BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang terdapat di gugusan pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti minyak bumi dan hasil hutannya. Selain kaya akan sumber daya alam dan hasil hutan, Provinsi Riau juga kaya akan budaya dan tradisi baik lisan maupun tulisan. Provinsi Riau merupakan pusat kebudayaan dan tradisi Melayu. Anggapan tersebut didukung oleh fakta bahwa di kawasan ini sampai sekarang masih ada sejumlah suku asli atau yang lebih terkenal dengan sebutan suku terasing, yaitu, suku Sakai, suku Bonai, suku Talangmamak, suku Kubu, suku Hutan dan suku Petalangan yang mendiami 1
230
Embed
· Web viewlukah ko olun ado iside ” yang artinya “lukah ini masih kosong isinya”. Gambar 28: Gambar lukah gilo yang akan siap dimainkan (dokumen pribadi) Mengambil mayang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang terdapat di gugusan pulau
Sumatera, Indonesia. Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di
Indonesia karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti minyak bumi
dan hasil hutannya. Selain kaya akan sumber daya alam dan hasil hutan, Provinsi
Riau juga kaya akan budaya dan tradisi baik lisan maupun tulisan. Provinsi Riau
merupakan pusat kebudayaan dan tradisi Melayu. Anggapan tersebut didukung oleh
fakta bahwa di kawasan ini sampai sekarang masih ada sejumlah suku asli atau yang
lebih terkenal dengan sebutan suku terasing, yaitu, suku Sakai, suku Bonai, suku
Talangmamak, suku Kubu, suku Hutan dan suku Petalangan yang mendiami daratan
di Riau. Kemudian ada suku Laut atau suku Akit yang mendiami kawasan
Kepulauan Riau.
Di kawasan Riau juga terdapat masyarakat adat seperti rantau nan kurang
oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo koto dan tigo boleh koto di Kampar, dan
lain-lain. Sejumlah peninggalan sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan
memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno
dikawasan Riau, mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha.
Beberapa kajian ilmiah bahkan menyatakan bahwa imperium Sriwijaya pun pernah
1
bertapak di kawasan ini. Di pinggir empat sungai besar dan anak-anak sungainya
yang membelah kawasan ini selama berabad-abad pernah bertapak sejumlah
kerajaan, seperti Gasib (kemudian Siak Sri Inderapura), Kampar (dan Pelalawan dan
Gunung Sahilan), Rokan (dan Kunto Darussalam, Tambusai, Rambah serta
Kepenuhan), dan kerajaan Keritang, Inderagiri, serta Kandis (Rahman, 2009:2).
Dalam kehidupan masyarakat suku-suku asli, masyarakat adat dan
masyarakat beraja-raja, wujud kebudayaan dan tradisi Melayu masih dipelihara dan
menjadi patokan kehidupan sosial. Dalam kehidupan masyarakat suku-suku asli yang
ada di Riau (seperti suku Sakai, suku Bonai, suku Talangmamak, suku Kubu, suku
Hutan, suku Petalangan dan suku Laut atau suku Akit) terkesan sangat tradisional,
karena mereka memegang teguh adat, budaya dan tradisinya. Pemegang teraju adat
seperti Patih dan Batin, sangat besar sekali peranannya dalam mengatur semua
perbuatan dan kehidupan. Alam pikiran yang masih sangat sederhana dan kehidupan
yang sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh
tradisi seperti dukun, bomo, pawang, dan kemantan. Para tokoh ini diharapkan dapat
membuat hubungan yang baik antara manusia dengan alamnya. Masyarakat suku-
suku asli juga mempercayai sungai, tanah, pohon, hewan, dan sebagainya, dihuni
atau dikawal oleh makhluk halus yang kemampuannya melebihi kemampuan
manusia, sehingga mereka beranggapan bahwa manusia, alam dan makhluk halus
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
2
Suku asli atau lebih dikenal lagi dengan sebutan suku terasing, adalah suatu
istilah yang diberikan kepada suku tertinggal yang ada di Indonesia. Departemen
Sosial Indonesia memberikan istilah bagi suku marjinal ini menurut pola tempat
tinggalnya: tidak menetap, setengah berpindah-pindah, dan sementara menetap
(Departemen Sosial Republik Indonesia 1987, dikutip dari Hamidy, 1991:5). Empat
faktor ini juga menentukan peringkat isolasinya: (1) jarak geografis, (2) kurangnya
fasilitas komunikasi dan teknologi modern, (3) kurangnya interaksi sosial dengan
masyarakat lain, dan (4) penganut kepercayaan leluhur dan alam pikir primitif
(Hamidy, 1991:38-39).
Suku Bonai adalah salah satu suku terasing di kawasan Provinsi Riau. Selain
suku lainnya yaitu Sakai, Talangmamak, Kubu, Orang Hutan, dan suku Laut atau
suku Akit. Masyarakat suku Bonai merupakan salah satu suku asli yang tinggal jauh
di pedalaman Sungai Rokan. Masyarakat ini sulit dijangkau dan terisolasi secara
sosial. Mereka hidup dari hasil pertanian ladang berpindah-pindah, perikanan, dan
meramu. Masyarakat Bonai ini jauh dari sentuhan pembangunan pemerintah Provinsi
Riau, bahkan sebagian besar penduduk atau masyarakat Riau yang tinggal di luar
dari desa mereka tersebut tidak tahu siapa mereka ini. Kalaupun ada masyarakat luar
yang mengetahui mengenai suku Bonai, umumnya mereka hanya mengenal suku
Bonai tersebut karena keanehan budaya dan tradisinya. Penulisan dan penelitian
khusus mengenai masyarakat suku Bonai dengan budaya, kesenian, dan tradisinya
yang “unik” (eksotik) ini masih jarang ditemukan.
3
Sebagaimana suku-suku lainnya, masyarakat suku Bonai juga mempunyai
budaya, kesenian, dan tradisi baik lisan maupun tulisan mengenai riwayat mereka.
Masyarakat suku Bonai menjadikan tradisi sebagai titik memulai dengan
memposisikan unsur kesenian sebagai inti lingkaran unsur-unsur kebudayaan, dan
memposisikan unsur kebudayaan lainnya di lingkar luar yang saling mengait dengan
lingkar inti (Rahman, 2009:8). Tradisi dan kesenian dapat dipandang sebagai spirit
terhadap siklus kehidupan orang-orang Bonai, karena unsur-unsur tradisi dan
kesenian menghiasi hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat Bonai. Unsur
tradisi dan seni berhubung kait dengan religius dan kepercayaan masyarakat Bonai.
Tradisi dan seni masyarakat Bonai terikat kepada kepercayaan ketuhanan.
Posisi tradisi dan kesenian sebagai inti dari budaya sangat ditentukan oleh
unsur lainnya dalam kebudayaan, seperti bahasa, religi, mata pencaharian, organisasi
sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kesenian
itu sendiri. Mantera, syair, hikayat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, permainan rakyat,
dan seluruh kekayaan tardisi lisan dan tertulis masyarakat suku Bonai menampilkan
unsur seni yang berada dalam kajian bahasa. Satu di antara tradisi lisan yang paling
populer dalam kehidupan masyarakat suku Bonai adalah lukah gilo.
Lukah gilo merupakan salah satu tradisi rakyat pada masyarakat suku Bonai.
Lukah gilo berasal dari dua kata, yaitu lukah dan gilo. Lukah merupakan salah alat
penangkap ikan pada masyarakat suku Bonai yang terbuat dari rotan.1 Kemudian 1Selain istilah lukah, dalam kebudayaan Melayu pun dikenal juga istilah bubu untuk
menyebut alat yang sama. Alat ini secara budaya mencerminkan bahwa penggunanya adalah sebagai
4
kata gilo merupakan bahasa daerah Bonai yang berarti gila. Lukah gilo merupakan
tradisi yang masih berhubungan dengan upacara magis. Dalam ritual ini
dipergunakan mantera untuk membuat lukah bisa menari, sehingga ritual ini disebut
dengan ritual lukah gilo. Dalam ritual lukah gilo, yang memegang peranan penting
ialah bomo.2 Bomo memanterai lukah, sehingga lukah menjadi bergerak atau menari.
Peralatan yang digunakan bomo dalam ritual ini adalah mayang pinang, wangi-
wangian, dan lain sebagainya.
Setelah masyarakat suku Bonai memeluk Islam pun kepercayaan terhadap
makhluk-makhluk halus ini terus berlanjut, namun berubah konsep dan pandangan.
Kalau dalam masa animisme, makhluk halus ini dipandang memiliki kekuasaan dan
derajat yang lebih tinggi dari manusia, maka setelah Islam datang, makhluk-makhluk
halus ini dipandang sebagai jin, yang juga makhluk Allah yang dahulu sujud di
depan Adam, manusia pertama. Jadi, manusia memiliki derajat yang lebih tinggi
dibandingkan makhluk gaib ini.
masyarakat yang hidup dari menangkap ikan, khususnya di wilayah sungai, telaga, danau kecil, parit, dan sejenisnya. Penangkapan ikan secara tradisional ini, lazim dilakukan oleh masyarakat Nusantara, ketika di lingkungan mereka masih terdapat banyak hutan dan air yang tersedia secara alamiah sebagai anugerah Tuhan. Kini secara perlahan, hutan dan air termasuk di wilayah Riau sudah mulai berkurang digantikan dengan lahan kelapa sawit, maka bagaimanapun akan berakibat kepada fungsi dan guna lukah ini sebagai alat penangkap ikan.
2Bomo adalah sebuah istilah yang lazim digunakan untuk menyebutkan dukun dalam kebudayaan Melayu. Begitu juga dalam masyarakat seperti Bonai, Solai, Talangmamak, dan lainnya di daerah Riau. Dalam kebudayaan Batak Toba lazim disebut dengan datu. Kalau peringkat keahliannya relatif tinggi disebut datu bolon. Sementara dalam kebudayaan Mandailing dan Angkola disebut dengan sibaso. Seterusnya dalam kebudayaan Jawa dan Sunda di Pulau Jawa lazim disebut dengan dukun atau mbah dukun. Semua merujuk kepada makna yang sdama atau hampir sama, yaitu orang yang memiliki keahlian berhubungan dengan alam gaib untuk tujuan mengobati berbagai macam penyakit secara spiritual atau menolong manusia dalam menanggulangi masalah-masalah supernatural.
5
Dalam kebudayaan Melayu dan suku Bonai di Riau, makhluk-makhluk halus
dari alam gaib ini disebut dengan berbagai istilah. Di antaranya adalah jembalang
laut (“penjaga laut”), jembalang tanah, mambang kuning, mambang hijau, mambang
merah (yang hidup di kawasan laut), nini kemang (penunggu padi), dan lain-lainnya.
Dengan melihat konsep dan terapan budaya ini, maka seorang suku Bonai wajib
memposisikan dirinya dengan alam.
Dalam konsep atau ide budaya Bonai, manusia adalah bahagian dari alam,
baik alam besar maupun alam kecil. Oleh karenanya manusia wajib menjaga
hubungan dengan alam, termasuk alam gaib. Menurut salah seorang informan yang
merupakan bomo dalam ritual lukah gilo, mengatakan: “Konsep alam dalam budaya
Melayu dan masyarakat suku Bonai, alam besar dikecilkan, alam yang kecil dihabisi,
alam yang habis dihabisi dalam diri” (wawancara tanggal 11 November 2011 dengan
seorang bomoh yang bernama M. Rasyid).
Belum banyak penelitian yang mengambil kajian mengenai lukah gilo pada
masyarakat suku Bonai. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di
atas, kajian ini menganalisis mengenai mantera ritual lukah gilo untuk
memperlihatkan bagaimana praktik-praktik bahasa ini terkait dengan sistem
kehidupan masyarakat suku Bonai dalam interaksinya dengan lain, seperti makhluk
supranatural, alam, dan makhluk lainnya.
6
Untuk menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan dua teori utama
yaitu teori etnografi Koentjaraningrat (1998) dan teori semiotik sosial Linguistik
Sistemik Fungsional khususnya semiotik multimodal. Alasan menggunakan teori
semiotik sosial adalah analisis ini dapat memberi penjelasan mengapa kegiatan
berbahasa pada tradisi LG dapat bekerja dalam suatu masyarakat suku Bonai dengan
makhluk lainnya, yaitu Penguasa (Tuhan), makhluk supranatural, alam, dan lawan
jenisnya, menjelaskan kondisi sosial imaji dalam teks visual secara konteks situasi,
budaya, maknawi dan simbolisasi.
Dengan menerapkan teori semiotik sosial diharapkan dapat mengungkap
kegiatan ritual LG dan menilai praktik sosial dan hubungan dialektika antara bahasa
dengan situasi dan budaya yang dialami masyarakat penutur lukah gilo. Selain
menggunakan konsep teori semiotik sosial, penelitian ini juga menggunakan teori
etnografi3 yang dipopulerkan oleh Koentjaraningrat. Alasan menggunakan teori
etnografi adalah untuk memperlihatkan bagaimana masyarakat suku Bonai
3Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok daripengolahan dan analisis terhadap kebdayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Taluk Kuantan, atau lebih besar sedikit, masyarakat Melayu Kabupaten Kampar, atau masyarakat Melayu Kepulauan Riau, atau Riau(termasuk daratan dan kepulauan), dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda denganetnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia.
7
memelihara dan mempergunakan tradisi dan budaya mereka di tengah perubahan
sosial yang terjadi. Selain itu, teori etnografi juga dapat mendorong pemikiran
tentang bagaimana kaitan di aspek-aspek yang berbeda dari suatu kebudayaan dan
juga bagaimana kaitannya dengan berbagai segi dari alam.
Dengan menggunakan kedua teori tersebut, penelitian ini mencoba untuk
mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat baik dari segi peralatan
digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks
mantera ritual lukah gilo serta untuk menampilkan diri sebagai pewaris nilai-nilai
luhur budaya Melayu pada masyarakat suku Bonai.
1.2 Rumusan Masalah
Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah: yaitu, menetapkan
masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa objeknya.
Menyatakan objek saja masih belum spesifik karena baru menyatakan pada ruang
lingkup mana penelitian akan bergerak. Adapun mengidentifikasi atau menyatakan
masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian
(research question), yaitu pertanyaan terhadap mana belum dapat memberikan
penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum/dalil) yang ada.
(Subyantoro dkk, 2006: 30).
Berdasarkan latar belakang masalah dan uraian di atas, maka permasalahan
yang akan diteliti adalah:
8
1. Bagaimanakah etnografi masyarakat suku Bonai?
2. Bagaimanakah bentuk semiotik sosial tradisi lukah gilo pada masyarakat
suku Bonai?
3. Bagaimanakah kearifan lokal yang terdapat pada tradisi lukah gilo?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian memuat uraian yang menyebutkan maksud dan tujuan
secara spesifik untuk menjawab rumusan masalah di atas. Adapun tujuan penelitian
ini adalah:
1. Mendeskripsikan etnografi masyarakat suku Bonai.
2. Mendeskripsikan bentuk semiotik sosial tradisi ritual lukah gilo.
3. Mendeskripsikan kearifan lokal pada tradisi lisan lukah gilo.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini merupakaan suatu harapan bahwa hasil penelitian ini
akan mempunyai kegunaan baik teoretis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian
ini, yaitu:
1. Manfaat Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
keilmuan, khususnya mengenai masyarakat suku Bonai dengan
mantera lukah gilonya dalam perspektif kearifan lokal.
9
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
peneliti lain yang berminat untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini
dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan obyek
yang lebih luas lagi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran
bagi pemerintah daerah dan semua pihak yang terkait lainnya dalam
pelestarian tradisi lisan lukah gilo serta menjaga keberlangsungan hidup
dari masyarakat suku Bonai tersebut.
BAB II
KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN KAJIAN TERDAHULU
2.1 Konsep
10
Bagian ini menganalisis pengertian dari mantera, ritual, masyarakat suku
Bonai, tradisi lisan, dan kearifan lokal berdasarkan konsep teori sebagai berikut:
2.1.1 Pengertian Mantera
Berdasarkan penelitian Haron Daud (2001:21) mengatakan bahwa mantera
ialah semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau bahasa berirama yang
mengandung unsur magik dan diamalkan oleh orang tertentu, terutama bomo,
dengan tujuan kebaikan atau sebaliknya. Mantera itu mempunyai simbol tersendiri
yang perlu diketahui untuk memahami mantera sebagai sastra lisan atau lebih tepat
lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi menurut mereka, sebagai tradisi lisan mantera amat
erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat di mana
mantera itu wujud.
Mantera dipercaya berasal dari arwah leluhur. Kata-kata leluhur juga
dianggap berasal dari Tuhan; pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur melalui
media komunikasi yang berbeda. Ketika nenek moyang mengekspresikan artikulasi
pesan Tuhan dalam formula lisan, pesan itu menjadi tuturan. Mantera kemudian
menjadi sarana komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan makhluk
supranatural, dan juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari kuasa
tersembunyi. Mengucapkan mantera atau formula dari leluhur akan dapat
membangkitkan kekuatan spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang
dulu. (Kang, 2005:69)
11
Dalam istilah Goffman (1979), mantera meliputi tiga tingkatan penutur:
Tuhan sebagai penutur tertinggi mantera, leluhur sebagai penulis (author), dan
pelaku sekarang sebagai animator. Di luar perubahan penutur, mantera-mantera tetap
efektif karena kata-kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan
mengulang-ulang kata-kata itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan
kreatif yang sama seperti ketika digunakan oleh para leluhur. Dengan kata-kata yang
sama dengan yang diucapkan oleh para leluhur, orang dapat membawa kekuatan
magis dalam konteks masa kini.
2.1.2 Pengertian Ritual
Ritual (Muhammad, 2011:1) secara etimologis berarti perayaan yang
berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara
etimologis ritual merupakan ikatan kepercayaan antarorang yang diwujudkan dalam
bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang
paling penting dalam masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan
prakteknya tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat. ritual yang
dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai
dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual
memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai
dan mempraktekkan.
12
Sedangkan ritual menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual
yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan
mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia
akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual
gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup
manusia. Turner juga menjelaskan bahwa ritual memiliki fungsi penting bagi
keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut antara lain: (1) ritual akan mampu
mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama
kebudayaan melampaui dan di atas individu atau kelompok. Ritual menjadi alat
pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk
mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3) ritual akan mampu
melepaskan tekanan-tekanan sosial.
Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan bahwa
ritual merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna,
memiliki suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai
fenomena budaya. Dapat dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang atau berbeda
dalam praktek dan penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual
dan agama, keduanya sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam
praktek di kehidupan masyarakat atau individu penganut ritual tersebut.
13
2.1.3 Masyarakat Suku Bonai Riau
Masyarakat suku Bonai merupakan salah masyarakat suku asli yang terdapat
di Provinsi Riau. Masyarakat suku Bonai ini berdomisili di kawasan sepanjang
sungai Rokan yang menghubungkan dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Rokan Hulu
dan Kabupaten Rokan Hilir. Di dua Kabupaten inilah masyarakat suku Bonai tinggal
dan menetap. Namun demikian, jumlah masyarakat suku Bonai yang mendiami
Kabupaten Rokan Hulu lebih mayoritas dibandingkan dengan masyarakat Bonai
yang mendiami Kabupaten Rokan Hilir.
Berdasarkan informasi dari wawancara dengan salah seorang masyarakat
suku Bonai, asal usul nama suku Bonai berasal dari kata Manai. Manai dalam bahasa
Bonai berarti pemalas, kata Manai turunannya Monai lalu menjadi Bonai. Bonai
merupakan sebuah pohon yang tingginya tidak lebih dari empat meter, berdaun
kecil-kecil, buahnya bulat-bulat berwarna kemerahan dan bila telah masak berwarna
hitam serta rasanya agak sedikit asam. Buah bonai ini merupakan bahan baku dalam
membuat masakan ikan, dimasak dengan air secukupnya dan dijadikan kuah ikan
dengan rasa kuah yang asam (sumber: Rasyid, 2012).
Masyarakat suku Bonai merupakan masyarakat asli yang masih memegang
teguh tradisi dan budayanya. Walaupun masyarakat suku Bonai telah memeluk
agama Islam, masyarakat suku Bonai masih menjaga dan memperlihatkan kuatnya
aturan hukum adat, budaya, dan tradisi, demi mempertahankan identitas sosial
mereka. Masyarakat suku Bonai menjaga dan mempertahankan budaya dan
14
tradisinya dengan cara menyatukan dan membawa budaya dan tradisi dalam
kehidupannya berdasarkan ajaran agama Islam. Menurut mereka dengan memadukan
keduanya, tradisi mereka tetap terpelihara tanpa meninggalkan agama yang telah
dianut.
2.1.4 Pengertian Tradisi Lisan
Tradisi lisan (Pudentia, 2008) dalam berbagai bentuknya sangat kompleks
dan mengandung, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga
mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas
pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta
berbagai hasil seni.
Menurut Dick van der Meij (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan
kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara tidak
tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang lain,
sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya.
Sesungguhnya membicarakan suatu tradisi baik lisan maupun tulisan adalah
suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti serangkaian
kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu.
Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah
15
mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar
dibatasi batas waktunya.
Menurut Endaswara (2008:151) (dalam Yunita 2011), mengatakan tradisi
lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara
turun temurun. Adapun ciri-ciri dari tradisi lisan, yakni:
1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat
tradisional.
2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa
penciptanya.
3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka dan pesan mendidik.
4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.
5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan
klise.
6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.
Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan
tersebut. Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling
berpengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para
pemilik tradisi lisan juga adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan
orang, apalagi generasi muda dan juga paling memahami pentingnya tradisi mereka.
2.1.5 Pengertian Kearifan Lokal
16
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan
bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai
kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau
bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi.
Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan.
Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem
nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian
rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan
manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah
terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat
seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya.
Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi
nilai-nilai. Nilai- nilai tersebut yang akan menjadi alasan hubungan mereka atau
menjadi acuan tingkah laku mereka (http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-
landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf, diunduh 2 Maret 2012).
Kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan yang
muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan
lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi
yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal
11. Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan dan harus
dipatuhi).
Upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal
merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas
daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang
terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup
dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan
diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara
keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual
memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari
sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas
daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya
masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada
kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.
2.2 Tinjauan Teoretis
20
Tinjauan teoretis merupakan konsep dan kerangka teori apa yang digunakan
peneliti dalam penelitiannya tersebut. Penelitian menggunakan dua kerangka teori,
yaitu kerangka teori etnografis dan kerangka teori linguistik yang lebih khususnya
teori semiotik sosial. Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kerangka teori etnografi Koentjaraningrat, kemudian konsep teori semiotik
yang digunakan adalah konsep teori semiotik sosial. Adapun dua kerangka teori
tersebut adalah:
2.2.1 Kerangka Teori Etnografi
Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
etnografi Koentjaraningrat. Etnografi menurut Koentjaraningrat (1998:1) adalah
suatu deskripsi dan analisa tentang suatu masyarakat didasarkan pada penelitian
lapangan sebagai data dalam penelitian. Etnografi menyajikan data-data yang
bersifat hakiki untuk semua penelitian antropologi budaya.
Menurut Koenjtaraningrat (1998:6), dalam melakukan penelitian mengenai
kebudayaan suatu suku bangsa yang disusun menurut kerangka teori etnografi, akan
terdiri dari beberapa bagian penting yang harus diteliti. Ada beberapa bagian penting
yang menjadi acuan dalam penelitian kebudayaan yang disusun menurut kerangka
teori etnografi. Bagian-bagian penting yang akan diuraikan dengan lebih mendalam
pada penelitian etnografi, yaitu sebagai berikut.
21
(1) Lokasi, lingkungan alam, dan demografi. Dalam menguraikan lokasi dan
penyebaran suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan
ciri-ciri geografinya, yaitu iklim, sifat daerahnya, suhunya dan curah hujannya. Suatu
etnografi juga dilengkapi dengan data demografi, yaitu data mengenai jumlah
penduduk, yang diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, dan sedapat
mungkin juga menurut tingkat umur dengan interval lima tahun.
(2) Asal mula dan sejarah suku bangsa. Sebuah etnografi ada baiknya juga
dilengkapi dengan keterangan mengenai asal mula dan sejarah suku bangsa yang
menjadi pokok deskripsinya. Keterangan mengenai asal mulla suku bangsa yang
bersangkutan biasanya harus dicari dengan mempergunakan tulisan para ahli
prehistori yang pernah melakukan penggalian dan analisa benda-benda kebudayaan
prehistori yang mereka temukan di daerah sekitar lokasi penelitian ahli antropologi.
(3) Bahasa. Pembahasan tentang bahasa atau sistem perlambangan manusia yang
lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Penelitian
etnografi member deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan
oleh suku bangsa yang bersangkutan, beserta variasi-variasi dari bahasa itu.
(4) Sistem teknologi. Pembahasan tentang sistem teknologi atau cara-cara
memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suku bangsa.
Dalam penelitian etnografi cukup membatasi diri terhadap teknologi tradisional,
yaitu teknologi dari peralatan hidupnya yang tidak atau hanya secara terbatas
dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan luar.
22
(5) Sistem mata pencarian. Sistem mata pencarian yang dimaksud adalah sistem
mata pencarian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang
bersifat tradisional saja, terutama dalam kebudayaan suku bangsa secara holistik.
Berbagai sistem tersebut adalah: (a) berburu dan meramu; (b) beternak; (c) bercocok
tanam; (d) menangkap ikan; dan (e) bercocok tanam menetap dan irigasi.
(6) Organisasi sosial. Pembahasannya adalah unsur-unsur dalam organisasi sosial
kehidupan masyarakat yang diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai
berbagai macam kesatuan didalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari
ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan
kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat, dan kaum kerabat yang lain.
Kemudian ada kesatuan-kesatuan di luar kaum kerabat, tetapi masih dalam
lingkungan komunitas.
(7) Sistem pengetahuan. Dalam etnografi biasanya ada berbagai bahan
keterangan mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa yang
bersangkutan. Bahan itu biasanya yang meliputi penegetahuan mengenai teknologi,
pengetahuan mengenai obat-obatan, mengenai pembangunan, mengenai kepandaian
berlayar, dan pengetahuan yang lain-lainnya.
(8) Kesenian. Pembahasannya adalah segala sesuatu yang bersifat tradisi yang
memiliki unsur seni dalam suatu suku bangsa. Seni ini bisa berupa seni pertunjukan
seperti teater, tari, musik, dan lainnya. Bisa juga seni rupa dan kerajinan, seperti
lukisan, patung atau arca, arsitektur tradisional, dan lainnya. Seni adalah ekspresi
23
keindahan dari seorang atau sekelompok orang yang didasari oleh kebudayaan di
mana seni itu hidup.
(9) Sistem religi. Pada bagaian ini, pembahasannya adalah mengenai upacara
keagamaan suku-suku bangsa itu. Masalah asal mula dari suatu unsur yang universal
seperti agama. Sistem religi ini adalah aspek yang universal dalam kebudayaan
manusia. Inti dari sistem religi adalah kepercayaan manusia bahywa di atas dirinya
ada sesuatu yang berkuasa baik terhadap dirinya dan alam sekitar. Oleh karena itu
harus diadakan ritus-ritus kepada yang menguasai dirinya ini.
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka pada penelitian ini penulis
akan menggunakan konsep teori di atas untuk mendeskripsikan paparan etnografi
pada masyarakat suku Bonai. Alasan memilih teori di atas bertujuan memperlihatkan
mengapa dan bagaimana masyarakat suku Bonai merevitalisasi dan mempergunakan
tradisi mereka di tengah perubahan sosial yang terjadi.
2.2.2 Kerangka Teori Semiotik Sosial
Ilmu semiotik adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda. Menurut Sobur (dalam Sartini, 2011), bahwa semiotik
atau semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah
semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan
perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.
24
Bahasa adalah interaksi, dan semua interaksi adalah multimodal.
Implikasinya adalah bahasa adalah semiotik multimodal karena merupakan tanda
atau simbol yang dihasilkan dalam komunikasi manusia. Ilmu semiotik meliputi
studi seluruh tanda-tanda tersebut baik tanda visual, tanda yang dapat berupa imaji
dalam lukisan dan foto dalam seni dan fotografi, tanda pada kata-kata, bunyi-bunyi,
imaji bahasa tubuh, ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-unsur komunikasi.
Imaji adalah gambaran yang terbentuk dari sebuah objek visual. Gramatika didalam
bahasa menjelaskan kata, klausa, frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan gramatika
visual memperlihatkan orang, tempat, dan benda-benda dikombinasikan dengan
kompleksitas dan perluasan penjelasan visual dari sebuah objek. Fokus gramatika
visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara komposisi imaji yang digunakan
untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress dan van Leeuwen, 1996:1).
Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of representing patterns of experience…. It enables human beings to build a mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on around them and inside them (Halliday, 1985: 101)
Analoginya adalah struktur visual merealisasikan makna-makna sebagaimana
struktur linguistik melakukannya, dengan demikian menyebabkan berbeda
interpretasi dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat
direalisasikan dalam bahasa, sedangkan komunikasi visual diekspresikan kedua-
duanya baik dalam verbal maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda,
misalnya bahasa melalui pilihan antara kelas kata dan semantik, namun di dalam
komunikasi visual ekspresi dilakukan melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti:
25
penggunaan warna dan struktur komposisi yang menonjol. Bahasa visual belum
dipahami secara universal karena bahasa visual itu spesifik secara budaya, misalnya
komunikasi visual dalam dunia barat berbeda dengan dalam dunia timur.
Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai
sumber makna semiotik yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan
suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan
norma-norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan
juga bisa melalui kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-
nilai dan norma-norma dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak
langsung memengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu
masyarakat. Sebagai dampaknya nilai-nilai dan norma-norma kultural ini cenderung
untuk berubah secara terus menerus, apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka
sehingga batas-batas kultur, daerah, wilayah, dan negara menjadi tidak tampak.
Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa-
peristiwa kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotik karena
manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan
interaksi dan komunikasi agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi
tersebut. Supaya tanda itu bisa dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep
yang universal untuk menghindari salah pengertian.
Menurut Kress dan Van Leeuwen (1996:5) ada tiga aliran besar semiotik
yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain non-
26
linguistik sebagai sarana komunikasi di abad ini. Yang pertama adalah Aliran Praha
(Prague School) pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang dikembangkan oleh
pakar linguistik formalisme Rusia. Konsep yang menonjol diterapkan ke dalam
bahasa adalah bentuk fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk tujuan artistik,
pada kajian seni (Mukarovsky), teater (Honzl), sinema (Jakobson), dan kostum
(Bogatyrev). Setiap sistem-sistem semiotik dapat memenuhi fungsi komunikasi yang
sama (fungsi refensial dan fungsi puitis).
Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-
an dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer,
potografi (Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik
(Frenault-Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran
ini pada studi kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi,
juga dikatakan post-strukturalisme. Istilah-istilah semiotik “langue” dan “parole”,
signifier” dan “signified”, “arbitrary” dan “motivated”, “sign”, “icons”, “indexes”,
dan “symbols”, “syntagmatics” dan “paradigmatics.”
Aliran ketiga dinamakan semiotik sosial (social semiotics) yang
diperkenalkan oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori
Linguistik Sistemik Fungsional (SFL). Semiotik sosial ini diterapkan pada kajian
sastra oleh Threadgold, Thibault dan kawan-kawan, semiotik visual oleh O’Toole,
Kress, van Leeuwen, musik oleh van Leeuwen dan sarana semiotik oleh Hodge dan
Kress. Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan
27
lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi
seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut. Potensi arti
dalam proses belajar menciptakan sistem bahasa sebagai sistem sosial yang terdiri
atas struktur ideologi, budaya, situasi, semantik, leksikogramatika, dan fonologi/
grafologi.
Pendekatan semiotik sosial menurut Kress dan van Leeuwen (1996: 11)
menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan
partisipan untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada
konteks tertentu, kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal,
transparan kepada partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur
sosial yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini
mengakibatkan setiap partisipan memahami secara maksimal. Partisipan yang
mempunyai kekuasaan dapat memaksakan partisipan lain mengikuti interpretasi
yang kuat dengan pemahaman yang maksimal, sehingga partisipan tersebut mampu
melakukan atau menghasilkan pesan-pesan terbaik dengan usaha yang maksimal
untuk memberi interpretasi. Sebaliknya partisipan yang tidak mempunyai kekuasaan
harus bekerja keras untuk memahami pesan-pesan penting tersebut secara maksimal.
Yang kedua, representasi memerlukan pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk
ekspresi yang ada didalam pikiran mereka, membentuk pandangan apa yang menurut
mereka cocok pada tempatnya dan dapat dipercayai pada konteks yang diberikan.
28
Menurut Halliday (1978) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial. Sistem
semiotik bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur
konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial.
Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah
terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk,
juga merupakan semiotik. Terdapat tiga (3) hal penting sistem komunikasi bahasa
menurut Halliday (1985), yaitu metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual.
Metafungsi ideasional merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di
luar khususnya sebagai sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu
merepresentasikan objek dan hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai
sistem representasi. Metafungsi interpersonal menawarkan hubungan antara pencipta
tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks,
kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara internal maupun eksternal.
Tabel di bawah ini menjelaskan hubungan struktur semiotik situasi dengan
komponen fungsi semantik (Halliday, 1979: 143)
Semiotic structures associated with functional component of situation of semantics
field (type of social action) “ experientialtenor (role relationships) “ interpersonalmode (symbolic organization) “ textual
29
Prinsip semiotik sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna
semiotik baik berupa ungkapan verbal dan visual seperti imaji, tanda atau simbol,
seperti berikut:
1. Imaji yang terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi lukah
gilo tersebut
2. Pola semiotik (tanda atau simbol) yang terdapat pada mantera ritual lukah
gilo yang mencerminkan simbol gaib dan magis.
3. Tanda dan simbol digunakan pada ritual lukah gilo, untuk menjelaskan
praktik berbahasa pada masyarakat suku Bonai.
4. Ungkapan yang dituturkan oleh bomo sebagai mantera ritual lukah gilo.
Dalam menganalisis tradisi ritual LG ini akan digunakan teori semiotik
multimodal dan teori semiotik yang dikemukan oleh Charles Sanders Peirce. Semua
interaksi disebut multimodal. Setiap berinteraksi oral manusia secara otomatis
mendengar suara prosodik, intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling berpandangan
atau menatap, kita memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara. Seperti yang
dikemukakan Kress dan van Leeuwen:
During interaction, 1) you’re aware of your friends’ spoken language in order to hear the verbal choices, the content, the prosody and the pitch, 2) aware of facial expression, clothing, standing/sitting, nodding/leaning back or forward, 3) aware of environment where it takes place, etc. (Kress dan van Leeuwen, 2006: 177).
Teori semiotik multimodal lebih dikenal dengan nama analisis multimodal.
Analisis multimodal mengungkapkan representasi visual dan verbal bahasa dan
30
menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress
dan van Leeuwen (2006: 178) “multimodal texts”, i.e. “any text whose meanings are
realized through more than one semiotic code”. Analisis multimodal dapat
diintegrasikan dengan analisis kode semiotik bahasa misalnya dengan aspek
metafungsi bahasa untuk menjelaskan bagaimana gramatika dapat menjelaskan
ekspresi efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal
dalam teks multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada desain
visual tanda baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan
komunikasi lainnya. Semua aspek multimodal ini potensi menjadi sumberdaya
semiotik mendekorasi suatu komunikasi untuk menunjukkan potensi penguatan
wacana sebagai suatu semiotik sosial.
Menurut Sinar (2011, 2012) di dalam analisis multimodal, teks-teks dianalisis
dan dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal
tetapi juga teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat
pada iklan media cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis
kecenderungan analisis multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul
dalam teks dianalisis seluruhnya secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotik
kebahasaan maupun aspek dan unsur semiotik non-kebahasaan. Yang terakhir ini
lazim disebut sebagai aspek dan unsur yang dikategorikan sebagai “visual
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutukDengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayangYa Allah berikanlah keselamatan kepada MuhammadDan keluarga MuhammadYa Allah berikanlah keselamatan kepada MuhammadDan keluarga MuhammadAku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain AllahDan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah
Siyow wasak siyow wasiSepak dulu lukahYang kecil bernama lidiYang besar bernama lukah
Yang bergoyang pukul di atasSelanjutnya pukul di bawahBergoyang lukah sedikitMenyeberang ke jalan Allah
99
Kemaren berutang satuMelayang semuanyaIsi betul yang sebuahKemaren pandai tundukkan kepala
Gambar 30:
Pembacaan mantera dan pemanggilan roh oleh bomo (dokumen pribadi)
Dilihat dari materi mantera yang digunakan bomo pada aktivitas lukah gilo
ini, maka tampak benar bahwa mantera ini adalah ekspresi dari ajaran-ajaran Islam.
Di antaranya penggunaan mantera itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
(1) Yang pertama adalah awal doa atau pembukaan doa. Dalam tradisi agama
Islam untuk memulai suatu pekerjaan manusia diwajibkan untuk berdoa
karena Allah. Kata-kata yang lazim digunakan adalah seperti yang diucapkan
Setelah lukah bergerak secara perlahan, selanjutnya bomo membaca mantera
di atas untuk meminta roh menggerakan lukah semakin cepat. Dalam mantera ini,
bomo mengatakan bahwa roh bisa menggerakkan lukah ini dengan cepat karena
lukah gilo ini dibuat dari bambu tunggal yang merupakan tempat tinggal roh
tersebut. bomo juga mengatakan kepada roh, jika roh bisa mengerakkan lukah dan
mengikuti semua permintaannya, maka bomo akan mengucapkan rasa
135
terimakasihnya kepada roh yang telah membantunya membuat lukah bergerak dan
membantunya selama prosesi berlangsung.
136
BAB VI
KEARIFAN LOKAL PADA TRADISI LISAN RITUAL LUKAH GILO
Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang
didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam
sebuah budaya masyarakat tertentu. Kearifan lokal juga merupakan wujud tingkah
laku atau pikiran-pikiran manusia pada masyarakat tertentu dalam mengekspresikan
keinginan dan budaya mereka. Selain untuk mengeskpresikan pikiran-pikiran,
kearifan lokal juga merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperlihatkan
bagaimana sistem kehidupan suatu masyarakat dalam menjaga dan melestarikan
alam dan lingkungan sekitar yang merupakan urat nadi kehidupan mereka.
Dengan pesatnya perkembangan zaman dan perubahan ekonomi, sosial, dan
budaya, masyarakat suku Bonai masih memperlihatkan kuatnya kearifan lokal yang
mereka miliki demi mempertahankan identitas diri, kehidupan sosial, lingkungan,
pelestarian dan inovasi budaya. Masyarakat Bonai percaya bahwa pelestarian
kearifan lokal akan dapat menjaga warisan hutan, tanah, sungai, dan budaya
masyarakat suku Bonai dalam konteks masa kini. Upaya untuk memahami konsep
kearifan lokal dalam tradisi lukah gilo, merupakan ruang untuk memahami pikiran-
pikiran masyarakat suku Bonai yang berhubungan dengan lingkungan dan tata
137
hubungan sosial budaya masyarakat suku Bonai. Berikut ini akan diuraikan konsep
kearifan lokal masyarakat suku Bonai yang terdapat dalam mantera lukah gilo.
6.1 Kearifan Lokal tentang Hubungan Harmonis Manusia, Alam, dan Makhluk
Gaib
Di dalam kebudayaan suku Bonai yang kini telah beragama Islam, maka
mereka mencoba menerapkan ajaran Islam ini dalam konteks memaknai hubungan
antara manusia, alam, dan makhluk gaib. Manusia adalah bahagian dari alam.
Manusia itu juga kadang disebut dengan alam diri. Manusia harus menjaga
keharmonisan hubungannya dengan alam dan segala isi yang diciptakan Tuhan
termasuk makhluk gaib (tidak kasat mata).
Makhluk gaib yang di dalam ajaran Islam salah satunya disebut jin memang
wujud dan perlu dijaga hubungannya dengan manusia. Oleh karena itu bagi seorang
manusia Bonai dilarang merusak alam. Merusak alam juga akan berakibat akan
merusakkan tatanan dunia gaib, yang dihuni oleh para jin. Oleh karena itu jangan
sekali-kali merusak alam, termasuk di dalamnya hutan yang perlu dilestarikan.
Begitu juga dengan berbagai hasil hutan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia
seperti damar, kemenyan, madu, sayur mayur, dan berbagai hewan buruan untuk
lauk-pauk. Yang penting jaga keseimbangannya.
Bagi masyarakat suku Bonai, lingkungan merupakan urat nadi demi
keberlangsungan hidup mereka. Mereka tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya,
138
karena semua yang mereka butuhkan telah disediakan oleh lingkungannya. Sebagai
masyarakat nelayan dan berkebun, masyarakat suku Bonai memiliki hubungan yang
sangat erat dengan sungai, hutan, dan tanah.
Nilai-nilai kearifan lokal terhadap lingkungan yang terdapat pada prosesi
ritual LG, seperti sungai sebagai media tempat tumbuh bambu tunggal yang menjadi
bahan utama dalam pembuatan lukah. Kemudian sungai juga menyediakan air yang
digunakan untuk pelepas dahaga pada prosesi ritual lukah gilo dan juga menyediakan
ikan yang digunakan para bomo dan asisten bomo untuk lauk mereka makan. Mereka
tetap menjaga sungai mereka, agar dapat menjadi sumber penyedia bahan baku
pembuat lukah dan sebagai penopang kebutuhan mereka yang lainnya.
Selain sungai, masyarakat suku Bonai juga menganggap hutan dan tanah
sebagai tempat tumbuh bahan-bahan pendukung pembuatan lukah, yaitu rotan,
kemenyan, dan kayu terap yang kulit kayunya dijadikan pakaian torok bomo dan
asisten bomo. Selain menyediakan bahan-bahan pembuatan lukah, hutan dan tanah
juga menjadi tempat tinggal yang sangat baik bagi mereka. Di hutan dan tanahlah
mereka meletakkan semua kenangan serta harapan untuk keberlangsungan hidup
anak dan cucu mereka.
Namun, hutan dan tanah yang dimiliki masyarakat suku Bonai kini banyak
dikuasai secara perseorangan maupun perkelompok. Penguasaan hutan dan tanah ini
membuat kearifan lokal yang dimiliki masyarakat suku Bonai mulai terlupakan.
139
Hutan dan tanah masyarakat suku Bonai banyak mengalami perubahan alih fungsi.
Dahulu hutan dan tanah merupakan tempat tinggal bagi masyarakat Bonai, kini hutan
dan tanah yang mereka miliki telah berubah menjadi lahan perkebunan yang dimiliki
oleh masyarakat lain. Kini, masyarakat Bonai seperti menumpang di atas tanah yang
mereka miliki sendiri.
6.2 Kearifan Lokal Terhadap Identitas Diri
Bagi masyarakat Melayu Riau, masyarakat suku Bonai merupakan salah satu
masyarakat pedalaman yang memiliki tradisi dan budaya yang aneh dan unik, yang
salah satu tradisinya adalah LG.
Kegiatan lukah gilo ini, sebenarnya merupakan bahagian dari konsep alam
(kosmologi) suku Bonai dan suku Melayu. Bahwa manusia adalah bahagian dari
alam. Manusia perlu menjaga hubungan yang harmonis dengan alam sekitar, baik
yang tampak kasat mata ataupun yang gaib. Dalam kebudayaan suku Bonai, mereka
mempercayai adanya alam gaib yang dapat membantu manusia dalam berbagai hal,
seperti mengobati penyakit, menjaga rumah, menjaga lahan pertanian, dan lain-
lainnya.Melalui LG, masyarakat Bonai ingin menyampaikan bahwa ritual LG tidak
hanya dimiliki oleh suku Bonai saja, masyarakat terasing lainnya yang ada di
Provinsi Riau juga memiliki ritual LG dengan konsep dan prosesi yang berbeda.
Melalui ritual LG, masyarakat Bonai ingin memperlihatkan bentuk ritual LG yang
mereka miliki dan ingin menyampaikan bahwa inilah tradisi dan budaya mereka.
140
Selain memiliki tradisi dan budaya yang unik, masyarakat Bonai merupakan
masyarakat yang masih memiliki keyakinan dan kepercayaan kepada kekuatan
leluhurnya dan sebagai masyarakat pedalaman mereka memiliki tradisi, budaya, dan
keyakinan serta kepercayaan tradisional. Mereka menganggap bahwa mereka dan
masyarakat Melayu lainnya yang hidup dan tinggal di provinsi Riau sama-sama
percaya kepada keberadaan Allah Subhanawata’ala. Melalui mantera LG mereka
mencoba memperlihatkan kepada masyarakat Melayu lainnya, bahwa masyarakat
suku Bonai merupakan masyarakat Melayu biasa yang telah memeluk agama Islam.
A’uzubillahhiminasyaitonnirrojimBismillahhirrohmanirrahimAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAsyhadualaillahaillahWaasyhaduannamuhammadarrosulullah
BismillahhirrohmanirrohimSiyow wasak siyow wasiSipak ningsi ila lukahNan sonik mun namo lidiNan bosa mun namo lukah
Dari uraian mantera di atas, terlihat bahwa mantera yang digunakan
masyarakat suku Bonai untuk menggerakkan lukah telah menggunakan ucapan-
ucapan yang menyebutkan nama Tuhan. Pada mantera di atas, mereka juga
menjelaskan dan menetapkan diri sebagai seorang muslim. Meskipun, memiliki
tradisi dan budaya tradisional, tetapi mereka adalah seorang muslim yang
memadukan setiap tradisi dan budayanya dengan kepercayaan dan keyakinan yang
141
telah mereka anut, yaitu agama Islam. Selain untuk menetapkan identitas bahwa
mereka telah memiliki agama yaitu Islam, dengan mantera lukah gilo tersebut
mereka juga ingin memperlihatkan kepada masyarakat lain yang hidup
berdampingan dengan mereka, bahwa mereka sama dengan masyarakat lainnya.
6.3 Kearifan Lokal Terhadap Pelestarian Budaya
Kearifan budaya masyarakat suku Bonai pada hakikatnya berpangkal dari
sistem nilai dan religi yang dianut suku Bonai dalam komunitasnya. Ajaran agama
dan kepercayaan masyarakat suku Bonai menjiwai dan memberi warna serta
mempengaruhi citra budayanya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap tradisi dan
budayanya. Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada
masyarakat untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan tradisinya, sehingga
tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan budayanya.
Kearifan lokal yang terkandung dalam setiap bait mantera lukah gilo
merupakan sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan
berkembang pada masyarakat suku Bonai. Lukah gilo dapat dijadikan sebagai salah
satu unsur budaya masyarakat suku Bonai yang harus dipelihara dan diupayakan
untuk diintegrasikan menjadi budaya baru di daerah sendiri secara keseluruhan.
Pengembangan kearifan-kearifan lokal pada mantera ritual lukah gilo yang relevan
dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu budaya masyarakat
suku Bonai, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga
142
mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga
meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi
untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak
kehidupan masa sekarang.
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai, dinilai
dapat menjadi sebuah potensi kekayaan budaya daerah dan bahkan bisa menjadi
identitas diri bagi masyarakat suku Bonai. Kearifan masyarakat suku Bonai dalam
mengelola tradisi dan budayanya dapat disampaikan lewat media-media tradisional
seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung
pengetahuan religi, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi kosmologi dan agama
sebagai penyeimbang kehidupan. Bahkan uraian di atas memperlihatkan tiga elemen
kearifan budaya, yaitu sistem nilai, pengetahuan, dan religi.
6.4 Kearifan Lokal Terhadap Kesejahteraan Hidup
Setiap manusia ingin hidup sempurna dan sejahtera lahir batin, tidak
terkecuali juga bagi masyarakat suku Bonai. Tuntutan zaman yang membuat mereka
harus lebih giat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Keanekaragaman tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai, bagi
mereka dapat menjadi nilai dan potensi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
mereka. Salah satu tradisi dan budaya yang memiliki potensi untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka adalah tradisi lukah gilo. Dahulu, lukah gilo yang
143
merupakan suatu tradisi menangkap ikan di sungai dan sekaligus juga permainan
rakyat, kini dapat berubah menjadi sumber mata pencaharian baru bagi mereka untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup. Ini terlihat dari setiap mereka melakukan
pertunjukkan, pihak yang mengundang mereka selalu memberikan uang saku untuk
mereka setelah pertunjukkan selesai. Bila suatu instansi tertentu yang mengundang
mereka, maka bayarannya pun lebih banyak bila dibandingkan dengan pendapatan
dari mereka bekerja selama satu bulan. Apalagi sekarang pertunjukkan lukah gilo
yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai telah terkenal hingga ke negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura.
Dapat dikatakan bahwa pertunjukkan lukah gilo kini telah menjadi
pendapatan tambahan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tetapi
mereka tetap memegang teguh bahwa lukah gilo adalah tradisi dan budaya yang akan
tetap mereka jaga dan mereka pelihara kelestariannya.
144
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Ada banyak kategori sebutan nama untuk masyarakat suku Bonai yang hidup
dan tinggal di daerah aliran sungai Rokan Provinsi Riau. Ada beberapa pihak yang
menyebut masyarakat Bonai sebagai suku terasing, suku pedalaman, suku terisolir,
suku primitif, dan suku asli. Dari sekian banyak sebutan, masyarakat suku Bonai
tidak mau dikatakan dengan sebutan tersebut, mereka menganggap bahwa
masyarakat suku Bonai sama dengan masyarakat Melayu lainnya yang hidup
berdampingan dengannya.
Suku Bonai adalah salah satu suku terasing di kawasan Provinsi Riau, selain
suku lainnya yaitu Sakai, Talangmamak, Kubu, Orang Hutan, dan suku Laut atau
suku Akit. Masyarakat suku Bonai merupakan salah satu suku asli yang tinggal jauh
di pedalaman Sungai Rokan. Masyarakat ini sulit dijangkau dan terisolasi secara
sosial dan hidup dari hasil pertanian ladang berpindah-pindah, perikanan, dan
meramu. Masyarakat Bonai ini jauh dari sentuhan pembangunan pemerintah Provinsi
Riau, bahkan sebagian besar penduduk atau masyarakat Riau yang tinggal di luar
dari desa mereka tersebut tidak tahu siapa mereka ini.
Masyarakat suku Bonai merupakan masyarakat asli yang masih memegang
teguh tradisi dan budayanya. Walaupun masyarakat suku Bonai telah memeluk
145
agama Islam, masyarakat suku Bonai masih menjaga dan memperlihatkan kuatnya
aturan hukum adat, budaya, dan tradisi demi mempertahankan identitas sosial
mereka. Masyarakat suku Bonai menjaga dan mempertahankan budaya dan
tradisinya dengan cara menyatukan dan membawa budaya dan tradisi dalam
kehidupannya berdasarkan ajaran agama Islam. Menurut mereka dengan memadukan
keduanya, tradisi mereka tetap terpelihara tanpa meninggalkan agama yang telah
dianut.
Kepercayaan orang Bonai mengenai kuasa kata-kata magis untuk memanggil
makhluk halus, membuat orang Bonai mengganti ritual menjadi sebuah bentuk seni
yang unik dan asik untuk dilihat. Orang Bonai percaya, bahwa dengan menggunakan
nama Allah, SWT, ke dalam mantera-mantera, akan meningkatkan kekuatan
spiritualnya.
Seni pertunjukan lukah gilo yang tampak unik dan asli bagi orang luar adalah
salah satu sumber yang dimanfaatkan oleh orang Bonai untuk memperkenalkan
identitas mereka sebagai masyarakat Riau. Walaupun bentuk pementasan ritual lukah
gilo menampilkan keunikan dan keaslian tradisi dengan memperlihatkan keanehan
budaya masyarakat Bonai kepada masyarakat Melayu lainnya. Meningkatnya
interaksi masyarakat Bonai dengan masyarakat Melayu lainnya, mendorong
masyarakat Bonai untuk memberikan tradisi ritual lukah gilo mereka dengan cara
pertunjukan ritual untuk mendapatkan imbalan materi.
146
Tradisi lisan ritual lukah gilo yang dimiliki oleh masyarakat Bonai kini
mengalami perubahan, yaitu dahulu sebagai permaian rakyat yang hanya
diperuntukkan bagi masyarakat Bonai sendiri, kini telah mengalami transformasi
fungsi sebagai pertunjukan publik yang dapat menghasilkan tambahan materi bagi
masyarakat Bonai. Masyarakat Bonai menggunakan tradisi lisan lukah gilo yang
mereka miliki untuk mendukung pernyataan mengenai tradisi dan budaya Melayu
kepada masyarakat Melayu lainnya.
Ritual lukah gilo akan terus dipertunjukan sebagai alat revitalisasi tradisi dan
budaya, dan memberikan model tradisi dan budaya untuk memahami dan memaknai
pemahaman orang Bonai mengenai perubahan sosial dan interaksi dengan
masyarakat Melayu lainnya.
7.2 Saran
1. Diharapkan pemerintah daerah dan pusat lebih memperkenalkan masyarakat
suku Bonai ke masyarakat lainnya, agar masyarakat Melayu lainnya
mengetahui keberadaan masyarakat suku Bonai.
2. Diharapkan kepada pemerintah daerah dan pusat di mengganti lahan hutan
menjadi lahan perkebunan, karena hutan merupakan tempat tinggal bagi
masyarakat suku Bonai
147
3. Diharapkan kepada masyarakat suku Bonai dan pemerintah daerah untuk
tetap menjaga dan melestarikan ritual lukah gilo agar tetap dikenal dunia
nasional maupun internasional.
148
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku, Jurnal, Surat Kabar, Artikel, dan Sejenisnya
Amanriza, Ediruslan Pe, et al. 1989. Koba Sastra Lisan Orang Riau (dalam Dialek Daerah Rokan Hilir). Pekanbaru: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Riau.
Amri, Yusni Khairul. 2011. Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Tesis).
Christomy, Tommy, et al. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Daud, Haroon. 2001. Mantera Melayu. Pulau Pinang: University Sains Malaysia.
Denzin, Norman K, and Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Direktorat Bantuan Sosial. 2005. Kajian Kearifan Lokal di 8 (Delapan) Provinsi. Jakarta: Departemen Sosial RI.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. United Kingdom: Cambridge University Press.
Goffman, Erving. 1981. Forms of Talk. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Halliday, M.A.K. et al., 1986. Semiotics Ideology Language. Australia: Sydney Association for Studies in Society and Culture.
Hamidy, UU. 1991. Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI. Pekanbaru: Zamrad.
Hamidy, UU. 1992. Pengislaman Masyarakat Sakai oleh Tarekat Naksyabandiyah Babussalam. Pekanbaru: UIR Press.
Hamidy, UU. 1999. Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau. Pekanbaru: Universitas Lancang Kuning Press.
149
Hamidy, UU. 2009. Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan. Pekanbaru: UIR Press.
Hodges, Robert, dan Kress Gunther. 1999. Sosial Semiotik (Edisi Ringkas). Padang: Breeuw Print.
Jalil, Adul dan Rahman, Elmustian. 2001. Puisi Mantra. Pekanbaru: Universitas Riau.
Kang, Yoonhee. 2005. Untaian Kata Leluhur Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi di Kalangan Orang Petalangan Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Riau.
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta.
Kress, G dan van Leeuwn, T. 1996. Reading Images-The Grammar of Visual Design. London: Routledge.
Kress, G. 2000. Multimodality: Challenges to Thinking about Language. TESOL Quarterly, 34, 337-340.
Martin, J.R dan Rose, David. 2003. Working with Discourse. London: Continuum.
Nazir, Mohd. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Pudentia, MPSS. 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Rahardiansah, Trubus. 2011. Transformasi Nilai Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Bangsa: Dialektika Pentingnya Pendidikan Berbasis Local Genius. Jakarta: Universitas Trisakti.
Rahman, Elmustian, dkk. 2009. Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
Royce, Terry D. 2007. “Multimodal Communicative Competence in Second Language Contexts” dalam New Directions in the Analysis of Multimodal Discourse. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Publishers.
Saragih, Amrin. (2009). Semiotik Bahasa. Bahan Ajar Perkuliahan Semiotik Program Studi Linguistik USU. Medan.
150
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka.
Sartini, Ni Wayan. 2011. Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. Surabaya: Jurnal on-line Unair.
Sibarani, Robert. 2011. Nilai-nilai Kearifan Lokal. Medan: Bahan Ajar Perkuliahan Metode Tradisi Lisan Program Studi Linguistik USU.
Sinar, T Silvana. 2010. Teori & Analisis Wacana, Pendekatan Linguistik Sistemik-Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Sinar, T Silvana. 2011. Mitos Cerita Rakyat. Medan: USU Press.
Sinar, T Silvana. 2011. Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara. Medan: USU Press.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Bali: Pustaka Larasan bekerjasama dengan Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana.
Subyantoro, Arief, dan Suwarto, FX. 2006. Metode & Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.
Syafa’at, Rachmad, et.al. 2008. Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal. Malang: In-TRANS Publishing.
Syuropati, A. Mohammad. 2011. Teori Sastra Kontemporer & 13 Tokohnya (Sebuah Perkenalan). Yogyakarta: IN AzNa Books.
Triswanto, Sugeng D. 2010. Trik Menulis Skripsi & Menghadapi Presentasi Bebas Stres, Lengkap dari A sampai Z. Yogyakarta: Tugu Publisher.
Yunita, Erni. (2011). Analisis Semiotik Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara.
151
Medan: Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara. Tesis.
Zoest, Aart van. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
b. Internet
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Semiotik.pdf, diunduh 3 Maret 2012
hhtp://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifanlokal.pdf), diunduh 15 Maret 2012
(http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41), diunduh 17 April 2012
(http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud 2.html), diunduh Desember 2011
Alamat : Desa Ulak Patian Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu
1. Bagaimana sejarah awal masyarakat suku Bonai?2. Bagaimana asal usul dan sejarah nama Bonai?3. Bagaimana kehidupan orang Bonai?4. Kapan awal mula masyarakat Bonai memeluk Islam?5. Apa mata pencarian orang Bonai?6. Apa saja kesenian yang dimiliki orang Bonai?7. Sudah berapa lama Bapak menjadi bomo?8. Bagaimana awal mulanya menjadi seorang bomo?9. Apa saja syarat untuk menjadi seorang bomo?10. Selain jadi bomo, apa pekerjaan Bapak yang lainnya?11. Bagaimana awal mula permainan rakyat lukah gilo?12. Apa saja persyaratan yang diperlukan untuk pembuatan lukah?13. Apa saja perlengkapan dan peralatan untuk membuat sebuah lukah?14. Bagaimana cara memainkan lukah gilo?15. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi pada saat pertunjukkan lukah gilo
dimulai?16. Bolehkah kami mengetahui mantera ritual lukah gilo tersebut?17. Ada tidak perbedaan mantera lukah gilo orang Bonai dengan orang Sakai?18. Bagaimana syarat untuk menjadi asisten bomo?
153
DAFTAR PERNTANYAAN KHUSUS MASYARAKAT
Nama Informan :
Usia :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
1. Apakah saudara asli orang Rokan Hulu?2. Apakah anda mengetahui tentang masyarakat suku Bonai?3. Bagaiamana pandangan anda terhadap masyarakat suku Bonai tersebut?4. Apakah anda pernah berkomunikasi dengan masyarakat suku Bonai?5. Apakah anda mengetahui permainan lukah gilo?6. Bagaimana menurut anda tentang lukah gilo tersebut?7. Apakah anda pernah menyaksikan dan memegang langsung lukah yang
sedang bergerak tersebut?8. Apakah pernah terniat dihati anda untuk menjadi seorang bomo atau asisten
bomo lukah gilo?9. Apa pekerjaan anda?10. Apabila anda disuruh menjadi murid dari bomo yang menguasai ritual lukah