“MATERI DISKUSI HUKUM ACARA PIDANA OLEH KEMENTRIAN KUNJUNGAN PENGADILAN DAN KEAKRABAN PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR” RABU, 27 MEI 2015 PEMBICARA : 1. DORA VIRGOLIN TAMBUNAN (2012) 2. EKO NAINGGOLAN (2011) MODERATOR : KEMENKPK GEMBEL “Letak dan Posisi Para Pihak Dalam Hal Persidangan Pidana" A F B C E D 1
22
Embed
Web view“MATERI DISKUSI HUKUM ACARA PIDANA OLEH ... Kitab Undang-Undang Hukum Acara ... pihak yang bersangkutan dapat mengajukan hal itu melalui suatu gugatan Perdata
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
“MATERI DISKUSI HUKUM ACARA PIDANA OLEH KEMENTRIAN KUNJUNGAN
PENGADILAN DAN KEAKRABAN PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR”
RABU, 27 MEI 2015
PEMBICARA : 1. DORA VIRGOLIN TAMBUNAN (2012)
2. EKO NAINGGOLAN (2011)
MODERATOR : KEMENKPK GEMBEL
“Letak dan Posisi Para Pihak Dalam Hal Persidangan Pidana"
A F
B
C E
D
G
1
A. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Persidangan Tindak Pidana (dalam Sekup Acara Pidana).
1. Hakim (Majelis Hakim)
Pada prinsipnya persidangan pidana dilaksanakan dengan tiga hakim terdiri dari satu
orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Namun dalam hal tertentu dapat terjadi
persidangan dilaksanakan dengan satu hakim saja misalnya dalam hal peradilan dengan perkara
singkat, cepat. Sedangkan pengertian dari hakim itu sendiri diatur dalam pasal 1 butir 8 yaitu “
Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili “.
Mengadili yang dimaksud dalam pasal 1 butir 8 itu adalah “ Serangkaian tindakan Hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak
memihak disidang Pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
ini “(Pasal 1 Butir 9 KUHAP). Dalam putusan dapat dilaksanakan voting apabila musyawarah
diantara ketiga hakim tersebut tidak tercapai.
Adapun bentuk putusan akhir oleh hakim di pengadilan adalah berikut :
A. Putusan Bebas (vrijspraak).
*. Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengatakan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
*. Mengenai putusan bebas ini, perbuatan atas kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa
sama sekali tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melalui alat-alat bukti yang dihadirkan
atau bisa juga putusan bebas ini dikarenakan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, oleh
karena hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak).
B. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
#. Terhadap putusan ini, pengadilan dalam hal ini hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan pelepasan ini disebut juga
dengan “ontslag van alle rechtsvervolging”.
#. Dalam putusan ini semua yang didakwakan oleh Penuntut Umum terbukti secara sah, akan
tetapi hal yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana atau dengan kata lain perbuatan
tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana. Sehingga hakim menjatuhkan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum.
C. Putusan Pemidanaan (veroordeling).
2
-. Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, sesuai ketentuan Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Terhadap putusan ini sebenarnya tidak ada masalah, karena hal yang didakwakan oleh penuntut
umum memang terbukti dan tindakan tersebut merupakan tindak pidana, hanya
saja yang menjadi permasalahan, apabila terhadap putusan pemidanaan ini kemudian terpidana di
tahan lalu dibebaskan lagi dengan berbagai alasan sehingga akan mencederai penegakan hukum,
dan fenomena ini sering terjadi, khususnya bagi terpidana pelaku korupsi.
2. Jaksa Penuntut Umum
Seringkali antara jaksa dan penuntut umum diartikan sama. Namun yang sebenarnya
berbeda menurut tugas dan wewenangnya, walaupun antara jaksa dan penuntut umum dijabat
oleh satu orang. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan pengertian serta tugas dan wewenang dari
jaksa dan penuntut umum ini adalah sebagai berikut : Jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang (KUHAP) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir
(6) poin a). Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
(KUHAP) untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 butir (6)
poim b). Jaksa bersama dengan polisi untuk menuntaskan kasus pidana dan dapat melakukan
penahanan terhadap terdakwa apabila memungkinkan siding akan di tangguhkan sementara. JPU
adalah pejabat yang diangkat untuk menuntut terdakwa berdasarkan BAP dan dituangkan dalam
surat dakwaan, Jaksa bersama dengan polisi bekerja sama dalam menguak kasus pidana dan juga
bisa kita lihat bahwa JPU dapat melakukan penahanan terhadap terdakwa apabila memungkinkan
siding akan di tangguhkan sementara.
3. Penasihat Hukum
Penasehat Hukum dalam hal ini dilakukan oleh Sarjana Hukum dengan profesi advokat
dan pengacara praktek yang telah memiliki ijin praktek, namun setelah disahkannya Undang-
Undang Advokat tidak ada lagi istilah pengacara praktek, yang ada hanya Advokat. Istilah
“Penasehat Hukum” merupakan istilah baku sebagai pengganti dari “Pembela” atau “Pengacara”
dalam perkara pidana (Al Wisnubroto, 2002:7). Dalam pasal 1 butir 13 disebutkan bahwa “
Penasehat Hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar
Undang-Undang untuk memberi bantuan Hukum”.
3
Dalam beracara tugas penasehat hukum mengajukan fakta dan pertimbangan yang ada
sangkut pautnya dengan klien yang sedang dibelanya dalam perkara tersebut, sehingga akan
terjadi keseimbangan dalam persidangan yang akan berpengaruh pada keputusan Hakim yang
adil. Jadi jelaslah tugas dari penasehat hukum dalam peradilan adalah memperjuangkan hak-hak
tersangka / terdakwa dengan memperhatikan kepentingan masyarakat atau negara demi tegaknya
hukum dan keadilan. Dan juga PH dapat mengajukan eksepsi (pembelaan) , mengajukan memori
banding dan kasasi, mengajukan permohonan penangguhan penahanan terdakwa, dan
mengajukan permohonan menghadirkan saksi untuk meringankan terdakwa.
4. Panitera (Panitera Pengganti)
Panitera adalah pejabat pengadilan yang salah satu tugasnya adalah membantu hakim
membuat berita acara pemeriksaan dalam proses persidangan. Oleh karena begitu banyaknya
tugas dari panitera ini sangat memungkinkan panitera tidak dapat ikut serta dalam persidangan
pidana, maka dengan demikian panitera menunjuk panitera pengganti (PP) sebagai Notulen
dalam persidangan pidana, yang tugasnya membuat berita acara persidangan, memeriksa dan
menerima memori banding dan kasasi, mencatat hasil siding dan mencatat setiap kejadian dalam
proses persidangan termasuk dalam pokok-pokok dialog antara pihak-pihak yang terlibat dalam
persidangan, misalkan tanya jawab antara hakim, penuntut umum, penasehat hukum dengan
saksi dan terdakwa.
5. Terdakwa
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di Sidang
Pengadilan (pasal 1 butir 15). Sedangkan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana(pasal 1
Butir 14 dan terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum atau didampingi oleh PH nya.
6. Saksi (Saksi Ahli)
Keberadaan saksi dalam persidangan pidana sangat menentukan dalam mencari
kebenaran hukum. Menurut pasal 1 butir 26 KUHAP saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Untuk selanjutnya saksi ini
memberikan keterangan disidang pengadilan mengenai suatu tindak pidana yang ia dengar
sendiri, ia alami sendiri dan ia lihat sendiri, dan keterangan itu dapat dijadikan alat bukti dalam
perkara pidana yang diajukan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 butir 27 KUHAP.
4
Saksi ahli merupakan ahli yang memberikan keterangan di sidang pengadilan pidana berdasarkan
ilmu pengetahuan yang dimiliki. Dalam ketentuan pasal 1 butir 28 disebutkan keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
7. Petugas Pendukung Kelancaran Sidang
A. Petugas Pengawalan
Tersangka yang akan dihadapkan ke muka sidang dilakukan pengawalan oleh petugas,
karena penuntut umum berasal dari kejaksaan maka petugas pengawalan juga dilakukan oleh
petugas dari kejaksaan, namun dalam kasus-kasus tertentu yang mengundang perhatian
masyarakat maka pengawalan dibantu oleh petugas keamanan dari kepolisian.
B. Juru Panggil
Juru panggil ini biasanya berasal dari pegawai pengadilan dan atau pegawai kejaksaan,
yang tugasnya adalah melakukan pemanggilan terhadap tersangka / terdakwa dan saksi untuk
dilahirkan di ruang sidang.
C. Juru Sumpah
Juru sumpah biasanya dilakukan oleh pegawai pengadilan, namun bukan berarti juru
sumpah ini secara langsung membimbing sumpah terhadap saksi dan terdakwa tapi biasanya
dibimbing oleh hakim yang diikuti oleh saksi dan terdakwa yang sedang disumpah. Jadi tugas
juu sumpah ini tugasnya hanyalah mempersiapkan perlengkapan misalnya kitab suci ALKITAB
untuk yang kristen dan kitab lain sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Namun ketentuan
dalam KUHAP ada tempat khusus bagi rohaniawan yang tugasnya menyumpah, namun dengan
alasan teknis maka hal itu sampai sekarang belum dapat melaksanakan.
D. Petugas Pengawalan
Petugas pengawalan sangat diperlukan dalam proses persidangan pidana khususnya
dalam perkara-perkara tertentu yang mengundang perhatian masyarakat, biasanya dalam hal
kasus-kasus besar seperti contoh : kasus dengan terdalwa Amrozi tersangka pengeboman di Bali
tahun 2002. Petugas pengamanan ini bertugas menertibkan pengunjung diluar dan didalam
persidangan agar jalannya persidangan dapat tertib.
5
B. Alat Bukti Beracara dalam Pidana
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan
bahwa alat bukti yang sah adalah :
1.Keterangan Saksi;
2.Keterangan Ahli;
3.Surat;
4.Petunjuk;
5.dan Keterangan Terdakwa.
C.Asas-Asas dalam BerAcara dalam Kasus Pidana
1. Asas Praduga Tidak bersalah (presumption of Innocence)
2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
3. Asas Hak Ingkar
4. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk Umum
5. Asas pengadilan Memeriksa perkara pidana dengan adannya kehadiran terdakwa
6. Asas Equal Before the law (Perlakuan Yang sama didepan Hukum)
7. Asas Tersangka atau Terdakwa Bantuan Hukum
8. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan
9. Asas ganti Rugi dan rehabilitasi
10. Asas Pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan
11. Asas kepastian jangka waktu Penahanan
12. Asas Legalitas
13. Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Dan Penyitaan Dilakukan Berdasarkan
perintah tertulis pejabat yang berwenang.
D. Sumber Hukum Acara Pidana
1. UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) dan Ayat (2), pasal 25 dan Dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Atau Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum berlakunya
6
Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Dengan berlakunya KUHAP maka untuk
pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi
seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung,
bahkan sampai (herziening).
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-
Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang
Peradilan Umum.
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung jo. perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-
Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak
diundangkan tanggal 5 April 2003.
7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang – Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan
KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
11. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap
anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS
seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.
7
12. Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa
Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.
13. Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.
15. Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu :
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 Tentang Pemberian Wewenang
Kepada Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan Terhadap Mereka
Yang Melakukan Tindakan Penyeludupan;
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 Tentang Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi;
Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara Tindakan
Kepolisian terhadap Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi Polri;
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Hakim
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Jaksa
E. Proses BerAcara Perkara Pidana
1. Perkara Pidana Biasa (Pid.B)
Praktek Pengadilan Negeri menunjukkan bahwa si penerima berkas-berkas perkara dari
pihak Jaksa, yang umumnya dikirim langsung ke: Panitera, kemudian dicatat dalam suatu daftar
(Register) perkara-perkara pidana dean seterusnya diserahkan kepada Ketua Pengadilan dan baru
oleh Ketua berkas-berkas perkara itu dibagikan kepada Hakim Ketua Majelis yang bersangkutan.
2. Perkara Pidana Singkat (Pid.s)
Berdasarkan pasal 203 ayat (1) KUHAP, maka yang diartikan dengan perkara-perkara
dengan acara singkat adalah perkara-perkara pidana yang menurut Penuntut Umum pembuktian
serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Pengajuan perkara pidana dengan
acara singkat oleh Penuntut Umum ke persidangan dapat dilakukan pada hari-hari persidangan
tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
8
Dalam acara singkat ini, maka setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis Hakim dan setelah
pertanyaan formil terhadap terdakwa diajukan maka Penuntut_Umum dipersilahkan
menguraikan tentang tindak pidana yang didakwakan secara lisan dan dicatat dalam Berita Acara
Sidang sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat (3) KUHAP). Tentang hal registrasi
atau pendaftaran perkara-perkara pidana dengan acara singkat ini, baru didaftarkan oleh
Panitera/Panitera Muda Pidana setelah Hakim memulai dengan pemeriksaan perkara.
Apabila pada hari sidang yang ditentukan, terdakwa dan atau saksi-saksi utamanya tidak datang,
maka Majelis cukup menyerahkan kembali berkas perkara kepada Jaksa secara langsung tanpa
Ada penetapan, sebaiknya dengan buku pengantar (ekspedisi). Tetapi apabila dari pemeriksaan
dimuka sidang terdapat hal-hal yang menunjukkan bahwa perkara pidana itu tidak bersifat
sederhana, Majelis mengembalikan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum dengan suatu
surat penetapan dengan nomor pendaftaran pengadilan negeri. Tentang penerimaan perkara-
perkara pidana dengan acara singkat oleh Pengadilan Negeri berlaku acara sebagaimana
disebutkan dalam bab mengenai perkara-perkara pidana biasa yakni diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dengan melalui Panitera tetapi dengan perbedaan bahwa berkas-berkas
perkara pidana dengan acara singkat tidak perlu didaftarkan dulu pada waktu penerimaan.
Putusan tidak dibuat secara khusus tetapi dicatat dalam Berita Acara Sidang atau putusan
menjadi satu dengan Berita Acara Sidang.
3. Perkara Pidana Cepat
Yang diartikan dan termasuk perkara-perkara dengan acara cepat adalah perkara-perkara
pidana yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara atau denda Rp.
7.500,- (pasal 205 ayat (1) KUHAP), yang mencakup tindak pidana ringan, pelanggaran lalu
lintas (pasal 211 KUHAP beserta penjelasannya) juga kejahatan "penghinaan ringan" yang
dimaksudkan dalam pasal 315 KUHP dan diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dengan tanpa
ada kewajiban dari Penuntut Umum untuk menghadirinya kecuali bilamana sebelumnya
Penuntut Umum menyatakan keinginannya untuk hadir pada sidang itu. Jadi pada pokoknya
yang dimaksud perkara-perkara semacam tersebut diatas ialah antara lain perkara-perkara