26 BAB III PERNIKAHAN DAN MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM (FIQIH MUNAKAHAT) A. DEFINISI PERNIKAHAN, MACAM-MACAM PERNIKAHAN, DASAR ANJURAN PERNIKAHAN DAN HUKUM PERNIKAHAN. 1. Pengertian Pernikahan Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Allah SWT. telah berfirman: ْ ى الِ ا فْ وُ طِ سْ قُ تّ َ اْ مُ تْ فِ خْ نِ اَ وَ تَ يْ مُ فتِ خْ نِ اَ فَ اعَ بُ رَ وَ ثُ ثَ نى وْ ثَ مِ آءَ سِ النَ نِ مْ مُ كَ لَ ابَ اطَ ا مْ وُ حِ كْ انَ ى فَ امْ مُ كُ انَ مْ يَ اْ تَ كَ لَ امَ مْ وَ اً ةَ دِ احَ وَ ا فْ وُ لِ دْ عَ تّ َ ا اْ وُ لْ وُ عَ تّ َ نى اْ دَ اَ كِ لَ ذ1 Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidaka akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” Kata “nikah” barasal dari Bahasa Arab احَ كِ نyang merupakan masdar atau asal dari kata kerja نكح. Sinonimnya تزوجkemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkawinan. Kata “nikah” telah dibukukan menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, secara sosial, kata pernikahan dipergunakan dalam berbagai upacara perkawinan. Di samping itu, kata “pernikahan” tampak 1 QS. An-Nisa’: 3
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
26
BAB III
PERNIKAHAN DAN MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM
KAJIAN HUKUM ISLAM (FIQIH MUNAKAHAT)
A. DEFINISI PERNIKAHAN, MACAM-MACAM PERNIKAHAN, DASAR
ANJURAN PERNIKAHAN DAN HUKUM PERNIKAHAN.
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bukan mahram. Allah SWT. telah berfirman:
ن الن سآء مثنى وثالث ورباع فانخفتم يت وان خفتم اال تقسطوا فى ال امى فانكحوا ماطاب لكم م
ذلك ادنى اال تعولوااال تعدلوا فواحدة او ماملكت ايمانكم 1
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian, jika kamu takut
tidaka akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”
Kata “nikah” barasal dari Bahasa Arab نكاح yang merupakan masdar atau
asal dari kata kerja نكح. Sinonimnya تزوج kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan perkawinan. Kata “nikah” telah dibukukan menjadi
bahasa Indonesia. Oleh karena itu, secara sosial, kata pernikahan dipergunakan
dalam berbagai upacara perkawinan. Di samping itu, kata “pernikahan” tampak
1 QS. An-Nisa’: 3
27
lebih etis dan agamis dibandingkan dengan kata “ perwakinan”. Kata
“perkawinan” lebih cocok untuk makhluk selain manusia.2
Menurut Bahasa, nikah adalah “menyatukan” dan “mengumpulkan”.
Dikatakan, “Aku menyatukan pepohonan ketika pohon-pohon itu condong, lalu
masing-masing pohon tersebut bersatu.
Arti nikah menurut syar’i adalah sebuah akad (perjanjian) yang
menyebabkan bolehnya setiap suami-istri mengecap kenikmatan secara sah.
Dinamakan demikian karena nikah dapat menyatukan dua orang menjadi satu
pasangan.
Bangsa Arab menggunakan lafal nikah dengan makna akad (perjanjian
pernikahan), wath’i (persetubuhan), dan istimta’ (bersenang-senang). Akan tetapi,
nikah secara denotatif digunakan untuk akad, sedangkan untuk wath’i
(persetubuhan) hanya digunakan secara konotatif.3
Pernikahan menurut Undang-Undang perkawinan No. 1/1974, pasal 1
adalah: ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.4
Secara umum, penggunaan kata nikah dalam Al-Qur’an mengacu pada
akad pernikahan (akad), bukan pada persetubuhan (wath’i). Di antaranya adalah
firman Allah Swt:
2 Beni Ahmad Saebani, M.Si., Fiqh Munakahat 1, ( Bandung, Pustaka setia, 2001), hlm