaran harta benda wakaf tanah, belum mengatur
pendaftaran harta benda wakaf bergerak seperti uang.
Sebagai langkah kongkrit pemerintah dalam menertibkan administrasi perwakafan,
telah disahkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU ini terdiri
atas sebelas bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal yang meliputi pengertian tentang
wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf, tata cara mewakafkan dan
pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian sengketa, pembinaan dan pengawasan
wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI), ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.
Dalam BAB III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda wakaf yang termuat
dalam pasal 32 sampai dengan pasal 39 sudah cukup rinci mengatur tentang tertib
administrasi perwakafan. Hal ini diperjelas lagi dengan keluarnya Peraturan