Terapi Autisme Home Terapi Autisme Terapi Perilaku Terapi Perilaku Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA). Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan. Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C; yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya
82
Embed
fajarpratamamaster.files.wordpress.com file · Web viewHome Terapi Autisme Terapi Perilaku . Terapi Perilaku . Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Terapi AutismeHome Terapi Autisme Terapi Perilaku
Terapi Perilaku Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti
perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada)
ditambahkan.
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis yang
diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA).
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif
setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman
(punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak
tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement
positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan
anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau
tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan.
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C; yakni A
(antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C (consequence).
Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan
oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak
autis kemudian memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya
sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung
terjadi lagi bila anak memperoleh Consequence (konsekuensi perilaku, atau kadang
berupa imbalan) yang menyenangkan.
Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan
kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang
signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten
round yang baik sekali. Membantu mengembangkan pengendalian pernapasan dan
dapat sangat menyantaikan.
Berenang merupakan sesuatu kegiatan yang dapat bersama-sama dinikmati oleh keluarga dan sering merupakan cara yang baik untuk mempertemukan anak dengan orang tua.
Umumnya anak kecil berhasil paling baik jika diperkenalkan ke air oleh ibu atau bapaknya. Jika kita sendiri merasa cemas terhadap air, cobalah pergi bersama seorang dewasa yang lebih percaya diri.
Pergilah ke kolam renang anak-anak yang dangkal. Sasaran umumnya adalah membuat anak menikmati berada di dalam air dan bergerak bebas mundur, maju, dan ke samping, tengadah, telungkup, kalau mungkin dengan pelampung.
Jagalah agar tiap kegiatan berjalan singkat. Anak akan belajar lebih banyak dalam kunjungan singkat tetapi sering daripada kunjungan yang lama tetapi hanya kadang-kadang. Hal yang perlu dilakukan untuk mengembangkan percaya diri terhadap air pada anak-anak dengan keterbelakangan mental ini adalah, pada kunjungan pertama, ajaklah anak untuk berjalan-jalan tanpa benar-benar berenang.
"Ini akan memberinya peluang untuk anak agar menyaksikan apa yang akan terjadi dan membiasakan diri dengan suasana, kebisingan dan tempat yang baru. Itu akan membuat anak-anak merasanya punya kesempatan untuk beradaptasi." kata Psikolog Anak alumni Universitar Indonesia (UI), Dr Savitri Yulia, dihubungi beberapa waktu lalu.
Tidak sampai di situ saja, Yulia juga menyarankan anak-anak melihat kamar ganti, loker dan membahas apa yang akan dilakukan pada kunjungan berikutnya. Jika waktu kunjungan berikutnya hal-hal yang harus dilakukan di dalam air menurut Yulia adalah, pegang anak dekat-dekat dan naik turunkan anak dengan lembut ke dalam air. Secara bertahap dan perlahan, hingga kakinya basah. Perkenalkan anak di kolam dangkal terlebih dulu agar anak bisa duduk, merangkak atau sekedar berjalan maju mundur hingga bahunya basah.
Nantinya sesampai di kolam sedalam satu meter atau lebih, usahakan agar wajah
orang tua dan wajah anak sama tinggi. "Pegangi tubuhnya di ketiaknya. Perlahan basahi kepalanya dan wajahnya. Lalu alihkan ke bawah dada dan pinggulnya, posisi anak tetap telungkup. Ini akan mampu membantu menenangkan anak," katanya.
Jika terasa anak sudah mulai tenang, usahakan agar tangan dan kakinya bisa bergerak di dalam air dengan menendang kaki dan mengayuhkan lengan. Lihat terus, apakah anak menikmatinya. Kalau bisa teruskan dengan memberinya semangat untuk menghembuskan air perlahan-lahan ketika menenggelamkan wajahnya dalam air. Kalau perlu dan memungkinkan, pakailah ban pelampung berbentuk lingkaran atau gelang lengan untuk keamanan. Kadangkala membawa mainan seperti bola atau perahu-perahuan akan membantu anak lebih tenang.
"Tenangkan anak jika mereka merasa panik, atau segera keluar dari kolam jika anak mulai gelisah dan berteriak. Tenangkan mereka dan cobalah kembali proses mengenalkan kolam pada anak," kata psikolog berjilbab tersebut.
Terapi lumba-lumba
Bila si kecil penderita autis sudah hobi berenang, mungkin Anda bisa mengajaknya untuk melakukan terapi lumba-lumba. Sebuah terapi yang disinyalir sangat bermanfaat untuk si autis. Selama berabad-abad, dolphin dikenal sebagai mahluk yang cerdas dan baik hati. Cerita mengenai kepahlawanan mereka menolong perenang-perenang yang kecapaian sudah ada sejak zaman dahulu.
Para dokter saat ini mencoba memakai dolphin untuk terapi bagi anak dengan kebutuhan khusus. Anak-anak ini suka berada dalam air yang hangat, menyentuh tubuh dolphin dan mendengar suara-suara yang dikeluarkan oleh dolphin-dolphin tersebut. Dalam 2 dekade terakhir ini beberapa terapis dan psikolog berpendapat bahwa berenang dengan dolphin mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Beberapa orang bahkan percaya bahwa getaran dolphin dapat menyembuhkan sel manusia.
Para dokter di Dolphin-Human Therapy Center percaya bahwa mahluk yang sangat cerdas ini dapat membantu anak-anak dengan berbagai gangguan saraf, bahkan anak dengan sindroma down dan autisme. Getaran sonar dolphin yang unik dapat mengindentifikasi gangguan saraf pada manusia, lalu
menenangkannya sehingga lebih mudah bisa menerima pelajaran dan penyembuhan. Namun banyak pula para ilmuwan yang berpendapat bahwa anak-anak hanya menyukai bersentuhan dengan dolphin, dan berenang dengan dolphin hanya merupakan suatu rekreasi saja.
Sebuah penelitian dilakukan di Dolphin-Human Therapy Center di Key Largo, Florida. David Cole, seorang ilmuwan dalam bidang neurology menciptakan alat khusus untuk mengukur effek dari dolphin pada otak manusia. Cole mendapatkan bahwa ada suatu perubahan bila manusia berinteraksi dengan dolphin. Setelah berinteraksi dengan dolphin didapatkan bahwa anak-anak tersebut menjadi lebih tenang. Banyak peneliti berpendapat bahwa relaksasi inilah yang merupakan penyebab keberhasilan terapi lumba-lumba. Menurut beberapa peneliti, relaksasi merangsang sistem kekebalan tubuh
Kasih Sayang Terbukti Sembuhkan Autis
Sebuah penelitian di Prancis membuktikan bahwa hormon ‘cinta’ yang mendorong
ikatan antara ibu dan bayi, ternyata dapat memperbaiki fungsi sosial para penderita
autisme. Dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences dituliskan,
bahwa para penderita autisme yang menghirup hormon oksitosin lebih memperhatikan
dan menunjukan ekspresi ketika melihat gambar wajah serta lebih memahami isyarat-
isyarat sosial dalam sebuah simulasi permainan.
Pemimpin penelitian, Angela Sirigu dari Center of Cognitive Neuroscience di Lyon,
mengatakan terapi hormon ini sangat berpotensi pada orang dewasa ataupun anak-
anak yang menderita autisme.
“Sebagai contoh, jika oksitosin diberikan lebih awal pada saat diagnosis dibuat,
mungkin kita dapat mengubah gangguan perkembangan sosial pada penderita autis,"
SESEORANG dengan autisme seringkali mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
Sebagai gangguan perkembangan yang kompleks, daya tarik, aktivitas dan keterampilan bermain penderita autisme
juga biasanya sangat terbatas. Untuk memperbaiki kondisi ini, Anda bisa mencoba occupational therapy.
Terapis untuk occupational therapymempelajari pertumbuhan dan perkembangan. Mereka ahli di bidang sosial,
emosional dan psikologis yang mempengaruhi penyakit dan cedera. Ilmu ini membantu mereka mengembangkan
kemampuan penderita autisme untuk hidup mandiri.
Terapis biasanya bekerja dalam tim yang melibatkan orangtua, guru, dan profesional lainnya. Mereka membantu
meningkatkan kemampuan berinterkasi, perilaku dan performa penderita autisme.
Terapis mengamati anak-anak untuk melihat kemampuan mereka dalam mengerjakan tugas sesuai dengan usia. Hal
ini bisa berkaitan dengan keahlian dalam mengurus diri sendiri, seperti berpakaian. Selain itu, terapis akan merekam
keseharian anak dalam video.
Video ini selanjutnya digunakan untuk mempelajari reaksi anak terhadap lingkungan yang kemudian menjadi alat
analisa untuk mengukur tingkat perhatian, keterampilan bermain, respon terhadap sentuhan atau stimulus lainnya.
Termasuk keahlian motorik seperti postur, keseimbangan, agresi atau tipe tingkah laku lainnya serta interaksi antara
anak dan pengasuhnya.
Manfaat terhadap anak
Secara umum, terapi ini bertujuan membantu penderita autisme memperbaiki kualitas hidup, baik di rumah maupun
di sekolah. Terapis akan membantu mengenalkan, mempertahankan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan cara
ini, penderita autisme diharapkan bisa hidup semandiri mungkin. Terapi ini membantu meningkatkan keterampilan
penderita autisme di bidang:
Keterampilan sehari-hari, seperti latihan menggunakan toilet, berpakaian, menggosok gigi, dan keterampilan
lainnya Keterampilan motorik halus yang diperlukan untuk memegang objek saat menulis atau memotong sesuatu
dengan gunting
Keterampilan motorik kasar yang digunakan untuk berjalan atau mengendarai sepeda Duduk, postur atau keterampilan persepsi, seperti menerangkan perbedaan antara warna, bentuk, dan
ukuran
Keahlian visual seperti membaca dan menulis Bermain, mengatasi masalah, mengurus diri sendiri, berkomunikasi dan keterampilan sosial
Dengan membantu keterampilan di atas, penderita autisme bisa melakukan hal-hal berikut:
Berteman dan membangun hubungan
Belajar fokus dalam mengerjakan tugas
Belajar mengontrol keinginan
Mengekspresikan perasaan dengan cara-cara yang lebih tepat
Bermain dengan teman Belajar mengontrol diri sendiri
Anda tertarik? Terapi ini telah tersedia di Jakarta, berkonsultasilah dengan dokter untuk menemukan rujukan terapis
yang tepat. (IK/OL-08)
Sumber : http://www.mediaindonesia.com
Penulis : Ikarowina Tarigan <!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->
Terapi Autis Dengan Binatang Peliharaan
Vera Farah Bararah - detikHealth
Jakarta, Memelihara binatang peliharaan di rumah selain sebagai hobi juga
memiliki manfaat lain, salah satunya adalah sebagai terapi bagi anak autis.
Terapi ini dilakukan oleh bocah penderita autis berusia 11 tahun bernama
Milo yang melakukannya bersama anjingnya bernama Chad.
Hubungan yang terjadi antara manusia dengan binatang peliharaannya memang
memiliki efek yang langsung, meskipun efek ini belum bisa dijelaskan melalui penelitian
ilmiah. Tapi hubungan yang terjalin antara Milo dan Chad melampaui hubungan yang
secara umum terjadi.
"Dalam seminggu saya melihat perubahan yang sangat besar pada dirinya, setelah
sebulan dia menjadi lebih tenang serta bisa berkonsentrasi dan berkomunikasi dalam
jangka waktu yang lebih lama," ujar Nyonya Vaccaro yang merupakan ibu dari Milo,
seperti dikutip dari New York Times, Jumat (9/10/2009).
Dr Melissa A Nishawala seorang direktur klinis pelayanan autis-spectrum di Child Study
Center at New York University menambahkan dirinya melihat perubahan yang nyata
pada diri Milo yang menjadi lebih tenang dan bisa berkomunikasi meskipun yang terlihat
anjing tersebut hanya duduk diam di dalam ruangan. Akibat perubahan yang mendalam
pada diri Milo, kini Vaccaro dan Dr Nishawala mulai mencoba untuk menghentikan
pengobatan yang digunakan oleh Milo.
Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development
yang merupakan bagian dari Institut Kesehatan Nasional juga memulai usaha untuk
hari dan selesai pada akhir 2007 kemarin. Namun pada awal 2008 ini, terapi pasien stroke itu dilanjutkan kembali.
Kenyataannya, si pasien yang sudah berumur itu, kini sudah mulai bisa berjalan kembali.
"Ikan lumba-lumba itu memiliki kemampuan melakukan terapi baik melalui totokan, gigitan halus, kibasan tubuh,
serta gelombang suara dari ikan ini," paparnya.
Selain itu uji juga dilakukan kepada salah seorang pasien yang mengidap kanker. Untuk pasien penyakit kanker saat
ini terapi sudah berjalan selama seminggu. Aryo menyatakan, penjelasan mengenai tata cara ikan lumba-lumba
memberikan terapi memang agak unik. Yakni, seorang pasien yang akan menjalani terapi harus ikut berenang
dengan ikan lumba-lumba. Pasien tersebut dengan menggunakan pelampung ikut berenang dalam kolam air laut di
mana lumba-lumba itu berada.
Untuk tahap pertama, biasanya tahap adaptasi di mana lumba-lumba hanya mengitari pasien yang mengapung di
kolam. Baru tahap berikutnya, lumba-lumba akan menunjukkan reaksi dan mencoba berkomunikasi dengan pasien.
Mulai totokan di kaki, tubuh, kepala, gigitan lembut, bahkan kibasan tubuh. Uniknya, bagian tubuh pasien yang
ditotok atau disentuh oleh ikan lumba-lumba itu setiap harinya berbeda, sehingga tampak sistematis. Seolah ikan
yang biasa dilatih untuk atraksi permainan ini tahu di mana letak saraf pasien yang mengalami sakit.
"Ini bukan pengobatan alternatif. Melainkan hanya komplemen. Jadi pengobatan medisnya tetap jalan. Terapi lumba-
lumbanya juga jalan. Ini masuk kategori bioakustik," paparnya.
Penelitian terhadap potensi ikan lumba-lumba sebagai terapi ini memang akan terus dikembangkan. Bahkan kata
dia, pada program penelitian tahun 2008 ini diprioritaskan untuk mengetahui pola spektrum dari gelombang suara
lumba-lumba untuk pengobatan. Yakni pola seberapa besar spektrum frekuensi gelombang suara dari lumba-lumba
itu untuk terapi berdasarkan jenis penyakit si pasien. Sebab, dari hasil rekam sonar frekuensi gelombang suara
memang ada yang berbeda untuk tiap jenis penyakitnya.
Untuk itu para peneliti berniat untuk mengetahui polanya. "Sebab ternyata spektrum gelombang suara yang
dikeluarkan ikan ini menunjukkan pola yang berbeda untuk jenis penyakit yang berbeda pula. Inilah yang masih kita
pelajari," paparnya.
Di dunia medis, memang selama ini ada asumsi bahwa ikan lumba-lumba bisa membantu terapi. Namun itu hanya
sebatas kepercayaan, dan belum ada pembuktian ilmiah. Bahkan Amerika Serikat juga meneliti ikan ini secara serius
yang langsung ditangani oleh angkatan laut negara Paman Sam tersebut. Tentu saja, ikan lumba-lumba untuk sirkus
dan terapi cara melatihnya berbeda.
Menurut Aryo, ikan lumba-lumba yang bisa dilatih untuk melakukan terapi adalah jenis jantan. Apabila riset ilmiah
terhadap ikan ini berhasil, maka itu akan sangat potensial bagi dunia pengobatan di Indonesia. Sebab lautan di
Indonesia memang melimpah ikan lumba-lumba jenis hidung botol. Namun tentu cara penangkapannya akan
menemui kesulitan. Apalagi jika yang ditangkap adalah lumba-lumba betina guna dikembangbiakkan. Sebab
biasanya perilaku ikan yang berkelompok ini, betina biasanya dilindungi oleh banyak lumba-lumba jantan.
"Kami berencana menangkap empat ekor ikan lumba-lumba tahun ini, untuk kemudian kami teliti dan
kembangbiakan di pusat penelitian kami di Bali," ujarnya.
Peneliti Bioakustik DKP, Agus Cahyadi menyatakan bahwa fokus penelitian tahun 2008 ini tidak hanya dilakukan
kelanjutan terapi namun juga komparasi dengan hasil pengobatan medis. Sehingga dilakukan pembuktian secara
medis atas hasil terapi yang dilakukan oleh pasien subyek penelitian. Selain itu juga dilakukan analisa spektrum
akuistik gelombang suara yang dikeluarkan ikan lumba-lumba per perlakuan terapi. Yakni berapa besar gelombang
suara yang dikeluarkan apabila untuk badan atau kepala pasien.
Meski demikian, Agus mengaku belum bisa memecahkan rahasia mengapa ikan lumba-lumba bisa mengerti bagian
tubuh yang sakit dari si pasien sehingga melakukan perlakuan terapi di sana. "Kita masih dalam pengkajian
mengapa lumba-lumba seolah tahu di mana bagian tubuh pasien yang sakit. Mereka mencari sendiri dan tidak ada
yang mengarahkan," tandasnya.
Buktinya menurut dia, bottle nose dolphin atau tursiops truncactus itu bisa bekerja dengan baik. Selama 10 kali terapi
yang diberikan kepada 13 anak penyandang autis. Untuk penelitian ini, Tim DKP melibatkan pakar psikologi
Australia, Jepang, dan Indonesia untuk menganalisa perkembangan mental si pasien.
Agus menjelaskan melalui 10 kali terapi pada penderita autis, dari 8 kriteria yang dinilai, 3 di antaranya menunjukkan
hasil memuaskan. Yakni, terkait emosi, kontak mata, dan ketenangan. "Lima kriteria lainnya, yaitu kelincahan,
motorik, rileksasi, fokus, dan perhatian belum menunjukkan hasil," tandasnya.
Untuk proses terapi, biasanya adaptasi membutuhkan waktu 1 hari. Kemudian tahap selanjutnya, peneliti
mengumpulkan rangkaian transmisi suara lumba-lumba yang direkam melalui hidrophon. Setelah dilakukan analisis
bioakustik, dalam satuan tiap 30 menit terdapat spektrum akustik gelombang optimal. Bioakustik, merupakan ilmu
yang mempelajari suara dalam air, baik yang ditransmisikan maupun yang diterima.
"Kami harus mengonfirmasikan dengan kalangan kedokteran potensi frekuensi tersebut terhadap penderita stroke.
Namun, terapi ini akan dikembangkan untuk metode penyembuhan kanker," ujarnya.(Abdul Malik/Sindo/mbs)
Terapi Oksigen, Harapan Penderita Autis
Oksigen murni bisa mengurangi inflamasi atau pembekakan di otak Irma Kurniati
VIVAnews – Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti mengembangkan terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen treatment) untuk mengatasi masalah autisme pada anak. Terapi oksigen hiperbarik ini dilakukan dengan cara memberikan oksigen tekanan tinggi untuk memperbaiki kerja otak. Pada penderita autisme, terjadi gangguan pada fungsi otak, salah satunya karena kekurangan oksigen sejak lahir atau bahkan selama dalam kandungan. Dengan terapi oksigen inilah kerusakan pada otak bisa diminimalisasi.Menurut penelitian yang diungkap di jurnal Bio Medical Centre (BMC) Pediatrics, oksigen murni bisa mengurangi inflamasi atau pembekakan di otak dan meningkatkan asupan oksigen di sel-sel otak.
Terapi ini dilakukan dengan sebuah alat berupa tabung dekompresi. Penderita autisme masuk ke dalam tabung itu lalu dialiri oksigen murni dan tekanan udara ditingkatkan menjadi 1,3 atmosfer.Cara ini rupanya cukup efektif. Pemberian terapi oksigen hiperbarik secara rutin menunjukkan perbaikan pada kondisi saraf dan mengatasi cerebral palsy. Terapi ini banyak dipilih di beberapa negara dan para peneliti terus mengembangkannya.Dan Rossignol dari International Child Development Resource Centre, Florida, AS, melakukan penelitian terhadap 62 penderita autisme berusia 2-7 tahun. Responden diberi terapi oksigen selama 40 menit setiap hari selama sebulan dengan asupan oksigen 24% dan tekanan udara 1,3 atmosfer.Hasilnya, terjadi peningkatan hampir di seluruh fungsi organ tubuh, seperti sensor gerak, kemampuan kognitif, kontak mata, kemampuan sosial, dan pemahaman bahasa.“Kita memang tidak bicara tentang penyembuhan, kita bicara tentang kemajuan kondisi dan tingkah laku penderita. Dengan itu anak autis bisa memperbaiki fungsi kerja otak dan kualitas hidupnya,” kata Rossignol seperti dikutip dari www.bbc.co.uk.Rossignol sendiri telah membuktikan efektivitas terapi ini pada kedua anaknya yang menderita autisme. Ia mengatakan temuan ini belum berakhir dan masih akan mengembangkan untuk mencari hasil yang lebih optimal.• VIVAnews
Autis Bisa Disembuhkan dari Lingkungan
Penyakit autis bisa disembuhkan dengan lingkungan yang tegas dan konsistenHadi Suprapto
VIVAnews - Sebagian besar orang berani membayar mahal mengobati anak yang terkena penyakit autis. Namun, banyak yang tak tahu autis bisa disebuhkan melalui lingkungan sekitar.Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial.Imaculata Umiati, Kepala Sekolah Asrama Imaculata, menyatakan, penyakit autis bisa disembuhkan dengan lingkungan yang tegas dan konsisten. Melalui sikap ini, anak yang
berkebutuhan khusus bisa menerapkan kemandirian."Anak autis sebagian besar tidak bisa memanfaatkan kecerdasan yang dimiki untuk dirinya," kata dia kepada VIVAnews di Jakarta, Minggu 8 Maret 2009.Sikap tegas bisa dilakukan dengan memberi sanksi sosial. Misalnya, saat anak merebut makanan orang lain, bisa diberi sanksi dengan tidak memberi makan. Memang, Ima mengakui, langkah ini terkesan tidak manusiawi. Namun itu harus dilakukan agar anak bisa mengerti akibatnya. Orangtua harus berani memberi tugas kepada penderita agar bisa menyelesaikan kebutuhan sehari-hari tanpa bantuan orang lain, seperti makan, mandi, dan mencuci baju. Orangtua harus memaksakan anak tanpa kompromi.Bahkan, penderita juga harus dilatih mengerjakan tugas sosial, seperti menyapu, mengepel lantai. "Kalau dipaksakan mereka bisa, karena mereka memiliki kemampuan itu," ujar Ima.Bagi penderita autis tipe pemberontak, dia mengatakan, anak juga harus dipaksakan mengerti alternatif pilihan lain. Jika anak hanya mau melalui jalur A, cobalah agar anak bisa melalui jalur selain A. "Anak autis tidak akan menerima. Cuma ini harus dicoba, tanpa paksaan anak tidak akan bisa sembuh," katanya.Ima melarangan anak autis diberi obat penenang. Sebab, pemberian obat hanya akan memberi ketenangan sementara. Bukan kesembuhan.Memang, Ima mengakui, penyembuhan penyakit autis ini hanya bisa mengubah perilaku dan kemandirian. Sedangkan soal kecerdasan, Ima pesimistis anak autis bisa kembali normal. "Yang paling penting anak itu bisa mandiri, tanpa merepotkan," katanya
Terapi Musik untuk Bangkitkan Konsentrasi Anak Autis
Senin, 21 Januari 2008 - 15:35 wib
SALAH satu metode untuk menangani anak autis yakni memberikan pelajaran musik untuk
menggugah konsentrasi mereka. Koordinator sekolah musik Gita Nada Persada Hani Yulia
Adinda menyatakan, ada dua tahapan pembelajaran musik anak autis, yakni tahap dasar dan
lanjutan.
Pada tahap dasar, anak autis cukup diberikan pengenalan nada saja, misalnya suara ketukan
Sebagian besar anak-anak penderita autisme, yang disebabkan karena faktor genetika mengalami depresi, bisa mendapatkan perawatan obat-obatan anti depresi, seperti Prozac (fluoxetine), demikian pernyataan Dr. Robert DeLong, spesialis syaraf di Universitas Duke, Inggris.Pada sebuah jurnal Syaraf, edisi Maret 23, DeLong menyajikan suatu hipotesis baru mengenai dua pertiga dari anak-anak yang menderita autisme infantil. Kenyataannya anak-anak ini dapat disembuhkan. Ketidakselarasan genetika, merupakan bentuk serangan awal dari depresi yang parah. Argumentasi DeLong berdasarkan analisis genetika terkini, penelitian mengenai perilaku, kimia otak, dan analisis konsep-konsep pada anak-anak autis, melalui penelitian di Universitas Duke dan institut-institut lain. Hasil penelitian:"Penelitian mengenai genetika dan konsep-konsep otak, juga pemeriksaan ulang tentang gejala-gejala klasik dari autisme, menunjukkan bahwa banyak anak-anak autis menderita autisme bukan karena keturunan dan kami tahu cara mengatasinya," jelas DeLong. Anak-anak yang menderita autisme tampil seolah-olah mereka terbelenggu oleh pikiran mereka sendiri, sebab mereka tidak dapat mempelajari bahasa, atau keterampilan sosial yang dibutuhkan di lingkungannya. Autisme nyatanya merupakan spektrum dari ketidakselarasan dengan gejala-gejala yang hampir sama, kata DeLong. Anak-anak autis, pada tahun kedua dari kehidupan mereka biasanya kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya dan tidak berbicara, atau menggunakan bahasa, walaupun banyak di antara mereka mempunyai intelegensi yang normal. Ada penderita autisme yang disebabkan karena penyakit atau luka di daerah-daerah tertentu di otak, namun kasus yang terbanyak tidak diketahui, disebut sebagai kasus idiopatik. DeLong menyatakan bahwa 70 persen penderita ketidakselarasan yang tidak menyenangkan, seperti keterbelakangan mental atau gangguan pikiran yang menekan, bukan karena keturunan. "Beberapa tahun yang lalu saya perhatikan, bila kita melihat secara hati-hati gejala-gejala autisme, gejala-gejala tersebut lebih terlihat sebagai depresi dan ketidakselarasan mental," kata DeLong. "Anak-anak ini tidak memperlihatkan kegembiraan atau kespontanan yang biasanya tampak pada anak-anak normal. Dan mereka sering memperlihatkan secara ekstrim hentakan keinginan, kemarahan dan rasa takut yang berlebihan."De Long telah menemukan berbagai petunjuk, dari penelitian sekelompok anak autis, yang menderita autis karena ketidakselarasan genetik. Terlihat terjadi hal yang sama pada anak-anak ini, yaitu mereka dapat dirawat dengan pengobatan anti depresi.
Ketika para peneliti mempelajari otak anak-anak yang menderita autisme idiopatik, mereka menemukan serotonin neurotransmitter yang sangat rendah di sebelah kiri otak pada daerah penggunaan bahasa. Serotonin juga penting untuk mempengaruhi suasana hati. Pada orang yang menderita depresi klinis, serotoninnya rendah sekali. "Pada perkembangan otak anak-anak, serotonin tidak saja berperan sebagai penerus informasi, tetapi juga sebagai agens (zat, kekuatan) pengembang yang mempengaruhi pertumbuhan otak," kata DeLong. "Bila peringkat serotonin di belahan otak kiri tidak mencapai peringkat kritis pada awal masa kanak-kanak, orang akan dapat melihat gejala-gejala seperti yang diderita autisme: terganggunya perkembangan kemampuan kognitif, sosial dan emosional."Penelitian terhadap orang-orang dengan otak yang mengalami pembedahan untuk memisahkan hubungan antara belahan otak kiri dan otak kanan, guna menghilangkan gejala-gejala epilepsi, biasanya disebut eksperimen "pemisahan otak", memperlihatkan otak bagian kiri merupakan penggerak keterampilan bahasa dan sebab akibat, sedangkan otak bagian kanan merupakan penggerak keterampilan visual, gerakan tubuh, kemampuan musik dan hafalan. Peringkat serotonin di otak bagian kanan dari sebagian besar anak-anak penderita autisme idiopatik keadaannya normal dan keterampilan visual serta gerakan tubuh mereka juga normal. Pada kenyataannya, banyak sarjana autis memperlihatkan jenis kompensasi yang berlebihan pada otak bagian kanannya, yang memberikan kepada mereka kemampuan-kemampuan lebih dalam keterampilan menghitung, matematika, musik atau artistik. Ketika para peneliti mempelajari anak-anak yang lebih tua dan para remaja yang terdiagnosis sebagai ketidakselarasan mental, mereka menemukan bahwa anak-anak ini mempunyai kemampuan visual dan gerakan tubuh yang lebih besar, namun kemampuan bahasa yang rendah, walaupun tidak sebesar anak-anak autis. Penemuan-penemuan ini mengarahkan DeLong untuk mencoba merawat anak-anak autis dengan Prozac (fluo-xetine) dan beberapa obat khusus pencegah ter-hambatnya serotonin (SSRls). Obat-obat tersebut merupakan obat untuk merawat depresi, bekerja menambah serotonin dalam otak. Laporan sebuah penelitian pada bulan Oktober 1998 yang diterbitkan oleh Journal of Developmental Medicine and Child Neurology, DeLong dan kawan-kawan melaporkan bahwa ketika 37 anak-anak autis berusia 3 sampai 7 tahun dirawat dengan Prozac (fluoxetin) selama tiga tahun, 22 dari antaranya merespon baik penggunaan obat tersebut, memperoleh kembali keterampilan berbahasa, kemampuan bersosial meningkat dan gangguan pikiran yang diderita mereka seperti misalnya, terpaku pada satu obyek tertentu selama berjam-jam akan hilang. Dari anak-anak yang merespon baik pengobatan tersebut,
semua mempunyai riwayat penyakit depresi mayor dari keluarganya. "Menarik untuk mengatakan bahwa autisme dan ketidakselarasan mental disebabkan oleh penyebab yang sama, yaitu gen yang cacat," kata DeLong, "Dan fakta tentang gen tersebut mulai mengarah ke sana."
Penelitian oleh DeLong dan kawan-kawan di Universitas Duke menunjuk ke gen di suatu tempat pada kromosom 15, sebagai gen autisme yang berpotensi. Dan sekarang berbagai penelitian mengenai depresi di berbagai lembaga pendidikan memperlihatkan hasil yang sama yaitu kromosom 15, sebagai gen dari ketidakselarasan mental yang berpotensi. "Walaupun kita belum dapat memastikan bahwa gen tersebut adalah hanya satu dan sama, namun fakta tersebut memberikan harapan, dan mudah-mudahan dalam waktu dekat kita sudah bisa mendapatkan jawabannya," ujar DeLong. "Penelitian mengenai genetika, memberikan harapan pada diagnosis awal," jelas DeLong, dan perkembangan dari pengobatan khusus yang lebih banyak untuk meningkatkan pengadaan serotonin pada pengembangan otak anak-anak autis bahkan akan menambah harapan bagi perawatan yang efektif bagi penyakit ini. "Daripada menganggap autisme sebagai penyakit yang tak mungkin disembuhkan, lebih baik kita melihatnya sebagai penyakit yang dapat diobati, ini lebih baik daripada sama sekali tidak mempunyai harapan," kata DeLong. "Harapan saya adalah penelitian-penelitian berikutnya dapat secara lebih awal mengidentifikasi dan mengintervensi autisme, sehingga
autisme menjadi penyakit yang dapat diatasi melalui perawatan."
PENDEKATAN TERAPI AUTISME
Autisme sejauh ini memang belum bisa disembuhkan (not curable) tetapi masih dapat
diterapi (treatable). Menyembuhkan berarti “memulihkan kesehatan, kondisi semula,
normalitas”. Dari segi medis, tidak ada obat untuk menyembuhkan gangguan fungsi
otak yang menyebabkan autisme. Beberapa simptom autisme berkurang seiring
dengan pertambahan usia anak, bahkan ada yang hilang sama sekali.
Dengan intervensi yang tepat, perilaku-perilaku yang tak diharapkan dari pengidap
autisme dapat dirubah. Namun, sebagian besar individu autistik dalam hidupnya akan
tetap menampakkan gejala-gejala autisme pada tingkat tertentu. Sebenarnya pada
penanganan yang tepat, dini, intensif dan optimal, penyandang autisme bisa normal.
Mereka masuk ke dalam mainstream yang berarti bisa sekolah di sekolah biasa, dapat
berkembang dan mandiri di masyarakat, serta tidak tampak ”gejala sisa”. Kemungkinan
normal bagi pengidap autisme tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada.
Terapi dengan Pendekatan Psikodinamis
Pendekatan terapi berorientasi psikodinamis terhadap individu autistik berdasarkan
asumsi bahwa penyebab autisme adalah adanya penolakan dan sikap orang tua yang
“dingin” dalam mengasuh anak. Terapi Bettelheim dilakukan dengan menjauhkan anak
dari kediaman dan pengawasan orang tua. Kini terapi dengan pendekatan psikodinamis
tidak begitu lazim digunakan karena asumsi dasar dari pendekatan ini telah disangkal
oleh bukti-bukti yang menyatakan bahwa autisme bukanlah akibat salah asuhan
melainkan disebabkan oleh gangguan fungsi otak.. Pendekatan yang berorientasi
Psiko-dinamis didominasi oleh teori-teori awal yang memandang autisme sebagai suatu
masalah ketidakteraturan emosional.
Terapi Dengan Intervensi Behavioral
Pendekatan Behavioral telah terbukti dapat memperbaiki perilaku individu autistik.
Pendekatan ini merupakan variasi dan pengembangan teori belajar yang semula hanya
terbatas pada sistem pengelolaan ganjaran dan hukuman (reward and punishment).
Prinsipnya adalah mengajarkan perilaku yang sesuai dan diharapkan serta
mengurangi/mengeliminir perilaku-perilaku yang salah pada individu autistik.
Pendekatan ini juga menekankan pada pendidikan khusus yang difokuskan pada
pengembangan kemampuan akademik dan keahlian-keahlian yang berhubungan
dengan pendidikan. Saat ini ada beberapa sistem behavioral yang diterapkan pada
individu dengan kebutuhan khusus seperti autisme:
1. Operant Conditioning (konsep belajar operan). Pendekatan operan merupakan
penerapan prinsip-prinsip teori belajar secara langsung. Prinsip pemberian
ganjaran dan hukuman: perilaku yang positif akan mendapatkan konsekuensi
positif (reward), sebaliknya perilaku negatif akan mendapat konsekuensi negatif
(punishment). Dengan demikian diharapkan inti dan tujuan utama dari pendekatan
ini yaitu mengembangkan dan meningkatkan perilaku positif, serta mengurangi
perilaku negatif yang tidak produktif.
2. Cognitive Learning (konsep belajar kognitif).Struktur pengajaran pada
pendekatan ini sedikit berbeda dengan konsep belajar operan. Fokusnya lebih
kepada seberapa baik pemahaman individu autistik terhadap apa yang diharapkan
oleh lingkungan. Pendekatan ini menggunakan ganjaran dan hukuman untuk lebih
menegaskan apa yang diharapkan lingkungan terhadap anak autistik. Fokusnya
adalah pada seberapa baik seorang penderita autistik dapat memahami
lingkungan disekitarnya dan apa yang diharapkan oleh lingkungan tersebut
terhadap dirinya. Latihan relaksasi merupakan bentuk lain dari pendekatan kognitif.
Latihan ini difokuskan pada kesadaran dengan menggunakan tarikan napas
panjang, pelemasan otot-otot, dan perumpamaan visual untuk menetralisir
kegelisahan.
3. Social Learning (konsep belajar sosial). Ketidakmampuan dalam menjalin
interaksi sosial merupakan masalah utama dalam autisme, karena itu pendekatan
ini menekankan pada pentingnya pelatihan keterampilan sosial (social skills
training). Teknik yang sering digunakan dalam mengajarkan perilaku sosial positif
antara lain: modelling (pemberian contoh), role playing (permainan peran), dan
rehearsal (latihan/pengulangan). Pendekatan belajar sosial mengkaji perilaku
dalam hal konteks sosial dan implikasinya dalam fungsi personal.
Salah satu bentuk modifikasi dari intervensi behavioral yang banyak di terapkan di
pusat-pusat terapi di Indonesia adalah teknik modifikasi tatalaksana perilaku oleh Ivar
Lovaas. Terapi ini menggunakan prinsip belajar-mengajar untuk mengajarkan sesuatu
yang kurang atau tidak dimiliki anak autis. Misalnya anak diajar berperhatian, meniru
suara, menggunakan kata-kata, bagaimana bermain. Hal yang secara alami bisa
dilakukan anak-anak biasa, tetapi tidak dimiliki anak penyandang autisme. Semua
keterampilan yang ingin diajarkan kepada penyandang autisme diberikan secara
berulang-ulang dengan memberi imbalan bila anak memberi respons yang baik.
awalnya imbalan bisa berbentuk konkret seperti mainan, makanan atau minuman.
Tetapi sedikit demi sedikit imbalan atas keberhasilan anak itu diganti dengan imbalan
sosial, misalnya pujian, pelukan dan senyuman.
Bentuk-bentuk psikoterapi menggunakan pendekatan behavioral (behavior therapy)
kepada anak/individu dengan ASD, bersumber pada teori belajar, khususnya