BANTUAN BANK DUNIA DALAM PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA (STUDI KASUS: UNIVERSITAS HASANUDDIN) OLEH: HASRUL EKA PUTRA E13107055 Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
301
Embed
repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4056... · Web viewLembaga-lembaga ini juga bertindak sebagai “pengawas” dan “pendorong” globalisasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BANTUAN BANK DUNIA
DALAM PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
(STUDI KASUS: UNIVERSITAS HASANUDDIN)
OLEH:
HASRUL EKA PUTRA
E13107055
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa,
Pada suatu ketika yang lama tlah kita ketahui.
[Gie]
Rasanya baru kemarin saya menonton film “Gie” untuk pertama kali saat masih
cepak-cepak tai cicak. Di bagian terakhir film nihilist-romantik itu, bait di atas
terdengar sederhana namun begitu pas untuk menjadi semacam ayat penutup yang
membuka kata pengantar ini. Bagian yang ketika menulisnya membuat saya sadar
bahwa bahwa penjelajahan kehidupan mahasiswa saya telah ‘resmi’ berakhir.
Selamat tinggal kampus. Adios skripsi.
Dan seperti lazimnya sebuah pengantar, saya ingin menuliskan beberapa ucapan
buat mereka yang membuat saya mencintai kehidupan—sembari mempersiapkan
kematian.
: Kepada dua malaikat, Frenis Kau dan Ningsih Nasadie, yang selalu berhasil
menghujani saya dengan pertanyaan “kapan ujian, nak?”. Demi mereka gelarku
ku berikan. Bercerita lebih banyak tentang mereka hanya akan membuat tangan
dan mata saya tak henti bergetar. Sadar bahwa saya belum melakukan apa-apa
untuk Kedua Pintu Surga itu. Penuh takzim buat kalian.
i
Kakek dan Nenek yang membuat ku tidak pernah kehilangan panutan. Tidak
pernah kehilangan keikhlasan dan rasa rindu. Kalian adalah pencipta masa kecil.
Mungkin dengan karya ini kalian bisa melihat bahwa cucu mu ini telah tumbuh
dewasa.
Buat sahabat-sahabat dengan mimpinya masing-masing. Buat Willy, Agil, Gina,
Ika, Noe, Gadis, Debon, dan Indri. Kalian selalu menjadi tempat pulang yang
penuh dengan kegilaan masa remaja.
Buat rumah kecil HIMAHI FISIP Unhas yang mengajariku segala hal. Senior-
senior keren dan junior-junior yang selalu memaksaku untuk terus mencintai
tempat ini. Hidupku akan sangat berbeda tanpa rumah ini. Saya sering tertawa
mengingat diriku yang dulu: seorang maba jabe yang sering lari-lari dari
pengkaderan. Sungguh merugi mereka yang tidak menjadi besar dengan rumah
ini. Sungguh menyia-nyiakan diri menjadi (seperti selalu dibangga-banggakan
para senior): anak HI. “Salam kreativitas” untuk semua angkatan yang pernah
bersua dengan saya di rumah kecil ini.
Terkhusus untuk Pengurus periode 2009-2010, buat sekretaris, dua bendahara,
para koordinator yang heboh-heboh, anggota kepengurusan, dan UKH-UKH yang
membantu saya dengan segala cara untuk menunaikan amanah itu. Saya selalu
merasa berhutang buat kalian. Entah harus membayarnya dengan cara bagaimana.
ii
Juga teruntuk teman-teman Empire 07 yang tidak perlu ku sebut nama-
namanya.Saya tahu saya bukan ketua angkatan yang baik, maka melalui tulisan ini
saya mengajukan pengunduran diri. Atau, jika kalian masih mau saya menjadi
ketua angkatan. Saya ingin mengajukan usulan kenaikan tunjangan. Sudah lima
tahun tunjangan saya tidak naik-naik. Meski begitu, terima kasih untuk kenangan-
kenangan dan ketenangan-ketenangannya. Saya tetap mencintai kalian meski
banyak dari kalian yang sudah mendahului saya untuk skripsi dan menikah.
Untuk sahabat-sahabat angkatan yang selalu membuatku merasa memiliki
ADB : Asian Development Bank – Bank Pembangunan Asia
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
AS : Amerika Serikat
AusAID : Australian Agency for International Development
BAN : Badan Akreditasi Nasional
BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BDP FKIP : Budi Daya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan
BHMN : Badan Hukum Milik Negara
BHP : Badan Hukum Pendidikan
BLU : Badan Layanan Umum
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CAS : Country Assistance Strategy
Depdikbud : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Dikti : Direktorat Pendidikan Tinggi
Ditjen : Direktorat Jendral
DPT : Dewan Pendidikan Tinggi
DUE : Development of Undergraduate Education
EFA : Education for All
FAO : Food and Agricultural Organization
GATS : General Agreement on Trade and Service
HELTS : Higher Education Long Term Strategy – Strategi Jangka Penjang
Pendidikan Tinggi
xvi
HI : Hubungan Internasional
IBRD : International Bank for Reconstruction and Development
ICT : Information Communication and Technology
IDA : International Development Agency
IGGI : Inter-Governmental Group on Indonesia
IMF : International Monetery Fund
IMHERE : Improvement of Management and Higher Education Reform
ISO : International Standard Organization
IT : Informasi Teknologi
JIPD : Japan Bank for International Development
JNS : Jalur Non-Subsidi
JPPB : Jalur Pemanduan Potensi Belalar
KBK : Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kemendikbud : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemendiknas : Kementrian Pendidikan Nasional
Kepmen : Keputusan Menteri
KPPT-JP : Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang
KTI : Kawasan Timur Indonesia
LMS : Learning Management System
MBS : Manajemen Berbasis Sekolah
MK : Mahkamah Konstitusi
MPS : Marginal Propensity to Save
ODA : Overseas Development Assistance
xvii
OECD : Organization for Economic Co-operation and Development
OPM : Operational Procedure Manual
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PHK : Proyek Hibah Kompetisi
PIP : Pola Ilmiah Pokok
PMA : Penanaman Modal Asing
PNS : Pegawai Negeri Sipil
POSK : jalur Prestasi Olahraga Seni, dan Keilmuan
PP : Peraturan Pemerintah
PRSP : The Poverty Reduction Strategy Paper
PTN : Perguruan Tinggi Negeri
PTS : Perguruan Tinggi Swasta
PUO : Program for University Development Cooperation
QUE : Quality of Undergraduate Education
Renstra : Rencana Strategis
REPELITA : Rencana Pembangunan Lima Tahun
Rp. : Rupiah
RSBI : Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
S1 : Strata Satu
S2 : Strata Dua
S3 : Starta 3
SBI : Sekolah Bertaraf Internasional
SCL : Student Center Learning
xviii
SDM : Sumber Daya Manusia
SIAKAD : Sistem Informasi Akademik
SIM : Sistem Informasi dan Manajemen
SINPT : Sistem Informasi Nasional Pendidikan Tinggi
Sisdiknas : Sistem Pendidikan Nasional
SK : Surat Keputusan
SKS : Sistem Kredit Semester
SNMPTN : Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
SP4 : Sistem Pendanaan dan Perencanaan Program
SPP : Sumbangan Pembinaan Pendidikan
TNS : Transnasional State Aparatus
TPSDP : Technological and Professional Skills Development Sectors
Project
TRIPS : Trade Related Intellectual Property Rights
UMB : Ujian Masuk Bersama
UNESCO : United Nation Educational, Scientific, Cultural Organization
Unhas : Universitas Hasanuddin
UPT : Unit Pelaksana Teknis
URGE : University Research for Graduate Education
US$ : U.S. Dollar /Dolar AS
USAID : U.S. Agency for International Development
UT : Universitas Terbuka
UU : Undang-Undang
xix
WHO : World Health Organization
WTO : World Trade Organization
xx
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bantuan luar negeri merupakan inovasi politik di abad dua puluh. Belum
pernah ada sebelumnya dimana negara-negara kaya menyalurkan sumber daya
finansial mereka ke negara-negara miskin, secara unilateral dan tanpa saling balas.
Pasca Perang Dunia II, bantuan luar negeri telah menjadi alat yang digunakan oleh
aktor negara dalam menjalankan hubungan luar negerinya. Tercatat sejak akhir
1940-an, alokasi dana dari negara-negara maju untuk kerjasama-kerjasama
pembangunan telah mencapai sekitar 1 triliun Dollar.1 Jika dikalkulasikan jumlah
bantuan dari berbagai pemerintah donor ke pemerintah penerima, dari lembaga
internasional dan lembaga-lembaga non-pemerintah di seluruh dunia, tercatat total
bantuan yang tersalurkan selama tahun 2004 saja sudah bernilai 100 milyar Dolar
AS dan sejak tahun 1960 sampai 2004 telah mencapai 1,6 triliun Dolar AS.2
Tentu saja, distribusi modal tersebut tidak disalurkan tanpa maksud dan
syarat apa-apa. Menurut Steven Radelet dan Ruth Levine, pasca perang dingin,
bantuan luar negeri digunakan sebagai raison d’ếtre dan dukungan politis untuk
negara-negara pendonor.3 Dalam terminologi ekonomi-politik internasional pun,
bantuan luar negeri telah begitu mengakar sebagai pilar hubungan negara utara-
1 Jean-Philipe Therien, Debating Foreign Aid: Right versus Left, 2002, Third World Quartly, Vol, 23, No.2, hal. 449.2 Alain Noel Pratt dan Jean-Philippe Therein melalui Lancaster, Carol, Foreign Aid : Diplomacy, Development, Domestic Politics, 2007, London: The University Chichago Press, hal 2.3 William Easterly (ed), Reinventing Foreign Aid, 2008, Cambridge: The MIT Press, hal. 431.
1
selatan yang telah dianggap lazim sebagai bagian integral dalam hukum
internasional.4
Negosiasi dan transaksi bantuan luar negeri ini melibatkan berbagai aktor
dan lembaga serta mengambil tempat secara bersamaan pada berbagai tingkatan
dari bilateral, multilateral, dan platform non-pemerintah. Pada tingkat multilateral,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank dunia dan Dana Moneter Internasional
(IMF) merupakan lembaga donor yang paling penting.5 Negara-negara maju
menggunakan organisasi-organisai multilateral tersebut sebagai “jembatan” dalam
menyalurkan modal dengan banyak bentuk (seperti bantuan, hutang, dan hibah) ke
negara-negara miskin dan berkembang. Dalam pelaksanaannya, IMF dan Bank
Dunia tidak hanya bertindak sebagai jembatan dalam mekanisme transfer
pendanaan, lembaga-lembaga internasional ini juga aktif terlibat dalam
pengambilan keputusan baik bagi negara donor maupun recipient atau penerima.6
Lembaga-lembaga ini juga bertindak sebagai “pengawas” dan “pendorong”
globalisasi yang didominasi oleh korporasi-korporasi di mana terdapat
“penurunan kekuatan politik nasional” atau melemahnya negara atas pasar.7
Di Indonesia, kiprah bantuan luar negeri dalam pendanaan pembangunan
tidak dapat dilepaskan begitu saja. Saat-saat awal Orde Baru berkuasa, sepertiga
pendapatan negara diperoleh dari dana hibah dan pinjaman luar negeri negara-
4 Lihat Stephen Zamora, 'Economic Development', dalam Christopher C. Joyner (ed), The United Nation and International Law, 1997, Cambridge: Cambridge University Press, hal. 264.5 Lihat penjelasan mendalam tentang Official Development Assistance (ODA) dan perannya dalam pembangunan, penanggulangan kemiskinan, dan kondisi regional dalam Christian Schabbel, The Value Chain of Foreign Aid, 2007, New York: Physica-Verlag Heidelberg, hal. 14 6 Lihat William Easterly (ed), Reinventing Foreign Aid, 2008, Cambridge: The MIT Press, hal. 2867 Teeple, Gary, “What is Globalization?” dalam Stephen McBride dan John Wiseman, (eds.), Globalization and its Discontents, 2002, Basingstoke: Macmillan, hal. 17.
2
negara Barat dan Jepang. Pada dekade 1990-an terjadi peningkatan yang sangat
tajam dalam hutang luar negeri Indonesia. Di penghujung kekuasaannya pada
1998, jumlah hutang pemerintah Indonesia mencapai 150 Miliyar Dollar AS.8
Setelah Orde Baru tumbang, arus reformasi yang terjadi di Indonesia tidak
hanya mengubah orientasi sistem perekonomian dan tata negara. Perubahan
terjadi di hampir segala bidang dalam negara. Sistem politik, sistem
pemerintahan, kebebasan pers, hingga menyentuh sektor strategis yang
merupakan public needs seperti air, listrik, kesehatan dan pendidikan. Terkhusus
dibidang pendidikan, reformasi besar-besaran dilakukan oleh pemerintah pasca-
Orde Baru. Reformasi tersebut mencakup dua hal utama yakni: reformasi
paradigma pendidikan tinggi nasional dan desentralisasi sistem pendidikan
nasional dalam rangka relevansi dan perbaikan kualitas. Refomasi ini secara legal
akhirnya disahkan ke dalam bentuk undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas (Pasal 53) ini
kemudian diturunkan ke dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU
BHP) sebagai lex specialis yang menjadi pijakan untuk proyek privatisasi
pendidikan di Indonesia.
Dalam konteks perumusan konsep BHP ini, setidaknya terdapat 3 (tiga)
cara pandang yang digunakan oleh pemerintah. Pertama, pendidikan berbasis
masyarakat, dalam arti bahwa peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan
ditekan seminim mungkin dan muncul peran lebih dari masyarakat atau pihak
8 Laporan International Crisis Group Asia No. 15 Jakarta/Brussel dalam International Crisis Group, “Kredit Macet: Politik Reformasi Keuangan Indonesia”, 13 Maret 2001.
3
swasta dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Kedua,
lembaga penyelenggara pendidikan bersifat nirlaba dimana kampus diberi
keleluasaan melakukan pencarian dana dengan prinsip-prinsip ekonomi layaknya
korporasi. Akhirnya, ketiga, sedikit demi sedikit negara berlepas tangan dari
kewajibannya untuk “mencerdaskan bangsa”. Paradigma ini menggeser peran
pemerintah dari perannya sebagai operator pendidikan menjadi sekedar fasilitator
pendidikan saja.
Penolakan dan kritik begitu masif dilakukan oleh masyarakat. Puncak
penolakan itu adalah dianulirnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam
putusannya, MK menyatakan bahwa materi dan substansi UU BHP bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar. Sejak Maret 2010, UU BHP tidak lagi memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Hingga penelitian ini dilakukan, polemik
perundangan sistem pendidikan nasional tidak pernah sepi dari diskursus
akademis, praktisi, dan para pengambil kebijakan. Apalagi jika dibenturkan
dengan kualitas pendidikan nasional, biaya pendidikan, dan daya jangkau
masyarakat yang semakin senjang, maka masalah pendidikan dengan semua
kebijakan yang melingkupinya menjadi sangat relevan dan urgen untuk diangkat.
Terkait kondisi faktual pendidikan Indonesia, walaupun anggaran
pendidikan pada tahun 2010 mencapai Rp. 195,6 triliun, namun kualitas
pendidikan Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara Asia
Tenggara lainnya.9 Dalam laporan Education for All (EFA) Global
Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO dan diluncurkan di New
9 Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, 2011, Yogykarta : Ar-Ruzz Media, hal. 88.
4
York pada Maret 2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia hanya berada
pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Posisi ini berada dibawah
Malayasia (65), Brunai Darussalam (34), atau Kuba yang berada di posisi 14.10
Fakta lain dari data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa Angka Partisipasi
Sekolah (APS) Indonesia untuk penduduk dengan umur 19-24 tahun hanya
berkisar di 12.72 pada tahun 2009 dan 13.77 di tahun 2010.11 Angka partisipasi
sekolah yang rendah ini merepresentasikan tingkat keterjangkuan masyarakat
Indonesia terhadap pendidikan yang sangat rendah. Salah satu penyebabnya
karena biaya masuk pendidikan tinggi yang semakin hari semakin tidak
terjangkau.
Kebutuhan akan perbaikan sistem pendidikan ini harus berhadapan dengan
ketersedian dana APBN untuk pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) yang
sangat terbatas. Padalah, secara internasional, sektor pendidikan merupakan salah
satu sektor yang paling diminati oleh negara-negara pemberi hutang (kreditur).
Negara-negara kreditor seperti AS, Belgia, Belanda, Jepang, Jerman, Perancis,
dan Swiss adalah negara-negara yang paling banyak mengivestasikan dananya
untuk sektor pendidikan di Indonesia. Kreditor hutang untuk pendidikan ini
masuk melalui mekanisme, persyaratan, dan tenggat pengembalian hutang yang
bervariasi.
10 UNESCO, The Education for All Development Index 2011 diunduh melalui http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/efareport/reports/2011-conflict/ pada 23 Desember 2011.11 “Indikator Pendidikan Tahun 1994 – 2010” dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1 diakses pada 12 Desember 2011.
sistem pendanaan dan pengelolaan dengan menerapkan mekanisme hibah
kompetisi ke dalam enam proyek besar untuk pendidikan tinggi yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi institusi (proyek DUE, QUE, DUE-
like, TPSDP) serta untuk menciptakan peningkatan kapasitas internal (seperti
pada proyek Semi-QUE dan SP4).
Di tahun 2004, Bank Dunia mengelontorkan dananya untuk mendanai
program Improvement of Management and Higher Education Reform (IMHERE)
dan Program Hibah Kompetisi (PHK) bagi departemen atau program studi sesuai
dengan “level” institusinya. Proyek IMHERE ini berisi program-program yang
berdampak langsung pada perubahan dan perombakan sistem pendidikan tinggi
nasional dan tata kelola pendidikan tinggi di universitas. Oleh karenanya proyek
IMHERE inilah yang akan menjadi titik fokus dari penelitian ini. Penelitian ini
bermaksud meninjau secara deskriptif-analistis untuk menganalisis mekanisme
implementasi bantuan tersebut pada institusi pendidikan tinggi, khususnya
Universitas Hasanuddin. Dari pelaksanaan program yang dijalankan, penelitian ini
akan menganalisis dampak dari bantuan Bank Dunia ini terhadap kebijakan
pendidikan di Indonesia secara dan Universitas Hasanuddin secara khusus.
Dari 85 perguruan tinggi di Indonesia, melalui studi kasus penelitian ini
mengambil Universitas Hasanuddin yang berlokasi di Makassar, Sulawesi Selatan
sebagai kasus dan fokus analisa. Universitas Hasanuddin (Unhas) dipilih dengan
beberapa alasan dan pertimbangan, yakni:
1. Unhas merupakan universitas yang termasuk dalam jajaran universitas
terbesar di Indonesia. Dari sekitar 48 juta orang mahasiswa di
8
Indonesia, Unhas menampung sejumlah 25.949 orang mahasiswa
dalam segala tingkatan strata.14 Dengan kapasitas ini membuat Unhas
sering dijuluki dengan “kampus terbesar di Kawasan Indonesia Timur
(KTI)”.
2. Unhas mewakili karakteristik pendidikan timur karena secara geografis
Unhas berlokasi di provinsi terbesar di wilayah timur Indonesia. Unhas
juga merupakan Univesitas terbesar di Kawasan Timur Indonesia baik
secara jumlah mahasiswa maupun sarana dan fasilitasnya. Faktanya
saat ini Unhas telah menjalankan proyek bantuan luar negeri baik baik
secara University to University, University to Government, maupun
melalui mekanisme hubungan kerjasama multilateral melalui lembaga-
lembaga seperti Bank Dunia. Hingga tahun 2011, tercatat kerjasama
internasional Unhas diseluruh dunia mencapai 79 kerjasama
internasional.15
3. Unhas merupakan Universitas yang menjadi proyek awal pengelolaan
pendidikan pasca-UU BHP, yakni BLU. Unhas termasuk dalam 43
Pendidikan Tinggi yang dipilih oleh direktorat pembinaan dan
pengelolaan keuangan BLU pada tahun 2009. Model pengelolaan ini
menjadi salah satu model pengelolaan yang belum banyak diterapkan
di Indonesia.
14 Data dan Informasi Unhas Tahun 2010 diunduh melalui http://unhas.ac.id/dataunhas/Ixan/Data%20dan%20Informasi%20Unhas%20Tahun%202010/b.%20AKADEMIK/ pada 12 Desember 2011.
15 Kerjasama Internasional Universitas Hasanuddin, slide presentasi Dwia Aries Tina P., 2012.
4. Unhas merupakan salah satu universitas di Indonesia yang berhasil
menerima bantuan program IMHERE yakni IMHERE Komponen B.1
(Improvement of Social Quality and Social Responsibilty) untuk
jurusan Farmasi dan Budidaya Perikanan serta program IMHERE
Komponen B.2.a (Strengthening Institutional Management in
Autonomous Public Education Institution) digunakan untuk perbaikan
manajemen mutu yang sehat bagi universitas.
Untuk keperluan fokus analisis, penelitian ini juga mengambil fokus
periodeisasi data untuk dianalisis yakni tahun 2006 hingga tahun 2010. Tenggat
periode ini diambil sehubungan dengan periodeisasi rencana strategis Unhas
2006-2010 dalam kepemimpinan rektor Idrus A. Patturusi. Dalam periode ini
pula, terjadi beberapa perubahan-perubahan fundamental dalam kebijakan
nasional pendidikan tinggi di Indonesia karena dalam tenggat masa ini, GATS
(General Agreement on Trade and Service) yang termaktub dalam PP no. 77
tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka sudah mulai diberlakukan secara efektif. Adapun data lain yang diambil
sebelum tahun 2006 merupakan data suplemen sebagai bahan komparasi dan
referensi dalam menganalisa.
3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan dan batasan yang telah dijelaskan di
atas, maka karya ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
dirumuskan sebagai berikut:
10
1. Bagaimana implementasi bantuan Bank Dunia di Indonesia khususnya di
Universitas Hasanuddin?
2. Bagaimana dampak dari bantuan Bank Dunia terhadap kebijakan
pendidikan di Universitas Hasanuddin?
4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
4.1. Tujuan penelitian
Sebagai sebuah karya akademik penelitian ini memiliki tujuan-tujuan yang
hendak dicapai, yakni:
1. Untuk memahami bagaimana bantuan luar negeri dalam bidang
pendidikan tinggi diimpelementasikan dalam struktur kebijakan di
Indonesia secara khusus di Universitas Hasanuddin.
2. Untuk memahami apa akibat dari implementasi proyek IMHERE yang
didanai oleh Bank Dunia terhadap penentuan arah kebijakan dan
operasionalisasi pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya di Universitas
Hasanuddin.
4.2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memilki manfaat praktis dan kegunaan akademis:
1. Penelitian ini dapat menjadi rujukan akademis atas evaluasi
implementasi bantuan luar negeri Bank Dunia dalam pendidikan tinggi
di Indonesia, khususnya di Universitas Hasanuddin
11
2. Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih konperhensif dan
paradigmatik secara keilmuan HI tentang permasalahan pendidikan
tinggi yang mana hal ini bersentuhan secara langsung dengan civitas
akademika
3. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengevaluasi dan meninjauarah kebijakan pendidikan tinggi Indonesia
dengan memberikan dimensi analisis nilai.
5. Kerangka Konseptual
Dalam menganalisis permasalahan tentang bantuan Bank Dunia di Unhas
ini maka penelitian ini menggunakan kerangka berpikir strukturalis yang melihat
hubungan variable ini sebagai pola hubungan struktural dimana perilaku aktor
(dalam hal ini pemerintah dan pengambil kebijakan di Unhas) dipengaruhi oleh
struktur ekonomi-politik global yang membawa agenda-agenda tertentu. Untuk
menjelaskan agenda-agenda tersebut, maka penelitian ini menggunakan beberapa
konsep dalam kajian Hubungan Internasional, yakni:
5.1. Neoliberalisme
Studi Hubungan Internasional kontemporer mengakui keterkaitan yang
antara politik dan ekonomi. Di samping itu, diakui pula bahwa perilaku
internasional bertolak dari politik domestik, dorongan ekonomi domestik, dan
tujuan internasional dari elit ekonomi dominan di negara yang bersangkutan. Itu
sebabnya sejak satu dasawarsa lalu para ahli mulai menelaah konsep ekonomi
12
politik global sebagai sebagai salah satu unsur hubungan internasional yang paling
mendasar.16
Suatu negara bisa saja mengabaikan motif keuntungan dan menggunakan
kebutuhan ekonomi atau ketergantungan ekonomi negara lain untuk memperluas
pengaruh politiknya, baik melalui perdagangan yang dilakukan langsung oleh
pemerintah ataupun melalui peraturan yang ditetapkan pada hubungan dagang
swasta internasional. Holsti, dalam bukunya International Politics: A Framework
for Analysis, membuat suatu kerangka analisis instrumen perdagangan dalam
kerangka politik luar negeri yang biasanya dilakukan dengan tiga maksud, yaitu :
a) Mencapai sasaran luar negeri dengan mengeksploitasi kebutuhan dan
ketergantungan ekonomi dan mengajukan imbalan ekonomi, atau melakukan
ancaman menerapkan sanksi ekonomi; b) Meningkatkan kapabilitas negara, atau
meniadakan potensi kapabilitas negara lawan; dan c) Menciptakan satelit ekonomi
(yaitu, dengan jaminan pemasaran dan sumber persediaan) atau membantu
mempertahankan ketaatan politik negara-negara satelit atau menciptakan “ruang
pengaruh” dengan membentuk hubungan ketergantungan ekonomi.17 Disini Holsti
melihat bahwa motif ekonomi menjadi faktor yang determinan dalam hubungan
antar-negara.
Lebih jauh, dalam kajian ekonomi-politik, pertarungan klasik antara
kekuatan negara dan pasar terus mengalami gesekan beserta perubahan-
perubahannya yang fundamental dalam masyarakat dan dunia. Terakhir, pasca
16 Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi Politik Internasional dan Tatanan Dunia, 1993, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 248.
17 Holsti, Politik Internasional Suatu Analisis, Bandung: Bina Cipta, 1987, hal. 303.
13
dianggap gagalnya model developmental state, model neoliberal menemukan
momentumnya.18 Neoliberalisme hadir sebagai koreksi terhadap sistem
developmentalism ala Keynes yang dianggap gagal menyelamatkan negara-negara
industri maju dari krisis, inflasi tinggi, dan pertumbuhan ekonomi rendah di era
1970an.19 Neoliberalimse membawa ekspektasi yang tinggi dan sangat optimistik
terhadap kebebasan individu. Ekspektasi dan optimism tersebut tercermin dalam
doktrin neoliberalisme yang percaya bahwa 1) pengembangan kebebasan individu
harus dimaksimalkan untuk bersaing di pasar; 2) kepemilikan pribadi terhadap
faktor-faktor produksi diakui dan diutamakan; 3) penertiban agar mekanisme
pasar berjalan baik tanpa campur tangan pemerintah.20
Neoliberalisme melihat pasar dan negara merupakan dua entitas yang
saling berlawanan secara diametral. Neoliberalisme tidak percaya pada
kemampuan negara karena menanggap pasa lebih serba bisa dan effisien
dibandingkan dengan birokrasi negara dalam banyak alasan. Pasar dianggap
memiliki respon lebih cepat terhadap perubahan-perubahan teknologi dan
permintaan-permintaan (demands) dalam masyarakat. Pasar juga dilihat lebih
efisien dan efektif dibanding sektor-sektor publik dalam penyediaan layanan. Pada
akhirnya neoliberalisme percaya bahwa kompetisi pasar akan menghasilkan
18 David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 2005, New York: oxford University Press, hal. 71-7219 Manfred B Steger dan Ravy K. Roy, Neoliberalism: A Very Short Introduction, 2010, New York: Oxford University Press, hal. 10.20 Awalil Rizki dan Nasyith Majidi. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia., 2008, Jakarta: E-Publishing, hal. 245.
14
akuntabilitas lebih untuk investasi masyarakat dibanding negara dengan
kebijakan-kebijakan yang cenderung birokratik.21
Tidak hanya sebagai prinsip, paham dan ideologi ekonomi, dalam
tulisannya tentang neolibralisme Manfred B. Steger dan Ravy K. Roy
menjelaskan bahwa neoliberalisme juga termanifestasikan menjadi sebuah bentuk
pemerintahan (a mode of govermenance) dan seperangkat kebijakan (a policy
package).22 Sebagai ideologi, neoliberalisme hadir dengan prinsip yang meletakan
kebebasan dan kepemilikan individu sebagai syarat utama terciptanya masyarakat
sejahtera. Para pendukung neoliberalisme percaya bahwa campur tangan negara
harus dikurangi untuk menjamin berjalannya mekanisme pasar ala kapitalisme.
Filsafat kebebasan, individualisme dan rasionalitas merupakan basis pemikiran
dalam khasanah filosofis neoliberalisme. Ide ini diterima sebagai kebenaran dan
keyakinan bagi para neoliberalis dan disebarkan keseluruh dunia.
Dimensi kedua dari neoliberalisme terwujud sebagai bentuk pemerintahan.
Seperti dalam istilah seorang pemikir sosial asal Perancis, Michel Foucault, yang
mengistilahkan sebagai “governmentalities” yakni model tertentu dari sebuah
pemerintahan yang berdasar pada seperangkat premis, logika, dan relasi
kekuasaaan. Foucault memberikan perhatian pada bagaimana tubuh, perbuatan,
dan diri ditata (pemerintah bagi diri sendiri), pemerintah bagi orang lain, dan
pemerintah negara. Dalam pengertian yang paling umum, bagi Foucault
21 Carlos Alberto Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 31.22 Op cit, hal. 11.
15
pemerintah mengurusi “panduan perbuatan”.23 Foucault menegaskan bahwa
“governmentality” neoliberal bukan tentang kemunduran negara, melainkan
restrukturisasi hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Restrukturisasi ini
meliputi pergeseran kekuasaan negara-sentris ke dalam unit-unit yang lebih kecil.
Sebuah pemerintahan yang bercorak neoliberal berakar pada nilai-nilai
enterpreneurial (yaitu kemampuan untuk berusaha secara pribadi) dan otonomi.
Neoliberalisme percaya bahwa model pemerintahan yang self-regulating dimana
masyarakat diberikan otonomi untuk mengurusi dirinya sendiri dan memilih
pilihan-pilihan yang rasional dalam pasar. Untuk itu, model pemerintahan
neoliberal menjadikan otonomi sebagai konsep dasar dalam melihat hubungan
antar institusi atau kekuasaan dalam negara. Untuk mendukung struktur tersebut,
neoliberal percaya bahwa sistem ekonomi juga harus dijalankan dengan
rasionalitas pasar sebagai sandarannya.
Ketiga, neoliberalisme memanifestasikan dirinya kedalam seperangkat
kebijakan publik yang kongkrit yang dapat diringkas ke dalamm formula “D-L-
P”, yakni deregulasi (ekonomi), liberalisasi (sektor perdagangan dan industri), dan
privatisasi (BUMN). Kebijakan-kebijakan terkait yang diturunkan dari formula
tersebut adalah pemotongan pajak (khususnya untuk kalangan atas), pengurangan
subsidi untuk layanan sosial dan program-program kesejahteraan, penggunaan
suku bunga oleh bank sentral yang independen untuk menjaga tingkat inflasi
(walaupun harus mengorbankan tingkat penggangguran), pengentatan
23 Lihat George Ritzer dan Douglass J. Goodman, terjemahan oleh Nurhadi, Teori Sosiologi, 2004. Bantul: Kreasi Kencana, hal. 662
16
pemerintahan, anti organisasi-organisasi buruh atau serikat pekerja, penghapusan
kontrol tehadap finansial global dan arus perdagangan, pendorongan terhadap
integrasi perdagangan regional maupun global, dan pembentukan institusi-institusi
politik baru, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut terus diusung dan
disebarkan ke seluruh dunia melalui berbagai bentuk dan instrumen.
Dalam prakteknya, neoliberalisme tidak hanya dibawa melalui negara-
negara yang menjadi lokomotif neoliberalisme seperti AS dan Inggris. David
Harvey dalam “A Brief History of Neoliberalism” menyatakan bahwa organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia
(World Bank) turut menjadi pilar-pilar utama penyangga yang menjaga agar
tujuan dan program-program ekonomi-politik neoliberalis negara-negara maju
dapat berjalan dengan baik dan efektif.24 IMF dan Bank Dunia menjustifikasi
program perombakan stuktural mereka ke negara-negara miskin dan negara
berkembang dengan terminologi “pengurangan kemiskininan”.
Lembaga-lembaga tersebut kemudian merumuskan strategi kebijakannya
ke dalam sebuah konsep dan program yang dikenal dengan Wahington Konsensus
(The Washington Consensus).25 Inti dari konsensus ini adalah formula D-L-P yang
dimana telah dijelaskan sebelumnya, telah memaksa negara-negara berkembang
untuk melakukan restrukturisasi sistemik dalam rangka memuluskan aliran modal
24 David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 2005, New York: Oxford University Press, hal. 3.25 Istilah ini dipopulerkan oleh John Williamson pada 1980an yang merujuk pada pengurangan maksimal peran pemerintah dalam ekonomi (kebanyakan terjadi di Amerika Latin) yang didesak oleh IMF, Bank Dunia, dan institusi ekonomi internasional dan think-tanks yang berbasis di Washington DC, AS. Lihat Manfred B Steger dan Ravy K. Roy, Neoliberalism: A Very Short Introduction, 2010, New York: Oxford University Press, hal. 19.
17
dari negara-negara donatur. Perombakan tersebut meliputi usaha-usaha privatisasi,
deregulasi semua peraturan dan perundangan yang dianggap terlalu membatasi
aktivitas pasar dan state-centric, liberalisasi sektor-sektor industri dan keuangan,
dan penghapusan pengeluaran publik (subsidi) dari sektor-sektor publik.
Washington Konsesnsus pada dasarnya mendorong mekanisme pasar yang
berbasis permintaan.
Sebagai pendekatan dalam penelitian tentang dampak bantuan Bank Dunia
di sektor publik seperti pendidikan, menurut Antonio Teodoro, berdasarkan
karya penelitian dari Roger Dale dan Boaventura de Saouza Santos,
menyatakan bahwa terdapat proses neoliberalisasi yang dibawa melalui
globalisasi pendidikan yang terjadi di Eropa dengan OECD sebagai arsitek dari
proses tersebut. Menurut Teodoro perubahan dan perombakan yang terjadi dalam
sistem pendidikan Eropa merupakan agenda besar yang telah terstruktur secara
global. Agenda global ini merupakan pendorong utama dari proyek-proyek
internasional. Seperti pernyataan Teodoro dalam konteks penelitiannya berikut:
The globally structured agenda is defined above all having as nerve center the great international statistic projects and, in particular, the INES project of the Center for Educational Research and Inovation (CERI) of the OECD.26
Agenda ini mencakup usaha-usaha menuju proses privatisasi dan desentralisasi
sektor pendidikan negeri (public education), usaha untuk membangun standar
pendidikan, dan sertifikasi akademik untuk menentukan kualitas pendidikan pada
26 Lihat Antonio Teodoro, “Educational Policies and New Ways of Governance in a Transnationalization Period.” Dalam Carlos Alberto Tores dan Ari Antikainen (editor), The Internatinal Handbook on The Sociology of Education. 2003. Lanham, MD: Rowman and Littlefield, hal. 198.
18
level siswa, guru, maupun sekolah. Akuntabiltas juga merupakan salah satu
prinsip kunci dalam model ini. Usaha-usaha ini merupakan gelombang reformasi
pendidikan yang dipengaruhi oleh proses globalisasi yang membawa prinsip-
prinsip neoliberalisme.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan konseptual diatas, sebagai alat analisa
untuk menguji implikasi bantuan Bank Dunia yang membawa agenda-agenda
globalnya, maka penelitian ini memakai model konseptual yang menjadi
dijelaskan Martin Carnoy dalam bukunya “Globalization and Educational
Reform”. Carnoy memberikan sebuah model klasifikasi reformasi yang terjadi
akibat dari proses globalisasi-neoliberal di negara-negara anggota OECD.27 telah
mengklasifikasikan proses reformasi ini ke dalam tiga tipe reformasi. Reformasi
tipe pertama adalah desakan perubahan yang merespon evolusi permintaan tenaga
kerja dengan kualitas yang lebih baik dalam pasar tenaga kerja domestik maupun
internasional. Reformasi jenis ini berangkat dari ide baru untuk bagaimana
mengelola kembali sekolah-sekolah (dalam semua level) dan meningkatkan
kompetensi professional untuk kesuksesan dunia kerja. Carnoy
mengklasifikasikan perubahan ini sebagai “reformasi berbasis kompetisi”
(competition-based reforms). Selanjutnya, reformasi jenis kedua yang hadir untuk
merespon pengurangan anggaran dalam sektor publik maupun swasta yang
diistilahkan sebagai “reformasi berbasis financial” (reform based on financia
imperatives). Tipe reformasi ketiga adalah reformasi yang berusaha untuk 27 Negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Israel, Jepang, Korea, Luksemburg, Meksiko, Negeri Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugis, Republik Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat.
19
meningkatkan peran politis pendidikan sebagai faktor utama dari mobilitas dan
kesetaraan sosial. Carnoy mengklasifikasikan reformasi ini sebagai “reformasi
Ketiga jenis klasifikasi reformasi ini menjadi model untuk menganalisis
dampak dari perubahan-perubahan sistemik dan tata kelola pendidikan tinggi di
Indonesia sebagai tuntutan dari persyaratan bantuan luar negeri Bank Dunia dalam
program IMHERE. Konsep reformasi yang “bernuansa” neoliberal ini akan
menjadi kerangka analisis dalam melihat apakah model ini juga terjadi di
Indonesia dengan konteks hubungan dan kebutuhan aktor yang berbeda dan untuk
menguji hipotesa bahwa bantuan luar negeri merupakan alat yang digunakan oleh
Bank Dunia untuk menyebarkan prinsip-prinsip neoliberal dalam sektor-sektor
vital sebuah negara-bangsa.
5.2. Konsep Bantuan Luar Negeri
Dalam konteks penelitian ini, untuk menganalisa implementasi bantuan
Bank Dunia di sektor pendidikan tinggi perlu kiranya menggunakan konsep
bantuan luar negeri. Konsep bantuan luar negeri ini juga akan dipakai dalam
melihat pola hubungan antara bantuan Bank Dunia dan agenda globalisasi-
neoliberal yang dibawanya.
5.2.1 Definisi dan Motif
28 Lihat Martin Carnoy. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco, hal. 37-46
20
Secara sederhana, menurut Organization of Economic Cooperation and
Development (OECD), bantuan luar negeri (atau biasa juga disebut ‘Overseas
Development Assistance’ atau ODA) merujuk pada “pinjaman” (loan) dan
“hibah” (grant) yang diberikan kepada negara-negara berkembang yang
memenuhi tiga kriteria utama, yakni 1) pinjaman dan hibah harus berkaitan
dengan sektor-sektor publik, 2) tujuan dari pinjaman dan hibah tersebut haruslah
berorientasi pada pemeliharaan dan pembangunan ekonomi, 3) pinjaman dan
hibah yang berikan harus jelas, konsensional, dan mengandung unsur hibah
sedikitnya 25%.29
Oleh Stephen D. Krasner, istilah bantuan luar negeri (foreign aid)
diartikan sebagai tindakan-tindakan negara, masyarakat (penduduk), atau
lembaga-lembaga masyarakat atau lembaga-lembaga lainnya yang berada pada
suatu negara tertentu ataupun pasar tertentu di luar negeri, memberikan bantuan
berupa pinjaman, memberi hibah atau penanaman modal mereka kepada pihak
tertentu di negara lainnya.30 Dalam prakteknya, bantuan luar negeri ini merupakan
jalinan konsep dan juga sebagai suatu teori yang berhubungan langsung dengan
mengalirnya modal atau nilai kebendaan atau jasa-jasa kepada pihak di luar negeri
dengan tujuan membantu atau motif-motif ekonomi politik tertentu.
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa aspek ekonomi
politik tidak dapat dipisahkan dari hubungan antar aktor yang salah satunya
terjalin melalui mekanisme bantuan luar negeri ini. Keterkaitan antara ekonomi
29 OECD, Twenty-five Yesrs of Development Co-operation: A Review, 1985, Paris: OECD, hal. 171-17330 Stephen D. Krasner dalam Yanuar Ikbar. Ekonomi Politik Internasional 2, 2007, Bandung: Refika Aditama, hal. 188.
21
politik dan bantuan luar negeri sukar terpisahkan karena berkaitan dengan agenda-
agenda ekonomi dan politik yang saling berkaitan di antara keduanya. Kesaling-
keterkaitan kepentingan antara pemberi dan penerima itu meliputi:
1. Keinginan pihak pemberi dapat dilandasi oleh berbagai kepentingan
biasanya ekonomis dan politis. Pihak penerima pun menggunakan pikiran-
pikiran yang serupa ekonomis dan politis ketika menerima bantuan
tersebut.
2. Faktor-faktor yang bersifat politik dapat sama pentingnya dengan faktor-
faktor yang bersifat ekonomi dalam hubungan dengan kontribusi yang
diperoleh oleh pihak pemberi maupun penerima bantuan. Namun ini
tergantung pemerintah pemberi atau pemerintah penerima bantuan.
3. Jarang sekali dijumpai kasus bantuan luar negeri yang bercorak murni
ekonomi dan politis atau aspek lainnya semata. Kebanyakan orang
membicangkan proses bantuan itu berupa hubungan ekonomi dan politik
maupun lainnya secara timbal balik.
Secara spesifik, untuk memiliki kacamata analisis dalam melihat topik
yang diangkat dalam penelitian ini, perlu untuk memahami bagaimana peran yang
dimainkan oleh lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia dalam
menyalurkan dana bantuan luar negerinya.
Dalam buku “Delegation Under Anarchy: States, International
Organisations And Principal-Agent Theory” dijelaskan bahwa bantuan
22
multilateral merupakan delegasi bersama oleh negara-negara donor dengan
kepentingan yang berbeda melalui sebuah lembaga internasional yang tunggal.
Lembaga tersebut menyediakan pengaturan kelembagaan untuk merespon
“permintaan” dari donor serta penerima. Terdapat dua faktor utama terkait
permintaan negara-negara donor ini:31
1. Faktor yang bertujuan untuk memperoleh aksi kolektif dengan preferensi
yang heterogen antara donor, atau antara donor dan penerima. Para negara
donor dapat bersaing untuk mempromosikan proyek-proyek pilihan
mereka di negara-negara berkembang tanpa mengurangi keuntungan
mereka sendiri atau menimbulkan biaya tambahan untuk negara penerima.
Namun, ketika output yang dimaksudkan dalam suatu proyek adalah
barang atau sektor publik, aksi kolektif di kalangan donor diperlukan.
Misalnya, identifikasi program reformasi ekonomi, perjanjian penjadwalan
kembali utang atau mengisi kesenjangan pembiayaan eksternal negara,
memerlukan tindakan kolektif dari negara-negara donor, bukan kompetisi.
Selain itu, seperti dijelaskan di atas, lembaga bilateral mungkin tidak
pandai melaksanakan program yang memerlukan persyaratan kuat karena
preferensi kepentingan yang berbeda antara donor dan penerima, atau bisa
juga disebabkan oleh pilihan-pilihan yang bertentangan di negara donor itu
sendiri.
31 Hawkins, D., Lake, D., Nielson, D., Tierney, M., “Delegation Under Anarchy: States, International Organisations And Principal-Agent Theory”, 2003, Cambridge: Cambridge University Press, hal: 10-35
23
Sementara, badan multilateral cenderung menghindari “tindakan
berlebihan” kepada donor terkait perbedaan preferensi dan kepentingan ini
(yang mungkin lebih memilih untuk menjaga hubungan istimewa dengan
penerima) dan mencegah kesalahan jatuh pada donor dalam kasus
gagalnya pelaksanaan program-program beresiko tinggi. Dengan
pendekatan multilateral, dengan didukung oleh semua donor dan
penerima, juga dapat memperkuat legitimasi dan kredibilitas program
yang tidak populer (misalnya, stabilisasi ekonomi dan program reformasi).
Dalam semua kasus ini, lembaga multilateral bertindak sebagai perantara
antara para pihak. Lembaga multilateral ini menjadi irisan antara
kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dan menggunakannya
untuk merancang sebuah program yang mungkin tidak didukung oleh
semua pihak.
2. Faktor kedua sangat terkait dengan ruang lingkup ekonomi, terutama
dalam pengumpulan informasi dan analisis (produksi pengetahuan).
Akivitas domestik yang dilaksanakan oleh negara-negara donor secara
individu (ke negara penerima ) dapat bersifat “berlebihan”, misalnya untuk
duplikasi proyek di domain yang sama. Pendekatan multilateral dapat
mengurangi biaya yang dikeluarkan secara individu serta dapat
meningkatkan kredibilitas informasi. Namun perlu dicatat bahwa skema
multilateral tidak selalu menaruh semua informasi yang dikumpulkan
dalam domain publik.32 Lembaga-lembaga multilateral dapat
32 Maksudnya adalah tidak semua informasi dapat diakses oleh negara-negara donor. Kepemilikan informasi tetap menjadi milik dan otoritas dari lembaga multilateral tersebut.
24
menggunakan informasi-informasi tersebut untuk membangun
keunggulan-komparatif informasi atas negara-negara anggota. Keunggulan
informasi tersebut dapat digunakan oleh lembaga multilateral untuk secara
selektif mempromosikan proposal kebijakan mereka sendiri. Biasanya,
lembaga-lembaga tersebut mengkhususkan diri dalam isu-isu spesifik
dimana mereka adalah sumber utama informasi di seluruh dunia (IMF
pada keseimbangan fiskal, moneter dan informasi pembayaran, Bank
Dunia tentang kebijakan reformasi; WHO pada isu-isu kebijakan
kesehatan, FAO di pertanian dan makanan masalah, dll). Keuntungan ini
membuat informasi analisis kebijakan dan proposal yang lebih kredibel,
dan akhirnya membuat negara-negara anggota lebih sulit untuk
merumuskan usulan alternatif secara individu.
5.2.2 Pengelompokan Bantuan Luar Negeri
Sebagai sebuah instrument kepentingan, bantuan luar negeri dapat
dikategorikan ke dalam berbagai jenis bantuan. Sebelumnya, kita perlu
membedakan dulu secara mendasar antara pinjaman bilateral dan multilateral
dalam kelompok pinjaman luar negeri33. Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang
diberikan secara langsung dari suatu pemerintah (umumnya negara maju) kepada
suatu pemerintah negara berkembang, sehingga sering juga disebut G to G
(Government to Government Aid). Sedangkan pinjaman multilateral adalah
pinjaman yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional, seperti: Kelompok
33 Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., Tanggung Jawab bank Dunia dan IMF sebagai Subjek Hukum Internasional. 2009, Sofmedia: Jakarta, hlm. 2
25
Bank Dunia (World Bank Group), International Monetary Fund (IMF), PBB, dan
lain-lain.
Dari segi jenis bantuan luar negeri, menurut Michael Todaro, bantuan
luar negeri dapat dibagi menjadi: 34
1. Bantuan berupa pinjaman atau hibah (grant);
2. Bantuan pinjaman (utang luar negeri);
3. Investasi (penanaman modal) asing.
Sementara menurut K. J. Holsti, ada empat tipe utama bantuan luar
negeri35, yaitu technical assistance/bantuan teknis, hibah/grants (ada juga program
impor komoditi), pinjaman pembangunan, dan bantuan kemanusiaan yang bersifat
darurat. Selain itu, ada juga pengelompokan bantuan dari negara-negara kaya
kepada negara-negara miskin yang dikenal dengan istilah pemindahan sumber
daya (flow of resources). Pengelompokannya bantuan tersebut antara lain:
a. Pemindahan sumber-sumber resmi (flow of official resources), berupa:
i) Pemindahan secara bilateral, yaitu grants (pemberian), sumbangan
yang menyerupai grants, dan modal pemerintahan jangka panjang.
ii) Pemindahan secara multilateral, yaitu grants dan iuran modal kepada
badan-badan pembangunan internasional dan pemberian hutang
kepada badan-badan tersebut termasuk pembelian obligasi.
34 Michael. P. Todaro, Ilmu Ekonomi Bagi Negara Sedang Berkembang, Buku I-II Terjemahan. 1987, Jakarta: Akademi Presindo, hal 90-91.
35 K. J. Holsti. Politik Internasional: Kerangka Analisa. 1995. New Jersey: Prentice Hall, hlm. 182
26
b. Pemindahan sumber-sumber swasta (flow of private resources), berupa:
Investasi langsung swasta (foreign direct investment), investasi portofolio
(portfolio investment), pinjaman bank komersial (commercial bank
lending), dan kredit ekspor (exports credit).
Bantuan luar negeri jika dilihat dari sifat persyaratan pinjaman, maka
pinjaman luar negeri dapat diklasifikasikan atas:36
a. Pinjaman Lunak (Concessional Loan)
Pinjaman ini berasal dari lembaga multilateral maupun lembaga bilateral.
Pinjaman ini bercirikan tingkat bunga yang rendah (sekitar 3,5%), jangka
waktu pengembalian yang panjang (sekitar 25 tahun), dan masa tenggang
(grace period) cukup panjang, yakni 7 tahun. Tipe pinjaman ini
seringkali diterapkan Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB)
yang seringkali memberikan pinjaman untuk jangka waktu 25-40 tahun.
b. Pinjaman Setengah Lunak (Semi Concessional Loan)
Pinjaman ini adalah pinjaman yang memiliki persyaratan pinjaman
sebagian komersil namun dijamin oleh suatu lembaga pengembangan
ekspor. Biasanya bentuknya berupa fasilitas kredit ekspor, misalnya
suatu negara yang ingin memajukan ekspor di negaranya akan
menyediakan pembiayaan bagi suppliernya untuk menjual barangnya
kepada debitor. Dulu dikenal juga dengan istilah purchase and
installment sales agreement, contohnya dari Leasing Company di Jepang.
c. Pinjaman Komersial (Commercial Loan)36 Op.Cit., Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., hal. 2.
27
Pinjaman ini adalah pinjaman yang berasal dari bank atau lembaga
keuangan dengan persyaratan yang berlaku di pasar internasional pada
umumnya. Berdasarkan sifatnya lagi, terdapat lagi pembedaan seperti:
i) Pinjaman Bilateral, yaitu pinjaman dengan jumlah kecil yang
berasal dari satu bank.
ii) Pinjaman Multilateral, yaitu pinjaman dalam jumlah besar yang
berbentuk sindikasi.
Sedangkan berdasarkan bentuknya, terdapat juga pembedaan bantuan luar
negeri, seperti:
i) Bentuk surat utang (notes) dengan bunga mengambang, atau obligasi
(bonds) dengan bunga yang tetap. Keduanya sama-sama berasal dari
pasar modal (capital market).
ii) Pinjaman dari perbankan internasional yang berbentuk sindikasi
dengan jumlah pinjaman yang besar.
Dari jenis hubungan yang diatur, pinjaman luar negeri masih memiliki
banyak jenis berbeda37, diantaranya:
a. Pinjaman Terikat (tied aid), yaitu pinjaman yang terbatas hanya bisa
digunakan unutk membeli barang dan jasa dari negara donor.
b. Pinjaman Tidak Terikat (untied aid), yaitu pinjaman yang bebas
digunakan oleh negara penerima pinjaman. Dalam artian, penggunaan
pinjaman tersebut tidak terikat kepada negara donor yang bersangkutan.
37 Rustian Kamaluddin, Perdagangan dan Pinjaman Luar Negeri, 1988, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta, hlm. 33-34.
28
c. Pinjaman Proyek (Project Aid), yaitu pinjaman yang ditujukan khusus
untuk suatu proyek pembangunan tertentu.
d. Pinjaman Program (Programme Aid), yaitu pinjaman yang pemanfaatan
pinjamannya dapat ditujukan untuk tujuan umum.
Di Bab selanjutnya, kita akan menggunakan kategorisasi di atas dalam
menganalisis implementasi bantuan multilateral yang digulirkan oleh Bank Dunia
ke sektor pendidikan tinggi Indonesia, dengan studi kasus di Universitas
Hasanuddin dalam program IMHERE.
6. Metode Penelitian
6.1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif-
analisis dengan studi kasus. Adapun penelitian studi kasus dapat dipahami sebagai
kajian intensif dari sebuah kasus tunggal (single case) dimana tujuan dari kajian
tersebut adalah, sekurang-kurangnya, untuk memberikan penjelasan bagi
pengamatan dalam fenomena yang lebih luas (populasi).38 Dengan menggunakan
tipe penelitian studi kasus, penulis akan mencoba memfokuskan kajian pada salah
satu objek dalam hal ini Universitas Hasanuddin. Selanjutnya penulis akan
mencoba mengamati perubahan-perubahan fundamental yang terjadi dalam pola
pengambilan kebijakan di Universitas Hasanuddin yang tentunya dihubungkan
dengan proyek bantuan IMHERE oleh Bank Dunia. Perubahan-perubahan
tersebut dapat meliputi hubungan negara-universitas, kurikulum, biaya pendidikan
38 John Gerring. Case Study Reserch, Principles and Practices. 2007. Cambridge : Cambridge University Press, hal : 20.
29
yang semakin tinggi, dan semakin menurunnya daya jangkau masyarakat terhadap
pendidikan tinggi. Sejanjutnya melalui peneilitian ini akan menelaah apakah
bantuan luar negeri menjadi faktor determinan dalam reformasi pendidikan tinggi
Indonesia secara umum dan Unhas secara khusus.
6.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diperoleh merupakan data sekunder dan primer. Data
sekunder berasal dari berbagai literatur baik berupa buku, buletin, jurnal, artikel,
surat kabar, website resmi, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Sedangkan data primer berasal dari wawancara-wawancara
penelitian dengan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki korelasi, proximitas, dan
kompetensi dengan topik penelitian.
Untuk kebutuhan literatur dan informasi, penulis mengunjungi tempat-
tempat berikut:
a. Perwakilan Bank Dunia di Jakarta
b. Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi (Dikti) di Jakarta
c. Wakil Rektor IV Universitas Hasanuddin di Makassar
d. Perpustakaan Universitas Hasanuddin di Makassar
e. Ruang Baca Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS di
Makassar
f. Perpustakaan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) di
Makassar
g. Perpustakaan HIMAHI FISIP Unhas di Makassar
30
6.3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data penelitian, penulis melakukan library
research, wawancara dengan pihak-pihak dalam lingkaran pengambil maupun
pelaksana kebijakan, akademisi, dan mahasiswa; penelaahan dokumen-dokumen
dan laporan-laporan resmi, serta observasi langsung terhadap kebijakan dan
kondisi riil perguruan tinggi yang diteliti.
6.4. Teknik Analisa
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data kualitatif yakni
permasalahan digambarkan berdasar fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan
antara fakta yang satu dengan yang lainnya, kemudian ditarik sebuah simpulan.
Ada pun data berupa angka merupakan data penunjang dalam mengkaji fakta-
fakta utama. Dengan menggunakan teknik ini, maka teknik analisa menggunakan
pola induktif yakni dari hal-hal yang sifatnya khusus (sampel) kemudian
menarikanya pada hal yang bersifat umum. Dalam hal ini Universitas Hasanuddin
yang diambil sebagai studi kasus menjadi cerminan realita perguruan tinggi di
Indonesia secara real dan spesifik. Kesimpulan dari kasus yang diangkat dalam
penelitian ini dapat dapat dijadikan sebagai parameter implementasi dan dampak
dari bantuan luar negeri tersebut terhadap kondisi pendidikan tinggi Indonesia.
31
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam penelitian, penulis
menemukan hasil-hasil penelitian, buku, maupun karya-karya ilmiah lain yang
berkaitan dengan topik yang diangkat. Topik-topik ini secara langsung
berhubungan erat dengan bantuan luar negeri dalam bidang pendidikan. Karena
bantuan luar negeri dan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari aspek
internasionalnya yang sangat determinan maka dalam bagian ini, penulis akan
memberikan beberapa komparasi literatur, penelitian, dan pemikiran yang
memiliki korelasi langsung dengan bantuan luar negeri dalam pendidikan tinggi di
Indonesia yang dikategorikan dalam dua topik literature yaitu (1) globalisasi dan
reformasi pendidikan tinggi; (2) bantuan luar negeri dalam pendidikan tinggi.
1. Globalisasi dan Reformasi Pendidikan Tinggi
Hingga saat ini, globalisasi tidak memiliki makna yang tunggal. Para ahli
dan praktisi terus berdebat masalah definisi, asal-usul, cakupan, dan dampak yang
ditimbulkan dari fenomena ini.39 Perdebatan sangat tajam karena para pendukung
globalisasi (atau biasa disebut kaum globalis) memberikan klaim-klaim
kemakmuran dan kemajuan ekonomi sebagai “doktrin” yang terus digaung-
gaungkan ke seluruh dunia. Klaim-klaim tersebut dibantah oleh para penentang
globalisasi yang melihat bahwa globalisasi hanya menguntungkan korporasi-39 Perdebatan ini seperti yang dijelaskan oleh Manfred Steger. Ia menjelaskan dengan sangat detail bagaimana pandangan tentang globalisasi berserta klaim-klaim para pendukung dan penentangnya dalam Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction. 2003, New York: Oxford University, hal 97-111.
32
korporasi besar yang dilindungi negara.40 Perdebatan-perdebatan tersebut yang
sering kali mengaburkan makna sebenarnya dari globalisasi. Namun demikian,
untuk mempermudah pengertian dan pembahasan dalam penelitian ini, globalisasi
dapat diidentifikasi dari prinsip-prinsip utama yang dibawanya. Darmaningtyas
memberikan definisi sederhana soal globalisasi, bahwa:
Globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses multidimensional dalam aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, yang bergerak secara ekstensif dan intensif dalam kehidupan masyarakat dunia yang mengubah cara berfikir dan bertindak mereka.41
Sementara Agung Perwita dan Yani secara singkat mendefinisikan globalisasi
sebagai “the extention of social relations over the globe”42 yang dilihat telah
memunculkan kecenderungan similiritas dan uniformitas dari pada individu,
kelompok, dan sistem sosial yang melewati atau bahkan menghapus batas
tradisional negara (vanishing traditional borders).
Dari dua definisi tersebut dapat kita lihat bahwa globalisasi merupakan
sebuah proses yang merubah tatanan sosial masyarakat dari tingkatan terkecil
(individu) hingga hubungan antar negara. Perubahan ini tentu tidak hadir begitu
saja. Setiap transformasi kehidupan masyarakat selalu didahului oleh seperangkat
ideology, kebijakan ekonomi-politik dan infrastruktur ideologisnya, begitu pun
globalisasi. Sejarah globalisasi, menurut Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel,
40 Lihat, Ha-joon Chang & Ilene Grabel. Membongkar Mitos Neolib. 2004, Yogyakarta: INSISTPress, hal. 14-1541 Ekstensif berarti bahwa proses perubahan cara befikir masyarakat tersebut menjangkau wilayah geografis yang tidak terbatas dan intesif berarti bahwa perubahan tersebut juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Lihat Darmaningtyas, dkk. Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009, Jakarta: Damar Press, hal. 18.42 Lihat Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional. 2005, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 136.
33
merupakan produk dari berbagai kebijakan yang dipilih secara sadar dari inisiatif
pemerintah negara-negara industri maju maupun negara-negara berkembang sejak
tahun 1970an hingga awal tahun 1980an. Lembaga-lembaga internasional, seperti
IMF dan WTO, juga memiliki besar dalam mendorong kebijakan yang
memungkinkan berkembangnya percepatan dan globalisasi kapitalisme-neoliberal
di negara-negara berkembang dewasa ini.43 Hal ini senada dengan yang diulas
oleh Stephen Germic dalam The Neoliberal University: theory and practice.
Dalam karya itu, Gemic menganalisis dampak dari neoliberalisme, globalisasi,
dan pendidikan tinggi di Dubai. Mengenai Globalisasi dan Neoliberalisme,
Germic menulis:
“It’s principally in relation to governing “rules” that globalization and neoliberalism intersect. The institutions that make the rules which increasingly govern the global economy are committed to the economic models and attendant ideology of neoliberalism.”
Sementara Bill Robinson dalam tulisannya “The Crisis of Global
Capitalism: how it Looks from Latin America” melihat bahwa sistem kapitalisme
telah melewati sebuah “epochal shift” (pergeseran era) dalam evolusinya. Epochal
shift yang membawa perubahan ide-ide dalam struktur sosial yang merubah
banyak hal dalam fungsi sosial tersebut. Kapitalisme telah melalui merkantilisme,
kompetisi industrial, dan sistem monopoli dalam “pergeseran era”-nya. Sementara
itu, globalisasi merupakan pergeseran keempat dari kapitalisme yang ditandai
dengan beberapa pergeseran yang fundamental dalam sistem ini. Lebih jauh, Ia
menjelaskan bahwa pada tahun 1970an akumulasi kapital telah memasuki krisis
yang tak terhindarkan. Sebuah krisis yang hanya bisa diatasi dengan “going
global” melalui “aparatus negara yang transnasional” (Transnasional State
Aparatus-TNS). Yakni sebuah jaringan kekuatan ekonomi-politik supranasional
dan aparatus negara yang telah dipenetrasi serta ditransformasi oleh kekuatan
lintas-negara. Robinson menambahkan bahwa karena adanya tekanan
transnasional ini maka sistem negara-bangsa “tidak lagi merupakan prinsi utama
pengelolaan kapitalisme”. Negara telah berperan sebagai komponen dari struktur
yang lebih besar dan melayani kepentingan global melalui proses akumulasi
kapital secara nasional. TNS ini yang kemudian mendorong model globalisasi
neoliberal pada negara maju dan berkembang.44
Implikasi kebijakan neoliberal yang diglobalkan tercermin dari perubahan-
perubahan mendasar pada sistem ekonomi-politik dan sosial pada masyarakat
Negara-negara berkembang. Dalam ideologi kapitalisme-neoliberal, ditemukan
bahwa: relasi antara negara dan pasar bersifat asimetris karena bisnis pada
akhirnya korporasi lebih mendominasi kekuasaan oleh negara dan dapat
menentukan keputusan-keputusan strategis dalam negara.45 Adapun fungsi negara
direduksi hingga hanya sebatas regulator dan fasilitator dari seluruh sistem
ekonomi. Oleh Mandel dalam Late Capitalism merincikan bahwa fungsi negara
dalam sistem kapitalisme, yaitu: a) menjamin kegiatan swasta dan anggota kelas
dominan, b) negara bertindak tegas pada setiap ancaman terhadap mode of
44 Bill Robinson, “The Crisis of Global Capitalism: how it Looks from Latin America”, dalam Alan Freeman dan Boris Kagarlitsky (ed), The Politics of Empire: Globalisation in Crisis. 2004, London: Pluto Press, hal. 156.45 Coleman (1974, 1990) dalam A. Habibullah, Kebijakan Privatisasi BUMN: Relasi State, Market, dan Civil Society. 2009, Malang: Averoes Press, hal.53.
35
production melalui tentara, polisi, kehakiman dan sistem penjara, dan terakhir c)
negara menyatukan kelas dominan.46
Dalam kaitannya dengan globalisasi, Martin Khor (2003) menarik dua
ciri utama dari globalisasi, yakni: pertama, peningkatan konsentrasi dan monopoli
berbagai sumber daya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan
transnasional maupun oleh perusahaan-perusahaan dan dana global. Kedua,
terciptanya ‘globalisasi’ (pengglobalan) dalam kebijakan dan mekanisme
pembuatan kebijakan nasional.47 Kebijakan nasional yang sekarang ini berada
dalam yurisdiksi suatu pemerintah dan masyarakat dalam suatu wilayah negara
bangsa bergeser menjadi di bawah pengaruh atau proses institusi-istitusi global
atau pelaku ekonomi dan keuangan internasional. Dalam kondisi tersebut negara
dihadapkan pada dua pilihan yang berlawanan antara tekanan global untuk
meminimalisir peran layanan publiknya (liberalisasi) dan upayanya memenuhi
tanggungjawab filosofisnya untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar,
termasuk pendidikan, bagi warganya yang sekaligus menjaga basis legitimasi
kekuasaannya.
Selain karena adanya kekuatan politik transnasional, globalisasi-neoliberal
ini juga didukung oleh modal serta intensifikasi teknologi informasi yang sangat
pesat. Modal dari cadangan emas dan kemenangan dalam Perang Dunia II
menempatkan Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang memimpin arus
globalisasi dunia. Kepemimpinan AS dalam politik dan ekonomi dunia terus
46 Ibid, hal 54.47 Martin Khor, Globalization Perangkap Negara-Negara Selatan (terjemahan), 2003, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, hal. 68-70.
36
mengekspansi negara-negara berkembang untuk turut dalam kebijakan-kebijakan
ekonomi-politiknya. Kebutuhan industrial, intensifikasi produksi, serta
kepemimpinan politik AS membuat hubungan internasional AS dalam struktur
ekonomi-politik menjadi dominan. Salah satu cara paksa AS ke negara-negara
berkembang adalah dengan memaksa negara-negara miskin dan berkembang (baik
secara halus maupun tekanan) untuk menerapkan free market economy atau
ekonomi pasar. Pasar bebas memungkinkan negara-negara industri maju dapat
memasarkan produknya ke negara-negara miskin dan berkembang tanpa proteksi
dan bea masuk. Begitu pun sebaliknya. Pasar bebas memungkinan setiap negara
melakukan jual-beli barang dan jasa secara bebas, zero tax, tanpa proteksi dari
negara, dan hambatan birokratis. Globalisasi-neoliberal dengan pasar bebasnya
masih pecaya pada doktrin klasik kapitalisme bahwa setiap negara memiliki
keunggulan komparatif (comparative advantages) dan spesialisasi produk yang
dapat dijadikan sebagai produk unggulan dan perdagangan bebas. Proteksi negara
dilihat sebagai penghambat aktivitas ekonomi karena sifatnya yang birokratis dan
sarat akan kepentingan politik pemerintah.
Ekonomi pasar bebas adalah liberalisasi disegala bidang termasuk
perdagangan (barang dan jasa) yang berbasis keunggulan komparatif dan sektor
keuangan/finansial. Para globalis sangat percaya pada mekanisme pasar bebas
merupakan mekanisme sempurna untuk mendorong produksi dan memaksimalkan
pertumbuhan. Friedman (1970) dan Clement (1997) berkeyakinan bahwa sistem
pasar bebas merupakan satu-satunya jalan yang cocok dengan kebebasan politik
37
dan demokrasi.48 Liberalisasi pasar dan moneter yang dibawa globalisasi inilah
yang merombak struktur dasar hubungan sosio-politik dan sosio-ekonomi
masyarakat dan negara. Oleh Francis Fukuyama (2004), perubahan dratis ini
dilihat sebagai sebuah “konsensus besar” dalam sejarah yang menempatkan
demokrasi liberal dengan pasar bebasnya sebagai kemenangan di “ujung sejarah”
(end of history). “Kemenangan” tersebut terjadi di segala sektor kehidupan.49
Dalam kondisi seperti ini dunia mengarah pada proses integrasi dan homogenisasi
budaya. Integrasi perdagangan, moneter, hingga politik-keamanan serta
homogenisasi budaya yang sering diistilahkan dengan westernisasi atau baratisasi.
Namun, dari sekian banyak aspek yang menjadi dampak dan kajian
globalisasi, penelitian ini memfokuskan diri dalam melihat globalisasi sebagai (1)
perdagangan internasional barang dan jasa serta (2) perpindahan kapital (capital
flow) yang melintasi batas negara, termasuk investasi luar negeri, hutang dan
bantuan luar negeri. Pada perkembangannya, arus perdagangan dan perpindahan
yang begitu massif akhirnya menyentuh sektor yang pada era liberalisme klasik
masih dianggap “tabu” karena menyangkut public needs atau menyangkut hajat
hidup orang banyak. Sektor tersebut seperti pendidikan dan kesehatan.
Dalam kaitannya antara globalisasi dan pendidikan, menurut Giddens
koneksitasnya terletak di dalam lahirnya suatu masyarakat baru yaitu “knowledge-
48 Ibid.49 “Ujung sejarah” dan “kemenangan” yang dimaksud bukan berarti bahwa tidak ada lagi peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah, namun menurut Fukuyama, semua peristiwa besar seperti perang hanya akan memodifikasi modernitas, rasionalitas, dan liberalisme Barat. Lihat Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man. 2004, Yogyakarta: Penerbit Qalam, hal 4.
38
based-society” yang merupakan anak kandung dari proses globalisasi.50 Karena
globalisasi, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat yang mana hal ini secara
bersamaan merupakan infrastruktur dan produk dari globalisasi ekonomi dan
politik di dunia ini. Namun demikian suatu “knowledge-based society” yang
didasarkan kepada ilmu pengetahuan akan terus-menerus berubah dan merupakan
subyek untuk terus direvisi. Hal ini memerlukan apa yang disebutnya sikap
refleksif dari manusia yaitu kemampuan untuk merenungkan mengenai
kehidupannya berdasarkan rasio.
Pengetahuan menjadi kunci keterhubungan manusia secara global.
Perlahan-lahan terjadi pergeseran dalam paradigma pendidikan global. Pendidikan
mulai diarahkan untuk memikirkan masalah-masalah global dengan asumsi bahwa
masalah pada tingkat lokal maupun global memiliki keterkaitan yang diametral.
Jadi sikap dan tindakan manusia memiliki dampak yang juga dirasakan oleh
manusia lain baik dalam skala lokal maupun global. Menurut Eve Coxon dan
Karen Munce (2008), “education is therefore seen as critical mechanism for
adressing both poverity reduction and conflict prevention.”51 Pengurangan
kemiskinan dan pencegahan konflik yang dimaksud oleh Coxon dan Munce
adalah proses pendidikan yang mencetak peserta didik sehingga mereka memiliki
skill dan pengetahuan untuk menggerakan ekonomi dan struktur produksi
masyarakat. Hal ini berkorelasi dengan agenda besar internasional yang melihat
50 J. Soedjati Djiwandono. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 2000. Yogyakarta: Kanisius, hal 103.51 Eve Coxon dan Karen Munce, The Global Education Agenda and the Delivery of Aid to Pasific Education. 2008. Oxford: Comparative Education, Edisi 2 Mei 2008, Volume IV.
39
pendidikan sebagai investasi non-kapital yang dapat menjadi human resource bagi
peningkatan ekonomi negara dan korporasi.
Akibatnya, pergeseran paradigma pendidikan sampai pada perubahan
sistemik dan operasional pendidikan menjadi sebuah kebijakan yang “diharuskan”
untuk mengimbangi perubahan-perubahan global. Di Indonesia, perubahan
tersebut berupa perubahan sistem pendidikan nasional yang menitikberatkan pada
dua hal, yakni: otonomi kelembagaan dan internasionalisasi pendidikan. Otonomi
kelembagaan berupa restrukturisasi organisasi, pengelolaan, ketenagakerjaan, dan
desentralisasi pendidikan. Sedangkan internasionalisasi pendidikan mencakup
pendidikan berbasis teknologi informasi, standarisasi intenasional, progam-
program kerjasama dan kemitaraan antar negara, hingga pembukaan cabang
sekolah dan perguruan tinggi asing. Hal ini seperti yang dibahas oleh Sudarwan
Danim (2003) dalam “Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan” yang membahas
beberapa tema utama dalam agenda pembaharuan sistem pendidikan dalam
merespon perubahan yang dibawa oleh globalisasi. Tema tersebut menyangkut
pembahasan filosofis mengenai pendidikan sebagai proses kemanusiaan dan
pemanusiaan, agenda pendidikan dalam pembentukan moral, mutu, fenomena
keguruan, masalah-masalah pendidikan juga dibahas mengenai bagaimana
permiabilitas pendidikan, pembelajaran bebasis tekonolgi, privatisasi sekolah pada
masa otonomi, komoditifikasi pembelajaran, reformasi sekolah pada global
village, dan aplikasi proses fabrikasi dalam reformasi sekolah. Literatur ini
mencoba menjawab tantangan-tantangan filosofis dan operasional yang dihadapi
oleh sistem pendidikan Indonesia. Danim melihat “ancaman” dalam karakter
40
manusia, kebudayaan, dan sistem pendidikan Indonesia namun titik kritiknya
tidak pada “apa sebabnya?” melainkan “bagaimana menghadapi?” sehingga buku
ini hanya berisi saran-saran metodologis tanpa menjawab persoalan paling
mendasar atas permasalahan-permasalahan tersebut.
Dalam literatur lain mengenai globalisasi dan pendidikan, Arif Rohman
memberikan perspektif lain dalam melihat pendidikan dalam medium interaksi
antar bangsa. Dalam bukunya “Pendidikan Komparatif” Arif Rohman melihat
bahwa masalah utama dari ketertinggalan pendidikan Indonesia dalam era dan
skala global adalah kemandegkan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan.
Sedangkan penyebab kemandegkan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan
antara lain adalah rendahnya tingkat inovasi pendidikan yang bermula dari
kekurangan dalam sistem pendidikan kita untuk membandingkan diri dengan
praktek pendidikan negara-bangsa lain. Oleh karenanya, Arif Rohman mengambil
sample pendidikan di Eropa dan beberapa negara di Asia Tenggara sebagai
perbandingan sistem penyelenggaraan pendidikan. Dalam penelitian komparasi
ini, Arif Rohman cukup komperhensif mengkaji praktek penyelenggaraan
pendidikan di negara-negara sampel dan menemukan bahwa dalam dalam setiap
negara-negara tersebut, anggaran dan kebijakan politik pemerintah terhadap
pendidikan sangat besar. Sementara di Indonesia, “justru bersifat stagnan bahkan
terkesan mengalami kemunduran dalam mengalokasikan anggaran nasionalnya
untuk pendidikan”.52 Secara umum, buku ini memaparkan pemaparan yang cukup
52Lihat Arif Rohman, Pendidikan Komparatif. 2010. Yogyakarta: Laksbang Grafika, hal.271
41
komperhensif soal hubungan pendidikan dan kebijakan negara
negara-negara/kawasan di dunia.
Dalam lingkup yang lebih spesifik terkait hubungan globalisasi dan
reformasi pendidikan tinggi, kumpulan tulisan “Globalization and Reform in
Higher Education” memaparkan beberapa isu utama dalam reformasi pendidikan
dalam merespon tantangan dan ancaman global. Buku ini merupakan kumpulan
tulisan para peneliti pendidikan dari Afrika, Amerika Utara, Australia, dan Eropa.
Studi dalam buku ini juga memakai studi komparasi kebijakan pendidikan dalam
membahas topik-topik utama dalam reformasi pendidikan tinggi seperti reformasi
pendanaan dan pengelolaan pendidikan, akreditasi dan penjaminan mutu,
penggunaan indikator pencapaian, dan restrukturisasi peraturan fakultas. Tulisan-
tulisan dalam buku ini memaparkan agenda-agenda besar internasional dalam
upaya reformasi pendidikan dunia menuju sistem pendidikan yang globalis.
Dalam buku ini ditekankan bahwa pendidikan tinggi telah bertranformasi dari
pinggiran (peripheral) menuju posisi inti dalam reponsifitas pemerintah terhadap
globalisasi.53 Dari dasar itulah Heather Eggins (ed) memberikan kesimpulannya
menyikapi globalisasi dalam pendidikan tinggi yang harus terjebak di antara
kompleksitas globalisasi,
“On the one hand is the pull towards cooperation, social cohesion, social harmony, transparency, equity and to enabling greater numbers to participate in higher education. On the other hand are the financial issues, the neo-liberal agenda that calls for competition, free trade, the dominance of the market”.54
53 Heather Eggins, Globalization and Reform in Higher Education. 2008, Glasgow: Society for Research into Higher Education & Open University Press, hal. 3.54 Ibid, hal. 8.
42
Kesimpulan Eggins ini mencerminkan kekhawatiran terhadap globalisasi,
khususnya dalam pendidikan tinggi. Kekhawatiran itu muncul dari agenda-agenda
globalisasi-neoliberal yang menempatkan pendidikan tinggi sebagai bagian dari
perdagangan internasional yang penuh dengan kompetisi, pasar bebas, dan
dominasi pasar dalam pengambilan-pengambilan keputusan. Corak dan sistem
penyelenggaraan pendidikan ala korporasi yang oleh Heru Nugroho (2002)
diistilahkan dengan “McDonaldisasi Pendidikan Tinggi”. Sebuah jebakan
pendangkalan pendidikan yang timbul karena berbagai metode operasi industri
(bisnis) diterapkan pada dunia pendidikan tanpa reserve. Sehingga semakin
menjauhkan pendidikan dari ruh-nya, yakni sebuah upaya untuk memanusiakan
manusia.55
Lebih lanjut, dalam banyak literatur mengenai globalisasi dan pendidikan
kritisme dan penolakan secara akademis maupun politik juga ada dalam porsi
yang besar. Selain pendapat Nugroho di atas, buku-buku Darmaningtyas seperti
“Tirani Kapital dalam Pendidikan” dan “Utang dan Korupsi Racun Pendidikan”
memaparkan kritik yang besar dalam melihat globalisasi, hutang, bantuan luar
negeri, dan kebijakan pendidikan nasional. Dalam “Tirani Kapital dalam
Pendidikan” menyebutkan bahwa dampak nyata dari globalisasi di bidang
pendidikan adalah upaya pemerintah Indonesia dalam menyusun UU Badan
hukum Pendidikan (UU BHP).56 UU ini menurut Darmaningtyas merupakan
usaha swastanisasi pendidikan. Oleh karenanya menurutnya globalisasi tidak 55 Lihat dalam Heru Nugroho (Ed), McDonalisasi Pendidikan Tinggi. 2002, Yogyakarta: Kanisius.56 Buku ini ditulis sebagai naskah akademik saat UU BHP belum dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009. Lihat Darmaningtyas, dkk, Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009, Yogyakarta: Pustaka Yashiba, hal.19-20.
43
dapat dipisahkan dari ideologi yang kini menjadi arus utama, yakni
neoliberalisme.57
Dari telaah literatur di atas, penelitian ini melihat proses globalisasi seperti
dalam pandangan Giddens dan Heater Eagins yang melihat globalisasi sebagai
proses yang tidak hanya memberikan kemudahan-kemudahan. Namun dibalik itu,
terdapat skenario ekonomi-politik yang lebih besar. Terkhusus pada pendidikan
tinggi, globalisasi-neoliberal hadir dengan membawa agenda-agenda reformasi
pendidikan. Pada tingkatan domestik, Penyelenggara Pendidikan Tinggi di
Indonesia kini “berlomba-lomba” melakukan reformasi untuk memungkinkan
institusinya mampu berkompetisi dalam level internasional. Secara jelas,
reformasi besar dapat dilihat terjadi pada learning format yang mengutamakan
kemajuan teknologi-komunikasi untuk mendukung proses pembelajaran. Format
pembelajaran on-line mulai menggeser tipe pembelajaran konvensional tatap
muka dan terikat dalam sistem kredit semester dengan konstitusi pembelajaran
formal. Hal lain yang juga juga mengalami reformasi adalah ditempatkannya
interdisciplinary sebagai core-bussiness ilmu pengetahuan yang ditawarkan
mengikuti kebutuhan analisis kehidupan global yang anti-isolasi. Dalam
pemilihan interdisciplinary ini, tantangan utama bagi perguruan tinggi adalah
mampu memiliki keunikan pengetahuan yang ditawarkan sehingga luaran yang
dihasilkan memiliki keunggulan spesifik yang unggul dalam berkompetisi.
Pergeseran lain yang dihadapi adalah menyeimbangkan antara kecenderungan
berkembangnya techno-science dan ilmu humaniora. Techno-science menjadi
57 Ibid.
44
lebih diminati karena memberi kontribusi materil langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi global dibandingkan ilmu-ilmu humaniora yang sifatnya immateril.
Globalisasi dalam penyelenggraan pendidikan tinggi juga berdampak pada
internasionalisasi pendidikan tinggi. Secara praktis, gejala internasionalisasi dapat
dilihat dalam empat fenomena ini, yaitu (i) dibukanya cabang-cabang perguruan
tinggi di negara lain, seperti terlihat beberapa perguruan tinggi Amerika membuka
cabang di Asia, termasuk juga di Indonesia; (ii) kerjasama antara perguruan tinggi
dari suatu negara dengan perguruan tinggi di negara lainnya yang menawarkan
program gelar dalam bentuk double-degree atau twinning program: (iii) kuliah
jarak jauh baik melalui media cetak maupun secara virtual melalui internet.
Sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Amerika, Eropa, dan Australia
menawarkan program gelar melalui model ini; dan (iv) terposisikannya institusi
penyelenggara pendidikan tinggi pada peringkat tertentu dalam rangking world
class university.
Sebagai konsekuensi dari internasionalisasi ini, setiap institusi pendidikan
tinggi segera mengkondisikan dirinya menjadi World Class University yang
ditandai dengan terakomodasinya standard internasional dalam hal karaktersitik
institusi pendidikan tinggi tersebut, kualitas pembelajaran, kualitas riset yang
dihasilkan, kualitas mahasiswa, dan prestasi para alumni yang dihasilkan. Tolok
ukur dari indikator ini dilihat dari beberapa hal antara lain kuantitas jumlah
mahasiswa asing yang ada di Perguruan Tinggi tersebut, jumlah staf pengajar
asing dan kualifikasi staf pengajar, rasio dosen dan mahasiswa, student selectivity,
45
besarnya akses ke internet, publikasi ilmiah di jurnal internasional dan publikasi
yang dirujuk (citation), prestasi penghargaan internasional yang diraih staf
pengajar, serta penghargaan dunia yang diperoleh oleh para alumni.
Terkait globalisasi dan pergeseran pendidikan ini, penelitian ini mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dari proses yang tengah berlangsung
ini. Penelitian ini melihat globalisasi tidak pada kacamata “by nature” seperti
pendapat Fukuyama maupun Friedman. Namun lebih melihat globalisasi di segala
bidang sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan pemerintah dan apparatus
negara transnasional yang didukung oleh lembaga-lembaga keuangan global. Dari
titik itu kemudian akan dilihat apa motif dan “pintu masuk” dari globalisasi dalam
pendidikan tinggi di Indonesia secara lebih spesifik pada sampel yang diambil
dalam penelitian ini.
2. Bantuan Luar Negeri dalam Pendidikan Tinggi
Secara umum, studi mengenai bantuan luar negeri dan implikasinya secara
spesifik dalam pendidikan tinggi masih sangat sedikit ditemui. Salah satu karya
yang cukup komperhensif dan menjadi rujukan dalam membahas masalah bantuan
luar negeri pasca Perang Dingin adalah karya David Dollar dan Alberto Alesina,
Who Gives Foreign aid to Whom and Why (2000). Dalam karyanya ini, Alesina
dan Dollar mengemukakan bahwa pola-pola pemberian bantuan asing lebih
ditentukan oleh pertimbangan politik dan strategis di kedua sisi, baik oleh
pendonor maupun resipien (penerima bantuan).
46
Lebih jauh, Alesina dan Dollar menjelaskan bahwa inefisiensi,
ketertutupan ekonomi, dan ketidakmampuan mengelola bantuan dari Negara
bekas koloninya merupakan beberapa penyebab mengapa sebagian besar bantuan
yang diberikan kepada Negara resipien gagal dalam merangsang pertumbuhan
ekonomi dan hanya meningkatkan komsumsi public yang tidak produktif.
Sementara, dari sisi donor, terutama Negara-negara yang berasal dari kawasan
Nordic, bantuan luar negeri yang mereka berikan kepada Negara lain justru
menghasilkan intensif yang tepat. Dampaknya misalnya, tingkat pendapatan yang
meningkat dan semakin terbukannya sistem ekonomi pada negara penerima
bantuan. 58 Karya Alesina dan Dollar ini tidak secara khusus membahas dalam
sektor-sektor tertentu. Studi ini hanya memberikan gambaran umum atas motif-
motif yang menjadi sebab pemberian bantuan.
Literatur lainnya yang secara khusus mengkaji dampak bantuan luar negeri
yang membawa dan mempercepat proses globalisasi neoliberal dalam bidang
pendidikan adalah karya Martin Carnoy dalam bukunya “Globalization and
Educational Reform”. Dalam karya ini, Carnoy memberikan sebuah model
klasifikasi reformasi yang terjadi akibat dari proses globalisasi-neoliberal di
negara-negara anggota OECD.59 Carnoy kemudian mengklasifikasikan proses
reformasi ini ke dalam tiga tipe reformasi. Reformasi tipe pertama adalah desakan
perubahan yang merespon evolusi permintaan tenaga kerja dengan kualitas yang
58 Alberto Alesina dan David dollar, Who Gives foreign Aid to Whom and Why, Journal of Economic Growth, Volume 5, No.1 (Mar, 2000). Hal. 33-6359 Negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Israel, Jepang, Korea, Luksemburg, Meksiko, Negeri Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugis, Republik Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat.
47
lebih baik dalam pasar tenaga kerja domestik maupun internasional. Reformasi
jenis ini berangkat dari ide baru untuk bagaimana mengelola kembali sekolah-
sekolah (dalam semua level) dan meningkatkan kompetensi professional untuk
kesuksesan dunia kerja. Carnoy mengklasifikasikan perubahan ini sebagai
“reformasi berbasis kompetisi” (competition-based reforms). Selanjutnya,
reformasi jenis kedua yang hadir untuk merespon pengurangan anggaran dalam
sektor publik maupun swasta yang diistilahkan sebagai “reformasi berbasis
financial” (reform based on financia imperatives). Tipe reformasi ketiga adalah
reformasi yang berusaha untuk meningkatkan peran politis pendidikan sebagai
faktor utama dari mobilitas dan kesetaraan sosial. Carnoy mengklasifikasikan
reformasi ini sebagai “reformasi berorientasi kesetaraan” (equity-driven
reforms).60 Buku ini merupakan sebuah karya yang komperhensif dan teoritik dan
menjadi pegangan bagi para pengambil kebijakan pendidikan di negara-negara
OECD. Dalam karya ini pun, teori Carnoy ini digunakan untuk menjelaskan
bentuk reformasi yang terjadi dalam pendidikan tinggi di Indonesia.
Dalam studi yang lebih spesifik, Philip W. Jones dalam World Bank
Financing of Education mengurai bagaimana kekuatan financial dan pengaruh
yang dimiliki Bank Dunia membentuk kebijakan-kebijakan pendidikan di seluruh
dunia. Karya yang berdasarkan analisis mendetail atas ratusan dokumen
konfidensial Bank Dunia dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci
Bank Dunia ini membeberkan evolusi kebijakan, proyek, dan program pendidikan
Bank Dunia dari masa ke masa. Karya ini menggunakan aktor dalam melihat arah
60 Lihat Martin Carnoy. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco, hal. 37-46
48
kebijakan pendidikan negara-negara yang dibawa oleh Bank Dunia. Jones
membagi arah dan karakter kebijakan pendidikan Bank Dunia ke dalam beberapa
periode, yakni (1) periode mendapatkan legalitas dan pengaruh yang dimuali dari
tahun 1940an hingga 1950an, (2) periode dimana Bank Dunia mulai memasukan
pendidikan dalam pembiyaan pinjamannya ditahun 1960-1963, (3) Periode
percobaan pertama dalam proyek pendidikan pada tahun 1963-1968, (4) kebijakan
pendidikan di masa McNamara (tahun 1968-1980), (5) pergeseran kebijakan
pendidikan di tahun 1980an dari development ke reform, (6) periode kemenangan
dari fundamentalisme pendidikan, dan periode terakhir yang diistilahkan sebagai
periode ‘Dari Wolfensohn ke Wolfowitz”.
Dalam karya ini pula Jones menemukan bahwa dalam rangka
mendapatkan pengaruh kepada negara-negara peminjam, Bank Dunia (melalui
dual elemennya: aktivitas proyek dan ‘nasehat’ kebijakan) menggelontorkan lebih
banyak dana untuk masuk dan mengusai “world of idea”. Tidak terkecuali dalam
pendidikan, Bank Dunia berinvestasi sangat besar untuk membentuk opini global
tentang ekonomi, pembangunan, dan kebijakan-kebijakan sosial. Daripada
memaksakan pandangan lewat negosiasi pinjaman yang spesifik, Bank Dunia
lebih memilih untuk membiarkan para pemimpin negara-negara peminjam dalam
cara berfikir mereka. Sementara, disis lain, kekuatan dan pengaruh iklim global
terkait kebijakan pendidikan dan pembangunan yang telah “dibentuk” oleh Bank
Dunia terlalu keras untuk dilawan.61 Literatur ini menjadi salah satu kerangka
berfikir dalam penelitian ini yang mana dilihat bahwa struktur internasional
61 Philip W. Jones, World Bank Financing of Education: Lending, learning, and Development. 2007. New York: Routledge, hal 258-259.
49
memaksa aktor untuk berperilaku sesuai dengan tatanan atau, dalam bahasa Jones,
iklim global.
Secara lebih spesifik, hubungan antara bantuan luar negeri dan dampaknya
terhadap pola pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia dijelaskan dengan cukup
detail oleh Jo Bastianes dalam penelitianya tentang “International Assistance and
State-University Relations”. Karya ini mengeksplorasi tujuan, upaya dan hasil
dari bantuan internasional untuk pendidikan tinggi selama tiga dekade terakhir
dan menyelidiki bagaimana bantuan tersebut telah mempengaruhi perubahan
hubungan antara negara dan universitas. Penelitian Bastianes ini berfokus pada
studi kasus Indonesia dan Bank Dunia. Bastiaens menunjukkan bagaimana
bantuan internasional memfasilitasi dan secara aktif mendorong perubahan pola
hubungan negara-universitas hubungan dari kontrol penuh negara menuju
otonomi kelembagaan yang lebih besar. Melalui penggunaan sampel dari
beberapa universitas di Indonesia dan analisis kritis terhadap hubungan antara
donor internasional (Dutch Asistance dan Bank Dunia) dengan reformasi dalam
negeri Indonesia, Bastiaens menunjukkan bagaimana sistem pendidikan Indonesia
mampu melakukan diversifikasi sumber daya, menghasilkan pendapatan, dan
menjadi semakin otonom dari pemerintah. Kemampuan tersebut menurut
Bastianes tidak mungkin terjadi tanpa jalinan hubungan dengan bantuan
internasional. Menurut Bastianes,
“Tanpa dinamika dan, oleh karenanya, tanpa hubungan dengan bantuan internasional, sistem Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia secara umum akan tetap jauh tertinggal, kurang terdiferensiasi,
50
kurang fasilitas dan tenaga akademis ahli, tidak terdesentralisasi, dan kurang otonom dari pemerintah dan birokrasi negara.”62
Bastianes menemukan bahwa dalam kasus bantuan pendidikan oleh Bank
Dunia, tujuan-tujuan kerjasama secara ekspilisit termasuk dukungan untuk
memperkenalkan reformasi kebijakan dalam bentuk dan mekanisme yang lebih
inovatif. Reformasi kebijakan tersebut secara spesifik didesain untuk merombak
tata kelola perguruan tinggi secara serentak dengan istilah “Paradigma Baru
Pendidikan”.63 Dalam komparasi sampel donor bantuan luar negeri Indonesia,
Bastianes juga menyimpulkan bahwa Pinjaman pendidikan dari Pemerintah
Belanda berhasil dalam menciptakan sinkronisasi akademik, namun gagal dalam
usaha peningkatan manajemen perguruann tinggi. Sedangkan, disisi lain, Bank
Dunia bermain dengan peran yang berbeda yaitu pada perombakan tata kelola dan
pembangunan sistem pendidikan yang terdesentralisasi dan otonom. Hal ini
merujuk pada perluasan core business Bank Dunia dalam menjadi “global
knowledge sharing”.
Karya Bastianes ini memiliki signifikansi dan relevansi yang sangat dekat
dengan apa yang dibahas dalam penelitian ini. Pendekatan aktor yang dipakai
untuk menganalisa pergeseran-pergeseran struktural pendidikan tinggi di
Indonesia ini memberikan sebuah posisi literatur yang terang tentang bagaimana
Bank Dunia berpengaruh pada pergeseran tujuan dan tata kelola pendidikan tinggi
di Indonesia secara makro. Adapun penelitian yang penulis angkat, akan melihat
62 Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledg, hal. 147.63 Ibid, hal. 148.
51
relasi tersebut secara mikro dengan tetap berfokus pada fakta bahwa sistem
pendidikan tinggi Indonesia adalah sebuah sistem integral.
Di lingkup yang lebih kecil, penelitian ini merujuk pada penelitian tesis
Arif Wicaksono dengan judul “Aktor Lokal dan Oda Jepang (analisis tentang
interaksi dan tindakan politik aktor yang terkait dengan ODA Jepang dalam kasus
relokasi dan pembangunan infrastruktur kampus Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin di Provinsi Sulawesi Selatan)”. Dalam penelitian ini, Wicaksono
menemukan bahwa desentralisasi sangat mempengaruhi dan menentukan
terbentuknya kepentingan, melalui sebuah jaringan koalisi strategis yang
menciptakan interaksi yang khas dan mempengaruhi pembuatan kebijakan, baik
pada tingkat pusat maupun daerah.
Dengan menggunakan pendekatan tindakan aktor, Wicaksono melihat
bahwa dalam kasus relokasi dan pembangunan infrastruktur kampus Fakultas
Teknik Unhas oleh ODA Jepang, “sangat sarat dengan berbagai kepentingan
bisnis dan industry yang ada di Jepang, dan tidak dapat dilepaskan dari peran dan
kepentingan aktor-aktor nasional Indonesia yang ikut memuluskan rencana dan
kepentingan Jepang tersebut.”64 Sehingga jelas bahwa perubahan struktural berupa
desentralisasi tidak pernah terlepas dari kepentingan dan keuntungan donator
internasional. Hal ini yang juga akan menjadi pertanyaan penelitian yang akan
diuraikan dalam penelitian ini. Studi-studi literatur ini memberikan pijakan dan
posisi pemikiran sebagai kerangka dalam melihat bantuan luar negeri dan
pengaruhnya terhadap pendidikan tinggi di Indonesia.
64 Arif Wicaksono. Aktor Lokal dan Oda Jepang. 2011. Yogyakarta: UGM. Thesis.
52
BAB III
BANK DUNIA DAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
1. Selayang Pandang Bantuan Luar Negeri untuk Pendidikan Tinggi
Indonesia
1.1. Masa Orde Baru
Dalam banyak kasus negara berkembang, tidak tersedianya sumber daya
modal seringkali menjadi kendala utama pembangunan. Walaupun banyak negara
berkembang yang sebenarnya memiliki sumberdaya alam potensial namun karena
rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri maka potensi tersebut
tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Terapat banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Diantara
beberapa penyebabnya antara lain: (1) pendapatan per kapita penduduk yang
umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal propensity to save)
rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya penghasilan,
juga rendah; (2) lemahnya sektor perbankan nasional menyebabkan dana
masyarakat, yang memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara
produktif dan efisien untuk menunjang pengembangan usaha yang produktif; dan
(3) kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar
yang rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan tambahan
dana murah dalam berekspansi.65
Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang sangat terbatas seperti
itu, maka pemerintah negara-negara berkembang mencari sumber-sumber
65 Adwin Surya Atmadja, Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia: Perkembangan dan Dampaknya, Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000, hal. 86.
53
pendanaan lain yang dianggap mudah dan cepat. Solusi yang dianggap bisa
diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi modal domestik adalah
dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah
(grant), bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor,
dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta
langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial
lainnya; dan kredit perdagangan (ekspor/impor). Modal asing ini dapat diberikan
baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta.
Untuk kasus Indonesia, sepanjang sejarah perkembangan pendidikan dan
pembangunan Indonesia sejak tahun 1970an, dana dari luar negeri baik berupa
dana yang sifatnya bantuan ataupun hutang telah menjadi bagian yang tidak bisa
dilepaskan. Saat-saat awal Orde Baru berkuasa, sepertiga pendapatan negara
diperoleh dari dana hibah dan pinjaman luar negeri negara-negara barat dan
Jepang. Hanya dalam kurun waktu 10 tahun di awal kekuasaan Orde Baru, hutang
luar negeri Indonesia telah meningkat sepuluh kali lipat dari 2,4 miliyar Dollar AS
pada 1967 menjadi 11,529 miliar pada 1977. Pada dekade selanjutnya hutang
Indonesia menunjukan gejala peningkatan yang berarti dan pada dekade 1990-an
terjadi peningkatan yang sangat tajam dalam hutang luar negeri Indonesia. Di
penghujung kekuasaannya pada 1998, jumlah hutang pemerintah Indonesia
mencapai 150 Miliyar Dollar AS.66 Perkembangan jumlah hutang luar negeri
Indonesia ini secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1 : Perkembangan jumlah hutang luar negeri selama Orde Baru 1966-1998 (dalam milyar Dollar AS).
66 Laporan Interntional Crisis Group Asia No. 15 Jakarta/Brussel dalam International Crisis Group, “Kredit Macet: Politik Reformasi Keuangan Indonesia”, 13 Maret 2001.
Pada zaman Orde Baru ini, kebijakan ekonomi nasional masih sangat
berorientasi pada kestabilan makro ekonomi dan kestabilan politik. Pada masa ini
perumusan arah kebijakan pendidikan nasional semata-mata diarahkan pada
reproduksi dominasi paham pembangunan dan asas tunggal pancasila.67 Segala
kebijakan publik diatur dengan skenario besar dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA). Untuk merumuskan garis besar pendidikan nasional maka
67 Dominasi ini mulai dari sistem perekrutan guru dan dosen, penunjukan pejabat hingga guru besar, kurikulum, sampai pada kultur riset dalam universitas. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Heru Nugroho dalam Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi: Universitas Sebagai Arena Perebutan Kekuasaan. Lihat Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakie (ed), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. 2006. Jakarta:
55
digelar Konferensi Cipayung yang bertugas untuk megidentifikasi masalah-
masalah pendidikan, menyusun prioritas kebijakan dan merancang alternatif
pemecahan dalam strategi pendidikan nasional. Dari hasil konferensi itu maka
dihasilkan kesimpulan identifikasi masalah pendidikan nasional yakni:
1. Pendidikan luar sekolah
2. Kurikulum sekolah dasar
3. Kurikulum sekolah menengah
4. Kurikulum pendidikan tinggi
5. Pembiayaan pendidikan
6. Sarana pendidikan
Identifikasi ini akhrinya melahirkan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan
pada 1 Mei 1969 melalui SK Mendikbud tanggal 26 Mei 1969 Nomor 033/1969
yang berisi amanat untuk segera dalam jangka waktu dua tahun harus sudah
berhasil menyusun strategi pendidikan nasional.68 Langkah ini merupakan langkah
yang sangat menentukan orientasi kebijakan pendidikan nasional Orde Baru.
Program-program pendidikan jangka panjang, pendek, dan menengah dirancang
untuk menaikan kualitas pembangunan Indonesia.
Akan tetapi, proyek-proyek pendidikan dan kebudayaan ini ternyata tidak
lepas dari campur tangan pendanaan luar negeri. Dari total pinjaman luar negeri
sebesar 195,9 Miliar Dollar AS pada 1974/1975, alokasi dana untuk sektor
pendidikan sebesar 7,8 juta Dolaar AS atau sekitar 4% dari total hutang. Dalam
karyanya, “Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia”,
68 Muhammad Rifai’i, Sejarah Pendidikan Nasional, 2011, Yogyakarta: Ar-ruz Media, hal. 196-197.
56
Siregar Muchtarudin mengemukakan data jumlah pinjaman luar negeri untuk
sektor pendidikan, sebagai berikut:
Tabel 2 : Jumlah Hutang Luar Negeri untuk Bidang Pendidikan 1974/75-1988/89.
TahunJumlah
PinjamanPinjaman Untuk
PendidikanPersentase Pendidikan
1974/75
1979/80
1984/85
1986/87
1988/89
195,9
1.316,3
3.408,7
3.794,7
5.997,6
7,8
42,8
179,7
345,6
779,5
4,00
3,25
5,20
9,10
13,00
Sumber: Siregar, Muchtarudin, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiyaan Pembangunan Indonesia.
Dari data diatas ditemukan bahwa jumlah hutang untuk pendidikan pada
masa Orde Baru terus mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke
tahun. kenaikan drastis terjadi pada periode 1979/1980 dan 1988/89. Rasio antara
jumlah hutang dan dana yang dialokasikan untuk pendidikan pun terlihat
meningkat dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 1979/80 dengan persentase
3,25 untuk dana pendidikan.
Selain itu dapat dilihat pula bahwa sektor pendidikan merupakan salah
satu sektor yang paling diminati oleh para kreditor. Negara-negara kreditor seperti
AS, Belgia, Belanda, Jepang, Jerman, Perancis, dan Swiss adalah negara-negara
yang paling banyak mengivestasikan dananya untuk sektor pendidikan di
Indonesia. Masa pengembalian hutang untuk pendidikan bervariasi antara 20
sampai 40 tahun dengan beban bungan antara 0 hingga 11%. Kreditor hutang
57
untuk pendidikan ini masuk melalui persyaratan hutang yang bervariasi seperti
dapat dilihat dalam table dibawah ini:
Tabel 3 : Persyaratan pinjaman luar negeri negara-negara donor dan lembaga multilateral untuk bidang pendidikan.
Sumber Jenis PinjamanMasa
Pengembalian(Maturity-Tahun)
Masa Bebas Bunga
Suku Bunga
Bilateral
AS
Belanda
Belgia
Jepang
Jerman
Perancis
Swiss
ODA
EXIM BANK
ODA
ODA
ODA
ODA
Campuran
ODA
40
25
30
30
30
30
20
50
10
7
8
10
10
10
5
10
2 - 3 %
3 – 5 %
2,5 %
0 %
3 %
2 %
5,5 %
1 %
Multilateral
ADB
IBRD
IDA
20-25
20
50
3-7
5
10
7 – 11 %
8, 9,5 %
0 – 0,75 %
Sumber: Muchtarudin Siregar, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiyaan Pembangunan Indonesia melalui Darmaningtyas, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, 2008, Jakarta: Pustaka Yashiba, hal.27
Peningkatan hutang luar negeri ini memberikan dampak yang signifikan
terhadap perkembangan sektor pendidikan. Perkembangan ini diikuti dengan
disahkannya UU Pendidikan pertama yakni UU No. 15 tahun 1961. Undang-
undang ini mendefinisikan misi Pendidikan Tinggi dan rincian Tri Dharma
Perguruan Tinggi (Tiga Pilar Perguruan Tinggi Nasional): pendidikan, penelitian
dan pengabdian masyarakat. UU ini juga mendorong diversifikasi program
58
pendidikan tinggi. Sebelum pengesahan UU ini, Perguruan Tinggi swasta tidak
diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan adanya pertauran
ini maka Perguruan Tinggi swasta bersama dengan PTN distandarisasi dan
masukan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Hal ini kemudian berdampak pada melonjaknya pendaftaran mahasiswa di
Perguruan Tinggi yang memuncak selama 1970-an dan 1980-an.69 Nizam (2006)
mencatat bahwa populasi mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi (Perguruan
Tinggi) meningkat dari sekitar 200.000 mahasiswa di tahun 1975 menjadi 2,5 juta
orang mahasiswa pada tahun 1995.70 Perkembangan yang signifikan ini kemudian
mendorong pembentukan lembaga-lembaga pendidikan tinggi baru oleh pihak
swasta yang sebagian besar tanpa kemampuan yang cukup untuk menjalankan
pendidikan yang berkualitas. Sebagian besar lembaga pendidikan tinggi swasta
hanya menguntungkan kesempatan untuk merespon permintaan pendidikan tinggi.
Sebagian besar mahasiswa masuk ke perguruan tinggi swasta setelah gagal untuk
mengakses perguruan tinggi negeri. Ini menjelaskan mengapa terjadi peningkatan
yang pesatnya dalam perkembangan perguruan tinggi swasta di Indonesia. Lebih
dari 95 persen lembaga pendidikan tinggi di Indonesia adalah lembaga swasta.
Sementara itu, perguruan tinggi swasta cenderung untuk membuka fakultas sosial
dan humaniora karena dukungan keuangan mereka yang terbatas. Oleh
pemerintah Orde Baru, kecenderungan ini dianggap tidak sesuai dengan prioritas
69 Singgih Tri Sulistiyono, Higher Education Reform In Indonesia At Crossroad melalui http://Dikti.go.id/files/atur/bhp/HEReform-Singgih.doc diakses pada 12 Juni 2012.70 Nizam, ‘Indonesia: the need for higher education reform’, dalam Higher Education in South-East Asia, UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. 2006. Bangkok: Unesco, Hal. 35–68.
kebijakan untuk mengembangkan perekonomian Indonesia khususnya sektor
industri.71
Untuk memecahkan masalah ini, Depdiknas (pada waktu itu adalah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) melalui Dikti meluncurkan Strategi
Pendidikan Tinggi Jangka Panjang I (HELTS) untuk periode 1975-1985. Pada
HELTS I ini terdapat beberapa masalah yang akan menjadi prioritas program
yakni, pertama, pendidikan tinggi (baik negeri maupun swasta) harus menekankan
pada aspek relevansi dengan mengakui kebutuhan untuk membangun hubungan
yang kuat dengan pembangunan daerah dan nasional. Sebagai akibat dari
paradigma ini, pada periode ini pertumbuhan pendidikan teknik di perguruan
tinggi dalam bentuk pendidikan politeknik meningkat begitu pesat.
Pertumbuhan pesat politeknik ini tidak lepas dari dukungan pinjaman luar
negeri seperti dari Jerman, Swiss, International Development Agency (IDA), Bank
Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), Bank Pembangunan
Asia (ADB). Lembaga-lembaga tersebut memberikan kredit kepada pemerintah
Indonesia.72 Sekitar dua puluh tiga politeknik didirikan dan semuanya melekat
pada perguruan tinggi negeri yang ada. Relevansi yang masih lemah dari
pendidikan tinggi juga dicoba untuk dipecahkan dengan mengembangkan PIP
(Pola Ilmiah Pokok / Pola Ilmiah Primer) sebagai pendekatan baru universitas dan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan pembangunan.
71 Buchori & Malik, “The Evolution of Higher Education in Indonesia”, dalam: Altbach & Umakoshi (ed), Asian Universities, hal. 265.72 Singgih Tri Sulistiyono , Higher Education Reform In Indonesia At Crossroad melalui http://Dikti.go.id/files/atur/bhp/HEReform-Singgih.doc diakses pada 12 Juni 2012.
Prioritas kedua yakni Departemen Pendidikan melalui Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) menetapkan kerangka kerja untuk
pengembangan pendidikan tinggi. Kerangka kerja ini bekerja sebagai panduan
dasar untuk membakukan sistem pendidikan nasional yang lebih tinggi. Ini
meliputi struktur program akademik (sarjana dan pascasarjana), pemerintahan,
dan peran dan tanggung jawab anggota fakultas.
Sebuah sistem dual-akademik dan kejuruan juga dimulai pada periode
yang sama. Menurut kerangka kerja ini, program akademik terdiri dari gelar
empat tahun sarjana (strata 1-S1), tingkat dua tahun Guru (strata 2-S2) dan tiga
tahun program doktor (Strata 3-S3). Program kejuruan menawarkan satu sampai
empat tahun non-gelar tempat pelatihan.
Dapat dikatakan bahwa perubahan mendasar yang diambil oleh Dikti ini
menampilkan akhir dari pengaruh Eropa continental dalam sistem pendidikan
Indonesia. Pada akhir tahun 1970-an, pemerintah mengadopsi sistem bergaya AS
termasuk sistem, akumulasi kredit poin dalam kurikulum. Seorang mahasiswa dari
program diploma tiga tahun disyaratkan untuk menyelesaikan 110 hingga 120 unit
kredit. Seorang mahasiswa gelar sarjana (S1) harus menyelesaikan 144-160 unit
kredit. Perubahan signifikan bisa ini bisa dikaitkan dengan sejumlah besar
anggota fakultas dan birokrat yang belajar di Amerika Serikat. Selai itu, sistem
kredit juga lebih diinginkan karena memonitor kinerja siswa dengan mudah dan
mengurangi masa studi.73 Pergeseran dalam sistem pendidikan ini menjadi
73 Teguh Yudo Wicaksono dan Deni Friawan , Recent Developments in Higher Education in Indonesia: Issues and challenges dalam Shiro Armstrong dan Bruce Chapman (ed) Financing Higher Education and Economic Development in East Asia, 2011, Australia: ANU E Press, hal 160
61
pertanda bahwa pemerintah mulai mereorientasi peran Pendidikan Tinggi ke
dalam penciptaan pekerja terampil dan menanggapi perubahan pasar tenaga kerja.
Namun pada kenyataannya, program peningkatkan kualitas dan efisiensi
ini bukan tugas yang mudah. Untuk meneruskan tuntutan pasar dan donatur yang
menginginkan reformasi pendidikan tinggi di Indonesia, Dikti menyusun rencana
sepuluh tahun yang baru (1986-1995). Isi dari HELTS II ini secara umum hanya
meneruskan penyelesaian masalah yang belum selesai dilaksanakan melalui
HELTS I. Hal ini dapat dilihat studi yang dilakukan oleh Dikti dan JBID (Japan
Bank for International Development) pada tahun 2003 menunjukkan sejumlah
perguruan tinggi negeri terkemuka baru dapat mencapai 25 persen efisiensi
internal pada tahun 2000. Sedangkan pada tahun 1980, belum ada universitas di
Indonesia yang bisa mencapai 20 persen efisiensi internal.74
Dalam selang waktu waktu pelaksanaan HELTS I dan HELTS II ini,
pemerintah didanai secara besar-besaran oleh lembaga-lembaga internasional.
Dengan total dana sebesar 1.091.941.000 Dollar AS, pendidikan tinggi benar-
benar diarahakan untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja pada era Orde Baru.
Lembaga keuangan multilateral tersebut memberikan hutang untuk melaksanakan
proses diferensiasi internal yang, di satu sisi, memunculkan penelitian akademis
yang terfokus dan spesialisasi mengajar di beberapa bidang dan pada beberapa
jurusan/departemen, tetapi di sisi lain, juga meninggalkan disiplin lain dan
departemen sebagian besar belum terjamah. Secara keseluruhan, ilmu-ilmu pasti
transportasi, pertanian, listrik, dll.76 Terkhusus untuk reformasi pendidikan tinggi,
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Tinggi yang digelar di Markas UNESCO di
Paris pada bulan Oktober 1998, misalnya, mendesak kepada semua negara di
dunia, termasuk pemerintah mereka, parlemen dan para pengambil keputusan
lainnya untuk membangun kerangka kerja legislatif, politik dan keuangan untuk
reformasi pengembangan pendidikan tinggi.77
Tuntutan perdagangan bebas untuk sektor pendidikan juga sedang begitu
masif untuk diterapkan ke negara-negara Dunia Ketiga. Bergesernya paradigma
ekonomi dari ekonomi berbasis bahan baku menjadi ekonomi berbasis ilmu
pengetahuan (knowledge based economy)78 membuat negara-negara berkembang
didesak untuk membuka sektor-sektor jasanya. Tuntutan ini juga didukung oleh
enam negara lainnya yang telah meminta Pemerintah Indonesia untuk membuka
sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan
Selandia Baru. Adapun sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan
tinggi, pendidikan sumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina
bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran cina.
Pada tahun 2000, melalui WTO Indonesia telah mengikat diri dan terlibat
dalam perundingan liberalisasi perdagangan tersebut dalam kerangka Putaran
Doha. Pada putaran tersebut telah diputuskan bahwa GATS mencakup 12 bidang
76 Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang. 2006, Yogyakarta: Resist Book hal. 31.77 “World Conference on Higher Education in the Twenty-first Cent ury: Vision and Action” dokumen lengkap dapat diakses melalui http:// unesdoc.unesco.org/images/0011/001164/116428e.pdf 78 Simon Marginson dalam Global Comparisons and the Univesity Knowledge Economy menjelaskan bahwa untuk menjadi Universitas yang kompetitif di dunia global, Universitas harus mentrasformasi dirinya menjadi universitas riset yang memadukan dua nilai utama yaitu economic value dan status value. Menurut Marginson, kedua nilai ini dapat menjadi daya saing utama dalam pasar global. Lihat, Laura M. Portnoi dkk (Ed), Higher Education, Policy, And Global Competition The Phenomenon, 2010, New York: Palgrave Macmillan, hal. 29.
jasa, termasuk pendidikan. Selanjutnya pada Putaran Hong Kong (2005) dibahas
langkah-langkah untuk meningkatkan komitmen untuk melaksanakan keputusan
Doha dengan meminta kepada masing-masing negara anggota untuk menawarkan
atau melakukan “offering” sektor-sektor yang akan diliberalisasi. Walaupun
ditentang oleh banyak pihak termasuk Forum Rektor Indonesia79, Indonesia tetap
menawarkan 5 sektor jasa, yaitu konstruksi, telekomunikasi, bisnis, angkutan laut,
pariwisata, dan keuangan. Pada Putaran Hong Kong, Indonesia telah memasukkan
lagi sektor jasa pendidikan dan menawarkan liberalisasi jasa-jasa pendidikan
berikut:80
1. jasa pendidikan menengah teknikal dan vokasional;
2. jasa pendidikan tinggi teknikal dan vokasional;
3. jasa pendidikan tinggi;
4. jasa pelatihan dan kursus bahasa;
5. jasa pendidkan dan pelatihan sepakbola dan catur.
Akhirnya, Melalui ratifikasi itu akhirnya Indonesia harus meliberalisasi
sektor pendidikannya dengan melakukan perubahan-perubahan sistemik dalam
sistem pendidikan nasional. Perombakan itu meliputi model penyediaan jasa
(termasuk pendidikan) yang telah diidentifikasikan oleh WTO, sebagai berikut81:
79 “Forum Rektor Tolak Liberalisasi Pendidikan ” Kliping Koran Suara Pembaharuan tanggal 1 Desember 2005 diakses melalui http://www.ui.ac.id/download/kliping/021205/Forum_Rektor_Tolak_Liberalisasi_Pendidikan.pdf 80 Prof. Dr. Sofian Effendi dalam “GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi” diakases melalui http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/Strategi-Menghadapi-Liberalisasi-Pendidikan-Tinggi.pdf pada 13 Juli 201281 N.V Varghese, Higher Education Aid: Setting Priorities and Improving effectiveness, 2010, Journal of International Cooperation in Education, Vol. 13 No. 2, hal. 190.
1. Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan
kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program, atau Mode 1.
2. Consumption abroad adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi
yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri
atau Mode 2.
3. Commercial presence atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan
membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan
perguruan tinggi lokal, atau Mode 3.
4. Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada
lembaga pendidikan lokal, atau Mode 4.
Oleh pemerintah, program peningkatkan otonomi universitas sebagai
langkah awal untuk menerapkan privatisasi pendidikan tinggi ini dianggap sejalan
semangat reformasi. Dikti sendiri melihat tuntutan privatisasi dan deregulasi
pendidikan tinggi ini sejalan program sebelumnya yakni untuk melaksanakan
reformasi dengan menerapkan paradigma baru (New Paradigm) dimana otonomi
kelembagaan dan akuntabilitas menjadi isu strategis dalam arah baru pendidikan
ini. Paradigma Baru Pengelolaan Pendidikan Tinggi ini diperkenalkan oleh
Dikti sebagai bagian dari tema utama KPPT-JP III [1996-2005]. Paradigma ini
menghendaki agar seluruh kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan tinggi harus menjadikan kualitas berkelanjutan sebagai ‘icon’- nya.
Untuk mewujudkan icon ini, terdapat empat pilar utama yang harus dibangun
dalam suatu institusi pendidikan tinggi, yaitu: sistem evaluasi (termasuk
evaluasi diri), otonomi, akuntabilitas, dan akreditasi.
67
Menurut paradigma baru ini, otonomi perguruan tinggi harus senafas
dengan akuntabilitas/pertanggungjawaban. Namun demikian, akuntabilitas
internal belum dianggap memadai kecuali hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang handal dan terpercaya mengenai penyelenggaraan, kinerja dan
hasil perguruan tinggi, diaktualisasi melalui proses akreditasi baik oleh Badan
Akreditasi Nasional (BAN) maupun lembaga eksternal lainnya yang relevan.
Paling tidak terdapat tiga konsekuensi utama dari penerapan Paradigma
Baru di atas, yaitu perubahan sistem akreditasi yang dilakukan BAN, pola
penganggaraan pendidikan tinggi negeri, dan perubahan pola perencanaan kerja
pada institusi pendidikan tinggi. Jika sebelumnya di dalam proses akreditasi,
BAN hanya mendasarkan penilaiannya pada Borang Akreditasi selain hasil
verifikasi dengan kunjungan lapangan, kini program studi yang akan
diakreditasi diwajibkan untuk menyampaikan laporan hasil evaluasi diri dan
portfolio lembaga sebagai prasyarat untuk dapat dinyatakan layak untuk
dievaluasi dalam rangka proses akreditasi.
Dalam hal penganggaran, pola lama yang nuansanya lebih banyak ke
pola alokasi berangsur-angsur digeser oleh pola kompetisi. Contoh pola
penganggaran kompetisi semacam ini adalah QUE, DUE, TPSDP, DUE-Like,
Semi- QUE, SP4, Program A1, Program A2, Program A3, Program B dan
IMHERE. Pola penganggaran semacam ini semuanya menempatkan Laporan
Hasil Evaluasi Diri sebagai landasan program-program yang akan diajukan
untuk didanai. Sistem akuntabilatasnya pun berubah dari sekedar pertanggung
jawaban legal formal keuangan menjadi pertanggungjawaban kinerja. Tujuan
68
akhir dari program penganggaran semacam ini adalah pendanaan dengan
sistem block grant kepada institusi pendidikan tinggi. Walaupun demikian,
sampai saat ini sistem block grant ini belum sepenuhnya dapat diwujudkan
oleh Dikti karena masih dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan
tambahan. Untuk mencapai tujuan itu, dasar hukum reformasi pendidikan tinggi
telah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah (PP)
No 61/1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).
Pada tahun 2003, dilakukan revisi UU sistem pendidikan nasional
(Sisdiknas). UU Siskdinas sebelumnya (UU Nomor 2 tahun 1989) dinilai tidak
sesuai lagi dengan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Tuntutan
otonomi daerah dan tuntutan reformasi pendidikan itu kemudian melahirkan UU
Nomor 23 tahun 2003 tentang sistem pandidikan nasional. Undang Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini merinci arah kebijakan
pendidikan nasional. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa:
(i) Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan (ii) Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Acuan lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam PP ini disebutkan bahwa perguruan tinggi diharapkan memainkan
peran sebagai pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta
pemeliharaan pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi
69
dan/atau kesenian sebagai suatu masyarakat ilmiah yang penuh cita-cita luhur,
masyarakat berpendidikan yang gemar belajar dan mengabdi kepada masyarakat
serta melaksanakan penelitian yang menghasilkan manfaat yang meningkatkan
mutu kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar UU Sisdiknas yang baru inilah, terkhusus untuk pendidikan
tinggi, kemudian dijabarkan ke dalam sebuah Rencana Strategi Pendidikan Tinggi
Jangka Panjang (2003–2010) atau Higher Education Long Term Strategy
(HELTS) disusun oleh Dikti. HELTS 2003-2010 ini difokuskan pada penguatan
kualitas, akses yang adil, dan otonomi dengan mengkonsolidasikan Paradigma
Baru dan bergerak menuju sistem pendanaan berbasis kinerja. Secara singkat
tujuan utama dari HELTS adalah:82
1. Meningkatkan daya saing bangsa
2. Universitas otonomi dan desentralisasi
3. Meningkatkan kesehatan organisasi universitas
Seperti telah diuraikan di atas, dalam paradigma baru pendidikan ini,
pendekatan yang dilakukan untuk pengembangan kapasitas perguruan tinggi telah
pula mengalami pergeseran dari pendekatan investment based program menjadi
pendekatan outcome based program yang dirancang dalam suatu competitive
funding mechanism. Permasalahan disparitas kualitas perguruan tinggi yang
cukup besar sebagai akibat dari pendekatan sentralistik di masa Orde Lama, juga
telah dipertimbangkan dalam mekanisme pendanaan kompetitif tersebut dengan
sistem tiered competition. Adapun jumlah perguruan tinggi di era reformasi ini
82 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Strategi Pendidikan Tinggi Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003 – 2010: Mewujudkan perguruan tinggi berkualitas, 2004. Jakarta: Dikti
70
terus meningkat. Hingga tahun 2004, jumlah perguruan tinggi di Indonesia telah
mencapai angka 2235 perguruan tinggi dengan berbagai bentuknya.
Tabel 5 : Jumlah PT untuk masing-masing bentuk perguruan tinggi
No. Bentuk Perguruan Tinggi PTN PTS
1. Politeknik 25 892. Akademi -- 7153. Sekolah Tinggi -- 10434. Institut 10 435. Universitas 46 345
Jumlah 81 2235
Sumber: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Strategi Pendidikan Tinggi Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003 – 2010: Mewujudkan perguruan tinggi berkualitas, 2004. Jakarta: Dikti, hal. 13
Akan tetapi, peningkatan kuantitas perguruan tinggi ini tidak berbanding
lurus dengan angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia. Tahun 2001
hingga tahun 2005 angka partisipasi hanya berkisar antara 14,9 % hingga 16,9 %.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1: Tren tingkat partisipasi tersier kasar di institusi-institusi pendidikan publik dan swasta, 2001-2008.
71
Sumber: Modul Inti SUSENAS 2001-2008 dalam Naskah Kebijakan Bank Dunia, Indonesia: Pembiayaan Pendidikan Tinggi. 2010. Jakarta: Bank Dunia, hal. 1
Kesenjangan akses, kuantitas, dan kualitas inilah yang menjadi fokus
utama Untuk mengatasi tantangan dan masalah-masalah pendidikan tersebut,
pemerintah banyak melakukan kerjasama bantuan dan kebijakan dengan Bank
Dunia. Baik dalam hal reformasi sistem pendidikan maupun pelaksanaan
operasional dalam bentuk technical assistance. Bank dunia memiliki pengaruh
dan andil besar dalam mendorong restrukturisasi pendidikan Indonesia. Adapun
hal ini akan dibahas lebih dalam pada bagian selanjutnya.
2. Kiprah Bank Dunia dalam Pendidikan Tinggi Indonesia
2.1 Mekanisme dan Jenis Bantuan Bank Dunia
Bank Dunia merupakan badan publik internasional yang dimiliki dan
diatur oleh negara-negara anggotanya. Walaupun sering hanya disebut sebagai
“Bank Dunia”, sebenarnya Bank Dunia bukanlah sebuah organisasi keuangan
tunggal yang berdiri sendiri, melainkan terdiri lima perpanjangan tangan yang
terpisah yang disebut Kelompok Bank Dunia atau The World Bank Group. Dua
dari tangan tersebut, The International Bank for Reconstruction and Development
(IBRD) - Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan; serta The
International Development Association (IDA)- Asosiasi Pembangunan
Internasional – bekerja dengan pemerintah negara-negara. Kedua bank inilah yang
secara umum dikenal sebagai “the World Bank” atau “Bank Dunia”. Kedua
tangan lainnya - the International Finance Corporation (IFC)- Kerjasama
72
Keuangan Internasional; dan the Multilateral Investment Guarantee Agency
(MIGA)- Lembaga Penjamin Investasi Multilateral – yang secara langsung
memberikan dukungan terhadap bisnis swasta yang ada di negara-negara
berkembang dan negara transisi. Sementara, tangan kelima adalah the
International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) – Pusat
Penyelesaian Sengketa Investasi Internasional-, yang menjadi ajang arbitrase jika
terjadi sengketa antara investor asing dan pemerintah. Kelompok Bank Dunia ini
setiap tahunnya menyediakan milyaran dolar AS untuk pinjaman, hibah, dan
macam-macam bantuan keuangan dan teknis kepada pemerintah dan perusahaan-
perusahaan swasta di Afrika, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, serta Eropa
Timur. Aktivitas Kelompok Bank Dunia ini mempengaruhi undang-undang dan
peraturan, anggaran pemerintah, serta keputusan-keputusan investasi sektor
swasta di negara-negara diseluruh dunia83 karena pada prinsipnya, Bank Dunia
adalah agen regulasi ekonomi global berbentuk bank dan memberikan pinjaman
(dengan berbagai syarat), bukan pemberi donor.84
Sejak berdirinya pada tahun 1946, Bank Dunia telah menjadi “sebuah
lembaga konservatif yang mendanai infrastruktur dan investasi dasar lainnya di
negara-negara kurang berkembang."85 Sejak 1968, ketika Robert McNamara
menjadi Bank Presiden, telah tertarik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
melalui investasi modal. Investasi pendidikan bukanlah wilayah investasi yang
83 Bank Information Center toolkit for activist, hal. 1-2 diakses melalui http://www.bicusa.org/toolkit 84 Peran Bank Dunia sebagai Bank dan agen kapitalisme global dijelaskan dalam Carlos Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 30-33.85 James Bovard, “The World Bank and the Impoverishment of Nations” dalam Doug Bandow dan Ian Vásquez (editors) melalui Carlos Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 30.
paling penting dari Bank Dunia, khususnya jika dibandingkan dengan, misalnya,
investasi di bidang infrastruktur.86
Dalam menjalankan kerjasama bantuan, biasanya negara peminjam
mengajukan proposal bantuan Bank dunia yang berisi usulan proyek-proyek. Di
sisi lain, Bank Dunia mempunyai prioritas sendiri, yang dapat terlihat dari
strategi-strategi sektor, negara dan regional. Kertas Strategi Pengurangan
Kemiskinan/The Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP), disiapkan oleh
pemerintah dari miskin atau berkembang dengan inisiatif dari Bank Dunia, yang
menggambarkan target jangka pendek pengurangan angka kemiskinan negara
terkait. Strategi Bantuan Bank Dunia (Bank’s Country Assistance Strategy (CAS))
atau yang setara dengannya, menggambarkan rencana aktifitasnya di negara-
negara tertentu selama lebih dari 3-5 tahun.
Negara pemberi pinjaman yang tergabung dalam Dewan Direktur Bank
Dunia harus memiliki jaminan bahwa kepentingan mereka dapat tercapai melalui
kerja-kerja Bank Dunia. Apa yang terjadi di negara-negara peminjam (recipient)
adalah hasil dari interaksi berbagai kepentingan ini. Bank Dunia selalu
menyatakan bahwa semua proyek yang didukungnya di sebuah negara selalu
diminta oleh pemerintah yang bersangkutan atau dihasilkan dari visi
pembangunan negara tersebut. Namun kenyataannya, pemerintah negara
peminjam dan/atau publik seringkali tidak memiliki pengaruh yang cukup atas
penyusunan dokumen kunci strategis yang menjadi pedoman Bank Dunia di
86 Perubahan dramatis terjadi pada periode Robert McNamara sebagai presiden Bank Dunia khususnya terkait pada kebijakan sektor pendidikan. McNamara membuka pinjaman yang lebih untuk sektor pendidikan. McNamara melihat pendidikan sebagai faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan, lihat bab “Education in the McNamara years 1968-80” dalam Phillip W. Jones, World Bank Financing of Education, 2007, New York: Routledge, hal. 78-122
74
negaranya. Begitupun, pengaruh masyarakat sipil pada substansi dokumen-
dokumen kebijakan seperi PRSP dan CAS sangat terbatas. Padahal implementasi
kebijakan strategis Bank Dunia, melalui riset dan analisa, investasi proyek, serta
pinjaman untuk perubahan kebijakan, sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah
serta agenda dari donor lain.87
Dalam kerja-kerjanya Bank Dunia memberikan bantuan dalam berbagai
jenis pinjaman. Secara sederhana, Bank Dunia memakai bentuk-bentuk formal
pinjaman, seperti:88
a. Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement)
Perjanjian ini diadakan antara dua pihak debitur (peminjam) dengan
pihak kreditur (Bank Dunia) dimana Bank Dunia telah menyetujui
pinjamannya.
b. Perjanjian Jaminan (Guarantee Agreement)
Perjanjian ini diadakan oleh Bank dengan negara anggota dimana negara
anggota tersebut telah menyetujui untuk memberikan jamin atas
pinjaman dari Bank Dunia.
c. Perjanjian Proyek (Project Agreement)
Perjanjian ini diadakan antara Bank Dunia dengan pelaksana dariproyek
yang dibiayai oleh Bank Dunia dimana si pelaksana tadi bukanlah si
peminjam.
d. Perjanjian Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement)
87 Ibid, hal. 12.88 Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., Tanggung Jawab bank Dunia dan IMF sebagai Subjek Hukum Internasional. 2009, Jakarta: Sofmedia, hal. 172.
75
Perjanjian ini diadakan apabila negara peminjam meminjamkan lagi
pinjamannya tersebut kepada pihak lain, misalnya Pemerintah Pusat
meminjamkan dana pinjaman yang diperoleh dari Bank Dunia kepada
Pemerintah Daerah, Badan Usaha milik Negara, untuk melaksanakan
proyek yang telah dibiayai oleh Bank Dunia.
e. Surat Penjelasan (Suplementary Letters)
Surat penjelasan ini kadang-kadang diperlukan untuk melengkapi
perjanjian-perjanjian di atas, sehingga karena sifatnya merupakan
penjelasan pelengkap bagi perjanjian.
f. Pengaturan Kontrak Tambahan (Additional Contractual Agreement)
Kadang-kadang dibutuhkan suatu pengaturan tambahan yang diperlukan
untuk mengatur masalah-masalah khusus, misalnya: pengaturan
pinjaman, seperti pembuatan akte notaris dan cara pembayaran.
g. Dalam hal tertentu, mungkin adanya suatu kontrak yang sangat kompleks
antara pemerintah dan pihak swasta sebagai pelaksana proyek yang
dibiayai oleh Bank Dunia. Bank Dunia di sini akan ikut mengawasi,
walaupun bukan sebagai pihak dalam kontrak yang demikian, namun
Bank Dunia berkepentingan dalam hubungannya dengan pinjaman yang
diberikan. Bank Dunia perlu memberikan persetujuan atas kontrak yang
sedemikian ini.
76
2.2 Sejarah Bantuan Bank Dunia untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia
Pada bulan Februari 1967 di Amsterdam sejumlah negara dan lembaga
donor sepakat membentuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI)
dibawah pimpinan Belanda. Forum inilah yang selama lebih dari 30 tahun
kemudian menjadi tumpuan utama bantuan luar negeri Pemerintah Indonesia
untuk menutup defisit anggaran. Selain itu, seiring dengan bergabungnya kembali
Indonesia ke PBB, Indonesia juga bergabung ke IBRD, IDA, IMF dan ADB.
Pada awal 1968, Bank Dunia telah membuka perwakilannya di Jakarta.
Dengan pembukaan perwakilan ini, Bank telah memposisikan dirinya secara
strategis untuk memfasilitasi dialog kebijakan makroekonomi yang luas dengan
pemerintah Indonesia, yang akan segera ditindaklanjuti di berbagai sektor dan sub
sektor kegiatan Bank. Di awal kerjasama ini, dimulai dialog tentang perencanaan
pendidikan nasional (selanjutnya membahas tentang perencanaan pendidikan
tinggi) dan peluang pinjaman serta bantuan yang dapat dilakukan oleh kedua
pihak. Dalam perkembangannya, tercapai kesepakatan yang lebih luas antara
officer senior dialog di Bank dan di birokrasi Indonesia (yaitu BAPPENAS,
Departemen Keuangan, dan Depdikbud), bahwa pendidikan merupakan sektor
kunci dalam pembangunan negara ekonomi dan sosial. Kemudian kegiatan hulu di
tingkat sub-sektor (misalnya dalam pendidikan tinggi) pada dasarnya akan
membangun konsensus dasar yang disepakati ini.
Selanjutnya, dialog dilanjutkan dengan pemahaman awal bersama
pemerintah tentang apa peran dan ambisi Bank Dunia terhadap kondisi pendidikan
77
di Indonesia.89 Bahkan sebelum bantuan pendidikan dari negara-begara donor lain
masuk ke Indonesia, Bank Dunia telah menyatakan bahwa fokus Bank Dunia
tidak hanya pada investasi atau “perpindahan uang”, tetapi juga akan berusaha
untuk memainkan peran utama dalam bidang-bidang yang lebih spesifik seperti
manajemen pendidikan, bantuan teknis, dan analisis sektor pendidikan.
Keterlibatan lebih Bank Dunia dalam bidang pendidikan ini di dasarkan pada
pemikiran tentang masalah-masalah mendasar dalam pendidikan, misalnya
pendanaan publik (yaitu argumen kurangnya alokasi dana untuk pendidikan),
akses pendidikan (ketidakadilan dan ketidakmerataan pembangunan) dan perlunya
perencanaan, manajemen, dan koordinasi yang lebih baik (peningkatan efisiensi).
Keterlibatan dan kepentingan Bank Dunia dalam sektor pendidikan ini terlihat
dari alokasi dana bantuan untuk sektor pendidikan yang menempati posisi ketiga
setelah investasi dalam di sektor infrastruktur dan pertanian seperti yang nampak
pada table berikut:
Tabel 6 : Distribusi sektor pendanaan Bank Dunia, Tahun Fiskal 1969-1998
InfrastrukturPertanianPendidikan/Kesehatan, Nutrisi & PopulasiUrban/Sanitasi suplai air bersihSektor Keuangan
10,1964,8803,301
2,624
1,818
40,219,2
13
10,4
7,2
36,934,87,3
6,1
6,6
34,324,71,6
6,6
10,4
46,99,516
15,1
4,2
89 Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledg, hal. 46.
78
Program Perubahan/AdjusmentLainnya
1,200
1,351
4,7
5,3
--
8,3
8,7
3,7
2,2
6,1
Total 25,370 100 100 100 100
Sumber : World Bank Brief on Indonesia, www.worldbank.org/eap dalam Kurnya Roesad, ODA in Indonesia: A Preliminary Assessment, 2001, Economics Working Paper Series.
Bank Dunia kemudian menyelenggarakan survei pendidikan pertama pada
tahun 1973, pada saat pemerintah Indonesia mengantisipasi ekspansi yang
signifikan dari investasi pemerintah di sektor sosial. Laporan yang juga
memberikan penilaian yang komprehensif dari sistem pendidikan, dan
menyarankan garis besar program investasi sebagi masukan bagi REPELITA II,
(1974-1979). Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mendiagnosa inefisiensi yang
ada (tingkat drop out yang tinggi, duplikasi program dan fasilitas, kurangnya
koordinasi antar fakultas dan lembaga induk) hingga sampai pada kesimpulan
bahwa "banyak sumber daya yang dihabiskan untuk pendidikan tinggi yang
terbuang".90
Dengan pendekatan itu kemudian, Bank Dunia mulai menjalankan strategi
dan proyek pendidikannya dalam pendidikan tinggi Indonesia. Di sisi lain,
pemerintah Indonesia juga memiliki agenda dan tujuan pendidikannya. Hasil dari
pertemuan kepentingan ini akhirnya mempengaruhi hubungan struktural antara
negara dan universitas. Sejalan dengan semakin kuatnya tuntutan untuk reformasi
dan otonomisasi (yang dapat dilihat dari arus otonomi daerah pasca reformasi),
hubungan antara sentraliasasi negara dan universitas mencapai titik perubahan
90 World Bank, Indonesia Education Sector Survey Report. 1975. Washington D.C ; World Bank, hal. 60.
- Rencana Pengembangan Pendidikan Tinggi (Higher Education Development Plan) pertama (1975-85)
Standarisasi di tingkat institusi
- Peraturan No. 5 tahun 1980
80
1985-94 Institutional Capacity Building
- investasi pengembangan kapasitas nasional untuk dosen dan penelitian di sektor-sektor strategis (UDP II)
-investasi dalam peningkatan kualitas input (HEDP)
- diversifikasi sumber daya (HEDP)
- perencanaan dan manajemen capacity building di tingkat pusat dan daerah (HEDP, UDP, Politeknik)
- kebutuhan untuk tenaga kerja terlatih (S & T Project)
Kontrol langsung negara yang kurang:- Meningkatnya
Sumber daya terdiversifikasi
- Pengurangan biaya pendidikan secara nyata
- Pemisahan-pemisahan institusi
Peran baru negara:- Menumbuhkan
kompetisi dan selektifitas
- Mendorong pendapatan
- Mendukung pembangunan sektor swasta
- Manajemen dan sistem informasi
Di tingkat institusi- dekosentrasi
Consolidation (investasi pada kualitas input)
- stabilisasi populasi mahasiswa di universitas negeri dan pertumbuhan universitas swasta yang pesat
- dukungan untuk penelitian dan teknologi
- Rencana Pengembangan Pendidikan Tinggi (Higher Education Development Plan) kedua (1968-1995)
Pengetatan anggaran- Pengurangan
anggaran pendidikan
Pelegitimasian otonomi financial institusi (HED)
- Undang-Undang pendidikan dasar
- Peraturan No. 30 tentang otonomi financial
1995-98+
Strategi desentralisasi- Peningkatan
otonomi lembaga sebagai cara untuk mengembangkan kualitas dan relevansi
- Peningkatan
Pengawasan negara:
- Pembentukan badan perantara yang bersifat semi-otonom untuk akreditasi, evaluasi, seleksi, dan kebijakan
“Paradigma Baru”(reformasi manajemen)
Menyarankan peningkatan otonomi dengan tujuan berikut:
81
respon lembaga secara eksternal (akuntabilitas) dan internal (partisipasi dan kepemilikan)
- Peningkatan selektifitas dalam keterjangkauan dan pendanaan publik melalui mekanisme kompetisi dan pendanaan alternatif
- Untuk menfasilitasi rencana desentralisasi universitas
- Untuk menfasilitasi mekanisme penjamin mutu yang independen dan transparan
Proyek kunci: URGE/DUE/QUE
- Selektifitas melalui kompetisi, hibah, dan pendanaan yang sesuai
- Otonomi ‘dalam sistem hirarkis’ (Rencana Jangka Panjang)
- Mendayagunakan kerangka kerja peraturan
Di tingkatan institusi:- Perencanaan yang
tersentralisasi- Ketegangan antara
keinginan untuk desentralisasi dan sentralisasi
- Meningkatkan kualitas (performance yang lebih baik)
- Membuat universitas lebih akuntabel
- Meningkatkan efisiensi
- Memperkuat manejemen institusi
- Keseimbangan yang lebih baik antara universitas lokal dan global
- Rencana Pengembangan Pendidikan Tinggi (Higher Education Development Plan) ketiga (1996-2005)
- Memperkenalkan proyek ‘DUE-like’ dan ‘QUE-like’.
Sumber: Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledg, hal.50.
Pada periode HEDP ketiga, Bank Dunia mulai mendorong strategi
desentralisasi institusi pendidikan tinggi. Dengan strategi peningkatan otonomi
lembaga sebagai cara untuk mengembangkan kualitas dan relevansi juga mulai
mengusulkan penerapan mekanisme pembiayaan yang berbeda dari sebelumnya.
Mekanisme yang sebelumnya didasarkan pada investment sementara dalam
mekanisme yang baru ini, memakai mekanisme hibah kompetisi. Dalam artian
bahwa setiap perguruan tinggi hanya akan diberikan bantuan sesuai dengan
82
pencapaian prestasi dan output yang dihasilkannya. Mekanisme ini kemudian
dikenal dengan mekanisme pendanaan kompetitif.
Secara historis, mekanisme pendanaan kompetitif untuk perguruan tinggi
ini pertama kali diterapkan di Amerika Serikat pada tahun 1980 oleh National
Science Foundation dan di Inggris pada tahun 1990 oleh Dewan Pendanaan
Universitas. Maka melalui program University Research for Graduate Education
(URGE) Bank Dunia memperkenalkan mekanisme hibah kompetisi ini pada tahun
1994. Proyek ini diterapkan pada perguruan tinggi yang melaksanakan program
pascasarjana. Meskipun proyek bantuan URGE memiliki dampak pada penguatan
kapasitas individu atau riset, namun oleh Bank Dunia proyek ini dilihat tidak
memiliki efek pada pengembangan sumber daya manusia dan relevansi program
studi. Oleh karenannya pada tahun 1996, diluncurkan proyek hibah kompetitif
khusus untuk program studi melalui proyek Development of Undergraduate
Education (DUE). Mekanisme kompetitif ini dijalankan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:91
1. Persaingan
Prinsi utama dari skema pendanaan yang kompetitif adalah persaingan.
Untuk itu maka Bank Dunia dan Pemerintah menawarkan jumlah hibah
yang jauh lebih kecil dari jumlah institusi yang bersaing dalam kompetisi.
Adapun umlah hibah yang ditawarkan tidak boleh melebihi 20% dari
jumlah peserta. Jumlah pelamar yang memenuhi syarat harus kurang dari
91 M. K. Tadjudin, Competitive funding as a tool of improving higher education management, diakses melalui http://portal.unesco.org/pv_obj_cache/pv_obj_id_666A6A45E155BC829D491155D515A81B4E990100/filename/M_K_Tadjudin.pdf pada 7 Juli 2012.
jumlah hibah yang ditawarkan. Jumlah hibah yang lolos juga harus
dikurangi kemudian jumlah sisa dana dapat ditambahkan ke tahun
berikutnya.
2. Memiliki tujuan yang spesifik
Dalam skema hibah kompetitif ini, setiap program harus memiliki tujuan
tertentu yang harus dijelaskan dalam pedoman pengajuan proposal. Tujuan
ini juga harus dijelaskan dalam indikator kinerja yang harus dicapai oleh
penerima hibah di akhir proyek.
3. Otonomi dan desentralisasi
Penerima hibah dituntut untuk bertanggung jawab dan akuntabel dalam
melaksanakan proyek. Untuk tujuan ini maka strategi otonomi dan
desentralisasi dalam pendidikan tinggi dianggap menjadi sebuah
keharusan untuk arah kebijakan nasional.
4. Konsistensi dalam pelaksanakan kebijakan
Untuk menjaga nuansa persaingan, maka ketika dana kompetitif dipilih
sebagai kebijakan, maka kebijakan ini dilakukan secara konsisten.
Konsistensi ini diharuskan agar penerima calon tidak kehilangan minat
dan motivasi untuk mengajukan permohonan hibah kompetitif. Jika
penerima calon yang menulis proposal untuk 500 juta rupiah pada saat
yang sama juga mendapat alokasi 1 milyar rupiah tanpa harus menulis
proposal dan akan melalui proses kompetitif yang sulit, ia akan kehilangan
minat dan motivasi untuk selanjutnya.
5. Kompetisi berjenjang
84
Motivasi untuk berpartisipasi dalam kompetisi dapat dipertahankan jika
ada kesempatan yang wajar untuk menang. Karena tingkat variasi dalam
pengembangan Perguruan Tinggi di Indonesia cukup tinggi, perguruan
tinggi yang sebanding harus ditempatkan dalam satu kelompok atau tier.
Hal ini dilakukan untuk menciptakan kompetisi yang dianggap “setara”
antara lembaga-lembaga sejenis, dan lembaga lemah tidak merasa “kalah
sebelum berperang”.
6. Proses seleksi yang objektif
Integritas pelaksana dalam proses seleksi sangat penting dalam skema
pendanaan yang kompetitif. Proses seleksi dituntut untuk dilaksanakan
secara transparan dan akuntabel. Proses seleksi harus menjadi proses peer
review. Informasi tentang “penilai” harus dirahasiakan sampai periode
kunjungan lapangan. Setiap proposal yang ikutkan dalam hibah kompetisi
harus mendapatkan komentar “penilai” sehingga peserta tahu ada
kelemahan dan mampu untuk melakukan perbaikan.
7. Evaluasi dan monitoring
Setelah pemenang kompetisi diumumkan evaluasi periodik dan proses
pemantauan harus ditetapkan. Evaluasi berkala merupakan mekanisme
umpan balik jangka pendek digunakan untuk menentukan apakah proyek
tersebut dapat dilanjutkan atau harus dihentikan atau perubahan harus
dilakukan untuk meningkatkan kinerja proyek.
85
8. Insentif dan disinsentif
Penerima hibah diberikan insentif untuk dapat mengambil bagian dalam
skema pemberian hibah yang lebih bergengsi dan penempatan kategori ke
tingkat yang lebih tinggi. Selain insentif, mekanisme hukuman atau
disentif juga diberikan jika proyek tidak berjalan dengan baik. Dalam
tingkatan tertentu, hukuman ini dapat berupa mengakhiri hibah.
Prinsip-prinsip inilah yang kemudian mendasari mekanisme pemberian
hibah. Pada prakteknya, mulai tahun 1996 hingga sekarang Dikti dan Bank Dunia
telah menggunakan mekanisme ini dalam proyek-proyek pendanaan pendidikan
tinggi di Indonesia. Selama periode 1996 hingga 2004, Bank Dunia dan Dikti
menerapkan mekanisme hibah kompetisi ini ke dalam enam proyek besar untuk
pendidikan tinggi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi
institusi (proyek DUE, QUE, DUE-like, TPSDP) serta untuk menciptakan
peningkatan kapasitas internal (seperti pada proyek Semi-QUE dan SP4). Tabel
dibawah ini menjelaskan secara detail tujuan, pelaksana, dan besar pendanaan dari
kelima proyek tersebut.
Tabel 8 : Skema pendanaan kompetitif dari tahun 1996.
Proyek Tahun Tujuan Penerima Hibah
Institusi yang berpatisipasi
Dana Maksimal
Sumber Dana
DUE 1996-2002
Kualitas lulusan, efisiensi
Perguruan Tinggi/Program Studi
Cenderung diikuti oleh Pendidikan Tinggi Indonesia yang lemah
10 Juta Dollar AS / 5 tahun
Bank Dunia & Dikti
QUE 1997-2003
Kualitas lulusan, efisiensi
Program Studi
Kompetisi bebas
1,8 Juta Dollar AS/ 5
Bank Dunia &
86
tahun Dikti
DUE-like1999-2005
Kualitas lulusan, efisiensi
Perguruan Tinggi/Program Studi
Institusi setingkat
Rp. 15 Miliyar / 5 tahun
Dikti
Semi-QUE 1999-2005
Kapasitas internal
Perguruan Tinggi/Program Studi
Perguruan tinggi negeri dan swasta yang setingkat
Rp. 500 juta / 2 tahun
Dikti
TPSDP 2001-2007
Kualitas lulusan, efisiensi
Program Studi
Perguruan tinggi negeri dan swasta yang setingkat
1,3 Juta Dollar / 4 tahun
Bank Dunia & Dikti
Sistem Penda-naan dan Perenc-anaan Program (SP4)
2003-2006
Kapasitas internal, manajemen
Perguruan Tinggi/Departemen
Perguruan Tinggi negeri
Rp. 500 juta / 2 tahun
Dikti
Sumber: M.K. Tadjudin, "Competitive funding as a tool of improving higher education management" diakses melalui http://portal.unesco.org/pv_obj_cache/pv_obj_id_666A6A45E155BC829D491155D515A81B4E990100/filename/M_K_Tadjudin.pdf
Di tahun 2004, ketika evaluasi Bank Dunia terkait kapastitas internal telah
menunjukan hasil yang cukup relevan, maka skema pendanaan kompetitif dan
tujuan pendanaan diarahkan pada penciptaan peningkatan kualitas, efisiensi
eksternal, dan persaingan universitas dalam skala global. Dikti menerapkan skema
Hibah Kompetisi dengan program-program studi dan departemen sebagai target
pendanaan. Total dana Rp. 9,5 Milyar digelontorkan oleh Dikti yang
dikompetisikan kepada universitas negeri dan swasta yang “selevel”.
Sesuai dengan prinsip kompetisi yang telah dijabarkan sebelumnya, untuk
menciptakan sistim persaingan yang “setara” maka program ini pun dibagi
beberapa level. Terdapat level kompetisi A-1 (untuk peningkatan kapasitas
Sumber: M.K. Tadjudin, "Competitive funding as a tool of improving higher education management" diakses melalui http://portal.unesco.org/pv_obj_cache/pv_obj_id_666A6A45E155BC829D491155D515A81B4E990100/filename/M_K_Tadjudin.pdf
Sesuai dengan fokus penelitian ini, seperti disebutkan dalam Operasional
Procedure Management (OPM) IMHERE dengan kode Development Credit
Agreement No: 4077-IND and Loan Agreement No: 4789-IND, bahwa program
IMHERE ini bertujuan untuk “menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
pertumbuhan perguruan tinggi negeri yang otonom dan akuntabel, dan
mengembangkan mekanisme pendukung yang efektif untuk meningkatkan
kualitas, relevansi, efisiensi dan kesetaraan pendidikan tinggi”. Proyek IMHERE
ini sebelumnya bernama Higher Education for Competitiveness Project (HECP).
IMHERE merupakan program Dikti yang pendanaannya sebagian dibiayai
melalui pinjaman (Loan) dari Bank Dunia baik dari dana IBRD maupun dana dari
IDA. Sesuai dengan Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND dan Develeopment
Credit Agreement (IDA) no. 4077-IND schedule 4. Secara struktural, Direktur
Jenderal Dikti bertanggungjawab penuh terhadap seluruh implementasi proyek di
lingkungan Direktorat Jenderal Dikti, Departemen Pendidikan Nasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut program IMHERE dijalankan melalui
lima kegiatan proyek dengan lima indikator utama. Indikator ini sebagai
parameter utama dalam mengukur keberhasilan misi bantuan Bank Dunia yang
1. Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP)
disetujui pada tahun 2010; hal ini ditujukan untuk memberikan landasan
yang kuat bagi peletakan struktur legal fundamental dan kerangka
peraturan yang menyeluruh untuk mendukung pelaksanaan otonomi
institusi pendidikan tinggi.
2. Pada tahun 2010, Sistem Informasi Nasional Pendidikan Tinggi (SINPT)
dapat melaksanakan dan melaporkan secara regular tracer study terhadap
lulusan; SINPT ini bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisa, dan
mendiseminasikan data yang menjangkau semua lulusan perguruan tinggi.
3. Pada tahun 2010, akreditasi institusi harus sudah dapat diberikan kepada 5
persen dari keseluruhan perguruan tinggi (negeri dan swasta); ini
menunjukkan pengembangan dan penerapan standar dan prosedur baru
bagi akreditasi institusi oleh BAN-PT telah berhasil di bangun.
4. Pada tahun 2010 terdapat 5 PT BHMN yang memperoleh unqualified
opinion terhadap laporan keuangannya dari akuntan publik. Indikator ini
akan digunakan sebagai bukti bahwa PT BHMN telah berhasil
memperkuat kemampuan pengelolaan keuangan yang sangat diperlukan
untuk melaksanakan otonomi.
5. Evaluasi yang komprehensif terhadap mekanisme pendanaan berdasarkan
line item, hibah kompetisi, dan kontrak berbasis kinerja dapat diselesaikan
pada tahun 2010. Melalui sistem evaluasi ini pemerintah diharapkan dapat
menetapkan kebijakan pendanaan pendidikan tinggi berdasarkan fakta
yang solid.
90
Indikator-indikator ini kemudian dipecah menjadi dua komponen utama,
yaitu: (1) Reformasi sistem pendidikan tinggi dan (2) Hibah untuk meningkatkan
kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi. Dengan total dana US$
98,267.000, investasi dan kegiatan yang dilakukan dalam proyek ini tentunya
membawa perubahan yang lebih komprehensif dan mendasar dibandingkan
dengan yang pernah diusulkan sebelumnya.
3. Implementasi Proyek IMHERE di Indonesia
Bantuan luar negeri dalam proyek IMHERE ini tergolong Pinjaman
Program (Programme Aid), karena dana pinjaman ini ditujukan untuk tujuan
umum pendidikan yang menyangkut 2 tujuan utama yakni:
1. Reformasi sistem pendidikan tinggi,
2. Hibah untuk meningkatkan kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi
Dana IMHERE berasal dari dana IBRD (dengan Loan Agreement (IBRD) no.
4789-IND) dan dana IDA melalui Develeopment Credit Agreement no. 4077-IND
schedule 4. IBRD menanggung 50 Juta Dollar AS sementara IDA memberikan
kredit pembangunan sebanyak 30 juta Dollar AS dengan perincian sebagai
berikut:
Tabel 10: Data Pendanaan Proyek
91
Sumber: Bank Dunia. Project Aprasial Document for IMHERE. 2005
Berdasarkan tujuan proyek dan alokasi dana dari Bank Dunia, proyek
IMHERE ini termasuk Pinjaman Lunak (Concessional Loan) dengan tingkat
bunga yang rendah (sekitar 3,5%), jangka waktu pengembalian yang panjang
(sekitar 25 tahun), dan masa tenggang (grace period) cukup panjang, yakni 7
tahun. Tipe pinjaman ini memang merupakan tipikal pinjaman yang seringkali
diterapkan Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB).92 Proyek ini akan
digulirkan secara bertahap selama 5 tahun anggaran dengan effective date mulai
tanggal 20 Desember 2005 hingga closing date93 pada 31 Desember 2012.
Tabel 11 : Perencanaan Pembiayaan Proyek (Tahun Fiskal Bank Dunia/Dalam Juta Dolar AS)
92 Op.Cit., Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., hlm. 2.93 Closing Date adalah batas terakhir pembayaran dana pinjaman luar negeri oleh pihak Pemberi Pinjaman Luar Negeri (PPLN) dalam rangka pengisian Rekening Khusus atau pengganti dana telangan yang dikeluarkan pemrintah.
IV 2U. Tirtayasa, U. Khairun, I. Trujoyo, U. Malikulsaleh, UNPATTI, UNIPA, U. Gorontalo, IKIP Singaraja
Sub-total 14Sub-komponen B.2.b Hibah berbasis proposal untuk memperkuat manajemen institusi PT otonomi bertaraf internasional
I 6 Perguruan Tinggi Otonomi bertaraf Internasional
Sub-komponen B.2.c Kontrak berbasis kinerja
I 4 Perguruan Tinggi Otonomi bertaraf Internasional
Total 52
Sumber: Diolah berdasarkan Dokumen Dikti, Workshop Sosialisasi IMHERE Program B.1 , Slide presentasi. 2008
Keputusan anggaran Dikti untuk setiap PT kemudian diserahkan kepada
Departemen/Kementerian Keuangan Dirjen Anggaran, dan ke Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk di clearance oleh kedua lembaga
tersebut. Dirjen Anggaran kemudian mengusulkan jumlah anggaran maksimum ke
BAPPENAS untuk anggaran pembangunan. Selanjutnya, Dirjen Anggaran
Departemen Keuangan dan Depdiknas mengfinalisasi alokasi anggaran ini untuk
diserahkan kepada Bank Dunia sebagai Rencana Kerja Tahunan (annual work
plan) dari proyek ini.
Unit pelaksana Dikti kemudian memonitor anggaran proyek ini melalui
Laporan Konsolidasi Monitoring Keuangan atau Financial Monitoring Report dan
supervisi dari proyek yang disepakati. Dikti secara periodik melakukan kunjungan
pengawasan ke unit pelaksana di masing-masing PT untuk memastikan bahwa
Laporan Konsolidasi Monitoring Keuangan dapat diandalkan untuk proses
pengawasan anggaran.
95
Proses panjang mekanisme penganggaran yang dijelaskan di atas lalu
bermuara pada pembagian komponen realisasi proyek. Sebelum mengetahui
bagaimana implementasi proyek IMHERE di Unhas, terlebih dahulu perlu
diketahui rencana pelaksanaan proyek IMHERE secara nasional. Sebagai
panduan, perlu kiranya sistematika analisa untuk bagian ini ditinjau seperti yang
tertulis pada dokumen resmi rencana proyek IMHERE. Berdasarkan Panduan
Prosedur dan Operational atau Operational Procedure Manual (OPM) proyek
(IMHERE) konsep dan mekanisme implementasi proyek dijelaskan sebagai
berikut:
a. Komponen Proyek-A - (US$ 7,779,000) untuk Reformasi Sistem
Pendidikan Tinggi
Komponen IMHERE ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan
kepada Ditjen Dikti untuk mengimplementasikan Strategi Pengembangan Jangka
Panjang Pendidikan Tinggi (HELTS) melalui penataan aspek legal perundangan,
untuk pengembangan kapasitas pengelolaan Ditjen Dikti, peningkatan
kemampuan BAN untuk melaksanakan akreditasi institusi, dan pengembangan
strategi untuk merevitalisasi Universitas Terbuka yang merupakan suatu institusi
belajaran berkelanjutan terbesar di Indonesia. Komponen ini kemudian diturunkan
ke dalam sub-sub komponen yaitu:
Sub-komponen proyek-A.1 – Modernisasi sektor pendidikan tinggi senilai
4,001,000 Dollar AS
96
Misi utama komponen ini adalah untuk menangani kendala utama
manajemen yang dihadapi oleh sistem pendidikan tinggi nasional. Komponen ini
dijalankan karena Bank Dunia memandang bahwa implementasi HELTS
memerlukan faktor pendorong yang memungkinkan Dikti menerapkan “budaya
produktif” untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi seluruh perguruan tinggi.
Moderenisasi yang dimaksud dalam komponen ini adalah reformasi kebijakan
sentralistik menjadi desentralisasi dalam bentuk otonomisasi institusi. Untuk
menjadikan proses otonomi lebih efektif, perubahan pengaturan dan perkuatan
manajemen perlu dilaksanakan yang mencakup: a) pengembangan aspek legal
pengelolaan pendidikan tinggi, b) pengembangan kapasitas manajemen finansial
di Ditjen Dikti dan di perguruan tinggi, c) pengembangan kapasitas pengelolaan
data dan informasi SINPT, d) pengembangan strategi untuk melakukan perubahan
kebijakan berdasarkan data informasi kinerja yang nyata, terutama dalam hal
pendanaan pendidikan tinggi.
Melalui program komponen ini, dilahirkan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (BHP) yang disahkan pada Desember 2008. UU BHP ini terdiri dari
69 pasal. BHP sendiri lahir dari pemikiran bahwa penyelenggaraan pendidikan
bukan hanya tanggungjawab pemerintah melainkan tanggungjawab semua warga
negara seperti yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (2) UU Sisdiknas yang menyatakan
bahwa “setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan”. Frasa “bertanggungjawab” dalam
penyelenggaraan pendidikan ini kemudian diteruskan pada Pasal 53 ayat (1) UU
Sisdiknas yang menyatakan bahwa ”penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
97
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan”. Pasal 53 UU Sisdiknas lalu diturunkan menjadi UU BHP yang
mengalami penolakan skala besar dari masyarakat karena dianggap sarat akan
komersialisasi pendidikan.95
Selain itu, poin-poin yang menjadi titik kritisme masyarakat dalam UU
BHP diantaranya adalah adanya tafsir yang berbeda tentang BHP dalam UU
Sisdiknas dengan UU BHP, kebebasan lembaga pendidikan asing untuk
mendirikan BHP, aset BHP yang berasal dari hutang, perangkat BHP,
penggabungan dan akuisisi BHP, kurang jelasnya pendanaan BHP dan banyak hal
lainnya. Melihat subtansi yang terkandung dalam UU BHP, banyak kalangan yang
memprediksikan tak kurang dari 60% satuan pendidikan yang akan mengalami
kebangkrutan dikarenakan tidak dapat memenuhi syarat formal sebagai BHP.96
Kritik itu kemudian berujung pada penganuliran UU BHP oleh Mahkamah
Konstitusi (MK). Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa materi dan
substansi UU BHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sejak Maret
2010, UU BHP tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dari
penolakan juga tercermin bagaimana masyarakat dan institusi negara seperti MK
menyadari bahwa UU yang diusulkan atas “desakan” Bank Dunia ini membawa
agenda-agenda yang tidak akan memperbaiki, malah akan makin menciptakan
pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh masyarakat luas, khususnya
95 “Mendiknas Bantah UU BHP Komersialisasi Pendidikan” diakses melalui
http://www.antaranews.com/view/?i=1231933034&c=NAS&s= pada 12 Juli 2012.96 Danang Kurniadi. RUU BHP Dalam Jeratan Privatisasi. Jurnal Mahasiswa UGM, November 2007.
Jumlah 28 25Sumber: Diolah berdasarkan Dokumen Dikti, Workshop Sosialisasi IMHERE Program B.1 , Slide presentasi. 2008
104
Sub-komponen proyek-B.2 - Hibah untuk mengembangkan good governance
di PTN dan inisiasi Kontrak Berbasis Kinerja pada PT-BHMN (US
$26,522,000)
Dijelaskan bahwa melalui program ini, Ditjen Dikti berusaha untuk
mengembangkan suatu sistem pengelolaan Perguruan Tinggi yang otonom dengan
praktek good governance dan budaya organisasi yang fokus meningkatkan mutu
pendidikan, efisiensi manajemen. Terkait dengan hal ini, pada tahun 2000, enam
PTN telah memperoleh status badan hukum. Pemerintah ingin menerapkan
pendanaan berbasis kinerja pada institusi-institusi ini untuk meningkatkan
akuntabilitas mereka di dalam mutu, efisiensi, dan kesempatan. Walaupun
Perguruan Tinggi ini secara hukum otonom, Bank Dunia menilai mereka masih
kurang memiliki kemampuan untuk mengelola dana, sumber daya manusia, dan
pengadaan barang secara efektif. 75 PTN lainnya yang belum memperoleh status
otonom didesak untuk mulai meningkatkan kemampuan manajemen mereka untuk
mengantisipasi peralihan status tersebut pada masa-masa selanjutnya.
Komponen ini difokuskan pada penguatan manajemen dan pada
peningkatan kinerja institusi PTN, dengan tujuan menyiapkan PTN-PTN tersebut
untuk menerima pendanaan berbasis kinerja pada saatnya nanti. Setelah PT
BHMN memiliki kemampuan manajemen yang cukup, mereka dapat
berpartisipasi di dalam inisiasi sistem pendanaan berbasis kinerja. Dimana dalam
mekanisme ini, Bank Dunia dan Dikti akan memberikan dana hibah dengan syarat
105
bahwa mereka memenuhi sasaran kinerja yang telah disepakati. Komponen hibah
ini terdiri atas:
a. Hibah kompetisi untuk memperkuat manajemen institusi PTN yang belum
berstatus otonom. Hibah ini merupakan pendorong bagi institusi PT agar
mereformasi manajemen institusinya dengan tata kelola yang
dipersayaratkan oleh Bank Dunia. Adapun institusi yang mendapatkan
hibah untuk komponen ini adalah:
Tabel 14: Penerima hibah kompetisi komponen B.2.a
Kelompok Jumlah Target
Jumlah Pemenang
Nama PT / PTS
1 3 2 Politeknik Negeri Bali, Politeknik Negeri Jakarta
2 2 0 --3 7 8 UNIB, ITS, UNIBRAW, UNHAS,
UNSOED, UNILA, UM, UNS4 2 1 UNIPA
Jumlah 14 11
b. Hibah berbasis proposal untuk memperkuat manajemen institusi PT
BHMN.
Pada kategori B.2.b ini semua perguruan tinggi yang telah otonom (PT
BHMN) masing-masing mendapat alokasi anggaran yang sama yaitu 750.000
Dollar AS dan harus diselesaikan dalam 2 tahun sebagai prasayarat keikutsertaan
dalam proyek IMHERE komponen B.2.c. terdapat 7 PT yang mendapat hibah
komponen ini, yaitu: ITB, UI, UGM, IPB, UPI, dan USU. Ketujuh PT yang telah
106
mendapatkan status otonom ini dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber
daya dan manajemennya agar bisa meningkatkan “nilai jual”-nya secara domestik
maupun internasional.
c. Hibah Kontrak Berbasis Kinerja untuk PT BHMN yang telah memenuhi
kriteria tertentu.
Untuk proyek komponen ini, tujuh PT BHMN bersaing untuk
mendapatkan dana hibah pengembangan lanjutan. Pada awalnya, Fakultas
Farmasi bersama-sama dengan FE (Akuntansi) dan FKH UNAIR merupakan 1
diantara 5 PT BHMN awal yang meraih dana proyek komponen B.2c dengan
tema “Development of Enterpreneurship University Based On Research and
Quality Assurance Capacity” dimana tema FF UNAIR adalah “Revitalization of
Pharmapreneurship for Sustainable Institutional Development” dengan dana
sebesar Rp 31 Milyar untuk tiga tahun dari Bank Dunia.97 Selanjutnya UGM juga
memenangkan komponen B2c ini dengan nilai proyek sebesar 30 miliar rupiah
dan minimal 8% dari dana pendamping untuk memperkuat tiga pusat unggulan
(Center of Excellence, CoE) yang telah ada.98 Kemudian IPB dengan tema proyek
“Agriculture Adaptation in Response to Global Climate Change toward Food
Security and Sovereignty”.99
97 UNAIR, Borang Akreditasi Program Studi Sarjana Farmasi FF Unair, 2010.98 “UGM Menangkan Hibah IMHERE B2c” diakses melalui http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2369 pada 7 Juli 2012.99 Penjelasan program IMHERE B.2.c oleh IPB ini dapat dilihat di http://imhere.ipb.ac.id diakses pada 12 Juli 2012.
Disini terlihat bahwa implementasi dari komponen ini mengincar PT yang
telah “matang” dan memiliki nilai jual serta nilai lebih dibanding PT lain.
Mencermati tema yang diangkat oleh masing-masing universitas pemenang ini,
terlihat bahwa visi untuk menciptakan universitas yang berorientasi industrial
merupakan visi besar yang didorong oleh Bank Dunia. Tema “Enterpreneurship”,
“Pharmapreneurship”, dan “Agriculture Adaptation” merupakan wujud nyata
dari reorientasi visi PT sebagai konsekuensi logis dari implementasi proyek
IMHERE ini.
4. Bantuan Luar Negeri di Universitas Hasanuddin
Dalam situs resminya dijelaskan bahwa sebelum Universitas Hasanuddin
resmi berdiri, telah berdiri Fakultas Ekonomi yang merupakan cabang Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Jakarta berdasarkan keputusan Letnan
Jenderal Gubernur Pemerintah Hindia Belanda Nomor 127 tanggal 23 Juli 1947.
Namun karena adanya ketidakpastian yang berlarut-larut dan kekacauan di
Makassar dan sekitarnya maka fakultas yang dipimpin oleh Drs L.A. Enthoven
(sebagai Direktur) ini dibekukan dan baru dibuka kembali sebagai cabang
Fakultas Ekonomi UI pada 7 Oktober 1953 di bawah pimpinan Prof. Drs. G.H.M.
Riekerk. Universitas Hasanuddin resmi berdiri pada tanggal 10 September 1956
dengan Prof. Drs. Wolhoff acting ketua dan Drs. Muhammad Baga sebagai
sekretaris.
Setelah fakultas ekonomi berdiri pada tahun 1947, maka satu persatu
fakultas menyusul didirikan oleh pihak Unhas, yakni Fakultas Hukum tahun 1952,
Fakultas Kedokteran tahun 1956, Fakultas Sastra tahun 1960, Fakultas Teknik
108
tahun 1960, Fakultas Ilmu Sosial Politik tahun 1961, Fakultas Pertanian tahun
1962, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan tahun 1964, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam (masih bergabung dengan Fakultas
Teknik dalam payung Fakultas Sains dan Teknologi) pada tahun 1976, Fakultas
Kesehatan Masyarakat tahun 1982, Fakultas Kedokteran Gigi tahun 1983, hingga
Fakultas Kelautan dan Perikanan yang didirikan pada tahun 1988.
Pada 17 September 1981 Presiden RI Soeharto meresmikan Kampus
Tamalanrea di atas tanah seluas 220 Ha. Sebelumnya, Unhas berlokasi di Kampus
Barayya yang terletak dekat dengan pusat kota Makassar dengan letak fakultas
yang terpisah-pisah. Dengan kampus baru di Tamalanrea ini, maka lokasi
fakultas-fakultas telah disatukan ke dalam sebuah komplek yang berbentuk seperti
huruf “U”. Kampus Tamalanrea ini dirancang oleh Paddock Inc., Massachustts,
AS dan dibangun oleh OD 205, Belanda yang bekerjasama dengan PT.
Sangkuriang Bandung.
Gambar 2: Peta Universitas Hasanuddin, Kampus Tamalanrea
109
Sejak dikeluarkannya SK Menteri PP dan K No. 3369/S Tanggal 1 1 Juni
1956 terhitung mulai 1 September 1956 dan dengan PP No. 23 Tanggal 8
September 1956, Lembaran Negara No. 39 Tahun 1956 yang secara resmi dibuka
oleh Wakil Presiden RI Drs. Moh. Hatta pada tangggal 10 September 1956,
UNHAS pernah dipimpin oleh sejumlah Rektor yaitu:
1. Prof. Mr.A.G. Pringgodigdo 1956 - 1957
2. Prof. Mr. K.R.M.T. Djokomarsaid 1957 - 1960
3. Prof. Arnold Mononutu 1960 - 1965
4. Let. Kol. Dr. M. Natsir Said, S.H. 1965 - 1969
5. Prof. Dr. A. Hafid 1969 - 1973
6. Prof. Dr. Ahmad Amiruddin 1973 - 1982
7. Prof. Dr. A. Hasan Walinono 1982 - 1984
8. Prof. Dr. Ir. Fachruddin 1984 - 1989
9. Prof. Dr. Basri Hasanuddin, M.A 1989 - 1997
10. Prof. Dr.Ir. Radi A. Gany 1997 - 2006
11. Prof. Dr.dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO 2006 – Sekarang (akan berakhir
tahun 2014)
110
Sampai dengan periode wisuda Maret 2007, Unhas telah meluluskan
110.189 alumni dari semua tingkat strata dan fakultas. Alumni ini terdiri dari 391
S3, 9670 S2, 22.856 Diploma, 6.129 S1 Ekstensi (regular sore), dan 71.243 orang
untuk S1 dengan lama masa studi untuk seluruh program dan strata bervariasi.
Pada tahun 2007, untuk program S1, lama masa studi umumnya masih di atas 4,5
tahun. 100 Dalam perkembangannya, Unhas telah memiliki 14 fakultas dan satu
sekolah pascasarjana. Dengan 46 Jurusan dan 60 program studi untuk S1 (dari
semua fakultas), 38 program studi untuk S2, dan delapan program studi untuk S3.
101 Hingga tahun 2010, tercatat ada 22.431 mahasiswa aktif untuk program S1.
Sementara untuk program magister terdapat 1917 mahasiwa, untuk program
doktoral 609 mahasiswa, dan program spesialis 992 mahasiswa. Sehingga total
kapasitas mahasiswa pada tahun 2010 adalah 25.949 orang dengan 12.565 laki-
laki dan 13.384 perempuan.102 Dengan kapasitas ini membuat Unhas sering
dijuluki dengan “kampus terbesar di Kawasan Indonesia Timur (KTI)”.
Dalam kaitannya dengan bantuan luar negeri, Unhas merupakan satu-
satunya universitas di KTI yang termasuk dalam 10 universitas penerima bantuan
luar negeri tertinggi di Indonesia dalam kurun waktu 1980 hingga 1995. Unhas
berada diperingkat tujuh untuk kategori tersebut. Sedangkan untuk 10 universitas
dengan performa pemasukan mandiri, Unhas menempati posisi ke sepuluh pada
tahun 1999. Hal ini memberikan gambaran kiprah Unhas dalam mengelola
institusi dan membentuk dirinya menjadi universitas yang memiliki “nilai jual”
100 Laporan Tahunan Rektor Universitas Hasanuddin tahun 2007, hal. 10.101 Data bidang Pendidikan Unhas tahun 2010/2011.102 Data bidang Pendidikan Unhas tahun 2010/2011 tabel 4.1.14. Jumlah mahasiswa aktif menurut fakultas, jurusan, program studi strata pendidikan dan jenis kelamin semester akhir tahun 2009/2010
111
untuk bantuan luar negeri. Tabel berikut menggambarkan posisi Unhas untuk
kategori tersebut.
Tabel 15: Penerima bantuan luar negeri tertinggi / Performa pemasukan mandiri.
10 teratas penerima bantuan luar negeri 1980-1995
10 teratas performa pemasukan mandiri 1999
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Politeknik (3)
Institut Teknologi Bandung (ITB)
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Universitas Indonesia (UI)
Institut Teknologi Sepuluh
November (ITS)
Universitas Hasanuddin (UNHAS)
Universitas Syah Kuala (UNSYIAH)
Universitas Sumatera Utara (USU)
Universitas Diponegoro (UNDIP)
Institut Teknologi Bandung (ITB)
Universitas Indonesia (UI)
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Universitas Padjajaran (UNPAD)
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Universitas Brawijaya (UNIBRAW)
Universitas Sumatera Utara (USU)
Institut Teknologi Sepuluh November
(ITS)
Universitas Diponegoro (UNDIP)
Universitas Hasanuddin (UNHAS)
Sumber: Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledge, hal. 140
Pada tahun 1986 dan 1987 Unhas mendapat bantuan luar negeri melalui
Program for University Development Cooperation (PUO) dari pemerintah
Belanda untuk meningkatkan kesehatan organisasi. Program ini bertujuan untuk
mengupgrade pembelajaran dan pelatihan Pra- dan Para-klinik (termasuk
dukungan untuk mendirikan Central Workshop Unhas pada tahun 1987). Program
ini pula yang mendorong didirikannya Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi.103
103 Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledg, hal. 34
112
Unhas merupakan universitas pertama di luar pulau jawa yang terpilih untuk
mendapatkan program tersebut. Dalam proses seleksi PUO II, organisasi internal
dikategorikan sebagai "berbeda dari yang biasanya di Indonesia"104 karena Unhas
telah dipilih oleh Departemen Pendidikan sebagai proyek percontohan untuk
mencari sebuah divisi baru terkait tanggung jawab antara fakultas (yaitu kontrol
sumber daya) dan program studi (yaitu pemrograman akademik) sesuai dengan
struktur matriks. Kerjasama awal dalam program ini diarahkan secara eksklusif
untuk peningkatan pengajaran dan penelitian medis.
Di masa kepemimpinan Rektor Idrus A. Patturusi, Unhas mengambil visi
yang lebih bernuansa “lokalitas”. Visi Unhas yang tertulis dalam Rencana
Strategis Unhas 2006-2012 adalah “Pusat Pengembangan Budaya Bahari”. Seperti
yang tertulis dalam renstra tersebut, visi ini diangkat sebagai penegasan
pandangan Unhas sebagai communiversity, “perguruan tinggi yang menyatu
dengan masyarakatnya, yang berperan untuk memperkaya khasanah budaya
dengan melakukan aktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai bahari agar
senantiasa sesuai dengan spirit zaman (zeitgeist)”.105 Dengan posisi seperti ini,
Unhas diharapkan dapat berevolusi bersama lingkungannya membentuk
masyarakat bahari Indonesia yang mampu memanfaatkan secara optimal
sumber daya dan lingkungan kelautan yang memang merupakan habitatnya.
104 Van Olden, J. F., & Serpenti, L. M. (1983). Evaluation Report on the inter-university cooperation between the Universitas Hasanuddin (Ujung Pandang/Indonesia) and Erasmus University Rotterdam, 1979–1982. (Evaluation Report). The Hague: NUFFIC, hal. 8105 Renstra Unhas 2006-2010 hal. 1
113
Untuk mencapai visi itu Unhas menjabarkannya ke dalam misi universitas
dengan targetnya masing-masing. Adapun yang menjadi misi Unhas untuk tahun
2006-2010 adalah106:
a. Menghasilkan alumni yang mandiri, berahlak dan berwawasan global.
Misi ini diterjemahkan dalam bentuk disain kurikulum yang diarahkan
untuk menghasilkan alumni yang selain sesuai dengan cita-cita pendidikan
nasional, yaitu memiliki landasan keimanan dan ketaqwaan serta berjiwa
Pancasilais (personal skills), juga memiliki kompetensi yang memadai
di bidang disiplin ilmu yang dipilihnya (professional skills). Di
samping itu, memiliki kompetensi intelektual dalam wujud kesadaran,
kepekaan, kearifan dan kemampuan memecahkan masalah yang
dihadapi masyarakat beserta lingkungannya (interdiciplinary skills),
komitmen terhadap pengembangan budaya bahari, serta kemampuan
beradaptasi dalam proses pengembangan diri agar senantiasa mampu
memelihara interkoneksitas dengan lingkungannya (adaptability skills)
b. Mengembangkan Ipteks yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya.
Unhas memberikan prioritas tinggi kepada penelitian yang berkaitan
dengan peningkatan nilai tambah dan pangsa pasar mataniaga dan jasa
yang dihasilkan oleh masyarakat Sulsel dan Kawasan Timur Indonesia, di
samping tetap membuka peluang bagi penelitian yang diarahkan untuk
pengembangan ipteks.
c. Mempromosikan dan mendorong terwujudnya nilai-nilai bahari dalam
masyarakat. Misi pemberdayaan masyarakat dilakonkan Unhas dalam 106 Renstra Unhas 2006-2010
114
bentuk upaya berkesinambungan dalam melakukan aktualisasi dan
revitalisasi nilai-nilai bahari, yang kemudiaan dipromosikan dan
diimbaskan kepada masyarakat agar khasanah budaya bangsa dapat terus
diperkaya dan senantiasa sesuai dengan spirit zaman.
Sebelum periode Rektor Idrus A. Patturusi, Unhas pernah mendapatkan
proyek dana hibah kompetisi seperti TPSDP, DUE-Like, PHK, dan SP4. Sampai
tahun 2006, hampir 90% atau 40 dari 46 departemen program studi/ISS di Unhas
telah mendapatkan dana hibah kompetitif tersebut termasuk TPSDP (program
studi 5 dan 1 ISS), DUE-Like (2 program studi), QUE Semi (6 departemen) PHK
A1 dan A2 (6 departemen), dan Persaingan SP4 (18 departemen, termasuk
Program Studi Ilmu Kelautan, Program Studi Budidaya dan 4 ISS) dengan nilai
total hibah hampir Rp. 80 milyar.107
Unhas juga telah berpartisipasi dalam kompetisi proyek IMHERE sejak
IMHERE Batch I diluncurkan. Selama Batch I kompetisi, Unhas bersama dengan
UNAIR, UNIB, dan UNSUD telah berhasil lolos sampai ke tahap visitasi.
Namun, hanya UNAIR dan UNIB berhasil lolos hingga tahap akhir.
Dikesempatan berikutnya, Unhas ikut berpartisipasi lagi dalam kompetisi
IMEHERE Batch II dan akhirnya memenangkan dana hibah kompetisi tersebut.
107 BOOK I: Self Evaluation Report: Hasanuddin University dikeluarkan oleh DIKTI, 15 Juni 2006, hal. 39.
115
BAB IV
IMPLEMENTASI DAN DAMPAK BANTUAN BANK DUNIA DI
INDONESIA
1. Implementasi Proyek IMHERE di Universitas Hasanuddin
Untuk mememenangkan proyek IMHERE, Unhas telah berpartisipasi
dalam kompetisi proyek IMHERE sejak IMHERE Batch I diluncurkan pada awal
2005. Pada waktu itu, Unhas melibatkan Prodi Kelautan dan Perkapalan. Namun,
proposal tersebut gugur sejak tahap pertama. Kali kedua, Unhas memilih
Budidaya Perairan dan Jurusan Kelautan sebagai prodi yang diusulkan. Dalam
proses seleksi tersebut Unhas bersama dengan UNAIR, UNIB, dan UNSUD telah
berhasil lolos hingga ke tahap visitasi institusi. Namun, hanya UNAIR dan UNIB
berhasil lolos hingga tahap akhir. Dikesempatan berikutnya, Unhas ikut
berpartisipasi lagi dalam kompetisi IMHERE Batch II dan akhirnya
memenangkan dana hibah kompetisi tersebut. Unhas termasuk 1 dari 7 universitas
yang memenangkan sub komponen proyek IMHERE B.1 dan B.2.a. Ketujuh
institusi tersebut adalah:
1. Universitas Hasanuddin
2. Universitas Jendral Sudirman
3. Institut Teknologi Sepuluh November
4. Universitas Brawijaya
5. Universitas Negeri Malang
6. Universitas Lampung
116
Unhas memenangkan proyek IMHERE B.1 (Improvement of Social
Quality and Social Responsibilty) sebesar 10 Milyar. Program IMHERE B.1 ini
diperuntukkan untuk peningkatan relevansi dan social responsibility Universitas
melalui penguatan jurusan. Sedang untuk Program IMHERE B.2.a (Strengthening
Institutional Management in Autonomous Public Education Institution) digunakan
untuk perbaikan manajemen mutu yang sehat bagi universitas. Dana untuk B.2.a
senilai Rp.3,9 Milyar dicairkan mulai Oktober 2007 dalam jangka 2 tahun.108
Dalam proposal proyek B1, Unhas memilih Jurusan Farmasi109 dan
Program Studi Budi Daya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan (BDP FKIP)
sebagai icon unggulan. Kedua jurusan ini dipilih oleh Unhas karena telah
berakreditasi A serta cakap dan jelas orientasi program kerjanya.110 Selain itu,
kedua jurusan ini merupakan jurusan dan program studi yang paling sesuai
dengan visi Unhas 2006-2012 sebagai “Pusat Pengembangan Budaya Bahari”.
Dalam proyek ini, Unhas mendapatkan sebesar Rp. 10 milyar dalam jangka 3,5
tahun dengan surat penerimaan hibah bertanggal 27 Maret 2007. Sebagai
Direktur Eksekutif Program IMHERE di Unhas, ditunjuk Dr. Ir. H. Rusnadi
Padjung, M.Sc.
108 Terkait tanggal pencairan dana ini terdapat perbedaan pendapat antara Direktur Eksekutif Program IMHERE Unhas dan pihak jurusan Farmasi dan BDP. Perbedaan ini dapat dibaca di “Mismanagement, I-MHERE Macet” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/11/no-673tahun-xxxiiiawal-november-2007.html pada 12 Juli 2012.109 Saat memenangkan proyek ini Farmasi masih berbentuk jurusan dibawah Fakultas MIPA Unhas. Jurusan Farmasi berubah menjadi Fakultas Farmasi pada 14 november 2007 dengan SK Rektor Unhas Nomor : 441/H4/O/2007 tertanggal 14 Maret 2007. Diakses melalui http://www.unhas.ac.id/content/fakultas-farmasi pada 12 Juli 2012.110 “Umpan Tak Dilirik, Kuota Tak Terpenuhi” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/06/identitas-no-663-edisi-xxxiii-edisi.html pada 2 Juli 2012.
Sementara, untuk proyek IMHERE B.2.a digunakan untuk menciptakan
praktek good governance dan budaya organisasi yang fokus untuk meningkatkan
mutu pendidikan dan efisiensi manajemen. Seperti yang tertulis dalam Unhas Self
Evaluation Report IMHERE Batch 2, melalui IMHERE, Unhas melakukan
revitalisasi fungsi organisasi melalui peningkatan kinerja manajemen.111 Hal
ini pun tertuang dalam Renstra Unhas 2003-2008 dimana dalam salah satu
program strategis untuk Citra Unhas 2013 adalah “memiliki struktur organisasi
dan manajemen sumberdaya yang efektif.” Program strategis ini terbagi ke dalam
lima program utama, yakni: (i) pergeseran dari organisasi struktural ke organisasi
pembelajaran; (ii) meletakan kelompok kepentingan yang setara dan/atau
laboratorium sebagai garis depan dalam pengurusan akademik; (iii) membangun
manajemen berbasis ICT; (iv) meningkatkan pemasukan mandiri; dan (v)
melengkapi persyaratan administratif dan teknis untuk menjadi perguruan tinggi
negeri yang otonom.
Dari program strategis dalam Renstra Unhas di atas, Unhas menekankan
program ketiga (membangun manajemen berbasis ICT) sebagai program yang
paling berkaitan dengan tujuan proyek IMHERE komponen 2.2. Sejalan dengan
itu, maka proyek IMHERE untuk Unhas ini diarahkan untuk 4 program utama,
yakni:
1. implementasi sistem keuangan terpadu;
2. pengembangan sistem sumber daya manusia yang kredibel dan dapat
diandalkan;
111 Lihat dalam Dikti. Book I: Self Evaluation Report: Hasanuddin University. 2006. Jakarta: Dikti
118
3. peningkatan sistem manajemen asset total universitas, dan;
4. revitalisasi sistem informasi manajemen akademik untuk mendukung
sistem penjaminan mutu.
Dalam rangka penguatan manajemen universitas ini, pada tahun 2007
Unhas telah mengirim sejumlah staf administrasi (PNS) untuk mengikuti
pelatihan/training dalam bidang: Pengelolaan Keuangan, Pengelolaan Sumber
Daya Manusia, Pengelolaan Asset dan Fasilitas, Pengelolaan ICT, serta
Pengelolaan Akademik. Mereka yang telah mengikuti pelatihan kemudian
mendapat tugas tambahan dengan bergabung dalam suatu tim (Taskforce) yang
menyusun Sistem dan Prosedur Pengelolaan Sumber Daya pada aspek tersebut
serta menjadi Pelatih in house training bagi pelaksana manajemen di lingkup
Unhas. Sesuai dengan aspek yang dipelajari, peserta pelatihan terseleksi kemudian
dikirim ke University of Tasmania (Australia), University of Sydney (Australia),
University of South Caroline (USA), Universitas Indonesia, Universitas Gajah
Mada, atau Pusat Pengembangan Manajemen Jakarta.112
Untuk pengembangan manajemen berbasis IT, Unhas melakuakn
perombakan sistem informasi manajemen akademik, sumberdaya, dan monitoring
dan evaluasi (monev). Design perubahan itu dituangkan dalam tiga langkah
implementasi yaitu:113
112 “Overseas Non Degree Training (ONDT) dan Domestic Non Degree Training (DNDT)” diakses melalui http://unhas.ac.id/peternakan/pengum.php?57868104af3c0225183046a9307de888d03767b309bde91ed2773746e295d9fa pada 5 Agustus 2012.113 Lihat Dokumen ICT-IMHERE Unhas, Program 4: Revitalization of Academic Management Information System to Support the Quality Assurance System. 2007. Makassar: Unhas
1. Membangun kebijakan ICT (ICT Policy) universitas
2. Integrasi data akademik dari seluruh unit-unit akademik
3. Meningkatkan kapasitas jaringan dan akses pengguna
Unhas telah meluncurkan program ICT Policy Studies sejak tahun 2007.
ICT Policy tersebut mencakup kebijakan pengembangan, pengelolaan dan
pemanfaatan system informasi di Unhas. Kebijakan ICT ini juga mencakup sistem
pendukung pengambilan keputusan (decision support system) yang berfungsi
untuk membantu pimpinan dalam melakukan perencanaan dan analisa evaluasi
diri yang lebih baik serta pengambilan keputusan yang berbasis data. Harapannya,
keputusan-keputusan terkait kebijakan pendidikan yang diambil akan lebih
obyektif.114
Langkah-langkah operasional pengembangan Sistem Informasi dan
Manajemen (SIM) Unhas ini sebenarnya telah dilakukan sebelum proyek
IMHERE bergulir, SIM Akdemik yang dipakai Unhas saat ini merupakan hasil
pengembangan dari Sistem Informasi (SI) akademik sebelumnya yang telah
dikembangkan dalam 4 periode. Periode pertama, periode tahun 80-an
dikembangkan oleh tim Unhas. Periode kedua, dikembangkan oleh tim Dikti
dengan nama Sistem Informasi Akademik (SIAKAD) pada tahun 90-an. Periode
ketiga, dikembangkan melalui PHK TPSDP-Batch I pada tahun 2002 dengan
nama Academic Information System (AIS). Periode keempat, dikembangkan
melalui PHK INHERENT 2006 yang dikenal dengan Academic Information
Management System (AIMS). Selanjutnya SI Akademik yang hanya berupa
114 Ibid.
120
pangkalan data sedang dan dikembangkan menjadi informasi akademik melalui
PHK IMHERE Unhas 2007 dan 2008.115
Hasil dari perpaduan sistem yang dibangun dari program-program ini
akhirnya diterapkan pada proses belajar dengan dukungan teknologi dalam Sistem
Aplikasi Belajar Mengajar yang meliputi:
1. e-Learning (Learning Management System - LMS)
2. Registrasi online (Sistem Informasi Akademik)
3. Pengisian formulir rencana studi (Sistem Informasi Akademik)
4. Daftar nilai online (Sistem Informasi Akademik)
5. Jadwal kuliah online (Sistem Informasi Akademik)
6. Absensi online (Sistem Informasi Akademik dan Learning Management
System - LMS)
7. Proxy Library116
Melalui program IMHERE ini pengolahan data menjadi informasi pada masing-
masing SIM saling diterintegrasikan. Hal ini dilakukan untuk mendukung Sistem
Analisis Pengambilan Keputusan yang merupakan misi utama dari komponen ini.
Namun, dalam pengaplikasian di lapangan, masih belum menunjukan
perubahan komperhensif dari sistem informasi ini. Masih terdapat beberapa
fakultas yang belum memiliki infrastruktur jaringan (baik kabel maupun wireless)
sehingga pengajaran dan pelayanan berbasis online yang ingin dicapai dalam 115 Unhas, Draft Sitem Informasi Universitas Hasanuddin Standar 11 (PTIK dan I-MHERE). Dokumen tidak diterbitkan. Makassar: Unhas116 Dapat diakses melalui URL: http://10.0.1.7/proxylib/public_html/index.php?menu=home
2 ton/tahun. Sul-Sel pertahunnya hanya menghasilkan 26 ribu ton dengan luasan
sekitar 98 ribu hektar lebih. Jumlah tersebut tertinggal jauh dari Thailand yang
dalam setahun bisa memproduksi 310 ton dengan luasan yang hampir sama.
Begitupun, Indonesia yang dikenal sebagai penghasil rumput laut terbesar kedua
di dunia118, tapi tidak bisa menunjang kesejahtraan hidup penduduknya.
Untuk mencapai target tersebut, BDP dan Farmasi menjalin sinergitas
program untuk pengembangan masyarakat. BDP berperan dalam mengupayakan
teknologi budidaya dan pengolahan, sedangkan Farmasi menyiapkan probiotik
yang efektif untuk menuntaskan permasalahan pada udang dan rumput laut,
terutama masalah penyakit, pelestarian lingkungan tambak, dan diversifikasi
produk tambak.119 Untuk hasil yang lebih optimal Unhas bekerjasama dengan
Dinas Provinsi Sulawesi Selatan, Pemda Pinrang, PT. Bantimurung Indah serta
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Sulawesi Barat di Mamuju.
Selain program pengembangan masyarakat, dana IMHERE B.2.a Unhas
digulirkan untuk “program outreach”-nya dimana dana IMHERE digunakan
untuk memberi akses bagi pelajar dari keluarga miskin yang secara akademik
tergolong mampu, khususnya di daerah pesisir. Mahasiswa yang dipilih adalah
anak petani tambak, petani rumput laut yang bermukim didaerah pesisir seperti
118 “Indonesia Penghasil Rumput Laut Terbesar” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2007/11/28/056112513/Indonesia-Penghasil-Rumput-Laut-Terbesar pada 1 agustus 2012.119 Dalam pelaksanaan proyek penelitian farmasi ini mengalami hambatan yang signifikan yaitu kasus terbakarnya gedung lantai lima dan enam fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, di kawasan Tamalanrea Makassar, Minggu pagi (5/7/2009) yang menghanguskan sedikitnya 20 proyek penelitian IMHERE yang hampi rampung. Diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2009/07/05/058185301/Kebakaran-Unhas-Ludeskan-20-Proyek-Penelitian-Farmasi pada 1 agustus 2012.
dana hibah IMHERE ini harus berkaitan dengan rumput laut dan udang
(sebagaimana target proyek). Namun setelah pengumuman pemenang keluar pada
bulan Agustus 2008, terdapat dua pemenang yang penelitiannya sama sekali tak
berkaitan dengan dua komoditas budidaya tersebut.122 Hal ini tentu menjadi
perhatian tersendiri bagi pelaksanaan proyek IMHERE di Unhas. Dari kejadian ini
nampak bahwa kultur akademik yang mengedepankan nilai-nilai objektivitas dan
konsistensi belum dipahami dan dijalankan dengan sepenuhnya oleh pelaksana
kebijakan. Bahkan, antara pelaksana program IMHERE sendiri mengakui bahwa
manajemen dan koordinasi yang buruk membuat proyek ini berjalan lambat.123
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan
proyek maka program dan strategi implementasi proyek IMHERE ini diawasi dan
dievaluasi secara ketat melalui mekanisme monitoring dan evaluasi internal dan
eksternal. Mekanisme ini dijalankan agar pelaksanaan dilapangan sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh pemberi dana, dalam hal ini Dikti dan Bank Dunia.
Sistem monitoring dan evaluasi berbasis ICT ini telah diterapkan Unhas melalui
sistem monev dalam jaringan (http://monev.ictsolusi.com) yang dapat diakses
oleh pihak-pihak yang memiliki tanggungjawab dan kewenangan atas pelaksaan
proyek dan rencana strategi Unhas. Mekanisme ini memungkinkan monitoring
dan evaluasi dilakukan secara detail berdasarkan indikator-indikator pencapaian
yang terukur. Sistem ini merupakan sistem yang dibuat untuk mempermudah
122 Idham Malik, “Anomali Grand Beasiswa Penelitian I-MHERE BDP” diakses melalui http://akuakulturunhas.blogspot.com/2008/10/anomali-grand-beasiswa-penelitian-i.html pada 11 Juli 2012.123 “Mismanagement, I-MHERE Macet” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/11/no-673tahun-xxxiiiawal-november-2007.html pada 12 Juli 2012.
pengambilan keputusan (decision support system). Dimana sistem ini juga
berfungsi untuk membantu pimpinan dalam melakukan perencanaan dan analisa
evaluasi diri yang terukur serta pengambilan keputusan yang berbasis data.
2. Dampak Bantuan Luar Negeri terhadap Kebijakan Pendidikan di
Universitas Hasanuddin
Implementasi proyek IMHERE di Unhas senilai Rp. 12 Miliyar ini tentu
memiliki dampak yang besar terhadap kebijakan pendidikan yang dijalankan oleh
penyelengara pendidikan di Unhas. Proyek ini tidak hanya berdampak pada hal-
hal yang sifatnya teknis saja, akan tetapi juga berdampak secara sistemik pada
paradigma pendidikan, arah kebijakan, dan pola penyelenggaraan pendidikan di
Unhas dan Indonesia secara umum. Pergeseran ini tidak terjadi begitu saja atas
kemauan dari aktor penerima bantuan luar negeri. Namun, seperti yang ditulis
Yanuar Ikbar dalam buku “Ekonomi Politik Internasional 2” bahwa keinginan
pihak pemberi dapat dilandasi oleh berbagai kepentingan biasanya ekonomis dan
politis. Pihak penerima pun menggunakan pikiran-pikiran yang serupa ekonomis
dan politis ketika menerima bantuan tersebut. Dalam konteks penelitian ini, apa
dampak dari bertemunya kepentingan pihak pemberi dan pihak penerima proyek
IMHERE?
IMHERE sebagai proyek yang digelontorkan oleh Bank Dunia pastilah
tidak lepas dari kepentingan ekonomi-politik Bank Dunia untuk sektor
pendidikan. Hal ini sebagaimana pendapat Carlos Alberto Tores dalam
“Education and Neoliberal Globalization” tentang peran Bank Dunia sebagai
126
agen regulasi dari kapitalisme global. Argumen dasar Tores tentang peran Bank
Dunia adalah: sebagai bank, Bank Dunia adalah tempat pinjam-meminjam, bukan
sebuah lembaga donor. Oleh karenanya, seperti yang telah dijelaskan pada bab II
dan III, Bank Dunia sebagai institusi penyedia modal internasional tidak bisa
terlepas dari kepentingan negara-negara donatur yang mengumpulkan dananya
pada lembaga internasional ini.
Pada bagian bab ini kita akan menganalisis guliran dana IMHERE dengan
total dana 98,267.000 Dolar AS ini dengan menggunakan pendekatan model
klasifikasi Martin Carnoy seperti yang telah dijelaskan pada Bab I. Carnoy telah
mengklasifikasikan proses reformasi ini ke dalam tiga tipe reformasi. Reformasi
tipe pertama adalah “reformasi berbasis kompetisi” (competition-based reforms);
selanjutnya, reformasi yang hadir untuk merespon pengurangan anggaran dalam
sektor publik maupun swasta yang diistilahkan sebagai “reformasi berbasis
financial” (reform based on financial imperative). Dan ketiga, reformasi yang
berusaha untuk meningkatkan peran politis pendidikan sebagai faktor utama dari
mobilitas dan kesetaraan sosial atau disebut “reformasi berorientasi kesetaraan”
(equity-driven reforms).124 Pada bagian ini kita akan menganalisis apakah model
Carnoy ini juga terjadi pada konteks implikasi bantuan Bank Dunia dalam
program IMHERE di Unhas?
2.1. Competition-Based Reform
124 Lihat Martin Carnoy. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco, hal. 37-46 dan Carlos Alberto Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 16
127
Berdasarkan penjelasan Carnoy tentang kategorisasi reformasi pendidikan
tinggi yang terjadi atas tuntutan globalisasi dan bantuan luar negeri (Carnoy
mengangkat OECD sebagai aktornya), untuk reformasi jenis pertama,
competition-based reform, tercirikan dari empat strategi konvensional yaitu
dorongan untuk menerapkan desentralisasi pengelolaan pendidikan dan
administrasi sekolah, penerapan standard dan norma pendidikan yang baru yang
biasanya diukur melalui test yang ketat (perubahan ke arah akuntabilitas dan
standard baru), pengenalan metode belajar mengajar baru yang diarahkan untuk
mendapatkan kualitas yang baik dengan pengeluaran dana yang sedikit (low-cost),
dan peningkatan proses seleksi dan pelatihan bagi guru dan dosen.
Reformasi bebasis kompetisi ini terlihat jelas dalam implementasi
IMHERE di Indonesia, Panduan Prosedur dan Operational atau Operational
Procedure Manual (OPM) proyek (IMHERE) menyebutkan bahwa tujuan dari
IMHERE komponen proyek A senilai US$ 7,779,000 adalah untuk memberikan
dukungan kepada Ditjen Dikti untuk mengimplementasikan Strategi
Pengembangan Jangka Panjang Pendidikan Tinggi (HELTS) melalui penataan
aspek legal perundangan, untuk pengembangan kapasitas pengelolaan Ditjen
Dikti, peningkatan kemampuan BAN untuk melaksanakan akreditasi institusi, dan
pengembangan strategi untuk merevitalisasi Universitas Terbuka yang merupakan
suatu institusi pembelajaran berkelanjutan terbesar di Indonesia. Komponen ini
mengangkat “Reformasi Sistem Pendidikan Tinggi” sebagai tema besar
komponen proyek.
128
Dalam dokumen resmi IMHERE Project Information Document (Pid)
Appraisal Stage Report No.: Ab1414 disebutkan bahwa permasalah utama sektor
pendidikan tinggi Indonesia diantaranya adalah jangkauan (coverage) dan kualitas
(quality). Sejumlah 81 PTN di Indonesia menampung sekitar 40% dari
keseluruhan populasi mahasiswa Indonesia. 60% sisanya ditampung oleh sekitar
200 PTS yang tersebar diseluruh Indonesia dengan berbagai macam jenis institusi.
Selain jangkauan, masalah kualitas merupakan masalah utama yang
diangkat dalam tujuan utama dan indikator keberhasilan proyek. Bank Dunia
meluncurkan program peningkatan mutu akademik dan kinerja institusi untuk
menjawab permasalah-permasalahan kualitas seperti yang diangkat dalam
dokumen resmi IMHERE. Permasalahan itu di antaranya adalah sedikitnya jumlah
perguruan tinggi di Indonesia yang bersaing di tingkat Internasional. Universitas
terbaik di Indonesia hanya menempati posisi 61 dari 77 universitas terbaik
berdasarkan survey Asia Week. Berdasarkan standar dari Badan Akreditasi
Nasional, pada tahun 2000 hanya 9,1% dari 4.295 program sarjana yang
mendapatkan predikat “sempurna”, 44,8% predikat “baik”, 38,9% berpredikat
“memuaskan”, dan sisanya 7,2% dinyatakan “gagal”.125
Alasan-alasan ketertinggalan daya jangkau dan kualitas ini juga dipakai
oleh Bank Dunia untuk mempromosikan program reformasi perguruan tinggi.
Melaui program komponen A (reformasi sistem) dan B (penciptaan mutu dan
kinerja institusi) pergeseran-pergeseran dan reformasi yang telah dijalankan
125 Bank Dunia. IMHERE Project Information Document (Pid) Appraisal Stage Report No.: Ab1414. 2005
129
sebelumnya oleh Bank Dunia melalui program-program bantuan luar negeri,
semakin dikukuhkan untuk membangun sistem dan tata kelola yang mendukung
usaha untuk menyiapkan sektor pendidikan tinggi siap menghadapai liberalisasi
sektor jasa pendidikan dan menyediakan tenaga kerja murah. Sejak Indonesia
meratifikasi untuk memasukan sektor pendidikan tinggi ke dalam sektor jasa yang
dapat diliberalisasi, Bank Dunia secara aktif menawarkan pinjaman untuk sektor
pendidikan Indonesia. Dimana syarat pemberian pinjaman tersebut adalah
Indonesia haruslah mereformasi dan memoderenisasi sektor pendidikan tingginya
agar dapat bersaing dalam kacah perdagangan jasa pendidikan global. Jelaslah
bahwa alasan untuk menerapkan reformasi yang berbasis kompetisi terbaca jelas
dari tujuan dan indikator program IMHERE ini.
Di tingkat implementasi, empat strategi konvensional yang dikatkan
Carnoy sebagai pilar utama competition-based reform juga terjadi, dapat kita lihat
antara lain pada:
1. Dorongan untuk menerapkan desentralisasi pengelolaan pendidikan dan
administrasi
Hal ini terlihat jelas pada bagaimana usaha Bank Dunia untuk mendesak
disahkannya UU BHP pada tahun 2010. Melalui Sub-komponen proyek-A.1 UU
BHP lahir. UU yang disahkan pada Desember 2008 ini terdiri dari 69 pasal. UU
BHP ini menjadi pijakan hukum untuk pengalihan status dari PTN menjadi PT
BHMN. UU BHP ini merupakan turunan dari UU Sisdiknas Pasal 53 yang
mengharuskan setiap penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
130
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat untuk berbentuk badan hukum
pendidikan. Bentuk penyelenggaraan BHP ini mengharuskan setiap
penyelenggaraan pendidikan tinggi berbentuk otonom (PT BHMN) dengan
prinsip kompetisi nir-laba. UU BHP ini juga mengubah pola penyelenggaraan
pendidikan dari yang semulanya terpusat menjadi terdesentralisasi. Pemerintah
berubah fungsi dari semulanya sebagai operator pendidikan menjadi sekedar
fasilitator saja. Universitas diberikan kebebasan secara akademik dan non-
akademik institusinya. Hal ini membuka pintu bagi praktek penyelewengan
otonomi kampus dengan menaikan ongkos pendidikan, mengingat dengan UU
BHP tanggungjawab pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan tidak lagi
sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Tidak hanya itu, UU BHP juga
melegalkan praktek bisnis di lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah dan
kampus) karena mengizinkan BHP untuk melakukan investasi dalam bentuk
portofolio maupun mendirikan badan usaha komersial.126
Unhas sejak Juli 2005 telah mengirimkan proposal persiapan BHP-nya ke
Dikti dan pada tahun 2006 gagal mendapatkan hibah kompetisi IMHERE untuk
pendanaan persiapan BHP. Unhas perlu memenangkan IMHERE untuk “naik
status” dari PTN biasa menjadi BHMN. Karena kegagalan itu, maka Unhas
merevisi kembali dokumen BHP-nya untuk kemudian diserahkan ke Dewan
Pendidikan Tinggi (DPT) Dikti pada Januari 2006.127 Perubahan status ini
diperlukan agar Unhas bisa naik level ke tingkat Universitas BHMN. Pada level
126 Darmaningtyas, dkk. Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009. Jakarta: Damar Press, hal. 274127 “Apa Kabar BHP ?” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2006/10/apa-kabar-bhp_116101835749941858.html pada 12 Juli 2012.
dilakukan oleh Unhas juga disebabkan oleh “pressure for change” atau dorongan
untuk berubah. Adapun perubahan yang dimaksud adalah perubahan-perubahan
sistemik yang dituntut oleh UU BHP, maupun UU lain yang menyangkut
keharusan untuk desentralisasi pengelolaan. Perubahan itu juga mencakup
perubahan mekanisme pendanaan dan paradigma pendidikan. Momen diskusi ini
merupakan internalisasi paradigm reformasi dalam lingkup Unhas.
Saat UU BHP dibatalkan oleh MK sehingga tidak memiliki kekuatan
hukum tetap, Unhas tetap melaksanakan perubahan pengelolan sebagai usahanya
untuk “naik level”. Unhas menerapkan sistem pengelolaan Badan Layanan Umum
(BLU) mulai tahun 2008. Sistem BLU sebenarnya diberlakukan di Indonesia
sejak tahun 2005 telah disahkan dan diterapkan melalui koordinasi Kementrian
Keuangan. Sistem BLU ini dapat diterapkan oleh semua badan pemerintah dengan
menerapkan sistem pengelolaan asset dan keuangan secara otonom, termasuk
untuk institusi pendidikan tinggi.129 Melalui sistem ini Unhas mulai mengelola
keuangan dan assetnya. Konsekuensinya adalah Unhas harus menata kembali
asset dan sumber pemasukannya. Asset-asset yang dulu terbengkalai seperti hutan
Unhas, marine station, tanah Unhas di beberapa kabupaten, dan asset-asset
lainnya didata kembali untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan yang baru.
Arus protes sempat mencuat saat Unhas mulai memberlakukan tarif pakai untuk
gedung-gedung dan fasilitas kampus lainnya seperti Baruga AP. Pettarani,
Gedung IPTEKS, Gedung PKP, dan bus Unhas. Diberlakukannya tarif ini adalah 129 Pengelolaan tersebut mencakup: pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, pengelolaan piutang dan utang, investasi, pengelolaan barang, akuntansi, remunerasi, surplus/deficit, status kepegawaian pns dan non pns, dan nomenklatur kelembagaan dan pimpinan. Presentasi Direktorat Pembinaan PK BLU Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan RI, Implementasi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Surakarta, 16 Februari 2009.
133
konsekuensi dari berkurangnya subsidi pemerintah untuk universitas sehingga
Unhas harus membuka pundi-pundi penerimaan dari asset-asset yang ada.
Sementara oleh mahasiswa, hal ini dinilai sebagai praktek komersialisasi fasilitas
kampus. 130 Logika sederhana yang dipakai oleh mahasiswa adalah “mengapa kita
harus menyewa kamar di rumah kita sendiri?”. Jika Unhas dianggap sebagai
“rumah”, maka menggunakan fasilitas-fasilitas kampus sudah selayaknya menjadi
hak yang tidak perlu dibebani biaya.
2. Penerapan standar dan norma pendidikan yang baru yang biasanya diukur
melalui test yang ketat (perubahan ke arah akuntabilitas dan standard baru)
Indikasi ini jelas terdapat pada sub-komponen A.2 yang bertujuan untuk
memperkuat sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi dan mempersiapkan
transisi sistem akreditasi dari akreditasi program studi menjadi akreditasi
institusi.dan akreditasi asosiasi profesi (seperti arsitek, insinyur, atau dokter).
Program senilai 448,000 Dollar AS juga digunakan untuk technical assistance,
training, dan komponen fisik lain yang diperlukan juga dilaksanakan melalui sub-
komponen ini.
Atas dorongan reformasi yang dibawa oleh program IMHERE, maka
standar-standar baru dalam penyelengaraan pendidikan tinggi. Di Unhas standar-
standar itu diterapkan dalam wujud meningkatkan parameter kualitas akademik
yang terukur. Dalam Renstra Unhas 2006-2010 disebutkan misalnya bahwa untuk
130 “Komersialisasi Terjadi, Mahasiswa Unhas Tolak BHP“ diakses melalui http://news.okezone.com/read/2007/12/03/1/65385/komersialisasi-terjadi-mahasiswa-unhas-tolak-bhp pada 12 Juli 2012
memperbaiki kualitas maka Unhas meningkatkan standarnya dengan parameter
ratio dosen-mahasiswa dari 1:17 pada tahun 2002 ditingkatkan menjadi 1:10;
ratio dosen berpendidikan lanjut dari 6.61% (2002) menjadi 90%; tingkat
pemanfaatan internet 0,5 Kbps / mahasiswa; jumlah mahasiswa dengan IPK <
2.75 kurang dari 25%; persentase mahasiswa yang lulus tepat waktu minimal
60%.131 Standar-standar ini dipakai sebagai usaha untuk level mahasiswa Unhas
dalam merespon tuntutan global dan nasional tentang kualitas lulusan. Untuk
pengakuan di tingkat internasional, Unhas juga mulai membuka menaikan
mengembangkan kelas internasional. Program kelas internasional akan
diarahkan pada fakultas yang memiliki program studi berakreditasi A,
misalnya untuk Program Pendidikan Dokter pada Fakultas Kedokteran.
Standar baru ini diterapkan sebagai jawaban atas rendahnya kualitas
lulusan juga menjawab tuntutan dunia kerja dan struktur industrial yang
membutuhkan ketersedian tenaga kerja murah namun memiliki kualifikasi
akademis dan soft skill yang diperlukan. Namun satu hal yang menjadi perhatian
adalah bahwa standar-standar yang dipakai ini sangatlah mekanistik dan
positifistik misalnya dengan menerapkan standar-standar minimal IPK rata-rata
dan durasi masa kuliah sesingkat mungkin (14 semester maksimal dengan ukuran
“normal” 3,5 tahun/7 semester). Standar-standar ini akhirnya berdampak pada
pola pikir dosen dan mahasiswa yang hanya berlomba-lomba untuk mencetak
mahasiswa dengan IPK tinggi dan masa kuliah tercepat. Setiap wisuda, para
mahasiswa dengan nilai IPK dan masa kuliah tercepat diberikan “award” berupa
wisudawan/wisudawati terbaik dan diberi kesempatan untuk berpidato. Standar ini 131 Rencana Strategi Unhas 2006-2010, hal. 53
135
pada akhirnya menciptakan mental-mental mahasiswa yang hanya mengejar IPK
dan selesai secepatnya tanpa memperdalam ilmu pengetahuan, kemampuan-
kemampuan dasar, serta melaksanakan fungsi-fungsi intelektualnya dalam
kampus maupun dalam masyarakat.
Pada ranah manajemen dan tata kelola, karena dana IMHERE menekankan
pada syarat dan indikator peningkatan mutu dan tata kelola maka setiap unit
pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki standar pelayanan yang diukur dalam
standar-standar industrial seperti layaknya korporasi. Perguruan tinggi yang telah
memenuhi standar tertentu dalam memberikan kepuasan kepada “pelanggan”
ditandai dengan pemberian sertifikasi ISO (International Standard Organization).
ISO ini merupakan standar penjamin mutu yang memuat ukuran-ukuran dan
perangkat teknis administratif untuk menjami kepuasan pelanggan. Unhas sendiri
saat ini telah mulai menggunakan sistem penjamin mutu ini sejak 2009. Melalui
perusahaan penjamin mutu SAI Global, pertama-tama Prog Pascasarjana
Universitas Hasanuddin mendapatkan lisensi ISO untuk pelayanan akademik pada
1 Sep 2008. Kemudian Rektorat Unhas mendapatkan sertifikat ISO 9001:2008
dalam juga hal penyediaan pelayanan administrasi akademik (No. Lisensi:
QEC26865). Sementara untuk fakultas, hingga saat ini baru dimiliki oleh Fakultas
Farmasi.
Lebih jauh, standar-standar baru juga didorong untuk diterapkan pada
level program studi, jurusan, dan universitas melalui program IMHERE
komponen A.2. Standar-standar ini mencakup standar tentang komitmen
perguruan tinggi terhadap kapasitas institusional (institutional capacity) dan
136
komitmen terhadap efektivitas program pendidikan (educational effectiveness),
yang dikemas dalam tujuh standar akreditasi, yaitu:132 1) Visi dan Misi; 2)
Tatapamong dan Kepemimpinan; 3) Kemahasiswaan dan Lulusan; 4) Sumber
daya manusia; 5) Pembelajaran, Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan
Kerjasama; 6) Pendanaan, Sarana, dan Prasarana; dan 7) Sistem Penjaminan Mutu
dan Manajemen Informasi.
Seperti halnya standar kualifikasi mahasiswa di atas, standar-standar ini
juga merupakan standar yang digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
transfer kredit perguruan tinggi, pemberian bantuan dan alokasi dana, serta
pengakuan dari badan atau instansi yang lain. Oleh karenannya, Unhas
mendorong setiap program studi, jurusan, dan fakultas untuk meningkatkan
standar akreditasnya. Hingga tahun 2011 telah ada 52 program studi yang telah
terakreditasi oleh BAN-PT dari total sebanyak 60 program studi di Unhas.133
Program-program studi dan fakultas-fakultas “berlomba-lomba” untuk
mendapatkan nilai akreditasi yang memadai. Hal ini terjadi karena nilai akreditasi
akan mempengaruhi besar alokasi pendanaan baik dari universitas maupun dari
skema-skema pendanaan lainnya. Selain itu, akreditas juga mempengaruhi “nilai
jual” lulusan di bursa kerja. Sehingga menjadi tanggungjawab moral-struktural
bagi setiap program studi/jurusan/fakultas untuk mendapatkan akreditas yang
baik.
132 Dokumen BAN-PT, Naskah Akademik Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi. 2008. Jakarta: BAN PT, hal. 6-7133 Dokumen KBK Dan Status Akreditasi Prodi Di Universitas Hasanuddin, diakses melalui http://unhas.ac.id/lkpp/index.php?option=com_content&task=view&id=221&Itemid=108 pada 11 Juli 2012.
mendorong agar dosen-dosen melanjutkan jenjang pendidikan mereka. Tahun
2008, jumlah dosen yang melanjutkan jenjang pendidikan S2 dan S3 di dalam
dan luar negeri masing-masing 15 dan 29 orang.138 Jumlah itu meningkat menjadi
16 orang (S2) dan 43 (S3) pada tahun 2009.139
Pada kebijakan skala nasional, UU Guru dan Dosen dan Permen Nomor
42 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Dosen mengharuskan setiap dosen harus
tersersertifikasi sebagai parameter kemampuan dan profesionalitasnya.140 Adapun
proyek IMHERE hadir sebagai suplemen untuk memastikan standar baru untuk
dosen ini berjalan dengan efektif. Di Unhas, jumlah dosen yang tersertifikasi
meningkat dari tahun 2008 hanya 159 dosen yang lulus sertifikasi, jumlah itu
meningkat menjadi 318 (pada 2009) dan pada tahun 2010 telah ada 837 dosen
yang telah ikut sertifikasi (807 lulus dan 30 orang belum lulus).141 Sesuai dengan
prinsip kompetisi, sertifikasi ini berpengaruh pada besaran insentif yang diterima
oleh dosen. Peningkatan proses seleksi dan pelatihan ini merupakan konsekuensi
logis dari dibutuhkannya kualitas mahasiswa yang dapat bersaing di dunia kerja
dan berkurangnya anggaran untuk menggaji dosen. Oleh karenanya, daripada
memperbanyak jumlah dosen yang ada, pilihan yang dilakukan adalah dosen-
dosen tersebut dipacu untuk meningkatkan kualitasnya dengan sistem insentif
sebagai motivasi ekonomisnya.
138 Data Bag. Kerjasama Unhas. Jumlah Dosen Unhas yang Menyelesaikan Pendidikan S2,S3 Dalam Negeri dan Luar Negeri Tahun 2008. Makassar: Unhas139 Data Bag. Kerjasama Unhas. Jumlah Dosen Unhas yang Menyelesaikan Pendidikan S2,S3 Dalam Negeri dan Luar Negeri Tahun 2009. Makassar: Unhas140 Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Lihat dalam Kemendiknas. Naskah Akademik Program Sertifikasi Dosen 2007. 2007. Jakarta: Dikti141 Data Bag. Kepegawaian Unhas. 4.2.10 : Data Dosen Universitas Hasanuddin yang Telah Mengikuti Sertifikasi Keadaan 31 Oktober 2010. Makassar: Unhas
142
Secara umum, dari proses reformasi dan transfomasi yang dilakukan oleh
Unhas dan pola kebijakan yang telah dijelaskan diatas, reformasi berbasis
kompetisi ini menciptakan pola kompetisi dari level atas hingga level bawah. Pola
kompetisi itu adalah:
1. Kompetisi antar perguruan tinggi di dalam negeri (yang terbagi
menjadi kompetisi antar PT yang “se-level” dan PT yang berbeda
level)
2. Kompetisi antara perguruan tinggi dalam negeri dengan perguruan
tinggi asing/di luar negeri (dalam hal penelitian, mahasiswa
internasional, hingga peringkat internasional semisal Webometric142)
3. Kompetisi antar fakultas/jurusan/program studi (dalam hal akreditasi
dan kompetisi pendanaan)
4. Kompetisi individual sebagai akibat dari struktur kompetitif yang
berubah, misalnya kompetisi beasiswa dan kompetisi dana penelitian.
Jadi pola kompetisi yang didesak melalui proyek IMHERE, tidak hanya
mengubah paradigma tentang tata kelola yang terdesentralisasi dan akuntabel.
Namun lebih jauh, basis kompetitif ini mengarah pada usaha-usaha untuk
menjawab pergeseran paradigma ekonomi dari ekonomi berbasis bahan baku
menjadi (resource-based economy) ekonomi berbasis ilmu pengetahuan
142 Webometric adalah suatu sistem yang memberikan penilaian terhadap seluruh universitas terbaik di dunia melalui website universitas tersebut. Webometric melakukan pemeringkatan terhadap lebih dari 20 ribu Perguruan Tinggi diseluruh dunia. Pada Januari 2010 Unhas menduduki peringkat 3223 dunia dan 23 nasional. Sementara pada Juli 2010, Unhas pada peringkat 3092 dan 27 secara nasional. Lihat Ady Wahyudi Paundu, Laporan Webometric Unhas 2010. 2010. Makassar: PTIK Unhas
143
(knowledge based economy).143 Dalam ekonomi yang berbasis pengetahuan,
pendidikan tinggi dilihat sebagai komoditas jasa yang memiliki nilai ekonomi
tinggi dan merupakan infrastruktur utama bagi penciptaan tenaga kerja global.
Pendidikan tinggi dianggap sebagai industri jasa yang harus dikelola sebagaimana
sektor industri lainnya. Sebagaimana yang dinyatakan Kerr, bahwa “… the
university as producer, wholesaler and retailer of knowledge cannot escape
service. Knowledge, today is for everybody’s sake”.144
Oleh karenanya, pendidikan tinggi haruslah dikelola dengan prinsip-
prinsip ekonomi dan harus dapat menghasilkan luaran yang bernilai ekonomi
pula. Seperti analisis diatas, terlihat bahwa melalui proyek IMHERE dalam
lingkup nasional maupun Unhas secara spesifik dituntut untuk dapat
menghasilkan tenaga kerja terdidik dengan biaya minimum (low cost) untuk
merepon kebutuhan pasar (market based). Ketersedian tenaga kerja terdidik
dengan harga murah ini sering diperbenturkan dengan kondisi pengangguran yang
masih sangat tinggi di Indonesia, yakni sekitar 7,41% (2010) dengan jumlah
angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 116 juta orang.145 Untuk
meningkatkan daya serap lulusan Unhas di dunia kerja, Unhas telah membentuk
UPT Job placement Center (JPC)146 dan sejak 2007 selalu mengadakan job fair
secara regular. UPT ini berfungsi sebagai wadah dalam meningkatkan kapasitas 143 Lihat, Laura M. Portnoi dkk (Ed), Higher Education, Policy, And Global Competition The Phenomenon, 2010, New York: Palgrave Macmillan, hal. 29.144 Clark Kerr, “The Uses of The University” dalam Buchari Alma dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan.2008. Bandung: Alfabeta, hal. 35145 “BPS: Jumlah Pengangguran di Indonesia Berkurang” diakses malalui http://www.tribunnews.com/2010/05/11/bps-jumlah-pengangguran-di-indonesia-berkurang pada 10 Juli 2012.146 Berdasarkan Surat Keputusan Rektor No. 427/H4/O/2007 tentang Pendirian UPT Job Placement Centre sebagai organ yang secara teknis mengelola JPC
dan kapabilitas mahasiswa dan alumni universitas serta menjadi informasi
lapangan kerja dan/atau wiraswasta. Pembentukan UPT ini untuk menjawab
kebutuhan kompetitif lulusan Unhas yang harus bersaing di dunia kerja. Pada Job
Fair / Bursa Kerja yang dilaksanakan pada 30-31 Maret 2011 jumlah alumni
yang ikut dalam seleksi selama Job Fair berlangsung mencapai 3000 alumni.147
Jumlah yang cukup besar ini merupakan cerminan bahwa faktor eksternal
(market) menjadi faktor yang sangat determinstik dalam reformasi berbasis
kompetisi yang terjadi di Unhas.
Reformasi berbasis kompetisi yang terjadi di Unhas ini, secara substansial
akhirnya perlahan menggeser paradigma “pendidikan untuk semua” menjadi
“korporatisasi pendidikan” dimana pengelolaan dengan cara-cara korporasi yang
dipercaya dapat meningkatkan mutu luaran pendidikan. Korporatisasi pendidikan
adalah praktek penyelenggaraan pendidikan yang lebih menonjolkan masalah tata
kelola pendidikan yang dikelola secara professional guna memberikan kepuasan
kepada pelanggan (mahasiswa).148 Praktek standarisasi industrial seperti ini
merupakan wujud nyata dari implikasi masuknya paradigma dan tata kelola ala
korporasi. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, model korporasi
seperti ini merupakan bentuk manifestasi model neoliberalisme yakni model self-
regulating dengan tata kelola entrepreneurial (korporatif). Proyek IMHERE dan
147 Prof.Dr.Hj.Farida Patittingi. UPT Job Placement Centre (JPC). Slide Presentasi. 2012. Makassar: Unhas148 Istilah korporatisasi diinspirasikan oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar. Lihat Tilaar H.A.R, “Badan Hukum Pendidikan: Korporatisasi Pendidikan, Suatu Tinjauan Pedagogis,” makalah diskusi, tidak dipublikasikan. Tentang manajemen pendidikan ala korporasi ini dijelaskan dengan sangat jelas dan rinci dalam Buchari Alma dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan.2008. Bandung: Alfabeta, hal. 11-54.
145
semua syaratnya telah mengakibatkan perubahan dan reformasi yang sangat
mendasar dalam hal paradigma, kultur, kebijakan, dan tata kelola pendidikannya.
2.2. Reform Based on Financial Imperatives
Proyek bantuan Bank Dunia melalui IMHERE tidak hanya melahirkan
reformasi berbasis kompetisi namun juga reformasi jenis kedua yang hadir untuk
merespon pengurangan anggaran dalam sektor publik maupun swasta yang
diistilahkan sebagai “reformasi berbasis financial” (reform based on financial
imperatives). Reformasi jenis ini biasanya didesak oleh IMF dan Bank Dunia
sebagai prakondisi dan prasyarat sebelum digulirkannya bantuan pendidikan bagi
suatu negara.149
Masalah penganggaran fiskal Indonesia untuk pendidikan juga tidak lepas
dari alasan mengapa Bank Dunia menggelontorkan dana IMHERE. Dalam
dokumen resmi IMHERE, disebutkan bahwa faktor utama rendahnya tingkat
partisipasi dan kualitas adalah rendahnya tingkat pengeluaran publik untuk
pendidikan tinggi. Pengeluaran publik pada semua tingkatan pendidikan di
Indonesia hanya 1,3 persen dari PDB, dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran
publik sebesar 3,2 persen di negara-negara Asia Timur. 21 persen dari anggaran
pendidikan nasional negara dihabiskan untuk pendidikan tinggi. Ini berarti
pengeluaran yang sangat rendah per siswa untuk pendidikan tinggi Indonesia
149 Lihat Carlos Alberto Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 16.
146
dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.150 Sebagian besar anggaran
Dikti digunakan untuk membiayai lembaga-lembaga pendidikan publik.
Pada tahun 2009, anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi adalah
sebesar 18,5 triliun Rupiah atau sekitar US$ 1,8 miliar. Sekitar 85 persen dari
anggaran tersebut dialokasikan untuk PTN: 69 persen dialokasikan untuk PTN 76
non-otonom, 11 persen untuk tujuh PT yang telah BHMN, dan 6 persen lainnya
digunakan untuk mendanai lembaga koordinasi dari PTS-PTS di Indonesia.
Dalam APBN 2009, sekitar Rp 4,7 triliun atau US$ 470 juta berasal dari
pendapatan sendiri dari 76 institusi publik tersebut. Gambar berikut menjelaskan
persentase anggaran tersebut:
Gambar 3: Komposisi anggaran tahun 2009 untuk Dikti dengan total 18,5 Triliun
150 Bank Dunia. IMHERE Project Information Document (Pid) Appraisal Stage Report No.: Ab1414. 2005.
147
Sumber: Dokumen World Bank. Human Development East Asia and Pasific Region. Indonesia : Higher Education Financing, 17 April 2012
Anggaran 18,5 triliun ini dianggap terlalu besar dan membebani kas negara karena
menghabiskan hampir seperempat dari total APBN.151 Oleh karena itu, pola-pola
bantuan seperti IMHERE ini menjadikan pengurangan subsidi sebagai syarat dan
alas am untuk menerapkan otonomisasi kampus.
Pengetatan pengeluaran fiskal untuk pendidikan tinggi ini juga disebabkan
oleh tuntutan pembayaran utang luar negeri yang harus dibayarkan setiap
tahunnya. Pada tahun 2001 total pengeluaran kas negara untuk membayar bunga
dan cicilan pokok luar negeri mencapai Rp. 103,027 triliun, pada 2002 mencapai
Rp. 102,126 triliun, dan 2003 turun menjadi 99,293 triliun. Sementara pada kurun
waktu yang sama anggaran pendidikan hanya Rp. 9,339 triliun (2001), Rp. 10,513
(2002), dan Rp. 14,138 triliun (2003).152 Jadi memang terlihat bahwa
penganggaran untuk dana pendidikan dan pembayaran hutang luar negeri sangat
tidak imbang.
Lebih jauh lagi, secara internasional Indonesia ternyata menjadi incaran
negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatihan. Oleh karena perhatian
pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, maka menjadi alasan untuk
“mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke
Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-
negara berkembang ini, intervensi pemerintah dalam sektor jasa tersebut harus
151 Dokumen World Bank. Human Development East Asia and Pasific Region. Indonesia : Higher Education Financing, 17 April 2012.152 Lihat Darmaningtyas. Utang dan Korupsi Racun Pendidikan. 2008. Jakarta: Pustaka yashiba, hal. 225.
148
dihilangkan. Negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina,
Korea dan Selandia Baru merupakan negara-negara yang paling mendesak
Indonesia untuk meliberalisasi sektor pendidikannya.153
Proyek Bank Dunia dalam IMHERE kemudian menjadikan syarat
finansial ini sebagai keharusan yang harus diterapkan dari tingkat pusat hingga ke
unit-unit kerja PT. Untuk memfokuskan analisa, reformasi finansial ini dapat kita
pahami dengan pendekatan Carnoy. Menurut Carnoy, terdapat 3 strategi utama
dalam reformasi jenis ini, yakni:
a. Mentransfer pembiayaan pendidikan dari pendidikan tinggi ke tingkat
pendidikan yang lebih rendah dengan anggapan bahwa subsidi untuk
pendidikan tinggi adalah subsidi untuk orang kaya saja karena mayoritas dari
mahasiswa yang mendaftar tergolong mahasiswa yang berasal dari keluarga
kelas menengah dan/atau kelas elit; dan privatisasi sektor pendidikan dasar
dan menengah dengan anggapan bahwa peningkatan biaya pengguna dan
kontribusi keluarga dalam pendidikan anak didik pada gilirannya akan
mengurangi beban fiskal dalam pembiayaan sektor-sektor publik.
Dalam konteks kebijakan ini di Indoneisa, “pengalihan” subsidi ini
dijalankan melalui konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Konsep
MBS ini dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada pihak sekolah; memberikan
fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber
153 Dijelaskan oleh Prof. Dr. Sofian Effendi, "GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi" pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEM-KM UGM, Yogayakarta, 22 September 2005.
149
daya sekolah; dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah
dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan mutu sekolah.154
Tujuan MBS sebenarnya ingin membuat sekolah lebih otonom dan
partisipatif, tapi tujuan ini tidak tercapai karena pada prakteknya pihak sekolah
dan komite lebih fokus untuk mengurus masalah pendanaan.
Akhirnya MBS menjadi konsep yang membuka kesempatan bagi
sekolah untuk menaikan biaya pendidikannya. Mengingat subsidi pemerintah
untuk sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) dihapuskan sehingga sekolah-sekolah itupun
harus menggunakan model MBS untuk mencari sumber-sumber pemasukan.
Hal ini diperparah karena konsep MBS ini memang bukan gagasan dan
kehendak asli dari penentu kebijakan pendidikan, tapi dari dorongan Asian
Development Bank (ADB), Bank Dunia, Unicef, Unesco, dan beberapa negara
seperti Inggris, Selandia Baru, dan Belanda.155
b. Strategi pengurangan biaya dengan meningkatkan jumlah mahasiswa per
dosen untuk mengatasi defisit anggaran dan menambah angka pendaftaran
mahasiswa.
Di Unhas, untuk menambah angka pendaftaran mahasiswa maka pada tahun
2008, Unhas membuka 7 jalur masuk, khususnya dengan membuka
mekanisme untuk Ujian Masuk Bersama (UMB) yang juga diikuti oleh
Universitas Indonesia (UI), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
154 Hasbullah. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. 2010. Jakarta: Rajawali Press, hal.75.155 Darmaningtyas, dkk. Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009. Jakarta: Damar Press, hal. 176
150
Jakarta. Dengan 7 jalur masuk ini, Unhas menerima 5.785 orang mahasiswa
baru. Masing-masing jalur berjumlah: JPPB 710, JNS 384, UMB 1.885,
SNMPTN 1.503, PMS 976, POSK 33, lainnya 324 orang.156 Sangat jelas
bahwa mekanisme UMB menjadi cara yang ditempuh oleh Unhas untuk
menambah pemasukan dengan menaikan jumlah mahasiswa yang masuk.
Karena dalam UMB ini, biaya pendaftaran peserta dikelola langsung oleh
panitia UMB yang berasal dari universitas-universitas yang bergabung, bukan
oleh panitia pusat SNMPTN. Secara ekonomi, UMB lebih menguntungkan
dari jalur SNMPTN.
Pada tahun 2009, jumlah mahasiswa S1 yang masuk berjumlah total
4.971 orang dengan pembagian Jalur JPPB 697, JNS 428, SNMPTN 2.977,
POSK 55, dan lainnya 81 orang.157 Sementara pada tahun 2010 jumlah totoal
mahasiswa yang diterima adalah 4.554 orang dengan pembagian jalur JPPB
sebanyak 527 orang, POSK 322, SNMPTN 2.711, JNS 685, dan lainnya 309
orang mahasiswa.158
Hal yang menarik dari data penerimaan 2008-2010 ini adalah bahwa
jumlah mahasiswa yang diterima melalui jalur JPBB (Jalur Penelusuran
Potensi Belajar) sedangkan jumlah mahasiswa yang lolos dari jalur JNS (Jalur
Non Subsidi) terus meningkat. Jika ditinjau dengan pendekatan yang sama,
maka hal ini merupakan akibat dari usaha Unhas untuk memaksimalkan
156 Data Bag. Akademik Unhas. Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Baru Program S1 Univ. Hasanuddin Menurut Fakultas Dan Jalur Penerimaan Tahun 2008/2009. Makassar: Unhas157 Data Bag. Akademik Unhas. Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Baru Program S1 Univ. Hasanuddin Menurut Fakultas Dan Jalur Penerimaan Tahun 2009/2010. Makassar: Unhas158 Data Bag. Akademik Unhas. Jumlah Mahasiswa Baru Universitas Hasanuddin Menurut Fakultas, Program Studi, Jalur Penerimaan Yang Diterima Dan Mendaftar Ulang Tahun 2010/ 2011. Makassar: Unhas
151
pemasukan melalui dana masyarakat. JNS yang pada awalnya dibuka untuk
menampung mahasiswa yang dibiayai oleh sponsor dan tidak disubsidi oleh
pemerintah, dari data ini telah menjadi jalur yang digunakan oleh masyarakat
(khususnya golongan menengah ke atas). Pada tahun 2006 saja, JNS telah
memberikan kontribusi 7,9 M pada penerimaan Unhas.159
c. Dikurangi dan dihapuskannya subsidi membuat PT harus melakukan
segala cara untuk menarik dana dari sumber-sumber pendapatan lainnya
seperti dari mahasiswa dan usaha-usaha komersil.
Untuk merespon beban finansial ini, pada tingkat pusat, pemerintah
perlahan-lahan telah mendorong institusi-institusi pendidikan negeri untuk
mengubah statusnya menjadi BHP atau BLU. BHP untuk perguruan-perguruan
tinggi yang otonom penuh sementara BLU untuk perguruan tinggi yang masih
menggunakan mekanisme cost-sharing dengan pemerintah, seperti Unhas.
Sebenarnya, di dalam UU BHP yang menjadi tujuan instrument legal
utama dari proyek IMHERE, juga diatur tentang pembiayaan pendidikan tinggi
dimana terdapat beberapa klausul yang mengarah pada praktek korporatisasi
kampus, misalnya: (a) tuntutan untuk dilakukannya pemisahan kekayaan antara
kekayaan negara dan kekayaan universitas (badan hukum atau badan layanan
umum). Unhas telah menerapkan sistem pendataan dan pengelolan asset yang
dikelola oleh Wakil Rektor II dan Bagian Perlengkapan. Pengelolaan asset ini
dapat diakses melalui alamat online yang berisi laporan neraca dan pengelolaan
159 Laporan Tahunan Rektor Unhas Tahun 2007, hal 19
152
asset160. Sistem pengelolaan ini dibangun dengan menggunakan dana dari
INHERENT dan IMHERE; (b) pembukaan unit-unit usaha yaitu unit usaha
akademik, unit usaha penunjang, dan unit usaha komersial. Adapun unit usaha
komersial ini dapat berbentuk perseroan terbatas atau jenis usaha komersial
lainnya yang sepenuhnya atau sebagaian sahamnya dimiliki universitas; (c)
outsourcing dosen dan karyawan untuk PT BHMN. Masalah ketenagakerjaan ini
akan berangsur-angsur diterapkan ke semua PT di Indonesia sesuai dengan status
PT tersebut. Hingga penelitian ini ditulis, pola ketenagakerjaan yang baru ini
belum diberlakukan di Unhas. ; (d) transparansi dan akuntabilitas yang
mengharuskan universitas memiliki auditor internal. Sementara untuk pengawasan
penyelenggaraan universitas dilakukan oleh Menteri yang dapat didelegasikan
kepada Majelis Wali Amanat. Sumber dari reformasi pendanaan dan tata kelola
keuangan ini adalah pengurangan pengurangan bahkan penghapusan subsidi
pemerintah untuk pendidikan tinggi.
Sebagai universitas yang belum berstatus otonom penuh, struktur
penerimaan kas Unhas sangat bergantung pada alokasi dana dari pemerintah
walaupun persentasinya semakin diperkecil dari tahun ke tahun. Oleh Unhas, hal
itu dilihat sebagai akibat dari meningkatnya kemampuan Unhas menggalang
penerimaan dari swasta (baik dari penerimaan SPP maupun dalam bentuk
kerjasama kemitraan). Pada tahun 2003, 69,2% dari total anggaran Unhas berasal
dari pemerintah yaitu berupa dana Anggaran Rutin sekitar 48,3% dan Anggaran
160 Sistem Pengelolaan ini dapat dikunjungi di alamat: http://www.unhas.ac.id/perlengkapan/index.php?option=com_weblinks&view=category&id=2&Itemid=50
Dampak dari kebijakan ini tidak signifikan karena dalam pelaksanaannya
terjadi kesenjangan informasi dengan banyaknya mahasiswa yang tidak tahu-
menahu soal beasiswa ini. Mis-managemen juga terjadi yakni pada penyaluran
beasiswa yang tidak sepenuhnya diberikan pada mahasiswa yang proposalnya
menyangkut tema budidaya kelautan. Penyaluran beasiswa ini sempat menjadi
polemik diantara pelaksana program di Unhas dan mahasiswa yang merasa tidak
mendapatkan haknya. Dari peristiwa ini dapat dilihat bahwa reformasi untuk
penciptaan keadilan ini tidak berjalan sepenuhnya di Unhas.
Pada lingkup yang lebih luas, selain beasiswa yang ditawarkan oleh
program-program hibah seperti IMHERE, Unhas mencoba untuk menggaet
sumber-sumber pemberi beasiswa dari pihak swasta maupun perusahaan-
perusahaan pemerintah. Pada tahun 2010 terdapat 26 sumber pemberi beasiswa
dengan jumlah penerima beasiswa mencapai 5.149 orang.167 Jumlah ini cukup
signifikan namun tidak mengakomodasi semua pihak karena kebanyakan dari
pemberi beasiswa ini memberikan beasiswanya kepada mahasiswa yang memiliki
kemampuan akademik tinggi dan berasal dari keluarga tidak mampu. Seharusnya,
dalam menciptakan kultur sosial-pendidikan yang berkeadilan, mahasiswa-
mahasiswa yang kemampuan akademiknya rata-rata juga harus mendapatkan
biaya yang sama karena pengeluaran dan biaya kebutuhan yang mereka keluarkan
juga sama.
167 Data dan informasi Unhas. Jumlah Mahasiswa Universitas Hasanuddin Penerima Beasiswa Dirinci Menurut Fakultas Dan Sumber/Sponsor Untuk Strata 1 Tahun 2010. Makassar: Unhas
158
Reformasi untuk menciptakan keadilan dengan mekanisme seperti ini
tidak memberikan dampak yang signifikan dibanding dengan akibat yang
ditimbulkan sebagai implikasi penerapan IMHERE, yakni korporatisasi dan
komersialisasi pendidikan tinggi yang tengah terjadi di Unhas. Apalagi melihat
alokasi beasiswa dana yang sangat sedikit dan penerapannya yang bermasalah.
Dari sisi lainnya, beasiswa ini malah mempertajam kultur kompetisi di lingkungan
akademis Unhas yang seharusnya mengedepankan kesetaraan dan kesamaan
perlakuan. Reformasi-reformasi yang terjadi ini semakin menciptakan
kesenjangan sosial dilingkungan yang seharusnya menjadi “benteng” kebudayaan.
Hal ini seperti yang telah dikatakan oleh Carnoy bahwa:
Globalization tends to push governments away from equity-driven reforms, for two main reasons. The first reason is that globalization increases the pay-off to high-level; skills relatives to lower-level skills, reducing the complementarities between equity and competitiveness-driven reforms. The second is that in most developing countries and in many developed countries, finance-driven reforms dominate educational change in the new globalized economic environment, and such reforms tend to increase inequity in the delivery of educational service.
Konsep dan cita-cita keadilan yang dibawa dalam program IMHERE
menjadi tidak berarti karena reformasi keuangan dalam pengelolaan PT akhirnya
mendominasi dan mendesak agar setiap perguruan tinggi haruslah
mengedepankan kompetisi. Alokasi dana untuk menciptakan keadilan ini sangat
tidak sebanding dengan akibat dari reformasi finansial yang menciptakan praktek
korporatisasi dan komersialisasi kampus. Apalagi mahasiswa Unhas yang sekitar
45% berasal dari keluarga dengan penghasilan per bulan kurang dari Rp
159
1.500.000,- tentu sangatlah tidak berimbang dengan kenaikan biaya-biaya
operasional yang terus meningkat.168
Dari analisa dengan memakai model Carnoy ini nampak jelas bahwa Bank
Dunia melalui proyek IMHERE-nya telah membawa perubahan atau reformasi
pada sektor pendidikan tinggi di Indonesia. Perubahan tersebut meliputi reformasi
paradigma dan prinsip-prinsip pengelolaan melalui competition-based reforms,
perubahan mekanisme pendanaan dan tata kelola keuangan melalui reforms based
on financial imperative, dan perubahan dalam melihat peran dan fungsi
pendidikan tinggi dalam konteks sosial masyarakat, khususnya untuk menjawab
masalah menciptakan kualitas dan keadilan secara bersamaan.
168 Renstra Unhas 2006-2010, hal. 21.
160
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbincangan tentang bantuan luar negeri selalu tidak lepas dari untuk apa,
bagaimana, dan apa dampak yang disebabkan dari instrument hubungan
internasional tersebut. Baik secara bilateral maupun multilateral, pemberian dan
penerimaan bantuan luar negeri juga tidak bisa dilepaskan dari dimensi ekonomi-
politik yang melingkupinya. Begitupun dengan praktek bantuan luar negeri yang
dijalankan oleh Bank Dunia sebagai institusi multilateral yang menjadi agen
distribusi bantuan dalam bentuk pinjaman/hutang dan hibah dari negara-negara
donor ke negara-negara recipient. Bantuan untuk reformasi manajemen dan
relevansi pendidikan tinggi atau IMHERE yang digulirkan oleh Bank Dunia untuk
sektor pendidikan tinggi di Indonesia membawa misi besar pendidikan Bank
Dunia. Misi tersebut terkait dengan peran Bank Dunia sebagai bank internasional
yang memberikan pinjaman untuk proses deregulasi-privatisasi-liberalisasi dalam
kerangka globalisasi-neoliberal.
Dari pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa IMHERE
merupakan bantuan luar negeri dalam bentuk pinjaman dari Bank Dunia kepada
pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Direktorat
Pendidikan Tinggi (DIKTI). Pengaruh Bank Dunia dalam implementasi program
ini sangatlah besar yang tercermin dalam Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND
dan Develeopment Credit Agreement (IDA) no. 4077-IND schedule 4. Syarat dan
161
substansi proyek ini sarat dengan visi dan strategi Bank Dunia untuk sektor
pendidikan tinggi. Begitupun dalam implementasinya, Bank Dunia memiliki
pengaruh dan peran besar baik dalam syarat pengajuan proposal, skema
pendanaan, dan evaluasi proyek.
Universitas Hasanuddin ,sebagai salah satu penerima hibah IMHERE, juga
mengalami perubahan-perubahan mendasar sesuai dengan misi yang dibawa oleh
bantuan ini melalui komponen yang dimenangkan oleh Unhas yakni proyek
IMHERE B.1 (Improvement of Social Quality and Social Responsibilty) dan
komponen B.2.a (Strengthening Institutional Management in Autonomous Public
Education Institution). Melalui program ini terjadi reformasi-reformasi dalam hal
paradigma, pendanaan, dan tata kelola universitas. Dengan pendekatan analisa
model Martin Carnoy tentang implikasi globalisasi-neoliberal dalam pendidikan
tinggi, disimpulkan bahwa reformasi yang diklarifikasikan Carnoy ke dalam
“reformasi berbasis kompetisi” (competition-based reforms); “reformasi berbasis
financial” (reform based on financial imperatives) dan “reformasi berorientasi
kesetaraan” (equity-driven reforms) terjadi juga di Universitas Hasanuddin dalam
bentuk yang hampir sama.
Implikasi reformasi itu dalam perubahan kebijakan di Unhas adalah
pergeseran paradigma tata kelola universitas yang menekankan pada semangat
kompetsisi menuju ke arah korporatisasi pendidikan tinggi yang dibawa oleh
competition-based reforms. Perubahan pola pendanaan dan pengurangan subsidi
pemerintah yang menjadi ciri reform based on financial imperatives dan berakibat
162
pada praktek komersialisasi yang mulai dijalankan oleh Unhas dengan beberapa
indikasi. Selain itu proyek IMHERE juga membawa pola equity-driven reforms
dimana ditekankan pada keharusan untuk memberikan kesempatan dan beasiswa
bagi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah namun memiliki
kemampuan akademik tinggi. Walaupun dalam pelaksanaannya, reformasi untuk
keadilan ini tidak terlaksana dengan baik dan maksimal karena adanya mis-
managemen dan kurangnya sosialisasi di tingkat pelaksana Universitas
Hasanuddin. Secara singkat dapat dikatakan bahwa, bantuan Bank Dunia melalui
proyek IMHERE menjadi “pembuka jalan” untuk diterapkannya reformasi di
Unhas dan sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
B. Saran
Pada akhirnya, setelah melakukan analisi dan pembahasan, penelitian ini
memberikan saran-saran rekomendatif yang diharapkan menjadi bahan masukan
bagi perkembangan pengetahuan maupun pada praksis pelaksanaan kebijakan:
1. Bantuan luar negeri sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai sebuah
fenomena “penyaluran dana” (money transfer) namun harus juga dilihat
secara kritis atas apa yang menjadi motif pemberi bantuan dan apakah
motif tersebut kompatibel dengan kondisi dan kebutuhan kita atau tidak,
2. Begitupun,sebagai Bank, bantuan dari Bank Dunia yang berwujud
hutang, haruslah dilihat secara kritis atas tujuan dan maksudnya,
khususnya untuk pendidikan tinggi,
163
3. Pendidikan tinggi di Indonesia sebaiknya tidak terjebak ke dalam praktek
komersialisasi yang pada akhirnya hanya mempersempit akses rakyat
miskin terhadap pendidikan dan menjauhkan pendidikan tinggi dari nilai-
nilai luhurnya sebagai tulang punggung pemikiran dan pengabdian
kepada masyarakat,
4. Universitas Hasanuddin sebaiknya memiliki karakter dan lebih
menekankan pada penciptaan kultur dan karakter yang jujur dibanding
harus “ikut-ikutan” dalam praktek-praktek komersialisasi.
164
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alma, Buchari dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan, 2008. Bandung: Alfabeta
Armstrong, Shiro dan Bruce Chapman (ed). Financing Higher Education and Economic Development in East Asia, 2011, Australia: ANU E Press
Bastiaens, Jo. International Assistance and State-University Relations, 2008, New York: Routledge
Baswir, Revrisond. Bahaya Neoliberalisme, 2009, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Buchori dan Malik (ed), “The Evolution of Higher Education in Indonesia”, dalam: Altbach & Umakoshi. Asian Universities.
Carnoy, Martin. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco
Darmaningtyas, dkk. Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009, Jakarta: Damar Press
Darmaningtyas. Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, 2008, Jakarta: Pustaka Yashiba
Djiwandono, J. Soedjati. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 2000 Yogyakarta: Kanisius,
Easterly, William (ed). Reinventing Foreign Aid, 2008, Cambridge: The MIT Press
Eggins, Heather. Globalization and Reform in Higher Education. 2008, Glasgow: Society for Research into Higher Education & Open University Press
Freeman, Alan dan Boris Kagarlitsky (ed), The Politics of Empire: Globalisation in Crisis. 2004, London: Pluto Press
Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. 2004, Yogyakarta: Penerbit Qalam
166
Gerring, John. Case Study Reserch, Principles and Practices. 2007. Cambridge : Cambridge University Press
Habibullah, A. Kebijakan Privatisasi BUMN: Relasi State, Market, dan Civil Society. 2009, Malang: Averoes Press
Hadiz, Vedi R. dan Daniel Dhakie (ed), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. 2006. Jakarta: Equinox,
Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism, 2005, New York: oxford University Press
Hasbullah. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. 2010. Jakarta: Rajawali Press
Hawkins, D., dkk. “Delegation Under Anarchy: States, International Organisations And Principal-Agent Theory”, 2003, Cambridge: Cambridge University Press
Holsti. K.J. Politik Internasional Suatu Analisis, Bandung: Bina Cipta, 1987
Ikbar, Yanuar. Ekonomi Politik Internasional 2, 2007, Bandung: Refika Aditama
Jones, Philip W. World Bank Financing of Education: Lending, learning, and Development. 2007. New York: Routledge
Jones, Walter S. Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi Politik Internasional dan Tatanan Dunia, 1993, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Joyner, Christopher C. (ed). The United Nation and International Law, 1997, Cambridge: Cambridge University Press
Khor, Martin. Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan (terjemahan), 2003, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas
Lancaster, Carol, Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics, 2007, London: The University Chichago Press
Leviza, Jelly. Tanggung Jawab bank Dunia dan IMF sebagai Subjek Hukum Internasional. 2009, Jakarta: Softmedia
McBride, Stephen dan John Wiseman (ed.), Globalization and its Discontents, 2002, Basingstoke: Macmillan
167
Nugroho, Heru (Ed), McDonalisasi Pendidikan Tinggi. 2002, Yogyakarta: Kanisius
OECD, Twenty-five Yesrs of Development Co-operation: A Review, 1985, Paris: OECD
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yayan Mochamad Yani. Pengantar Hubungan Internasional. 2005, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Portnoi, Laura M. dkk (Ed), Higher Education, Policy, And Global Competition The Phenomenon, 2010, New York: Palgrave Macmillan
Prasetyo, Eko. Orang Miskin Dilarang. 2006, Yogyakarta: Resist Book
Rifai, Muhammad. Politik Pendidikan Nasional, 2011, Yogykarta : Ar-Ruzz Media
Ritzer, George dan Douglass J. Goodman, terjemahan oleh Nurhadi, Teori Sosiologi, 2004. Bantul: Kreasi Kencana
Alesina, Alberto dan David Dollar. Who Gives foreign Aid to Whom and Why, Journal of Economic Growth, Volume 5, No.1 (Mar, 2000)
Arif Wicaksono. Aktor Lokal dan Oda Jepang. 2011. Thesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: UGM.
Atmadja, Adwin Surya. Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia: Perkembangan dan Dampaknya, Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000
Bank Dunia. IMHERE Project Information Document (Pid) Appraisal Stage Report No.: Ab1414. 2005
Bank Dunia Integrated Safeguards Datasheet Appraisal Stage: Higher Education for Relevance and Efficiency. 2005. Jakarta: Bank Dunia
Bank Dunia. Development Credit Agreement (Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project. 2005. Jakarta: Bank Dunia
Coxon, Eve dan Karen Munce. The Global Education Agenda and the Delivery of Aid to Pasific Education. 2008. Oxford: Comparative Education, Edisi 2 Mei 2008, Volume IV
Danang Kurniadi, RUU BHP Dalam Jeratan Privatisasi. Jurnal Mahasiswa UGM, November 2007
Data Bag. Akademik Unhas. Jumlah Mahasiswa Baru Universitas Hasanuddin Menurut Fakultas, Program Studi, Jalur Penerimaan Yang Diterima Dan Mendaftar Ulang Tahun 2010/ 2011. Makassar: Unhas
Data Bag. Akademik Unhas. Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Baru Program S1 Univ. Hasanuddin Menurut Fakultas Dan Jalur Penerimaan Tahun 2009/2010. Makassar: Unhas
Data Bag. Akademik Unhas. Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Baru Program S1 Univ. Hasanuddin Menurut Fakultas Dan Jalur Penerimaan Tahun 2008/2009. Makassar: Unhas
Data dan informasi Unhas. Jumlah Mahasiswa Universitas Hasanuddin Penerima Beasiswa Dirinci Menurut Fakultas Dan Sumber/Sponsor Untuk Strata 1 Tahun 2010. Makassar: Unhas
169
Dikti. Strategi Pendidikan Tinggi Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003 – 2010: Mewujudkan perguruan tinggi berkualitas, 2004. Jakarta: Dikti
_____, Workshop Sosialisasi IMHERE Program B.1 , 15 Agustus 2008
Dokumen Bank Information Center, Toolkit for Activist
Dokumen KBK Dan Status Akreditasi Prodi Di Universitas Hasanuddin, 2010
Dokumen Rencana Strategis Unhas 2006-2010
Dokumen World Bank. Human Development East Asia and Pasific Region. Indonesia : Higher Education Financing, 17 April 2012
Economic Development and Cultural Change, 1985, Vol. 33, No. 2
Journal of International Cooperation in Education, Vol. 13 No. 2
Kabag. Kerjasama Unhas. Dokumen Jumlah Dosen Unhas yang Menyelesaikan Pendidikan S2 dan S3 Dalam dan Luar Negeri Tahun 2010. Makassar: Unhas
Kerjasama Internasional Universitas Hasanuddin, slide presentasi Dwia Aries Tina P., 2012.
Kemendiknas. Naskah Akademik Program Sertifikasi Dosen 2007. 2007. Jakarta: Dikti
Laporan International Crisis Group Asia No. 15 Jakarta/Brussel dalam International Crisis Group, “Kredit Macet: Politik Reformasi Keuangan Indonesia”, 13 Maret 2001
Laporan Tahunan Rektor Unhas 2007
Naskah Kebijakan Bank Dunia, Indonesia: Pembiayaan Pendidikan Tinggi. 2010. Jakarta: Bank Dunia
Presentasi Direktorat Pembinaan PK BLU Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan RI, Implementasi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Surakarta, 16 Februari 2009.
170
Therien, Jean-Philipe. Debating Foreign Aid: Right versus Left, 2002, Third World Quartly, Vol, 23, No.2
UNAIR, Borang Akreditasi Program Studi Sarjana Farmasi FF Unair, 2010. Surabaya: Unair
Undang-Undang No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara
UNESCO, The Education for All Development Index 2011
Unhas, Dokumen ICT-IMHERE Program 4: Revitalization of Academic Management Information System to Support the Quality Assurance System. 2007. Makassar: Unhas
____, Draft Sitem Informasi Universitas Hasanuddin Standar 11 (PTIK dan I-MHERE). Dokumen tidak diterbitkan. Makassar: Unhas
Unit Pendidikan Bank Dunia Indonesia, Pembiayaan Pendidikan Tinggi: Naskah Kebijakan. 2010. Jakarta: Bank Dunia
Van Olden, J. F., dan Serpenti, L. M. Evaluation Report on the inter-university cooperation between the Universitas Hasanuddin (Ujung Pandang/Indonesia) and Erasmus University Rotterdam, 1979–1982. (Evaluation Report). 1983 The Hague: NUFFIC
Internet
http://imhere.ipb.ac.id
“Apa Kabar BHP ?” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2006/10/apa-kabar-bhp_116101835749941858.html pada 12 Juli 2012
“Anomali Grand Beasiswa Penelitian I-MHERE BDP” diakses melalui http://akuakulturunhas.blogspot.com/2008/10/anomali-grand-beasiswa-penelitian-i.html pada 11 Juli 2012.
“BDP dan Farmasi Menggaet I-MHERE” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/05/bdp-dan-farmasi-menggaet-i-mhere.html pada 2 Juli 2012.
“BPS: Jumlah Pengangguran di Indonesia Berkurang” diakses malalui http://www.tribunnews.com/2010/05/11/bps-jumlah-pengangguran-di-indonesia-berkurang pada 10 Juli 2012.
“Data dan Informasi Unhas Tahun 2010” diunduh melalui http://unhas.ac.id/dataunhas/Ixan/Data%20dan%20Informasi%20Unhas%20Tahun%202010/b.%20AKADEMIK/ pada 12 Desember 2011.
“Diskusi Filosofi Otonomi” diakses melalui http://lantai6rektorat.blogspot.com/2008/08/diskusi-filosofi-otonomi.html pada 1 Agustus 2012
“Forum Rektor Tolak Liberalisasi Pendidikan ” Kliping Koran Suara Pembaharuan tanggal 1 Desember 2005 diakses melalui http://www.ui.ac.id/download/kliping/021205/Forum_Rektor_Tolak_Liberalisasi_Pendidikan.pdf
“GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi” diakases melalui http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/Strategi-Menghadapi-Liberalisasi-Pendidikan-Tinggi.pdf pada 13 Juli 2012
“Higher Education Reform In Indonesia At Crossroad” melalui http://dikti.go.id/files/atur/bhp/HEReform-Singgih.doc diakses pada 12 Juni 2012.
“Indikator Pendidikan Tahun 1994 – 2010” dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1 diakses pada 12 Desember 2011
“Indonesia Penghasil Rumput Laut Terbesar” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2007/11/28/056112513/Indonesia-Penghasil-Rumput-Laut-Terbesar pada 1 agustus 2012
“Kebakaran Unhas Ludeskan 20 Proyek Penelitian Farmasi diakases melalui http://www.tempo.co/read/news/2009/07/05/058185301/Kebakaran-Unhas-Ludeskan-20-Proyek-Penelitian-Farmasi pada 1 agustus 2012
“Komersialisasi Terjadi, Mahasiswa Unhas Tolak BHP“ diakses melalui http://news.okezone.com/read/2007/12/03/1/65385/komersialisasi-terjadi-mahasiswa-unhas-tolak-bhp pada 12 Juli 2012
“Kualitas Manusia Indonesia Perlu Ditingkatkan” melalui http://economy.okezone.com/read/2011/11/15/20/529848/kualitas-manusia-indonesia-perlu-ditingkatkan diakses pada 12 Desember 2011
“Mendiknas Bantah UU BHP Komersialisasi Pendidikan” diakses melalui
“Mismanagement, I-MHERE Macet” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/11/no-673tahun-xxxiiiawal-november-2007.html pada 12 Juli 2012
“Overseas Non Degree Training (ONDT) dan Domestic Non Degree Training (DNDT)” diakses melalui http://unhas.ac.id/peternakan/pengum.php?57868104af3c0225183046a9307de888d03767b309bde91ed2773746e295d9fa pada 5 Agustus 2012
“Sejarah Fakultas farmasi” Diakses melalui http://www.unhas.ac.id/content/fakultas-farmasi pada 12 Juli 2012.
“UGM Menangkan Hibah IMHERE B2c” diakses melalui http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2369 pada 7 Juli 2012.
“Umpan Tak Dilirik, Kuota Tak Terpenuhi” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/06/identitas-no-663-edisi-xxxiii-edisi.html pada 2 Juli 2012.
“Unhas Mencari Mahasiswa Asal Pesisir” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2008/01/04/058114768/Unhas-Mencari-Mahasiswa-Asal-Pesisir pada 12 Juli 2012.
“Unhas Mencari Mahasiswa Asal Pesisir” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2008/01/04/058114768/Unhas-Mencari-Mahasiswa-Asal-Pesisir pada 12 Juli 2012.
“World Conference on Higher Education in the Twenty-first Cent ury: Vision and Action” dokumen lengkap dapat diakses melalui http:// unesdoc.unesco.org/images/0011/001164/116428e.pdf
Lampiran I: Program Studi Dan Nilai Akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN) Universitas Hasanuddin Tahun 2010/2011
173
174
Lampiran II: Simpulan eveluasi internal dan program yang diajukan untuk Unhas menuju BHP, 2006
175
FINANCE SE No integrated & clear regulation No budgeting system Lack of competent staff No computer based information system Poor recording system
HUMAN RESOURCES DEVELOPMENTSE No credible HR Department No HRD strategy, operative function and processes and TQM No HRD information system
INFRASTRUCTURE & FACILITIES SE No integrated system which is based on regulation No clear investment policy No computer based information system
ACADEMIC PROGRAMS AND QUALITY ASSURANCE SYSTEM SE No integrated system Low motivation & competence staff No on computer based information system
Having an appropriate and reliable education system
Performing high quality research and community empowerment
Having effective organization structure and resource management
Having a friendly and beautiful campus environment
FINANCE: IMPLEMENTATION OF PERFORMANCE-BASED BUDGETING Building university community commitment Capacity building on performance-based budgeting Establishment of standardized unit cost for academic program Development of computer software for performance-based costing Pilot project and evaluation at selected work units Program wide implementation
HRD: DEVELOP A HIGHLY CREDIBLE AND RELIABLE HUMAN RESOURCE SYSTEM Skill inventory and mapping Enhancing capacity of potential candidates for HR Manager Writing HR handbook and manual Implementation of IT-based HR management system Implementation of HR management system in three selected faculties
I&F: ESTABILISHMENT OF TOTAL ASSET MANAGEMENT Establishment of asset management task force Development of asset management scheme and procedures Development of information system in asset management Updating asset data Implementation of total asset management
AP&QAS: REVITALIZATION OF ACADEMIC MANAGEMENT INFORMATION SYSTEM FOR QUALITY ASSURANCE SYSTEM Development of university ICT policy Integration of academic data among academic unit Improving network connection and user access Improving the university academic service Implementing evidence based decision making