BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Infeksi Nosokomial 1.1 Pengertian Infeksi dan Infeksi Nosokomial Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh invasi patogen atau mikroorganisme yang berkembang biak dan bertahan hidup dengan cara menyebar dari satu orang ke orang lain sehingga menimbulkan sakit pada seseorang. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada saat pasien menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada umumnya terjadi pada pasien yang dirawat di ruang seperti ruang perawatan anak, perawatan penyakit dalam, perawatan intensif, dan perawatan isolasi (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit. Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pasien tersebut selama dirawat maupun sesudah dirawat yang dapat terjadi karena intervensi yang dilakukan di rumah sakit seperti pemasangan infus, kateter, dan tindakan-tindakan operatif lainnya. Universitas Sumatera Utara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Infeksi Nosokomial
1.1 Pengertian Infeksi dan Infeksi Nosokomial
Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang
mampu menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan uraian di atas
peneliti menyimpulkan bahwa infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh
invasi patogen atau mikroorganisme yang berkembang biak dan bertahan hidup
dengan cara menyebar dari satu orang ke orang lain sehingga menimbulkan sakit
pada seseorang.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit
pada saat pasien menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada
umumnya terjadi pada pasien yang dirawat di ruang seperti ruang perawatan anak,
perawatan penyakit dalam, perawatan intensif, dan perawatan isolasi (Darmadi,
2008). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat
dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien
tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi
nosokomial adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan pasien tersebut selama dirawat maupun sesudah
dirawat yang dapat terjadi karena intervensi yang dilakukan di rumah sakit seperti
pemasangan infus, kateter, dan tindakan-tindakan operatif lainnya.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Cara Penularan Infeksi Nosokomial
Mekanisme transmisi patogen ke pejamu yang rentan melalui tiga cara
(WHO, 2002) yaitu:
1.2.1 Transmisi dari flora normal pasien (endogenous infection)
Bakteri dapat hidup dan berkembang biak pada kondisi flora normal yang
dapat menyebabkan infeksi. Infeksi ini dapat terjadi bila sebagian dari flora
normal pasien berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan, misalnya:
infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter.
1.2.2 Transmisi dari flora pasien atau tenaga kesehatan (exogenous cross-
infection)
Infeksi didapat dari mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang
bukan merupakan flora normal seperti melalui kontak langsung antara
pasien (tangan, tetesan air liur, atau cairan tubuh yang lain), melalui udara
(tetesan atau kontaminasi dari debu yang berasal dari pasien lain), melalui
petugas kesehatan yang telah terkontaminasi dari pasien lain (tangan,
pakaian, hidung dan tenggorokkan), melalui media perantara meliputi
peralatan, tangan tenaga kesehatan, pengunjung atau dari sumber
lingkungan yang lain (air dan makanan).
1.2.3 Transmisi dari flora lingkungan layanan kesehatan (endemic or epidemic
exogenous environmental infection)
Beberapa jenis organisme yang dapat bertahan hidup di lingkungan rumah
sakit yaitu: dalam air, tempat yang lembab, dan kadang-kadang di produk
yang steril atau desinfektan (pseudomonas, acinetobacter, mycobacterium);
dalam barang-barang seperti linen, perlengkapan dan persediaan yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan dalam perawatan atau perlengkapan rumah tangga; dalam
makanan; dalam inti debu halus dan tetesan yang dihasilkan pada saat
berbicara atau batuk.
1.3 Indikator Infeksi Nosokomial
Indikator adalah salah satu cara untuk menilai penampilan dari suatu
kegiatan dengan menggunakan instrumen. Indikator merupakan variabel yang
digunakan untuk menilai suatu perubahan (Depkes, 2001).
WHO dalam Depkes (2001) menyatakan bahwa, indikator adalah variabel
untuk mengukur perubahan. Indikator sering digunakan terutama bila perubahan
tersebut tidak dapat diukur. Indikator pengendalian infeksi nosokomial menurut
Depkes tahun 2001 meliputi Angka Pasien Dekubitus, Angka Kejadian dengan
jarum infus, dan Angka Kejadian Infeksi Luka Operasi. Ketiga indicator ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1 Angka Pasien dengan Dekubitus (Dekubitus Ulcer Rate)
Luka dekubitus adalah luka pada kulit dan/atau jaringan yang dibawahnya
yang terjadi di rumah sakit karena tekanan yang terus menerus akibat tirah baring.
Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau dimiringkan
dalam waktu 2 x 24 jam. Angka pasien dengan dekubitus adalah banyaknya
penderita yang menderita Dekubitus dan bukan banyaknya kejadian Dekubitus.
Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka pasien dengan dekubitus (APD)
adalah:
Banyaknya pasien dengan dekubitus/bulan x 100% Total pasien tirah baring total bulan itu
Universitas Sumatera Utara
1.3.2 Angka Infeksi karena Jarum Infus (Intravenous Cabule Infection Rate)
Infeksi karena jarum infus adalah keadaan yang terjadi disekitar tusukan
atau bekas tusukan jarum infus di Rumah Sakit, dan timbul setelah 3 x 24 jam
dirawat di rumah sakit kecuali infeksi kulit karena sebab-sebab lain yang tidak
didahului oleh pemberian infus atau suntikan lain. Infeksi ini ditandai dengan rasa
panas, pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, dan rubor) dengan atau tanpa
nanah (pus) pada daerah bekas tusukan jarum infus dalam waktu 3 x 24 jam atau
kurang dari waktu tersebut bila infus terpasang. Rumus yang digunakan untuk
mengukur Angka kejadian infeksi karena jarum infus (AIKJ) adalah:
Banyaknya kejadian infeksi kulit karena jarum infus/bulan x 100% Total kejadian pemasangan infus pada bulan tersebut
1.3.3 Angka Kejadian Luka Operasi (Wound Infection Rate)
Adanya infeksi nosokomial pada semua kategori luka sayatan operasi
bersih yang dilaksanakan di rumah sakit ditandai oleh rasa panas (kalor),
kemerahan (color), pengerasan (tumor), dan keluarnya nanah (pus) dalam waktu
lebih dari 3 x 24 jam kecuali infeksi nosokomial yang terjadi bukan pada tempat
luka. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka infeksi luka operasi (AILO)
adalah:
Banyaknya infeksi luka operasi bersih/bulan x 100% Total operasi bersih bulan tersebut
Universitas Sumatera Utara
1.4 Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pencegahan infeksi nosokomial yang dikemukakan oleh WHO (2002)
menyatakan bahwa infeksi nosokomial membutuhkan keterpaduan, pemantauan,
dan program dari semua tenaga kesehatan profesional yang meliputi: dokter,
perawat, terapis, apoteker, dan lain-lain. Pencegahan infeksi nosokomial yang
menjadi kunci utama yaitu: (1) membatasi transmisi organisme antara pasien
dalam melakukan perawatan pasien secara langsung melalui cuci tangan,
menggunakan sarung tangan, teknik aseptik yang tepat, strategi isolasi, sterilisasi
dan teknik desinfektan; (2) mengendalikan lingkungan yang berisiko untuk
infeksi; (3) melindungi pasien dengan penggunaan profilaksis antimikroba yang
tepat, nutrisi, dan vaksinasi; (4) membatasi risiko terjadinya infeksi endogenous
dengan meminimalkan prosedur invasif, dan mempromosikan penggunaan
antimikroba yang optimal; (5) surveilans infeksi, mengidentifikassi dan
mengendalikan wabah; (6) pencegahan infeksi pada tenaga kesehatan; (7)
meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara terus menerus dengan
memberikan pendidikan.
1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial yang
dikemukakan Darmadi (2008) adalah:
1.5.1 Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses
terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter,
perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan dan
material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan
Universitas Sumatera Utara
lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan /bangsal
perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan lingkungan
eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan
sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan yang disajikan
setiap saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan penderita lain dalam
satu kamar/ruangan/bangsal perawatan dapat merupakan sumber penularan),
pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber
penularan).
1.5.2 Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur,
jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit
lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.
1.5.3 Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay),
menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam
satu ruangan.
1.5.4 Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan
merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber
penularan (reservoir) dengan penderita.
1.6 Faktor Keperawatan yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi
Nosokomial
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan
dengan terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan perawat bertanggung
jawab menyediakan lingkungan yang aman bagi klien terutama dalam
pengendalian infeksi dalam proses keperawatan. Perawat juga bertindak sebagai
Universitas Sumatera Utara
pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial (Potter & Perry, 2005).
Jumlah tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien,
jenis dan jumlah prosedur invasif, terapi yang diterima, lama perawatan, dan
standar asuhan keperawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar
asuhan keperawatan yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah
klasifikasi dan jumlah ketenagaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan
dan mempraktikkan teknik aseptik, peralatan dan obat yang sesuai, siap pakai dan
cukup, ruang perawatan yang secara fisik dan hygiene yang memadai, aspek
beban kerja dalam pembagian jumlah penderita dengan tenaga keperawatan, dan
jumlah pasien yang dirawat (Darmadi, 2008).
1.7 Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial
Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan
konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan
menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan
biaya (Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk
pengendalian infeksi nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).
WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection
menyatakan bahwa kepala ruangan bertanggung jawab untuk (1) berpartisipasi
dalam Komite Pengendalian Infeksi; (2) mempromosikan pengembangan dan
peningkatan teknik keperawatan yang berkaitan dengan pengendalian infeksi
nosokomial, dan pengawasan teknik aseptik yang dilakukan oleh perawat dengan
persetujuan Komite Pengendalian Infeksi; (3) mengembangkan pelatihan
Universitas Sumatera Utara
program bagi setiap perawat; (4) mengawasi pelaksanaan teknik pencegahan
infeksi di daerah khusus seperti ruang operasi, ruang perawatan intensif, ruang
persalinan, dan ruang bayi baru lahir; (5) pemantauan kepatuhan perawat terhadap
kebijakan yang dibuat oleh kepala ruangan. Peran perawat selain yang diatas
adalah bertanggung jawab atas lingkungan yaitu: (1) menjaga kebersihan rumah
sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan;
(2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi, (3)
melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah yang dihadapi terutama jika
ditemui adanya gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; (4)
melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular,
ketika layanan kesehatan tidak tersedia; (5) membatasi paparan pasien terhadap
infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan
yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; (6) mempertahankan
suplai peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan yang aman dan
memadai di ruangan.
Perawat yang bertanggung jawab dalam pengendalian infeksi adalah
perawat yang menjadi anggota dari tim pengendalian infeksi yang bertanggung
jawab untuk (1) mengidentifikasi infeksi nosokomial; (2) melakukan penyelidikan
terhadap jenis infeksi dan organisme yang menginfeksi; (3) berpartisipasi dalam
pelatihan; (4) surveilans infeksi di rumah sakit; (5) berpartisipasi dalam
penyelidikkan wabah; (6) memastikan kepatuhan perawat terhadap peraturan
pengendalian infeksi lokal maupun nasional; (7) menyediakan layanan konsultasi
untuk petugas kesehatan dan program rumah sakit yang sesuai dalam hal-hal
yang berhubungan dengan penularan infeksi.
Universitas Sumatera Utara
2. Kepatuhan
2.1 Pengertian Kepatuhan dan Ketidakpatuhan
Kelman (1958 dalam Sarwono 1997) menyatakan bahwa, kepatuhan
adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan, perintah, prosedur, dan
displin. Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai seorang professional
terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaati
(Setiadi, 2007).
Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini akan bertahan
bila ada pengawasan. Jika pengawasan hilang atau mengendur maka akan timbul
perilaku ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini akan optimal jika perawat itu
sendiri mengganggap perilaku ini bernilai positif yang akan diintegrasikan melalui
tindakan asuhan keperawatan. Perilaku keperawatan ini akan dapat dicapai jika
manajer keperawatan merupakan orang yang dapat dipercaya dan dapat
memberikan motivasi (Sarwono, 1997).
Ketidakpatuhan adalah perilaku yang dapat menimbulkan konflik yang
dapat menghasilkan perasaan bersalah pada seseorang dimana perilaku ditujukan.
Perilaku ini dapat berbentuk verbal dan nonverbal. Perilaku ini terbagi menjadi
tiga jenis menurut Murphy dalam Swansburg (2000) yaitu: (1) Competitive
Bomber yang mudah menolak untuk bekerja. Orang ini sering menggerutu dengan
bergumam dan dengan wajah yang cemberut dapat pergi meninggalkan manajer
perawat atau tidak masuk kerja. (2) Martyred Accomodator yang menggunakan
kepatuhan palsu. Orang tipe ini dapat bekerja sama tetapi juga sambil melakukan
ejekan, hinaan, mengeluh dan mengkritik untuk mendapatkan dukungan yang
Universitas Sumatera Utara
lainnya. (3) Advoider yang bekerja dengan menghindarkan kesepakatan,
berpartisipasi dan tidak berespon terhadap manajer perawat.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Setiadi, 2007) terbagi atas
dua yaitu:
2.2.1 Faktor Internal
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting membentuk
tindakan atau perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).
Proses adopsi perilaku, menurut Notoatmojo (2007) yang mengutip
pendapat (Rogers, 1974), sebelum seseorang mengadopsi perilaku, di dalam diri
orang tersebut terjadi suatu proses yang berurutan. Tingkatan pengetahuan
mencakup enam pengetahuan, yaitu:
1. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Tahu artinya
dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu, adalah dapat menyebutkan,
menguraikan, mendefenisikan dan menyatakan.
2. Memahami, artinya kemampuan untuk menjelaskan dan
menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang
Universitas Sumatera Utara
yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan
contoh, dan meyimpulkan.
3. Penerapan, yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-
hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.
4. Analisis artinya adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam
bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek
tersebut dan masih terkait satu sama lain.
5. Sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu
objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun
sendiri.
b. Sikap
Sikap merupakan penentu dari perilaku karena keduanya berhubungan
dengan persepsi, kepribadiaan, perasaan, dan motivasi. Sikap merupakan keadaan
mental yang dipelajari dan diorganisasikan melalui pengalaman, menghasilkan
pengaruh spesifik pada respon seseorang terhadap orang lain, objek, situasi yang
berhubungan. Sikap menentukan pandangan awal seseorang terhadap pekerjaan
dan tingkat kesesuaian antara individu dan organisasi (Ivancevich et al, 2007).
Sikap mempunyai tingkat berdasarkan intensitas yang menurut
Notoatmodjo (2007) terdiri dari menerima, menanggapi, menghargai, bertanggung
Universitas Sumatera Utara
jawab. Sikap juga dapat dibentuk melalui pengalaman pribadi, pengaruh orang
lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga
pendidikan dan agama, dan faktor emosional.
c. Kemampuan
Kemampun adalah bakat seseorang untuk melakukan tugas fisik atau
mental. Kemampuan seseorang pada umumnya stabil. Kemampuan merupakan
faktor yang dapat membedakan karyawan yang berkinerja tinggi dan yang
berkinerja rendah. Kemampuan individu mempengaruhi karateristik pekerjaan,
perilaku, tanggung jawab, pendidikan dan memiliki hubungan secara nyata
terhadap kinerja pekerjaan (Ivancevich et al, 2007).
Manajer harus berusaha menyesuaikan kemampuan dan keterampilan
seseorang dengan kebutuhan pekerjaan. Proses penyesuaian ini penting karena
tidak ada kepemimpinan, motivasi, atau sumber daya organisasi yang dapat
mengatasi kekurangan kemampuan dan keterampilan meskipun beberapa
keterampilan dapat diperbaiki melalui latihan atau pelatihan (Ivancevich et al,
2007).
d. Motivasi
Motivasi adalah konsep yang menggambarkan kondisi ekstrinsik yang
merangsang perilaku tertentu, dan respon instrinsik yang menampakkan perilaku
manusia. Respon instrinsik ditopang oleh sumber energi, yang disebut motif yang
dapat diartikan sebagai kebutuhan, keinginan, atau dorongan. Motivasi diukur
dengan perilaku yang dapat diobservasi dan dicatat (Swansburg, 2000). Motivasi
Universitas Sumatera Utara
dapat mempengaruhi seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang
menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Maslow menyatakan bahwa motivasi didasarkan pada teori holistik
dinamis yang berdasarkan tingkat kebutuhan manusia. Individu akan lebih puas
bila kebutuhan fisiologis telah terpenuhi dan apabila kebutuhan tersebut tercapai
maka individu tersebut tidak perlu dimotivasi. Tingkat kebutuhan yang paling
mempengaruhi motivasi adalah tingkat kebutuhan aktualisasi diri. Aktualisasi diri
merupakan upaya individu tersebut untuk menjadi seseorang yang seharussnya
(Ivancevich et al, 2007).
2.2.2 Faktor Eksternal
a. Karakteristik Organisasi
Keadaan dari organisasi dan struktur organisasi ditentukan oleh filosofi
dari manajer organisasi tersebut. Keadaan organisasi dan struktur organisasi akan
memotivasi atau gagal memotivasi perawat profesional untuk berpartisipasi pada
tingkatan yang konsisten sesuai dengan tujuan (Swansburg, 2000). Ting dan Yuan
(1997 dalam Subyantoro, 2009) berpendapat bahwa karakteristik organisasi
meliputi komitmen organisasi dan hubungan antara teman sekerja dan supervisor
yang akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan perilaku individu.
b. Karakteristik Kelompok
Rusmana (2008) berpendapat bahwa kelompok adalah unit komunitas
yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki suatu kesatuan tujuan dan
pemikiran serta integritas antar anggota yang kuat. Karakteristik kelompok adalah
Universitas Sumatera Utara
(1) adanya interaksi; (2) adanya struktur; (3) kebersamaan; (4) adanya tujuan; (5)
ada suasana kelompok; (6) dan adanya dinamika interdependensi.
Anggota kelompok melaksanakan peran tugas, peran pembentukan,
pemeliharaan kelompok, dan peran individu. Anggota melaksanakan hal ini melalui
hubungan interpersonal. Tekanan dari kelompok sangat mempengaruhi hubungan
interpersonal dan tingkat kepatuhan individu karena individu terpaksa mengalah
dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya individu tersebut
tidak menyetujuinya (Rusmana, 2008).
c. Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan akan memberikan motivasi bagi karyawan untuk
lebih bekerja dengan giat dan untuk menumbuhkan semangat kerja yang lebih
produktif karena karakteristik pekerjaan adalah proses membuat pekerjaan akan
lebih berarti, menarik dan menantang sehingga dapat mencegah seseorang dari
kebosanan dan aktivitas pekerjaan yang monoton sehingga pekerjaan terlihat lebih
bervariasi. Gibson et al (Rahayu, 2006) karakteristik pekerjaan adalah sifat yang
berbeda antara jenis pekerjaan yang satu dengan yang lainnya yang bersifat
khusus dan merupakan inti pekerjaan yang berisikan sifat-sifat tugas yang ada di
dalam semua pekerjaan serta dirasakan oleh para pekerja sehingga mempengaruhi
sikap atau perilaku terhadap pekerjaannya.
d. Karakteristik Lingkungan
Apabila perawat harus bekerja dalam lingkungan yang terbatas dan
berinteraksi secara konstan dengan staf lain, pengunjung, dan tenaga kesehatan
Universitas Sumatera Utara
lain. Kondisi seperti ini yang dapat menurunkan motivasi perawat terhadap
pekerjaannya, dapat menyebabkan stress, dan menimbulkan kepenatan
(Swansburg, 2000).
3. Fungsi Manajemen Keperawatan
3.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Keperawatan
Manajemen merupakan suatu pendekatan yang dinamis dan proaktif dalam
menjalankan suatu kegiatan di organisasi. Manajemen mencakup kegiatan POAC
(planning, organizing, actuating, controlling) terhadap staf, sarana, dan prasarana
dalam mencapai tujuan organisasi (Grant dan Massey, 1999 dikutip dari
Nursalam, 2009).
Muninjaya (2004) menyatakan bahwa manajemen adalah ilmu atau seni
tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan rasional
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Swansburg (2000) menyatakan bahwa, manajemen keperawatan
berhubungan dengan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pengaturan staf (staffing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian
(controlling) aktivitas-aktivitas upaya keperawatan atau divisi departemen
keperawatan dan dari sub unit departemen.
3.2 Fungsi Manajemen Keperawatan
Henry Fayol (1949 dalam Robins & Coulter, 2007) merupakan salah satu
ahli yang pertama kalinya mengusulkan bahwa semua manajer melaksanakan
empat fungsi manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian
Universitas Sumatera Utara
(organizing), mengarahkan (coordinating or directing), dan pengendalian
(controlling). Henry Fayol juga menyakini bahwa fungsi-fungsi ini mencerminkan
inti dari proses manajemen secara akurat.
Swansburg (2000) menyatakan bahwa fungsi manajemen terdiri atas lima
fungsi yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengaturan
staf (staffing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian (controlling). Peneliti
akan membahas dan menjelaskan fungsi manajemen menurut Swansburg (2000)
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan merupakan fungsi dasar dari manajemen. Perencanaan dalam
manajemen keperawatan adalah proses mental dimana semua manajer perawat
menggunakan data yang valid dan dapat dipercaya untuk mengembangkan
objektif dan menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan dan cetak biru yang
digunakan dalam mencapai objektif. Tujuan utama dari perencanaan adalah
membuat kemungkinan yang paling baik dalam penggunaan personel, bahan, dan
alat (Swansburg, 2000).
Huber (2006) menyatakan bahwa perencanaan merupakan fungsi
manajemen yang digunakan untuk memilih prioritas, hasil, dan metode yang
digunakan untuk sebuah sistem dan kemudian membimbing sistem untuk
mengikuti arahan tersebut.
Robins dan Coulter (2007) menyatakan bahwa fungsi perencanaan
mencakup proses merumuskan sasaran, membangun strategi untuk mencapai
sasaran yang telah disepakati, dan mengembangkan perencanaan tersebut untuk
memadukan dan mengkoordinasikan sejumlah kegiatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengorganisasian (Organizing)
Fungsi manajemen keperawatan dalam organisasi adalah mengembangkan
seseorang dan merancang organisasi yang paling sederhana untuk menyelesaikan
pekerjaan. Pengorganisasian meliputi proses memutuskan tingkat organisasi yang
diperlukan untuk mencapai objektif divisi keperawatan, departemen atau
pelayanan, dan unit (Swansburg, 2000).
Huber (2006) menyatakan bahwa pengorganisasian adalah fungsi
manajemen yang berhubungan dengan mengalokasi dan mengatur sumber daya
untuk menyelesaikan tujuan yang dicapai. Peran manajer dalam fungsi
pengorganisasian adalah menentukan, tugas yang akan dikerjakan, individu yang
akan mengerjakan, pengelompokkan tugas, struktur pertanggungjawaban, dan
proses pengambilan keputusan. Manajer bertanggung jawab juga dalam
merancang pekerjaan staf yang digunakan untuk mencapai sasaran organisasi
(Robins & Coulter, 2007).
3. Pengaturan staf (Staffing)
Pengaturan staf dan penjadwalan adalah komponen utama dalam
manajemen keperawatan. Pengaturan staf keperawatan merupakan proses yang
teratur, sistematis, rasional diterapkan untuk menentukan jumlah dan jenis
personel keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan keperawatan
pada standar yang ditetapkan sebelumnya pada kelompok pasien dalam situasi
tertentu (Swansburg, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan staf memerlukan banyak perencanaan dari manajer.
Perencanaan pengaturan staf dipengaruhi oleh misi dan tujuan institusi, dan
dipengaruhi oleh kebijakan personel (Swansburg, 2000).
4. Kepemimpinan (Leading)
Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kelompok untuk
menentukan dan mencapai tujuan. Kepemimpinan difokuskan kepada gaya
kepemimpinan situasi kemungkinan dan faktor-faktor seperti manusia, pekerjaan,
situasi, organisasi, dan faktor-faktor lingkungan. Manajer perawat dalam fungsi
ini berperan untuk merangsang motivasi dengan mempraktikkan fungsi
kepemimpinan karena perilaku motivasi merupakan promosi, autonomi, membuat
keputusan, dan manajemen partisipasi (Swansburg, 2000).
Fungsi kepemimpinan menurut Huber (2006) adalah fungsi manajemen
yang mengarahkan dan kemudian mempengaruhi individu tersebut untuk
mengikuti arahan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah disepakati dan yang
telah ditentukan.
Fungsi kepemimpinan menurut Fayol dalam Robins & Coulter (2007)
adalah fungsi yang memotivasi stafnya ketika stafnya bekerja dan mencari
berbagai cara untuk menyelesaikan masalah perilaku stafnya.
5. Pengendalian atau Pengevaluasian (Controlling)
Pengendalian atau pengevaluasian adalah suatu fungsi yang terus menerus
dari manajemen keperawatan yang terjadi selama perencanaan, pengorganisasian,
Universitas Sumatera Utara
dan pengerahan aktivitas. Melalui prsoses ini standar dibuat dan kemudian