Mengenal Pajak Penghasilan (PPh) A. Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pajak merupakan iuran wajib yang dibayarkan Wajib Pajak kepada kas Negara. Pajak dibedakan menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung. Salah satu contoh pajak langsung adalah pajak penghasilan. Artinya pajak penghasilan tersebut menjadi beban atau tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain. Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan secara progresif, proposional, atau regresif. 2. Jenis-jenis pajak penghasilan a. Pasal 21 dan pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 26 UU No 17 tahun 2000. b. PPh pasal 22 adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang dipungut oleh Bendahara Pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang; bea cukai sehubungan dengan impor barang; badan usaha tertentu karena memproduksi Wajib Pajak badan usaha sehubungan dengan barang-barang tertentu; penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
116
Embed
blognyamuhda.files.wordpress.com€¦ · Web viewLaba usaha. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. Penerimaan kembali pembayaran atau pajak yang telah dibebankan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Mengenal Pajak Penghasilan (PPh)
A. Pajak Penghasilan
1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak merupakan iuran wajib yang dibayarkan Wajib Pajak kepada kas
Negara. Pajak dibedakan menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung.
Salah satu contoh pajak langsung adalah pajak penghasilan. Artinya pajak
penghasilan tersebut menjadi beban atau tanggungan Wajib Pajak yang
bersangkutan dan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain.
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan
perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa
diberlakukan secara progresif, proposional, atau regresif.
2. Jenis-jenis pajak penghasilan
a. Pasal 21 dan pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan
kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 26 UU No 17 tahun 2000.
b. PPh pasal 22 adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang dipungut oleh
Bendahara Pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan
barang; bea cukai sehubungan dengan impor barang; badan usaha tertentu
karena memproduksi Wajib Pajak badan usaha sehubungan dengan
barang-barang tertentu; penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
c. PPh pasal 23 adalah pajak penghasilan (PPh) adalah pajak penghasilan
(PPh) yang dipotong oleh Badan Pemerintah, subyek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, BUT atau orang pribadi yang ditunjuk sebagai
pemotong PPh atas penghasilan bunga selain bunga dari bank, dividen,
royalty, sewa selain tanah dan /atau bangunan, imbalan atas jasa tertentu,
serta jasa lain yang diatur dengan peraturan menteri keuangan.
d. PPh pasal 24 adalah pajak penghasilan (PPh) yang dibayar atau terutang
di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri.
e. PPh pasal 25 adalah besarnya angsuran PPh yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun pajak berjalan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 25 UU PPh.
f. PPh pasal 26 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri (baik orang pribadi atau badan) selain Badan Usaha Tetap (BUT).
3. Subyek pajak penghasilan
Subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
a. Orang pribadi atau perseorangan
Subyek pajak orang pribadi ini dibedakan menjadi dua yaitu sebagai
berikut:
1) Subyek pajak orang pribadi dalam negeri adalah orang pribadi yang
bertempat tinggal di Indonesia.
2) Subyek pajak orang pribadi luar negeri adalah orang yang bertempat
tinggal di Indonesia atau barada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, yang penerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia atau menjalankan usaha di Indonesia.
b. Warisan yang belum diterbagi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak hanya akan menjadi Wajib Pajak apabila warisan tersebut
memberikan penghasilan.
c. Badan usaha tetap (BUT)
Badan usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan
usaha tau melakukan kegiatan di Indonesia. Misalnya tempat kedudukan
manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor,
pabrik, bengkel, pertambangan, dan lain-lain.
4. Wajib Pajak Penghasilan
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban
subjektif dan obyektif. Sesuai dengan System Self Assessment maka Wajib
Pajak mempunyak kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan pengamatan Potensi Perpajakan
(KP4)/Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP)
yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak atau
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana yang
merupakan tanda pengenal atau Identitas bagi setiap Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Untuk
memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada KPP, atau
KP4/KP2KP dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan
persyaratan administrasi yang diperlukan atau dapat pula mendaftarkan diri
secara online melalui e-registration.
5. Pendaftaran NPWP
NPWP adalah singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak, merupakan identitas
WP (Wajib Pajak) dalam system administrasi perpajakan yang dipergunakan
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan WP. NPWP terdiri dari
15 (lima belas) digit dimana 9 (Sembilan) digit pertama menunjukkan kode
spesifik WP, 3 (tiga) digit beriktunya menunjukkan kode KPP (kantor
Pelayanan Pajak), sementara 3 (tiga) digit terakhri adalah kode cabang WP.
Disamping melalui KPP atau KP4/KP2KP, pendaftaran NPWP juga dapat
dilakukan melalui e-register, yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui
media elektronik online (internet).
a. Fungsi NPWP
1) Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan
2) Sebagai identitas Wajib Pajak
3) Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan
administrasi perpajakan
4) Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
b. Syarat-syarat pendaftaran Wajib Pajak
1) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas (misalnya karyawan), dokumen yang diperlukan
hanya berupa fotocopi KTP yang masih berlaku atau paspor ditambah
surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan
khusus bagi orang asing.
Untuk Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai kegiatan usaha,
persyaratannya selain fotokopi KTP juga ditambah dengan surat
pernyataan tempat kegiatan usaha atau usaha pekerjaan bebas dari
Wajib Pajak, bentuk surat pernyataan telah ditentukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak.
2) Bagi Wajib Pajak badan, dokumen yang diperlukan antara lain:
a) Fotocopi akte pendirian dan perubahan atau surat keterangan
penunjukan dari kantor pusta bagi bentuk usaha tetap.
b) Fotokopi KTP yang masih berlaku atau paspor ditambah surat
pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan khusus
bagi orang asing, dari salah seorang pengurus aktif fotokopi KTP
pengurus.
c) Surat pernyataan tempat kegiatan usaha dari salah seorang
pengurus aktif. Bentuk surat pernyatan telah ditentukan oleh
direktorat jenderal pajak.
3) Bagi Wajib Pajak Bendahara yang diperlukan antara lain sebagai
berikut:
a) Fotokopi surat penunjukan sebagai bendahara.
b) Fotokopi KTP bendahara.
Keterangan Wajib Pajak diberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT)
dan kartu NPWP paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya
permohonan secara lengkap. Perlu diketahui masyarakat bahwa untuk
pengurusan NPWP tersebut diatas tidak dipungut biaya apapun.
6. Objek pajak penghasilan
Objek pajak penghasilan antara lain sebagai berikut:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima.
b. Hadiah dari undian atau kegiatan dan penghargaan dari suatu prestasi.
c. Laba usaha
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
e. Penerimaan kembali pembayaran atau pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya.
f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan
pengembalian piutang.
g. Dividen, dengan nama dan bentuk apapun.
h. Royalty, yaitu imbalan sehubungan penggunaan hak atas harta berwujud
dan tidak berwujud serta informasi.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, baik
harta bergerak maupun harta tak bergerak.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berskala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya.
p. Tambahan kekayaan neto dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
7. Pengecualian objek pajak penghasilan
Tambahan kemampuan ekonomis yang tidak termasuk sebagai obyek pajak
penghasilan sebagai berikut:
a. Bantuan dan sumbangan termasuk zakat.
b. Warisan
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima badan, sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diperoleh dalam bentuk natura dari Wajib Pajak atau pemerintah.
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi dwiguna dan
asuransi beasiswa.
f. Dividen atau bagian laba diterima sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, yayasan atau organisasi sejenis.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh badan dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh menteri keuangan.
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun yang
tujuannya untuk pengembangan dan pengumpulan dana untuk
pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari.
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham.
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan dana reksa
selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin
usaha.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura,
berupa bagian laba dari badan usaha yang didirikan atau menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat sebagai berikut:
1) Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan usaha dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dalam
keputusan menteri keuangan.
2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
B. Dokumen Transaksi Pemungutan/Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh)
1. Pengertian Bukti/Dokumen Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan
(PPh)
Bukti pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan (PPh) adalah bukti
yang diterima Wajib Pajak atas PPh yang dipotong/dipungut dan disetorkan/
dibayarkan oleh pemotong/pemungut pajak.
2. Formulir-formulir yang digunakan dalam pemungutan/pemotongan pajak
penghasilan (PPh)
a. Bukti pemotongan PPh
Bukti pemotongan PPh adalah bukti yang diterima Wajib Pajak atas PPh
yang dipotong/dipungut dan disetorkan/dibayar oleh pemotong/pemungut
pajak.
b. Daftar Bukti Pemotongan PPh
c. Surat Setoran Pajak (SSP)
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah formulir yang digunakan Wajib Pajak
untuk membayar atau menyetor pajak ke kas Negara melalui Bank
Persepsi atau Kantor Pos Persepsi.
d. Surat Pemberitahuan (SPT)
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah formulir yang digunakan Wajib Pajak
untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayarak pajak, obyek pajak,
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP), maka
penghasilan neto dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sesuai
dengan status dan jumlah tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan pada
awal tahun takwin.
4. Tarif pajak
Tarif pajak berguna untuk menentukan jumlah pajak penghasilan pasal 21
yang harus dipotong oleh pemotong pajak atau pemberi penghasilan. Tarif
pajak untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak badan dalam negeri
mempunyai ketentuan yang berbeda-beda. Berikut tarif pajak yang berlaku
dan cara penerapan:
a. Tarif pajak berdasarkan pasal 17 Undang-undang nomor 7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan (PPh) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang no 17 tahun 2000,besarnya tarif pajak
penghasilan bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk badan usaha tetap
(BUT) adalah sebagai berikut:
1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif pajakSampai dengan Rp 25.000.000,00Rp 25.000.000,00 s/d Rp 50.000.000,00Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00Rp 100.000.000,00 s/d 200.000.000,00Di atas Rp 200.000.000,00
5%10%15%25%35%
2) Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif pajakSampai dengan Rp 50.000.000,00Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00Di atas Rp 100.000.000,00
10%15%30%
Tarif tersebut diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari:
1) Pegawai tetap termasuk pejabat Negara, pegawai negeri sipil, anggota
TNI/POLRI, pejabat negeri lainnya, pegawai badan usaha milik
Negara dan badan usaha milik daerah, anggota dewan komisaris atau
dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai negeri tetap pada
perusahaan yang sama.
2) Penerimaan pensiun yang dibayarkan secara bulanan.
3) Distributor perusahaan multilevel atau direct selling dan kegiatan
sejenis.
Tenaga kerja (JAMSOSTEK) dipotong pajak penghasilan yang bersifat
final, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Penghasilan bruto antara Rp 25.000.000,00 s/d Rp 50.000.000,-
sebesar 5%
2) Penghasilan bruto antara Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,-
sebesar 10%
3) Penghasilan bruto antara Rp 100.000.000,00 s/d Rp 200.000.000,-
sebesar 15%
4) penghasilan bruto diatas Rp 200.000.000,00 sebesar 25%
5) dikecualikan dari pemotongan pajak atas jumlah penghasilan brotu
sebesar Rp 25.000.000,00 atau kurang
b. tarif PPh pasal 26 sebesar 20% dan bersifat final diterapkan atas
penghasilan bruto yang diterima akan diperoleh sebagai imbalan atas
pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan orang pribadi dengan status
Wajib Pajak luar negeri, dengan memerhatikan ketentuan persetujuan
penghindaran pajak berganda yang berlaku antara republik Indonesia
dengan Negara domisili Wajib Pajak luar negeri tersebut.
5. Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21
a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
b. Bendaharawan atau pemegang kas pemerintah baik pusat maupun dewasa.
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua.
d. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan yang membayar:
1) honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status subyek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
2) Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status subjek pajak luar negeri.
3) Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan,
dan magang.
e. Penyelenggara kegaitan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang
bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainya yang menyelenggarakan kegian yang membayar
honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
6. Cara menghitung potongan PPh pasal 21
Pajak penghasilan pasal 21 yang terutang berdasarkan status pegawai (sebaga
pegawai tetap atau pegawai tidak tetap) serta system penggajiannya (bulanan,
mingguan, harian, satuan, atau borongan).
a. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 pegawai tetap
Besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi dengan:
1) Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan sebesar 5% dari penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dengan jumlah maksimum
yaitu diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,- atau Rp 108.000,00
sebulan. Biaya jabatan adalah biaya yang diberikan kepada setiap
pegawai tetap baik yang mempunyai jabatan maupun tidak.
2) Iuran yang tidak terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai
kepada dana pensium yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan atau badan penyelenggara tabungan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensium yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan.
3) Penghasilkan Kena Pajak (PKP) dihitung dengan cara penghasilan
netto dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak PPh pasal 17.
Contoh:
Romy, sudah menikah dan belum mempunyai anak, sebagai pegawai tetap
pada PT. Jaya memperoleh gaji Rp 2.000.000,- sebulan. Perusahaan
mengikuti program Jamsostek dan program tabungan hari tua, premi
jaminan kecelakaan 0,50% dari gaji. Priemi jaminan kematian 0,30% dari
gaji serta iuran jaminan hari tua 2% dari gaji. Perusahaan juga mengikuti
program pensiun untuk pegawainya dan membayar iuran penting untuk
Romy Rp 40.000,- sedangkan Romy membayar iuran pensiun Rp 25.000,-
dan membayar iuran bea siswa Rp 50.000,- yang langsung dipotong gaji.
Perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 2.000.000,00
Premi kecelakaan kerja Rp 10.000,00
Premi jaminan kematian Rp 6.000,00 +
Penghasilan bruto Rp 2.016.000,00
Pengurangan:
1). Biaya jabatan 5% x Rp 2.016.000,00 Rp 100.800,-
Iuran pensium Rp 25.000,-
Iuran jaminan hari tua Rp 40.000,- (+)
Rp 165.800,- (-)
Penghasilan neto sebulan Rp 1.850.000,00
Penghasilan neto setahun (Rp 1.850.000,- x 12)Rp 22.202.400,00
PTKP (Rp 15.840.000,- + Rp 1.320.000,-) Rp 17.160.000,00 (-)
Penghasikan kena pajak setahun Rp 5.042.400,00
Pembulatan Rp 5.042.000,00
PPh pasal 21 terutang setahun
5% x Rp 5.042.000,00 = Rp 252.120,00
PPh pasal 21 sebulan = Rp 252.120,00 : 12 Rp 21.010,00
b. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 pegawai tidak tetap karyawati
1) Dalam hal karyawati telah menikah, PTKP yang dikurangkan adalah
hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak menikah
pengurangan PTKP selain untuk dirinya ditambah dengan PTKP
untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
2) Bagi karyawati telah menikah yang menunjukkan keterangan tertulis
dari pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan)
bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan,
diberikan tambahan PTKP sejumlah Rp 1.200.000,00 setahun atau Rp
100.000,00 sebulan ditambah PTKP untuk keluarganya.
Contoh: Riska, S.E. adalah seorang karyawati dari PT. Mandala
dengan status menikah dan belum mempunyai anak. Riska, S.E.,
menerima gaji Rp 5.500.000,00 sebulan. PT. Mandala masuk program
jamsostek di mana premi asuransi kecelakaan kerja dan premi asuransi
kematian ditanggung oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing
0,24% dan 1%. Di samping itu, pemberi kerja juga menanggung iuran
pensiun yang dibayarkan ke yayasan dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh menteri keuangan dan iuran JHT masing-masing
sebesar 5% dan 3%, sedangkan yang ditanggung Riska, S.E masing-
masing 5% dan 2%, semua dihitung dari gaji. Suami riska, S.E adalah
karyawan PT. Mahesti.
Perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 5.500.000,00
Premi yang ditanggung perusahaan
JKK Rp 13.200,00
JKM Rp 55.000,00 (+)
Rp 68.200,00 (+)
Penghasilan Bruto Rp 5.568.200,00
Pengurangan:
Biaya jabatan 5% x Rp 5.568.200,00 Rp 278.410,00
Maksimum yang diperkenankan Rp 108.000,00
Iuran pensiun 5% x Rp 5.500.000,00 Rp 275.000,00
Iuran JHT 2% x Rp 5.500.000,00 Rp 110.000,00
Rp 493.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 5.075.200,00
Penghasilan neto setahun (Rp 5.075.200 x 12) Rp 60.902.400,00
PTKP WP sendiri Rp 15.840.000,00
PKP Rp 45.060.400,00
PPh pasal 21
Setahun 5% x Rp 25.000.000,00 Rp 1.250.000,00
10% x Rp 20.062.400,00 Rp 2.006.240,00
Rp 3.256.240,00
PPh pasal 21
Sebulan Rp 3256.240,00 : 12 Rp 271.353,33
c. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 pegawai tetap yang memperoleh uang
lembur
Penghasilan berupa uang lembur maupun penghasilan sejenis yang diperoleh
pegawai bersamaan dengan gaji bulanan dihitung dengan cara mengabungkan
penghasilan tersebut dengan gaji bulanan.
Contoh:
Tn. Yusuf status menikah dan mempunyai 3 (tiga) orang anak. Beliau adalah
pegawai PT. Karya Abadi dengan memperoleh gaji sebulan sebesar Rp
3.000.000,00. PT. Karya Abadi mengikuti program Jamsostek dimana premi
asuransi kecelakaan kerja dan premi asuransi kematian ditanggung oleh
pemberi kerja setiap bulan masing-masing sebesar 0,24% dan 1%. Di
samping itu, pemberi kerja juga menanggung iuran pensiun yang dibayarkan
kepada yaysan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri
keuangan dan iuran JHT masing-masing sebeesar 5% dan 3%, sedangkan
yang ditanggung Tn Yusuf masing-masing 5% dan 2%, semua dihitung dari
gaji. Untuk bulan mei 2010 disamping gaji juga diperoleh lembur sebesar
Rp 500.000,00
Perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 3.000.000,00
Lembur Rp 500.000,00
Premi yang ditanggung perusahaan
JKK 0,24% x Rp 3.000.000,00 Rp 7.200,00
JKM 1% x Rp 3.000.000,00 Rp 30.000,00 (+)
Penghasilan bruto Rp 37.200,00 (+)
Pengurang:
Biaya jabatan 5% x Rp 3.537.200,- Rp 176.860,-
Maksimum yang diperkenankan Rp 108.000,-
Iuran pensiun 5% x Rp 3.000.000 Rp 150.000,-
Iuran JHT 2% x Rp 3.000.000,- Rp 60.000,- (+)
Rp 318.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 3.219.200,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 3.219.200,00 Rp 38.630.400,00
PTKP (K/3) WP sendiri Rp 15.840.000,00
Tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
Tambahan 3 anak Rp 3.960.000,00 (+)
Rp 21.120.000,00
PKP Rp 17.510.000,00
PPh pasal 21 setahun 5% x 17.510.400.00 Rp 875.520,00
PPh pasal 21 sebulan Rp 875.520,00 : 12 Rp 72.960,00
d. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 pegawai tetap yang gajinya dibayarkan
mingguan dan harian
Untuk pegawai tetap yang menerima gaji secara mingguan dalam perhitungan
PPh pasal 21 disebulankan dengan cara dikalikan 4, sedangkan untuk yang
menerima gaji secara harian dikalikan dengan 26.
Contoh:
Mariana statrus menikah dan mempunyai 2 orang anak. Mariana adalah
pegawai PT. angkasa dengan gaji mingguan sebear Rp 2.500.000,00. PT.
angkasa mengikuti program jamsostek dimana premi asuransi kecelakaan
kerja dan premi asuransi kematian ditanggung oleh pemberi kerja setiap bulan
masing-masing 0,24% dan 1%. Di samping itu pemberi kerja juga
menanggung iuran pensiun yang dibayarkan ke yayasan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran JHT masing-
masing sebesar 5% dan 3% sedangkan yang ditanggung mariana sebesar 5%
dan 2% dari gaji.
Perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji seminggu Rp 2.500.000,00
Gaji sebulan Rp 10.000.000,00
Premi yang ditanggung perusahaan
JKK 0,24% x Rp 10.000.000,00 Rp 24.000,00
JKM 1% x Rp 10.000.000,00 Rp 100.000,00 (+)
Rp 124.000,00 (+)
Penghasilan bruto Rp 10.124.000,00
Pengurang:
Biaya jabatan 5% Rp 10.124.000,- Rp 506.200,00
Maksimum yang diperkenankan Rp 108.000,00
Iuran pensiun 5% x Rp 10.000.000,- Rp 500.000,00
Iuran JHT 2% x Rp 10.000.000,- Rp 200.000,00
Rp 808.000,00 (-)
Penghasilan neto sebulan Rp 9.316.000,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 9.316.000,00 Rp 111.792.000,00
PTKP (K/2) WP sendiri Rp 15.840.000,-
Tambahan WP Kawin Rp 1.320.000,-
Tambahan 2 anak Rp 2.640.000,-
Rp 19.800.000,00
PKP Rp 91.992.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp 25.000.000,00 Rp 1.250.000,-
10% x Rp 25.000.000,00 Rp 2.500.000,-
15% x 41.992.000,00 Rp 6.298.000,- (+)
Rp 10.048.800,00
PPh pasal 21 sebulan Rp 10.048.800,- : 12 Rp 837.400,00
PPh pasal 21 seminggu Rp 837.400,- : 4 Rp 209.350,00
Contoh:
Rusdi, bujangan, status pegawai tetap PT. Suka Maju dengan gaji yang
dibayarkan secara harian sebesar Rp 75.000,- sehari. Selama bulan juni 2009
haryono masuk kerja 26 hari.
Perhitungan PPh pasal 21:
Penghasilan harus dihitung dalam satuan bulan dengan mengalikan 26.
Penghasilan sebulan = 26 x Rp 75.000,- Rp 1.950.000,00
Biaya jabatan 5% x Rp 1950.000,- Rp 97.500,00
Penghasilan neto sebulan Rp 1.852.500,00
Penghasilan neto setahun Rp 22.230.000,00
PTKP Rp 13.200.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 9.030.000,00
PPh pasal 21 setahun
5% x Rp 9.030.000,- Rp 451.500,00
PPh pasal 21 sebulan = Rp 451.500 : 12 Rp 37.625,00
PPh pasal 21 sehari = Rp 37.625 : 26 Rp 1.447,00
e. Pegawai tetap yang PPh pasal 21 nya ditanggung pemberi kerja
Dalam PPh pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak
yang ditanggung pemberi kerja tersebut merupakan kenikmatan dan tidak
merupakan penghasilan karyawan yang bersangkutan.
Contoh:
Irwan adalah pegawai PT. Lestari dengan status menikah dan mempunyai 3
orang anak. Dia menerima gaji sebulan Rp 5.000.000,- dan PPh ditanggung
oleh pemberi kerja. PT. Lestari masuk program Jamsostek dimana premi
asuransi kecelakaan dan premi asuransi kematian ditanggung oleh pemberi
kerja setiap bulan masing-masing sebesar 0,24% dan 1%. Di samping itu,
pemberi kerja juga menanggung iuran pensiun yang dibayarkan ke yayasan
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkanoleh menteri keuangan dan
iuran JHt masing-masing sebesar 5% dan 3 %, sedangkan yang ditanggung
irwan masing-masing 5% dan 2%, semua dihitung dari gaji.
Perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 5.000.000,00
Premi yang ditanggung perusahaan
JKK Rp 12.000,-
JKM Rp 50.000,-
Rp 62.000,00
Penghasilan bruto Rp 5.062.000,00
Pengurang:
Biaya jabatan 5% x Rp 5.062.000,00 Rp 253.100,-
Maksimum yang diperkenankan Rp 108.000,-
Iuran pensiun Rp 250.000,-
Iuran JHT Rp 100.000,-
Rp 458.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 4.604.000,00
Penghasilan neto setahun (12 x Rp 4.604.000,-) Rp 55.248.000,00
PTKP (K/3) WP sendiri Rp 15.840.000,-
Tambahan WP Kawin Rp 1.320.000,-
Tambahan 3 anak Rp 3.960.000,- (+)
Rp 21.120.000,00
PKP Rp 34.128.000,00
PPh pasal 21 setahun
5 % x Rp 25.000.000,00 Rp 1.250.000,00
10% x Rp 9.128.000,00 Rp 912.800,00 (+)
Rp 2.162.800,00
PPh pasal 21 sebulan Rp 2.162.800,00 : 12 Rp 180.233,33
PPh pasal 21 sebesar Rp 180.233,33 ini ditanggung dan dibayar oleh pemberi
kerja. Jumlah sebesar Rp 180.233,33 tidak menambah penghasilan bruto
irwan sehingga tidak dikenakan PPh pasal 21. Sebaliknya, bagi pemberi kerja
jumlah ini bukan merupakan biaya yang boleh dikurangkan dalam
menghitung PPh dari pemberi kerja.
C. SPT PPh Pasal 21 Masa dan Tahunan
SPT Pasal 21 Masa
1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tata cara perpajakan
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan
undang-undang nomor 16 tahun 2009, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
a. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi, menyampaikan Surat Pemberitahuan
dengan benar, lengkap dan jelas.
b. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21
ditandatangani oleh Wajib Pajak/pengurus/direksi atau kuasa Wajib Pajak.
SPT yang ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak harus dilampiri dengan
surat kuasa khusus.
c. SPT masa PPh pasal 21 dianggap tidak disampaikan apabila tidak
ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau
dokumen sebagaimana ditetapkan dalam keputusan menteri keuangan
nomor 534/KMK.04/2000, Peraturan Menteri Keuangan nomor
181/PMK.03/2007 dankeputusan direktur jenderal pajak nomor
KEP-214/PJ/2001.
d. PPh pasal 21 dibayarkan/disetorkan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir dan dilaporkan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah masa pajak berakhir sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2007.
e. Pembayaran/penyetoran PPh yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
f. SPT masa PPh pasal 21 yang disampaikan setelah jangka waktu yang
ditetapkan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp
100.000,- (seratur ribu rupiah).
2. Petunjuk umum
SPT masa PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 menggunakan format yang dapat
dibaca dengan mesin scanner, oleh karena itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Jika Wajib Pajak membuat sendiri formulir SPT ini, jangan lupa untuk
membuat tanda (segi empat hitam) di keempat sudut kerjta sebagai
pembatas agar dokumen dapat discan.
b. Kertas berukuran F4/folio (8,5 x 13 inci) dengan berat minimal 70 gram.
c. Kertas tidak boleh dilipat atau kusut
d. Kolom identitas diisi dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan computer atau tulis
tangan, semua isian identitas harus ditulis di dalam kotak-kotak yang
tersedia.
2) Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan mesin ketik, NPWP
harus ditulis dalam kotak-kotak sedangkan nama dan alamat wajit pajak
dapat ditulis dengan mengabaikan batas kotak paling kanan.
Contoh: nama
PT. MAJU LANCAR JAYA SENTOSA ABADI
e. Kolom-kolom nilai rupiah atau US dollar harus diisi tanpa nilai desimal
Contoh: dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah 10.000.000 (bukan
10.000.000,00) dalam menulis seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen
adalah 125 (bulan 125,50.
3. Petunjuk khusus
1721
SPT MASA PPh pasal 21 dan/atau pasal 26
a. Bagian induk
1) Beri tand silang (X) pada kotak di depan baris “SPT Normal” jika SPT
yang disampaikan merupakan SPT biasa dan beri tanda silang (X) pada
kotak di depan baris “SPT pembetulan ke-” jika SPT yang disampaikan
merupakan SPT pembetulan.
2) Untuk SPT Pembetulan, maka pada baris: “SPT Pembetulan ke-” diisi
dengan angka kesekian kalinya Wajib Pajak melakukan pembetulan.
3) Contoh: pembetulan ke satu atau SPT PPh pasal 21 dan/atau pasal 26
masa pajak januari 2009, maka diisi sebagai berikut:
X │SPT Pembetulan ke-14) Tahun kalender
Diisi dengan tahun kalender yang bersangkutan.
5) Masa pajak
Diisi dengan masa pajak yang bersangkutan
Untuk SPT pembetulan, diisi dengan masa pajak dari SPT yang dibetulkan.
b. Bagian A
1) Angka 1: NPWP
Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemotong pajak
sesuai dengan yang tercantum pada kartu NPWP.
2) Angka 2: nama WP
Bagian ini diisi dengan nama Pemotong pajak sesuai dengan nama yang
tercantum pada Kartu NPWP.
3) Angka 3: Alamat
Bagian ini diisi dengan alamat pemotong pajak yang sekarang ditempati
atau alamat terbaru.
4) Angka 4: nomor telepon
Cukup jelas
5) Angka 5: alamat e-mail
Diisi dengan alamat email (jika pemotong pajak memiliki alamat email).
c. Bagian B
1) Angka 6 – angka 19
Kolom 3: diisi dengan jumlah karyawan/orang yang menerima
penghasilan.
Kolom 4: diisi dengan jumlah penghasilan yang dibayarkan.
Kolom 5: diisi dengan jumlah PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 yang
dipotong.
Catatan: untuk masa pajak Desember, jumlah penghasilan bruto 9kolom
4) dan jumlah pajak terutang (kolom 5) diisi jumlah kumulatif dalam
tahun kalender yang bersangkutan.
2) Angka 20
Disisi dengan hasil penjumlahan angka 6 sampai dengan angka 19.
3) Angka 21
Disisi PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 yang telah disetor pada masa
pajak januari s/d nopember. Angka 21 ini disisi hanya pada masa pajak
desember.
4) Angka 22
Diisi dengan jumlah pokok pajak STP PPh pasal 21/dan atau pasal 26.
5) Angka 23
Berilah tanda X dalam kotak “masa pajak” dan isi kotak “tahun
kalender’ sesuai dengan saat terjadinya kelebihan setor PPh pasal 21
dan/atau pasal 26.
Kolom 5: diisi dengan jumlah kelebihan setor PPh pasal 21 dan/atau
pasal 26.
Kelebihan setor sebagaimana dimaksud pada angka 23 diantaranya
meliputi; kelebihan pemotongan PPh pasal 21 karena penerapan tariff
yang lebih tinggi terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP
(lihat PMK No. 252/PMK.03/2008 Pasal 20 ayat 4)
Penghitungan kembali atas kelebihan pemotongan PPh pasal 21 karena
penerapan tariff yang lebih tinggi terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki NPWP tersebut dilakukan setelah pemotongan pajak
melakukan pembetulan SPT masa PPh pasal 21 dan/atau 26 untuk
menunjukkan adanya kelebihan pemotongan PPh pasal 21.
6) Angka 24
Diisi dengan hasil penjumlahan angka 21 + angka 22 + angka 23
7) Angka 25
Diisi dengan hasil pengurangan angka 20 dengan angka 24
8) Angka 25a
Diisi dengan jumlah PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 yang disetor dengan
SSP PPh pasal 21 ditanggung pemerintah.
9) Angka 25b
Diisi dengan jumlah PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 yang disetor dengan
SSP.
10) Angka 26
Diisi dengan PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 yang kurang (lebih) disetor
pada SPT yang dibetulkan, yang merupakan pindahan dari bagian b
angka 25 dari SPT yang dibetulkan.
11) Angka 27
Diisi dengan hasil pengurangan jumlah angka 25 dengan jumlah angka
26.
12) Angka 28
Apabila ternyata angka 25 atau angka 27 menunjukkan lebih setor,
kelebihan tersebut diperhitungkan oleh pemotong pajak dengan
penyetoran PPh pasal 21 yang terutang untuk bulan dilakukannya
penghitungan kembali.
d. Bagian C
Angka 29 – angka 31
1) Kolom 3: diisi dengan jumlah karyawan/orang yang menerima
penghasilan
2) Kolom 4: diisi dengan jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan
3) Kolom 5: diisi dengan jumlah PPh pasal 21 dan atau pasal 26 yang
dipotong.
e. Bagian D
Berikan tanda silang X dalam kotak yang telah disediakan sesuai dengan
lampiran yang disampaikan.
f. Bagian E
1) Kolom pernyataan
Berikan tanda (X) pada kotak yang sesuai. Pimpinan atau kuasanya
wajib menangdatangani dan membubuhkan nama lengkap, NPWP yang
bersangkutan dan membubuhkan cap perusahaan serta mencantumkan
tanggal, bulan dan tahun diisinya SPT tahunan ini pada tempat yang
sudah tersedia.
2) Kolom diisi oleh petugas
Berikanlah tanda (X) dalam kotak yang sesuai pegawai menandatangani
dan membubuhkan nama lengkap, NPWP yang bersangkutan dan
membubuhkan cap perusahaan serta mencantumkan tanggal, bulan dan
tahun diisinya SPT tahunan ini pada tempat yang sudah bersedia.
bentuk formulir SPT Masa PPh 21/26 dengan kode formulir 1721 terdiri sebagai
berikut:
1721 Induk Disampaikan per masa Khusus desember: diisi berdasarkan jumlah akumulasi yang dibayarkan dalam satu tahun takwim
1721 I Hanya disampaikan di masa terdapat perusahaan dating pegawai tetap (keluar, masuk dan baru ber-NPWP)
1721 T disampaikan di masa pajak pertama kali menyampaikan SPT 1721 (SPT masa juli 2009)
Daftar bukti potong PPh 21 tidak finalDaftar bukti potong PPh pasal 21 final
Disampaikan di setiap masa dalam hal terdapat pemotongan PPh pasal 21 non pegawai tetap-tidak finalDisampaikan di setiap masa dalam hal terdapat pemotongan PPh pasal 21 non pegawai tetap-final
Bukti potong PPh pasal 21 non pegawai tetap
Bukti potong ini tetap harus dibuat dalam hal terdapat pemotongan PPh pasal 21 untuk non pegawai teap, namun tidak perlu dilampirkan dalam SPT Masa
Bukti potong PPh pasal 21 non pegawai (final)Bukti potong PPh pasal 21 pegawai (1721 A1-1721 A2)
Bukti potong ini tetap harus dibuat dalam hal terdapat pemotongan PPh pasal 21 untuk non pegawai tetap-pfinal, namun tidak perlu dilampirkan dalam SPT Masa.Dibuat di masa pajak terakhir (masa pajak Desember atau pada masa pajak pegawai tetap tersebut berhenti bekerja)
Jadi, untuk pelaporan SPT Masa pajak Desember 2009 merupakan perhitungan
PPH pasal 21 sesungguhnya dalam satu tahun pajak. Formulir yang wajib
dilaporkan adalah 1721 induk, 1721-I dan daftar bukti potong (kalau ada
pemotongan PPH pasal 21 bagi selain pegawai tetap). Sedangkan bukti potong
PPH pasal 21 dan formulir 1721 A1-1721 A2 tidak wajib dilampirkan dalam
pelaporan SPT Masa PPh pasal 21 termasuk pada masa pajak Desember atau
pada masa pajak dimana pegawai tersebut berhenti bekerja, tapi bukti potong dan
formulir 1721 A1-1721 A2 tersebut harus diberikan kepada yang bsersangkutan.
Berdasarkan ketentuan di atas maka dapat dipastikan bahwa SPT Tahunan PPh
pasal 21 tahun mulai tahun 2009 sudah tidak ada.
Berdasarkan ketentuan di atas maka dapat dipastikan bahwa SPT Tahunan PPh
pasal 21 tahun mulai tahun 2009 sudah tidak ada.
D. Surat Setoran Pajak (SSP)
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang digunakan Wajib Pajak untuk
melakukan pebayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui
kantor penerimaan pembayaran. SSP ada 2 jenis yaitu SSP Standard dan SSP
khusus.
1. Surat Setoran Pajak (SSP) Standar
SSP Standar adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan atau berfungsi
untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor
Penerima Pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran dengan
bentuk, ukuran dan isi sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
Isi dan bentuk SSP Standar sesuai dengan yang ditetapkan Direktur Jenderal
Pajak. Satu SSP Standar berlaku untuk satu jenis pajak/masa pajak/tahun
pajak/ketetapan pajak dengan menggunakan satu kode MAP dan satu kode
jenis setoran. SSP Standar dibuat dalam rangkap 5 (lima), terdiri sebagai
berikut:
Lembar ke-1: Untuk Arsip Wajib Pajak;
Lembar ke-2 : Untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);
Lembar ke-3: Untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke KPP;
Lembar ke-4 : Untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran;
Lembar ke-5: Untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan
ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku.
2. SSP Khusus
a. SSP Khusus adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke
Kantor Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima
Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi dan atau alat lainnya
yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak, dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP Standar
dalam administrasi perpajakan.
b. Satu SSP Khusus berlaku untuk satu jenis pajak/masa pajak/tahun
pajak/ketetapan pajak dengan menggunakan satu kode MAP dan satu
kode jenis setoran.
c. SSP khusus hanya dapat dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran Pajak
yang telah bekerjasama melakukan Monitoring Pelaporan Pembayaran
Pajak (MP3) dengan Dirjen Pajak.
d. SSP khusus paling sedikit memuat :
Nama dan NPWP
Identitas Kantor Penerima Pembayaran
Mata Anggaran Penerimaan (MAP)/Kode Jenis Pajak/Kode Jenis
Setoran
Masa dan tahun pajak
Nomor ketetapan pajak
Jumlah dan tanggal pembayaran
Nomor Transaksi Pembayaran Pajak (NTTP) dan/atau Nomor
Transaksi Bank (NTB)
e. SSP khusus digunakan untuk membayar pajak oleh Wajib Pajak yang
mempunyai NPWP, kecuali :
PPh atas pembayaran Fiskal Luar Negeri yang dibayar pada counter-
counter di bandar udara dan pelabuhan laut;
PPh 26 SPLN;
PPN terutang atas pengalihan aktiva dalam rangka restrukturisasi
perusahaan;
PPN terutang atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar
daerah pabean;
PPh Pasal 22 Impor dan PPN impor atas barang bawaan penumpang,
awak sarana pengangkut, pelintas batas dan kiriman pos sebagaimana
diatur oleh Dirjen Bea dan Cukai;
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendaharawan;
PPN DN yang dipungut oleh Bendaharawan;
PPh final pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi yang tidak mempunyai
NPWP sepanjang telah mendapat Surat Keterangan dari KPP setempat
yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak wajib memiliki NPWP;
PPh final pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau bangunan yang
dilakukan oleh orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP sepanjang
telah mendapat Surat Keterangan dari KPP setempat yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan tidak wajib memiliki NPWP;
PPN kegiatan membangun sendiri yang dilakukan oleh orang pribadi
yang tidak mempunyai NPWP.
f. Pembayaran atau penyetoran pajak dengan SSP Khusus akan dilayani
oleh Kantor Penerima Pembayaran apabila Wajib Pajak telah memperoleh
persetujuan dari Dirjen Pajak.
g. SSP Khusus dapat diperbanyak yang berfungsi sama dengan lembar ke-5
SSP Standar sebagai pengganti bukti potong/pungut.
h. Bentuk formulir SSP Khusus tidak harus sama dengan SSP Standar, tetapi
harus memuat identitas Wajib Pajak.
i. SSP khusus yang memiliki fungsi yang sama dengan lembar ke-5 SSP
standar wajib dibubuhkan cap dan tanda tangan
j. SSP khusus yang memiliki fungsi yang sama dengan lembar ke-1 dan
lembar ke-3 SSP standar, tidak wajib dibubuhkan cap dan tanda tangan.
k. Cap dan tanda tangan hanya diperlukan apabila SSP Khusus dicetak oleh
Kantor Penerima Pembayaran untuk diteruskan ke Direktorat Jenderal
Anggaran.
Saat Pembuatan SSP Khusus :
a. Saat transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebanyak 2 lembar,
lembar ke-1 untuk arsip Wajib Pajak dan lembar ke-3 untuk dilaporkan
Wajib Pajak ke KPP.
b. Lembar ke-2 dicetak secara terpisah sebanyak 1 (satu) lembar untuk KPP
melalui KPKN dan tidak diharuskan adanya cap dan tanda tangan pejabat
berwenang dari Kantor Penerima Pembayaran. Cap dan tanda tangan
hanya untuk lembar hasil perbanyakan saja.
Pembayaran setoran pajak yang SSP-nya dapat berfungsi sebagai pengganti