BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Praktik kedokteran yang ada di lingkungan masyarakat, bukanlah suatu profesi yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas dan pekerjaan ini hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki kompetensi, memenuhi standar yang telah ditetapkan, diberi kewewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang telah ditetapkan oleh organisasi profesinya. Hal ini menjadi pagar batas bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya di lingkungan masyarakat. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak, yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar. Akan tetapi yang terjadi saat ini, masyarakat umum mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh masyarakat profesi. Mereka merasa tidak mendapatkan apa yang semestinya mereka dapatkan dan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Praktik kedokteran yang ada di lingkungan masyarakat, bukanlah suatu profesi
yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas dan pekerjaan ini hanya boleh
dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki
kompetensi, memenuhi standar yang telah ditetapkan, diberi kewewenangan
oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar
dan profesionalisme yang telah ditetapkan oleh organisasi profesinya. Hal ini
menjadi pagar batas bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya di
lingkungan masyarakat. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi
dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak, yang memberi masyarakat
profesi hak untuk melakukan self-regulating dengan kewajiban memberikan
jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang
kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar.
Akan tetapi yang terjadi saat ini, masyarakat umum mengeluhkan pelayanan
yang diberikan oleh masyarakat profesi. Mereka merasa tidak mendapatkan
apa yang semestinya mereka dapatkan dan mengeluhkan hal-hal yang menurut
mereka tidak perlu dilakukan atau diberikan. Dari sana semua permasalahan
ini berawal, masyarakat umum dengan segera mengecam masyarakat profesi
melakukan tindakan yang tidak wajar, malpraktik.1
Kasus malpraktik muncul pertama kali di Indonesia pada awal tahun
1981. Dokter Setianingrum, seorang dokter Puskesmas dari Wedarijaksa,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terpaksa diadili di Pengadilan Negeri Pati atas
dasar Pasal 359 KUHP karena telah menyebabkan pasiennya, Ny. Rukmini
Kartono meninggal dunia karena kejutan anfilatik akibat reaksi alergi dari
suntikan streptomisin yang diberikan kepadanya. Akhir-akhir ini, kasus
dugaan malpraktik menjadi sorotan. Di antaranya, dugaan kasus malpraktik
yang dilakukan oleh salah satu rumah sakit berstandar internasional empat
menjadi berita utama di beberapa media massa. Belum terlepas dari kasusnya
1
Prita Mulyasari yang dilaporkan oleh pihak Rumah Sakit Omni Internasional,
terdengar lagi adanya aduan dari seorag ibu yang bernama Juliana ke polisi.
Juliana menuduh dokter rumah sakit tersebut telah melakukan malpraktik
terhadap kedua anak kembarnya, Jayden Christopel dan Jared Christopel, di
mana mata Jayden silinder 2,5, sedangkan mata Jared buta karena saraf
matanya lepas dari retina.2
Malpraktik medik dan kelalaian medik adalah dua masalah yang
berbeda. Terkait dengan tingkat pemahaman masyarakat akan kedua masalah
tersebut dan masalah kesehatan masyarakat yang terkait, dibutuhkan
pemahaman yang benar dan tepat untuk kejelasan hukum keduanya.1,2
1.2 Batasan Masalah
Penulisan referat ini dibatasi pada aspek hukum hubungan dokter dan pasien,
definisi malpraktik medik dari segi medik dan hukum, jenis-jenis malpraktik
medik, kriteria dan unsur malpraktik medik, pembuktian kasus malpraktik
medik, serta kelalaian medik.
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
a. Sebagai pemenuhan syarat dalam mengikuti dalam mengikuti kepaniteraan
klinik senior di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.
b. Sebagai sarana dalam memberikan pemahaman tentang malpraktik medik
dan kelalaian medik.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang diambil dari
berbagai literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspek Hukum Hubungan Dokter dan Pasien
Dokter dan pasien merupakan dua subjek hukum yang keduanya membentuk
hubungan medis dan hubungan hukum. Pelaksanaan keduanya diatur dalam
peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Hubungan
hukum antara dokter dan pasien ada dua macam, yaitu hubungan karena
kontrak (transaksi terapeutik) serta hubungan karena undang-undang.1
Berdasarkan The Universal Declaration of Human Right tahun
1948 dan The United Nations International Covenant on Civil and Political
right tahun 1966, pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dan
pasien bertumpu pada dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam
dokumen maupun konvensi internasional, yaitu hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right to self determination) dan hak atas informasi (the right
to information).2
Pada awalnya, hubungan hukum timbul ketika pasien menghubungi
dokter karena ia merasa keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan
bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu
menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan. Kedudukan dokter
dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada
pasien. Hal ini melahirkan hubungan vertikal antara dokter dan pasien
(paternalistic). Dampak positif pola vertikal yaitu sangat membantu pasien
dalam hal awam terhadap penyakitnya, tatapi dampak negatif berupa
pembatasan otonomi pasien.1,2
Pola hubungan vertikal bergeser pada pola horizontal kontraktual yang
bersifat “inspannings verbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara
dua subyek hukum yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak
menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari
3
hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan
pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.1,3
Dalam hubungan terapeutik, berlaku asas-asas hubungan terapeutik
yang mencakup:2
a. Asas konsensual
Berdasarkan azas ini, masing-masing pihak harus menyatakan
persetujuannya. Dokter atau rumah sakit juga harus menyatakan
persetujuannya, baik secara eksplisit (misalnya secara lisan menyatakan
sanggup) maupun secara emplisit (misalnya menerima pendaftaran,
memberikan nomor urut, menjual karcis). Pernyataan kesanggupan itu
tidak harus disampaikan sendiri oleh dokter tetapi dapat disampaikan oleh
pegawainya.
b. Azas itikad baik
Itikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang paling utama
dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Tanpa
disertai adanya itikad baik maka hubungan terapeutik juga tidak sah
menurut hukum.
c. Azas bebas
Pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual bebas
menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing,
sepanjang hal ini menjadi kesepakatan semua pihak, termasuk bentuk
perikatannya. Hanya saja perlu disadari dalam hubungan terapeutik adalah
bahwa upaya medik itu penuh dengan ketidakpastian dan hasilnya tidak
dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan
secara matang sebelum memberikan garansi kepada pasien.
d. Azas tidak melanggar hukum
Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, namun tidak
boleh melanggar hukum. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan
aborsi tanpa indikasi medis dan dokter pun setuju, maka hal ini tidak boleh
dianggap sebagai hubungan terapeutik. Kesepakatan seperti itu harus
dipandang sebagai pemufakatan jahat yang justru dapat menyeret dokter
4
serta pasien ke meja hijau. Karena bukan merupakan hubungan
kontraktual, maka dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian
yang terjadi atas dasar wanprestasi jika seandainya timbul kerugian pada
pasien akibat kelalaian dokter ketika melakukan aborsi.
e. Azas kepatutan dan kebiasaan
Dalam hukum perdata dinyatakan bahwa para pihak yang telah
mengadakan perikatan, selain harus tunduk pada apa yang telah disepakati,
juga pada apa yang sudah menjadi kebiasaan dan kepatutan. Kebiasaan
dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran akan sedikit membedakan
hubungan terapeutik dengan hubungan kontraktual lainnya, seperti dalam
hal pemutusan hubungan secara sepihak oleh pihak pasien mengingat
hubungan tersebut merupakan hubungan kepercayaan sehingga sudah
sepatutnya jika pasien dapat memutuskan kapan saja jika kepercayaannya
kepada dokter hilang.
Konsekuensi hukum yang timbul akibat disepakatinya hubungan
terapeutik antara dokter dan pasien adalah timbulnya hak dan kewajiban pada
masing-masing pihak sebagai berikut:
a. Hak pasien
1) Hak primer
Hak memperoleh pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan
teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
2) Hak sekunder
a) Hak memperoleh informasi medik tentang penyakitnya.
b) Hak memperoleh informasi tentang tindakan medik yang akan
dilakukan oleh dokter.
c) Hak memutuskan hubungan kontraktual setiap saat (sesuai azas
kepatutan dan kebiasaan).
d) Hak atas rahasia kedokteran.
e) Hak atas surat keterangan dokter bagi kepentingan pasien yang
bersifat nonyustisial.
f) Hak atas second opinion.
5
b. Hak dokter
1) Hak untuk memperoleh imbalan yang layak.
2) Hak untuk memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan
sejujur-jujurnya demi kepentingan diagnosis.
c. Kewajiban pasien
1) Kewajiban memberi informasi yang sejujur-jujurnya dan selengkap-
lengkapnya bagi kepentingan diagnosis dari terapi.
2) Kewajiban mematuhi semua nasihat dokter.
3) Kewajiban memberikan imbalan yang layak.
d. Kewajiban dokter
1) Kewajiban primer
Memberikan pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori
kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
2) Kewajiban sekunder
a) Memberikan informasi medik tentang penyakit pasien.
b) Memberikan informasi tentang tindakan medik yang akan
dilakukan.
c) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memutuskan apakah
ia akan menerima atau menolak tindakan medik yang akan
dilakukan oleh dokter.
d) Memberikan kepada pasien untuk mendapatkan second opinion.
e) Menyimpan rahasia kedokteran.
f) Memberikan surat keterangan dokter.
Suatu tindakan medik yang dilakukan dapat mendatangkan dua akibat
sebagai berikut: 13
a. Akibat positif, di mana tindakan yang dilakukan berhasil mencapai tujuan
yang diharapkan dan pasien pulang dalam keadaan sembuh.
b. Akibat negatif, yang sama sekali tidak diharapkan ataupun tidak terduga
terjadinya yang disebabkan oleh:
6
1) Kesalahan dokter
a) Karena suatu tindakan sengaja yang dilarang oleh undang-undang.
Perbuatan ini menurut hukum termasuk pada golongan dolus
karena ada kesengajaan terhadap perbuatan itu (delicta
commissionis). Contohnya adalah melakukan tindakan abortus
tanpa indikasi medik ataupun mengeluarkan surat keterangan sakit
yang tidak benar.
b) Karena kelalaian. Perbuatan ini disebut sebagai delicta
ommissionis atau melanggar suatu peraturan pidana karena tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sehingga
menimbulkan kerugian bagi pasien. Kelompok ini paling banyak
terjadi.
2) Bukan kesalahan dokter
Peristiwa atau akibat merugikan pasien yang terjadi bisa dikarenakan
sebab-sebab lain. Jenis penyakit, beratnya penyakit, ada tidaknya
komplikasi, usia pasien dan daya tahan tubuh pun berbeda-beda.
Adapun penyebabnya misalnya bisa terjadi karena:
a) Tingkat penyakit yang sudah berat (terlambat dibawa ke dokter
atau rumah sakit). Hal ini bisa terjadi, karena masyarakat serng
menunda-nunda pemeriksaan. Bisa karena rasa takut atau bisa juga
jarena alasan lain, misalnya faktor keuangan.
b) Reaksi yang berlebihan dari tubuh pasien itu sendiri yang tidak
dapat diperhitungkan sebelumnya. Misalnya timbulnya syok
anafilaktik pada waktu diberikan suntikan anaestesi. Jika timbul
dan sudah diberikan antinya tetapi tidak berhasil, dokter tidak
dapat dipersalahkan karena tidak ada unsur kelalaian. Akibatnya
timbul karena pasien hipersensitif terhadap obat suntikan tersebut.
c) Ketidakterusterangan pasien atau kurang menceritakan seluruhnya
apa yang dirasakan olehnya, sehingga diagnosis dan terapi yang
diberikan meleset.
7
d) Pasien tidak menuruti apa yang dinasehati oleh dokter sehingga
bisa menimbulkan akibat yang buruk dan fatal (contributory
negligence). Misalnya dilarang meminum obat-obat ramuan yang
keras berbarengan dengan obat yang diberika dokter.
Dalam melakukan profesi medik, seorang dokter harus memenuhi dua
tanggung jawab utama yaitu: 2
a. Informed consent atau persetujuan tindakan medik (Pertindik)
b. Standar Profesi Medik (SPM)
Menurut Leenen, informed consent dan SPM merupakan dua hal pokok yang
dapat menghilangkan suatu sifat bertentangan dengan hukum terhadap suatu
tindakan ataupun perbuatan medik. Pelanggaran kedua hal tersebut dapat
berujung tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.2
Sebagai contoh, apabila A melukai B maka tergolong sebagai
penganiayaan menurut pasal 351 KUHP, atau apabila dokter A melukai B, hal
tersebut tetap tergolong penganiayaan. Hal ini tidak berlaku lagi apabila: 2,3
a. Orang yang dilukai memberikan persetujuan.
b. Tindakan tersebut berdasrkan indikasi medik tertentu dan ditujukan untuk
sasaran atau tujuan tertentu.
c. Tindakan tersebut dilakukan menurut kaidah ilmu kedokteran.
Dengan pemenuhan ketiga unsur tersebut maka tindakan penganiayaan pada
pasal 351 KUHP tadi dapat dinetralkan dan tindakan medik (diagnostik
maupun terapeutik) tidak dikategorikan sebagai penganiayaan.2,3
Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah lege artis, yang pada
hakikatnya mengacu pada tidakan sesuai SPM termasuk dalam aspek
hukumnya. Menurut Leenen, SPM minimal meliputi:
a. Bekerja secara teliti, cermat dan hati-hati.
b. Sesuai ukuran medis.
c. Sesuai kemampuan rata-rata dibanding dokter dari kategori keahlian medis
yang sama.
d. Dalam situasi yang sebanding
8
2.2 Malpraktik Medik
2.2.1 Definisi Malpraktik dari Segi Medik dan Hukum
Kata malpraktik berasal dari kata ''mal'' yang berarti buruk dan ''praktik''
yang berarti pelaksanaan profesi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
malpraktik diartikan sebagai praktik kedokteran yang dilakukan salah
atau tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Malpraktik
merupakan suatu tindakan medik yang dilakukan tidak memenuhi
standar medik yang telah ditentukan maupun standar operasional
prosedur, baik dengan sengaja maupun karena kelalaian berat yang
membahayakan pasien dan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh
pasien.1,3
Hayat berpendapat bahwa malpraktik oleh dokter adalah: 3
a. kegagalan dokter atau ahli bedah mengerahkan dan menggunakan
pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sampai pada tingkat
yang wajar, seperti biasanya dimiliki para rekannya dalam melayani
pasien;
b. atau kegagalannya dalam menjalankan perawatan serta perhatian
(kerajinan, kesungguhan) yang wajar dan lazim dalam pelaksanaan
ketrampilannya serta penerapan pengetahuannya;
c. atau kegagalannya dalam mengadakan diagnosis terbaik dalam
menangani kasus yang dipercayakan kepadanya;
d. atau kegagalannya dalam memberikan keterampilan merawat serta
perhatian yang wajar dan lazim seperti biasanya dilakukan oleh para
dokter atau ahli bedah di daerahnya dalam menangani kasus yang
sama.
Dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan bahwa dalam
mengartikan malpraktik oleh seorang dokter harus dipenuhi beberapa
syarat yaitu: 3
a. Adanya hubungan dokter dan pasien.
b. Kehati-hatian standar yang dapat dipakai dalam pelanggarannya.
9
c. Kerugian yang dapat dituntut ganti rugi.
d. Suatu hubungan kausal antara pelanggaran kehati-hatian dan
kerugian yang diderita.
Menurut Coughlin's Dictionary of Law, “Malpractice is
professional misconduct on the part of a professional person, such as