BAB V
BAB V
SUMBER KONSEPSI DAN METODE ISLAM
Sumber dan Dalil Islamic Thought dan MethodKonsepsi dan metode
(thought and method) adalah dua komponen tunggal dalam sebuah
ideologi, apapun bentuk dan jenis ideologinya. Semuanya tidak akan
terlepas dari kedua unsur ini. Masalahnya kemudian adalah apa yang
menentukan masing-masing, sehingga bisa disebut ideologi Islam,
Kapitalisme atau Sosialisme? Jawabnya sudah pasti, bahwa yang
menentukan bentuk masing-masing, baik Islam, Kapiltalisme atau
Sosialisme adalah sumber pemikirannya. Sebab, masing-masing
ideologi tersebut mempunyai sumber pemikiran yang unik.
Bahwa Kapitalisme dan Sosialisme merupakan ideologi yang
bersumber dari akal adalah jelas. Sebab, Kapitalisme telah menolak
agama untuk menjadi asas ideologi mereka, ketika ide Sekularisme
(pemisahan agama dari kehidupan) dijadikan sebagai asas befikir
mereka. Akal kemudian menjadi sumber pemikiran mereka. Demikian
halnya dengan Sosialisme, juga merupakan ideologi yang bersumber
dari akal, adalah realitas yang sejatinya tidak bisa dipungkiri.
Sebab, Sosialisme telah menolak agama secara total dari kehidupan.
Mereka menjadikan materi sebagai asas berfikir sekaligus akidah
mereka, yang lebih dikenal dengan ide Materialisme atau Dialektika
Materialisme. Karena konsep inilah yang menjadi asas berfikir
mereka, sudah pasti sumber pemikiran mereka tidak berasal dari
wahyu atau agama, melainkan akal mereka.
Karena itu, Samh Athif az-Zayn, dalam bukunya al-Islm wa
Idiyljiyyah al-Insn,224 membagi ideologi menjadi dua. Ada yang
bersumber dari akal dan ada yang dari wahyu. Ideologi yang
bersumber dari akal tersebut merupakan ideologi yang dhanni. Karena
itu, cenderung berubah-ubah, sedangkan ideologi yang bersumber dari
wahyu adalah ideologi yang qathi, dan karena itu tetap. Tidak
pernah berubah.
Ideologi yang bersumber dari wahyu, tidak lain adalah Islam.
Karena itu, ideologi Islam merupakan ideologi yang kukuh qathi dan
tidak berubah. Pembuktian terhadap semuanya itu, baik secara
normatif, empirik maupun historik, telah dikemukakan sebelumnya.
Masih ada satu masalah yang belum dibahas dalam buku ini, yaitu
bagaimana kita bisa membuktikan, bahwa ideologi Islam ini
benar-benar bersumber dari wahyu? Padahal tidak semua dalil yang
digunakan dalam masalah pemikiran dan metode Islam sebelumnya,
bersumber dari dalil syara. Sebab, antara dalil syara dengan dalil
aqli ada perbedaan, sementara pemikiran akidah, kenyataan ada yang
diambil berdasarkan dalil aqli.
Maka, untuk membuktikan, bahwa pemikiran dan metode Islam, yang
merupakan komponen ideologi tersebut memang Islam murni dan
bersumber dari wahyu, bukan yang lain sehingga kita meyakini, bahwa
ideologi Islam memang benar dan qathi, merupakan kajian yang sangat
penting dan memerlukan pemikiran yang mendalam.
Disamping itu, kita ingin membangun sebuah kenyakinan, bahwa
pemikiran dan metode tersebut merupakan hukum Allah dalam masalah
tertentu, bukannya hukum yang dibuat oleh manusia. Semuanya tadi
bisa diketahui dengan mengetahui sumber pemikiran dan metodenya
secara qathi, bahwa ia merupakan sesuatu yang dibawa oleh
wahyu.
Sedangkan keyakinan seperti ini, yaitu bahwa sumber pemikiran
dan metode Islam tersebut merupakan sesuatu yang dibawa oleh wahyu
dan mesti qathi, adalah masalah akidah. Bukan masalah hukum syara.
Karena itu, harus bisa dibuktiakn, bahwa sumber pemikiran dan
metode Islam tersebut benar-benar qathi, bahwa ia bisa dipastikan
bersumber dari wahyu, bukan yang lain.
Dari uraian sebelumnya, bisa disimpulkan, bahwa pembahasan
masalah sumber pemikiran dan metode Islam, atau sumber ideologi
Islam tersebut merupakan masalah ushul dan menjadi bagian dari
masalah akidah. Keyakinan, bahwa sumber pemikiran dan metode Islam,
atau ideologi Islam tersebut, benar-benar berasal dari wahyu.
Inilah akidah yang memang menjadi kenyakinan kaum muslimin.
Dengan demikian, pembahasan mengenai sumber pemikiran dan metode
Islam atau sumber ideologi Islam dengan pembahasan dalil adalah
sama. Artinya, masing-masing sama-sama merupakan pembahasan ushul,
asas dan menjadi bagian dari akidah. Sebab, kedua-duanya menuntut
adanya kenyakinan, bahwa baik dalil maupun sumber pemikiran dan
metode Islam, atau dalil dan sumber ideologi Islam tersebut
sama-sama berasal dari wahyu. Sesuatu yang diyakini, bahwa ia
merupakan sesuatu yang dibawah oleh wahyu, bukan yang lain. Inilah
makna, bahwa sumber pemikiran dan metode tersebut harus qathi,
yaitu pasti bahwa ia bersumber dari wahyu, bukan yang lain.
Demikian halnya dengan dalil, harus qathi atau ilm, atau yakin,
bahwa ia bersumber dari wahyu, bukan yang lain.225.
Inilah yang menjadi pembahasan ulama ushul, ketika mereka
menggunakan istilah dalil atau sumber. Mereka membedakan antara
sesuatu yang diduga sebagai dalil dengan sesuatu yang diyakini
sebagai dalil. Mereka menyebut apa yang diduga sebagai dalil
tersebut dengan istilah amrah (tanda-tanda), dan tidak menyebutnya
dengan istilah dalil.226
Struktur Sumber dan Dalil Pemikiran Islam
Pemisahan antara konsepsi (thought) dengan metode (method)
Islam, dalam pembahasan ideologi adalah berdasarkan substansi
ideologi, ketika yang dijadikan pembahasan tersebut adalah
ideologi. Tetapi esensinya, hukum metode dan pemikiran Islam adalah
sama-sama merupakan pemikiran Islam. Sebab, masing-masing merupakan
hukum syara. Falsafah hukum syara semuanya adalah sama. Sama-sama
merupakan problem solving bagi seluruh masalah kehidupan manusia.
Akidah sendiri juga merupakan pemikiran. Dengan demikian, baik
pemikiran maupun metode Islam, esensinya merupakan pemikiran Islam,
ketika dilihat berdasarkan pandangan dasarnya. Untuk
menyedarhanakan istilah, tanpa mengaburkan substansi pembahasannya,
maka digunakan istilah sumber dan dalil pemikiran Islam saja.
Mengenai sumber dan dalil pemikiran Islam, yang sedang dibahas
ini, berdasarkan uraian di atas, harus qathi, bahwa ia merupakan
sesuatu yang dibawa oleh wahyu, bukan yang lain. Dalam masalah ini,
al-Amidi, membagi dalil menjadi dua, yaitu: (1) dall aqli, dan (2)
dall naqli.227 Atau, dengan meminjam istilah beliau yang lain,
beliau bagi menjadi: (1)dall aqli, dan (2) dall syari.228 Sebab,
menurut beliau dalil adalah sesuatu yang bisa digunakan untuk
mendapatkan ilmu berdasarkan tuntutan yang diinformasikan. Atau
dengan bahasa yang lebih mudah, dalil adalah sesuatu yang digunakan
untuk menetapkan, bahwa sesuatu yang ditetapkan adalah begini, dan
bukan yang lain, kecuali begini.229
Al-Amidi kemudian menguraikan struktur dalil yang menjadi sumber
pemikiran yang qathi tersebut, antara lain: (1) dall aqli, dan (2)
dall naqli, dimana dall naqli, terdiri dari: (1) al-Kitb,
(2)as-Sunnah, (3) al-Ijm, (4) Qiys dan istidll.
Inilah huraian yang dikemukan oleh al-Amidi yang nampak lebih
lengkap dibanding dengan uraian ulama lain. Uraian beliau ini
sekaligus menunjukkan kedudukan dalil akidah dan hukum syara, atau
yang beliau istilahkan dengan dall aqli dan dall syari.
Masalahnya kemudian adalah mengapa dall aqli dan dall syari
tersebut dikategorikan sebagai dalil qathi? Dan, bagaimana
logikanya, dall aqli dan syari tersebut disebut sebagai dalil yang
harus diyakini, bahwa keduanya bersumber dari wahyu? Karena itu,
kedua masalah ini yang sangat penting untuk diuraikan.
a. Keqathian Sumber dan Dall Aqli Dalam pembahasan ini, ada tiga
masalah yang harus difahami agar hasil pembahasan ini menjadi
tepat. Pertama, mengenai batasan dall, aql yang menjadi sifat
dalil, dan dall aqli itu sendiri. Kedua, mengenai wilayah dall aqli
tersebut bisa digunakan. Ketiga, fungsi dall aqli tersebut sebagai
sebuah dalil.
Pertama, mengenai batasan dall, aql dan dall aqli, sebagaimana
uraian di atas, bahwa dall adalah sesuatu yang digunakan untuk
menetapkan, bahwa sesuatu yang ditetapkan adalah begini, dan bukan
yang lain, kecuali begini. Sedangkan akal, adalah kekuatan untuk
menghukumi realitas (baik perbuatan maupun benda) dengan
memindahkan hasil penginderaan panca indera terhadap realitas
tersebut ke dalam otak, kemudian dengan bantuan informasi awal,
realitas tersebut dihukumi. Adapun kekuatan tersebut merupakan
akumulasi dari empat komponen yang secara simultan harus ada: (1)
realitas, (2) penginderaan, (3) otak, dan (4) informasi awal.230
Adapun yang dimaksud dengan dalil akli adalah bukti yang dibawa
oleh akal, bukan yang difahami oleh akal. Apa yang difahami akal,
misalnya adanya malaikat, jin, surga, neraka, berbeda dengan
sesuatu yang dibawa oleh akal. Bedanya, yang difahami oleh akal itu
realitasnya ada tetapi tidak bisa dijangkau dengan panca indera.
Akal bisa memahaminya, karena realitasnya dijelaskan oleh bukti
yang qathi, baik al-Quran maupun as-Sunnah yang qathi. Adapun apa
yang dibawa akal, realitasnya bukan hanya ada tetapi bisa dijangkau
oleh panca indera manusia. Inilah uraian singkat dan jelas mengenai
batasan dall aqli. Berdasarkan batasan tersebut kita bisa
menentukan wilayah di mana dalil tersebut bisa dipergunakan.
Kedua, wilayah di mana dalil tersebut bisa dipergunakan,
sebagaimana batasan yang dikemukakan di atas, bisa disimpulkan
bahwa wilayah akal ini terbatas pada sesuatu yang realitasnya ada
dan bisa dijangkau oleh panca indera. Karena itu, akal hanya bisa
digunakan untuk menyimpulkan sesuatu yang: (1) realitasnya bisa
diindera, atau (2) realitasnya tidak bisa diindera secara langsung,
tetapi ada realitas lain yang menjadi konsekuensi dari
keberadaannya, yang bisa diindera oleh indera manusia.
Contoh wilayah akal yang pertama adalah seperti ketika seseorang
melihat mobil, orang tersebut bisa mengambil kesimpulan, bahwa
mobil tersebut ada. Keberadaannya qathi dan bukan dhanni. Sebab,
realitasnya ada, dan keberedaannya dapat membuktikan eksistensinya
secara qathi. Sedangkan contoh yang kedua adalah, seperti ketika
seseorang tidak tahu kapan hujan turun, tetapi orang tersebut
yakin, bahwa hujan telah turun. Orang tersebut yakin, bahwa hujan
telah turun, setelah menyaksikan jalan-jalan dan keadaan di
sekitarnya masih basah, bekas siraman air hujan. Padahal, orang
tersebut tidak tahu, kapan hujan tersebut turun. Dengan kata lain,
orang tersebut tidak menyaksikan langsung realitas turunnya hujan,
tetapi yakin bahwa hujan telah turun, karena adanya realitas lain,
yang menjadi konsekuensi turunnya hujan.
Lebih dari itu, akal manusia tidak bisa membuktikan. Misalnya
dengan melihat realitas atau realitas yang menjadi konsekuensi
adanya realitas lain, seseorang kemudian mengambil kesimpulan,
bahwa hakikat realitas tersebut begini dan begini. Misalnya, dengan
hanya melihat realitas mobil, seseorang tidak bisa langsung
menyimpulkan, bahwa mobil ini enak, mesinnya bagus dan sebagainya.
Ini bisa dilakukan oleh orang tersebut, tetapi kesimpulan berfikir
seperti ini adalah dhanni, atau hanya sekadar menduga-duga.
Pemikiran tersebut tentu tidak qathi. Dalam hal ini, tidak ada
bedanya antara realitas yang langsung bisa diindera, dengan yang
tidak bisa diindera secara langsung?
Ketiga, mengenai fungsi dall aqli sebagai sebuah dalil. Dari
uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa yang menentukan apakah hasil
dall aqli tersebut qathi atau tidak, adalah apa yang difikirkan;
apakah apa yang difikirkan tersebut adalah sesuatu yang realitasnya
ada dan kesimpulan yang ingin diambil adalah tentang aspek ada dan
tidak adanya sesuatu yang realitasnya ada tersebut, maka apa yang
dibawa oleh akal tersebut adalah qathi. Inilah yang disebut oleh
ulama ushul dengan istilah an-nadhariyyah al-kalmiyah
al-qathiyyah.232Dari ketiga uraian di atas, bisa disimpulkan, bahwa
dari segi makna pemikiran atau hasil yang ditunjukkan oleh dall
aqli, selama dalil tersebut digunakan untuk membuktikan ada dan
tidak adanya sesuatu yang dibuktikan (diyakini), maka hasilnya atau
makna pemikirannya adalah qathi, bukan dhanni. Misalnya, adanya
alam, manusia dan kehidupan, yang mempunyai sifat terbatas dan
membutuhkan pada yang lain, menunjukkan bahwa semuanya adalah
makhluk dan tentu ada sang pencipta yang menciptakannya. Sebab,
semuanya tidak akan bisa ada dengan sendirinya. Ini merupakan
kesimpulan, hasil, atau makna pemikiran yang qathi. Karena itu,
dari aspek ini, dall aqli adalah dalil yang qathi.
Sedangkan, dilihat dari aspek apakah dalil tersebut merupakan
sesuatu yang bersumber dari wahyu atau tidak, bisa dikembalikan
kepada sumber informasi yang digunakan otak untuk mengasosiasikan
antara realitas dengan informasi. Karena dalil akli adalah apa yang
dibawa oleh akal, sedangkan hukum akal kembali kepada informasi
yang digunakan akal untuk mengasosiasikan antara informasi dengan
realitas. Maka, dari mana informasi yang digunakan untuk
mengasosisikan tadi diambil sangat menentukan hukumnya. Jika
informasi tersebut bersumber dari wahyu, maka pasti yang dibawa
oleh akal adalah qathi bersumber dari wahyu. Sebaliknya, jika apa
yang dibawa oleh akal bertentangan dengan wahyu, bisa ditengarai
bahwa sumbernya pasti bukan wahyu. Dan, karena itu, tidak bisa
digunakan. Dengan demikian, yang menentukan apakah dalil akli
tersebut bersumber dari wahyu atau tidak sebenarnya bisa
dikembalikan kepada sumber informasinya. Misalnya, apa yang dibawa
oleh akal penganut Sosialisme, bahwa tidak ada Tuhan di balik alam,
manusia dan kehidupan ini, sebaliknya yang ada adalah materi,
adalah sesuatu yang bisa dinyatakan sebagai sesuatu yang dibawa
oleh akal, atau kesimpulan yang dibuktikan oleh dalil akli, tetapi
tidak diterima. Karena bertentangan dengan wahyu.
b. Keqathian Sumber dan Dall SyariBerdasarkan pembagian al-Amidi
sebelumnya, dall syari bisa dibagi menjadi empat: (1) al-Kitb, (2)
as-Sunnah, (3) al-Ijm, (4) Qiys, dan istidll. Karena menurut
beliau, keempat dalil inilah yang bisa disebut dalil dan inilah
yang oleh ulama ushul disebut al-nadhariyyah al-ushliyah
al-qathiyyah.233 Sedangkan yang lain, seperti (1) syariat ummat
sebelumnya, (2) mazhab sahabat, (3) Istihsn, (4) mashlih mursalah,
dan lain-lain tidak bisa disebut dalil. Karena itu, yang terakhir
ini biasanya disebut syubhah ad-dall, yang biasanya dibahas ulama
ushul sebagai an-nadhariyyah al-ushliyyah adh-dhanniyyah.234
Karena itu, di sini hanya akan diuraikan sumber dan dalil yang
benar,235 atau yang disepakati,236 atau qathi.237b.1. Al-Kitbb.1.1.
Definisi al-Kitb:
Al-Kitb adalah al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada
Nabi Muhammad saw. yang disampaikan kepada kita secara Mutawtir
dalam bentuk tujuh dialek yang terdapat di antara dua ujung
mushhaf.238
Batasan al-Quran menafikan kitab-kitab lain, yang pernah
diturunkan oleh Allah SWT. Batasan yang disampaikan kepada kita
secara mutawtir menafikan mushhaf yang disampaikan kepada kita
secara hd, seperti mushhaf Ibn Masd, Ali dan lain-lain. Misalnya,
bacaan yang disampaikan oleh Ibn Masd:
( (Maka, berpuasalah selama tiga hari secara berturut-turut.
(Q.s Al-Midah: 89).239
As-Syfii menolak mushhaf yang disampaikan secara hd, sebagai
hujah dan disebut sebagai al-Quran, dengan alasan karena Nabi saw.
diberi tugas oleh Allah sebagai Rasul agar menyampaikan al-Quran
yang diturunkan kepadanya pada sejumlah orang yang kata-kata mereka
bisa dijadikan hujah yang qathi. Sebab, orang yang kata-katanya
bisa dijadikan hujah, pasti tidak akan terbayang bahwa mereka
sepakat untuk tidak menyampaikan apa yang mereka dengarkan.
Disamping, ketika satu orang menyampaikan, masih memungkinkan
adanya unsur keraguan dalam hatinya, karena bisa saja dia
lupa.240
Mengenai batasan tujuh dialek menerangkan lahjah atau dialek
yang digunakan oleh al-Quran dan sah untuk disebut sebagai
al-Quran. Adapun ketujuh dialek yang digunakan oleh al-Quran
tersebut adalah: (1) Quraisy, (2) Hudhyl, (3) Tamm, (4) Azd, (5)
Rabah, (6) Saad bin Bakar, (7) Kinnah.241 Istilah ahruf sabah
tersebut berbeda dengan istilah qirt sabah. Sebab, istilah yang
terakhir ini baru dikenal pada akhir abad ke-12 Hijriyah.
Adapun yang dimaksud dengan di antara dua ujung mushhaf adalah
yang dimulai dari surat al-Ftihah dan diakhiri dengan an-Ns.242
Dengan memperhatikan batasan-batasan di atas, maka jelas bahwa
yang dimaksud dengan al-Kitb adalah al-Quran yang diturunkan oleh
Allah SWT. kepada Nabi Muhammad saw. secara mutawtir dalam bentuk
ahruf sabah yang terdapat di antara dua ujung mushhaf. Inilah
batasan atau definisi yang tepat, baik dari aspek jmi maupun mni.
Al-Quran yang sampai kepada kita adalah al-Kitab yang dapat
dijadikan sebagai hujah. Sebab, ia disampaikan secara mutawtir.
b.1.2. Dallah (Makna) al-Quran
Dallah (makna) al-Quran bisa dibagi menjadi dua: (1) qathiyyah,
dan (2) dhanniyyah. Makna al-Quran yang qathi biasanya disebut
Muhkamt, sedangkan yang dhanni, biasanya disebut Mutasybiht. Contoh
dallah qathiyyah al-Quran atau ayat Muhkamt:
( (Dan pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan
keduanya. (Q.s. Al-Midah: 38).
Contoh dallah dhanniyyah al-Quran atau ayat Mutasybiht:
( (Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka. (Q.s. Al-Fath:
10).b.1.3. Keqathiyan al-Quran Sebagai Hujah
Mengenai bukti keqathiyan al-Quran sebagai hujah adalah, bahwa
al-Quran merupakan kalm Allah, bukan yang lain, terlihat dari
kemujizatan yang ada di dalam susunan kalimatnya. Jadi, ini saja
sudah cukup untuk membuktikan, bahwa al-Quran adalah sumber dan
dalil yang qathi, bahwa al-Quran adalah sumber dan dalil yang
qathi, bahwa ia merupakan wahyu dari Allah SWT., baik dari segi
susunan lafadz maupun maknanya.
b.2. As-Sunnahb.2.1. Definisi as-SunnahAs-Sunnah adalah
perkataan, perbuatan dan pembenaran Rasulullah saw., dimana semua
yang berasal dari beliau selain al-Quran, juga merupakan
wahyu.243Batasan perkataan, perbuatan dan pembenaran Rasulullah
saw. menegaskan, bahwa susunan kalimat yang ada dalam as-Sunnah
adalah berasal dari beliau. Bukan dari Allah SWT., meskipun
maknanya adalah wahyu dari Allah SWT., sama dengan al-Quran.
Tetapi, di sini ada perbedaan antara al-Quran dengan as-Sunnah.
Jika al-Quran merupakan wahyu, baik susunan lafadz maupun maknanya,
dari Allah SWT., maka as-Sunnah maknanya dari Allah, sedangkan
susunan lafadznya berasal dari Nabi saw. selain al-Quran ini
merupakan mujizat bagi beliau saw.244
b.2.2. Keqathiyan as-Sunnah Sebagai Hujah
Kedudukan as-Sunnah sebagai dalil qathi, bahwa ia merupakan
sesuatu yang dibawa oleh wahyu, dengan makna dari Allah SWT. dan
lafadz dari Rasululullah saw. jelas sebagaimana yang dinyatakan
oelh Allah SWT.:
( (Dan apa saja yang dia (Muhammad) ucapakan itu sesungguhnya
bukanlah bersumber dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang
diwahyukan kepadanya. (Q.s. An-Najm: 4).Dan banyak nas-nas al-Quran
yang lain. Karena itu, menolak as-Sunnah, atau ingkar sunnah, atau
anti hadits, bisa dihukumi kufur. Sebab, telah menolak as-Sunnah
sebagai hujah. Ini berbeda dengan orang yang menolak salah satu
hadis, karena dianggap lemah, atau palsu.
b.2.3. Dallah (Makna) as-Sunnah
Dalalah (makna) as-Sunnah, sebagaimana al-Quran, dapat dibagi
menjadi dua: (1) qathiyyah, dan (2) dhanniyyah. Tetapi dalam hal
ini, tidak ada istilah khusus sebagaimana yang digunakan dalam
al-Quran. Contoh dallah qathiyyah dalam as-Sunnah adalah:
Siapa saja yang sengaja berdusta atas namaku, hendaknya ia
bersiap-siap untuk mengambil tempat duduknya di neraka. (H.r.
At-Tirmidzi, Ahmad, al-Bukhri, Muslim, an-Nasi).245
Contoh dallah dhanniyah dalam as-Sunnah adalah:
Siapa saja yang mau mendengarkan dan mau mentaati (aku), maka
hendaklah tidak shalat Ashar kecuali di Bani Quraydhah. (H.r. Ibn
Humayd dari Ibn Syihb az-Zuhri).246.b.2.4. Riwayah
as-SunnahAs-Sunnah, berbeda dengan al-Quran, jika dilihat dari segi
proses penyampaian informasi (riwyah)-nya kepada kita. Jika
al-Quran sampai kepada kita dengan cara nukil, atau menyampaikan
apa adanya, tanpa ditambah dan dikurangi, sebagaimana yang
diturunkan oleh Allah SWT., maka as-Sunnah disampaikan kepada kita
melalui penuturan (riwyah) seorang perawi, sehingga perawilah yang
menyampaikan kepada kita apa saja yang didengarkan dan
disaksikannya dari perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi saw.
Karena itu, yang menentukan riwayat tersebut disebut hadits atau
bukan adalah perawinya.
Orang yang meriwayatkan, bisa dikatagorikan menjadi dua: (1)
sahabat, dan (2) non-sahabat. Jika sahabat yang menyampaikan
riwayat, pasti bisa diterima. Sebab, secara keseluruhan mereka
dinyatakan adil. Berbeda dengan orang lain, non-sahabat, baik tbin,
atau para pengikut tbin dan seterusnya.
Dari sini, tidak mengherankan jika ulama ushul
mengklasifikasikan riwyah as-Sunnah menjadi dua: (1) qathiyyah, dan
(2) dhanniyah.247 Hal ini tentu tidak terjadi terhadap al-Quran.
Adapun as-Sunnah yang qathi ar-riwyah (riwayat qathi) adalah Hadts
Mutawtir, sedangkan yang dhanni ar-riwyah (riwayat zanni) adalah
Hadts Ahd.248Hadts Mutawtir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang hiterogen (ghafr) pada tiga periode, yang
umumnya mustahil sepakat melakukan dusta.249 Maksud sejumlah orang
yang hiterogen adalah dari kelompok dari berbagai elemen, bukan
satu elemen saja. Sedangkan tiga periode adalah: (1) periode
sahabat, (2) tbin, dan (3) tbi at-tbin. Riwayat tersebut juga
berdasarkan penginderaan, baik dengan mendengarkan atau melihat
langsung. Contoh, ketika perawi hadits mengatakan: Saya
mendengar... atau Saya melihat...
Hadts Mutawtir sendiri bisa dikelompokkan menjadi dua: (1)
mutawtir lafdzi, dan (2) mutawtir manawi. Mutawtir lafdzi adalah
hadits yang lafaznya diriwayatkan secara mutawatir. Contohnya:
Siapa saja yang sengaja berdusta atas namaku, hendaknya dia
bersiap-siap untuk mengambil tempat duduknya di neraka. (H.r.
At-Tirmidzi, Ahmad, al-Bukhri, Muslim, an-Nasi).
Mutawatir manawi adalah hadis yang maknanya diriwayatkan secara
mutawtir. Contohnya, hadits shalat lima waktu, hadits mengangkat
tangan, hadits tentang keluarnya air dari jari-jari tangan beliau
saw.
Sedangkan Hadts Ahd adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang tidak mencapai batas Mutawtir pada tiga
periode.250 Hadits inilah yang kemudian dikelompokkan menjadi dua,
jika dilihat dari: (1) aspek kuantitas perawinya, hadits ini bisa
dibagi menjadi: Gharb (satu orang), Azz (dua orang) dan Masyhr
(tiga orang atau lebih), dan (2) aspek kualitas perawinya, maka
bisa dibagi menjadi: Shahh, Hasan dan Dhaif.
Secara umum, pembahagian kedua nas tersebut, dilihat dari aspek
tsubt atau riwyah dan dallah-nya, adalah sebagai berikut:
b.3. Ijm Sahabatb.3.1. Definisi Ijm SahabatIjm Sahabat adalah
kesepakatan sahabat atas hukum kasus tertentu, bahwa ia merupakan
hukum syara.252Makna Ijm Sahabat tersebut tidak berarti sepakat
terhadap pendapat pribadi sahabat. Tetapi, yang dimaksud dengan
kesepakatan sahabat sehingga disebut Ijm Sahabat harus merupakan
kesepakatan kepada hukum tertentu sebagai hukum syara yang mereka
ketahui bahwa Rasulullah saw., pernah melakukan atau pernah
menyatakan, atau pernah membenarkan kasus yang mereka sepakati
tersebut, tetapi dalil dalam bentuk perkataan, perbuatan dan
pembenaran Nabi saw. tersebut tidak kita temukan secara eksplisit.
Inilah yang menjadi pandangan as-Syfii.252 b.3.2. Bentuk Ijm
SahabatIjm Sahabat dibagi menjadi dua: (1) Ijm Qawli, dan (2) Ijm
Sukti. Ijm Sukti adalah sikap seorang sahabat atas hukum suatu
kasus tertentu, kemudian sikap sahabat tersebut diketahui oleh
sahabat yang lain, tetapi tidak dinafikan. Diamnya sahabat inilah
yang menunjukkan, bahwa mereka sepakat. Karena kesepakatan tersebut
berupa sikap diam mereka, maka ia disebut Ijm sukti. Sebaliknya,
Ijm Qawli adalah kesepakatan sahabat atas hukum kasus tertentu
dalam bentuk pandangan atau pendapat.
Contoh Ijma sukti tersebut adalah tindakan Umar bin al-Khattb,
ketika mengambil tanah Bill bin al-Haris al-Muzni yang diberikan
Rasulullah saw. karena dia membiarkan tanah tersebut tidak dikelola
selama tiga tahun. Dalam kasus tersebut, para sahabat mendiamkan
tindakan Umar tanpa tindakan apapun, padahal jelas mengambil harta
yang bukan miliknya wajib diingkari, tetapi justru tindakan
tersebut dibiarkan. Ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka,
bahwa tindakan yang diambil oleh Umar ini merupakan hukum
syara.
b.3.3. Keqathiyan Ijm Sahabat sebagai
Hujah
Dalil yang membuktikan, bahwa ijm Sahabat adalah qathi, bahwa ia
berasal dari wahyu, bukan yang lain adalah: Pertama, adanya pujian
Allah SWT. kepada sahabat dalam al-Quran dengan makna yang qathi .
Allah SWT. berfirman:
( (Orang-orang dahulu yang pertama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhjirin dan Anshr, serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan (berbuat) kebajikan, maka Allah ridha kepada mereka
dan mereka juga ridha kepada Allah dan Allah menyediakan untuk
mereka surga yang mengalir air di bawahnya sungai, sedangkan mereka
kekal berada di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.s.
At-Tawbah: 100).Pujian tersebut hanya ditujukan kepada para
sahabat, bukan yang lain. Sebab, makna ayat tersebut menunjukkan
maksud ini. Pujian ini ditujukan kepada mereka semuanya, dimana
orang yang dipuji oleh Allah pasti benar, sehingga apa saja yang
disepakati, menunjukkan, bahwa ia merupakan sesuatu yang juga pasti
benar. Sebab, mustahil mereka sepakat terhadap suatu kesalahan atau
dosa. Karena ini kontradiksi dengan pujian Allah.
Kedua, sahabat adalah orang yang menjadi tempat kita mengambil
agama ini. Merekalah yang menyampaikan al-Quran kepada kita,
sedangkan Allah telah berjanji akan menjaga al-Quran, dan sahabat
merupakan orang yang membawa al-Quran sampai kepada kita. Ini
berarti janji Allah SWT. juga menunjukkan jaminan Allah kepada
orang yang membawa al-Quran, yaitu sahabat. Disamping itu, jika
mereka adalah pembawa agama dan al-Quran sehingga sampai kepada
kita, kemudian mereka sepakat melakukan dusta atau dosa, pasti
secara logis mustahil terjadi. Jika kasus ini terjadi, berarti
kontradiksi dengan jaminan Allah untuk menjaga al-Quran, dan tentu
ini mustahil.
Karena itu, hanya ijm sahabatlah yang bisa dijadikan sebagai
hujah. Dengan demikian, ijm sahabat juga merupakan dall qathi,
bahwa ia bersumber dari wahyu. Karena itu, jika telah terbukti
bahwa ijm sahabat tersebut merupakan dall qathi, maka orang yang
menolaknya bisa dihukumi kafir.253
b.4. Qiysb.4.1. Definisi QiysQiys secara etimologis berarti
analogi, atau mengukur sesuatu dengan yang lain dengan ukuran yang
sama.254 Menurut al-Ghazli, qiys adalah menetapkan hukum asal dalam
kasus cabang karena adanya kesamaan antara keduanya dalam illat
hukum.255Dengan definisi tersebut bisa difahami, bahwa qiys tidak
akan terjadi, jika tidak ada empat rukun yang, dengan
keempat-empatnya, qiys tersebut bisa dilakukan. Empat rukun
tersebut adalah: (1) asal, (2) kasus cabang(fur), (3) illat (yang
menyebabkan adanya hukum) dan (4) hukum fur.
Asal adalah perkara yang dijadikan asas untuk membangun yang
lain. Dalam konteks qiys, ia disebut muqayys alayh (yang dijadikan
acuan qiys). Agar hukum kasus cabang bisa disandarkan kepadanya,
muqayys alayh hukumnya harus jelas. Karena itu, menurut ulama
jumhr, asal merupakan objek yang hukumnya ditetapkan dengan nas,
atau dalam istilah al-Baqillni, disebut nas dengan lafadznya.
Adapun kasus cabang (fur) adalah masalah baru yang akan ditentukan
hukumnya melalui proses analogi. Mengenai illat, ia merupakan sifat
yang menyebabkan disyariatkannya hukum asal, yang ada dalam kasus
asal dan kasus cabang. Rukun yang terakhir adalah hukum fur , yaitu
hukum yang ditetapkan pada kasus fur berdasarkan nas syara.
Dalam kasus ini bisa dicontohkan, misalnya, haramnya melakukan
akad perburuhan pada saat azan Jumat yang dianalogikan dengan
jual-beli. Jual-beli ketika azan Jumat adalah kasus asal, yang
hukum keharamannya ditetapkan oleh nas. Akad perburuhan merupakan
kasus cabang. Adapun sebab diharamkannya kasus asal adalah
mengganggu shalat Jumat dan inila yang disebut illat, dimana sifat
menganggu juga terdapat dalam kasus cabang. Mengenai hukum fur
dalam kasus ini adalah haramnya akad perburuhan pada saat shalat
Jumat sebagaimana yang dinyatakan oleh nas.
b.4.2. Keqathiyan Qiys sebagai Hujah
Berangkat dari uraian di atas, yang menentukan kedudukan qiys
sebagai dalil adalah illat. Jika ia bersumber dari al-Quran,
berarti dalil qiys tersebut adalah al-Quran, dan jika bersumber
dari al-Hadits berarti dalil qiys tersebut adalah al-Hadits. Jadi,
dalil yang membuktikan bahwa qiys tersebut merupakan dalil yang
dibawa oleh wahyu adalah al-Quran dan al-Hadis yang menjadi sumber
illat-nya.
Kesimpulan
Dengan demikian, jelas bahwa kedua bentuk sumber dan dalil di
atas, baik aqli maupun naqli, baik al-Quran, as-Sunnah, Ijm Sahabat
maupun Qiys merupakan sumber yang qathi. Semuanya bisa dibuktikan,
bahwa ia bersumber dari wahyu, bukan yang lain. Adapun sumber dan
dalil yang lain, selain yang diuraikan di atas, tidak bisa
dijadikan sebagai sumber atau dalil untuk menggali pemikiran,
sehingga pemikirannya disebut pemikiran Islam.