i
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh delar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Maret 2019
Farradilla Andriany Savitri
iv
ABSTRAK
Farradilla Andriany Savitri. Nim 11140440000103. POLIGAMI DALAM
HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA, PAKISTAN DAN SOMALIA
(Analisis Perbandingan Mengenai Peraturan Poligami). Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. 76halaman + 7 halaman
lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengungkap 3 hal: (a) ketentuan poligami dalam
peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Perundang-undangan di Pakistan dan
Perundang-undangan di Somalia, (b) persamaan dan perbedaan ketentuan poligami
di ketiga negara tersebut, dan (c) bagaimana peraturan perundang-undangan tentang
poligami di Indonesia, Pakistan dan Somalia jika dibandingkan dengan konsep fikih
mazhab.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan library research
(penelitian kepustakaan). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data
primer dan sekunder. Yang menjadi data primer adalah Undang-Undang Perkawinan
No 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No 45 Tahun
1990, Muslim Family Law Ordinance (Undang-undang Hukum Keluarga Muslim
Pakistan) Tahun 1961, dan The Family Code of Somali (Undang-undang hukum
keluarga Somalia) Tahun 1975. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode
analisis dan metode komparasi.
Hasil dari penelitian ini adalah: (a) Poligami dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia, Pakistan dan Somalia diperbolehkan dengan pengecualian
syarat-syarat tertentu. (b) ketentuan poligami dalam hukum keluarga Indonesia,
Pakistan dan Somalia memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah
ketiga negara menganut azas monogami tidak mutlak dan harus mendapat izin dari
pengadilan terlebih dahulu. Adapun perbedaannya syarat berpoligami di Indonesia
selain mendapatkan izin dari pengadilan pelaku poligami harus menyertakan surat
keterangan penghasilan, serta terdapat peraturan khusus bagi PNS yang ingin
melakukan poligami. Di Pakistan hanya mendapatkan izin dari pengadilan yang
sebelumnya harus mendapatkan persetujuan dari istri dan tidak adanya peraturan
khusus bagi PNS yang akan berpoligami. Sedangkan di Somalia hanya mendapatkan
izin dari pengadilan tanpa adanya keterangan untuk meminta persetujuan dari istri,
apabila alasan berpoligami karena istri mandul maka harus menyertakan surat
keterangan dari dokter dan Somalia pun tidak terdapat peraturan khusus bagi PNS
yang akan berpoligami. Dan bagi pelanggar poligami di Indonesia, apabila tidak
melaporkan ke pengadilan maka dikenakan sanksi membayar denda sebesar Rp.
7.500, bagi pegawai pencatat nikah yang mencatatkan pernikahan tanpa izin dari
pengadilan maka dikenakan sanksi membayar denda sebesar Rp. 7.500 dan
kurungan maksimal 3 bulan, PNS wanita yang menjadi istri kedua/ketiga/keempat
maka akan dipecat secara tidak hormat dan bagi PNS yang melakukan poligami
v
tanpa izin akan dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No. 30
tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di Pakistan bagi
pelanggar poligami dikenakan sanksi a) Membayar seluruh mahar dengan segera
kepada istri atau istri-istrinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak
maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa, b) Dihukum penjara maksimal
satu tahun atau denda maksimal 5000 rupee atau kedua-duanya. Sedangkan di
Somalia belum ada peraturan yang menghukum pelaku pelanggar poligami. (c)
Apabila dibandingkan dengan ketentuan fikih, maka ketentuan yang dirumuskan
dalam peraturan hukum keluarga di ketiga negara tersebut tidak terdapat rujukannya
dalam pendapat mazhab Syafi‟iyyah yang dianut oleh mayoritas umat Islam
Indonesia maupun Somalia, ataupun mazhab Hanafiyah yang dianut oleh mayoritas
umat Islam di Pakistan. Hal ini terjadi dalam rangka menyelaraskan perubahan sosial
yang terjadi seiring dengan nilai syariat Islam yang berprinsip pada ruang dan waktu.
Kata Kunci : Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam Di Indonesia,
Pakistan dan Somalia (Analisis Perbandingan Mengenai
Peraturan Poligami)
Pembimbing : Dr. H. Mukhtar Ali, M. Hum
Daftar Pustaka : 1926 s.d. 2015
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat
dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat
beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar sarjana pada program Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang penulis ajukan
adalah “Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Pakistan dan Somalia
(Analisis Perbandingan Mengenai Peraturan Poligami)”.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag Ketua Program Studi Hukum Keluarga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Mukhtar Ali, M.Hum Dosen pembimbing, yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing skripsi.
4. Segenap bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan program studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan
selama penulis duduk di bangku kuliah.
5. Ayahanda dan Ibunda orang tua penulis, Terimakasih atas setiap cinta dan
kasih sayang serta doa dan restu yang selalu mengiringi tiap langkah penulis
sehingga penulis bisa sampai ke titik ini.
6. Terimakasih untuk keluarga besar penulis yang senantiasa memotivasi dan
selalu mendoakan kelancaran studi hingga skripsi ini terselesaikan.
7. Terimakasih kepada Syifa Rahmalia, Muthia Rahmah, Harum Hapsari, Satria
Erlangga, Permata Syifa, Marlina Syamsiyah dan terimakasih kepada semua
teman-teman Program Studi Hukum Keluarga 2014, terimakasih atas segala
ukiran hari bertemakan persahabatan yang tulus murni sepanjang masa
pendidikan di Program Studi Hukum Keluarga sejak awal hingga
terselesainya pendidikan. Terimakasih atas segala canda, tawa dan tangisan
haru serta bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa. Terimakasih atas rasa
kekeluargaan yang begitu besar meski tanpa ikatan darah. Jalinan
persahabatan ini semoga Allah jaga hingga selamanya.
Semoga senantiasa Allah SWT membalas kebaikannya dengan pahala yang
berlipat ganda, Amiin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, Februari 2019
Farradilla Andriany Savitri
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Indentifikasi Masalah ................................................................ 6
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 7
D. Perumusan Masalah .................................................................. 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
F. Review Studi Terdahulu ............................................................ 9
G. Metode Penelitian...................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM ..................................... 14
A. Pengertian Poligami .................................................................. 14
B. Sejarah Poligami ....................................................................... 15
C. Hukum Melakukan Poligami .................................................... 19
D. Syarat-syarat Poligami .............................................................. 28
E. Dampak yang Mempengaruhi Poligami ................................... 34
F. Hikmah Poligami ...................................................................... 37
BAB III POLIGAMI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA, PAKISTAN DAN SOMALIA......................... 39
A. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Indonesia 39
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ................................ 39
2. Peraturan Poligami di Indonesia .......................................... 46
3. Syarat dan Prosedur Poligami di Indonesia ......................... 52
viii
4. Sanksi Poligami di Indonesia .............................................. 57
B. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Pakistan 59
1. Sejarah Hukum Keluarga di Pakistan ................................. 59
2. Peraturan Poligami di Pakistan ............................................ 64
3. Syarat dan Prosedur Poligami di Pakistan ........................... 65
4. Sanksi Poligami di Pakistan................................................. 67
C. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Somalia.. 68
1. Sejarah Hukum Keluarga di Somalia .................................. 68
2. Peraturan Poligami di Somalia ............................................ 72
3. Syarat dan Prosedur Poligami di Somalia ........................... 73
4. Sanksi Poligami di Somalia ................................................. 75
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERATURAN POLIGAMI
DI INDONESIA, PAKISTAN DAN SOMALIA......................... 76
A. Perbandingan Horizontal ........................................................... 76
B. Perbandingan Vertikal ............................................................... 85
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 89
A. Kesimpulan .............................................................................. 89
B. Saran ......................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 92
LAMPIRAN ........................................................................................................... 97
1. UU Perkawinan No 1 Tahun 1974
2. PP No 45 Tahun 1990
3. Kompilasi Hukum Islam
4. Muslim Family Law Ordinance (UU Hukum Keluarga Pakistan) Tahun 1961
5. Family Code of Somalia (UU Hukum Keluarga Somalia) Tahun 1975
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam
hukum Islam. Mengacu pada hukum Islam (fiqh), poligami merupakan
bentuk perkawinan yang diperbolehkan. Mayoritas ulama memperbolehkan
pernikahan poligami, dan pandangan ini didasarkan pada ayat al-Quran yang
memperbolehkan bahwa seorang Muslim laki-laki melakukan pernikahan
dengan satu, dua, tiga, dan empat wanita yang baik, seperti tercantum dalam
ayat keempat Surat An-Nisa/4.1
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai
alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks
laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar
tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas
diharamkan oleh agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari
agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan
mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat
bisa berlaku adil.2
Realisasi dari sifat adil yang dituntut Al-Quran surah Al-Nisa (4) : 3
dan juga disebutkan dalam Ar-Rum (30) : 21, tidak sesuai dengan aturan Al-
Quran dan penafsiran perundang-undangan yang ditetapkan. Ajaran agama
tentang bolehnya poligami dijadikan alat untuk melegitimasi perbuatan laki-
laki yang tidak bertanggung jawab dan perempuan yang dijadikan isteri muda
hanya dijadikan tempat berlabuh untuk dicicipi kehangatan tubuhnya.
1Asep saepudin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang-undangan
Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), h.29 2 Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Press. 2010), h.358
2
Masalah keadilan yang menjadi syarat pokok dalam berpoligami malah
diabaikan.
Diperburuk dengan adanya poligami yang dilakukan di luar
pengadilan, yakni yang dilaksanakan di bawah tangan tanpa mengikuti
prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang yang berlaku
menyebabkan kedudukan perempuan dalam posisi yang lemah dan
memprihatinkan. Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap nasib
perempuan dari perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-
laki.
Apabila poligami dilakukan dengan semena-mena tampa melibatkan
persetujuan para isteri dan dilakukan tanpa seizin pengadilan, maka akan
memberikan banyak dampak negatif pada perempuan dan anak-anak yaitu:
1. Istri pertama pada umumnya tertekan.
2. Hubungan keluarga kurang harmonis.
3. Hubungan antar keluarga istri pertama dengan istri kedua dan
seterusnya terganggu.
4. Rawan kekerasan (psikologis, fisik, sosial, dll).
5. Suami cenderung dominan, peran istri di wilayah domestik dan publik
lemah.
6. Keluarga poligami umumnya berpengaruh terhadap perkembangan
psikologis, intelektual dan sosial anak.
Indonesia, Pakistan dan Somalia adalah termasuk negara-negara
Muslim yang menetapkan perundang-undangan perkawinan yang mengatur
tentang poligami. Namun, karena aturan-aturannya yang terus berkembang di
beberapa negara, termasuk Indonesia, dan juga karena perbedaan cara
pandang dari para ulama dan ahli hukum terkait dengan hukumnya, isu
poligami menjadi menarik dan penting untuk didiskusikan.3
3Asep saepudin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang-undangan
Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), h.29
3
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan reformasi Hukum
Keluarga di negara-negara Muslim Modern adalah meninjau kembali
sejumlah ketentuan hukum islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan
dengan kondisi sosial dan tuntutan/perubahan modern. Demikian pula halnya
dalam masalah poligami dan pencatatan perkawinan. Aturan fikih
konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau
kembali dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan
pada upaya mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan
perkembangan zaman.
Secara umum ketentuan (perundang-undangan) tentang poligami
berkaitan dengan hukum keluarga di negara-negara muslim modern, dapat
diklasifikasikan kepada tiga kategori: pertama, negara-negara yang sama
sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. Kedua, negara-
negara yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat
(dipersulit), seperti Pakistan, Maroko, Mesir, Malaysia dan Indonesia. Ketiga,
negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih longgar, seperti
Saudi Arabia, Iran, dan Qatar.4
Berkaitan dengan tiga kategori yang telah disebutkan di atas,
Indonesia, Pakistan dan Somalia dikategorikan kepada negara yang
memperbolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit).5
Kategori inilah yang menjadi kecenderungan umum hukum keluarga di dua
negara tersebut. Pembatasan poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari
cara yang paling lunak sampai yang paling tegas, dengan mempersyaratkan
kondisi atau izin tertentu.
Di Indonesia, masalah poligami diatur dalam Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Pasal 3 dari Undang-undang
4Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative
Analysis), (New Delhi: 1987),h. 273-274. 5Tahir mahmood, Personal Law, (New Delhi, n.p., 1972), h. 73-274.
4
tersebut menyatakan bahwa pada prinsipnya asas perkawinan di Indonesia
adalah monogami. Selanjutnya pasal 4 menyatakan bahwa pengadilan yang
memutus boleh tidaknya seorang suami beristri lebih dari satu, apabila
memenuhi syarat tertentu.
Izin poligami akan diberikan oleh pengadilan apabila:
1. Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
3. Istri tidak bisa memberikan keturunan.
Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia,
seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan poligami. Ia hanya
diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat
perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum
Perkawinan merubah keadaan ini, namun sesungguhnya masih bersifat
mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang
merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan
hukum tersebut (Pasal 3): dan memang salah satu tujuan utama dari UU
Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain,
UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang
istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dan sejumlah ketentuan UU
tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan
Agama.6
Di Pakistan Poligami diatur dalam Undang-undang Hukum Keluarga
Islam Pakistan, mengenai pemberian sanksi bagi pelanggaran poligami dalam
6Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogykarta: Graha Ilmu, 2011)
h. 110
5
hukum positif di Pakistan (The Muslim Family Law Ordinance 2015). Dalam
pasal 5 disebutkan7 :
“No married man can remarry if he does not have permission from
the Arbitration Council (a body which is headed by the Chairman, Union
Council, for the purposes of divorce). A marriage contracted without
permission cannot be registered, and carries a penalty of Rs. 500,000 and
imprisonment of up to 1 year, along with payment of entire dower (if it was
not given at the time of nikah) to the existing wife/wives”8
Pasal di atas menegaskan bahwa seorang pria yang masih terikat
dalam suatu perkawinan hanya dapat berpoligami jika telah mendapat izin
tertulis dari lembaga arbitrase. Dan bagi yang melanggar ketentuan ini akan
dijatuhi hukuman denda sebesar lima ratus ribu rupee dan penjara maksimal
satu tahun serta membayar mahar kepada istri/istri-istrinya jika belum
memberikannya.
Sementara itu, pada Undang-undang keluarga Somalia menyebutkan:
“Tidak seorangpun boleh menikah lagi (poligami) kecuali setelah mendapat
izin secara resmi dari pengadilan.9
Secara umum ketentuan perundang-undangan keluarga Islam pada
negara-negara muslim tentang poligami dapat dilihat tipologi pembaruan,
yakni : (1) boleh poligami secara mutlak; (2) poligami dapat menjadi alasan
cerai; (3) poligami harus ada izin pengadilan; (4) pembatasan poligami lewat
kontrol sosial; (5) poligami dilarang secara mutlak; (6) dikenakan sanksi bagi
yang melanggar aturan tentang poligami. 10
7Artikel diakses pada 10 Desember 2017 dari:
https://pcsw.punjab.gov.pk/Punjab%20Muslim%20Family%20Laws%20%28Amandement%29%20A
ct%2C%202015 8Terjemahan: Laki-laki yang telah menikah tidak dapat menikah kembali jika dia tidak
memiliki izin dari Dewan Arbitrase (badan yang dipimpin oleh Ketua, Dewan Persatuan, untuk
keperluan perceraian). Sebuah pernikahan yang dilakukan tanpa izin tidak dapat didaftarkan, dan bagi
yang melanggar akan dikenakan hukuman Rs. 500.000 dan penjara hingga 1 tahun, bersamaan dengan
pembayaran seluruh mahar (jika tidak diberikan pada saat nikah) kepada istri / istri yang ada. 9Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogykarta: Graha Ilmu, 2011)
h. 112 10
Tahir mahmood, Family Law Reform in the Moslem World, (New Delhi, n.p., 1972), h.
257-278.
6
Pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting
di Indonesia, karena sering kali kita memperdebatkan sesuatu hal yang orang
lain di Negara lain telah menyelesaikan masalah itu puluhan tahun
sebelumnya. Berkaitan dengan itu, hukum keluarga islam di Indonesia,
Pakistan dan Somalia tentang aturan poligami, dikategorikan kepada negara
yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat
(dipersulit). 11
Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap perempuan dari
perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Dan salah
satu alasan yang mendasari lahirnya Undang-undang perkawinan adalah
masalah perlindungan terhadap kaum perempuan ini.12
Dengan demikian, Persoalan poligami keberadaannya semakin
dipertimbangkan karena beberapa Negara Muslim telah melakukan reformasi
untuk peraturan poligami tersendiri. Lebih menarik lagi jika di Indonesia juga
bisa melihat lebih dekat serta menelaah lebih dalam perundang-undangan
hukum keluarga tentangpoligami di Indonesia, Pakistan dan Somalia baik
dari segi hukum materinya ataupun dari segi sanksinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud untuk
mengangkat topik tersebut dalam sebuah karya tulis yang berjudul “Poligami
dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Pakistan dan Somalia (analisis
perbandingan mengenai peraturan poligami)”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasikan
permasalahan sebagai berikut :
11
Ibid, h. 275-278. 12
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,
(Jakarta: RM Books, 2012) h. 157-158
7
1. Bagaimana materi hukumtentang poligami di Indonesia, Pakistan dan
Somalia?
2. Apa saja persyaratan untuk melakukan poligami dalam hukum
keluarga di Indonesia, Pakistan dan Somalia?
3. Apa sanksi bagi pihak yang melanggar aturan poligami dalam hukum
keluarga di Indonesia, Pakistan dan Somalia?
4. Bagaimana ketentuan poligami menurut fukaha mazhab?
5. Sejauh manakah ketentuan poligami dalam peraturan di ketiga negara
tersebut bergeser dari pendapat fukaha mazhab?
C. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membahas sebatas kajian
yuridis normatif saja, yaitu membahas bagaimana sesungguhnya ketentuan
poligami yang tercantum dalam Perundang-undangan di Indonesia seperti
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No 45
Tahun 1990 dan Kompilasi Hukum Islam. Lalu bagaimana pula ketentuan
poligami yang tercantum pada Perundang-undangan yang berlaku di Pakistan
yaitu Muslim Family Law Ordinance 1961 serta Perundang-undangan yang
berlaku di Somalia yaitu Family Code of Somalia. Dan apa saja persamaan
dan juga perbedaan dalam pengaturan poligami di ketiga negara tersebut.
D. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana peraturan hukum keluarga tentang poligami di Indonesia,
Pakistan dan Somalia?
2. Apa perbedaan dan persamaan pengaturan poligami dalam hukum
keluarga di Indonesia, Pakistan dan Somalia.
8
3. Bagaimanakah ketentuan poligami dalam perundang-undangan di
Indonesia, Pakistan dan Somalia dibandingkan dengan konsep yang
dirumuskan dalam fikih mazhab?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini untuk mengetahui
bagaimana materi hukum tentang pengaturan poligami dalam hukum
keluarga di Indonesia dibandingkandengan hukum keluarga Pakistan dan
Somalia serta mengetahui perbedaan dan persamaan pengaturan poligami
dalam hukum keluarga di Indonesia, Pakistan dan Somalia, yang tersusun
dalam jawaban pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui ketentuan poligami dalam hukum keluarga di
Indonesia, Pakistan dan Somalia.
2. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan pengaturan tentang
syarat dan sanksi poligami dalam hukum keluarga di Indonesia,
Pakistan dan Somalia.
3. Untuk mengetahui pergeseran ketentuan polgami yang ada dalam
perundang-undangan di Indonesia, Pakistan dan Somalia dari
konsep poligami yang sudah dirumuskan dalam fikih mazhab.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melakukan penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, penelitian ini sangat bermanfaat sebagai wawasan
ataupun pengetahuan mengenai pengaturan poligami menurut
hukum perkawinan di dunia Islam di Indonesia dan Pakistan.
2. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman
ataupun pengetahuan untuk mengetahui pengaturan poligami dan
9
pencatatan perkawinan menurut hukum perkawinan di dunia Islam
di Indonesia dan Pakistan.
3. Bagi Akademik, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber
referensi san acuan bagi kalangan akademisi dan praktisi dalam
menunjang penelitian selanjutnya yang mungkin cangkupannya
lebih luas sebagai bahan perbandingan.
F. Review Studi Terdahulu
Review studi terdahulu berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang
akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama
sekali. Sekalipun ada tetapi terdepat beberapa perbedaan mendasar. Oleh
karena itu, untuk menjaga keaslian dalam penelitian ini, penulis sudah
melakukan review studi terdahulu. Adapun di antara review studi terdahulu
yang telah dilakukan oleh penulis antara lain:
1. Dinda Choerul Ummah, Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum
Keluarga Di Dunia Islam (Studi Komparatif Undang-undang Hukum
Keluarga Indonesia-Tunisia), (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014).
Pembahasan dalam skripsi tersebut adalah hanya ditekankan kepada
peraturan poligami pada Undang-undang Hukum Keluarga di
Indonesia dan Tunisia.
Perbedaan dengan skripsi ini yaitu pada objek penelitiannya, dalam
skripsi ini penulis membandingkan 3 negara yaitu Indonesia,
Pakistan dan Somalia.
2. Achmad Munir, Kriminalisasi Poligami Pegawai Negeri Sipil Di
Indonesia Menurut Hukum Islam, (Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014).
10
Pembahasan dalam skripsi tersebut lebih menekankan kepada
pengaturan sanksi poligami pada undang-undang hukum keluarga di
Indonesia yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil.
Perbedaan dengan skripsi ini ialah perbandingan pengaturan
poligami beserta persyaratan untuk melakukan poligami di Indonesia,
Pakistan dan Somalia dalam masyarakat umum.
3. Atiqoh Fatiyah, Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan Di
Negara Indonesia dan Pakistan, (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta: 2016).
Di dalam skripsi tersebut hanya memfokuskan bahasan tentang
penetapan mahar yang berada di Indonesia dan Pakistan.
Dalam skripsi ini objek kajian yang penulis teliti yaitu
memfokuskan tentang pengaturan poligami di Indonesia, Pakistan
dan Somalia, dalam segi persyaratan dan sanksi bagi yang
melanggar.
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa aspek metode penelitian
yang akan digunakan yaitu:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perbandingan
(Comparative Approach) yaitu penelitian yang membandingkan
hukum suatu negara dengan hukum negara lain.
2. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research) yaitu sebuah studi yang mengkaji
berbagai buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah
lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini yang diambil dari
11
kepustakaan.13
Khususnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam,Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1990,
Ordonansi No 6 Tahun 1961 Marriage and Family Law Ordinance
(MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum keluarga), dan
Artikel No 13 Tahun 1975 The Family Code (Somalia)
3. Data Penelitian
a. Sumber Data
Undang-Undang Perkawinan Indonesia Nomor 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam,Peraturan Pemerintah No 45 Tahun
1990, Ordonansi No 6 Tahun 1961 Marriage and Family Law
Ordinance (MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum
keluarga), Artikel No 13 Tahun 1975 The Family Code (Somalia).
b. Jenis Data
Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam skripsi ini.
1) Data Primer: yaitu data yang berasal dari al-Qur‟an, kitab
hadis, buku-buku, dan Undang-Undang Perkawinan
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam,
Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1990, Ordonansi 6
Tahun 1961 Marriage and Family Law Ordinance
(MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum
keluarga), Artikel No 13 Tahun 1975 The Family Code
(Somalia), serta buku-buku yang membahas masalah
hukum perkawinan di Negara Indonesia, Pakistan dan
Somalia.
2) Data Sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen
yang terdapat dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan
artikel yang relevan dengan tema dalam skripsi ini.
13
Hadari Nawawi Martini Mimi, Peneliti Terapan, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1996), h.23
12
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi
naskah atau pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data yang
membahas tentang poligami, Undang-undang poligami, sanksi
poligami serta persyaratan untuk melakukan poligami di negara
Indonesia, Pakistan dan Somalia.
Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan
memaparkan data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis
penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:
tahun 2017.
5. Teknik Pengolahan Data
Metode yang digunakan yaitu deskriptif dengan memaparkan data
yang diperoleh tersebut kemudian membandingkan antara data yang
tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka lalu penulis analisa.
6. Metode Analisis Data
Adapun metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis isi
(content analisis) dan komparasi, yakni menganalisis materi
perundang-undangan terkait poligami di Indonesia, Pakistan dan
Somalia tersebut dideskripsikan dan diperbandingkan dengan mencari
persamaan dan perbedaan masing-masingnya. Penelitian ini dilakukan
untuk membandingkan persamaan dan perbedaan data yang diteliti.
Perbandingan dilakukan melalui dua jalur yaitu:
a. Perbandingan Horizontal, yaitu memperbandingkan antara
perundang-undangan tentang poligami yang berlaku di Indonesia,
Pakistan dan Somalia.
b. Perbandingan Vertikal, yaitu memperbandingkan antara
perundang-undangan yang berlaku di ketiga negara tersebut
dengan konsep fikih mazhab.
13
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan
tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah
Pada bab Pertama merupakan bab tentang pendahuluan yang
merupakan suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi:
latar belakang, identifikasi masalah pembatasan masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika
penulisan.
Pada bab Kedua menjelaskan tentang tinjauan umum poligami serta
tinjauan hukum keluarga Islam tentang pengaturan poligami
Pada bab Ketiga akan menjelaskan tentang pembentukan hukum
keluarga dan peraturan yang mengatur hukum keluarga di Indonesia, Pakistan
dan Somalia.
Pada bab Keempat berisi tentang analisis perbandingan mengenai
poligami dalam hukum perkawinan di Indonesia, Pakistan dan Somalia.
Pada bab Kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup
kesimpulan dari pembahasan yang telah dianalisa oleh penulis dan saran dari
penulis ketika melihat substansi skripsi penulis
14
BAB II
POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Poligami
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami berarti sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenisnya di waktu yang bersamaan.14
Dalam Kamus Ilmiah Populer, poligami
adalah seorang dengan dua orang atau lebih, namun cenderung diartikan
perkawinan satu orang suami dengan dua istri atau lebih.15
Sedangkan dalam
bahasa Arab poligami sama dengan Ta‟addud az-zaujat yang artinya
berbilangnya istri.16
Poligami seringkali dimaknai dengan pernikahan antara seorang laki-
laki dengan beberapa perempuan. Pernikahan model seperti ini telah menjadi
tradisi yang melekat dan mendarah daging di kalangan bangsa Arab sebelum
kedatangan Islam. Bahkan bukan hanya poligami, seorang perempuan yang
memiliki beberapa pasangan laki-laki (poliandri), juga merupakan hal yang
wajar saat itu.
Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri
dari dua kata yakni “poli” atau “polus” yang artinya banyak, dan kata
“gamein” atau “gamos” yang artinya kawin atau perkawinan. Jika
digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami
dari definisi ini, maka sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah
perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.17
14
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.885 15
Pius A. Partanto dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Surabaya: Arloka, 1994),
h.606 16
Abdul Aziz, dkk, Ensiklopesi Hukum Islam, vol.4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h.107 17
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 139
15
Secara terminologis, menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan
perkawinan yang salah satu pihak (Suami) mengawini beberapa (lebih dari
satu) istri dalam waktu yang bersaman.18
Dengan singkat Moch. Anwar
menegaskan poligami adalah beristri lebih dari satu.19
Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam adalah seorang suami
beristri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang istri.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa
poligami adalah ikatan perkawinan dimana salah satu pihak
memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Walaupun dalam pengertian di atas ditemukan kalimat “salah satu pihak”,
maka yang dimaksud dengan poligami disini adalah ikatan perkawinan,
seorang suami dengan beberapa orang istri sebagai pasangan hidupnya dalam
waktu yang bersamaan. Dengan demikian, tidak disebut poligami apabila
seorang lelaki beristri lebih dari satu, tetapi sebelum berlangsungnya akad
nikah kedua, ia terlebih dahulu menceraikan istri pertamanya.
B. Sejarah Poligami
Islam bukanlah agama pertama yang melegitimasi poligami. Karena
sejarah membuktikan bahwa poligami sudah umum dilakukan sebelum
datangnya Islam oleh berbagai suku bangsa. Diantaranya bangsa Ebre dan
Arab pada zaman Jahiliyah, juga terdapat pada suku bangsa „salafiyun‟ yaitu
Negara-negara yang sekarang disebut Rusia, Letonia, Cekoslavia dan
Yugoslavia dan disebagian Negara Jerman dan Inggris.20
18
Siti Musdah Muia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2007), h. 43 19
Moch. Anwar, Fiqh Islam; Muamalah, Munakahat, Faraid dan Jinayah, (Bandung: PT.
Alma‟arif, 1980), h.149 20
Musthafa as Siba‟I, Penerjemah Chadidjah Nasution, Wanita diantara Hukum Islam dan
Perundang-undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), cet.1, h.100
16
Menurut catatan sejarah, poligami telah ada jauh sebelum Islam hadir.
Bahkan praktik poligami pada saat itu dapat dikatakan cukup marak. Hal ini
dapat dilihat dari ajaran agama yang dibawa oleh para nabi sebelum
Rasulullah. Nabi Musa misalnya, ia tidak melarang dan juga tidak membatasi
jumlah wanita yang diperistri oleh seorang lelaki.21
Baidan mengemukakan
bahwa poligami sudah ada di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada
zaman purba, seperti Yunani, China, India, Babilonia, Asyiria, Mesir dan
lain-lainnya. Bahkan, poligami pada masyarakat tersebut tidak dibatasi
jumlahnya hingga mencapai 130 istri bagi seorang suami. Seorang raja di
China malah memiliki istri sebanyak 30.000 orang.22
Meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak
menghalangi seorang laki-laki untuk menikahi dengan beberapa saja
banyaknya istri, namun pendeta-pendeta Yahudi membenci poligami itu. Lalu
mereka berusaha mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan
banyaknya istri hanya empat saja dan menetapkan harus ada faktor-faktor
pendorong yang sah menurut agama, untuk bolehnya laki-laki menikah
dengan istri baru.23
Syariat yang dibawa Nabi Isa juga tidak melarang poligami. Umat
Nasrani kuno tidak ada yang menyatakan bahwa poligami tidak
diperbolehkan. St. Agustinus juga menyatakan memperbolehkan poligami.
Bahkan di abad IV, Raja Valintinian membuat undang-undang yang
mengizinkan seorang lelaki mempunyai istri lebih dari satu. Baru pada masa
Raja Yustinian dikeluarkan larangan poligami.24
21
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet.9, (Yogyakarta: UII Press, 1999),
h.37 22
Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) 23
Abdul Nasir Taufiq al‟atthar, Poligami ditinjau dari Agama, Sosial dan Perundang-
undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet.1, h.80 24
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet.9, (Yogyakarta: UII Press, 1999),
h.37
17
Ajaran Zoroaster melarang bangsa Persia berpoligami, namun
membolehkan memelihara gundik. Karena mereka banya berperang, maka
dibutuhkan keturunan laki-laki dalam jumlah banyak dari istri maupun
gundiknya. Meski awalnya dilarang, praktik poligami pada akhirnya kerap
terjadi. Tidak ada undang-undang yang melarang poligami ataupun yang
membatasi jumlah istri.25
Selain Persia, Bangsa Romawi juga mengenal poligami. Raja-raja
atau kaisar-kaisar mereka melakukan poligami. Begitu pula Bangsa Yunani,
Raja Sillia beristrikan lima orang wanita. Caesar dan Pompius masing-masing
mempunyai empat istri. Di Athena, poligami bahkan dibolehkan tanpa adanya
pembatasan jumlah istri. Di Athena, yang ketika itu menjadi pusat peradaban
Yunani kuno dan dikenal sebaai kiblat ilmu pengetahuan pada masa
purbakala, kedudukan wanita tidak lebih, mereka bisa diperjual belikan dan
diwariskan. wanita dianggap buruk dan hanya untuk mengatur rumah tangga
dan melahirkan keturunan. orang Athena bebas mengambil istri sesuai
kehendaknya, tanpa batas. Di Sparta, walaupun kaum laki-lakinya tidak
diperbolehkan mempunyai istri lebih dari seorang kecuali karena sebab-sebab
khusus, kaum wanitanya boleh, bahkan hampir selalu mempunyai lebih dari
seorang suami.26
Bangsa Arab pada masa pra-Islam juga menjalankan praktik poligami.
Sahabat Nabi Muhammad bahkan ada yang beristri hingga sepuluh wanita.
Ini dapat diketahui dari hadis yang ditakhrij oleh Imam At-Tirmidzi berikut:
سانى ع ش انض ش ع ثا يع جعفش حذ ذ ب ثا يح حكى حذ ثا ح ب ش حذ ع اب ع
ة قال تحت عشش س ت سه ب ل سهى فقال ن أسهى غ عه صه للا خز انب ي
)سا اب ياج( أسبعا
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada
kami Muhammad bin Ja‟far; telah bercerita kepada kami Ma‟mar; dari
25
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet.9, (Yogyakarta: UII Press, 1999),
h.37 26
Abdul Qodir Jaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h.169-171
18
Az-Zuhri; dari Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah
masuk Islam, sedangkan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi
SAW bersabda padanya ; “silahkan ambil (pertahankan) empat diantara
mereka”. (HR. Ibnu Majah)27
Pada umumnya orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira
poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang
membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrim
berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam
sejarah manusia. Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat di
berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami.
Poligami dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani, Persia dan
Mesir kuno.28
Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, tidak menghapus
praktik ini, namun Islam membatasi diperbolehkan poligami hanya sampai
empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan
berlaku adil antara para istri. 29
Dengan demikian, keliru jika kemudian orang menyatakan Islamlah
yang menciptakan aturan poligami, Islamlah yang memunculkan dan
menumbuh suburkan praktik poligami, tetapi yang benar adalah Islam yang
mengatur keberadaan poligami yang sudah ada dan terjadi di masyarakat
Arab sebelum kedatangan Islam. Pengaturan ini dilakukan untuk tetap
memelihara dan menjaga harkat, martabat, dan kehormatan manusia itu
sendiri.30
27
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr: 1995), h.131 28
Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro dan Kontra, (Bandung: Syamil, 2007), h.2 29
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 156-157 30
Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara Teks, Konteks, dan Praktek, (Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008), h.15
19
C. Hukum Melakukan Poligami
Poligami sampai saat ini masih diperdebatkan antara yang mendukung
dan menantang. Pendapat hukum poligami secara garis besar dapat dibagi
dalam tiga (3) kelompok, yaitu: Pertama, mereka yang membolehkan
poligami secara mutlak (didukung mayoritas ulama klasik). Kedua, mereka
yang melarang poligami secara mutlak. Ketiga, mereka yang membolehkan
poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu. 31
Dalam Al-Qur‟an ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami dan
perintah untuk melakukan poligami oleh Umat Islam adalah QS. An-Nisa
ayat 3:
سباع ثلث انساءيثى كحاياطابهك أالتقسطافانتايىفا خفت إ صه
أالتعذنا خفت احذةأيايه فإ ف
اكى كتأج
نا رنكأدىأالتع
Artinya:“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q. S. An-
Nisa‟ ayat 3)
Terdapat perbedaan dalam memahami ayat di atas, menurut jumhur
(kebanyakan) ulama ayat di atas turun setelah Perang Uhud selesai, ketika
banyak pejuang muslim yang gugur menjadi syuhada. Sebagai
konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati ayah atau
suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama
31
Islah Gusmian, Mengapa Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007),
h.38
20
dalam hal pendidikan dan masa depan mereka. Kondisi inilah yang melatar
belakangi disyariatkannya poligami dalam Islam.32
Ibnu Jarir al-Thabari (W, 923 M) sangat setuju dengan pendapat yang
mengatakan bahwa makna ayat di atas merupakan kekhawatiran tidak
mempunyai seorang wali yang berbuat adil terhadap harta anak yatim
khususnya perempuan. Kekhawatiran ini berlaku pada cara menyikapi
wanita. Maka, janganlah menikahi mereka kecuali dengan perempuan yang
kalian yakin bisa berbuat adil, satu hingga empat orang. Sebaliknya, jika ada
kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika berpoligami, maka cuku
menikahi seorang istri saja.33
Dalam penafsiran ayat ketiga dari Surat Al-Nisa di atas, Muhammad
Syahrur tidak memisahkan beberapa ayat sebelumnya, yaitu ayat pertama,
kedua dan ketiga. Ketiga ayat tersebut menurutnya bernuansa persaudaraan,
humanisme, dan meletakkan semua dasar pergaulan hidup dalam satu ciptaan.
Demikian juga dengan ayat setelahnya, ayat ke empat, lima dan enam ialah
pengungkapan tentang sedekah dan mahar. Pengasuhan dan pemeliharaan
aharta anak yatim dimana hal itu menjadi indikator bagi prinsip persaudaraan,
humanisme dan persamaan dalam Islam. Oleh karena itu, menurut Syahrur
pembicaraan mengenai poligami mesti berkaitan dengan tema tentang
perhatian terhadap anak yatim.34
M Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Quran mengatakan
bahwa ayat 3 surat al-Nisa ini menjadi dasar bolehnya poligami, namun
demikian ayat ini tidak membuat suatu peraturan (hukum) tentang poligami,
karena faktanya poligami itu sudah dikenal dan menjadi syariat agama dan
adat istiadat sebelum Islam. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau
32
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996) h.85 33
Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Kairo, Darul Ma‟arif, 1978), Jilid 7, h.155 34
Muhammad Syahrur, Nahwu Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus: Dar Ahali,
1990), Cet.1, h.302
21
menganjurkannya. Ia hanya berbicara tentang bolehnya berpoligami, itupun
merupakan pintu darurat kecil yang hanya boleh dilalui saat amat diperlukan
dengan syarat yang tidak ringan.35
Sedangkan Muhammad Baqir al-Habsyi berpendapat yang dikutip oleh
Khoruddin Nasution, bahwa di dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang
memerintahkan atau menganjurkan poligami. Penyebutan hal ini dalam an-
Nisa ayat 3 hanya sebagai informasi sampingan dalam rangka perintah Allah
agar memperlakukan keluarga, terutama anak yatim dan harta mereka dengan
perlakuan adil.36
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum poligami. Menurut Imam
yang empat, yakni Imam Abu Hanifah (W 767M), Imam Malik (W 795 M),
Imam Syafi‟i (W 820 M) dan Imam Ahmad(W 855 M), sepakat bahwa
poligami itu mubah (boleh). Menurut mereka seorang suami boleh memiliki
istri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang istri. Akan tetapi
diperbolehkannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara
perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.37
Para imam juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil,
hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli sunnah juga
telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat
maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap
batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang
empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah membatasi
istri empat orang saja, Imam Syafi‟i (W 820 M) berpendapat bahwa hal
tersebut telah ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah sebagai penjelasan dari
35
M Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), Cet.IV, h.200 36
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996) h.85 37
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi‟i, Hanafi,
Maliki dan Hambali, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), h.89
22
firman Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan
menikah lebih dari empat perempuan.38
Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah (W 767 M), yang dikutip
oleh Al-Sarakhsi (W 1090 M) dalam kitab al-Mabsut, bahwa poligami
dibolehkan dan seorang suami yang berpoligami harus berlaku adil terhadap
para istrinya. Keharusan berlaku adil ini berdasarkan surat an-Nisa(4):3 dan
hadis dari Aisyah ra yang menceritakan perlakuan adil dari Nabi kepada para
istrinya, ditambah dengan ancaman bagi suami yang berpoligami tetapi tidak
berlaku adil kepada para istrinya.39
Ketika berbicara tentang hak dan
kewajiban suami dan istri, Imam al-Kasani, ulama madzhab Hanafi, menulis
tentang kewajiban suami yang berpoligami, yakni wajib berlaku adil terhadap
istri-istrinya, dan mendapat perlakuan adil ini menjadi hak istri.40
Para Ilmuwan klasik (Fuqaha) berpendapat, bahwa Allah mengizinkan
menikahi empat perempuan. Menurut mereka, walaupun diperbolehkan disini
ditambah dengan kondisi yang tidak mungkin ditunaikan, keadilan dalam
kasih sayang, perasaan, cinta dan kasih sayang, namun selama kemampuan
berbuat adil di bidang nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan izin untuk
berpoligami menjadi sesuatu yang bisa diperoleh. Alasan yang mereka
kemukakan untuk mendukung ide ini adalah bahwa nabi sendiri pernah
berkata hubungannya dengan ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal
batin.41
Demikian juga pendapat para ulama tafsir, baik Al-Thabari (W 923
M) yang berpendapat bahwa poligami adalah dibolehkan selama bisa berlaku
adil.42
Sedangkan ulama yang lain yaitu Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Razi
38
Muhammad bin Idris As-Syafi‟i, Al-Umm, h.130 39
Syamsuddin Al-Sarakhsi, Al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Marifat), Jilid V, h.217 40
Imam Alauddin al-Kasani, Bada‟i al-Sona‟i, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996), Juz II, h.491 41
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.99 42
Ibnu Jarir Al-Thabari, Jami‟ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, (Beirut, Dar Al-Fikr, 1978),
h.155
23
(Al-Jashshash) yang juga intensif mengupas poligami, berpendapat bahwa
poligami bersifat mubah (boleh). Diperbolehkannya ini juga disertai dengan
syarat kemampuan berbuat adil diantara para istri, termasuk material, seperti
tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan sejenisnya, serta kebutuhan
non material seperti rasa kasih sayang, kecenderungan hati dan semacamnya.
Namun dia memberikan catatan, bahwa kemampuan berbuat adil di bidang
non material ini amat berat.43
Demikian juga Zamakhsyari (W 1144 M) berpandangan bahwa
poligami adalah dibolehkan, bahkan pandangan jumlah perempuan yang
boleh dinikahi bagi laki-laki yang berbuat adil, bukan empat, sebagaimana
pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan. Dengan menjumlahkan dua
tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan.44
Hal ini ditolak oleh Al-Qurtubi (W 1273 M) didalam kutipan
Khoiruddin Nasution, dimana Harist ibn Qois yang mempunyai delapan
orang istri, ketika masuk Islam Nabi menyuruh memilih empat orang diantara
mereka dan menceraikan sisanya. Hal yang cukup menarik dari Al-Qurtubi
dan Zamakhsyari adalah untuk mensahkan hubungan antara tuan dan
budaknya harus dinikahi terlebih dahulu. Adapun menurut Syaukani (W 1834
M) bahwa dengan turunnya surat Al-Nisa ayat 3, yakni menghapus kebiasaan
orang Arab pra Islam yang menikahi perempuan tanpa batas.45
Al-Qasimi (W 1916 M) berpendapat seperti yang tertulis dalam buku
Khoiruddin Naaution bahwa hanya pria yang istimewa saja yang bisa
melakukan poligami secara adil. Sedangkan Al-Maraghi (W 1952 M) dalam
tafsirnya menyebutkan bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan
darurat, misalnya karena istri mandul, suami memiliki kemampuan seks yang
43
Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur‟an, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islamiyah, t.t), h.50 44
Zamakhsyari, Al-Kasysyaf „an Haqiaiq Al-Tanzil wa „Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta‟wil,
(Mesir: Mushtafa al-Babi Al-Halabi, 1966), h.496-497 45
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.87-88
24
tinggi sementara istri tidak mampu melayaninya, seami mempunyai harta
yang banyak untuk membiayai kepentingan keluarga jika jumlah perempuan
melebihi dari jumlah laki-laki.46
Berbeda dengan ulama klasik, secara umum dapat dikatakan bahwa
ulama pada era modern memperketat diperbolehkannya poligami, bahkan
diantara mereka ada yang mengharamkannya, meskipun dibalik keharaman
tersebut masih disertai dengan kondisi yang memberikan kemungkinan untuk
melakukannya. Alasan pemikir modern melarang menikahi perempuan lebih
dari satu, atau kalaupun membolehkannya diikuti dengan berbagai syarat
yang hampir tidak mungkin untuk dipenuhi oleh suami, yaitu keadilan.47
Sayyid Qutub (W 1966 M) mengatakan bahwa poligami merupakan
suatu perbuatan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat,
yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan bisa
berbuat adil terhadap istri-istrinya. Keadilan yang dituntut disini dalam
bidang nafkah, mu‟amalah, pergaulan, serta pembagian malam. Sedangkan
bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu
saja.48
Yusuf al-Qardawi membagi hukum poligami menjadi tiga macam,
dengan ketentuan sebagai berikut:49
a. Boleh Berpoligami
Al-Quran jelas membolehkan poligami, tapi kebolehan poligami
sebenarnya merupakan rukhsah atau keringanan untuk keadaan-
keadaan tertentu saja, artinya tidak diperbolehkan untuk
sembarangan keadaan. Menurut Yusuf Qardawi, ada 2 keadaan
46Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.90 47
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.101 48
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran dibawah Naungan al-Quaran, Penerjemah As‟ad
Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insan Press 2002), Juz IV h. 274-282 49
Anshori Fahmi, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah, (Bandung: Pustaka Iiman, 2007), h.177-
183
25
dimana poligami diperbolehkan yaitu, Pertama: manusia yang
kuat keinginannya untuk memiliki keturunan, akan tetapi istrinya
tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Kedua:
laki-laki yang kuat syahwatnya, akan tetapi istrinya tidak kuat
karena sakit atau haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya,
sementara lelaki itu tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita.
b. Makruh Berpoligami
Muslim menikah dengan satu istri yang menjadi penentram dan
penghibur hatinya, pendidik dalam rumah tangganya dan tempat
untuk menumpahkan isi hatinya. Dengan demikian terciptalah
suasana sakinah, mawaddah wa rahmah, yang merupakan sendi-
sendi kehidupan suami-istri menurut pandangan al-Quran. Oleh
karena itu ulama mengatakan: „orang yang mempunyai satu istri
yang mampu memelihara dan mencukupi kebutuhannya,
dimakruhkan baginya untuk menikah lahi. Karena hal itu
membuka peluang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu yang
haram.
c. Haram Berpoligami
Yaitu bagi orang yang lemah (tidak mampu) untuk mencari nafkah
kepada istrinya yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa
berlaku adil diantara kedua istrinya.
Namun demikian, Ameer Ali memberi catatan bahwa teori poligami
digunakan jika suatu masyarakat yang menuntut adanya situasi yang
menghendaki demikian, misalnya jumlah perempuan yang melebihi laki-laki.
Dengan ungkapan yang berbeda Fzlur Rahman menyatakan kebolehan
berpoligami merpakan suatu pengecualian karena keadaan tertentu, sebab
26
kenyataannya kebolehan tersebut muncul ketika terjadi perang, dimana
banyak anak yatim dan janda yang ditinggal suaminya.50
Sementara, menurut Fazlur Rahman ada dua solusi yang ditawarkan
oleh Al-Quran sehubungan dengan poligami. Pertama, bahwa poligami yang
erbatas hukumnya boleh dan Kedua, kebolehan berpoligami diatur dengan
sebuah moral berupa keadilan. Dengan ini, Al-Quran berharap agar suatu
masyarakat berjalan sesuai dengan tuntutan zamannya.51
Mu‟ammal Humaidy juga menyimpulkan bahwa Islam bukan
menciptakan Undang-undang poligami, tetapi hanya membatasi poligami
dengan jumlah tertentu. Al-Quran tidak menyuruh poligami, tapi hanya
memperbolehkan dengan persyaratan adil. Poligami merupakan solusi dan
jaga-jaga, bukan sebaliknya membuat masalah. Jadi sesuaikan dengan kondisi
dan keadaan dimana dan kapan poligami ini dibutuhkan. Dan betapa pun
jeleknya poligami barangkali masih lebih baik bagi masyarakat, perorangan,
maupun keluarga daripada penggunaan hak secara membabi buta yang tidak
diatur dengan ini.52
Sedangkan menurut tokoh kontemporer, Muhammad Syahrur
membolehkan poligami dengan menetapkan adanya syarat kuantitas dan
kualitasnya. Dari segi kuantitas, batas minimal poligami adalah satu
perempuan, sedangkan batas maksimalnya adalah empat perempuan. Adapun
syarat kualitasnya yaitu istri kedua, ketiga dan keempat yang boleh dinikahi
harus janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi
tanggung jawabnya.53
50
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.101 51
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.104 52
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.105 53
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Quran: Qiraah Mu‟ashirah, (Damascus: Dar Ahali,
1990), h.598-599
27
Di lain sisi Muhammad Abduh berpendapat sebaiknya poligami
dijauhi dan dihindari, sesuai dengan kaidah usul fikih yang mengatakan:
ء س د و ع ذ ق ذ ي اس ف ان ب ه ج ه حن صا ان
ArtinyaMencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang
mengupayakan keselamatan
Karena menurut realita yang ada bahwa poligami lebih menunjukkan dampak
negatif dari pada dampak positif dan yang banyak menanggung akibatnya
adalah kaum wanita dan anak-anak. Meskipun tidak menafikan ayat yang
membolehkan poligami, namun ia sangat menentang praktek poligami dalam
masyarakat, disamping karena sulit merealisasikan keadilan bagi istri, sangat
sulit juga membina masyarakat yang di dalamnya marak praktik poligami,
dari sisi lain poligami tidak diyakini dapat menciptakan suasana harmonis,
malah sering kali menciptakan permusuhan diantara para istri dan anak-anak
dari masing-masing keluarga.54
Pendapat senada disampaikan juga oleh Masjfuk Zuhdi, menjelaskan
bahwa Islam memandang poligami lebih banyak resiko/mudharat daripada
manfaat, karena manusia fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan
suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar
tinggi jika hidup dalam kehidupan poligamis. Dengan demikian, poligami itu
bisa membawa sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara
suami dengan istrinya, maupun konflik antar istrinya terhadap anaknya
masing-masing. Oleh karena itu, usul hukum perkawinan dalam Islam adalah
monogami, sebab dengan monogami akan memudahkan menetralisasi
sifat/watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga
yang harmonis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang
akan mudah peka dan terangsang timbulnya cemburu, iri hati dan suka
54
J.N.D. anderson, Islamic Law in the Modern World, terj. Machnun Husein, (Surabaya: CV.
Amarpress, 1991), h.53
28
mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga dapat mengganggu ketenangan
keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu,
poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata
mandul, sebab menurut Islam, anak adalah salah satu dari tidak terputusnya
amalah manusia ketika seseorang telah meninggal dunia, yakni bahwa adanya
keturunan yang shalih yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan
istri mandul dan suami tidak mandul, berdasarkan keterangan medis hasil
laboratorium, suami diijinkan berpoligami dengan syarat.55
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa status poligami
menurut beberapa ulama fiqh dan tafsir, baik klasik maupun kontemporer
terdapat pro dan kontra, ada yang membolehkan poligami dengan syarat adil
dan ada yang melarang poligami apabila sang suami tidak bisa bersikap adil
terhadap para istrinya. Namun, yang membolehkan poligami ada yang
memberikan syarat yang cukup longgar dan ada juga yang memberikan
persyaratan yang cukup ketat
D. Syarat-syarat Poligami
1. Jumlah Istri dalam Poligami
Jumhur ulama termasuk pula di dalamnya para sahabat dan tabi‟in dan
Ibnu Abbas menyatakan bahwa batas maksimal menikahi perempuan adalah
empat. Begitu pula pendapat Imam Malik (W 795 M), Imam Syafi‟i (W 820
M), Ibnu Katsir (W 1373 M), Ibnu Majah ( W 887 M) dan hampir ulama
klasik. Ada pula yang mengatakan bahwa poligami boleh dilakukan sampai
sembilan orang, yaitu pendapat dari Mazhab Syi‟ah. Sementara Zhahiriyah
berpendapat boleh sampai delapan belas.56
Imam Abu Hanifah (W 767 M)
55
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), h.12 56
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: al-Jami‟ Baina
Fanniy al-Riwayah wa al-Diroyah, (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah, tt), Jilid I, h.531
29
memiliki pendapat yang sama dengan mayoritas ulama, yang menyatakan
bahwa poligami dibatasi empat saja.
Perbedaan ini muncul karena penafsiran kalimat “matsna wa tsulatsa
wa ruba‟” dalam ayat 3 surat al-Nisa. Menurut mazhab Syiah, kalimat
tersebut menunjukan penjumlahan, sehingga jika ditambahkan hasilnya
adalah sembilan. Sedangkan menurut Zhahiri, delapan belas karena kata
“wawu” dalam kalimat tersebut „dikali‟ sehingga dua kali tiga kali empat.
Sedangkan menurut jumhur bahwa huruf “wawu” bermakna “au” yang
artinya „atau‟.57
Pendapat ini dikuatkan dengan qarinahnya yaitu hadis Nabi
Saw tentang seorang pria bangsa Saqif yang masuk Islam dan mempunyai
istri sepuluh.
2. Dapat berlaku Adil
Allah SWT berfirman:
اكى احذةأيايهكتأ أالتعذناف خفت فإ
Artinya: “tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil,
maka (nikahilah) seorang wanita saja atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki.” (An-Nisa: 3)
Dalam Surat An-Nisa:
م فتزسا ها كم ان حشصتى فل ت ن انساء تعذنا ب تستطعا أ ن عهقت كان
ا غفسا سح كا للا تتقا فإ تصهحا إ
Artinya: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-
istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada istri yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung (terlantar).” (An-
Nisa: 129)
57
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: al-Jami‟ Baina
Fanniy al-Riwayah wa al-Diroyah, (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah, tt), Jilid I, h.532
30
Jika dilihat dari kedua ayat di atas, pada ayat 3 surat Al-Nisa dapat
kita lihat bahwa di dalam ayat tersebut dijelaskan dibolehkannya poligami
dengan syarat berlaku adil, apabila takut tidak dapat berlaku adil maka
nikahilah satu wanita saja. Namun di ayat 129 surat al-Nisa dijelaskan bahwa
seorang suami tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Terdapat
perbedaan penafsiran oleh para ulama tentang berbuat adil dalam poligami
berdasarkan kedua ayat di atas.
Imam Syafi‟i (W 820 M), al-Sarakhsi (W 1090 M) dan al-Kasani ( W
1191 M) mensyaratkan keadilan diantara para istri, menurut mereka keadilan
ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau
di siang hari.58
Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulam fiqh
paling tidak memiliki dua syarat: Pertama, kemampuan dana yang cukup
untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri, Kedua,
harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus
diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.59
Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan
kesempatan yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami.
Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi‟i dan
ulama-ulama Syafi‟iyyah serta orang-orang yang setuju dengannya,
diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material saja. Bahkan lebih
dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang
tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.
Ali Ahmad Jurjawi menjelaskan ada tiga hikmah poligami; Pertama,
diperbolehkannya poligami yang dibatasi empat orang istri menunjukan
bahwa manusia terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya. Kedua,
batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki;
58
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.103-105 59
Abd. Rahman I Do‟i, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta:
Rajawali Press, 2002), h.192
31
pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri. Ketiga, bagi seorang
suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu senggang
tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup uuntuk mencurahkan kasih
sayang.60
Menurut pendapat Wahbah al-Zuhaily ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi bagi orang-orang yang berpoligami, diantaranya yaitu: pertama
sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Keadilan inilah yang harus
diprioritaskan terlebih dahulu, sebab keadilan adalah syarat yang paling
utama untuk seseorang yang hendak berpoligami. Jadi seandainya syarat ini
tidak terpenuhi maka akan tertutup rapat-rapat diperbolehkannya seseorang
untuk berpoligami. Kedua adalah kesanggupan memberi nafkah kepada isteri-
isterinya. Islam tidak menghalalkan terhadap siapa saja yang mau melaju
pada jenjang pernikahan kalau dia tidak mampu untuk memberi nafkah. Hal
ini berlaku bagi orang yang baru mau menikah dan juga berlaku bagi orang-
orang yang mau berpoligami.61
Menurut Yusuf Qardhawi, adil dalam tataran praktis merupakan
kepercayaan pada dirinya, bahwa dia mampu berbuat adil diantara isteri-
isterinya dalam masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam
dan nafkah. Jika tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk menunaikan
hak-hak tersebut secara adil dan imbang, maka haram baginya menikah lebih
dari seorang.62
Berbagai pendapat di atas, para ulama fiqh cenderung memahami
keadilan secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhammad
Abduh berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Quran adalah
keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian
60
Ali Ahmad Jurjawi, Hikmah al-Tasyri‟ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al Fikri), h.10 61
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9 (Beirut:Darul Fikr,1999),h.
6669 62
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Terj. Abu Sa‟id Al-Falahi (Jakarta:
Robbani Press, 2000),h. 214
32
yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Ayat al-Quran
mengatakan: “Jika kamu sekalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka
kawinilah satu istri saja” (QS. Al-Nisa:3). Muhammad Abduh menjelaskan,
apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah
struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah
tanggga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah
tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota
keluarganya.63
Al-Maraghi berpendapat bahwa yang terpenting ialah adanya usaha
maksimal untuk berbuat adil. Adapun perkara yang di luar kemampuan
manusia, bukanlah suatu keharusan untuk dilaksanakan. Dalam hal ini
kemampuan hati untuk membagi kasih sayang yang sama rata kepada setiap
istri.
M Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat
3 surat al-Nisa bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam
bidang material. Dan keadilan yang dimaksudkan dalam ayat 129 surat al-
Nisa adalah adil dalam bidang immaterial (cinta). Keadilan ini yang tidak
mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang
berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan
cenderung kepada yang dicintai.64
Berdasarkan berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam
perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat
poligami dalam perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur.
Hal ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu
lembaga yang bisa dijalankan. Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan
pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu
63
Ali Ahmad Jurjawi, Hikmah al-Tasyri‟ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al Fikri), h.10-12 64
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), Cet.IV, h.201
33
sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Padahal Allah SWT
menjanjikan dalam surat al-Baqarah ayat 286:
سعا الكهفانهفساإال
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.”
3. Kemampuan berpoligami.
Dalam Islam seseorang tidak diperbolehkan memberatkan dirinya
sendiri, demikian pula dalam hal poligami. Apabila seorang laki-laki yang
hendak berpoligami, disyaratkan harus memiliki kemampuan yang
dimaksudkan, yakni:
a. Kemampuan Memberikan Nafkah,
Ketika seorang suami menikah lagi maka ia menanggung
berbagai kewajiban terhadapa para istri dan anakanya,
diantaranya adalah nafkah. Dalam soal adil memberikan nafkah
ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah
seorang istrinya dengan alasan bahwa si istri itu kaya atau ada
sumber keuangannya, kecuali kalau si istri itu rela. Suami
memang boleh menganjurkan istrinya untuk membantu dalam
soal nafkah, tetapi tanpa paksaa. Memberikan nafkah yang lebih
kepada seorang istri dari istri-istri yang lainnya diperbolehkan
dengan sebab-sebab tertentu, yakni apabila si istri tersebut sakit
atau memerlukan biaya perawatan sebagai tambahan dan lain-
lainnya. Prinsip adil ini tidaklah ada pembedaan antara gadis atau
janda, istri lama atau istri baru, yang cantik atau yang tidak
cantik, yang berpendidikan atau yang buta huruf, kaya atau
miskin, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya
haruslah mempunyai hak yang sama sebagai istri.
34
Dari beberapa pandangan ulama yang telah disebutkan di atas dapat
penulis simpulkan bahwa, seseorang yang akan berpoligami harus memenuhi
beberapa syarat diantaranya; Jumlah Istri maksimal empat orang, Adil,
dalam hal ini yang dimaksud dengan adil ialah dapat membagi sama rata
dalam hal yang bersifat material dan terukur, selanjutnya ialah Kemampuan
dalam memberikan nafkah, hal ini wajib dipertimbangkan bagi seorang laik-
laki yang ingin melakukan poligami karena dia harus mencukupi kebutuhan
keluarganya.
Pada zaman sekarang ini muncul berbagai seruan baru yang melarang
praktik poligami, kecuali dengan izin qadhi(pengadilan), untuk menegaskan
terwujudnya apa yang disyaratkan oleh syari‟at untuk membolehkan
poligami. Yaitu keadilan diantara para istri, serta kemampuan untuk
memberikan nafkah karena manusia, terutama orang-orang awam telah
mempergunakan dengan buruk pembolehan poligami yang diizinkan untuk
tujuan kemanusiaan yang mulia. Selain itu, memperketat kemungkinan
poligami tersebut juga bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan status
wanita.65
E. Dampak yang Mempengaruhi Poligami
a. Dampak Biologis66
1) Istri yang sakit
Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang tidak
memunginkan baginya untuk melayani hasrat seksual suaminya.
2) Hasrat Seksual yang Tinggi
65
Azni, Poligami Dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan Malaysia, (Riau: Suska Press,
2015), h.73 66
Abu Azzam Abdillah, Agar Suami Tak Berpoligami, (Bandung: Ikomatuddin Press, 2007),
h.23
35
Sebagian kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang
tinggi dan menggebu, sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup
untuk menyalurkan hasratnya tersebut.
3) Rutinitas Alami Setiap Wanita
Adanya masa-masa haid, kehamilan dan melahirkan menjadi
alasan utama seorang wanita tidak dapat menjalankan salah satu
kewajiban terhadap suaminya. Jika suami dapat bersabar menghadapi
kondisi seperti itu, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika
suami termasuk orang yang hasrat seksualnya tinggi, beberapa hari
saja istrinya mengalami rutinitas tersebut, dikhawatirkan sang suami
tidak bisa menjaga diri, maka poligami bisa menjadi pilihannya.
4) Masa Subur Pria Lebih Lama
Kaum pria memiliki masa subur yang lebih lama dibandingkan
wanita.
b. Dampak Internal Rumah Tangga67
1) Kemandulan
Banyak kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh masalah
kemandulan, baik kemandulan yang terjadi pada suami maupun yang
dialami istri. Hal ini terjadi karena keinginan seseorang untuk
mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan utama pernikahan
dilakukan.
Dalam kondisi seperti itu, seorang istri yang bijak dan shalihah
tentu akan berbesar hati dan rela bila sang suami menikahi wanita lain
yang dapat memberikan keturunan.
2) Istri yang Lemah
Ketika suami mendapati istrinya dalam keadaan serba terbatas,
tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya dengan
67
Rahmat Gakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.118
36
baik, tidak bisa mengarahkan dan mendidik anak-anaknya, lemah
wawasan ilmu dan agamanya, serta bentuk-bentuk kekurangan
lainnya, maka pada saat itu kemungkinan suami melirik wanita lain
yang dianggapnya lebih baik, bisa saja terjadi poligami.
3) Kepribadian yang Buruk
Istri yang tidak pandai bersyukur, banyak menuntut, suka berkata
kasar, tidak mau menerima nasihat suami dan selalu ingin menang
sendiri, biasanya tidak disukai sang suami. Oleh karenanya, tidak
jarang suami yang mulai berpikir untuk menikahi wanita lain yang
dianggap lebih baik, apalagi jika watak dan karakter buruk sang istri
tidak bisa diperbaiki lagi.
c. Dampak Sosial68
1) Kemampuan Ekonomi
Inilah salah satu faktor poligami yang sering terjadi pada kalanga
masyarakat modern sekarang ini, kesuksesan dalam bisnis dan
mapannya perekonomian seseorang, sering menumbuhkan sikap
percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya menghidupi istri
lebih dari satu.
2) Banyaknya Jumlah Wanita
Ada saatnya dalam satu tempat jumlah wanita melebihi laki-laki, hal
tersebut terjadi akibat terjadinya perang dan banyak laki-laki menjadi
korban, akibatnya jumlah wanita lebih banyak sedangkan jumlah laki-
laki berkurang, hal ini merupakan masalah yang memerlukan
pemecahan serius sebab kelebihan jumlah wanita adalah masalah
sosial yang perlu mendapat perhatian sekaligus pemecahannya.
Bentuk pemecahan dari masalah tersebut adalah dengan berpoligami.
68
Rahmat Gakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.119
37
F. Hikmah Poligami
Islam membolehkan poligami adalah untuk suatu maslahat yang
timbul akibat kondisi kehidupan. Allah SWT yang menciptakan manusia,
Dialah yang lebih mengetahui apa yang dapat menjadi maslahat bagi mereka.
Apabila Dia memperbolehkan poligami maka hal itu berdasarkan hikmah
yang hanya Dia yang mengetahui.69
Berpoligami bukanlah sesuatu yang wajib dan juga bukan sesuatu
yang disunnahkan, akan tetapi oleh Islam dibolehkan. Dalam pandangan
Sayyid Sabiq, poligami memiliki banyak hikmah, antara lain:70
a) Merupakan karunia Allah dan rahmat-Nya kepada manusia
membolehkan adanya poligami dan membataskan sampai empat saja.
Bagi laki-laki boleh kawin dalam waktu yang sama lebih dari seorang
istri, akan tetapi dengan syarat sanggup berbuat adil erhadap mereka
dalam urusan belanja, tempat tinggal, kasih sayang, serta dalam
menyalurkan nafkah kepada mereka.
b) Adakalanya istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan
sembuhnya, padahal masih tetap berkeinginan untuk melanjutkan
hidup bersuami istri, padahal suami ingin memiliki anak dan seorang
istri yang dapat mengurus keperluan-keperluan rumah tangganya.
Oleh karena itu ketika dalam keadaan nseperti ini melakukan poligami
dianggap sebagai cara yang bisa ditempuh, akan tetapi juga harus
memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh Islam dan
perundang-undangan yang berlaku.
c) Memperbanyak populasi umat Islam karena umat Islam tidak akan
mampu bangkit dengan menyebarkan risalah ini kecuali jika mereka
69
Said Abdul Aziz al-Jandul, Wanita di Antara Fitrah, Hak dan Kewajiban, (Jakarta: Pustaka
Darul Haq, 2003), h.66 70
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2011), h.356-364
38
kuat, memiliki pondasi-pondasi sebagai tonggak berdirinya sebuah
negara, seperti tentara, ilmu pengetahuan, industri, pertanian,
perdagangan unsur-unsur kenegaraan lainnya yang dapat menyokong
eksistensi dan berlangsungnya kemakmuran sebuah negara serta
menjaga kewibawaan dan kekuatan negara tersebut.
d) Mengantisipasi ketimpangan jumlah wanita yang lebih banyak
dibandingkan lelaki. Ketimpangan jumlah wanita ini terpaksa
memperbolehkan poligami demi melindungi dan mengayomi populasi
perempuan yang ada. Jika poligami tidak diberlakukan, maka hal itu
dapat menjerumuskan perempuan pada perbuatan nista yang dapat
merusak tatanan sosial dan meruntuhkan moral.
e) Menolong lelaki untuk memenuhi kebutuhan seks pada masa haid dan
nifas sang istri maupun ketika istri memasuki masa menopause.
Karena perempuan tidak bisa diajak melakukan hubungan badan
ketika mengalami haid, yang biasa membutuhkan waktu sepuluh hari
dan ini berlaku setiap bulan, ketika melahirkan dan mengalami nifas,
dimana dia membutuhkan waktu hingga mencapai empat puluh hari.
f) Untuk menjaga diri dari perilaku seksual yang buruk seperti zina dan
pelacuran, terutama pada daerah yang menganut peraturan monogami.
39
BAB III
POLIGAMI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA,
PAKISTAN DAN SOMALIA
A. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Indonesia
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
Republik Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi
garis khatulistiwa dan berada di antara Benua Asia dan Australia serta
antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Dengan pemerintahan
berbentuk Republik sedangkan ibukota negara terletak di Jakarta.
Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak
menyatakan diri sebagai negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya
menganut agama Islam. Muslim Indonesia di dominasi oleh pengikut
mazhab Syafi‟i.71
Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk
Republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang Dasar. Pancasila adalah dasar ideal negara dan
Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar struktural negara yang
menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menghargai
dan menghormati kehidupan beragama.
Sampai saat sekarang ini di Indonesia berlaku berbagai sistem
hukum, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam serta hukum Barat (baik
itu civil law, maupun common law atau hukum anglo saxon).
Para kaum muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di
atas segala norma nilai yang ada di sekelilingnya. Posisi istimewa hukum
Islam itu, bertahan di dalam retang waktu yang cukup panjang. Dari mulai
kerajaan Islam, yang diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudian berada
71
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.292
40
dalam tarik ulur kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir
masa kemerdekaan, sampai lahirnya UU No. 1/2974 Tentang
Perkawinan.72
Selain itu, hukum perkawinan termasuk hukum yang paling sering
bersentuhan dengan “rasa keadilan” di dalam masyarakat muslim
Indonesia. Hukum perkawinan struktur unit terkecil dan paling penting
dalam masyarakat, lahir dan tiada karena sebuah perkawinan. Dan dengan
hukum perkawinan, banyak terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut
tanah air, bahkan antar negara.73
Sejarah hukum keluarga di Indonesia, mengalami 3 periode yaitu:
a. Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial
Sejarah hukum keluarga di Indonesia dimulai pada zaman
Prakolonia yang juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan.
Pada masa ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama
dan budaya masyarakat. Hukum tidak bisa terlepas dari budaya
masyarakat dan agama. Seperti yang dijelaskan dalam beberapa
literature, jauh sebelum datangnya penjajah dari Eropa, masyarakat
Indonesia telah mengenal beberapa macam hukum seperti hukum adat
dan hukum Islam (pasca datangnya Islam). Hukum adat misalnya,
telah dikenal oleh masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam
datang. Setelah Islam datang terjadi akulturasi budaya lokal dengan
ajaran Islam yang kemudian terjadi adaptasi serta adopsi ajaran Islam
oleh masyarakat adat setempat, sehingga pada perkembangannya
ajaran Islam dan budaya lokal menyatu dan tumbuh bersama sehingga
melahirkan budaya baru (perpaduan antara tradisi lokal dan ajaran
Islam). Hal ini dapat dibuktikan di beberapa daerah seperti yang
72
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,
(Jakarta: RM Books, 2012) h. 77 73
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,
(Jakarta: RM Books, 2012) h.78
41
terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan ungkapan yang terkenal
“hukum adat bersendikan Syara‟ dan Syara‟ bersendikan kitabullah
(Al-Qur‟an).74
Selain itu, bukti eksistensi hukum adat dan hukum Islam
sebelum datangnya penjajah hingga datangnya penjajah adalah
lembaga peradilan klasik yang terbentuk kala itu, seperti lembaga
tahkim, kemudian dalam perkembangannya Peradilan Swapraja
(disebut Peradilan Serambi atau juga Peradilan Mesjid dan sejenisnya)
pada masa kerajaan-kerajaan Islam kemudian menjadi Peradilan
Agama hingga sekarang. Hal ini telah menunjukan pengaruh kuat
Islam di Indonesia dalam aspek hukum perdata, terutama dalam
bidang hukum perkawinan atau keluarga.75
b. Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial
Zaman Kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi
pedagang Eropa ke Indonesia, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris
dan ditambah lagi dari Asia yaitu Jepang. Hasil dari penjajah
kolonialis Belanda telah mengusik keharmonisan sistem hukum yang
dianut oleh penduduk pribumi, berupa hukum yang hidup ditengah-
tengah masyarakat (Living Law) atau berupa Hukum Adat (customary
law), maupun hukum Islam. Kehadiran para kolonialis inilah yang
mengakibatkan terjadinya pluralitas sistem hukum yang dianut oleh
masyarakat pribumi yang dikuasai oleh pemerintah kolonialis
Belanda, hingga diberlakukanlah sistem Hukum Adat, Hukum Islam
74
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya
Bakti, 2010), h. 57. 75
Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: Beranda, 2012), h. 182.
42
dan sistem Hukum Belanda atau sering disebut sebagai Hukum Barat
berupa hukum sipil (civil law).76
Kemudian pemerintahan Hindia Belanda dalam menjalankan
roda kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam intruksi
Gubernur Jenderal yang ditunjukan kepada para Bupati, khususnya
disebelah utara pantai Jawa, yang intinya adalah agar memberi
kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan
perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan, konon
keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24
Januari 1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun
1882 No. 152 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama),
walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg
yang menganut paham reception in complex, yang berarti bahwa
hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi adalah hukum agama
yang dipeluknya. Melalui kantor dagang Belanda (VOC),
dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi
pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada
pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan
Compendium Freijer, yang merupakan legislasi Hukum Islam
pertama di Indonesia.77
Berdasarkan Stbld Nomor 55 tahun 1982, Compendium
Freijer yang sebagian diperbaharui itu kemudian dicabut secara
berangsur-angsur pada abad ke 19. Dengan demikian, berakhirlah
riwayat hukum perkawinan Islam yang tertulis dan dicukupkan
dengan menumpang pada Pasal 131 ayat [2] sub b IS [indische
Staatsregeling] yang merupakan kelanjutan Pasal 75 redaksi lama
76
A. Qodri Azizy, Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”,
(Bandung: Teraju, 2004), h. 137-139. 77
A. Qodri Azizy, Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”,
(Bandung: Teraju, 2004), h. 139
43
Regelings Regrement [RR] tahun 1854, yang hanya mengatur masalah
pendaftaran perkawinan, sedangkan dasar perkawinan adalah hukum
adat. Dengan dicabutnya Compendium Frijer tanggal 3 Agustus 1828,
secara tekstual hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum adat,
kecuali agama Kristen berlaku HOCI [Huwelijk Ordonantie Chrisyen
Indonesiers Java Minahasa an Amboina] yakni UU Perkawinan
Keristen Jawa, Minahasa dan Ambon.78
Pada waktu pemerintahan Belanda masuk ke Indonesia pada
tahun 1596 melalui VOC, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh
para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah kekuasaannya
sehingga kedudukan hukum (keluarga) islam telah ada dimasyarakat
sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC.
Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas
agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya.
Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan
membawa serta hukum negaranya untuk menyelesaikan masalah
diantara mereka sendiri.
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun
1800-1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya
kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali
berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan
hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada
masyarakat Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda
yang dipelopori oleh L.W.C Van Den Berg bahwa hukum yang
berlaku bagi orang Indonesia asli adalah Undang-undang agama
mereka, yaitu Islam.
78
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 79-80
44
Dalam penelusuran penulis, pada masa pemerintahan kolonial
Belanda telah terdapat peraturan tentang poligami, yang diatur pada
Pasal 27 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menyatakan bahwa,
“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dibolehkan
mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang
perempuan hanya satu laki-laki sebagai suaminya”, dan pada saat itu
Burgerlijk Wetboek (BW) menganut asas monogami tertutup.
c. Hukum Keluarga Pasca Kemerdekaan
Undang-Undang pertama tentang perkawinan dan perceraian,
yang sekaligus dikelompokkan sebagai usaha pembaharuan pertama,
adalah dengan diperkenalkan UU No. 22 Tahun 1946. Pertama, UU
ini hanya berlaku untuk wilayah pulau Jawa, yang kemudian Undang-
Undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia
merdeka ini diperluas wilayah berlakunya seluruh Indonesia dengan
UU No. 32 Tahun 1954 yakni Undang-Undang tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk. Keberadaan Undang-Undang No. 22 Tahun
1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl. No. 198 Tahun 1895, dan
sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 348 Tahun
1929 jo. Stbl. No. 467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks
Ordonantie Stbl. No. 98 Tahun 1933. Aulawi mencatat seyogyanya
UU No. 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, tetapi
karena keadaan belum memungkinkan baru diberlakukan untuk Jawa
dan Madura. Kemudian diberlakukan diseluruh Indonesia pada Tahun
1954, dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 1954, yang isinya
memberlakukan UU No. 22 Tahun 1946 diseluruh Indonesia. Dengan
ungkapan lain oleh Ahmad Roestandi, UU No. 22 Tahun 1946
memperoleh persetujuan dari DPR untuk diberlakukan diseluruh
Indonesia pada tahun 1954. Dengan demikian, secara umumditulis,
ada dua tahapan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1946 yakni: (1)
45
tanggal 1 Februari 1947 untuk wilayah Jawa dan Madura; dan (2)
tanggal 2 November 1954 untuk wilayah lainnya.79
Kemudian
Departemen Agama melalui menteri agama mengeluarkan Peraturan
Menteri Agama mengenai wali hakim dan tata cara pemerikasaan
perkara, fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama.
Kemudian pada tahun 1974 terbentuklah Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-undang pertama
yang terbentuk pada masa Orde Baru. Kehadiran UU No.1 Tahun
1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana.
Pertama, PP No.9 Tahun 1875 yang diundangkan tanggal 1 April
1975. Kedua, Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Ketiga, Petunjuk Mahkamah Agung RI pada tahun 1983 lahir pula
Peraturan Pemerintah No. 10 yang mengatur tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan yang
ditetapkan tanggal 21 April 1983 ini, berisi 23 pasal. Kemudian pada
tahun 1989 tentang Peradilan Agama.80
Kemudian pada Tahun 1990
keluar PP No. 45 yang berisi perubahan atas PP No. 10 Tahun 1989,
yang isisnya memuat beberapa pasal yang ada dalam PP No. 10
Tahun 1983. PP No. 45 Tahun 1990 ini hanya berisi dua pasal.
Kemudian satu tahun sesudahnya pada tahun 1991 berhasil disusun
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perkawinan, pewarisan dan
perwakafan.81
79
M. Atho‟ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.23-24 80
Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.
25-26. 81
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaharuan, Materi & Status
Perempuan dalam Hukum Perkawinan keluarga Islam (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), h.
49.
46
Dapat penulis simpulkan bahwa sejarah pengaturan poligami
sejak zaman prakolonial hingga setelah kemerdekaan ialah, Pada
zaman pra kolonial belum adanya peraturan terkait masalah poligami,
kalaupun ada yang mengaturnya adalah hukum adat. Pada zaman
kolonial sudah ada yang mengatur tentang masalah poligami yakni
pasal 27 KUH Perdata (BW) dan setelah kemerdekaan poligami diatur
oleh UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 10 Tahun
1983, PP No. 45 Tahun 1990, Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Peraturan Poligami di Indonesia
Regulasi mengenai poligami di Indonesia secara implisit
termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undangan perkawinan.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,
dan Kompilasi Hukum Islam.
Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah diatur
mekanisme poligami, mulai dari batasan maksimal jumlah istri, alasan,
persyaratan hingga prosedur yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh
suami yang akan melakukan poligami.
a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU Perkawinan menganut asas monogami. Seperti yang
terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan:
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki
seorang isteri.
47
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dapat dilihat, bahwa asas yang dianut UU perkawinan di atas
bukanlah asas monogami mutlak melainkan disebut monogami
terbuka. Poligami ditempatkan di status hukum yang darurat
(emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra
ordinary circumstance). Disamping itu poligami tidak semata-
mata kewenangan penuh suami, tetapi atas dasar izin dari hakim
(pengadilan).82
b. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974
Untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang
mengatur prosedur pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dan
dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri leih dari seorang,
maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada
Pengadilan Agama, yang dinyatakan dalam pasal 40:
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari
seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Pengadilan.
82
Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkemangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004),
h.162
48
Kemudian Pengadilan Agama akan memberikan keputusan
apakah permohonan tersebut diluluskan atau ditolak. Sedangkan
tugas pengadilan diatur dalam pasal 41 sebagai berikut:
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang
suami kawin lagi, ialah:
1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri;
2) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan;
3) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan
lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan
persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan
sidang pengadilan.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan
memperlihatkan”
1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
2) Surat keterangan pajak penghasilan; atau
3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh
Pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan
pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk
yang ditetapkan untuk itu.
Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan
pengadilan memanggil para istri untuk memberikan kejelasan atau
kesaksian di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan
diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa permohonan
49
poligami setelah diajukan oleh suami lengkap dengan
persyaratannya.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada
Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan
mendengar istri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya surat permohonan beserta lampiran-
lampirannya.
c. PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil
Secara umum pernikahan dan perceraian bagi seluruh warga
Indonesia telah diatur dalam UU No 1 tahun 1974 dan PP No 9
tahun 1975. Selain itu khusus bagi warga Indonesia yang berstatus
sebagai Pegawai negeri Sipil yang akan melangsungkan
perkawinan dan perceraian juga harus tunduk pada ketentuan lain,
ketentuan yang dimaksud adalah PP No 10 tahun 1983 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,
sebagaimana yang telah diubah dengan PP No 45 tahun 1990. Di
dalam ketentuan dan peraturan termaksud telah diatur mengenai
tata cara, prosedur, syarat-syarat, dan lain sebagainya.
Perizinan poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 sesuatu hal
yang sangat sulit dilakukan. Peraturan disebutkan dalam beberapa
pasal yaitu:
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari
seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
50
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi
istri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri
kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil,
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (3) diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang
mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang
atau untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil apabila
ingin melakukan poligami harus seizin pejabat terlebih dahulu
baru diajukan ke pengadilan. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak
diperbolehkan menjadi istri kedua/ketiga/keempat sesama
Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 9
(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih
dari seorang atau untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 wajib
memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang
dikemukakan dalam surat permintaan izin dan
pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan
dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka
Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari istri
Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin
atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan
keterangan yang meyakinkan.
(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau
bersama-sama dengan istrinya untuk diberi nasehat.
51
d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
Dalam penjelasan PP No 45 tahun 1990 terdapat beberapa
alasan mengapa PP tersebut harus diubah diantaranya: dalam
pelaksanaannya ada beberapa peraturan yang tidak jelas, Pegawai
Negeri Sipil tertentu yang seharusnya terkena PP No. 10 tahun
1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun tidak,
terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu adakalanya pejabat
tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan
rumusan ketentuan PP No. 10 tahun 1983. Dalam PP ini yang
mengatur poligami terdapat dalam beberapa pasal:
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari
seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk
menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap
yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari
seorang.
Perubahan Pasal 4 ini dengan PP sebelumnya adalah melarang
dengan tegas bahwa Pegawai Negeri Sipil Wanita untuk dijadikan
istri kedua/ketiga/keempat.
Pasal 9
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri
lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
52
(1) wajib memperhatikan dengann seksama alasan-alasan
yang dimukakan dalam surat permintaan izin dan
pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan.
Pasal 12
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk
melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
dan untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat
(1), dilakukan oleh pejabat secara tertulis dalam jangka waktu
selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima
permintaan izin tersebut.
Pemberitahuan izin untuk melakukan perceraian atau
perkawinan poligami diterima atau ditolak selambat-lambatnya 3
bulan sejak permintaan izin diajukan.
e. Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
Intruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI) memberikan pengaturan tentang tatacara berpoligami
bagi pemeluk agama Islam, yang pada dasarnya tidak
bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional
termasuk Syafii. Sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi
Hukum Islam yang terdiri dari pasal Pasal 55 sampai Pasal 59.
3. Syarat dan Prosedur Poligami di Indonesia
Mengenai syarat-syarat seseorang akan melakukan poligami
terdapat dalam Pasal 4 Undang-Mengenai syarat-syarat seseorang akan
melakukan poligami terdapat dalam Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 Pasal 4, yaitu:
Pasal 4
53
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya
memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 4 di atas, seorang
suami yang akan berpoligami juga harus memenuhi persyaratan yang
bersifat kumulatif yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan Pasal
5, yaitu:
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalm pasal 4 ayat (1) Undang-undang
ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Adamya persetujuan dari isteri/iteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isterinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila tidak ada kabar
dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
dari Hakim Pengadilan.
Selain ketentuan dari Pasal 4 dan 5 undang-undang perkawinan
mengenai persyaratan seorang suami yang akan berpoligami, bagi
54
Pegawai Negeri Sipil terdapat peraturan khusus, peraturan tersebut
termuat di dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang dijelaskan
dalam Pasal 4 sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan
oleh pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu
syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) pasal ini.
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. Ada persetujuan tertulis dari istri
b. PNS yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang
cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-
anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan
c. Ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia
akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristri lebih dari seorang tidak diberikan oleh
pejabat apabila
a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut
oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
b. Tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3).
c. Bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku
d. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat
dan /atau
Dalam INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam yang dijelaskan di Pasal 55, bagi suami yang hendak melakukan
poligami harus memenuhi syarat sebagai berikut:
55
Pasal 55
(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersaman,
terbatas hanya sampai empat orang istri.
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak
mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Dalam Pasal 55 ayat (2) di atas, syarat utama sekaligus kewajiban
suami terhadap istri-istrinya adalah keadilan, dari nafkah sehari-hari,
tempat kediaman, dan kebutuhan lainnya.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal di atas merupakan syarat-syarat substansial yang melekat
pada seorang istri, yaitu kondisi nyata yang melingkupinya sehingga
menjadi alasan bagi seorang suami untuk berpoligami.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 22 ayat (2) maka
untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula
dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri-istri
dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekali
56
pun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas
dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi
pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri
atau istr-istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau
karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 58 KHI di atas merupakan syarat formal yang diperankan
seorang istri terhadap suami yang hendak memadu dirinya yang
melibatkan instansi yang berwenang.
Dengan demikian dalam Hukum Perkawinan Indonesia dengan
hukum Islam ada beberapa kesamaan konsep dalam masalah poligami.
Setidaknya ada dua kesamaan prinsip mendasar yaitu:
(1) Asas monogami dalam perkawinan. Poligami dibolehkan dalam
hukum Islam sebagaimana dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 3
dengan syarat suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri, jika
tidak dapat berlaku adil maka poligami tidak dibenarkan maka
bagi para suami cukup satu istri saja.
(2) Poligami dibatasi sampai empat orang istri saja dlam waktu
bersamaan.
Sedangkan perbedaan masalah poligami dalam hukum Islam
dengan hukum Perkawinan di Indonesia terletak pada penambahan syarat
poligami. Dalam hukum perkawinan di Indonesia dijelaskan sebagaimana
dalam pasal 3-5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam dalam Pasal 55-59, disebutkan bahwa: “Suami boleh
beristri lebih dari seorang jika istri pertama dalam keadaan tertentu dan
mendapatkan persetujuan dari istri serta mendapat izin dari pengadilan”.
57
Dengan demikian perbedaan dasar hukum poligami antara hukum Islam
dan hukum perkawinan di Indonesia terletak pada teknis operasionalnya.
Jadi status hukum poligami di Indonesia secara umum
mempersulit praktik poligami.
4. Sanksi Poligami di Indonesia
Dari pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan yuridis
dibenarkannya suami melakukan poligami adalah setelah semua
permohonan yang diajukan ke pengadilan telah dinyatakan benar oleh
hakim di pengadilan, disamping semua syarat-syarat dan alasan-alasan
yang diajukan telah memenuhi ketentuan hukum dan peraturan yang
berlaku sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, PP No. 9
Tahun 1975, PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi PNS, PP No. 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas PP
No. 10 Tahun 1983 dan Inpres No. 1 tahun 1991 (KHI). Sebaliknya
apabila syarat-syarat dan alasan-alasan yang diajukan oleh suami yang
akan melakukan poligami tidak terpenuhi, maka secara otomatis
permohonannya ditolak. Dengan demikian jika melakukan poligami,
perkawinannya dinyatakan bertentangan dengan undang-undang yang
telah berlaku dan tidak sah secara hukum.
Dengan demikian orang tersebut telah melanggar PP No. 9 Tahun
1975 Pasal 45 dan PP No. 45 Tahun 1990 Pasal 15.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 45, dijelaskan:
Pasal 45
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka:
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam
Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum
dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh
ribu lima ratus rupiah).
58
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur
dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan
Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp
7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas
merupakan pelanggaran
Dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang
Perubahanatas PP No. 10 Tahun 1983 Pasal 15, dijelaskan:
Pasal 15
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih
kewajiban/ketenuan pasal 2 ayat (1), ayat (2), pasal 3 ayat (1),
pasal 4 ayat (1), pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya
dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung
mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan
perkawinannya yang kedua/ketiga/kee,pat dalam jangka waktu
selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan
tersebur dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin
berat berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal
4 ayat (2), dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
(3) Atasan yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat (2) dan pejabat
yang melanggar ketentuan pasal 12, dijatuhi salah satu
hukuman disiplin berat berdasarkan PP No. 30 tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Seiring berjalannya waktu, kini perkawinan poligami cukup marak
terjadi di Indonesia, namun efektivitas hukum yang sudah diatur dalam
59
PP No 9 tahun 1975 diatas hingga saat ini masih diragukan, diantara
faktor penyebabnya adalah sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda
Rp.7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidakk sesuai dengan
kondisi saat ini. Maka di tahun 2008, masalah poligami menjadi
pembahasan tersendiri dalam pasal 52 RUU HMPA (Rancangan Undang-
Undang Hukum Materiil Peradilan Agama) tentang ketentuan beristri
lebih dari seorang, yaitu perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,
ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan, tidak mempunyai
kekuatan hukum. Dalam pasal 145 juga diatur tentang ketentuan pidana,
bahwa setiap orang yang melangsungkan perkawinan poligami tanpa
mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan, maka akan dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah)
atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
B. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Pakistan
1. Sejarah Hukum Keluarga Pakistan
Semula Pakistan adalah bagian dari India dan berdirinya Negara
Pakistan nerupakan jawaban atas tuntutan orang-orang Islam yang berada
di India yang ketika itu berada di bawah penjajahan Inggris.
Republik Islam Pakistan atau Pakistan merdeka dari penjajahan
Inggris pada tahun 1947, semula Pakistan terdiri atas dua bagian yaitu
Pakistan Barat dan Pakistan Timur. Pada Tahun 1971 terjadi perang
saudara dan Pakistan Timur memisahkan diri menjadi Bangladesh,
sehingga Pakistan sekarang adalah Pakistan Barat dulu. Penduduknya
terdiri dari beberapa kelompok etnis, yang berbeda; Pashtun, Punjabi,
Sindhi, Baloch, dan Muhajir. Sebanyak 97 persen penduduk Pakistan
beragama Islam, sebagian besar diantaranya Sunni sebanyak 77 persen
dan sisanya Syiah sebanyak 20 persen. Selebihnya 3 persen beragama
60
Kristen, Hindu, dan Parsian. Meskipun bahasa Urdu adalah bahasa resmi
Pakistan, hanya 8 persen dari populasi yang benar-benar bisa berbicara
bahasa Urdu, sebaliknya, bahasa Punjabi sebanyak 44 persen, dan Sindhi
14 persen.83
Pakistan berdiri dan memisahkan diri dari India tahun 1947.
Sepanjang sejarahnya, fenomena perkembangan dan pembaharuan hukum
di Pakistan selalu diwarnai dengan ketegangan dan tarik menarik antara
hukum yang dirumuskan penguasa melalui kebijakan sentralisasi dan
unifikasi dengan hukum yang berjalan di masyarakat dengan karakternya
yang pluralistik tetapi tidak menyimpang dari paham mazhab
konvensional ataupun mazhab Hanafi yang dianut oleh kebanyakan
orang-orang Islam di Pakistan. Artinya, fenomena tarik menarik ini telah
terjadi dan merupakan karakter hukum di Pakistan sejak awal.84
Semula Pakistan adalah bagian dari India dan berdirinya Negara
Pakistan merupakan jawaban atas tuntutan orang-orang Islam yang berada
di India yang ketika itu berada dibawah penjajahan Inggris. Kemerdekaan
negara baru Islam yang bernama Pakistan itu tidak dengan sendirinya
memutus dirinya dari hukum yang berlaku pada zaman penjajahan
Inggris, karena semua hukum yang berlaku di India pada zaman
penjajahan Inggris berlaku di Pakistan dan tetap berlaku pada zaman
kemerdekaan sampai ada hukum baru yang memperbarui atau
menggantikannya.
Sejak sebelum merdeka, semasa masih berada dibawah jajahan
Inggris, orang-orang Islam di India itu telah memiliki sebuah UU tentang
hukum keluarga yaitu Penerapan Hukum Status Pribadi Muslim (Muslim
Personal Law Application Act) tahun 1937. Kecuali soal-soal yang terkait
83
Jan Michael Otto, Sharia Incorporated: A Comoparative Overview of the Legal Systems of
Twelve Muslim Countries in Past and Present, (Leiden University: Leiden University Press, 2010)
h.376 84
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h.47
61
tanah dan pertanian yang diatur secara hukum adat, UU tahun 1937 itu
mengatur mengenai persoalan-persoalan keluarga dan waris.85
UU kedua
yang mengatur hukum keluarga bagi orang-orang Islam di India ialah UU
perceraian Orang-orang Islam (Dissolution of Muslim Marriages Act)
tahun 1939 yang juga memberikan kedudukan hukum lebih baik kepada
perempuan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk
mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan dengan alasan-alasan yang
dibenarkan.86
Selain UU tahun 1937 dan 1939, terdapat satu UU lagi yang
berkait dengan hukum keluarga Islam di Pakistan yaitu tentang Larangan
Perkawinan dibawah Umur (Child Marriage Restraint Act) tahun 1929.
MFLO memiliki dua tujuan: untuk mencegah poligami dan mengatur
perceraian, selain pendaftaran pernikahan, dan warisan.
Ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 berarti Negara
Pakistan telah berumur 14 tahun. Selama periode (1947-1961) Pakistan
sibuk mempersiapkan naskah UUD (konstitusinya). Pada tahun 1956
barulah Pakistan memiliki UUD yang pertama, setelah tiga buah
rancangan UUD sebelumnya ditolak pada tahun 1949, 1950, dan 1952.
Semangat dari UUD 1956 itu ialah bahwa semua hukum warisan zaman
penjajahan Inggris yang masih berlaku akan diganti dengan hukum baru
yang berdasarkan atau berorientasi kepada hukum Islam. UUD 1956 itu
hanya dipersiapkan dalam dua tahun yaitu tahun 1953 dan 1954.
Penyiapan UUD pertama Pakistan itu memakan waktu demikian lama,
karena adanya perdebatan dikalangan elit Paskitan disekitar persoalan
apakah Pakistan itu akan menjadi negara sekuler bagi orang-orang Islam
di Pakistan ataukah menjadi Negara Islam. Sebagian kelompok non-
85
Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga di Pakistan antara Islamisasi dan Tekanan Adat”, Al-
„Adalah, XII (Juni, 2014), h.12 86
Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba, 2015), h.56
62
Muslim Pakistan beralasan bahwa Mohammad Ali Jinnah sendiri, pendiri
Pakistan yang meninggal dunia berpendapat yang pertama. Dalam UUD
1956 itu pilihan telah diambil, Pakistan adalah Negara Islam berbentuk
republik dan presidennya harus orang Islam. UUD 1956 tidak berlaku
lama, pada tanggal 7 Oktober 1956 dinyatakan tidak berlaku setelah
terjadinya coup d‟etat (kudeta) dibawah pimpinan Jendral Ayub Khan
yang sekaligus menjadi penguasa darurat militer (Martial Law) sampai
diberlakukannya UUD kedua yang diberlakukan pada tanggal 1 Maret
1962. Dengan demikian ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961,
sesungguhnya Pakistan sedang berada pada masa transisi antara UUD
pertama dan kedua.87
Selama tahun 1950-an, pada saat ordonansi diberlakukan, tingkat
pendidikan dan pekerjaan di kalangan perempuan meningkat, pemerintah
khususnya khawatir terhadap orang-orang yang membangkang dan
masyarakat yang telah mengadopsi paham sekuler. Kekuatan modern,
termasuk kelompok wanita seperti Asosiasi Perempuan Seluruh Pakistan
dan Front Bersatu untuk Hak-hak Perempuan. Mengabdikan upaya
mereka selama akhir 1950-an dan awal 1960-an dengan berjalannya
sebuah peraturan baru yang akan mendefinisikan kembali hak-hak
perempuan mengenai pernikahan, perceraian, poligami, dan warisan.
Tingkatan dalam pergerakannya terlihat jelas, perempuan kelas atas yang
berpendidikan juga yang mendorong dibalik sebuah reformasi..88
Pada tingkat Negara bagian, parlemen Punjab adalah Negara
Bagian yang pertama menyusun rancangan peraturan pembaruan tentang
perkawinan. Secara nasional, langkah pertama kearah pembaruan hukum
keluarga itu dilakukan dengan pembentukan suatu komisi yang disebut
87
Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga di Pakistan antara Islamisasi dan Tekanan Adat”, Al-
„Adalah, XII (Juni, 2014), h.13 88
Haider, Nadya (2000), “Islamic Legal Reform: The Case of Pakistan and Family Law,”
Yale Journal of Law & Feminism: Vol.12:Iss.2, h.308
63
Komisi Hukum Perkawinan dan Keluarga (Marriage and Family Law
Commission) pada tahun 1955 yang diketuai oleh seorang hakim bernama
Badur Rashid dengan keanggotaan tujuh orang, termasuk tiga orang tokoh
perempuan dan seorang filosof, Khalifa Abdul Hakim. Pada bulan Juni
1956 Komisi telah menyelesaikan pekerjaannya dan menyampaikan
laporan untuk dijadikan bahan penyusunan UU Hukum Keluarga.
Seorang anggota komisi dari kelompok ulama konservatif, Maulana
Ihteshamul Haq, membuat pernyataan dissenting opinion karena isi
laporan komisi itu dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam atau
sekurangkurangnya Negara telah melakukan intervensi yang tidak perlu
terhadap hukum Islam. Memang sedikit aneh, karena terhadap Mesir yang
melakukan pembaharuan hukum keluarga pada tahun 1929, ulama
konservatif Pakistan Maulana Maududi mendukungnya, tetapi ketika
pembaruan serupa hendak diberlakukan di Pakistan, ia menentangnya.
ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 ternyata tidak semua
rekomendasi komisi tersebut ditampung di dalamnya, sehingga
membuatorang berkesimpulan bahwa MFLO 1961 adalah hasil kompromi
antara kelompok-kelompok Muslim modernis dan konservatif di
Pakistan.89
Adapun secara singkat alasan yang mendasari pembentukan
komisi ini adalah bahwa agama Islam yang dipeluk oleh setiap Muslim
tidak perlu diperdebatkan, selama kita berbicara tentang asas yang
mendasar dan sikap yang fundamental, kita dapat mengatakan bahwa
ajaran Islam itu bersifat komprehensif dan mencakup segala bentuk aspek
kehidupan. Di samping itu dapat pula dikatakan bahwa hukum Islam
benar-benar bersumber pada asas dan ketentuan yang datang dari Tuhan
sebagaimana yang tercantum dalam kitab suci al-Qur‟an dan Sunnah
89
Miftahul Huda, Studi Kawasan Hukum Perdata Islam (Ponorogo: STAIN Press, 2016),
h.112
64
Nabi. Agama inilah yang ditegaskan dalam pernyataan kemerdekaan dan
konstitusi Pakistan.90
2. Peraturan Poligami di Pakistan
Di Pakistan, pembatasan poligami ini berdasarkan ordonansi
hukum keluarga muslim tahun 1961. Hukum ini mensyaratkan bahwa
sebelum seorang lelaki menikahi istri kedua, diperlukan izin tertulis dari
dewan hakim. Ordonansi Hukum Keluarga Muslim ini pada ayat 6
menyebutkan “No man, during the subsistence of an existing marriage, shall except with the previous
permission in writing of the Arbitration Council” (Tidak seorang lelaki pun kecuali
terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari dewan hakim untuk menikah
lagi). Izin hanya dapat diberikan apabila dewan hakim yakin bahwa
perkawinan yang diajukkan itu memang sungguh diperlukan dan benar
sah. Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuan dari istri terdahulu
kecuali kalau istri sebelumnya ini sakit, cacat jasmani atau mandul.
Namun dalam keadaan bagaimanapun, izin dewan tersebut harus
diperoleh sebelum melangsungkan pernikahan bagi istri berikutnya.
Orang yang melanggarnya akan dikenakan hukuman, sedang istri yang
ada berhak menuntut cerai. Selain semua pembatasan itu, apabila telah
dijalin perkawinan kedua tanpa izin dewan, maka perkawinan kedua ini
dapat dianggap batal secara hukum.91
Di dunia muslim pada umumnya kecenderungannya adalah sama
yaitu membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi
bentuknya dari cara yang paling lunak sampai paling tegas. Cara lain bagi
pembatasan poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi
hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar
membuat perjanjian bahwa jika ia menikah lagi dengan wanita lain, si
90
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h.48 91
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative
Analysis), (New Delhi: 1987),h. 137.
65
istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan
sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri.92
Secara historis, jauh sebelum pemisahan India-Pakistan pada
tahun 1947, poligami sudah menjadi budaya dan tradisi umum yang
banyak dipraktekkan oleh umat Islam saat itu. Undang-undang Pakistan
menampakkan radikal dalam menyahuti keberanjakan-keberanjakan suatu
hukum termasuk masalah perkawinan, khususnya poligami. hal ini
terbukti banyaknya pendapat yang bermunculan menentang gejala
poligami dan menganggap merugikan pihak wanita dalam keluarga serta
menghalangi kebebasan dan keleluasaannya. Oleh karena itu, isu ini
mendapat tempat yang proporsional setelah kemerdekaan melalui
perjuangan yang panjang.93
Dalam kaitannya dengan masalah poligami, yang telah
berkembang menjadi bahan perdebatan sengit disetiap lingkungan
masyarakat muslim, komisi ini cenderung untuk mengikuti keterangan
Al-Qur‟an. Dinyatakan dalam Al-Qur‟an bahwa poligami tidak
diperintahkan, tidak diizinkan tanpa syarat dan juga tidak dianjurkan. Al-
Qur‟an menyatakan bahwa diperbolehkannya poligami ini mengandung
resiko besar terhadap keadilan sosial dan kebahagiaan hidup rumah
tangga.94
3. Syarat dan Prosedur Poligami di Pakistan
Syarat dan prosedur poligami di Pakistan tercantum dalam pasal 6
ayat 1 sampai 4, the Muslim Family Law Ordinance Tahun 1961 yaitu:95
92
Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba, 2015), h.57 93
Haiderz Nadya (2000), “Islamic Legal Reform: The Case of Pakistan and Family Law,”
Yale Journal of Law & Feminism: Vol.12:Iss.2, h.308 94
Miftahul Huda, Studi Kawasan Hukum Perdata Islam (Ponorogo: STAIN Press, 2016),
h.153 95
Muslim Family Law Ordinance 1961
66
(1) No man, during the subsistence of an existing marriage, shall except with the previous permission
in writing of the Arbitration Council, contract another marriage, nor shall any such marriage
contracted without such permission be registered under this Ordinance.
(2) An application for permission under Sub-section (1) shall be submitted to the Chairman in the
prescribed manner together with the prescribed fee, and shall state reasons for the proposed
marriage, and whether the consent of existing wife or wives has been obtained thereto.
(3) On receipt of the application under Sub-section (3), Chairman shall ask the applicant and his
existing wife or wives each to nominate a representative, and the Arbitration Council so constituted
may, if satisfied that the proposed marriage is necessary and just, grant, subject to such condition if
any, as may be deemed fit, the permission applied for.
(4) In deciding the application the Arbitration Council shall record its reasons for the decision and any
party may, in the prescribed manner, within the prescribed period, and on payment of the
prescribed fee, prefer an application for revision, to the Collector concerned and his decision shall
be final and shall not be called in question in any Court.
Artinya:
1. Selama masih terikat perkawinan, tidak seorang lelakipun yang
boleh melakukan perkawinan dengan orang lain kecuali ia telah
mendapat izin tertulis dari Dewan Arbitrase.
2. Permohonan izin akan diserahkan kepada ketua dengan cara yang
ditentukan sekaligus dengan biaya yang ditetapkan dan
melampirkan alasan-alasan untuk mengajukan perkawinan dengan
menerangkan apakah izin tertulis dari istri atau istri-istrinya sudah
diperoleh.
3. Dalam hal penerimaan permohonan ketua akan meminta kepada
pemohon dan istri atau istri-istrinya yang sah untuk mengajukan
wakil masing-masing dan dewan arbitrase akan memberikan izin
poligami apabila dewan memandang perkawinan tersebut perlu
dan adil sesuai dengan pertimbangan kesehatan.
4. Dalam memutuskan permohonan tersebut dewan arbitrase
mencatat alasan terhadap putusan tersebut dan pihak pemohon
boleh melebihkan surat permohonan untuk revisi surat keterangan
67
tersebut dan menyerahkannya kepada kolektor dan putusanyya
akan berlaku serta tidak akan dipertanyakan lagi di pengadilan.
Dalam pasal ini maka jelaslah poligami dapat dilakukan dengan
syarat bahwa seorang suami yang hendak kawin lagi dengan perempuan
lain melaporkan keinginannya itu kepada Dewan Arbitrase dilengkapi
dengan alasan-alasannya dan dilampiri surat izin istri serta membayar
uang sejumlah tertentu. Segera setelah surat permintaan izin dari pihak
suami itu disampaikan kemudian Dewan Arbitrase meminta nama
seorang wakil keluarga dari pihak suami dan seorang wakil keluarga dari
pihak istri untuk duduk sebagai anggota Dewan Arbitrase. Jika Dewan
Arbitrase kemudian melihat adanya alasan–alasan yang jelas, diperlukan
dan adil, sehingga menyetujui usul perkawinan tersebut maka izinpun
diberikan
4. Sanksi Poligami di Pakistan
Sanksi bagi pelaku poligami di Pakistan tercantum dalam Pasal 6
ayat (5) The Muslim Family Law Ordinance Tahun 1961 yaitu:
(5) Any man who contracts another marriage without the permission of the Arbitration Council shall;
a) pay immediately the entire amount of the dower whether prompt or deferred, due to the
existing wife or wives, which amount, if not so paid, shall be recoverable as arrears of land
revenue; and
b) on conviction upon complaint be punishable with the simple imprisonment which may extend
to one year, or with fine which may extend to five thousand rupees, or with both.
Artinya
5. Seseorang yang melakukan perkawinan yang lain tanpa izin dari
dewan arbitrase akan:
68
a. Membayar seluruh mahar dengan segera kepada istri atau istri-
istrinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak
maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa
b. Dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal
5000 rupee atau kedua-duanya.96
Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan berpoligami jika
telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase. Perkawinan yang
dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan
mengakibatkanperkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang.
Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase
dapat dijatuhi hukuman: a) wajib membayar segera seluruh jumlah mas
kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya
yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka ia dapat ditukar-alih sebagai
tunggakan pajak tanah; b) atas dasar keyakinan terhadap pengakuan (dari
pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat
dikenakan hukuman penjara 1 tahun, ataupun denda maksimal 5 ribu
rupee, atau dengan keduanya sekaligus.
C. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Somalia
1. Sejarah Hukum Keluarga Somalia
Republik Demokrasi Somalia, atau biasa disebut Somalia saja,
merupakan negara demokrasi parlementer yang terletak di Afrika sebelah
Timur. Negara ini berbatasan dengan teluk Aded (Utara), Samudra
Hindia (Timur dan Selatan), serta Kenya, Ethiopia dan Djibouti (Barat).
Secara umum keadaan tanahnya tandus, kecuali di lembah-lembah
96
Muslim Family Law Ordinance 1961
69
sungai yang airnya tidak kering sepanjang tahun. Sumber penghidupan
utamanya berasal dari hasil pertanian terutama ternak dan cengkeh.97
Sejarah modern Somalia bertitik tolak dari kolonial Inggris dan
Italia pada pertengahan tahun 1880-an. Zeila, Berbera dan daerah-daerah
di sekitarnya diperintah oleh Inggris sebagai Inggris Somalian dari tahun
1880-an-1960. Jauh ke selatan di ssepanjang garis pantai dari tanjung
Guardatul sampai Kenya, terdapat suatu bentangan yang menjadi koloni
Italia, yakni Italia Somalian. Selama perang dunia II dan tidak lama
sesudahnya negeri ini diduduki oleh Inggris. Setelah selesai perang
selesai koloni tersebut menjadi wilayah peralihan PBB yang diperintah
oleh Italia yang ikut membantu mempersiapkan kemerdekaannya. Dalam
masa itu bangsa Somalia yang tinggal di Somalian Inggris mulai
memperjuangkan kemerdekaan. Mereka berhasil mewujudkannya pada
bulan Juli 1960. Pada bulan Juli itu juga, ketika wilayah bagian selatan
memperoleh kemerdekaannya, kedua negara tersebut bergabung
membentuk Republik Somalia. Pada bulan September 1960 negara itu
diterima menjadi anggota PBB.98
Pada masa kolonial di daerah Somalia berlaku hukum Inggris
dari abad 19-20. Inggris memberlakukan Peradilan Adat, Ordonansi
perkawinan tahun 1928 dan Ordonansi Peradilan Qadi tahun 1937.
Kemudian dikeluarkan Ordonansi Peradilan Rendah tahun 1944 yang
mencabut Ordonansi tahun 1973, yang membatasi jurisdiksi Peradilan
Qadi hanya dalam materi status personal. Sedangkan di bawah
kekuasaan Itali yaitu di daerah Somalia selatan, masih mengembangkan
97
M.Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
h.155. 98
A.G. Prianggidino (dkk), Ensiklopedi Umum (Jakarta: Kanisius, 1973), h.1232
70
sistem Peradilan Qadi yang memiliki jurisdiksi perkara perdata „civil‟
dan pidana ringan.99
Setelah masa kemerdekaan yaitu tahun 1960 Somalia yang
mempunyai empat tradisi hukum yang berbeda yaitu Common Law
Inggris, hukum Italia, hukum Islam „syari‟ah‟ dan hukum adat Somalia,
berusaha menjadikan warisan hukum yang berbeda-beda tersebut
menjadi satu sistem. Oleh karena itu dilakukan penyeragaman kodifikasi
hukum pidana dan acara pidana serta dilakukan regulasi terhadap
organisasi peradilan, dengan mengadopsi sistem hukum Italia yang
berdasarkan kepada penerapan putusan peradilan „present‟dan
interpretasi hukum kodifikasi, serta menerapkan Common Law Inggris
dan doktrin equity, dalam masalah-masalah yang tidak diatur dalam
legislasi. Hukum Islam yang berlaku hanya terbatas pada perkara
perkawinan, perceraian, perselisihan keluarga dan warisan. Hukum adat
Somalia diterapkan secara opsional dalam beberapa perkara yaitu
pertanian, air hak penanaman, dan pembayaran diyat.100
Debat mengenai perlunya pembentukan kembali hukum
keluarga Somalia yang sesuai dengan kebijakan-kebijakan partai politik
sosialis baru di tanggapi oleh negara tahun 1972. Sejak itulah pemerintah
melalui Dewan Komisi mempersiapkan draft mengenai hukum keluaga
yang baru101
.
Dengan beberapa perubahan yang signifikan terhadap
perundang-undangan yang dibuat oleh partai sosialis baru, draft undang-
undang keluarga baru selesai dibuat dan diundangkan pada tahun 1975,
dengan nama hukum keluarga Somalia „Family Code of Somalia‟. Para
99
Khoiruddin Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dinia Muslim Modern,
(Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012), h.252 100
Abdullahi A. An-Na‟im, Islamic Family Law in a Changing World, A Global Resource
Book, (London: Zed Books, 2002), h.80 101
M.Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
h. 156.
71
Perancang undang-undang tersebut diketuai oleh Abdi Salim Syaikh
Hussain, Menteri Sekertaris Negara Urusan Keadilan dan Agama,
Pemerinah Somalia dan Presiden Siyad Barre. Alasan pembentukan dan
pengundangan ini,menurut mereka adalah untuk menciptakan
masyarakat yang sehat.102
Adapun tujuan utama dari pembentukan dan pengundangan
undang-undang tersebut adalah untuk menghapus kekolotan atau
kekakuan hukum adat yang dipandang bertentangan dengan kebijakan
pemerintahan baru Barre. Ia kemudian membatasi pengaruh klan dalam
penerapan hukum dan sanksi tradisional (adat) dan menghapuskan klan-
klan tradisional serta menghapus hak klan dalam hal penguasaan tanah,
sumber air dan hak penanaman103
.
Undang-undang hukum keluarga 1975 tersebut terdiri dari 173
pasal yaitu tentang:104
1. Perkawinan dan perceraian, meliputi dasar perkawinan, usia
perkawinan, pelarangan perkawinan, perwalian nikah,
pembatalan perkawinan, mahar, nafkah, hidup bersama, talaq,
perceraian di pengadilan, penetapan kematian dan iddah.
2. Anak dan nafkah, meliputi peran bapak, peran ibu,
tanggungjawab bapak, pengasuhan anak, nafkah dan
pemibiayaan terhadap anak.
3. Perwalian, meliputi perwalian itu sendiri, pengawasan dan
perwakilan wali, pengajaran dan perwalian, perlindungan
terhadap orang yang tidak cakap hukum, orang yang cacat,
kematian/kehilangan personalitas, dan adopsi.
102
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative
Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.254 103
Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.
156. 104
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative
Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.255
72
4. Kewarisan, meliputi waris dan syarat-syaratnya, ditolak dan
diterimanya warisan, ahli waris dan harta-harta yang
diwariskan, prinsip-prinsip umum kewarisan, bagian-bagian
waris, halangan kewarisan, dan ketetapan-ketetapan khusus.
Di samping peraturan tersebut, dinyatakan bahwa peraturan
yang belum tercantum dalam perundangan tersebut akan didasarkan
kepada:
a) Pendapat dominan dari mazhab Syafi‟i, dan
b) Prinsip-prinsip umum hukum Islam dan keadilan sosial.105
2. Peraturan Poligami di Somalia
Syari‟at Islam membolehkan seorang suami beristri lebih dari
seorang, jika mampu berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya, namun
karena poligami dibolehkan banyak suami yang menyalah gunakannya.
Dalam hukum keluarga di banyak negara Muslim beristri lebih dari
seorang dibatasi dengan syarat dan ketentuan-ketentuan yang ketat.
Poligami di Somalia mengalami peningkatan dan menyebabkan
tingginya tingkat perceraian. Poligami tersebut berdampak kepada efek
psikologis wanita, juga kesulitan ekonomi karena tidak adilnya suami
terhadap istri-istrinya.106
Pada 11 Januari, peraturan tentang hukum keluarga diresmikan
yang di dalamnya mengatur perceraian dilakukan didepan pengadilan,
mas kawin tidak lagi sebagai syarat perkawinan, diperbolehkan
105
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative
Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.255 106
Mohammed Hassan Ibrahim, Women‟s Rights In Islam and Somali Culture, (Kenya:
Unicef, 2002), h.26
73
pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal waris
dan membatasi poligami.107
Hukum keluarga Somalia dalam masalah poligami mengatur
bahwa seorang suami yang akan poligami harus terlebih dahulu mendapat
izin dari pengadilan dan permohonannya pun harus disertai alasan-alasan.
Diatur dalam Somali Family Code Tahun 1975 dalam pasal 13:
No man shall marry a second woman unless he is formally allowed to do so by the district court
having jurisdiction108
Artinya: “Tidak seorangpun boleh menikah lagi (poligami) kecuali
setelah mendapat izin secara resmi dari pengadilan.
3. Syarat dan Prosedur Poligami di Somalia
Poligami di dalam hukum keluarga di Somalia diatur dalam Somali
Family Code Tahun 1975 menetapkan bahwa poligami itu boleh dengan
izin terlebih dahulu dari pengadilan dan tentunya setelah mengajukan
beberapa persyaratan yang telah diatur, sementara belum ada peraturan
yang mengatur bagi yang melanggar hal ini akan mendapatkan hukuman.
Untuk mengetahui lebih jelasnya bunyi aturan yang membahas hal
ini terdapat dalam Somali Family Code tahun 1975 dalam pasal 13
menyatakan:109
The court shall not allow such a marriage except on any of the following grounds:
(1) Sterility of the first wife certified by a panel of doctors, provided that the husband was not aware
of it before the marriage.
(2) Affliction of wife with a chronic or contagious disease certified by a doctor if it is incurable.
(3) Imprisonment of the wife for more than two years.
107
Mohammed, Journal of Georgetown University-Qatar Middle Eastern Studies Student
Association 2015:4, h.6 108
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative
Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.257 109
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative
Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.257
74
(4) Absence of the wife from the matrimonial home for more than one year without a lawful reason.
(5) Any social necessity (in wich case permission is to be granted by an official authorized by the
Ministry of Justice and Religious Affairs.
Artinya:
Pengadilan memberi izin karena alasan-alasan:
(1) Istrinya mandul yang dibuktikan dengan keterangan dokter, dan
kondisi ini tidak disadari sejak menikah
(2) Istri terkena penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang
dibuktikan dengan keterangan dokter
(3) Istri dipenjara lebih dua tahun
(4) Istri meninggalkan rumah tanpa izin lebih dari satu tahun
(5) Ada kebutuhan sosial, yang ditentukan oleh Menteri Kehakiman
dan Agama.
Mengenai ketentuan poligami di Negara Somalia, hampir sama
halnya dengan aturan mengenai izin poligami di Indonesia. Diantara
alasan-alasan yang mendapatkan izin poligami di Negara Somalia, yaitu:
Istri menderita kemandulan. Hal ini harus disertai dengan surat
keterangan dari dokter. Dan suami pun tidak menyadari atau tidak
mengetahui sebelum menikah kalau seandainya perempuan yang dia
nikahi itu mandul. Istri menderita penyakit kronis atau sebuah penyakit
menular. Hal ini juga dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang
menerangkan bahwa penyakit yang diderita oleh istri tersebut tidak dapat
disembuhkan. Istri dipenjara selama dua tahun atau lebih. Istri tidak ada
dirumah pernikahan selama 1 tahun atau lebih, tanpa adanya alasan
tertentu. Serta apabila istri melakukan kegiatan sosial maka suami
75
4. Sanksi Poligami di Somalia
Sampai saat ini hukum keluarga di Somalia belum mengatur
sanksi bagi yang melanggar peraturan poligami di atas.110
110
Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.
159
76
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN PERATURAN POLIGAMI DI INDONESIA,
PAKISTAN DAN SOMALIA
A. Perbandingan Horizontal
Sebagian besar Perundang-undangan perkawinan Muslim
kontemporer mempersulit berpoligami, hanya cara dan metode yang
digunakan berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan
ini disamping karena faktor sosial yang berbeda, juga karena perbedaan
kebutuhan dan tuntutan. Sebagai tambahan, perundangan-undangan satu atau
sejumlah negara-negara seperti hanya Indonesia, Pakistan dan Sonalia dapat
juga mempengaruhi isi atau aturan tentang poligami di negara-negara lain.
Karena itu, pengaruh negara tertentu menjadi faktor dalam merumuskan
aturan poligami.
Larangan poligami dengan berbagai sanksinya adalah suatu
pembaharuan yang sudah lama menjadi tuntutan. Larangan mutlak dan sanksi
poligami tidak pernah dipraktikan pada masa Rasulullah SAW sampai masa
sahabat. Ketentuan yang berlaku di negara-negara yang disebutkan
merupakan campur tangan manusia atau penguasa yang merupakan
keberanjakan dari hukum Islam dan sangat sesuai dengan semangat syariat.
Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia dengan hukum
perkawinan di Pakistan maupun Somalia mempunyai kesamaan yaitu
menganut azas monogami yang dimana suami hanya boleh mempunyai
seorang istri dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal
tersebut sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (1), di
Pakistan terdapat dalam The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961
pasal 6 ayat (1), sedangkan di Somalia terdapat dalam Somali Family Code
Tahun 1975 dalam pasal 13.
77
Meskipun di Indonesia, Pakistan dan Somalia menganut azas
monogami, namun azas tersebut tidak berlaku mutlak, karena dalam keadaan
tertentu seorang suami boleh beristri lebih dari seorang dengan memenuhi
beberapa persyaratan juga sanksinya sebagaimana disebutkan dalam Undang-
undang Perkawinan.
Di Indonesia menyangkut prosedur pelaksanan poligami aturannya
dapat dilihat dalam PP No 9 Tahun 1975 pada pasal 40 dinyatakan bahwa
apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis pada pengadilan. Apabila tanpa
izin maka perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Bagi PNS
yang akan berpoligami, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat, dan
PNS perempuan tidak diizinkan menjadi istri yang kedua/ketiga/keempat.
Di Indonesia izin beristri lebih dari seorang, termasuk PNS hanya
dapat diberikan apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat
alternatif, dan ketiga syarat kumulatif. Adapun syarat alternatif yang
dimaksud terdapat dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ada
tiga alasan yang bersifat alternatif bagi suami yang akan beristri lebih dari
seorang yaitu: (a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya; (b) istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) istri
tidak dapat melahirkan keturunan. Selain memenuhi ketentuan dalam pasal 4
tersebut, seorang suami yang akan berpoligami juga harus memenuhi
persyaratan yang terdapat dalam pasal 5 Undang-undang Perkawinan yaitu:
(a) adanya persetujuan tertulis dari istri/istri-istri; (b) adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya; (c)
adanya jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
Dalam pelanggaran poligami di Indonesia terdapat sanksi bagi
pelanggarnya yang diatur dalam PP No 9 Tahun 1975 pasal 45 yaitu: barang
siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40
78
Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya
Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Terdapat juga sanksi khusus bagi
PNS yang melanggar aturan poligami yang diatur dalam PP No 45 Tahun
1990 tentang Perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983 Pasal 15 ayat (1) yaitu:
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih
kewajiban/ketenuan pasal 2 ayat (1), ayat (2), pasal 3 ayat (1), pasal 4 ayat
(1), pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-
lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak
melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu
selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebur
dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.
30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, serta pasal 15
ayat (2) disebutkan bahwa seorang PNS wanita dijjatuhi hukuman
pemberhentian dengan tidak hormat apabila menjadi istri
kedua/ketiga/keempat.
Dalam hukum perkawinan Pakistan prosedur dan persyaratan
poligami terdapat dalam The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961
pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) yaitu: seorang yang akan berpoligami harus
mendapat izin tertulis dari dewan arbitrase (hakim) dan melampirkan alasan-
alasan untuk mengajukan permohonan izin poligami sebelum seseorang dapat
menikahi istri kedua. Izin tersebut hanya dapat diberikan bila dewan arbitrase
yakin bahwa perkawinan yang diajukan itu memang diperlukan dan benar.
Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuan dari istri terdahulu kecuali jika
dia sakit ingatan, cacat jasmani atau mandul. Walau bagaimanapun juga izin
dewan hakim harus didapatkan sebelum melangsungkan perkawinan kedua.
Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis dari dewan arbitrase akan
mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-undang.
Bagi yang melanggar aturan poligami yang telah dijelaskan di atas,
terdapat sanksi hukum yang berlaku, terdapat dalam The Muslim Family
79
Laws Ordinance Tahun 1961 pasal 6 ayat (5) yaitu: (a) membayar seluruh
mahar dengan segera kepada istri atau istri-istrinya, baik tunai maupun secara
ditangguhkan dan jika tidak maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau
sewa, (b) dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal 5000
rupee atau kedua-duanya.
Sedangkan dalam hukum perkawinan Somalia melalui Undang-
undang hukum keluarga (Somali Family Code Tahun 1975) menetapkan
bahwa poligami itu boleh dengan izin terlebih dahulu dari pengadilan dan
tentunya setelah mengajukan beberapa persyaratan yang telah diatur, hal
tersebut terdapat dalam Somali Family Code Tahun 1975 pasal 13, yaitu: (a)
istrinya mandul yang dibuktikan dengan keterangan dokter, dan kondisi ini
tidak disadari sejak menikah; (b) istri dipenjara lebih dua tahun; (c) istri
meninggalkan rumah tanpa izin lebih dari satu tahun; ada kebutuhan sosial,
yang ditentukan oleh Menteri Kehakiman dan Agama.
Meskipun dalam hukum keluarga Somalia poligami diperbolehkan
walau agak diperketat dengan menetapkan keharusan bagi suami yang akan
berpoligami untuk mendapatkan izin dari pengadilan, begitu juga tentang
mandulnya seorang istri yang menjadi salah satu alasan suami untuk
melakukan poligami juga harus dibuktikan dengan surat keterangan dari
dokter, namun tidak terdapat aturan yang menegaskan bahwa yang melanggar
ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi/hukuman.
Khoiruddin Nasution memilah aturan poligami kedalam beberapa
kelompok:
(1) Poligami dilarang secara mutlak.
(2) Dikenakan hukum bagi yang melanggar aturan poligami.
(3) Poligami harus ada izin dari pengadilan.
(4) Poligami dapat menjadi alasan cerai.
80
(5) Boleh poligami secara mutlak.111
Apabila mengacu pada aturan poligami sebagaimana dikemukakan
Khoiruddin Nasution, maka Indonesia, Pakistan dan Somalia masuk kedalam
kelompok ketiga, yakni poligami harus ada izin dari pengadilan. Selain itu,
Indonesia dan Pakistan dapat dimasukkan kedalam kelompok kedua, yakni
akan dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan poligami.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan materi hukum
tentang poligami dalam hukum keluarga Indonesia, Pakistan dan Somalia
memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Persamaannya adalah bahwa ketiga
negara tersebut sama-sama menganut azas monogami yang tidak mutlak dan
mengharuskan izin pengadilan sebelum melakukan poligami. Sedangkan
perbedaannya adalah: a) syarat poligami di Indonesia lebih ketat dibanding
Pakistan dan Somalia, persyaratan poligami di Indonesia selain harus
mengajukan permohonan ke pengadilan, persetujuan istri/istri-istri, dan harus
adil. Pelaku poligami juga harus menyertakan surat keterangan penghasilan,
khusus untuk PNS terdapat persyaratan lain yaitu mendapat izin dari atasan.
Di Pakistan persyaratan poligami hanya harus mengajukan permohonan
poligami ke dewan arbitrase, dan mendapatkan persetujuan istri/istri-istri,
sementara di Somalia persyaratan poligami harus mendapatkan izin dari
pengadilan, dan tidak dijelaskan adanya keharusan untuk meminta
persetujuan dari istri, apabila alasan pelaku poligami ingin berpoligami
karena istri mandul, maka harus menyertakan surat keterangan dari dokter. b)
Sanksi poligami di Pakistan dan Indonesia lebih progresif dibanding Somalia.
Hal ini dapat dilihat dari tidak ada pemberlakuan sanksi hukum bagi yang
melanggar aturan poligami ini.
Perbedaan materi peraturan hukum poligami antara Indonesia,
Pakistan dan Somalia bersifat teknik administratif yang sebatas syarat dan
111
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2012), h.127
81
alasan diperbolehkannya poligami. Alasan terjadinya perbedaan dalam
penyusunan undang-undang perkawinan adalah faktor mazhab fiqh dan
berbedanya sistem hukum yang digunakan di masing-masing negara.
Aturan poligami dalam hukum keluarga Indonesia, Pakistan dan
Somalia, berupaya untuk memperkecil peluang terjadinya poligami.
Ketentuan poligami di ketiga negara tersebut memperlihatkan sebuah upaya
untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dengan cara memperketat
persyaratan poligami. Hanya saja pembatasan tentang diperbolehkannya
melakukan poligami di masing-masing negara berbeda. Hal ini terlihat dalam
persyaratan dan sanksi yang diajukan oleh masing-masing negara dalam
rangka mempersempit peluang terjadinya poligami.112
112
Lilik Andryuni, Poligami dalam Hukkum Keluarga di Dunia Islam, Sipakalebbi, Volume 1
Nomor 1 Mei 2013, h.107
Tabel Komparasi Peraturan Poligami
Komparasi Indonesia Pakistan Somalia
UUD yang
mengatur
UU No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan.
PP No. 9 Tahun 1975
tentang peraturan
pelaksanaan UU No. 1
tahun 1974.
PP No. 10 Tahun
1983 tentang izin
perkawinan dan
perceraian bagi PNS.
PP No. 45 Tahun
1990 tentang
The Muslim Family
Laws Ordinance
1961 (MFLO)
Pasal 6
Somali Family
Code 1975
Pasal 13
82
perubahan atas PP No.
10 tahun 1983.
Kompilasi Hukum
Islam.
Syarat UU No. 1 /1974 (Pasal
4&5)
Mengajukan
permohonan ke
pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.
Adanya persetujuan
istri.
Adanya kepastian
bahwa suami mampu
menjamin keperluan
hidup istri-istri dan
anak-anaknya.
Adanya jaminan
bahwa suami akan
berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-
anaknya.
PP No. 9 /1975 (Pasal
41)
Surat keterangan
penghasilan suami
yang ditandatangani
oleh bendahara tempat
MFLO (Pasal 6)
Mengajukan
permohonan ke
dewan arbitrase.
Adanya persetujuan
dari istri-istri
Suami dan istri
mengajukan wakil
masing-masing
(pada saat
persidangan)
Somali Family
Code (Pasal 13)
Poligami hanya
dapat dilakukan
dengan izin
pengadilan.
Membawa surat
keterangan
dokter apabila
alasan melakukan
poligami
dikarenakan
mandulnya istri.
83
bekerja.
Surat keterangan lain
yang dapat diterima
oleh pengadilan.
PP No. 10 / 1983
(Pasal 10 (3))
Penghasilan yang
cukup untuk
membiayai lebih dari
seorang istri dan anak-
anak yang dibuktikan
dengan surat
keterangan pajak
penghasilan.
Hukuman PP No. 9 / 1975 (Pasal
45)
Barang siapa yang
melanggar ketentuan
yang diatur dalam
Pasal 3, 10 ayat (3), 40
Peraturan Pemerintah
ini dihukum dengan
hukuman denda
setinggi-tingginya Rp
7.500
Pegawai pencatat yang
mencatatkan pelaku
poligami tanpa izin
MFLO (Pasal6 (5))
Membayar seluruh
mahar kepada
istrinya, jika ia
tidak membayarnya
maka dapat ditukar
alihkan sebagai
tunggakan pajak
tanah
Denda 5.000 Rupee
dan penjara
maksimal 1 tahun
Tidak ada peraturan
yang menjelaskan
hukuman bagi yang
melanggar aturan
poligami
84
Pengadilan Agama di
denda sebesar Rp.
7.500 dan kurungan
maksimal 3 bulan.
PP No. 45 / 1990
(Pasal 15 (2))
Pegawai Negeri Sipil
yang melanggar salah
satu atau lebih
kewajiban/ketentuan
tidak melaporkan
perceraiannya dalam
jangka waktu
selambat-lambatnya
satu bulan terhitung
mulai terjadinya
perceraian, dan tidak
melaporkan
perkawinannya yang
kedua/ketiga/keempat
dalam jangka waktu
selambat-lambatnya
satu tahun terhitung
sejak perkawinan
tersebut
dilangsungkan,
dijatuhi salah satu
hukuman disiplin
85
B. Perbandingan Vertikal
Secara umum, praktik poligami tidak pernah dilarang pada zaman
Rasulullah SAW apalagi diberi sanksi pelakunya. Hal ini dapat dilihat dalam
fikih empat mazhab yakni,Imam Abu Hanifah (W 767 M), Imam Malik (W
795 M), Imam Syafi‟i (W 820 M) dan Imam Ibnu Hanbal (W 855 M)
menyatakan laki-laki dibolehkan mengawini lebih dari satu, namun dibatasi
hanya sampai empat istri. Akan tetapi diperbolehkannya tersebut memiliki
syarat dia dapat berlaku adil antara perempuan-perempuan tersebut baik dari
nafkah atau gilirannya. Imam Syafi‟i (W 820 M) berpendapat bahwa beristri
lebih dari seorang telah ditunjukan oleh sunnah Rasulullah sebagai penjelasan
berat berdasarkan PP
No. 30 tahun 1980
tentang Peraturan
Disiplin Pegawai
Negeri Sipil
Pemberhentian
dengan tidak hormat
apabila seorang PNS
wanita di poligami
oleh seorang PNS
Sanksi
PNS
Berlaku untuk
semua warga
Indonesia
Berlaku untuk
semua warga
Pakistan
Berlaku
untuk
semua
warga
Somalia
86
firman dari Allah SWT, namun bagi selain Rasulullah dibatasi empat orang
istri saja dengan syarat dapat berlaku adil.113
Syarat keadilan ini dapat kita lihat dalam Tafsir al- Maraghi, bahwa
yang dimaksud dengan pembagian seadil-adilnya, ialah dalam hal pembagian
giliran dan pemberian nafkah, meliputi:
a. Biaya Hidup (nafaqah)
b. Pakaian (kiswah)
c. Tempat Tinggal (maskan).114
Sementara terkait adil dalam pembagian kasih sayang, tidak menjadi
syarat poligami. Tidak seorangpun dibebani soal harus adil dalam
menjatuhkan cinta dan kasih sayang di dalam hati.
Secara substantif Indonesia. Pakistan dan Somalia termasuk diantara
negara yang melarang praktik poligami di luar pengadilan, karena Undang-
undang Perkawinan di Indonesia, Pakistan dan Somalia berazas monogami,
dan poligami dianggap hanya suatu darurat saja. Poligami itupun baru bisa
dilakukan setelah ada izin dari istri dan pengadilan.
Adapun tentang penerapan sanksi hukum bagi pelaku poligami tanpa
izin pengadilan, dalam hal ini peneliti setuju diterapkannya sanksi hukum.
Karena sebenarnya tujuan awal dari poligami dalam Islam adalah untuk
mengangkat martabat kaum wanita dan anak yatim, namun jika prosedurnya
tidak dipenuhi dan dijalankan dengan benar, justru akan berakibat pada tidak
adanya legalitas hukum bagi wanita. Tujuan perkawinan yang awalnya ialah
untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, dapat berubah dikarenakan
adanya kebohongan suami karena berpoligami tanpa izin.
Perbuatan poligami itu sendiri pada dasarnya bukan perbuatan pidana,
tetapi ia dapat dikualifisir menjadi perbuatan pidana jikalau ia dalam
113
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum
Kewarisan, h.85 114
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993), h.289-
290
87
praktiknya tidak memenuhi atau melanggar alasan-alasan dan syarat-syarat
yang ditetapkan ulil amri (penguasa) tersebut. Dengan demikian, praktik
poligami tanpa izin pengadilan dapat dikenai hukuman ta‟zir, karena
pemerintah telah mengatur prosedur poligami yang tertuang dalam UU
Hukum Keluarga baik di Indonesia, Pakistan maupun Somalia. Hal ini tentu
saja sesuai dengan konsep mashlahah yang diajarkan agama Islam.
Menurut hemat peneliti, adanya sanksi hukum bagi praktik poligami
tanpa izin pengadilan sebagai formulasi hukum keluarga yang selaras dengan
konsep teori mashlahah mursalah Imam Malik.115
Karena hukum-hukum
syara‟ disyariatkan untuk melaksanakan kemaslahatan bagi manusia di satu
pihak dan untuk menolak kemudharatan di pihak lain. Oleh karena itu,
apabila ada kasus yang tidak ada nash dan ijma‟ dan tidak bisa diqiyaskan,
sedangkan ada kemaslahatan padanya, maka digunakan mashlahah mursalah.
Jadi dapat dipahami apabila dihadapkan dengan ketentuan-ketentuan
fikih, maka ketentuan yang dirumuskan dalam hukum keluarga di tiga negara
tersebut sama sekali baru dan tidak pernah ada sebelumnya, dalam pendapat
mazhab manapun, termasuk mazhab Syafi‟iyah yang dianut oleh mayoritas
umat Islam Indonesia dan Somalia, ataupun dengan mazhab Hanafiyah yang
dianut oleh mayoritas umat Islam di Pakistan. Hal ini terjadi dalam rangka
menyelaraskan perubahan sosial yang terjadi seiring dengan nilai syariat
Islam yang berprinsip pada ruang dan waktu.
Dikatakan demikian, sebab ketentuan poligami yang diatur dalam
ketiga negara tersebut bertujuan:
Pertama, mencegah kerusakan untuk lebih dikedepankan daripada
menarik manfaat. Sebagaimana dikatakan dalam kaidah fikih:
ء س د و ع ذ ق ذ ي اس ف ان ب ه ج ه حن صا ان
115
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, terj. Muhyidin Mas Rida, Al-
Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h.157
88
Artinya: “Menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada
mengambil yang bermanfaat”.
Kedua, perubahan hukum suatu perbuatan mengikuti perubahan
kemaslahatannya. Sebagaimana dikatakan dalam kaidah fikih:
اختلف اناتانعائذاألصيتاأليكتاألحانابحسبتغشانفت,116
Artinya: “Perubahan fatwa dan adanya perbedaan hukum tentangnya
disebabkan faktor zaman, faktor tempat, faktor situasi, faktor niat dan faktor
adat.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan
poligami yang berlaku di Indonesia, Pakistan dan Somalia tidak terlalu jauh
bergeser dari fikih mazhab.
116
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lam al-Muwaqqi‟in „an Rab al-„Alamin, Juz III (Bairut: Dar al-Fikr,
t.th), h.14
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya,
maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik
kesimpulan untuk menjawab permasalah yang penulis teliti. Setelah penulis
melakukan analisis, pada bab ini penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Ketentuan syarat dan prosedur poligami antar ketiga negara tersebut
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya adalah ketiganya
menganut azas monogami tidak mutlak dan harus mendapat izin dari
pengadilan terlebih dahulu. Adapun perbedaannya:
a.) Syarat berpoligami di Indonesia selain mendapatkan izin dari
pengadilan pelaku poligami harus menyertakan surat
keterangan penghasilan, serta terdapat peraturan khusus bagi
PNS yang ingin melakukan poligami. Di Pakistan hanya
mendapatkan izin dari pengadilan yang sebelumnya harus
mendapatkan persetujuan dari istri dan tidak adanya peraturan
khusus bagi PNS yang akan berpoligami. Sedangkan di
Somalia hanya mendapatkan izin dari pengadilan tanpa adanya
keterangan untuk meminta persetujuan dari istri, apabila
alasan berpoligami karena istri mandul maka harus
menyertakan surat keterangan dari dokter dan Somalia pun
tidak terdapat peraturan khusus bagi PNS yang akan
berpoligami.
90
b.) Bagi pelanggar poligami di Indonesia, apabila tidak
melaporkan ke pengadilan maka dikenakan sanksi membayar
denda sebesar Rp. 7.500, bagi pegawai pencatat nikah yang
mencatatkan pernikahan tanpa izin dari pengadilan maka
dikenakan sanksi membayar denda sebesar Rp. 7.500 dan
kurungan maksimal 3 bulan, PNS wanita yang menjadi istri
kedua/ketiga/keempat maka akan dipecat secara tidak hormat
dan bagi PNS yang melakukan poligami tanpa izin akan
dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.
30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil. Di Pakistan bagi pelanggar poligami dikenakan sanksi a)
Membayar seluruh mahar dengan segera kepada istri atau istri-
istrinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak
maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa,
b)Dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal
5000 rupee atau kedua-duanya. Sedangkan di Somalia belum
ada peraturan yang menghukum pelaku pelanggar poligami.
2. Apabila dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan fikih, maka materi
hukum yang dirumuskan dalam hukum keluarga di ketiga negara
tersebut sama sekali baru dan tidak ditemukan rujukannya dalam
pendapat madzhab manapun, termasuk madzhab Syafi‟iyah yang
dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia dan Somalia ataupun
madzhab Hanafiyah yang dianut oleh mayoritas umat Islam di
Pakistan. Hal ini terjadi dalam rangka menyelaraskan perubahan
sosial yang terjadi seiring dengan nilai syariat Islam yang berprinsip
pada ruang dan waktu, bahwa:
اختلفابحسباألصيتاأليكتاألحاناناتانعائذ تغشانفت,
91
Artinya: “Perubahan fatwa dan adanya perbedaan hukum
tentangnya disebabkan faktor zaman, faktor tempat, faktor situasi,
faktor niat dan faktor adat.”
B. Saran
Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian ini
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penulis menyarankan upaya hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam pembaharuan hukum keluarga di
masa yang akan datang khususnya dalam hal poligami.
2. Hukum perkawinan di Indonesia harus memberikan sanksi yang
tegas terhadap kriminalisasi praktek poligami, dengan segara
mengesahkan RUU HMPA tahun 2008.
92
DAFTAR PUSTAKA
A.G. Prianggidino (dkk), Ensiklopedi Umum, Jakarta: Kanisius, 1973.
Abdillah,Abu Azzam, Agar Suami Tak Berpoligami, Bandung: Ikomatuddin Press,
2007.
Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandar Lampung: PT Citra
Aditya Bakti, 2010.
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, terj. Muhyidin Mas
Rida, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: Al-
Kautsar, 2008.
Al Albani,Nashiruddin, Shahih Sunan At-Tirmidzi, kitab nikah, Jakarta:
PustakaAzam, 2006.
Al‟atthar Abdul Nasir Taufiq, Poligami ditinjau dari Agama, Sosial dan Perundang-
undangan, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Al-Kasani, Imam Alauddin, Bada‟i al-Sona‟i, Juz II, Beirut: Dar al-Fikri, 1996.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1993.
Al-Sarakhsi, Syamsuddin, Al-Mabsut, Jilid V, Beirut: Dar al-Marifat.
Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, Beirut:Darul
Fikr,1999.
Anderson,J.N.D., Islamic Law in the Modern World, Penerjemah Machnun Husein,
Surabaya: CV. Amarpress, 1991.
An-Na‟im, Abdullahi A, Islamic Family Law in a Changing World, A Global
Resource Book, London: Zed Books, 2002.
Anwar, Moch., Fiqh Islam; Muamalah, Munakahat, Faraid dan Jinayah, Bandung:
PT. Alma‟arif, 1980.
As Siba‟I, Musthafa, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
93
As-Syafi‟i, Muhammad bin Idris, Al-Umm.
Ath-Thabari Ibnu Jarir, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur‟an, Jilid 6, Beirut: Daar Al-
Fikr, 1958.
Azizy,A. Qodri, Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”,
Bandung: Teraju, 2004.
Azni, Poligami Dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan Malaysia, Riau: Suska
Press, 2015.
Baidan, Nashruddin, Tafsir bi Al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam
Al-Qur‟an, Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Cet.9, Yogyakarta: UII Press,
1999.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Farida, Anik, Menimbang Dalil Poligami: antara Teks, Konteks, dan Praktek,
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008.
Gakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Ghazali, Abdurrahman, Fikh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003.
Hosen,Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum
Kewarisan, h.85
Huda, Miftahul, Studi Kawasan Hukum Perdata Islam, Ponorogo: STAIN Press,
2016.
Ibrahim,Mohammed Hassan, Women‟s Rights In Islam and Somali Culture, Kenya:
Unicef, 2002.
Jaelani, Abdul Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Jahar, Asep Saepudin, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional,Jakarta: Kencana, 2013.
Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri‟ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al Fikri).
94
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
Jakarta: INIS, 2012.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Moslem World, New Delhi, n.p., 1972.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries History, Texs and Comparative
Analysis, New Delhi: 1987.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogykarta: Graha Ilmu,
2011.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Mubarak, Saiful Islam, Poligami Antara Pro dan Kontra, Bandung: Syamil, 2007.
Mudzhar,Atho, “Hukum Keluarga di Pakistan antara Islamisasi dan Tekanan Adat”,
Al-„Adalah, XII, Juni, 2014.
Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007.
Muzdhar, M. Atho‟ dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nasution, Khoiruddin, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dinia Muslim
Modern, Yogyakarta: Academia, 2012.
Nasution,Khoiruddin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaharuan,
Materi & Status Perempuan dalam Hukum Perkawinan keluarga Islam,
Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009..
Nasution, Khoruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Academia, 1996.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai
KHI, Jakarta: Kencana, 2006.
Otto, Jan Michael, Sharia Incorporated: A Comparative Overview of the Legal
Systems of Twelve Muslim Countries in Past and Present, Leiden University:
Leiden University Press, 2010.
95
Pius A. Partanto dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka,
1994.
Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Penerjemah Abu Sa‟id Al-Falahi
Jakarta: Robbani Press, 2000.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran dibawah Naungan al-Quran, Penerjemah
As‟ad Yasin dkk, Juz IV, Jakarta: Gema Insan Press 2002.
Ridha, Muhammad Rasyid, Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar
Keberadaan Wanita, Penerjemah Hukuukal Mar‟ah al-Muslimah, Abd. Haris
Rifa‟i dan M.Nur Hakim, Surabaya: Pustaka Progresif, 1992.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 3, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2011.
Sahrani, Sohari dan Timahi, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Sodikin,Ali, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di
Indonesia, Yogyakarta: Beranda, 2012.
Sopyan, Yayan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum, Jakarta: RM Books, 2012.
Supriyadi,Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Syafi‟i,Imam, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin,
Awaluddin Imam, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2004.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi‟i,
Hanafi, Maliki dan Hambali, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996.
Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, Yogyakarta: Kaukaba, 2015.
Undang-undang
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1990 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
96
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, dan
Putusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan
Intruksi Presiden RI Tahun 1991.
Muslim Family Law Ordinance 1961.
Somali Family Code 1975.
Internet
Haider, Nadya, “Islamic Legal Reform: The Case of Pakistan and Family Law,” Yale
Journal of Law & Feminism: Vol.12, 2000, diakses pada 12 September 2018
pukul 21.00 WIB.
Lilik Andryuni, Poligami dalam Hukkum Keluarga di Dunia Islam, Sipakalebbi,
Volume 1, Nomor 1, 2013, diakeses pada 5 September 2018 pukul 22.00
WIB
Mohammed, Journal of Georgetown University-Qatar Middle Eastern Studies
Student Association 2015, diakses pada 6 Maret 2018 pukul 01.00 WIB
Wartini,Atik, “Poligami: Dari Fiqh Hingga Perundang-undangan”, Jurnal Studia
Islamika, Vol. 10, No.2, 2013, diakses pada 5 September 2018 dari
http://www.oaji.net/articles/2014/1163-1408352248.pdf.
97
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANGPERKAWINAN
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
(3) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-
98
sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 45 TAHUN 1990
Nomor: 45 TAHUN 1990 (45/1990)
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI
NEGERI SIPIL
Presiden Republik Indonesia,
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu :
1. Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh
izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat;
(2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi
Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh
izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
mengajukan permintaan secara tertulis;
(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian
untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap
yang mendasarinya".
2. Mengubah ketentuan Pasal 4 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri
kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara
tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk
beristri lebih dari seorang".
3. Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 5 sehingga berbunyi sebagai berikut:
"(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil
99
dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri
lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada
Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga
bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud".
4. Mengubah ketentuan Pasal 8 sebagai berikut:
a. Diantara ayat (3) dan ayat (4) lama disisipkan satu ayat yang dijadikan ayat
(4) baru, yang berbunyi sebgai berikut :
"(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan
perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau istri melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami,
dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar
disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
di luar kemampuannya ".
b. Ketentuan ayat (4) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (5) baru.
c. Mengubah ketentuan ayat (5) lama dan selanjutnya dijadikan ayat (6) baru
sehingga berbunyi sebagai berikut :
"(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila
istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin
terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang
sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua
tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya".
d. Ketentuan ayat (6) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (7) baru.
5. Mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 9 sehingga berbunyi sebagai berikut:
"(1) Pejabat yang menerima perniintaan izin untuk beristri lebih dari seorang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan dengan
seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan
pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan."
6. Ketentuan Pasal II dihapuskan seluruhnya.
7. Ketentuan Pasal 12 lama dijadikan ketentuan Pasal 11 baru, dengan mengubah
ketentuan ayat (3) sehingga berbunyi sebagai berikut :
"(3) Pimpinan Bank Milik Negara dan pimpinan Badan Usaha Milik Negara,
wajib meminta izin lebih dahulu dari Piesiden."
8. Mengubah ketentuan Pasal 13 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 12
baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:
100
"Pasal 12
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri lebih dari seorang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh Pejabat secara
tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia
menerima permintaan izin tersebut."
9. Ketentuan Pasal 14 lama selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 13 baru.
10. Mengubah ketentuan Pasal 15 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 14
baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
"Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya
atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan
perkawinan yang sah"
11. Mengubah ketentuan Pasal 16 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 15
baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 15
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/
ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal
14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya
satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan
perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-
lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan,
dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2)
dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil;
(3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang
melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil."
12. Mengubah ketentuan Pasal 17 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 16
baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji
sesuai dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
101
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peratuan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil."
13. Sesudah Pasal 16 baru ditambah satu ketentuan baru, yang dijadikan Pasal 17
baru yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
(1) Tata cara penjatuhan hukuman disiplin berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan
atau Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil;
(2) Hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil terhadap pelanggaran
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini,
berlaku bagi mereka yang dipersamakan sebagai Pegawai Negeri Sipil
menurut ketentuan Pasal 1 huruf a angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983."
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
102
KOMPILASI HUKUM ISLAM
BUKU I HUKUM PERKAWINAN
BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(2) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat
isteri.
(3) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(4) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristeri dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata
cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin
dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh
izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada
pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri
dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis
atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari
103
isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam
pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.
104
Muslim Family Law Ordinance 1961 (PAKISTAN)
Section 6
(1) No man, during the subsistence of an existing marriage, shall, except with the
previous permission in writing of the Arbitration Council, contract another
marriage, nor shall any such marriage contracted without such permission be
registered under this Ordinance.
(2) An application for permission under sub-section (1) shall be submitted to the
Chairman in the prescribed manner, together with the prescribed fee, and
shall state reasons for the proposed marriage, and whether the consent of
existing wife or wives has been obtained thereto.
[(2A) The Nikah Registrar or the person who solemnizes a Nikah shall
accurately fill all the columns of the nikahnama form with specific answers
of the bride or the bridegroom.]117
(3) On receipt of the application under sub-section (2), the Chairman shall ask
the applicant and his existing wife or wives each to nominate a representative,
and the Arbitration Council so constituted may, if satisfied that the proposed
marriage is necessary and just, grant, subject to such conditions, if any, as
may be deemed fit, the permission applied for.
(4) [ If a person contravenes the provision of:
i. subsection (2A), he shall be punished to simple imprisonment for a
term which may extend to one month and fine of twenty five
thousand rupees; and
ii. subsection (3), he shall be punished to simple imprisonment for a
term which may extend to three months and fine of one hundred
thousand rupees.]118
(5) Any man who contracts another marriage without the permission of the
Arbitration Council shall,
117
New sub-section (2A) inserted by the Muslim Family Laws (Amendment) Act 2015 (XIII of 2015). 118
Substituted by the Muslim Family Laws (Amendment) Act 2015 (XIII of 2015) for the following:
“(4) In deciding the application, the Arbitration Council shall record its reasons for the decision,
and any party may, in the prescribed manner, within the prescribed period, and on payment of
the prescribed fee, prefer an application for revision [to the Collector] concerned and his
decision shall be final and shall not be called in question in any Court.”
The words in crotchets were earlier substituted for “, in the case of West Pakistan to the Collector
and, in the case of East Pakistan, to the Sub-Divisional Officer” by the Federal Adaptation
Order 1975, Art. 2 and Sch (w.e.f. 28th
July 1975).
105
(a) pay immediately the entire amount of the dower, whether prompt or
deferred, due to the existing wife or wives, which amount, if not so
paid, shall be recoverable as arrears of land revenue; and
(b) [on conviction upon complaint be punishable with the simple
imprisonment which may extend to one year and with fine of five
hundred thousand rupees.][10]119
119
substituted by the Muslim Family Laws (Amendment) Act 2015 (XIII of 2015) for the following:
“(b) on conviction upon complaint be punishable with simple imprisonment which may extend
to one year, or with fine which may extend to five thousand rupees, or with both.”
106
THE FAMILY CODE 1975 (SOMALIA)
Article 13
No man shall marry a second woman unless he is formally allowed to do so by
the district court having jurisdiction. The court shall not allow such a marriage
except on any of the following grounds:
(i) Sterility of the first wife certified by a panel of doctors, provided that the
husband was not aware of it before the marriage.
(ii) Affliction of wife with chronic or contagious disease certified by a doctor if it
is incurable
(iii)Imprisonment of the wife for more than two years
(iv) Absence of the wife from the matrimonisl home for more than one year
without a lawful reason
(v) Any social necessity (in wich case permission is to be granted by an official
authorized by the Ministry of Justice and Religious Affairs).