KAJIAN SYARAH HADIS (STUDI TEKS KITAB MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH BULÛGH AL-MARÂM MIN ADILLATI AL-AHKÂM) Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag) Oleh Hani Hilyati Ubaidah NIM: 21150340000002 PROGRAM MAGISTER ILMU AL QURAN DAN TAFSIR KONSENTRASI HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2019 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KAJIAN SYARAH HADIS (STUDI TEKS KITAB MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH
BULÛGH AL-MARÂM MIN ADILLATI AL-AHKÂM)
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh
Hani Hilyati Ubaidah
NIM: 21150340000002
PROGRAM MAGISTER ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
KONSENTRASI HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/ 2019 M
Pembimbing II/Penguji IV
Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag
Tanggal:
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS TERBUKA
Tesis berjudul KAJIAN SYARAH HADIS (STUDI TEKS KITAB
MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH BULÛGH AL-MARÂM MIN ADILLATI AL-
AHKÂM) telah diujikan dan dinyatakan LULUS dalam Sidang Tesis Terbuka
Program Magister Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 31 Juli 2019, dan tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan
masukan dari Tim Penguji.
Anggota,
Ketua Merangkap Anggota,
Dr. Bustamin, SE, M.Si
Tanggal:
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag
Tanggal:
Penguji II,
Dr. Bustamin, SE, M.Si
Tanggal:
Penguji I,
Dr. Sandi Santosa, M.Si
Tanggal:
Pembimbing I/Penguji III
Dr. Atiyatul Ulya, MA
Tanggal:
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmânirrahîm, puji dan syukur kehadirat Allah atas segala kasih
sayang, petunjuk, dan lindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص,
keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti ajarannya sampai
akhir zaman. Tesis penulis yang berjudul “Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbâh
Al-Ẕalâm Syarh Bulûgh Al-Marâm Min Adillati Al-Ahkâm)” merupakan hasil penelitian
penulis untuk menyelesaikan studi jenjang pendidikan Magister (S2) Ilmu Hadis di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat terealisasi tanpa dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak
yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dalam
menyelesaikan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis haturkan kepada:
1. Prof. Dr. Amany Lubis, M.A. sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
beserta seluruh jajaran.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan izin dan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Kusmana, M.A., Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, dan Dr. Media Zainul Bahri, M.A.
sebagai Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dr. Bustamin, SE, M.Si sebagai Ketua Program Magister (S2) Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bapak Dr. Ahmad Fudhaili, MA sebagai
Sekretaris Program Magister (S2) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta merangkap pembimbing II, yang memberikan arahan awal sebelum seminar
proposal tesis dan arahan akademik lainnya.
5. Dr. Atiyatul Ulya, M.A. selaku pembimbing I yang telah mengarahkan dan
membimbing penulis selama penyusunan tesis ini.
iv
6. Seluruh dosen dan staf administrasi serta petugas perpustakaan pada Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, petugas Pusat Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, petugas Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang secara langsung dan tidak langsung telah memberi
bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis.
7. Abi Drs. H. Abu Ubaidah dan Umi Dra Hj. Maswah penulis yang telah memberikan
doa dan dukungan moril maupun materil sehingga penulis tetap bisa melanjutkan
pendidikan sejauh ini.
8. Suami tercinta Nur Solikin, SH dan anak-anak tersayang ananda Muhammad Amjad
Hasheel beserta ananda yang masih di dalam perut, dan dedek Muhammad Sahal
Arrazy yang senantiasa memberikan doa, semangat, dorongan setulus hati dan
bantuannya dalam menyelesaikan studi, semoga ilmu yang penulis dapatkan
bermanfaat bagi keluarga.
9. Seluruh rekan-rekan penulis yang menemani dan mendukung serta melalui
perjuangan bersama-sama sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan.
Harapan penyusun, semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya bidang Ilmu Hadis baik di Perguruan Tinggi maupun lembaga
keilmuan lainnya serta bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
Ciputat, Juli 2019
Penulis,
Hani Hilyati Ubaidah
ABSTRAK
Hani Hilyati Ubaidah (21150340000002)
Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-
Marâm min Adillati al-Aẖkâm)
Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm
merupakan salah satu dari banyak kitab syarah hadis Bulûgh al-Marâm. Kitab ini
merupakan karya ulama Nusantara yang belum banyak mendapatkan perhatian dari
para pengkaji kitab hadis di Nusantara. Padahal, ini merupakan magnum opus dari
Kiyai Muhajirin yang tersaji dalam empat jilid kitab dan juga berbahasa Arab.
Tesis ini berupaya untuk memperkenalkan kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ
Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm secara lebih luas dengan memaparkan
bentuk metode dari kitab ini, juga tehnik interpretasi dan corak yang digunakan
kiyai Muhajirin dalam melakukan pensyarahan melalui sampel yang diambil dari
masing-masing jilid. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)
yang termasuk dalam penelitian kualitatif. Sumber utama penelitian ini adalah kitab
Misbâh al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm karya Kiyai
Muhajirin.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kiyai Muhajirin
menggunakan metode muqârin dalam melakukan pensyarahan dengan tehnik
interpretasi intertekstual dan sarat dengan corak fikih-ushul fiqh juga corak
linguistik.
Kata Kunci: Syarah Hadis, Kiyai Muhajirin, kitab Misbâh al-Ẕalâm
امللخص
(21150340000002)هاين حلية عبيدة مالحظات شرح احلديث
)دراسة نصية يف كتاب مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام(
مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام هو واحد من العديد من كتب شروح حتظ ابهتمام احلديث بلوغ املرام البن حجر العسقالين. الف هذا الكتاب احد علماء نوسانتارا، ومل
كبري من ابحثي احلديث علي هذا التأليف. يف الواقع، هذا هو مغنوم أوفوس كياهي حممد مهاجرين امسار بكاس الذي مت تقدميه يف اربعة جملدات وكذالك ابللغة العربية.
حتاول هذه األطروحة لتقدمي كتاب مصباح الظالم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام اكثر املناهج يف كتابة هذا الكتاب، فضال عن التفسريات لواسع مع شكل عرض األسلوب اوعلي نطاق ا
الفنية واألمناط املستخدمة لكياهي مهاجرين امسار بكاس من خالل اخذ املثال يف كل اجمللدات. هذا البحث هو حبث املكتبة املندرجة يف البحث النوعي، واملصدر الرئسي هلذا البحث هو كتاب
الم شرح بلوغ املرام من ادلة االحكام لكياهي حممد مهاجرين امسار بكاس.مصباح الظبناء علي نتائج الدراسة، وجد ان كياهي مهاجرين يستخدم طريقة املقارنة و فسره ابملنهج
اينرتتكتوال يف شرح احلديث، وحمملة أبمناط الفقهي وكذالك األمناط اللغوية.
مصباح الظالم كياهي املهاجرين ، كتابكلمات البحث: شرح احلديث،
v
DAFTAR ISI
Halaman judul
Lembar Pengesahan.......................................................................................................... i
Penyataan Keaslian Tesis ................................................................................................. ii
Kata Pengantar ................................................................................................................. iii
Daftar Isi ............................................................................................................................ v
Pedoman Transliterasi ...................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 7
1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 7 2. Pembatasan Masalah ............................................................................ 7 3. Perumusan Masalah ............................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 8 1. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8 2. Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
D. Kajian Pustaka .......................................................................................... 8 E. Metode Penelitian ..................................................................................... 10
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data Penelitian ..................................... 10 2. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 11 3. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 11 4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ...................................... 12
F. Tehnik Penulisan ....................................................................................... 13 G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 13
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN SYARAH HADIS
A. Definisi Syarah Hadis ............................................................................... 15 B. Sejarah Syarah Hadis di Timur Tengah .................................................... 17
1. Periode Pertumbuhan Syarah Hadis .................................................. 18 2. Periode Penyempurnaan Syarah Hadis .............................................. 26 3. Periode Kemunduran Syarah Hadis ................................................... 29 4. Posisi Syarah Hadis dalam Ilmu Hadis .............................................. 32
C. Metode-metode Syarah Hadis ................................................................... 33 1. Metode Tahlili .................................................................................... 34 2. Metode Ijmali ..................................................................................... 36 3. Metode Muqarin ................................................................................ 37
D. Tehnik Interpretasi Hadis .......................................................................... 39 1. Tekstual .............................................................................................. 39 2. Kontekstual ........................................................................................ 40 3. Intertekstual ....................................................................................... 43
E. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia ................................... 44
vi
1. Masa Awal Pertumbuhan ................................................................... 45 2. Masa Pertengahan .............................................................................. 47 3. Masa Kontemporer ........................................................................... 48
BAB III KIYAI MUHADJIRIN AMSAR AL-DARI DAN KITAB MISBÂH AL-ẔALÂM SYARH BULÛGH AL-MARÂM
A. Biografi Syeikh Muhadjirin Amsar al-Dari .............................................. 51 1. Latar Belakang Keluarga ................................................................... 51 2. Latar Belakang Pendidikan ................................................................ 52 3. Karya-karya ....................................................................................... 56
B. Deskripsi Kitab Misbâh al-Ẕalâm ............................................................. 58 1. Latar Belakang Penulisan Kitab ........................................................ 58 2. Sistematika Penulisan Kitab .............................................................. 59 3. Metode Penulisan Kitab ..................................................................... 64
BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE SYARAH HADIS KITAB MISBÂH AL-ẔALAM SYARH BULÛGH AL-MARÂM
A. Metode Syarah Hadis Kitab Misbâh al-Ẕalam Syarh Bulûgh al-Marâm . 67
1. Metode Syarah Muqârin .................................................................... 70
2. Tehnik Interpretasi yang Digunakan dalam Misbâẖ al-Ẕalâm .......... 76
a. Meludah di dalam Masjid ........................................................... 77
b. Hukum menjama’ qashr shalat bagi musafir .............................. 80
3. Corak Kitab Misbâẖ al-Ẕalâm ........................................................... 82
a. Corak Fikih-Ushul Fiqh .............................................................. 82
1) Hadis terkait tawasul dalam berdo’a ................................... 82
2) Hadis tentang menunaikan nazar ......................................... 85
3) Hadis makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa ...................................................................................... 87
c. Corak Linguistik ......................................................................... 91 1) Menambal barang dengan perak .......................................... 91 2) Larangan wanita haid untuk masuk ke tempat shalat .......... 92
4. Pensyarahan Hadis dengan Pendekatan Sosiologis ........................... 93 5. Nuansa Ke-Indonesia-an dalam Kitab Misbâẖ al-Ẕalâm .................. 97
a. Tradisi ‘Ngaji Kubur’ di Jakarta ................................................. 91 b. Khazanah Falak di Nusantara ..................................................... 99
B. Kontribusi dan Prinsip Kiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis ......... 102 1. Proses Penyebaran dan Kontribusi Kiyai Muhajirin dalam
Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia ...................................... 102 a. Proses penyebaran kitab Misbâh al-Ẕalâm ............................... 102 b. Kontribusi Kiyai Muhajirin dalam Perkembangan Syarah Hadis di
Indonesia ................................................................................... 104 2. Prinsip-prinsip Kiyai Muhajirin dalam Mensyarah Hadis .............. 106
vii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 108 B. Saran ......................................................................................................... 109
al-Buẖûts al-Islâmiyyah, 1969), h. 10 3 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1974), h. 15 4 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1997) , h. ix 5 Mushafa al-Siba’I, al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, terj. Dja’far Abd. Muchith
(Bandung: CV. Diponogoro, 1979), h. 71
2
masih banyak lagi ketentuan-ketentuan hukum dalam Alquran yang masih bersifat
umum dan disampaikan secara mutlak tanpa pengkhususan lebih jauh. Peran hadis
dalam menetapkan suatu ketentuan hukum sangat penting, hadis sebagai ucapan,
pengamalan, takrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw. yang memiliki ketetapan
hukum.6 Otoritas hadis menempati posisi kedua setelah Alquran dalam tataran
validitas kehujjahan isi yang dikandungnya. Upaya pelestarian keotentikan hadis
Nabi saw. telah dilakukan sejak masa sahabat dengan menggunakan metode
konfirmasi.7 Praktek konfirmasi yang dilakukan oleh para sahabat tersebut tidak
berarti bahwa mereka tidak percaya atau curiga kepada pembawa berita melainkan
semata-mata untuk meyakinkan diri mereka bahwa hadis atau berita yang berasal
dari Nabi itu benar-benar ada. Setelah Nabi saw. wafat, kegiatan konfirmatif ini
tentu tidak lagi dilakukan oleh sahabat, tetapi selanjutnya, para sahabat
menanyakan kepada orang lain yang ikut hadir mendengar dan menyaksikan hadis
itu terjadi.8
Pada masa itu, para sahabat mengajarkan hadis secara lisan, karena mereka
masih mengandalkan hapalannya. Namun demikian, bukan berarti kegiatan
pencatatan hadis tidak dilakukan. Pencatatan hadis tetap dilakukan, terbukti
banyaknya catatan para sahabat Nabi dalam bentuk saẖîfah-saẖîfah, tetapi ini masih
merupakan inisiatif dan kepentingan pribadi.9
Kegiatan penghimpunan hadis secara resmi dan massal, barulah dilakukan
di penghujung abad I H, atas inisiatif dan kebijakan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu al-
6 Mushafa al-Siba’I, al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, terj., h. 71 7 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi, Metode dan Pendekatannya (Cet. II; Yogyakarta: Idea
Press, 2011), h. 1 8 Ada beberapa alasan mengapa sebahagian sahabat Nabi saw. tidak menerima hadis secara
langsung dari Nabi antara lain: Sahabat sibuk dalam aktifitas keseharian mereka, lokasi geografis
dan tempat tinggal sahabat yang jauh dari Nabi saw., sahabat merasa malu untuk menanyakan
persoalan yang sensitif atau personal, dan pendelegasian Nabi saw kepada sahabat tertentu misalnya
istri beliau untuk menjelaskan persoalan yang bersifat khusus (berkaitan dengan persoalan
perempuan). Lihat, Siti Aisyah, Kontribusi Imam al-Bukhari dalam Validasi Hadis (Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 21-23. 9 Al-Sayyid Munâdir Ahsan al-Kailânî, Tadwîn al-Hadîts (Cet. I, Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 2004), h. 210
3
‘Azîz.10 Pada masa yang cukup panjang itu setelah wafatnya Rasullullah saw., telah
terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis yang dilakukan oleh beberapa golongan dengan
tujuan tertentu.11 Atas kenyataan inilah, ulama hadis berupaya menghimpun hadis
Nabi saw.. Selain harus melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat
hadis yang tersebar di berbagai daerah, juga mengadakan penelitian identitas
periwayat dan menyeleksi semua hadis yang mereka himpun.
Hingga saat ini, perjalanan kegiatan pembukuan hadis di dunia Islam sudah
berjalan 15 abad lamanya. Para ulama di masa yang telah lalu telah mencurahkan
upaya yang begitu besar untuk menghimpun hadis-hadis yang diwariskan oleh
Rasulullah saw. Banyak kitab-kitab hadis yang dihasilkan sebagai wujud untuk
memelihara hadis-hadis Nabi agar terpelihara otentitasnya sebagai acuan dalam
pengamalan kehidupan sehari-hari.
Beberapa kitab hadis tertua yang sampai kepada umat Islam saat ini dan
dikenal secara luas antara lain adalah kitab al-Muwaṯṯa’ karya Imam Malik, kitab
al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal, kitab al-Jâmi’ al-Musnad al-Saẖîẖ
karya Imam al-Bukhârî, kitab al-Jâmi’ al-Musnad al-Saẖîẖ karya Imam Muslim,
kitab al-Sunan karya Imam Abû Dawûd, kitab al-Sunan karya Imam al-Tirmidzî,
kitab al-Sunan karya Imam al-Nasa’î, kitab al-Sunan karya Imam ibn Majah, kitab
al-Sunan Imam al-Dârimî, kitab al-Sunan al-Saghîr karya Imam al-Baihaqî, kitab
Saẖîẖ Ibn Khuzaimah, kitab al-Mustadrak ‘alâ Saẖîẖain karya Imam al-Hakîm,
kitab Mu’jam al-Saghîr karya Imam al-Ṯabranî, kitab al-Umm karya Imam al-
Syâfi’î, dan kitab al-Kâfî karya al-Kulaini,12 sedangkan kitab hadis yang tergolong
ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’ûdiyyah, 1984), h. 244 11 Menurut M. Syuhudi Ismail, bahwa tujuan umat Islam melakukan pemalsuan hadis, di
antaranya; 1) kepentingan politik, mazhab teologi, fiqh; 2) memikat hati orang yang mendengar
kisah yang dikemukakannya; 3) menjadikan orang lebih zahid, rajin mengamalkan ibadah tertentu;
4) menerangkan keutamaan Al-Qur’an, memperoleh perhatian dan pujian dari penguasa; 5)
mendapatkan hadiah dari orang yang mendengarkannya; 6) memberikan pengobatan dengan cara
memakan makanan tertentu; dan 7) menerangkan keutamaan suku bangsa tertentu. Lihat M. Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah
(Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 95 12 Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis
(Yogyakarta: TH Press, 2009), h. xxi
4
cukup—untuk tidak mengatakan sangat—populer dikaji dalam dunia pendidikan
Islam di Indonesia, pondok pesantren, adalah kitab Bulûgh al-Marâm min Adillati
al-Aẖkâm13 yang ditulis pada abad ke-9 H. Oleh ibn Hajar al-‘Asqalânî (w. 852
H).14
Sebagian besar sistematika penyusunan kitab-kitab hadis di atas cendrung
didominasi corak fikih, karena hampir semua kitab-kitab hadis ditulis pada masa
dan sesudah periode para imam mazhab fikih seperti Imam Hanafi, Imam Malik,
Imam al-Syâfi’î, dan Imam ibn Hanbal. Kitab Bulûgh al-Marâm yang ditulis pada
abad ke-9 H, tentu juga tidak lepas dari pengaruh kecendrungan corak kitab-kitab
hadis pada masa itu atau pada masa sesudahnya, yaitu cendrung didominasi corak
fikih.
Bulûgh al-Marâm adalah kitab ringkas. Di dalamnya termuat hadis-hadis
hukum fikih yang disusun oleh Ibn Hajar al-‘Asqalânî, dan ditunjuk sebagai
tuntunan praktis dalam kehidupan umat Islam sehari-hari. Kitab ini ditulis
berdasarkan bingkai tematik, yakni bingkai hukum; mencakup dalil-dalil hukum
yang ditulis sebaik mungkin agar mudah untuk dihafal dan dapat diulang-ulang
dalam waktu yang sama.
Dilihat dari bentuknya, kitab Bulûgh al-Marâm termasuk kitab yang
berukuran kecil, berdasarkan angka terakhir pada nomor urut hadis, kitab ini
memuat 1.596 hadis dan dibukukan dalam satu jilid. Dibanding jumlah dalam kitab-
kitab hadis lain, jumlah ini tentu relatif sedikit. Karena itu, Bulûgh al-Marâm hanya
dikemas dalam satu jilid.15
Di setiap akhir hadis yang dimuat dalam Bulûgh al-Marâm, Ibn Hajar
menyebutkan perawi hadis asalnya. Bulûgh al-Marâm memasukkan hadis-hadis
yang berasal dari sumber-sumber utama seperti Saẖîẖ al-Bukhârî, Saẖîẖ Muslim,
13 Selanjutnya disebut kitab Bulûgh al-Marâm. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat ( Cet. II; Yogyakarta: Gading Publishing, 2015), h. 182 14 T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), h. 111 15 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm, (Surabaya: Dâr al-‘Ilm,
t.th)
5
Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmiẕî, Sunan al-Nasâ’î, Sunan ibn Mâjah, dan
Musnad Aẖmad.
Keingingan penulis kitab ini untuk mempermudah para pembaca tercermin
dari sistem pengutipan hadisnya. Hadis-hadis yang ada di Bulûgh al-Marâm semua
ditulis dengan sangat ringkas, tanpa menyertakan sanad hadis, kecuali sanad yang
sampai pada sahabat dan mukharrij al-ẖadîts. Pengecualian ini ditujukan untuk
mempermudah pengecekan hadis dalam kitab ini.
Adapun maksud dan tujuan penulisan kitab ini tidak jauh berbeda dari
beberapa kitab lain, yakni memberikan pedoman aplikatif kepada kaum Muslimin
dalam kegiatan sehari-harinya dengan berpedoman pada sumber ajaran Islam.
Dalam hal ini, Ibn Hajar memilih hadis sebagai sumber ajaran sekaligus
kendaraannya dalam menyajikan pedoman hidup. Hal ini tersirat dalam
pencantuman sebuah ayat Alquran yang diberikan Ibn Hajar pada halaman pertama
kitabnya:
او ه ت ان ف ه ن ع م ك ا ان م و ه و ذ خ لف و س الر م ك ت آام و
Lebih lanjut Ibn Hajar menjelaskan bahwa beliau memaksudkan penulisan
kitab ini agar bisa dinikmati oleh semua kalangan, baik kalangan awam hingga
ulama. Orang awam bisa menjadikan kitab ini sebagai pedoman hidup, pelajar bisa
lebih mudah menghafal kitab ini, dan cendekiawan pun bisa mempelajari ini.16
Kitab ini juga termasuk kitab yang paling banyak disyarahi. Setidaknya ada
lima kitab yang mensyarahi kitab Bulûgh al-Marâm, yaitu;17 Pertama, al-Badru al-
Tamâm karya al-Qâḏî Syarifuddin al-Husain bin Muẖammad bin Sa’id al-Alâ’i atau
yang lebih dikenal dengan nama al-Maghrabî Hakîm San’a (w. 1119 H); Kedua,
Ifham al-Afham karya Sayyid Yûsuf bin Muẖammad al-Ahdal (w. 1242 H) kitab ini
belum pernah dicetak, masih berupa manuskrip; Ketiga, Subul al-Salâm karya
16 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm, (Surabaya: Dâr al-‘Ilm,
t.th), h. و 17 Hasan Sulaiman al-Nuri dan ‘Alawî Abbas al-Malikî, Ibânah al-Aẖkâm Syarẖ Bulûgh al-
(memelihara), al-fatẖ (membuka), dan al-fahm (memahami)2. Dari sudut
terminologis, syarah berarti uraian terhadap materi-materi tertentu, lengkap dengan
unsur-unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek pembahasan.3 Dalam
tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan
komentar kepada naskah atau matan suatu kitab. Sehingga dapat dikatakan bahwa,
istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan terhadap naaskah kitab dalam batas
eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi,
sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab syarah secara umum, baik syarah terhadap
kitab hadis maupun kitab lainnya4.
Term lain yang juga erat kaitannya dengan syarah dan sering digunakan
dalam kajian teks keagamaan yakni ẖâsyiyah (keterangan tambahan), tafsir dan
ta’lîq (tepi atau pinggir). Pada dasarnya semua kata itu adalah model untuk
mengungkap makna teks, namun penggunaannya berbeda. Oleh sebab itu hal
tersebut sering menimbulkan asumsi bahwa terdapat hegemoni kata dalam salah
satu kajian Islam, yang mana tafsir selalu diasumsikan sebagai interpretasi dari
Alquran, dan syarah dianggap bagian dari model pemahaman atas hadis.
Secara historis term atau istilah syarah hadis merupakan hasil dari sebuah
proses transformatif dari istilah yang telah ada sebelumnya, yakni fiqh al-ẖadîts
(karenanya pula ulama yang berijtihad dalam memahami hadis Nabi Saw disebut
pula sebagai fuqahâ’ jamak dari faqîh). Proses transformasi ini digambarkan oleh
Dr. Muḥammad Ṭâhir al-Jawwâbî dalam suatu ungkapan:
“Pada awalnya ilmu ini (fiqh al-ẖadîts) masih sangat terbatas, kemudian
secara berangsur meluas hingga terkenal sampai kepada kita dengan sebutan
syarah hadis. Para pegiat fiqh al-ẖadîts berpegang pada ilmu ini dan mereka
inilah yang telah diberi rezeki oleh Allah berupa kemampuan daya kritis
2 Abu al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Makram ibn Manzûr al-Afrîqî al-Misrî, Lisân al-
‘Arab, jilid II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), h. 497 3Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 4 Dzikir Nirwana dan Saifuddin, Kecendrungan Kajian Syarah Hadis Ulama Banjar [Telaah
Literatur Syarah Hadis Terpublikasi], Makalah Konferensi Internasional “Transformasi Sosial dan
Intelektual Orang Banjar Kontemporer, IAIN Antasari Banjarmasin: 2015, h. 5
17
pada masanya dan memiliki pemahaman dari hasil keseriusannya dalam
bahasa maupun pengetahuannya terhadap hukum syariah”5
Di samping itu, syarah hadis yang telah dikenal lebih bersifat konkrit
operasional yaitu berwujud tulisan dalam beberapa kitab yang berisi penjelasan
ulama dan hasil pemahaman mereka terhadap suatu hadis. Sementara fiqh al-ẖadîts
lebih bersifat konseptual. Kalaupun dituangkan masih bersifat penjelasan oral.
Terjadinya transformasi dari fiqh al-ẖadîts menjadi syarẖ al-ẖadîts serta
perkembangan lebih lanjut dari syarah hadis dapat dilihat dalam perkembangan
sejarahnya. Dari masa awal syarah hadis hingga pembukuan hadis, berlanjut ke
masa perkembangan syarah hadis (dari masa pembukuan hadis hingga masa-masa
selanjutnya).
B. Sejarah Syarah Hadis di Timur Tengah
Berbicara tentang perkembangan syarah hadis tidak terlepas dari sejarah
perkembangan hadis dan ilmu hadis itu sendiri. Berdasarkan periodisasi keduanya
diketahui bahwa upaya pemahaman hadis pernah mengalami puncak
perkembangan dan kemudian secara berangsur mengalami kemunduran, seperti
halnya kegiatan keilmuan Islam lainnya.6
Fenomena di atas terlihat dari adanya “masa pensyarahan” yang dapat
dikatakan sebagai puncak dari upaya ulama dalam memahami sunnah. Pensyarahan
yang dimaksudkan pada masa ini adalah penulisan kitab-kitab syarah. Berikutnya
adalah masa kemunduran, yang ditandai dengan sedikitnya aktivitas ulama dalam
melakukan kegiatan tersebut. Umumnya kelesuan intelektual yang terjadi
disebabkan oleh sikap mayoritas ulama pada masa itu yang hanya mencukupkan
diri dengan penjelasan-penjelasan ulama sebelum mereka, sebagaimana termaktub
dalam karya-karyanya. Pada masa kemunduran ini, pusat intelektual hadis juga
al-Syarîf (Nasyr wa Taûzi’ Mu’assasât al-Karîm bin ‘Abd Allah, t.th), h. 128 6 Hedhri Nadhiran, Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis,
Jurnal Ilmu Agama, Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
IAIN Raden Fatah Palembang
18
berpindah dari Baghdad dan Mesir (Timur Tengah pada umumnya) ke negeri
India.7
Secara spesifik, Muẖammad Tâhir al-Jawwâbî membagi sejarah
perkembangan syarah kepada tiga periode,8 yaitu periode pertumbuhan, periode
penyempurnaan, dan periode kemunduran. Periode pertumbuhan ditandai dengan
masih sederhananya metode syarah yang ada, yang umumnya hanya berupa
penerjemahan matan hadis (tarâjim al-ẖadîts) dan dimulai pada masa Nabi hingga
berakhirnya kegiatan kodifikasi hadis. Periode penyempurnaan dimulai pada akhir
abad keempat hingga berkembangnya metode syarah yang sempurna (al-syarh al-
kâmil). Periode kemunduran ditandai oleh kegiatan syarah yang hanya berupa ta‘lîq
dan ta‘qîb terhadap kitab-kitab syarah yang telah ada.
1. Periode Pertumbuhan Syarah Hadis
Sejarah munculnya kitab-kitab syarah hadis tidak bisa dilepaskan dari
perjalanan sejarah dan perkembangan hadis itu sendiri.9 Sejak masa Nabi saw. dan
sahabat, sejarah kodifikasi hadis pada masa khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Azîz,
sampai munculnya kitab-kitab kodifikasi hadis standar pada abad ke-3 Hijriyah dan
kitab-kitab Aṯrâf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jâmi’. Di antara periodesasi
tersebut, disebutkan adanya ‘asru syarẖ atau masa pensyarahan. Pensyarahan yang
dimaksudkan di dalam periodesasi tersebut adalah masa-masa penulisan kitab-kitab
syarah hadis (uraian lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian perkembangan syarah
hadis).
7 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
h. 125, lihat juga Nûr al-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘â·sir,1997), h. 70 8 Muhammad Ṭâhir al-Jawwâbî, Juhûd al-Muẖaddtsîn fî Naqd al-Matn al-Hadîts al-
Nabawî al-Syarîf, h. 129 9 Sejarah hadis ialah periode-periode yang telah dilalui oleh hadis Nabi saw. dari masa ke
masa, semenjak dari pertumbuhannya sampai kepada zaman kita sekarang ini. Tentang periodesasi
ini banyak terjadi beda pendapat di kalangan penulis sejarah hadis, ada yang membagi tiga periode,
ada yang lima periode dan adapula yang tujuh periode. Berikut ini adalah periodisasi yang dilakukan
Hasbi al-Shiddique dalam tujuh periode, dengan alasan pembagian yang tiga ataupun lima periode
telah tercakup di dalamnya dan alasan lainnya adalah periodisasi yang tujuh ini dianggap lebih rinci
dibandingkan dua periodisasi tersebut. M. Hasbi al-Siddiqie, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 13-14
19
Seperti telah dipahami dalam pembahasan sebelumnya, bahwa syarah hadis
telah mengalami proses transformasi dari bentuk syarah hadis secara lisan yang
dikenal pula sebelumnya dengan fiqh al-ẖadîts kepada bentuk syarah hadis secara
tertulis (terbukukan). Oleh karena itu, pembicaraan tentang syarah hadis pada masa
awal ini bukanlah yang dimaksudkan Hasbi Al-Shiddieqy pada periode ketujuh
tersebut atau ‘asru syarẖ (masa syarah hadis tertulis), melainkan syarah hadis yang
belum tertulis (masih secara lisan).
Pada periode Rasulullah saw., yang disebut sebagai syarah hadis tidak
secara tegas berdiri sendiri di luar matan hadis Nabi saw. mengingat pejelasan
Rasulullah saw. Terhadap sunnahnya pun dituliskan sebagai matan hadis yang
berdiri sendiri. Sebagaimana contoh berikut:
• Hadis Nabi saw. Dalam bentuk ucapan yang diriwayatkan oleh
Mâlik bin Huwaiyrîts bahwa Nabi Saw bersabda:
نا رسول عن مالك بن احلوير شب بة الله صلهى الله عليه وسلهم و نهن ث قال: أت ي
لة فظن أنه ت قارب ون فأقمنا عنده ن ت ركنا ىف أهل عشرين لي ناياشت قنا أهلنا، سألنا عم
قا، فقل ارجعوا إىل أهليكم صلهى الله عليه وسلهمفأخب رنه وكان رسول الله رحيما رفي
كم أكب ركم 10 لة ف لي ؤذهن أح دكم، لي ؤم ف علهموا كما رأي تون أصلهى وإذا حضرت الصه
Dari Mâlik bin Huwaiyrîts berkata, “Kami beberapa orang pemuda sebaya
mengunjungi Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20
malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan
menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami
memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang penyayang dan
halus perasaannya. Beliau bersabda, “kembalilah kepada keluarga kalian,
ajarilah mereka, suruhlah mereka, dan salatlah kalian sebagaimana kalian
melihatku mendirikan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah
salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan yang lebih tua
hendaknya menjadi imam”.
10 Al-Amîr ‘Alâu al-Dîn ‘Alî ibn Bilbân al-Fârisî, Saẖîẖ ibn Hibbân bitartîbî ibn Bilbân,
Juz IV (Cet. II, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1993), h. 541
20
Pada hadis tersebut di atas, Rasulullah saw. memberikan penjelasan atau
syarah atas hadis ini yaitu dalam bentuk perbuatan dan pernyataan pada kesempatan
lain yang kemudian direkam dan diikuti sahabat, namun pada akhirnya apa yang
direkam itu pun diakui sebagai hadis Nabi saw. pula, sehingga antara syarah dan
yang disyarahi, kedua-duanya adalah hadis Nabi saw. Seperti cara Rasulullah saw.
mengangkat tangan saat takbir, cara rukuk, sujud dan lainnya ada dalam hadis
tersendiri.
• Hadis Nabi saw. dalam bentuk pernyataan yang diriwayatkan dari
Anas bin Mâlik bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ثنا م د حده ثنا مسده عتمر عن حيد عن أنس رضي الله عنه قال، قل رسول الله صلهى الله حده
وما قالوا اي رسول الله هذا ن نصره مظلما فكيف ن نصره عليه وسلهم انصر أخاك ظالما أو مظل
11أتخذ ف وق يديه ظالما قال
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada
kami Mu'tamir dari Ḥumaiyd dari Anas ra. berkata, Rasulullah saw.
bersabda: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim (aniaya) dan yang
dizalimi".
Menanggapi hadis Nabi saw. ini, para sahabat bertanya; “Kami biasa
memberikan pertolongan kepada orang yang teraniaya, bagaimana cara kami
menolong orang yang berbuat aniaya?” Rasulullah saw. memberikan penjelasan
bahwa pencegahanmu terhadap orang yang hendak berbuat aniaya itulah
pertolonganmu kepadanya. Penjelasan ini menyatu dengan matan di atas, sehingga
syarah dan ucapan Nabi saw. menjadi satu kesatuan matan.
Selain beberapa contoh di atas masih banyak lagi contoh hadis lainnya.
Setelah melihat beberapa contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarah hadis
itu sendiri atau merupakan hadis lain yang berdiri sendiri, maka pada masa
Rasulullah saw. ini pula syarah hadis yang berdiri sendiri hampir dinyatakan tidak
11 Al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî Jilid II (Riyâḏ: Baitu al-Afkâr al-Daûlî li al-Nasr, 1998),
h. 461
21
ada, mengingat seluruh rekaman sahabat dari ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan
Rasulullah saw. merupakan hadis dan tidak disebut sebagai syarah hadis
sebagaimana term yang kita kenal sekarang ini.
Pada masa selanjutnya, yaitu masa Khulafâ al-Râsyidîn, hadis Nabi saw.
tetap dipelihara melalui hafalan dan ada beberapa ulama yang menuliskannya12,
bahkan dalam diri sahabat terdapat suatu komitmen untuk senantiasa
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini pula yang menjadikan apa
yang datang dari sahabat yang notabene bersumber dari Rasulullah saw. turut
menjadi pegangan bagi generasi berikutnya yang disebut atsar.
Pada masa ini syarah hadis belum mempunyai bentuk sendiri, artinya apa
yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis Nabi saw. belum dinamai syarah
melainkan atsar, karena apa yang menjadi dasar syarah (penjelasan) para sahabat
dan tabi’in adalah apa yang disandarkan pada Rasulullah saw. juga, hanya saja
umumnya ulama menyebut hadis yang bersandar kepada sahabat ini disebut dengan
hadis mauqûf13 atau banyak yang menyebutnya dengan atsar sebagaimana telah
dikemukakan di atas.
Berikut contoh hadis yang diriwayatkan oleh Mâlik dari ‘Amr bin Yahyâ al-
Muzammî dari ayahnya, bahwa ia (ayah ‘Amr) berkata kepada ‘Abdullâh bin Zaîd
bin ‘Âsim (kakek ‘Amr yang sekaligus salah seorang sahabat Rasulullah saw.),
ayah ‘Amr berkata:
ثن ي ي عن مالك عن عمرو بن يي المازنه عن أبيه أنه قال لعبد الل بن زيد بن عاصم حد
وهو جد عمرو بن يي المازنه وكان من أصحاب رسول الل صلى الل عليه وسلم هل
عليه وسلم ي ت وضأ ف قال عبد الل بن تس زيد بن تطيع أن ترين كيف كان رسول الل صلى الل
12 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, (Cet. II, Riyâḏ: Syirkah al-Ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah,
1984), h. 122. 13
22
ث ر ثلث عاصم ن عم فدعا بوضوء فأف رغ على يده ف غسل يديه مرت ي مرت ي ث تضمض و است ن
ديه فأق بل بما ث غسل وجهه ثلث ث غسل يديه مرت ي مرت ي إىل المرف قي ث مسح رأسه بي
م رأسه ث ذهب بما إىل ق فاه ث رد ها حت رجع إىل المكان الذي بدأ منه ث وأدب ر بدأ بقد
14غسل رجليه
“Yaẖya telah berkata kepadaku (Imam al-Bukhârî) dari Mâlik dari Dari
‘Amr bin Yahyâ al-Maziniyyî dari bapaknya, ia berkata kepada ‘Abdullâh
ibn Zaîd ibn ‘Âsîm, kakek dari ‘Amr bin Amr bin Yahyâ al-Maziniyyî yang
merupakan sahabat Rasulullah: “Dapatkah kamu memperlihatkan padaku
cara wudu Rasulullah?”. Maka ‘Abdullâh ibn Zaîd ibn ‘Âsîm berkata, iya.
Maka ‘Abdullâh bin Zaîd meminta tempayan kecil yang berisikan air lalu
dia berwudu sebagaimana wudu Nabi. Maka beliau pun memiringkan
tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu
mencuci kedua tangan itu dua kali. Kemudian berkumur-kumur dan ber-
istinsyâr (menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung) tiga kali.
Kemudian beliau mencuci wajahnya tiga kali, lalu mencuci kedua
tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau
memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua
tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan
kebelakang satu kali. Kemudian mencuci kedua kakinya”.
Hadis tersebut tampak bahwa penjelasan sahabat terhadap suatu perbuatan
Rasulullah saw. belum banyak melibatkan interpretasi ataupun penafsiran yang
mandiri dari kalangan mereka, sekalipun cara yang dilakukan kakek ‘Amr tersebut
merupakan hasil pengamatan yang dilakukannya sesuai kekuatan daya tangkap
yang dimilikinya. Namun demikian pada era ini bukannya tidak ada syarah yang
berdiri sendiri, sebab sudah ada matan hadis yang mendapatkan catatan para
sahabat dan dibukukan ulama modern sebagai keterangan tambahan mereka
terhadap teks aslinya, namun ada pula yang telah bercampur baur sehingga muncul
dalam ilmu hadis ada istilah hadis mudraj (hadis yang terdapat sisipan di dalamnya
baik pada matan maupun pada sanadnya).
14 Mâlik, al-Muwaṯṯa Kitâb al-Ṯaharah Juz I (Cet. III, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1998),
h. 20
23
Pada masa Khalifah ini pula (setelah wafatnya Rasulullah saw. khususnya
pada akhir kekuasaan ‘Utsmân bin ‘Affân, kekuatan politik mulai memasuki
lapangan sunnah yang ditandai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang beredar
di masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pemicu bagi ulama hadis yang
berkomitmen untuk melakukan pemeliharaan sunnah Nabi saw. Melalui hadis-
hadis Nabi saw. tersebut para sahabat mulai mengumpulkan dan mengkodifikasikan
hadis Nabi saw. dan menyebarluaskannya melalui sebuah periwayatan serta
berusaha keras menentang orang-orang yang mengembangkan hadis-hadis palsu.
Usaha ulama ini mulai menunjukkan eksistensinya dengan mengembangkan hadis
ke berbagai kota Islam yang telah dikuasainya yaitu dengan mendirikan lembaga-
lembaga hadis di sana (Madâris al-ẖadîts).15
Selanjutnya pada masa pembukuan, atas desakan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu
al-‘Azîz para ulama berlomba-lomba mencari, mengumpulkan dan menuliskan
hadis dalam sebuah kitab, hal ini bukan berarti penulisan hadis pada masa-masa
sebelumnya belum pernah ada sama sekali,16 akan tetapi masa ini pada umumnya
disepakati oleh para ulama hadis sebagai masa resmi perintah penulisan hadis dalam
sebuah kitab sebagai sebuah tuntutan perkembangan Islam yang semakin luas,
sementara ulama penghafal hadis semakin berkurang dari sisi kuantitas akibat
gugur dalam peperangan maupun penurunan kualitas daya hafalan. Hal inilah yang
memunculkan hasrat Khalifah ‘Umar bin ‘Abdu al-Azîz untuk menjaga hadis dari
kepunahan dengan cara membukukannya.17
Kitab hadis yang masyhur pada saat ini dan dianggap kitab pertama hadis
adalah kitab hadis yang disusun oleh al-Zuhrî dan diikuti oleh ulama sesudahnya
seperti Mâlik, al-Syâfi’î dan lainnya. Namun yang sampai kepada generasi sekarang
sedikit sekali, seperti al-Muwaṯṯa’ karya Imam Mâlik, al-Musnad karya al-Syâfi’î
15 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 98 16 M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
1994), h. 132 17 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 243
24
dan al-Atsâr karya al-Syaibânî. Dari ketiga kitab ini yang paling masyhur adalah al-
Muwaṯṯa’.18
Seiring dengan pembukuan kitab hadis ini pula, syarah hadis yang
berkembang sebelumnya merupakan tradisi lisan yang disampaikan oleh guru-guru
hadis kepada muridnya mulai mengambil bentuk sebagai syarah hadis secara
tertulis, yaitu mensyarahi hadis-hadis dalam suatu kitab himpunan hadis yang telah
ada pada masa ini. Sekalipun gerakan penulisan syarah hadis ini belum banyak
dikenal, namun terdapat sebuah data yang mengemukakan adanya syarah terhadap
kitab al- Muwaṯṯa’ karya Imam Mâlik19 (yang dianggap sebagai kitab hadis pertama
yangmasih ada hingga saat ini), salah satu kitab syarah hadis tersebut adalah buah
karya ‘Abdullâh bin Nâfi’ yang berjulukan Abû Muhammad (w. 186 H) dengan
karyanya Tafsîr ilâ al-Muwaṯṯa’.20
Namun demikian, masa ini belum disebut sebagai ‘asyru al-syarḫ, karena
kegiatan syarah hadis pada saat itu masih sedikit dan sulit dilacak naskah aslinya
(baru makhṯûtât) dan tidak sampai kepada kita. Di samping itu, kegiatan sebagian
besar ulama hadis masa ini adalah mengumpulkan dan menuliskannya dalam kitab
(membukukannya). Akan tetapi dapat kiranya dinyatakan bahwa sejak adanya
penulisan resmi dan dibukukannya hadis ini, embrio pensyarahan dalam bentuk
tertulis dan dibukukan mulai ada.
Secara umum pada pembahasan sejarah awal syarah hadis ini ditandai
dengan adanya embrio penulisan kitab syarah hadis, adapun metode pensyarahan
masih lebih banyak menggunakan pola lama yaitu secara lisan, sebagaimana yang
dilakukan oleh para guru-guru hadis kepada murid-muridnya. Untuk mengetahui
bagaimana metode mereka dalam menjelaskan (memberi syarah) terhadap hadis
18 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 245 19 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, Jilid I,
(Beirût: Dâr al-Fikr, tt.h), h. 45 20 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, h. 49
25
Nabi saw. Dr.‘Utsmân al-Khasyît mengemukakan empat model metode pengajaran
guru-guru hadis terhadap murid-muridnya. Antara lain:21
a. Al-Syarẖ al-Tafsîlî
Penjelasan secara terperinci dimana guru membacakan hadis Nabi saw.
Kemudian berhenti sejenak untuk mengemukakan isnâd dan nama rijâl-nya sesuai
dengan kaidah al-jarḫ wa al-ta’dîl kemudian membicarakan tentang keterputusan
sanad atau persambungannya dan menentukan kesahihan atau kedaifannya dengan
menyebutkan letak kecacatannya bila ditemukan di dalamnya kecacatan yang
dimaksud, baru kemudian menjelaskan matan hadis mulai dari penjelasan kalimat
perkalimat yang sulit serta menjelaskan fungsi dan penggunaan lafal tersebut dalam
konteks nas (teks). Selanjutnya memberikan pemahaman terhadap susunan-susunan
kalimat yang menyulitkan disertai pernyataan-pernyataan yang menguatkan seperti
syair Arab sebagai Syahid, kemudian membandingkan matan hadis tersebut dengan
matan hadis serupa dalam satu tema yang sama dan langkah selanjutnya melakukan
istinbâṯ hukum serta menyebutkan hal-hal yang terkait langsung maupun tidak
langsung baik pada sanad maupun matan hadis.22
b. Al-Syarḫ al-Wasîṯ
Penjelasan secara sederhana dimana guru membacakan sebuah hadis Nabi
saw. Kemudian diikuti beberapa penjelasan secukupnya tentang lafal-lafal yang
asing dan susunan kalimat yang terkait, selanjutnya memberikan wacana pemikiran
secara ringkas tentang diterima atau ditolaknya (maqbûl mardûd-nya) rijâl dari
isnâd yang ada, baru kemudian ia menjelaskan secara global beberapa faidah atau
manfaat hadis tersebut baik sanadnya ataupun matannya apabila dikehendaki untuk
sekedar membantu murid menghadapi hal-hal yang musykil pada nas (teks) dengan
21 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi,
(Kairo: al-Maktabah al-Qur’ân, t.th), h. 19 22 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 19
26
menggunakan penjelasan-penjelasan yang telah ada sebelumnya yang dijadikan
hujjah.23
c. Al-Syarẖ al-Wajîz
Penjelasan ringkas dimana seorang guru hanya menjelaskan hal-hal yang
sulit dan tempat-tempat yang musykil dengan menyebutkan beberapa pokok
permasalahan yang ada di dalamnya dengan sangat ringkas.
d. Al-Qirâ’ah al-Tatbî’iyyah24
Guru mengajarkan hadis Nabi saw. cukup dengan membacakan kitab hadis
dalam tema pelajaran tertentu, kemudian apa yang dibaca guru tersebut diikuti oleh
murid-muridnya dengan tanpa menjelaskan apa yang ada di dalamnya, baik segi
kebahasaan, istinbâṯ hukum atau kritik sanad dan matan serta tempat-tempat
rujukan yang jelas.
2. Periode Penyempurnaan Syarah Hadis
Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sejarah awal syarah
hadis, tampak bahwa perkembangan syarah hadis pada era awal ini belum memiliki
spesifikasi khusus, mengingat syarah (penjelasan) Nabi saw. pun belum berdiri
sendiri melainkan menjadi satu kesatuan teks (matan) hadis Nabi saw. tersebut,
sebagaimana hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Nabi saw.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa embrio syarah hadis telah muncul pada
era ini walaupun belum memiliki format yang terbakukan (menjadi sebuah ilmu
yang dapat dipelajari kaidah-kaidahnya).
Seiring dengan masa pembukuan hadis (abad ke-2 H) yang masih bersifat
akomodatif ini ulama pada umumnya hanya sekedar mengumpulkan, kemudian
23 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 19 24 Muhammad ‘Utsmân al-Kâsyit, Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi, h. 20
27
menuliskannya dalam sebuah kitab, tanpa adanya kritik atau penelitian secara
detail. Di samping itu, hadis Nabi saw. masih bercampur pula dengan perkataan
sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in.25
Pada masa berikutnya (abad ke-3 H), para ulama berupaya menyusun
kembali kitab hadis dengan spesifikasi yang lebih sistematis dan lebih kritis dari
upaya pengumpulan hadis pada kitab-kitab sebelumnya. Upaya sistematisasi dan
kritisisasi hadis tersebut antara lain:
a. Upaya pengumpulan hadis Nabi saw. secara khusus yang dijadikan ajang
pertentangan Ahlu al-kalâm dan Ahlu al-ḫadîts seperti yang dilakukan Ibn
Qutaibah dalam kitabnya Ta’wîl Mukhtalaf al-ẖadîts fî al-Ra’di ‘alâ ‘adâi
al-Ḫadîts.
b. Upaya mengumpulkan hadis Nabi saw. yang berada di bawah nama seorang
sahabat, baik yang sahih maupun yang tidak sahih, susunan hadis ini disebut
dengan musnad, di antara karya pada masa ini adalah Musnad karya
‘Ubaidillâh Ibn Mûsa (w. 213. H). Musnad al-Humaidî (w. 219 H) dan
lainnya.
c. Upaya pengumpulan hadis Nabi saw. dalam susunan bab-bab fikih yang
memunculkan beberapa kitab yang terkenal pada masa tersebut seperti
karya Ismâ’îl al-Bukhârî (w. 256. H) yang dikumpulkan dalam bagian kitab
Saẖîẖ-nya, karya Muslim al-Hajjâj dalam bagian kitab Saẖîẖ-nya dan kitab-
kitab sunan yang disusun oleh Abû Dâûd, al-Turmuẕî, al-Nasâ’î dan
lainnya.26
Sejak masa pembukuan hadis Nabi saw. hingga masa berikutnya (pada abad
ke-3 H) perkembangan syarah hadis Nabi saw. bukan berarti kosong sama sekali,
terbukti di sela-sela para ulama sibuk dalam aktifitas pemilihan dan penyusunan
kitab hadis Nabi saw. yang sistematis, juga ditemukan kitab syarah hadis Nabi saw.
25 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 363 26 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 367
28
sebagai buah karya ulama pada masa ini yaitu pada abad ke- 2 dan abad ke- 3 di
antaranya: ‘Alam al-Sunan syarah terhadap al-Jâmi’ al-Saḫîḫ karya Abû Sulaimân
Aḫmad bin Ibrâhîm bin al-Khaṯṯâbî al-Busṯî (w. 388 H.) dan Ma’âlim al-Sunan
Syarḫ Abî Dâûd.27
Kitab-kitab syarah hadis Nabi saw. tersebut membuktikan bahwa tetap
adanya aktifitas penulisan syarah hadis Nabi saw. Pada masa itu, namun era tersebut
belum dikenal dan dijuluki sebagai “masa pensyarahan” (Asyru al-Syarḫ) sebab
sebagian konsentrasi ulama masih dalam rangka pemilahan dan penyusunan hadis-
hadis Nabi saw. secara sistematis dalam sebuah kitab.
Demikian pula dengan masa berikutnya yaitu (masa penelitian, penerbitan
dan pengumpulan hadis-hadis yang memiliki karakteristik dan kualitas khusus yaitu
antara tahun 400-656 H.) Dalam era ini, jenis kitab hadis Nabi saw. mencakup
sebagian besar hadis-hadis yang sifatnya mengumpulkan kitab-kitab hadis yang
telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. sebelumnya seperti kitab hadis
Nabi saw. yang mengumpulkan dua kitab sahih (Saḫihayni; yaitu kitab al-Bukhârî
dan Muslim) Karya Ibn al-Furât (w. 414 H.) kitab hadis Nabi saw. yang
menghimpun dua kitab sahih (Saḫihayni; karya al-Bukhârî dan Muslim) karya
Muhammad bin Nash al-Ḫamîdi al-Andalûsî (w. 488 H) dan lain-lain. Kemudian
ada pula kitab hadis yang mengumpulkan hadis Nabi saw. yang telah tertuang
dalam gabungan beberapa kitab hadis seperti, Kutub al-Sittah (Saḫîḫ al-Bukhârî,
Saḫîḫ Muslim, Sunan al-Turmuẕî, Sunan Abî Dâûd, Sunan al-Nasâ’î dan Sunan Ibn
Mâjah) di antaranya karya Aḫmad bin Râzîn bin Mu’âwiyah al-Abdarî al-Sarqiṯî
(w. 535 H.) dan beberapa kitab lainnya.28
Pada era inipun penulisan syarah hadis telah muncul seperti al-Muqtabis
karya al-Baṯalyusî (w. 521 H.), dan beberapa syarah hadis lainnya. Namun
demikian, penulisan syarah hadis Nabi saw. masih belum begitu marak atau belum
menjadi konsentrasi umumnya para ulama hadis. Lain halnya dengan era
27 Al-San’anî, Tauḏîẖ al-Afkâr lima’ânî Tanqîẖ al-Izhâr, (Beirût: Dâr al-Fikri, tt.) h. 52 28 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 430
29
berikutnya, yaitu era pensyarahan hadis yang dimulai sejak tahun 656 H. sampai
era-era berikutnya.29
Dalam era pensyarahan inilah benar-benar penulisan kitab syarah hadis
Nabi saw. begitu banyak dan tak terbilang jumlahnya, apalagi objek kitab hadis
Nabi saw. yang disyarahi juga banyak jumlahnya. Ulama pada umumnya tidak lagi
disibukkan oleh sistematisasi kitab himpunan hadis, penelitian dan penambahan-
penambahan hadis dalam suatu kitab, melainkan pada masa ini mereka berupaya
menjelaskan hadis Nabi saw. yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi
saw. tersebut dengan penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan agar hadis Nabi saw.
dapat dipahami dan diamalkan.
Di antara kitab syarah hadis pada masa ke-7 H hingga pada masa berikutnya
antara lain: Kasyf al-Giṯâ’ fî Syarḫ al-Mukhtasar al-Muwaṯṯa’ karya Abû
karya al-Amîr al-Sun’ânî (w. 1099-1182 H) dan masih banyak lagi kitab-kitab syarh
hadis lainnya.
3. Periode Kemunduran Syarah Hadis
Abad ke-11 H merupakan awal periode kemunduran bagi kegiatan syarah
hadis yang ditandai dengan sedikitnya upaya pemahaman hadis yang merujuk
kepada kitab-kitab hadis, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Agaknya,
29 Muhammad Zakariyyâ al-Kandahlâwî, Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik, h. 45 30 M. M. Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi
al-Sunnati al-Nabawiyyah, h. 437
30
keadaan ini dipengaruhi oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang sedang
mengalami kelesuan intelektual, dan diperparah oleh serangan bangsa Mongol yang
telah menghancurkan Baghdad – ibukota kekhalifahan Islam.
Mencermati perhatian yang sangat kurang terhadap hadis, menurut al-
Khûlî,31 lebih disebabkan oleh sikap ulama pada masa itu yang hanya ber-taqlîd
dengan pendapat ulama mazhab mereka dan meninggalkan ijtihad, di samping
kesibukan mereka dengan kitab-kitab yang sebenarnya merupakan penjelasan
terhadap hadis (kitâb furû‘ ‘an al-sunnah). Perhatian yang diberikan kepada hadis
terbatas pada hadis-hadis akhlâq, mawâ’iḏ, adab, raqâ’iq, atau sekedar mencari
berkah melalui hadis-hadis nabi.
Dalam pandangan Hasbi,77 suasana umum di atas telah dimulai semenjak
abad ke-4 H. Kalau sebelumnya yang menjadi sumber fiqh dan sumber hukum
adalah hadis, maka semenjak abad ini mulailah umat Islam mengikuti perkataan-
perkataan fuqaha’. Masing-masing fuqaha’ menguatkan mazhab gurunya,
walaupun mazhab tersebut dalam suatu masalah kadang menyalahi hadis. Bahkan
menurut Syekh Abû al-Hasan ‘Alî al-Hasanî al-Nadwî -seperti yang dikutip oleh
Hedhri Nadhiran- banyaknya kitab syarah hadis yang dihasilkan selama periode
penyempurnaan sebenarnya disebabkan oleh pertentangan yang terjadi antar
mazhab fiqh. Apabila pengikut suatu mazhab membuat kitab syarah, biasanya akan
diikuti oleh penganut mazhab lain dengan merujuk kepada kitab hadis yang sama.
Seperti yang terjadi antara ‘Umdat al-Qârî karya Badr al-Dîn al-‘Aynî (w. 855 H),
seorang ulama Hanafiyah, dengan Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.
852 H) seorang ulama Syâfi‘iyah. Tak jarang, seorang syârih mencocok-cocokkan
antara hadis dengan pendapat mazhabnya, seperti yang dilakukan oleh Abû Ja‘far
al-Ṯahâwî dengan syarahnya Ma‘anî al-Atsâr. Walaupun demikian, ia mengakui
kalau persaingan (yang diistilahkannya dengan al-harakah al-‘ilmiyyah) di atas
membawa faedah yang besar bagi perkembangan ilmu dan intelektual di dunia
31 Muhammad ‘Abd al-‘Azîz al-Khûlî, Miftah al-Sunnah aw Târīkh Funûn al-Hadîts,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 167 32 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 147
31
Islam karena para ulama syâriẖ dalam berhujjah tetap merujuk kepada Alquran dan
hadis.
Memasuki abad ke-12 H, langkah yang ditempuh para ulama ini tidak lagi
ditiru oleh ulama-ulama yang datang kemudian. Umumnya, mereka mencukupkan
diri dengan argumentasi yang diberikan oleh para pendahulunya tanpa memeriksa
lagi sumber pendapatnya. Telaah terhadap kitab hadis terbatas pada kitab Sahihayn,
sedangkan pemahaman yang dilakukan bersifat penerimaan dari guru dan hanya
untuk memperkuat mazhab semata.77
Akibat langsung dari pengabaian hadis seperti yang terjadi di atas adalah
semakin dilupakannya metode pemahaman hadis (metode syarah hadis) yang
pernah dikembangkan oleh ulama hadis pada masa keemasan, yang telah
melahirkan berbagai cabang ilmu hadis dalam upaya pemahamannya. Bahkan jika
pada abad-abad sebelumnya syarah yang berkembang mengambil bentuk uraian
yang panjang (al-syarh al-wâfî), maka selama periode kemunduran ini syarah yang
dihasilkan umumnya hanya bersifat ta‘lîq (komentar singkat). Ini disebabkan oleh
sifat peringkasan itu sendiri yang tidak lagi mementingkan aspek penelitian sanad,
sementara pemahaman terhadap matan lebih bersifat memperkuat pendapat ulama
mazhab yang telah mensyarah hadis.
Di tengah-tengah kemunduran ini, keinginan untuk mengembalikan hadis
kepada kedudukannya semula – sebagai sumber hukum Islam – tetap terpelihara.
Daerah Islam yang paling menonjol dalam kegiatan ini adalah India, dengan
munculnya ulama-ulama yang senantiasa memelihara hadis dan mempelajarinya
menurut metode yang ditempuh ulama abad ke-3 H, yaitu kebebasan dalam
memahami (ẖurriyat fi al-fahm) dan memperhatikan kondisi sanad dari tiap hadis
yang diteliti. Di antara mereka yang termasyhur adalah Syah Wali Allah al-Dahlawî
(1114 H – 1176 H) dengan syarahnya Hujjat Allah al-Bâlighah dan al-Musawwâ
Syarh Muwatta’ Mâlik, Shiddîq Hasan Khân (1248 H – 1307 H) pengarang Fath
33 Hedhri Nadhiran, Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis,
Jurnal Ilmu Agama, Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
IAIN Raden Fatah Palembang, h. 10
32
al-‘Allâm Syarh Bulûgh al-Marâm, al-Sahâranfûrî (w. 1346 H) dengan kitabnya
yang berjudul Badhl al-Majhûd fî Hall Abi Dawûd, dan al-Kândahlawî (1315 H –
1389 H) dengan syarahnya Awjaz al-Masâlik ilâ Muwatta’ Mâlik.34
4. Posisi Syarah Hadis dalam Ilmu Hadis
Syarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ilmu hadis.
Kedudukan syarah tersebut dapat dilihat dalam hubungan fungsional syarah dengan
pemahaman hadis, yakni bayân ma’âni al-ẖadîts. Artinya syarah terhadap sebuah
hadis dapat berfungsi memperjelas arti kata dan kalimat dengan menyajikan
penjelasan kebahasan, dan juga dapat berfungsi menerangkan serta merinci
kandungan makna, istinbâṯ hukum dari hadis, bahkan menerangkan sanad dan
kriteria kesahihan hadis. Kitab-kitab syarah hadis terutama yang menggunakan
metode analitis dan komparatif berisi penjelasan dan komentar tentang
permasalahan hadis yang disyarahi, baik menyangkut kritik sanad, matan maupun
kriteria kesahihan hadis. Karenanya, kitab-kitab syarah juga merambah wilayah
ilmu hadis, bahkan lebih dari syarah memiliki peran besar dalam fiqh al-ẖâdîts
(pemahaman hadis).
Kedudukan syarah hadis terhadap hadis bagaikan kedudukan tafsir terhadap
Alquran. Para ulama terdahulu banyak menaruh perhatian dalam bidang syarah
hadis, karena banyak di antara hadis-hadis Nabi saw. yang masih memerlukan
penjelasan lebih lanjut. Oleh sebab itu, mereka banyak melakukan kegiatan
pensyarahan kitab-kitab hadis yang sudah dianggap baku. Mereka menyusun kitab-
kitab syarah tersebut berupa komentar atau syarah terhadap salah satu dari al-Kutub
al-Sittah. Para ulama dahulu telah banyak mencoba melakukan pemahaman
terhadap hadis terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni menulis kitab-kitab syarah
terhadap al-Kutub al-Sittah tersebut. Tujuan mereka melakukan kegiatan tersebut,
yakni untuk memahami hadis-hadis yang terdapat dalam kitab tersebut.35
34 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti
dan Entin sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000, h. 38 35 Muẖammad Abû Syahbah, fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Siẖẖaẖ al-Sittah (Kairo:
Majma’ al-Buẖûs al-Islâmiyyah, 1995), h. 97
33
Pensyarahan terhadap hadis yang terdapat dalam kitab Saẖîẖ al-Bukhârî
misalnya, telah muncul 82 kitab syarah yang ditulis oleh beberapa ulama antara
lain: Ibn Hajar al-‘Asqalânî yang menulis kitab Fatẖ al-Bârî Syarẖ Saẖîẖ al-
Bukhârî Syamsu al-Dîn Muhammad bin Yûsuf bin al-Kirmâni yang menulis al-
Dâwûd karya Muhammad bin Asyrat bin ‘Alî Haidar al-Siddîqî al-Aẕîm Abadî.41
b. Ciri-ciri Metode Ijmâlî
Ciri-ciri metode global adalah pensyarah langsung melakukan penjelasan
hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola ini tidak
jauh berbeda dengan metode taẖlîlî namun uraian dalam metode taẖlîlî lebih rinci
daripada uraian dalam metode ijmâlî, sehingga pensyarah lebih banyak dapat
39 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis (Yogyakarta:
Lentera Hati, 2001) h. 30 40 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 52 41 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 53
37
mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya, dalam kitab syarah yang
menggunakan metode ijmâlî pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan
pendapat sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu, penjelasan umum dan sangat
ringkas merupakan ciri yang dimiliki kitab syarah dengan metode ijmâlî. Namun
demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu jug diberikan agak luas, tetapi
tidak seluas metode taẖlîlî.
3. Metode Muqârîn
a. Pengertian Metode Muqârîn
Metode muqârîn adalah metode memahami hadis dengan cara: (1)
membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus
yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan (2)
membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis. Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa memahami hadis dengan menggunakan
metode muqârîn mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya
membandingkan hadis dengan hadis lain, melainkan juga membandingkan
pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah suatu hadis.42
Di antara kitab yang menggunakan metode muqârîn adalah Saẖîẖ Muslim
bi Syarẖ al-Nawawî karya Imam Nawawî, ‘Umdah al-Qâri’ Syarẖ Saẖîẖ al-
Bukhârî karya Badr al-Dîn Abû Maẖmûd bin Aẖmad al-‘Aynî.
b. Ciri-Ciri Metode Muqârîn
Kajian perbandian hadis dengan hadis lain dalam syarah yang menggunakan
metode muqârîn tidak terbatas pada perbandingan analisis radaksional (mabâẖits
lafẕiyyah) saja, melainkan mencakup perbandingan penilaian periwayat, kandungan
makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan. Selain itu juga dibahas
perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut. Dalam membahas
perbedaan-perbedaan itu, pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang
menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti latar belakang munculnya
42 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 48
38
hadis (asbâb wurûd al-ẖadîts) tidak sama, pemakaian kata dan susunanya di dalam
hadis berlainan, dan tak kurang pentingnya, konteks masing-masing hadis tersebut
muncul dan lain-lain. Dalam rangka menganalisis hal-hal serupa, diperlukan
penelaahan yang seksama oleh pensyarah terhadap berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli syarah sehubungan dengan pemahaman hadis yang
sedang dibahas tersebut. Jadi, meskipun yang diperbandingkan hadis dengan hadis,
dalam proses memahaminya, pensyarah perlu pula meninjau pendapat yang telah
dikemukakan berkenaan dengan hadis itu.
Adapun aspek kedua, yaitu perbandingan pendapat para pensyarah
mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan
berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) hadis maupun korelasi
(munâsabah) antara hadis dengan hadis. Dengan demikian, pembahasan yang
menjadi objek perbandingan adalah berbagai pendapat yang dikemukakan sejumlah
pensyarah dalam suatu hadis, kemudian melakukan perbandingan di antara
berbagai pendapat yang dikemukakan itu. Sedangkan yang dianalisis atau dikaji
dalam aspek sebelumnya adalah perbandingan berbagai redaksi yang bermiripan
dari hadis-hadis atau antara hadis dengan hadis yang kelihatannya secara lahiriah
kontradikif.43
Ciri utama bagi metode muqârîn adalah perbandingan. Di sinilah letak salah
satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode lain. Hal itu
disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan hadis dengan
hadis adalah pendapat ulama tersebut, bahkan pada aspek yang kedua, sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, pendapat para ulama itulah yang menjadi sasaran
perbandingan. Oleh karena itu, jika suatu syarah dilakukan tanpa
memperbandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pensyarah,
maka pola semacam itu tidak dapat disebut metode komparatif.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa segi sasaran (objek) bahasan,
ada dua aspek yang dikaji dalam syarah yang menggunakan metode muqârîn, yaitu
43 Nizar Ali, Kontribusi Imam Nawawi dalam Pensulisan Syarah Hadis, h. 58
39
perbandingan hadis dengan hadis dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah
hadis.
Penjelasan syarah dengan menggunakan metode muqârîn dimulai dengan
menjelaskan pemakaian mufradât (kosa kata), urutan kata, maupun kemiripan
redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka
langkah yang ditempuh adalah; (1) mengindentifikasi dan menghimpun hadis yang
redaksinya bermiripan; (2) memperbandingkan antara hadis yang redaksinya
bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang
berbeda dalam satu redaksi yang sama; (3) menganalisis perbedaan yang
terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan tersebut
mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan
kata susunannya dalam hadis, dan sebagainya, (4) memperbandingkan antara
berbagai pendapat para pensyarah tentang hadis dijadikan objek bahasan.44
D. Tehnik Interpretasi Hadis
1. Tekstual
Pada dasarnya, interpretasi tekstual ialah memahami makna dan maksud
sebuah hadis hanya melalui redaksi lahiriahnya saja.45 Arifuddin Ahmad dalam
bukunya, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi saw. mendefenisikan
interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadis
Nabi berdasarkan teks dan matan hadis semata, tanpa melihat bentuk dan cakupan
petunjuknya, waktu, sabab wurûd, dan sasaran ditujukannya hadis tersebut, bahkan
tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, setiap hadis Nabi yang
dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat universal.46
Salah satu contoh hadis yang dapat dipahami secara tekstual yakni:
44 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer, h.
49 45 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Cet. I; Jakarta:
Rahmat Semesta Center, 2008), h.21. 46 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran
Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisans, 2005), h.205.
40
ع جابرا أن رسول الل صلى الل ث نا سفيان عن عمرو أنه س ث نا سعيد بن منصور حد حد
عليه وسلم قال احلرب خدعة 47
Telah menceritakan kepada kami Sa'îd bin Mansur, telah menceritakan
kepada kami Sufyân dari 'Amr bahwa ia mendengar Jâbir bahwa Rasulullah
saw. berkata: “Perang adalah siasat.”
Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman terhadap petunjuk hadis di atas
sejalan dengan redaksi teksnya, bahwa setiap perang pasti memakai siasat.
Ketentuan ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan kata lain petunjuknya
bersifat universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya
dengan menyerahkan diri kepada musuh.48
2. Kontekstual
Mekanisme dalam memahami hadis dan menghindari deradikalisasi
pemahaman sabda Nabi saw. di era modern ini perlu dikembangkan melalui teknik
interpretasi kontekstual,49 teknik ini berarti memahami petunjuk hadis Nabi saw.
dengan mempertimbangkan konteksnya, yang meliputi bentuk dan cakupan
petunjuknya, kapasitas Nabi saat hadis tersebut dikeluarkan, kapan dan sebab hadis
itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-dali lain
yang berhubungan dengan hadis tersebut.50
Sedang menurut Yûsuf Qarḏâwî, di antara cara yang baik memahami hadis
Nabi saw. adalah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang
melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu illat
(alasan/sebab) yang dinyatakan dalam hadis tersebut ataupun dapat dipahami
melalui kejadian yang menyertainya.51 Lebih lanjut lagi menurutnya, adakalanya
47 Abû Dâwûd, Sunan Abû Dâwûd Juz III 48 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h.6. 49 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran
Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, h. 205 50 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, terj. Muhammad al-Baqir,
Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Bandung: Karisma, 1993). h. 131 51 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 145
41
seseorang dengan berpegang pada pengertian lahiriah suatu sunnah (hadis), tidak
menetapkan jiwa sunnah itu sendiri ataupun maksud hadis yang sebenarnya.
Bahkan, bisa jadi dia melakukan apa yang berlawanan dengannya, meski tampak
berpegang padanya.52 Dengan demikian, memahami hadis Nabi saw. dengan teknik
interpretasi kontekstual ini harus mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:
a. Bentuk dan cakupan petunjuk hadis. Antara lain, yang berupa jawâmi’
al-kalim (perumpamaan yang singkat dan padat), tamtsîl
(perumpamaan), ẖiwâr (dialog) dan lain-lain. serta apakah hadis
tersebut bersifat universal atau temporal dan lokal.
b. Kapasitas Nabi saw. dalam kehidupan, baik itu sebagai Nabi dan
Rasul, pemimpin Negara, seorang ayah, suami, teman, panglima
perang dan sebagainya.
c. Latar historis (asbâb al-wurûd), dan sasaran ditujukannya hadis.53
d. Illat tertentu yang menjadi pemahaman dari hadis Nabi saw. Dengan
mempertimbangkan dimensi (asas) manfaat dan maslahat.
Contoh, dari penerapan interpretasi kontekstual dapat dilihat pada hadis
berikut:
ث نا العمش عن سهل أب السد عن بكي الزريه عن أنس قال كنا ف ث نا وكيع حد ب يت رجل حد
ة من ق من النصار عليه وسلم حت وقف فأخذ بعضادة الباب ف قال الئم ريش فجاء النب صلى الل
ا وف وا فمن ل ولم عليكم حق ولكم مثل ذلك ما إذا است رحوا رحوا وإذا حكموا عدلوا وإذا عاهدو
هم ف عليه لعنة الل والملئكة والناس أجعي 54ي فعل ذلك من
Telah menceritakan kepada kami Wakî' telah menceritakan kepada kami al-
A'masy dari Sahl, Abu al-Asadi dari Bukair al-Jazari dari Anas berkata,
kami berada disebuah rumah seseoang anshar lalu datang Nabi saw. lalu
beliau berhenti di depan pintu dan bersabda, “Para pemimpin itu dari
52 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, h. 21. 53 Aẖmad ibn Hanbal, Musnad Ah}mad Juz XIX (Cet I, Beirût: Muassasah al-Risâlah,
1997), h. 318 54 Imam Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî Juz II (Kairo: al-Matbaah al-Salafiyyah, t. th.), h. 504.
42
Quraisy, mereka mempunyai hak atas kalian dan juga sebaliknya, jika
mereka dimohon bersikap sayang maka mereka menyayangi, jika
menghukum maka mereka lakukan dengan adil, jika berjanji memenuhinya,
dan jika mereka tidak melakukannya maka mereka mendapat laknat Allah,
malaikat dan manusia semuanya.”
Jika hadis di atas dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw. maka dapat
disimpulkan bahwa ketika hadis tersebut dinyatakan, Nabi dalam kapasitasnya
sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari
ketetapannya yang bersifat primordial, sangat mengutamakan kaum Quraîsy.55 Jika
dipahami secara tekstual, maka hadis ini bertentangan dengan ayat Alquran yang
menyatakan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa. Untuk itu dalam memahami hadis ini, kita perlu melihat konteksnya.
Mengutamakan sebuah kaum dari yang lain bukanlah ajaran dasar dari agama
Islam, maka bisa disimpulkan bahwa petunjuk hadis ini bersifat temporal.
Menurut ibn Khaldûn seperti yang disebutkan Yûsuf Qarḏâwî, ketika Nabi
saw. menyatakan hadis ini, beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa
beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraîsy-lah yang memiliki kekuatan dan
kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan kekhalifaan atau
pemerintahan. Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraîsy-nya, melainkan
kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadis ini tidak menafikan jika suatu saat ada
orang bukan dari suku Quraîsy, akan tetapi memiliki kemampuan memimpin, maka
dia dapat diangkat menjadi pemimpin. Dengan interpretasi kontekstual seperti ini,
maka kita dapat menghindari deradikalisasi pemahaman hadis, selain itu, kita dapat
mengkompromikan hadis tersebut dengan ayat Alquran yang diawal terlihat
bertentangan.
Demikian, dalam hadis-hadis Nabi saw. ada yang lebih tepat jika dipahami
secara tekstual, ada juga yang lebih tepat jika dipahami secara kontekstual.
Interpretasi tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan
dengan hal-hal yang berkaitan dengannya, tetap menuntut pemahaman sesuai
dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut. Adapun interpretasi kontekstual
55 Yûsuf Qarḏâwî, Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 138.
43
dilakukan bila ada qarînah (petunjuk) yang mengharuskan hadis yang bersangkutan
dipahami tidak sebagaimana teks lahirnya saja (tekstual).56
4. Intertekstual
Interpretasi intertekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi
saw. dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Alquran
yang terkait. Dengan kata lain, ketika menggunakan teknik interpretasi
intertekstual, maka perlu memperhatikan teks dan konteksnya. Hal ini sehubungan
dengan fungsi hadis sebagai bayân (penjelas) bagi Alquran dan kadang berupa
penjelas atau penguat bagi hadis yang lain. Sebagai contoh, hadis Rasulullah saw.:
ثن أبو الطاهر أخب رن عبد الل ثن عمرو بن احلارث عن بكي بن الشجه أن بسر حد بن وهب حدع أب سعيد الدري ي قول كنا ف ملس عند أبه بن كعب فأ ثه أنه س تى أبو موسى بن سعيد حد
ع أحد منكم رسول الل صلى الل عليه وسلم الشعري مغض با حت وقف ف قال أنشدكم الل هل سع ي قول ستائذان ثلث فإان أذان لك وإالا فارجا قال أب وما ذاك قال استأذنت على عمر بن الا
ته الي وم فدخلت عليه فأخب رته أنه جئت أمس الطاب أمس ثلث مرات ف لم ي ؤذن ل ف رجعت ث جئ عناك ونن حينئذ على شغل ف لو ما استأذنت حت ي ؤذن لك فسلمت ثلث ث انصرفت قال قد س
عليه وسلم قال ف والل لوجعن ظهرك عت رسول الل صلى الل وبطنك أو لتأتي قال استأذنت كما سب سعيد ن يشهد لك على هذا ف قال أب بن كعب ف والل ل ي قوم معك إل أحدث نا سنا قم اي أ ب
عليه وسلم ي قول هذا عت رسول الل صلى الل ف قمت حت أت يت عمر ف قلت قد سTelah menceritakan kepadaku Abû al-Ṯahir; Telah mengabarkan kepadaku
'Abdullâh bin Wahb; Telah menceritakan kepadaku 'Amrû bin al-Harits dari
Bukair bin Al Asyaj bahwa Busr bin Sa'id; Telah menceritakan kepadanya,
dia mendengar Abû Sa'îd al-Khudrî berkata; Suatu ketika kami sedang
berada di Majlis Ubay bin Ka'ab, tiba-tiba Abu Musa Al Asy'ari datang
dalam keadaan marah, lalu beliau berdiri seraya berkata; Demi Allah,
apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar sabda Rasulullah saw.
berbunyi: "Meminta izin itu hanya tiga kali, apabila di izinkan, kalian
boleh masuk, jika setelah tiga kali tidak ada jawaban, maka
pulanglah." Ubay berkata; memang ada apa dengan Hadits tersebut? Abu
Musa menjawab; 'Kemarin aku telah meminta izin kepada Umar sebanyak
56 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-
Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, h. 6.
44
tiga kali, namun tidak ada jawaban, maka akupun pulang kembali. Lalu pada
hari ini aku mendatanginya lagi dan aku kabarkan kepadanya bahwa aku
telah menemuinya kemarin dan sudah aku ucapkan salam sebanyak tiga
kali, namun tidak ada jawaban akhirnya aku pulang kembali. Dan Umar
menjawab; kami telah mendengarmu, yang pada waktu itu kami memang
sedang sibuk hingga tidak sempat mengizinkanmu, tetapi kenapa kamu
tidak menungguku sampai aku mengizinkanmu? Abu Musa menjawab; Aku
meminta izin sebagaimana yang telah aku dengar dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Lalu Umar berkata; Demi Allah, aku akan menghukum
kamu hingga kamu mendatangkan saksi ke hadapanku mengenai hadis itu.
Kemudian Ubay bin Ka'ab berkata; Demi Allah, tidak akan ada yang
menjadi saksi atasmu kecuali orang yang paling muda di antara kami.
Berdirilah wahai Abu Sa'id! lalu akupun berdiri hingga aku menemui Umar,
dan aku katakan kepadanya; Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda
mengenai Hadis tersebut.
Hadis di atas mengandung petunjuk bahwa jika seseorang ingin memasuki
rumah orang lain, maka terlebih dahulu harus memberi salam dan meminta izinnya.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. QS. al-Nûr/24 : 27 yang berbunyi:
ي ها ٱلذين ءامنوا ل تدخلوا ب يوت لكم يأ نسوا وتسلهموا علىأ أهلها ذ
تستأ ر ب يوتكم حت غي رون لعلكم لكم خي ٢٧ تذك
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu)
ingat”.
E. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang memiliki kemajuan
peradaban islam, hal ini dapat dibuktikan melalui karya-karya ulama nusantara,
khususnya bidang kajian syarah Hadis. Beberapa ulama nusantara mendapat gelar
musnid al-dunya pada masanya, seperti Syaikh Maẖfuẕ al-Tirmâsi dari Termas,
Pacitan, Jawa Timur, Syaikh Yasin Ibn Isa Al-Fadâni dari Padang dan beberapa
ulama lainnya yang sekaliber mereka. Syarah Hadis di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup signifikan dari masa ke masa, dari era-pertumbuhan
hingga era kontemporer.
45
1. Masa Awal Pertumbuhan
Perkembangan hadis di Indonesia dimulai pada fase akhir abad ke-16 di
Aceh. Menurut Sounck Hurgronje, sebenarnya Aceh belum memiliki perhatian
khusus terhadap kajian hadis, akan tetapi genealogi kajian hadis pada masa itu telah
muncul bersamaan dengan karya-karya ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri, ‘Abd
Rauf al-Sinkili ysng telah memasukkan hadis dan Alquran dalam beberapa
karyanya. Karya-karya Hamzah dituangkan dalam bentuk puisi atau prosa, dalam
prosa tersebut ia menyelipkan beberapa ayat Alquran dan hadis yang ia
komibnasikan dengan bahasa melayu. Fakta ini merupakan gejala-gejala kajian
hadis yang berpengaruh pada fase berikutnya.57
Pada awal Abad ke-17 perkembangan syarah hadis pada tahap rintisan dan
menggunakan metode ijmâlî. Hal ini dibuktikan oleh Nur Al-Dîn al-Ranîri dalam
karya hadisnya yang berjudul al-Habîb fî al-Targhîb wa al--Tarhîb, kitab ini berisi
kumpulan Hadis Nabi Muhammad saw. yang ia terjemahkannya dari bahasa Arab
kedalam bahasa Melayu agar masyarakat muslim Nusantara mampu memahaminya
secara benar. Dalam kitab tersebut, al-Ranîrî menginterpolasikan hadis-hadis
dengan ayat-ayat Alquran untuk mendukung argumen-argumen yang digunakan
untuk mensyarahi hadis tersebut. Karya ini merupakan rintisan awal dalam bidang
hadis di Nusantara, upaya ini menunjukkan sangat pentingnya hadis dalam
kehidupan kaum Muslim Indonesia.58
Upaya al-Ranîrî dalam mensyarahi hadis dilanjutkan oleh ‘Abd Ra’uf al-
Sinkiîlî, bahkan ia telah menulis dua karya hadis sekaligus. Pertama yang ditulisnya
adalah penafsiran mengenai Hadîts Arba’in (empat puluh Hadis karya al-Nawawi),
yang ditulis atas permintaan Sultanah Zâkiyat al-Dîn, karya ini disajikan untuk
orang-orang ‘awam dalam bidang agama bukan untuk orang-orang khawâs yaitu
orang-orang yang telah mendalami ilmu Tasawuf dan mengamalkannya. Hadîts
Arba’in Nawawi merupakan sebuah koleksi kecil tentang hadis yang menyangkut
57 Munandar‚ Perkembangan Hadis di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Abd Rauf al
Sinkili), dalam Jurnal Ihya al ‘Arabiyyah Vol. 4 no. 1, h.118. 58 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, h. 235
46
kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum muslim, akan tetapi sangat
disayangkan karena menurut Azra karya ini tidak terdapat dalam bentuk cetakan.59
Karya keduanya adalah al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah yang mencakup koleksi hadis qudsi
yang mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan makhluk
dan ciptaannya seperti neraka dan surga serta tata cara yang patut bagi kaum muslim
untuk mendapatkan ridha Tuhan. al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah diterbitkan di Makkah
pada 1310 H/1892 M (edisi keempat atau kelima). Karya ini juga diterbitkan di
Penang pada 1369 H/1949 M dan masih digunakan sebagian kaum muslim di
Nusantara.60 Menurut Azra, upaya al-Sinkili dan al-Ranîri dalam menulis karya
hadis memberikan motivasi dan i’tibar bagi para Ulama Melayu-Nusantara di
kemudian hari untuk mengikuti alur mereka, sejak abad ke -19 karya semacam itu
menjadi sangat populer.
Setelah fase berikutnya, tepatnya pada awal abad ke-18 muncullah karya
milik ‘Abd Samad al-Pâlimbâni61 (1704–1789M) dengan menerjemahkan kitab
Lubâb Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Abû Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-
Ghazalî al-Ṯusî al-Syâf’î, dalam terjemahan tersebut ia juga menyertakan hadis-
hadis yang setema dalam pembahasan kitab tersebut.62
Metode penulisan yang digunakan pada masa awal rintisan di Indonesia,
cenderung menggunakan metode ijmâli, hal ini disebabkan karena masyarakat
Indonesia pada masa itu masih dalam tahap pengenalan dan pendalaman agama.
Sehingga dibutuhkan kajian yang singkat dan mudah dipahami bagi kaum awam.
Bahasa yang cenderung digunakan dalam mensyarah hadis ialah bahasa Melayu,
para ulama pada masa ini hendak memberikan pemahaman secara konkrit dan
mudah tentang hadis-hadis Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Indonesia
dengan tidak mengabaikan kondisi sosial-politik yang berkembang pada masa itu.
59 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 260 60 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 261 61 Abd al-Shamad al-Palimbani merupakan ulama yang berpengaruh di Nusantara dalam
penyebaran Islam di Nusantara, ia juga banyak belajar kepada ulama -ulama yang isnad hadisnya
unggul, diantaranya adalah Muhammad Murad (W. 1791) yang terkenal dengan al-Muradi,
Muhammad bin Ahmad Al Jawhari al Mishri (W. 1772) seorang muhadis terkemuka di Mesir dan
Atha’Allâh bin Aẖmad al-Azhari al-Mashri al-Makki, lihat Azra, Jaringan Ulama., 323-324. 62 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama., h. 118
47
Namun, kajian penulisan syarah hadis mengalami kemandegan kurang lebih
setengah abad, sehingga kegiatan penulisan syarah hadis di Indonesia mengalami
pergerakan yang lambat dibanding kegiatan penulisan keilmuan lainnya.
2. Masa Pertengahan
Dampak yang dirasakan oleh umat islam Indonesia dengan terjalinnya
jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara ialah adanya kemajuan
pengembangan kajian islam di bumi Nusantara, khususnya Hadis. Pada abad ke-
19 Masehi para ulama Indonesia yang memperdalam ilmu agama mereka di
Makkah-Madinah, menjadi ulama yang diakui kefaqih-annya dalam kancah
internasional. Sebab selain mereka memiliki otoritas keilmuan dalam segala
bidang, mereka juga sangat produktif dalam membangun bangsa (nation building)
dalam dunia aksara (literacy), diantaranya Syaikh Nawawi al Bantani, Syaikh
Mahfuz al-Tirmasi, Kyai Ahmad Darat al-Samarangi, Kyai Rifai dari Kali Salak
dan dilanjutkan pada abad ke-20 Syaikh Yasin Ibn Isa al-Fadani, Hasyim
‘Asy’ari dan beberapa ulama sekaliber lainnya.
Menurut Muh. Tasrif kajian hadis pada akhir abad 19 mulai marak dan
digeluti, hal ini disebabkan mulai dibentuknya kajian-kajian hadis dalam
kurikulum pendidikan, melingkupi pendidikan formal dan non-formal.63 Pada
abad ke-19 kegiatan penulisan syarah hadis diawali oleh Nawawi al-Bantani, ia
seorang ulama yang produktif dan menguasai keilmuan di berbagai bidang.
Tidak kurang dari 100 lebih karya yang ia hasilkan. Kitab-kitab yang ditulisnya
sebagian besar adalah kitab-kitab Syarah dari karya para ulama sebelumnya
yang populer namun dianggap sulit dipahami.64 Kitab Tanqiẖ al-Qaûl al- Hatsîts
fî Syarẖ Lubâb al-Hadîts merupakan magnum opus Nawawi al-Bantani dalam
bidang syarah hadis. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Lubâb al-Hadîts
karya al-Hâfiẕ Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Raẖmân Ibn Abî Bakar al-Suyûṯî (119-948
H.). dalam kitabnya Nawawi al-Bantani menjelaskan maksud hadis disertai
63 Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran ,(tt: tp: tt), h. 17. 64 Mamat Slamet Burhanuddin‚ K.H. Nawawi Banten: Akar Tradisi Keintelektualan NU,
dalam Jurnal Miqot, Vol. XXXIV No. 1 Januari-Juni 2010, h. 125
48
dengan makna perkata. Ia juga menambahkan hadis-hadis lain yang setema
dengan pokok pembahasan dalam keterangannya, tak jarang ia juga menjadikan
Alquran sebagai landasan argumen-argumennya dalam mensyarah hadis. Selain
itu, ia juga menambahkan jalur sanad hadis yang terdapat dalam kitab Lubâb al
Hadîts.
Awal abad 20, syarah hadis di Indonesia lebih cenderung mensyarah hadis
‘Arba’în, yaitu hadis yang dihimpun dalam satu kitab yang berjumlah 40 hadis atau
lebih. Berdasarkan penelitian Munirah dalam tesisnya tentang perkembangan
syarah hadis di Indonesia awal abad 20, syarah hadis di Indonesia pada awal abad
20 mengalami perkembangan yang signifikan hal ini ditandai maraknya penulisan
syarah hadis di Indonesia, seperti kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al-
Khairiyyah karya Mahfudz al-Tirmasi, kitab al-Tabyîn al-Râwî Syarẖ ‘Arba’în al-
Nawâwî karya Kasyful Anwar. Menurutnya kajian syarah hadis pada awal abad 20
mengalami perkembangan dalam aspek metode, yaitu metode Tahlîlî. Penjelasan
yang komprehensif baik dari sisi sejarah, bahasa, penjelasan konteks ataupun
keilmuan lainnya, seperti yang tercermin dalam kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ
Minẖaẖ al- Khairiyyah karya Mahfudz al-Tirmasi.65
Pada abad ini, metode pemahaman hadis Nabi mulai menggunakan content
analysis yaitu teknik analisis yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui
usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara obyektif dan
sistematis. Metode ini bertujuan untuk menganalisa, mengidentifikasi serta
mengolah dokumen untuk memahami makna dan signifikansinya.66
3. Masa Kontemporer
Budaya masyarakat modern dan kemajuan teknologi memicu munculnya
konflik-konflik yang baru dan kompleks, sehingga membutuhkan solusi yang
sesuai konteks modernitas dari Alquran dan Hadis. Kajian hadis di Indonesia
65 Muniroh, ‚Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; Studi kitab al- Khil’ah
al- Fikriyyah Syarẖ} Minẖ}aẖ} al- Khairiyyah karya Mahfudz al- Tirmasi, kitab al-Tabyîn a l - Râwî
Syarẖ ‘Arba’în al-Nawâwî karya Kasyful Anwar‛, (Thesis: UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 172 66 Muniroh‚Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20, h. 128
49
pada akhir abad 20 semakin marak dengan lahirnya perguruan -perguruan tinggi
agama Islam. Terutama ketika dibuka program pascasarjana baik tingkat S2
maupun S3 diberbagai perguruan tinggi islam. Kajian pemikiran hadis di
perguruan tinggi juga cukup pesat, ditandai dengan karya-karya ilmiah yang
dihasilkan. Misalnya Hasbi ash-Shiddiqiey yang menjelaskan hadis Nabi dengan
menggunakan bahasa Indonesia dengan tujuan agar mudah dipahami oleh
seluruh masyarakat dari berbagai kalangan.67
Pada abad ini juga telah dibuka jurusan Tafsir Hadis yang konsern
terhadap bidang tafsir dan hadis. Namun, dekade terakhir pada tahun 2009 telah
dikeluarkan pembidangan keilmuan dalam KMA No. 36 tahun 2009, dimana
studi keilmuan Tafsir Hadis dijadikan dua prodi yakni Ilmu Alquran dan Tafsir
serta Ilmu Hadis.68
Pendekatan yang digunakan oleh pensyarah hadis dalam memahami
hadis Nabi saw. juga mulai beragam, seperti pendekatan saintifik, sosiologi,
antropologi dan bidang keilmuan lainnya, dengan langkah tersebut diharapkan
dapat menemukan solusi serta pemahaman yang lebih luas terhadap suatu hadis.
Ciri khas syarah di era kontemporer ini adalah pada metode yang digunakan,
yaitu metode Tematik (Mauḏû’î). Metode mauḏû’î tersusun dalam tema-tema
tertentu (tematik) atau membahas topik-topik yang menjadi problematik dalam
masyarakat modern dengan tujuan mendapatkan solusi dari hasil kajian syarah
tersebut.69 Beberapa contoh kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara
lain; Akikah Menurut Tuntunan Hadis-Hadis Nabi karya Abidin Ja’far (1987),
Membentuk Pribadi Muslim Berdasarkan Otentisikasi Hadis Rasul karya Artani
Hasbi dan Zaitunah (1989), Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Alquran dan
Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2005), Kerukunan Umat Beragama dalam
Perspektif Alquran dan Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2000).
67 Muniroh‚ Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; h. 69 68 Alfatih Suryadilaga, ‚Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan Karakteristiknya,
dalam Jurnal of Quran and Hadith Studies Vol. 4 No. 2 (2015), h. 217. 69 Alfatih., Metodologi Syarah., h. 64.
50
Selain itu, metode yang sering digunakan oleh pensyarah hadis di era ini
adalah metode tematik klasik dengan cara mengumpulkan hadis dalam suatu
keilmuan tertentu. Pembahasannya lebih bersifat umum karena tidak fokus
terhadap satu masalah tertentu, melainkan fokus terhadap suatu keilmuan
tertentu. Contoh karya syarah hadis yang menggunakan metode ini antara lain;
Hadis Tarbawi karya Abu Bakar Muhammad, Hadis Tentang Peradilan Agama
karya Fatchur Rohman, Kitab Pengobatan Nabi: disarikan dari Hadis-hadis
Rasulullah saw. karya Ahmad Sunarto (1992).
Metode mauḏû’î pada masa ini mendominasi dibanding metode lainnya,
namun metode-metode lainnya masih dapat ditemukan, seperti kitab Misbâẖ al-
Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary yang masih
menggunakan metode muqârin (komparasi).
Berikut penulis lampirkan tabel berdasarkan hasil penelitian Alfatih
Suryadilaga, guna memudahkan pembaca untuk mengklasifikasikan ciri-ciri
metodologi syarah hadis pada periode klasik dan kontemporer:70
Ciri-ciri Metodologi Syarah Hadis Klasik dan Kontemporer
Klasik Kontemporer
Tema sesuai kitab induknya Tema kontekstual
Bentuk utuh sesuai kitabnya Bentuk tidak utuh/per tema
Hasil: the Original Meaning Hasil: Applicable Meaning
70 Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. xx
51
BAB III
KIYAI MUHAJIRIN AMSAR AL-DARI DAN KITAB MISBÂH AL-DZALÂM
SYARH BULÛGH AL-MARÂM
A. Biografi Kiyai Muhajirin Amsar
1. Latar Belakang Keluarga Kiyai Muhajirin Amsar
Kiyai Muhajirin merupakan ulama yang berpengaruh di Bekasi, meski ia adalah
pendatang. Nama lengkapnya adalah Muhammad Muhajirin Amsar al-Dârî, Ayahnya
memberikan nama Muhammad Muhajirin, sedangkan Amsar adalah nama kunyah yang
disandarkan kepada namanya. Adapun nama al-Dârî disandarkan kepada Madrasah
Darul ‘Ulum al-Diniyyah di Makkah, karena ia belajar dan lulus dari sana, yang
kemudian ia mengajar disana selama beberapa tahun.1
Muhajirin lahir di Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur pada 10 November
1924, dan wafat pada hari Jum’at 31 januari 2003 dimakamkan di pemakaman keluarga
Ma’had al-Nida al- Islami Bekasi. Ia juga dibesarkan di Kampung baru oleh kedua
orang tuanya, dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan. Nama Ayahnya Haji Amsar
dan Ibunya bernama Hj. Zuhriyah. Ayahnya adalah seorang pedagang kaya yang
menjadi pusat pemasokan telur di Jati Negara.2
Muhajirin memiliki seorang istri yang bernama Hj. Siti Hanah binti KH.
‘Abdur Rahman Sodri. Mertua Muhajirin adalah pendiri pondok pesantren ‘Ma’had
Bahagia’ di Bekasi, yang kini beralih menjadi Ma’had al-Nida al-Islami Bekasi.
Pernikahannya dengan Hj. Siti Hanah dikaruniai delapan putra-putri. Mereka adalah:
1) Hj. Faiqoh Muhajirin
2) H. Muhammad Ihsan Muhajirin
3) H. Ahmad Zufar Muhajirin (Almarhum)
4) Hj. Badi’ah Muhajirin
5) Hj. Farhah Muhajirin
1 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, (Kairo: Dâr
al-Hadîts, 2018), Jil. I, h. 7. 2 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 7
52
6) Hj. Rufaida Muhajirin
7) H. Dhiya Al Maqdisi Muhajirin
8) H. Muhammad Aiz Muhajirin.3
Dalam menjalani peran sebagai ulama dan orang tua, Kiyai Muhajirin
merupakan sosok yang bersahaja dan sangat sederhana dalam kehidupan sehari-
harinya. Ia tidak pernah menampakkan kemewahan, meski ia tumbuh besar dalam
lingkungan keluarga yang berkecukupan. Kiyai Muhajirin menjadi sosok ulama
bersahaja dengan gaya khas lokalnya yang sederhana, hal ini nampak dalam gaya
pakaiannya sehari-hari yang terkesan apa adanya.4
Ketika mendidik anak-anaknya, Kiyai Muhajirin lebih bersikap demokratis. Ia
memberikan kebebasan terhadap putra-putrianya untuk menentukan pilihan dalam
dunia pendidikan, sehingga mereka dapat mengembangkan minat dan bakatnya tanpa
intervensi dari orangtua. Sedangkan putri-putri Kiyai Muhajirin dididik dengan tegas,
mereka diharuskan memperdalam ilmu agama dan melanjutkan pendidikannya ke Majma’
al-Marhalah al-‘Ulya demi menjaga putri-putrinya dari pergaulan dan ancaman dunia
global.5
2. Latar Belakang Pendidikan Kiyai Muhajirin Amsar
Muhajirin Amsar tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang memiliki
penguasaan ilmu agama yang mendalam. Kakeknya dari jalur ibu seorang guru agama
di Madrasah Diniyyah. Ia mulai mengaji kepada guru-guru di sekitar kampungnya. Ia
belajar mengenal huruf hijaiyah dan membaca Alquran kepada gurunya Muallim Sairon.
Kemudian ia bergabung dengan majlis para ulama di daerah kawasan Jakarta-Banten.
Nama-nama guru Muhajirin di daerah Jakarta-Banten adalah:
1) Syaikh Juru Ashmat
3 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-
Islami Bekasi Timur, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 39. 4 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-
Islami Bekasi Timur, h. 40 5 Khoirun Nisa, ‚Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-
Islami Bekasi Timur, h. 41
53
2) H. Mukhayyar (Muhajirin belajar kepadanya selama enam tahun, guru
pertama yang mengajarkan dasar-dasar agama, seperti ilmu Nahwu, sarf,
fiqh, ilmu manṯiq, ilmu kalâm dan ilmu Bayân)
3) H. Ahmad (Muhajirin belajar kepadanya selama empat tahun, dan
belajar beberapa kitab, salah satunya kitab hadis Arba’în al ‘Usfurî)
4) KH. Hasbiyallah (Muhajirin berguru kepadanya selama tiga tahuan, dan ia
juga belajar berbagai keilmuan agama yang lebih tinggi tingkatannya
seperti Tasawwwuf, Balâghah, Tafsîr dan lain-lain.)
5) H. Anwar
6) Ahmad Mursyidi
7) H. Hasan Muntaha (Muhajirin belajar beberapa cabang keilmuan
kepadanya, salah satunya ‘ilmu musṯâlâẖ al Hadîts)
8) Syaikh Muhammad Thohir (Muhajirin belajar kepadanya selama
Sembilan tahun, ia juga menimba banyak cabang keilmuan kepada syaikh
muhammad Thohir, dalam bidang hadis ia mempelajari Saẖîẖ al-Bukhârî
dan Saẖîẖ Muslim)
9) Syaikh ‘Abdul Majid (Muhajirin juga banyak mempelajari berbagai
bidang keilmuan kepadanya, dalam bidang hadis ia mengaji kitab Saẖîẖ
al-Bukhârî dan Riyaḏ al-Sâlihîn)
10) Syaikh Ahmad ibn Muhammad
11) KH. Sholih Ma’mun Al Bantani
12) Syaikh ‘Abdul Majid Pakojan
13) Syaikh ‘Ali ibn ‘Abdur Rahman al-Habsyi.6
Setelah belajar kepada para ulama di kawasan Jakarta-Banten, ia merasa belum
memiliki keluasan ilmu dan kemudian ia belajar Qira’at Sab’ah kepada KH. Sholih
Ma’mun. Kiyai Muhajirin merupakan ulama yang sangat ahli dalam beberapa keilmuan,
salah satunya adalah ilmu falak. Ia belajar ilmu falak pertama kali kepada syaikh Ahmad
Ibn Muhammad. Karena merasa masih kurang puas ia memperdalam ilmu falaknya
6 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 8
54
kepada Syaikh Mansûr ibn ‘Abdul Hamîd al-Falakî yang merupakan guru syaikh Ahmad
ibn Muhammad, sehingga Kiyai Muhajirin mendapat gelar ahli falak pada masanya
karena kemahirannya terhadap ilmu falak melebihi ulama-ulama lainnya. Ia merupakan
salah satu ulama yang menentukan ru’yat al-hilâl, setiap datangnya awal bulan
khususnya bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri (Syawwal) dan Dzulhijjah di
Indonesia.7
Muhajirin merasa bahwa yang ia dapatkan selama belajar di Indonesia belum
cukup sempurna untuk bekal hidupnya, kondisi Indonesia yang terjajah oleh Belanda
juga menjadikannya tidak leluasa untuk belajar, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke
Makkah pada Juni 1942 M dengan tujuan Haji sekaligus belajar di sana. Namun, ia tidak
jadi berangkat pada tahun tersebut, disebabkan banyaknya rintangan dan halangan dari
misionaris dari Belanda yang mengetahui niatnya tersebut.8
Muhajirin memiliki tekad dan niatnya yang kuat untuk belajar lebih dalam lagi
dan akhirnya ia berangkat melalui jalur laut pada Agustus 1947 M dan sampai di
Makkah pada September 1947 M dan ia memutuskan untuk menetap dan belajar di
Makkah selama beberapa tahun.9
Ketika Kiyai Muhajirin belajar di Makkah ia belajar kepada beberapa guru
terkemuka pada masa itu, berikut guru-guru Kiyai Muhajirin di Makkah:
1) Syaikh Muhammad Aẖîd sekaligus guru Syaikh ‘Aṯârid al Jâwî. (Muhajrin
mempelajari beberapa kitab kepadanya antara lain: Fatẖ al-Wahhâb, Abî Shujâ’,
2) Syaikh Hasan Muhammad al Mishâṯi (Muhajirin mempelajari kitab Saẖîẖ al-
Bukhârî dan Saẖîẖ Muslim)
3) Syaikh Zain Bawean (Ia mempelajari kitab Iẖyâ’ ‘ulûm al-Dîn karya al-Ghazâlî)
4) Syaikh Muhammad ‘Alî ibn Husain al Mâlikî.
5) Syaikh Mukhtâr Amfanân (ia belajar kitab Saẖîẖ al-Bukhârî dan al-Itqân fî
‘ulûm al-Qur’ân)
7 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 8 8 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 12 9 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 12
55
6) Syaikh Muhammad al-‘Arâbî al-Tabânî al-saṯaifî al-Jazâirî (Muhajirin belajar
berbagai bidang keilmuan, dalam bidang hadis ia mempelajari kitab Saẖîẖ al-
Bukhârî, Sunan Ibn Mâjah, al-Targhîb wa Tarhîb dan Riyâḏ al-Saliẖîn)
7) Sayyid ‘Alwî ‘Abbas al-Mâlikî.
8) Syaikh Ibrâhim Faṯânî.
9) Syaikh Muhammad Amîn al-Kutubî
10) Syaikh Ismâ’il Faṯânî.10
Pada bulan Juli 1950, Kiyai Muhajirin memutuskan untuk masuk di Madrasah
terkemuka di Makkah yaitu Dâr al-‘Ulûm dan yang menjadi mudir madrasah (kepala
Sekolah) pada saat itu adalah syaikh Ahmad Mansuri, sedangkan Syaikh Yasin Ibn Isa
al Fadani sebagai Naib di sana, dan Kiyai Muhajirin belajar di sana selama dua tahun.11
Pada bulan Agustus 1951 M, Kiyai Muhajirin menyelesaikan ujiannyanya di
Madrasah dengan nilai jayyid, ia menjadi murid tercepat dan termuda di madrasah
Darul Ulûm Makkah, yaitu hanya selama dua tahun. Setelah itu ia melanjutkan
belajarnya untuk memperdalam ilmu hadis kepada al-Musnid al-‘Âlam dari Indonesia,
yaitu Syaikh Yasin Ibn Isa al-Fadani. Ia mempelajari berbagai kitab hadis yang meliputi
ilmu hadis, syarah hadis dan kitab-kitab hadis mu’tabar. Selain itu, Kiyai Muhajirin
mendapatkan sanad dari syaikh Yasin yang sampai kepada mukharij dari kitab-kitab
yang ia pelajari, antara lain: Muwaṯṯa’ Mâlik, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmiẕî,
Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibn Mâjah, Saẖîẖ Muslim dan Saẖîẖ al-Bukhârî. Semua kitab-
kitab ini hatam dengan sempurna di hadapan syaikh Yasin. Ia juga mendapat ijâzah dari
syaikh Yasin yang sampai kepada syaikh Muhammad ‘Alî yang terdapat dalam kitab
Maslak al-Jalî serta kitab maṯma’ al Wujdân yang sanadnya dari Syaikh ‘Umar Hamdân.
Setelah syaikh Yasin membaca kitab Manâhil al-Silsilah fî al-Aẖâdîts karya Syaikh
Muhammad ‘Abdul Baâqî, ia juga mengijazahkan kepada Muhajirin secara khusus dan
umum.12
Setelah banyak belajar dari syaikh Yasin, Kiyai Muhajirin diminta orang tuanya
10 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 14 11 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 15 12 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 15
56
untuk pulang ke Tanah Air , sehingga ia pulang dan sampai di Indonesia pada 6 Agustus
tahun 1955 M.
3. Karya-Karya Kiyai Muhajirin Amsar
Kiyai Muhajirin merupakan ulama’ yang memiliki keilmuan yang sangat luas dan
produktif. Ia mengarang banyak kitab dalam bahasa arab yang tersebar di Jakarta dan
sekitarnya hingga sekarang. Kiyai Muhajirin melihat santri-santrinya merasa kesulitan
dalam mempelajari dan memahami kitab ulama klasik.
Berdasarkan fenomena tersebut, Kiyai Muhajirin menulis beberapa kitab yang
mudah dipelajari oleh santrinya di berbagai tingkatan dan berbagai bidang keilmuan.
Berikut karya-karyanya yang telah tercetak :
- Bidang Nahwu dan Balaghah:
• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Ûlâ
• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Tsâniyah
• Fan al-Muṯâlâ’ah al-Tsâlitsah
• Al-Maẖfûẕât
• Al-Qawâ’id al-Naẖwiyah al-Ûlâ
• Al-Qawâ’id al-Naẖwiyah al-Tsâniyah
• Al-Bayân
• Mukhtârât al-Balâghah
- Bidang Tauhid:
• Mulkhas al-Ta’lîqât ‘alâ Matn al-Jauhirah
• Syarẖ al-Ta’lîqât ‘alâ Matn al-Jauhirah
- Bidang Ilmu Ushul Fiqh
• Taisîr al-Wusûl fî ‘ilm al-Wusûl
• îḏâẖ al-Maurûd
• Istikhrâj al-Furû’ ‘alâ al-Usûl
• Al-Khilâfiyât
57
• Al-Qawâid al-Khamsu al-Bahiyah
• Takhrîj al-Furû ‘alâ al-Usûl
• Ma’rifat Ṯuruqu al-Ijtihâd
- Bidang ilmu Musṯalaẖ Hadîts dan Hadis:
• Al-Ta’lîqât ‘alâ matn al-Baiqûnî
• Al Istidzkâr
• Misbâẖ al-Ẕalâm fî Syarẖ Bulûgh al-Marâm
• Syarẖ Musnad Imâm al-Syâfi’î.
- Bidang Ilmu Mantiq:
• Al-Madârik fî al-Manṯiq
• Al-Nahju al-Maṯlûb ilâ al-Manṯîq al-Marg}ûb
• Al-Qaûl al-Fâiḏ fî ‘Ilm al-Farâiḏ
- Bidang Akidah dan Akhlak:
• Mir’ât al-Muslimîn
• Al-Ta’aruf fî al-Tasawwuf
- Bidang Sejarah:
• Târîkh Muẖammad Rasulullah SAW wa al-Khulafâ’ al Râsyidûn
• Al-Muntakhab min Târîkh Daulah Bani Umayyah
• Târîkh al-Adab al ‘Arâbiy
• Al-Tanwîr fî Usûl al-Tafsîr
• Taṯbîq al-Ayât bi al-ẖadîts
• Al-Siqâyah al-Mar’iyyah fî Al-Baẖts wa al-Munâẕarah
58
• Qar’u al-Sam’i fî al-Waḏ’i.13
B. Deskripsi Kitab Misbâh al-Ẕalâm
Kitab Misbâh al-Ẕalâm fî Syarẖ Bulûgh al-Marâm merupakan kitab syarah hadis
yang mensyarahi hadis-hadis Aẖkâm yang terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. Kitab
syarah hadis ini disusun sesuai dengan kitab hadis yang terdapat dalam kitab induknya,
yaitu Bulûgh al-Marâm. Kiyai Muhajirin memiliki sistematika yang ia tonjolkan dalam
menulis kitab, serta ia juga memiliki alasan kuat dalam memilih kitab Bulûgh al-Marâm
sebagai kitab induknya dalam mensyarahi hadis. Hal tersebut akan dijelaskan dalam bab
ini secara deskriptif.
1. Latar Belakang Penulisan Kitab
Kiyai Muhajirin merupakan ulama pada akhir abad ke-20 yang memiliki
kepakaran di berbagai bidang keilmuan, diantara keilmuan yang menonjol secara khusus
ialah bidang Hadis. Pernyataan ini disetujui oleh anak bungsunya H. Aizzullah. Hal ini
dikarenakan Kiyai Muhajirin telah belajar di Makkah dalam waktu yang relatif panjang
bersama Syekh Yasin Ibn Isa al-Fadani di Dâr ‘Ulûm Makkah. Ia bahkan menjadi murid
kesayangan dari Syaikh Yasin, yaitu musnid al-dunya pada masanya.14 Kiyai Muhajirin
mensyarah kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî secara keseluruhan.
Kitab ini terdiri dari empat jilid dan mencapai 1. 541 halaman.
Hal yang melatar belakangi penulisan kitab ini adalah karena munculnya rasa
kagum Kiyai Muhajirin terhadap kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar. Baginya, kitab
Bulûgh al-Marâm merupakan kitab hadis Ahkam yang sangat fenomenal. Kiyai
Muhajirin juga menyatakan bahwa para ulama setelah Ibn Hajar menjadikan kitab Bulûgh
al-Marâm sebagai rujukan. Selain itu para pendidik di berbagai negara termasuk
Indonesia menjadikan kitab Bulûgh al-Marâm sebagai bahan ajar mereka. Bagi Kiyai
Muhajirin, kitab Bulûgh al-Marâm lebih fenomenal dibanding kitab-kitab mu’tabar
13 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 30 14 Jawiah Dzakir dan Ahmad Levi‚ “Ketokohan Syekh Muhajirin Amsar Ad-Dary Sebagai
Ilmuwan Hadis Nusantara”, dalam Jurnal Prosiding Nadhwah Ulama Nusantara, Vol. IV, 5-26 November
2016, h. 234.
59
seperti sunan dan jawâmi’ lainnya. Madrasah, Pesantren dan perguruan tinggi menjadikan
kitab Bulûgh al-Marâm sebagai rujukan dalam mencari hadis-hadis ahkam dalam setiap
generasi dan berbagai madzab, Bulûgh al-Marâm diterima dalam berbagai perbedaan
ideologi. Berdasarkan hal tersebut, Kiyai Muhajirin berkeyakinan bahwa kitab Bulûgh al-
Marâm merupakan sebuah karya besar yang lahir dari ulama besar Ibn Hajar al-‘Asqalânî.
Ia juga berkeyakinan bahwa syarahnya terhadap Bulûgh al-Marâm dapat memberikan
kemudahan kepada seluruh peserta didik yang mempelajari dan memahami hadis yang
terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm.15 Selain itu, Kiyai Muhajirin juga menyatakan
bahwa karyanya ini telah mendapat restu dan dukungan dari para gurunya di madrasah
Dâr al-‘Ulûm, Masjid al- Haram dan para gurunya di Masjid Madinah.
2. Sistematika Penulisan Kitab
Secara umum, sistematika penulisan dalam kitab Misbâẖ al-Ẕalâm mengikuti
sistematika yang terdapat dalam kitab Bulûgh al-Marâm. dalam syarahnya, Kiyai
Muhajirin mencantumkan hadis dari kitab Bulûgh al-Marâm dengan memberikan tanda
huruf (ص ) yang berarti musannif pada awal kalimat dan memberikan tanda huruf (ش)
yang berarti syarah pada kalimat pertama dalam syarahnya.
Dalam setiap kitab, ia menjelaskan makna kebahasaan dengan tujuan memperoleh
pemahaman yang komprehensif, baik lafaz tersebut berupa judul bab ataupun hadis itu
sendiri. Namun, penjelasan kebahasaan lebih bersifat interpretatif bukan sebatas
mengungkap bentuk kalimatnya (morfologi dan filologi). Tidak jarang, Muhajirin
menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai penguat syarahnya dalam konteks-konteks
tertentu.
Langkah selanjutnya ia menuliskan kembali hadis yang terdapat dalam kitab
induknya, dan menjelaskan asbâb al-wurûd-nya jika ada. Ia menafsirkan hadis dengan
bentuk bi al-ma’tsûr, karena menafsirkan hadis dengan hadis lainnya dan mensyarahi
hadis dengan Ayat Alquran yang memiliki relasi dengan hadis tersebut.
Kemudian ia mengungkapkan pendapat para ulama madzab fikih seperti Abu
15 Muhammad Muhajirin Amsar Bekasi, Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm, h. 21
60
Hanîfah, Imam al-Syâfi’î, Imam Maliki dan Ahmad bin Hanbal terkait pemahaman
mereka dalam hadis ahkam tersebut. Namun, ia tidak memberikan sintesis akhir dalam
setia hadis yang ia syarahi. ia hanya menutupnya dengan pernyataan ulama-ulama ahli
fikih dan membiarkannya tanpa ia tambahkan penjelasan beliau terhadap masing-masing
pendapat mereka.
Sistematika di atas sebenarnya tidak dijalankannya secara konsisten dalam
masing-masing syarah hadisnya. Namun, secara umum ia menyusun syarah hadisnya
dengan sistematika tersebut. Adapun untuk memudahkan pembaca dalam memahami
sistematika yang terdapat dalam kitab Misbâh al-Ẕalâm, berikut tabel sistematika dari juz
1 -4 kitab Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm:
No Juz Kitab Bab
1
I
Kitâb al-Ṯahârah
Bâb al-Miyâh
2 Bâb al-Âniyah
3 Bâb Izâlah al-Najâsah wa Bayânuha
4 Bâb al-Wuḏû’
5 Bâb al-Masẖu ‘alâ al-Khuffain
6 Bâb Nawâqiḏ ‘alâ al-Wuḏû’
7 Bâb âdâb Qaḏâ’ al-ẖajât
8 Bâb al-Ghuslu wa ẖukmu al-Junub
9 Bâb al-Tayammum
10 Bâb al-ẖaiḏ
11
Kitâb al-Salât
Bâb al-Mawâqît
12 Bâb al-Adzân
13 Bâb Syuruṯ al-Salât
14 Bâb Satrât al Musallî
15 Bâb al ẖatstsu ‘alâ al-Khusyû’
16 Bâb Sifat al Salât
17 Bâb Sujûd al-Sahwi Wa Ghairuhu
61
18 Bâb al-Salât al-Taṯawwu’
19 Bâb Salât al-Jamâ’ah wa al-Imâmah
20 Bâb Salât al-Musâfir wa al-Marîḏ
21 Bâb Salât al-Jum’âh
22 Bâb Salât al-Khaûf
23 Bâb Salât al-Kusûf
24 Bâb Salât al-Istisqâ’
25 Bâb Libâs
26 Kitâb al-Janâiz
27 Kitâb al-Zakât
28 Kitâb Abî Bakr ilâ al-
Bahrâin fîhi Bayân
Nisâb al-An’âm
Bâb Sadâqah al-Fiṯr
29 Bâb Sadâqah al-Taṯawwu’
30 II Bâb Qism al-Sadaqât
31 Kitâb al-Siyâm
Bâb al-Saum al-Taṯawwu’ wa mâ
Nahâ ‘anhu
32 Bâb al-I’tikâf wa Qiyâmu Ramaḏân
33
Kitâb al-ẖajj
Bâb Bayân Faḏluhu wa Man Faraḏa
‘alaihi
34 Bâb al-Mawâqît
35 Bâb Wujûh al-Iẖrâm
36 Bâb al-Iẖrâm wa mâ Yata’allaqu bihi
37 Bâb Sifat al-ẖajj wa Dukhul Makkah
38 Bâb al-Fawât wa al-Iẖsâr
39 Kitâb al-Buyû’ Bâb Syurûtuhu wa mâ Nahâ ‘Anhu
40 Bâb al-Khiyâr
41 Bâb al-Ribâ’
42 Bâb al-Rukhsah fî ‘Arâyâ wa Bai’u
al-Usûl wa al-Tsimâr
43 Bâb al-Taflîs wa al-ẖijr
62
44 III
Bâb al-Sulhu
45 Bâb al-Huwâlah wa al-ḏammân
46 Bâb al-Syirkah wa al-Wakâlah
47 Bâb al-Iqrâr
48 Bâb al-‘âriyah
49 Bâb al-Ghâsab
50 Bâb al-Syuf’ah
51 Bâb al-Qirâḏ
52 Bâb al-Musâqah wa al-Ijâzah
53 Bâb Iẖyâ’ al-Maut
54 Bâb al-Waqaf
55 Bâb al-Hibah wa al-‘Umrâ wa al-
‘Uqbâ
56 Bâb Luqaṯah
57 Bâb al-Farâiḏ
58 Bâb al-Wasâyâ
59 Bâb al-Wadî’ah
60 Kitâb al-Nikâẖ Bâb al-Kafâ’ah wa al-Khiyâr
61 Bâb ‘Isyrati al-Nisâ’
62 Bâb al-Sidâq
63 Bâb al-Walîmah
64 Bâb al-Qasmi
65 Bâb al-Khul’i
66 Bâb al-Ṯalâq
67 Bâb al-Ilâ’ wa al-dzihâr wa al-
Kaffârah
68 Bâb al-Li’an
69 Bâb al-Iddah wa al-Iẖdâd
70 Bâb al-Raḏâ’
63
71 Bâb al-Nafaqah
72 Bâb al-ẖaḏânah
73 IV
Kitâb al-Jinâyât Bâb al-Diyât
74 Bâb Qitâlu Ahlu al-Baghy
75 Bâb Qitâl al-Jânî wa Qatlu al-Murtad
76 Kitâb al-ẖudûd Bâb ẖad al-Qadzaf
77 Bâb ẖad al-Sirqah
78 Bâb ẖad al-Syârib
79 Bâb al-Ta’zîr wa ẖukm al-Sail
80 Kitâb al-Jihâd Bâb al-Jizyah wa al-Hudnah
81 Bâb al-Sabq wa al-Ramyu
82 Kitâb al-Aṯ’imah Bâb al-Saidi wa al-Dzabâiẖ
83 Bâb al-Aḏaẖiyyi
84 Bâb al-‘Aqîqah
85 Kitâb al-Aiman wa al-
Nudzûr
86 Kitâb al-Qaḏâ’ Bâb al-Syahâdât
87 Bâb al-Da’âwî wa al-Bayyinât
88 Kitâb al-Itqi Bâb al-Mudabbir wa al-Mukâtib wa
Ummi al-Walad
89 Kitâb al-Jâmi’ Bâb al-Adab
90 Bâb al-Birri wa al-Sillah
91 Bâb al-Zuhdi wa al-Wara’
92 Bâb al-Tarẖîb min Musâwî al-Akhlâq
93 Bâb al-Targhîb min Makârim al-
Akhlâq
94 Bâb al-Dzikr wa al-Du’â
Tabel di atas merupakan sistematika yang digunakan oleh untuk memisahkan
antara juz satu dengan lainnya. Muhajirin tidak terfokus untuk menyelesaikan
64
pembahasan kitab dalam jilid sebelumnya. Ia tidak memfokuskan terhadap
sistematisnya penyusunan kitab, karena ia fokus terhadap metode pemahaman hadis agar
mudah dipahami.
3. Metode Penulisan Kitab
Metode penulisan yang dilakukan oleh Kiyai Muhajirin dalam menulis kitabnya
Misbâh al-Ẕalâm menempuh beberapa langkah sebagai berikut:
a. Menjelaskan hukum hadis
Dalam beberapa hadis yang ditulis, Kiyai Muhajirin biasanya mengemukakan
hukum hadis secara umum yang ditulisnya dengan ringkas. Ia juga menjelaskan status
hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama dan ahli fikih. Seperti adanya ‘illat, kedudukan
hadis sebagai hadis marfu’ atau mauqûf dan lainnya. Berikut contoh syarah hadis yang
menjelaskan hukum hadis:
Pada hadis ini, sanad yang riwayatkan imam Muslim munqaṯi’ sedangkan sanad
hadis yang diriwayatkan al- Daruquṯnî mausûl. Dalam hal ini Muhajirin
mengaplikasikan kaidah ilmu hadis al-jarẖ muqaddam ‘alâ ta’dîl.
b. Menuliskan hadis tidak disertai sanad secara lengkap
Dari seluruh hadis yang ia tulis, ia tidak mencantumkan sanad secara lengkap
dalam hadisnya. Ia menuliskan hadis dengan mencantumkan rawi pertama yaitu
golongan sahabat. Namun, tak jarang ia menyebutkan lafadz-lafadz hadis yang
diriwayatkan oleh mukharrij lainnya, jika terdapat perbedaan lafadz.
c. Mencantumkan Alquran dan hadis yang setema.
Dalam syarah hadisnya, Kiyai Muhajirin kerap kali mencamtumkan ayat- ayat
yang setema dengan hadis yang ia syarahi. Terkadang ayat tersebut berfungsi sebagai
klarifikasi, terkadang sebagai ayat yang dijelaskan oleh hadis dan bahkan ayat tersebut
sebagai penjelas serta penguat hadis tersebut. Tak jarang, ia juga mencantumkan hadis
untuk mengungkapkan asbâb al-wurûd hadis yang disyarahi. Selain itu Kiyai Muhajirin
juga mencantumkan hadis-hadis yang setema dan mengkompromikan beberapa hadis
65
kontradiktif, meski hal tersebut terhitung sangat minim.
d. Mencantumkan pendapat ulama ahli fikih.
Muhaajirin senantiasa mencantumkan pendapat ulama fikih ketika menganalisis
hadis terkait hukum. Seperti Imam al-Syafi’î, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad
bin Hanbal, Imam Nawâwî, al-Qurṯûbî, dan ulama ahli fikih lainnya. Namun ia tidak
memberikan argumen secara khusus untuk mendukung salah satu pendapat dalam
perdebatan tersebut. Hal inilah yang menjadikan kitab ini memiliki karakteristik yang
khusus dalam metode penulisannya. Metode semacam ini sangat jarang digunakan oleh
ulama pensyarah hadis di Nusantara.
67
BAB IV
ANALISIS TERHADAP METODE SYARAH HADISKITAB MISBÂH AL-
ẔALAM SYARH BULÛGH AL-MARÂM
A. Metode Syarah Hadis Kitab Misbâh al-Ẕalam Syarh Bulûgh al-Marâm
Istilah pemahaman dalam hadis meliputi hal: menjelaskan maksud, arti,
kandungan, atau pesan hadis dan disiplin ilmu lain.1 Dalam menyusun sebuah kitab
syarah hadis, seseorang penyusun atau pensyarah (syarih) tentu menggunakan
metode, bentuk atau corak dalam melakukan pensyarahan.Secara umum, para
ulama menggunakan 3 metode dalam melakukan penyusunan syarah hadis, yaitu
metode tahlilî (analitis), metode ijmâlî (global), dan metode muqârin
(perbandingan). Dengan melihat karakter yang terdapat pada ketiga metode
tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Berangkat dari ketiga metode diatas, maka para ulama hadis yang menyusun
syarah akan mengacu pada 2 bentuk syarah hadis, yakni bentuk syarah bi al-ma’tsur
dan syarh bi al-ra’yi. Sebagai contoh, syarh yang mengikuti aliran analitis, akan
menggunakan metode analisis dalam alur penyusunan syarhnya. Jika syarh analisis
ini memilih bentuk syarh bi al-ma’syur, maka syarh-nya tetap pada analisis yang
bersumber dari riwayat. Artinya, pensyarhan akan berjalan terus sepanjang riwayat
masih dijumpai. Namun, jika syarh analisis ini memilih bentuk syarh bi al-ra’yi,
maka analisis selalu berjalan meski tidak ada riwayat yang menjelaskan, karena
riwayat dalam syarh bi al-ra’yi hanya memiliki fungsi sebagai legitimasi bagi suatu
penjelasan, bukan sebagai titik tolak atau subyek, berbeda dengan bentuk syarh bi
al-ma’tsur yang meletakkan riwayat sebagai subjek pensyarhan.
Merujuk kepada karya-karya para ulama hadis dalam menyusun karya
syarh-nya, sebagaimana Kiyai Muhajirin yang telah mencurahkan segala
perhatianya dalam penulisan syarh hadisnya yang terangkum dalam kitab Misbâh
1 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan), (Yogyakarta : Center of
Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001)
68
al-Ẕalâm, dapat disimpulkan bahwa pensyarahan kitab-kitab hadis tidaklah bebas
nilai, maksud dan tujuan. Setidaknya sudah berderet goresan buah pemikiran dan
ijtihad dalam pensyarahan hadis yang dilakukan ulama baik era klasik hingga
kontemporer yang berupaya untuk menjelaskan makna hadis ditinjau dari berbagai
sudut, kecenderungan membahas secara luas dan memberi penjelasan berbagai kata
yang sulit dipahami sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab gharib hadis, atau
lainya.
Dari hasil pembacaan, jumlah hadis secara keseluruhan dalam kitab Bulûgh
al-Marâm yang ditulis oleh Ibn Hajar al-Asqalânî terdapat 1596 (seribu lima ratus
sembilan puluh enam) hadis. Pembahasan dari Bab Bersuci (ṯaharah) sampai Bab
Perbudakan (Itq) bahkan sampai pada pembahasan terkait Bab Adab (bersifat
moralistik). Disyarahi oleh Kiyai Muhajirin Amsar menjadi 4 bagian, Jilid pertama
dari hadis no.1 sampai 525, jilid kedua dari hadis no.526 sampai 866, jilid ketiga
dari hadis no.867 sampai 1186, dan jilid terakhir dari hadis nomor 1187 sampai
dengan 1596. Dari sekian hadis yang disyarahi oleh Kiyai Muhajirin, selanjutnya
penulis menelusuri atas metode syarah hadis yang tercantum dalam kitab Misbâh
al-Ẕalâmdan dalam penelusuran tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Syarah
Misbâh al-Ẕalâm menggunakan metode Muqârin.
Penggunaan metode muqârin ini, sebenarnya telah diutarakan sendiri oleh
Kiyai Muhajirindalam muqadimah syarahnya:2
أصدقاء لطلب إجابة املسكيات ت منالنفحاتصرات م ختقييدات املرام قيدلبلوغ ان أحببت اليتتواترلديهذهاالمةاملرحومةومبتنوعاتة ن الس ب ت ك شروح ابضوء مستضيئ الوفيات
والعواتقمجععاتقو اواستحققوله:)انخنرجالعواتق( هيمنبلغتاحللماوقاربتهالتويح،اوهيالكرميةعلياهلها،اوهياليتعتقتعناالمتهانيفالروجللخدمة،مينعونالعواتقمنالروجملاحدثبعدالعصراالولمنالفساد،وملتالحظالصحابة كانوا
Buẖûs al-Islâmiyyah, 1995. Abû Zahwu, M. M. al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aû ‘Inâyatu al-‘Ummah al-Islâmiyyah bi al-Sunnati
al-Nabawiyyah. Cet. II, Riyâḏ: Syirkah al-Ṯabâ’ah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1984. Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof.
Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisans, 2005. Aisyah. Kontribusi Imam al-Bukhari dalam Validasi Hadis. Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press. 2011. Ali, Nizar. Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarah Hadis. Yogyakarta: Lentera Hati,
2001. ------- Memahami Hadis Nabi, Metode dan Pendekatannya. Cet. II; Yogyakarta: Idea Press.
2011. Amsar, Muhammad Muhajirin Bekâsi. Misbâh al-Ẕalâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillati al-
Aẖkâm. Kairo: Dâr al-Hadîts. 2018. Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Aẖkâm. Surabaya: Dâr al-‘Ilm. t.t Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII. Bandung: Mizan, 2004. Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern. terj. Jaziar Radianti dan
Entin sriani Muslim. Bandung: Mizan, 2000. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Cet. II; Yogyakarta: Gading
Publishing. 2015. Al-Bukhârî. Saẖîẖ al-Bukhârî. Jilid II Riyâḏ: Baitu al-Afkâr al-Daûlî li al-Nasr, 1998. Burhanuddin‚ Mamat Slamet. “K.H. Nawawi Banten: Akar Tradisi Keintelektualan NU” Jurnal
Miqot, Vol. XXXIV No. 1 (2010). Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: TH
Press, 2009. Dzakir, Jawiah dan Ahmad Levi. “Ketokohan Syekh Muhajirin Amsar Ad-Dary Sebagai Ilmuwan
Hadis Nusantara”. Jurnal Prosiding Nadhwah Ulama Nusantara, Vol. IV(2016): 234. Fadli, Ahmad. Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap
Perkembangan Islam Abad ke 19 dan 20). Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. al-Fârisî, Al-Amîr ‘Alâu al-Dîn ‘Alî ibn Bilbân. Saẖîẖ ibn Hibbân bitartîbî ibn Bilbân. Juz IV Cet.
II, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1993. Ibn Hanbal, Aẖmad. Musnad Ahmad. Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1997. Juz XIX. Cet I. Haryono, M. Yudhie. Nalar al-Qur’an. Jakarta: PT Cipta Nusantara. 2002.
111
ibn Manzûr. Abu al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Makram al-Afrîqî al-Misrî. Lisân al-‘Arab, jilid II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1990.
Ibnu Baṯal. Syarah Saẖîẖ al-Bukhârî li Ibnu Baṯal. Riyad: Maktabah ar-Rasyd, 2003. Jilid II. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. ------- Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah.
Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang. 1988. al-Jawwabî, Muhammad Ṭâhir. Juhûd al-Muẖâditsîn fî Naqd al-Matn al-Hadîts al-Nabawî al-
Syarîf. Nasyr wa Taūzi’ Mu’assasât al-Karîm bin ‘Abd Allah, t.th. al-Kailânî, Al-Sayyid Munâdir Ahsan. Tadwîn al-Hadîts. Cet. I, Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî.
2004. al-Kandahlâwî, Muhammad Zakariyyâ. Aujaz al-Masâlîk ilâ Muwaṯṯa’ Mâlik. Jilid I. Beirût: Dâr
al-Fikr, tt.h. Kasiram, Moh.. Metodologi Penelitian; Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi
Penelitian. Cet. I; Malang: UIN-Malang Press. 2008. al-Kâsyit, Muhammad ‘Utsmân. Mafâtiẖ al-‘Ulûm al-ẖadîts wa Ṯuruqu Takhrîjihi. Kairo: al-
Maktabah al-Qur’ân, t.th.Kasiram, Moh. Metodologi Penelitian; Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Cet. I; Malang: UIN-Malang Press, 2008.
al-Khûlî, Muhammad ‘Abd al-‘Azîz, Miftah al-Sunnah aw Târīkh Funûn al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Mâlik. al-Muwaṯṯa Kitâb al-Ṯaharah. Juz I Cet. III, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1998. Al-Maliki, Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani. Mafahim Yajibu ‘an Tushahhah,
Surabaya: Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah Mochamad Samsukadi, “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren”. Religi: Jurnal Studi Islam,
Vol. 6, No. 1 April 2015. Muhajirin. Transmisi Hadis di Nusantara; Peran Ulama Hadis Muḥammad Maḥfūzh Al-Tirmasī,
Disertasi Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Munandar‚ “Perkembangan Hadis di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Abd Rauf al Sinkili)”.
Jurnal Ihya al ‘Arabiyyah Vol. 4 no. 1. Muniroh. “Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad 20; Studi kitab al- Khil’ah al-
Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al- Khairiyyah karya Mahfudz al- Tirmasi, kitab al-Tabyîn a l -Râwî Syarẖ ‘Arba’în al-Nawâwî karya Kasyful Anwar”. Tesis: UIN Sunan Kalijaga, 2015.
Nadhiran, Hedhri. Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Syarah Hadis. Jurnal Ilmu Agama. Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang
Nisa, Khoirun. “Kiprah Dakwah KH. Muhajirin Amsar al-Dary di Pondok Pesantren an-Nida al-Islami Bekasi Timur”. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.
al-Nuri, Hasan Sulaiman dan ‘Alawî Abbas al-Malikî. Ibânah al-Aẖkâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm. Beirut: Dâr al-Fikr. 2008
112
Qarḏâwî, Yûsuf. Kaiyfa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. terj. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. Bandung: Karisma, 1993.
Purwanto. Penanggalan Islam, Akankah Terus Berbeda?. Risalah. no.3/XXXI. Juli 1993. Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung: PT. al-Ma’arif. 1974. al-Rauf, Abd. Faidlul Qadir Syarh Jami’ as-Saghîr. Mesir : Maktabah Tijariah Kubra, 1937. Jilid
6. Samsukadi, Mochamad. “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren.” Religi: Jurnal Studi Islam.
Diponogoro. 1979. ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
2009. ------- Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Suryadilaga, M. Alfatih. “Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan Karakteristiknya”
dalam Jurnal of Quran and Hadith Studies Vol. 4 No. 2 (2015). ------- Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer (Potret Konstruksi Metodologi
Syarah Hadis). Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012. Tasrif, Muh. “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad XVII –
Sekarang)”. Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, Vol. 05, No. 01, Januari 2004. ------- Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran ,(tt: tp: tt). Tim, GENEALOGI INTELEKTUAL ULAMA BETAWI(Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal
Abad ke-19 sampai Abad ke-21). Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre, 2011.
Umar, Nasaruddin . Deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an dan Hadis. Cet. I; Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2008.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 1997.