Top Banner
I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat, serta metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah. 1.1. Latar Belakang Tanaman hortikultura sering kali dihadapi dengan masalah organisme pengganggu tanaman misalnya serangga hama. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tanaman hortikultura hingga 85% dan juga menimbulkan kerugian secara ekonomis karena tanaman mati sebelum dipanen. Serangan hama ini terjadi karena tidak adanya musuh alami yang efektif untuk menekan serangan hama tersebut (Nurhayati dan Anwar, 2012). Penggunaan insektisida kimia merupakan alternatif yang dipilih oleh petani, selain murah dan terjangkau penggunaan insektisida memberikan hasil yang cukup efektif untuk pemusnahan hama. Penggunaannya dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah dasar penggunaan pestisida secara tepat jenis, tepat sasaran, tepat dosis/konsentrasi,tepat cara dan waktu aplikasi dapat membahayakan lingkungan dan konsumen (Tuhumury dkk., 2012). Hal ini justru menimbulkan resistensi pada hama dan juga berdampak pada ekosistem lainnya. Salah satu cara pengendalian yang ramah lingkungan seperti 1
20

03.Entomophthora Sebagai Teman Petani

Nov 10, 2015

Download

Documents

serangga sebagai teman petani
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat, serta metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah.

1.1. Latar Belakang Tanaman hortikultura sering kali dihadapi dengan masalah organisme pengganggu tanaman misalnya serangga hama. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tanaman hortikultura hingga 85% dan juga menimbulkan kerugian secara ekonomis karena tanaman mati sebelum dipanen. Serangan hama ini terjadi karena tidak adanya musuh alami yang efektif untuk menekan serangan hama tersebut (Nurhayati dan Anwar, 2012).Penggunaan insektisida kimia merupakan alternatif yang dipilih oleh petani, selain murah dan terjangkau penggunaan insektisida memberikan hasil yang cukup efektif untuk pemusnahan hama. Penggunaannya dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah dasar penggunaan pestisida secara tepat jenis, tepat sasaran, tepat dosis/konsentrasi,tepat cara dan waktu aplikasi dapat membahayakan lingkungan dan konsumen (Tuhumury dkk., 2012). Hal ini justru menimbulkan resistensi pada hama dan juga berdampak pada ekosistem lainnya. Salah satu cara pengendalian yang ramah lingkungan seperti pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan organisme antagonis, musuh alami berupa parasitoid, predator maupun mikroorganisme seperti virus atau cendawan perlu dikembangkan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa cendawan Entomophthorales mampu mengendalikan populasi serangga hama. Ordo ini berpotensi sebagai musuh alami beberapa serangga. Cendawan ordo Entomophthorales memiliki 5 famili, yaitu Ancylistaceae, Completoriaceae, Entomophthoraceae, Meristacraceae dan Neozygitaceae. Semua famili di atas, kecuali Completoriaceae mempunyai anggota yang bersifat entomopatogenik. Cendawan Entomophthorales yang menjadi cendawan patogenik pada arthropoda diketahui berasal dari famili Ancylistaceae (genus Conidiobolus), Entomophthoracae (12 genera) dan Neozygitaceae (2 genera). Famili Meristacraceae hanya dari spesies Meritacrum mikoi yang merupakan patogen larva Tabanidae (Diptera).Jamur Entomophthora sebagai pengendali hama karena mempunyai kapasitas, reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Prayogo dkk., 2005).

1.2.Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam makalah ini dapat dirumuskan masalah secara spesifik sebagai berikut.1. Mengapa jamur Entomophthora dikatakan sebagai sahabat petani?2. Bagaimana cara infeksi jamur Entomophthora terhadap serangga/hama?

1.3.TujuanAdapun tujuan yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui mengapa jamur Entomophthora dikatakan sebagai sahabat petani, dan bagaimana cara infeksi jamur Entomophthora terhadap serangga/hama.

1.4.ManfaatManfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini bagi penulis dan pembaca dapat digunakan sebagai sarana menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

1.5.Metode PenulisanDalam membahas makalah ini metodologi yang digunakan adalah metode penulisan deskriptif dan referensi dari buku-buku serta jurnal. Metode diskriptif yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai data yang diperoleh.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resistensi Hama akibat Penggunaan Pestisida Pestisida sintetik merupakan bahan beracun yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman seperti serangga, gulma, patogen dan jasad pengganggu lainnya (Tuhumury dkk., 2012). Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk (a) memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman atau hasil pertanian, (b) memberantas rerumputan, (c) mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, (d) mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian tanaman, tidak termasuk pupuk. Selain pada tanaman, adapula pestisida yang digunakan untuk keperluan pemberantasan dan pencegahan (a) hama pada hewan piaraan dan ternak, (b) binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat pengangkutan, (c) binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi (Adriyani, 2006).Pestisida masih diperlukan dalam kegiatan pertanian, namun penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satunya adalah spesies hama yang akan diberantas dapat menjadi toleran terhadap pestisida, sehingga populasinya menjadi tidak terkendali. Ini berarti bahwa jumlah individu tidak berkurang, meskipun telah disemprot dengan pestisida dosis normal atau dosis lebih tinggi sekalipun. Populasi dari spesies hama dapat pulih kembali dengan cepat dari pengaruh racun pestisida serta bisa menimbulkan tingkat resistensi pestisida tertentu pada populasi baru yang jumlahnya lebih tinggi, hal ini biasanya disebabkan oleh pestisida golongan organoklorin. Penekanan populasi insekta hama tanaman dengan menggunakan insektisida,juga akan mempengaruhi predator dan parasitnya, termasuk serangga lainnya yang memangsa hama dapat ikut terbunuh (Adriyani, 2006).Pemberian tambahan pestisida pada suatu lahan, merupakan aplikasi suatu teknologi yang diharapkan dapat membantu meningkatkan produktivitas, membuat pertanian lebih efisien dan ekonomis, namun di sisi lain pemakaian pestisida yang berlebihan dan dilakukan secara terus menerus pada setiap musim tanam akan berpotensi menyebabkan kerugian antara lain residu pestisida akan terakumulasi dalam produk-produk pertanian, pencemaran pada lingkungan pertanian dan perairan, penurunan produktivitas serta keracunan pada manusia dan hewan (Tuhumury dkk., 2012).

2.2 Jamur Entomophthora sebagai Agen Pengendali Ramah Lingkungan Salah satu cara pengendalian yang ramah lingkungan seperti pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan organisme antagonis, musuh alami berupa parasitoid, predator maupun mikroorganisme seperti virus atau cendawan perlu dikembangkan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa cendawan Entomophthorales mampu mengendalikan populasi serangga hama. Ordo Entomophthorales (sub-divisi Zygomycotina) biasanya memiliki sporangium yang mereduksi menjadi konidia tunggal dan terkadang tereduksi sampai habis. Konidia primer dapat menghasilkan konidia sekunder. Jamur Entomophthorales menghasilkan spora berdinding tebal (zygospores atau azygospores). Kebanyakan ordo ini parasit pada serangga, hewan dan tumbuhan atau hidup saprofit dalam tanah. Miselium Entomophthorales coenositdan septae dengan segmen, dan bisanya ordo ini memiliki protoplas somatik. Umumnya pengelompokan Entomophthorales berdasarkan karakteristik cendawan tiap spesies dan genera (Nielsen dkk., 2001).Contoh serangga yang telah berhasil dikendalikan jamur Entomophaga maimaiga yang patogen pada Lymantria dispar dispar (gypsy moth). Jamur ini sudah diperkenalkan sekitar tahun 1911 dan sudah mengontrol populasi ngengat di New England selama beberapa tahun. Pada musim dingin spora jamur Entomophaga maimaiga beristirahat/dalam keadaan dorman di bawah serasah daun, dan akan bergerminasi jika ada ngengat didekat serasah. Telur ulat yang diterbangkan angin lalu jatuh pada permukaan tanah dan baru saja menetas kemungkinan terinfeksi saat ulat berpindah ke suatu pohon. Jika terjadi hujan jamur yang terinfeksi akan menghasilkan spora kembali yang akan menyebar ke ulat lainnya. Pada akhir juni akan banyak ulat yang telah terinfeksi dan mati dalam jumlah yang banyak dimana spora juga baru saja diproduksi kembali dan akan istirahat kembali pada musim dingin berikutnya. Siklus ini tergantung pada tepatnya periode curah hujan dengan germinasi spora sehingga proses tersebut menjadi sukses (Anonim, 2013).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan mengapa jamur Entomophthora dikatakan sebagai sahabat petani, dan bagaimana cara infeksi jamur Entomophthora terhadap serangga/hama.

3.1. Jamur Entomophthora Sebagai Sahabat PetaniSelama ini pengendalian hama serangga menggunakan insektisida kimia malah menimbulkan resistensi dan musnahnya musuh alami. Padahal musuh alami tersebut adalah salah satu agen hayati. Entomophthora merupakan jamur patogen dimana hostnya secara umum adalah serangga Coleoptera, Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera, dan Isoptera. Namun, beberapa jenis jamur entomopatogen juga telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama tanaman perkebunan dan sayuran. Misalnya Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan Ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman kedelai (Prayogo dkk., 2005).Jamur Entomophthora sebagai pengendali hama karena mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Prayogo dkk., 2005).Cendawan Entomophthorales merupakan patogen obligat yang menginfeksi inang secara spesifik dan memiliki banyak stadia cendawan. Siklus hidup dari cendawan Entomophthorales cukup kompleks, biasanya terdiri dari dua tipe yaitu siklus hidup aseksual (konidia) dan siklus resting spores. Konidia merupakan struktur yang berperan dalam proses infeksi. Puluhan ribu konidia dapat diproduksi dari satu tubuh inang.Pada kondisi yang tidak menguntungkan atau saat populasi inang rendah, cendawan dapat bertahan lama dengan membentuk stadia resting spores yang dapat bertahan di permukaan tanah. Resting spores memiliki struktur yang kuat dengan dinding sel ganda. Resting spores akan berkecambah apabila keadaan lingkungannya memungkinkan dengan tekanan udara atau kelembapan udara yang cukup lembab. Stadia yang tidak bertahan lama disebut konidia. Konidia diproduksi di atas tubuh inang yang terinfeksi dan dapat disebarkan melauli angin (Nurhayati dan Anwar, 2012).Dalam aplikasi jamur Entomophthora sebagai pengendali hama, media yang dipakai untuk menumbuhkan cendawan entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan. Jumlah konidia akan menentukan keefektivan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan hama. Cendawan entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi cendawan entomopatogen. Daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadium pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integumen serangga, selain itu Virulensi yang tinggi umumnya disebabkan oleh toksin yang terkandung dalam cendawan sehingga toksin menyebabkan terjadinya lisis pada integumen serangga yang tersusun dari protein dan khitin (Prayogo dkk., 2005).

Gambar 1. 9. Konidiofor, dan calon konidia primer yang akan berkembang, 10. Konidiofor berkembang, 11. Konidiofor, dan konidia primer, 12. Konidiofor E. schizophorae dan E. muscae (adanya perbedaan jumlah dan ukuran inti). (Keller dkk., 1999)Semakin cepat kolonisasi terjadi pada tubuh inang, semakin banyak produksi konidia sebagai organ infektif yang dihasilkan oleh cendawan sebagai agens hayati. Dengan demikian, peluang terjadi distribusi cendawan dari serangga mati ke inang baru (serangga sehat) semakin cepat sehingga lebih cepat dalam menyebabkan epizooti dan akhirnya peledakan hama pada suatu lokasi sulit akan terjadi (Prayogo, 2013).Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomophthora juga sudah diaplikasikan pada lahan pertanian, namun hasilnya tidak cukup signifikan dan hanya berpengaruh terhadap populasi, intensitas serangan hama tetapi tidak berpengaruh terhadap kelimpahan arthropoda predator (Thalib dkk., 2013).

3.2. Cara Infeksi Jamur Entomophthora terhadap SeranggaMenurut Prayogo dkk (2005) ada empat tahapan etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh jamur yaitu : Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan biasanya pada integumen serangga. (cendawan dapat memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen). Pada organ artikulasi meliputi persendian tungkai, torak, alat mulut dan ruas-ruas abdomen merupakan daerah yang sangat lentur sehingga lebih mudah dipenetrasi oleh konidia cendawan. Pada bagian-bagian tersebut juga memiliki kandungan kitin yang cukup tinggi sehingga sangat dibutuhkan sebagai sumber makanan bagi cendawan terutama yang memiliki enzim kitinase. Menurut Prayogo (2013), sebagian besar cendawan entomopatogen memiliki kandungan enzim kitinase yang cukup besar sehingga sangat toksik dalam mendegradasi dinding integumen serangga sangat toksik terhadap integumen larva serangga dari ordo Lepidoptera. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah. (Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin). Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. (Pada umumnya serangga sudah mati sebelum proliferasi blastospora).Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Setelah itu semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toksin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Tidak selalu cendawan tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora.

Gambar 2. Tungkai kepik hijau yang dikolonisasi oleh Beauveria bassiana

Sebagai cendawan obligat, patogen akan memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya yang ada pada serangga inang sampai serangga mati. Setelah serangga mati cendawan akan bersporulasi kemudian menginfeksi serangga sehat lainnya (Jamalina, 2013).

Gambar 3. Siklus Hidup Entomophaga maimaiga

Contoh siklus tersebut merupakan serangga yang telah berhasil dikendalikan jamur Entomophaga maimaiga yang patogen pada Lymantria dispar dispar (gypsy moth). Jamur ini sudah diperkenalkan sekitar tahun 1911 dan sudah mengontrol populasi ngengat di New England selama beberapa tahun. Pada musim dingin spora jamur Entomophaga maimaiga beristirahat/dalam keadaan dorman di bawah serasah daun, dan akan bergerminasi jika ada ngengat didekat serasah. Telur ulat yang diterbangkan angin lalu jatuh pada permukaan tanah dan baru saja menetas kemungkinan terinfeksi saat ulat berpindah ke suatu pohon. Jika terjadi hujan jamur yang terinfeksi akan menghasilkan spora kembali yang akan menyebar ke ulat lainnya. Pada akhir juni akan banyak ulat yang telah terinfeksi dan mati dalam jumlah yang banyak dimana spora juga baru saja diproduksi kembali dan akan istirahat kembali pada musim dingin berikutnya. Siklus ini tergantung pada tepatnya periode curah hujan dengan germinasi spora sehingga proses tersebut menjadi sukses (Anonim, 2013).Faktor yang menjadi pembatas distribusi musuh alami dari serangga hama adalah iklim. Iklim mempengaruhi hama target yang menjadi habitat parasitoid serta tanaman inang sebagai media hidup hama. Parasitoid introduksi harus dapat bertahan di lokasi baru dan sangat menentukan kemampuan merespon faktor-faktor fisik yang ekstrem (Herlina, 2011). Cendawan Entomophthora tidak hanya menginfeksi serangga dewasa saja, menurut penelitian Prayogo (2013), imago kepik hijau yang terinfeksi Beauveria bassiana tampak ditumbuhi miselium cendawan dan pada kurun waktu tertentu miselium memenuhi daerah korion sehingga telur tidak mampu menetas.Virulensi bawaan masing-masing spesies cendawan Entomophthora, dan karakteristik tiap spesies merupakan faktor penentu tingkat patogenitasnya. Pada penelitian Herlinda (2010), Hypothenemus hampei, Bronstispa longissima, dan Tenebrio molitor yang diisolasi dari Indonesia merupakan isolat yang paling efektif dan paling ganas. Host dari cendawan tersebut masing-masing adalah anggota dari ordo Coleoptera. Serangga Coleoptera cenderung memiliki integumen yang lebih tebal dan lebih keras daripada integumen serangga dari ordo yang lain. Pada integumen yang tebal dan keras tersebut, tabung germinasi pada cendawan akan menghasilkan appesorium yang membentuk piring penetrasi dan tabung penetrasi sehingga tubuh hifa meningkatkan invasi. Kemudian isolat tersebut beradaptasi dan mengembangkan kemampuan untuk menginfeksi host dengan integumen yang tebal dan keras akibatnya isolat menjadi lebih ganas.Tingkat kematian serangga host juga bervariasi. Variasi ini berpotensi menjadi akibat perbedaan dari densitas konidia dan kelangsungan hidup dari isolat. Sebagian besar dari host yang terinfeksi akan meninggal. Sedangkan host yang terinfeksi dan masih hidup menunjukkan kurangnya nafsu makan dan penurunan mobilitas. Host yang mati menjadi keras dan kaku dengan miselia dan konidia yang muncul dari tubuh host. Dalam penelitiannya, sehubungan dengan patogenitas dan virulensi dari isolat menunjukkan bahwa isolat berpotensi menjadi agen yang baik untuk metode alternatif dalam mengendalikan kutu dan melindungi tanaman cabai dari kerusakan yang diakibatkan oleh hama kutu Aphis gossypii.

IV. KESIMPULAN

4. 1. Kesimpulan1. Jamur Entomophthora dikatakan sebagai sahabat petani karena patogen terhadap hama serangga sehingga diaplikasikan untuk menjadi agen pengendali hayati atau bioinsektisida alami yang ramah lingkungan.2. Ada 4 tahapan cara infeksi jamur Entomophthora terhadap serangga/hama yaitu meliputi tahap inokulasi, penempelan dan perkecambahan cendawan, penetrasi dan invasi, dan destruksi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Available at : http://www.umext.maine.edu/onlinepubs/htmpubs/lifecycle.htm. Date accessed : 27/04/2014.Anonim. 2013. Entomophthora muscae. Available at : http://en.wikipedia.org/wiki/ Entomophthora_muscae. Date accessed : 27/04/2014.Herlina, Lina. 2011. Introduksi Parasitoid, Sebuah Wacana Baru dalam Pengendalian Hama Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 30(3) : 87-97.Herlinda, Siti. 2010. Spore Density and Viability of Entomopathogenic Fungal Isolates from Indonesia, and Their Virulence against Aphis gossypii Glover (Homoptera: Aphididae). Trop Life Sci Res. Vol 21(1) : 1119.Jamalina, Fildzah. 2013. Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Beberapa Spesies Kutuputih dan Kutukapuk pada Berbagai Tanaman Hias di Bogor dan Cianjur. Institut Pertanian Bogor.Keller, S., V. Kalsbeek, & J. Eilenberg. 1999. Redescription of Entomophthora muscae (Cohn) Fresenius. Sydowia. Vol 51(2): 197-209.Nielsen, C., J. Eilenberg, K. Dromph. 2001. Entomophthorales on Cereal Aphids. The Royal Veterinary and Agricultural University.Nurhayati, A., R. Anwar. 2012. Prevalensi cendawan entomopatogenik, Neozygites fumosa (Speare) Remaudiere & Keller (Zygomycetes: Entomophthorales) pada populasi kutu putih, Paracoccus marginatus Williams & Granara De Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) di wilayah Bogor. Jurnal Entomologi Indonesia. Vol 9(2) : 71-80. Prayogo, Y. 2013. Patogenisitas Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Deuteromycotina: Hypomycetes) pada berbagai Stadia Kepik Hijau (Nezara viridula L.). Jurnal HPT Tropika. Vol 13(1) : 75-86.Prayogo, Y., W. Tengkano, Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 24(1) : 19-26.Tuhumury, G.N.C., J.A. Leatemia, R.Y. Rumthe, J.V. Hasinu. 2012. Residu Pestisida Produk Sayuran Segar Di Kota Ambon. Agrologia. Vol 1(2) : 99-105.Thalib, R., Megawati, Khodijah, D. Meidalima, T. Thamrin. 2013. Pengaruh Bioinsektisida Berbahan Aktif Entomopatogen Pada Hama Padi Di Rawa Lebak Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya. Palembang.

8