Top Banner
Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010 PENERIMAAN PAD DI JAWA TIMUR, EFISIENKAH? 1 Rossanto Dwi Handoyo 2 Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ABSTRACT The term of efficiency in the scheme of central/local revenues (APBN/APBD) is about revenue optimalization regarding the value of money which covers not only efficient but also economic and effective terms (Ritonga, 2003). Efficient means the benefit aspects or the optimal result must be achieved with the lower cost relatively. This research aims to find out from which side the inefficiency can occur, is it from output side (the component of local revenue/PAD) or input side (the cost to gather local revenue) using Data Envelopment Analysis Method? The analysis result that there are 21 municipalities/cities which occur the complete efficiency from output and input side, such as Bondowoso, Kediri, Malang city, Surabaya city, Magetan, Sidoarjo, Tranggalek, Gresik, Kediri city, Mojokerto city, Lamongan, Nganjuk, Situbondo, Tuban, Bojonegoro, Jombang, Madiun city, Probolinggo city, Madiun, Ngawi and Sumenep. Meanwhile, there are 17 other municipalities/cities which do not occur efficiency from output and input side, such as Jember, Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Blitar, Ponorogo, Batu city, Pasuruan city, Lumajang, Sampang, Tulung Agung, Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, Blitar city, and Malang. The largest sources of inefficiency from the input side are the unexpected expenses, official fare, maintenance expenses, and officials expenses. In addition, The largest sources of inefficiency from the output side are the profit of Local Owned Enterprises and local tax. In contrast, the largest efficiency achievement from the input side are goods and services expenses and capital expenditure. And, the largest efficiency achievement from the output side are retribution and other local revenues. Keywords : East Java Municipalities/cities Governments Local revenues, Efficiency, Data Envelopment Analysis - 01 - 1 Penelitian ini dibiayai dari DIPA PNBP UNAIR tahun 2007
19

01 - UNAIR

Oct 01, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

PENERIMAAN PAD DI JAWA TIMUR, EFISIENKAH?1

Rossanto Dwi Handoyo2

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga

ABSTRACT

The term of efficiency in the scheme of central/local revenues (APBN/APBD) isabout revenue optimalization regarding the value of money which covers not onlyefficient but also economic and effective terms (Ritonga, 2003). Efficient meansthe benefit aspects or the optimal result must be achieved with the lower costrelatively.

This research aims to find out from which side the inefficiency can occur, is it fromoutput side (the component of local revenue/PAD) or input side (the cost to gatherlocal revenue) using Data Envelopment Analysis Method?

The analysis result that there are 21 municipalities/cities which occur the completeefficiency from output and input side, such as Bondowoso, Kediri, Malang city,Surabaya city, Magetan, Sidoarjo, Tranggalek, Gresik, Kediri city, Mojokertocity, Lamongan, Nganjuk, Situbondo, Tuban, Bojonegoro, Jombang, Madiun city,Probolinggo city, Madiun, Ngawi and Sumenep. Meanwhile, there are 17 othermunicipalities/cities which do not occur efficiency from output and input side,such as Jember, Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Blitar, Ponorogo, Batu city,Pasuruan city, Lumajang, Sampang, Tulung Agung, Bangkalan, Mojokerto,Banyuwangi, Pasuruan, Blitar city, and Malang.

The largest sources of inefficiency from the input side are the unexpected expenses,official fare, maintenance expenses, and officials expenses. In addition, The largestsources of inefficiency from the output side are the profit of Local OwnedEnterprises and local tax. In contrast, the largest efficiency achievement from theinput side are goods and services expenses and capital expenditure. And, the largestefficiency achievement from the output side are retribution and other local revenues.

Keywords : East Java Municipalities/cities Governments Local revenues, Efficiency,Data Envelopment Analysis

- 01 -

1 Penelitian ini dibiayai dari DIPA PNBP UNAIR tahun 2007

Page 2: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

I. PENDAHULUAN

Hakikat efisiensi dalam rangka perencanaan penerimaan APBN/APBD, pada dasarnyaadalah optimalisasi penerimaan APBN/APBD menyangkut nilai uang (value of money),yang meliputi tidak hanya nilai efisien akan tetapi juga ekonomis dan efektif (Ritonga,2004). Efisien yaitu aspek manfaat atau hasil yang optimal harus dapat dicapai denganbiaya (cost) yang relatif lebih kecil. Anggaran dapat meningkatkan efisiensi apabiladengan biaya yang relatif kecil dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan, ataudengan biaya yang sama dapat meningkatkan hasil yang dicapai. Sementara efektifyaitu hasil yang dicapai dari suatu pengeluaran dana sehingga dapat mencapai sasaranyang telah ditetapkan. Efektif lebih pada pencerminan kemampuan untuk mencapai“tepat sasaran”.

Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besaruntuk mengatur dan mengurus rumah tangganya. Sejalan dengan kewenangan tersebut,Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangankhususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan didaerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Isu utama PAD dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa PADmerupakan pencerminan dari local taxing power yang menurut sebagian pihakseyogyanya cukup signifikan besarnya. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa PADkabupaten/kota secara umum hanya memiliki peran yang marjinal terhadap APBD.

Penelitian yang dilakukan oleh Tri Wibowo (2004) mengatakan bahwa memasuki eradesentralisasi, rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan kabupaten/kotamengalami penurunan. Dilihat dari kabupaten/kota secara keseluruhan, kontribusi PADterhadap total penerimaan sebelum desentralisasi mencapai 10,2 persen, turun menjadi8,1 persen pada era desentralisasi, atau mengalami penurunan sebesar 2,1 persen.Kemampuan fiskal daerah untuk membiayai pengeluaran pada era desentralisasimenunjukkan penurunan apabila dibandingkan sebelum desentralisasi.

Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggaliansumber-sumber penerimaan seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaanmilik daerah dan penerimaan lainnya yang merupakan salah satu komponen PAD, adalahbelum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secarakeseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa masih terjadi inefisiensi dalam penerimaanPAD dari pemungutan pajak dan retribusi daerah dibandingkan dengan biayapemungutannya. Makalah ini akan mencoba menjawab dari sisi mana inefisiensi bisaterjadi apakah dari sisi output (penerimaan PAD) ataukah dari sisi inputnya (biayayang dikeluarkan untuk memungutnya)?.

Secara umum makalah ini bertujuan untuk menganalisis struktur inefisiensi penerimaanPAD dari sisi outputnya (hasil penerimaan PAD seperti pajak daerah, retribusi daerah,

- 02 -

Page 3: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

dan komponen penerimaan PAD yang lain) dan dari sisi inputnya (biaya pemungutanpajaknya seperti biaya pegawai, biaya belanja barang dan jasa, biaya perjalanan dinas,biaya pemeliharaan, biaya modal, biaya bagi hasil dan bantuan keuangan, biaya lain-laindan pengeluaran tidak terduga) pada era desentralisasi fiskal di Kabupaten/Kota diProvinsi Jawa Timur tahun 2004.

2. KERANGKA TEORITIS

Model Leviathan

Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerahpada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar pengenaan pajak dan(ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agardiperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yanglebih tinggi, secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Halini tergantung pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yangdikenakan tarif pajak lebih tinggi. Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan.

Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatanekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar 1 di bawah inimenunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentukkurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak),menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh kemampuanwajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah“economic behavior” dari wajib pajak.

Gambar ini juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaantarif pajak tertentu adalah independen terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. ModelLeviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Padatarif t*, menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajakmaksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue Maximizing Tax Rate. ModelLeviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajakdaerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapidengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajakyang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadappengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum.Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antaratarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal.

- 03 -

Page 4: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

3. METODE PENELITIAN

Sumber Data

Data Penilitian bersumber dari data sekunder dan data primer. Data sekunder bersumberdari Badan pusat Statistik tahun 2005 yang berupa “Statistik Keuangan PemerintahDaerah Kabupaten/Kota Tahun 2003-2004”. Dari sisi output atau Pendapatan AsliDaerah (PAD) berupa pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah danpengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerahyang sah. PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkanperaturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengumpulkandana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatannya.

Dari sisi inputnya yang dipakai dalam makalah ini adalah Belanja Pelayanan Publik.Belanja ini adalah bagian belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan,serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untukmembiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati olehmasyarakat (publik). Belanja Pelayanan Publik ini meliputi belanja pegawai, belanjabarang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, belanja lain-lain, belanjamodal, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.

Data Envelopment Analysis

Data Envelopment Analysis (DEA) yang sering disebut analisis frontier pertama kalidiperkenalkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun 1978. DEA digunakan

- 04 -

Page 5: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

untuk mengukur dan mengevaluasi efisiensi relatif suatu unit kegiatan ekonomi/UKE(decision making unit/DMU) suatu organisasi. Unit kegiatan ekonomi yang dapatdiaplikasikan dengan DEA antara lain bank, medis (healt care), pendidikan (education),rumah sakit, kantor polisi, kantor pajak, perusahaan penerbangan serta unit kegiatanlainnya. Sejak teknik ini diperkenalkan pertama kali, sudah banyak teori ataupun studiempiris dilakukan.

DEA (Charnes, et al. (1978), Banker, et al. (1984)), adalah sebuah metode optimasiprogram matematika yang mengukur efisiensi teknik suatu unit kegiatan ekonomi (UKE)dan membandingkan secara relatif terhadap UKE yang lain. DEA mula-muladikembangkan oleh Farrel (1957) yang mengukur efisiensi teknik satu input dan satuoutput, menjadi multi input dan multi output, menggunakan kerangka nilai efisiensirelatif sebagai rasio input (single virtual input) dengan output (single virtual output)(untuk pustaka lebih lanjut lihat Giuffrida dan Gravelle,2001:4, Lewis,et al. 1999;907-912, Post dan Spronk, 1999;3).

Efisiensi diukur sebagai berikut :

di mana :

hs

adalah efisiensi teknik UKE sy

i smerupakan jumlah output i yang diproduksi oleh UKE s.

xjs

adalah jumlah input j yang digunakan oleh UKE su

imerupakan bobot output i yang dihasilkan oleh UKE s

vj

adalah bobot input j yang diberikan oleh UKE s, dan i dihitung dari 1 ke m serta jdihitung dari 1 ke n.

Persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variabel input dan satu output.Rasio efisiensi (h

s), kemudian dimaksimalkan dengan kendala sebagai berikut :

iU 0jVdan

Di mana N menunjukkan jumlah UKE dalam sampel. Pertidaksamaan pertamamenunjukkan adanya efisiensi rasio untuk UKE lain tidak lebih dari 1, sementarapertidaksamaan kedua berbobot positif. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampaidengan 1. Sebuah UKE dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 1 atau100 persen, sebaliknya jika mendekati 0 menunjukkan efisiensi UKE yang semakinrendah.

1/

11

n

jjrj

m

iiri xvyu .............................................................................. (2)

n

jjsj

m

iisis xvyuh

11/ ...................................................................... (1)

- 05 -

Page 6: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Pada DEA, setiap UKE dapat menentukan pembobotnya masing-masing dan menjaminbahwa pembobot yang dipilih akan menghasilkan ukuran kinerja yang terbaik.

Gambar 2. menunjukkan adanya penggunaan satu variabel input dan satu output.Teknologi CRS ditunjukkan oleh frontier OC. UKE dikatakan efisien bila berada padagaris frontier, sedangkan yang berada di luar garis frontier dikatakan tidak efisien.

Beberapa bagian program linear ditransformasikan kedalam program ordinary linier

secara primal atau dual sebagai berikut :

Sumber : Miller dan Noulas (1996)

;,......1,0

11

n

jjj

m

iirI NrrxvyuKendala

n

jjsj xv

11 dan ui dan vj 0 ..................................................(4)

Efisiensi pada masing-masing UKE dihitung menggunakan programasi linier denganmemaksimumkan jumlah output yang dibobot dari UKE s. Kendala jumlah inputyang dibobot harus sama dengan satu untuk bank s, sedangkan kendala untuk semuabank, yaitu jumlah output yang dibobot dikurangi jumlah input yang dibobot haruskurang atau sama dengan 0. Hal ini berarti semua bank akan berada atau di bawahreferensi kinerja frontier yang merupakan garis lurus yang memotong sumbu origin(Insukindro, dkk, 2000:20).

m

iisis yuh

1

Maksimisasi .......................................................................(3)

- 06 -

Page 7: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Sementara jika teknologi dianggap variable return to scale, maka efisiensi beradapada garis ABDV. Dengan asumsi ini maka titik A,B,D, dan V dikatakan efisien.Programasi linier yang menunjukkan asumsi VRS adalah :

m

iisis yuh

1

Maksimisasi ..............................................................(5) oU+

Di mana merupakan penggal yang dapat bernilai positif atau negatif. Transformasi

juga dapat dilakukan secara dual dengan minimisasi input sebagai berikut :

oU

;,......1,0

11

n

jjj

m

iirI NrrxvyuKendala

n

jjsj xv

11 dan ui dan vj 0 ..................................................(6)

Minimisasi ........................................................................................(7) s

Kendala

; dan s Bebas ....(8)

n

risirr miyy

1

,...,1,

N

rrirrjss njxx

10;,....,1,0

Variabel s merupakan efisiensi teknis dan bernilai antara 0 (nol) dan 1 (satu). Programasilinier pada persamaan (7) dan (8) diasumsikan constant return to scale (CRS). Efisiensiteknis (s) diukur sebagai rasio KF/KS dan bernilai kurang dari satu. Sementara (1-s)menerangkan jumlah input yang harus dikurangi untuk menghasilkan output yang samasebagai bentuk efisiensi UKE seperti yang ditunjukkan oleh titik F. Kedua perhitungan,minimisasi input atau maksimisasi output, primal atau dual akan memberikan hasil sama.

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

DEA digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi efisiensi relatif suatu unit kegiatanekonomi/UKE (Decision Making Unit/DMU) suatu organisasi. Unit kegiatan ekonomiyang diaplikasikan dengan DEA di dalam makalah ini mencakup 38 Kabupaten/Kota diJawa Timur, termasuk kota yang termuda yaitu Kota Batu. Ada tiga manfaat yangdiperoleh dari pengukuran efisiensi dengan DEA (Insukindro dkk, 2000:8), pertama,sebagai tolok ukur untuk memperoleh efisiensi relatif yang berguna untuk mempermudahperbandingan antar unit ekonomi yang sama. Kedua, mengukur berbagai variasi efisiensiantar unit ekonomi untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya, dan ketiga,menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan tingkat efisiensinya.

- 07 -

Page 8: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Dari hasil perhitungan DEA dengan asumsi CRTS seperti yang tertera pada Tabel 4.1.,terlihat bahwa kabupaten/Kota yang sudah mengalami capaian efisien penuh (sebesar100%) dari sisi input total dan output total ada 21 Kabupaten/Kota. Diantaranya adalahBondowoso, Kediri, Kota Malang, Kota Surabaya, Magetan, Sidoarjo, Tranggalek, Gresik,Kota Kediri, Kota Mojokerto, Lamongan, Nganjuk, Situbondo, Tuban, Bojonegoro,Jombang, Kota Madiun, Kota Probolinggo, Madiun, Ngawi dan Sumenep.

Kabupaten/Kota yang belum memenuhi efisiensi dari sisi input total dan output totalnyaada 17 Kabupaten/Kota. Masing-masing adalah Jember (dengan capaian efisiensi inputsebesar 58,09; dan capaian efisiensi output sebesar 63,08), Pacitan (58,20; 54,89),Pamekasan (60,43; 62,87), Probolinggo (62,97; 59,77), Blitar (64,58; 68,52), Ponorogo(65,87; 62,77), Kota Batu (69,19; 59,08), Kota Pasuruan (74,53; 62,96), Lumajang (75,42;61,19), Sampang (79,60; 62,76), Tulung Agung (80,15; 68,34), Bangkalan (83,44; 70,11),Mojokerto (86,47; 61,83), Banyuwangi (87,75; 70,27), Pasuruan (90,37; 62,44), KotaBlitar (91,88; 63,96), dan Malang (99,61; 70,38). Berikut ini analisis capaian efisiensidari sisi input dan output ke-17 Kabupaten/Kota di jawa Timur yang belum memenuhiefisiensi penuh (100%).

Sumber inefisiensi yang terbesar dari sisi input masing-masing adalah pengeluaran tidakterduga (Jember, Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Ponorogo, Lumajang, Tulung Agung,Bangkalan, Mojokerto,Kota Blitar, dan Malang), belanja perjalanan dinas (Sampang,Banyuwangi), belanja pemeliharaan (Kota Pasuruan dan Pasuruan), dan belanja pegawai(Blitar).

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Jember

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Jember dicapai oleh pos belanjabarang dan jasa, belanja modal dan belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar 73,5%, sehingga masih ada pemborosan inputsebesar 26,5%. Capaian efisiensi input terendah dicapai oleh pos belanja perjalanandinas sebesar 21,8%, sehingga terjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 78,2%.Dari target yang sebesar Rp 1.123.914.200 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp5.147.353.000 atau 400% (4 x) dari yang seharusnya, sehingga perlu ada peningkatanefisiensi dari pos belanja perjalanan dinas ini. Sementara dari komponen output, capaianefisiensi output tertinggi dicapai oleh pos retribusi dan lain-lain PAD sebesar 79%,sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar 21%. Pos yang mengalamicapaian output terendah adalah pajak sebesar 36,2%. Artinya dari target pajak sebesarRp 31.147.492.500, yang terealisir baru Rp 11.288.810.000, sehingga perlu ada upayapeningkatan output yang lebih besar lagi sekitar Rp 20 milyar.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Pacitan

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Pacitan dicapai oleh pos belanjabarang dan jasa, bagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai

- 08 -

Page 9: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

efisiensi sebesar 73,6%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 26,4%. Capaianefisiensi input terendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 9%, sehinggaterjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 91%. Dari target yang sebesar Rp108.241.600 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 1.200.198.000 atau 1200% (12 x)dari yang seharusnya, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pos pengeluarantidak terduga ini. Sementara dari komponen output, capaian efisiensi output tertinggidicapai oleh pos retribusi dan lain-lain PAD sebesar 79,1%, sehingga capaian output inimasih bisa ditingkatkan lagi sebesar 20,9%. Pos yang mengalami capaian output terendahadalah pajak sebesar 43,4%. Artinya dari target pajak sebesar Rp 6.305.636.000, yangterealisir baru Rp 2.736.241.000, sehingga perlu ada upaya peningkatan output yanglebih besar lagi sekitar Rp 3,5 milyar.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Pamekasan

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Pamekasan dicapai oleh posbelanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, belanja modaldan belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai efisiensisebesar 75,3%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 24,7%. Capaian efisiensiinput terendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 9,8%, sehingga terjadipemborosan input yang cukup besar yaitu 91,8%. Dari target yang sebesar

- 09 -

Input Output

BLJ

PEGAWAI

BLJ

BRG&JASA

BLJ PERJLN

DINAS

BLJ PEME

LIHARAAN

BLJ

LAIN2

BLJ

MODAL

BAGI HSL &

BANTUAN

PENG TDK

TERDUGATAX

RETRI

BUSIHPMD

LAIN2

PAD

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

1 Pacitan 58.20 54.89 14.40 73.60 11.30 42.90 0.00 69.40 73.60 9.00 43.40 79.10 63.00 79.102 Ponorogo 65.87 62.77 40.30 79.40 79.40 79.40 0.00 79.40 79.40 6.10 30.80 82.90 13.10 82.90

3 Trenggalek 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 0.00 100.004 Tulungagung 80.15 68.34 48.80 89.00 49.50 89.00 0.00 89.00 89.00 36.40 37.90 90.10 55.60 45.905 Blitar 64.58 68.52 28.20 43.70 47.50 78.50 0.00 78.50 78.50 38.30 82.30 82.30 82.30 82.30

6 Kediri 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.007 Malang 99.61 70.38 53.90 43.90 30.70 99.80 0.00 99.80 99.80 15.40 99.80 41.80 78.00 81.508 Lumajang 75.42 61.19 46.90 62.30 19.00 86.00 0.00 86.00 85.60 2.50 27.20 87.70 43.60 87.60

9 Jember 58.09 63.08 44.30 73.50 21.80 69.30 0.00 73.50 73.50 29.60 36.20 79.00 77.10 79.0010 Banyuwangi 87.75 70.27 54.70 58.00 20.70 62.70 0.00 93.50 93.50 93.50 42.00 93.90 36.90 93.90

11 Bondowoso 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0012 Situbondo 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0013 Probolinggo 62.97 59.77 24.00 77.30 35.30 77.30 0.00 77.30 77.30 12.70 66.80 81.50 6.40 81.50

14 Pasuruan 90.37 62.44 59.10 35.30 48.60 9.80 0.00 94.90 64.40 61.90 95.20 84.40 0.50 95.2015 Sidoarjo 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0016 Mojokerto 86.47 61.83 40.30 92.70 24.70 72.70 0.00 92.70 13.90 0.30 69.30 93.20 48.80 93.20

17 Jombang 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0018 Nganjuk 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

19 Madiun 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0020 Magetan 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.0021 Ngawi 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

22 Bojonegoro 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0023 Tuban 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0024 Lamongan 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

25 Gresik 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0026 Bangkalan 83.44 70.11 91.00 78.00 91.00 76.10 0.00 91.00 80.00 12.60 26.20 91.70 12.10 91.7027 Sampang 79.60 62.76 88.60 39.40 38.90 75.10 0.00 65.90 88.60 68.90 42.50 89.80 10.70 44.60

28 Pamekasan 60.43 62.87 30.90 75.30 75.30 75.30 0.00 75.30 75.30 9.80 45.50 80.20 31.00 80.2029 Sumenep 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

30 Kediri* 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.0031 Blitar* 91.88 63.96 95.80 59.30 47.90 50.60 0.00 95.80 95.80 5.50 18.90 95.90 6.10 95.9032 Malang* 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

33 Probolinggo* 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0034 Pasuruan* 74.53 62.96 85.40 34.80 42.30 22.00 0.00 85.40 33.90 85.40 61.50 87.30 30.20 87.3035 Mojokerto* 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

36 Madiun* 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.0037 Surabaya* 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.0038 Batu* 69.19 59.08 81.80 62.20 67.70 81.80 0.00 68.00 81.80 5.30 84.60 47.40 7.60 20.80

TABEL 4.1. CAPAIAN EFISIENSI INPUT, OUTPUT DAN KOMPONENNYA DENGAN ASUMSI CRTS (CONSTANT RETURN TO SCALE )

No

Capaian Efisiensi

(dalam %) INPUT OUTPUT

CAPAIAN EFISIENSI (dalam %)

Kabupaten/

Kota(*)

TABEL 1. Capaian Efisiensi Input, Output dan Komponennya dengan Asumsi CRTS (Constant Return to Scale)

Page 10: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Rp 195.463.200 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 2.000.000 atau 1000% (10 x)dari yang seharusnya, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pos pengeluarantidak terduga ini. Sementara dari komponen output, capaian efisiensi output tertinggidicapai oleh pos retribusi dan lain-lain PAD sebesar 80,2%, sehingga capaian output inimasih bisa ditingkatkan lagi sebesar 19,8%. Pos yang mengalami capaian output terendahadalah Hasil Perusahaan Milik Daerah sebesar 31 %. Artinya dari target Hasil PerusahaanMilik Daerah sebesar Rp 484.599.100, yang terealisir baru Rp 150.461.000, sehinggaperlu ada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi sekitar Rp 330 juta.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Probolinggo

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Probolinggo dicapai oleh posbelanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja modal dan belanja bagi hasil danbantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar 77,3%, sehinggamasih ada pemborosan input sebesar 22,7%. Capaian efisiensi input terendah dicapaioleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 12,7%, sehingga terjadi pemborosan inputyang cukup besar yaitu 77,3%. Dari target yang sebesar Rp 305.415.800 rupiah, ternyatarealisasinya sebesar Rp 2.404.859.000 atau 787% (7,87 x) dari yang seharusnya, sehinggaperlu ada peningkatan efisiensi dari pos pengeluaran tidak terduga ini. Sementara darikomponen output, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh pos retribusi dan lain-lain PAD sebesar 81,5%, sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar18,5%. Pos yang mengalami capaian output terendah adalah Hasil Perusahaan MilikDaerah (HPMD) sebesar 6,4%. Artinya dari target HPMD sebesar Rp 574.437.400,yang terealisir baru Rp 37.000.000, sehingga perlu ada upaya peningkatan output yanglebih besar lagi sekitar Rp 537 juta.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Blitar

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Blitar dicapai oleh pos belanjapemeliharaan, belanja modal dan belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar 78,5%, sehingga masih ada pemborosan inputsebesar 11,5%. Capaian efisiensi input terendah dicapai oleh pos belanja pegawaisebesar 28,2%, sehingga terjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 61,8%. Daritarget yang sebesar Rp 55.816.057.200 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp197.667.479.000, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pos belanja pegawai ini.Sementara dari komponen output, capaian efisiensi output ke empat pos adalah samasebesar 82,3%, sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar 11,7%..

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Ponorogo

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Ponorogo dicapai oleh pos belanjabarang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, belanja modal dan belanjabagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar79,4%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 20,6%. Capaian efisiensi input

- 10 -

Page 11: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

terendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 6,1%, sehingga terjadipemborosan input yang cukup besar yaitu 93,9%. Dari target yang sebesar Rp244.813.600 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 4.000.000, sehingga perlu adapeningkatan efisiensi dari pos pengeluaran tidak terduga ini. Sementara dari komponenoutput, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh pos retribusi dan lain-lain PADsebesar 82,9%, sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar 11,1%.Pos yang mengalami capaian output terendah adalah HPMD sebesar 13,1%. Artinyadari target HMPD sebesar Rp 1.058.935.400, yang terealisir baru Rp 138.746.000,sehingga perlu ada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kota Batu

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Kota Batu dicapai oleh pos belanjapegawai dan belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telah mencapaiefisiensi sebesar 81,8%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 18,2%. Capaianefisiensi input terendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 5,3%,sehingga terjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 94,7%. Dari target yangsebesar Rp 129.182.700 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 2.430.470.000, sehinggaperlu ada peningkatan efisiensi dari pos pengeluaran tidak terduga ini. Sementara darikomponen output, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh pos pajak sebesar 84,6%,sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar 15,4%. Pos yangmengalami capaian output terendah adalah HPMD sebesar 7,6%. Artinya dari targetHPMD sebesar Rp 355.556.200, yang terealisir baru Rp 107.532.000, sehingga perluada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kota Pasuruan

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Kota Pasuruan dicapai oleh posbelanja pegawai, belanja modal dan pengeluaran tidak terduga yang masing-masing telahmencapai efisiensi sebesar 85,4%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 14,6%.Capaian efisiensi input terendah dicapai oleh pos belanja pemeliharaan sebesar 22%,sehingga terjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 78%. Dari target yang sebesarRp 1.255.972.000 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 5.709.754.000 dari yangseharusnya, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pos belanja pemeliharaan ini.Sementara dari komponen output, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh posretribusi dan lain-lain PAD sebesar 87,3%, sehingga capaian output ini masih bisaditingkatkan lagi sebesar 12,7%. Pos yang mengalami capaian output terendah adalahHPMD sebesar 30,2%. Artinya dari target HPMD sebesar Rp 355.556.200, yangterealisir baru Rp 107.532.000, sehingga perlu ada upaya peningkatan output yang lebihbesar lagi.

- 11 -

Page 12: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Lumajang

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Lumajang dicapai oleh pos belanjapemeliharaan dan belanja modal yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar86%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 14%. Capaian efisiensi inputterendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 2,7%, sehingga terjadipemborosan input yang cukup besar yaitu 97,3%. Dari target yang sebesar Rp151.912.000 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 6.191.564.000, sehingga perlu adapeningkatan efisiensi dari pos pengeluaran tidak terduga ini. Sementara dari komponenoutput, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh pos retribusi sebesar 87,7%,sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar 12,3%. Pos yangmengalami capaian output terendah adalah pajak sebesar 27,2%. Artinya dari targetpajak sebesar Rp 24.029.042.000, yang terealisir baru Rp 6.537.411.000, sehingga perluada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Sampang

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Sampang dicapai oleh pos belanjapegawai, dan belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telahmencapai efisiensi sebesar 88,6%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 11,4%.Capaian efisiensi input terendah dicapai oleh pos belanja perjalanan dinas sebesar 38,9%,sehingga terjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 61,1%. Dari target yangsebesar Rp 207.648.300 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 533.856.000 dari yangseharusnya, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pos belanja perjalanan dinasini. Sementara dari komponen output, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh posretribusi sebesar 89,8%, sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar11,2%. Pos yang mengalami capaian output terendah adalah HPMD sebesar 10,7%.Artinya dari target HPMD sebesar Rp 46.820.100, yang terealisir baru Rp 5.000.000,sehingga perlu ada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Tulungagung

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Tulungagung dicapai oleh posbelanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja modal dan belanja bagi hasil danbantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar 89%, sehinggamasih ada pemborosan input sebesar 11%. Capaian efisiensi input terendah dicapaioleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 36,4%, sehingga terjadi pemborosan inputyang cukup besar yaitu 63,6%. Dari target yang sebesar Rp 303.513.000 rupiah, ternyatarealisasinya sebesar Rp 833.087.000, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pospengeluaran tidak terduga ini. Sementara dari komponen output, capaian efisiensi outputtertinggi dicapai oleh pos retribusi sebesar 90,1%, sehingga capaian output ini masihbisa ditingkatkan lagi sebesar 9,9%. Pos yang mengalami capaian output terendah adalah

- 12 -

Page 13: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

pajak sebesar 37,9%. Artinya dari target pajak sebesar Rp 21.308.373.000, yang terealisirbaru Rp 8.084.566.000, sehingga perlu ada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Bangkalan

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Bangkalan dicapai oleh pos belanjapegawai, belanja perjalanan dinas, belanja modal yang masing-masing telah mencapaiefisiensi sebesar 91%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 8%. Capaianefisiensi input terendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 12,6%,sehingga terjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 87,4%. Dari target yangsebesar Rp 820.850.000 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 6.531.886.000, sehinggaperlu ada peningkatan efisiensi dari pos pengeluaran tidak terduga ini. Sementara darikomponen output, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh pos retribusi dan lain-lain PAD sebesar 91,7%, sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar8,3%. Pos yang mengalami capaian output terendah adalah HPMD sebesar 12,1%.Artinya dari target HPMD sebesar Rp 2.450.432.800, yang terealisir baru Rp296.234.000, sehingga perlu ada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Mojokerto

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Mojokerto dicapai oleh pos belanjabarang dan jasa, dan belanja modal yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar92,7%, sehingga masih ada pemborosan input sebesar 7,3%. Capaian efisiensi inputterendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terduga sebesar 0,3%, sehingga terjadipemborosan input yang cukup besar yaitu 99,7%. Dari target yang sebesar Rp179.774.900 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp 60.286.601.000, sehingga perluada peningkatan efisiensi dari pos pengeluaran tidak terduga ini. Sementara dari komponenoutput, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh pos retribusi dan lain-lain PADsebesar 93,2%, sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar 6,8%.Pos yang mengalami capaian output terendah adalah HPMD sebesar 48,8%. Artinyadari target HPMD sebesar Rp 1.423.357.000, yang terealisir baru Rp 694.563.000,sehingga perlu ada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Banyuwangi

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Banyuwangi dicapai oleh posbelanja modal, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan dan pengeluaran tidak terdugayang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar 93,5%, sehingga masih adapemborosan input sebesar 6,5%. Capaian efisiensi input terendah dicapai oleh posbelanja perjalanan dinas sebesar 20,7%, sehingga terjadi pemborosan input yang cukupbesar yaitu 79,3%. Dari target yang sebesar Rp 923.689.800 rupiah, ternyata realisasinyasebesar Rp 4.463.200, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pos belanja perjalanandinas ini. Sementara dari komponen output, capaian efisiensi output tertinggi dicapaioleh pos retribusi dan lain-lain PAD sebesar 93,9%, sehingga capaian output ini masih

- 13 -

Page 14: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

bisa ditingkatkan lagi sebesar 6,1%. Pos yang mengalami capaian output terendah adalahHPMD sebesar 36,9%. Artinya dari target HPMD sebesar Rp 2.981.712.000, yangterealisir baru Rp 1.990.060.000, sehingga perlu ada upaya peningkatan output yanglebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Pasuruan

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Pasuruan dicapai oleh pos belanjamodal yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar 94,9%, sehingga masih adapemborosan input sebesar 5,1%. Capaian efisiensi input terendah dicapai oleh posbelanja barang dan jasa sebesar 35,3%, sehingga terjadi pemborosan input yang cukupbesar yaitu 64,7%. Dari target yang sebesar Rp 16.475.076.000 rupiah, ternyatarealisasinya sebesar Rp 46.699.657.000, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi daripos belanja perjalanan dinas ini. Sementara dari komponen output, capaian efisiensioutput tertinggi dicapai oleh pos pajak dan lain-lain PAD sebesar 95,2%, sehingga capaianoutput ini masih bisa ditingkatkan lagi sebesar 4,8%. Pos yang mengalami capaian outputterendah adalah HPMD sebesar 0,5%. Artinya dari target HPMD sebesar Rp1.383.400.000, yang terealisir baru Rp 6.600.000, sehingga perlu ada upaya peningkatanoutput yang lebih besar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kota Blitar

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Kota Blitar dicapai oleh posbelanja pegawai, belanja modal dan belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar 95,8%, sehingga masih ada pemborosan inputsebesar 4,2%. Capaian efisiensi input terendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terdugasebesar 5,5%, sehingga terjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 94,5%. Daritarget yang sebesar Rp 392.516.900 rupiah, ternyata realisasinya sebesar Rp7.114.320.000, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pos pengeluaran tidak terdugaini. Sementara dari komponen output, capaian efisiensi output tertinggi dicapai oleh posretribusi dan lain-lain PAD sebesar 95,9%, sehingga capaian output ini masih bisaditingkatkan lagi sebesar 4,1%. Pos yang mengalami capaian output terendah adalahHPMD sebesar 6,1%. Artinya dari target HPMD sebesar Rp 1.005.519.400, yangterealisir baru Rp 61.820.000, sehingga perlu ada upaya peningkatan output yang lebihbesar lagi.

Sumber Inefisiensi di Kabupaten Malang

Dari sisi komponen input, capaian efisiensi tertinggi di Malang dicapai oleh pos belanjapemeliharaan, belanja modal dan belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang masing-masing telah mencapai efisiensi sebesar 99,8%, sehingga masih ada pemborosan inputsebesar 0,2%. Capaian efisiensi input terendah dicapai oleh pos pengeluaran tidak terdugasebesar 15,4%, sehingga terjadi pemborosan input yang cukup besar yaitu 84,6%. Daritarget yang sebesar Rp 301.757.100 rupiah, ternyata realisasinya sebesar

- 14 -

Page 15: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Rp 1.962.744.000, sehingga perlu ada peningkatan efisiensi dari pos pengeluaran tidakterduga ini. Sementara dari komponen output, capaian efisiensi output tertinggi dicapaioleh pos pajak sebesar 99,8%, sehingga capaian output ini masih bisa ditingkatkan lagisebesar 0,2%. Pos yang mengalami capaian output terendah adalah retribusi sebesar41,8%. Artinya dari target retribusi sebesar Rp 25.065.357.000, yang terealisir baruRp 10.489.198.000, sehingga perlu ada upaya peningkatan output yang lebih besar lagi.

Sumber inefisiensi terbesar dari sisi output masing-masing adalah Hasil PerusahaanMilik Daerah/HPMD (Pamekasan, Probolinggo, Ponorogo, Kota Batu, Kota Pasuruan,Sampang, Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, Kota Blitar) dan pajak (Jember,Pacitan, Lumajang, Tulungagung).

Capaian efisiensi terbesar dari sisi input masing-masing adalah belanja barang dan jasa(Jember, Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Ponorogo, Tulungagung, Mojokerto), belanjamodal (Jember, Pamekasan, Blitar, Ponorogo, Kota Pasuruan, Lumajang, Tulungagung,Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, Kota Blitar, Malang). Capaian efisiensiterbesar dari sisi output masing-masing adalah retribusi (Jember, Pacitan, Pamekasan,Probolinggo, Blitar, Ponorogo, Kota Pasuruan, Lumajang, Sampang, Pasuruan,Tulungagung, Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Kota Blitar) dan lain-lain PAD (Jember,Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Blitar, Ponorogo, Kota Pasuruan, Lumajang,Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan dan Kota Blitar).

5. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sumber inefisiensi yang terbesar dari sisi input masing-masing adalah pengeluaran tidakterduga (Jember, Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Ponorogo, Lumajang, Tulungagung,Bangkalan, Mojokerto,Kota Blitar, dan Malang), belanja perjalanan dinas (Sampang,Banyuwangi), belanja pemeliharaan (Kota Pasuruan dan Pasuruan), dan belanja pegawai(Blitar).

Sumber inefisiensi terbesar dari sisi output masing-masing adalah Hasil PerusahaanMilik Daerah/HPMD (Pamekasan, Probolinggo, Ponorogo, Kota Batu, Kota Pasuruan,Sampang, Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, Kota Blitar) dan pajak (Jember,Pacitan, Lumajang, Tulungagung).

Capaian efisiensi terbesar dari sisi input masing-masing adalah belanja barang dan jasa(Jember, Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Ponorogo, Tulungagung, Mojokerto), belanjamodal (Jember, Pamekasan, Blitar, Ponorogo, Kota Pasuruan, Lumajang, Tulungagung,Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, Kota Blitar, Malang).

Capaian efisiensi terbesar dari sisi output masing-masing adalah retribusi (Jember, Pacitan,Pamekasan, Probolinggo, Blitar, Ponorogo, Kota Pasuruan, Lumajang, Sampang,Pasuruan, Tulungagung, Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Kota Blitar) dan lain-lain

- 15 -

Page 16: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

PAD (Jember, Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Blitar, Ponorogo, Kota Pasuruan,Lumajang, Bangkalan, Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan dan Kota Blitar).

Saran

Sumber inefisiensi yang terbesar dari sisi input masing-masing adalah pos pengeluarantidak terduga dan belanja perjalanan dinas ini perlu menjadi perhatian pengambil kebijakandi tingkat Kabupaten/Kota, karena biaya yang dikeluarkan untuk kedua pos ini seringtidak tepat sasaran sehingga terjadi pemborosan yang cukup besar. Sebagai contohpengeluaran tidak terduga (sering disebut “dana taktis”) yang sifatnya fleksibel danakuntabilitasnya cukup longgar, sering digunakan oleh aparat di tingkat daerah dalammengeluarkan biaya-biaya yang tidak direncanakan sebelumnya. Pos yang kedua adalahbelanja perjalanan dinas. Perjalanan dinas yang sering dilakukan oleh aparat terkadangtidak berkorelasi dengan manfaat yang seharusnya diperoleh. Atau dengan kata lain,perjalanan dinas yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan output penerimaan daerah,sebaiknya dikurangi.

Sumber inefisiensi terbesar dari sisi output masing-masing adalah pos Hasil PerusahaanMilik Daerah/HPMD dan pajak ini, sering dijadikan “lahan basah” bagi aparat sehinggaantara target dan realisasi tidak sama. Terlalu banyak kepentingan yang bermainmemungkinkan perusahaan daerah tidak pernah menghasil barang ataupun jasa secaralebih efisien. Sebagai contoh, Perusahaan daerah yang pasti ada di setiap Kabupaten/Kota yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sering terjadi konflik kepentinganbahkan bukan hanya di antara eksekutif, bahkan dengan pihak legislatif, sehinggamasyarakat yang dirugikan. Biarkan perusahaan daerah diserahkan kepada paraprofesional yang mengelolanya sehingga mampu memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi masyarakat tapi juga pemerintah daerah. Capaian efisiensi dari komponeninput yang sudah bagus ini hendaknya selalu diperbaiki kinerja mengingat “pengawasanyang melekat” (waskat) memungkinkan rendahnya terjadinya penyelewengan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Badan Pusat Statistik, 2005, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota2003-2004.

Bahl, Roy, And Linn, Johannes, 1992, Urban Public Financer In Developing Countries,New York: Oxford University Press.

Bambang Brodjonegoro 2000, Otonomi Daerah Dan Kondisi Fiskal Indonesia, KomitePemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Bambang Tata Samiaji, 2003, Local Economic Development (Teori Dan Penerapannya),Urban And Regional Institute

- 16 -

Page 17: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Banker, R.D., Charnes, A., And. Cooper, W.W., 1984, Some Models For EstimatingTechnical And Scale Efficiencies In Data Envelopment Analysis,Management Science 30 (9), 1079-1092.

Bennett, Robert J, 1990, Decentralisation, Local Governments And Markets, Oxford:Clarendon University Press.

Bird, R. M, Ebel, Robert, And Wallich, Christine, 1995, Decentralization Of SocialistState: Intergovernmental Finance In Transition Economies, Washington, DC:World Bank.

Bird, R. M And F. Vaillancourt, 1998, Fiscal Decentralization In Developing Countries,An Overview, In Richard M. Bird And Francois Vaillancourt(Eds), CambridgeUniversity Press, Cambridge, U.K.

Boediono, 1992, Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta.

Boediono, 2002, Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam RangkaPelaksanaan Asas Desentralisasi Fiskal, Makalah Rakor PendayagunaanAparatur Negara Tingkat Nasional Tahun 2002, Jakarta.

Brennan, Geoffrey Dan Buchanan, James (1980), Tax Limits And The Logic OfConstitutional Restriction”, dalam “Democratic Choice And Taxation : ATheoritical And Empirical Analysis”, Hettich,W. And Winer,S.L.,CambridgeUniversity Press,Hal.20-22.

Charnes,A.,W.Cooper, Dan E. Rhodes, (1978), “Measuring The Efficiency Of DecissionMaking Units,” Europan Journal Of Operational Research, 3(4), 429-444.

Davey, Kenneth, 1989, Keuangan Pemerintah Indonesia, Lembaga Penerbit FE UI,Jakarta.

Devas, Nick, 1989, Keuangan Pemerintah Indonesia, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta.

Farell, M.J, 1957, “The Measurement Of Productive Efficiency”, Journal Of The RoyalStatistical Society 120 (Series A), 253-281Halim, Abdul, 2001, ManajemenKeuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Giufrida, A.,And Gravelle,H., 2001, “Measuring Performance In Primary Care:Econometric Analysis And DEA” Department Of Economics And RelatedStudies University Of York, Heslington, York.

Insukindro, Nopirin, Makhfatih,A., Ciptono,S.M., 2000. “Laporan Akhir PengukuranEfisiensi Relatif Pelayanan Kantor Cabang Pegadaian”, Penelitian danPengembangan Manajemen (PPM) Fakultas Ekonomi Universitas GadjahMada, Yogyakarta

Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah Di Indonesia, LPEMUniversitas Indonsia Bekerjasama Dengan Clean Urban Project, RTI, Jakarta, 1999

- 17 -

Page 18: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Lestari, Etty Puji, 2004, Modul Pelatihan Metodologi Empiris Data EnvelopmentAnalysis, Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka.

Lewis, E, C. Newton, and Suntornsaratoon, M., 1999, A Verification of Weight Coefficientin the Objective Function for Efficiency Optimization of Dynamic System usingDEA”, Australian Conference on Information System, 907-912

LPEM Universitas Indonesia Bekerjasama Dengan Clean Urban Project,RTI (1999),“Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah DiIndonesia”, Jakarta.

M.L Jhinghan, 1993, Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan, Terjemahan RajawaliPress, Jakarta.

Mahfud, Sidik. 2001, Desentralisasi Fiskal, Makalah Seminar Nasional FE UNAIR,Surabaya.

Mahfud, Sidik. 2002, Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah YangMengacu Pada Pencapaian Tujuan Nasional, Departemen Keuangan

Mardiasmo, 2002, Otonomi Dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta.

Mardiasmo, 2002, Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh BasisPerekonomian Daerah, Jurnal Ekonomi Rakyat, Nomor 4 – Juli 2002.

Mangkoesoebroto, G. 1999. Ekonomi Publik. BPFE. Yogyakarta. Indonesia.

Miller.S.M., And Noulas.A.G., 1996, “The Technical Efficiency Of Large BankProduction”, Journal Of Banking And Finance 20, 495-509.

Musgrave, Richard A, 1993, Public Finance In Theory And Practice, Fifth Edition,Mcgraw-Hill Book Company, USA.

Nota Keuangan Dan RAPBN , Beberapa Edisi.

OECD (1999): “Taxing Powers Of State And Local Government”, OECD PublicationService, France.

Post, Thierry, And Spronk,J., 1999; “Including Economic Uncertainty In DataEnvelopment Analysis; With An Aplication Of Large European CommercialBanks”, Helsinki School Of Economics, Finland. Internet.

Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi UGM, 2000, “Modul Data EnvelopmentAnalysis (DEA)”, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Republik Indonesia, “Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah”.

Republik Indonesia, “Undang-Undang No.25 Tahun 1999 Tentang PerimbanganKeuangan Antara Pusar Dan Daerah”.

Republik Indonesia, “Undang-Undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah DanRetribusi Daerah”.

- 18 -

Page 19: 01 - UNAIR

Majalah Ekonomi Tahun XX, No. 1 April 2010

Ritonga, Anshari, 2004, “Kebijakan Efisiensi Belanja Negara” Dalam “Kebijakan Fiskal:Pemikiran, Konsep Dan Implementasi” Editor: Heri Subiyantoro,Ph.D. DanSinggih Riphat, APU, Penerbit Buku Kompas.

Shah, A., Et.Al, 1994 Intergovernmental Fiscal Relations In Indonesia, Issue AndReform Options, World Bank Discussion Paper, Washington DC.

Sidik, Machfud,2002, Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam RangkaMeningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Disampaikan Dalam Acara OrasiIlmiah Dengan Thema “Strategi Meningkatkan Kemampuan KeuanganDaerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka OtonomiDaerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002- Di Bandung, 10 April 2002

Simanjuntak, 2002, Fiscal Need Dan Fiscal Capacity Dalam Rangka Optimalisasi PAD,Departemen Keuangan

Suparmoko, 2000, Keuangan Negara Dalam Teori Dan Praktek, BPFE UGM,Yogyakarta.

Ter-Minassian, Teresa, 1997, “Fiscal Federalism In Theory And Practice”, InternationalMonetary Fund, Washington.

Wibowo, Tri, 2004, “Potret Fiskal Daerah Sebelum Dan Pada Era Desentralisasi”, HasilMakalah Dengan Judul Studi Efektivitas Desentralisasi Fiskal Terhadap KinerjaEkonomi Daerah Yang Dilaksanakan Pada Tahun 2004 Dengan Sumber DanaDIP Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan Tahun 2004.

- 19 -