Top Banner
©MTZ/m-A-IV/15 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KOMPARATIF. *) Oleh: Mestika Zed Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE) Fukultas Ilmu Sosial, UNiversitas Negeri Padang Thinking without comparison is unthinkable. And in the absence of comparizon, so is all scientific thought and scientific research Swanson (1971: 145). ABSTRACT The social science in Indonesia has a mixed inheritance and has come to have a mixed indentity as well. It is partly amateur, partly professional, others are literary or humanities. But its basic inheritance, the quality that sets it off most clearly in its character and aspirations from social sciences (in plural sense), is its strongly mixed inheritance with diverse specialization background and it was subsequently followed by repeated cycle of previous development that resulted a kind of patchwork here and there. This paper seeks to trace the historical construction of the social sciences in Indonesia in comparative perspective, particularly by comparing the development of the social sciences from its initial form to the recent development. The main questions are what kind of fundamental changes that have occurred over the last two centuries and the difficulties raised in the last few decades, so that the social *) Kertas kerja merupakan versi revisi dari presentasi saya pada Seminar Nasional bertajuk “Kontruksi Ilmu Sosial Di Indonesia dalam Perspektif Komparatif: Menuju Ilmu Sosial ‘Keindonesiaan’, diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam rangka Dies Natalis UNY ke-50, Yogyakarta, 30 April 2014. 1
29

00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Apr 03, 2023

Download

Documents

Fajri Fajrii
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

©MTZ/m-A-IV/15

KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIADALAM PERSPEKTIF KOMPARATIF. *)

Oleh: Mestika Zed

Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE) Fukultas Ilmu Sosial, UNiversitas Negeri Padang

Thinking without comparison is unthinkable. And in the absence of comparizon, so is all scientific thought and scientific research

― Swanson (1971: 145).

ABSTRACTThe social science in Indonesia has a mixed inheritance and has come to have amixed indentity as well. It is partly amateur, partly professional, others are literaryor humanities. But its basic inheritance, the quality that sets it off most clearly in itscharacter and aspirations from social sciences (in plural sense), is its strongly mixedinheritance with diverse specialization background and it was subsequently followedby repeated cycle of previous development that resulted a kind of patchwork hereand there. This paper seeks to trace the historical construction of the social sciencesin Indonesia in comparative perspective, particularly by comparing the developmentof the social sciences from its initial form to the recent development. The mainquestions are what kind of fundamental changes that have occurred over the lasttwo centuries and the difficulties raised in the last few decades, so that the social

*) Kertas kerja merupakan versi revisi dari presentasi saya pada Seminar Nasionalbertajuk “Kontruksi Ilmu Sosial Di Indonesia dalam Perspektif Komparatif: MenujuIlmu Sosial ‘Keindonesiaan’, diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial (FIS),Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam rangka Dies Natalis UNY ke-50,Yogyakarta, 30 April 2014.

1

Page 2: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

sciences in this country seem to have evolved in the involution processes – to useGeertz’s phrase, and resulted with a pessimistic tone? What kind solutions might betaken forward, so that there are opportunities to develop transformative socialsciences in a more optimistic echo? The central argument I wish to put forward inthis paper is that the success of the social sciences in Indonesia must necessarily beviewed from the point of view of to the extent of their contribution of social sciencescould be given to enrich our understanding of the various aspects of life ofIndonesian society, both theoretically and methodologically, and its usefulness aswell.

Keywords: ilmu sosial, indologi, zeitgeist, paradigma,indigenisasi, Indonesia.

1. Pendahuluan.

ILMU sosial Indonesia memiliki warisan yang bercampur-adukdan identitas yang beragam pula. Sebagian amatiran, sebagianprofesional, sebagian lain bersifat literer atau humaniora.Namun warisan paling mendasar, dalam arti kualitaskarakternya yang paling jelas tampak dari latar belakangnyayang bercampur aduk itu, kemudian diikuti oleh siklusperkembangan yang berulang dengan tambal-sulam di sana sini.Kertas kerja ini membincangkan konstruksi ilmu sosial diIndonesia dalam perspektif komperatif, khususnya denganmemperbandingkan perkembangan ilmu sosial dari masa ke masa.Pertanyaan pokoknya ialah, perubahan fundamental macam apakahyang telah terjadi selama hampir dua abad terakhir dankesulitan-kesulitan dihadapinya dalam beberapa dekadeterakhir, sehingga ilmu sosial di negeri ini terkesanberjalan di tempat dan masih ditanggapi dengan nadapesimistik? Solusi macam apakah yang mungkin dapat ditempuhke depan, sehingga terbuka peluang untuk mengembangkan ilmusosial transformatif? Argumen pokok yang ingin dikemukakandalam kertas ini ialah bahwa keberhasilan ilmu-ilmu sosial diIndonesia mestilah dilihat dari sudut pandang sejauh manasumbangan ilmu sosial Indonesia berhasil memperkaya pemahamankita terhadap pelbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia,baik teoretis-metodologis, maupun kemanfaatannya.

Di Barat ada adagium yang mengatakan knowledge is power(pengetahuan adalah kekuasaan). Ungkapan terkenal itu, kalau

2

Page 3: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

tak salah, berasal dari Francis Bacon (1561-1626), “BapakEmperisisme” Perancis, yang memperkenalkan metode berfikirinduktif dalam mencari kebenaran. Akan tetapi di bawahpermukaan terdapat suatu ideologi yang mengandung pengertianbahwa “pengetahuan”, terutama pengetahuan intelek, tidaklahsemata-mata berkenaan dengan masalah kualitas berfikir dankuantitas informasi. Pada gilirannya siapa yang menguasai[wacana] informasi menguasai dunia. Di abad ke-20, kitabejumpa dengan Foucault (1977), pemikir Perancis yangmenguatkan kembali pendirian tentang hubungan timbal balikantara pengetahuan dan kekuasaan Iklim intelektual (zeitgesit) yang mewarnai kelahiran ilmusosial di Barat dapat dikembalikan kepada suasana zaman abadke-18, ketika sekelompok kecil kaum pembaharu politik danindustrialis berupaya mendirikan semacam ‘the heroic model ofscience” sebagai fondasi baru untuk memperoleh kebenaran.Itulah yang disebut positivisme (Brown, 1989). Klaim utamakaum positivis ialah bahwa hanya ada satu ilmu di dunia,yaitu Ilmu Kealaman (Natuurwissenschaft). “Asli”, elegan, simpeldan jelas bila dirumuskan ke dalam hukum-hukum universalnya.Ilmu Alam dengan mengandalkan metode eksperimentalnya dilihatsebagai satu-satunya standar untuk mengukur kebenaran.“Contohlah ilmu mekanik (fisika), ikuti metode-metodenya,temukan hukum-hukum umum untuk segala sesuatu dalam biologimanusia; itulah seni menguasai hukum-hukum alam’, demikiannasehat yang dikumandangkan pemikir positivisme (ibid).Pendiri aliran ini, Auguste Comte (1798-1957) adalah seorangfilsuf, ahli matematika dan lebih dikenal sebagai “BapakSosiologi”. Comte dan para pendahulunya, David Hume, IsaacNewton, Francis Bacon dan Rene Descartes, seperti juga paragenius sebelum mereka: Copernicus, Kepler, Galileo dan Boyleadalah “raksasa-raksasa” yang memiliki andil besar ataskemenangan Positivisme abad ke-18 dan ke-19 (Appleby,1994:15). Positivisme mendorong terjadinya revolusi ilmupengetahuan dan pada gilirannya melahirkan revolusi industri,yang dimulai di Inggris sejak pertengahan abad ke-18. Padasaat yang sama mendorong penemuan dunia baru sebagai sumberbahan mentah dan sekaligus pasar bagi industri di Eropa.

3

Page 4: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Sejak itu maka lahirlah imperialisme-kolonialisme dan hariini dunia kita berhadapan dengan wacana globalisasi. Dalam kurun waktu 200 tahun terakhir, ilmu sosial diIndonesia sebenarnya meneruskan tradisi kelilmuan di negeriasalnya, dengan tarik ulur antara kepentingan ideologis dantuntutan akademik, sehingga dari waktu ke waktu mengubahkiblatnya sesuai dengan pendulum zeitgeist yang mengitarinya.Risalah ini berupaya melacak perjalanan sejarahnya dari satuperiode ke periode berikutnya dan sekaligus mengindentifikasibeberapa tipologi ilmu-ilmu sosial yang pernah dilahirkan diIndonesia. Sesudah itu mendiskusikan persoalan-persoalanklasik yang dihadapinya dalam era kontemporer dan akhirnyasebuah catatan penutup menyudahi tulisan ini .

2. Tipologi Ilmu Sosial Indonesia.Sejarah ilmu sosial di Indonesia dapat dilacak ke dalam tigafase perkembangan berbeda berikut: (i) fase awal sejak zamankolonial atau fase ilmu sosial indologi; (ii) fase ilmusosial developmentalis paska-PD II sampai masa Orde Baru dan(iii) fase kontemporer, ketika ilmu sosial di negeri inisedang mencari bentuk dan identitasnya yang lebih sesuaidengan kebutuhan Indonesia. Masing-masing memilikikaraktersitik berbeda, bukan saja zeitgeist yang melatar-belakanginya, melainkan juga paradigma, karakteristik isi danpelaku utamanya.

(1) Fase Awal: Ilmu Sosial Kolonial (Indologi).Ilmu sosial sebagai corpus pengetahuan yang terlembaga padamulanya berasal dari kajian ‘indologi’ (indologie), yakni suatulembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial di Leiden padatahun 1848 untuk tujuan menyiapkan bekal pengetahuan tentangmasyarakat negeri jajahan bagi calon administrator yang akandikirim ke Hindia-Belanda (Indonesia zaman kolonial). Zeitgeistyang melatar belakangi gagasan ini ialah proses pasifikasidaerah jajahan di Hindia Belanda. Artinya, masa damai setelahpeperangan dan penaklukan atas sebagian besar wilayahIndonesia memerlukan penataan baru. Untuk itu rejim kolonialmemproduksi pengetahuan yang lebih sistematik dan mendalam

4

Page 5: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

guna memahami dan sekaligus untuk menguasai masyarakat negerijajahan. Kajian Indologi (Indologie) didirikan untuk tujuanitu. Mula-mula terpisah dari universitas, tetapi sejak 1891,indologi berkembang menjadi salah satu jurusan di UniversitasLeiden dan masuk ke Indonesia dengan semangat orientalismelewat lembaga-lembaga kolonial di luar institusi akademik.Yang paling penting di antaranya ialah Het Kantoor voor InlandscheZaken (didirikan 1899) yang berada di bawah kendaliDepertemen Pendidikan dan satu lagi, Het Kantoor voor Volkslectuur(1908), yang kemudian menjadi cikal-bakal Balai Pustaka. Padatahun 1920-an, didirikan sekolah tinggi yang terkait langsungdengan ilmu sosial, masing-masing ialah Sekolah Tinggi Hukum(Rechtshogeschool, RHS) didirikan 1924 dan Fakultas Sastra danFilsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, FLW) tahun 1940.Ilmu-ilmu sosial versi indologie kemudian berkembang lewatkedua lembaga perguruan tinggi warisan zaman kolonial ini.Beberapa ciri umum dari ilmu sosial pada periode kolonialsecara kasar dapat diidentifikasi sebagai berikut. Belum ada terma ‘ilmu sosial’, melainkan ‘indologi’. Itulah

ilmu sosial warisan kolonial yang terdiri dari keahliangado-gado, dan bercampur-baur. Para ‘indolog’ pada umumnyaadalah ‘manusia-manusia ensiklopedis’ warisan aufkalrungEropa abad ke-18, yang menguasai banyak bidang sekaligusatau berpindah-pindah bidang keahlian dari yang satu keyang lain. Jadi kendati terdapat bidang-bidang keahliandalam akademi Indologie seperti geografi sosial,antropologi, sosiologi, etnologi, filosofi, studi Islam,hukum adat dan linguistik, seorang indolog biasanyaberkepentingan untuk mengetahui sejarah daerah di manamereka bertugas.

Paradigma ilmu sosial versi indologi, sesuai dengansifatnya ialah identik dengan apa yang disebut IgnasKleden dengan ‘ilmu negara’, yaitu kelompok disiplin yangharus dapat ‘mengabdi’ untuk kepentingan kekuasaan negarakolonial dan jika perlu ilmuwannya harus masuk ke dalambirokrasi pemerintah kolonial. Selaku demikian ilmu sosialkolonial kecuali sangat diwarnai oleh bias Eurosentrisme

5

Page 6: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

dengan interest ideologi kolonial, indologi pada umumnyaterdiri dari birokrat atau aparat pemerintah dan iamerupakan “sister discipline” orientalisme.

sesuai dengan sifatnya, ilmu sosial kolonial lebihmerupakan ilmu terapan (applied sciences) untuk kepentingankolonial. Para ‘indolog’ umumnya terdiri dari para sarjanaBelanda dari pelbagai latar belakang disiplin keilmuanberbeda-beda, tetapi memiliki interests terhadap masyarakatdan sejarah Indonesia.

kebanyakan kajian ilmu sosial kolonial adalah kajianetnografis dan historis. Beberapa di antaranya mampumelahirkan sejumlah teori-teori sosial dan sampai tingkattertentu masih berpengaruh sampai hari ini, untuk menyebutbeberapa di antara mereka seperti karya Snouck Hurgronje,J.H. Boeke Schrieke, W.F. Wertheim, Van Volenhoven,Furnival (sarjana Inggris) tentang , G.J. Ressink .

Bagaimanapun indologie, sampai tingkat tertentu, merupakansuatu bentuk pengetahuan ilmu sosial avant-la-lettre (benuk yanglebih dini) dari ilmu sosial Indonesia dan menjadi basis yangpenting bagi perkembangan berikutnya dalam pencarianlegitimasi akademiknya, seperti juga relevansinya untukmenjawab persoalan jaman. Dalam arti tertentu ilmu sosialkolonial berparadigma indologi merupakan suatu proyekgabungan antara ilmuwan dan birokrasi untuk mempelajaridinamika masyarakat negeri jajahan lewat jalan ilmupengetahuan. Jalan ini sampai tingkat tertentu terbukti ampuhkarena selama sekitar satu abad pertama penjajahan Belanda diIndonesia, perang Belanda melawan ‘pemberontakan’ pribumisebenarnya tidak selamanya dimenangkan dengan ujung bedil,melainkan berkat keunggulan rejim ilmu pengetahuan dibelakangnya. Dengan demikian rejim kolonial datang ke Indonesia tidakhanya membawa rejim politik (kolonialisme), melainkan jugarejim ilmu pengetahuan yang disebut indologie itu, yaitu suatucorpus pengetahuan yang didukung oleh rejim kolonial, dengankeahlian gado-gado. Atas dasar itu, maka dapat dimengertimengapa kolonialis Belanda mampu menguasai Indonesia sekianlama. Salah satu jawabannya ialah karena keunggulan

6

Page 7: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

intelektual mereka dalam memahami dan merekayasa masyarakatnegeri jajahan sebagai bidang garapan (subject-matter) ilmupengetahuan untuk kepentingan rejim kolonial.

(2) Ilmu Sosial Developmentalis.Paska Perang Dunia II ditandai oleh jatuhnya rejim kolonialEropa dan pada gilirannya terjadi pula pergeseran pentingdalam perkembangan ilmu sosial di negeri ini, dari mainstream"indologie" yang lebih berorientasi Eurosentrisme kepada ilmusosial baru yang berkiblat ke Amerika Serikat (AS).Pergeseran ini di satu pihak berkaitan erat dengan perubahan-perubahan dramatis dalam kondisi politik domestik Indonesia,ketika terjadinya revolusi nasional atau perang kemerdekaan1945-1950. Di lain pihak perubahan dalam konstelasi politikglobal, yaitu munculnya persaingan baru antara Blok Barat(kapitalis) dan Blok Timur (komunis). Yang pertama berakibatpada pemutusan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yangbermuara pada pemulangan para guru besar Belanda yang pernahbertugas di Indonesia. Yang kedua pembentukan hubungan-hubungan baru antara negara-negara bekas negeri jajahandengan patron baru mereka, Amerika Serikat dan Uni Sovietyang bersaing merebut perhatian negara bekas jajahan di DuniaKetiga. Dalam konteks Indonesia khususnya, terputusnya hubungandengan bekas negeri induk (Belanda) sejak tahun 1950, rupanyajuga membawa dampak besar terhadap perkembangan ilmu sosialdi negeri ini. Pertama, perubahan kiblat dari Belanda keAmerika Serikat. Bukan kebetulan jika selepas PD II, AStampil sebagai negara adidaya dunia dan menjadi patronideologi kapiltalis blok Barat, berhadapan dengan sainganutamanya, Uni Soviet (sekarang Rusia) sebagai patron blokTimur. Kedua, terbukanya inovasi akademis yang penting dalamilmu-ilmu sosial Indonesia paska PD II. Era ’perang dingin’untuk memenangkan persaingan global ini ternyata tak hanyaberlangsung dalam bentuk dukungan industri senjatanya,melainkan juga lewat akses pengetahuan. Dalam kaitan ini,maka salah satu wujudnya ialah berkembangnya studi kawasan(area studies).

7

Page 8: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Program-progam studi kawasan sejak semula dirancang untukmenghasilkan para spesialis di kawasan tertentu. Dalam halini, lembaga Amerika yang dibentuk AS selepas PD II, yaitu“The Social Science Research Council” membuka jalan bagikerja sama akademik dengan mengirimkan sejumlah mahasiswa ASke Indonesia dan sebaliknya. Peserta program itu berasal darilatar belakang disiplin ilmu sosial yang berbeda-beda ― dankadangkala juga dari beberapa displin ilmu alam ― atas dasarkesamaan kepentingan di suatu kawasan (atau bagian darikawasan) tertentu. Studi kawasan secara definitif menonjolkanciri “multidisipliner”. Ini mengingatkan kita pada modelakademi indologi sebelumnya, tetapi dengan paradigma berbeda.Ide dasarnya relatif sederhana: suatu kawasan adalah sebuahzona geografis dan sekaligus kawasan studi yang konondianggap memiliki koherensi budaya, sejarah dan seringkalijuga bahasa. Maka muncullah studi kawasan untuk AsiaTenggara, di samping studi regional untuk kawasan AmerikaLatin, Afrika, Uni Soviet, Asia Timur (Cina dan Jepang), AsiaSelatan,dan belakangan Eropa Barat (Wallerstein, 1997: 57).Studi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, merupakanarena kerja sama akademik paling menarik bagi AS dan bahkanmungkin tidak ada satu pun negara di kawasan Asia Tenggarayang memperoleh perhatian lebih besar dan dukungan dana yanglebih banyak dari AS selain Indonesia (Benda (1982:13). Salahsatu program kerja sama yang lebih awal berada di bawah suatukelompok kerja proyek penelitian MIT (Massachussettss Institute ofTechnology) yang dibentuk pada pertengahan 1950-an. Parapesertanya adalah sejumlah mahasiswa tingkat doktoral AS yangbekerja untuk penelitian disertasi mereka. Dalam perkembangankemudian, proyek ini, tidak hanya menghasilkan sejumlahdisertasi doktor (Ph.D), tetapi juga berkelanjutan denganmenerbitkan sejumlah buku yang kemudian menjadi bahan rujukanyang penting dalam studi ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Duaseorang yang paling terkemuka di antara mereka, tentu sajakarena reputasi akademik mereka yang mendunia, ialah CliffordGeertz, seorang antropolog yang sangat produktif dan BenAnderson dalam ilmu politik dan sejarah. Begitulah maka sejak tahun 1960-an ilmu sosial di Indonesia

8

Page 9: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

secara lambat laun tapi pasti mulai mengembangkanparadigmanya sendiri, di samping sengaja atau tidak sengajameneruskan tradisi dan citra yang sebelumya. Dilihat dariparadigmanya, ilmu sosial fase kedua ini dapat disebut dengantipe ilmu sosial developmentalis, yang lebih berkiblat AS.Istilah ilmu sosial developmentalis bukan tidak ditemukandalam katalog epsitemologi ilmu sosial yang pernah berkembangsampai saat ini, terutama dalam kelompok disiplin-disiplintertentu seperti sosiologi, antropologi dan ekonomi. Istilahdevelopmentalis (“pembangunan”) sudah lazim digunakan untukmengacu pada suatu premis yang berakar pada teori-teorimodernisasi. Beberapa cirinya dapat diidentifikasi sebagaiberikut. Paradigma ilmu sosial developmentalis, pada dasarnya tidakmengalami perubahan signifikan dengan pendahulunya,indologie, atau ilmu sosial kolonial. Keliru mengatakan ilmusosial developmentalis tidak memiliki kepentingan ideologi,sebab dengan munculnya negara-negara baru dalam percaturanpolitik global, motif ideologis negara-negara Barat dalammenjalin kerja sama akdemik dengan negara-negara baru itusangat jelas di dalamnya. Hanya saja zeitgeist dan dengandemikian paradigma di belakangnya sudah berbeda. Bila yangsebelumnya berangkat dari semangat revolusi industri danekspansi kolonial model lama, sekarang bergeser padapertarungan ideologi global: kapitalis verus komunis.

Asumsi dasar atau paradigmanya dapat disederhanakan denganmengandaikan bahwa kawasan non-Barat secara analitis samaseperti kawasan-kawasan Barat, tetapi sekaligus tidak sama!(Wallerstein 1997:61). Sama dalam arti bahwa ada sebuahjalur modernisasi (pembangunan) yang sama untuk semuabangsa (rakyat, kawasan dan potensinya) dan karena itusemuanya sama. Tetapi bahwa bangsa-bangsa adalah berbedasatu sama lain karena mereka memang berada pada letakgeografi dan berada pada kondisi berbeda-beda pula. Karenaitu mereka sungguh tidak sama. Anakala Belanda meraciknyake dalam resep ilmu indologi, Amerika memasaknya dalamkuali teori modernisasi. Modernisasi, bagaimana pun, dalamdirinya memiliki watak ideologi, di mana model Barat juga

9

Page 10: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

[mesti] dapat diaplikasikan ke kawasan non-Barat dengancara menafsirkan perkembangan historis dunia Barat sebagaisebuah kematangan modernisasi (baca: ”kemajuan”) dan dengansendirinya juga dapat menjadi model bagi negara-negaraterkebelakang. Klaim validitas universal a la positivistiksangat menonjol di sini.

Erat kaitannya dengan butir di atas, studi kawasan (dalamhal ini Asia Tenggara, khususnya Indonesia) merupakan unitkajian yang dapat ditarik ke dalam orbit akademik dansekaligus ideologi politik AS. Di situ ilmuwan sosialbekerja secara bersama-sama menangani masalah-masalahpembangunan ekonomi secara komprehensif, terutama denganmengadopsi teori-teori modernisasi sebagai maisntreamnya.Konsep-konsep utama dalam teori modernisasi mempertegaspembagian dua dunia. Kalau pra PD II hanya ada dua dunia:penjajah dan rakyat jajahan, dikotomi baru berasal dariteori modernisasi ialah: dunia tradisional-modern, yangberakar pada konsep-konsep klasik sosilogi sepertigemeinschaft-geselschaft (Tonnies), solidaritas mekanis-solidaritas organik (Durkheim), folk-urban ― little tradition v.s.great tradition (Redfield), agraris dan industrial, maju danterkebelakang (Gunder Frank) dan seterusnya. Konsep-konseptersebut menjadi alat analisis yang digemari, tetapisekaligus juga mencerminkan titik perhatian mereka terhadapmasalah-masalah ‘pembangunan’ di negara Dunia Ketiga(Belakangan citra hierarkhis dari ”Dunia Ketiga” diubahsedemikian rupa menjadi lebih egaliter: “Tiga Dunia”).Kalangan ilmu sosial Marxist umumnya sudah lama mencurigaiteori-teori modernisasi, termasuk yang dikembangkan AS diIndonesia sebagai ilmu ‘borjuis’ dan ahistoris (Utrecht,1973; Wertheim, 1984).

Dari sudut pendekatan dan bidang garapan (subject-matter) jugaterjadi beberapa pergeseran penting. Jika studi-studiindologie tadinya lebih menekankan pendekatan etnografis,kajian ilmu sosial developmentalis lebih menitik beratkanpada kajian 'pembangunan' ekonomi dengan pendekatan budayadan metode komparatif. Dalam hubungan ini ada dua formatpendekatan akademis yang dikembangkan dalam ilmu sosial

10

Page 11: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

developmentalis, yang secara secara langsung mempengaruhiteori- metodologi ilmu sosial Indonesia. Format pertama,ialah apa yang disebutnya dengan “liberalisme anti-kolonialisme” dan “metode historis”; Format kedua ialahteori-teori “liberalisme imperial dan metode komparatif”(Anderson, 1982: 71-3). Yang pertama lebih banyak dilhamioleh para pionir studi Indonesianist di AS antara lainRupert Emerson, H.J. Benda, George MacT. Kahin (politik),John Echols, Clifford Geertz (antropolog), Clire Holt, GuyParker, Karl J. Pelzer, dan barangkali bisa ditambahkan duanama Bruce Glassburner dan Benyamin Higgins (keduanyaekonom). Namun penting dicatat, bahwa meskipun masing-masing berasal dari disiplin ilmu yang berbeda-beda, keduaformat di atas sangat intens menggunakan pendekatanhistoris.

Ilmu sosial developmentalis melahirkan ilmuwan sosialgenerasi baru yang terdiri dari dua jenis ”species”. Pertama,para Indonesianists, yaitu para sarjana asing yang memilikikeahlian tentang Indonesia. Mereka umumnya terdiri darisarjana Amerika dan kemudian juga sejumlah sarjana asinglainnya yang belajar di Amerika, khususnya Jepang danAustralia. Kedua, lahirnya segelintir ilmuwan sosialIndonesia generasi pertama, yaitu mereka yang memperolehpendidikan di AS tahun 1950-an. Sebagian di antaranyasempat mengenyam pendidikan lewat guru-guru Belanda mereka― untuk tidak mengatakan terdidik dalam tradisi indologi,seperti Soepomo (hukum), T.G.S. Moelia (soisologi),Koentjaraningrat (antropologi), Soekmono (arkeologi),sedikit banyak Sartono Kartodirdjo (sejarah), Slamet ImamSantoso (psikologi), Wijoyo Nitisastro (ekonomi), disamping sejumlah sarjana humaniora seperti St. TakdirAlisyahbana, Prijono dan Slamet Imam Mulyana, Porbatjaraka― adalah murid-murid dari para sarjana Belanda yang secaralangsung dan tak langsung terkait dengan tradisi indologi.Salah satu produk paling menonjol dari hasil proyek kerjasama akademis ini ialah lahirnya kelompok “mafia Berkeley”,suatu nama buruk dari kelompok ilmuwan sosial [ekonomi]tamatan Berkelay, umumnya untuk bidang “ilmu ekonomi”Universitas Indonesia, yang di masa Orde Baru dianggap

11

Page 12: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

sebagai “ratu ilmu sosial”. Kajian sejarah khususnya juga tak luput dari kecenderungan-kecederungan umum yang berkembang dalam ‘ilmu sosialdevelopmentalis’, manakala sejarah Indonesia kian ditarikke dalam semangat ‘ilmu negara’, sebagaimana disebutkan dimuka, yaitu kelompok disiplin yang harus dapat ‘mengabdi’untuk kepentingan rejim. Setelah merdeka, sejarah Indonesiamembebaskan dirinya dari bias Eurosentrisme dan digantidengan “sejarah nasional” versi baru. Bukan ideologisasi‘sejarah nasional’ anti kolonial versi Yamin atau Sukarno,melainkan suatu sejarah nasional yang mengabdi pada rejimpembangunan. Kesadaran kebangsaan dan kebanggaan sejarahharus dibangkitkan untuk mendukung program pembangunan. Disitu negara memiliki peran sentral sebagai juru tafsirtunggal dalam menyaring mana yang boleh masuk ke dalam bukusejarah (nasional) dan sebaliknya ada pula yangdihilangkan. Ada nama-nama tokoh dan peristiwa yang dikuburdan dikaburkan, sebaliknya ada pula ditonjolkan. Sejak itumuncul istilah ‘sejarah resmi’ dan sejarah tak resmi.Sejarah harus menjadi guru kehidupan versi rejimpembangunan. Maka para pahlawan bangsa (dengan berbagaikategorinya) digali dan diseleksi untuk diangkatberdasarkan SK pemerintah. Menumen-monumen sejarahdibangun, demikian juga film-film sejarah diputar dibiokop. Anak-anak sekolah diwajibkan menonton. Singkatnyasejarah menjadi alat legitimasi pengukuhan rejimpembangunan.

Begitulah, setidaknya sejak 1960-an, ilmu sosial yang ada diIndonesia tak lain ialah ilmu sosial yang diperkenalkan olehsarjana Amerika di universitas-universitas di negerinya dandibawa ke Indonesia dalam kerangka kerja sama riset danpengembangan ilmu sosial di Indonesia. Salah satu cabangprogramnya ialah mendirikan pusat-pusat pelatihan ilmu sosialdi beberapa tempat di Jawa dan luar Jawa. Implikasi teoretis-metodologis dari kecenderungan ini amatlah besar pengaruhnyaterhadap perkembangan selanjutnya. Pendidikan lanjutan yangmereka peroleh, seperti juga pergaulan akademik internasionalmereka pada periode yang lebih kemudian, membuat watak

12

Page 13: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

indologie semakin menghilang, dan sejak itu digantikan olehmainstream ilmu sosial developmentalis yang mejadi pusatgravitasi baru dalam khazanah pengembangan ilmu sosialIndonesia, termasuk di anataranya proyek penelitian sejarahnasional dan sejarah lokal.

(3) Ilmu Sosial Indonesia Kontemporer.Penggunaan istilah ilmu sosial Indonesia kontemporer di sinihanyalah bersifat “arbitrer”, sekedar untuk menggambarkanarah dan kecenderungan umum dalam perkembangan ilmu sosialselama Orde Baru dan sesudahnya. Pengertian semacam itu bisadipahami dalam arti, bahwa dalam banyak hal ia mencerminkankelanjutan dari perkembangan sebelumnya dan masih bertahansampai sekarang. Untuk satu hal perlu dicatat, bahwa sampaipertengahan pertama 1960-an kita agaknya belum bisa berbicaratentang statistik perkembangan ilmu sosial Indonesia, baikmengenai profesi dan/ atau komunitas ilmuwan sosialnya,maupun lembaga penelitian dan pendidikan ilmu-ilmu sosialyang lebih profesional. Namun sejak awal Orde Baru, khususnyasetelah memasuki tahun 1970-an — sejalan dengan pulangnyasejumlah sarjana ilmu sosial yang menyelesaikan studi merekadi luar negeri, tampaknya terdapat loncatan-locatan penting.Mengamati perkembangan ilmu sosial sampai tahun 1980-an,orang pada umumnya berpendapat bahwa tingkat dukungan danminat pemerintah terhadap ilmu sosial di Indonesia melebihinegara mana pun di Asia Tenggara. Peluang ini dalam satu danlain hal jelas merupakan buah yang telah disemaikan sejaktahun 1950-an, ketika ilmu sosial developmentalis makinmengikis tradisi ilmu sosial kolonial alias indologie. Jikakita menoleh kembali ke keadaan ilmu sosial di masa OrdeBaru, setidaknya ada beberapa karaktersitik menarik untukdicatatkan berikut ini. Pergeseran dari paradigma ilmu sosial developmentaliskepada paradigma ’jamak’ (multiparadigma) sejalan dengankian berkembangnya minat sarjana luar negeri untukmempalajari Indonesia. Mula-mula Amerika Serikat, kemudianAustralia dan beberapa negara Eropa seperti Inggris,Perancis, Jerman dan belakangan juga di Eropa Utara

13

Page 14: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

(Skandinavia) yang berpusat di Swedia, Jepang dan Malaysia.Bersamaan dengan kecenderungan di atas, ada dua gejala unikyang perlu dicatat: pertama masuknya kembali generasi barupeneliti Belanda yang sudah ‘tercerahkan’ dalam paradigmabaru dalam “werkgroep” Indonesich studies dengan sejumlahbidang studi (vakgroep) di berbagai universitas Belanda,menggantikan mantel lama, indologie. Kedua timbulnyakesadaran baru di kalangan sarjana Asia Tenggara tentanghubungan regional antar-negara bangsa di kawasan itu, yangsebelumnya tidak dikenal. Ini tentunya sejalan proses-proses dekolonisasi politik paska PD II, tetapi sejalandengan itu rupanya juga terjadi semacam proses menolehkembali akar pemikiran (local konowledge) yang dalam bahasapopulernya disebut ”kearifan lokal” di mana para sarjanalokal berupaya menggali kembali khazanah ilmu pengetahuanwarisan pendahulu mereka, entah itu berupa kajian naskahagama dan sastra, atau konsep-konsep kosmologi dan pelbagaipemikiran politik, medis (herbal) dan lingkungan.

Tingginya kadar “parokial” antardisiplin ilmu yangterorgaisasi dalam lembaga atau rumpun ilmu sosial, baik keluar mau ke dalam. Ke luar, maksudnya klaim keabsahanpembagian ilmu pengetahuan modern ke dalam tiga locus yangsecara instrinsik dianggap berbeda: rumpun ilmu alam, ilmusosial dan ilmu kemanusiaan (humaniora). Di lembagapendidikan tinggi, masing-masing cenderung melihat dirimereka sebagai berbeda dan membuat sekat-sekat yang tinggisatu sama lain. Ke dalam maksudnya perbedaan di antararumpun displin ilmu-ilmu sosial (dalam bentuk jamak).Kedua-duanya sama parahnya karena masing-masing salingmengabaikan dan bahkan melecehkan satu sama lain, sehinggaterjadi apa yang digambarkan oleh Burke (2005) sebagai“dialog si tuli”, suatu fenomena klasik yang rupanya jugaterjadi Barat. Lebih celaka lagi, kelompok yang satucenderung memandang rendah yang lain, atau kalau bukandemikian, yang satu merasa lebih hebat dari yang lain. Ahlisejarah atau mahasiswa sejarah, misalnya, seringkalidilecehkan dengan mengaggap pekerjaan mereka hanyalahsebagai tukang kumpul fakta-fakta (facts-collector), mengurusmanusia yang telah mati; pekerja ilmu amatiran yang rabun,

14

Page 15: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

karena tidak mempunyai teori. Ini mengingatkan kita padaejekan Herbert Spencer yang mengatakan bahwa sejarawan‘hanyalah tukang angkat batu (fakta) yang akan digunakansosiologiwan untuk membuat bangunan’. Sebaliknya banyaksejarawan yang memandang ilmuwan sosial sebagai orang yangsuka menggunakan jargon-jargon yang kabur untuk menyatakanhal-hal yang sudah jelas; tidak memiliki sense waktu dantempat, membenamkan individu ke dalam kategori-kategoriumum yang kaku. Maka untuk menutup semua ini, merekamenyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ‘ilmiah’. Dibeberapa tempat di Indonesia, para dosen dan mahasiswafakultas tertentu ramai-ramai ikut mendesak agar pindah keatau bergabung dengan fakultas lain karena beberapa alasanpraktis, karena tak lagi merasa nyaman di rumah yang lama.Ini misalnya tercermin dari sikap enggan atau menolakijazah cap fakultas mereka yang lama yang diianggap kurang“bonafide” atau kurang dihargai oleh pemerintah atau biropelayanan tenaga kerja. Di sini ilmu sosial berhadapandengan masalah praktis dari segi kelembagaan atauorganisasi ilmu pengetahuan.

Erat kaitannya dengan butir di atas, ialah kecenderunganahistoris ilmuwan sosial Indonesia kontemporer seperti yangdisinyalir oleh Arif Budiman beberapa tahun lalu.1 Ciri inijelas merupakan penyimpangan atau bahkan kemersotan duatipologi ilmu sosial sebelumnya, baik indologi maupun ilmusosial developmentalis sejak semula sangat kuat dalamapresiasi sejarah mereka. Ini tidak hanya berlaku dikalangan para perintis seperti Geerzts dan Ben Anderson danlain-lain, tetapi juga di kalangan generasi pertama ilmuwansosial Indonesia sendiri seperti Selo Soemardjan danjuniornya Harsja Bachtiar (sosiologi), Sayogyo (sosiologipertanian), Kuntjaraningrat (antropologi), SumitroDjojohadikusumo (ekonomi), dan tentu saja juga Soekmono(arkeologi) untuk menyebut beberapa di antaranya.

Perangkap ideologi dalam kajian ilmu sosial kontemporer.Para ilmuwan sosial di negara-negara Dunia Ketiga, yang

1 Ulasan yang agak panjang lebar sudah dikemukakan dalam ‘Kata Pengantar”saya untuk buku terjemahan karya Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial[Jakarta: Obor, 2005).

15

Page 16: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

notabene adalah bekas negeri jajahan seperti Indonesialambat laun ‘mulai sadar dan merasa malu bahwa merekaterlalu lama hidup sebagai sarjana imitasi’ (Kleden 1987:17). Ketika mereka ingin berbicara tentang sesuatu, makaagar kelihatan ilmiah mereka lebih suka mengutip ataumengulang ulang kata-kata guru Barat mereka. Begitu pulakalau mereka tidak sepaham dengan dan/ atau menentang guruBarat mereka, maka yang mereka lakukan bukan menawarkanpemikiran alternatif atas nama dirinya sendiri, melainkanmencari guru lain yang juga sarjana Barat. Ignas memberikanilustrasi yang baik tentang kecenderungan ini. Merekamempelajari Dahrendorf agar mampu mengeritik Parson; merekamenyimak Popper untuk menangkis pemikiran Marx; merekamenolak Weber dengan pandangan Habermas, dan merekamenonjok Levi-Strauss dengan tinju Paul Ricoeur (ibid.).

Dengan demikian, pengalaman-pengalaman baru dalam pembangunan(modernisasi) dan praktek ilmu sosial developmentalis,menimbulkan ketidakpuasan intelektual yang baru pula. Dalamsituasi yang paradoks seperti itu, di manakah sesungguhnyatempat ilmu-ilmu sosial (dalam bentuk jamak) Indonesia dalamperkisaran sejarah bangsa yang dilanda krisis multidimensiberkepanjangan dewasa ini, yang notabene berada padapergantian zaman: pergantian abad, pergantian melinium,pergantian rejim, pergantian paradigma dan seterusnya. Atasdasar itu, maka kiranya tidak mudah untuk mengidentifikasigambaran monolitik tentang ilmu sosial Indonesia hari ini,yang masih sedang berlangsung dan tengah mencari legitimasi-legitimasi baru, seperti yang tampak dari wacana“indigenisasi” ilmu sosial Indonesia akhir-akhir ini.

3. Indigenisasi Ilmu Sosial Indonesia Meskipun gagasan ‘indigenisasi’ ilmu sosial Indonesiabukanlah perbincangan yang baru dalam sejarah pemikiranintelektual Indonesia, agaknya Ignas Kleden-lah yang pertamakali melontarkan istilah itu secara gamblang dalam eseinyayang kuat berjudul ”Indigenisasi Ilmu Sosial

16

Page 17: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Indonesia...”(1987). Dengan ‘indigenisasi’ (pribumisasi)maksudnya ialah sebuah gerakan intelektual yang mendambakanagar ilmuwan Indonesia suatu saat tidak lagi menjadi “muridyang pintar membeo” ilmuwan Barat. Dalam esei tersebutdidedahkannya alasan mengapa wacana itu patut dikemukakan,begitu juga resiko-resiko yang akan ditimbulkannya, alasan-alasan pentingnya, di samping limitasi indigenisasi ilmusosial di Indonesia. Latar belakang kehadiran wacana ini sudah cukup jelas, yaituketidakpuasan dan/ atau keprihatinan terhadap kemandegan ilmusosial Indonesia paska kolonial. Salah satu penyebabnya ialahkarena kebanyakan ilmuwan sosial Indonesia masih terbelenggudengan ’imperialisme akademis’ Barat. Ignasmengidentifikasinya dengan kata pamungkas “kleim validitasuniversal” dari teori ilmu positivistik (ilmu kealaman) yangdianut dalam ilmu sosial Barat dan yang diteruskan diIndonesia, seraya merinci tiga domein yang menjadi pusatperhatiannya: ranah ideologi (paradigma?), teori danmetodologi. Yang terakhir ini, bagi Ignas, tidak perludipersoalkan karena menurutnya itulah satu-satunya kriteriumyang dapat menjamin validitas pengetahuan, entah itu untukmencegah hadirnya orientasi nilai (ideologi) yang semena-mena atau alat yang mengantarkan kita pada jalan ilmupengetahuan yang dapat dikontrol secara terbuka (1987: 23).Setelah timbul tenggelam selama lebih dua dekade sejak eseiIgnas diterbitkan, wacana ‘indigenisasi” Ilmu SosialIndonesia kembali muncul ke permukaan lewat sebuah seminarbertajuk ”Indigeneousasi Ilmu Sosial dan Implementasinyadalam Pendidikan Ilmu Sosial di Indonesia” di Yogyakarta(Prosiding Seminar, 2012). Kertas kerja seminar itu danserangkaian publikasi dalam selang waktu hampir bersamaan,2

dengan jelas menunjukkan semangat pembaruan yang hendakdicoba dilakukan oleh ilmuwan sosial Indonesia dalam2 Menyebut beberapa di antaranya, ialah Iwan Gardono (1998), Gumilar (2005) danTaufik Abdullah (2006) Verdi Hadiz, dan Daniel Dhakidae (2006) serta publikasidari Forum Ilmu Sosial Transformatif (Nasiwan, 2012); Ucu Murdianto (1912),Syarifudin Jurdi (2013). Terakhir seminar Yogya (2014) di mana saya ikut sebagaisalah seorang pembentang makalahnya. Info tentang makalah seminar ini dapatdiakses lewat http://fis.uny.ac.id/ berita/ konstruksi- ilmu- sosial- indonesia-dalam-perspektif-komparatif 2014

17

Page 18: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

pengembangan ilmu sosial ke depan, baik mutu akademiknyamaupun relavansinya. Sayangnya, sebagian besar enerji masihterkuras untuk mengulangi keluhan-keluhan lama tentangkemadegan ilmuwan sosial Indonesia selama ini dan seruanuntuk melakukan pembaharuan, khususnya dalam upaya pencarianidentitas ilmu sosial Indonesia, yang masih compang campingitu.3

Mengamati perkembangan wacana “indigenisasi” ilmu sosialIndonesia dewasa ini, terutama sejauh yang dapat dipelajaridari kerta kerja seminar Yogya 2012 dan sejumlah kecilpublikasi yang diterbitkan sejak dua dekade belakangan ini,catatan berikut ini hanyalah suatu apresiasi dan sekaligusrefleksi saya terhadap wacana “indigenisasi” yang masihmencari bentuknya yang lebih sesuai dengan tuntutan akademikdi satu pihak dan relevansi praksisnya di lain pihak. Pertama, wacana “indigenisasi” ilmu sosial Indonesia, sepertiyang digulirkan dalam seminar Yogya 2012 itu, haruslahdipandang sebagai salah satu cara atau jalan pemikirantentang bagaimana ilmuwan sosial di negeri ini menanggapikondisi ilmu sosial di Indonesia dewasa ini. Tiap jenispemikiran yang mencoba bergulat dengan wacana teori sosial,mau tak mau, harus merujuk kepada teori-teori yang pernahberkembang sebelumnya, entah itu yang diamininya atau yangditentangnya. Seminar tersebut terkesan mengabaikan, kalaubukannya meremehkan fondasi yang telah dibangun Ignassebelumnya, sehingga menimbulkan keterputusan(diskontinuitas) antara wacana seminar dengan yang telahdiperbincangkan sebelumnya. Sebagai akibatnya, tidak begitujelas di mana posisi wacana “indigenisasi” yang ingindiperjuangkan dalam seminar tersebut. Meskipun demikian,seminar tersebut jelas telah memberikan sumbangan penting,bukan saja dalam menghidupkan kembali debat tentang“indigenisasi” ilmu sosial Indonesia, melainkan yang lebihpenting ialah upaya mendorong pengembangan materi pendidikanilmu sosial yang berwajah Indonesia di perguruan tinggi dansekolah menengah.

3 Redaksi Prisma. “Dialog: Mendobrak jalan buntu Ilmu Sosial”, Prisma, No. 6(Juni 1983), pp. 73-90.

18

Page 19: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Kedua, di Indonesia dewasa ini terdapat beragam istilah dancara pandang yang berbeda dalam memaknai “indigenissi”seperti tercermin dari istilah yang digunakan: ilmu sosialatau soisologi “nusantara”, ilmu sosial “berwajah ke-Indonesiaan”, “ilmu sosial non-Barat” (niet-westerse socialwettenschapen), “ilmu sosial transformatif”, mazhabBulaksumur” atau “Bogor” dan lain lain. Semuanya mencerminkansemangat pembaharuan yang berlangsung dalam koridor ilmusosial “normal”. Mereka tidak mempersoalkan betul apakahpengetahuan teoretis dan metodologis yang dikembangkan itudatang dari Barat atau bukan, asal tetap bersikap kritis danmenghasilkan suatu sistem kognitif yang khas pada dirinya danterbuka untuk didialogkan. Inilah yang dikerjakan olehgenerasi pendahulu kita seperti Selo Soemardjan (sosiologi),Koentjaningrat (antropologi), Sartono Kartodirdjo (sejarah),Soemarsaid Mortono (politik) — untuk menyebut beberapa namadi antara mereka. Begitu juga generasi yang lebih kemudianseperti seperti Harsja W. Bachtiar, Mochtar Naim (keduanyasosiologiwan) dan Kuntowijoyo (sejarawan) sebanarnya jugatidak mendedahkan apakah karya mereka bercorak “indigenisasi”atau bukan, tetapi mereka toh menghasilkan semacam kerangkateoretis dan sistem pengetahuan yang baru atas nama dirimereka. Mochtar Naim misalnya memperkenalkan konsep“merantau” dalam teori sosiologi migrasi, dan Kuntowijoyomisalnya memperkenalkan “ilmu sosial profetik”.Ketiga, di kalangan Indonesianist sendiri juga terdapat pelbagaimacam aliran pemikiran (school of thoughts) dan cara pandangsaling bertentangan dalam memahami dunia kehidupanmasyarakat, dalam hal ini, masyarakat Asia Tenggara umumnyadan Indonesia khususnya. Saya ingin menyebut dua nama sebagaiilustrasi disini, James Scott Samuel Popkins. Keduanyamemiliki paradigma dan dengan demikian juga teori yangberbeda, kalau bukannya paradoks, tentang petani di kawasanini. Popkins melahirkan konsep petani ‘rasional’ sebagaiantitesis terhadap konsep petani ‘moral’ yang diperkenalkanScott sebelumnya. Mereka memberikan pengetahuan baru buatpembaca Indonesia atau ahli Asia Tenggara. Clifford Geertz,misalnya, berhasil menyelami prilaku agama Jawa dengan tetappeduli pada sudut pandang lokal dan yang menginspirasi

19

Page 20: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

sejumlah peneliti dunia untuk lebih mendalaminya.4 Dialektikapemikiran teoretis seperti ini akan semakin mengejutkan kalaukita memasuki wacana sejarah Indonesia. Untuk lebih jelasnyaperkenankan saya meringkaskan pada butir berikut ini. Keempat, di antara kelompok ilmu sosial (dalam arti jamak),bidang kajian ilmu sejarah agaknya jauh lebih sigap dalammenjawab tantangan “indigenisasi” yang dirisaukan dewasa ini.Betapapun disiplin ini masih dipahami “ambivalen” olehsejumlah ilmuwan sosial (termasuk Ignas) — apakah sejarahtermasuk kelompok “ilmu sosial” atau di luarnya (humaniora),atau dua-duanya — studi sejarah telah lebih dulu melakukanpembaharuan, kalau bukannya menjadi perintis dalam menarikgaris yang jelas antara perspektif Eropa-sentris danIndonesia sentris. Titik pangkal dapat dikembalikan keSeminar Sejarah Nasional I (1957) ketika para pakar sejarahyang jumlah masih segelintir itu melakukan debat tentangperlunya penulisan sejarah baru menggantikan sejarahkolonial. Kalau ditilik lebih jauh ke belakang, agaknya tidakbanyak yang menduga bahwa pembaharuan dalam studi sejarah“Indonesia sentris” justru datang dari ilmuwan Barat juga danmereka justru memiliki kontribusi yang signifikan dalammendorong gagasan “indigensiasi” sejarah Indonesia. Inilahmisalnya yang dilakukan oleh Joh Smaill (1961) ketikamenggulirkan debat tentang sejarah “Eropa sentris”, yangkemudian membangunkan kesadaran baru bagi sejarawan AsiaTenggara tetang perlunya menulis sejarah negeri mereka dariperspektif “Asia sentris”. Smail sebetulnya terinspirasi olehkarya sosiolog-sejarawan J.C. Van Leur (1955) — danbarangkali dialah yang memperkenalkan nama van Leur kepembaca internasional, manakala ia kemudian menyuarakan agarsejarawan Indonesia mendekonstruksi perspektif dan moralEropa sentrisme dan menggantikannya dengan Asia Tenggara cumIndonesia sentries. Yang pertama tak lain dari sejarah orangBelanda di Nusantara dan yang kedua ialah sejarah orangIndonesia di negeri mereka sendiri.

4 Lihat misalnya esei Clifford Geertz, “From the Native‟s Point of View”: On theNature of Anthropological Understanding‟, Bulletin of the American Academy of Arts andSciences, 28, 1 (1974): 26-45.

20

Page 21: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Selain van Leur, yang mengingatkan pembacanya tentang pentingperan rakyat bumiputra yang dikaburkan dalam sejarahkolonial, kita jga perlu menyebut G.J. Ressink, ahli hukumdan sejarawan Belanda yang menjadi warga Indonesia. Kumpulaneseinya yang ditulis tahun 1950-an, yang dibukukan berjudulIndonesia's History between the Myths: Essays in Legal History and HistoricalTheory (1968), membongkar mitos “350 tahun penjajahan Belanda”dengan menggunakan pendekatan hukum internasional. Yangrealtif baru dan mengagumkan ialah karya M.C. Ricklefs (2008)yang membongkar konsep “modern” dalam sejarah Indonesia, yangselama ini dihubungkan dengan kedatangan bangsa Barat,setidaknya sejak abad ke-19 atau abad ke-20. Namun di tanganRicklefs, pandangan lama itu dibongkar habis. Baginya bukanBarat melainkan Islamlah yang melahirkan Nusantara sebagaireprsentasi Indonesia modern. Menggunakan kriteria obyektifdengan sejumlah tesis (argumen pokok) yang meyakinkan,sejarah modern Indonesia dalam pespektif Ricklefs harusdimulai sejak berlangsungnya Islamisasi abad ke-12/13.Ricklefs pada dasarnya tidak menggali data baru dari sumberprimer, melainkan memanfaatkan data yang sudah tersedia dalamteks-teks sejarah, tetapi hasil karyanya membuat kitaberdecak kagum karena ia memberikan pengetahuan baru tentangsejarah Indonesia “modern” kepada pembacanya.Pembebasan dari penulisan sejarah kolonial bukan denganargumen ideologis, melainkan berpijak pada kriteria obyektiftertentu, sehingga hasilnya bukan lagi ‘sejarah nasional’anti-kolonial (atau sejarah nasionalis versi Sukarno atauMohd. Yamin), melainkan suatu sejarah akademik yang terbukauntuk dilacak berdasarkan prinsip-prinsip metodologis. Makadi kalangan sejarawan Indonesia perlu disebutkan dua nama disini: Sartono Kartodirdjo dan Taufik Abdullah. Yang pertama,Sartono Kartodirdjo diakui sebagai “bapak sejarah ilmiah”Indonesia yang berhasil melakukan rekonstruksi sejarahIndonesia secara akademik menggantikan sejarah nasional(ideologis) yang diusung Mr. Moh Yamin dan narasi sejarahresmi sebelumnya. Lebih dari itu, Sartono Kartodirdjo jugamendekonstruksi sejarah konvensional (sejarah politik)menjadi sejarah multidimensional, dalam arti membuka ruang‘bidang garapan’ (subject-matter) dan pendekatan sejarah di luar

21

Page 22: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

sejarah politik, dalam hal ini, misalnya sejarah petanidengan menggunakan pendekatan sosiologis dan antropologis.Dari tangannya lahir konsep-konsep sejarah petani, denganideologi mileniarisme atau konsep ‘ratu adil’. Yang kedua,Taufik Abdullah, masih murid Sartono, amat berperan dalammencairkan kebekuan (parokialisme) hubungan antara rumpunilmu sosial (dalam pengertian konvensional) dengan sejarahdan ia sendiri adalah pendiri dan pernah menjadi ketuaasosiasi ilmu sosial Indonesia (HIPIS), di samping analisis-analisis sejarahnya yang kuat dengan konsep-konsep ilmusosial. Salah satu di antaranya ialah konsep “schakelsociety” untuk mengacu pada suatu jenis ‘kelas menengah”primbumi yang khas ciptaan rejim kolonial. Contoh-contoh di atas dengan sendirinya menegaskan argumenbahwa tidak ada alasan logis yang secara intrinsikmenghalangi mengapa aspirasi pegembangan ilmu pengetahuansosial dapat terus berlangsung tanpa menyibukkan diri denganpribumisasi ilmu sosial. Baik ilmuwan sosial Barat maupunIndonesia sudah lama menyadari pentingnya penghayatan dariperspektif lokal dan dengan alat metodologi yang digunakan,entah itu yang dinamakan pendekatan verstehen, atauetnomotedologi dan historical mindedness [rasa hayat historis]bagi kajian sejarah, sehingga memungkinkan mereka bisa masukke dalam dunia kehidupan sosial masyarakat yang ditelitinya.Semua ilmuwan Indonesia yang disebutkan di atas sama sekalitidak mengambil jarak dengan ilmuwan sosial Barat yang secaragenerik dicela “Eurosentrisme”. Logika “indigenisasi” malahjustru berlawanan dengan trend globalisasi dewasa ini, di manasifat ‘salingketergantungan’ adalah inheren di dalamnya.Tidak hanya dalam bidang ekonomi dan budaya dalam arti luas,tetapi juga lalu lintas Iptek. Pencarian legitimasi pribumisasi ilmu sosial Indonesiamengasumsikan bahwa mereka mengemukakan wacana baru sebagaiupaya untuk mereperasi atau mendekonstruksi ilmu sosialBarat, dalam hal ini mengubah keadaan sesuai dengan semangatreformasi dewasa ini. Namun sejauh yang dapat dipahami lewatkertas kerja seminar pribumisasi ilmu sosial Indonesia duatahun lalu itu, pemahamannya cenderung dibelokkan pada konsep

22

Page 23: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

pengetahuan lokal (local genius) atau kearifan lokal sebagaiwacana baru yang sedikit banyak merupakan kelanjutan dariteori paska-kolonial. Apa yang kurang dari Peter Carrey,misalnya, sejarawan Oxford yang menekuni naskah Diponegoroitu, sehingga ia mampu menggali kearifan lokal warisan rajaJawa yang terkenal itu. Satu lagi contoh yang membingungkanapabila dikaitkan dengan wacana “idigenisasi”, yakni karyaAnthony Reid, yang menulis tentang ‘sejarah revolusinasional’ Indonesia (1996). Pertanyaannya di sini ialah,salahkah Tony Reid jika ia menulis “sejarah nasional” kitakarena dia bukan orang Indonesia? Dengan pertanyaan lain,apakah tidak mungkin ilmuwan Barat menghasilkan kajian yangbercorak “indigenisasi” tentang dunia kehidupan masyarakatIndonesia dengan menggunakan pendekatan disiplin dan prinsipmetodologis yang dimilikinya? Pertanyaan ini sebenarnyamenyangkut soal yang mendasar yang belum ada jawabannya dalamwacana “indigenisasi” ilmu sosial Indonesia selama ini:apakah “indigenasi” maksudnya perkumpulan mazhab ilmuwanIndonesia yang membatasi diri hanya pada ilmuwan Indonesia,atau juga terbuka bagi para Indonesianists dari luar? Mirip“klub bal” nasional yang ditangani PSII, tiap pemain wajibhukumnya orang Indonesia atau perlu dinaturalisasi. Ataubiarkan ia berkembang menjadi “kulb bal” profesional sepertiPersib, Arema dan F.C. Sriwjaya di mana pemain asing jugaikut menjadi pemainnya? Profesionalisme lebih mementingkankeahlian dan prestasi dan bukan baju “warga-negara”-nya. Akhirnya, legitimasi tak pernah menempuh satu jalan dan jalanyang ditempuh ilmu sosial di Indonesia di masa lalumelahirkan warisan yang bercampur aduk. Salah satu diantaranya, “Indigenisasi”, mudah-mudahan suatu saat ia mampumenjadikan dirinya sebagai suatu “school of thought” dalammembangun ilmu sosial Indonesia ke depan.

4. Penutup.Sumbangan saya dalam seminar ini hanyalah merupakan upayasederhana untuk menggambarkan secara singkat tentangkonstruksi historis ilmu sosial Indonesia dalam perspektifkomparatif. Sudah dikemukakan capaian-capaian dan agenda yang

23

Page 24: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

mengemuka dalam setiap periode sejarah tertentu, denganmembandingkan tipologi ilmu sosial dilahirkannya.Menyederhanakan masing-masing tipologi ilmu sosial yangpernah ada di Indonesia ke dalam kesimpulan-kesimpulan umumberikut tentu sangat menyesatkan. Kita tidak bisa mengaggapilmu sosial kolonial (indologi) sebagai tak lebih dari untuktujuan ‘memnajajah’; ilmu sosial developmentalis untuk‘membangun’; ilmu sosial kontemporer untuk ‘menjawabtantangan global’ dan ilmu sosial yang dipribumikan untuk‘membangkitkan kembali kesadaran lokalisme’. Tidak perlu dijelaskan lagi di sini bahwa semua pengetahuan,termasuk ilmu sosial, adalah ciptaan para ahli yang secaralangsung dipengaruhi oleh jiawa zamannya, termasuk sejarahkontemporer yang sedang berlangsung. Selaku demikian, makapenyelidikan terhadap pengaruh-pengaruh historis padapembentukan pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan bermanfaat,tidak hanya untuk mencegah pengulangan yang tidak perlu, yangmembuat ilmu sosial Indonesia berjalan di tempat, melainkanjuga merefleksikan kembali sejauh mana perjalanan ilmu sosialdi Indonesia telah ikut memperdalam pengertian kita tentangrealitas empirik masyarakat Indonesia serta kemungkinan untukmencarikan solusi-solusi terbaik untuk keluar dari persoalanklasik ataupun yang muncul sezaman. Bagi para ilmuwan ilmu sosial Indonesia hari ini, pertanyaanyang harus dimunculkan agaknya tidak lagi mempersoalkanapakah tipe ilmu sosial yang ingin dikembang berikutnya,setelah ilmu sosial kontemporer di negeri ini terkesanmengalami jalan buntu, melainkan sumbangan teoretis-metodologis apakah yang dapat diberikannya guna memperkayapemahaman kita tentang realitas pengalaman masyarakatIndonesia yang semakin kompleks dan mondial sertakemanfaatnanya. Pada akhirnya “semua pengetahuan”, kataWallersetein, “ bersifat lokal dan sekaligus total” (Allknowledge is local and total). “Lokal tak berarti deskriptif dantotal tak mesti berarti determinsitik. Ia merupakanpengetahuan tentang kondisi-kondisi yang mungkin (the conditionsof possibility) tentang tindakan manusia dalam konteks ruangwaktu-lokasi di mana keduanya dapat saling berkaitan

24

Page 25: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

(Wallerstein, 1992).Mengusung jargon “indigenisasi” (kadang ditulis“indigenousasi) tidak akan seberapa bermanfaat kalau gagasantransformatif yang ingin ditawarkan hanya sebatas keluhan-keluhan dan curahan keprihatian karena merasa dimarginalkan.Ilmuwan sosial negeri ini perlu terus-menerus melakukan kaji-ulang dan menghidupkan capaian-capaian yang telahdisumbangkan oleh para pendahulu sebelumnya, seraya merintisagenda-agenda kerja yang lebih inovatif ke depan sejalandengan perubahan-perubahan zeitgeist dalam arti luas. Ilmusosial (dalam arti jamak), tidak mungkin lepas dari ataumenjadi arena otonom tindakan sosial. Di masa lalu dan bahkansampai hari ini kita percaya bahwa dunia kehidupan serba-alam(postivistik) atau serba-sosial (humanistik), besok mungkinkeduanya dan akan dilihat seolah-olah keduanya tidak mungkindipisahkan. Pemikiran tentang korelasi kemiskinan dengansumber daya-alam sudah lama ditinggalkan. Ilmuwan sosial lalubicara tentang “kemiskinan struktural”. Begitu juga kajianbencana alam (gempa, banjir, kebakaran dan tanah longsor)bukan lagi monoploli geologiwan. Juga terbuka bagi ilmuwansosial untuk mempelajarinya dalam perspektif bencana kronisyang dibuat manusia (man made disasters). Sama kronisnya denganfenomena alam, gejala sosial seperti bencana kabut asap,korupsi, ketewasan masif dan sia-sia di pelintasan jalankereta api, atau karena terinjak-injak berebutan santunansosial, hendaknya mampu mengubah cara pandang baru kita dalammemperkembangkan ‘ilmu sosial profetik’ seperti yangdiusulkan mendiang sejarawan Kuntowijoyo. Mempelajari kembali lintasan sejarah (historical trajectory) yangdilewati oleh ilmu sosial di masa lalu, baik dalam artitunggal maupun jamak, dan memperbandingkan “kemajuan” dan“kemerosotan” ilmu sosial Indonesia, terlihat bahwa garisperkembanganya ternyata tidak linear, melainkan dialektik.Kemenangan visi teori modernisasi yang menyebar begitu cepatdalam dunia akademik sejak 1950-an, ternyata membuat kitakian lebih berhati-hati memahami konsep pembangunan bangsasebagai proses yang memerlukan sumber-daya dan pengorbanan.Kita sudah mengalaminya, tetapi formula baru untuk memahami

25

Page 26: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

kemiskinan masyarakat Indonesia seperti belum juga ditemukan.Rupanya keterkaitan antara kebenaran ilmiah (akademik) dengankekuasaan merupakan keniscayaan dan tugas kita ialahmengecilkan jarak, kalau bukannya menghilangkan, antara teoridan praktek, antara kebenaran dan kebaikan. Memandang kembalike peluang dalam era reformasi yang penuh keluh kesah dewasaini, ilmu sosial mestinya tidak hanya berteori dalam “talk-show”, melainkan juga menulis dan menerangkan apa yang salahdengan negeri ini, sehingga kontribusinya semakin nyata untukmengingatkan betapa pentingnya untuk terus menerus mencariformula yang tepat bagi permulaan yang baru, baik teoretismaupun implementasi ilmu sosial Indonesia di masa depan, baikdalam dunia akdemik di perguruan tinggi maupun dalam duniapendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan IPS tentunya.***

Revisi,

La Pai, Padang, 25 Febr 2015

MTZ

Kepustakaan

Anderson, Benedict R. O'G. and Kahin, Audrey. (eds.),Interpreting Indonesian Politics : Thirteen Contributions to the Debate.Ithaca, N.Y. : Cornell Modern Indonesia Project,Southeast Asia Program, Cornell University, 1982.

Arif Budiman, “Ilmu Sosial Indonesia ahistoris”, Prisma No. 6(1983), pp. 74-90.

26

Page 27: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Benny Subianto, “Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia: MencariPendekatan dari Masa ke Masa”, Prisma, no. 2 (1989), hal.59-76.

Brown, Richard, Social Science as Civic Discourse. Chicago and London:The University of Chicago Press, 1989.

Foucault, M. “Intellectuals and Power” dalam Language, Counter-memory, Practice: Selected Essays and Interviews. Ithaca: CornellUniversity Press. 1977.

Geertz, Clifford ,C. “From the Native’s Point of View”: Onthe Nature of Anthropological Understanding‟, Bulletin of theAmerican Academy of Arts and Sciences, 28, 1 (1974): 26-45.

Hadiz, Verdi & Daniel Dhakidae (eds.). Social Science and Power inIndonesia. Singapore: Equinor & Institute of SoutheastAsian Studies, 2004.

Harsja W. Bachtiar (ed), Directory of social scientists in Indonesia.Jakarta : Indonesian Institute of Sciences, Project forthe Development of a Social Sciences Documentation andInformation Center, 1976.

Ignas Kleden,”Indigenisasi Ilmu Sosial. Tanggapan Nasionalatas Model Pembangunan dan Pembentukan Teori” dalamSikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES, 1987.

Iwan Gardono, Iwan, “Indigenisasi Sosiologi di Indonesia”,dalam Masyarakat Indonesia 20 (2) (1998).

Koentjaraningrat, The Social Sciences in Indonesia. Jakarta:Indonesian Institute of Social Science, 1979.

Mestika Zed, Esei “Pengantar” untuk buku Peter Burke, TeoriSosial dan Sejarah. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor, 2002.

______ “Ilmu Sosial Indonesia dalam Wacana Methodenstreit”dalam Taufik Abdullah (ed). Ilmu Sosial dan Tantang Zaman.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

______ ”Mengatasi ‘Dialog Tuli’ antara Sosiologi danSejarah”, Makalah “Seminar dan Workshop Forum KomunikasiPendidikan Sosiologi” se-Indonesia, Padang 11 May 2011.

______ ”Hamka dan Tesis Ricklefs tentang Fondasi IndonesiaModern”, Makalah untuk Seminar Nasional tentang Tokoh

27

Page 28: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Hamka, Universitas Andalas, Padang, 20 Desember 2009.Nodholt, Nico Schulte & Leontine Visser (eds.), Ilmu Sosial Asia

Tenggara. Dari Partikularisme ke Universalisme. Jakarta: LP3ES,1997.

Reid, Anthony, Sejarah Revolusi Nasional Indonesia [Terjemahan]. Jakarta: Gramedia 1996.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008. {Terjemaan]. Jakarta: Serambi, 2009.

Santoso, Purwo. (2002). Potret Ilmu-Ilmu Sosial: Diambang Involusi, Makalah Keynote Speech dalam Dies Natalis Ke-47 Fisipol, UGM.

Pyenson, Lewis. Empire of Reason. Exact Sciences in Indonesia, 1840-1940.Leiden: E.J. Brill, 1989.

Syafruddin Jurdi, Sosiologi Nusantara, Mahami Sosiologi Integralistik.Jakarta: Kencana, Prenanda Media Group, 2013.

Smail, John R. W., “On the possibility of An Autonomous History of Modern Southeast Asia,” Journal of Southeast Asian History, Vol. 2, No. 2 (July, 1961).

Swanson, G. 1971. “Framework for comparative research: structural anthropology and the Theory of Action”, in I. Vallier (ed), Comparative Methods in Sociology: Essays on trends and applications. Berkeley: University of California Press, 1971,pp. 141-202. http://www.ukessays.com/essays/education/quantitative-and-qualitative-comparative-approaches.php#ixzz34V7HxxbO

Taufik Abdullah (ed). Ilmu Sosial dan Tantang Zaman. Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2006.

________ “The Social Science in Indonesia. Performance andPerspective” dalam A Study on Trends and Perspectives of SocialScience in Indonesia. Tokyo: Institute of evelopmentEconomic, 1979.

Wallerstein, Immanuel, “The Challenge of Maturity. WhitherSocial Science?”, dalam Review. Fernand Braudel Centre, Vol.XV, No. 1 (Winter 1992): 1-7.

________ “History in Search of Science”, dalam Review. Fernand

28

Page 29: 00 KONSTRUKSI HISTORIS ILMU SOSIAL INDONESIA 2014 Revised Version

Braudel Centre, Vol. XIX, No. 1 (Winter 1992), 11-22.________ Lintas Batas Ilmu Sosial. Terjemahan Oskar dengan Kata

Pengantar oleh Alexander Irwan. Yogyakarta: LkiS, 1997._________ “Social Sciences in the Twenty-first Century",

dalam World Social Science Report, UNESCO, 1999), pp. 11, pp. 11[http: //fbc.binghampton.edu].

29