Top Banner
2002 digitized by USU digital library 1 IKATAN PRIMORDIAL DALAM KEGIATAN BISNIS ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN Dr. M. ARIF NASUTION, MA Fakultas Sosial Dan Ilmu Politik Jurusan sosiologi Universitas Sumatera Utara PEMBANGUNAN DAN KEETNIKAN DI INDONESIA A. PENDAHULUAN Beberapa futurolog seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang menguatnya ettnik (ettnich consciousnes) di banyak negara pada abad ke- 21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelimpok etnik lain. Berjuta-juta melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan- pertarungan itu. Sisi lain dari masalah etnik adalah bahwa kebangkitan kelompok etnik mewujud juga dalam kegiatan ekonomi. Beberapa kelompok etnik bangkit membentuk jaringan-jaringan bisnis yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Perokonomian Asia Timur dan Tenggara pada dekade 1980-an dan awal 1990-an yang tumbuh paling cepat di Dunia, banyak dilatarbelakangi oleh kesuksesan jaringan-jaringan bisnis tingkat besar, menengah dan kecil dari kelompok-kelompok etnik Jepang, Korea dan Cina, khususnya Cina perantauan (overseas Chinese). Kebanyakan studi melihat kebersihan ekonomi dari berbagai perspektif seperti, etika Kong Hu Cu, analisis ekonomi makro, analisis sistem dunia, ekonomi-politik, analisis kelas sosial dan teori ketergantungan. Karya-karya tersebut dapat memberikan beberapa penjelasan, tetapi luasnya cakupan analisa mereka harus dibayar dengan kedangkalan hasil kajiannya (Kao Chen Shu,1996). Padahal banyak keberhasilan ekonomi ternyata bermula dari tumbuhnya kekuasaan jaringan- jaringan bisnis yang dikelola dengan landasan primordial seperti keluarga dan jaringan hubungan antar pribadi banyak melandasi keberhasilan ekonomi di negara- negara Asia Timur dan Tenggara. Kelompok etnik Minangkabau di Indonesia memiliki cerita sukses yang sama walaupun belum setara dengan kelompok etnik Cina dalam membangun jaringan bisnisnya. Di berbagai kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan, orang Minangkabau kelihatan sukses dalam menjalankan bisnisnya, seperti rumah-rumah makan, bisnis eceran, tekstile, perdagangan emas dan sebagainya. Mereka bangkit seolah-olah hendak menantang jaringan bisnis kelompok etnik Cina yang telah mapan terlebih dahulu. Oleh karena itu fenomena ini amat menarik untuk diteliti, khususnya tentang keberhasilan kelompok etnik Minangkabau dalam mentransformasikan sestem masyarakatnya yang primordial kedalam jaringan bisnis yang rasional. Banyak kalangan ilmuwan sosial dari kalangan fungsionalis, behavioralis maupun Marxis cenderung menyepelekan masalah-masalah keetnikan. Padahal masalah keetnikan merupakan fenomena nyata, dan berlanjut terus baik di negara- negara berkembang maupun di negara-negara industri maju. Modernisasi yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dipercaya oleh teoritis evolusionis baik yang dilakukan oleh paradigma modernisasi maupun Marxis, akan melenyapkan masalah ketniikan ternyata meleset jauh. Bahkan sebaliknya upaya-upaya pembangunan nasional yang dittujukan untuk meningkatkan kehudupan ekonomi dan merubah masyarakat tradisional menuju modern justru membangkitkan masalah keetnikan.
22

... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

Feb 03, 2018

Download

Documents

hoangkhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 1

IKATAN PRIMORDIAL DALAM KEGIATAN BISNIS ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN

Dr. M. ARIF NASUTION, MA

Fakultas Sosial Dan Ilmu Politik Jurusan sosiologi

Universitas Sumatera Utara

PEMBANGUNAN DAN KEETNIKAN DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN

Beberapa futurolog seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang menguatnya ettnik (ettnich consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelimpok etnik lain.

Berjuta-juta melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Sisi lain dari masalah etnik adalah bahwa kebangkitan kelompok etnik mewujud juga dalam kegiatan ekonomi. Beberapa kelompok etnik bangkit membentuk jaringan-jaringan bisnis yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Perokonomian Asia Timur dan Tenggara pada dekade 1980-an dan awal 1990-an yang tumbuh paling cepat di Dunia, banyak dilatarbelakangi oleh kesuksesan jaringan-jaringan bisnis tingkat besar, menengah dan kecil dari kelompok-kelompok etnik Jepang, Korea dan Cina, khususnya Cina perantauan (overseas Chinese). Kebanyakan studi melihat kebersihan ekonomi dari berbagai perspektif seperti, etika Kong Hu Cu, analisis ekonomi makro, analisis sistem dunia, ekonomi-politik, analisis kelas sosial dan teori ketergantungan. Karya-karya tersebut dapat memberikan beberapa penjelasan, tetapi luasnya cakupan analisa mereka harus dibayar dengan kedangkalan hasil kajiannya (Kao Chen Shu,1996). Padahal banyak keberhasilan ekonomi ternyata bermula dari tumbuhnya kekuasaan jaringan-jaringan bisnis yang dikelola dengan landasan primordial seperti keluarga dan jaringan hubungan antar pribadi banyak melandasi keberhasilan ekonomi di negara-negara Asia Timur dan Tenggara.

Kelompok etnik Minangkabau di Indonesia memiliki cerita sukses yang sama walaupun belum setara dengan kelompok etnik Cina dalam membangun jaringan bisnisnya. Di berbagai kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan, orang Minangkabau kelihatan sukses dalam menjalankan bisnisnya, seperti rumah-rumah makan, bisnis eceran, tekstile, perdagangan emas dan sebagainya. Mereka bangkit seolah-olah hendak menantang jaringan bisnis kelompok etnik Cina yang telah mapan terlebih dahulu. Oleh karena itu fenomena ini amat menarik untuk diteliti, khususnya tentang keberhasilan kelompok etnik Minangkabau dalam mentransformasikan sestem masyarakatnya yang primordial kedalam jaringan bisnis yang rasional.

Banyak kalangan ilmuwan sosial dari kalangan fungsionalis, behavioralis maupun Marxis cenderung menyepelekan masalah-masalah keetnikan. Padahal masalah keetnikan merupakan fenomena nyata, dan berlanjut terus baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara industri maju. Modernisasi yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dipercaya oleh teoritis evolusionis baik yang dilakukan oleh paradigma modernisasi maupun Marxis, akan melenyapkan masalah ketniikan ternyata meleset jauh. Bahkan sebaliknya upaya-upaya pembangunan nasional yang dittujukan untuk meningkatkan kehudupan ekonomi dan merubah masyarakat tradisional menuju modern justru membangkitkan masalah keetnikan.

Page 2: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 2

Bangkitnya masalah keetnikkan banyak terjadi di seluruh permukaan bumi, walaupun upaya pembentukkan suatu pemerintahan nasional yang kuat sedang dilakukan. Pembangunan nasional yang dilakukan Indonesia melalui beberapa PELITA sejak tahun 1969, selain ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membentuk pemerintahan nasional yang kuat ternyata juga kurang mampu menangani masalah keetnikkan. Munculnya gerakan-gerakan regional yang separatis dari kelompok-kelompok etnik tertentu membuktikan hal tersebut. Kebangkitan kesadaran etnik tidak saja bernuansa politis, tapi juga dapat berwujud dalam bentuk ekonomi, seperti munculnya jaringan-jaringan bisnis yang dikelola oleh kelompok etnik tertentu sehingga memajukan kelompok etnik tertentu saja dalam jaringan bisnis tersebut. Fenomena ini salah satunya dapat kita lihat pada kelompok etnik Minangkabau di Medan.

Orang Minangkabau yang merantau dari wilayah tradisional mereka menuju berbagai kota besar di Indonesia dapat dikatakan berhasil membangun bisnis mereka berdasarkan ikatan-ikatan primordialnya. Khususnya di Medan mereka mampu membentuk suatu komunitas bersama sebagai tempat tinggal dan dengan berbasis pada komunitasnya itu mereka membangun suatu jaringan bisnis yang memajukan kelompok etniknya.

Adanya komunitas kelompok etnik Minangkabau di Kota Medan yang salah satunya terletak di daerah Sukarame beserta jaringan bisnisnya meninggatkan kita kepada terbentuuknya “ghetto-ghetto” Yahudi di Eropa atau Amirika Serikat “ghetto-ghetto” Black African, Japan Twon, dan berbagai komunitas kelompok etnik di kota-kota besar Amerika Serikat, serta pecinan-pecinan di berbagai negara di dunia. Namun bentuk komunitas orang Minangkabau di Sukarame tidak seekslusif seperti itu. Komunittas mereka bersifat terbuka, dalam arti dalam komunitas mereka kelompok etnik lain, seperti Cina, Mandailing, Jawa, dan sebagainya dapat tinggal bersama.

Modernisasi lewat pembangunan nasional di Indonesia ternyata kurang mampu memudarkan masalah keetnikan dan bahkan kelompok etnik Minangkabau bangkit melalui keguiatan bisnisnya. Masalahnya adalah latarbelakang apakah yang menjadi kunci keberhasilan orang Minangkabau dalam mentransfortasikan sistem sosialnya yang primordial kedalam jaringan bisnis yang rasional.

B. KEETNIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI

Banyak negara-negara berkembang melakukan upaya pembangunan nasional dengan memanfaatkan paradigma modernisasi sebagai pendekatan dalam pembangunannya. Paradigma modernasi terutama dari aliran fungsionalisme yang populer di Amirika Serikat sampai pada tahun 1960-an (Rerodes, 1968; Parsons, 1966) menggunakan model pembangunan evolusi yang bersifat unilinear atau unidirection. Menurut model ini arah pembangunan serupa saru garis lurus dari titik tradisional menuju modern, seperti yang terjadi di negara-negara barat. Model unilinear menurut anggapan mereka bersifat atau berlaku umum, sehingga yang terjadi di negara-negara barat akan terjadi juga di negara-negara lain.

Pembangunan yang akan merubah masyarakat tradisional yang komunal dan tidak maju menjadi modern seperti di negara-negara barat adalah bersifat penetratif. Hal ini berarti bahwa melalui upaya penetrasi dari luar maka masyarakat yang tidak modern akan segera berkembang dan maju menikuti arah yang telah dilalui oleh negara maju tanpa dapat berbalik (Levy, 1967 “ 190)/. Berdasarkan pandangan tersebut, penetrasi yang dalam hal ini berupa “bantuan” dari negara maju menjadi prasyarat bila suatu negara ingin maju.

Kenyataan membuktikan bahwa upaya bantuan justru mengakibatkan ketergantungan dan menimbulkan krisis hutang negeri yang parah, seperti dialami oleh beberapa negara-negara Amirika Latin, Asia dan Afrika. Selain itu pembangunan

Page 3: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 3

menu\imbulkan banyak ketimpangan yang pada gilirannya menghantarkan negara-negara pada ketidak stabuilan politik nasional. Pemerintah menjadi tidak stabiil, kudeta terjadi berkali-kali dan pihak militer turun tangan dalam pemerintahan sipil. Suasana “chaos” menggagalkan sama sekali impian-impian menjadi negara modern.

Bagi negara yang bermasyarakat majemuk persoalannya menjadi rumit lagii. Kebangkitan kesadaran etnik menicu pertentangan antar berbagai kelompok etnik. Pembangunan yang diharapkan dapat menciptakan kehidupan modern dan lepas dari ikatan-ikatan tradisional ternyata suliit diwujudkan. Masyarakat menjadi terbelah-belah dalam ikatan-ikatan primodial. Persoalan “Putraa Daerah”, “Golongan Pribumi dan Non Pribumi”, peraturan para penganut agama, kedaerahan, ddan sebagainya tidak dapat dihapus dari agenda pemerintahan seperti yang diharapkan oleh kaum modernis. Masyarakat masih tetap tradisional walaupun mereka tidak lagi hidup di rumah-rumah kayu dan bambu. Masyarakat tetap mempertahankan identitas yang dimiliki kelompok etniknya, walaupun mereka tinggal dalam “kondominium” mewah dan berfasilitas modern.

Munculnya komunitas-komunitas kelolmpok etnik yang menempati lokasi tertentu dalam suatu kota merupakan satu dari banyak bukti kegagalan paradigma modernisasi dalam “mengatur” perubahan sosial. Munculnya komiunitas kelompok etnik juga merupakan bukti adanya kegagalan asimilasi maupun akulturasi yang membuat setiap kelompok etnik cenderung memilih hidup dan berinteraksi dengan bahasa dan sebagainya, oleh karena itu kesadaran etnik mengacu pada acuan yang berlapis-lapis sesuai dengan kebutuhan para anggota kelompok etnik ketika melakukan interaksi.

Ada dua perspektif yang berbeda mengenai menguatnya kesadaran etnik. Pertama, perspektif budaya (cultural perspective). Menurut perspektif ini kesadaran etnik merupakan hasil dari primordialisme, yaitu persepsi sempit dari anggota-anggota kelompok masyarakat tentang ciri-ciri kelompok mereka yang didasarkan pada unsur-unsur yang diwariskan yang berbeda dengan kelompok lainnya, seperti perbedaan kebahasaan, dan ketidaksesuaian dalam segi budaya (Alqadrie, 1990:26). Perspektif ini juga menunjukan bahwa kesadaran etnik biisa diekspresikan secara berlebihan atau menjadi satu-satunya dalam berinteraksi dengan kelompok etnik lain yang merupakan sumber terjadinya konflik antar kelompok etnik, sehingga menghambat terjadinya asimilasi.

Kedua, perspektif stuktural atau non budaya ( noncultural or structural explanation of social change ) yang menunjukkan hal lain mengenai asal usul menguatnya kesadaran etnik. Kesadaran etnik tampaknya lebih berkaitan dengan hubungan kompetisi yang “ tidak adil “ antar kelompok – kelompok masyrakat didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan primodialisme ( Alqadrie, 1990 ; Olubeni, 1983: 265 ). Perspektif ini melihat bahwa kesadaran etnik merupakan suatu akibat dari berbagai hambatan, yang dihadapi oleh suatu kelompok etnik ( external structural barriers ), yang dibuat oleh orang atau kelompok etnik lain (Alqadrie, 1990:27 ). Perspektif ini juga menunjukkan bahwa setiap upaya “ modernisasi “, industrialisasi, ataupun pembangunan ekonomi yang membangkitkan ketimpangan-ketimpangan sosial-ekonomi yang pada mulanya diharapkan dapat mengubur primordialisme, kesukuan ( tribalisan ) dan etnosentrisme juga dapat mengakibatkan meningkatnya kesadaran kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan dan loyalitas kelompok etnik, sehingga sering menimbulkan berbagai gerakan separatisme di berbagai negara.

Kebangkitan kesadaran etnik yang meningkatkanintensitas dan kualitas gerakan-gerakan sosio-etnik maupun keagamaan merupakan suatu reaksi lois dan tidak terhindarkan dari suatu upaya mempertahankan diri terhadap struktur lingkungan eksternal yang tidak menguntungkan atau bahkan mengancam keberadaa suatu kelompok etnik.

Page 4: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 4

Pada kenyataannya sulit untuk menentukan sumber-sumber menguatnya kesadaran etnik. Namun dalam masalah kelompok etnik Minangkabau merupakan kelompok etnik yang sangat komunal. Adanya rumah-rumah Gadang dan sistem kekerabatan matrilineal merupakan indikator primordialisme.

Selain itu, komitmen para perantau dari kelompok etnik Minangkabau untuki membangun kampung halamannya, seperti adanya “ Gebu Minang “ menunjukkan bahwa kampung halaman diletakkan dalam posisi yang tinggi pada kelompok etnik Minangkabau.

Namun disisi lain kondisi kota Medan secara struktural juga tidak dapat diabaikan. Tidak adanya kebudayaan mayoritas yang dominan ( Dominant Majority Culture ) di kota Medan, mengakibatkan masing-masing kelompok etnik hidup secara terpecah-pecah. Masing-masing kelompok etnik akan saling bersaing dan meluaskan pengaruhnya. Suasana kompetitif dan cenderung bebas muncul dalam kondisi seperti ini, sehingga meransang menguatnya kesadaran etnik.

Menguatnya kesadaran etnik merupakan tantangan terhadap modernisasi. Suatu kelompok etnik dapat membangun jaringan bisnis yang maju tanpa menjadi “modern”, bahkan dengan kekuatan yang tidak modern mereka dapat meraih keberhasilan ekonomi.

Ikatan keluarga, agama, kampung halaman dan hubungan antar pribadi yang dianggap hanya sesuai untuk menjadi basis skala menengah dan kecil ternyata salah. Anggapan bahwa peranan keluarga dan tradisi akan lenyap dalam perusahaan-perusahaan yang berkembang cepat tidak didukung oleh riset yang rinci, dan mereka cenderung meremehkan hal ini. C. METODOLOGI PENELITIAN

Faktor-faktor internal yang melekat pada kelompok etnik Minangkabau dan faktor-faktor eksternal yang terdapat pada struktur masyarakat kota Medan akan dipergunakan sebagai pusat perhatian, meliputi hubungan-hubungan dalam struktur sosial yang dapat menjelaskan adanya kebangkitan etnik yang wujudnya dapat diketahui dengan timbulnya jaringan bisnis kelompok etnik Minangkabau. Metode yang digunakan adalah pendekatan Verstehen atau suatu metode pemahaman. Metode Verstehen memandang bahwa di dalam masyarakat, maksud-maksud para individu telah menjadi jaringan otonom yang disebut sebagai “pikiran obyektif”, (objective geist), misalnya hukum, negara, agama, adat dan sebagainya. Pikiran obyektif menjadi medium seorang peneliti untuk melakukan Verstehen atas “ekspresi kehidupan” (Lebensaeusserun) masyarakat. Melalui Verstehen dilakukan pemahaman dengan reliving atau reexperiencing, yaitu memproduksi makna seperti yang dihayati oleh penciptanya. Misalnya, kalau hendak memahami suatu teks, peneliti harus melukiskan seutuh-utuhnya maksud pengarang seolah-olah sang peneliti mengalami peristiwa-peristiwa historis yang dialami oleh pengarang (Dilthey,1985:159-161). Penggunaan metode pedekatan verstehen mengharuskan penetian dilakukan dengan metode observasi partisipasi, berbagai etnik wawancara akan dilakukan, seperti tehknik wawancara tertutup atau deep interview dan wawancara setengah tertutup yang menggunakan kiesioner. Data juga akan dikumpulkan dari studi keustakaan yang bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, dokumen-dokumen, surat-surat kabar, majalah-majalah dan penerbitan-penerbitan ilmiah lainnya.

Page 5: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 5

ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI A. Deskripsi Daerah Sukaramai A.1. Kondisi Fisik dan Administratif

Sukaramai merupakan suatu nama daerah yang telah dikenal sejak jaman Belanda. Tidak diketahui secara pasti mulaa timbulnya nama Sukaramai tersebut. Namun diduga bahwa nama Sukaramai tersebut di peroleh dari orang-orang Jawa yang pertama menghuni atau berkoloni di daerah tersebut. Selain itu,melihat nama Sukaramai dapat mengingatkan kita pada nama-nama daerah di wilayah Jawa Barat. Ada kemuungkinan besar nama Sukaramai diberikan oleh orang-orang Jawa yang berkoloni di daerah tersebut, khususnya dari mereka yang berasal dari Jawa Barat, khusunya dari Banten.

Sejak jaman Belanda, sekitar awal abad ke-20, Sukaramai mulai ramai di huni oleh orang-orang Jawa. Mereka membuka hutan dan bercocok tanam di daerah tersebut. Pada masa itu Sukaramai merupakan daerah yang masih berupa hutan rimba atau merupakan daerah pinggiran kota Medan yang belum banyak berkembang seperti saat ini.

Sukarmai saat ini telah berubah, apabila dahulu merupakan sutau daerah pinggiran, maka saat ini Sukaramai boleh dikata menjadi bagian dari pusat kota atau menjadi salah satu bagian kegiatan bisnis di kota Medan.

Secara administratif Sukaramai termasuk bagian daerah dari kecamatan Medan Area, daerahnya banyak dilintasi oleh berbagai jalur jalan yang cukup ramai, karena daerah ini menjadi satu daerah bisnis yang berkembang pesat di kota Medan.

A.2. Kondisi Sosial dan Kependudukan

Sebagai akibat industrialisasi kota Medan juga dilanda urbanisasi. Kota terus berkembang, daerah-daerah yang dulunya merupakan daerah daerah pinggiran, kini menjadi bagian pusat perkotaan, seperti yang dialami oleh daerah Sukaramai yang dahulunya berupa hutan rimba dan di huni oleh beberapa puluh keluarga yang berlatar belakang etnik Jawa, maka kini berkembang menjadi daerah perkotaan yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa daerah ini dulunya berupa hutan belantara. Penduduknyapun berkembang pesat, daerah yang dulunya di sesaki oleh pepohonan, kini berubah menjadi pemukiman yang rapat, rumah-rumah berhimpitan, bercampur baur dengan pertokoan ataupun pabtik-pabrik serta jalan-jalan yang lalu lintasnya setiap hari padat. Daerah itu tidak hanya di huni oleh orang-orang Jawa, melainkan di padati oleh berbagai macam kelompok etnik yang berurbanisasi dari berbagai daerah lain. Kegiatan usaha di Sukaramai banyak di kuasai oleh kelompok etnik Mandailing ( dari Tapsel ). Minangkabau, dan Cina, Kelompok etnik yang yang terakhir ini, kekuasan bisnisnya semakin lama semakin menonjol dan menggeser peranan monopoli orang-orang Minangkabau yang pernah berkuasa pada tahun-tahun 1950 hingga tahun 1960-an.

Di sepanjang kiri-kanan jalan-jalan yang membelah daerah Sukaramai berkembang menjadi pertokoan, pasar, rumah makan, perkantoran, dan berbagai bentuk kegiatan usaha lainnya.

Page 6: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 6

B. Orang Minangkabau di Sukaramai B.1. Awal kedatangan

Merantau merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang Minangkabau sejak lama. Pada awalnya merantau di dorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena tempat asal di pedalaman Sumatra Barat (Lunak Nan Tigo) tidak lagi memadai luasnya untuk menunjang kehidupan merekaa. Mereka memerlukan tanah garapan baru untuk pertanian, sehingga orang Minangkabau memperluas daerah mereka dengan memasukkan pantai barat ke dalam lingkungan wilayah mereka seperti Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh sejak abad ke-6 (Naim, 1984 : 61-66). Mereka terus merantau sejalan dengan meningkatnya perdagangan dengan dunia luar, terutama dengan Malaka dan Aceh sejak abad ke 15. Seterusnya mereka merantau di sepanjang pantai barat dan timur di Sumatra. Kedatangan Belanda yang membangun jalan-jalan tembus ke daerah pedalaman semakin mendekatkan orang-orang Minangkabau ke dunia luar, sehingga mendorong mereka untuk merantau ke daerah-daerah lain. Semakin pesatnya kemajuan teknologi transportasi dan semakin berkembangnya kota0kota, maka semakin besar dorongan orang Minangkabau untuk merantau atau pergi ke kota-kota besar termasuk kota Medan.

Pada akhir tahun 1929 terjadi depresi ekonomi yang hebat sehingga memukul perekonomian banyak kawasan di dunia termasuk Hindia Belanda. Depresi yang terus berlanjut hingga pada pertengahan tahun 1930-an menyebabkan orang-orang Minagkabau meninggalkan wilayahnya merantau ke kota-kota besar terutama ke Bataviaa, dan Sumatra, khususnya ke Jambi, Pekanbaru, Palembang dan Medan (Niam, 1982 : 931). Kegiatan merantau secara praktis berhenti ketika terjadi perang revolusi kemerdekaan di tahun 1940-an dan meningkat lagi setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tahun 1950.

Orang Minangkabau yang merantau pada tahun 1930-an, khususnya yang ke Medan, sebagian besar memilih “kota maksum” (suatu bagian wilayah kota Medan) sebagai tempat tinggal mereka, karena daerah ini dekat dengan “pajak sentral” (Pusat Pasar) sebagai pusat kegiatan perdagangan di kota Medan. Hanya sebagian kecil saja yang berada di luar “kota Maksum” dan tidak ada catatan ataupun keterangan yang menunjukkan orang Minangkabau bertempat tinggal di Sukaramai. Hal ini dapat dimaklumi karena Sukaramai saat itu merupakan wilayah pinggiran kota yang berupa hutan rimba. Sekelompok orang Jawa memang tinggal di daerah itu dengan membuka kebun-kebun namun secara umum wilayah tersebut merupakan wilayah hutan rimbah yang sama sekali tidak diminati oleh para perantau khususnya bagi mereka yang ingin berdagang.

Baru pada awal tahun 1950-an ketika terjadi gelombang para perantau Minangkabau, maka Sukaramai mulai dijadikan sasaran tempat tinggal bagi orang Minangkabau. Mereka yang tinggal di Sukaramai pada umumnya adalah mereka yang kurang mampu membiayai hidupnya bila tinggal di “Kota Maksum”, karena “Kota Maksum” berkembang menjadi daerah yang mahal. Mereka yang tinggal di Sukaramai pada awal ini biasanya juga adalah mereka yang tidakk memiliki keluarga di Kota Medan. Pada tahun 1950-an di daerah Sukaramai masih banyak dihuni oleh orang Jawa yang hidup dari sektor pertanian.

Sejak pecahnya pemberontakan PRRI pada tahun 1956, keadaan di pendalaman Sumatera Barat menjadi tidak aman, sehingga mendorong orang Minangkabau untuk merantau, selain ke kotta Padang mereka juga menuju ke kota-kota di Sumatera Timur dan Utara. Pada saat itu Medan menjadi kota tujuan bagi para perantau. Bagi para perantau yang tidak mampu hidup di “Kota Maksum” atau yang tidak memiliki keluarga di kota Medan, mereka akan menjadikan Sukaramai sebagai daerah tempat tinggal.

Page 7: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 7

Perkembangan selanjutnya menunjukan bahwa Sukaramai secara terus menurus menjadii daerah tujuan migrasi bagi orang-orang Minangkabau. Hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan “Saling Mengangkat”: dari orang Minangkabau, dalam arti orang Minangkabau yang telah tinggal di Sukaramai dan secara ekonomi mulai mapan, maka mereka akan bersedia menampung dan membiayai keluarga mereka yang datang merantau untuk mencari kehidupan baru yang baik atau mereka akan berusaha untukk mengajak keluarga mereka di kamppung halaman agar dapat mengikuti jejak mereka dalam berbagai usaha dengan bantuan baiaya mereka sampai keluarga yang baru dtang darii kampung halaman ini maupuun hidup mandiri.

Oleh karena itu, ketika para perantau kembali ke tempat perantauannya setelah mereka pulang lainnya untuk mengikuti jejak mereka sebelumnya. Kebiasaan seperti ini membuat jumlah komunitas orang Minangkabau diperantauan cenderung membesar apabila dengan adanya generasi baru yang lahir di Sukaramai.

DATA ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI A. Jumlah orang Minangkabau di Sukaramai = 9670 orang B. Kegiatan usaha

Kegitan Usaha Jumlah Rumah makan/kedai nasi Konveksi Pabrik roti Tukang Emas/Intan Tukang kain Tukang sepatu Tukang becak Tukang goni botot Home industri lainnya Pedagang lepas

30 orang 652 orang 2 orang 63 orang 9 orang 52 orang 96 orang 32 orang 125 orang 37 orang

C. Daerah Konsentrasi Orang Minang di Sukaramai

1. Gg. Seto 2. Bromo / Lr. Trimo 3. Gg. Langgar Ujung 4. Mandala 5. Gang Sehat / Kantil / Jati 6. Gang I s/d Gang VIII

D. Suku : a. Jambak d. Sikumbang b. Panyalai e. Tanjung c. Guci f. Koto

( Survey, 1997 ) C. 2. Kagiatan Usaha

pada awal kehidupan orang Minangkbau di Sukaramai memang amat berbeda dengan orang di “Kota Maksum”. Apabila orang Minangkabau di “Kota Maksum” usahanya telah berkembang dan secara ekonomi kehidupan mereka mapan atau paling tidak tingkat kesulitannya tidak terlalu besar, maka bagi orang Minangkabau di Sukaramai tidaklah semikian. Di Sukaramai, kegiatan usaha orang Minangkabau dimulai dari tingkat perintisan, sehingga belum muncul kegiatan usaha khusus dan mapan.

Oleh karena itu, kegiatan usaha orang Minangkabau di Sukaramai sangat beragam seperti berjualan roti, kacang goerng, limun, sate, cabai, syuran, ikan, goni butut (karung goni bekas), dan sebagainya. Biasanya mereka berjualan dengan

Page 8: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 8

memakai gerobak dorong, sepeda, dipikul atau menggelarnya di pinggir jalan. Usaha lain yang banyak dilakukan pada waktu itu adalah menjadi tukang becak.

Sifat Komunal dari orang Minangkabau merupakan faktor yang dapat mendukung kegiatan usaha mereka di perantauan. Di Sukaramai orang Minangkabau saling membantu baik dalam kehidupan sosial di perantauan ataupun dalam kegiatan-kegiatan berusaha seperti malasah permodalan yang sering terjadi pada para perantau baru ataupun dalam masalah-masalah yang timbul akibat interaksinya dengan kelompok etnik lain, seperti adanya persaingan dan konflik. Sifat komunal ini menjadi salah satu faktor yang memajukan kegiatan usaha orang Minangkabau di Sukaramai, selain karena faktor lain seperti keuletan, hemat dan agresifitas mereka dalam berusaha, sehingga pada tahun 1950 hingga tahun 1960-an orang Minangkabau dapat memonopoli kegiatan usaha di Sukaramai.

Namun pada sisi lain dapat dilihat bahwa monompoli kegiatan usaha di Sukaramai dapat dianggap sebagai suatu yang alamiah, karena merekalah yang melakukan upaya perintisan awal kegiatan usaha, sebelum kelompok etnik lain berdatangan memasuki Sukaramai, walaupun pada akhirnya kelompok etnik yang belakangan datang dapat menembus monopoli itu.

Pada tahun 1960-an kegiatan usaha orang Minangkabau di Sukaramai kelihatan berkembang dari sektor berjualan dalam skala kecil menjadi mendirikan industri rumahan, dalam pembuatan roti dan pakaian jadi, atu membuka warung/kedai nasi, jual beli emas dalam sekala kecil, seperti berjualan dipinggir-pinggir jalan dengan meja ala kadarnya, atau hingga membuka toko emas, atau toko-toko kain dan barang-barang kelontong, kios-kios penjahit, kedai-kedai sayuran, dan sebagian lagi menjadi pegawai pemerintahan.

Usaha mereka terus berkembang hingga muncul usaha lain seperti industri rumahan di bidang sepatu, tas, dan sebagainya. Namun monopoli kegiatan usaha tidak dapat dipertahankan seterusnya, karena orang-orang dari kelompok etnik lain mulai berdatangan dan membuka kegiatan usaha di Sukaramai, terutama dari kelompok etnik Mandailing dan Cina.

Merosotnya monopoli kegiatan di Sukaramai oleh orang Minangkabau menunjukan bahwa komunalitas orang Minangkabau ternyata lebih banyak disibukan dengan usaha gotong royong dalam penyelenggaraan pesta perkawinan, membuat rumah adat (rumah gadang), mesjid, dan sebagainya, daripada untuk mendirikan pusat-pusat finansial untuk menunjang kegiatan usaha mereka, seperti yang telah dilakukan oleh kelompok etnik Cina yang semakin maju dan menggeser kegiatan usaha orang Minangkabau di Sukaramai. B. 3. Pola Kehidupan

Pada saat orang Minangkabau mulai ketinggalan kendali atas monopolinya di Sukaramai itu bukan berarti orang Minangkabau kehilangan kendali atas ikatan keetnikannya. Orang Minangkabau kehilangan kendali atas ikatan keetnikannya.

Komunalisme orang Minangkabau merupakan sautu hal yang dapat menjelaskan tentang keentengan tindak kriminal kurang dijumpai pada para perantau Minangkabau. Kelihatannya bahwa masalah penyesuaian dari bukanlah merupakan persoalan yang sulit. Para pedagang baru biasanya menumpangkan diri kepada kerabat terdekat, dan mereka akan berusaha melepaskan diri manakala mereka sanggup berusaha secara mandiri. Kehadiran orang Minangkabau di kota Medan dalam jumlah besar juga merupakan faktor menempatan posisi orang Minangkabau tidak dalam kondisi yang sama sekali asing. Pada tahun 1990-an ini jumlah orang Minangkabau tergolong dalam 5 (lima) besar kelompok etnik yang hidup di kota Medan.

Komunalisme orang Minangkabau tidak hanya terletak pada kuatnya ikatan kekerabatan ataupun kesukaan, namun juga pada asal kampung halaman atau asal daerah (lokasi). Berbagai organisasi yang didasarkan atas asal usul lokasi banyak

Page 9: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 9

didirikan seperti organisasi orang Pariaman, Maninjau, Batu Sangkar, Pasaman, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut banyak terjun kedalam kegiatan kebudayaan atau seni dan kegiatan-kegiatan sosial antara lain kegiatan-kegiatan itu berupa peringatan hari-hari besar agama Islam, pertunujuakn kebudayaan, pengumpulan dana untuk pembangunan kampung halaman atau untuk kegiatan gotong royong lainya seperti pesta pernikahan, pembuatan mesjid, rumah gadang di perantauan, dan sebagainya.

Kehiduppan di perantauan menyebabkan perubahan dalam sistem sosial orang Minangkabau, pertama, menyangkut semakin renggangnya hubungan Mamak, Kemanakan, kedua, semakin kuatnya peranan keluarga batih (extended family) dengan dikuti pula oleh perubahan pola kepemimpinan. Kerenggangan hubungan Mamak kemanakan oleh banyak penulis didefenisikan bahwa kegiatan merantau menyebabkan para kemanakan yang hidup atau lahir diperantauan kurang mengenal Mamaknya, kamupungnya dan kebudayaannya, atau mereka diberatkan sebagai generasi yang tercabut dari akar kebudayaannya. Ditambahkan pula bahwa jarak sosial yang timbul diperbesar oleh jurang pendidikan antara Mamak dengan kemanakan atau masuknya kebudayaan asing dalam diri kemanakan. Pendapat tersebut hanya menitik beratkan timbulnya jarak sosial antara Mamak dengan kemanakan, padahal terdapat perkembangan baru yang membuat hubungan tersebut menjadi renggang, terutama menyangkut semakin kuatnya pernan keluarga inti di perantauan. Kebanyakan parantau Minangkabau saat hidup bersama keluarga intinya, dengan kepala rumah tangga bukan lagi Mamak atau orang-orang tua seperti di kampung halaman. Hampir secara keseluruhan setiap keluarga di kepalai oelh suami yang didukung istri yang ikut mengelola rumah tangga. Sering pula dijumpai bahwa istri ikut aktif dalam menunjang ekonomi rumah tangga dengan bekerja bersama suami atau mebuat usaha sampingan. Namun perubahan kepemimpinan dalam rumah tangga rantau belum samapi merubah kekerabatan Matrilineal. Keadaan ini dialami oleh pra perantau di Sukaramai.

Page 10: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 10

PEMBANGUNAN DAN KEETNIKAN DI KOTA MEDAN A. Industrialisasi Kota Medan

Kota Medan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda memang memiliki daya tarik yang kuat terhadap para migran. Sebagai kota pelabuhan Medan memiliki aktifitas ekonomi yang cukup besar di Sumatera, apalagi di wilayah Sumatera Utara ini banyak didirikan perkebunan besar oleh kaum kolonial, sehingga sebagai kota pelabuhan, Medan terus berkembang pesat seiring dengan perkembangan nilai tambah yang dihasilkan oleh perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara.

Daya tarik ekonomi dan semaraknya kehidupan kota memancing banyak para migran untuk memasuki kota Medan, termasuk orang Minangkabau. Daya tarik Kota Medan semakin besar manakala pemerintahan Orde Baru melaksanakan kebijakan ekonomi pertumbuhan dengan strategi Industrialisasi di perkotaan Indonesia.

Industrisasi yang dianggap merupakan jawaban satu-satunya bagi upaya modernisasi membuat kota Medan berkembang lebih pesat dari pada periode sebelumnya. Industrialisasi menarik kedatangan para migran dari berbagai daerah dan Industrialiasai telah mengembangkan Kota Medan tidak terbatas hanya sebagai kota pelabuhan, melainkan juga kota perdagangan, agribisnis, kota pendidikan, kota pengembangan kebudayaan, kota rekreasi, kota industri dan sebagainya, sehingga Kota Medan menjadi berbagai macam pusat kegiatan kehidupan.

B. Kota Medan Sebagai Kota Multietnik

Sejak masa kolonial Kota Medan telah menjadi kota multietnik. Berbagai kelompok etnik kota Medan, dan pada saat itu kelompok etnik yang paling menonjol atau berkuasa dan menempati stratifikasi sosial atas adalah kelolmpok etnik Melayu, sedangkan pada stratifikasi sosial paling bawah adalah kelompok etnik Jawa yang sengaja didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai kuli kontrak pada perkebunan-perkebunan. Selain kedua kelompok etnik Jawa terdapat juga kelompok etnik Cina dan beberapa kelompok lain dalam jumlah yang relatif kecil, seperti Aceh, Batak, Mandailing dan sebagainya.

Industrialisasi kota Medan telah menggerakan banyak migran memasuki kota Medan. Berbondong-bondong para pendatang mengadu nasib di kota ini, sehingga tingkat persaingan kehidupan semakin lama semakin keras. Masuknya para migran dari berbagai daerah tidak hanya merubah jumlah penduduk kota Medan, melainkan kjuga merubah komposisi penduduk menurut kelompok etnik. kOmposisi penduduk ini sangat dinamis dan pada setiap waktu dapat berubah dengan cepat. Dalam perubahan ini kelompok etnik Melayu secara cepat mengalami kemerosotan peranan, baik dalam segi ekonomi, Politik, Sosial, dan Kebudayaan. Kota Medan secara pesat tumbuh menjadi kota multi etnik seiring dengan merosotnya peranan kelompok etnik Melayu dalam pola kehidupan di kota Medan, dan bahkan dalam segi jumlah kelompok etnik Melayu tidak menjadi bagian dari 5 (lima) besar kelompok etnik di kota Medan. Timbul tenggelamnya kelompok-kelompok etnik di kota Medan merupakan salah satu akibat dari persaingan kehidupan yang sering kali luput dari pengamatan para ilmuwan sosial. Banyak orang berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh ketidak mampuan suatu kelompok etnik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknoolgi yang dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan dalam era industri. Faktor-faktor intern seringkali lebih menonjol dalam pengamatan tentang timbulnya suatu kelompok etnik darpada faktor-faktor lain. Namun pada kenyataannya faktor-faktor lain yang diabaikan seperti faktor-faktor ekstern yang sifatnya situasional turut berperan dalam menentukan nasub suatu kelompok etnik. Kemunduran kelompok etnik Melayu dalam beberapa hal memiliki kaitan erat dengan konsidisi eksteren terutama menyangkut datangnya migran dari berbagai kelompok etnik dalam jumlah yang besar, sehingga pada periode tertentu jumlah tersebut

Page 11: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 11

melampaui jumlah orang Melayu. Tidak hanya itu, para pendatang baru ini lambat laun, berpengaruh dalam kehidupan di kota multietnik, Medan. Tingkat persaingan ini senakin hebat ketika terjadi suatu kekosongan budaya mayoritas yang dominan (dominant majority culture). C. Ikatan Keetnikan Dalam Kota Industri

Tidak adanya mayoritas yang dominan menyebabkan setiap kelompok etnik melangsungkan kehidupannya dengan kebudayaannya sendiri, sistem nilai, norma-norma, kebiasaan-kebiasaan sendiri. Oleh karena itu masing-masing kelompok etnik akan berada dalam “Kantong kelompok etniknya” sendiri. Pada keadaan seperti ini maka hubungan antar kelompok etnik berjalan secara pragmatis, sehingga pragamatisme menjadi suatu pedoman tingka laku di kota Medan.

Pragmatisme merupakan penyelamat bagi munculnya konflik antar kelompok atnik yang berpeluang besar untuk timbul dalam kota industri, karena kota industri menciptakan bentuk kehidupan yang penuh persaingan. Persaingan mendorong setiap orang untuk mencari pegangan yang kuat agar mereka tidak tergilas oelh persaingan. Pada suatu kota multietnik, setiap orang cenderung untuk mencari pegangan dalam ikatan keetnikannya, sehingga persaingan yang muincul tidak hanya bersifat individual melainkan kolektif, yaitu dalam bentuk persaingan antar kelompok etnik. Persaingan tersebut merupakan ladang subur timbulnya konflik antar kelompok etnik yang biasannya diikuti oleh kerusuhan massa dan tindak kekerasan. Selama ini hal tersebut jarang terjadi mengingat pragmatisme menjadi pedoman dalam interaksi sosial, sehingga setiap individu akan berfikir beberpa kali sebelum melakukan konflik, karena dalam konflik setiap yang terlibat akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan. Apalagi dengan kebijakan pemerintah yang menindak tegas dan keras para pelaku konflik yang bersifat “SARA” (Suku, Agaman, dan Ras). Namun terlepas dari persoalan tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam suatu kota industri yang multietnik, khususnya yang tidak memiliki budaya mayoritas yang dominan ikatan-ikatan keetnikan cenderung untuk menguat. Industrialisasi yang menciptakan kehidupan dengan persaingan mendorong prang untuk mencari pegangan. Pegangan dalam suatu kota multietnik tanpa budaya mayoritas yang dominan berati pegangan dalam ikatan keetnikan atau dalam situasi kota Medan seperti ini maka kesadaran keetnikan seseorang cenderung besar.

Hal tersebut dapayt kita lihat dalam ekspresi tingka laku individu di kota Medan, misalnya saja dalam berbahasa, setiap orang akan berbahasa kelompok etniknya sendiri di tempat-tempat umum tanpa merasa segan atau merasa tidak sopan. Perilaku seperti itu seringkali kita jumpai dan masing-masing orang pun menanggapinya sebagai suatu yang tidak luar biasa.

Oleh karena itu komunalisme dapat di pelihara dalam kota industri atau masyarakat urban. Padahal secara teoritis, khusunnya dalam perspektif modernisasi, komunalisme dalam bentuk ikatan keetnikan akan pudar oleh laju industrialisasi dan terbentuknya masyarakat urban. Namun kenyataan menunjukan sebaliknya yaitu tetap terpeliharannya akesadaran keetnikan.

Kesadaran etnik orang Minangkabau di Sukaramai menunjukan masih tetap terpelihara dengan baik malahan pada tahun 1996 ini muncul kegiatan yang dikelola oelh suku-suku yang ada di Sukaramai, suatu fenomena yang menunjukan mulai berperannya kehidupan suku-suku dalam kelompok etnik Minangkabau. Hal itu semakin membuktikan bahwa pembangunan yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi dengan strategi industrialisasi sangat kurang peranannya dalam mengikis keetnikan dan malahan justru dapat memelihara kesadaran etnik ataupun bahkan dapat mendorong kebangkitan etnik.

Pada tahun 1954 orang Minangkabau dari kecamatan Nan-Sibaris (Kab. Pariaman) yang banyak menghuni Sukaramai mendirikan Persatuan Keluarga Nan-

Page 12: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 12

Sibaris (terdiri dari 7 kenagarian) yang dipelopori oleh Datoek Moeis guna memperjuangkan ajatah tanah bagi orang Minangkabau di Medan. Beberapa tahun selanjutnya muncul persatuan dengan lingkup lebih kecil yaitu keluarga Ulakan Tapakih Katapiang (3 desa) yang memiliki peranan besar dalam kehidupan sosial orang Minangkabau di Sukaramai, seperti dalam hal penyelesaian sengketa, konsultasi masyarakat, pembangunan fasilitas kehidupan masyarakatt ataupuun menangani masalah-masalah lain masyarakat Minangkabau di Sukaramai. Ulakan Tapakih Katapiang ini berhasil membangun Rumah Gadang, Majid dan beberapa Surau.

Komunalisme mereka tetap terpelihara dalam era industri saat ini dan bahkan ada kebangkitan suku-suku pada tahun 1996, seperti terbentuknya perhimpunan suku panyalai, Djambak, Guci, Sikumbang, Minangkabau ini memperlihatkan bahwa fkator-faktor eksternal turut berperan dalam memelihara kesadaran orang Minangkabau selain faktor-fakttor internal.

Page 13: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 13

EKSPRESI IKATAN PRIMODIAL DALAM KEGIATAN BISNIS ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI A. Ikatan Primodial

Ikatan primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan, sejarah dan asal-usul (Isaaec, 1993: 48-58). Identitsa dasar ini merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh karena itu identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersiapfat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik.

Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam iinteraksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok diantara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda anatara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi.

Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan=hubungan keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional (Greetz, dalam Suadarsono, ed., 1982:3) yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersiafat destruksif.

Ikatan-ikatan tersebut Geerz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat sosial yang telah ada.. suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa tertentu dan mengikuti praktek-praktek sosial tertentu (Isaacs, 1993:45).

Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali dimanipulasi (Cohen, 1971). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu uyang masih seperti batu melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan.

Namun tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang menerjang dan membobolkan bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dialaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk ikatann-ikatan primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan, sehingga menjadi sumber malapetaka.

Disisi lain kohesi emosional yang berasal dari ikatan primordial dapat menimbulkan rasa aman, kehangatan atau kepercayaan di kalangan mereka sendiri. Rasa kepercayaan di antara kalangan sendiri bagi kelompok etnik tertentu dapat dijadikan dasar bagi kegiatan bisnis. Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh jaminan surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau bahkan secarik kertaspun. Mereka melakukannya berdasarkan rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung halaman yang sama, berbahasa atau berdialek yang sama, memiliki nama keluarga yang sama, atau dari keturunan yang sama, singkatnya kesamaan identitas dasar mendorong untuk saling mempercayaai, minimal pada pertemuan pertama mereka beranggapan bahwa mereka memiliki perilaku yang sama, karena berasal dari kalangan sendiri.

Hal ini dapat kita jumpai pada kelompok etnik Cina dan kelompok etnik Minangkabau. Suatu kenyataan yang terdapat pada kelompok etnik Minangkabau

Page 14: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 14

adalah persatuan yang tersembunyi di dalam lingkungan mereka, lingkungan kesukuan, dan lebih khusus dalam lingkungan keluarga. Persatuan yang tersembunyi ini dijaga dan dikuatkan oleh kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama, sama berhak mendiami satu teritorial “kampungnya”, harus bergotong royong dalam semua kegiatan, baik kegiatan ekonomi maupun upacara-upacara adat (Rajab,1969:16). B. Struktur Siosial

Untuk dapat memahami kekuatan ikatan primordial kelompok etnik Minangkabau, dapatlah kita telusuri tentang seluruh susunan masyarakat Minangkabau berdasarkan pembagian suku-sukunya. Baik di dalam pemerintahan nagari maupun dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, pembagian suku itu tetap mempunyai pengaruh, karena suku itu merupakan satu-satuan genealogis yang diagungkan. Pembagian itu ternyata berlaku kekal, walaupun masyarakat Minang telah hidup berabad-abad lamanya.

Orang-orang luar tidak mengetahui, menyatakan bahwa orang-orang Minang yang dihadapinya adalah satu semuanya, melihat warna kulit, tipe dan bahasanya. Tetapi sebenarnya orang-orang Minang itu berasal dari suku-suku yang berbeda-beda, yang seorang memandang yang lainnya sebagai orang asing, dipandang dari sudut kesukuannya, walaupun mereka akan bersatu menghadapi orang-orang yang bukan Minang.

Jumlah suku (artinya empat) pada awalnya seperti nama itu sendiri menunjukkan tidak lebih dari empat, yakni Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Pembagian dalam empat suku, dalam bentuknya sangat sederhana, timbul pada tingkatan perkembangan terutama dari perkauman Minangkabau (Rajab,1969:15).

Pembagian dalam empat suku ini diciptakan oleh dua orang poyang orang Minang, yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang, supaya keturunan mereka dapat kawin-mengawini. Tetapi dilarang mereka endogami, yakni kawinnya laki-lakinya dan perempuan yang sesuku.

Setelah suku-suku itu berpencar diberbagai nagari, maka terjadilah kelompok-kelompok keturunan yang kecil (olan) yang di Minangkabau dinamakan orang kampuang. (Hendaklah dibedakan dari kampung, atau perkampungan yang berarti satu satuan territorial). Kampuang ini dipimpin oleh penghulu kampuang, atau penghulu andiko, yaitu mamak yang tertua dari semua kapalo parui. Karena orang-orang yang sekampuang keturunan dari seorang nenek bersama (moyang), maka mereka dilarang kawin antara mereka (exogami). Laki-laki dan perempuan yang melanggar larangan ini sangat dicela oleh pendapat umum, biasanya dihukum buang dari nagarinya, dam mereka sendiri mencari keselamatan dirantau dan tidak pulang-pulang kekampungnya.

Ada beberapa nagari di Minangkabau, yang kabarnya hanya melarang orang-orang sekampuang menikah, tetapi membolehkan laki-laki dan perempuan yang sesuku menjadi suami-istri. Tetapi yang terbanyak ialah nagari-nagari yang adatnya melarang orang-orang sesuku kawin.

Dulu pernah terjadi dua sejoli yang berasal dari dua nagari yang berasal dari dua nagari yang berbeda, menikah dirantau. Tetapi katika mereka pulang ke nagari masing-masing, dan ternyata mereka sesuku, maka rapat penghulu-penghulu kedua nagarinya memutuskansupay perkawinan mereka di batalkan, biarpun dibolehkan agama, sehingga mereka terpaksa bercerai.

Dengan menganggap kampuang dan suku itu sebagai satuan dari orang-orang yang berdansanak (consanguineal ), maka dipandang anggota-anggotanya sebagai “in-group”, dan pandangan ini mempengaruhi dan berbekas pada sikap dari mereka.

Page 15: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 15

Demikianlah persatuan dalam satu nagari dapat diretakkan oleh kesetiaan penduduk kepada suku atau kampuangnya masing-masing. Persatuan di dalam suku mungkin dapat dipecah-pecah lagi oleh kesetiaan kepada kelompok kampuang, sajuari, sabuah parui, atau samande, tetapi persatuan kesukuan ini masih tetap berpengaruh dan terpelihara sampai kepada tahun-tahun belakangan ini.

Karena orang yang sesama suku dianggap berdansanak, maka panggilan kepada tiap-tiap anggota adalah sama dengan panggilan terhadap anggota-anggota sabuah parui”, yaitu menurutt tingkatan umurnya yang seumur dengan ayah dipanggil bapak, yang seumur dengan ibu dipanggil ibu, yang seumur dengan kakak dipanggil kakak, dan yang seumur dengan mamak dipanggil mamak, dan yang kecil dipanggil adik, begitu seterusnya.

Suatu kenyataan yang terdapat umum di Minangkabau adalah persatuan yang tersembunyi di dalam lingkungan kesukuan. Persatuan ini dijaga dan dikuatkan oleh kepercayaan, bahwa mereka semoyang dulunya, karena itu mereka harus seragam dan setiakawan turun-temurun.

Bilamana terjadi perselisihan diantara anggota-anggota sesuku, maka perselisihan itu diselesaikan di dalam kalangan suku oleh penghulu-penghulunya, tanpa meminta bantuan orang lain. Dan persatuan, keseragaman dan kesetiakawanan itu pula yang menetapkan kaidah bahwa suluruh anggota suku turut bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan oleh seorang anggota sukunya. Sahino samalu, sasanang, (sama hina, dan sama menganggung malu, sama menderita dalam kesusahan dan sama menikmati kesenangan), barek samo dipikua ringan samo dijinjing, (kalau berat sama dipikul, dan kalau ringan sama dijinjing).

Akibat kuatnya rasa persatuan itulah maka seandainya ada seorang gadis dari satu suku diganggu oleh seorang pemuda suku lain, semua laki-laki di dalam suku gadis tadi akan serentak membela kehormatan dansanaknya. Jika peristiwa ini diikuti oleh perselisihan dan perkelahian, maka tidak jarang terjadi perkelahian yang ramai antara gerombolan laki-laki dari satu suku dengan ssuku lain, berupa perang batu atau kadang-kadang dengan mempergunakan senjata tajam, dan menumpahkan darah sedikit. Biasanya tidak banyak darah yang tertumpah, sebab sengketa antaraa orang-orang sanagari akan segera diketengahi dan diselesaikan oleh rapat penghulu.

Seperti telah diketahui, pada penduduk Minangkabau berlaku sietem matrilinial, yang menurut Bronislaaw Malinowski “ mereka hidup di dalam satu keariban masyarakat yang di dalamnya kekerabatan dihitung menurut garis ibu semata-mata, dan pusaka serta waris diturunkan menurut garis ibu pula. Ini berarti bahwa anak laki-laki dan perempuan termasuk keluarga, dan perkauman ibunya, dan bukan dari ayah melainkan dari ibu, maka dan bibinya seorang anak menerima warisan harta-benda.

Sistem matrilinial di Minangkabau itu mempunyai delapan ciri, yaitu : keturunan dihitung menurut garis ibu, suku terbentuk menurut garis Ibu, tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (Exogami), pembahalasan dendam merupakan saru kewajiban bagi seluruh suku, kekuasaan dalam suku, menurut teori terletak ditangan “Ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakannya sedang yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya, perkwainan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya, hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemanakannya, dari saudara laki-laki ibu kepada anak saudara dari perempuan.

Sistem matrilineal di Minangkabau telah lama sekali menajdi satu sistem sosial, yang oleh penduduk dinamakan adat, yang mempunyai hukum-hukumnya pula. Yangmenjadi adat disana adalah kebiasaan umum yang lama kelamaan menjadi satu kemestian berbuat menurut satu pola kelakuan yang ditetapkan oleh orang-orang tua dahulu.

Page 16: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 16

Adat itu terbuat dari keyakinan orang banyak menurutnya, bahwa adat itu adalah peraturan-peraturan kemasyarakatan yang harus dipatuhinya, berkekuatan sebagai undang-undang, dan mereka dianggap telah memenuhi satu kewajiban hukum apabila berbuat menurut tuntutan adat ini.

Dikatakan “terbit dari keyakinan orang banyak” karena tidak dimestikan keyakinan itu ada pada tiap orang Minang yang harus mematuhinya, tetapi adat itu cukup berkuasa di dalam masyarakat yang ditengahnya terbentuk adat tersebut.

Tidak adanya keyakinan tersebut pada beberapa orang tertentu di dalam perkauman Minangkabau-suatu gejala yang mulai kelihatan pada waktu ini-tidaklah berarti bahwa mereka bebas dari kewajiban meski mematuhi peraturan-peraturan adat itu. Sebab hukum adat tidak terdiri dari kaidah-kaidah yang dibuat oleh tiap-tiap orang untuknya sendiri, melainkan kaidah-kaidah yang dipikulkan atas semua anggotanya. Hukum adat itu adalah peraturan-peraturan umum yang dipikulkan dari luar bukan timbul dari hati nurani seseorang.

Terjadinya adat di Minangkabau bukanlah berganntung kepada keyakinan hukum pada seseorang anggota perkauman, melainkan kepada adanya keyakinan hukum pada seluruh anggota perkauman, terutama pada penghulu-penghulu Minang yang berpengaruh dimasa yang lalu.

Karena itu didalam perkauman Minangkabau – seperti masyarakat lainya di dunia barang kali – tiap orang bertindak dan memperlihatan gerak-gerik kelakuan yang merupakan pernyataan lahir dari dorongan hasrat dan keinginan pribadinya. Perbuatan dan kelakuan itu baginya adalah alat dan pernyataan dari daya upayanya untuk mencapai suatu maksud yang terkadung didalam hatinya, atau motifnya perbuatan atau kelakuan itu adalah menyenangkan bagi perasaannya, apabila sejalan dengan garis kehendak dan tujuannya.

Apabila perbuatan dan kelakuannya itu sesuai dengan tuntutan norma-norma yang dianut oleh sebagai terbesar anggota masyarakatnya, dengan perkataan lain sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang banyak disekitaranya, tidak akan terjadilah terbenturan, tidak akanada orang lain yang merasa tersinggung. Orang yang berbuat demikian disenangi dan mendapat celaan atau teguran dari anggota-anggota perkaumannya.

Tetapi, jika tindakan atau kelakuan sosial seseorang menyimpang dari apa yang diharapkan oleh sebahagian terbesar anggota perkauman, berlawanan apa yang dianggap layak oleh umum pada sewaktu-waktu dan disuatu tempat, menyalahi adat, terjadilah pembenturan antara dua cara penilaian, yang dipakai oleh orang tersebut dan yang dipakai oelh anggota-anggota perkauman selebihnya.

Di Minangkabau yang mencegah seseorang melakukan apa-apa yang tidak disetujui oleh perkaumnan ialah pengawasan masyarakat atau kontrol sosial, yang dinamakan adat. Kontrol sosial itu adalah Kristallisasi dari pendapat umum pada penghulu-penghulu yang berkuasa turun temurun, yang menganut sesuatu etika, menentukan tata krama dan tata susila yang harus dihormati dan dipraktekkan oleh tiap anggota perkauman tanpa ada kecualinya. C. Kebiasaan Saling Mengangkat

Adat sebagai suatu pedoman bagi tingkah laku masyarakat Minangkabau mancakup banyak haal, seperti tentang cara hidup bernasyarakat, berorganisasi, tentang menjadi seorang yang berkepribadian Minangkabau, susunan masyarakat Minangkabau, kewajiban membela masyarakat, prinsip-prinsip kepemimpinan, hukum, moralitas dan sebagainya (Hakimy : 1991 : 74-149).

Oleh karena itu adat sangat menentukan pola tingkah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang berlaku bagi orang Minangkabau, seperti kebiasaan “saling mengangkat”. Kebiasaan saling mengangkat sebenarnya berakar pada dua hal, pertama persepsi atau pandangan yang dibentuk oleh adat, khususnya menyangkut

Page 17: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 17

persepsi tentang keluarga sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan yang para anggotanya memiliki kewajiban untuk saling membantu, bahkan tidak hanya dalam lingkungan keluarga besar (extended family) mereka, namun meluas sampai pada ikatan-ikatan sesuku, sekampung halaman, atau sesama orang Minangkabau. Kedua, kebiasaan saling mengangkat berakar juga pada sistem Matrilineal orang-orang Mingangkabau. Pada sistem itu saudara laki-laki dari ibu (biasanya disebut sebagai mamak) berkewajiban untuk bertanggung jawab terhadap nasib dan masa depan anak-anak dari saudara perempuannya itu atau kemanakannya.

Hubungan antara kemenakan dengan mamak ditetukan oleh adat yang mengikat kedua belah pihak. Mamak adalah pemimpin dari kemenakan. Mamak sebagai unsur terpenting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, memiliki posisi yang sangat stategis. Ini dikarenakan Mamak tersebut adalah orang yang paling mempengaruhi proses tumbuhnya dan keberhasilan hidup kemenakannya.

Oleh karena itu kebiasaan saling mengankat yang dilakukan oleh saudara laki-laki dari ibu terhadap kemanakannya bukan sekedar kebiasaan yang mudah untuk diingkari, melainkan merupakan suatu kewajiban yang bila dialnggar berarti melanggar adat dan akan memperoleh sanksi sosial yang cukup berat dikucilkan dan dicemooh.

Namun banyak kalangan pengamat berpendapat bahwa telah terjadi kerenggangan hubungan antara mamak dan kemanakan kerena berbagai hal, terutanah akibat dari kegiatan merantau. Kegiatan merantau sudah begitu lekat dalam masyarakat Minangkbau. Merantau sebagai upaya untuk mengingatkan taraf hidup merupakan salah satu faktor yang menyebabkan renggangnya hubungan kemanakan dengan mamak. Jarak yang jauh dari kampung halaman individualisme diperkotaan, mendorong tumbuhnya keluarga inti (nucleus family) dalam masyarakat Minangkabau diperantauan. Mereka menyadari bahwa keluarga inti mereka lebih membutuhkan perhatian lebih besar dalam kehidupan dikota-kota perantauan yang suasananya penuh persaingan.

Anak-anak yang dibesarkan diperantauan bahkan tidak kenal sama sekali kampung halaman orang tuanya, sehingga mereka kurang mengenal adat Minangkabau. Kegiatan merantau juga menyebabkan adanya perkawinan anatar kelompok etnik dan anak-anak dari hasil perkawinan mereka belajar hidup tidak dengan satu adat dari orang tuannya, melainkan dari berbagai-bagai adat dan kebiasaan yang ada di tempat tinggal mereka, sehingga secara teoritis keadaan yang demikian itiu akan menyebabkan renggangnya hubungan mamak dengan kemanakannya.

Namaun pada kenyataannya kerenggangannya hubungan mamak dengan kemanakan tidak menlunturkan sama sekai kebiasaan saling menganggkat, bahkan cenderung meluaskan bentuknya. Orang Minangkabau yang merasa telah mapan ekonominya dapat saja membawa saudara-saudara dari kampung halamannya, kenalan-kenalan dekatnya, atau anak dari sahabat-sahabatnya, tidak terbatas pada kemanakannya saja. Biasaanya sering terjadi pada para pengusaha rumah makan /kedai-kedai nasi yang membutuhkan tenaga dari orang-orang sekampung halamannya, sesukunya atau kenalan-kenalan dekatnya. Mereka mengangkatnya dari kampung halaman, dibiayai untuk merantau, dipekerjakan, diberi gaji dan diperlukan seperti saudara bukan sekedar pekerja. Para perantau baru ini jika sudah merasa mampu untuk berusaha sendiri . mereka kemudian berusaha sendiri biasaanya dengan usaha yang sudah dikenalnya dari hari kehari sewaktu dia masih mengikat kerja dahulu.

Tumbuhnya keluarga ini dan adanya perkawinan campuran ternyata juga tidak melunturkan sama sekali identitas dasar keetnikannya, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kegiatan-kegiatan sosial orang–orang Minagkabau di perantauan.

Page 18: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 18

Mereka bergotong royong dalam acara-acara perkawinan maupun kematian. Walaupun hubungan dengan kampung halaman tersa jauh dan renggang, tetapi semangat untuk bersatu di perantauan justru tetap besar. D. Jaringan Bisnis

Kebisaan saling mengangkat dan bergotong royong sebagai ciri masih kuatnya komunalisme orang Minangkabau yang didasarkan pada ikatan-ikatan primodial merupakan sumber terbentukknya jaringan bisnis orang Miangkabau di perantauan khususnya di Medan.

Apabila kita denganr jaringan bisnis lantas kita bayangkan suatu jaringan bisnis raksasa seperti koperasi-koperasi multinasional dengan jaringan-jaringan usaha yang disusun rapii dengan manajemen yang tertata baik, maka kita menjadi salah, karena jaringan bisnis orang Minangkabau masih sangat sederhana, dengan sedikit hirarki dan garis komando yang tidak jelas.

Jaringan bisnis orang Minangkabau merupakan jaringan bisnis yang didasarkan pada keluarga, ikatan kesukaan, kampung halaman ataupun kenalan-kenalan dekat yang sifatnya relatif longgar atau tindak mengikat.

Bisaannya dari seorang pengusaha yang mapan di bidang ketentuan membuat perluasan usahanya tersebut dengan cara membuat uasaha-usaha seperti itu dan diserahkan pengelolaannya pada anak-anaknya. Seorang pengusaha toko mas membuat toko-toko emas yang baru dan diserahkan pengelolaannya kepada anak-anaknya ataupun orang-orang yang diangkatnya dan kemudian mereka berusaha saling membantu antara yang satu dengan yang lain.

Adapun berkembangnya jaringan bisnis seperti itu dapat kita lihat dari penuturan salah seorang responden yaitu H. Bachtiar Djambak (65 tahun), seorang peilik toko kain yang usahanya berkembang,

Pada tahun 1952 saya merantau ke Medan karena kesulitan hidup di kampung, saya ikut adik bapak (paman) yang telah merantau ke Medan lebih dahulu. Usaha awal saya adalah berjualan goni butut (karung goni bekas), kemudian beralih jualan yang lebih menguntungkan yaitu ember seng di pajak sentral (pasar pusat). Melihat usaha kain lebih menguntungkan maka dengan bantuan seorang kenalan sesama perantau yang sudah memiliki toko kain, saya memulai usaha berdagang kain, hingga saya memiliki beberapa toko saat ini yang saya kelola bersama anak-anak saya. (Survey, 1997). Pengalaman hidup H. Bachtiar Djambak merupakan bentuk umum yang

dialami para perantau Minangkabau lainnya. Mereka merantau karena diajak (diangkat) oleh kerabatnya atau orang-orang sekampung halamannya. Memulai usaha tanpa modal, hal ini dapat dilakukan karena ada kebiasaan saling mengangkat. Beberapa responden lain seperti H. Bagindo Bachtiar Guci (66 tahun) atau Bagindo Hasan Basri Manik (50 tahun) dan beberapa responden lain yang tidak ingin namanya ditulis memiliki penuturan yang serupa. Mereka merantau ke suatu kota karena diajak atau dalam pengertian mereka adalah diangkat, maksudnya diangkat dari kesulitan hidup dikampung halaman, diangkat oleh paman, abang atau kawan sekampung halaman. Kebiasaan saling mengangkat merupakan salah satu dasar utama dari jaringan bisnis orang Minangkabau di perantauan.

Dalam bentuk yang lebih luas jaringan bisnis itu misalnya yang telah dilakukan baik oleh kalangan pengusaha toko emas maupun rumah makan/kedai-kedai nasi, yaitu mereka mengadakan kumpulan-kumpulan untuk saling membantu di bidang permodalan atau membantu memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi atau sekedar membuat arisan (tiap orang dalam suatu kumpulan selama jangka waktu tertentu, biasanya tiap bulan mengumpulkan uang dalam jumlah yang disepakati, lantas uang yang dikumpulkan diserahkan kepada seorang anggota

Page 19: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 19

kumpulan tersebut secara bergilir ataupun melalui undian) atau sekedar berbincang-bincang supaya satu dengan yang lain menjadi dekat.

Jaringan bisnis seperti ini tentu saja tidak terlalu kuat bertahan dan bahkan diantara mereka kadang muncul perselisihan ataupun pertengkaran. Mereka juga tidak memiliki target tertentu untuk mengembangkan jaringan bisnisnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Cina yang membentuk kelompok-kelompok usaha bahkan mendirikan bank-bank dalam rangka memperkuat jaringan bisnisnya.

Orang Minangkabau masih banyak disibukkan dengan kegiatan mengumpulkan uang untuk membuat pesta perkawinan (beberapa suku dalam kelompok etnik Minangkabau menyebutnya sebagai “Badoncek”) dan banyak kegiatan mengumpulkan uang digunakan untuk kegiatan sosial seperti membangun rumah adat (Rumah Gadang), Mesjid atau Musholla, memperbaiki kampung halaman, sumbangan kematian, menyantuni anak yatim, dan sebagainya, sehingga kegiatan pengumpulan uang untuk mengembangkan permodalan amat jarang dilakukan yang bila dilakukan biasanya berupa arisan, itupun belum tentu uangnya digunakan untuk mengembangkan modal, tidak jarang digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi.

Oleh karena itu monopoli jaringan bisnis orang Minangkabau dapat mudah dirunutuhkan oleh kelompok etnik lain di Sukaramai. Bahkan organisasi-organisasi yang mereka bentuk seperti ikatan keluarga Panyalai (suku panyalai). Keluarga Ulakan Tapakih Kataping (nama kampung halaman). Banu Ampu (nama kampung halaman) atau Ikatan Keluarga Guci Sandi Mulia (suku Guci) tidak mampu memperkuat jaringan bisnis orang Minangkabau. Pertama-tama, karena organisasi itu dibentuk bukan untuk tujuan bisnis, kedua. Kalaupun tercipta jaringan bisnis diantara anggota kumpulan tersebut maka seirngkali jaringan bisnis itu kurang berkembang karena jaringan tersebut tidak melakukan upaya kapitalis. Ketiga. Persaingan bisnis di kota Medan semakin dinominasi oleh pengusaha dari kelompok etnik Cina yang memperoleh dukungan kuat dari birokrasi pemerintahan Orde Baru.

Page 20: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 20

KESIMPULAN

Banyak kalangan ilmuwan soaial percaya bahwa pembangunan dan peningkatan pengetahuan akan melunturkan kesadaran etnik seseorang, namun kenyataan menunjukkan bahwa banyak timbul gerakan-gerakan sosio-politik dan sosio-ekonomi yang dilatarbelakangi dengan meningkatnya kesadaran etnik. Hal ini berlangsung tidak terbatas pada belahan bumi selatan yang sering dikategorikan sebagai negara-negara berkembang, melainkan juga melanda di belahan bumi utara yang sudah mapan industrialisasinya.

Kesadaran etnik yang bersumber pada identitas dasar suatu kelompok etnik merupakan suatu fitrah (given) manusia. Identitas dasar ini merupakan sumber terbentuknya ikatan primordial. Ikatan primordial dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk aktivitas hidup manusia. Salah satunya adalah dalam kegiatan bisnis, munculnya jaringan-jaringan bisnis yang didasarkan pada ikatan-ikatan primordial, seperti jaringan bisnis orang-orang Cina perantauan (overset Chinese), orang-orang Korea dan orang-orang Jepang membuktikan hal itu.

Orang Minangkabau di Sukaramai juga memiliki jaringan-jaringan bisnis, walaupun amat sederhana. Jaringan bisnis tersebut dilandaskan pada hubungan orang tua dengan anak atau hubungan dalam sistem kekerabatan, hubungan sesama orang sekampung halaman, atau sesama perantau dari Minangkabau. Jaringan bisnis ini memiliki hirarki komando didasarkan atas senioritas, senioritas yang didasarkan pada usia.

Jaringan bisnis orang Minangkabau tidak begitu kuat dibanding dengan jaringan bisnis orang Cina, sehingga monopoli orang Minangkabau dalam kegiatan perdagangan di Sukaramai pada tahun-tahun 50-an dan 60-an dapat diruntuhkan. Sejalan dengan itu para penghuni Sukaramai menjadi lebiih plural, lebih multi etnik daripada sebelumnya dan banyak kegiatan perdagangan dimasuki oleh kelompok etnik lain, seperti Mandailing, batak, Karo, Batak Toba, dan terutama kelompok etnik Cina.

Page 21: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 21

DAFTAR PUSTAKA Abner Cohen

1971 Custom and Politics in Urban Africa : A Study of Hausa Migrants in

Youruba Towns, barkeley : University of California Press.

Ahmad Ibrahim

1984 Minangkabau Minangrantau, Medan : Penerbit Madju.

Altaf Gauhar, (ed)

1989 Ethnicity in World Politics. Third World Quaterly Vol. 11 no. 4. England

: New Zealand House.

Clifford Geertz.

1972 The Interpretation of Cultures. New York : Basic Books, Inc.,

Publishers.

1973 ………………;

1992 Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Gary Hamilton.

1996 Menguak Jaringan Bisnis Cina di Asia Timur dan Tenggara

(terjemahan). Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Harold R. Issacs,

1993 Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan) jakarta : Yayasan

Obor Indonesia.

Heri Kusmanto,

1994 Pecinan di San Francisco, Kaitan Kesadaran Etnik dengan Timbul

Tenggelamnya Pecinan di Amerika Serikat. Jakarta : Thesis MA. Kajian

Wilayah Amerika Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Idrus Kahimy Dt. Rajo Penghulu,

1990 Rangkaian Mustika Adat basandi Syarak di Minangkabau. Bandung : PT

Remaja Rosdakarya.

Kamanto Sunarto,

1993 Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia.

Milton M. Gordon.

1974 Assimilation in American Life. New York : Oceana Publications, Inc.

Page 22: ... ORANG MINANGKABAU DI SUKARAMAI MEDAN …didalam ekonomi politik dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan fakta pluralisme dan ... pembangunan ekonomi yang membangkitkan

2002 digitized by USU digital library 22

Mochtar Naim

1984 Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Muhammad Radjab,

1969 Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang : Centre for

Minangkabau Studies Press.

Usman Pelly,

1984 Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan

Mandailing. Jakarta : LP3ES.