BAB 11
PAGE 164
BAB IILANDASAN TEORITIK
A. Konsep Dasar Pembelajaran
1. Belajar dan Pembelajaran
Belajar dan pembelajaran merupakan konsep yang saling berkaitan.
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku akibat interaksi
dengan lingkungan. Proses perubahan tingkah laku merupakan upaya
yang dilakukan secara sadar berdasarkan pengalaman ketika
berinteraksi dengan lingkungan. Pola tingkah laku yang terjadi
dapat dilihat atau diamati dalam bentuk perbuatan reaksi dan sikap
secara mental dan fisik.
Tingkah laku yang berubah sebagai hasil proses pembelajaran
mengandung pengertian luas, mencakup pengetahuan, pemahaman, sikap,
dan sebagainya. Perubahan yang terjadi memiliki karakteristik: (1)
perubahan terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar
bersifat sinambung dan fungsional, (3) tidak bersifat sementara,
(4) bersifat positif dan aktif, (5) memiliki arah dan tujuan dan
(6) mencakup seluruh aspek perubahan tingkah laku, yaitu
pengetahuan, sikap, dan perbuatan.Keberhasilan belajar peserta
didik dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal, yaitu kondisi dalam proses belajar yang berasal dari
dalam diri sendiri, sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Ada
beberapa hal yang termasuk faktor internal, yaitu: kecerdasan,
bakat (aptitude), keterampilan (kecakapan), minat, motivasi,
kondisi fisik, dan mental. Faktor eksternal, adalah kondisi di luar
individu peserta didik yangmempengaruhi belajarnya. Adapun yang
termasuk faktor eksternal adalah : lingkungan sekolah, keluarga dan
masyarakat (keadaan sosio-ekonomis, sosio kultural, dan keadaan
masyarakat).
Pada hakikatnya belajar dilakukan oleh siapa saja, baik
anak-anak maupun manusia dewasa. Pada kenyataannya ada kewajiban
bagi manusia dewasa atau orang-orang yang memiliki kompetensi lebih
dahulu agar menyediakan ruang, waktu, dan kondisi agar terjadi
proses belajar pada anak-anak. Dalam hal ini proses belajar
diharapkan terjadi secara optimal pada peserta didik melalui
cara-cara yang dirancang dan difasilitasi oleh guru di sekolah.
Dengan demikian diperlukan kegiatan pembelajaran yang disiapkan
oleh guru.
Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk
mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan
kejadian-kejadian eksternal yang berperanan terhadap rangkaian
kejadian-kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik
(Winkel, 1991).
Pengaturan peristiwa pembelajaran dilakukan secara seksama
dengan maksud agar terjadi belajar dan membuat berhasil guna
(Gagne, 1985). Oleh karena itu pembelajaran perlu dirancang,
ditetapkan tujuannya sebelum dilaksanakan, dan dikendalikan
pelaksanaannya (Miarso, 1993).
Proses pembelajaran yang berhasil guna memerlukan teknik,
metode, dan pendekatan tertentu sesuai dengan karakteristik tujuan,
peserta, didik, materi, dan sumber daya. Sehingga diperlukan
strategi yang tepat dan efektif.Strategi pembelajaran merupakan
suatu seni dan ilmu untuk membawa pembelajaran sedemikian rupa
sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efesien
dan efektif (T. Raka Joni, 1992). Cara-cara yang dipilih dalam
menyusun strategi pembelajaran meliputi sifat, lingkup dan urutan
kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta
didik (Gerlach and Ely). Strategi belajar mengajar tidak hanya
terbatas pada prosedur dan kegiatan, melainkan juga termasuk di
dalamnya materi pengajaran atau paket pengajarannya (Dick and
Carey).
Faktor yang memengaruhi proses pembelajaran terdiri dari faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang
berkaitan dengan pribadi guru sebagai pengelola kelas. Guru harus
dapat melaksanakan proses pembelajaran oleh sebab itu guru harus
memiliki persiapan mental, kesesuaian antara tugas dan tanggung
jawab, penguasaan bahan, kondisi fisik, dan motivasi kerja.
Faktor eksternal adalah kondisi yang timbul atau datang dari
luar pribadi guru, antara lain keluarga dan lingkungan pergaulan di
masyarakat. Faktor lingkungan, yang dimaksud adalah faktor
lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan
sekolah.Berdasarkan pendekatan yang digunakan, secara umum ada dua
strategi pembelajaran yaitu strategi yang berpusat pada guru
(teacher centre oriented) dan strategi yang berpusat pada peserta
didik (student centre oriented). Pendekatan pembelajaran yang
berpusat pada guru menggunakan strategi ekspositori, sedangkan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
menggunakan strategi diskoveri inkuiri (discovery
inquiry).Pemilihan strategi ekspositori atau diskoveri inkuiri
dilakukan atas
pertimbangan karakteristik kompetensi yang menjadi tujuan yang
terdiri dari sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta
karakteristik peserta didik dan sumber daya yang dimiliki. Oleh
karena itu tidak ada strategi yang tepat untuk semua kondisi dan
karakteristik yang dihadapi. Guru diharapkan mampu memilah dan
memilih dengan tepat strategi yang digunakan agar hasil
pembelajaran efektif dan maksimal. Pemilihan strategi ekspositori
dilakukan atas pertimbangan :
a. karakteristik peserta didik dengan kemandirian belum
memadai;b. sumber referensi terbatas;c. jumlah pesera didik dalam
kelas banyak;d. alokasi waktu terbatas; dane. jumlah materi
(tuntutan kompetensi dalam aspek pengetahuan) atau bahan
banyak.
Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi ekspositori adalah
sebagai berikut: a) Preparasi, guru menyiapkan bahan/materi
pembelajaran; (b) Apersepsi diperlukan untuk penyegaran; (c)
Presentasi (penyajian) materi pembelajaran dan (d) Resitasi,
pengulangan pada bagian yang menjadi kata kunci kompetensi atau
materi pembelajaran.
Pemilihan strategi diskoveri inkuiri dilakukan atas
pertimbangan: a. karakteristik peserta didik dengan kemandirian
cukup memadai; b. sumber referensi, alat, media, dan bahan
cukup;
c. jumlah peserta didik dalam kelas tidak terlalu banyak;
d. materi pembelajaran tidak terlalu luas; dane. alokasi waktu
cukup tersedia.Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi
diskoveri inkuiri adalah sebagai berikut: (a) Guru atau peserta
didik mengajukan dan merumuskan masalah; (b) Merumuskan logika
berpikir untuk mengajukan hipotesis atau jawaban mentara; (c)
Merumuskan langkah kerja untuk memperoleh data; (d) Menganalisis
data dan melakukan verifikasi, dan (e) Melakukan
generalisasi.Strategi ekspositori lebih mudah bagi guru namun
kurang melibatkan aktivitas peserta didik. Kegiatan pembelajaran
berupa instruksional langsung (direct instructional) yang dipimpin
oleh guru. Metode yang digunakan adalah ceramah atau presentasi,
diskusi kelas, dan tanya jawab. Namun demikian ceramah presentasi
yang dilakukan secara interaktif dan menarik dapat meningkatkan
keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran.Strategi diskoveri
inkuiri memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh, oleh karena itu
dibutuhkan kreatifitas dan inovasi guru agar pengaturan kelas
maupun waktu lebih efektif. Kegiatan pembelajaran berbentuk Problem
Based Learning yang difasilitasi oleh guru. Strategi ini melibatkan
aktivitas peserta didik yang tinggi. Metode yang digunakan adalah
observasi, diskusi kelompok, eksperimen, eksplorasi, simulasi, dan
sebagainya.
2. Prinsip Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang
dilakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik.
Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah meningkatnya
kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap,
pengetahuan dan ketrampilannya. Prinsip pembelajaran berbasis
kompetensi adalah sebagai berikut:
Pertama, Berpusat pada peserta didik agar mencapai kompetensi
yang diharapkan. Peserta didik menjadi subjek pembelajaran sehingga
keterlibatan aktivitasnya dalam pembelajaran tinggi. Tugas guru
adalah mendesain kegiatan pembelajaran agar tersedia ruang dan
waktu bagi peserta didik belajar secara aktif dalam mencapai
kompetensinya.
Kedua, Pembelajaran terpadu agar kompetensi yang dirumuskan
dalam KD dan SK tercapai secara utuh. Aspek kompetensi yang terdiri
dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan terintegrasi menjadi satu
kesatuan.
Ketiga, Pembelajaran dilakukan dengan sudut pandang adanya
keunikan individual setiap peserta didik. Peserta didik memiliki
karakteristik, potensi, dan kecepatan belajar yang beragam. Oleh
karena itu dalam kelas dengan jumlah tertentu, guru perlu
memberikan layanan individual agar dapat mengenal dan mengembangkan
peserta didiknya.
Keempat, Pembelajaran dilakukan secara bertahap dan terus
menerus menerapkan prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning)
sehingga mencapai ketuntasan yang ditetapkan. Peserta didik yang
belum tuntas diberikan layanan remedial, sedangkan yang sudah
tuntas diberikan layanan pengayaan atau melanjutkan pada kompetensi
berikutnya.
Kelima, Pembelajaran dihadapkan pada situasi pemecahan masalah,
sehingga peserta didik menjadi pembelajar yang kritis, kreatif, dan
mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu guru perlu
mendesain pembelajaran yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan
atau konteks
kehidupan peserta didik dan lingkungan.
Keenam, Pembelajaran dilakukan dengan multi strategi dan
multimedia sehingga memberikan pengalaman belajar beragam bagi
peserta didik.
Ketujuh, Peran guru sebagai fasilitator, motivator, dan
narasumber
Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme
dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip
pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran
kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating,
experiencing, applying, cooperating, dan transferrini diharapkan
peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal.B.
Model-Model KonsepPembelajaran
Dalam pengembangan kurikulum dikenal tujuh konsep utama
pembelajaran kontekstual, yaitu: (1) Constructivisme, (2) inquiry,
(3) Questioning, (4) Learning Community, (5) Modelling, (6) f.
Reflection, dan (7) Autentic Assesment. 1. Konstruktivisme Belajar
dalam konteks konstruktivis adalah proses aktif mengonstruksi
pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun manusiawi, yang
dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan
memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan
kerangka berpikir yang dimiliki.
Belajar berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta
didik membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan belajar dikemas
menjadi proses mengkonstruksi pengetahuan, bukan menerima
pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui
peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan (konsep,
prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik mencari
strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan
memberikan kepuasan atas penemuannya itu.
2. Inquiry Siklus inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya,
mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan menarik simpulan.
Langkah-langkah inkuiri dengan merumuskan masalah, melakukan
observasi, analisis data, kemudian mengkomunikasikan hasilnya.3.
QuestioningBerguna bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan
menilai peserta didik; menggali informasi tentang pemahaman,
perhatian, dan pengetahuan peserta didik. Berguna bagi peserta
didik sebagai salah satu teknik dan strategi belajar. 4. Learning
Community
Sistem pembelajaran ini dilakukan melalui pembelajaran
kolaboratif, dan belajar dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil
sehingga kemampuan sosial dan komunikasi berkembang.5.
ModelingBerguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh
peserta didik seperti cara menggali informasi, demonstrasi, dan
lain-lain. Pemodelan dilakukan oleh guru (sebagai teladan), peserta
didik, dan tokoh lain.
6. ReflectionTentang cara berpikir apa yang baru dipelajari oleh
respon terhadap kejadian, aktivitas/pengetahuan yang baru dan hasil
konstruksi pengetahuan yang baru dan bentuknya dapat berupa kesan,
catatan atau hasil karya
7. Autentic Assesment
Menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan, hal ini berlangsung
selama proses secara terintegrasi serta dilakukan melalui berbagai
cara (test dan non-test) dan alterbative bentuknya dapat berupa :
kinerja, observasi, portofolio, dan/atau jurnal.
C. Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von
Glasersfeld dalam Suparno, 1997) Von Glasersfeld (dalam Suparno)
menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dan gambaran
dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari
suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur
pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.
Para konstruktivis memandang bahwa satu-satunya alat atau sara
yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah
indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya
dengan melihat, mendengar, menjamah dan merasakan. Dari sentuhan
indrawi seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya dengan
mengamati, merasakan dan bermain dengan air, seseorang membangun
gambaran tentang air.
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan ada dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang
lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang
telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman pengalaman
mereka. (Lorsbach dan Tobin dalam Setiawan, 2004) Von Glasersfeld
dalam Suparno (1997) menjelaskan bahwa ide pokok adalah siswa
secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri, otak siswa
sebagai mediator yaitu memproses informasi masuk dari luar dan
menentukan apa yang mereka pelajari. Pembelajaran merupakan kerja
mental aktif, bukan menerima pengajaran dari guru secara pasif.
Dalam kerja mental siswa, guru memegang peranan penting dengan cara
memberikan dukungan, tantangan berpikir, melayani sebagai
pelatih/model, namun siswa tetap merupakan kunci pembelajaran.
Dalam uraian di atas, ada satu prinsip yang penting dalam
psikologi pendidikan, yaitu bahwa siswalah yang dengan sadar
menentukan dan menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar,
tetapi dalam hal ini guru juga harus ikut berperan aktif di
dalamnya.
Shymansky dalam Suparno,(1997) mengemukakan bahwa kegiatan
belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari yang mereka
pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep dan
ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran
mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri
dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Abruscanto (1999) mengemukakan 3 prinsip yang menggambarkan
konstruktivisme yaitu :
a) Seseorang yang tidak pernah benar-benar memahami dunia
sebagaimana adanya, karena tiap orang membentuk keyakinan atas apa
yang sebenarnya;b) Keyakinan/pengetahuan yang sudah dimiliki
seseorang atau mengubah informasi yang diterima; danc) Siswa
membentuk suatu realitas berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki,
kemampuan untuk bernalar, dan kemauan siswa untuk mengerti.
Maka penting bagi setiap siswa mengerti kekhasan, keunggulan,
dan kelemahan/kekurangannya dalam memahami sesuatu. Siswa perlu
menemukan cara yang tepat bagi mereka sendiri. Setiap siswa
memiliki cara yang cocok dan tepat dalam mengkonstruksikan
pengetahuannya yang terkadang berbeda dengan teman-temannya.Guru
berperan sebagai mediator dan fasilitator yang bertugas membantu
proses belajar siswa berjalan baik Adapun agar peran guru sebagai
mediator dan fasilitator berjalan dengan optimal, diperlukan
beberapa kegiatan dan pemikiran yang harus dikerjakan dan disadari
oleh guru, yaitu:
Pertama, Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih
mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan; kedua, tujuan
apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya didiskusikan bersama siswa
sehingga siswa sungguh-sungguh terlibat di dalamnya; ketiga, guru
perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan
kebutuhan siswa; keempat, diperlukan keterlibatan dengan siswa yang
sedang berjuang dan percaya kepada siswa bahwa mereka dapat
belajar; dan kelima, guru harus mempunyai pemikiran yang fleksibel
untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, hal ini perlu
karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak
diterima guru. Siswa harus membangun sendiri pengetahuannya, guru
harus melihat mereka bukan sebagai kertas putih kosong.
Mereka sudah membawa pengetahuan awal'. Pengetahuan yang mereka
dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Karena itu, guru
pada taraf mana pengetahuan mereka? (Von Glasersfeld, 1989). Apapun
yang dikatakan siswa dalam menjawab suatu persoalan adalah jawaban
yang masuk bagi mereka pada saat itu.
Hal ini perlu ditanggapi serius, apapun salah mereka seperti
yang dilihat guru. Bagi siswa dinilai salah merupakan sesuatu yang
mengecewakan dan mengganggu pikirannya. Berikan jalan kepada mereka
untuk menginterpretasikan pertanyaan demikian, diharapkan
jawabannya akan lebih baik. (Von Glasersfeld, 1989).
Guru perlu mengerti sifat kesalahan siswa. Perkembangan
intelektual dan matematis perlu dengan kesalahan dan kekeliruan,
ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang yang tidak bisa
dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber
informasi tentang penalaran. Puit dan Confrey dalam Suparno (1997)
merangkum beberapa prinsip penting teori konstrktivis sebagai arah
pembaruan kurikulum pendidikan sahis dan matematika, yakni: a)
Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam
situasi yang sesuai dengan minat siswa, artinya bukan hanya
menekankan isi matematika dan sains, tetapi juga konteks dan
prinsip-prinsipnya. Dalam hal ini sangat penting bagi guru,
mengerti bagaimana latar belakang penemuan-penemuan dalam bidang
matematika dan sains dan terpenting lebih menekankan pada
konstruksi, interpretasi, koordinasi, dan juga multiple idea,
menekankan agar siswa aktif, dan penting diperhatikan adalah adanya
perspektif alternatif dalam kelas.
D. Implementasi Pengembangan Kegiatan Pembelajaran
Sebagai tahapan strategis pencapaian kompetensi, kegiatan
pembelajaran perlu didesain dan dilaksanakan secara efektif dan
efisien sehingga memperoleh hasil maksimal. Berdasarkan panduan
penyusunan KTSP (KTSP), kegiatan pembelajaran terdiri dari kegiatan
tatap muka, kegiatan tugas terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak
terstruktur. Sekolah standar yang menerapkan sistem paket, beban
belajarnya dinyatakan dalam jam pelajaran ditetapkan bahwa satu jam
pelajaran tingkat SMA terdiri dari 45 menit tatap muka untuk Tugas
Terstruktur dan Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur memanfaatkan 0%
- 60% dari waktu kegiatan tatap muka.
Sementara itu bagi sekolah kategori mandiri yang menerapkan
sistem kredit semester, beban belajarya dinyatakan dalam satuan
kredit semester (sks). 1 (satu) sks tingkat SMA terdiri dari 1
(satu) jam pelajaran (45 menit) tatap muka dan 25 menit tugas
terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Dengan
demikian, pada sistem paket maupun SKS, guru perlu mendesain
kegiatan pembelajaran tatap muka, tugas terstruktur dan kegiatan
mandiri.
1. Kegiatan Tatap Muka
Untuk sekolah yang menerapkan sistem paket, kegiatan tatap muka
dilakukan dengan strategi bervariasi baik ekspositori maupun
disicoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah
interaktif presentasi, diskusi kelas, diskusi kelompok,
pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen,
observasi di sekolah, ekplorasi dan kajian pustaka atau intemet,
tanya jawab, atau simulasi.Untuk sekolah yang menerapkan sistem
SKS, kegiatan tatap muka lebih disarankan dengan strategi
ekspositori. Namun demikian tidak menutup kemungkinan menggunakan
strategi dikoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah
interaktif, presentasi, diskusi kelas, tanya jawab, atau
demonstrasi.
2. Kegiatan Tugas Terstruktur
Bagi sekolah yang menerapkan sistem paket, kegiatan tugas
terstruktur tidak dicantumkan dalam jadwal pelajaran namun
dirancang oleh guru dalam silabus maupun RPP (Rancangan Pelaksanaan
Pembelajaran). Oleh karena itu pembelajaran dilakukan dengan
strategi diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti
penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.Bagi sekolah yang
menerapkan sistem SKS, kegiatan tugas terstruktur dirancang dan
dicantumkan dalam jadwal pelajaran meskipun alokasi waktunya lebih
sedikit dibandingkan dengan kegiatan tatap muka. Kegiatan tugas
terstruktur merupakan kegiatan pembelajaran yang mengembangkan
kemandirian belajar peserta didik, peran guru sebagai fasilitator,
tutor, teman belajar. Strategi yang disarankan adalah diskoveri
inkuiri dan tidak disarankan dengan strategi ekspositori. Metode
yang digunakan seperti diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif
dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah,
eksplorasi dan kajian pustaka atau intemet, atau simulasi.3.
Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur
Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran
yang dirancang oleh guru namun tidak dicantumkan dalam jadwal
pelajaran baik untuk sistem paket maupun sistem SKS. Strategi
pembelajaran yang digunakan adalah diskoveri inkuiri dengan metode
seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.E. Pembentukan
Pengetahuan Pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang
subyek aktif menciptakan struktur- struktur kognitif dalam
interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya
ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif
akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif
senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan
lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian
diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.Yang
terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan.
Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan
pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggungjawab
terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini
perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu mereka
untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.Belajar lebih
diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi
dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan
ide dan pengembangan konsep barn. Karenanya aksentuasi dari
mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan
pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran
konstruktivistik, yaitu : (1) mengutamakan pembelajaran yang
bersifat nyata dalam konteks yang relevan, (2) mengutamakan proses,
(3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4)
pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman
(Pranata, http://puslit.petra.ac.id/joumals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks
dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective,
bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar
dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit ,
aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar
berarti menata lingkungan agar isi belajar termotivasi dalam
menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini
maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan pada tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang
dipakai dalam menginterpretasikannya.1. Kesepahaman Konsep
Konstruktivis dalam Mata Pelajaran IPS
a. Peta Konsep (Concept Maps)
Novak (1985 : 94) mendefinisikan peta konsep sebagai suatu alat
skematis untuk merepresentasikan suatu rangkaian konsep yang
digambarkan dalam suatu kerangka proposisi. Peta itu mengungkapkan
hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep dan menekankan
gagasan-gagasan pokok. Peta konsep disusun hierarkis, konsep
esensial akan berada pada bagian atas peta. Miskonsepsi dapat
diidentifikasi dengan melihat hubungan antara dua konsep apakah
benar atau tidak.Biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi
yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep.
Pearsal (1996 : 199) menyatakan bahwa dengan peta konsep kita dapat
melihat refleksi pengetahuan yang dimiliki siswa. Dengan mencermati
kompleksitas peta konsep tersebut kita dapat mendeteksi
konsep-konsep mana yang kurang tepat dan sekaligus perubahan
konsepnya. Untuk lebih melihat latar belakang susunan peta konsep
tersebut ada baiknya peta konsep itu digabung dengan interview
klinis. Dalam interview itu diminta mengungkapkan lebih mendalam
gagasan-gagasannya.
b. Tes Esai Tertulis
Guru dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa
konsep fisika yang memang mau diajarkan atau yang sudah diajarkan.
Dari tes tersebut dapat diketahui salah pengertian yang dibawa
siswa dan salah pengertian dalam apa. Setelah ditemukan salah
pengertiannya, beberapa siswa dapat diwawancarai untuk lebih
mendalami mengapa mereka punya gagasan seperti itu. Dari wawancara
itulah akan kentara dari mana salah pengertian itu dibawa.
c. Interview klinis
Interview klinis dilakukan untuk melihat miskonsepsi pada siswa.
Guru memilih beberapa konsep fisika yang diperkirakan sulit
dimengerti siswa, atau beberapa konsep fisika yang essensial dari
bahan yang mau diajarkan. Kemudian, siswa diajak untuk
mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep di atas. Dari
sini dapat dimengerti latar belakang munculnya miskonsepsi yang ada
dan sekaligus ditanyakan dari mana mereka memperoleh miskonsepsi
tersebut.
d. Diskusi dalam Kelas
Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka
tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang mau diajarkan. Dari
diskusi di kelas itu dapat dideteksi juga apakah gagasan/ide mereka
tepat atau tidak (Harlen, 192:176). Dari diskusi tersebut, guru
atau seorang peneliti dapat mengerti alternatif yang dipunyai
siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar dan
juga sebagai penjajakan awal. 2. Tahap-Tahap Pembelajaran
Konstruktivisme
Harlen (1992 : 51) mengembangkan model konstruktivis dalam
pembelajaran di kelas. Pengembangan model konstruktivis tersebut
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, Orientasi dan Elicitasi Ide. Merupakan proses untuk
memotivasi siswa dalam mengawali proses pembelajaran. Melalui
elicitasi siswa mengungkapkan idenya dengan berbagai cara.
Kedua, Restrukturisasi ide. Meliputi beberapa tahap yaitu
klarifikasi terhadap ide, merombak ide dengan melakukan konflik
terhadap situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi dan
mengevaluasi ide yang baru.
Ketiga. Aplikasi. Menerapkan ide yang telah dipelajari.Keempat,
Review. Mengadakan tinjauan terhadap perubahan ide tersebut.Tahapan
tahapan dalam pengembangan model belajar konstruktivis dengan lebih
rinci diimplementasikan oleh Sadia (1996 : 87). Secara signifikan
model yang telah dikembangkan ini mampu meningkatkan prestasi
belajar fisika siswa. Tahapan-tahapan pengembangan model
konstruktivis tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi
arah dalam merancang program, implementasi programdan evaluasi (2)
Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus
dikuasai siswa. (3) Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal
Siswa. Identifikasi pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes
awal, interview klinis dan peta konsep. (4) Identifikasi dan
Klariftkasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah
diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk
menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi
ilmiah, mana yang salah dan mana yang miskonsepsi, (5) Perencanaan
Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program
pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan
strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
(6) Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan
Konsepsi. Tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas.
Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan
penyajian pengalaman belajar, (b) menggali ide-ide siswa, (c)
restrukturisasi ide-ide. (7) Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan
implementasi program pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap
efektivitas model belajar yang telah diterapkan. (8) Klarifikasi
dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil
evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan
analisis terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara
tuntas maupun yang resisten, dan (9) Revisi strategi pengubahan
miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten digunakan
sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi
siswa dalam bentuk modul.
Dalam makalah ini yang menjadi tahapan-tahapan terhadap
penerapan model pembelajaran konstruktivis merupakan modifikasi
dari dua model konstruktivis yang telah dikemukakan yaitu model
konstruktivis Harlen (1992:51) dan Sadia (1996:87).
Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis ini nantinya
sangat memperhatikan prior knowledge dan miskonsepsi-miskonsepsi
yang terdapat pada diri siswa, yang menempati posisi yang sentral
baik dalam menyusun maupun implementasi program pembelajaran.
Tahapan-tahapan penerapan model konstruktivis dalam makalah ini
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Identifikasi awal terhadap prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki
dalam mencandra lingkungannya dijaring untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang
menghinggapi strtuktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan
dengan tes awal, interview klinis dan peta konsep.
Penyusunan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan
Miskonsepsi.Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk Satuan
Pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan miskonsepsi diwujudkan
dalam bentuk modul kecil yang terdiri dari uraian materi yang
memuat konsep-konsep esensial yang mengacu pada konsepsi awal siswa
yang telah dijaring sebelum pembelajaran diaksanakan. Dengan
berpedoman pada pra konsepsi ini, siswa diharapkan merasa lebih
mudah dalam mereduksi miskonsepsinya menuju konsepsi ilmiah.
Orientasi dan Elicitasi.
Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah
perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan
minat mereka terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun agar
mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin
tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan
hidupnya sehari-hari.Pengungkapan gagasan tersebut dapat melalui
diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan
tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran
dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir
dicemoohkan dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru
harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan
gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui
penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Refleksi
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat
miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elcitasi
direfleksikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap
awal. Miskonsepsi ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan
merestrukturisasinya. Restrukturisasi Ide. Tantangan. Siswa
diberikan pertanyaan-pertanyaaan tentang gejala-gejala yang
kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka
diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan untuk
mendukung ramalannya itu. Konflik Kognitif dan Diskusi Kelas. Siswa
akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah.
Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan
di laboratorium. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami
konflik kognitif dan mulai tidak dengan gagasan mereka. Kemudian
mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang
dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat.
Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada
kapasitasnya sebagai fasilitator dan mediator.
Membangun Ulang Kerangka Konseptual. Siswa dituntun untuk
menentukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki
konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu
memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Aplikasi. Meyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi
dari miskonsepsi menuju konsepi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk
menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi
untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudian menguji
penyelesaiaanya secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan
secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasan secara
keilmuwan.
Review. Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi
pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi
miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap
strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul
kembali bersifat sangat resisten. Hal ini penting dilakukan agar
miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi
struktur kognitif, yang pada, akhirnya akan bermuara pada kesulitan
belajar dan rendahnya prestasi bersangkutan. Model belajar
konstruktivis yang telah diuraikan, dapat dirangkum dalam paradigma
berikut:
3. Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstruktivisme
Ciri yang melekat erat pada pembelajaran konstruktivisme adalah
antara lain memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru
melalui penglibatan dalam dunia sebenar menggalakkan soalan/idea
yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan
merancang pengajaran.Menyokong pembelajaran secara koperatif.
Mengambil kira sikap dan pembawaan murid serta mengkaji bagaimana
murid belajar sesuatu idea menggalakan & menerima daya usaha
& autonomi murid. Menggalakkan murid bertanya dan berdialog
dengan murid dan guru.Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses
yang sama penting dengan pembelajaran Menggalakkan proses inkuiri
murid melalui kajian dan eksperimen. Secara garis besar,
prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar dalam
belajar mengajar adalah :(1) Pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri, (2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid,
kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar (3)
murid aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu
terjadi perubahan konsep ihniah (4) Guru sekedar membantu
menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar
(5) menghadapi masalah yang relevan dengan siswa (6) struktur
pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan (7)
mencari dan menilai pendapat siswa, dan (8) menyesuaikan kurikulum
untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah
guru tidak boleh ijin hanya semata -mata memberikan pengetahuan
kepada siswa-siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya
sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara
mengajar yang membuat informasi menjadi sangatlah bermakna dan
sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk meneukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi
mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu
nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat
pernahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa
itu sendiri yang memanjatya.
F. Pengembangan Sistem Pembelajaran
Apakah sistem pembelajaran yang diasumsikan relevan untuk
mengembangkan sistem pembelajaran bagi penyiapan sumberdaya manusia
era informasi sebagaimana dikemukakan di atas secara otomatis
memiliki makna efektif dan adaptabilitas yang tinggi, khususnya
dalam konteks Indonesia? Jawabannya : belum tentu. Sistem
pembelajaran tersebut masih memerlukan modifikasi dan pengembangan,
dengan harapan agar sistem pembelajaran tersebut sesuai dengan
situasi dan konteks sekolah.Salah satu cara yang bisa dilakukan
adalah melakukan pengembangan sistem pembelajaran dengan pendekatan
research and development. Apa yang dimaksud dengan research and
development di bidang pembelajaran? Borg and Gall (1983: 772)
mengatakan educational research and development (R & D) is a
process used to develop and validate educational production .Dengan
pengertian tersebut maka serangkaian langkah penelitian dan
pengembangan dilakukan secara siklis, yang mana pada setiap langkah
yang akan dilalui atau dilakukan selalu mengacu pada hasil langkah
sebelumnya hingga pada akhirnya diperoleh suatu produk pendidikan
yang baru.
Pendekatan penelitian dan pengembangan dipandang tepat atau
cocok digunakan dalam pengembangan pembelajaran ini karena
tujuannya tidak sekedar menemukan profil implementasi atan
praktik-praktik pembelajaran, namun lebih dari itu yaitu
mengembangkan model pembelajaran yang efektif dan adaptabel sesuai
kondisi dan kebutuhan nyata di sekolah. Hal ini disebabkan
pendekatan ini memiliki keunggulan, terutama jika dilihat dari
prosedur kerjanya yang sangat memperhatikan pada kebutuhan dan
situasi nyata di sekolah, sistematik, dan bersifat siklus.
Pendekatan ini berbeda dengan penelitian pendidikan pada
umumnya. Penelitian pendidikan lebih menekankan pada penemuan
pengetahuan baru atau menjawab pertanyaan khusus mengenai persoalan
praktis (practical problem) bidang pembelajaran, miskin dalam hal
metodologi pengembangan produk pembelajaran baru yang benar-benar
dapat digunakan di sekolah, dan mengabaikan situasi dan kondisi
lapangan. Secara detail, perbedaan di antara keduanya.Bagaimana
langkah-langkah R&D? Borg dan Gall (1983: 775) mengajukan
serangkaian tahap yang harus ditempuh dalam pendekatan ini, yaitu
research and information collecting, planning, develop preliminary
form of product, pleminary field testing, main product revision,
main field testing, operational product revision, operational field
testing, final product revision, and dissemination and
implementation". Apabila langkah-langkah tersebut diikuti dengan
benar, diasumsikan menghasilkan suatu produk pembelajaran yang siap
dipakai pada tingkat sekolah.Tahapan yang dapat dilakukan dalam
pengembangan penelitian antara lain dilakukan dengan Research and
information collecting. Tahap ini bisa dikatakan sebagai tahap
studi pendahuluan. Dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan adalah melakukan studi pustaka yang melandasi produk
pembelajaran yang akan dikembangkan, obeservasi di kelas, dan
merancang kerangka kerja penelitian dan pengembangan produk
pembelajaran.
Planning. Setelah studi pendahuluan dilakukan, langkah
berikutnya adalah merancang berbagai kegiatan dan prosedur yang
akan ditempuh dalam penelitian dan pengembangan produk
pembelajaran. Kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan dalam tahap
ini, yaitu merumuskan tujuan khusus yang ingin dicapai dengan
dikembangkannya suatu produk; memperkirakan dana, tenaga, dan waktu
yang diperlukan untuk mengembangkan suatu produk; merumuskan
kemampuan peneliti, prosedur kerja, dan bentuk-bentuk partisipasi
yang memerlukan selama penelitian dan pengembangan suatu produk;
dan merancang uji kelayakan.Development of the preliminary form of
the product. Tahap ini merupakan tahap perancangan draf awal produk
pembelajaran yang siap diujicobakan, termasuk di dalamnya sarana
dan prasarana yang diperlukan untuk uji coba dan validasi produk,
alat evaluasi, dan lain-lain.Preliminary field test and product
revision. Tujuan dari tahap ini adalah memperoleh deskripsi latar
(setting) penerapan atau kelayakan suatu produk jika produk
tersebut benar-benar telah dikembangkan. Uji coba pendahuluan ini
bersifat terbatas. Hasil uji coba terbatas ini dipakai sebagai
bahan untuk melakukan revisi terhadap suatu produk yang hendak
dikembangkan. Pelaksanaan uji coba terbatas bisa berulang-ulang
hingga diperoleh draft produk yang siap diujicobakan dalam skop
yang lebih luas.
Main field test and product revision. Tahap ini biasanya disebut
sebagai uji coba utama dengan skop yang lebih luas. Tujuan dari
tahap ini adalah menentukan apakah suatu produk yang hendak
dikembangkan benar-benar telah menunjukkan suatu performansi
sebagaimana yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
biasanya tahap ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen.
Hasil dari uji coba utama dipakai untuk merevisi produk tersebut
hingga diperoleh suatu produk yang siap untuk
divalidasi.Operational rield test and final product revision.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk menentukan apakah suatu produk
yang dikembangkan itu benar-benar siap dipakai di sekolah tanpa
melibatkan kehadiran peneliti atau pengembang produk. Pada umumnya,
tahap ini disebut sebagai tahap uji validasi model.Dissemination
and implementation. Tahap ini ditempuh dengan tujuan agar produk
yang baru saja dikembangkan itu bisa dipakai oleh masyarakat luas.
Inti kegiatan dalam tahap ini adalah melakukan sosialisasi terhadap
produk hasil pengembangan. Misalnya, melaporkan hasil dalam
pertemuan-pertemuan profesi dan dalam bentuk jurnal ilmiah.
Berdasarkan uraian di atas, sesungguhnya, tahap-tahap penelitian
dan pengembangan yang dikemukakan Borg dan Gall dapat
disederhanakan menjadi empat langkah utama. Keempat langkah utama
tersebut adalah studi pendahuluan, perencanaan, uji coba, validasi,
dan pelaporan. Tahap studi pendahuluan, yang merupakan kegiatan
research and information collecting memiliki dua kegiatan utama,
yaitu studi literatur (kaji pustaka dan hasil penelitian terdahulu)
dan studi lapangan. Hasil dari kegiatan ini adalah diperolehnya
profil implementasi sistem pembelajaran, khususnya yang berkaitan
dengan kegiatan atau obyek pembelajaran yang hendak ditingkatkan
mutunya.Tahap pengembangan, sebagai gabungan dari tahap planning
and development of preliminary form of product mengandung
kegiatan-kegiatan; penentuan tujuan, menentukan kualifikasi
pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan
(misalnya; peneliti dan guru), merumuskan bentuk partisipasi
pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan,
menentukan prosedur kerja, dan uji kelayakan.
Hasil dari kegiatan ini adalah diperolehnya draft desain model
yang siap untuk diujicobakan. Tahap uji lapangan mengandung
tahap-tahap preliminary testing, main product revision, main field
testing, dan product revision memiliki kegiatan utama yaitu uji
coba, baik uji coba terbatas (preliminary field test) maupun uji
coba lebih luas (main field test). Di samping itu, tahap ini
mengandung pula kegiatan untuk merevisi terhadap hasil setiap uji
coba model sistem pembelajaran tersebut.
Kegiatan uji coba ini dilakukan secara siklis (desain,
implementasi, evaluasi, dan penyempurnaan) sampai ditemukan model
sistem pembelajaran yang siap untuk divalidasikan. Kegiatan
selanjutnya adalah melakukan validasi, yang terdiri atas kegiatan
operational field testing dan final product revision dengan tujuan
untuk menguji model melalui eksperimentasi model kepada sejumlah
sekolah.
Hasil eksperimentasi ini menjadi bahan pertimbangan dalam
membuat rekomendasi tentang efektivitas dan adaptabilitas model
pembelajaran dalam konteks sistem pendidikan nasional. Tahap
diseminasi, yang diartikan sebagai tahap dissemination and
implementation mengandung kegiatan sosialisasi dan distribusi.
Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk sosialisasi terhadap produk
hasil pengembangan kepada calon pengguna dan pihak-pihak yang
terkait di bidang pendidikan.
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat
pendidikan. Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata
susunan hidup yang budaya modem, konstruktivisme merupakan landasan
berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalarnan nyata. Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme
adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa
dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri, sedangkan teori
konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan
terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya
dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya
tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori
ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan
sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut: Adanya
motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri. Mengembangkan kemainpuan siswa untuk mengejukan pertanyaan
dan mencari sendiri pertanyaannya. Membantu siswa untuk
mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap dan
mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
4. Kelebihan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme
Pembelajaran
Berfikir dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir
untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
Faham : Oleh karena murid terlibat secara langsung dalam mebina
pengetahuan mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya
dalam semua situasi. Oleh kerana murid terlibat secara langsung
dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin
Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka.
Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah
dalam situasi baru.
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan
guru dalam membina pengetahuan baru, oleh sebab itu mereka terlibat
secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan
sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina
pengetahuan baru.
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita
lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik
itu sepertinya kurang begitu mendukung, hal ini nampak dari
aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi
belajar. Mengacu pada beberapa pendapat diatas maka dapat ditarik
suatu argumen bahwa:
Kesatu, Proses belajar kontruktivistik secara konseptual proses
belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai
perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam
diri siswa kepada pengalmannya melalui proses asimilasi dan
akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya.
Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi
perolehan pengetahuan daripada fakta-fakta yang
terlepas-lepas.Kedua, Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar
merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini
harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan,
aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal
yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil
prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi
terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu
sendiri.
Ketiga, Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik
berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh
siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang
telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk
pengetahuannya sendiri.
Keempat, Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan
dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media,
peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk
membantu pembentukan tersebut.
Kelima, Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan
belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta
aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
Adapun Model Pengajaran Konstruktivisme Model Pengajaran
Interaktif (Biddulph & Osborne) Guru lebih sensitif kepada ide
dan persoalan pelajar. Guru menyediakan pengalaman penerokaan yang
membolehkan pelajar menimbul persoalan dan mencadangkan penerangan
yang munasabah. Guru menyediakan aktiviti yang memfokuskan kepada
ide dan persoalan oleh guru. Guru menyediakan aktiviti yang
menggalakkan pelajar membuat penyiasatan. Guru berinteraksi dengan
pelajar untuk mencabar dan melanjutkan idea mereka.Pengajaran Model
Berpusatkan Masalah (Wheatley) guru memilih tugasan yang
berkemungkinan menjadi masalah besar kepada pelajar, pelajar
membuat tugasan dalam kelompok kecil. Pelajar akan berkumpul semula
untuk membentangkan kepada kelas dan guru-guru hanya berperan
sebagai fasilistor. Cara-cara Pelajar Membina Konsep Matematik
Pelajar membuat penyelesaian matematik dengan manipulatif. Pelajar
berbincang keputusan penyiasatan mereka. Pelajar menulis hasil
pengalaman mereka. Melajar belajar cara penemuan mereka.
Pelajar berfikir secara mencapah. Pelajar menyelesaikan masalah
yang terbuka. Keberkesanan Strategi Pengajaran Matematik Melalui
Pendekatan Kontruktivisme pelajar berpeluang mengemulcakan
pandangan mereka terhadap suatu konsep. Pelajar dapat berkongsi
persepsi/pandangan/ide antara satu dengan yang lain. Pelajar dapat
menerima serta menghormati semua pandangan dari pada rekan-rekan
mereka. Semua pandangan bisa diterima dan tidak dipandang rendah.
Pelajar dapat mengaplikasi ide baru dalam konteks yang berbeda
untuk mengukuhkan kepahaman tersebut. Pelajar dapat merenung dan
mengimbas kembali proses pembelajaran yang telah dilalui Pelajar
dapat menghubung kaitkan ide yang asal dengan ide yang baru
dibinanya. Pelajar dapat mengemukakan hipotesis dari pada taktifi
yang dilaluinya tetapi bukan guru yang menerangkan teori.
Pelajar dapat berinteraksi dengan pelajar lain dan guru memupuk
kerja sama antar individu dan kumpulan melalui aktifiti koperatif
pengajaran berpusatkan pada pelajaran guru akan dapat meningkatkan
kemahiran berfikir di kalangan pelajarnya Guru menjadi lebih
prihatin terhadap keperluan kebolehan serta minat pelajar.
G. Hubungan Teori Konstruktivis dengan Teori Lainnya
Selama 20 tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak
mempengaruhi pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara
Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini berkaitan dengan
beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep, Teori
Belajar Bermakna dan Ausuble, dan Teori Skema.
Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori petubahan konsep
ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat konstruktivisme.
Konstruktivisme yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh
siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep yang
menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus menerus,
sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah
mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.
Konstruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk
pengetahuan yang tidak tepat.
Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan
siswa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori
perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar
menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep
yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan
ilmuan. Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan
pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang
berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan karena setiap kali
mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai
dengan pengertian ilmuan. Salah pengrtian dalam memahami sesuatu,
menurut Teori Konstruktivisme dan teori Perubahan Konsep, bukanlah
akhir dari segala-galanya melainkan justru menjadi awal untuk
pengembangan yang lebih baik. Dalam proses belajar ini siswa
mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori Belajar bermakna
Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya
menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena,
dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai.
Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam
konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya
mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.Berbeda
dengan teori skema, menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam
suatu paket informasi, atau skema yang terdiri dari konstruksi
mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan
kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan
kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sehingga
dapat menjadi lebih luas dan berkembang.
Konstruktivisme berbeda dengan Behavorisme dan Maturasionisme.
Bila Behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan
pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan pengembangan konsep
dan pengertian yang mendalam. Bila Maturasionisme, lebih menekankan
pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah
perkembangan kedewasaan. Konstruktivisme lebih menekankan
pengetahuan sebagai konstruksi aktif sibelajar. Dalam pengertian
Maturasionisme, bila seseorang mengikuti perkembangan pengetahuan
yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang
lengkap. Menurut Konstruktivisme, bila seseorang tidak
mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia berumur
tua akan tetap tidakakan berkembang pengetahuannya.Dalam teori ini
kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu
menjadi orang yang kritis menganalisis sesuatu hal karena mereka
berfikir dan bukan meniru saja.
Kadang-kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan
Teori Pencarian Sendiri (Inguiry Approach) dalam belajar.
Sebenarnya kalau kita lihat secara teliti, kedua teori ini tidak
sama. Dalam banyak hal mereka punya kesamaan, seperti penekanan
keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal.
Dapat terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan
metode konstruktivisme tetapi tidak semua konstruktivis dengan
metode pencarian sendiri. Dalam konstruktivisme terlebih yang
personal sosial, justru dikembangkan belajar bersama dalam
kelompok. Hal ini yang tidak ada dalam metode mencari sendiri.
Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak memungkinkan
siswa mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena langkah-langkah
pencarian dan bagaimana pencarian dilaporkan dan dirumuskan sudah
dituliskan sebelumnya.H. Implikasi Teori Konstruktivis dalam
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Setiap guru akan pernah
mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya
namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak
mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan
bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswa dengan
baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama
sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti
dengan hasil yang baik pada siswanya.
Karena, hanya dengan usaha yang keras para siswa sendirilah para
siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan, dan
tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga
pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa
sendirian bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara
aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam
kerangka kognitifnya.
Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model
mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan
penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk
mendukung model-model itu. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman
yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru
dalam mengajar bukannya "menguliahi", menerangkan atau upaya-upaya
sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan
situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat
konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.Kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik,
serta latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari.Demikian halnya dengan peserta didik diharapkan selalu
aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya.
Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat
situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik sedangkan Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar
adalah sebagai berikut: (1) Konstruktivisme memandang bahwa
pengetahuan non objektif, bersifat ternporer, selalu berubah dan
tidak menentu. (2) Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari
pengalaman konkfit, aktifitas kolaboratif dan refleksi dan
interpretasi. (3) Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang
didalam menginterprestasikannya.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada jenjang pendidikan dasar
menengah memfokuskan kajiannya kepada hubungan antar manusia dan
proses mernbantu pengembangan kemampuan dalam hubungan tersebut.
Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikembangkan melalui
kajian ini ditunjukan untuk mencapai keserasian dan keselarasan
dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan IPS sudah lama dikembangkan dan dilaksanakan dalam
kurikulum-kurikulum di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan
dasar. Pendidikan ini tidak dapat disangkal telah membawa beberapa
hasil, walaupun belum optimal. Secara umum penguasaan pengetahuan
sosial atau kewarganegaraan lulusan pendidikan dasar relatif cukup,
tetapi penguasaan nilai dalam arti penerapan nilai, keterampilan
sosial dan partisipasi sosial hasilnya belum menggembirakan.
Kelemahan tersebut sudah tertentu terkait atau dilatarbelakangi
oleh banyak hal, terutama proses pendidikan atau pembelajarannya,
kurikulum, para pengelola dan pelaksananya serta faktor-faktor
berpengaruh lainnya.
Beberapa temuan penelitian dan pengamatan ahli memperkuat
kesimpulan tersebut. Dalam segi hasil atau dampak pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial atau IPS terhadap kehidupan bennasyarakat, masih
belum begitu nampak. Perwujudan nilai-nilai sosial yang
dikembangkan di sekolah belum nampak dalam kehidupan sehari-hari,
keterampilan sosial para sosial para lulusan pendidikan dasar
khususnya masih memprihatinkan, partisipasi dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan semakin menyusut.
Banyak penyebab yang melatarbelakangi pendidikan IPS belum dapat
memberikan hasil seperti yang diharapkan. Faktor penyebabnya dapat
berpangkal dari kurikulum, rancangan, pelaksana, pelaksanaan
ataupun faktor-faktor pendukung pembelajaran. Berkenaan dengan
kurikulum dan rancangan pembelajaran IPS, beberapa penelitian
memberi gambaran tentang kondisi tersebut. Hasil penelitian
Balitbang.Depdikbud tahun 1999 menyebutkan bahwa Kurikulum 1994
tidak disusun berdasarkan basic competencies melainkan pada materi,
sehingga dalam kurikulu mnya banyak memuat konsep-konsep teoritis
(Boediono, et al. 1999: 84). Hasil evaluasi kurikulum IPS SD tahun
1994 menggambarkan adanya kesenjangan kesiapan siswa dengan bobot
materi sehingga materi yang disajikan, terlalu dianggap sulit bagi
siswa, kesenjangan antara tuntutan materi dengan fasilitas
pembelajaran dan buku sumber, kesulitan menejemen waktu serta
keterbatasan kemampuan melakukan pembaharuan metode mengajar
(Depdikbud, 1999). Dalam implementasi materi Muchtar, SA. (1991)
menemukan IPS lebih menekankan aspek pengetahuan, berpusat pada
guru, mengarahkan bahan berupa informasi yang tidak mengembangkan
berpikir nilai serta hanya membentuk budaya menghafal dan bukan
berpikir kritis. Dalam pelaksanaan Soemantri, N. (1998) menilai
pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat
monoton dan ekspositoris sehingga siswa kurang antuasias dan
mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal menurut Sumaatmadja,
N. (1996: 35) guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat
siswa karena minat merupakan modal keberhasilan pembelajaran IPS.
Selanjutnya Como dan Snow (dalam Syafruddin, 2001: 3) menilai bahwa
model pembelajaran IPS yang diimplementasikan saat ini masih
bersifat konvensional sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan
secara optimal. Dengan pembelajaran seperti itu maka perbedaan
individual siswa di kelas tidak dapat terakomodasi sehingga sulit
tercapai tujuan-tujuan spesifik pembelajaran terutama bagi siswa
berkemampuan rendah. Model pembelajaran saat ini juga lebih
menekankan pada aspek kebutuhan formal dibanding kebutuhan real
siswa sehingga proses pembelajaran terkesan sebagai pekerjaan
administratif dan belum mengembangkan potensi anak secara
optimal.
Berdasarkan hal-hal di atas nampak, bahwa pada satu sisi betapa
pentingnya peranan pendidikan IPS dalam, mengembangkan pengetahuan,
nilai. Sikap, dan keterampilan sosial agar siswa menjadi warga
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang baik namun di pihak
lain masih banyak masalah-masalah tersebut diperlukan penelitian
berkaitan dengan pembelajaran IPS. Salah satu upaya yang memadai
untuk itu adalah dengan melakukan model pembelajaran.
Dengan adanya penulisan makalah yang bertajuk tentang
pengembangan model pembelajaran untuk mengatasi masalah pendidikan
IPS di Sekolah Dasar maka seluruh pihak yang memiliki keterkaitan
dengan masalah tersebut bisa memahami apa yang menjadi pokok
permasalahan yang terjadi. Agar nantinya masalah tersebut tidak
menjadi masalah yang menghambat maksud ataupun tujuan yang ingin
dicapai. Selain itu dalam penulisan makalah ini apa yang menjadi
solusi dalam pemecahan masalah bisa ditemukan dan pihak-pihak yang
terkait dapat mengembangkan potensi diri dalam mengolah teknik
model pembelajaran yang baik dan efisien. 1. Pendidikan IPS
IPS adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan
penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi yang
diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan
Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi (Puskur,
2001: 9). Geografi, Sejarah dan Antropologi merupakan disiplin ilmu
yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi
memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dengan
wilayah, sedangkan Sejarah memberikan kebulatan wawasan berkenaan
dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode.
Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan
dengan nilai-nilai kepercayaan, struktur sosial, aktivita-aktivitas
ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekpresi dan spritual,
teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya - budaya terpilih.
Ilmu Ekonomi tergolong kedalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada
aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pernbuatan keputusan.
Sosiologi merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep
peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol
sosial.
Muriel Crosby menyatakan bahwa IPS diidentifikasi sebagai studi
yang memperhatikan pada bagaimana orang membangun kehidupan yang
lebih baik bagi dirinya dan anggota keluarganya, bagaimana orang
memecahkan masalah-masalah, bagaimana orang hidup bersama,
bagaimana orang mengubah dan diubah oleh lingkungannya (Leonard S.
Kenworthi, 1981:7). IPS menggambarkan interaksi individu atau
kelopok dalam masyarakat baik dalam lingkungan fisik dan lingkungan
sosial. Interaksi antar individu dalam ruang lingkup lingkungan
mulai dari yang terkeeil misalkan keluarga, tetangga, rukun
tetangga atau rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten,
provinsi, negara dan dunia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan IPS adalah disiplin
ilmu-ilmu sosial ataupun integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial
seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, dan antropologi
yang mempelajari masalah-masalah sosial.
Pendidikan IPS di SD telah mengintegrasikan bahan pelajaran
tersebut dalam satu bidang studi. Materi pelajaran IPS merupakan
penggunaan konsep- konsep dari ilmu sosial yang terintegrasi dalam
tema-tema tertentu. Misalkan materi tentang pasar, maka harus
ditampilkan kapan atau bagaimana proses berdirinya (sejarah),
dimana pasar itu berdiri (Geografi), bagaimana hubungan antara
orang-orang yang berada di pasar (Sosiologi), bagaimana
kebiasaan-kebiasaan orang menjual atau membeli di pasar
(Antropologi) dan berapa jenis-jenis barang yang diperjualbelikan
(Ekonomi).
Dengan demikian Pendidikan IPS di sekolah dasar adalah disiplin
ilmu-ilmu sosial seperti yang disajikan pada tingkat menengah dan
universitas, hanya karena pertimbangan tingkat kecerdasan,
kematangan jiwa peserta didik, maka bahan pendidikannya
disederhanakan, diseleksi, diadaptasi dan dimodifikasi untuk tujuan
institusional didaksmen (Sidiharjo, 1997).2. Permasalahan
Pendidikan IPS
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang
terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap
perbaikan segala ketimpangan yang terjadi yang terjadi, dan
terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik
yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan
tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di
sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut
dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).
Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau
lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan
kebudayaan masyarakat. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan
mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang
kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat
keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di
masyarakat. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah
sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu
mengambil tindakan yang tepat. Mampu mengembangkan berbagai potensi
sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian
bertanggung jawab membangun masyarakat. Menurut Noman Sumantri
bahwa tujuan Pendidikan IPS pada tingkat sekolah adalah :
Menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraan, moral, ideologi negara
dan agama. Menekankan pada isi dan metode berfikir ilmuwan.
Menekankan reflective inquiry.PIPS menurut NCCS mempunyai tujuan
informasi dan pengetahuan (knowledge and information), nilai dan
tingkah laku (attitude and values), dan tujuan keterampilan
(skill): sosial, bekerja dan belajar, kerja kelompok, dan
ketrampilan intelektual (Jarolimele, 1986: 5-8).Secara umum,
pencapaian tujuan Pendidikan IPS lulusan pendidikan SD belumlah
optimal. Kelemahan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak hal,
terutama proses pendidikan dan pembelajarannya. Dalam proses
pendidikan IPS di SD, pembelajarannya kurang memperhatikan
karakteristik anak usia sekolah dasar, yakni terkait dengan
perkembangan psikologis siswa. Menurut Jean Piaget (1963), anak
dalam kelompok usia SD (6-12 tahun) berada dalam perkembangan
kernampuan intelektual/kognitifnya pada tingkatan konkrit
operasional.
Mereka memandang dunia dalain keseluruhan yang utuh dan
menganggap tahun yang akan datang sebagai waktu yang masih jauh.
Yang mereka pedulikan adalah sekarang (=konkrit) dan bukan masa
depan yang belum bisa mereka pahami (=abstrak). Padahal bahan
materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak.
Konsep-konsep seperti waktu, perubahan, kesinambungan (continuity)
arah mata angin, lingkungan, ritual, akuliturasi, kekuatan,
demokrasi, nilai, peranan, permintaan atau kelangkaan adalah
konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus
dibelajarkan kepada siswa SD.
Jika hal ini dibiarkan terus, maka pembelajaran IPS dapat
menjadi pelajaran yang membosankan bagi siswa. Dan baik secara
langsung maupun tidak akan berdampak pada tujuan pendidikan IPS
yang diharapkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
diperlukanlah model pembelajaran yang sesuai untuk materi IPS di SD
dan memperhatikan karakteristik anak usia SD.
3. Model Pembelaiaran
3.1. Pengertian Model Belajar-Mengajar
Dalam keseharian istilah 'model' dimaksudkan terhadap pola atau
bentuk yang akan menjadi acuan. Dalam konteks pendidikan agaknya
tidak jauh juga maknanya, yakni sebagai kerangka konseptual
berkenaan dengan rancangan yang berisi langkah teknis dalam
kesatuan strategis yang hatus dilakukan dalam mendorong terjadinya
situasi pendidikan; dalam wujud perilaku belajar dan mengajar
dengan kecenderungan berbeda antara satu dengan lainnya atau dengan
biasanya.
Dengan demikian sebuah model dalam konteks pembelajaran,
tidaklah dapat diterima sebagai sebuah model jika tidak
memperlihatkan ciri khususnya sebagai sesuatu yang berbeda dari
yang lainnya. Adapun menurut Srifudin (Wahab, Azis, 1990: 1) yang
dimaksud dengan 'model belajar mengajar' adalah kerangka konseptual
yang melukiskan prosedur yang teroganisasi secara sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar
tertentu, yang berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran
dan para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar
mengajar. Dengan demikian. model belajar-mengajar khususnya dapat
diartikan sebagai satuan cara, yang berisi prosedur, langkah teknis
yang harus dilakukan dalam mendekati sasaran proses dan hasil
belajar hingga mencapai efektifitasnya, menurut kesesuaian dengan
setting waktu, tempat dan subjek ajarnya.
3.2. Macam-macam Model Mengajar
a. Model-model Pemrosesan
Model-model yang berorientasi pada kemampuan pemrosesan
informasi dari siswa dan cara memperbaiki kemampuannya dalam
menguasai informasi, merujuk pada cara orang menangani stimulus
dari lingkungannya, mengorganisasikan data, menginderai masalah,
melahirkan konsep dan pemecahan masalah, dan menggunakan simbol
verbal da non-verbal. Sungguhpun model- model yang termasuk ke
dalam rumpun ini berkesan akademik namun tetap peduli akan hubungan
sosial dan pengembangan diri. Model-model yang termasuk dalam
rumpun ini antara lain adalah; Model Berpikir (Inquiry Training
Model), Inkuiri Ilmiah (Scientific Inquiry), Perolehan Konsep
(Concept), Model Advance Organizer (Advance Organizer Model), dan
Ingatan (Memory). Model berpikir yang dikmnbangkan Hilda Taba,
dirancang terutama untuk mengembangan proses mental induktif dan
penalaran akademik atau pembentukan teori, namun kapasitasnya
berguna pula untuk pengembangan personal dan sosial.
b. Model-model Personal
Model-model yang termasuk ke dalam rumpun personal berorientasi
pada pengembangan diri individu, model-model ini menekankan proses
pembentukan individu dalam mengorganisasikan realitasnya yang unik.
Fokus pengembangan berkesan menekankan pada pembinaan emosional
antara individu dalam hubungan produktif dengan lingkungannya
hingga diharapkan menghasilkan hubungan interpersonal yang lebih
kaya dan kemampuan pemrosesan yang lebih efektif lagi. Terliput ke
dalam rumpun ini adalah; Pengajaran Non-Direktif (Non directive
Teaching), Pelatihan Kesadaran (Awraness Training), Sinektic
(Synectics), Sistem Konseptuaal (Conceptual System) dan Pertemuan
Kelas (Classroom Meeting).c. Model-model Interaksi Sosial.
Model-model pembelajaran yang termasuk rumpun Interaksi Sosial,
menekankan hubungan antara individu dengan masyarakat dan dengan
individu lainnya. Fokus model ini terletak pada proses di mana
dengan proses ini realitas dinegosiasi memberikan prioritas pada
perbaikan kemampuan individu untuk berhubungan dengan yang lainnya,
bergelut dengan proses demokratik dan bekerja secara produktif
dalam masyarakat. Termasuk ke dalam rumpun model ini, antara lain :
Investigasi Kelompok (Group Investigation), Inkuiri Sosial (Social
Inquiry), Metode Laboratorium (Laboratory Method), Yurisprudensial
(Yurisprudential), Bermain Peran (Role Playing) dan Simulasi Sosial
(Social Simulation).
d. Model Behavioral
Model-Model yang termasuk ke dalam rumpan behavioral berpijak
pada landasan teoritis yang sama, yakni teori tingkah laku
(Behavioral Theory). Dalam penerapannya, model ini banyak
menggunakan istilah lain seperti teori belajar, teori belajar
sosial, modifikasi tingkah laku, dan terapi tingkah laku. Ciri
pokoknya menekankan pada usaha mengubah tingkah laku teramati
ketimbang struktur psikologis yang mendasarinya dan tingkah laku
yang tidak teramatinya. Model ini mendasarkan pada prinsip kontrol
stimulus dan penguatan (Stimulus Control and Reinforcement).
Lebih dari model lainnya model behavioral memiliki keterpakaian
yang luas dan teruji keefektifannya pada aneka tujuan seperti
pendidikan, pelatihan tingkah laku interpersonal dan pengobatan.
Tercakup kedalam model ini, antara lain : Manajemen Kontingensi
(Contingency Management), Kontrol Diri (Self Control), Relaksasi
(Relaxation), Reduksi Stres (Stress Reducation), Pelatihan Asertif
(Assertive Training), Desentisasi (Desensitization) dan Pelatihan
Langsung (Direct Training).4. Pengembangan Model Pembelajaran Untuk
Mengatasi Masalah Pendidikan IPS di Sekolah Lanjutan
Sejumlah model pendekatan pembelajaran tersebut diatas,
masing-masing mengedepankan keunggulan dalam mengupayakan
pencapaian sasaran yang diyakini oleh setiap pengembangannya, namun
untuk penerapan praktis di tempat yang sangat mungkin berbeda,
harus dikalkulasikan dengan berbagai aspek kondisional yang tentu
tidak sama. Sekurang-kurangnya dimana, oleh, atau dengan dan
terutama untuk siapa proses pembelajaran dilakukan.Khusus berkaitan
dengan kebutuhan pembelajaran pada anak usia pertumbuhan, dari
sejumlah model tersebut tentunya dapat dirujuk model pendekatan
yang menjadi rujukan di atas dengan sebutan model Cognitive Emotion
and Social Development. Dasar pandangannya adalah "anak merupakan
produk berbagai pengaruh, mulai dari keluarganya, kesehatan,
kondisi sosial, ekonomi dan sekolali". Bahwa masing-masing
pendekatan pada pandangan teoritis berkenaan dengan stressingnya,
dalam praktisnya dapat terjadi saling berkait antara satu
pendekatan dengan pendekatan lain secara bersamaan.
Untuk itu, memenuhi keperluan teknis operasional dalam
mengembangkan pembelajaran Pengetahuan Sosial berbasis pendekatan
nilai khususnya, berikut dipetikan langkah teknis sejumlah model
pilihan yang dipandang mewakili tuntutan karakteristik materil,
peserta didik dan setting sosial yang menjadi lingkungan kultur dan
belajar pendidikan menengah umumnya di tanah air. Beberapa dari
sejumlah pendekatan yang menjadi rujukan tersebut, secara parsial
terliput dalam kerangka teknis model pilihan berikut, antara lain:
Model Inkuiri, VCT, Bermain Peta, ITM (STS), Role Playing, dan
Portofolio.
1) Model Inkuiri
a) Makna Pernbelajaran Inkuiri
Model inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang
memfokuskan kepada pengembangan kemampuan siswa dalam berpikir
reflektif kritis, dan kreatif. Inkuiri adalah salah satu model
pembelajaran yang dipandang modern yang dapat dipergunakan pada
berbagai jenjang pendidikan, mulai tingkat pendidikan dasar hingga
menengah. Pelaksanaan inkuiri di dalam pembelajaran Pengetahuan
Sosial dirasionalisasi pada pandangan dasar bahwa dalam model
pembelajaran tersebut, siswa didorong untuk mencari dan mendapatkan
informasi melalui kegiatan belajar mandiri. Model inkuiri pada
hakekatnva merupakan penerapan metode ilmiah khususnya di lapangan
Sains, namun dapat dilakukan terhadap berbagai pemecahan problem
sosial.
Savage Amstrong mengemukakan bahwa model tersebut secara luas
dapat digunakan dalam proses pembelajaran Social Studies (Savage
and Amstrong,1996). Pengembangan strategi pembelajaran dengan model
inkuiri dipandang sangat sesuai dengan karakteristik materil
pendidikan Pengetahuan Sosial yang bertujuan mengembangkan
tanggungjawab individu dan kemampuan berpartisipasi aktif baik
sebagai anggota masyarakat dan warganegara.
b) Langkah-langkah Inkuiri Langkah-langkah yang harus ditempuh
di dalam model inkuiri pada hakekatnya tidak berbeda jauh
langkah-langkah pemecahan masalah yang dikembangkan oleh John Dewey
dalam bukunya How We Think. Langkah-langkah tersebut antara
lain:
Langkah pertama, adalah orientation, siswa mengidentifikasi
masalah, dengan pengarahan dari guru terutama yang berkaitan dengan
situasi kehidupan sehari-hari. Langkah kedua hypothesis, yakni
kegiatan menyusun sebuah hipotesis yang dirumuskan sejelas mungkin
sebagai antiseden dan konsekuensi dari penjelasan yang telah
diajukan. Langkah ketiga defination, yaitu mengklarifikasi
hipotesis yang telah diajukan dalam forum diskusi kelas untak
mendapat tanggapan. Langkah keempat exploration, pada tahap ini
hipotesis diperluas kajiannya dalam pengertian implikasinya dengan
asumsi yang dikembangkan dari hipotesis tersebut. Langkah kelima
evidencing, fakta dan bukti dikumpulkan untuk mencari dukungan atau
pengujian bagi hipotesa tersebut. Langkah keenam generalization,
pada tahap ini kegiatan inkuiri sudah sampai pada tahap mengambil
kesimpulan pemecahan masalah (Joyce dan Weil, 1980).
2) Model Pembelajaran VCT a) Makna Pembelajaran VCTVCT adalah
salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan
pancapaian pendidikan nilai. Djahiri (1979: 115) mengemukakan bahwa
Value Clarification Technique, merupakan sebuah cara bagaimana
menanamkan dan menggali/ mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari
diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya VCT berfungsi untuk:
a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu
nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang
dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian
dibina kearah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu
nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa
sebagai milik pribadinya. Dengan kata lain, Djahiri (1979: 116)
menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk melatih dan membina siswa
tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu
nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga
masyarakat.
b) Langkah Pembelajaran Model VCT
Berkenaan dengan teknik pembelajaran nilai Jarolimek
merekomendasikan beberapa cara, antara lain:
a. Teknik evaluasi diri (self evaluation) dan evaluasi kelompok
(group evaluation)
Dalam teknik evaluasi diri dan evaluasi kelompok peserta didik
diajak berdiskusi atau tanya-jawab tentang apa yang dilakukannya
serta diarakan kepada keinginan untuk perbaikan dan penyempumaan
oleh dirinya sendiri:1) Menentukan tema, dari persoalan yang ada
atau yang ditemukan peserta didik2) Guru bertanya berkenaan yang
dialami peserta didik3) Peserta didik merespon pernyataan guru4)
Tanya jawab guru dengan peserta didik berlangsung terus hingga
sampai pada tujuan yang diharapkan untuk menanamkan nilai-nilai
yang terkandung dalam materi tersebut.
b. Teknik LecturingTeknik lecturing, dilakukan guru dengan
bercerita dan mengangkat apa yang menjadi topik bahasannya.
Langkah-langkahnya antara lain : 1) Memilih satu masalah / kasus /
kejadian yang diambil dari buku atau yang dibuat guru.2) Siswa
dipersilahkan memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan
menggunakan kode, misalnya: baik-buruk, salah benar, adil tidak
adil, dsb.3) Hasil kerja kemudian dibahas bersama-sama atau
kelompok kalau dibagi kelompok untuk memberikan kesempatan alasan
dan argumentasi terhadap penilaian tersebut.
c. Teknik menarik dan memberikan percontohan
Dalam teknik menarik dan memberi percontohan (example of
axamplary behavior), guru membarikan dan meminta contoh-contoh baik
dari diri peserta didik ataupun kehidupan masyarakat luas, kemudian
dianalisis, dinilai dan didiskusikan.d. Teknik indoktrinasi dan
pembakuan kebiasan
Teknik indoktrinasi dan pembakuan kebiasan, dalam teknik ini
peserta didik dituntut untuk menerima atau melakukan sesuatu yang
oleh guru dinyatakan baik, harus, dilarang, dan sebagainya.
e. Teknik tanya-jawab
Teknik tanya-jawab guru mengangkat suatu masalah, lalu
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan sedangkan peserta didik aktif
menjawab atau mengemukakan pendapat pikirannya.
f. Teknik menilai suatu bahan tulisan Teknik menilai suatu bahan
tulisan, baik dari buku atau khusus dibuat guru. Dalam hal ini
peserta didik diminta memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan
kode (misal: baik - buruk, benar - tidak-benar, adil - tidak-adil
dll). Cara ini dapat dibalik, siswa membuat tulisan sedangkan guru
membuat catatan kode penilaiannya. Selanjutnya hasil kerja itu
dibahas bersama atau kelompok untuk memberikan tanggapan terhadap
penilaian.
g. Teknik mengungkapkan nilai melalui permainan (games).
Dalam pilihan ini guru dapat menggunakan model yang sudah ada
maupun ciptaan sendiri. 3) Model Bermain Peta
Ketrampilan menggunakan dan menafsirkan peta dan globe merupakan
salah satu tujuan penting dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial.
Keterampilan menginterpretasi peta maupun globe perlu dilakukan
peserta didik secara fungsional. Peta dan globe memberikan manfaat,
yaitu: a) siswa dapat memperoleh gambaran mengenai bentuk, besar,
batas-batas suatu daerah; b) memperoleh pengertian yang lebih jelas
mengenai istilah-istilah geografi seperti: pulau, selat,
semenanjung, samudera, benua dan sebagainya; c) memahami peta dan
globe, diperlukan beberapa syarat yaitu : (a) arah, siswa mengerti
tentang cara menentukan tempat di bumi seperti arah mata angin,
meridian, paralel, belahan timur dan barat; (b) skala, merupakan
model atau gambar yang lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya;
(c) lambang-lambang, merupakan simbol-simbol yang mudah dibaca
tanpa ada keterangan lain; (d) warna, menggunakan berbagai warna
untuk menyatakan hal-hal tertentu misalnya: laut, beda tinggi
daratan, daerah, negara tertentu dsb. 4) Pendekatan ITM (Ilmu
Teknologi dan Masyarakat)a) Kebermaknaan Model Pendekatan ITM
Pendekatan ITM (Ilmu Teknologi dan Masyarakat) atau juga disebut
STS (Science-Technology-Society) muncul menjadi sebuah pilihan
jawaban atas kritik terhadap pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
yang bersifat tradisional (texbook), yakni berkisar masih pada
pengajaran tentang fakta-fakta dan teori-teori tanpa
menghubungkannya dengan dunia nyata yang integral. ITM dikembangkan
kemudian sebagai sebuah pendekatan guna mencapai tujuan
pembelajaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan nyata dengan
cara melibatkan peran aktif peserta didik dalam mencari informasi
untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan
kesehariannya.Pendekatan ITM menekankan pada aktivitas peserta
didik melalui penggunaan keterampilan proses dan mendorong berpikir
tingkat tinggi, seperti; melakukan kegiatan pengumpulan data,
menganalisis data, melakukan survey observasi, wawancara dengan
masyarakat bahkan kegiatan di laboratorium dsb. Oleh karena itu,
permasalahan tentang kemasyarakatan sebagaimana adanya tidak
terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi, dapat dijawab
melalui inkuiri. Dalam kegiatan pembelajaran tersebut peserta didik
menjadi lebih aktif dalam menggali permasalahan berdasarkan pada
pengalaman sendiri hingga mampu melahirkan kerangka pemecahan
masalah dan tindakan yang dapat dilakukan secara nyata.Karena itu,
pendekatan ITM dipandang dapat memberi kontribusi langsung terhadap
misi pokok pembelajaran pengetahuan sosial, khusus dalam
mempersiapkan warga negara agar memiliki kemampuan : a) memahami
ilmu pengetahuan di masyarakat, b) mengambil keputusan sebagai
warga negara, c) membuat hubungan antar pengetahuan, dan d)
mengingat sejarah perjuangan dan peradaban luhur bangsanya.
b) Langkah Pendekatan ITM
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan
pembelajaran pendekatan ITM antara lain :
1. Menekankan pada paham kontrukfivisme, bahwa setiap individu
peserta didik, telah memiliki sejumlah pengetahuan dari
pengalamannya sendiri dalam kehidupan faktual di lingkungan
keluarga dan masyarakat.2. Peserta didik dituntut untuk belajar
dalam memecahkan permasalahan dan dapat menggunakan sumber-sumber
setempat (nara sumber dan bahan-bahan lainnya) untuk memperoleh
informasi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah.
3. Pola pembelajaran bersifat kooperatif (kerja sama) dalam
setiap kegiatan pembelajaran serta menekankan pada keterampilan
proses dalam rangka melatih peserta didik berfikir tingkat
tinggi.4. Peserta didik menggali konsep-konsep melalui proses
pembelajaran yang ditempuh dengan cara pengamatan (observasi)
terhadap objek-objek yang dipelajarinya.5. Masalah-masalah aktual
sebagai objek kajian, dibahas guru dan peserta didik guna
menghindari terjadi kesalahan konsep.6. Pemilihan tema-tema
didasarkan urutan integratif.
7. Tema pengorganisasian pokok dari sejumlah unit ITM adalah isu
dan masalah sosial yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. c)
Tahapan Metode, Pendekatan ITM (1) Tahap Eksplorasi
Kegiatan eksplorasi merupakan tahap pengumpulan data lapangan
dan data yang berkaitan dengan nilai. Peserta didik dengan bantuan
LKS secara berkelompok melakukan pengamatan langsung. Eksplorasi
dilakukan guna membuktikan konsep awal yang mereka miliki dengan
konsep ilmiah.(2) Tahap Penjelasan dan Solusi
Dari data yang telah terkumpul berdasarkan hasil pengamatan,
diharapkan peserta didik mampu memberikan solusi sebagai alternatif
jawaban tentang persoalan lingkungan. Peserta didik didorong untuk
menyampaikan gagasan, menyimpulkan, memberikan argumen dengan
tepat, membuat model, membuat poster yang berkenaan dengan pesan
lingkungan, membuat puisi, menggambar, membuat karangan, serta
membuat karya seni lainnya. (3) Tahap Pengambilan Tindakan
Peserta didik dapat membuat keputusan atau mempertimbangkan
alternatif tindakan dan akibat-akibatnya dengan menggunakan
pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperolehnya. Berdasar
pengenalan masalah dan pengembangan gagasan pemecahannya, mereka
dapat bermain peran (Role Playing) membuat kebijakan strategis yang
diperlukan untuk mempengaruhi publik dalam mengatasi permasalahan
lingkungan tersebut. (4) Diskusi dan Penjelasan Berikutnya guru dan
peserta didik melakukan diskusi kelas dan penjelasan konsep melalui
tahapan sebagai berikut:
Masing-masing kelompok melaporkan hasil temuan pengamatan
lingkungannya. Guru memberikan kesempatan kepada anggota kelas
lainnya untuk memberikan tanggapan atau informasi yang relevan
terhadap, laporan kelompok temannya. Guru bersama peserta didik
menyimpulkan konsep baru yang diperoleh kemudian mereka diminta
melihat kembali jawaban yang telah disampaikan sebelum kegiatan
eksplorasi. Guru membimbing peserta didik merkonstruksi kembali
pengetahuan langsung dari objek yang dipelajari tentang alam
lingkungannya.(5) Tahap Pengembangan dan Aplikasi Konsep
Guru bertanya pada peserta didik tentang hal-hal yang dilihat
dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan aplikasi konsep baru
yang telah ditemukan. Guru dan peserta didik mendiskusikan sikap
dan kepedulian yang dapat mereka tumbuhkan dalam kehidupan
sehari-hari berkaitan dengan konsep baru yang tetah ditemukan.
(6) Tahap Evaluasi
Pada tahapan evaluasi, guru memperlihatkan gambar suasana
lingkungan yang berbeda yaitu lingkungan yang terpelihara dan yang
tidak terpelihara. Kemudian menggunakan pertanyaan pancingan pada
peserta didik sehingga mampu memberikan penilaian sendiri tentang
keadaan kedua lingkungan tersebut.
(7) Kegiatan PenutupKegiatan penutup merupakan kegiatan
penyimpulan yang dilakukan guru dan peserta didik dari seluruh
rangkaian pembelajaran. Sebagai bagian penutup, guru menyampaikan
pesan moral.
5) Model Role Playing
a) Kebermaknaan Penggunaan Model Role Playing
Role Playing adalah salah satu model pembelajaran yang perlu
menjadi pengalaman belajar peserta didik, terutama dalam konteks
pembelajaran Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan didalamnya.
Sebagai langkah teknis, role playing sendiri tidak jarang menjadi
pelengkap kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dengan stressing
model pendekatan lainnya, seperti inkuiri, ITM, Portofolio, dan
lainnya. Secara komprehensif makna penggunaan role playing
dikemukakan George Shaftel (Djahiri, 1978: 109) antara lain:
1) untuk menghayati sesuatu/hal/kejadian sebenarnya dalarn
realitas kehidupan; 2) agar memahami apa yang menjadi sebab dari
sesuatu serta bagaimana akibatnya; 3) untuk mempertajam indera dan
perasaan siswa terhadap sesuatu; 4) sebagai penyaluran/pelepasan
tensi (kelebihan energi psykhis) dan perasaan-perasaan; 5) sebagai
alat diagnosa keadaan; 6) ke arah pembentukan konsep secara
mandiri; 7) menggali peran-peran dari pada dalam suatu
kehidupan/kejadian/keadaan; menggali dan meneliti nilai-nilai
(no