Top Banner
Penerbit Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29–37 Jakarta 10270 @bukugpu @bukugpu www.gpu.id “Aku Kesepian, Sayang.” “Datanglah, Menjelang Kematian.” Seno Gumira Ajidarma Harga P. Jawa Rp99.000 KUMPULAN CERPEN/SASTRA 17+ 978-602-06-4679-4 Cinta lampu neon, yang rapuh dan tergantung listrik, tak mengurangi passion dan melankoli urban yang penuh ironi. Misteri yang dipandang lucu, dalam kelamnya kenyataan, dan liarnya kehidupan, mewarnai segenap cerita, sebagai hiburan yang mengingatkan, pernyataan yang menggoda, dan permainan, yang penuh dengan jebakan. “Kumpulan cerita ini menampilkan kisah dan tutur khas Seno Gumira Ajidarma dalam ukuran camilan hingga dapat dicerap dengan renyah dan nyaman. Eksplorasi Seno Gumira Ajidarma melalui foto dan potongan komik mengungkap sisi lain dirinya yang artistik sekaligus humoris. Sungguh pengalaman baca yang bernas pula menyenangkan.” Dee Lestari Penulis, Penyanyi-Pencipta Lagu. Aku Kesepian_C-1+4.indd 1 Aku Kesepian_C-1+4.indd 1 30/10/20 10.55 30/10/20 10.55
283

“ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Mar 14, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Penerbit Gramedia Pustaka UtamaKompas Gramedia BuildingBlok I, Lt. 5Jl. Palmerah Barat 29–37 Jakarta 10270

@bukugpu@bukugpu www.gpu.id

“Ak

u Kesepian

, Sayang.” “D

atanglah, M

enjelan

g Kem

atian.”

Seno Gum

ira Ajidarm

a

Harga P. Jawa Rp99.000

KUMPULAN CERPEN/SASTRA 17+

978-

602-

06-4

679-

4

Cinta lampu neon, yang rapuh dan tergantung listrik, tak mengurangi passion dan melankoli urban yang penuh ironi. Misteri yang dipandang lucu, dalam kelamnya kenyataan, dan

liarnya kehidupan, mewarnai segenap cerita, sebagai hiburan yang mengingatkan,

pernyataan yang menggoda, dan permainan, yang penuh dengan jebakan.

“Kumpulan cerita ini menampilkan kisah dan tutur khas Seno Gumira Ajidarma

dalam ukuran camilan hingga dapat dicerap dengan renyah dan nyaman.

Eksplorasi Seno Gumira Ajidarma melalui foto dan potongan komik

mengungkap sisi lain dirinya yang artistik sekaligus humoris.

Sungguh pengalaman baca yang bernas pula menyenangkan.”

Dee Lestari

Penulis, Penyanyi-Pencipta Lagu.

Aku Kesepian_C-1+4.indd 1Aku Kesepian_C-1+4.indd 1 30/10/20 10.5530/10/20 10.55

Page 2: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 1 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 3: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Sanksi Pelanggaran Pasal 113Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014

Tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak eko-nomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk peng-gunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta ru piah).

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagai mana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagai mana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau hur uf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana pen jara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana pen jara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 2 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 4: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 3 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 5: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

”Aku Kesepian, Sayang.””Datanglah, Menjelang Kematian.”

Seno Gumira Ajidarma

GM 620202027

Penerbit PT Gramedia Pustaka UtamaKompas Gramedia Building Blok 1 lt. 5

Jl. Palmerah Barat No. 29-37Jakarta 10270

Anggota IKAPI

Desain sampul dan cerita ”Avi”: Pang WarmanFoto-foto dalam cerita ”Avi”: Seno Gumira Ajidarma

Desain isi: Fitri Yuniar

Cetakan Pertama: Februari 2004.Cetakan Kedua: Juli 2004.

Cetakan Ketiga (cover baru): November 2020.

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undangDilarang memperbanyak sebagian

atau seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

www.gpu.id

ISBN: 978-602-06-4678-7ISBN DIGITAL: 978-602-06-4679-4

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 4 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 6: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

untuk mereka yang kesepian,dan terasing,

di rumahnya sendiri

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 5 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 7: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 6 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 8: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

vii

Daftar Isi

“Aku Kesepian, Sayang.”“Datanglah, Menjelang Kematian.”

”Aku Kesepian, Sayang.” ”Datanglah, Menjelang Kematian.” 3Hari Pertama di Beijing 9Melodrama di Negeri Komunis 18Komposisi untuk Putih Salju 41Kyoto monogotari 48Legenda Wongasu 55Topeng Monyet 84Layang-Layang 101Avi 105Dua Perempuan dengan HP-nya 113Hhhh... 120Aku dan Bayanganku 126Dunia Gorda 133Penjaga Malam dan Tiang Listrik 143Komidi Puter 147

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 7 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 9: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

viii

Linguae

Cermin Maneka 157Cintaku Jauh di Komodo 165Rembulan dalam Cappuccino 171Tong Setan 178Badak Kencana 184Linguae 194Joko Swiwi 200Simsalabim 214Sebatang Pohon di Tengah Padang 225Gerobak 235Kopi, dan Lain-Lain 242

Tiga Cerita

Musim Politik 249Macan 257Simuladistopiakoronakra 264

Riwayat Publikasi 272

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 8 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 10: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

1

“Aku Kesepian,

Sayang.” “Datanglah,

Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 1 10/24/2020 10:13:50 AM

Teguh Afandi
Placed Image
Teguh Afandi
Placed Image
Page 11: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 2 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 12: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

3

”Aku Kesepian, Sayang.””Datanglah, Menjelang Kematian.”

alam tiba, aku tidak keluar kamar, tapi aku tahu apa yang berada di luar.

Malam adalah suatu akhir, tetapi bagi perempuan itu, malam adalah awal dari sebuah perjalanan yang panjang. Ia hanya me-ngenakan celana dalam ketika mengoleskan lipstik ke bibirnya. Lipstik berwarna merah darah. Ia mendekatkan cermin kecil ke wajahnya. Memonyongkan bibirnya. Mengulumnya sendiri. Tersenyum sendiri. Ia tidak tersenyum sebenarnya, ia hanya memperagakan sebuah senyum.

”Seperti apa aku kalau tersenyum?”Senyuman itu hanya suatu peragaan. Tidak mewakili perasa-

an, karena perasaannya sendiri gelisah.”Aku masih cantik. Apakah aku masih cantik?”Namun ia melirik jam dinding, dan tahu malam terus me-

rambat. Dunia malam adalah dunia mimpi. Semu. Namun se lama tiada lain selain mimpi, tiada lagi pilihan. Mimpi lebih baik daripada kenyataan mengenaskan.

Sekarang ia mengganti celana dalamnya. Memang, ce lana dalam tak terlihat, tetapi apabila sekali waktu celana dalam itu akan terlihat, ia tidak ingin dipermalukan. Ia mengenakan celana

yang berada di luar.M

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 3 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 13: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

4

dalam yang membuat setiap perem puan terlihat indah. Celana dalam macam apakah itu? Hmm. Setiap orang tentu harus me-lihatnya sendiri.

Lantas ia menyangga sepasang payudaranya dengan kedua ta-ngan, sehingga payudara itu naik, dan tampak lebih padat. Berdiri di depan cermin besar, perempuan itu menghela nafas panjang.

Lagi-lagi ia melirik jam dinding.

*

Malam semakin larut. Aku masih di dalam kamar, tapi aku tahu semua kejadian di luar. Seorang lelaki berpikir di dalam mobilnya yang terjebak kemacetan. Ia sedang berpikir, apakah akan lang-sung pulang, atau mampir di suatu tempat lebih dulu. Langsung pulang berarti bertemu dengan anak dan istrinya. Mampir di su-atu tempat berarti bertemu dengan kekasihnya. Setiap kali pulang ke rumah ia berdoa agar hari cepat berganti, sehingga ia selalu bisa berangkat pergi ke suatu tempat entah di mana; tetapi setiap kali bertemu dengan ke kasihnya ia ingin cepat-cepat pulang.

”Barangkali lebih baik aku menyendiri,” pikirnya.Maka, malam menjadi suatu awal dari sebuah perjalanan yang

juga tidak akan pernah jelas kapan akan berakhir. Ia membelokkan mobil ke sebuah jalan yang tidak pernah dilaluinya, mengem bara ke sebuah dunia yang tidak pernah dikunjunginya, memburu pe-ngalaman yang tidak pernah dirasakannya.

Malam sebetulnya tidak pernah berubah. Malam se lalu kelam, sunyi, dan sedikit banyak menekan. Ada lampu-lampu yang genit, musik yang hingar bingar, dan minuman yang diciptakan untuk merangsang kebahagiaan, tetapi semua itu hanya bukti penging-karan. Orang-orang tidak tahan tetap tinggal dalam kegelapan, orang-orang tidak tahan tetap tinggal dalam kesepian.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 4 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 14: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

5

”Malam boleh saja sunyi, tapi aku tidak mau kese pian,” ku-dengar seseorang berbisik kepada seseorang yang lain.

Di sudut-sudut kafe, orang-orang ingin keluar dari dirinya sendiri, menjadi orang lain yang berbahagia da lam kebersamaan. Betapa sedihnya menyadari diri merana dan tiada teman.

”Mengapa begitu sulit bahkan hanya untuk mempunyai te-man berbincang?”

Aku tidak bisa menjawabnya, karena aku berada di dalam kamar, meski mengetahui semua kejadian di luar. Aku tahu ma-lam selalu seperti itu. Cahaya lampu merkuri kekuningan yang di bias kan bintik-bintik debu, membuat perempuan manapun, meski telah berdandan habis-habisan, akan tampak sebagai mayat hidup bila berdiri menunggu entah siapa di bawahnya. Aku tahu malam akan menurunkan suhu udara, meski orang-orang tetap tidur tanpa baju di sepanjang gang, sia-sia menutup telinga dari te riakan mereka yang main gitar di ujung jalan. Orang-orang yang bergerombol, tapi tetap kesepian. Mata mereka nyalang men cari pelampiasan. Dengan penuh rasa cemburu, mereka me lihat pa-sangan berdekapan dalam sedan.

Seandainya mereka tahu apa yang menjadi perbincangan.”Kenapa aku selalu bertemu lelaki yang sudah beristri? Bu-

kan mauku menjadi pengganggu rumah tangga orang. Pergilah. Pulanglah. Jangan kembali lagi padaku meski aku akan selalu merindukanmu.”

”Aku tidak akan pernah melepaskan kamu, jika tahu dikau akan jatuh ke pelukan seseorang.”

”Kamu kejam, kamu tidak mempunyai perasaan. Tahu diri-mu tidak bisa kawin denganku, kau bikin aku jatuh cinta pada-mu tanpa kebebasan. Aku tidak mau terombang-ambing begini, aku ingin jatuh cinta kepada se seorang tanpa ikatan.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 5 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 15: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

6

”Jika hal itu kau lakukan, engkau menjerumuskan aku ke dalam kehancuran.”

”Itu sangat tidak kuinginkan. Apa yang harus kulakukan?”Seandainya mereka tahu betapa perbincangan seperti ini tidak

pernah akan mencapai penyelesaian, tiada yang harus dicemburui oleh orang-orang yang berjongkok di depan gang sambil main gitar, terhadap pasangan yang berpelukan di dalam mobil sedan.

*

Kudengar lagu blues yang terasa kudus. Tiada lagu selain blues yang mengukuhkan kegetiran dengan raungan. Malam tidak per-nah terlalu hitam, malam se lalu tembus pandang, bisa dirasa dan dipikirkan. Di da lam kamar, aku tahu apa yang terjadi di luar, ketika ma lam telah menjadi semakin kelam.

Di sebuah kafe, seorang perempuan dengan celana dalam terindah jika ada seseorang yang melihatnya, sedang duduk menunggu. Ia duduk sendirian. Segelas tequila di hadapannya, dan ia merokok dengan tenang.

Banyak orang melihatnya duduk sendirian di sana. Punggung-nya terbuka, bibirnya setengah terbuka, dan matanya menatap ta-jam setiap orang yang bahkan hanya meliriknya. Duduk sen dirian di pojok seperti itu, setiap orang yang melihatnya tentu mengira ia sedang me nunggu seseorang. Ia tidak seperti perempuan yang bisa berpindah tempat sekali pandang. Ia tampak terhormat meskipun sendirian. Tentu tak seorang pun menyadari betapa ia mengenakan celana dalam yang membuat pe rempuan itu menjadi indah. Tanpa hal itu pun ia sudah tampak indah. Duduk sendirian di pojok seperti telah berjanji dengan seseorang. Entah kenapa, memandang perempuan itu, setiap orang yang melihatnya selalu menduga ia sedang menantikan seorang lelaki.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 6 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 16: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

7

Kudengar blues di ujung malam. Aku tahu apa yang dipi-kirkan itu perempuan. Ia sudah menduga betapa orang-orang yang melihatnya mengira dirinya sedang menunggu seseorang. Dugaan seperti ini lebih menenangkan hatinya, daripada dugaan bahwa setiap orang di kafe itu tahu betapa ia tidak mempunyai janji dengan seorang manusia pun. Ia datang sendiri tanpa janji, ia mencari sesuatu yang tidak jelas, ia berharap akan sampai kepada sebuah kebetulan yang membahagiakan. Ia ingin ber-bincang dengan seseorang yang bahkan tidak usah dikenalnya. Tidak usah ada apa-apa setelah itu, tidak usah saling menyebut nama, pokoknya berbicara dengan seseorang—tapi hal itu tidak terjadi. Tidak terjadi suatu kebetulan yang sangat ia harapkan. Sedangkan ia bukan jenis perempuan yang sudi untuk sengaja mengundang, apalagi menjebak dan menerkam. Meskipun ia su-dah mengenakan celana dalam yang membuat setiap perempuan seperti sangat menjanjikan di atas ranjang.

Kemudian ternyata tiada seorang pun meliriknya. Orang-orang tertawa keras, atau berbisik pelan, kadang sambil saling bersentuhan. Semuanya tenggelam, menenggelamkan diri, men-jauhi kesepian. Setiap mata berbinar terang, mengerjap sayang, mabuk keakraban, da lam kesementaraan, sebelum ditelan kece-masan menghadapi kematian.

Namun tiba-tiba masuklah lelaki yang tiba-tiba membelok-kan mobilnya ke sebuah petualangan itu. Lelaki yang tidak ingin pulang karena rumahnya hanya berarti kehampaan, yang tak juga ingin bertemu kekasihnya ka rena setiap pertemuan membuatnya ingin cepat-cepat pulang.

Semua orang di dalam kafe melihat lelaki itu melangkah, seolah-olah mempunyai tujuan yang pasti. Entah kenapa mereka semua lantas melihat ke arah perempuan yang duduk di sudut

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 7 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 17: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

8

itu, yang minum sendirian sambil menghembuskan asap rokok ke udara, seolah-olah sudah berjanji dengan seorang lelaki.

Padahal....

*

Aku keluar kamar, aku juga ingin pergi ke suatu tempat, supaya bisa duduk mendengarkan blues di sebuah tempat yang bersih dan terang. Namun kutahu tempat seperti itu tidak ada. Semua kafe di kota ini lampunya remang-remang. Tidak ada sesuatu yang boleh terlihat sebagai kenyataan, semua orang membutuh-kan mimpi, sama seperti membutuhkan nasi. Bayangkanlah beta-pa semua orang dalam pengaruh minuman itu pulang menjelang pagi dan bermimpi lagi. Kita semua hidup dari mimpi ke mimpi.

Kupandang rembulan yang sedang terang, aku me mang tidak usah pergi ke mana-mana untuk mengetahui apa yang terjadi di tempat lain, tapi aku tidak ingin me ngetahui semuanya. Sudah cukup bagiku memastikan bahwa kedua manusia di kafe itu akan bertemu pandang. Aku tidak ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa saja mereka bersikap seolah-olah memang su-dah berjanji untuk saling bertemu di situ. Bisa juga tidak akan pernah terjadi apa-apa. Lelaki itu duduk sen diri dan perempuan itu juga masih tetap sendiri, saling memunggungi.

Aku melangkah di jalanan yang sepi. Kulewati tiang listrik satu persatu, melihat bayang-bayangku sendiri. Di gedung-gedung yang gelap, para penjaga malam bermain kartu. Aku tahu tequila yang diminum perempuan itu sudah tidak bersisa, dan lelaki itu melihat arloji, memperhitungkan jam berapa akan tiba di rumah.

Selebihnya aku tidak ingin tahu. Betul-betul tidak ingin tahu. Meski aku betul-betul tahu.

M/Q 503-J, Oktober 2002.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 8 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 18: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

9

Hari Pertama di Beij ing

Pyongyang, Kamis 5 September 2002. 05:30.

etika transit di bandara Beijing, saya teringat hari per-tama saya di Beijing sekitar enam tahun lalu. Kota itu

sebenarnya tidak pernah menjadi tempat tujuan saya. Waktu itu saya terpaksa menginap beberapa hari, karena ransel saya masih tertinggal di Hongkong. Saya tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Ulan Bator—banyak peralatan untuk memotret maupun film saya ada di ransel itu. Apalah yang bisa saya lakukan sambil me-nunggu selain berjalan-jalan? Dengan hati kesal saya selusuri tro-toar Beijing di musim dingin, berjalan begitu saja tanpa tujuan, ka rena berdiam di kamar hotel membuat saya tambah frustrasi.

Maka sampailah saya ke jalan besar yang menuju lapangan Tien An Men. Belum sampai ke lapangan itu, saya melihat pe-mandangan yang tidak akan pernah saya lupakan. Saya melihat dua lelaki, besar dan kecil, yang sebelah tangannya masing-masing diborgol, sedangkan borgol itu dikaitkan ke pagar besi yang berada di sepanjang tepi trotoar.

Saya tertegun. Dari kejauhan, saya sempat melihat orang-orang berkerumun sebentar lantas pergi. Saya berhenti sebentar, lantas melangkah kembali. Sembari melewati mereka, mata saya bertatapan dengan mata mereka berdua. Pandangan mata itulah yang membuat saya tidak bisa melupakan peristiwa itu.

etika transit tama saya di Beijing sekitar enam tahun lalu. Kota itu

sebenarnya tidak pernah menjadi tempat tujuan saya. Waktu itu

K

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 9 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 19: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

10

Mereka berdua, besar dan kecil, dalam kesan saya yang se lintas, bagaikan paman dan keponakan. Yang se perti paman mungkin sekitar 25 tahun, yang seperti ke ponakan tidak mung-kin lebih dari 12 tahun. Busana keduanya, dibandingkan dengan busana orang-orang Beijing yang penuh gaya, seperti menun-jukkan betapa mereka berasal dari desa. Mereka berbaju musim dingin yang tebal, tapi begitu lusuh dan tak berselera warnanya. Sepatu mereka juga tebal dan besar. Saya perhatikan tidak ada orang Beijing berbusana dan bersepatu seperti itu.

Mata mereka berdua menatap saya. Saya melihat tanda-tanda bekas pukulan di wajah yang seperti paman. Seperti ada bekas darah di sudut bibir, dan bagian di bawah matanya tampak biru lebam. Saya kira, mereka baru saja dipukuli, entah oleh orang banyak, entah oleh polisi. Namun saya kira jika dipukuli oleh orang banyak pun, tentu belum sempat berlangsung lama. Anak kecil itu tampak utuh saja wajahnya, tapi wajahnya itu tampak begitu keras. Ia menatap saya. Pamannya menatap saya. Kami saling bertatapan. Peristiwa itu hanya berlangsung beberapa de-tik, yakni saat-saat ketika saya melangkah melewati mereka, saat tatapan saya bertemu pandang dengan tatapan mereka, lantas saya melewatinya. Namun rupa-rupanya panjang dan pendeknya waktu tidak hanya ditentukan oleh kesepakatan hitungan arloji saja. Detik-detik ketika saya melewatinya menjadi tidak penting sama sekali, dibanding dengan bagaimana peristiwa itu terus menerus terulang karena teringat kembali dalam kenangan saya.

Sabtu, 7 September 2002. 05:30.

Saya masih teringat bagaimana saya berjalan dan menoleh agak ke kiri seiring dengan kecepatan langkah saya. Saya melangkah

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 10 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 20: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

11

tidak lebih lambat dari biasa, ka rena saya tidak tega untuk se-ngaja tampak memperlambat langkah, apalagi sengaja berhenti un tuk melihat mereka. Dari jauh sudah saya lihat perasaan mereka yang tertekan. Pamannya tampak lebih tertekan dari keponakannya, tapi perasaan siapapun yang melihatnya mungkin lebih tersentuh melihat wajah keponakannya yang seperti tidak tahu betapa buruk nasib yang mereka alami. Saya melangkah sambil melihat mereka sekilas, dengan segera saya tangkap kese-luruhan pemandangan di depan saya. Rambut mereka yang lurus dan hitam, tercukur tidak terlalu rapi meski sama potongannya. Baju musim dingin mereka yang tebal, berwarna coklat muda, sehingga kelusuhannya begitu kentara. Begitu juga sepatu boot, yang tampaknya hanya akan dipakai di musim dingin, itu pun di wilayah bukit-bukit batu bersalju tebal tempat kendaraan tidak bisa lewat. Sudah saya bilang, saya mempunyai kesan mereka orang desa. Apa yang mereka lakukan di Beijing sehingga men-dapatkan nasib seperti itu? Sebelah tangan diborgol dan terikat di pagar, sementara semua orang yang lewat melihat mereka, saya kira bukanlah nasib yang boleh dikatakan baik.

Saya terus menatap mereka dan melihat mereka me natap saya. Ada yang berubah dalam tatapan mereka ke tika melihat saya. Bukankah saya seorang asing di Beijing? Jika orang Beijing saja, yang tentunya terbiasa melihat orang-orang mancanegara, segera berubah tatapannya setelah melihat saya, apalagi orang desa seperti mereka. Dalam sepersekian detik, mereka seolah-olah lupa akan nasibnya. Saya bisa membaca dari mata me reka yang bertanya-tanya, bahwa untuk sejenak mereka sibuk menduga orang manakah saya kiranya. Saya tercekat menyadari betapa kemudian mereka akan mengerti bahwa saya menyaksikan nasib mereka. Saya tidak sempat membayangkan seandainya saya ber-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 11 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 21: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

12

ada di tempat mereka, terborgol di pagar dengan wajah lebam, menjadi tontonan orang lewat, lantas menyadari bahwa ada se orang asing yang menyaksikan nasib saya.

Minggu, 8 September 2002. 22:30.

Apakah yang mereka baca dari mata saya? Saya kira me reka tidak akan membaca mata yang jatuh kasihan, karena barangkali saya tidak sempat terlihat kasihan dalam sepersekian detik itu. Dengan tiga atau empat langkah saja mereka sudah terlewati. Namun pada langkah pertama, ke dua, dan menuju ke tiga, kepala dan mata saya pastilah terpancang kepada mereka, dan di antaranya tentu juga kepada matanya. Barangkali mereka membaca mata saya se-bagai mata yang ingin tahu, apa yang telah terjadi sehingga mereka mengalami nasib seperti itu. Tentu, sampai sekarang saya juga ma-sih bertanya-tanya, apa yang telah mereka alami?

Tentunya, begitu saya pikir, mereka berangkat dari sebuah desa dengan tujuan tertentu. Barangkali mereka berangkat naik bis, barangkali naik kereta api, tapi bisa juga menumpang sebuah truk, duduk di belakang di antara sayuran. Barangkali mereka pada suatu malam tiba di kota Beijing, melangkah melewati gerbangnya, dan tidur bersama para pencari kerja yang bergelim-pangan bersama tas pakaiannya di bawah lampu-lampu listrik. Karena musim dingin, kemungkinan tidurnya di terowongan bawah tanah tempat orang menyeberang. Ini semua tentu saya bayangkan kemudian. Bukan ketika saya melangkah melewati mereka dengan kepala tertoleh agak ke kiri, dan semakin ke kiri bersama langkah-langkah saya ke depan, sampai posisi kepala itu tidak bisa saya pertahankan lagi.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 12 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 22: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

13

Senin, 9 September 2002. 22:30.

Saya lupa, apakah saya kemudian masih akan menengok ke be-lakang lagi, tapi saya kira itu tidak penting, karena toh menoleh atau tidak menoleh lagi, saya masih terus menerus mengingatnya. Apakah yang telah mereka lakukan? Mungkinkah mereka sebe-narnya tidak melakukan kesalahan apa-apa? Saya bayangkan, di Beijing yang ketika itu suhunya di bawah nol derajat Celcius, mereka kelaparan dan terpaksa mencuri. Barangkali sebelumnya mereka berangkat untuk mencari kerja. Namun kalau memang mencari kerja, apa pula yang akan dikerjakan anak kecil berumur 12 tahun itu? Jadi, mungkin bukan mencari kerja, mungkin mencari seseorang tapi alamatnya tidak ketemu, atau ternyata alamatnya keliru. Apa pun tujuan kedatangannya, tentu ada suatu sebab yang gawat akibatnya, sehingga mereka terborgol di tepi jalan itu.

Selasa, 10 September 2002. 00:02.

Sampai beberapa tahun kemudian, saya masih sempat mengira betapa nasib mereka berdua begitu buruknya, sehingga setiap orang yang lewat memberikan bogem mentah kepada mereka. Sekarang saya tidak berpikir se perti itu, tetapi tetap saja saya tidak mengerti kenapa polisi, kalau memang polisi yang mem-borgolnya, harus memborgol tangan ke pagar di tepi jalan seperti itu? Apakah polisi begitu sibuknya sehingga tidak sempat membawa dan mengurung mereka di kantor polisi? Saya tidak melihat seorang polisi pun di sekitar tempat itu. Kalau ada orang diborgol, mestinya itu urusan polisi dong—tapi ke mana polisi-nya? Apakah polisinya habis untuk mengejar seseorang yang lain, yang barangkali juga tadinya bersama mereka? Saya betul-betul

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 13 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 23: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

14

tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang terborgol di pagar begitu rupa, sementara orang-orang lewat begitu saja.

Ketika saya lewat, saya menatap mata mereka, dan mata me-reka melihat bahwa mata saya menatap mereka. Membayangkan perasaan mereka saat itu, membuat saya sampai sekarang sering merasa sangat tidak enak. Bukankah memang menyakitkan un-tuk mengalami tangan diborgol di pagar dan dilihat semua orang yang lewat? Memang semua orang yang lewat tampaknya tidak terlalu tega untuk menonton mereka, tetapi melihat semua orang lewat tanpa usaha untuk terlihat peduli juga memberikan penderitaan tersendiri. Apakah mereka memang menderita?

Sebetulnya yang seperti paman itu seingat saya seperti me-nahan tawa. Dalam perkiraan saya, barangkali ia saat itu sedang menertawakan nasibnya sendiri. Wajah bocah yang seperti kepo-nakannya itu bagaikan sedang bertanya-tanya. Alih-alih semua orang yang lewat memperhatikan dia, seolah-olah dialah yang bertanya-tanya kenapa semua orang memperhatikan dirinya yang jelas-jelas diborgol itu. Anak kecil ini juga melihat saya, dan matanya yang sipit semakin lebar terbuka. Jelas dia me lihat sesuatu yang asing, dan untuk sejenak tentu juga tercerabut dari nasib yang dialaminya. Bocah ini masih menyimpan kemurnian kanak-kanak, tidak patutlah dia mengalami nasib seperti itu.

Saya tidak tahu pasti kenapa saya selalu teringat pertemuan saya dengan mereka. Barangkali tidak bisa disebut pertemuan, karena hanya terjadi saling tatap, tetapi kalau hal itu bukan per-temuan lantas apa namanya? Jika mau disebut berpapasan, hal itu bisa terjadi tanpa saling melihat, sedangkan kami jelas saling meli-hat. Saya melihat mereka, mereka melihat saya, dan saya membaca tatapan mata mereka, dan mereka membaca tatapan mata saya. Setiap kali teringat peristiwa itu saya seolah-olah melihat wajah

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 14 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 24: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

15

mereka begitu dekat, semakin dekat, dan kemudian menjauh lagi, dalam sudut pandang seperti ketika saya melewatinya dan melihat agak ke kiri, semakin ke kiri, sampai kepala saya terputar dan sege-ra menghadap ke depan—dan tidak menoleh ke belakang lagi.

Kamis, 12 September 2002. 12:30.

Apabila saya teringat peristiwa itu lagi sekarang, bagaimana tiba-tiba saja di hadapan saya terlihat dua orang yang masing-masing diborgol sebelah tangannya, lantas dikuncikan ke pagar, saya selalu merasa di dada saya ada perasaan tidak enak. Saya kira bukan soal tangan yang diborgol itu, yang membuat perasaan tidak enak, melainkan bagaimana mereka merasa dilihat oleh semua orang yang lewat di trotoar itu, tanpa kepedulian sama sekali. Barangkali sudah saya bilang tadi, bahwa perasaan tidak enak itu juga timbul dengan membayangkan seandainya saya berada di tempat mereka. Rupa-rupanya mata yang saling bertatapan bisa berbicara banyak. Bukan hanya saya, tapi juga mereka tentu sempat membayangkan seandainya merekalah yang lewat dan melihat dua orang, dewasa dan masih bocah, diborgol sebelah tangannya masing-masing dan dikuncikan ke pagar. Hati mereka tentu teriris, dan perasaan itu-lah agaknya yang juga saya rasakan. Tentu hanya selintas, karena mereka terborgol terus saat itu, sedangkan saya berjalan terus un-tuk segera ditelan lapangan Tien An Men.

Justru itulah yang membuat saya bertanya-tanya. Me reka tentu sudah tidak di pagar itu lagi sekarang, dan boleh dipastikan mere-ka tidak ingat sama sekali tentang saya yang lewat sambil melihat mereka terborgol di pa gar itu. Kemungkinan mereka memang masih mengingat nasib malang yang mereka alami di Beijing, tapi pasti tidak teringat lagi tentang lewatnya saya. Memang mata

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 15 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 25: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

16

mereka berubah hari itu ketika melihat saya, toh itu juga bukan alasan untuk membuat mereka tetap mengingatnya setelah lebih dari enam tahun. Nasib mereka tentu sudah berubah. Yang seperti paman barangkali sudah punya pekerjaan yang mapan dan sudah berkeluarga. Yang seperti keponakan barangkali sudah menjadi mahasiswa, setidak-tidaknya sudah bekerja, entah jadi petani atau buruh pabrik. Membayangkan hal itu, saya merasa bisa mengusir perasaan teriris di dada saya. Tapi bagaimana kalau nasib mereka berubah lebih buruk? Yang seperti paman mendekam di penjara dan keponakannya jadi penjahat kambuhan?

Entahlah. Sekarang segalanya seperti kembali. Ketika itu saya pulang ke hotel setelah hari larut malam. Kaki saya melangkah di antara para pencari kerja dari luar kota yang bergelimpangan di bawah lampu-lampu. Mereka tidur berselimut tebal dan berbantalkan tas pakaian. Saya turun ke terowongan untuk menyeberangi jalan, dan di dalam terowongan terlihat seorang pengemis memetik kecapi. Di depannya terdapat baki untuk menampung uang receh. Pengemis itu tampaknya buta. Saya ja-tuhkan bungkusan makanan yang keliru pesan—maklumlah, apa yang bisa saya pesan dari menu dengan huruf-huruf yang tidak saya kenal? Maksud hati pesan ayam dapatnya selalu babi. Saya cuma seorang asing yang numpang lewat. Hampir setiap hari selama di Beijing saya selalu keliru pesan, dan setiap kali lewat terowongan itu pula saya jatuhkan bungkusan makanan di depan pengemis buta itu. Saya yakin dia lama-lama mengenali saya, tapi sekarang tentu juga sudah tidak ingat lagi tentang bungkusan makanan yang selalu jatuh di malam hari itu.

Sama seperti dua manusia, dewasa dan masih bocah, yang sebelah tangannya masing-masing terborgol dan dikuncikan ke pagar, yang matanya terbuka lebih lebar ketika mengenali saya

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 16 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 26: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

17

sebagai orang asing, sekitar enam tahun yang lalu. Mereka pasti sudah lupa kepada saya. Adalah saya yang mengingat peristiwa selintas pada hari pertama di Beijing itu sampai sekarang.

Singapore, Selasa 17 September 2002. 18:30.

Saya baru datang dari Beijing. Hanya dalam enam tahun, Beijing sudah banyak berubah. Ternyata, selama berada di Beijing, saya tidak pernah sempat mencari jalan itu lagi. Gambaran tentang kedua orang yang sebelah tangannya masing-masing terborgol di pagar itu selama ini keluar masuk ingatan saya, namun ketika kembali ke Beijing setelah enam tahun, saya bahkan tidak ber-usaha mencari trotoar yang pernah saya lewati itu.

Sekarang, di tepi Sungai Singapura, saya merasa bersalah karena tidak melakukan ziarah. Jika seseorang melakukan ziarah, berarti ia melakukan sesuatu yang bermakna bagi dirinya, tapi saya telah menyia-nyiakannya. Saya duduk di tepi sungai, ma-kan hamburger dan minum Coca Cola. Senja menyapu langit, perahu-perahu berlampion merah yang eksotis lalu lalang, tetapi saya kembali berada di suatu jalan menuju lapangan Tian An Men, melangkah dengan kepala menoleh agak ke kiri, menatap dua pasang mata yang juga menatap mata saya. Saya tidak per-nah bisa melupakan tatapan itu, tatapan mata dua manusia yang masing-masing sebelah tangan nya terborgol dan dikuncikan ke pagar, sementara orang-orang yang lewat hanya menoleh sejenak tanpa pernah menghentikan langkahnya. Termasuk saya.

M/Q, 503, September 2002.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 17 10/24/2020 10:13:50 AM

Page 27: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

18

Melodrama di Negeri Komunis

erempuan terindah itu meluncur di atas es, setiap kali melewati-

ku dari tangannya muncul seekor bu-rung merpati. Lapangan es di dalam tenda pertunjukan akrobat itu putih menyilaukan dalam ca haya lampu, membuat perempuan yang meluncur itu di mataku seperti ke luar masuk tabir cahaya, membuatnya ter l ihat seperti bidadari, barangkali, jika bidadari memang ada—di ne-geri ini segala sesuatu yang tidak ke lihatan ujudnya tiada pernah diterima sebagai makna. Namun aku terlanjur mengenal kata bidadari sehingga perempuan terindah yang meluncur dengan satu kaki terangkat ke belakang dan me ngem bangkan tangan itu memang bagiku tampak sebagai bi dadari, sesuatu yang muncul dari balik ketiadaan, begitu tiba-tiba dan penuh pesona, apalagi setiap kali melewati tempatku me motret, dari tangannya muncul burung merpati, seolah-olah mer pati itu hanya untukku.

Setelah duabelas putaran, duabelas ekor pula burung merpati keluar dari tangannya, terbang mengikutinya seolah-olah me-mang memperpuan perempuan itu. Segenap merpati itu putih,

erempuan terindah itu meluncur di atas es, setiap kali melewati-

ku dari tangannya muncul seekor bu-rung merpati. Lapangan es di dalam

seperti bidadari, barangkali, jika bidadari memang ada—di ne-

erempuan terindah itu meluncur di atas es, setiap kali melewati-

ku dari tangannya muncul seekor bu-P

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 18 10/24/2020 10:13:51 AM

Page 28: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 19 10/24/2020 10:13:51 AM

Page 29: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

20

busana berkilatan perempuan itu putih, dan perempuan itu sendiri juga putih sepu-tih-putihnya putih. Segalanya serba putih seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada warna lain, tetapi putih di dalam tenda ini adalah lebih baik dari kelabu. Di luar tenda ini, segalanya kelabu, gedung,

jalanan, tatapan mata, semuanya kelabu. Hanya bendera-bendera raksasa berwarna merah, berkibar-kibar menggetarkan....

”Tunggu aku di belakang, setelah pertunjukan,” katanya.Begitulah, aku memotret, dan nanti aku akan menunggu.

Dua belas merpati hinggap di tangannya yang mengembang. Ia me nurunkan kakinya, dan meluncur mundur. Sorot lampu me ngi ringi ke manapun ia pergi. Apakah yang sedang diberikan oleh perempuan yang meluncur dengan duabelas merpati di ke dua lengannya itu? Keindahan? Ketenangan? Kebahagiaan? Se nyum n ya mengembang. Ia seorang perempuan yang betul-betul cemerlang. Sampai di manakah kiranya kecemerlangan bisa me mu dar kan penderitaan dalam kemiskinan?

Klik!Kupindahkan ia ke dalam duniaku.

*

”Manusia adalah tuan dari segalanya,” ujarnya suatu ketika kepadaku, ”itulah ajaran pemimpin kami.”

Aku tertegun.”Segalanya?””Ya. Segalanya. Pada masa penjajahan Jepang, rakyat kami

memohon pertolongan Tuhan, tapi tidak terjadi perubahan apa-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 20 10/24/2020 10:13:51 AM

Page 30: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 21 10/24/2020 10:13:52 AM

Page 31: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

22

apa, jadi pemimpin kami mengatakan, segala sesuatu harus di per juang k an oleh manusia, dengan menggunakan akal dan alat apa pun yang ada di sekitar kita. Ter-nyata perjuangan ma nu sia lah yang berhasil mengusir penjajah. Jadi, meskipun me-muja Tuhan atau apa pun yang gaib tidak

dilarang, pemimpin kami berpendapat hanya usaha manusialah yang bisa mengubah na sib nya sendiri.”1

Kulihat patung raksasa pemimpin negeri ini.”Rakyat negeri kami sangat berterima kasih dan merasa sangat

berutang budi kepada pemimpin kami, pa tung dan berbagai monumen di kota ini merupakan bukti kecintaan rakyat kami kepada sang pemimpin. Betapapun beliau telah membimbing kami keluar dari nestapa penjajahan, sehingga kami sekarang bisa merasakan apa artinya hidup bahagia.”

Bahagia. Bukankah itu yang dicari manusia?”Beliau adalah pemimpin abadi kami.”Hmm. Abadi.Di Balai Pembelajaran Rakyat kulihat banyak orang duduk de-

ngan tekun. Mereka yang tidak mengerti isi buku yang dibacanya, boleh datang ke ruangan Tanya dan Jawab yang jumlahnya 250 kamar, tersebar di segenap lantai gedung mahabesar itu, dengan tiang-tiang raksasa, lantai marmer, dan lagi-lagi patung sang pe-mimpin dalam ukuran megah. Di setiap kamar tersedia seorang

1Falsafah ini disebut Gagasan Juche, yang berlaku sebagai ideologi negara Re pub-lik Rakyat Demokratik Korea: manusia adalah tuan dari segala sesuatu dan me-nentukan segalanya, dengan kreativitas dan kesadaran (Chajusong), yang sebagai makhluk sosial harus mengubah dunia demi kepentingan massa. Penggagas falsa-fah ini adalah Kim Il Sung. Baca misalnya Kim Jong Il, On The Juche Idea (1982).

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 22 10/24/2020 10:13:52 AM

Page 32: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 23 10/24/2020 10:13:53 AM

Page 33: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

24

profesor, yang akan menjawab semua per-soalan yang tidak bisa dimengerti oleh para pembaca buku itu. Segala bidang ilmu pe-ngetahuan bisa dipelajari di dalam gedung itu, mulai dari matematika, sejarah, sampai bahasa—tetapi apabila pertanyaan mem-persoalkan gagasan-gagasan sang pemimpin

yang termuat dalam 5000 risalah, maka jawabannya akan selalu mengarah kepada simpulan: sang pemimpin adalah kebenaran.

”Amerika selalu jahat kepada kami,” katanya lagi, ”me reka se-lalu memberikan kesan yang buruk tentang kami kepada dunia.”

Baik dan buruk, benar dan salah—bagaimanakah hal itu boleh menjadi pasti?

Kulihat sekeliling, meski wajah semua orang bagaikan serupa, tidak ada fashion, dan keberadaan negara merasuk sampai ke da-lam kamar, anak-anak kulihat berlari-lari dengan pikiran bebas. Namun sampai kapan?

”Sampai kapan?””Apanya?””Sampai kapan anak-anak hidup tanpa pengarahan negara?””Sampai mereka sekolah. Di negeri kami, sekolah adalah wa-

jib dan gratis. Juga masih gratis di perguruan tinggi, meski tidak wajib lagi. Pemimpin kami sangat peduli kepada kesejahteraan jiwa, otak, maupun raga rakyat negeri ini.”

Barangkali kudengar. Barangkali tidak. Pikiranku tertuju kepada seorang perempuan yang tadi pagi kulihat di televisi: seorang perempuan yang meluncur di atas es dengan duabelas merpati yang hinggap pada kedua lengannya yang terkembang.

Ia sekarang berada di hadapanku, tapi dengan tanda bintang di topinya itu, kenapa ia jadi begitu berubah. Ia tidak sedang

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 24 10/24/2020 10:13:53 AM

Page 34: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 25 10/24/2020 10:13:53 AM

Page 35: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

26

memainkan peran dalam opera rakyat. Bila sedang tidak meluncur di atas es ia selalu mengenakan seragam Pengawal Merah. Seragam itu berwarna coklat tua kehijau-hijauan, seperti bumi dan langit di banding warna putih kemilau jika ia meluncur di atas es dengan kaki terangkat

ke belakang dan tangan terkembang.Manakah yang lebih baik antara bumi dan langit?Aku tak tahu, tetapi matanya itu, matanya—di sebuah negeri

tempat ke ajaiban dianggap kegaiban yang terlarang, bagaimana-kah mata yang menatap de ngan tajam, cemerlang, dan penuh gairah harus diberi nama?

Ia tersenyum, memegang tanganku sebentar, lantas hilang ditelan pintu gerbang besar yang menganga dan seperti tidak akan pernah mengeluarkan orang yang sama ketika keluar lagi. Begitu banyak orang masuk ke gedung itu, tapi ketika keluar lagi mereka semua seperti serupa.

*

”Jangan marah,” katanya di telepon.”Kenapa?””Barangkali aku tidak akan datang.”Kami berjanji untuk bertemu di Lapangan Sang Pemimpin,

di depan gedung dengan lambang palu, sabit, dan pena.Ia tidak usah mengatakan barangkali. Ia pasti tidak akan da-

tang. Maka kudatangi tenda hiburan rakyat yang juga gratis itu, menembus gelap malam dalam kota yang nyaris tidak berlistrik. Dari jauh ia sudah melihatku datang, ia berlari seperti kijang, membawaku hilang ke balik kegelapan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 26 10/24/2020 10:13:53 AM

Page 36: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 27 10/24/2020 10:13:54 AM

Page 37: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

28

”Mengapa kamu datang? Mengapa kamu datang? Apakah kamu tidak tahu kalau kamu selalu diawasi?”

Suaranya merupakan perpaduan antara cemas, gelisah, dan senang. Apakah yang harus kukatakan? Di negeri ini, segala gagasan adalah konkret, tidak ada yang

abstrak. Perlambangan adalah pasti, dan tidak bisa ditafsir lain. Aku tidak mengerti kenapa aku datang. Apakah ia bisa mengerti, tentang seseorang yang tidak bisa mengerti? Adakah sesuatu yang bisa dimaklumi di luar kesadaran?

Jika memotret saja tidak cukup, apalagi yang bisa dilakukan seorang tukang potret? Meski hanya seorang tukang, aku tidak bisa bersikap sekadar sebagai tukang. Harus ada alasan yang kuat untuk memotret maupun tidak memotret sesuatu, dan tentu juga ada alasan yang kuat untuk membuatku menembus tirai nilai. Musik orkestra di dalam tenda sudah berbunyi—tidakkah ia mestinya sudah berloncatan dari ayunan satu ke ayunan lain di ketinggian?

”Mengapa kamu datang? Mengapa kamu datang?”Pertanyaan itu mengiang, meski ia tidak mengucapkannya

lagi. Kulihat melodrama di matanya, airmata menggenang berki-latan. Bibirnya merah dan basah.

Aku tidak perlu menjawab, karena tangannya merengkuh leherku.

Kurasa mulutnya bau kimchi.2

*

2Kimchi: makanan khas Korea.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 28 10/24/2020 10:13:54 AM

Page 38: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 29 10/24/2020 10:13:55 AM

Page 39: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

30

Enambelas tahun kemudian, sambil me-nyandang kamera digital, aku menunggu di depan gedung dengan lambang palu, sabit, dan pena itu lagi. Palu dan sabit adalah lambang buruh dan petani, lambang kelas pekerja, sedangkan pena adalah lambang kaum intelektual.

”Semangat kerja saja tidak cukup,” katanya dulu, ”menurut pemimpin kami perjuangan juga memerlukan intelektualitas.”

Patung pemuda dan pemudi yang tangan kanannya menga-cungkan bedil, pistol, palu, dan sabit, tangan kirinya sering juga membawa buku.

Enambelas tahun telah berlalu, apakah cara berpikirnya masih sama? Saat itu, di bawah pagoda Buddha pernah kutanya kepa-danya.

”Tentu kamu tidak percaya kepada Buddhisme lagi?””Aku memang tidak pernah percaya,” katanya, ”aku hanya

percaya kepada diriku sendiri.”Dunia sudah banyak berubah, mungkinkah ada yang tidak

berubah?Di samping kiri dan kanan gedung itu, masih terdapat potret

besar Karl Marx dan Lenin.”Di sebelah mana? Di bawah gambar Marx atau Lenin?””Marx,” kataku.Entah kenapa aku seperti ingin menjauhi gambar Le nin, yang

telah membuat pemikiran Marx bersimbah darah. Sambil me-nunggu di bawah lampu terang benderang, kupandang fotonya. Ia sedang meluncur di atas es, dan matanya menatap ke arahku. Sebagian dari duabelas merpati itu hinggap di lengannya yang terkembang, sebagian lagi masih beterbangan mengikutinya.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 30 10/24/2020 10:13:55 AM

Page 40: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 31 10/24/2020 10:13:55 AM

Page 41: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

32

Setelah aku memotretnya enambelas tahun yang lalu, ia memang tidak per-nah muncul ke belakang panggung. Aku menunggu seperti orang tolol sampai pertunjukan selesai, dan ia tidak pulang bersamaku. Hatiku hancur ketika itu, mes-ki barangkali tidak terlalu banyak alasan

untuk mempunyai perasaan begitu.Kemudian, dari balik kegelapan, dari tangga jalan kereta

api bawah tanah, muncul sesosok tubuh yang berjalan terpin-cang-pincang. Aku terpana. Aku begitu kagum kepada seorang penari di atas es yang bisa terbang ke atas langsung meloncat dari ayunan satu ke ayunan lain dengan ringan, seperti betul-betul terbang, sehingga aku nyaris mengira ia betul-betul seorang bida-dari—sangatlah jarang kemampuan seperti itu sekaligus dimiliki satu orang. Kini ia muncul dengan sebuah kruk di ketiaknya. Ia tidak lagi mengenakan seragam tentara dengan topi berbintang. Ia berbusana seperti petani, dengan caping dan celana khaki.

Di bawah potret raksasa Marx, segalanya menjadi jelas bagiku.”Kamu tidak tahu apa yang terjadi waktu itu—orang yang

bertugas mengikuti kamu melaporkan perbuatan kita kepada atasanku, pemimpin rombongan akrobat yang sudah berkali-kali merayuku tanpa pernah berhasil. Kecemburuannya meledak menjadi usaha mencelakakan diriku. Ia telah mengerat tali ayun-an yang dilemparkannya kepadaku, sehingga aku terjatuh ketika memegang pipa ayunan tempat kakiku biasa bergelantungan. Ka mi tidak pernah menggunakan jaring pengaman, karena kami sangat percaya kepada kemampuan kami yang terlatih. Perasaan cemburu tidaklah pernah menjadi bagian yang diperhitungkan disiplin berpikir kami.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 32 10/24/2020 10:13:55 AM

Page 42: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 33 10/24/2020 10:13:56 AM

Page 43: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

34

Aku terbayang bagaimana ia jatuh. Penonton yang tersentak me lihat pipa itu lepas, dan bagaimana perempuan terindah yang berkilauan itu melayang ke bawah. Jatuh dari ketinggian se perti itu, hanya Tuhan yang tahu kenapa ia masih hidup. Gam baran tentang bagaimana ia jatuh itu

terbayang berkali-kali da lam waktu yang singkat, berkeredap dalam kepalaku seperti pijar lampu kilat. Seandainya ia bersayap, benar-benar bersayap, se hingga ia benar-benar bisa terbang seper-ti ia benar-benar bida dari. Seandainya—tapi apakah materialisme dialektik yang di anut negeri komunis ini memberi tempat kepada gagasan tanpa bentuk?3

”Kamu memang tidak tahu, karena tidak boleh ada yang ter lihat buruk di negeri kami. Aku dilarikan ke rumah sakit lewat pintu yang lain, karena mereka tahu aku berhubungan de ngan seseorang yang tidak jelas identitasnya. Bahkan aku pun tak tahu kamu itu siapa. Di negeri ini, gagasan tentang ketidak-jelasan adalah sesuatu yang harus dijauhi, atau dihapuskan sama sekali, seperti bagaimana menghapuskan apa yang kamu sebut Tuhan....”

Lagu-lagu mars yang memuja Sang Pemimpin masih terdengar dari pengeras suara di kejauhan. Marxisme. Betapa gawat dalam pelintiran Leninisme. Apakah ia mengenal Lukacs dan Gramsci?

3Lenin dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), telah keliru mengatas-namakan Marxisme sebagai ’materialisme dialektik’, seperti disalahpahaminya dari Plekhanov, karena mentornya tersebut lebih melakukan pendekatan di-alektik daripada materialis. Plekhanov sendiri menggunakan istilah ’materialis dialektik’. Menurut David Hawkes dalam Ideology (1996), keduanya tersesat dalam memahami Marx. Baca bab ”Marxism”, hlm. 106-9.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 34 10/24/2020 10:13:56 AM

Page 44: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 35 10/24/2020 10:13:57 AM

Page 45: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

36

Apakah negeri ini mempelajari Althusser dan mengenal Sekolah Frankfurt?4

Aku tercenung, sementara ia terus ber-cerita. Setelah diadakan penyelidikan atas insiden itu, kejahatan atasannya diketahui, dan langsung mendapat hukuman mema-suki lembaga reformasi selama sepuluh

tahun, untuk mengevaluasi kembali kelakuannya.5 Namun ia yang telah menjadi cacat, tidak bisa berperan seperti bidadari lagi, bahkan karena cacatnya ia harus tinggal jauh di luar kota—karena ibukota hanya boleh berisi manusia sempurna. Padahal di negeri ini untuk be pergian antarkota saja memerlukan izin. Untuk menemuiku sekarang, ia memerlukan seribusatu izin, itupun pasti berbohong, karena ia tidak mungkin berkata jujur telah mencintai seseorang yang bukan suaminya.

Kulihat wajahnya yang kini penuh dengan kerut, bagiku ia se lamanya indah seperti ketika pertama kali aku mengenalnya. Perasaanku tidak pernah berubah, tapi beberapa jam lagi aku harus pulang ke negeriku. Pulang. Aku tidak selalu suka kata itu, meski suka atau tidak suka aku harus selalu pulang ke suatu tempat entah di mana. Terus terang, sebetulnya aku tidak pernah tahu harus pulang ke mana—itulah sebabnya aku selalu mengembara.

4Menurut Kim Jong Il, Kimilsungisme yang berdasarkan Juche harus dibe-dakan dari Marxisme-Leninisme. Namun risalah Kim Jong Il, On Correctly Under stand ing The Originality of Kimilsungism (1984), lebih banyak merupakan pernyataan daripada perbincangan kritis. Pembaca buku Kim Il Sung, On Juc-he in Our Revo lution (1982), juga akan menemukan jalan pikiran yang selalu mengacu kepada komunisme.5Baca Bab 8, Pasal 1, Ayat 145 dalam The Criminal Law of the Democratic People’s Republic of Korea (1992), hlm. 26-7.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 36 10/24/2020 10:13:57 AM

Page 46: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 37 10/24/2020 10:13:57 AM

Page 47: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

38

Kuserahkan foto itu kepadanya. Ia menghela nafas memandang dirinya me-luncur dengan satu kaki di lapangan es yang putih, muncul dari balik tabir cahaya dengan busana putih berkilauan. Kedua tangannya terkembang dengan sebagian dari dua belas merpati itu hinggap dan

sebagian lagi masih beterbangan mengikutinya. Ia memandang dirinya sendiri yang sekarang sedang menatap kepadanya. Aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Lagu-lagu mars sudah ber-henti. Lapangan Sang Pemimpin itu sepi, hanya Marx dan Lenin dalam kesunyian lampu-lampu. Seluruh kota masih gelap seperti dulu. Ia mengangkat wajahnya dari foto itu, dan menatapku. Enambelas tahun kemudian, masih juga kulihat melodrama di matanya yang berlinang-linang.

Pyongyang, 29 Agustus 2002. 23:35.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 38 10/24/2020 10:13:58 AM

Page 48: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 39 10/24/2020 10:13:58 AM

Page 49: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 40 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 50: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

41

Komposisi untuk Putih Salju

ereka berciuman dengan dahsyat di atas bukit batu di pulau karang itu sehingga langit mengerjap-erjap seperti

mata yang terbuka dan tertutup mengakibatkan semesta sebentar terang sebentar gelap seperti Batara Kala membuka dan menutup mulutnya yang berisi matahari padahal begitu banyak makhluk begitu banyak tumbuhan begitu banyak keadaan ditentukan oleh ada tidaknya matahari itu yang biasa muncul dari balik dua gunung dengan hamparan sawah kekuningan di depannya di sebelah timur dan tenggelam di pantai yang basah memantulkan langit di sebelah barat meninggalkan kubah angkasa yang mem-bara sebelum akhirnya tenggelam dalam kelam dan membuat segalanya terasa sia-sia meski tetap saja terdengar dawai harpa yang putus setiap kali dipetik meninggalkan bunyi yang aneh seperti perasaan yang hampa.

Pada senja itu juga mereka berciuman dengan dahsyat dengan penuh kerinduan dengan penuh perasaan cinta yang tertumpah seperti laut yang tumpah dari piringan bumi yang kali ini ang-gap saja mendatar sehingga bayangkanlah bagaimana laut akan tumpah ruah seperti cinta yang tertumpah dan saling bertumpah sehingga pasangan yang terus menerus berciuman itu terus me-nerus berciuman tak pernah lepas tak ingin lepas tak bisa lepas

pulau karang itu sehingga langit mengerjap-erjap seperti M

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 41 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 51: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

42

seperti patung berciuman tapi bukan patung karena mereka saling mencium dengan semangat tak kunjung padam sampai burung-burung senja yang beterbangan berhenti mengepakkan sayap meski angin tetap saja membuat burung-burung itu mela-yang dengan kepala menengok ke arah yang berciuman.

Tidak pernah ada pasangan yang berciuman dengan kehendak dan kemesraan yang sedahsyat itu ketika langit seperti tiba-tiba saja menjadi merah dengan sisa sapuan keemasan yang membuat mereka menjadi siluet dua manusia berciuman menghitam se-perti kesendirian tapi mereka tidak sendiri meski memang hanya berdua dalam dunia yang seluas mata memandang hanyalah lautan yang begitu jingga dengan angin yang menghempaskan ombak ke pulau karang itu sehingga buih ombak yang menyiprat dengan bunyi empasan ombak yang tidak bisa lain akan seperti empasan ombak yang entah terdengar entah tidak oleh pasangan yang berciuman tak lepas-lepas itu yang semakin lengket seperti patung tapi terus bergerak dalam kegelapan dengan rambut berkibar-kibar menggetarkan.

Tiada ciuman yang lebih mesra dari ciuman mereka yang dimulai entah kapan dan masing-masing tiba entah dari mana menuju puncak bukit di pulau karang itu memang sengaja untuk berciuman dengan mesra semesra-mesranya pasangan yang sedang jatuh cinta, sedang, bukan sebelum atau sesudahnya, sedang, sehing ga bisa dimaklumilah kiranya betapa mesra dan begitu penuh dengan cinta kiranya cara mereka berciuman di atas bukit batu yang menghitam dalam senja yang menggelap dan menjadi senyap ketika angin berhenti bertiup dan hanya menyisakan bunyi desah ombak yang mengempas pelahan....

*

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 42 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 52: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

43

”Jadi, apa yang akan kita lakukan kalau kita bertemu nanti?””Kita akan berciuman.””Berciuman?””Ya, habis mau apa?””Bisa kan nggak usah pakai ciuman?””Ya bisa.””Tapi kenapa harus pakai ciuman?” ”Ya, nggak harus, tapi pakai ciuman nggak apa-apa kan?””Nggak apa-apa?””Ya nggak apa-apa. Kenapa? Takut hamil?””Nggak.””Jadi kenapa?””Nggak apa-apa, seneng aja.””Nggak takut hamil?””Ciuman doang ya nggak pakai hamil-lah-yaw!” ”Bisa aja kalau diterusin.””Ya nggak usah diterusin. Janjinya ciuman doang.” ”Bisa aja keterusan.””Ya nggak apa-apa. Emang kenapa kalau keterusan?” ”Kamu bisa hamil.””Emang kenapa kalau hamil? Sudah punya suami ini!”

*

Mereka berciuman begitu rupa, lengket seperti ketan, tak peduli angin tak peduli hujan tak peduli badai tak peduli air bah melanda setinggi pohon kelapa. Ratusan ribu balatentara bergerak menya-pu desa menyapu kota menyapu negara banjir darah tak terkira mengalir naik turun bukit mengempaskan dukalara ke mana-mana. Banjir dari segala banjir menghanyutkan sejuta rumah se-juta sapi sejuta gerobak dan berjuta-juta pengungsi yang berteriak

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 43 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 53: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

44

tolong dengan sia-sia tak bersuara ketika mega-mega seperti mena-ri melihat orang-orang mengambang menggapai-gapai sia-sia sia-sia sia-sia sia-sia sia-sia melambai-lambai entah untuk apa di atas genting di atas gedung di puncak stupa di puncak gunung air bah tetap melanda.

Mereka masih terus menerus berciuman dengan asyik dengan getol dengan kemesraan terhambur begitu cepat padat seperti kilat berkerejap menggemparkan langit menggemparkan semes-ta sampai bintang-bintang berjatuhan seperti hujan terhambur menggebu-gebu mendesing-desing seperti roket o hujan meteor tercurah me nyapu bumi melewati pasangan berciuman yang tak pe duli betapa langit berkedip-kedip seperti mata maharaksasa yang mengerjap-erjap dahsyat menggila tiada berhahahihi tak ku-sangka dia begitu tega menjadi lupa kepada cinta kepada siapa saja yang berjanji di bawah pohon beringin sungsang agar tetap setia sampai mampus tiada tara o ciuman yang dahsyat yang menggele-gak berabad-abad dengan bunyi kecipak seekor ikan bersayap yang begitu muncul dari dalam air langsung terbang ke angkasa.

Ciuman yang begitu dahsyat membuat langit merah terbakar dan dari segala sudut patung yang berciuman itu tetap tampak seperti siluet bagaikan matahari ikut berputar bersama mata yang memandangnya ke seribusatu sisi aduhai bayangkanlah sepasang patung berciuman bergerak-gerak patung batu bergerak-gerak ba-gaikan se pasang insan beneran berciuman dengan bibir-bibir batu yang telah lengket berlumut menjamur jauh melebihi ketan jauh melebihi ketan sungguh-sungguh lengket begitu lengket rekat merekat tak lepas kebas meski ber abad-abad sudah bibir berte-mu bibir membatu di tengah hujan meteor yang memusnahkan dinosaurus menghanguskan rimba raya menyisakan pulau-pulau karang berbukit batu dengan fosil sepasang manusia berciuman di

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 44 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 54: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

45

dasar lautan pasir yang begitu gersang begitu merangsang meng-hangatkan badan sehingga ciuman tiada per nah lepas membatu tanpa lipstik di bibir-bibir yang semula terpisah separuh semesta dan saling menabrak se perti halilintar membakar-bakar.

Manusia-manusia purba dari segala penjuru berdatangan membawa pentung rotan pentung kayu pentung batu dan saling meraba pipi meraba rambut meraba mata meraba hidung meraba bibir meski jari tiada steril tak kenal bakteri tak kenal kuman tak kenal bibit penyakit makantar-kantar o tubruk menubruk cium mencium gulat menggulat bergeliat mengaum meraung harimau loreng harimau kumbang grrrhhh saling mengancam demi cium-an sepanjang sejarah tanpa catatan tanpa buku tanpa perpustakaan yang melarang pasangan berciuman di antara rak-rak memanjang meski huruf-huruf mengosongkan halaman berbaris ke luar ke jalan mencari bukit batu di pulau karang asal bisa berciuman di bawah langit senja yang merah membakar tanpa saksi hanya mata yang saling memandang penuh cinta penuh harapan sebelum akhirnya kelak kecewa dalam pengkhianatan aaarrggghhhh!!!!

*

”Berapa lama kita akan berciuman?””Sampai kebas.””Apa itu kebas?””Sampai mati rasa.””Berapa lama kita akan berciuman sampai mati rasa?””Kenapa emang?””Jam berapa gitu aku mesti pulang.””Kenapa mesti pulang?””Yah, tahu sendirilah...””Nggak, aku nggak tahu.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 45 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 55: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

46

”Payah, kamu sendiri seorang istri, kan? Apa nggak pernah pura-puranya mengharap suamimu pulang?”

”Pura-puranya sih selalu.””Hahahaha!””Hihihihihi!””Hehehehe!””Hohohoho!”

*

Langit bergetar-getar bumi bergerak-gerak jalan tol ambruk dan sungai meluap ketika pasangan itu dengan sangat pelan sangat hati-hati sangat mesra mulai ber ciuman dengan lembut tertahan-tahan dari kiri ke kanan meleset sana meleset sini tapi akhirnya segera menggebu seperti mobil balap formula satu menembus ruang menembus waktu menembus nilai menembus hewes-hewes sampai langit tak cukup bergetar tapi berdenyar-denyar seperti cahaya mahacahaya yang silau mahasilau merestui pasangan yang berciuman dengan hati dan dada terbakar sehingga laut menguap ikan bersayap burung menyelam berkepak dalam kantong bolong seperti butir-butir kelereng menggelinding menjelma planet-pla-net memenuhi semesta yang bercakrawala mengapa oh mengapa tiada pernah selesai keberhinggaannya meski tak perlu menjadi terlalu pintar untuk sekadar berciuman ya sayang gadis manis be-rambut hitam mata cemerlang kekanak-kanakan berbunga-bunga mengerjap nyalang hatiku tertayang cukup diam-diam sayang pejamkan mata di kegelapan dalam malam kelam yang tenggelam nyam-nyam-nyam-nyam.

Oladalah langit oladalah bibir oladalah semesta tak kebas tak lepas menjola-jola sayang disayang orkestra mahaorkestra meng-gaungkan cinta sekejap bak halilintar menyambar-nyambar me-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 46 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 56: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

47

ngejar Ki Ageng Sela di lapangan hujan angan-angan tak bertepi mencari anak cucunya yang menjelma patung-patung batu yang berciuman di pulau karang di atas bukit batu menjelma serikat hantu-hantu penyebar asap dupa kemenyan hmmm nyam-nyam ciuman yang lengket seperti ketan tak lepas tak kebas sepanjang zaman berabad-abad ratusan abad sampai menjadi patung batu berlumut yang terus menerus bergerak krrttk krrrtttkkk bercium-an seperti monster ber ciuman seperti dongeng Pangeran dan Putih Salju yang bangun karena ciuman aduhai cerita anak sebelum tidur dalam latar belakang suara knalpot menggeber-geber sialan kurangajar tak tahu orang lagi berciuman pura-pura mesra pura-pura cinta padahal memang cinta wahai siapa bisa menyangkalnya duhai putih malam di bawah tiang listrik di pinggir jalan.

Para penemu ciuman mengangguk-angguk cengangas cenge-nges ketawa meneteskan airmata melihat pengikut peserta antri memanjang menghendaki jadi patung batu yang berciuman dalam siluet sendu melankoli palsu huhuhuhu hikhikhikhik kenapa kau cium dia dan bukan aku hikhikhikhik menyebalkan sekali jadilah Putih Salju kataku jadilah Putih Salju yang pura-pura tak tahu me-nahu padahal selalu menunggu hmmm nyam-nyam-nyam hmmm tapi kapan Pangeran itu datang entahlah tenanglah sambil me-nunggu biarlah kau kucium lebih dulu dan pejamkan matamu ca-rilah bibirku dan berabad-abad lewat sudah sampai kita mem batu dikira patung dibongkar tukang batu dijadikan cobek pembikin sambal terasi hatsyiiiiiiii! Ciuman terlepas pasangan terkaget-kaget di manakah aku kata mereka di manakah aku di manakah aku di manakah aku?

Mmmwwwhhh!!!

Palmerah Selatan-Pondok Aren,13-14 Agustus 2002.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 47 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 57: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

48

Kyoto monogatari

erbuat dari apakah kenangan? Aku tidak pernah bisa menger ti, mengapa pemandangan itu selalu kembali

dan kembali lagi: suatu pemandangan yang kudapatkan ketika kereta api shinkansen itu tiba-tiba menembus daerah salju dan kulihat se orang perempuan berjalan di luar rumah sendirian dalam badai. Apakah yang dikerjakan seorang perempuan da-lam badai yang meng gebu seperti itu? Tidak banyak rumah di dataran salju yang kulihat itu, dan hanya perempuan itu yang tampak dalam keluasan serba putih dan memutih sampai di batas cakrawala. Udara penuh dengan salju yang beterbangan karena tiupan badai sehingga perempuan yang berjalan dengan lambat itu tampak menapak dengan begitu berat. Apakah yang dilakukannya dalam badai bersalju seperti itu? Aku tidak bisa memperkirakan apa pun dan aku harus menerima kenyataan betapa aku tidak akan pernah tahu.

Pemandangan itu bagiku memilukan, bukan hanya karena merasakan kembali dingin yang merasuk dan membekukan, tapi karena gagasan akan kesendirian dalam keluasan padang memu-tih itu. Berjalan sendirian di tengah padang salju dalam badai yang dingin dengan suaranya yang menggiriskan tidaklah terlalu menyenangkan. Dari balik jendela kereta api suara itu sudah

erbuat dari apakah kenangan? Aku tidak pernah bisa menger ti, mengapa pemandangan itu selalu kembali T

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 48 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 58: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

49

teredam, tapi aku pernah mengalami badai bersalju dengan su-aranya yang menggiriskan di Mongolia, sehingga aku tahu pasti ada sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi sampai perempuan itu harus berjalan susah payah dengan sepatu yang setiap kali harus diangkat tinggi karena melesak ke dalam tumpukan salju dalam badai yang kencang dan begitu dingin seperti itu.

Semuanya sudah kulupakan, termasuk jurusan kereta api itu: menuju Kyoto dari Tokyo, ataukah menuju Osaka dari Kyoto, aku tidak bisa ingat lagi—tinggal kenangan akan seorang perem-puan yang melangkah dengan berat dalam badai dan hujan salju.

Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan, tapi aku tidak bisa menceritakan apa pun tentang perem puan itu.

*

Terbuat dari apakah kenangan? Dari saat ke saat aku masih bertanya-tanya, apakah kiranya yang dilakukan perempuan yang kulihat berjalan sendirian di padang salju itu? Waktu kereta api lewat dan aku menengok dari balik jendela, tampak ia baru saja keluar rumah. Jejak-jejaknya terlihat menapak dari sebuah pintu. Masih selalu mengganggu ingatanku dari waktu ke waktu, apakah ada seseorang yang ditinggalkan di dalam rumah itu, atau memang kosong saja di dalamnya sehingga barangkali ia pergi begitu saja tanpa mengunci pintu? Tentu saja aku tidak melihat perempuan itu keluar dari rumahnya, sehingga aku juga tidak tahu apakah ia mengunci atau tidak mengunci pintu itu sama sekali. Kereta api itu lewat begitu cepat, seperti angan-angan melintas, tapi pemandangan yang kulihat kemudian seperti tidak akan pernah pergi lagi untuk selama-lamanya.

Mengherankan bahwa kenangan seringkali terpendam begitu lama dan muncul begitu saja tanpa ada sebab yang harus meng-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 49 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 59: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

50

hubungkannya. Aku masih selalu penasaran dan bertanya-tanya, mengapa suatu kenangan bisa terpendam begitu lama sampai muncul tiba-tiba pada waktu dan tempat yang tiada pernah akan terduga. Kenangan itu kadang-kadang bisa muncul kembali seka-li saja dalam seumur hidup, terkenang sekali lantas tiada pernah datang kembali. Bagaimanakah caranya suatu peristiwa berubah menjadi kenangan, tapi yang terpendam begitu lama sampai suatu ketika mengingatkan dirinya pernah terjadi, sekali, lantas tak pernah muncul lagi? Bukankah ajaib untuk membayangkan bagaimana caranya kenangan tersimpan dan muncul kembali atau sama sekali tidak pernah muncul kembali meskipun tetap ada entah di mana di sebuah dunia yang tiada akan pernah kita ketahui seperti apa?

Ada kalanya suatu peristiwa juga ingin kita lupakan karena kepahitan yang menyertainya. Selalu ada peristiwa dalam hidup ini yang ingin kita hapus saja dari kenangan, seperti tidak pernah terjadi, meski tetap saja teringat sampai mati—rupanya selalu ada alasan untuk mengenangkan kembali semua peristiwa yang sungguh mati ingin kita lupakan saja sampai habis tanpa sisa.

Hmm. Terbuat dari apakah kenangan? Bagaimanakah caranya mele-

paskan diri dari kenangan, dari masa lalu yang tiada pernah sudi melepaskan cengkeraman kepahitannya pada masa kini?

Kenangan barangkali saja tidak selalu utuh: sepotong jalan, daun berguguran, ombak menghempas, senyuman yang manis, langit yang merah dengan mega-mega berarak dalam cahaya keemasan; tapi bisa juga begitu utuh ketika menikam langsung ke dalam hati seperti sembilu. Tidak mungkinkah kenangan yang pahit kembali sebagai sesuatu yang manis? Kenangan seperti diciptakan kembali oleh waktu, membuat masa lalu tak pernah

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 50 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 60: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

51

berlalu, bahkan mempunyai masa depan untuk menjadi bermak-na baru.

Mungkinkah kenangan itu seperti suatu dunia, tempat kita bisa selalu mengembara di dalamnya?

Aku mempunyai kenangan yang lain di Kyoto, yang selalu menjadi nyata karena sebuah genta. Kenanganku adalah bunyi genta itu, genta kecil yang akan berdenting oleh angin yang ber-hembus perlahan, yang bisa kubawa pulang dan mengingatkan kembali segalanya. Angin itu harus berhembus perlahan seperti ketika aku pertama kali mendengarnya, dan dengan demikian bunyi genta itu mengembalikan suatu masa yang telah berlalu. Bagaimanakah suatu masa yang telah berlalu bisa kembali lagi dan mengembalikan perasaan dan suasana yang sama seperti ketika aku mengalaminya, aku sama sekali tidak pernah bisa mengerti.

Kenanganku tentang pemandangan di luar jendela kereta api shinkansen itu selalu kembali bukan karena bunyi denting genta kecil itu. Kenangan itu selalu kembali seolah-olah tanpa penyebab apa pun, atau setidaknya aku tidak pernah tahu pasti apa yang selalu mengembalikan kenangan itu kepadaku. Apakah karena aku bertanya-tanya apa yang terjadi di dalam rumahnya? Apakah ada seorang anak yang tergeletak dan sakit parah di sana, sehingga perempuan itu harus keluar rumah mencari obat dalam badai seperti itu? Perempuan itu menapaki salju dengan langkah yang berat, dan tetap akan berat meski sepanjang hidupnya ia tinggal di sana sehingga tentunya juga terbiasa dengan alam dan iklim seperti itu. Langkahnya berat dan udara begitu dingin, apakah kiranya yang begitu mendesak?

Kereta api itu memasuki daerah salju dengan begitu tiba-tiba seperti pesawat antariksa menembus batas luar angkasa. Dalam

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 51 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 61: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

52

kenanganku seperti terjadi sebuah ledakan, dan hanya daerah salju itu saja yang menjadi kenanganku seterusnya. Bukan di luar daerah itu, bukan pula ketika di dalam kereta api itu. Dalam kenangan itu aku tidak pernah melihat diriku sendiri sedang memandang dari balik jendela.

Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan, tapi aku tidak bisa menceritakan apa pun tentang perempuan itu.

*

Terbuat dari apakah kenangan? Aku tidak ingin mengingat se suatu, tapi ada suatu kenangan yang selalu kembali. Aku ingin sekali mengingat-ingat sesuatu, tapi barangkali aku akan lupa untuk selama-lamanya. Aku juga selalu teringat sesuatu yang tidak pernah kuceritakan kembali, tidak pernah kukatakan, tidak pernah kuapa-apakan, karena kenangan itu memang hanya bertengger saja dalam kepala.

Namun mungkin saja peristiwa ini terjadi. Perempuan itu berjalan di dataran salju meninggalkan jejak

yang panjang. Tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perempuan itu pergi. Di dalam rumah seorang lelaki menunggu perempuan itu kembali. Dunia memutih dan kelabu, lampu-lampu menyala menjelang gelap.

Lelaki di dalam rumah itu menunggu dalam gelap, bertanya-tanya tentang kenapa perempuan itu pergi begitu lama dan tidak juga kembali.

Kemudian ia juga keluar, mencari ke mana kiranya perempu-an itu pergi.

Ia mengikuti jejaknya. Ia mengikuti jejaknya sepanjang jalan, sepanjang padang, sepanjang kepahitan yang meruyak di dalam hatinya.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 52 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 62: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

53

”Kamu mau ke mana?””Tidak ke mana-mana.””Cuaca seperti ini dan kamu keluar dan kamu bilang tidak ke

mana-mana.””Aku memang tidak ke mana-mana.” Ia mengikutinya, dan ia tidak tahu perempuan itu pergi ke

mana. Mungkinkah jejak ini mencapai suatu tempat yang tidak pernah ingin diketahuinya?

Kalau kereta api itu lewat sedetik lebih cepat atau sedetik lebih lambat, tentunya aku akan melihat pemandangan yang berbeda, dan kenanganku akan menjadi lain. Aku akan selalu teringat sesuatu yang lain, tapi yang tidak mungkin kuketahui dengan pasti kiranya seperti apa.

Mungkin sebelumnya ada lelaki lain di luar rumah, dan perempuan itu melihat lewat jendela.

Mungkin itu beberapa menit sebelumnya, bukan hanya sede-tik sebelumnya.

Bagaimana kalau kereta api itu lewat beberapa menit lebih lambat?

Barangkali akan kulihat seorang lelaki berjalan di tengah padang salju, mengikuti bekas jejaknya kembali, berjalan lambat menuju rumah itu.

Dari kejauhan, dari dalam kereta api yang meluncur begitu cepat, pasti tidak akan kulihat pisau berdarah yang masih di-genggamnya.

Masih ada kepahitan di wajah lelaki yang muram itu. Peristiwa ini tentu tidak pernah terjadi. Kereta api melewati

tempat itu beberapa menit sebelum atau sesudahnya tidak akan mengubah apa-apa. Tidak ada satu kemungkinan yang memberi peluang kepada pengetahuan yang utuh.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 53 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 63: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

54

Sebetulnya aku selalu membayangkan seandainya kereta api itu lewat ketika perempuan itu sudah menjadi mayat dan terkapar di depan rumahnya. Aku selalu membayangkan ada bekas-bekas darah di atas salju. Barangkali lebih baik mayat itu tidak ada, dan hanya ada bekas darahnya. Ada bekas seretan yang panjang dan berdarah.

Namun sebetulnya aku hanya melihat seorang perempuan melangkah keluar dari rumahnya dalam hujan dan badai salju. Aku bahkan tak tahu itu memang rumahnya atau bukan, dan aku tidak melihatnya membuka pintu, menutupnya kembali, dan melangkah ke padang salju. Aku hanya melihatnya sedang berjalan dengan susah payah sehingga terbentuk jejak dari sebuah rumah ke tempatnya sedang melangkah.

Namun mungkinkah bisa dipastikan peristiwa itu tidak per-nah terjadi? Apakah ada sesuatu di dunia ini yang bisa kita ketahui dari segala kemungkinan, serentak, dan seutuh-utuhnya?

Dalam kereta api shinkansen yang meluncur dengan kecepat-an peluru, aku hanya tahu perasaanku menjadi rawan. Memasuki daerah itu bola-bola salju berhamburan dan pecah di jendela. Semua itu mestinya tidak mungkin terjadi, tapi aku tidak pernah tahu apa yang telah dan akan terjadi. Betapa sedikit yang bisa kita ketahui dalam hidup yang begitu singkat.

Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan. Sayang sekali, aku tidak bisa menceritakan apa pun tentang

perempuan itu.

Durban-Cape Town,Maret 2002.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 54 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 64: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

55

Legenda Wongasu

uatu ketika kelak, seorang tukang cerita akan menutur-kan sebuah legenda, yang terbentuk karena masa krisis

ekonomi yang berkepanjangan, di sebuah negeri yang dahulu pernah ada, dan namanya adalah Indonesia. Negeri itu sudah pecah menjadi berpuluh-puluh negara kecil, yang syukurlah semuanya makmur, tetapi mereka masih disatukan oleh bahasa yang sama, yakni Bahasa Indonesia, sebagai warisan masa lalu.

Barangkali tukang cerita itu akan duduk di tepi jalan dan dikerumuni orang-orang, atau memasang sebuah tenda dan me-masang bangku-bangku di dalamnya di sebuah pasar malam, atau juga menceritakannya melalui sebuah teater boneka. Bisa boneka yang digerakkan tali, bisa boneka wayang golek, bisa juga wayang magnit yang digerakkan dari bawah lapisan kaca, dengan panggung yang luar biasa kecilnya. Untuk semua itu, ia akan menuliskan di sebuah papan hitam: Hari ini dan seterusnya ”Legenda Wongasu”.

Berikut inilah legenda tersebut: ”Untung masih banyak pemakan anjing di Jakarta,” pikir

Sukab setiap kali merenungkan kehidupannya. Sukab memang telah berhasil menyambung hidupnya berkat selera para pemakan anjing. Krisis moneter sudah memasuki tahun kelima, itu berarti

kan sebuah legenda, yang terbentuk karena masa krisis ekonomi yang berkepanjangan, di sebuah negeri yang dahulu S

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 55 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 65: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

56

sudah lima tahun Sukab menjadi pemburu anjing, mengincar anjing-anjing yang tidak terdaftar sebagai peliharaan manusia, memburu anjing-anjing tak berpening yang sedang lengah, dan tiada akan pernah mengira betapa nasibnya berakhir sebagai tongseng.

Semenjak di-PHK lima tahun yang lalu, dan menganggur lontang-lantung tanpa punya pekerjaan, Sukab terpaksa menjadi pemburu anjing supaya bisa bertahan hidup. Kemiskinan telah memojokkannya ke sebuah gubuk berlantai tanah di pinggir kali bersama lima anaknya, sementara istrinya terpaksa melacur di bawah jembatan, melayani sopir-sopir bajaj. Dulu ia begitu miskin, sehingga tidak mampu membeli potas, yang biasa dium-pankan para pemburu anjing kepada anjing-anjing kurang pikir, sehingga membuat anjing-anjing itu menggelepar dengan mulut berbusa.

Masih terbayang di depan matanya, bagaimana ia mengeli-lingi kota sambil membawa karung kosong. Mengincar anjing yang sedang berkeliaran di jalanan, menerkamnya tiba-tiba se-perti harimau menyergap rusa, langsung memasukkannya ke dalam karung dan membunuhnya dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini. Sukab tidak pernah peduli, apakah ia berada di tempat ramai atau tempat sepi. Tidak seorang pun akan menghalangi pekerjaannya, karena anjing yang tidak terdaftar boleh dibilang anjing liar, dan anjing liar seperti juga binatang-binatang di hutan yang tidak dilindungi, boleh diburu, dibinasa-kan, dan dimakan.

Apabila Sukab sudah mendapatkan seekor anjing di dalam karungnya, ia akan berjalan ke sebuah warung kaki lima di tepi rel kereta api, melemparkannya begitu saja ke depan pemilik warung sehingga menimbulkan suara berdebum. Pemilik warung

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 56 10/24/2020 10:13:59 AM

Page 66: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

57

akan memberinya sejumlah uang tanpa berkata-kata, dan Su-kab akan menerima uangnya tanpa berkata-kata pula. Begitulah Sukab, yang tidak beralas kaki, bercelana pendek, dan hanya mengenakan kaus singlet yang dekil, menjadi pemburu anjing di Jakarta. Ia tidak menggunakan potas, tidak menggunakan tongkat penjerat berkawat, tapi menerkamnya seperti harimau menyergap rusa di dalam hutan.

Ia berjalan begitu saja di tengah kota, berjalan keluar-masuk kompleks perumahan, mengincar anjing-anjing yang lengah. Di kompleks perumahan semacam itu anjing-anjing dipelihara manusia dengan penuh kasih sayang. Bukan hanya anjing-anjing itu diberi makanan yang mahal karena harus diimpor, atau diberi makan daging segar yang jumlahnya cukup untuk kenduri lima keluarga miskin, tapi juga dimandikan, diberi bantal untuk tidur, dan diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan setiap bulan sekali. Sukab sangat tidak bisa mengerti bagaimana anjing-anjing itu bisa begitu beruntung, sedangkan nasibnya tidak seberuntung anjing-anjing itu.

Namun anjing tetaplah anjing. Ia tetap mempunyai naluri untuk mengendus-endus tempat sampah dan kencing di bawah tiang listrik. Apabila kesempatan terbuka, tiba-tiba saja mereka sudah berada di alam belantara dunia manusia. Di alam terbuka mereka terpesona oleh dunia, mondar-mandir ke sana kemari seperti kanak-kanak berlarian di taman bermain, dan di sanalah mereka menemui ajalnya. Diterkam dan dibinasakan oleh Sukab sang pemburu, untuk akhirnya digarap para pemasak tongseng.

”Sukab, jangan engkau pulang dengan tangan hampa, anak-anak menantimu dengan perut keroncongan, jangan kau buat aku terpaksa melacur lagi di bawah jembatan, hanya supaya mereka ti-dak mengais makanan dari tempat sampah,” kata istrinya dahulu.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 57 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 67: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

58

Kepahitan karena istrinya melacur itulah yang membuat Su-kab menjadi pemburu anjing. Hatinya tersayat-sayat memandang istrinya berdiri di ujung jembatan, tersenyum kepada sopir-sopir bajaj yang mangkal, lantas turun ke bawah jembatan bersama salah seorang yang pasti akan mendekatinya. Di bawah jembatan istrinya melayani para sopir bajaj di bawah tenda plastik, hanya dengan beralaskan kertas koran. Tenda plastik biru itu sebetulnya bukan sebuah tenda, hanya lembaran plastik yang disampirkan pada tali gantungan, dan keempat ujungnya ditindih dengan batu. Sukab yang berbadan tegap lemas tanpa daya setiap kali melihat istrinya turun melewati jalan setapak, menghilang ke bawah tenda.

”Inilah yang akan terjadi jika engkau tidak bisa mencari ma-kan,” kata istrinya, ketika Sukab suatu ketika mempertanyakan kesetiaannya, ”pertama, aku tidak sudi anak-anakku mati kela-paran; kedua, kamu toh tahu aku ini sebetulnya bukan istrimu.”

Perempuan itu memang ibu anak-anaknya, tapi mereka me-mang hanya tinggal bersama saja di gubuk pinggir kali itu. Tidak ada cerita sehidup semati, surat nikah apalagi. Mereka masih bisa bertahan hidup ketika Sukab menjadi buruh pabrik sandal jepit. Meski tidak mampu menyekolahkan anak dan tidak bisa mem-belikan perempuan itu cincin kalung emas berlian rajabrana, kehidupan Sukab masih terhormat, pergi dan kembali seperti orang punya pekerjaan tetap. Ketika musim PHK tiba, Sukab tiada mengerti apa yang bisa dibuatnya. Kehidupannya sudah terme sinkan sebagai buruh pabrik sandal jepit. Begitu harus cari uang tanpa pemberi tugas, otaknya mampet karena sudah tidak biasa berpikir sendiri, nalurinya hanya mengarah kepada satu hal: berburu anjing.

Itulah riwayat singkat Sukab, sampai ia menjadi pemburu an-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 58 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 68: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

59

jing. Kini ia mempunyai beberapa warung yang menjadi pelang-gannya di Jakarta. Tangkapan Sukab disukai, karena ia piawai ber-buru di kompleks perumahan gedongan. Konon anjing pelihara an orang kaya lebih gemuk dan lebih enak dari anjing kampung yang berkeliaran. Namun Sukab tidak pandang bulu. Ia berjalan, ia memperhatikan, dan ia mengincar. Anjing yang nalurinya tajam pun bisa dibuatnya terperdaya. Apa pun jenisnya, dari chihua-hua sampai bulldog, dari anjing gembala Jerman sampai anjing kampung, seperti bisa disihirnya untuk mendekat, lantas tinggal dilumpuhkan, lagi-lagi dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.

Perburuan anjing itu menolong kehidupan Sukab. Perempu-an yang disebut istrinya meski mereka tidak pernah menikah itu tak pernah pergi lagi ke bawah jembatan, melainkan memasak kepala anjing yang diberikan para pemilik warung kepada Sukab. Seperti juga ia melemparkan karung berisi anjing kepada pemilik warung sehingga menimbulkan bunyi berdebum, begitu pula ia melemparkan kepala anjing itu ke hadapan perempuan itu. Anak-anak mereka yang jumlahnya lima itu menjadi gemuk dan lincah, tetapi dari sinilah cerita baru dimulai.

*

Sepanjang rel, tempat ia selalu membawa karung berisi anjing, anak-anak berteriak mengejeknya.

”Wongasu! Wongasu!”Mula-mula Sukab tidak peduli, tapi kemudian perempuan

yang disebut istrinya itu pun berkata kepadanya. ”Sukab! Mereka menyebut kita Wongasu!””Kenapa?” ”Katanya wajah kita mirip anjing.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 59 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 69: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

60

Mereka begitu miskin, sehingga tidak punya cermin. Jadi me reka hanya bisa saling memeriksa.

Betul juga. Mereka merasa wajah mereka sekarang mirip an-jing.

”Anak-anak tidak lagi bermain dengan anak-anak tetangga, karena mereka semua mengejeknya sebagai Wongasu.”

Ia perhatikan, anak-anak mereka juga sudah mirip anjing. Perasaan Sukab remuk redam.

”Aduhai anak-anakku, kenapa mereka jadi begitu?” Sukab merenung sendirian. Kalaulah ini semacam karmapala karena perbuatannya sebagai pemburu anjing, mengapa hal semacam itu tidak menimpa para pemakan anjing saja? Bukankah per-buruan anjing itu bisa berlangsung, hanya karena ada juga wa-rung-warung penjual masakan anjing yang selalu penuh dengan pengunjung? Kenapa hanya dirinya yang menerima karmapala?

Orang-orang itu memakan anjing karena punya uang, begitu pikiran Sukab yang sederhana, sedangkan ia dan keluarganya me-makan hanya kepalanya saja karena tidak punya uang. Sejumlah uang yang diterimanya dari para pemilik warung, yang mestinya cukup untuk membeli ikan asin dan nasi, biasa habis di lingkar-an judi, tempat dahulu ia bertemu dengan perempuan itu—yang telanjur dicintainya setengah mati. Bukan berarti Sukab seorang penjudi, tapi ia juga punya impian untuk mengubah nasib sece-pat-cepatnya.

Namun kini mereka semua menjadi Wongasu. ”Tidak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan hidup,”

kata Sukab. Perempuan itu menangis. Wajahnya yang cantik lama-lama

juga menjadi mirip anjing. Meski sudah tidak melacur, tentu saja

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 60 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 70: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

61

ia tetap ingin kelihatan cantik. Begitu juga Sukab. Anak-anak mereka terkucil dan setiap kali berkeliaran menjadi bahan ejekan.

Sukab tetap menjalankan pekerjaannya, dan pekerjaannya memang menjadi semakin mudah. Bukan karena anjing-anjing itu melihat kepala Sukab semakin mirip dengan mereka, melainkan karena penciuman mereka yang tajam mencium bau tubuh Sukab yang rupa-rupanya sudah semakin berbau anjing. Mereka datang seperti menyerahkan diri kepada Sukab yang telah sempurna seba-gai Wongasu. Kadang-kadang Sukab cukup membuka karung dan anjing itu memasuki karung itu dengan sukarela, seperti upacara pengorbanan diri, meski Sukab tetap akan mengakhiri hidup me-reka, tentu saja dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.

Ia akan datang dari ujung rel memanggul karung berisi anjing, melemparkannya ke hadapan pemilik warung berdingklik di tepi rel sehingga menimbulkan bunyi berdebum, dan segera pergi lagi setelah menerima sejumlah uang.

Di belakangnya anak-anak kecil berteriak. ”Wongasu! Wongasu!”Pada suatu hari, ketika ia kembali ke gubuknya di pinggir

kali, seseorang berteriak kepadanya. ”Wongasu! Mereka mengangkut keluargamu!”Rumah gubuknya porak poranda. Seorang tua berkata ke-

padanya bahwa penduduk mendatangkan petugas yang membawa kerangkeng beroda. Perempuan dan anak-anaknya ditangkap. Mereka dibawa pergi.

”Ke mana?””Entahlah, kamu tanyakan sendiri saja sana!”Waktu Sukab berjalan di sepanjang tepi kali, ia mendengar

mereka berbisik-bisik dari dalam gubuk-gubuk kardus. ”Awas! Wongasu lewat! Wongasu lewat!”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 61 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 71: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

62

”Heran! Kenapa kepalanya bisa berubah menjadi kepala an-jing?”

”Itulah karmapala seorang pembunuh anjing.””Tapi kita semua makan anjing, siapa yang mampu beli

daging sapi dalam masa sekarang ini? Bukankah justru....” ”Husssss.....”Di kantor polisi terdekat Sukab bertanya, apakah mereka tahu

akan adanya pengerangkengan semena-mena sebuah keluarga di tepi kali.

”Oh, itu. Bukan polisi yang mengangkut, tapi petugas ti-bum.”

”Apa mereka melanggar ketertiban umum?” Polisi itu kemudian bercerita, bagaimana salah seorang anak

Sukab tidak tahan lagi karena selalu dilempari batu, sehingga me-ngejar pelempar batu dan menggigitnya. Bapak anak yang digigit sampai berdarah-darah itu tidak bisa menerima, lantas mengerah-kan pemukim pinggir kali untuk mengepung gubuk mereka. Keja-dian itu dilaporkan kepada petugas tibum yang tanpa bertanya ini itu segera mengangkut mereka sambil menggebukinya.

Diceritakan oleh polisi itu bagaimana perempuan dan kelima anaknya itu berhasil dimasukkan ke dalam kerangkeng, hanya setelah memberi perlawanan yang luar biasa.

”Mereka menyalak-nyalak dan berkaing-kaing seperti anjing,” kata polisi itu, seolah-olah tidak peduli bahwa wajah Sukab juga seperti anjing.

”Hati-hati lewat sana,” katanya lagi, ”mereka juga bisa me-nangkap saudara.”

”Kenapa Bapak tidak mencegah mereka, perlakuan itu kan tidak manusiawi?”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 62 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 72: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

63

Polisi itu malah membentak. ”Apa? Tidak manusiawi? Apa saudara pikir makhluk seperti

itu namanya manusia?””Mereka juga manusia, seperti Bapak!””Tidak! Saya tidak sudi disamakan! Mereka itu lain! Saudara

juga lain! Sebetulnya saya tidak bisa menyebut Anda sebagai Saudara. Huh! Saudara! Saudara dari mana? Lagi pula, Anda bisa bayar berapa?”

Sukab berlalu. Nalurinya yang entah datang dari mana serasa ingin menerkam dan merobek-robek polisi itu, tapi hati dan otaknya masih manusia. Ia berjalan di kaki lima tak tahu ke mana harus mencari keluarganya.

Setelah malam tiba, ia kembali ke pinggir kali dengan tangan hampa. Ia berjongkok di bekas gubuknya yang hancur, mena-ngis, tapi suara yang keluar adalah lolongan anjing.

Hal ini membuat orang-orang di pinggir kali lagi-lagi gelisah. Lolongan di bawah cahaya bulan itu terasa mengerikan. Ketakut-an nya membuat mereka mendatangi Sukab yang masih melolong ke arah rembulan dengan memilukan. Mereka membawa segala macam senjata tajam.

*

”Mereka membantai Sukab,” ujar tukang cerita itu, dan para pendengar menahan nafas.

”Dibantai bagaimana?””Ya dibantai, kalian pikir bagaimana caranya kalian memban-

tai anjing?””Terus?” ”Mereka pulang membawa daging ke gubuk masing-masing.””Terus?”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 63 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 73: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

64

”Terus! Terus! Kalian pikir bagaimana caranya mendapat gizi dalam krisis ekonomi berkepanjangan?”

Ada yang menahan muntah, tapi masih penasaran dengan akhir ceritanya.

”Nyang bener ajé, masa’ Sukab dimakan?” Tukang cerita itu tersenyum. ”Lho, itu tidak penting.” Orang-orang yang mau pergi karena mengira cerita berakhir,

berbalik lagi. ”Apa yang penting?””Esoknya, ketika matahari terbit, dan orang-orang bangun

kesiangan karena makan terlalu kenyang dan mabuk-mabukan, terjadi suatu peristiwa di luar dugaan.”

”Apa yang terjadi?””Ketika terbangun mereka semua terkejut ketika saling me-

mandang, mereka bangkit dan menyalak-nyalak, lari kian kemari sambil berkaing-kaing seperti anjing!”

”Haaaa?””Kepala mereka telah berubah menjadi kepala anjing!””Aaahhh!!!””Mereka-semua, telah-berubah, men-ja-di…. Wong-a-suuuu-

uuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!!!!”Lantas mulut tukang cerita membunyikan gamelan bertalu-

talu sebagai tanda cerita berakhir, sementara mulut para asisten-nya membunyikan suara lolongan anjing yang terasa begitu getir sebagai tangis perpisahan yang menyedihkan. Para penonton terlongong dengan lidah terjulur.

Di langit masih terlihat rembulan yang sama, dengan cahaya kebiru-biruan menyepuh daun yang masih juga selalu memesona.

Pertunjukan akhirnya benar-benar selesai, tukang cerita itu

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 64 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 74: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

65

memasukkan kembali wayangnya ke dalam kotak. Para penonton yang semuanya berkepala anjing itu pulang ke rumah, dengan pengertian yang lebih baik tentang asal-usul mereka sendiri. Guk!

Cirebon-Wangon-Yogyakarta,

Januari 2002.

Pesan pengarang: Sayangilah anjing, sayangilah makhluk ciptaan Tuhan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 65 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 75: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

66

Interval: All That Jaings

Pembaca yang Budiman,

Dalam lembar berikutnya,

Pem baca akan menjumpai

ko mik karya Bram Laksono,

yang pertama kali saya baca

dalam Daging Tumbuh Vol

12/12/00, sebuah media komik

gerilya. Bahkan ketika saya

menulis surat ini, sebetulnya

saya sudah lupa cerita komik

yang judulnya pun tiada jelas

itu⎯tetapi saya tidak per nah

melupakan ending-nya: mes-

kipun peradaban se macam

itu sudah berlangsung lama,

dalam komik ini terhadirkan

kembali di depan mata, de-

ngan sudut pandang yang

tidak pernah saya duga, yakni

sudut pandang korban. Meng-

ingatkan saya kepada cerpen

Yudhistira ANM Massardi yang

berjudul Anjing, tempat tokoh

”saya” ternyata adalah makh-

luk berkaki empat tersebut.

Akhir komik itu sepintas lalu

lucu, tapi sebetulnya sa ngat

me nyedihkan. Berdasar kan

ingat an yang keluar masuk

kepala itu, akhirnya saya me-

nulis Legenda Wongasu. Saya

juga tidak tahu siapa yang

menggubah komik itu ketika

selalu mengingatnya. Demi ke-

pentingan buku ini, komik itu

saya lacak kembali, karena saya

ingin melihatnya hadir bersama

cerita saya, yang secara tidak

langsung pe nulisannya terdo-

rong oleh halaman terakhir

komik tersebut. Semula, saya

hanya me nyelipkan halaman

terakhir itu saja, tetapi saya kira

memuatnya secara lengkap

akan lebih bermanfaat.

Pada gilirannya, Legenda

Wongasu mendorong lahirnya

cerita Wong Asu karya Djenar

Maesa Ayu, yang bisa dibaca

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 66 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 76: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

67

dalam kumpulan cerpennya,

Mereka Bilang, Saya Monyet!

(2002).

Namun ketiga cerita ini ma-

sing-masing sangat berbeda.

Istilah wongasu itu sendiri saya

dengar jauh sebelumnya, keti-

ka sekitar akhir tahun 1970-an,

Ipong Purnamasidhi me nyebut

kata tolpabu untuk gam bar

karya Satyagraha yang dilihat-

nya dalam sebuah pa meran.

Gambar itu adalah wajah ma-

nusia, yang mirip an jing⎯saya

sendiri belum pernah melihat

gambar tersebut. Tolpabu ada-

lah ”bahasa Dagadu” untuk

bunyi wongasu. Demi cetak

ulang ini saya telah melacak

gambar tersebut, dan ternyata

saya keliru: menurut keluarga-

nya, almarhum Satyagraha

ti dak pernah meng gambar

”Wongasu”. Se dang kan Ipong

Purnamasidhi sendiri bahkan

sudah lupa sama sekali. Jadi,

lebih dari 20 tahun saya hidup

dengan bayangan dari sebuah

gambar yang belum pernah

saya lihat, yang baru agak me -

mudar setelah saya menulis-

kannya, dipicu oleh gambar

penutup komik Bram Laksono.

Namun perkenalan per-

tama saya dengan topik ini

saya kira jauh lagi menyuruk

ke masa lalu, ketika di masa

kanak-kanak membaca Anjing

Menjadi Manusia, salah satu

cerita dalam buku seri Tjerita

Rakjat II (1962) yang diterbit-

kan Balai Pustaka. Bukunya

sendiri sempat terendam da-

lam banjir besar yang melanda

Jakarta pada Februari 2002.

Syukurlah bagian tempat ter-

dapat cerita itu masih ada, saya

pindai langsung untuk Pemba-

ca, dengan catatan, sebetulnya

cerita itu pun saya sudah lupa,

kecuali paragraf terakhirnya,

yang bagi saya sangatlah ajaib-

nya.

Selamat membaca.

SGA

Pondok Aren, Agustus 2003;

Pondok Ranji Oktober 2020.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 67 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 77: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

68

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 68 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 78: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

69

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 69 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 79: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

70

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 70 10/24/2020 10:14:00 AM

Page 80: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

71

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 71 10/24/2020 10:14:01 AM

Page 81: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

72

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 72 10/24/2020 10:14:01 AM

Page 82: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

73

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 73 10/24/2020 10:14:01 AM

Page 83: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

74

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 74 10/24/2020 10:14:01 AM

Page 84: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

75

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 75 10/24/2020 10:14:02 AM

Page 85: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

76

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 76 10/24/2020 10:14:02 AM

Page 86: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

77

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 77 10/24/2020 10:14:02 AM

Page 87: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

78

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 78 10/24/2020 10:14:02 AM

Page 88: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

79

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 79 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 89: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

80

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 80 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 90: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

81

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 81 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 91: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

82

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 82 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 92: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

83

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 83 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 93: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

84

Topeng Monyet

aktu ia menyeringai aku sudah tahu monyet itu siapa. Bumi ini cuma tempat persinggahan roh-roh yang

mencari tubuh. Ratusan ribu roh melesat kian kemari, ada yang mencari tubuh, ada yang lepas dari tubuh. Siapapun yang melihat-nya akan menyaksikan pesta kembang api. Suaranya mendesing-desing dan ratusan ribu roh itu berkelebatan kian kemari dalam rotasi. Setiap detik berlangsung perpindahan roh dari tubuh yang habis masa berlakunya, ke tempat hunian baru. Perpindahan roh dari satu tubuh ke tubuh lain melewati suatu proses pencucian kembali, dengan cara mengelilingkannya ke seantero semesta, meski hanya berlangsung dalam satu detik saja. Dengan demikian diharapkan roh-roh itu tidak membawa pengaruh ketubuhan-nya yang lama ke dalam ketubuhannya yang baru. Jika prosedur ini tidak dijalankan, dan roh yang baru keluar dari tubuh anjing memasuki tubuh manusia, begitu lahir ia bisa langsung menya-lak-nyalak. Setiap detik ada yang mati, setiap detik ada yang lahir, memberlangsungkan rotasi roh yang luar biasa.

”Beri hormat dulu,” kata Tukang Cerita, sambil memukul-mukul tambur. Maka monyet itu memberi hor mat, sama seperti letnan jenderal memberi hormat kepada jenderal. Kemudian mulailah Tukang Cerita mendongeng, sementara monyet itu memperagakannya.

W

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 84 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 94: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

85

”Adalah sebuah negeri yang didirikan oleh manu sia....”Demikianlah para penonton menyaksikan monyet itu meni-

rukan manusia. Penonton terpingkal-pingkal, anak kecil berso-rak, melihat monyet itu membawa payung, membaca buku, dan akhirnya menembakkan senapan.

Waktu ia membawa senapan kulihat matanya menyala-nyala, mulutnya menyeringai dengan kejam, aku tahu siapa dia. Mata yang menyala-nyala itu menatapku dengan tajam. Dia memang jauh lebih tua dariku, karena itu dia mati lebih dulu. Kini dia mengarahkan senapannya kepadaku, dengan mulut menyembur-kan api biru, seperti api kompor gas.

”Ibu! Ibu! Anak itu mau ditembak!”Seorang anak di bawah umur lima tahun akan mampu

melihat api biru yang menyembur itu, tapi me reka tidak tahu dari mana asalnya. Mereka tidak tahu itulah api neraka yang bisa membakar segala-galanya menjadi bencana tak tertahankan.

Kulihat Si Tukang Cerita. Tangan kirinya memegang rantai yang ujungnya mengunci leher monyet, dan tangan kanannya memegang tongkat kecil yang mampu membuat monyet itu menuruti segala perintahnya.

”Si Kliwon maju bertempur ke medan perang,” ujarnya.Monyet itu menunduk-nunduk, seperti mengintai musuh

dari balik semak-semak.”Si Kliwon menembak!”Monyet itu memegang senapannya seperti manusia membe-

rondongkan senapan mesin, sementara tongkat tadi kemudian memukul-mukul tambur. Dung-derungdung-dung-derungdung-dung-derungdung... ramai sekali suaranya.

Anak-anak di bawah lima tahun melihat semuanya. Orang-orang tidak bersenjata rubuh ke tanah bersimbah darah. Mereka

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 85 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 95: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

86

melihat siapa monyet itu dulunya. Mereka melihat orang-orang digiring ke tanah lapang dengan tangan terikat ke belakang, sam-bung menyambung sepanjang lapangan. Tubuh mereka tersen-tak-sentak ke tika ditembak. Roh mereka masing-masing melejit dan langsung bergabung dalam proses maharotasi, melejit-lejit, melesat-lesat, berkelebat begitu cepat, mendesing-desing seperti mercon sos-dor yang tidak pernah meledak, sebelum akhirnya tahu-tahu lahir kembali dalam ujud seekor katak. Kung-kang, kung-kang, kung-kang, kung-kang...

Anak-anak melihatnya, tapi mereka masih di bawah lima tahun. Tidak paham apa maknanya sejumlah orang bersenjata membantai sejumlah orang tidak ber senjata yang sebelum mati berseru: ”Allahu Akbar!”

Monyet itu menyeringai dengan mata iblis merah menyala, dari mulutnya menyembur api biru kompor gas, lantas me-nandak-nandak sambil memegang senapan di atas kepalanya. Tukang Cerita melanjutkan kata-katanya.

”Syahdan, negara berada dalam keadaan bahaya. Se tiap wila-yah ingin memisahkan diri. Raja menitahkan agar pemberontak ditumpas. Pasukan tentara diberangkatkan berperang ke pulau seberang. Para serdadu senang mendapat uang tambahan, dan ke-gemaran membunuh tersalurkan dengan pembenaran. Siapapun yang ditemui disikat tanpa pandang bulu. Siapapun yang tidak dikenal segera ditumpas, karena tidak kenal artinya asing, dan asing artinya berbahaya, dan segala sesuatu yang berbahaya harus dihapuskan....”

Tambur masih terus dipukul. Monyet itu melompat berjum-palitan. Anak kecil tertawa-tawa.

”Setelah puas membinasakan lawan yang tiada berdaya, pa-sukan tentara bersantai sambil membicarakan tindakan-tindakan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 86 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 96: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

87

ksatria, yakni membunuh dengan membabi buta. Perempuan dan anak-anaknya ditembak pula....”

Monyet itu merebahkan diri, dengan tangan kiri menyangga kepala, seperti seorang raja menikmati hiburan. Kulihat sekeli-ling. Orang-orang dewasa mengalihkan pandangannya, seperti baru saja dihadapkan kepada kenyataan. Anak-anak masih me-nonton dengan mulut ternganga.

Aku tahu siapa dia, yang bersembunyi di balik tubuh seekor monyet, karena aku telah selalu memburunya dari zaman ke za-man. Tuanku telah memerintahkan aku untuk terus mengawasi-nya. Namun aku juga bukan makhluk sempurna. Aku terlalu sering lupa untuk membuntutinya. Aku harus mengganggunya terus menerus agar ia tidak terlalu sering dan tidak terlalu mudah menyebarkan bencana. Aku harus terus mengikutinya, dari ruang ke ruang dari waktu ke waktu, sampai tidak lagi merasa bosan, meski tiada terhitung lagi berapa millen nium lamanya aku telah mengikuti dia, yang mata iblisnya suka berpijar sesaat menyala-nyala merah warnanya.

Suatu ketika aku kehilangan jejak dan aku kehilangan dia, sekejap saja sebetulnya, tapi itu sudah 100 tahun waktu bumi. Bahkan sampai aku sendiri mati dan lahir kembali berkali-kali. Sekarang tiba-tiba ia muncul di hadapanku. Menyeringai dengan mata iblis merah menyala dan dari mulutnya menyembur api biru kompor gas.

”Si Kliwon pulang dengan bangga, rasanya puas karena telah membunuh banyak manusia....”

Topeng Monyet selesai. Tukang Cerita itu memerintahkan monyetnya memberi hormat kepada para pe nonton. Monyet itu memberi hormat seperti seorang letnan jenderal memberi hormat kepada jenderal. Setelah itu mereka pergi. Aku mengikuti me-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 87 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 97: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

88

reka. Dari dalam kandang beroda yang diseret, dengan gembok besi yang terkunci, monyet itu memandangku. Tahukah ia siapa dirinya dulu? Kenalkah ia kepadaku?

*

Dari kampung ke kampung mereka mengembara, dan aku terus menerus mengikutinya. Tukang Cerita itu melirikku.

”Kamu mau apa?”Aku diam saja. Ia berjalan lagi. Aku mengikutinya lagi. Masih

kuingat tugas Tuanku agar aku jangan sampai kehilangan iblis itu lagi. Tukang Cerita itu tentu tidak mengerti apa-apa tentang mo-nyetnya. Ia sudah 50 tahun, sebagian rambutnya memutih, ditu-tupi topi tikar pandan yang sudah jebol-jebol pinggirnya. Bajunya lusuh dan warna kainnya sudah berubah. Ia menyeret kandang beroda itu naik dari kampung-kampung di tepi rawa ke kampung-kampung di perbukitan yang menghijau. Di sana mereka berhenti karena sejumlah orang yang sedang duduk-duduk di warung memintanya memainkan lakon Menunggu Godot. Maka Tukang Cerita itu pun berkisah tentang orang-orang yang menunggu Godot di bawa sebuah pohon, tapi sampai cerita berakhir Godot tidak pernah tiba. Monyet itu bermain de ngan bagus menirukan manusia-manusia yang me nunggu sambil bercakap-cakap. Tentu saja percakapan itu dilakukan oleh Si Tukang Cerita.

Cerita itu ternyata lama sekali, tapi akhirnya berakhir juga ketika senja tiba.

”Ya, mari kita pergi.” Tukang Cerita itu mengakhiri, dan monyet itu tidak bergerak.1

1Adegan penutup Menunggu Godot (1948) karya Samuel Beckett (1906-1989) yang dimainkan pertama kali di Theatre de Babylone, Left Bank, Paris, 5 Ja-nuari 1953.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 88 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 98: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

89

Orang-orang di warung bertepuk tangan, memberi upah, dan memuji-muji. Salah seorang melemparkan buah pisang kepada monyet itu, yang segera memakannya setelah mengupas kulitnya terlebih dahulu.

”Pak, monyet itu bisa memainkan lima peran dalam Menung-gu Godot, bagaimana melatihnya?”

”Ah, begitu saja, seperti melatih binatang sirkus,” kata Tu-kang Cerita itu merendah.

Lantas mereka melanjutkan perjalanan. Dalam cahaya senja yang menyapu punggung-punggung bukit kuikuti mereka naik turun jalan setapak, menembus hutan pinus, sampai turun ke sebuah lembah tempat sebuah sungai kecil mengalir. Ketika hari menjadi gelap, kulihat mata monyet itu semakin menyala.

Apa maksud Tuanku memberi tugas seperti ini, mengikuti roh keluar masuk tubuh dari abad ke abad? Apakah jalan hidup bisa ditentukan untuk selalu saling mengikuti seperti itu? Apakah artinya hidupku jika sudah ditentukan bahwa aku akan selalu membuntuti roh da lam tubuh monyet itu sepanjang semesta ini ada? Jika semesta ini merupakan ruang untuk mencuci dan menyucikan kembali roh yang melejit dari tubuh, mengapakah aku harus terus menerus mengikutinya, dan apa kah mungkin mengikutinya jika roh itu hanyalah semacam energi yang meng-hidupkan tubuh sehingga tidak ada beda antara roh satu dengan yang lain ketika sedang berkelebatan di angkasa raya? Aku tidak mengerti. Di langit kulihat sekian banyak roh melesat-lesat seperti mercon sos-dor yang tidak pernah meledak. Monyet itu tak pernah berkedip menatapku dari dalam kandangnya. Apakah ia tahu akulah yang ditugaskan Tuanku meng ikutinya? Apakah ia tahu akulah selama ini yang mengejarnya dan aku sempat

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 89 10/24/2020 10:14:03 AM

Page 99: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

90

kehilangan jejak sampai 100 tahun lamanya sehingga masa itu tercatat dalam kitab-kitab sebagai Abad Kegelapan?

Mereka tidur di tepi kali. Rembulan terang. Tukang Cerita itu mengambil kain sarung dari sebuah kotak di atas kandang beroda, lantas menggulung tubuhnya di atas batu datar yang malam itu menjadi putih kebiru-biruan. Kudengar air kali. Aku senang sekali mengikuti perjalanan mereka.

”Bukankah pada jam seperti ini kamu sudah seharusnya di rumah? Pulanglah, kalau sudah besar nanti kamu boleh meng-embara.”

O, Tukang Cerita itu tidak tahu, aku sama sekali tidak ingin mengembara. Aku harus mengawasi roh dalam tubuh monyet itu, yang mata iblis merahnya menyala-nyala, agar ia tidak mem-bunuh manusia seenak perutnya seperti selalu diperagakannya. Namun tentu saja Tu kang Cerita itu tidak akan mengerti, karena ia sudah 50 tahun. Sedangkan aku, baru seminggu lagi mencapai usia 5 tahun. Setelah itu, aku akan lupa darimana aku berasal dan ke mana aku setelah mati—yang semacam itu hanya bisa kukira-kira saja.

*

Sudah pasti aku tertidur. Lewat tengah malam, Tu kang Cerita itu membangunkan aku.

”Monyet itu hilang,” katanya dengan gugup. Kulihat kan-dangnya. Gemboknya masih terkunci.

Bandungan-Jakarta, Januari 2002.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 90 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 100: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

91

Layang-Layang

ari sudah gelap, tapi aku belum menurunkan layang-layangku. Di lapangan ini, aku sudah tidak bisa

melihat apa-apa lagi. Angin yang membawa dingin mengingat-kanku bahwa hari sudah malam. Ibu mungkin sudah me nunggu, namun aku tidak merasa harus menurunkan layang-layangku, meskipun aku sudah tidak bisa melihatnya lagi. Bisakah kau bayangkan suatu perasaan apabila kita memegang benang dari layang-layang yang tidak kelihatan di langit malam, dengan pengetahuan bahwa be nang itu menghubungkan kita dengan sesuatu yang be lum kita ketahui di atas sana?

Aku memegang benang layang-layang itu, bergetar-getar se-perti mengajakku terbang, bahkan sudah memberikan kepadaku suatu perasaan berada di ketinggian, sehingga meskipun aku berada di bumi, kadang-kadang rasanya seperti mau jatuh.

Semua orang sudah pulang. Tinggal aku sendiri di lapang-an ini, memegang benang yang terulur bagaikan tak terukur, mengikuti penjelajahan layang-layangku di angkasa yang luas dan sepi. Aku telah menggunakan tiga gulung benang gelasan yang kuat dan kokoh. Sore ini telah kukalahkan dua lawan yang kuat dari desa tetangga, yang pertama sebaya denganku, tapi yang kedua sudah punya cucu. Apabila musim layang-layang

H

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 91 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 101: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

92

tiba, semua orang memang keluar dari rumahnya. Meskipun tampaknya layang-layang hanya pantas dimainkan anak-anak SD atau SMP, tapi setahuku anak SMU, mahasiswa, maupun orang-orang yang sudah berkeluarga, bahkan sudah beranak cucu juga memainkannya. Kadang-kadang jauh sebelum sore tiba, semua orang sudah menaikkan layang-layangnya. Bertarung menguji ketajaman benang gelasannya, dengan kehendak yang kuat untuk mendapat kemenangan.

Aku masih memegang benang gelasan itu, aku harus hati-hati supaya jariku tidak terluka. Aku pernah melihat bagaimana benang gelasan itu dibuat, dan benang gelasan itu sebenarnya memang cukup mengerikan. Ku lihat bagaimana kaca ditum-buk, dicampur dengan kanji dan dilumaskan kepada benang itu dengan tangan. Be nang itu dipentang memutari sejumlah tiang dan orang-orang melumasinya. Banyak orang membeli benang gelasan, tapi banyak juga yang membuat sendiri, dengan semangat untuk memburu dan menghancurkan. Benang gelasan buatan sendiri biasanya jauh lebih tajam, dan kadang-kadang di-buat tanpa pertimbangan keamanan, sepertinya layang-layang itu bukan permainan anak kecil. Kita harus mengenakan pelapis jari dari kulit, seperti yang digunakan untuk katapel, supaya aliran benang tajam itu tidak mengiris jari sampai berdarah-darah.

Pernah suatu ketika terjadi kecelakaan yang menge rikan, seorang anak yang sedang bersepeda menjadi buta matanya karena benang gelasan terpentang di tengah jalan dari sebuah layang-layang yang sedang dinaikkan. Bahkan seorang perempu-an yang bekerja sebagai guru, meninggal karena benang gelasan yang dahsyat itu menyambar lehernya, ketika ia sedang naik sepeda. Kalau ia tak punya tulang leher, niscaya kepalanya sudah putus dan menggelinding di jalanan karena ketajaman benang

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 92 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 102: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

93

itu. Berita di koran tentang kecelakaan mengerikan itu berkisah, tentang bagaimana darah mengalir berbuncah-buncah membuat tanah jadi merah.

Dengan benang semacam itulah kubabat putus sekali sambar layang-layang lawan dari desa sebelah, seperti elang mematuk mer-pati, dan layang-layang putus itu melayang tak pernah kembali.

Lawan berikut jauh lebih berat. Aku menghadapi kakek yang datang ke lapangan dengan cucunya. Kami bertarung lebih dari dua jam. Di angkasa yang biru layang-layang kami saling berkejaran seperti dua ekor burung elang.

”Hajar dia! Hajar dia!” ujar Tero dan Tarpa, kawan-kawanku yang memegang gulungan benang. Kami selalu pergi bersama dalam permainan layang-layang. Mereka bergantian memegang gulungan benang, mengurainya dalam pertarungan agar lancar melaju, tetapi selalu aku yang mengendalikan layang-layangnya.

Hari itu Tarpa terpaksa berlari ke rumahnya, untuk meng-ambil gulungan benang gelasan tambahan, setelah gulungan benangku disambung gulungan benang Tero, dan ternyata masih tidak cukup juga. Layang-layang kami bertarung semakin tinggi. Hanya setelah matahari terbenam musuh berat itu bisa kukalah-kan. Layang-layang nya yang putus melayang entah ke mana di kegelapan malam.

Hmm. Kali ini kakek itu tidak akan bisa menghibur cucunya. Kulihat di kejauhan, mereka pulang. Tero dan Tarpa menunggu.

”Aku masih main,” kataku.”Malam gelap begini? Siapa yang mau jadi lawan?”Aku tidak bisa menjawab, karena aku sendiri tidak tahu pasti

kenapa aku tidak menurunkan layang-layangku. Untuk layang-layang dengan ketinggian seperti ini, setidaknya perlu waktu lebih dari satu jam untuk menurunkannya, tetapi aku tidak ingin

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 93 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 103: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

94

menurunkannya. Tero dan Tarpa sudah pulang, tinggal aku sen-dirian di lapangan, memegang benang yang menjulur ke langit, dengan perasaan bertanya-tanya. Aku merasa layang-layangku seperti sesuatu yang hidup, seperti bagian diriku yang kini berada di atas sana, tetapi yang aku sen diri hanya bisa merasakannya melewati getaran-getaran benang gelasan. Getaran benang itu memberikan kepadaku perasaan yang aneh tapi memesona, yang membuatku terus menerus ingin merasakannya.

*

”Layang-layang ini Nak, menghubungkan kamu dengan langit,” kata Sukab.

Layang-layang itu memang kudapat dari Sukab, se orang pembuat layang-layang yang sebetulnya tidak terkenal. Kalau ingin mendapatkan layang-layang untuk bertarung, orang mem-beli atau memesan dari Pak Basuki, Pak Daruno, atau Pak Pri. Konon layang-layang yang mereka buat sangat istimewa, karena bisa menyambar-nyambar seperti burung elang. Setiap pembuat layang-layang itu memberi tanda kepada layang-layangnya dengan cat air. Pak Basuki membuat garis merah melintang, Pak Daruno membuat garis hijau mendatar, dan Pak Pri membuat tanda silang hitam, bagaikan ancaman kematian. Namun layang-layang Sukab hanya berwarna putih yang berasal dari kertas tipis itu. Barangkali karena warna putih yang tidak memikat inilah maka layang-layang Sukab tidak terlalu banyak dipesan. Para pedagang layang-layang lebih suka memesan layang-layang serba warna-warni, lantas men-jualnya di tepi jalan. Para petarung layang-layang juga memesan langsung dengan sejumlah permintaan tertentu, seperti seorang ksatria memesan keris kepada seorang empu, kepada tiga orang tadi, dan bukan Sukab.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 94 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 104: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

95

Meskipun begitu menurut pendapatku Sukab adalah seorang pembuat layang-layang yang handal. Sukab buta huruf, ia tidak bisa membaca, tetapi pasti memahami hukum-hukum kepastian dalam ilmu alam. Layang-layang Sukab itu, kalau kutegakkan di telapak tanganku ketika tidak ada angin, tidak pernah jatuh. Bila ada angin, aku hanya perlu melepaskannya maka ia akan segera melayang, tanpa pernah melawan kemauanku se perti la-yang-layang lain, yang sangat sering harus ke kanan dan ke kiri dulu seperti tidak rela diterbangkan angin, kadang-kadang malah langsung nyungsep ke tanah. Layang-layang Sukab, begitu dilepaskan langsung naik tegak lurus, dengan benang juga lurus, tidak pernah melengkung, sehingga aku tidak perlu menarik be-nang terlalu jauh ke kiri dan ke kanan untuk mengendalikannya dalam hembusan angin. Ia hanya perlu dilepaskan, setelah itu seolah-olah aku bisa mengendalikannya de ngan hati.

Aku tahu Sukab pembuat layang-layang yang handal dan ka-rena itu aku selalu membeli layang-layang ke gubuknya. Sebelum membuat layang-layang ia memperhatikan kecenderungan arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan keadaan tempat layang-layang itu akan dinaikkan. Bahkan ia juga mempertimbangkan siapa yang akan menaikkannya, tinggi tubuhnya, umurnya, si-fat-sifatnya, perilakunya, dan segala macam. Mungkin ini juga yang membuat orang malas memesan layang-layang kepadanya, dan dengan cara begitu layang-layangnya memang tidak dibuat untuk orang banyak yang tidak dikenalnya sama sekali.

”Layang-layang yang baik, datang dari hati,” katanya, ”dia bukan sekadar benda mati.”

Kulihat bagaimana ia membuat kerangka layang-layang itu dengan bambu yang ditipiskannya pelan-pelan, mengikatkan benangnya dengan hati-hati dari ujung ke ujung, menimang,

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 95 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 105: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

96

mengukur, menegakkannya, meniup kertasnya sebelum dipa-sang, dan seterusnya. Apabila sudah selesai, ia tegakkan layang-layang itu di lantai tanah rumahnya, dan layang-layang Sukab tidak pernah jatuh.

Kini aku memegang benang yang menjulur ke langit. Aku tidak bisa melihat layang-layangku, hanya merasa kannya. Apakah getaran benang itu berasal dari layang-layang, ataukah dari sesu-atu yang lain? Kami sering menempelkan telinga di rel kereta api untuk mendengar kereta api di kejauhan datang, rel itu bergetar meskipun tampaknya kaku, dan kami begitu senang mengetahui sesuatu di kejauhan meskipun tidak bisa kami saksikan. Kini aku merasakan getaran benang itu, tetapi aku tidak bisa mengetahui apa pun. Apakah layang-layangku bisa menembus mega? Ibu guru di kelas berkata bahwa di luar angkasa kita tidak bisa berna-fas seperti di bumi ka rena ruangan itu hampa udara, dan karena tidak ada udara juga tidak ada angin. Namun aku tahu para astronot bisa berjalan-jalan di udara dan melayang-layang, jadi layang-layangku pasti juga bisa melayang-layang. Mung kinkah layang-layangku menembus batas atmosfer bumi? Menurut Ibu Guru, pesawat yang menuju luar angkasa memerlukan tenaga luar biasa untuk melepaskan diri dari gravitasi bumi menuju ruang hampa itu, sedang di langit pun ada batas yang juga memerlukan tenaga dahsyat untuk menembusnya.

Namun aku merasakan betapa layang-layangku berada di luar hukum-hukum kepastian itu. Layang-layangku berada jauh entah di mana, tak terukur dan tak bisa diukur, aku hanya bisa merasakannya. Aku menarik be nang itu dan menempelkannya di pipiku, dan karena kebiasaan menempelkan telinga di rel kereta, aku juga mencoba mendengarkan sesuatu lewat getaran benang itu. Apakah aku mendengar sesuatu? Aku merasa se suatu

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 96 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 106: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

97

berkata-kata kepadaku, tetapi entah apa. Semacam gumam, se-macam bisikan, semacam desah, semacam nyanyian, tetapi tidak terlalu pasti apa. Mungkinkah aku menyatu dengan benang dan layang-layang itu sehingga aku tahu pasti apakah sesuatu itu, yang berbisik, mendesah, dan kadang-kadang seperti merintih di atas sana? Apakah ada sesuatu yang memang menggumam di atas sana sehingga kini aku mendengarnya juga seolah-olah seperti gumam?

Di rumah, mereka sudah siap untuk makan, Ibu pasti men-cariku.

*

Ibu sudah berada di tepi lapangan.”Pulang,” katanya, ”tidak ada orang main layang-layang pada

malam hari.”Kami pulang. Kutinggalkan kaleng gulungan benangku di

lapangan setelah kumasukkan batu besar ke dalamnya. Biarlah layang-layangku di atas sana, aku akan mendatanginya lagi besok pagi.

Sepanjang jalan desa yang gelap, Ibu menggandengku.”Apa yang kamu cari di atas sana?””Aku tidak mencari apa-apa,” kataku.Ibu diam. Ia rupanya begitu khawatir sehingga tidak mem-

perhatikan bahwa kutinggalkan layang-layang itu di langit ma-lam. Kaki kami menyaruk-nyaruk daun bambu kering. Kakiku terantuk batu.

”Aduh!””Makanya pulang sebelum gelap,” kata Ibu.Aku teringat layang-layangku yang putih, siapakah yang akan

mendengar getaran suara kertasnya yang tipis itu? Apakah malam

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 97 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 107: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

98

akan mendengarnya, apakah angin akan mendengarnya, apakah rembulan akan mendengar nya?

”Itu layang-layang Sukab?” Ibu bertanya tiba-tiba.”Iya,” kataku.”Pantas.”Aku tidak tahu apa maksudnya. Apakah ada sesuatu yang

sudah dikenal dari layang-layang Sukab?”Orang aneh,” kata Ibu lagi, ”dari dulu dia memang aneh.”Sukab tinggal menyendiri, di tepi kali yang berkelok mema-

suki suatu lembah. Sukab tinggal di lembah itu, makan hanya dari apa yang ia tanam di pekarangan rumahnya. Sering terde-ngar menembang sendirian di tepi kali. Orang bilang lembah itu angker. Hanya Sukab yang berani tinggal di sana.

”Selalu ada yang aneh dengan layang-layangnya,” kata Ibu lagi.

”Layang-layangnya bagus,” kataku.Ibu mengelus kepalaku.”Ibu tahu.”Setelah makan aku tidur. Ibu melarangku mandi di kali,

dan menyuruh aku membasuh badanku dengan air panas. Aku sedang mencelupkan handuk ketika Ibu mengingatkan.

”Omongan Sukab jangan terlalu didengar, kamu nanti jadi bingung.”

Waktu tidur aku bermimpi tentang layang-layangku. Aku merasa ada malaikat memegang benang layang-layang itu, malai-kat pembawa pesan-pesan Tuhan yang meniup dan membisikkan sesuatu kepada layang-layang itu.

”Mengapa engkau tidak mengatakannya langsung kepadaku?” Kutanya malaikat itu di dalam mimpi.

Malaikat itu hanya tertawa, menjauh, dan menghilang.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 98 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 108: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

99

*

Lewat tengah malam, pintu rumah kami diketuk. Kemudian Ibu membangunkan aku.

”Tadi kamu meninggalkan layang-layangmu di lapangan itu?””Ya.””Untuk apa?””Aku ingin mendengarkan sesuatu, seperti mendengarkan

kereta api datang lewat rel.”Di depan rumah, kulihat banyak orang, termasuk ayah Tero

dan kakak Tarpa yang langsung bertanya.”Kata Tarpa kamu yang meninggalkan layang-layang itu.””Ya. Ada apa?””Mari sini.”Kami semua pergi ke lapangan, sudah banyak orang di sana.

Tero dan Tarpa menyambutku. ”Lihat!”Aku ternganga. Benang gelasan itu menyala kebiru-biruan,

menembus mega dan menembus kekelaman ma lam, layang-layangku menembus angkasa luar, membawa kaleng yang sudah kuberati dengan batu. Bagaimana mungkin benang yang hanya tiga gulungan itu bisa milyaran kali lebih panjang? Aku masih sempat melihat kaleng berisi batu dibawa benang gelasan yang menyala kebiru-biruan itu. Layang-layang Sukab itu melayang de ngan seimbang, batu besar di tengah kaleng yang sudah dilubangi itu tidak bergeser sama sekali. Nyala kebiru-biruan itu menerangi lapangan, sehingga segalanya tampak menyala kebiru-biruan. Aku memandang Ibu, dan Ibu memberi tanda agar aku tidak usah bertanya di depan banyak orang.

Kemudian malam gelap seperti semula. Orang-orang tidak pulang, mereka tidak bisa tidur dan membicarakannya.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 99 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 109: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

100

Di jalan pulang Ibu berkata kepadaku.”Dunia ini seperti akuarium, kita ikannya, kamu tidak perlu

bingung kalau ada sesuatu yang mustahil diketahui, tapi kamu boleh memikirkannya.”

Pikiranku sampai hari ini masih sama: kenapa pesan-pesan harus ditafsirkan kembali, dan tidak disampaikan langsung saja?

Sejak hari itu Sukab menghilang.Umurku sepuluh tahun ketika itu. Sampai sekarang aku dan

orang-orang desa kami yang terbangun malam itu masih meng-ingatnya, tapi kami tidak pernah bercerita kepada siapapun kare-na yang mendengarnya tidak akan percaya. Aku menceritakannya kepadamu sekarang, Alina, supaya dikau bisa memikirkannya.

Pembroke Street, Victoria B.C.,Minggu, 21 Oktober 2001. 16:48.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 100 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 110: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

101

AviAlegori Film Hitam-Putih17

vi berumur 30 tahun ketika itu, dan inilah kata-katanya.

”Aku sudah mulai menua, kalau aku masih juga bertahan di duniaku yang gemerlapan ini, artinya aku tidak tahu diri. Aku ingin mengundurkan diri sebagai model, lantas kawin, cari duit, dan berbahagia.”

Hmm. Bahagia.”Karena itu, aku ingin dipotret olehmu untuk yang terakhir

kalinya. Bawalah kameramu, bawalah satu rol film, potretlah aku, abadikan aku dalam foto-fotomu.”

Hari itu aku mem-bawa sepuluh rol film. Kami bertemu di studio. Seperti takut waktu semakin laju memakan usia, ia cepat-cepat minta kupotret. Dalam sorotan lampu ia berpose. Hmm. Aku selalu senang memotret-nya, karena ia seorang peragawati yang menguasai bahasa tubuh de ngan baik. Ia tahu betul apa yang diinginkan para pemandang

1Cerita ini ditulis dengan kolaborasi Avi Basuki.

kalinya. Bawalah kameramu, bawalah satu rol film, potretlah aku, abadikan aku dalam foto-fotomu.”

Hari itu aku mem-bawa sepuluh rol film. Kami bertemu di studio. Seperti takut waktu semakin laju memakan usia, ia cepat-cepat minta kupotret. Dalam

viA

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 101 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 111: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

102

dan ia bisa memberikannya. Tubuhnya yang tinggi dan semampai membahasakan segala gerak men jadi sebu ah kalimat: pandanglah aku, tataplah aku, maka kuberikan diriku untukmu dan hanya un-tukmu.

Belum sepuluh menit, satu rol sudah habis.Pada klik yang terakhir, Avi menghilang. Busyet. Dia raib ke

mana?”Avi! Avi! Kamu ada di mana?”Studio hanya hening. Desis AC membuat perasaan ngelangut.”Aduh Vi! Jangan main-main dong! Ini mau diterusin tidak?”Tahu-tahu terdengar suara, suara teriakan, tapi kecil.”Aku di sini!””Di mana?””Di sini!””Di mana?”Aku mengitari studio seolah-olah dia bersembunyi di balik

kopor-kopor kamera dan lampu, padahal itu juga tidak mungkin.”Aku di sini, di dalam film!”Ha?”Lho, kamu kok bisa ada di situ?””Mana aku tahu, kameramu yang ajaib barangkali. Sekarang

aku jadi tigapuluhenam.”Kameraku masih tergantung di leher, pantas suaranya seperti

dekat sekali. Apakah kameranya harus kubuka dan filmnya kuambil?

”Jangan dibuka di sini,” kata Avi seperti tahu pikiranku, ”nanti aku hangus.”

Betul juga. Aku masuk ke kamar gelap, menyalakan lampu merah, baru boleh mengambil film dan mencucinya.

”Awas! Yang bener mencucinya, nanti aku hilang!”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 102 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 112: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Kalau kacau mencucinya, dan gambarnya hilang, Avi pun akan ikut hilang. Aku tidak bisa membayangkan, harus mengatakan apa kepada ibunya kalau Avi betul-betul hilang di dalam film?

”Bu, Avi hilang.””Aduh, hilang bagaimana?””Hilang di dalam film.””Mbok jangan main-main Nak, sekarang Avi di mana?””Waktu dipotret, Avi hilang ke dalam film. Waktu film

dicuci, gambarnya hilang, jadi Avi ikut hilang.””Lho, kok bisa?"Bukankah akan menjadi sulit menjelaskannya? Absurd.Tapi kalau tidak hilang, Avi akan menjadi 36, karena satu

rol menjadi 36 bingkai. Avi yang mana harus dicetak? Avi yang mana boleh dibunuh? Ini sangat membingungkan. Kalau dicetak semua, seperti pencetakan manusia kloning.

”Yang penting cuci saja dulu,” lagi-lagi Avi seperti tahu pikiranku.

Aku pun mencuci film itu, kali ini betul-betul sesuai petun-juk. Sedang asyik-asyik mencuci, baru aku tersadar, film itu ada-lah film hitam putih. Aku tidak memotret dengan film berwarna, karena foto berwarna adalah selera kelas menengah bawah. Selera kelas menengah atas ada lah foto hitam putih, yang mahal, yang artistik, yang dikerjakan secara manual, bukan oleh mesin—se-bagai juru potret langganan golongan elit aku tahu betul itu. Orang dari kelas menengah atas yang tetap meminta dirinya tampil berwarna, biasanya adalah orang kaya baru, yang ingin menunjukkan kepada dunia siapa diri nya itu sekarang. Avi sudah jelas berasal dari kelas menengah atas, tapi bukan dari golongan kaya baru. Jadi, seperti biasa, seperti yang selalu disukainya, Avi

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 103 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 113: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

104

kupotret dengan foto hitam putih. Aku sendiri berpendapat hitam putih atau berwarna sama saja, dan selera kelas me nengah bawah itu harus dihormati, karena di hadapan Tuhan kualitas manusia tidak diukur dari selera dan kelas sosialnya.

Kini, Avi akan menjadi manusia hitam putih.”Lumayanlah hitam putih, pokok-

nya manusia.”Hmm. Pokoknya manu-

sia. Film itu kucuci sampai se-

lesai, pakai batu es

segala, sehingga kepekatan gambarnya

terjamin. Muncul 36 Avi dalam film itu, tentu saja seba-

gai negatif: rambutnya yang hitam jadi putih, kulitnya yang putih menjadi hitam.

Aku harus mencetaknya dulu, barulah dia akan menjadi manusia kembali. Tetapi di dalam film itu Avi sudah bisa bicara.

”Hai, aku di sini. Terima kasih sudah mencuci dengan baik.”Tentu dia pun tahu, kalau salah cuci dan gambarnya hilang,

Avi akan ikut hilang. Persoalannya seka-rang, Avi yang mana di antara 36 Avi ini harus dipilih? Mereka semuanya hidup

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 104 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 114: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

105

dan bergerak-gerak di dalam film. Tigapuluhenam Avi di dalam film itu adalah 36 pribadi yang masing-masing mandiri. Jika aku memilih satu saja untuk melahirkan Avi kembali ke dunia ini, seberapa jauh aku berhak memusnahkan 35 yang lain? Apalagi mereka mulai berebut minta prioritas.

”Cetaklah aku saja, akulah Avi yang temanmu.”

”Aku di frame nomor satu, pasti akulah yang asli. Ce taklah aku.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 105 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 115: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

”Jangan percaya, kita semua asli, kamu harus mencetak kami semua.”

Tentu itulah yang paling demokratis, setiap Avi dari 36 Avi itu berhak lahir sebagai Avi. Tapi bagaimana pertanggungja-wabanku kepada kemanusiaan, selama etika kloning ini belum jadi kesepakatan? Avi manakah di antara 36 Avi ini yang berhak diterima oleh ibunya?

”Permisi Bu, ini saya mengantarkan Avi pulang.”Sementara 36 Avi itu diangkut dengan Metro Mini.”Lho, Nak, Avi anak saya yang mana?””Ini semua Avi, Bu. Semuanya tigapuluhenam.”Bukankah percakapan semacam itu tidak mungkin?Di dalam kamar gelap, aku diam dan kebingungan. Bila

masalah ini beres, mencetaknya pun bukan urusan gampang. Sebagai peragawati yang ukuran tubuhnya tinggi, kertas untuk

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 106 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 116: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

107

menampung gambar dalam perbandingan 100% tidak mudah dicari. Kemudian, teknik pencetakannya pun agak rumit, karena jarak antara enlarger2 yang ada di kamar gelap ini, dengan kertas-nya nanti, harus lumayan jauh, supaya Avi nanti tercetak persis seperti ukuran aslinya. Tidak lebih tinggi atau lebih pendek. Persis, meskipun hitam putih. Proses mencetak ini juga tidak mudah, memasukkan kertas dengan ukuran sebesar itu ke dalam developer3, tanpa bantuan seorang asisten. Hmm.

Akibatnya, aku tidak bisa mulai mencetak, dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Bagaimanakah aku harus menentukan sikap? Kumulai menguraikan persoalannya satu persatu. Perta-ma, Avi yang hilang ke dalam film harus kembali. Kedua, Avi

2Enlarger: alat pencetak foto, di mana lampu menyorot film lewat sebuah lensa, membentuk citra film itu di kertas foto.3Developer: bahan kimia dalam air yang membuat citra di kertas foto terlihat.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 107 10/24/2020 10:14:04 AM

Page 117: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

108108

hanyalah satu or ang. Akibatnya, ketiga, harus ditentukan satu Avi dari 36 Avi dalam film. Artinya, 35 Avi yang lain harus dikorbankan—tapi yang mana? Apakah aku harus membuat contact print4 lebih

dulu? Tapi bagaimana kalau dalam bentuk contact print itu saja mereka sudah jadi manusia-manusia sebe-sar cindil5? Jadi, aku tidak akan membuat contact print.

Kunyalakan lampu kamar gelap. Aku keluar. Melihat negatif itu di meja lay-out6 yang berkaca

susu dan terdapat lampu neon di baliknya. Kugu-nakan lensa pengintip untuk memperhatikannya lebih jelas. Aku sudah terbiasa melihat gambar melalui film negatif, yang hitam jadi putih, yang putih jadi hitam, jadi gambar-gambar itu sama jelasnya bagiku seperti sebuah contact print.

4Contact print: positif yang ukurannya 100% sama de-ngan negatifnya, foto seukuran klisenya.5Cindil (Bahasa Jawa): anak tikus,6Meja kerja untuk rancangan visual secara manual.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 108 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 118: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

109

Kulihat 36 Avi yang semuanya berpose. Mes-kipun bisa berbicara dan bergerak-gerak, posisi tubuh mereka selalu berpo-se, seperti selalu siap dipotret. Setelah begitu banyak memotret para model, aku tahu betapa suatu pose adalah sikap yang betul-betul palsu, tapi yang be gitu mengecoh, dan sebetulnya juga mereka su-kai. Da lam pose untuk gambar-gambar iklan atau peragaan busana, kita melihat sikap-sikap tubuh yang meyakinkan, pe-nuh percaya diri, dan dibuat seolah-olah anggun. De ngan kata lain, dunia yang tergambar dalam foto-foto itu sebetulnya semu. Semuanya diatur untuk membentuk kesan tertentu. Tepatnya, foto-foto yang ngi-bul. Dalam kehidupan sebenarnya, para peragawati itu terkadang begitu rapuh, bisa juga kasar, tidak seanggun sikap tubuh mereka dalam foto. Tapi, hmm, siapa sih yang tidak pal su di dunia ini?

Mataku mengembara dari gambar ke gambar. Apakah yang bisa kukenali dari sana? Apakah yang membedakan jiwa manusia ketika tubuh mereka tidak setitik pun berbeda?

Ruang dan waktu di studio yang tidak membeda kan siang dan malam seperti menegaskan kesulitanku—aku menghadapi pilihan yang sulit. Kulihat jam dinding, Avi mungkin sudah

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 109 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 119: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

110

ditunggu ibunya, atau siapa saja yang menunggunya. Waktu para model yang laris selalu sedikit. Aku harus mengembalikan Avi kembali ke dunia yang fana ini.

Kupilih salah satu, seperti aku memilih gambar untuk sampul majalah. Aku akan mencetak yang satu ini, sementara yang lain harus kumusnahkan. Kugunting gam bar yang kupilih, sisanya kubuang ke bak sampah.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 110 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 120: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

111

”Jangan....” Terdengar suara.Aku menoleh kanan kiri. Hanya AC berdengung pelan.”Biarkan aku di sini.”Ternyata Avi lagi, dari film negatif yang kuletakkan di atas

meja. Ia mendongak kepadaku, seperti manusia Liliput bicara kepada Gulliver.

”Ada apa, Vi? Aku siap mencetak dan mengembalikan kamu ke dunia ini.”

”Jangan, jangan cetak aku,” katanya.”Kenapa?””Aku sudah enak di sini.””Tadi kalian berebut mau kembali.””Kamu tidak memperhatikan, tigapuluhlima tiruanku yang

ingin kembali, tapi aku tidak.””Jadi kamu yang asli?””Iya, aku, yang jadi pilihanmu.””Maksudmu?””Karena kamu memilih satu, maka yang lain menjadi sampah.””Wah, hukum mana itu?””Entahlah, jangan tanya aku, pokoknya aku jangan kau cetak,

karena aku ingin tetap tinggal di sini.””Di mana?””Di duniaku sekarang ini.””Di dalam film negatif itu? Kenapa?”Kulihat Avi yang kecil di dalam negatif itu terdiam sejenak,

sebelum melanjutkan kata-katanya.”Aku ingin tetap berada di dalam dunia mimpi ini, dunia tem-

pat aku bisa berpose dengan abadi, tanpa diganggu oleh kenyataan sama sekali. Biarlah aku tetap di sini, dunia mimpi yang indah dan abadi. Inilah satu-satunya kesempatanku, jangan kau cetak aku, aku tidak ingin kembali....”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 111 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 121: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

112

Lantas Avi kembali kepada posenya yang semula, menjadi gerak yang terhentikan selama-lamanya. Kupandang klise itu, apakah kebahagiaan harus negatif?

Aku menghela nafas. Aku kembali menemui kesulitan. Apa-kah yang harus kukatakan kepada ibunya?

Yogya-Jakarta, Mei-Juli 2001.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 112 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 122: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

113

Dua Perempuan dengan HP-nya

enjelang senja, sebuah mobil sport yang mulus mendecit tiba-tiba di tepi pantai. Hanya ada dua pintu di mobil

itu, yang terbuka ke atas seperti sepasang sayap secara bersamaan, memunculkan dua orang perempuan. Kedua-duanya meninggal-kan sepatu tinggi mereka di dalam mobil, dan bertelanjang kaki menapaki pasir menuju ke pantai, sementara kedua pintu mobil-nya yang seperti sayap itu menutup ke bawah secara otomatis.

Mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Dua perempu-an yang tampaknya matang, tampaknya dewasa, dan tampaknya tahu benar apa yang dikehendakinya. Wajah mereka seperti anak kembar, potongan rambut mereka pun seperti sengaja disamakan, panjang dan di-blow, dengan poni yang juga sama persis menutupi dahi, sehingga tampak seperti pir naik turun da-lam langkah-langkah keduanya yang mantap dan pasti. Mereka sama-sama mengenakan blazer, di dalamnya ada blouse tipuan yang you-can-see saja supaya tidak panas, dan sama-sama berdasi. Bedanya hanya bahwa yang satu mengenakan rok mini dan yang lain celana panjang. Seperti warna blazer mereka, keduanya berwarna hitam.

Sambil bergandengan tangan keduanya saling melirik, dan tersenyum bersamaan. Perempuan yang mengenakan rok mini

enjelang senja, sebuah mobil sport yang mulus mendecit tiba-tiba di tepi pantai. Hanya ada dua pintu di mobil

itu, yang terbuka ke atas seperti sepasang sayap secara bersamaan, M

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 113 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 123: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

114

berada di sebelah kiri, menggenggam handphone di tangan kiri. Perempuan yang mengenakan pantalon berada di sebelah kanan, menggenggam handphone di tangan kanan. Sambil berjalan dan bergandengan keduanya memijit-mijit handphone.

Kedua calling mereka connecting dalam waktu bersamaan.”Halo?””Halo?””Halo!””Halo!””Iyem? Nanti kalau Tuan pulang bilang saya terlambat sam-

pai rumah. Jalanan pasti macet dan saya banyak urusan….””Linda? Bilang sama bos kamu aku tidak bisa ketemu dia

malam ini. Kamu atur saja entah kapan, pokoknya tidak bisa malam ini, banyak urusan….”

”Kalau anak-anak pulang dari les langsung suruh makan….””Apa? Harus berpasangan? Pergi sama kamu saja Linda.

Kenapa harus malu? Kalian toh sudah sering pergi bareng….””Jangan lupa kasih makan anjing, kucing, nyalakan lampu,

matikan ledeng, kalau Tuan pulang jangan lupa dibikinkan susu cokelat sebelum tidur….”

”Sialan kamu Linda! Jangan bilang kamu tidak tahu apa-apa….”

”Jendela tutup sekarang juga, nyamuk banyak sekali seka-rang….”

”Aku sudah dengar dari mana-mana sejak kapan-kapan ten-tang kalian itu Linda, dan aku tidak apa-apa, aku tidak peduli sama sekali….”

”Aduh Iyeeeeemmm! Cepat kejar Si Blackie! Jangan sampai dia lepas ke jalan! Cepat aku tunggu….”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 114 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 124: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

115

”Kenapa aku harus jadi susah karena kelakuan laki-laki mém-blé seperti itu?”

”Aduh! Punya pembantu satu saja sialan begini! Halo! Sudah?””Apa kamu tidak tahu sih, kamu punya bos itu sudah kawin?

Dengar baik-baik. Sudah kawin!””Apa? Tidak kelihatan di jalan? Aduh, dia pasti ke rumah

seberang. Blackie punya pacar di situ, kan?””Kamu mau kawin sama dia? Kawinlah! Dasar simpanan!””Aduuuuhhhh. Blackie, Blackie, anjing sekecil itu lari-lari

menyeberangi jalan sendirian.””He, begini saja sekretaris bégo, bilang bos kamu aku tidak

pulang malam ini. Aku menginap di rumah pacarku. Bilang saja begitu.”

”Sudah ketemu, Yem? Sini, suruh Blackie ngomong di tele-pon. Bisa, bisa, aku biasa ngomong sama dia. Blackie, Blackie, kamu tidak apa-apa, kan?”

”Eh, jangan kamu kurang ajar seperti itu ya? Kamu kira aku tidak bisa menghabisi kamu? Itu cuma soal membalik tangan, tahu?”

”Blackie, Blackie….””Masalahnya, aku tidak peduli lagi dengan suamiku. Paham

kamu?””Blackie sayang, jangan nakal lagi ya?””Tentu saja aku punya pacar, apa cuma kamu saja yang boleh

punya pacar?’”Iyem, jangan lupa langsung kasih makan Si Blackie, kamu

tahu kan makanan anjing yang kubeli dari supermarket?””Yang jelas pacarku bukan suami orang seperti kamu!””Kucingnya juga jangan lupa, kasih makanan yang dari su-

permarket.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 115 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 125: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

116

”Kenapa harus aku? Kamu dong yang memberi penjelasan.””Iyem, mana kucingnya? Aku mau ngomong.””Bukan aku, tapi kamu!””Iya, aku juga bisa ngomong sama kucing, bawa saja ke

telepon.””Begini saja Linda, kita omongin ini lain kali, oke? Sekarang

aku sibuk.””Puss….””Aku terlalu sibuk untuk ngomong dengan simpanan!””Puss, kamu jangan seperti Si Blackie, tunggu Mama di

tempat tidur, ya?””Ya, memang simpanan! Kalau bukan, kamu itu apa?””Puss? Iyem! Mana Si Puss?””Simpanan!””Iyeeemmm!””Tidak ada urusan apa-apa antara kita! Tidak ada urusan

apa-apa!””Aduh, Puss, kamu diapakan sama Si Iyem?””Dasar simpanan!”

*

Mereka masih bergandengan tangan dan mereka sudah tiba di pantai.

”Lihat, senja sudah tiba.””Iya. Matahari sudah hampir terbenam.”Lantas mereka duduk. Mereka duduk di sebuah bukit pasir.

Bukit pasir itu menghadirkan pemandangan senjakala yang ce-merlang. Memandang ke bawah, debur ombak mengempas, me-ngirimkan buih-buih putih yang kini keunguan dalam semburat cahaya jingga di langit yang mulai terbakar kemerah-merahan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 116 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 126: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

117

*

Handphone masing-masing berbunyi.”Halo? Ya, aku di sini.””Halo? Ya, ada apa?””Ya, ya, melihat sunset, sama Susan.””Sama Sandra! Kenapa sih?””Benar Susan, bukan orang lain.””Sudahlah. Pergi saja dengan Linda.””Jadi kamu pulang cepat hari ini? Tidak jadi ke Batam?””Kita cerai! Hal itu sudah jelas, gampang, dan pasti. Kita toh

tidak punya anak!””Dari Batam ke Singapore? Aku masih harus beresin dulu

urusan franchise makanan Prancis itu.””Kamu bisa punya anak dari Linda.””Iya, Prancis, sudah terlalu banyak makanan Amerika dan

Jepang di sini.””Aku pergi dengan siapapun yang aku mau. Tidak ada urusan

apa-apa lagi antara kita. Jelas?””Gampanglah, pokoknya soal harus ada anak pejabat itu soal

nanti.””Tidak! Tidak bisa!””Iya. Sudah ada yang urus. Ada juga saudaranya menteri.

Bereslah.””Aku mau sendirian sementara ini. Please. Biarkan aku sen-

diri, sendiri, dan sendiri.””Makan sendiri, ya? Jangan mampir-mampir. Tolong lihat Si

Blackie sama Si Puss, dan temanilah anak-anak makan ya? I love you.”

”Sudahlah. Aku bisa hidup tanpa kamu. Goodbye.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 117 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 127: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

118

Percakapan telepon selesai. Mereka saling memandang. Me-masukkan handphone masing-masing ke dalam kantong blazer. Kemudian keduanya memandang ke arah matahari, yang dari detik ke detik semakin mendekati laut.

Matahari seperti piringan besi panas yang merah membara.”Kamu lihat matahari itu, Sandra?””Ya, Susan, aku melihat matahari itu.””Seperti piringan besi panas yang merah membara.””Ya, seperti piringan besi panas yang merah membara.””Kamu kok ikut-ikut?””Kamu kok ikut-ikut?”Hampir bersamaan mereka saling memandang, dan tiba-tiba

saja keduanya seperti saling menarik dan mulut mereka saling memagut. Keduanya berpelukan dan berciuman dengan panas.

*

Pantai itu kosong, tapi sama sekali tidak sepi. Ketika matahari mulai terbenam serentak langit menyala-nyala dan angin mem-buat pohon-pohon nyiur berdesah sementara dahan dan daunnya yang kehitaman seperti melambai-lambai menggapai semacam lagu yang bertiup dari arah laut menyusur sepanjang tepi pantai mengendap di antara celah karang yang dihantam gelombang dan buihnya mendesis di pantai begitu pelan begitu pelahan.

Ketika matahari terbenam seluruhnya langit yang menyala keemasan itu semakin saja cemerlang bagaikan jerit terakhir sebe-lum kematian meski kemudian dengan cepat sungguh-sungguh menjadi kelam menenggelamkan awan menenggelamkan laut hanya menyisakan suara-suara ombak yang tiada bosan-bosannya berdebur meskipun senja telah berubah menjadi malam.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 118 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 128: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

119

Kedua perempuan itu tidak melihatnya. Mereka juga ber-geming ketika handphone masing-masing berbunyi.

Tulilililit…Tulililit…Tulililit…Tulililit…Hanya sebelah tangan masing-masing memasuki saku bla-

zer—mematikannya.

Jakarta, Senin 18 Agustus 1997. 01:27.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 119 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 129: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

120

Hhhh...

hhhh...” ”Hhhhh...”

”Ck!””Hhhhh...””Huh!””Hhhhh...””Aduh.””Hhhhh...””Dasar.””Hhhhh...””Kamu cuma bisa ikut-ikutan.””Hhhhh...””Begitu lagi.””Hhhhh...””Bosan aku.””Hhhhh...””Apa kamu tidak bisa lain.””Hhhhh...””Sinting!””Hhhhh...””Tidak punya otak.”

hhhh...” H

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 120 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 130: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

121

”Hhhhhhhhhhh.””Pemalas.””Hhhhhhhhhh””Penidur.””Hhhhhhhhhhhhh.””Gagu.””HHHHHHHHHHHHH!!!””Aduh! Jangan!””HHHHHHH!!!” ”Ampun!””HHH!””Maafkan aku!””Hhhh...” ”Huh!”Pada tembok hanya bayang-bayang. Hitam. Panjang. Ber-

goyang-goyang. Ada keretak kayu api. Dan deru dingin di luar jendela. Bunyi hujan berderak di kaca.

”Hhhh...””Hidup kok seperti ini. Sepi. Sunyi seperti di bulan. Udara

hampa. Sibuk berangan-angan. Tiada berkawan. Tiada berlawan. Hidup kok seperti ini. Lebih baik mati. Aku sudah lelah, capek, sudah berapa tahun terus seperti ini. Mimpi melulu. Rasanya seperti mau mati. Buat apa hidup seperti ini. Terus menerus dijerat persoalan. Tidak ada gunanya. Aku ingin meninggalkan semua ini. Aku ingin cepat selesai.”

”Hhhh...””Sudahlah, aku memang lelah, capek, sudah berapa tahun

kita hidup seperti ini, seperti bayang-bayang, yang tak pernah menjadi kenyataan, tapi kita harus bisa.”

”Hhhhhh...”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 121 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 131: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

122

”Aku capek.” ”Hhhh...””Kamu memang tidak pernah peduli yah?””Hhhh...””Tidak punya tanggung jawab!””Hhhh...””Sebenarnya aku tidak suka mengata-ngatai kamu se perti

ini. Tapi aku mesti bagaimana lagi? Waktunya sudah mendesak. Kamu harus kupaksa. Kalau tidak kita bisa terlambat. Semua orang sudah berangkat. Tinggal kita berdua. Mau apa lagi?”

”Hhhhhh...””Suatu ketika kayu akan habis. Tak ada lagi yang bisa diba-

kar. Dunia akan jadi gelap. Dingin. Beku seperti di zaman es. Aku tak mau tinggal di sini.”

”Hhhh...””Ayo dong bicara!””Hhhh...””Kamu ini bagaimana sih?””Hhhh...””Aku sudah capek menunggu!””Hhhh...””Nasib!””Hhhh...””Sial.””Hhhh...””Tekor.””Hhhh...”Bayang-bayang bergoyang pada tembok. Berbisik-bisik. Ber-

dempetan. Berpelukan.”Sudahlah.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 122 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 132: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

123

”Kamu saja yang pergi.””Tidak.””Pergilah, tinggalkan aku di sini.””Tidak, kita harus bersama-sama.””Untuk apa? Kita cuma bayang-bayang dan akan tetap tinggal

jadi bayang-bayang.””Kamu pesimis.””Aku realistis.””Kamu lelah.””Memang, pergilah sendiri.””Tidak, aku akan menunggu kamu.””Pergilah, tak ada gunanya menunggu.””Tak ada gunanya katamu?””Ya, tak ada gunanya, pergilah. Cakrawala terbentang luas di

depanmu. Terbanglah, terbang ke masa depan merebut kenya-taan. Bersamaku, kamu hanya akan terus bermimpi, akan tetap jadi bayang-bayang.”

Pada tembok hanya bayang-bayang. Suram. Getar cahaya kekuningan. Terdengar air menderas dari kran. Lantas batu-batu es gemeletuk dalam gelas.

”Kamu sudah terlalu banyak minum.””Biar. Aku ingin mabuk.””Aku tidak suka kamu banyak minum dan aku tidak suka

kamu mabuk.””Kenapa? Sekali-kali perlu juga kita mabuk dan aku suka

kamu mabuk. Mau? Ini enak. Gin tonic.””Kamu memuakkan.””Biar.””Aku jijik!””Makanya! Pergi sana!”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 123 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 133: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

124

Sepi. Bayang-bayang bergoyang. Masih suram. Masih hujan. Airnya mengalir di jendela.

”Hhhhh...” ”Astaga.” ”Hhhhh...” ”Aduh.” ”Hhhhh...””Jangan.” ”Hhhhh...””Jangan lagi dong!” ”Hhhhh...””Ya Tuhan!” ”Hhhhh...””Sampai mampus!” ”Hhhhh...””Untuk apa semua ini.””Hhhhh...””Mimpi.””Hhhhh...””Sepi.””Hhhhh...””Itu-itu saja.””Hhhhh...””Bosan.””Hhhhh...””Muak.””Hhhhh...””Kok cuma begini.””Hhhhh...””Hidup kok cuma begini.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 124 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 134: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

125

”Hhhhh...””Lagi!””Hhhhh...””Lagi-lagi!””Hhhhh...””Lagi-lagi! Lagi-lagi!””Hhhhh...””Apa lagi?””Hhhhh...””Hhhhh...””Hhhhh...””Hhhhhhhh...””Hhhhh...””Hhhhhhhhhhhhhhhh.........”Cras! Cras! Cras! Grrrkkkhhh! Grrrrkkkkhhhh! Tiada lagi bayang-bayang. Pada tembok hanya putih, bersih,

bernoda percikan darah. ”Hhhh!”

Jakarta, 17 November 1989.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 125 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 135: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

126

Aku dan Bayanganku

enja telah turun di Teges Kanginan. Bayangan pohon-pohon menghitam dan mengelam dilatarbelakangi langit

yang semakin merah dan muram. Angin membawa bau sawah yang basah, dan dari jauh terdengar salak anjing saling bersahutan. Lentera warung yang hanya ada empat di desa itu mulai menyala. Tiga berkelompok di dekat banjar, dan satu lagi terletak agak jauh, menyendiri di tepi jalan. Dari angkul-angkul1 di dekat warung yang menyendiri ini, Candri, gadis kecil itu, keluar dan berlari-lari kecil sepanjang jalan yang hanya satu-satunya menuju ke banjar.

1Di bawah ini adalah suatu unit rumah atau pintu pekarangan untuk unit ba-ngunan tradisional Bali, Indonesia. Dalam bahasa Bali halus, pintu ini dinama-kan PAMESUAN atau PAMEDALAN yang berasal dari kata pesu/medal yang berarti keluar. Berdasarkan arti katanya sendiri, pamesuan atau pemedalan ini mempunyai pengertian “tempat keluar”. Ada tiga macam bentuk/tipe pamesuan ini, yaitu

angkul-angkul, kori, dan kori agung. Angkul-angkul (lihat gambar samping) merupakan pamesuan yang memiliki bentuk paling sederhana. Dua tipe lainnya dinamakan kori dan kori agung, keduanya memi-liki bentuk dan ornamen yang lebih kompleks dan rumit. Ketiganya biasa digunakan untuk membeda-kan bangunan yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi.

Pada dasarnya, ketiganya memiliki hakikat yang

enja telah turun di Teges Kanginan. Bayangan pohon-pohon menghitam dan mengelam dilatarbelakangi langit

yang semakin merah dan muram. Angin membawa bau sawah S

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 126 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 136: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

127

Di banjar, televisi telah dihidupkan dan Candri segera ber-gabung dengan anak-anak lain yang telah berkumpul di muka televisi itu. Acara sedang menyiarkan pelajaran tari legong.

”Satu-dua-tiga-empat-lima-enam-tujuh-delapan, yak, mata li-hat kanan, lantas kiri, jari tangan begini dan mata begini-begini, yak, satu-dua-tiga-empat…”

Candri yang hafal dengan gerakan-gerakan semacam itu mengalihkan pandang ke sekelilingnya. Orang-orang yang selesai makan di rumahnya mulai bermunculan dan duduk-duduk di tiga warung dekat banjar sambil merokok dan memesan bubur kacang ijo dan matanya terpicing ke arah televisi, mencoba me-mahami apa yang menjadi perhatian anak-anak itu, tapi mereka pun lantas kembali pada obrolannya semula. Mereka berbicara perlahan-lahan sambil menghirup bubur itu sedikit demi sedikit bagai menghemat kenikmatan yang akan berakhir jauh sebelum siaran televisi usai. Candri beranjak dari muka televisi dan melangkahi anak-anak lelaki yang suka menendang kakinya, me-nuju tepian banjar tempat para perempuan duduk, tapi ia tidak berhenti di sana, ia terus sampai ke warung tempat orang-orang tua itu dan berdiri saja di sana menatap mereka makan bubur sampai ada salah satu yang menegurnya.

”Candri, ada apa? Mari sini!” Bagaikan kucing yang jinak Candri segera saja menggelendot

dalam dekapan orang itu.”Sudah makan, Candri?”

sama yakni sebagai ‘lubang’ untuk keluar dari suatu wilayah tertentu. ‘Lubang’ tersebut bukanlah sekadar lubang untuk orang lewat, melainkan merupakan ‘batas yang tembus’: batas penghubung antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya.

(sumber: Kartu Komunitas FORIS)

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 127 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 137: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

128

Candri mengangguk. ”Mau bubur? Ya? Mau?” Candri mengangguk lagi. Senja yang remang telah menggelap dan makin menggelap

dan memunculkan bintang di samping bulan. Orang itu ter-senyum memandang Candri yang menyeruput bubur kacang ijonya dengan lahap. Apa sajakah kerjamu sepanjang hari ini Candri? Kau telah menjual daun-daun ketelamu ke Ubud. Kau telah lelah seharian bergantung di akar-akar pohon beringin di muka pura, melompat-lompat di tangga kalangan dan apakah yang terjadi padamu Candri ketika kulihat kamu termenung di tangga masuk ke dalam pura?

Aku makin jauh dari diriku. Menyatu dalam bayang-bayang gerak orang yang lalu-lalang di jalan ketika senja semakin mere-dup. Aku mencium wangi yang asin. Lagu yang menggebrak dari deretan kafe sepanjang jalan pantai Kuta. Kalau saja dia ada di sini. Kalau saja.

Perempuan itu menyapaku dalam bahasa Inggris beraksen Prancis. Aku menjawabnya dengan bahasa Inggris beraksen Jawa. Begitukah hidupmu sekarang? Memburu cinta dari ranjang ke ranjang di antara herpes yang bertebaran dari malam hitam ke malam ungu. Namun aku masih berjalan ke arah pantai. Menyusuri peristiwa demi peristiwa yang sebagian utuh sebagian terpotong. Sampai kau pun muncul dari ujung lorong itu, me-langkah, menyatu dalam irama gerak jalanan yang lesu.

Begitulah langkahku terseret-seret membawa diriku masuk La Barong, ketika dari sudut gelap yang menyendiri, perempuan itu melambaiku. Ruangan berdenyar. Aku melangkah mendekat saat diriku serasa bertambah jauh.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 128 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 138: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

129

Kutatap matanya yang kelabu di sela asap ganja. Sebetulnya mata itu adalah mata yang indah, tetapi ke manakah binarnya? Tampangnya yang punk menambah kesuraman matanya yang takbercahaya dan mulutnya terus saja mengeluh.

”Hidup itu nonsense….” Ia tidak bermaksud ke mana-mana. Dunia telah dikeliling-

inya dan ia merasa tidak mendapat apa-apa. Ia ingin di sini saja, di Bali, menuliskan seluruh pengalaman hidupnya, sekedar untuk menunjukkan betapa semua itu sia-sia saja dan tidak ada gunanya. Begitukah? Aku tak tahu. Namun barangkali aku pun tak begitu ingin tahu. Mungkin betul juga pikirannya, dunia adalah sampah dan hidup adalah nonsense.

Kutatap anting-anting emas pada hidungnya. Sesekali asap keluar dari lubang hidungnya itu. Matanya makin sayu, berla-wanan dengan rias wajahnya yang ganas. Ia meremas-remas ram-butnya yang warna-warni dan terus saja bicara dengan segulung ganja di mulutnya seperti orang ngelindur.

Di luar, angin mendesah dengan gelisah dari arah pantai, ombak masih saja begitu dan pasir telah menjadi lebih dingin dan ada juga satu dua daun berguguran sendiri dalam gelap dan kadangkala terdengar juga suara tawa yang sayup di kejauhan dan ada perempuan melangkah perlahan di pantai.

Dalam La Barong yang sesak dan gemerincing dan makin suram lampunya, masih saja perempuan punk itu, diam dan sendiri.

Ia tak sadar aku telah sampai di pintu keluar.

*

Senja telah turun di Legian. Kanak-kanak berlarian sepanjang pa-sir yang basah karena ombak. Orang-orang masih berselancar di

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 129 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 139: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

130

atas ombak yang datang bergulung dari tengah laut. Kaki langit terbentang kemerah-merahan. Di tengah laut yang gemerlapan itu sesosok tubuh yang semampai dan panjang rambutnya melejit di antara ombak. Makin lama makin ke tengah. Mula-mula aku memang tidak begitu tertarik. Namun aku menjadi tertegun dan terkesima karena setelah senja menjadi lengkap dan malam telah sampai, setelah kutunggu lama sekali, perempuan kulit putih itu tak pernah kembali ke pantai.

Saat kusadari betapa perempuan itu sudah raib, dalam pan-danganku pantai mendadak jadi putih seperti siang hari. Pantai itu putih dalam percikan matahari. Turis-turis putih, pasir putih, buih putih, ombak, angin, cakrawala memutih. Tubuh-tubuh terkapar pada pasir, putih-putih. Aku melangkah perlahan di sela kaki-kaki, betis-betis, paha-paha, dan dada yang terbuka, mengkilat dan berkilauan. Namun senja yang muram itu segera kembali.

Aku terus melangkah memburu senja dan kamu berlomba denganku memburu senja ke segenap pelosok bumi, tetapi aku tidak bisa mengejarmu lagi ketika dirimu telah menjadi senja dan melebur ke dalam sunyi.

Dan lihatlah langit yang segera saja berubah warna, matahari yang tenggelam dan angin yang melejit setelah suhu berubah, membawa sepotong lagu dari dalam kafe.

di wajahmu kulihat bulan214

Waktu mengubah segalanya. Aku berjalan sendiri dan selalu sendiri sepanjang deretan kafe yang selalu saja remang dan penuh sesak. Senyap yang kelu menyelinap ke dalam diriku. Di pantai,

2Dari gubahan Mochtar Embut, ”Di Wajahmu Kulihat Bulan” (1960).

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 130 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 140: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

131

ombak masih berkejaran, ada beberapa pasangan bergumul di pa-sir. Angin dingin dari musim yang kering mengusapku perlahan.

*

Senja telah turun di Teges Kanginan. Dari dalam rumah masih terdengar kidung Lonjing Tua yang sedang menidurkan cu-cunya. Terdengar sedih dan begitu meratap. Anak-anak masih bersenda-gurau di teras rumahnya. Orang-orang pulang mandi saling bersalam dan salak anjing masih saja bersahutan dari lorong ke lorong. Tak kudengar lagi ombak, dan aku tak pernah berpikir bahwa kidung itu meratap.

Candri lewat. Sekilas. Aku mencoba mengejarnya, tapi ia segera lenyap. Aku telah melihatnya di mana-mana. Di sudut-sudut kota Denpasar, di pelabuhan Gilimanuk, di emper-emper toko Karangasem. Candri yang wajahnya sayu muncul di mana-mana, sekejap, lalu menghilang.

Pepohonan menghitam pada senja lantas menjadi putih yang lembut pada malam hari ketika bulan menjadi purnama. Orang-orang Teges Kanginan yang melakukan upacara bulan purnama lewat di luar. Dingin menyergap dan seketika saja kau telah muncul di hadapanku.

”Apalagi yang kau cari di sini? Sudahlah, tak ada apa-apa di sini, pulanglah ke Jakarta.”

”Aku akan pulang, kalau kamu menunggu ....” Kamu hanya tersenyum. Begitulah kamu selalu, tersenyum,

dan aku sendiri lagi di sini, menyadari kamu hanyalah kelebat bayangan dalam bayang-bayang suram pohon beringin di perem-patan Ubud.

Kerlap-kerlip lampu penginapan muncul sepanjang jalan menuju ke Monkey Forest. Apalagikah selain kenangan, atau

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 131 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 141: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

132

lamunan tak tenang? Apalagikah selain kesendirian? Memandang jalan dan kegelapan, aku merasa tenggelam dalam ketiadaan yang kelam.

Juli-September 1983.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 132 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 142: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

133

Dunia Gorda

I

isahnya dimulai pada suatu malam, ketika seperti biasa Gorda mencuci kaki, sikat gigi, mencuci muka,

dan melompat ke tempat tidurnya. Seperti biasa pula ia akan menyetel tape recorder loakannya itu, mendengarkan lagu-lagu blues, lantas mengambil sebuah buku. Semua itu bisa dikerja-kannya untuk menunggu sang kantuk. Ia termasuk orang yang sukar tidur, tanpa membaca lebih dulu ia hanya akan berguling ke kanan dan ke kiri de ngan gelisah. Kepalanya penuh berisi gagasan-gagasan yang segera membutuhkan tindakan, dan mere-nungkan itu semua membuatnya tidak bisa tidur, baru pada pagi hari ketika tiang listrik diketuk orang tiga atau empat kali ia akan lelap, itu pun tak lama. Makanya ia agak benci dengan keharusan untuk tidur, ia lebih suka begadang sehingga masalah kantuk yang tak kunjung datang itu tidak terlalu menyiksanya. Lagipula sebagaimana biasanya bagi kaum begadangan, kantuk itu justru akan datang tanpa diundang.

Malam itu buku yang dibacanya lain dari pada yang biasa, yang dibacanya adalah buku komik. Ini dianggapnya sebagai variasi menarik setelah beberapa hari ia bertekun-tekun di muka sebuah buku teks kedokteran yang tebalnya seperti bantal. Juga

dan melompat ke tempat tidurnya. Seperti biasa pula ia akan

K

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 133 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 143: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

134

agak lain dari biasa, baru beberapa halaman saja dari buku komik wayang itu ia sudah lelap tertidur. Nafasnya begitu teratur, melambangkan masa istirahat yang sempurna.

Namun marilah kita menembus sisi lain dunia Si Gorda... ah, ternyata ia sama sekali tidak tidur, begitu ia memejamkan mata, di dunia mimpinya ia baru saja membuka mata, kalau saja itu bisa dikatakan dunia mimpi.

”Selamat datang Gorda, kamu anggota kami yang baru, satu-satunya anggota istimewa.”

”Kenapa istimewa?””Karena kamu belum mati.””Lho!” ”Kami adalah orang-orang mati yang tidak mendapat tempat

di akhirat.””Jadi?””Ya, rohmu sudah kesasar di persimpangan jalan gaib, seha-

rusnya kamu memasuki alam mimpi atau alam baka sekalian, tapi kamu masuk ke sini, tempat orang mati penasaran, hilang di gunung, terbenam di laut, atau meledak bersama jasadnya. Na-mun karena kamu belum mati maka setiap kali kamu tertidur di alam ini kamu akan kembali ke alam yang semula dan demikian pula sebaliknya, dari alam orang hidup ke alam kami.”

Gorda memandang gadis itu dengan takjub, matanya berke-jap-kejap untuk meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi, dan gadis manis itu memang tetap di depannya. Ia mengikuti ga-dis itu melangkah menyusuri toko-toko. Bangunan di sekeliling-nya adalah bangunan yang persis sama dengan bangunan kota di masa sebelum tidur. Ia berada di alam yang berbeda dengan bentuk-bentuk kehidupan yang sama. Gorda merasa aneh, sulit baginya untuk membedakan kedua alam ini. Semacam mimpi,

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 134 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 144: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

135

tapi tidak seperti mimpi, soalnya mimpi ini begitu sungguhan, tidak ada bedanya dengan ke hidupan biasa, lain dengan apa yang disebut mimpi.

Belum selesai ia berpikir tentang dirinya sendiri itu, Si Gorda segera saja kehilangan jejak si gadis yang lenyap di tengah kera-maian kota, dan seseorang tiba-tiba saja memanggilnya, Gorda menoleh.

”Gorda! Gorda!””Hei! Robin! Sialan lu, makanya nggak pernah kelihatan,

kamu udah mati ya?””Kamu juga?””Belum.””Wah gawat tuh, tapi boleh juga deh, bisa titip salam ame

nyak gue!”Heh, ternyata Si Robin, pendaki gunung yang hilang itu,

ketemu di sini. Gorda mencoba berpikir keras, ada sesuatu yang ngeri melintas di hatinya. Dan memang nasib malang itu agaknya baru saja dimulai.

Ibunya membangunkan dia.”Gorda! Ayo bangun, sudah siang, tadi Wanti cari ka mu,

katanya sudah janji.” Gorda melihat ibunya dengan bengong, tiba-tiba saja ia sudah pindah alam, tanpa pe rasaan bangun tidur sama sekali.

”Ia tidak berani membangunkan, kamu disuruh menyusul ke rumahnya,” lanjut ibunya lagi. Sambil beranjak dari tempat tidurnya Gorda masih belum percaya bahwa pengalamannya yang baru saja lewat bukanlah suatu mimpi.

Sehabis mandi ia ke tempat Wanti.”Maut bener lu, jam sebelas masih ngorok. Begadang lagi,

ya?” Wanti yang lincah itu menyambutnya seperti biasa. Dengan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 135 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 145: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

136

memandang tunangannya seperti tatapan orang yang dihipnotis Gorda tercenung. Ini juga kenyataan, pikirnya. Untuk semen-tara, setidaknya pada malam pertama ini, ia masih yakin bahwa peristiwa yang baru saja dialaminya itu hanya sebuah mimpi, dan ia pun yakin bahwa sebuah mimpi akan tetap tinggal sebagai mimpi. Ia mencoba melupakannya.

Siang itu sambil ngobrol santai di teras rumah Wanti, mereka melewatkan waktu dengan jajan. Rujak disusul bakso, lantas es, dan ketika adik-adik Wanti pulang sekolah, mereka masih lutisan.

Sore pulang. Lantas nonton TV sendirian, lantas tertidur.”Sialan,” gumamnya, ”mimpi itu bersambung.” Begitu ia me-

me jamkan mata segera saja ia telah membuka mata dan pindah ke alam yang kemarin itu. Si Gorda merasa lelah dan capek, soalnya yang ia alami kemarin seolah bukan mimpi, tapi suatu kehidupan nyata, maka meski pun ia tampaknya tertidur, sebenarnya ia sama sekali tidak tidur.

Jika kehidupan selalu diputus sejenak oleh masa tidur maka bagi Gorda kini masa tidur itu telah berisi satu kehidupan pula yang selalu terputus setiap kali ia tidur untuk kembali ke alamnya yang lama, Ia tak bisa tidur lagi kini. Setiap kali tidur, ia pindah alam dan demikianlah seterusnya. Dengan begitu ia kini hidup di dua alam. Alam mimpinya yang begitu nyata setiap kali tidur, dan alam biasa yang telah dikenalnya sejak lahir. Jarak antara keduanya hanya dibatasi satu pejaman kantuk yang sukses. Maka alangkah malangnya nasib Si Gorda. Apa yang dinamakan tidur hilang sudah dari kehidupannya. Karena ia roh yang kesasar, belum mati, manusia biasa, makanya ia mengantuk saja sepanjang hari.

”Kau sekarang lain, Gorda,” kata Wanti suatu kali. Gorda

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 136 10/24/2020 10:14:05 AM

Page 146: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

137

memang belum cerita, apa artinya mata yang se lalu sayu terkan-tuk-kantuk itu.

”Kapan kita kawin?” desak Wanti lagi. Gorda pusing.

II

Sudah satu tahun Gorda tidak tidur. Hanya Tuhan sajalah yang tahu bagaimana ia bisa bertahan. Di alam barunya itu ia mem-peroleh kehidupan yang cukup nyaman. Ia sudah kawin dengan gadis yang menyambutnya dulu, Ella namanya, beranak satu, dan berhasil dalam usaha kewiraswastaan. Sementara di alam yang lama ia toh ma sih mampu pula dalam keadaan mengantuk menyelesaikan studi kedokterannya dan baru saja diwisuda bersa-ma Wanti, teman sekelas dan tunangannya yang setia.

Ia memang menjadi takut tidur dan membiasakan dirinya hidup dengan penuh kantuk. Dengan satu otak, satu jiwa, ia menjalani kehidupannya di dua alam terse but. Matanya selalu merah dan nyaris terkatup. Ibunya menyuruh periksa ke dokter mata, tapi dokter mata cuma bilang kurang tidur. Sang Ibu tentu heran.

Cukup berat juga bagi Gorda, tapi ia sudah belajar menye-suaikan diri. Ia tak berminat mengadukan nasibnya pada orang lain, mereka pasti takkan percaya. Nanti dibilang takhyul dan ini tentu lebih menyakitkan. Dan tentu saja ia tidak bisa juga me-ngatakannya kepada Wanti, ia takut kebahagiaan perempuan itu terusik. Lebih-lebih jika ia tahu bahwa Gorda sudah berkeluarga di alam lain. Peristiwa-peristiwa yang datang dan pergi di alam barunya tersebut tak terkendalikan, seperti se buah mimpi, ia telah dipaksa bangun terus menerus tanpa bisa bertahan. Perka-winannya dengan Ella merupakan sesuatu yang tak terhindarkan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 137 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 147: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

138

Di bawah atap langit yang bertaburkan bintang itu, Gorda menikmati malam. Orang-orang di rumah tentu menyangka aku betul-betul pulas, pikirnya. Ia tersenyum sambil menginjak puntung rokoknya. Malam begitu larut, semilir angin meng-ingatkannya pada kampung tersayang. Sungguh gombal nasibku ini, berkali-kali Gorda mendesah, tapi ia tak bisa berbuat lain. Terkadang ada pikiran gila menyelinap dalam benaknya.

Begitu persisnya mimpi bersambung itu dengan ke hidupan biasa membuat Gorda kadang-kadang merasa terkecoh. Ia sering merasa dirinya telah menjadi dua orang. Mengapa tidak, jika aku sedang duduk di sini dan di sana tidur tidakkah itu berarti aku merupakan dua orang? Dan bukankah masalahku ini menjadi beres jika aku yang satu itu tidak ada?

Dari dalam rumah terdengar tangis bayinya, Ella se dang pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Gorda menggeletak di samping anaknya, menyorongkan botol susu ke mulutnya, dan segera melayang bersama kantuknya. Ia bangkit di teras rumah Wanti.

”Bangun sayang, sudah hampir pagi,” bisik Wanti, ia ingat, kedua orangtua Wanti pergi Lebaran ke luar ne geri. Wanti meng-undangnya pacaran, dengan alasan tirakat ia menggelar tikar di te-ras, segan masuk kamar tidur Wanti meski pun sebe nar nya sudah biasa. Dua bulan lagi mereka akan menikah. Gorda, manusia biasa itu pun mulai frustrasi.

”Sungguh mati aku tidak punya dosa!” ia tiba-tiba berteriak dengan kesal.

”Ada apa, ada apa Gorda?” Wanti mengguncangnya dengan khawatir. Gorda sadar dan terus melangkah pu lang.

Di rumah, begitu ia melihat kamarnya, langsung menggeletak dan bangun kembali. Ella sudah menunggu.

”Sudah ketemu Wanti?” Istri penuh pengertian itu me rasa

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 138 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 148: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

139

prihatin dengan nasib Gorda yang tidak bisa tidur, ia merelakan keberlangsungan Gorda dan Wanti, bahkan sering merasa ber-dosa karena menganggap dirinya se perti pencuri tunangan orang lain.

”Sudah,” jawab Gorda lesu. Langit subuh menghantarkan fajar kembali berkuasa, malam pelahan menyingkir dan embun di atas daun mulai menguap satu-satu, kebeningan pagi yang sungguh indah, tapi tentu tak bisa menghibur Gorda.

”Aku tak tahan lagi Ella, aku tak tahan, segalanya serba mele-lahkan, di sini selesai rapat pimpinan, begitu terkantuk di mobil langsung bangun di depan kamar operasi, habis operasi selesai, maunya tidur sudah disambut sopir yang membuka pintu. Dua kali terlalu banyak untukku Ella, aku mau hidup di satu alam saja, itu sudah cukup memusingkan dan cukup membahagiakan, aku tak menuntut terlalu banyak.”

”Kau harus bisa mengatasinya sayang, kau ditakdirkan untuk hidup seperti ini dan kau telah diberi kekuatan untuk bertahan.”

”Tapi ini tidak normal, aku pernah lupa menyampaikan salam Robin pada adiknya di alam orang hidup, me reka tak mengerti dan tersinggung. Mereka melabrak keluargaku, kasihan Ibu.”

”Aku cuma tak ingin kamu nekad.””Aku tidak nekad, aku pakai perhitungan.””Rencanamu dulu mau kau lakukan juga?””Kenapa tidak, seluruh bangsamu ini mati penasaran, bukan?

Mereka sampai kemari karena tidak mencapai akhirat, atau seperti Si Robin itu yang mati lenyap begitu saja ketika mendaki gunung. Dengan akal sehat, bukankah aku bisa melakukan hal yang sama supaya bisa tetap tinggal di sisimu selamanya dan jika tidur tak perlu terlontar ke alam yang dulu?”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 139 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 149: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

140

”Aku tak tahu pasti, tapi yang jelas semua orang itu sampai kemari tanpa rencana. Aku tak bisa menjamin hal yang sama jika hal itu direncanakan.”

”Aku harus mencoba.””Jangan Gorda, jangan lakukan itu!””Biar, aku sudah tidak tahan lagi!””Ingatlah Wanti, dua bulan lagi kamu harus menikah de-

ngannya.”Gorda diam tak menjawab. Matanya yang biasa sayu terkan-

tuk itu kini membelalak lurus ke depan. Urat sarafnya mulai capai. Ia marah, mencoba melawan nasib, tapi tak bisa berbuat lain. Di kedua dunia itu ia berusaha hidup sebaik mungkin supaya jika punya dosa biarlah dosa itu diampuni. Gorda me-rebahkan diri ke pangkuan Ella, dan seperti biasa segera saja ia sudah berada di alamnya Wanti. Ini hari ulang tahun Gorda, ibunya membuat nasi kuning.

III

Pesta perkawinan itu cukup meriah. Seusai tarian Gatutkaca Gandrung para tamu memberi selamat kepada sepasang mem-pelai. Kado bertumpuk, makanan enak, dan pasangan pengan-tin itu sungguh menakjubkan. Se perti Dewi Ratih dan Betara Kama Jaya, kata pembawa acara. Perlambangan itu tidak salah, mempelai perem puan bersinar cemerlang bagai bintang kejora saja layaknya, ditandingi mempelai pria yang gagah dan kukuh seperti tokoh Werkudara dalam cerita wayang.

”Mempelai pria itu kurang tidur agaknya,” bisik se orang tante pada oom di sebelahnya. Si oom tertawa.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 140 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 150: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

141

”Tentu saja ia gelisah,” kata oom itu disambung lagi dengan tawanya yang keras.

”Ada apa sih Yu, kok kelihatannya asyik?” tanya ibu di belakang sambil memberakot paha ayam.

”Pengantin laki-laki ngantuk, lihat tuh matanya merah.””Tapi merah bukan berarti kurang darah to, Yu? Hikhikhik...”Ush, hampir saja kulit ayam di mulutnya itu meloncat ke

piring Bapak di samping.Menjelang tengah malam baru pesta itu usai. Di dalam ru-

mah masih kelihatan satu dua sanak keluarga yang khusus datang dari jauh untuk memberkati mereka. Namun tak lama kemudian rumah itu pun sepi, mereka pulas kekenyangan.

Di kamar pengantin yang ranjangnya berbau melati dan bersepreikan sutra, mempelai perempuan itu mengganti pakai-annya. Sang suami berdiri di depan jendela, matanya menembus kekelaman malam dan mendongak ke arah bulan.

”Bulan tak penuh, bulan sabit, tak kalah indah dengan bulan purnama,” katanya seperti ditujukan ke diri sendiri.

”Apa?” tanya istrinya.”Ah, tidak, tidak apa-apa.””Aku ke belakang dulu ya, sayang?” tanpa menunggu jawaban

perempuan itu, ia keluar dan menutup pintu. Di dalam kamar, pengantin laki-laki yang bermata merah itu tampak gelisah.

”Aku harus merelakan salah satu, dua dunia terlalu banyak, ini keterlaluan.”

Di tangannya tiba-tiba saja terhunus sebilah keris.Pada tengah malam yang berbulan sabit itu, seekor burung

hantu melintas, berkepak sendiri, lenyap ditelan kegelapan. Pada saat yang sama di dua alam berbeda terdengar jeritan dua

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 141 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 151: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

142

perempuan yang meratapi kematian suaminya. Gorda terkapar bersimbah darah.

”Gorda, Gorda yang malang....,” tangis Ella.”Gorda, Gorda, kenapa jadi begini...,” ratap Wanti menjadi-

jadi.Kisah Si Gorda itu hanya bisa sampai di sini. Kiranya tak

perlu kita menembus dunia Gorda di alam akhirat, kalau tidak bisa pulang lagi malah repot. Memang, tak begitu jelas apakah kini Si Gorda berbahagia.

Yogya, Agustus 1980.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 142 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 152: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

143

Penjaga Malam dan Tiang Listrik

a selalu menjaga malam, agar malam tetap menjadi ma-lam seperti yang paling dimungkinkan oleh malam. Ia

menjaga malam, agar bulan tetap menjadi rembulan seperti yang dipandang manusia dari bumi setiap malam. Ia menjaga malam, agar tikus tetap menjadi tikus yang keluar dari got, merayap di tengah pasar, mencari makanan dalam kegelapan. Itulah tugas sang penjaga ma lam, betul-betul menjaga malam yang kelam agar tetap menghitam, sehingga bayang-bayang bisa berkeliaran tanpa pernah kelihatan, mengendap-endap tanpa suara dalam penyamaran.

Malam memang selalu samar dan ia harus tetap menjaganya agar tetap samar-samar. Segala sesuatu serba samar-samar di malam hari, seperti kita melihat pencuri, tapi tidak pernah tahu bagaimana ia mencuri. Adalah menjadi tugasnya agar sepanjang malam yang kelam para pencuri tetap bisa bergerak bebas dalam kegelapan, berkelebat menghindari cahaya bulan, menyelinap ke balik pohon-pohon hitam, merayap di tembok seperti cicak, membongkar jendela, dan memasuki ruangan. Malam tanpa pencurian bukanlah malam. Malam tanpa pengkhianatan bukan-lah malam. Tugasnya adalah menjaga agar malam tetap menjadi kegelapan yang menguji kesetiaan.

a selalu menjaga malam, agar malam tetap menjadi ma-lam seperti yang paling dimungkinkan oleh malam. Ia

menjaga malam, agar bulan tetap menjadi rembulan seperti yang I

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 143 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 153: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

144

Beberapa saat menjelang tengah malam, dalam ke gelapan dan embun malam, ia akan keluar dari gardu, melangkah dari rumah ke rumah untuk mengetahui apa kah semuanya berjalan seperti malam. Dari sebuah jendela ia akan mendengar blues, dari jen-dela lain ia akan mendengar tangisan, dan dari jendela lain akan didengarnya lenguhan tertahan-tahan dalam permainan cinta yang menggetarkan. Ia akan berjalan pelahan-lahan sepanjang kompleks perumahan yang sepi, memperhatikan bagaimana ca-haya bulan menyepuh aspal jalanan, dan mendekati tiang listrik.

Akan diusapnya tiang listrik itu, dan dipukulnya tiang listrik itu dengan batu, sampai duabelas kali.

Tentu saja ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: Apakah yang membuatnya begitu perlu untuk memukul tiang listrik itu sampai duabelas kali? Apakah memang para penghuni kompleks itu merasa begitu perlunya un tuk mengetahui waktu pada tengah malam? Jika mereka ingin mengetahui waktu, apakah mereka sendiri tidak punya arloji di dekat tempat tidur, weker, atau jam dinding dengan burung di dalamnya yang akan keluar dan berkukuk duabelas kali saat tengah malam? Apakah me-mang menjadi tugas seorang penjaga malam untuk me mukul tiang listrik dari jam ke jam? Tidakkah semestinya ia menjaga ketenangan agar tidak seorang penghuni pun terbangun selewat tengah malam hanya karena men dengar tiang listrik dipukul orang? Itulah pertanyaannya: Mengapa seorang penjaga malam harus memukul tiang listrik setiap jam?

Penjaga malam itu selalu memukul tiang listrik dengan batu dari jam ke jam. Setiap kali ia memukul tiang listrik dengan batu, selalu ada saja penghuni kompleks perumahan itu yang ter-bangun, meski tidak bertanya-tanya lagi apa memang ada orang

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 144 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 154: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

145

yang begitu perlunya mendengar tiang listrik dipukul seorang penjaga malam untuk mengetahui jam.

*

Sejam telah berlalu. Tiba saatnya penjaga malam itu harus memukul tiang listrik sebanyak satu kali saja. Ia keluar dari gardunya, melangkah ke tiang listrik terdekat. Namun seorang lelaki yang tidak dikenalnya berdiri di dekat tiang listrik itu.

”Maaf, saya mau memukul tiang listrik itu,” katanya.Lelaki itu tidak beranjak.”Aku ada di sini memang untuk menghalangimu, wahai

penjaga malam.”Lelaki itu tersenyum-senyum mendekapkan tangan. Ia ber-

sandar di tiang lisrik sambil memperhatikan sikap sang penjaga malam.

Adapun penjaga malam itu hanya memikirkan waktu. Ia harus memukul tiang listrik satu kali tepat pada pukul 01:00. Jika terlambat, ia tidak tahu caranya memukul tiang listrik untuk mengabarkan waktu telah tiba pada pukul 01:01. Ia juga tidak pernah dan tidak akan pernah bisa melompatinya sampai pukul 02:00 saja. Tidak mungkin. Tidak akan pernah mungkin. Kecuali dunia kiamat—tapi sekarang kan belum?

Waktunya tidak banyak. Ia berlari ke tiang listrik yang lain, tetapi tiba-tiba saja lelaki itu sudah berada di tiang listrik itu juga, memang dengan sengaja menghalanginya.

Penjaga malam itu merasa sangat gelisah. Ia berlari lagi ke tiang listrik lain. Ternyata lelaki itu pun sudah ada di sana. Wajahnya tersembunyi di balik topi lebar, mendekapkan tangan tenang-tenang, tersenyum-senyum melihat kegelisahan penjaga malam itu. Meski wajah orang itu tersembunyi di balik topi,

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 145 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 155: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

146

penjaga malam itu masih bisa melihat senyum dikulum pada mulutnya yang mengejek.

Waktunya tinggal sedikit.”Minggirlah,” katanya. ”Aku harus memukul tiang lis trik itu

satu kali.”Lelaki itu tidak minggir, dari mulutnya masih terlihat se-

nyuman, yang bukan hanya mengejek, tapi sudah menghina.Penjaga malam itu mengambil pisau belati yang selalu ter-

gantung di pinggangnya. Senjata tajam itu sudah berkarat, maka tidak ada yang berkilat di bawah cahaya bulan.

”Minggirlah, aku tidak punya waktu lagi,” katanya.Lelaki itu tidak beranjak.”Aku di sini untuk menghalangimu,” katanya, ”lakukanlah

apa yang harus kamu lakukan.”Penjaga malam itu menggerakkan pisaunya.Kemudian, seorang perempuan yang tidak bisa tidur karena

patah hati, mendengar tiang listrik dipukul batu sebanyak satu kali. Suaranya bergema di tengah malam yang sunyi. Tepat pada waktunya.

Pondok Aren,Jum’at 15 November 2002.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 146 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 156: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

147

Komidi Puter

a-da, kuda1, engkau berlari dengan mulut berdarah, da-da, kuda, melintasi padang rumput, melompati jurang,

menyeberangi sungai, menyusuri pantai, menembus hutan, mele-wati kota, mengarungi benua, memburu cakrawala, da-da, kuda, berderap di bawah langit dengan surai gemulai yang berkilat ke-emas-emasan di bawah cahaya senja tiada pernah bertanya akan berakhir sampai di mana. Da-da, kuda, mereka semua berderap seperti sepakat tiada saling membalap, berderap seperti menari, berderap seperti melayang, berlari dan mencongklang seperti terbang, da-da, kuda, dan hanya kuda-kuda mengerti apa artinya menderap di padang terbuka, hamparan permadani, sajadah dunia, dalam derap secepat angin, tapi suaranya seperti bisikan dari kejauhan, sejauh-jauh mata memandang, da-da, kuda, yang masih berlari ke arah matahari jingga yang separuh tenggelam.

Tiada pernah kukira kuda bisa berlari di atas air. Kulihat kuda-kuda berderap di lautan membentang, tanpa sayap dan tanpa tanduk, berderap melaju dengan bunyi percik memercik-mercik, di kejauhan, melintasi kapalku. Da-da, kuda, ke manakah kamu,

1Dari sajak Wing Karjo, ”A/Z”, bagian 7: Da-da, kuda, diamlah / benda ajaib—/ mainanmu, Nak, Putih / terlalu jinak. Lembut / dari dunia mimpi., dalam Perumahan (1975), hlm. 44.

a-da, kudada, kuda, melintasi padang rumput, melompati jurang,

menyeberangi sungai, menyusuri pantai, menembus hutan, mele-D

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 147 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 157: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

148

begitu cepat kamu, begitu lambat kamu, berlari atau menari, wahai kuda, segala kuda berlari di antara cahaya, berkelebatan, seperti mimpi tapi bukan mimpi, seperti kuda tapi memang kuda, cahayakah atau nyata, gambar bergerakkah atau kuda, tapi memang kuda, dan hanya kuda. Da-da, kuda, seluruh kuda dari seluruh dunia bergerak dan berlari, terbang dan memimpi ke seluruh penjuru bumi ketika semua orang tertidur lelap nyenyak dalam labirin mimpinya sendiri-sendiri sehingga tiada seorang pun memang akan mengerti betapa ada begitu banyak kuda, beratus-ratus kuda, beribu-ribu kuda, berjuta-juta kuda menderap tanpa suara dan tanpa kepulan debu melaju sepanjang padang dengan gerak yang begitu lambat seperti gerak lambat seekor ulat tapi yang berpindah tempat begitu cepat secepat cahaya yang melesat.

Da-da, kuda, tak seorang pun melihatnya, ada tapi tiada, melintasi cahaya gemilang, sekian banyak kuda, begitu banyak kuda, akan seberapa banyak lagikah kuda? Begitu banyak rahasia terbentang selama manusia tertidur, begitu banyak cerita di balik tabir kegelapan malam, tapi bagaimanakah cara mengetahuinya? Manusia yang telah begitu lelah dengan begitu banyak pikiran di kepalanya sendiri tak akan pernah mengerti rahasia di balik mata-nya sendiri yang terpejam diam-diam tak terbuka selama ratusan tahun. Begitulah manusia selalu merasa telah tidur nyenyak dan lelap dalam satu malam tanpa pernah terbangun satu detik pun seperti kena sihir pencuri yang menyebarkan tanah pekuburan, padahal dalam semalam waktu telah lewat berabad-abad...

Namun seribu kuda tak pernah menjadi tua meski telah berlari selama beratus-ratus tahun. Seribu kuda, beribu-ribu kuda, berjuta-juta kuda, menderap dan melaju menembus segala macam cuaca. Bagaimana mungkin manusia mengarungi seribu

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 148 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 158: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

149

mimpi sementara sesuatu yang lebih indah dari mimpi lewat menderap di depan hidung mereka sendiri? Itulah masalahnya. Apalah yang bisa diketahui manusia? Tidak tentang berjuta-juta kuda yang berlari seperti menari, melaju seperti puisi, dengan kertap cahaya yang berkeredap dari balik surainya, tidak juga tentang apa saja yang berada di luar jangkauannya. Da-da, kuda, tidak ada yang meringkik, tapi tidak berarti mereka tidak terta-wa, karena mereka bisa mengikuti mimpi-mimpi manusia yang tertidur. Mereka terus berlari dengan pikiran yang bisa membaca dunia. Berlari dan berlari, dengan mata yang sayu.

Tidak ada makhluk lain tampak di manapun berjuta-juta kuda itu berlari. Tiada gemuruh dan kepulan debu, tiada ringkik dan getaran bumi, tetapi makhluk-makhluk tiada pernah tam-pak—tiada burung elang yang melayang-layang, tiada monyet yang menjerit-jerit, tiada semut di lubang manapun di padang rumput. Hanya kuda-kuda, tanpa sayap dan tanpa tanduk, kuda-kuda biasa, berjuta-juta, muncul dari balik cakrawala dengan matahari di belakang mereka, meng hitam seperti bayang-bayang, berjuta-juta bayang-bayang kuda berkelebat, begitu cepat dan begitu lambat, seperti gerakan para dewa di layar dunia. Lewatlah kuda-kuda tanpa suara, tiada seorang pun tahu dari mana mereka dan menuju ke mana. Da-da, kuda, dari balik matahari mereka seperti muncul begitu saja, menimbulkan pertanyaan tentang dunia seperti apa, yang membiarkan manusia tidur begitu lama, seperti hanya semalam tapi sudah kehilangan segalanya.

Alangkah mahalnya mimpi-mimpi dalam semalam, yang begitu membuai tapi sama sekali tidak nyata. Kuda-kuda ini nyata, berderap tanpa suara, tapi mengapa mulutmu berdarah, da-da, kuda? Kuda-kuda berderap bersama di padang alang-alang sampai bertemu sebuah sungai, di sungai itu mereka berenang

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 149 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 159: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

150

dalam kelompok-kelompok sampai ke seberang, dan mereka berbaris satu persatu dan berjalan pelahan-lahan menyusuri jalan setapak di tepi jurang. Tentu saja itu jalan setapak manusia, tetapi untunglah tidak pernah ada seorang manusia pun yang barangkali sedang berburu kebetulan berpapasan dengan kuda-kuda itu, karena berapa lamakah seseorang harus menunggu sampai berjuta-juta kuda itu lewat begitu pelahan karena begitu hati-hati berjalan di jalan setapak di tepi kemiringan jurang?

Berjuta-juta kuda berjalan menembus hutan yang berembun melewati jalan setapak di tepi jurang tanpa suara. Kuda-kuda berjalan di tepi jurang dengan kepala menunduk, melangkah satu persatu dalam kecuraman jurang yang menggiriskan. Jalan setapak itu begitu panjang dan jurang itu begitu dalam dan entah berapa lama akhirnya suatu malam kuda-kuda itu keluar dari hutan dan melangkah di tepi sungai yang dangkal dan gemericik airnya begitu jernih dan begitu menyegarkan. Hanya setelah berminggu-minggu jutaan kuda itu akhirnya melewati hutan berjurang dengan hanya jalan setapak untuk berjalan. Di tepi sungai mereka minum sebentar lantas melanjutkan perjalanan.

Da-da, kuda, begitu banyak kuda dan tiada satu manusiapun menungganginya tapi siapa bilang kuda diciptakan hanya untuk menjadi tunggangan? Kuda-kuda tanpa pelana, berkilat dalam usapan cahaya, melangkah dengan anggun di tepi sungai yang gemercik keperakan, sesekali berhenti minum, berjalan dengan mata sayu, beriringan sepanjang sungai yang kadang lurus ka-dang berkelok dan suatu ketika menyeberang berdua-dua, ber-tiga-tiga, berlima-lima, berombongan, membuat gemercik aliran sungai tiba-tiba berbeda karena kaki-kaki kuda yang berjuta-juta menyeberangi sungai yang tentu saja berlangsung lama...

Seorang anak terbangun di malam hari.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 150 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 160: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

151

”Ibu, ke mana kuda kita?”Kali ini tidak ada manusia yang mempunyai kuda, berjuta-

juta kuda melepaskan diri dari kepemilikan dan kekuasaan ma-nusia. Kuda telah melepaskan diri dari kebudayaan, bahkan tidak seorang pun bisa bermimpi tentang kuda-kuda lagi. Kuda-kuda itu sudah tidak terjangkau. Mereka menyusuri sungai sampai ke tepi pantai. Menggoyangkan ekor dan mendengus seperti tidak peduli dengan ombak. Mereka mencari rerumputan di tepi sungai, dan saling berbicara dengan cara saling memandang dan saling menyentuh.

Da-da, kuda, mereka bisa berlari di atas permukaan laut, tapi mereka tetap tinggal di tepi pantai dan saling mendengus serta bersentuhan di bawah rembulan. Berjuta-juta kuda memenuhi pantai, dengan hempasan ombak yang bernyanyi, tiupan angin yang merintih, serta permukaan laut yang berkilat keperak-perakan. Tiada satu kuda menengok rembulan, kepala mereka tertunduk dan mata mereka masih sayu. Hanya ekornya terka-dang bergoyang pelan.

Di antara kuda-kuda itu terdapat kuda anak yang terbangun di malam hari itu. Ia berjalan, mendengus, dan mendongak di antara banyak kuda yang menunduk.

”Hanya kuda, dan tiada lain selain kuda,” pikirnya. Ia teringat anak kecil itu, yang setiap pagi mengelus-elus

kepalanya. Berbisik-bisik dan bercerita, menyampaikan segala rahasia. Meski tidak bisa berbicara dalam bahasa manusia, ia bisa mengerti setiap kata yang diucapkan anak itu. Jika ia bisa berbicara, banyak juga yang akan diceritakannya, seperti juga ia ingin bicara tentang betapa suatu hari ia akan meninggalkannya. Setiap kuda yang ditemuinya dan pernah dipelihara manusia mengalami hal yang sama, mereka tidak mengetahui cara yang

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 151 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 161: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

152

terbaik untuk memberitahukan perpisahan dengan dunia manu-sia untuk selama-lamanya.

Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pergi keluar dari kandangnya suatu malam. Pergi begitu saja mengikuti bisikan yang menuntunnya, bisikan yang tidak terdengar di telinga mela-inkan menancap langsung ke dalam otaknya dan menggerakkan seluruh tubuhnya. Ia bertemu dengan begitu banyak kuda yang keluar dari kandang dan istalnya, melangkah begitu saja seperti sudah saling mengerti, menuju ke suatu keadaan yang belum tentu akan bisa dimengerti. Ia hanya tahu bahwa setiap kuda ha-rus bergabung dengan semua kuda, untuk melakukan pencarian bersama yang belum lagi diketahui akan ketemu di mana.

Maka ia ikut mencongklang bersama kuda-kuda itu, berlari dan berlari dan merasakan betapa bumi bagai tiada diinjaknya. Kuda-kuda itu seperti terbang bersama tapi bukan terbang, berlari tapi bukan berlari, melesat dan melaju tapi bukan melesat dan melaju karena meskipun sungguh cepat tetapi juga sangat lambat. Bagaimanakah semua ini bisa ia jelaskan?

”Aku hanya seekor kuda,” pikirnya.Da-da, kuda, di tepi pantai, bersama berjuta-juta kuda lain-

nya, mereka berdiri berjajar-jajar menghadap ke laut. Rembulan bagaikan piring keperakan raksasa yang membuat laut juga serba keperak-perakan nyaris seperti cairan logam. Seluruh kuda yang berjuta-juta itu melangkah ke laut. Mereka tidak berlari, tapi berjalan saja pelan-pelan. Lautan tidak bergelombang dan ombak tidak mengempas, seluruh kuda itu berjalan pelahan me-nuju cakrawala. Namun kuda yang dimiliki anak kecil itu tidak menggerakkan kakinya. Ia mendengus, menggerakkan ekor, tapi tidak melangkah. Ditatapnya kuda-kuda bergerak pelan menuju cakrawala, makin lama makin jauh dan akhirnya menghilang...

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 152 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 162: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

153

”Aku seekor kuda yang hanya sendiri saja di dunia,” pikirnya, ”kalau aku mati nanti tak akan ada kuda lagi di muka bumi.”

Untuk beberapa saat ia masih memandang lautan yang ko-song. Tiada lagi pemandangan berjuta-juta kuda.

Ia belum juga tahu betapa mulutnya berdarah.Ketika anak itu bangun, waktu sudah lewat berabad-abad.

Ia langsung mendekati kuda itu di kandangnya, memeluk dan mengusap-usap kepalanya.

”Da-da, kuda, engkau pergi ke mana? Waktu aku bangun semalam engkau tak ada.”

Dari jendela dapur, ibunya memandang anak di kandang kuda yang kosong itu dengan sedih.

”Lagi-lagi anak itu bicara dengan dirinya sendiri,” gumamnya.Di dinding dapur itu tergantung potret seekor kuda. Entah

siapa mencoret-coret bagian mulutnya dengan spidol merah, sehingga mulut itu seperti meneteskan darah...

Pondok Aren, Kamis 2 Januari 2003. 07:36.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 153 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 163: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 154 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 164: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

155

Linguae

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 155 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 165: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 156 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 166: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

157

Cermin Maneka

i depan cermin Maneka tertegun. Ia tidak melihat dirinya sendiri. Kalaulah harus ada satu hari yang harus

menjadi lain di antara hari-hari lain, ia tidak mengharapkan kelainan itu berlangsung begini rupa. Setiap malam ia memang berdoa agar hidupnya berubah keesokan harinya. Ia berdoa agar hari-harinya tidak lagi begitu membosankan dan begitu menye-balkan justru karena tidak pernah ada persoalan. Segalanya begi-tu mudah bagi Maneka, begitu lancar dan begitu beres sehingga tiada lagi perkara yang bisa menjadi masalah baginya. Ternyata, hidup tanpa persoalan juga bukan sesuatu yang menyenangkan. Maka, begitulah setiap hari ia berdoa agar hidupnya berubah—dan pagi ini, bangun tidur, hidup tidak berlangsung seperti biasanya. Di depan cermin, ia tidak melihat dirinya sendiri.

Maneka bukan hanya tidak melihat dirinya sendiri. Ia juga tidak melihat kamarnya yang serba kelabu. Temboknya berwarna kelabu, lantai, seprei, langit-langit juga kelabu. Ada kelambu, yang tidak perlu, karena kamarnya ber-AC, warnanya putih lem-but, hanya menjadi hiasan ranjangnya. Namun, sisanya serba ke-labu. Ada sebuah lukisan besar di dinding, sebuah lukisan hujan gerimis dengan seorang perempuan berjalan menjauh membawa payung. Lukisan itu juga serba kelabu. Kalau ada warna kuning, itulah cahaya lampu di tepi ranjang dan kamar mandi.

menjadi lain di antara hari-hari lain, ia tidak mengharapkan D

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 157 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 167: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

158

Bila Maneka menatap lukisan tersebut sebelum tidur, ia selalu ingin bangun sebagai perempuan dalam lukisan itu.

”Aku ingin bangun pada suatu pagi ketika aku berjalan menempuh hujan gerimis sambil membawa payung melalui jalan berkelok-kelok di tepi jurang menuju entah ke mana,” ujarnya di dalam hati. Namun bukan saja hidupnya tidak berubah, bahkan bermimpi pun ia tidak pernah. Maneka adalah manusia yang tidak pernah mengalami mimpi. Maneka merasa sangat bosan. Hidupnya seperti sebuah garis lurus yang tidak menarik sama sekali. Ia inginkan gerimis, ia inginkan hujan, ia inginkan sebuah perjalanan. Maneka menginginkan perubahan.

Di dalam cermin itu ia melihat hutan. Tentu ini hutan bukan? Pikirnya. Dilihatnya cahaya matahari menembus celah dedaun-an dan batang-batang pohon raksasa. Ia melihat sebuah hutan dalam dongeng dengan burung-burung berkicau, kericik air, dan jeritan monyet di kejauhan. Sesekali terdengar kibasan sayap burung-burung besar, menyibak di antara suara-suara serangga yang sebentar diam sebentar berbunyi. Ini sebuah hutan yang ba-gus, hijau, dan berbau basah. Maneka menghirup bau humus, ia mengulurkan tangannya. Wah, cerminnya tidak berkaca. Cermin tempatnya berhias yang bulat tinggal sebuah bingkai menuju ke dunia yang lain. Masih dengan baju tidurnya yang tipis dan lem-but, Maneka melangkah memasuki cermin itu, dan berlari di atas rumput basah menuju ke aliran sungai.

Maneka melompat-lompat riang. Hidupnya sudah berubah. Ada persoalan besar yang harus dipecahkannya kini. Mengapa cerminnya bisa menjadi ajaib seperti itu? Tentu saja hal itu tidak bisa dijawabnya sekarang, dan memang tidak harus sekarang. Ia tidak ingin hidupnya segera menjadi membosankan kembali. Ia ingin menikmati dahulu dunia di balik cermin itu, sebuah hutan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 158 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 168: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

159

lebat yang dahsyat dan menyenangkan, sebuah dunia tanpa manusia yang tersimpan dan tersembunyi untuk dirinya sendiri. Ia melihat bunga-bunga yang tidak pernah dilihatnya, bahkan di toko bunga yang paling mahal sekalipun. Bunga-bunga hutan yang tumbuh liar tanpa sentuhan tangan manusia selalu lebih memesona daripada bunga di taman kota manapun.

Maneka merendam kakinya yang mungil itu di sungai yang jernih dengan bebatuan yang terlihat jelas di dasarnya. Caha-ya matahari membuat segalanya terlihat demi Maneka. Mata Maneka yang takjub bagaikan ingin menelan dunia ke dalam dirinya. Ia tidak pernah mengira bahwa daun yang tertimpa cahaya di sebaliknya memperlihatkan pesona hijau yang berbeda. Kerangka daun menjadi garis-garis hitam, ia tidak seperti melihat daun, melainkan sesuatu yang lain. Mata Maneka berkejap-kejap memandang semesta dedaunan yang melingkupinya.

Ia menoleh ke arah dari mana ia datang. Bisakah ia kembali ke kamarnya melalui cermin itu? Maneka terkesiap, dan berlari sekencang-kencangnya. Disibaknya semak-semak setengah gu-gup dan melaju ke arah bingkai yang tadi dimasukinya. Ternyata ia sudah jauh berjalan. Dengan terengah-engah Maneka berlari mendaki. Burung-burung beterbangan dari semak karena terkejut. Kini Maneka tak peduli. Ia berlari dan berlari, sampai akhirnya melihat tempat di mana ia tadi masuk. Ia melompat kembali ke kamarnya. Angin bertiup, dan sejumlah daun kering ikut beter-bangan masuk ke sana. Maneka menoleh, ia melihat dirinya di cermin, di dalam kamar yang serba kelabu, masih terengah-engah dan baju tidurnya robek di sana-sini. Terdengar ketukan di pintu.

”Maneka! Maneka! Sudah jam segini kok belum bangun?”Ibunya tidak menunggu. Ia membuka pintu. Dilihatnya Ma-

neka sedang memandang cermin dengan terengah-engah.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 159 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 169: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

160

”Maneka! Kami dari mana? Lihat kakimu! Kotor!”Maneka melihat kakinya, penuh dengan tanah yang basah.

Lantai kamarnya penuh jejaknya yang kotor. Daun-daun kering bertebaran di atas tempat tidur.

Jendela masih tertutup. Ibunya tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun, ia senang melihat mata Maneka yang cemerlang seperti bintang.

Setelah ibunya pergi, Maneka menyanyi:cerminku, cerminkukenapa kamu bisa begitu…

*

Sejak peristiwa itu Maneka selalu berangkat tidur dengan perasa-an pergi ke sebuah negeri yang jauh. Ia masih selalu tidur tanpa bermimpi. Namun ketika bangun, matanya segera melirik ke arah cermin, dan ia tahu betapa dunia sudah berubah di seberang sana. Ia akan mengalami mimpi-mimpi yang nyata. Masih dari tempat tidurnya ia tahu bagaimana segalanya menjadi lain, ka-rena cermin itu tidak pernah lagi memantulkan kamarnya yang serba kelabu. Apabila ia terbangun, ia melihat tepi sebuah dunia yang lain tempat ia bisa mengembara sepuas-puasnya. Seluruh dunia terdapat di balik cermin itu.

Pernah suatu ketika ia bahkan terbangun karena mendengar suara panggilan.

”Maneka! Maneka!”Ia menuju ke cermin itu, terlihat dermaga yang menuju ke

sebuah kapal.”Ayo! Jadi ikut tidak?”Ia melihat sebuah kapal pesiar dengan orang-orang berpesta di

atasnya. Maneka tidak beranjak. Ia tidak suka berada di tengah

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 160 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 170: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

161

orang banyak. Ia lebih suka sendiri. Maka ia tidak melangkahkan kakinya. Ia menggeleng. Perempuan yang tadi memanggilnya pun pergi. Dilihatnya perempuan yang juga masih mengenakan baju tidur itu menaiki tangga kapal, dan kapal itu pun membu-nyikan peluitnya. Maneka terus melihat kapal yang putih itu, sampai menghilang ke balik cakrawala.

Dunia begitu luas di balik cermin itu. Dalam waktu singkat Maneka merasa dirinya begitu kaya karena mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain. Ibunya masih selalu merasa bingung dengan keajaiban di dalam kamar Maneka. Kamar yang serba kelabu itu semakin sering menyisakan jejak-jejak dari dunia di seberang cermin. Bukan sekadar tanah dan daun-daun kering, tapi juga bunga-bunga, kayu bakar, mutiara, baju zirah, kitab sihir, tikus putih, sup kacang merah, topi, tombak, prangko, ban mobil, komik, mahkota, kain batik, disket, kamera, cermin kecil, tas, sapu lidi, bros, liontin, kulit kerang, teropong bintang, kaus oblong I Love New York, batu-batu pantai, pistol, pil koplo, dan akhirnya juga kondom.

Tiga benda terakhir itu membuat ibunya panik, tetapi tetap berusaha bijak.

”Maneka, Ibu menganggap kamu sudah dewasa, jadi Ibu sepenuhnya percaya kamu tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tolong hati-hatilah setiap kali engkau melangkah dalam hidupmu. Ibu tidak ingin kehilangan kamu.”

Maneka meyakinkan ibunya bahwa ia baik-baik saja, dan ibunya memilih untuk percaya. Tentu saja. Apalah yang harus dikhawatirkan dari seorang dara yang tidak tergantung kepada apa pun dalam menentukan langkahnya?

Pagi ini Maneka kembali bangun dan kembali melirik, hidup sudah tidak membosankan lagi bagi Maneka karena setiap hari

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 161 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 171: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

162

betul-betul dialaminya peristiwa baru. Saat ia melirik, dilihatnya semburat cahaya senja yang kemerah-merahan dari langit di luar sana yang membias ke dalam kamarnya. Kamarnya tidak lagi kelabu pagi itu, melainkan kemerah-merahan karena cahaya senja dari matahari yang sedang turun perlahan-lahan ke balik cakrawala di seberang sana. Angin meniupkan bau laut. Cuping hidung Maneka bergerak. Ia melompat bangun dan menengok cermin itu, dan tertatap olehnya sebuah pemandangan yang penuh pesona. Tiada yang bisa lebih memesona selain senja merah keemas-emasan di tepi sebuah pantai yang membuat langit semburat jingga seperti seolah-olah terbakar sehingga air laut yang memantulkannya bagai genangan cat air yang kejingga-jinggaan dan keemas-emasan dan berkilau-kilauan.

Maneka beranjak dan melompat tanpa berpikir lagi. Baginya pemandangan senja adalah segala-galanya dalam hidup ini karena adalah senja yang memberi keyakinan kepadanya betapa hidup memang tidak akan pernah sama. Senja selalu menyadarkan Maneka, betapa perubahan adalah keberlangsungan setiap detik dan meski betapa indah dan betapa penuh pesona senja itu, tetapi akan selalu berakhir.

Itulah sebabnya ia selalu memburu senja, seperti memburu cinta, betapapun tiada akan pernah abadinya cinta itu.

Ia berlari sepanjang pasir menuju ke pantai. Senja memang gemilang, tetapi dilihatnya mayat bergelimpangan. Mayat-mayat bergelimpangan sepanjang pantai yang berkilauan, sesekali terdo-rong karena hempasan ombak. Maneka terpana, ratusan, bahkan ribuan mayat terserak sepanjang pantai itu bagaikan akhir dari sebuah pertempuran yang maha dahsyat. Pantai begitu indah, namun malapetaka hanya menyampaikan duka. Maneka me-langkah di antara ribuan mayat yang tergolek dan bertumpuk

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 162 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 172: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

163

bagaikan susunan sebuah monumen. Sesekali dilihatnya darah mengalir di pasir yang basah. Ombak berdebur dan menghempas seperti biasanya ombak berdebur dan menghempas, tetapi kali ini Maneka tidak sempat merenung. Ia memeriksa mayat itu satu per satu dengan harapan setidaknya masih bisa menemukan satu atau dua atau beberapa orang yang masih hidup, tetapi semuanya sudah mati.

Maneka berlari dari mayat yang satu ke mayat yang lain. Kali ini dunia di balik cermin itu bukan lagi sesuatu yang membuat-nya meloncat-loncat bahagia. Air mata Maneka berderai melihat wajah-wajah yang menderita dalam kematiannya. Wajah-wajah yang penuh dengan cerita tak terbahasakan, tetapi menularkan langsung pengalaman duka mereka yang dalam. Mayat yang ter-telungkup dengan panah di punggungnya, mayat yang terkapar dengan tombak di perutnya, dan mayat terduduk dengan belati di dadanya. Bagaimanakah pengalaman bisa begitu menyakitkan? Dunia Maneka yang indah, meriah, dan bahagia dalam kesendi-riannya, rontok dan hancur lebur berkeping-keping tanpa sisa dalam dunia orang banyak. Cinta dan senja yang dirindukannya menjelma kepahitan tak tertahankan.

”Maneka! Maneka!” Ia mendengar suara, tetapi tak dipeduli-kannya.

Di tepi pantai itu, pohon-pohon nyiur berderet dalam siluet yang bagus, bagaikan pemandangan dari sebuah brosur pariwisata. Langit hanya merah dan Maneka menjadi sosok hitam yang ber-jalan di antara mayat-mayat bergelimpangan. Burung-burung ca-mar mengakhiri jeritannya dan menghilang. Maneka termenung dalam kegelapan yang menjelang. Mayat-mayat itu adalah mayat orang-orang yang terbunuh. Mayat-mayat itu masih hangat, darah masih mengalir, beberapa di antaranya bahkan baru menghem-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 163 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 173: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

164

buskan nafas penghabisan ketika Maneka mendekatinya. Hanya beberapa saat sebelum Maneka melangkah dari cermin itu dan berlari menuju ke pantai. Apakah yang telah terjadi? Maneka ber-harap kejadian yang dialaminya kali ini benar-benar hanya sebuah mimpi buruk.

Maneka melangkah meninggalkan pantai. Debur ombak menjadi suara di kejauhan. Di atas bukit pasir ia tertegun, ke manakah ia harus kembali? Tidak ada kehidupan di tempat ini, hanya mayat-mayat, pasir, dan debur ombak. Ia tak bisa menemukan tempat dari mana ia tadi datang.

*

Di kamarnya yang serba kelabu, ibunya membuka pintu. Kamar itu kosong. Ibunya melangkah masuk. Dibukanya kamar mandi. Juga kosong. Dari cermin yang bulat dan besar, ibunya melihat lukisan yang selalu dipandang Maneka. Lukisan seorang perem-puan yang melangkah dalam hujan gerimis, menempuh jalan berkelok-kelok di tepi jurang sambil membawa payung. Lukisan itu mengingatkannya kepada sesuatu.

”Aku ingin pergi jauh Ibu,” kata Maneka selalu di masa kecilnya, ”pergi jauh ke sebuah dunia yang belum kukenal.”

Ibunya keluar kamar. Ia memanggil.”Maneka!”Cermin Maneka tetap seperti dulu, diam dan membisu,

membayangkan kembali kamar yang kelabu.

Pondok Aren, Minggu Legi, 17 September 2000.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 164 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 174: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

165

Cintaku Jauh di Komodo1

anya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, mem-

bentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berka-rat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.

Aku mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya berani mengatakannya sema-cam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguh-nyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang

1Judul ini mengacu kepada judul sajak Chairil Anwar, ”Cintaku Jauh di Pu-lau”(1946).

anya laut. Handan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, mem-

bentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski H

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 165 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 175: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

166

barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguh-nyalah hubungan cinta kami yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap menggeli-sahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku?2

Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, tetapi kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa ber-kelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru.

Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula—betapa beratnya usaha kami me-nyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.

Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat

2Ingatan terbalik atas sajak ”Afterthought”: cintakah kau padanya/ cintakah kau padanya dalam Toeti Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995), hal. 75.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 166 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 176: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

167

usaha kami untuk menyatu kembali, ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah ka-rena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri.

Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali ini sangat membingungkan—tetapi selalu bisa kami

atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dahsyat itu, dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.

Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski perbedaan duniawi yang mem-bungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah yang terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai perem-puan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Namun tidak-kah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya?

Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai ma-nusia biasa, masih bisa mencintai kekasihku, jika kekasihku itu telah menjadi komodo?3

3Reptil bernama resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 167 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 177: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

168

Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo, yang sekarang berada di Pulau Ko-modo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang man-di di sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun.

Adapun karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing yang dimu-suhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo—dan kini aku datang ke pulau itu untuk mencarinya.4

Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum per-nah kami lahir kembali dengan berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali sebagai manusia—kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku,

Komodo, dengan jumlah sekitar 1.650 ekor (1994). Ternyata, terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak 1.000 ekor; dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sempat dihitung. Sisa makhluk purbakala itu baru ditemukan secara resmi pada 1911 oleh tentara Hindia Belanda dan diberi nama pada 1912 oleh P.A. Ouwens, kurator museum zoologi Bogor. Baca Linda Hoffman, ”Intro-duction” dan ”Enter the Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs” dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor (1997), hal. 111-114.4Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada 1987, tetapi terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam Muller, ibid., hal. 111-2.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 168 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 178: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

169

dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Apakah ia masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo? Kalaulah aku masih mem-punyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya ia akan mengenaliku—dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti supermi tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa ku-lakukan untukmu kekasihku?

*

Saat akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini seba-gai kekasihku. Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.

Aku turun di kampung Komodo5, dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman Nasional biasa memandu wisatawan, sehingga aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal. Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis itu.6

Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat ia merayap ke arahku di bawah ke-

5Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pu-lau itu, mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora. Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya (1987), terjemahan A. Ikram.6Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84 tahun, pada 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo—yang tertinggal hanyalah tripod-nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op.cit., hal. 112.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 169 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 179: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

170

rimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal dari kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi—apakah masih sahih jika aku berusaha tetap mempertahan-kan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata mengenal wujud—meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya seperti aku mencintai kekasihku….

Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubang-an, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu—apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan—dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.

Labuan Bajo, Juli 2003.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 170 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 180: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

171

Rembulan dalam Cappuccino

eminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappucci-

no. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya.

Cappuccino1 dalam lautan berwarna cokelat, dan rembulan itu datang langsung dari langit, tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas terapung-apung seperti bola pingpong—tapi ini bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang yang berada di dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa rembulan yang terapung-apung cangkir perempuan itu memang rembulan yang sebenarnya, seperti yang telah mereka pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka sak-sikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada.

Mereka bergumam, tapi tidak menjadi gempar, bahkan pura-pura seperti tidak terpengaruh sama sekali. Mereka kembali du-duk, berbincang dengan bahasa yang beradab, tetapi diam-diam melirik, seperti kepalsuan yang telah biasa mereka peragakan

1Kopi tradisional Italia, biasanya untuk sarapan—kopi espresso yang dibubuhi susu panas dan buih, sering juga ditaburi cokelat, dalam seduhan air panas 80 derajat celsius, dihidangkan dengan cangkir. (Sumber: dari bungkus gula non-kalori Equal).

no. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba S

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 171 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 181: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

172

selama ini. Para pelayan yang berbaju putih lengan panjang, me-ngenakan rompi, berdasi kupu-kupu, dan rambutnya tersisir rapi diam-diam juga memperhatikan. Semenjak kafe itu berdiri sepu-luh tahun lalu, baru kali ini ada yang memesan Rembulan dalam Cappuccino. Kafe itu memang menyediakannya, dan minuman itu memang hanya bisa dipesan satu kali, karena rembulan me-mang hanya satu.

”Rembulan dalam Cappuccino, satu!” Teriak pelayan ke dapur, dan kepala bagian dapur memijit-mijit nomor hp, seolah-olah ada persiapan khusus.

”Akhirnya tiba juga pesanan ini,” katanya, ”aku sudah bosan melihatnya di daftar menu tanpa pernah ada yang pesan.”

Kepala dapur itu bicara dengan entah siapa melalui hp.”Iyalah, turunin aja, sudah tidak ada lagi yang membutuhkan

rembulan.”Perempuan itu bukan tidak tahu kalau orang-orang mem-

perhatikannya. Apakah perempuan itu akan memakan rembulan itu, menyendoknya sedikit demi sedikit seperti menyendok es krim, ataukah akan menelannya begitu saja seperti Dewa Waktu menelan matahari?

Ia memperhatikan rembulan yang terapung-apung di cangkir-nya, permukaan cappuccino masih dipenuhi busa putih, seperti pemandangan Kutub Utara—tapi cappuccino itu panas, bagaikan masih mendidih. Ia senang dengan penampakan itu, dingin tapi panas, panas tapi dingin, segala sesuatu tidak selalu seperti tam-paknya.

*

Seminggu kemudian, seorang lelaki memasuki kafe itu, dan memesan minuman yang sama.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 172 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 182: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

173

”Rembulan dalam Cappuccino,” katanya.Para pelayan saling berpandangan.”Oh, minuman itu sudah tidak lagi ada Tuan, seorang

perempuan telah memesannya minggu lalu.”Lelaki itu terpana.”Apakah Tuan tidak memperhatikan, sudah tidak ada rembu-

lan lagi dalam seminggu ini?”Lelaki itu tersentak.”Seorang perempuan? Istri saya? Eh, maaf, bekas istri saya?”Para pelayan saling berpandangan. Salah seorang pelayan

menjelaskan ciri-ciri perempuan yang telah memesan Rembulan dalam Cappuccino itu.

”Ah, pasti dia! Dasar! Apa sih yang tidak ingin ditelannya dari dunia ini? Apakah dia makan rembulan itu?”

Para pelayan saling berpandangan lagi.”Tidak Tuan…””Jadi?””Kalau memang perempuan itu istri Tuan…””Bekas….””Maaf, bekas istri Tuan, mungkin Tuan masih bisa menda-

patkan rembulan itu.””Maksudmu?””Dia tidak memakannya Tuan, dia minta rembulan itu di-

bungkus.””Dibungkus?””Ya Tuan, ia tidak menyentuhnya sama sekali, hanya meman-

danginya saja berjam-jam.”Para pelayan di kafe itu teringat, betapa perempuan itu meng-

aduk-aduk Rembulan dalam Cappuccino, bahkan menyeruput cappuccino itu sedikit-sedikit, tapi tidak menyentuh rembulan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 173 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 183: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

174

itu sama sekali. Perempuan itu hanya memandanginya saja berlama-lama, sambil sesekali mengusap air mata.

Mereka ingat, perempuan itu masih di sana dengan air mata bercucuran, dan masih tetap di sana, kebetulan di tempat se karang lelaki itu duduk, sampai tamu-tamu di kafe itu habis menjelang dini hari.

Kemudian dia meminta rembulan itu dibungkus. Saat di-bungkus, rembulan sebesar bola pingpong yang semula terapung-apung di dalam cangkir itu berubah menjadi sebesar bola basket.

Itulah sebabnya kepala dapur meminta agar pencoretan Rem-bulan dalam Cappuccino dari daftar menu ditunda.

”Rembulan itu belum hilang,” katanya, ”siapa tahu perempu-an itu mengembalikannya.”

Lelaki itu memandang pelayan yang berkisah dengan seru. Ia baru sadar semua orang memandang ke arahnya. Ketika ia menoleh, tamu-tamu lain itu segera berpura-pura tidak peduli, padahal penasaran sekali.

”Kalau dia muncul lagi, tolong katakan saya juga mau rem-bulan itu.”

”Ya Tuan.”Lelaki itu melangkah pergi, tapi sempat berbalik sebentar.”Dan tolong jangan panggil saya Tuan,” katanya, ”seperti

main drama saja.”Padahal ia sangat menikmati perlakuan itu—seperti yang

dilakukan bekas istrinya sebelum mereka berpisah.

*

Tiada rembulan di langit. Tidak pernah terbayangkan akan ter-jadi betapa tiada lagi rembulan di langit malam. Namun di kota cahaya, siapakah yang masih peduli rembulan itu ada atau tidak?

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 174 10/24/2020 10:14:06 AM

Page 184: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

175

”Yang masih peduli hanyalah orang-orang romantis,” kata perempuan itu kepada dirinya sendiri.

”Atau pura-pura romantis,” katanya lagi.Dia berada di suatu tempat tanpa cahaya, kelam, begitu

kelam, seperti ditenggelamkan malam, sehingga bintang-bintang yang bertaburan tampak jelas, terlalu jelas, seperti peta dengan nama-nama kota. Perempuan itu belum lupa, apalah artinya na-sib satu manusia di tengah semesta, nasib yang sebetulnya jamak pula dialami siapa pun jua di muka bumi yang sebesar merica.

Namun, ia merasa bagaikan kiamat sudah tiba. Agak malu juga sebetulnya.

Banyak orang lain harus hidup dengan gambaran bagaimana ayahnya diambil dari rumahnya di tengah malam buta. Digelan-dang dan diarak sepanjang kota sebelum akhirnya disabet leher-nya dengan celurit sehingga kepalanya menggelinding di jalanan dan darahnya menyembur ke atas seperti air mancur deras sekali sampai menciprati orang-orang yang mengaraknya itu. Tidak sedikit orang yang hidup dengan kutukan betapa ibunya telah menjadi setan jalang yang memotong-motong alat kelamin lelaki sambil menyanyi dan menari, dan karena itu berhak disiksa dan diperkosa, padahal semua itu merupakan kebohongan terbesar di muka bumi. Hidup ini bisa begitu buruk bagi orang baik-baik meskipun tidak mempunyai kesalahan sama sekali. Tanpa pembelaan sama sekali.2 Tanpa pembelaan. Tanpa…

2Tentang penyiksaan sesama manusia Indonesia, bisa dilacak dalam sejumlah dokumen, antara lain, Pipit Rochijat, ”Am I PKI or Non PKI?” dalam Indone-sia edisi 40 (Oktober 1985); A Latief, Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000); Sulami, Perempuan—Kebenaran dan Penjara (1999); Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang (2003), dan tentu saja Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Tunggal Seorang Bisu (1995).

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 175 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 185: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

176

Langit malam tanpa rembulan. Ada yang terasa hilang me-mang, tetapi selebihnya baik-baik saja. Tentu kini hanya bisa dibayangkannya bagaimana rembulan itu seperti perahu yang membawa kelinci pada malam hari dan mendarat di Pulau Jawa. Namun, tidakkah manusia lebih banyak hidup dalam kepalanya daripada dalam dunia di luar batok kepalanya itu? Apabila dunia kiamat, dan tidak ada sesuatu lagi kecuali dirinya sendiri entah di mana, ia bahkan masih memiliki sebuah dunia di dalam kepalanya. Tanpa rembulan di langit ia bisa melihat rembulan seperti perahu membawa kelinci yang mendarat di Pulau Jawa.3

Rembulan itu berada di punggungnya sekarang, terbungkus dan tersimpan dalam ransel—apakah ia berikan saja kepada bekas suaminya, yang diketahuinya selalu bercita-cita memesan Rembulan dalam Cappuccino? Kalau mau kan banyak cappuc-cino instant di lemari dapur (ia lebih tahu tempat itu daripada suaminya) dan meski rembulan di punggungnya sekarang sebesar bola basket, nanti kalau mau dimasukkan cangkir akan me-nyesuaikan diri menjadi sebesar bola pingpong. Dia dan bekas suaminya sebetulnya sama-sama tahu betul hukum rembulan itu, tapi itu cerita masa lalu—sekarang ia berada di sebuah jembatan dan sedang berpikir, apakah akan dibuangnya saja rembulan itu ke sungai, seperti membuang suatu masalah agar pergi menjauh selamanya dan tidak pernah kembali? Setiap orang mempunyai peluang bernasib malang, kenapa dirinya harus menjadi perke-

3Dari Sumanasantaka (sekitar 1204) karya Mpu Monaguna: ”sang hyang can-dra bangun bahitra dateng ing kulem amawa sasa mareng jawa.” Tentang segi astronomi bait ini, apakah itu bulan sabit di cakrawala sehingga bentuknya seperti perahu, ataukah bulan purnama, yang memungkinkan gambaran seekor kelinci, baca P.J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), terjemahan Dick Hartoko, hal. 238.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 176 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 186: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

177

cuali an? Ia seperti sedang mencurigai dirinya sendiri, jangan-jangan ia hanya mewajibkan dirinya berduka, karena selayaknya-lah seorang istri yang diceraikan dengan semena-mena merasa terbuang, padahal perpisahan itu membuat peluangnya untuk bahagia terbuka seluas semesta….

Dalam kegelapan tanpa rembulan, perempuan itu tidak bisa melihat senyuman maupun air matanya sendiri di permukaan sungai yang mengalir perlahan—dan ia tak tahu apakah masih harus mengutip Pablo Neruda.

Tonight I can write the saddest lines….4

*

Tiga minggu kemudian, pada hari hujan yang pertama musim ini, perempuan itu muncul lagi di kafe tersebut.

”Saya kembalikan rembulan ini, bisa diganti soto Betawi?”Itulah masalahnya.”Tidak bisa Puan, kami tidak punya soto Betawi, ini kan

restoran Itali?” Nah!

Pondok Aren, Minggu, 31 Agustus 2003. 07:40.

4Puedo escribir los versos mas triste esta noches—dari ”Puedo Escribir” (”Tonight I Can Write”) dalam Pablo Neruda (1904-1973), 20 Puemas de amor y una Can-cion desesperada (Twenty Love Poems and a Song of Despair), 1924, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh W.S. Merwin, terbit pertama kali tahun 1969.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 177 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 187: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

178

Tong Setan

i sebuah pasar malam, terlihat Tong Setan. Di loketnya tertera, harga karcis Rp 5.000,-

”Pertunjukan segera dimulai!”Orang-orang antri membeli karcis demi anaknya, karena mereka

sudah tahu apa yang akan mereka lihat—tapi mereka tidak pernah tahu apa yang akan dipikirkan anaknya, seperti juga orangtua mereka dulu tak pernah tahu apa yang mereka pikirkan ketika menonton Tong Setan itu.)

*

Berputar dan berputar kedua sepedamotor itu berputar dan ber-putar dengan dua motoris pemberani dan jenaka yang menggebu sepanjang jalan tanpa ujung yang berputar-putar berputar-putar dan berputar-putar tanpa henti tanpa tahu kapan harus berhenti karena berputar adalah berputar dan berputar bukanlah berputar melainkan tenang-tenang saja seperti bukan berputar padahal ber-putar meski sebenarnya tidak berputar tapi sungguh mati tampak berputar-putar. Benarkah kedua motoris itu berputar? Di mata para motoris tidak ada yang harus tampak seperti berputar tidak ada yang harus disebut sebagai berputar-putar karena segalanya hanya lurus saja hanya lempeng saja seperti jalan tol yang lurus dan kosong hanya mereka berdua berkendara dengan santai de-

i sebuah pasar malam, terlihat Tong Setan. Di loketnya tertera, harga karcis Rp 5.000,-

”Pertunjukan segera dimulai!”D

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 178 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 188: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

179

ngan kaki di atas setang menanti lambaian uang yang kemudian memang akan terlambai-lambai minta disambar dengan santai seolah-olah para motoris duduk di kursi malas menghadap pan-tai dengan ombak berdebur ketika matahari membuat cakrawala keperakan di siang hari yang panas sehingga dunia tampak hanya sebagai garis-garis putih kemilau berkilau-kilau sepanjang cakra-wala di mana motoris itu melaju.

Berputar dan berputar para motoris melaju dalam cakrawala melingkar membentuk tong setan di mana suara sepedamotor menderum-derum dan asap knalpot menyesakkan paru-paru membikin pusing orang banyak yang terbisingkan sekaligus ter-kagumkan melihat para motoris yang entah sudah makan atau belum makan karena harus berputar-putar dulu menyambar uang yang melambai-lambai seperti tangan-tangan takdir yang telah melambai-lambaikan mereka dari kota ke kota dari kam-pung ke kampung dari pasar malam satu ke pasar malam lain tempat peruntungan terlambai-lambai dari tangan ke tangan yang memegang uang hanya untuk mereka sambar demi kelan-jutan perjalanan demi berlangsungnya perputaran dalam suatu tong raksasa yang bukan sembarang tong tetapi seperti tong tempat para motoris akan berputar-putar miring begitu rupa antara kesetanan dan dikejar setan padahal hanya bermain-main dengan setan yang ikut berputar-putar bersama motoris yang berputar-putar meski mereka hanya melaju lurus saja sebetulnya selurus-lurus cakrawala yang akhirnya berputar-putar juga.

Sebetulnya setan-setan ikut berputar di dalam tong itu, me-loncat-loncat dan menari-nari, melompat ringan, melayang dan mengambang, tertawa-tawa naik turun di tengah ruang semen-tara para motoris berputar-putar seolah-olah kesetanan padahal hanya pura-pura kesetanan sehingga betul-betul seperti kesetanan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 179 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 189: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

180

meskipun setan yang benar-benar setan tidak pernah berputar-putar kesetanan di atas sepedamotor yang meraung-raung melaju tanpa tuju di dalam tong setan seperti itu. Setan-setan periang bergembira ria memuja bahaya yang ditempuh para motoris yang tidak merasa ada sesuatu yang betul-betul berbahaya ketika mereka melaju seperti melaju di jalan tol yang lurus dan panjang, luas dan aman, bahkan seakan begitu pelan bagaikan tarian yang paling lamban meski bisa melaju seratus kilometer per jam.

Berputar dan berputar—adakah sesuatu yang tidak berputar seperti motoris dengan tong setannya yang merasa lurus padahal berputar dan merasa berputar padahal lurus-lurus saja di atas be-nang cakrawala kemilau berkilau-kilau di bawah sorot lampu dan sorak-sorak hore dan lambaian tangan yang melambai-lambaikan uang? Para motoris merasa berada di tepi pantai, melaju lurus di tepi pantai dengan lidah-lidah ombak mengempas ke pantai yang basah dengan nyiur melambai dan orang-orang bersantai dengan kacamata hitam dan matanya meram dalam kehitaman tak terbayang di luar dunia terdapat para motoris yang melaju di situ-situ saja dan hanya di situ-situ saja meski mereka merasa telah mengarungi dunia sepanjang pantai melambai sepanjang uang melambai-lambai dengan asap knalpot memenuhi paru-paru membakar dan menghanguskannya sehingga bahkan setan-setan melejit meninggalkan ruang lebih suka menonton bersama penonton yang melambai-lambaikan uang.

Begitulah para motoris berputar-putar tanpa peduli ada atau tidak ada setan karena mereka lebih setan dari setan yang meng-gebu kesetanan tanpa satu setan pun bisa mengimbanginya kecu-ali cengangas cengingis dan cengengesan sebagaimana layaknya setan yang tidak bertanggung jawab atas apa pun kecuali dalam kualitas godaan yang tidak punya kesempatan dalam dunia yang

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 180 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 190: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

181

berputar dan terputar yang menggebu dan tergebu yang melaju dan terlaju yang melampaui dan terlampaui dalam perputaran sepedamotor yang meraung-raung sekeras-keras raungan dalam kebut-kebutan tanpa tujuan selain berputar-putar dan terputar-putar meski tong itu ternyata bukan tong melainkan jalanan mulus yang sungguh-sungguh mulus dan panjang sepanjang ha rapan tujuan dan impian menembus langit dan ketiadaan menuju kehampaan tiada bertuan entah di mana kiri dan kanan tak lebih dan tak kurang sebuah kesunyian sebuah kekosongan sebuah kemelompongan bagaikan tong kosong berbunyi nyaring senyaring-nyaring geberan gas yang ditancap para motoris dalam suatu penancapan gas yang melaju menuju semesta tanpa ruang tanpa waktu di langit ke tujuhratustujuhpuluhtujuh.

Para penonton di atas tong di balik pagar melihat kekosongan ruang sementara para motoris berputar-putar sambil melepaskan setang kadang tangannya di setang tetapi kakinya di atas padahal begitu miring mereka sungguh-sungguh miring berputar-putar meskipun mereka tidak merasa miring melainkan lurus-lurus saja seperti berada di jalan biasa dengan tingkah laku dan perilaku bi-asa saja seolah-olah mereka tidak berada di dalam tong setan yang mempersetankan segala setan yang gentayangan maupun tidak gentayangan sehingga setan-setan lebih takut kepada manusia daripada sebaliknya ketika manusia menjadi kesetanan melebihi setan yang paling setan ketika para motoris mengangkat tangan menyambar uang dengan anggun seanggun-anggun malaikat mes-ki berada di dalam tong setan karena tong dari segala tong yang paling tong termasuk tong setan tidak harus mengubah manusia menjadi setan bahkan sebalik dan sebaiknya ia menjadi malaikat seanggun-anggun malaikat meski hanya seolah-olah seperti ma-laikat karena ia memang bagaikan seolah-olah terbang meski tiada

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 181 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 191: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

182

bersayap melebihi malaikat yang masih memerlukan sayap-sayap keajaiban yang tergambar dan terdongengkan di segala mimpi di segala nasehat di segala kegaiban di segala sejarah. Para motoris yang tidak bersayap berputar-putar dan terbang dengan anggun menyambar lambaian uang sembari berdiri di atas motornya sam-bil mengembangkan kedua tangan bagaikan seorang pendakwah yang berkhotbah dengan senyuman selain memperdengarkan suara motornya yang meraung-raung meski wajah mereka sung-guh berseri-seri dan sungguh-sungguh berseri dalam bahaya maut yang selalu mengancam meskipun o bagaimana mungkin malaikat maut mencabut nyawa sesama malaikat meski hanya seolah-olah malaikat karena tiada bersayap sehingga lebih hebat dari malaikat yang sayap-sayapnya berkepak tetapi rontok bulu-bulunya berte-baran sepanjang semesta?

Bulu-bulu sayap malaikat bertebaran di ruang angkasa yang hampa dan sunyi melayang-layang masuk tong setan dan beru-bah menjadi uang yang melejit dan melepaskan diri dari tangan penonton yang terpana melihat uang melayang-layang dalam semesta tong setan dan para malaikat yang terbang ringan seperti balon menyambarnya dengan kelambanan yang sama seolah-olah mereka memang malaikat yang menyelamatkan para motoris dari godaan uang padahal merekalah para motoris yang telah berputar dengan cepat begitu cepat mempermainkan gaya berat sehingga selamat dari kejatuhan dalam kehendak menyambar uang yang melayang-layang bagaikan bulu-bulu sayap malaikat yang rontok dan bertebaran di ruang angkasa tanpa tepi seluas-luas semesta da-lam tong setan yang telah hilang lenyap dindingnya hilang lenyap buminya dan hilang lenyap langitnya menjadi gerak saja yang berputar-putar tanpa benda tanpa massa tanpa hakikat tetapi ada kadang tiada antara ada dan tiada bagaikan omong kosong dunia.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 182 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 192: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

183

Lewat tengah malam tong setan telah menjadi kosong seko-song-kosong tong tanpa setan meski kekosongan adalah peluang setan tapi bukan dalam tong setan yang tiada pernah bersetan karena segala setan yang gentayangan yang gelandangan dalam tong setan terpersetankan tanpa khotbah tanpa dakwah tanpa kata-kata tanpa bahasa kecuali gerak dan hanya gerak yang berputar-putar dan berputar-putar bagaikan semesta yang selalu beredar.

Berputar dan berputar kedua sepedamotor itu …

*

(Di sebuah pasar malam, terlihat Tong Setan. Di loketnya tertera, harga karcis Rp 5.000,-

”Pertunjukan segera dimulai!”Orang-orang antri membawa anak di bahunya. Di samping

loket, para motoris terlihat masih duduk santai sambil mengobrol. Mereka tidak melihat setan maupun malaikat berseliweran di pasar malam—yang juga ikut antri untuk menonton Tong Setan.)

Pondok Aren, Minggu, 16 November 2003. 20:45.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 183 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 193: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

184

Badak Kencana

agiku tidak ada yang terlalu menarik di Ujung Kulon, sampai kudengar perbincangan tentang Badak Kencana.

Perbincangan itu mulai kudengar di antara para nelayan. Semula aku tidak berpikir tentang Badak Kencana, melainkan tentang ikan-ikan yang kena kibul para nelayan: mereka mende-kati lampu yang menyala untuk segera terperangkap dalam jala dan segera masuk ke perut manusia. Apakah ikan-ikan melihat sorga di balik cahaya, dan jika mereka mati demi kelanjutan hidup manusia, yang selalu diandaikan lebih mulia, mereka akan mendapatkan sorga? Jika memang demikian, ketika orang baik-baik mati dan masuk sorga, maka mereka akan berjumpa dengan ikan-ikan yang pernah mereka makan. Tuhan Maha Adil, orang baik-baik masuk sorga, dengan ikan-ikan yang membuat orang baik-baik hidup lebih lama juga masuk sorga. Berbahagialah mereka yang lahir kembali sebagai ikan, karena jika mereka mati akibat kibul cahaya lampu yang mereka kira cahaya sorga dan dimakan manusia, setelah mati mereka akan masuk sorga juga.

Namun selanjutnya kulupakan ikan-ikan, ketika para nelayan sambil mengangkat jala masih terus berbincang tentang Badak Kencana, dewa badak yang melindungi badak-badak bercula satu dari kepunahan. Di antara amis ikan di tengah lautan dalam kegelapan malam, dari perahu nelayan kadang terlihat secer-

B

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 184 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 194: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

185

cah cahaya di tengah hutan, yang sesekali tampak dan sesekali menghilang—pemandangan yang membuat aku bertanya-tanya: benarkah di balik kelam itu terdapat Badak Kencana berkeliaran?

Sampai sekarang pun Ujung Kulon terpencil. Kukira para pe-mukim pertama datang melalui laut. Tentu merekalah yang me-wariskan sebuah cerita turun-temurun tentang Badak Kencana, yang konon selalu akan muncul setiap kali jumlah badak-badak bercula satu di Ujung Kulon mencapai titik nadir. Demikianlah diceritakan betapa Badak Kencana itu akan mengencani badak-badak betina dan meninggalkan mereka dalam keadaan bunting, sehingga jumlah badak yang makin menipis itu bisa bertahan, bahkan tidak jarang malah bertambah. Namun Badak Kencana itu bukanlah badak jantan. Ia disebutkan tidak mempunyai kelamin, karena ia memang bukan sembarang badak: ia tidak beranak dan ia tidak diperanakkan. Bahwa yang diberkahinya dengan keturunan adalah badak-badak betina, tak lebih dan tak kurang karena badak-badak jantan tidak mungkin bunting. Lewat tengah malam para nelayan makan. Mereka merebus mie instant bersama bungkusnya. Bungkus itu dibuka, dan ke dalam bungkus itu bumbu-bumbunya dituang, agar jangan sampai tersebar keluar bungkus. Mereka juga memasukkan telur-telur bebek ke dalam air yang merebus mie instant dan itulah yang kami makan sebagai lauk nasi.

Para nelayan tidak pernah melihat Badak Kencana, tetapi mereka percaya kisah nenek moyang bahwa setiap kali jumlah badak bercula satu menipis, Badak Kencana akan muncul me-nyelamatkan mereka dari kepunahan. Namun bukan hanya para nelayan yang mempercayai sesuatu tanpa melihatnya. Badak bercula satu diperkirakan tinggal 50 ekor, tetapi angka ini tidak bisa dipastikan, karena mungkin saja jumlahnya 60 ekor. Tim

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 185 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 195: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

186

Sensus yang dikirim dari Jakarta menghitung jumlah badak bukan berdasarkan penglihatan atas badak-badak dengan mata kepala sendiri, melainkan—antara lain—berdasarkan jejak tapak kaki yang mereka tinggalkan.

Badak Kencana maupun badak-badak biasa sama-sama tidak pernah terlihat, tetapi keduanya kini berada di dalam kepalaku dan sulit kukeluarkan lagi seumur hidupku.

Jejak tapak itulah yang memberi petunjuk kemunculan kem-bali Badak Kencana dan menjadi perbincangan para nelayan. Saat melacak jejak badak, Tim Sensus menemukan jejak tapak badak yang keemas-emasan. Suatu jejak tapak di tanah yang membuat butir-butir tanah yang terinjak itu seperti serbuk emas, yang bercahaya suram dalam keremangan hutan di antara geri-mis. Tapak kaki Badak Kencana itu hanya satu, bukan empat, tetapi itu sudah cukup untuk menunjukkan kehadirannya.

”Badak Kencana…,” desis salah seorang penunjuk jalan.Bagi penduduk Tamanjaya, kampung nelayan dari mana pera-

hu biasa berangkat menuju Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, atau Pulau Panaitan, kehadiran Badak Kencana sebagai dongeng telah melekat bagaikan kenyataan, sehingga jejak tapak badak ke-emas-emasan itu seperti bagian dari sebuah dunia yang telah mere-ka kenal.

Tim Sensus, yang selalu bekerja secara ilmiah, tentu bukan ter-golong orang-orang yang percaya bahwa di dunia ini badak-badak bercula satu mempunyai dewa mereka sendiri yang bernama Ba-dak Kencana—tetapi mereka mengakui bahwa jejak tapak yang mereka saksikan memang jejak kaki yang keemas-emasan. Setelah diselidiki, serbuk-serbuk emas itu bukan emas yang disebut logam mulia, tapi lebih mirip serbuk-serbuk cahaya. Di laboratorium, tak bisa dijelaskan serbuk-serbuk cahaya tersebut terdiri dari bahan apa.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 186 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 196: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

187

Penemuan jejak yang keemasan-emasan itu mengingatkan kembali para nelayan betapa Badak Kencana itu belakangan ini sering muncul kembali dalam mimpi-mimpi mereka. Perbin-cangan tentang Badak Kencana itu sempat lama hilang, terutama ketika radio dan televisi memasuki desa. Hampir tigapuluh tahun lebih ingatan kepada Badak Kencana seperti terhapus dan menguap bersama udara.

Para nelayan di Tamanjaya berangkat jam empat sore ke laut untuk mencari ikan dan tiba kembali di pelabuhan jam delapan pagi keesokan harinya. Dalam perjalanan pulang itulah, dalam keadaan terkantuk-kantuk oleh buaian ombak dan angin pagi, para nelayan yang tergolek-golek akhirnya akan tertidur dan bermimpi—dalam salah satu mimpi itulah beberapa di antara mereka menyaksikan Badak Kencana, yang memandang dengan tajam, sebelum akhirnya menghilang.

Pada abad ke-19, jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda memperlakukan Ujung Kulon sebagai cagar alam, para nelayan tidak asing dengan pemunculan Badak Kencana dalam mimpi.

Saat itu badak-badak bercula satu sudah terancam punah, bukan terutama karena terdesak pemukiman manusia yang me-rajalela, atau karena Pulau Jawa sebagian besar masih hutan, melainkan oleh semangat berburu. Para pemburu andal dibayar mahal untuk mengikuti jejak tapak badak ke dalam hutan selama berminggu-minggu hanya untuk mengambil cula. Badak-badak bergelimpangan dalam hutan tanpa cula, atas nama kepercayaan tak masuk akal perihal keampuhan cula itu sebagai pembangkit syahwat, obat kecantikan, maupun obat panjang umur. Kenya-taannya, cula itu memang mendatangkan uang. Para pemburu badak, yang secara turun temurun mewarisi keahlian memburu badak, terus-menerus menerima pesanan cula dari Batavia mau-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 187 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 197: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

188

pun Singapura, yang membuat mereka bisa masuk hutan setiap bulan untuk memenuhi pesanan itu—dan tak ada cula yang bisa diambil tanpa membunuh badaknya terlebih dahulu.

Kemudian Badak Kencana muncul ke dalam mimpi orang-orang di sekitar Ujung Kulon, bukan hanya di Tamanjaya atau Tanjung Alang-alang, melainkan juga sampai Sumur dan Badur. Seolah-olah mimpi itu mempunyai suatu daya jangkau. Penam-pakan Badak Kencana, meskipun hanya dalam mimpi, sering diterima sebagai suatu isyarat, tetapi arti isyarat itu tidak pernah disepakati. Ada yang menafsirkannya sebagai keberuntungan, ada juga yang menangkapnya sebagai perkabungan.

Badak Kencana tidak hanya menampakkan diri di dalam mimpi. Badak Kencana dihubungkan dengan kematian sejumlah pemburu ketika badak-badak mulai sangat berkurang jumlahnya. Sayang sekali para pemburu ini tidak bisa bercerita banyak, karena setiap kali ditemukan oleh pemburu lain mereka memang sudah mati. Di sekitar tempat mereka ditemukan terdapat ser-buk-serbuk cahaya keemasan yang ajaib itu, maupun jejak tapak badak yang juga bercahaya. Bahkan tak jarang serbuk-serbuk cahaya itu menempel di lambung para pemburu yang tewas, seperti telah disodok oleh cula Badak Kencana.

Ada sekali peristiwa seorang pemburu masih hidup ketika ber-hasil mencapai muara Sungai Cigenter dan bertemu para pemburu rusa. Sebelum tewas ia sempat berkata, ”Badak Kencana….”

Seluruh tubuhnya penuh dengan serbuk cahaya keemasan itu, bagaikan telah diinjak-injak oleh Badak Kencana.

Demikianlah setiap nenek di Ujung Kulon bercerita kepada cucunya di tepi pantai sambil memandang cakrawala di mana matahari akan terbenam.

”Nun di sana, di balik keremangan dan kekelaman itu, dalam

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 188 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 198: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

189

kegelapan Tanjung Jawa yang sungguh-sungguh muram, terda-patlah Badak Kencana. Dalam dunia yang gelap, ia memiliki suatu kerajaan cahaya yang terlindung di balik tabir kehitaman tempat hanya Sang Badak Kencana bisa keluar masuk menem-busnya. Dialah dewa badak, pelindung dan penjaga kesejahtera-an badak-badak bercula satu sehingga mereka terselamatkan dari kepunahan. Janganlah mencoba memburu badak-badak itu atas nama apa pun, karena barang siapa….”

Tidak usah dipungkiri betapa di antara pemburu badak itu ada juga yang ingin menaklukkan Badak Kencana itu sen-diri. Mereka adalah manusia yang tidak bisa ditundukkan oleh dongeng, atau mereka tertantang oleh mitos, atau menyimpan dendam dan rasa penasaran atas tewasnya para sejawat, sesama pemburu badak yang tubuhnya bergelimang serbuk cahaya ke-emasan.

Namun siapa pun yang berangkat dan menghilang di balik cakrawala itu tidak pernah kembali lagi. Siapa pun. Sampai waktu berlalu.

*

Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan dengan Badak Kencana itu. Badak Kencana maupun badak-badak bercula satu biasa—se-muanya belum pernah kulihat.

Adakah seseorang, satu saja, yang terbukti pernah melihat Badak Kencana? Para pemburu yang mati memang sempat berdesis mengucapkan kata, ”Badak Kencana….” Namun ini belum membuktikan apa-apa. Bukankah bisa saja seseorang me-rasa seolah-olah melihat Badak Kencana padahal yang dilihatnya hanyalah bayangannya sendiri sahaja? Aku yang tidak pernah melihat badak bercula satu selalu merasa seolah-olah pernah me-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 189 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 199: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

190

lihatnya, padahal aku hanya selalu membayangkannya—begitu pula yang terjadi dengan Badak Kencana.

Di kampung nelayan itu memang ada seorang tua berusia 120 tahun yang dianggap pernah melihat Badak Kencana. Namun sebetulnya bukan Badak Kencana itu sendiri yang pernah dili-hatnya ketika masih berusia 20 tahun, melainkan kilau keemasan yang berkelebat di balik semak.

”Peristiwa itu sudah seratus tahun lalu, tapi saya masih selalu teringat, seperti baru terjadi kemarin. Banyak sudah yang saya alami, tetapi tidak ada yang tetap tinggal dalam kepala saya seperti peristiwa itu.

”Waktu itu saya mencari ular untuk saya jual kulitnya. Orang Belanda suka membeli kulit ular dengan harga mahal, dan menjualnya lagi ke Eropa. Meskipun pemerintah Hindia Belanda sudah melarang kami berburu di dalam hutan, tapi tidak ada tenaga untuk menjaga hutan itu seperti sekarang. Kami bisa keluar masuk dengan bebas, dengan risiko disergap macan tutul atau diseruduk badak yang harus ditanggung sendiri.

”Saat itu gelap, dan tak satu ular pun saya jumpai hari itu, padahal saya telah mempelajari mantra pemanggil agar ular-ular itu mendekat. Mungkin memang belum nasib saya. Saya siap me-nempuh jalan kembali ketika terdengar bunyi berkerosak di balik semak. Saya menoleh dan melihat bias cahaya keemasan, seperti bias cahaya matahari senja, tetapi yang jauh lebih lemah dan le-bih suram—seperti kesedihan. Cahaya ini bergerak menjauh dan menghilang. Jadi saya tidak melihat badak itu, yang saya lihat ha-nyalah jejaknya, itu pun hanya satu. Kami para pemburu biasa me-lihat jejak badak di hutan, dan jejak-jejak itu tidak pernah hanya satu. Jejak keemas-emasan ini memang jejak badak, tapi saya tidak mengerti, bagaimana badak bisa berdiri dengan satu kaki.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 190 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 200: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

191

”Ketika saya kembali ke kampung dan menceritakannya, mereka mendesah pelahan sembari menyebut kata ‘Badak Ken-cana…’ Karena saya orang perantauan, saya baru mendengar cerita tentang Badak Kencana itu kemudian. Menurut pendapat mereka, saya telah bertemu dengan Badak Kencana yang mereka kenal dari cerita nenek moyang. Disebutkan betapa saya harus merasa bersyukur karena masih hidup. Namun sekarang saya sudah berumur 120 tahun dan saya sudah bosan hidup. Kalau pertemuan dengan Badak Kencana membuat saya mati, saya mau saja menemuinya sekali lagi.”

Rumahnya penuh dengan wartawan media cetak dan media elektronik yang memasuki rumah tanpa membuka sepatu, sam-pai lantai rumah panggung itu penuh dengan lumpur. Orang tua yang tidak pernah menikah itu bagaikan dipaksa untuk berkisah dengan terbata-bata. Ia tidak bisa berbahasa Indonesia, ia berbi-cara dengan bahasa Sunda campur Bugis, karena seratus tahun lalu ia tiba di Tamanjaya setelah berlayar bersama orangtuanya dari Bulukumba.

Para wartawan menyerbu rumah itu, dan meminta kete-rangan kepadanya, karena lelaki berusia 120 tahun itu dianggap pernah bertemu dengan Badak Kencana. Empat wartawan media elektronik dari Jakarta telah hilang dalam tugas mencari Badak Kencana. Tim SAR sebegitu jauh hanya menemukan jejak tapak badak keemas-emasan. Bukan empat tapak melainkan satu.

Di tengah kegemparan itu aku berpikir tentang soal lain. Jejak yang ditemukan Tim Sensus maupun lelaki itu seratus tahun yang lalu hanya satu. Mungkinkah Badak Kencana itu berdiri dengan satu kaki? Mungkinkah Badak Kencana itu suka berloncatan ke sana kemari dengan satu kaki? Jejak satu kaki memperlihatkan bahwa badak itu berdiri di atas tapak kanan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 191 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 201: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

192

depan, seperti sedang main akrobat—tidakkah Badak Kencana yang misterius ini barangkali suka bercanda?

Namun membayangkan semua itu aku merasa bodoh, karena belum terbukti secara meyakinkan bahwa Badak Kencana itu memang ada.

*

Malam telah turun. Langit cerah. Bintang-bintang terserak me-nyemarakkan langit. Pada cakrawala kulihat lampu-lampu pukat harimau dari negeri asing yang menyedot berton-ton ikan tanpa gangguan. Terlihat juga lampu lentera yang jauh lebih muram dari perahu-perahu nelayan, terserak di sana-sini, tidak terlalu banyak jumlahnya, yang semenjak berpuluh-puluh tahun selalu mencari ikan dengan cara yang sama. Memang perahu mereka sekarang bermesin, tetapi cara berpikir mereka tidak berubah, yakni mencari ikan seperlunya untuk dijual dan dimakan. Jika uang penghasilan itu cukup untuk bertahan hidup, maka tidak ada lagi yang masih harus dilakukan.

Laut seperti selimut yang lembut tapi terus-menerus bergo-yang, membuat lentera yang tergantung juga bergoyang-goyang. Kehidupan seolah-olah berhenti, tapi apakah yang betul-betul berhenti? Sejak sore ribuan kalong telah meninggalkan permu-kimannya, terbang dalam keremangan memasuki malam, ketika manusia tertidur dan merasa sebaiknya kegelapan segera berlalu.

Seorang anak nelayan yang diajak melaut mungkin tetap terjaga dan bertanya-tanya apakah yang berada di balik kegelapan itu.

”Bapak, ke mana ribuan kalong menghilang di balik kelam?”Malam memberikan kegelapan, dan kegelapan memberi pe-

luang sejuta dugaan. Terdengar sapuan ombak di bibir perahu.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 192 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 202: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

193

Angin dingin menyibak kelambu. Benarkah tidak ada sesuatu di balik kegelapan malam dan hanya ada dongeng yang dilahirkan angan-angan? Di Ujung Kulon yang terpencil, segala sesuatu telah dihitung secara ilmiah—badak bercula satu yang tidak pernah terlihat itu pun bisa dihitung.

Namun itu tidak termasuk Badak Kencana…Waktu itu aku belum tahu, empat mayat dihanyutkan arus

di muara Sungai Cigenter. Jenazah-jenazah itu hanya berputar-putar, karena tertolak balik oleh gelombang lautan. Hari masih sama gelapnya seperti malam. Mayat-mayat itu kemudian terjerat di antara pohon-pohon bakau, bergoyang-goyang sebentar tapi lantas terdiam ketika ombak surut. Di antara batang, akar, sulur, dahan, dan ranting pohon-pohon bakau, tubuh-tubuh itu ter-golek, dalam posisi seperti orang-orang yang bersandar menanti penjemputan.

Aku belum melihatnya, karena mataku melihat ke arah lain. Saat matahari muncul dari balik bukit, di tengah lautan yang ungu muda kulihat pemandangan itu: Badak Kencana yang berdiri dengan satu kaki, tepatnya kaki kanan depan, berputar seperti penari balet dalam cahaya keemas-emasan yang muram. Gerakannya begitu anggun, tapi matanya memancarkan kese-dihan.

Kukerjapkan mataku dan kukerjapkan berkali-kali—karena aku masih berharap ini hanya mimpi.

Ujung Kulon—A102.PVJ-J, Februari 2004.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 193 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 203: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

194

Linguae1

eperti cinta,” kataku. ”Ya. Seperti cinta,” katanya.Dalam remang, entah pagi entah siang entah sore en-

tah malam, kami terus-menerus saling menguji daya cinta lidah kami. Selalu remang. Hanya remang. Lebih baik remang—kare-na cinta yang jelas dan terang, yakin dan pasti, bersih dan steril, seperti bukan cinta lagi. Jadi memang tak bisa kulihat wajahnya dengan jelas—apakah yang masih bisa dilihat dari sebuah wajah yang terlalu dekat, begitu dekat, sehingga tak berjarak, ketika sa-ling menguji lidah, selain ketakjelasan dalam keremangan dengan cahaya lembut yang berusaha menerobos gorden?

Mungkin itu sebabnya aku lebih sering ingat gorden daripada wajahnya, karena hanya dari balik gorden itu datang cahaya yang hanya membuat ruang menjadi temaram. ”Tutup matamu,” katanya. Kupejamkan mataku dan kutahu ia memejamkan ma-tanya. ”Berikan cintamu,” katanya dan kupersembahkan cintaku dalam percakapan tanpa kata karena lidah kami menyatakan se-galanya dengan lebih nyata daripada kata-kata dalam tatabahasa sempurna mana pun di dunia.

Cinta tidak membutuhkan kata-kata sebenarnya—kata-kata hanya mengacaukannya.

1Linguae, bahasa Latin, artinya: lidah.

eperti cinta,” kataku. ”Ya. Seperti cinta,” katanya.

tah malam, kami terus-menerus saling menguji daya cinta lidah S

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 194 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 204: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

195

*

”Jangan bicara,” katanya—tapi bicara juga menyenangkan se-benarnya. Artinya bicara dengan tangan bergandengan sambil menatap langit-langit. Memang, hanya langit-langit, dan bukan langit—karena mereka yang bercinta dalam keremangan semesta tak akan pernah mengenal langit, yang bersih dan terang, dengan matahari dan awan, maupun bintang-bintang dan rembulan. Tak akan pernah. Hanya langit-langit, dan di langit-langit tak ada rembulan maupun matahari, hanya sepasang cicak berlari-lari.

”Jangan bicara,” katanya. Jangan bicara tentang cinta mak-sudnya—karena cinta lebih baik dialami dan dinyatakan, tidak usah dirumuskan.

Maka kami pun berbicara dengan bergandengan tangan sam-bil menatap langit-langit dalam keremangan hanya keremangan selalu keremangan dan tiada lain selain keremangan.

Apakah yang bisa dibicarakan dalam keremangan? Banyak. Di antara yang banyak adalah impian—yang seperti semua impian lain tak akan pernah jelas bisa menjadi kenyataan atau tetap ting-gal sebagai impian.

Namun bahkan suatu impian yang hanya diperbincangkan ternyata bisa membahagiakan.

”Katakanlah tentang cinta,” katanya. Namun kami tak akan bicara tentang cinta. Kami akan bicara tentang sebuah rumah ter-pencil di tepi sebuah danau di dataran tinggi. Danau itu tentunya akan tampak kebiru-biruan, dengan gunung-gemunung yang ungu di kejauhan dan setiap hari kami akan makan ikan.

Kami akan hidup berdua saja, hanya berdua, tiada lain selain berdua selama sisa hidup kami karena tidak akan banyak lagi wak-tu tersisa. Setiap hari aku akan memakai sarung dan ia akan ber-kain kebaya—tidakkah memang indah membayangkan diri hidup

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 195 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 205: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

196

bersama dengan seseorang yang benar-benar kita cintai sepenuh-nya dan tiada lain selain dia? Aku sering terpana menyadari betapa dunia dan segala urusannya menjadi tidak terlalu penting selama kita mendapatkan cinta. Masalahnya, begitu sering orang-orang yang mendambakan cinta tetapi tidak mendapatkannya malah mengacaukan dunia.

Keindahan dalam keremangan, masihkah akan tetap indah dalam dunia yang bersih dan terang?

Ketika berpisah, aku hanya akan teringat bahunya yang ter-buka dalam keremangan. Bahu, pundak, dan lehernya—yang kukira aku tahu betul rasanya.

*

Menunggu dia yang entah berada di mana dan sedang apa.Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa

lama pun selama aku mencintainya. Menunggu adalah bagian dari pertemuan itu sendiri. Kalau kita ketemu hanya lima menit dan menunggu selama 95 menit maka itu berarti pertemuan berlangsung 100 menit. Perpisahan pun sering tidak berarti apa-apa—seperti tidak pernah ada perpisahan bagi orang yang saling mencintai. Mereka saling memaki ketika bertemu tetapi tetap saling mengenang ketika berpisah. Perpisahan yang sebenarnya akan terjadi ketika tidak pernah ingat lagi kepada seseorang meskipun kita hidup bersamanya. Juga jika seseorang sudah mati, selama kita masih mengingat dan mengenangnya berarti tiada perpisahan sama sekali.

Namun menunggu adalah menunggu. Lima menit bisa menja-di 500 tahun—dan waktu yang kosong bisa diisi sejarah berabad-abad.

Dulu dia hanya duduk di sana, menoleh padaku, menyebut

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 196 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 206: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

197

namaku dengan nada bertanya, dan mengajukan tangannya un-tuk bersalaman, sambil menyebutkan namanya.

”Kenapa tidak saat itu saja kita menguji kepekaan lidah kita akan cinta? Kenapa harus menunggu begitu lama untuk mengem-bara dalam dunia yang begitu remang terlalu remang taram-tema-ram untuk memahami betapa lidah begitu penting tidak hanya untuk berkata-kata melainkan justru ketika tidak perlu mengata-kan apa-apa?”

Itulah dia. Kenapa tidak sejak pertemuan pertama dia berka-ta, ”Sentuhlah aku dengan lidahmu....”

”Ya, kenapa tidak? Kenapa tidak kamu saja yang bicara begitu?” katanya.

”Kalau aku bilang ’Sentuhlah aku dengan lidahmu’ apakah kau akan menyentuhku dengan lidahmu?”

Ia tidak menjawab saat itu, hanya menyentuh lidahku, de-ngan lidahnya. Aku masih menunggu dia yang entah berada di mana dan sedang apa.

Aku sedang berpikir apakah yang membuat kita yakin bahwa kita benar-benar mencintai seseorang dan tidak sekedar menyu-kai lidahnya.

*

Aku bermimpi buruk. Suatu hari aku bangun tanpa lidah. Bukan soalnya apakah aku tidak mampu bicara, karena bagiku tidak berbicara adalah menghemat tenaga. Namun bagaimana aku akan menyentuh, meraba, dan menyatakan sesuatu kepada seseorang yang sangat kucintai dengan lidah jika aku tak berli-dah? Cinta mungkin tidak perlu kata-kata tetapi aku tidak tahu bagaimana nasib cinta jika para pecinta kehilangan lidahnya.

Bisakah dikatakan bahwa cinta berada dalam masalah ketika

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 197 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 207: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

198

lidah tak lagi berperan di dalamnya? Aku tak tahu apakah ada filsuf yang pernah berbicara tentang lidah dengan segala kema-nusiaan yang paling mungkin dihadirkan oleh keberadaan lidah itu. Dalam roman picisan sering dituliskan: Ia menyelusuri tubuh kekasihnya itu dengan lidahnya dan kekasihnya merasa telah berada dalam kereta kencana bersayap yang melaju di atas sungai susu di langit ketujuh.…

Mungkinkah aku suatu hari akan terbangun betul-betul tanpa lidah? Bukan soalnya bahwa dalam hidup ini suara kita sering dibungkam dan kata-kata kita dianggap merusak ketenangan, melainkan justru karena terlalu banyak hal yang tak terkatakan hanya bisa disampaikan melalui lidah. Artinya memang lidah itu tak tergantikan.

”Apakah kamu masih akan mencintaiku kalau aku suatu hari bangun tanpa lidah dan tidak bisa lagi menyatakan cinta dan menyentuhmu dengan lidahku?”

”Kalau kamu?” Ia balik bertanya, sambil menjulurkan lidah-nya.

Kalau ia tidak berlidah? Aku teringat cerita tentang Sasuke, seorang pelayan yang menjalin hubungan cinta terselubung de-ngan Shunkin, perempuan majikannya. Suatu penganiayaan oleh saingannya dalam karir sebagai pemain shamisen telah membuat Shunkin buta. Atas nama cinta, meski tidak pernah menyatakan-nya, Sasuke lantas membutakan matanya sendiri.2

Menurutku itu memang kebersamaan cinta yang luar biasa. Kalau aku ingin seperti Sasuke, aku tentu harus memotong lidah-ku. Sanggupkah aku?

2Dari Shunkinso (1933) karya Junichiro Tanizaki, melalui Tanizaki, ”A Portrait of Shunkin” dalam Seven Japanese Tales (terjemahan Howard Hibbet), New York: Berkley Medallion book, 1965, hal. 11-60.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 198 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 208: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

199

*

Apakah sentuhan cinta terindah hanya bisa disampaikan oleh lidah? Tidak bisakah cinta disampaikan oleh tungkak3?

Kukira aku sedang tidak ingin memikirkannya.

Pondok Aren, Selasa 10 Mei 2005. 16:25.

3Tungkak, dari bahasa Jawa, artinya: tumit.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 199 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 209: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

200

Joko Swiwi

eritakan kepada kami tentang perbedaan,” kata murid-murid sekolah dasar itu kepada Ibu Guru Tati, kelak di

masa yang akan datang.Maka Ibu Guru Tati akan menceritakan legenda Joko Swiwi. Ketika Joko Swiwi lahir, Poniyem merasa dirinya melahirkan

seekor ayam, karena bayi yang keluar dari rahimnya terbungkus sepenuhnya oleh sepasang sayap yang basah. Dukun bayinya saja hampir pingsan melihat bayi seperti itu. Saat sayap itu mem-buka dengan sendirinya, barulah tampak kepala bayi yang akan bernama Joko Swiwi itu. Matanya sudah melek dengan jernih, dan ia langsung tertawa terkekeh-kekeh, seperti bercanda kepada mereka yang terkaget-kaget.

”He-he-he-he-he….”Poniyem sebetulnya juga nyaris pingsan, karena ia semu-

la mengira dirinya betul-betul melahirkan seekor ayam, tetapi pandangan mata bayi itu kepadanya adalah pandangan mata se-orang anak kepada ibunya. Poniyem segera merasakan tali batin hubungan ibu dan anak, tali batin ajaib yang berlaku bagi ibu dan anak mana pun, bagaimana pun bentuk rupa ibu dan anak itu, sehingga ketika dukun bayi itu mendekatkan bayi bersayap tersebut ia pun segera merengkuh dan menyusuinya.

eritakan kepada kami tentang perbedaan,” kata murid-murid sekolah dasar itu kepada Ibu Guru Tati, kelak di

masa yang akan datang.C

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 200 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 210: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

201

Di luar ruangan, orangtua Poniyem melihat Ibu Dukun itu menyibak gorden dan termangu-mangu di pintu.

”Cucu sampean itu Joko Swiwi, Lik.””Ha?””Iya, Joko Swiwi, masa’ bayi seperti itu mau sampean beri

nama Bambang Wicaksono.”

*

Joko Swiwi memang tidak punya bapak, atau lebih tepat tidak jelas bapaknya. Ketika Poniyem pulang dari luar negeri, ia su-dah mengandung tujuh bulan. Entah kenapa semua orang di desa nya maklum-maklum saja dan dengan gerak cepat segera men dapatkan seorang suami bagi Poniyem. Tidak penting benar apakah pemuda berusia 30 tahun itu sering meneteskan air liur tanpa sebab dan sama sekali tidak cocok dengan Poniyem yang cantik jelita indah rupawan bahenol pisan. Bagi penduduk desa cara seperti itu sungguh cara yang tidak bisa lebih sahih lagi untuk menghapuskan sesuatu yang bisa dianggap sebagai aib. Tidak peduli apakah pemuda 30 tahun yang setiap hari mengarit dengan air liur menetes-netes dan menyediakan rumput untuk sapi-sapi penduduk itu juga tak punya nama dan tiada pernah jehelas asalnya dari mana.

”Pokoknya yang tidak jelas dijelaskan, yang tidak mapan dimapankan,” ujar Pak Lurah.

Orangtua Poniyem hanya bisa setuju-setuju saja, kecuali ka-lau mereka pindah dari desa dan hal itu tentu tidak mungkin, karena menginjak tanah di luar desanya saja mereka belum pernah. Maka, sejak itu pemuda tanpa nama yang selalu me-netes-neteskan air liur itu bernama Bapaknya Joko Swiwi, dan Joko Swiwi menjadi nama resmi bayi bersayap tersebut. Setelah

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 201 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 211: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

202

berusia enam tahun ia bersekolah seperti anak-anak desa lain dan terdaftar dengan nama Joko Swiwi. Hanya saja kalau anak-anak desa harus berjalan kaki naik turun perbukitan kapur untuk belajar matematika, Joko Swiwi terbang langsung dari rumahnya dan kadang-kadang masuk kelas lewat jendela.

Usaha orangtua Poniyem untuk mendapat penjelasan dari anaknya selalu gagal.

”Nduk anakku yang cantik, sebetulnya di luar negeri kamu itu berhubungan dengan siapa kok anakmu bisa bersayap seperti itu?”

Poniyem biasanya hanya tertunduk, tetapi di balik rambutnya yang panjang terurai menutupi wajah itu ia tersenyum-senyum.

Bagaimana mungkin ia menjelaskan apa yang dialaminya dalam mimpi kepada orangtuanya? Bagaimana mungkin ia men-jelaskan betapa malam-malamnya yang lelah sehabis bekerja berat 20 jam sehari selalu memberikannya mimpi yang ber-sambung setiap hari? Itulah mimpi tentang makhluk-makhluk bersayap dan bercahaya putih kemilau yang selalu mendatangi dan bercinta dengannya dan ia melayani mereka habis-habisan dengan segala kemungkinan yang bisa diberikan oleh imajinasi. Makhluk-makhluk bersayap itu adalah para pecinta yang dah-syat. Meski cuma mimpi, ketika terbangun kasur busa tempatnya tidur di lantai selalu basah kuyup. Saat mengetahui dirinya hamil, Poniyem memang agak bingung, tetapi ia sungguh-sung-guh senang karena yang selama ini dianggapnya mimpi ternyata memberikannya bayi.

”Terima kasih Tuhan,” katanya dalam hati, ”terima kasih atas keajaiban ini.”

Kini anaknya bisa terbang dan masuk kelas lewat jendela, ia bangga mempunyai anak Joko Swiwi.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 202 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 212: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

203

*

Kelahiran Joko Swiwi memang memberi berkah kepada pendu-duk desa. Kabar tentang kelahiran Joko Swiwi yang tersebar ke mana-mana membuat penduduk desa-desa sekitar berdatangan ingin melihatnya. Dari hari ke hari mereka yang berdatangan bukannya tambah sedikit, melainkan berlipat ganda sampai ber-desak-desak berbau keringat. Pak Lurah dengan tangkas segera menyiasati keadaan. Setiap orang yang memasuki gerbang desa diharuskan membayar, kalau membawa kendaraan dan parkir sudah pasti akan ditagih lagi, tidak peduli apakah itu mobil, sepedamotor, atau cuma sepeda. Bayaran paling wajib tentu untuk setiap kepala bermata yang ingin menyaksikan Joko Swiwi dengan mata kepala sendiri. Bahkan orang buta yang hanya mampu meraba-raba saja ditagih bayaran pula. Memotret tentu ditagih bayaran tambahan, ongkos memotret Joko Swiwi saja dan foto bersama dibedakan. Kalau Poniyem ikut dipotret ditarik lagi ongkos tambahan. Sebegitu jauh, tiada seorang pun peduli ke-pada Bapaknya Joko Swiwi, karena memang tiada seorang pun yang tahu betapa pemuda yang selalu menetes-neteskan air liur dan tak jelas tinggal di mana itu (di kuburan, kata sebagian orang) jika malam tiba akan berubah menjadi makhluk bersayap yang putih kemilau gilang gemilang cahaya kencana memasuki mimpi-mimpi Poniyem.

Joko Swiwi sendiri memang layak jadi atraksi. Pada usia balita ia sudah bisa terbang setinggi pohon beringin. Tentu saja selain punya sayap ia juga punya tangan dan karena itu bisa membantu ibunya memetik buah ini-itu, buah kelapa misalnya, karena Bapaknya Joko Swiwi yang masih terus menetes-neteskan air liur itu rupa-rupanya memilih untuk pura-pura tidak mampu melakukannya—ia menjadi hebat hanya apabila malam tiba dan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 203 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 213: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

204

menyatroni Poniyem dalam mimpi sebagai makhluk bersayap yang putih kemilau gilang gemilang cahaya kencana. Adalah Joko Swiwi yang sejak usia balita sudah terbang berkelebat ke sana kemari. Sayapnya yang besar akan terdengar mengepak ceblak-cebluk di atas rumah-rumah penduduk, benar-benar se-perti burung besar, yang lama-lama memang tambah dewasa tampan seni rupawan.

Setiap kali berangkat sekolah, Poniyem selalu saja berpesan. ”Hati-hati di jalan Nak, jangan sampai ketabrak helikopter.”Semakin dewasa kemampuan terbangnya memang semakin

bertambah tinggi. Para pilot helikopter suka terkaget-kaget jika Joko Swiwi kebetulan melintas berkelebat di depannya.

”Busyet! Burung apa itu?””Oh, bukan burung kok, itu Joko Swiwi!””Oh….”Bukan hanya tinggi dan cepat terbangnya, tetapi juga indah

dan penuh pesona. Kadang kala apabila Poniyem melihat ke la-ngit, dilihatnya Joko Swiwi seperti merayakan angkasa. Sayapnya yang begitu besar membuat ia bisa terbang begitu laju hanya dalam beberapa kepakan sahaja dan selebihnya ia tinggal melun-cur dengan sayap terbentang seperti burung elang. Para peladang ketela suka menghentikan sejenak pekerjaan mencangkulnya, beristirahat sambil menikmati Joko Swiwi yang terbang berpu-tar-putar dalam tarian angkasa. Gadis-gadis desa yang mandi di kali kecil pura-pura berteriak marah tapi senang juga menatap dan ditatap Joko Swiwi.

”Joko Swiwiiiiiiiiiiii!” Teriak mereka ramai-ramai. Mereka itulah yang suka mengumpulkan bulu-bulu Joko

Swiwi yang rontok. Di bawah sudah ramai mereka menantikan bulu-bulu putih yang melayang jatuh dari angkasa itu, berebutan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 204 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 214: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

205

menangkapnya, karena bulu-bulu sayap Joko Swiwi memang cendera mata yang indah. Sepertinya putih, tetapi kalau digerak-kan bolak-balik dalam cahaya matahari, akan membiaskan ca-haya segala macam warna. Itu pula yang terjadi jika Joko Swiwi mengepakkan sayap di angkasa, bulu-bulu sayapnya membiaskan segenap warna di dunia yang bisa tercerap oleh mata.

”Joko Swiwiiiiiiiiiiii! Sini dong mandi bersama kami!”Namun Joko Swiwi adalah pemuda yang sopan, ia bukan tu-

kang intip, bukan pula lelaki yang kurang ajar. Maka ia tidak akan terbang merendah untuk melihat-lihat perempuan mandi, mela-inkan akan terbang meninggi, makin tinggi, dan makin tinggi. Se-makin naik dan semakin menyepi dari dunia ramai yang terkasih. Dalam kesunyian langit itulah Joko Swiwi merenungkan dirinya yang bersayap, yang menjadi tontonan, yang selalu dibicarakan dan dimanfaatkan. Pernah ia membawa Poniyem ibunya terbang sambil membopongnya dan dalam kesunyian langit ia bertanya.

”Ibu, Ibu, siapakah bapakku yang sebenarnya Ibu, sehingga aku menjadi bersayap begini?”

Sangatlah wajar jika Joko Swiwi hanya bisa memaklumi, betapa lelaki yang selalu mengarit dan dipanggil Bapaknya Joko Swiwi itu bukanlah ayahnya sama sekali.

”Seorang lelaki bersayap tak akan berayahkan lelaki yang selalu menetes-neteskan air liur,” pikirnya.

Namun susahlah bagi Poniyem memberitahukan bahwa le-laki yang menetes-neteskan air liur itu setiap malam menjelma sebagai pecinta bersayap yang putih kemilau dalam mimpinya—tetapi Poniyem tetap bercerita bahwa ayah Joko Swiwi memang adalah makhluk-makhluk bersayap yang putih kemilau celang cemerlang gilang gemilang cahaya kencana yang menggaulinya dalam mimpi-mimpi ketika menjadi TKI di luar negeri.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 205 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 215: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

206

”Jadi bapakku banyak?””Mungkin yang satu itu banyak dan yang banyak itu satu,

apalah bedanya? Segenap dunia dengan kita di dalamnya juga cuma satu.”

Joko Swiwi memahami keterasingan ibunya, dan Joko Swiwi kini menghayati keterasingannya sendiri.

*

Alkisah, di luar desa mereka berlangsung bencana. Mula-mula satu, lantas dua, disusul empatpuluh, berlipat empatratus, men-jadi empatribu, menjelma empatjuta unggas mati berkaparan. Segala makhluk bersayap entah kenapa tewas di mana-mana. Ada yang sekadar tidak pernah bangun dari tidur, ada yang men-dadak saja sekarat seperti habis disembelih, tak jarang tiba-tiba jatuh ketika terbang. Dasar orang miskin, unggas penyakitan ini kadang-kadang tetap saja dipanggang dan dibakar.

Wabah telah melanda dunia burung, termasuk di desa-desa sekitar desa tempat kelahiran Joko Swiwi. Masalahnya, para penghuni perbukitan kapur yang tidak pernah menonton televisi karena gambarnya selalu bergoyang-goyang dan suaranya cuma kresak-kresek ini tidak tahu apa-apa tentang wabah yang me-nyapu bumi—yang mereka tahu hanyalah ayam bebek méntok piaraan mereka mati semua untuk selama-lamanya, tapi tidak begitu dengan unggas di desa tempat Joko Swiwi dilahirkan.

Pak Lurah dipanggil oleh Pak Camat dan di sana ia dikepung oleh lurah-lurah desa di sekitarnya.

”Pak Lurah, makhluk bersayap ajaib di desa sampean itulah pembawa kutukan ini, kita belum pernah mengalami wabah seper-ti ini sebelum kedatangan makhluk yang dinamakan Joko Swiwi itu.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 206 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 216: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

207

”Kalau memang begitu, kenapa harus menunggu 18 tahun, kenapa tidak dari dulu-dulu ketika Joko Swiwi dilahirkan maka wabah ini melanda?”

”Apakah bedanya? Pokoknya wabah ini ada setelah Joko Swiwi ada, wabah ini membunuh makhluk-makhluk bersayap dan Joko Swiwi adalah makhluk bersayap. Ia suka terbang ceblak-cebluk ke sana kemari. Barangkali saat itulah ia menyebar penyakit ke mana-mana.”

”Nanti dulu, dia bukan burung saya rasa, dia manusia, sama seperti kita, bedanya cuma dia bersayap sahaja. Dia baru saja lulus SMU dan jelas lebih pintar dari ayam-ayam kita. Barangkali se-bentar lagi ikut mendaftar ke perguruan tinggi di kota. Penduduk desa kita selama ini hidup seperti katak dalam tempurung, Joko Swiwi bisa terbang ke mana-mana dan membagi pengetahuan un-tuk kita, apakah sampean-sampean akan membunuhnya?”

”Apakah ada cara lain? Kalau ia tetap hidup, ia akan tetap menyebarkan penyakit!”

”Tapi keberadaan Joko Swiwi belum terbukti menjadi penye-bab wabah ini. Sampean-sampean jangan main hakim sendiri!”

”Pak Lurah, peternakan kami hancur karena wabah ini, pada-hal seluruh penduduk bergantung kepada peternakan itu. Tanah kita terlalu tandus untuk membuat sawah, penjualan panen kete-la tergantung kepada para tengkulak, dan para tengkulak belum mampu mengubah penduduk bumi menjadi penggemar gaplèk. Peternakan ayam bebek méntok selama ini telah membantu kita. Apakah Pak Lurah mengira kami akan berpangku tangan sahaja? Apakah Pak Lurah tidak tahu kalau wabah ini tidak hanya mem-bunuh unggas tetapi juga manusia? Mereka mati seperti ayam di-sembelih! Kalaupun Joko Swiwi bukan penyebabnya, ia sungguh pantas menjadi tumbal!”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 207 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 217: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

208

Pak Lurah memandang Pak Camat yang ternyata cuma bisa mengangkat bahu. Pak Lurah tahu, urusan Pak Camat hanyalah supaya ia bisa terpilih lagi pada musim pemilihan mendatang dan kedudukannya sangatlah ditentukan oleh para lurah desa di dalam kecamatannya. Pak Lurah juga mengerti, penduduk desa-desa tetangga sudah lama iri dengan keberuntungan desanya semenjak kelahiran Joko Swiwi yang mendatangkan berkah. Seluruh penduduk di desa tempat tinggal Joko Swiwi kini rumahnya berlantai tegel, sementara rumah penduduk desa-desa lain, kecuali para pemilik peternakan, masih tidak berlantai dan hanya beralaskan tanah yang menyebabkan paru-paru basah.

”Sampean cuma satu orang Pak Lurah, sampean kalah suara. Itulah demokrasi.”

Pak Lurah tertunduk, air matanya titik—kali ini ia tidak peduli dengan kedudukannya.

*

Kentong titir tanda bahaya terdengar di seluruh desa. Para pen-duduk berlari ke berbagai gardu penjagaan yang selama ini meng-anggur karena memang tiada pernah terdapat bahaya mengancam desa dalam seratus tahun terakhir. Namun kini mereka mengalami ancaman yang sungguh tiada terduga, itulah kepungan penduduk desa-desa tetangga mereka sendiri.

”Serahkan Joko Swiwi, atau kami bakar desa kalian!”Penduduk desa mungkin tidak tahu apa-apa, tetapi dalam

urusan harga diri, adat mereka memberi pelajaran harus dibela, kalau perlu sampai mengorbankan nyawa. Bambu runcing segera berada di tangan mereka. Tua muda laki perempuan anak kecil tak luput bersiap siaga.

”Mana musuh kita,” kata mereka dengan bangga, ”suruh mere-ka kemari, biar kusudèt ususnya!”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 208 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 218: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

209

Desa mereka dikitari bukit kapur, mereka berjaga di tempat yang tertinggi. Bongkah-bongkah batu besar telah siap digelin-dingkan. Para pengepung memang jauh lebih banyak, tetapi mereka tak akan mendapat kemenangan tanpa korban ratusan nyawa. Segenap penduduk telah siap mengadu jiwa atas nama kemerdekaan mereka.

Di hadapan Poniyem ibunya yang bermuram durja, Joko Swiwi menundukkan muka.

”Biarlah aku menyerahkan diriku wahai Ibu, tidaklah perlu penduduk desa habis terbunuh karena aku.”

”Tapi dirimu bukanlah penyebab wabah itu anakku, kalau dirimu penyebab wabah itu, pasti dirimu sendiri sudah mati. Entah dari mana asal penyakit itu, tapi pasti datangnya bukan dari kamu. Para lurah itu hanya mencari-cari alasan saja untuk membasmi kita, tidak pernah bisa mereka terima betapa desa yang dulunya paling miskin telah menjadi desa yang paling kaya di perbukitan kapur ini. Betapa dengki dan iri hati bisa menjadi parah begini.”

”Biarlah kuserahkan diriku Ibu, nyawaku tidaklah terlalu berharga dibanding kehidupan desa yang kusayangi ini, aku tidak ingin melihat desa ini kosong dan hanya berisi mayat bergelim-pangan di sana-sini.”

”Itu tidak mungkin terjadi wahai Joko Swiwi anakku, sebe-lum mereka melangkahi mayatku!”

Poniyem lantas mengambil sebatang bambu runcing dan kelu-ar rumah dengan gagah. Tubuhnya tinggi seperti Ratih Sanggar-wati, dan ia putar bambu runcing itu seperti Sun Go Kong memu-tar toya, sampai sepuluh orang bisa bergelimpangan seketika.

Joko Swiwi juga keluar rumah dan mengepakkan sayap ke ang-kasa. Dapat disaksikannya di antara para pengepung itu terdapat

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 209 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 219: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

210

sejumlah pemburu yang membawa senapan. Seperti siap menem-bak Joko Swiwi jika berniat lari terbang ke angkasa.

Mungkinkah terbayangkan betapa Joko Swiwi tertembak di udara dan bulu-bulu sayapnya rontok berhamburan di udara? Mungkinkah terbayangkan peluru-peluru akan berdesingan di sekitarnya dan beberapa di antaranya akan bersarang di tubuh-nya, membuatnya meneteskan darah, dan jatuh melayang dari angkasa?

Memang bisa saja ia lolos dari segala kepungan itu dan terbang melarikan diri jauh-jauh sampai ke Singapura—tetapi apalah yang akan dilakukannya di sana? Minta suaka terlalu rumit baginya, sedangkan Jakarta tidaklah memberi harapan meski sekadar ha-nya untuk bertanya, karena bahkan burung-burung langka yang dilindungi negara dan dunia tewas pula di sana—dirinya memang manusia, tetap saja makhluk bersayap adanya, sedangkan manusia dan makhluk bersayap adalah sasaran wabah yang tiada pernah dikenalnya pula.

Dari angkasa ia menyaksikan segalanya. Dengan sedih dili-hatnya penduduk desa yang sederhana siap mengadu jiwa dan kehilangan nyawa. Mungkin memang bukan karena membela Joko Swiwi sebenarnya, lebih karena membela desa yang siap di-tindas kekuatan di luarnya, tetapi Joko Swiwi merasa dirinyalah tetap menjadi penyebab utama. Adalah kelahirannya di dunia dalam wujud berbeda menjadi penyebab segalanya.

”Mengapa perbedaan harus dipaksakan, jika persamaan masih dimungkinkan,” pikirnya pula.

Saat uang mereka sudah terkumpul cukup banyak, karena Joko Swiwi memang adalah tontonan yang dahsyat, terpikir olehnya untuk pergi ke kota dan membedah lepas sepasang sa-yapnya yang sangat besar itu. Namun bukan saja penduduk desa

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 210 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 220: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

211

keberatan, tentu karena sumber penghasilan akan menghilang, melainkan juga Joko Swiwi tak terlalu suka mengubah kodrat keberadaan dirinya meski melakukannya bukanlah suatu dosa.

Desa mereka begitu terpencil karena dunia mereka yang berkapur menjauhkan mereka dari peradaban. Dunia mereka ha-nyalah dunia putih kapur, debu-debu kapur yang mengakibatkan wajah-wajah berkapur seperti selalu berpupur. Orang-orang kota menganggap mereka sebagai makhluk-makhluk ajaib yang selu-ruh tubuhnya putih seperti kapur. Keberadaan Joko Swiwi hanya menjadi pengetahuan orang-orang desa. Orang-orang kota yang pernah mendengarnya hanya manggut-manggut dengan sopan karena mengiranya sebagai takhayul. Hanya para pilot helikopter yang pernah menyaksikan Joko Swiwi terbang berkelebat ke sana kemari, tetapi para pilot ini cukup berbaik hati untuk tidak memberi tahu para wartawan—apalagi wartawan infotaintment.

”Serahkan segera Joko Swiwi sekarang juga,” terdengar teriak-an penduduk desa tetangga, ”atau kami bakar habis desa kalian sampai habis rata tanpa sisa.”

Jagabaya desanya maju ke muka. ”Majulah kalian sekarang juga, jangan terlalu banyak bicara,

tak ada seorang pun akan diserahkan karena rudapaksa.”Suasana tegang. Joko Swiwi sangat bimbang. Dari langit

dilihatnya lingkaran ribuan penduduk lima desa bergerak maju. Bagaimana mungkin ia pergi terbang meninggalkan desanya? Bagaimana mungkin ia bisa menerima desanya akan menjadi bara merah yang menyala-nyala? Sebagai orang desa Joko Swiwi mengerti benar akan bakat kekerasan paling kejam yang tertanam dalam diri orang-orang desa. Pencuri mati dirajam, pezina diarak telanjang, dan perang antardesa adalah pertumpahan darah pur-ba yang sangat mengerikan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 211 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 221: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

212

”Seberapa pentingkah seorang Joko Swiwi, seorang manusia yang kebetulan lahir bersayap, sehingga keberbedaannya harus dibela dan dipertahankan?”

Joko Swiwi yang remaja masih berpikir keras. Namun akhirnya ia mengambil keputusan.

*

Sungai Air Mata masih mengalir dari dua sumber mata air yang istimewa. Sumber mata air pertama adalah kedua mata pada patung Poniyem yang terus-menerus mengeluarkan air mata. Begitu banyak dan begitu terus-menerus air mata duka Poniyem itu mengalir sehingga menganak sungai dan betul-betul mem-bentuk aliran sebuah anak sungai. Sumber mata air kedua adalah sudut kanan mulut pada patung Bapaknya Joko Swiwi yang terus-menerus mengeluarkan air liur. Begitu banyak dan begitu terus-menerus air liur ketidaksadaran Bapaknya Joko Swiwi itu mengalir sehingga menganak sungai dan betul-betul membentuk aliran sebuah anak sungai. Kedua patung itu terletak di atas bukit kapur yang tandus dan gersang, di kaki bukit kedua anak sungai itu bertemu, membentuk sungai yang kemudian disebut Sungai Air Mata. Patung Poniyem yang mengenakan kain dan kebaya bersimpuh dengan kedua tangan di tanah menahan tu-buh, sementara kepalanya yang tertunduk agak miring ke kanan, sehingga rambutnya yang panjang ikal mayang jatuh terurai sampai menutupi dada kanan. Patung Bapaknya Joko Swiwi yang mengenakan baju dekil dan celana pendek sobek-sobek berjongkok dan memegang arit seperti dalam kehidupannya sehari-hari, kepalanya yang berwajah bodoh juga agak miring ke kanan sehingga air liurnya keluar dari sudut kanan bibirnya yang selalu terbuka. Sungai Air Mata telah memungkinkan penduduk

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 212 10/24/2020 10:14:07 AM

Page 222: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

213

desa perbukitan kapur itu mengubah ladang ketela mereka men-jadi sawah yang subur.

Berabad-abad kemudian kedua patung itu disebut sebagai patung Dewi Air Mata dan patung Dewa Air Liur. Kedua patung itu begitu mirip dengan manusia karena tidak berasal dari batu yang dipahat maupun cetakan logam melainkan manusia yang berubah menjadi patung karena duka tak tertahankan.

”Kenapa disebut Sungai Air Mata, padahal sumber mata air-nya bukan hanya air mata melainkan juga air liur?” Murid-murid sekolah dasar itu kelak akan bertanya.

Ibu Guru Tati tidak menjawab, dan balas bertanya: ”Itu dia soalnya, kenapa?”

Taipei-Tokyo-Honolulu-M/N1043, Maret 2006.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 213 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 223: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

214

Simsalabim

ada suatu hari di wilayah bencana itu datanglah seorang tukang sulap. Bencana telah lama pergi sebenarnya, te-

tapi kehidupan mereka sebelum bencana itu tiba tidak pernah kembali. Sekali korban tetap korban. Entah kenapa sulit sekali mengubah kehidupan mereka sebagai korban. Sekian waktu telah berlalu, tetapi mereka semuanya masih hidup di bawah tenda, masih mengantri jatah makan, dan masih mendapatkan segala kebutuhan pokok untuk hidup dari sumbangan.

Bencana itu telah meluluhlantakkan jiwa mereka, mengubah mereka dari manusia bersemangat yang rajin bekerja dan pantang menyerah menjadi manusia yang hanya mampu duduk-duduk dengan wajah kosong. Tiada bencana yang lebih memilukan selain bencana yang melenyapkan semangat untuk hidup. Ha-nya mereka yang mampu menegakkan kembali jiwanya boleh dibilang selamat dalam pengertian yang sebenarnya—sedangkan mereka yang jiwanya rontok benar-benar menjadi korban yang mengalami nasib lebih buruk dari kematian.

Pada saat semacam itulah tukang sulap itu tiba. Ia muncul dari balik bukit dengan busananya yang aneh. Ia mengenakan semacam jas bertambal-tambal yang panjangnya sampai ke lutut dan warnanya tidak jelas lagi, yang tentunya menyimpan sege-

ada suatu hari di wilayah bencana itu datanglah seorang tukang sulap. Bencana telah lama pergi sebenarnya, te-P

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 214 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 224: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

215

nap tipuan sulapnya. Ia juga mengenakan topi kain yang juga kusam tetapi dihiasi bulu-bulu burung dengan warna mencolok. Bulu-bulu burung berwarna kuning, biru, merah, dan hijau. Bulu-bulu burung itu sangat indah. Hmm. Apakah ia telah men-cerabutinya dari burung-burung langka? Celananya yang belèl dengan banyak kantong juga tidak bisa disebutkan berwarna apa. Sepatunya adalah sepatu tenis butut yang masing-masing tampak sekali bukan pasangannya. Ia tidak mengenakan kaus kaki dan sebagian jari kakinya terlihat pada lubang di ujung sepatu yang kiri maupun yang kanan.

Sembari turun dari bukit tukang sulap itu meniup seruling, memperdengarkan lagu-lagu yang riang. Anak-anak, yang me-mang paling cepat melupakan bencana, segera mengikuti tukang sulap itu dari belakang sambil menari-nari. Mereka melompat-lompat mengikuti irama seruling maupun gerak tukang sulap tersebut dan rombongan yang menuruni bukit itu memang segera menarik perhatian. Orang-orang dewasa yang sejak pagi terkantuk-kantuk dan berkaparan di tenda-tenda segera mem-perlihatkan kepalanya. Mata mereka yang mengantuk tampak menjadi agak terbuka.

”Siapa lagi ini?”Mereka memang sudah muak dengan orang-orang yang meng-

ambil keuntungan dari bencana. Orang-orang yang menjadi ter-kenal karena memberi sumbangan, orang-orang yang mempunyai kepentingan dan teruntungkan jika diberitakan mengunjungi korban bencana, orang-orang yang tidak mampu memberi apa pun selain mengambil sesuatu dari keberadaan para korban benca-na—mengambil gambar, mengambil cerita, mengambil gagasan, mengambil apa pun dan tidak pernah mengembalikannya sebagai pemberian yang mengubah keadaan mereka sebagai korban.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 215 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 225: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

216

Mereka melihat tukang sulap itu segera beraksi.”Lihat, anak-anak!”Ia mengeluarkan pisau lantas memotong lidahnya sendiri.”Hiiiii!” Anak-anak berteriak ngeri.Lidah itu memang tidak putus, tapi tetap saja mengeluarkan

darah. Setelah darah itu habis, ternyata lidahnya baik-baik saja.”Hehehe!” Tukang sulap itu tertawa melihat anak-anak ter-

nganga. Lantas ia mendekati mereka sambil membuka sebuah kotak korek api.

”Hiiiiiiiii!” Terdengar lagi anak-anak berteriak ngeri, anak-anak perempuan bahkan sampai berlari-lari, meski sambil ter-tawa-tawa geli, karena di dalam kotak korek api itu terdapat jari manusia yang terpotong dan berdarah.

”Hehehehe!” Tukang sulap itu tertawa lagi dengan penuh kemenangan.

”Ayo, jangan lari, ini kan hanya sulap, coba lihat tongkat ini!”Ia meletakkan tongkat itu di punggung jari-jari tangannya,

lantas ia miringkan tangannya itu, ternyata tongkat itu tidak jatuh. Anak-anak ternganga.

”Kok bisa, ya?” Anak-anak berpandangan.”Sakti!”Tukang sulap itu menyahut.”Ya, tongkat ini memang tongkat wasiat! Coba lihat!”Dari balik jas panjangnya yang kumal, ia keluarkan sebuah

teko kecil. Ia buka tutupnya.”Coba lihat, anak-anak!”Ia masukkan tongkatnya ke dalam teko. Ternyata tembus

ke dasar teko. Ia miringkan teko itu. Memang tidak ada air di dalamnya. Bukankah teko itu berlubang?

”Anak-anak, bisakah teko ini untuk masak air?”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 216 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 226: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

217

”Tidaaaaaakkk.” Anak-anak menjawab serentak. Maka tukang sulap itu memukulkan tongkat wasiatnya ke teko.

”Simsalabim!”Ia memiringkan teko itu. Ajaib. Keluarlah air yang mengucur.

Ia minta seorang anak mengulurkan tangan untuk menyentuh air itu.

”Ah!” Anak itu segera menarik tangannya.”Panas!”Orang-orang yang berkerumun itu mulutnya bergumam. Me-

reka mulai percaya tukang sulap itu sakti. Tukang sulap itu terus beraksi. Ia keluarkan sebatang lilin dari balik jasnya, ia nyalakan lilin itu. Terlihat apinya menyala.

”Perhatikan, anak-anak, Bapak bisa mematikan api ini hanya dengan memandangnya!”

Ia memandangi api itu. Beberapa saat lamanya, api itu belum mati juga.

”Sulap mana pun tidak mungkin mematikan api dengan pandangan mata,” seorang dewasa bergumam.

”Barangkali memang bukan sulap, barangkali dia betul-betul sakti,” seorang dewasa lain berbisik menyahut.

Mereka perhatikan tukang sulap itu memandangi api. Ter-nyata api itu kemudian memang mati. Terdengar gumam kagum dari kerumunan manusia yang makin lama makin banyak itu.

”Enak benar jadi orang sakti ya? Barangkali ia bisa mengubah batu jadi ondé-ondé.”

”Atau mengubah daun jadi uang.”Rupanya tukang sulap itu mendengar perbincangan tersebut.

Ia nyalakan lilin lain yang diambil dari balik jasnya dengan korek api.

”Lihat! Siapa mau uang untuk jajan?”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 217 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 227: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

218

Anak-anak dan orang dewasa menjawab serentak.”Sayaaaaaaaaaaaaa!”Tukang sulap itu tersenyum.”Wah, tentu tidak bisa dapat semua.”Lantas ia perlihatkan kedua tangannya yang kosong. Setelah

itu dihampirinya lilin yang menyala tadi dan diangkatnya de-ngan tangan kiri. Tangan kanannya meraba-raba nyala lilin, lalu menggenggam seolah-olah memegang api, untuk dipindahkan ke tangan kiri yang memegang lilin. Ia tiup lilin itu sampai mati dan meletakkannya di meja yang kebetulan ada di dekatnya. Ketika tangan kirinya dibuka, sudah terdapat uang logam yang langsung diberikannya kepada seorang gadis kecil yang manis sekali.

Gumam terdengar riuh rendah karena keajaiban itu.”Beri kami sejuta rupiah!””Ya, beri kami semua masing-masing sejuta! Bapak pasti bisa!”Tukang sulap itu tertawa terkekeh-kekeh.”Hehehehe!”Namun ia melanjutkan saja unjuk keahliannya. Tidak ter-

lalu diperhatikannya bahwa bayangan tentang uang yang bisa diciptakan dari ketiadaan mempunyai pengaruh besar kepada manusia-manusia tanpa uang itu.

”Bapak-bapak tidak punya uang rokok? Sebetulnya Bapak-bapak tinggal berkhayal agar khayalan itu jadi kenyataan. Tidak percaya? Coba lihat!”

Tukang sulap itu berpantomim, memerankan seseorang yang menggulung tembakau dengan kertas. Setelah seolah-olah men-jadi rokok, diletakkannya rokok yang tidak terlihat itu di mulut-nya. Lantas dengan korek api sesungguhnya ia menyalakan rokok khayalan tersebut. Ajaib. Tiba-tiba di mulutnya terdapat rokok

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 218 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 228: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

219

baru yang dinyalakan korek api tersebut. Ia hembuskan asapnya ke udara dengan senyum kemenangan.

”Hehehehe!”Orang-orang dewasa yang menonton berpandangan. Tukang

sulap yang hidupnya selalu mengembara dan tidak pernah mem-baca koran, menonton televisi, atau mendengarkan radio itu tidak terlalu waspada bahwa wilayah yang dikunjunginya kali ini adalah wilayah bencana. Ia tidak terlalu sadar betapa kemiskinan yang dilihatnya kali ini tidak terlalu sama dengan berbagai ma-cam kemiskinan lain yang telah disaksikannya. Kemiskinan yang satu dengan kemiskinan yang lain baginya tampak sama saja, kumuh dan nestapa, tetapi yang anehnya tidak menimbulkan rasa belas baginya.

”Orang-orang yang membahagiakan dirinya dengan mimpi,” pikirnya, ”memang layak dikibuli dengan mimpi-mimpi.”

Dan mimpi-mimpi itulah yang diberikannya kepada mereka, bahwa segala sesuatu bisa berubah dengan seketika. Simsalabim. Bahwa segala sesuatu yang tidak mungkin ternyata bisa menjadi mungkin.

”Dasar bego,” pikirnya pula.

*

Ia sudah siap mengedarkan tampah untuk menampung uang saweran sambil berpikir, ”Enak aje mau hiburan gratis,” ketika terdengar suara seorang dewasa.

”Bapak, apa yang Bapak lakukan?””Oh, itu sekadar sukarela saja, maklum namanya juga cari

makan.””Bapak tahu tidak, Bapak sedang cari makan di mana?”Tukang sulap itu baru menyadari bahwa penonton anak-anak

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 219 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 229: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

220

sudah terhalangi oleh jajaran orang dewasa yang maju mende-katinya.

”Ya, Bapak dengar-dengar wilayah ini pernah terkena musi-bah.”

”Pernah?””Lho!”Orang-orang itu menggelengkan kepala dan berdecak sebal.”Kami tidak pernah bisa bangkit dari musibah itu Bapak,

kami seperti orang-orang terkutuk, seperti musibah itu tidak pernah pergi lagi.”

”Oh.” Tukang sulap itu mengangguk-angguk tidak tahu harus menjawab apa.

”Bapak….””Ya.””Bisakah Bapak mengubah nasib kami?”Tukang sulap itu mengernyitkan dahi.”Mengubah nasib?””Ya, mengubah nasib. Kami lihat Bapak begitu sakti, meng-

ubah yang ada menjadi tiada dan menjadikan ada dari tiada. Ba-pak sangat sakti. Tolonglah kami, Bapak. Hanya seorang tukang sulap seperti Bapak bisa mengubah nasib kami dari masyarakat korban menjadi masyarakat yang selamat.”

Wajah tukang sulap itu tampak sangat heran. Rambut yang sebagian tertutup topi kain berbulu-bulu burung warna-warni bagaikan semakin memutih seketika.

”Lho, saya ini cuma seorang tukang sulap.””Justru tukang sulap itulah yang sangat kami butuhkan seka-

rang. Sudah lima presiden, seratus menteri, ribuan pejabat, dan orang-orang terkenal datang kemari, dan sudah terbukti mereka tidak mampu mengubah nasib kami. Tolonglah kami Bapak.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 220 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 230: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

221

Kami telah menyaksikan sendiri betapa Bapak sangat sakti. To-longlah, Bapak, sulaplah kami. Tolong, sulaplah kami dari orang yang menderita menjadi orang yang berbahagia. Tolonglah kami Bapak. Kami tidak minta beras, kami tidak minta uang, kami ti-dak minta rumah bagus dari langit yang langsung jadi. Tolonglah kami, Bapak, sulaplah nasib kami agar tidak menjadi korban.”

Orang-orang dewasa itu tambah mendekat, sampai tukang sulap itu terdesak mundur.

”Bapak-bapak, mohon sabar dahulu. Saya sama sekali tidak sakti. Saya hanya seorang tukang sulap. Saya memang bermain sulap, tetapi saya tidak mampu menyihir. Sedangkan ilmu sihir, kalau memang ada, juga tidak mampu mengubah nasib. Coba lihat!”

Tukang sulap itu membuka jas panjangnya yang bertambal-tambal.

”Saya cuma memakai pisau ganda untuk sulapan memotong lidah, pisau yang seperti memotong lidah sebetulnya berongga.”

”Tapi tadi berdarah kok lidahnya?””Ah, itu kan teres pewarna. Lihat!”Ia perlihatkan serbuk tères yang ketika bertemu ludah men-

jadi mirip darah.”Jari dalam korek api itu?”Maka tukang sulap itu terpaksa membongkar segala rahasia-

nya, bahwa korek api itu memang berlubang untuk dimasuki ja-rinya sendiri, yang ketika dibantu tères pewarna tampak meyakin-kan sebagai jari terpotong yang berdarah-darah. Tongkat tampak tidak jatuh ketika punggung jari-jari tangan dimiringkan karena peranan seutas benang; dinding teko dibuat rangkap dengan ruang kosong di tengah, sehingga tongkat bisa menembusnya; sumbu lilin ternyata memang terpotong di dalam lilin sehingga tentu saja

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 221 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 231: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

222

api akan mati; uang logam terdapat dalam lubang pada lilin yang tidak menghadap penonton, dan tinggal dimiringkan supaya uang jatuh ke telapak tangan; rokok yang muncul dari ketiadaan sebe-tulnya ada di dalam kotak korek api yang setengah terbuka, de-ngan pura-pura menutupi api dari angin, rokok itu disambar de-ngan mulut—dan asap boleh dihembuskan dengan senyuman.1

Tukang sulap itu mencermati wajah-wajah para pengepung-nya. Baru kali ini ia harus membongkar rahasia ilmu sulapnya. Keajaiban hilang lenyap tertiup angin.

”Bapak-bapak mengerti kan saya hanya seorang tukang sulap, benar-benar tukang sulap, dan karena itu tidak akan mampu mengubah nasib?”

Para korban semula tertegun. Wajah mereka kecewa berat. Namun sejenak kemudian ternyata mereka tetap mendesak.

”Bapak seorang tukang sulap, tolonglah sulap nasib kami. Tolong Pak, tolonglah kami!”

Tukang sulap itu mundur terus sampai jatuh terkapar kare-na tersandung sesuatu. Orang-orang tidak menolongnya. Tetap mengerumuninya sambil berdiri. Tukang sulap itu yang sekarang minta tolong.

”Tolonglah saya Bapak-bapak, saya hanya seorang tukang sulap miskin yang mengembara dari kota ke kota untuk mencari sekadar nafkah bagi keluarga saya di kampung. Sudah lama saya tidak pulang, Pak, keluarga saya mungkin juga sudah kelaparan sekarang karena sawah kami disapu banjir bandang. Saya tidak mengerti bencana macam apa yang telah Bapak-bapak alami, te-tapi percayalah saya mengerti apa artinya tertimpa musibah Pak,

1Teknik sulap dirujuk dari Houdini Cs., Seni Sulap Ajaib, Bandung-Jakarta: Kompas Pengetahuan, 1982. Saduran Oerip Zaman.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 222 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 232: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

223

saya mengerti—maafkan kekhilafan saya kalau ada kesalahan yang tidak saya sengaja.”

Seseorang membungkuk dan meraih leher tukang sulap yang masih mengenakan topi dengan bulu-bulu burung warna-warni itu.

”Bapak sama sekali tidak bersalah, tapi Bapak sungguh tega kepada kami jika tidak sudi menyulap nasib kami.”

Wajah tukang sulap itu betul-betul memancarkan rasa heran yang luar biasa.

”Menyulap nasib? Aku hanya seorang tukang sulap! Permin-taan kalian salah alamat! Cobalah untuk mengerti!”

”Hanya tukang sulap bisa menyulap nasib, mohon Bapak juga mengerti! Siapa pun yang pernah datang kemari tidak mampu mengubah nasib kami! Bapak jangan salah paham, kami sudah meminta kepada pihak-pihak yang kami perkirakan mampu bu-kan saja menyulap nasib, tetapi juga menyulap apa pun dengan kekuasaannya—kenyataannya nasib kami tidak pernah berubah! Bukan kami tidak pernah berusaha, Pak, tetapi keadaan kami tidak memungkinkan kami berbuat apa-apa! Sekarang harapan kami tinggal kepada Bapak! Tolong Pak, sulaplah nasib kami!”

Tukang sulap itu melihat wajah-wajah yang putus asa sekali-gus murka. Ia merasa kehilangan daya.

”Tuhan, selamatkanlah saya,” ujarnya dalam hati, dan mulut-nya komat-kamit berdoa.

”Tukang sulap! Engkau sungguh tega kepada kami! Sungguh tega kepada kami!”

Ia masih memejamkan matanya ketika teriakan-teriakan itu makin keras saja terdengarnya. Dalam kegelapan ia merasa tu-buhnya ditendang, digebuk, dan dibacoki.

Dari kejauhan kerumunan itu seperti bukit manusia yang ber-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 223 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 233: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

224

gerak-gerak. Kadang-kadang terlihat pantulan senjata tajam dalam cahaya matahari. Anak-anak sudah pergi menjauh, menyaksikan semua kejadian itu dari atas bukit.

Kemudian senja pun tiba. Tinggal bulu-bulu burung warna-warni terserak di tempat itu, di atas rerumputan yang terciprat tetesan darah.

Simsalabim.

Pondok Aren, Jumat, 21 Juli 2006, 16.04.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 224 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 234: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

225

Sebuah Pohon di Tengah Padang

ari jauh sudah terlihat pohon itu berdiri tegak di tengah padang. Setelah berhari-hari menempuh daerah

yang kering kerontang dan terpanggang matahari, pemandangan pohon yang rimbun seperti itulah yang sekarang kubutuhkan. Kuhabiskan isi kantong airku untuk membasahi kerongkongan. Aku tidak takut lagi akan kehabisan air seperti hari-hari yang baru saja kulalui, karena aku tahu tidak akan ada pohon yang bisa menjadi begitu rimbun tanpa sumber air.

Hanya ada satu pohon di tengah padang ini, tinggi tegak menjulang, menjanjikan keteduhan bagi siapa pun yang akan beristirahat di bawahnya. Ke sanalah langkah kakiku yang tidak pernah mempunyai tujuan ini mengarah. Kini telah menjadi jelas dan pasti. Aku ingin beristirahat di bawah pohon itu. Aku ingin menggeletak di atas rerumputan dengan nyaman. Melemparkan tongkat dan buntalan bekal sekenanya lantas menggeletak begitu saja di atas rumput tebal yang empuk dan hijau sehijau-hijaunya rumput yang paling hijau. Sudah waktunya telapak kakiku yang pecah-pecah meski dialasi kasut ini merasakan kelembutan sete-lah berbulan-bulan hanya menapak di daerah kering.

Daerah kering artinya tanah yang sudah pecah-pecah bahkan membatu karena kekeringan bertahun-tahun tanpa henti. Me-

yang kering kerontang dan terpanggang matahari, pemandangan D

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 225 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 235: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

226

lewati daerah kering artinya melewati daerah berdebu, rumah-rumah tanah, dan manusia-manusia yang juga berbalut debu dan tanah. Rumah-rumah tanah terletak sangat berjauhan satu sama lain. Kelompok-kelompok rumah yang hanya terdiri dari dua sampai lima keluarga masing-masing terletak sangat berjauhan, dengan sumur-sumur mahadalam yang terletak lebih jauh lagi.

Makin jauh aku berjalan, makin sedikit kelompok rumah yang kulewati, dan makin jauh pula jarak rumah yang satu de-ngan lainnya. Rumah yang terakhir bahkan hanya berpenghuni satu orang tua, entah laki entah perempuan, terkantuk-kantuk di atas bangku kayu, seperti hanya menanti kematian tiba. Rambutnya merah dan berdebu, kulitnya hitam dan berselaput debu, seolah-olah ia tiada pernah bergerak sehingga tiada sebutir debu pun yang jatuh ke tanah.

Waktu aku lewat di depannya ia tertawa.”Pengembara bodoh,” katanya, ”untuk apa berjalan terus-

menerus tanpa tujuan yang jelas. Hidup kita hanya berakhir dengan kematian, duduk di sini saja bersamaku. Nanti kematian toh akan datang juga.”

Aku berjalan terus, meski aku memang tidak mempunyai tujuan yang jelas. Namun apakah yang bisa terlalu jelas di mata manusia yang pandangannya selalu terbentur cakrawala? Ada sebuah cermin yang bagaikan tidak ada gunanya lagi di rumah itu. Mungkin dahulu kala ia mempunyai seorang istri yang menggunakan cermin itu, tetapi kuingat kembali betapa tak jelas ia lelaki atau perempuan. Sempat kulihat diriku di luar pintu pada cermin itu, keadaanku ternyata sama saja dengan orang tua itu. Seluruh tubuhku penuh dengan debu.

Itulah rumah terakhir yang kulewati dalam perjalananku di daerah kering ini. Aku membawa kantong kulit berisi air yang

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 226 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 236: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

227

sangat kuhemat meminumnya, sehingga aku bisa bertahan lama melawan matahari yang membara. Tanah yang terpanggang panasnya menembus kasutku dan hal itu membuat aku berjalan semakin cepat karena hanya ketika kaki terangkat panasnya terasa berkurang. Dari hari ke hari dari minggu ke minggu aku masih bisa bertahan dengan air dan daging kering dalam kantong bekalku. Kadang kala aku masih terus berjalan pada malam hari sampai betul-betul tidak kuat lagi. Namun kini aku sudah sampai kepada batas kemampuan tubuhku. Meskipun masih ada air yang mencukupi untuk beberapa hari lagi, mungkin aku tidak akan mampu melewati daerah kering ini.

Kini aku melangkah menuju pohon yang tegak menjulang dan menjanjikan keteduhan di bawahnya. Apakah daerah kering sudah sampai kepada batasnya? Ternyata tidak. Aku memerlukan waktu satu hari untuk mencapai pohon itu. Semula kukira pohon itu hanyalah semacam fatamorgana. Ternyata tidak, tetapi memang ternyata masih jauh sekali. Bayangkanlah sendiri betapa besar dan tinggi pohon itu, jika dari kejauhan pun tampaknya begitu dekat. Mula-mula tanah kering membatu tempat kakiku melangkah berubah menjadi tanah berumput. Namun rumput-nya masih rumput kering dan tanahnya masih keras tiada terkira.

Sebenarnyalah kekeringan itu tidak pernah berakhir ketika aku sampai ke pohon itu. Namun berada di bawah pohon tersebut me-mang kita tidak akan merasakan kekeringan itu sama sekali. Hari menjelang senja ketika aku tiba. Matahari di cakrawala bagaikan lebih rendah dariku. Bayang-bayangku memanjang bagaikan menjangkau ujung dunia. Aku tergeletak kelelahan dan segera tahu betapa akan nyaman hidup selama-lamanya di bawah pohon itu. Begitu menggeletak, hari segera menjadi gelap, dan aku terba-wa ke alam mimpi.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 227 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 237: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

228

*

Mimpiku hanyalah ulangan perjalananku yang panjang. Otot-otot kakiku yang pegal mengirim kembali pengalamannya ke dalam otakku yang, alih-alih tertidur, memberikan gambaran mimpi yang melelahkan. Bahkan di dalam mimpi aku berjuang menghindari ulangan perjalanan tiada habisnya yang menguji ketabahan seorang pejalan. Melakukan perjalanan sendirian tanpa menjumpai seorang manusia pun dalam keletihan dan kebosanan bukanlah suatu pesta makan.

Namun aku terbangun dengan perasaan tenang. Hari masih pagi dan pohon yang begitu rindang ini seperti menjanjikan ke-teduhan abadi. Pohon besar yang perkasa ini hanya sendirian saja di tengah padang. Seolah-olah dunia hanya terdiri dari padang tandus dengan hanya satu pohon tegak menjulang. Ini berarti jika aku berangkat lagi setelah beristirahat, perjalanan yang berat me-napak padang tandus kering kerontang itu akan kembali berulang. Namun siapakah yang begitu terburu-buru berangkat sekarang? Kakiku rasanya melepuh karena panas bumi dan rerumputan yang begitu sejuk selembut kain sutera ini menghalangiku melangkah kembali.

Aku membiarkan diriku berbaring cukup lama menikmati nyanyian burung-burung. Begitu besarnya pohon ini sehingga memungkinkan berbagai jenis burung bisa hidup di sini. Burung-burung itu tercukupi kebutuhan hidupnya tanpa harus terbang jauh menyeberangi padang. Bukan hanya burung yang hidup di sekitar pohon, tetapi juga berbagai macam serangga dan binatang melata yang kecil-kecil, termasuk ular yang sering menyantap telur dari sarang burung-burung itu. Pohon ini bagaikan sebuah dunia tersendiri bagi makhluk-makhluk yang hidup bersamanya. Pohon besar dan perkasa itu mampu melindungi makhluk-makhluk dari

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 228 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 238: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

229

sengatan matahari yang panas membara. Matahari memang luar biasa terik di padang tandus ini, pantulan cahayanya yang menyi-laukan begitu rupa mengacaukan kesadaran. Bahkan berteduh di bawah pohon yang rindang itu, panas udara dari padang tandus tersebut sering masih terasa ketika dibawa angin melintas padang.

Pohon itu memang besar, tegak dan menjulang, tetapi di te-ngah padang tandus yang mahaluas tempat dataran bumi tampak sebagai bulatan, hanya jika berada di bawahnyalah segala keteduh-annya bisa terasakan. Di luar lingkaran bayang-bayang pohon, kesejukan itu menguap begitu saja dalam kekeringan taktertahan-kan. Kupejamkan mataku kembali. Benarkah terdengar suara air? Aku melompat berdiri dan berjingkat di atas rerumputan empuk yang begitu nyaman bagi telapak kakiku yang sudah pecah-pecah. Tersebab begitu luas lingkaran bayang-bayang yang terbentuk oleh naungan pohon besar ini, tidak kuperhatikan bahwa di salah satu sisi bayang-bayang pohon itu terdapat sebuah jurang yang tidak terlalu curam, dengan aliran sungai kecil yang mengalir di bawahnya. Sungai kecil ini sebetulnya berada di bawah tanah, mengalir di bawah padang yang tampaknya tandus dan kering kerontang, dan hanya di dekat pohon ini saja permukaan tanah di atasnya merekah, sebelum akhirnya tertutup kembali. Melalui rekahan itulah terbentuk sepotong jurang yang memperlihatkan aliran sungai mengalir. Aliran yang bagai muncul begitu saja dari sebuah celah dan berakhir di sebuah celah yang lain.

Di tepi aliran sungai berbatu-batu itu terbentuk lubuk kecil tempat ikan-ikan bertelur dan ketika aku sampai ke tepi sungai terlihat pula jejak-jejak antilop dan impala. Apakah aku keliru jika kukatakan aku bisa hidup selamanya seperti makhluk-makh-luk di sekitar pohon ini di sini? Jangankan daging binatang buruan yang bisa menghidupiku selama enam bulan, dengan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 229 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 239: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

230

buah-buahan dari pohon yang tiada jelas apa namanya ini saja aku bisa hidup di sini selama yang kuinginkan. Kupandang sekeliling, di luar lingkaran bayang-bayang sepagi ini matahari sudah begitu terik dan membakar. Tidak juga jelas sampai di mana padang tandus ini berakhir. Sebelum melihat pohon ini saja sudah kutemukan kerangka manusia di sana-sini.

*

Begitulah akhirnya aku hidup bersama pohon besar itu. Berga-bung dengan burung-burung, kadal, ular, dan berbagai jenis se-rangga yang hidup dalam dunia tersendiri di padang tandus ini. Alangkah ajaibnya betapa sebuah pohon bisa mempunyai makna begitu besar. Di bawah akarnya yang menjalar ke mana-mana itu tanah memang tak lagi kering dan terlihat begitu banyak lubang yang menyarankan terdapatnya kemaharajaan semut, laron, ca-cing, dan entah apa lagi di dalam bumi. Burung-burung berbagai jenis sebetulnya juga tidak perlu terbang ke mana pun untuk mencari mangsa. Begitupun diriku, dengan kemampuan menya-lakan api untuk memasak dan memanggang, tempat ini menjadi surga bagiku. Setiap hari aku bisa mandi sesuka hati, berendam sepuasnya dalam deras air kali, dan tiada kesulitan makanan apa pun yang sehat dan alami. Daun pohon itu menjadi sayur, ikan menjadi sashimi, dan buahnya pencuci mulut terlezat yang pernah kucicipi. Aku tahu akan bisa hidup selama mungkin di tempat ini, kalau perlu sampai aku mati.

Sambil duduk di bawah pohon sehabis makan, duduk ber-leha-leha tanpa pekerjaan dan hanya mengipas-ngipaskan topi akar pandan dengan malas, terpandang olehku cakrawala nun di sana yang mengundang segala pertanyaan. Apakah kiranya yang berada di balik cakrawala itu?

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 230 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 240: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

231

Dalam perjalananku menuju tempat ini, kadang-kadang ku-lihat jejak beberapa ekor singa. Berbagai kerangka manusia maupun binatang yang kujumpai dalam perjalananku bukan tidak mungkin juga merupakan korban keganasan singa yang kelaparan. Sebenarnya pada malam hari pun ada kalanya kude-ngar aum singa. Dalam kegelapan kadang terlihat juga sepasang mata memantulkan cahaya api unggun. Tampaknya pohon ini menegaskan batas wilayah kekuasaan binatang buas itu, karena mereka tidak pernah mendekat untuk memangsaku. Barangkali ini semacam pohon yang sudah ada bersama dengan terciptanya dunia. Pohon asal segala pohon. Sehingga ketika rimba raya harus punah menjadi padang tandus, pohon itu masih tegak berdiri. Makhluk-makhluk barangkali mengerti arti keberadaan pohon tersebut. Dengan aman setiap malam aku tidur di atas rumput. Tiada lagi kelelahan terasa di tubuhku.

Memandang padang tandus yang begitu luas bagaikan tanpa batas, aku tahu singa-singa itu akan mengikuti jejakku jika aku meneruskan perjalanan. Setelah mengikuti perlahan-lahan dari be-lakang maupun di samping kiri dan kanan, mungkin mereka akan menyerbu, atau mungkin juga menunggu sampai aku begitu lelah dan terjatuh dengan sendirinya. Tidak kubayangkan bagaimana singa-singa itu akan menyantap diriku. Aku tidak ingin menjadi santapan singa, tidak akan kubiarkan mereka menerkam aku.

Maka begitulah, dari hari ke hari aku termangu-mangu di ba-wah pohon di tengah padang ini. Aku menulis dalam buku catat-an. Mencatat segala peristiwa dengan bahasa yang paling mungkin untuk menceritakan semuanya. Bila aku harus mati di tempat ini, maka aku harus mati meninggalkan sesuatu yang berguna bagi mereka yang kelak juga akan tiba di tempat ini. Kuceritakan da-lam buku catatanku bagaimana seseorang, setelah menyeberangi

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 231 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 241: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

232

padang tandus yang begitu luas, akan bisa hidup terus selamanya sampai harus mati secara alamiah karena usia tua. Kuceritakan apa saja yang bisa dilakukan di tempat ini, apa saja yang bisa membuat hidup seseorang berguna dan berbahagia.

Dalam waktu setahun, telah kupersembahkan segala ma-cam catatan untuk dunia tentang burung-burung, daun-daun, angin, dan kadal. Telah kuberi petunjuk kepada siapa pun yang akan tiba di tempat ini kelak, tempat yang terbaik un-tuk menyaksikan senja terindah ketika matahari turun di ba-lik cakrawala itu dan bayang-bayang pohon itu akan tampak memanjang, begitu panjang, sehingga hanya berakhir di sisi cakrawala lain. Kuberi catatan tentang musim-musim terten-tu ketika cahaya senja akan memerahkan langit begitu rupa, sehingga tampak langit itu menjadi merah menyala-nyala seperti sedang terbakar. Pada musim lain, hanya akan ungu saja langit, atau kelabu, atau langit tertutup awan gelap bergu-lung-gulung mendatangkan hujan. Namun dalam hujan yang derasnya membuat dunia menjadi kelabu sekalipun, tiada setetes air akan menembus kerimbunan pohon di tengah padang ini.

Kuperingatkan siapa pun mereka agar jangan tergoda dengan suara-suara yang akan terdengar setelah malam tiba. Kesendi-rian dan kesepian akan membuat suara-suara malam terdengar seperti lagu bisikan yang memanggil-manggil. Lagu bisikan dan rembulan purnama dengan mudah akan membuatmu berja-lan ke tengah padang, terkecoh oleh cahaya keperakan yang memantul dari dataran berbatu-batu. Dalam embusan angin sepoi-sepoi dikau akan mengira segalanya memang diciptakan hanya untukmu. Saat itulah, ketika dikau jauh dari pohon yang kerindangannya menjamin kebahagiaan hidup, moncong seekor singa tanpa kausadari sudah akan menancap di lehermu.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 232 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 242: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

233

*

Di bawah pohon yang rindang kutatap cakrawala di kejauhan. Apakah aku harus tinggal di sini, sampai mati sendiri dalam meditasi di alam sunyi? Aku teringat kata-kata manusia terakhir yang kujumpai sebelum tiba di sini—aku teringat ia mengatakan sesuatu tentang perjalanan dan kematian. Benarkah perjalanan yang berakhir dengan kematian adalah suatu kesia-siaan? Tidak-kah perjalanan hidup ini memang perjalanan menuju kematian? Aku telah berjalan sejauh ini hanya untuk menengok dunia di balik cakrawala. Di sana barangkali ada sebuah dunia yang tiada terduga, tetapi di sana mungkin juga tiada sesuatu apa pun.

Hidupku sangat enak di bawah pohon ini, aku bisa hidup dengan tenang sampai mati tua tanpa perasaan merana.

Namun kusadari kehidupan semacam itu bukanlah tujuan hidupku.

Aku bangkit, segalanya telah kusiapkan. Buntalan berisi bekal telah tergantung di tongkat pengembaraanku yang ujungnya bercabang. Kupasang topi pandan dan kukenakan kembali kasut-ku, siap mengarungi padang tandus yang seperti mendadak saja meniupkan angin berpasir.

Kupanggul tongkatku di bahu kanan dan melangkah. Tong-kat itu juga telah kujadikan tombak yang panjang. Para pemburu dari suku-suku penghuni padang tandus yang telah kulalui selalu menggunakan tombak panjang semacam ini untuk menghadapi singa. Kugunakan salah satu pisauku menjadi mata tombak di ujung yang lain, cukup tajam untuk menembus perut singa yang melompat menerkam. Namun belum kupikirkan bagaimana cara menghadapinya jika singa yang memburuku nanti lebih dari satu, menyerbu serentak dari depan, dari belakang, dari samping kiri dan kanan sekaligus.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 233 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 243: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

234

Siang sangat panas dan terik. Tidak berapa lama kemudian aku telah ditelan badai pasir. Ketika kutengok ke belakang, tidak bisa kulihat lagi pohon rindang menjulang yang menjadi tempat tinggalku setahun ini. Kulanjutkan terus langkah kakiku.

Apa pun yang akan terjadi dalam perjalananku, harus kuang-gap lebih baik daripada menjadi tua dan mati di bawah pohon di tengah padang itu.

Pondok Aren, Agustus-Oktober 2006.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 234 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 244: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

235

Gerobak

ira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai

sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah lainnya, de-ngan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi manusia. Dari balik dinding gerobak berwarna putih itu akan tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak tersebut, biasanya seorang ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil, dengan seorang bapak bertenaga kuat yang menjadi penghela gerobak tersebut.

Karena tidak pernah betul-betul mengamati, aku hanya me-lihat gerobak-gerobak itu selintas pintas, ketika sedang berjalan merayapi berbagai sudut kota. Dari mana dan mau ke mana? Aku tidak pernah berada di batas kota dan melihat gerobak-gero-bak itu masuk kota. Mereka seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam kota, kadang terlihat berhenti di berbagai tanah lapang, memasang tenda plastik, menggelar tikar, dan tidur-tiduran de ngan santai. Tidak ketinggalan menanak air dengan kayu bakar dan masak seperlunya. Apabila tanah lapang sudah penuh, mereka menginap di kaki lima, dengan plastik menutup gerobak dan mereka tidur di dalamnya. Tidak jarang mereka memasang

ira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai

sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-

K

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 235 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 245: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

236

juga tenda di depan rumah-rumah gedung bertingkat. Salah satu dari gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku.

”Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari manakah mereka datang?”

Kakek menjawab sambil menghela nafas.”Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti

menghilang setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemis-kinan.”

”Negeri Kemiskinan?””Ya, mereka datang untuk mengemis.”Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena kakekku adalah orang

yang sibuk. Di samping menjadi pejabat tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah membagi pekerjaan-nya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia tangani sendiri. Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dalam gerobak itu. Anak-anak kecil itu tampaknya seusiaku. Namun kalau aku setiap hari disibukkan oleh tugas-tugas sekolah, anak-anak itu pekerja-annya hanya bermain-main saja. Kadang-kadang aku ingin sekali ikut bermain dengan anak-anak itu, tetapi Kakek tentu saja mela-rangku.

”Jangan sekali-sekali mendekati kéré-kéré1 itu,” kata Kakek, ”kita tidak pernah tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita.”

”Apa yang mereka pikirkan Kek?””Coba saja kamu setiap hari hidup di dalam gerobak di luar

sana. Apa yang akan kamu pikir jika dari kegelapan melihat lampu-lampu kristal di balik jendela, dalam kerumunan nyamuk yang berdenging-denging melihat anak kecil berbaju bersih ma-kan es buah dan pudding warna-warni waktu berbuka puasa?”

1Para gelandangan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 236 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 246: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

237

Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku? Ataukah setidaknya mereka akan melompat ma-suk jendela dan merampas makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang selalu mendapat peringatan dari orang-tuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah menyebutkan kata-kata semacam, ”Hati-hati terhadap orang miskin,” atau ”Orang miskin itu jahat,” tetapi kewaspadaan Ibu memang akan selalu meningkat dan segera menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati orang-orang yang berbaju compang-camping dan sudah tidak jelas warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yang sudah jebol tepinya, memang selalu kulihat mata yang menatap, tetapi tak bisa kuketahui apa yang dikatakan mata itu.

Sekarang aku tahu gerobak-gerobak berwarna putih itu datang dari Negeri Kemiskinan. Di mana tempatnya, Kakek tidak pernah menjelaskan, tetapi kurasa tentunya dekat-dekat saja, karena bu-kankah gerobak itu dihela oleh orang yang berjalan kaki? Demi-kianlah gerobak-gerobak itu dari hari ke hari makin banyak saja tampaknya. Benarkah, seperti kata Kakek, mereka datang untuk mengemis? Aku tidak pernah melihat mereka mengulurkan ta-ngan di depan rumah-rumah orang untuk mengemis. Juga tidak kulihat mereka menengadahkan tangan di tepi jalan dengan batok kelapa atau piring seng di depannya. Jadi kapan mereka menge-mis?

Ternyata mereka memang tidak perlu mengemis untuk men-dapat sedekah. Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. Ketika kemudian gerobak-gerobak itu makin ba-nyak saja berjajar-jajar di depan rumah, gerobak-gerobak yang lain itu juga mendapat limpahan makanan pula. Tampaknya orang-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 237 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 247: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

238

orang yang dianggap berkelebihan diandaikan dengan sendirinya harus tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah. Demikian pula manusia-manusia dalam gero-bak itu tampaknya merasa, sudah semestinyalah mereka mendapat limpahan pemberian sebanyak-banyaknya tanpa harus mengemis lagi. Mereka cukup hanya harus hadir di kota kami dan mereka akan mendapatkan sedekah yang tampaknya mereka anggap seba-gai hak mereka.

Begitulah dari hari ke hari gerobak-gerobak putih itu me-menuhi kota kami, bahkan mobil Kakek sampai sulit sekali keluar masuk rumah karena gerobak yang berderet-deret di depan pagar. Di jalan-jalan gerobak itu bikin macet, dan di tepi jalan keluarga gerobak yang memasang tenda-tenda plastik seperti berpiknik itu sudah sangat mengganggu pemandangan. Manusia-manusia gerobak ini seperti bersikap dunia adalah milik mereka sendiri. Sepanjang hari mereka hanya bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran menatap langit dengan santai, dan mere-ka seperti merasa harus mendapat makanan tepat pada waktunya. Pernah pembantu rumah tangga di rumah Kakek yang terlambat sedikit mengantar kolak untuk berbuka puasa, karena tentu mendahulukan Kakek, mendapat omelan panjang dan pendek. Tetangga-tetangga juga sudah mulai jengkel.

”Tenang saja,” kata Kakek, ”sehabis Lebaran mereka akan menghilang, biasanya kan begitu.”

”Tapi kali ini banyak sekali, mereka seperti mengalir tidak ada habisnya.”

”Ya, tapi kapan mereka tidak kembali ke tempat asal mereka? Mereka selalu menghilang sehabis Lebaran, pulang ke Negeri Kemiskinan.”

Para tetangga tidak membantah. Mereka juga berharap begitu.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 238 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 248: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

239

Setiap tahun menjelang hari Lebaran gerobak-gerobak memenuhi kota, tetapi setiap tahun itu pula mereka akan selalu menghilang kembali.

*

Pada hari Lebaran, gerobak-gerobak itu ternyata tidak semakin berkurang. Meskipun kota kami selalu menjadi sunyi dan sepi setiap kali Lebaran tiba, kali ini kota kami penuh sesak dengan gerobak yang rupanya setiap hari bertambah dengan kelipatan berganda. Gerobak-gerobak itu masih saja berisi anak-anak kecil dan perempuan dekil, dihela seorang lelaki kuat yang melangkah keliling kota. Mereka berkemah di depan rumah-rumah gedung, mereka tidur-tiduran sambil memandang rumah-rumah gedung yang indah, kokoh, kuat, asri, dan mewah dari luar pagar tem bok. Pada hari Lebaran, penghuni rumah-rumah gedung itu banyak yang pulang kampung, meninggalkan rumah yang ka dang-kadang dijaga satpam, dititipkan kepada tetangga, atau ditinggal dan di-kunci begitu saja.

Lebih dari separuh warga kota mudik ke kampungnya masing-masing pada hari Lebaran, pada saat yang sama gerobak-gerobak masuk kota entah dari mana, pasti tidak lewat jalan tol, entah dari mana, seperti hadir begitu saja di dalam kota. Apabila kemudian warga kota kembali dari kampung, kali ini gerobak-gerobak itu masih tetap di sana. Berkemah dan menggelar tikar di sembarang tempat, bahkan sebagian telah pula masuk, merayapi tembok, me-lompati pagar, dan hidup di dalam rumah-rumah gedung itu.

Warga kota yang memasuki kembali rumah-rumah mereka terkejut, orang-orang yang datang bersama gerobak itu telah menduduki rumah tersebut, makan di meja makan mereka, tidur di tempat tidur mereka, mandi di kamar mandi mereka, dan be-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 239 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 249: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

240

renang di kolam renang mereka. Apakah mereka maunya hidup di dalam rumah-rumah gedung yang selalu mereka tatap dari luar pagar dengan pikiran entah apa dan meninggalkan gerobak mereka untuk selama-lamanya?

”Mereka masih di sini Kek, padahal hari Lebaran sudah berlalu,” kataku kepada Kakek.

Lagi-lagi Kakek menghela nafas.”Mereka memang tidak bisa pulang ke mana-mana lagi seka-

rang.””Bukankah mereka bisa pulang kembali ke Negeri Kemiskin-

an?””Ya, tetapi Negeri Kemiskinan sudah terendam lumpur seka-

rang, dan tidak ada kepastian kapan banjir lumpur itu akan sele-sai.”

Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil. Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga kadang-kadang mereka tampak seperti patung yang bisa hidup dan bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manu-sia-manusia gerobak ini memang sangat jarang berkata-kata. Se-perti mereka betul-betul hanyalah patung dan hanya mata mereka akan menatapmu dengan seribu satu makna yang terpancar dari sana.

Mereka yang tiada punya rumah di atas bumi, di manakah mereka mesti tinggal selain tetap di bumi?

Kakek merasa gelisah dengan perkembangan ini.”Bagaimana nasib cucu-cucu kita nanti,” katanya kepada

Nenek, ”apakah mereka harus berbagi tempat tinggal dengan kéré unyik2 itu?”

2Gelandangan yang hina dina.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 240 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 250: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

241

”Siapa pula suruh merendam negeri mereka dengan lumpur,” sahut Nenek, ”kita harus menerima segala akibat perbuatan kita. Heran, kenapa manusia tidak pernah cukup puas dengan apa yang sudah mereka miliki.”

Aku tidak terlalu paham bagaimana lumpur bisa merendam Negeri Kemiskinan. Apakah maksudnya lumpur kemiskinan? Aku hanya tahu, setelah hari Lebaran berlalu, gerobak-gerobak putih sama sekali tidak pernah berkurang. Sebaliknya semakin lama semakin banyak, muncul di berbagai sudut kota entah dari mana, menduduki setiap tanah yang kosong, bahkan merayapi tembok, melompati pagar, memasuki rumah-rumah gedung ber-tingkat, tidak bisa diusir dan tidak bisa dibunuh, tinggal di sana entah sampai kapan. Barangkali saja untuk selama-lamanya.

Pondok Aren, Minggu, 7 Oktober 2006. 23.30.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 241 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 251: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

242

Kopi, dan Lain-lain

pakah yang masih bisa dikatakan, dari sebuah per-pisahan yang menjadi keharusan, ketiadaan harapan

yang merupakan kepastian, dan wajah sendu berlinang air mata menghadapi kenyataan?

Betapa cepatnya waktu berlalu.Limabelas menit sebelumnya mereka masih bergandengan

tangan di dalam mobil sambil membicarakan segala sesuatu yang tidak mirip dengan kesedihan.

Dua jam sebelumnya mereka berdua masih duduk berhadap-an, masing-masing menghadapi secangkir kopi panas yang belum diberi gula.

”Ah, pahit!” Kata yang lelaki.”Belum diberi gula....” Kata yang perempuan.”Kalau minum kopi harus diberi gula, apakah masih bisa di-

katakan kita minum kopi jika yang kita minum itu kopi dengan gula yang larut di dalamnya?”

Perempuan itu tidak menjawab, hanya tersenyum, selalu ba-hagia mendengar pertanyaan-pertanyaan ajaib lelaki itu—tetapi senyumannya adalah senyuman yang berkabut, seperti dirundung sesuatu. Ia mengambil gula dalam bungkus kecil yang terletak di piring kecil yang menjadi tempat cangkir kopi lawan bicaranya

pakah yang masih bisa dikatakan, dari sebuah per-pisahan yang menjadi keharusan, ketiadaan harapan

yang merupakan kepastian, dan wajah sendu berlinang air mata A

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 242 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 252: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

243

itu, merobek salah satu sisinya, dan bersiap menuangnya ke kopi panas dalam cangkir itu.

Namun lelaki itu mencegahnya, dan mengambil sendiri bungkus kecil gula yang lain.

”Ini baru gula pasangan kopi,” katanya, ”brown sugar....”Gula kelapa berwarna coklat itu tertuang masuk ke kopi

panas. Bunyi gula menggeser kertas dan ditelan kopi panas itu bagaikan terdengar begitu jelas, luar biasa jelas, sangat amat jelas, pada telinga lelaki itu.

”Kau dengar, indah sekali bunyinya, kan?”Perempuan itu menuang gula putih dari bungkus kecil yang

terlanjur dibukanya tadi ke gelas kopinya sendiri.”Apa yang tidak indah buat kamu? Semua saja yang kamu

lihat jadi indah.”Lelaki itu sekarang memandangnya.”Tapi tidak ada yang seindah kamu.”Wajah perempuan itu dingin saja mendengarkannya. Meng-

aduk kopi dalam cangkir, lantas menyebutkan sejumlah nama.”Kamu belum melihat mereka, perempuan-perempuan terin-

dah yang ada di negeri ini....””Aku tidak peduli, bagiku kamulah yang terindah. Sudah,

tidak usah dibantah lagi. Kamulah yang terindah. Titik.”Meskipun terdapat senyum tipis di bibirnya, perempuan itu

tidak seperti merasa tersanjung. Menyeruput kopi itu begitu usai mengaduknya. Lelaki itu melakukan hal yang sama. Lantas menghirup aromanya.

”Hmm. Tidak ada yang seenak kopi Gayo,” katanya.Perempuan itu mengerutkan keningnya, menghirup aroma-

nya juga, lantas menyeruputnya lagi.”Memang tidak ada yang seenak kopi Gayo,” katanya, ”tetapi

ini kopi Timor.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 243 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 253: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

244

Lelaki itu terperangah. Menghirup aromanya sekali lagi se-belum menyeruputnya lagi. Uap panas kopi terlihat jelas seperti dalam iklan-iklan.

”Oya, baunya enak sekali, kupikir kopi Gayo tadi.””Ini jelas kopi Timor.”Lelaki itu tersenyum, tetapi juga tidak lepas seperti ada sesu-

atu yang menghalanginya untuk tersenyum. Namun tetap saja ia tampak seperti tersenyum.

”Tentu, tentu kamu tahu ini kopi Timor.”Mereka saling berpandangan. Sepasang manusia yang duduk

saling berhadapan dengan meja kecil di antaranya. Secangkir kopi panas yang kepulan uapnya terlihat begitu jelas seperti dalam iklan-iklan. Dua bungkus kecil gula yang sudah tersobek, masing-masing tadinya berisi gula kelapa dan gula tebu, terletak dekat cangkir. Masih ada dua bungkus lain yang belum tersobek, gula kelapa di dekat cangkir perempuan itu, gula tebu di dekat cangkir lelaki itu. Tersedia juga bungkus kecil gula saccharin1. Senyumnya masih utuh.

Perempuan itu mengambil bungkus-bungkus kecil gula yang sudah disobek tersebut, seperti akan membuangnya.

”Jangan,” cegah lelaki itu.Perempuan itu tidak jadi meremas kertas-kertas bungus gula

dan menyerahkannya kepada lelaki itu, yang segera menyimpan-nya baik-baik di dalam dompetnya.

”Ini kenangan kita,” kata lelaki itu lagi.

1Saccharin: senyawa kristal putih yang beberapa kali lebih manis dari sucrosa. Digunakan dalam bentuk garam kalsium dan garam natrium sebagai bahan perasa buatan dan pemanis non-nutrititf. Baca Kamus Saku Kedokteran DOR-LAND (E/25), terjemahan dr. Poppy Kumala, dkk., (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG, 1998), hal. 961.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 244 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 254: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

245

Di meja tergeletak bungkus-bungkus kecil yang masih utuh. Perempuan itu mengambilnya.

”Aku juga mau kalau begitu,” katanya, sambil memasukkan bungkus-bungkus kecil itu ke dalam tas.

Namun yang satu segera dikeluarkannya lagi. Ia memperhati-kan gambar pada bungkus itu.

”Bagus juga gambarnya ya?””Itulah,” kata yang lelaki, ”ada peradaban di situ.””Seseorang telah memikirkan sesuatu, lantas menggarapnya

menjadi gambar ini. Sejak kapan manusia menemukan gula? Ada yang dari tebu, ada yang dari kelapa, ada yang sintetis—koloni-alisme juga karena gula kan?”

Lelaki itu mengambil bungkus-bungkus kecil garam dan merica yang tersedia di meja itu. Ia tunjukkan bungkus merica.

”Juga karena ini,” katanya, ”rempah-rempah. Semuanya urus-an perut. Kolonialisme pergi, sekarang ganti korupsi. Hhhh....”

Perempuan itu menata bungkus-bungkus kecil di atas meja. ”Ada gula putih, ada gula merah, ada garam, ada merica....”Lelaki itu menyeruput kopinya lagi. Lantas memandanginya

dengan mantap.”Kopi Timor...,” desisnya.Perempuan itu masih memperhatikan gambar dalam bungkus

kecil yang dipegangnya—tapi ia mendengar desisan lelaki itu de-ngan sangat jelas, sejelas dentingan gitar akustik yang terdengar dari dalam kafe. Mereka duduk di teras kafe itu. Hanya mereka berdua di sana. Seperti memiliki dunia.

*

Sejam kemudian mereka sudah berada dalam mobil yang melaju ke bandara. Lelaki itu di belakang setir. Perempuan itu terus-menerus memandanginya.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 245 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 255: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

246

”Jangan sekarang nangisnya,” kata lelaki itu.Perempuan itu tidak menangis. Itu satu jam yang lalu, ketika

tidak diangkatnya panggilan suaminya pada telepon genggam.Sekarang, lelaki itu menyetir sendirian dalam kemacetan.

Dalam mobil masih tersisa bau parfum perempuan itu. Hujan deras mengguyur kaca depan seperti mengungkapkan apa yang dirasakannya. Telepon genggamnya berkedip-kedip tanpa suara, dengan tulisan Istri pada layarnya.

Pondok Aren, Jum’at, 16 Februari 2007. 14:25.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 246 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 256: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

247

T iga Cer ita

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 247 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 257: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 248 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 258: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

249

Musim Politik

Yogyakarta, 1971

epanjang tepi kali dari Sagan ke Bulaksumur, anak-anak lelaki yang telah berhasil mendapatkan banyak ikan,

melangkah ke utara sembari meneriakkan yel.

pring reketeggunung gamping ambrol!

dasar ati mantepnyoblos marhèn jempol!

jempolé …. 1

Dari dalam rumah, orang-orang tua maupun muda menga-cungkan jempol.

”Hidup marhèn!” Kata mereka.”Hidup marhèn!” Sahut anak-anak kecil itu. Terlihat baliho besar bergambar banteng menyeruduk di atas

gerbang kampung. Orang-orang yang baru saja mendirikannya melihat gerombolan kanak-kanak itu melewati mereka.

1Pring reketeg= bambu gemeretak; dasar ati mantep= dasar hatinya mantap; Marhaen= maskot Sukarno yang diasosiasikan sebagai Partai Nasional Indo-nesia.

epanjang tepi kali dari Sagan ke Bulaksumur, anak-anak lelaki yang telah berhasil mendapatkan banyak ikan,

melangkah ke utara sembari meneriakkan yel.S

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 249 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 259: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

250

”Hoi! Ngirik2 ya? Dapat banyak?”Seseorang menengok bekas kaleng biskuit Amerika yang di-

peluk anak paling kecil. Tentu saja anak paling kecil, yang hanya membuntuti dari belakang, dan dianggap belum mampu ber-peran banyak, selalu bertugas membawa kaleng itu. Anak-anak berbadan terbesarlah yang memimpin di depan, memegang irik ke bawah semak-semak di tepi kali, menjejak-jejak semak agar ikan-ikan di bawahnya menghindar dan dijebak irik itu.

”Kok banyak céthul-nya?” ”Terbawa saja Mas, itu banyak wader-nya, malah ada kuthuk

dan lele juga.” Orang itu memastikan lagi. ”Wah, iya, malah ada welut juga,” katanya, tapi terus menga-

cungkan jempol, yang semula dikira anak-anak memuji mereka, meski ternyata bukan.

”Hayo! Marhèn apa?” Serentak disambut. ”Jempoooollll!” Disambung dengan yel yang sudah dihapal dan setiap kali

dihayati anak-anak itu dengan penuh semangat.

…………………………………jempolé jempol gajahgajahé gajah abuh

abuhé dientup tawontawoné tawon endasendasé endas bantèng

2Cara mencari ikan menggunakan irik, yang bentuknya seperti kalo, alat masak untuk menyaring santan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 250 10/24/2020 10:14:08 AM

Page 260: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

251

bantèngé bantèng édanédané ditutuk palu

palu ariiiiiiiit pé-ka-i ayo i

iwak babi ayo bi …..3

Lantas orang itu mengepalkan tangan meski yel itu belum usai.

”Ganyang pé-ka-i!” Yang langsung saja bersambut. ”Ganyang pé-ka-i!” ”Hidup marhèn!” ”Hidup marhèn!”

*

Anak yang paling kecil masih mengulang-ulang yel itu dengan suara rendah ke dalam rumah, sambil membawa kaleng bekas susu bubuk berisi céthul lima ekor. Hasil perburuan mereka memang dibagi, dan sebagai anak terkecil ia hanya mendapat ikan dengan kasta terendah.

Ia masih menggumamkan yel pelan-pelan setelah mengga-bungkan céthul-nya ke bak air di samping sumur. Sudah ada sejumlah ikan yang lain di situ, hasil perburuannya setiap hari bersama gerombolan itu selama libur sekolah. Liburan yang telah diperpanjang, karena sebagian guru tidak boleh mengajar lagi

3Abuh= bengkak; dientup tawon= disengat lebah; tawon endas= jenis lebah yang besar; edan= gila; Palu Arit, simbol Partai Komunis Indonesia; iwak= ikan atau daging.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 251 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 261: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

252

tanpa sebab yang jelas. Sebagian bahkan sejak lama tidak pernah muncul lagi, setelah dijemput menjelang dini hari.

Anak itu melihat ikan-ikan berenang di dasar bak air dengan tubuh menggelantung di bibir bak. Kakinya berayun dan diper-hatikannya segala pergerakan ikan-ikan itu. Tanpa disadarinya ia berdendang pelan.

Njèr-gèèèèèènjèr …. ”Hèh! Sudah dibilang jangan nyanyi Gènjèr-gènjèr itu lagi!” Terdengar suara di belakangnya. ”Bisa bikin celaka kita semua.” Ia meloncat turun. Ibunya muncul membawa ember dan

menurunkan tali sumur yang embernya hitam. ”Tidak sengaja … Kan pelan-pelan ….” Ibunya berbisik. ”Sumur ini dibagi dua dengan tetangga, hati-hati, mereka

bisa dengar suaramu kalau nyanyi, banyak keluarga celaka karena nyanyian itu. Jangan main-main!”

”Tetangga kita baik-baik Bu.” Ibunya menghentikan ember yang meluncur itu sebentar.

Berbisik lagi. ”Ssstt! Dengar ya, jangan bicara apapun ke tetangga sebelah

itu,” katanya, ”malah jangan bicara apapun kepada siapapun. Sekarang ini kita tidak tahu, seperti apa orang yang benar-benar baik.”

Talinya lantas dilepaskan lagi. Terdengar suara ember me-nyentuh permukaan air. Suaranya bergema di dalam sumur.

Anak itu memandang ibunya yang mulai menimba. ”Bu, apa betul Bapak diciduk?” Masih menimba, ibunya tertegun, tapi tetap terus menimba. ”Siapa yang bilang bapakmu diciduk?”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 252 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 262: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

253

”Teman-teman.” Hanya terdengar suara helaan nafas. ”Betul Bu?” Suara roda timba berderit-derit. ”Bapakmu di luar negeri. Berapa kali aku mesti bilang?” Ember sampai ke atas. Di balik tembok tetangganya menahan

nafas. Terdengar suara air dipindahkan ke ember lainnya. ”Kamu dan ikanmu menguasai bak ini,” kata Ibu, ”aku harus

mengangkut air untuk mandi ke dalam.” Anak itu tahu ibunya mengalihkan pembicaraan, tetapi ia ti-

dak mendesak lagi meski masih menyimpan banyak pertanyaan. Ia menyenandungkan nyanyian itu lagi setelah ibunya pergi.

Kali ini hanya nadanya, tanpa kata-kata. Namun di balik tembok seseorang mengepalkan tangan,

dengan ungkapan wajah seperti berhasil menangkap lalat.

*

Pada suatu sore, dari arah Gawang Lorèk di Bulaksumur melalui bulevar Dalan Alus mengalir pawai kampanye. Sebelumnya, sejak siang hari terus-menerus orang meneriakkan yel, dan berhojah sembari mengganyang partai terlarang, yang tidak terlalu jelas baginya apa hubungannya dengan pemilihan umum, di samping tentu saja mengagung-agungkan partainya sendiri.

Ia ingin menonton pawai itu. Namun anak-anak yang tak dike-nalnya mencegat di depan Rumah Sakit Panti Rapih. Baju mereka tak terkancing, kadang karena memang tidak ada kancingnya, dan ada juga yang tak berbaju. Bau tubuh mereka seperti tidak menge-nal sabun. Ia sendiri kalau mandi hanya menggunakan sabun cuci cap tangan bersalaman.

Mereka mengikuti dari belakang ketika ia melangkah terus.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 253 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 263: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

254

”He, anak pé-ka-i,” kata mereka. Ia tidak menggubris. Teringat apa kata ibunya ketika di-

jemput sejumlah petugas pada suatu siang. Ibunya itu sempat berbisik di telinga saat diperbolehkan menciumnya.

”Jangan nakal ya, jadilah anak baik, jaga adikmu.” Umurnya 7 tahun, adik perempuannya 5 tahun. ”Karena bapakmu yang ke luar negeri belum juga pulang,

ibumu mesti bekerja di tempat yang jauh, supaya bisa menghi-dupi kamu dan adikmu,” kata seorang ibu tua yang disebut-sebut sebagai saudara-jauh, tetapi tidak pernah dikenalnya.

Di rumah ibu itulah, di Blimbingsari, ia sekarang tinggal bersama adiknya, tidak jauh dari Terban, tempat tinggalnya yang sudah ditempati keluarga lain. nak ibu itu sudah besar, dan seti-ap hari mengacungkan tinju kepadanya sebelum keluar rumah.

”Marhèn menang!” Katanya. ”Marhèn menang!” Ia pun mengacungkan tinjunya. Merasa dirinya termasuk marhèn, entah apa itu artinya, ia

tidak takut kepada gerombolan anak-anak tak berbaju maupun jika berbaju belum tentu berkancing itu. Apalagi dari arah depan muncul kawan-kawannya mencari ikan, yang kali ini sebagian berselempangkan layang-layang, datang berlari dengan semangat perang Bharatayudha.

”He, pé-ka-i semua kalian! Beraninya sama anak kecil!” Anak-anak yang tadi mencegatnya segera bubar berlarian,

karena di antara gerombolan anak-anak yang menyerbu ini terdapat anak-anak yang berbadan lebih besar.

”Dasar pengecut!” Tapi anak-anak yang berlarian itu pun menyahut. ”Ke sini kalau berani!” Sebagai usaha memancingnya ke dekat

tempat tinggal mereka.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 254 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 264: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

255

Namun bagi anak-anak pun siasat ini terlalu mudah dibaca. Anak yang badannya terbesar merangkulnya. ”Jangan takut,” katanya. Gerombolan anak-anak yang selalu mengembara bersama ini,

ngirik ikan sepanjang sungai dari Bulaksumur ke selatan sampai Sagan dan ke utara melewati Bong sampai Selokan Mataram. Mereka seperti tahu belaka apa yang telah dialami kawan yang terkecil itu.

Pawai kampanye seperti tiba-tiba saja mendekat dengan yel-nya yang rampak.

………………………….bintang sabiiiiiiit masyumi ayo mi

minakjinggo ayo nggonggodok téla ayo la

landa gendeng ayo ndengdengkul jaran ayo ran

ranté kapal ayo palpalu ariiiiiittttt ….4

Anak-anak itu mengikuti pawai sampai perempatan Kotaba-ru, sambil ikut merayakannya dengan bersemangat.

”Marhèn menaaa-ang! Marhèn menaaa-ang!”

*

4Bintang Sabit, lambang Partai Masyumi; Minakjinggo nama Raja Blambangan dalam legenda Damar Wulan; nggodok tela= merebus ketela; landa gendeng= Belanda gila; dengkul jaran= lutut kuda; rante= rantai.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 255 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 265: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

256

Beberapa hari kemudian ia terbangun pada malam hari. Anak ibu tua itu dilihatnya mematikan radio. Ia dan adiknya tidur di atas tikar saja di ruang tengah, karena memang tidak ada kamar lain. Ibu tua itu juga menampung anak-anak lain yang orangtuanya diciduk. Jadi kamar-kamar lain sudah penuh. Di ruang tengah itulah terletak radio Grundig yang besar.

”Hhhh ….” Terdengar anak ibu itu mendesah. ”Ibu bilang juga apa,” kata ibunya, ”politik itu ada musim-

nya, tidak ada partai yang bisa jaya selama-lamanya. Ingat saja nasib bapakmu.”

”Tapi Golkar5 ini partai saja bukan Bu, kok bisa menang?” Meski memejamkan mata dan tengkurap di tikar, anak itu

memasang telinganya. ”Namanya zaman sudah berubah, Gus, sekarang musimnya

bukan musim partai,” jawab ibu tua itu, sambil menghembuskan asap rokok klobot cap Siluman.

Jakarta-Dili-Denpasar-Jakarta,Januari-Februari 2019.

5Golongan Karya, baru resmi menjadi partai seusai Reformasi 1998.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 256 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 266: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

257

Macan

alam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada, karena titik-titik hujan pada

setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan, sehingga pendengaran mereka teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah bercakap-cakap sendiri, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan tan-pa rembulan.

Ia merunduk di balik semak, antara bersembunyi tetapi juga siap menerkam. Iring-iringan manusia berjalan berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah jurang berdinding curam yang menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu lebih mengalihkan perhatian. Gemanya bahkan membuat mereka harus berbicara cukup keras.

”Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?””Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya untuk

Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari mangsa yang menggigil kedinginan.”

”Berarti mangsanya itu kamu!””Huss!””Hahahaha!” ”Hahahaha!” ”Hahahaha!”

alam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada, karena titik-titik hujan pada

setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan, M

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 257 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 267: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

258

Baginya ini hanya suara-suara, karena ia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun ia memang bisa memangsa salah seorang di antaranya. Ada sebuah celah di antara dua pohon besar di ujung jalan setapak ini, yang membuat mereka harus berhenti sejenak ketika satu persatu melewatinya. Setelah melangkahi akar-akar yang besar setiap orang akan menghilang di baliknya. Akar-akar pohon sebesar itu memang tidak bisa dilangkahi, akar-akar itu harus dipanjati, seperti memanjat pagar tinggi lantas menghilang di baliknya dan tidak terlalu mudah untuk segera kembali lagi.

Itulah saat terbaik untuk menerkam manusia yang paling belakang. Membuatnya terjatuh dan menggigit lehernya sampai lemas dan mati. Itu tidak dilakukannya. Untuk sekadar membu-nuh ia cukup muncul dan menggeram. Melihatnya menyeringai, manusia yang terkejut dan melangkah mundur akan terperosok dan melayang jatuh ke dasar jurang tanpa jeritan.

Ini juga tidak dilakukannya. Ia hanya merunduk dan meng-intai. Ia tidak berminat membunuh manusia, bahkan tidak satu makhluk pun, selain yang dibutuhkannya untuk menyambung kehidupan—dan saat ini ia tidak kelaparan karena sudah me-mangsa seekor kancil tadi siang. Kancil bodoh itu seperti lupa bau kencing pasangannya, bapak anaknya, yang pada setiap su-dut menandai wilayah mereka. Adalah wajar bagi mereka untuk memangsa makhluk apapun yang memasuki wilayahnya. Dengan hukum itulah nasib sang kancil sudah ditentukan.

Sebetulnya sudah lama bagaikan tiada makhluk apapun akan memasuki wilayah mereka itu. Tidak babi rusa, tidak kijang, tidak pula burung-burung dan serangga. Pasangannya mesti mencari mangsa ke luar wilayah, begitu jauhnya sampai keluar dari hutan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 258 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 268: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

259

”Kambing kita lama-lama bisa habis dimakan Simbah,” kata salah seorang.

Namun bukanlah ketakutan atas habisnya kambing, yang membuat orang-orang kampung masuk hutan mencarinya.

Pada suatu hari pasangannya muncul dari dalam hutan di tepi ladang. Langsung didekatinya sesuatu di atas tikar, sesuatu di balik kain yang bergerak-gerak. Bagi makhluk besar yang lapar, makhluk kecil bisa terlihat sebagai santapan.

Lantas terlihat olehnya bayi manusia itu. Menatapnya sambil tertawa-tawa. Hanya makhluk manusia yang bisa tertawa di dunia ini, dan itu membuatnya tertegun.

Saat itulah dari tengah ladang mendadak terdengar suara bernada tinggi yang disebut manusia sebagai jeritan.

*

Malam tanpa rembulan semakin kelam. Hujan tidak menderas tetapi tidak juga mereda. Ia memperhatikan orang-orang itu menjauh. Mereka semua, duabelas orang bercaping maupun ber-payung daun pisang, membawa tombak dan parang serba tajam. Keriuhan mereka tidak akan menghasilkan tangkapan apapun, karena tiada seorang jua dari mereka adalah pemburu.

Ia tahu bukan orang-orang itu yang menjadi penyebab ke-matian pasangannya, melainkan pemburu yang masuk sendirian ke dalam hutan tanpa suara, meski tubuhnya penuh senjata. Tombak di tangan, parang dalam sarung di punggung, pisau belati di pinggang kanan, dan umban di pinggang kiri.

Pemburu itu bahkan tidak bergumam. Membaca jejak di tanah, berjalan melawan arah angin, makan seperlunya dan tidak memasak di dalam hutan. Jika mulutnya bergerak-gerak barang-kali mendesiskan rapalan.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 259 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 269: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

260

Tentu pemburu itu telah melacak jejak semalaman ketika dengan tiada terduga, tetapi penuh rencana, muncul di depan gua batu tempat ia sedang menyusui anaknya. Ia segera meng-geram dan berdiri melindungi anak jantannya. Pasangannya bahkan melompat dan menerjang ke arah pemburu itu, tetapi makhluk yang disebut manusia ternyata tidak hanya bisa tertawa, melainkan pandai memainkan tipu daya.

Sangatlah mudah bagi pasangannya untuk menyusul pembu-ru itu ke tepi hutan, menyeberangi ladang, dan siap menerkam-nya di tengah lapangan, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menggeram-geram ketika ternyata muncul puluhan manu-sia mengepung, sembari mengacung-acungkan tombak bambu ke arahnya. Pasangannya mencari celah, berputar-putar dalam kepungan yang semakin merapat, sampai hampir semua tombak itu menembus kulit lorengnya.

”Akhirnya!” Orang-orang berteriak lega atas nama keselamatan anak ma-

nusia, kambing, sapi, ataupun kerbau mereka, meski dalam kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau di kampung itu lebih sering diambil, dibantai dan dikuliti di kandangnya sendiri, oleh para bapa maling berkemahiran tinggi. Kawanan bapa maling datang lewat tengah malam mengendarai mobil boks. Dengan mantra dalam campuran bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pernah digunakan lagi, mereka menyirep seisi rumah yang di kampung itu jaraknya saling berjauhan. Pagi harinya hanya tinggal isi perut ternak berserakan dengan bau anyir darah di mana-mana.

Kambing yang diterkam penghuni rimba jumlahnya tidak se-berapa dibanding pencurian ternak dengan mobil boks. Itu pun bisa terjadi karena kelalaian pemiliknya, jika tidak pintu kandang

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 260 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 270: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

261

terbuka, sering diikat begitu saja di luar kandang, sehingga menjadi sasaran empuk makhluk pemangsa dari masa ke masa.

Bahwa bayi manusia seperti akan menjadi mangsa itulah yang mengubah segalanya.

”Akhirnya terbunuh Si Embah ini!” ”Selesai sudah!” ”Belum …” Pemburu itu tidak berteriak, tetapi pengaruhnya lebih besar

dari segala teriakan. ”Belum? Kita baru saja merajamnya begitu rupa sampai

kulitnya tidak bisa kita jual.” ”Masih ada betinanya …” Semuanya ternganga. ”… dan masih ada anaknya.”

*

Saat pasangannya itu tewas oleh puluhan bambu tajam, ia yang ternyata mengikuti dari belakang dapat menyaksikan dari keja-uhan. Saat itu tidak ada satu pun di antara para manusia melihat ke arahnya. Tanpa bisa memberi bantuan, ia hanya berjalan mondar-mandir dengan gelisah.

Ia masih berada di sana, ketika menyaksikan betapa orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya, dan mem-bawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada kulit loreng tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan dinding kantor kelurahan.

”Kita harus membunuh juga betinanya, ia pasti juga akan mencari mangsa di kampung kita!”

”Anaknya juga harus kita bunuh, kalau tidak tentu setelah dewasa membalas dendam!”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 261 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 271: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

262

Ia memang tidak memahami bahasa manusia, baginya itu hanya berarti suara-suara, tetapi nalurinya dapat merasakan an-caman.

Kini dalam kelam berhujan ia mengawasi orang-orang yang memburu dirinya itu dari suatu jarak tertentu. Ia telah me-mindahkan anaknya ke gua lain yang sama hangatnya pada malam hari, dan karena itu ia tidak perlu khawatir mereka akan menemukannya. Pemburu itu mungkin akan bisa, tetapi tidak malam ini, karena belum tahu bahwa gua yang ditemukannya sudah kosong.

”Betinanya baru saja beranak, dan anaknya masih terhuyung-huyung kalau berjalan …”

Pemburu itu memberi petunjuk ke mana orang-orang kam-pung bisa menyergap makhluk pemangsa yang terandaikan bisa membalas dendam.

”Anakku sakit panas,” katanya memberi alasan. Dalam hati-nya ia sudah bosan bekerja tanpa bayaran.

Demikianlah rombongan orang-orang bertombak yang ber-caping maupun berpayung daun pisang muncul di ujung jalan setapak di tepi jurang ketika ia berada dalam perjalanan mem-buru pemburu.

Ia merunduk di balik semak, membiarkan mereka lewat, dan membuntutinya sejenak untuk memastikan arahnya. Ia tidak membunuh seorang pun.

Setibanya di kampung yang gelap dan sunyi di malam ber-hujan tanpa rembulan, sembari melangkah tanpa suara terendus olehnya aroma pemburu yang tengik itu dibawa angin dari sebuah rumah terpencil. Sebuah rumah yang sengaja berjarak dan menjauhkan diri, karena penghuninya yang selalu berikat kepala kusam merasa berbeda dari para petani bercaping.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 262 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 272: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

263

”Orang-orang dungu,” pikirnya selalu. Terdengar tangis bayi yang tak kunjung berhenti. ”Panasnya belum juga turun, coba ambilkan air yang lebih

dingin dari sumur, handuk ini seperti baru tercelup air rebusan,” ujar perempuan yang sedang menjaram anaknya itu.

Jawabannya adalah desahan malas, disusul derik balai-balai bambu.

Kemudian pintu rumah kayu itu terbuka. Dari dalam mem-bersit cahaya lentera. Seorang lelaki berikat kepala dengan bau tubuh yang tengik berlari kecil ke arah sumur sambil membawa baskom.

Hujan belum berhenti ketika ia meluncurkan ember pada tali timba ke bawah dan mengereknya kembali ke atas secepat-cepatnya.

Dalam kesibukan seperti itu pun kepekaannya sebagai pem-buru tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba dan membalikkan badan secepatnya.

Namun kali ini sudah terlambat.

Pondok Ranji, Rabu, 25 Desember 2019. 08:15.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 263 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 273: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

264

Simuladistopiakoronakra

ku turun dari balik kegelapan langit seperti seekor laba-laba, meluncur ke bawah bergantung pada tali

sintesa laser dan logam, dari sarang yang sebetulnya jerat terke-jam dengan jejaring sepanjang galaksi, tempat segala pesawat luar angkasa yang sial kami sita bahan pangannya, lucuti awaknya setelah nyawanya kami kembalikan kepada Sang Pencipta, dan bongkar pesawatnya untuk menambal sulam pesawat kami sen-diri.

Meluncur tegak lurus, kutembus setiap lapisan langit dengan bunyi ledakan dan semburat bunga api, sebelum akhirnya meng-injak planit mengenaskan yang disebut Bumi.

Kulepaskan tali yang melesat kembali ke langit dan segera terci-um bau apak peradaban yang ambruk. Bau apak limbah kimia per-cobaan gagal, yang setiap kali tercium mendekatkan maut, tetapi yang hanya menyiksa seperti hukuman yang diperpanjang tanpa pernah mencapai kematian. Sepanjang jalan nan penuh rongsokan kendaraan berkarat, di antara gedung-gedung terlantar yang me-ruapkan kepengapan, bergelimpangan sosok-sosok dengan nyawa meregang, ketika sepedamotor menggerung berkelak-kelok sem-bari sesekali melindas kaki, tangan, kepala, perut, tubuh yang tiada mampu bergerak menghindar dalam kesakitan tak tertahankan.

sintesa laser dan logam, dari sarang yang sebetulnya jerat terke-A

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 264 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 274: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

265

Mereka yang masih hidup bergerak dengan sisa tenaga untuk mencuri, merebut, merampas, entah makanan entah perhiasan entah pakaian yang masih melekat di badan untuk ditarik-tarik tanpa perlawanan di ujung ajal sekadar menggantikan busana hasil penjarahan bertahun-tahun silam yang begitu kusam tanpa warna tanpa bentuk tanpa ukuran demi kepantasan apapun dalam dunia liar tempat penindasan menjadi jalan keselamatan.

Bumi begitu suram dan udara terlalu panas seperti asal mula kejadian ketika di luar kota rawa-rawa menggelegak bagaikan kawah dan puncak segala gunung mengalirkan magma termerah. Jika bukan karena tugas, aku pun tidak sudi tinggal lebih lama di tempat makhluk-makhluk yang disebut manusia meski dari sini-lah kami semua berasal sebelum menjadi makhluk lain, tepatnya setengah manusia, semenjak nenekmoyangku dari masa entah kapan terusir dari Bumi dan terpaksa menerima lamaran bangsa ikan yang di dunia tanpa air tiada dapat hidup hanya dengan insang. Jadilah diriku produk rekayasa dengan nomor registrasi memanjang di tengkukku. Terajahkan seperti borgol anjing di tengkuk seekor ikan.

”Bawalah pedang katana ini,” kata Komandan, ”meskipun kita paria di jagad raya, bagi makhluk Bumi yang satu itu masih terlihat layak dirampok juga.”

Betul kata Komandan. Setelah busana yang mereka tarik tiada terlucutkan karena melekat erat di kulit membusuk meski tubuhnya masih bernyawa, busana sintetis kumal untuk perjalan-an luar angkasa yang kukenakan ini terlalu menarik untuk tidak dirampas.

”He! Kepala Ikan! Serahkan bajumu itu!” Ya, aku bertubuh, berkaki, dan bertangan seperti manusia,

tetapi berkepala ikan. Punggungku bersirip, kulitku bersisik, dan

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 265 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 275: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

266

ruang di antara jari-jariku berselaput. Seperti ikan, dunia kulihat dari sepasang mata yang masing-masing memandang ke arah berlawanan.

Aku pun mengerti bahasa nenekmoyang yang sudah ditanam-kan di kepala ikanku yang berotak terlalu kecil seperti juga cara menggunakan pedang katana ini yang kukuasai tanpa pernah mempelajarinya. Tidak perlu dipertanyakan bagaimana aku da-pat mengambilnya dengan sebat dari sarung pedang melintang di punggungku, menggerakkannya secepat kilat tanpa bisa dilihat mata telanjang, dan sosok-sosok yang menerjang maju untuk menjarahku roboh bergelimpangan.

*

Begitulah aku melangkah tanpa kegagahan, dalam kesuraman yang tidak pernah diharapkan akan menjadi terang, di antara sosok-sosok yang menumpuk seperti barang tetapi bukan barang melainkan manusia tiada berguna dengan kehidupan seperti ke-rang yang sesekali saja bergeming sebagai tanda tidak mati, tetapi sungguh mati tiada bedanya dengan mati, terguyur hujan abu yang turun tipis-tipis, membuat jalan layang yang miring, gedung-gedung gelap tanpa listrik, reruntuhan monumen-monumen raksasa yang rebah cenang-perenang menjadi kelabu, abu-abu, diselimuti debu.

”Jangan pulang sebelum kau dapatkan,” kata Komandan, sebe-lum kumasuki pesawat antargalaksi yang tak terlalu laik terbang, dan memang kadang-kadang suka berhenti dan hanya melayang dalam kehampaan, sebelum tersendat-sendat dan meluncur kem-bali tanpa ledakan maupun desisan.

Aku diberi penjelasan singkat sebelum berangkat, betapa sua-tu wabah yang sebetulnya bisa diputus dengan mudah ratusan ta-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 266 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 276: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

267

hun lalu, karena sikap meremehkan telah menghabiskan seluruh pemukimnya, enam milyar manusia, selain yang masih sekarat sekarang dan tiada jelas kapan akan berpulang. Tiada dapat ku-bayangkan penderitaan manusia yang terkapar meregang-regang pada usia 60 dan pada usia 90 masih berada di tempatnya dan tetap meregang-regang.

”Jelek-jelek mereka masih keturunan nenekmoyangnya ne-nekmoyang kita,” Komandan menjelaskan, ”jika mereka punah kita kehilangan jejak asal-usul kita …”

Belum selesai kuingat-ingat perbincangan dengan Komandan, manusia bergolok penunggang sepedamotor yang berjubah ku-sam dan bermasker datang membabat dari depan.

”Mampus kau Kepala Ikan!” Aku bergeser sedikit dan menggerakkan pedangku tanpa

perlu menoleh ke belakang, nyawa keturunan langsung manusia ini pun segera terbang ke alam baka. Jauh lebih baik nasibnya daripada sesama manusia lain yang tetap hidup meski membusuk dalam pengharapan mati yang tiada pernah dikabulkan.

”Dalam keadaan begitu,” kata Komandan, ”untuk melawan kepunahan manusia ini memaksakan diri untuk beranak-pinak dalam kebusukan dan udara yang begini panas ….”

Namun jika bukan karena udara sepanas ini membunuh bayi begitu lahir, perebutan kekuasaan antarmanusia yang tidak pernah berhenti telah semakin mengurangi kesempatan hidup bayi-bayi, tersebab balas dendam dilakukan oleh siapapun yang lolos dari pembantaian.

”Wabah itu tidak pernah menjadikan manusia menunda pertentangan mereka untuk menghadapi musuh bersama,” kata Komandan lagi, ”selamatkanlah yang masih bisa diselamatkan, karena kepunahan telah menjadi kepastian ….”

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 267 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 277: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

268

Kami makhluk persilangan antara manusia dan ikan hanya-lah gelandangan pemasang jerat tanpa planit untuk bermukim. Menggelandang dari galaksi ke galaksi, dan bersandar kepada makhluk-makhluk lain di setiap bandar luar angkasa untuk berbelas kasihan mendermakan makanan dan bahan bakar. Bagi negeri-negeri di setiap galaksi memang lebih baik makhluk seper-ti kami yang meruapkan bau amis ini segera pergi.

”Bukan bau amis yang membuat kami keberatan, melainkan virus kebodohan yang mungkin kalian sebarkan …”

Tiada bantahan yang dapat kami ajukan, mengingat cerita tentang manusia di Bumi yang tinggal sisa, akibat kepongahan-nya ketika berlangsung wabah, sudah menjadi pelajaran makh-luk-makhluk sejagad raya. Tercatat dalam Mahadata Semesta betapa setelah pengalaman Covid-19 pada 2020 diabaikan, se-cara berturut-turut Covid-20 sampai Covid-44 dengan caranya masing-masing mengurangi penduduk Bumi yang tidak memi-liki lagi daya pertahanan alamiah, ketika dari saat ke saat tanah dan air masih terus mereka rusak sendiri secara berkelanjutan. Apalah yang masih bisa diharapkan dari Bumi yang samuderanya kering, sungainya berhenti, menyisakan selokan mampet dengan air kehitam-hitaman?

”Demi masa depan kemanusiaan, jangan sampai gagal,” kata Komandan.

”Siap!” Jawabku bagaikan robot.

*

Dengan otak sebesar otak ikan aku tidak bisa berpikir lebih jauh selain melangkah maju di antara tumpukan tubuh membusuk maupun setengah membusuk meskipun belum ada yang mati. Covid-44 memang tidak mematikan tetapi melumpuhkan se-

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 268 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 278: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

269

hingga manusia hidup seperti kerang. Mata ikanku di sisi kiri dan kanan dari kepalaku jelalatan, mencari tanda yang akan diberikan oleh mata-mata kami.

Di Bumi tiada lagi listrik, tetapi masih ada sisa baterai ber-tenaga matahari, yang membuat tanda lampu merah di puncak gedung tertinggi itu akhirnya terlihat. Dari kode-kode morse yang berbunyi D-I-S-I-N-I, kutahu diriku mesti melesat se-cepatnya. Namun yang tampaknya dekat, karena gedung itu tinggi, sebetulnya masih jauh. Dalam udara yang panasnya membuat dedaunan dan kertas terbakar, perjalanan dalam ruang tak berangin dan hujan abu yang tak kunjung berhenti harus tetap kulakukan.

Namun para penjarah dengan daya seadanya ini tidak kun-jung habis juga.

”Ikan ini bisa dimakan!” Terdengar suara yang sangat tidak sopan, tetapi sopan santun

macam apa yang masih mungkin diharapkan ketika basa-basi sungguh tak sahih lagi? Aku memang makhluk setengah manu-sia setengah ikan tinggi besar, yang membuat pedang panjang katana itu seperti terlalu pendek bagiku. Memandang diriku yang berkepala ikan, apakah makhluk-makhluk membusuk dan menjelang punah ini merasa sedang memandang makanan?

Perutku merasa mual dan ingin segera pergi ke galaksi lain meninggalkan planit sampah ini, tetapi ketika aku bermaksud melangkah kakiku tidak bisa bergerak. Berpasang-pasang tangan telah memegangi kedua kakiku, bahkan ada pula yang menggigit betis dan ujung sepatuku!

Aku segera melesat dengan pedang katana berdarah. Tidak perlu kutengok lagi berpasang tangan yang pergelangannya ku-babat putus maupun kepala yang terpaksa kusepak agar tak harus

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 269 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 279: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

270

memenggalnya. Pengendara sepedamotor yang mengayunkan kapak telah kutendang sampai terpental dan kini aku melaju dengan sepedamotor bertenaga matahari.

Kode morse itu kini berkata: C-E-P-A-T-B-A-H-A-Y-A. Kukira aku tahu kenapa harus cepat, tetapi apa yang dimak-

sud dengan bahaya? Kutancap gas sembari berkelak-kelok di antara reruntuhan.

*

Sesosok bayangan berkelebat memasuki halaman gedung pada saat bersamaan. Ia melesat lebih dulu menuju pintu masuk dengan melompat dari sepedamotornya yang sengaja ditabrakkan ke arah para penjaga. Ia berkelebat masuk dan aku pun menyu-sulnya setelah melakukan hal yang sama. Aku harus mendahulu-inya jika tidak ingin tugasku gagal, artinya harus membunuhnya.

Dalam pertarungan sepanjang tangga yang gelap dan pa-nas menuju lantai 99, berkali-kali sesosok bayangan ini nyaris kubunuh tetapi selalu luput, sampai tembok sepanjang tangga terus berhamburan dibentur baja pedang katana. Manusia kecil bersenjata dua belati melengkung itu sungguh lincah. Berkali-kali akulah yang nyaris tewas di tangannya.

”Ayo kejar aku Kepala Ikan!”Aku memang harus mengejar dan menghentikannya. Tu-

gasku adalah menyelamatkan bayi manusia terakhir yang baru lahir, tugasnya adalah membunuh bayi itu karena lahir sebagai keturunan musuh.

Di lantai 99, sementara ia menghadapi penjaga lain yang mengamuk, aku menyambar bayi merah tergulung kain kumal yang ibunya tergeletak dengan leher tergorok. Aku segera keluar ke puncak gedung, tempat sinyal dikirim oleh mata-mata kami

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 270 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 280: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

271

agar pesawat luar angkasa kami menurunkan tali laba-laba sinte-tisnya di sana.

Kusambar tali yang turun dari langit, langsung kugulungkan ke kain kumal pembungkus bayi itu, dan mematikan simpulnya sehingga terjamin tidak lepas lagi. Tidak terlalu jelas bagiku sendiri, mengapa tidak kupegang saja tali yang akan langsung menarikku ke atas dengan tangan kanan, sembari membopong bayi itu di tangan kiri.

Namun ini segera terjawab ketika dua belati melengkung itu melesat berputar-putar ke arahku. Belati yang menuju ke arah tali berhasil kusampok jatuh dengan pedang katana, pada saat itu belati melengkung yang lain melesak ke dadaku.

Tubuhku langsung limbung, dan aku jatuh terlentang me-nyaksikan buntalan kumal pada tali itu mengangkasa dalam latar langit yang masih saja menurunkan hujan abu. Masih kudengar tangis bayi ketika mataku menutup untuk selama-lamanya. Sem-pat terpikir olehku betapa kemanusiaan akan terpaksa diperta-hankan dengan cara kloning ….

Pondok Ranji, Sabtu, 6 Juni 2020. 07:06.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 271 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 281: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

272

Riwayat Publikasi

1. ”’Aku Kesepian Sayang.’ ‘Datanglah, Menjelang Kemati-an.’”, Majalah Djakarta!, November 2002.

2. ”Hari Pertama di Beijing”, Koran Tempo, Minggu 3 No-vember 2002.

3. ”Melodrama di Negeri Komunis”, Harian Media Indonesia, Minggu 1 Desember 2002. Dimuat kembali dalam Seno Gumira Ajidarma, Jejak Mata: Pyongyang (Muffin Graphics: Bandung, 2015).

4. ”Komposisi untuk Putih Salju”, sebagai ”Mmmwwwhhh!”, Gallery of Kisses (Eksotika Karmawibhangga Indonesia: Ja-karta, 2002).

5. ”Kyoto monogatari”, Harian Kompas, Minggu 29 September 2002. Dimuat kembali dalam Seno Gumira Ajidarma, Senja dan Cinta yang Berdarah (Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2014); Seno Gumira Ajidarma, Yokusitsu no Kashou o kinzu (Akio Kashimura, Mikihiro Moriyama [peny.], Mekong Publishing: Tokyo, 2014).

6. ”Legenda Wongasu”, Harian Kompas, Minggu 3 Maret 2002. Dimuat kembali dalam Waktu Nayla, Cerpen Pilihan Kompas 2003 (Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2003); da-lam edisi 100 tahun majalah sastra Jepang The Shincho No.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 272 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 282: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

273

1200, 1 Januari 2005, sebagai ”Inuhito Densetsu”, diterje-mahkan oleh Mikihiro Moriyama; dalam Ajidarma (2014a).

7. ”Topeng Monyet”, Harian Suara Pembaruan, Minggu 10 Februari 2002.

8. ”Layang-Layang”, Harian Suara Pembaruan, Minggu 23 Desember 2001.

9. ”Avi”, Majalah Djakarta!, Juni 2002. 10. ”Dua Perempuan dengan HP-nya”, Koran Tempo, Minggu

1 April 2001.11. ”Hhhhh…..”, Majalah Kolong Budaya, No 1, 1997.12. ”Aku dan Bayanganku”, Harian Kompas, Minggu 6 Novem-

ber 1983. Dimuat kembali dalam Ajidarma (2014a).13. ”Dunia Gorda”, S.C.Z., Kumpulan Cerita Pendek Keluarga,

Pemenang dan Pilihan Zaman Ulang Tahun Pertama, 1980.14. ”Penjaga Malam dan Tiang Listrik”, Koran Tempo, Minggu

16 Februari 2003.15. ”Komidi Puter”, Harian Media Indonesia, Minggu 16 Feb-

ruari 2003.16. ”Cermin Maneka”, Harian Kompas, 8 Oktober 2000. Di-

muat kembali dalam Ajidarma (2014a).17. ”Cintaku Jauh di Komodo”, Harian Kompas, 17 Agustus

2003. Dimuat kembali dalam Ajidarma (2014a).18. ”Rembulan dalam Cappuccino”, Harian Kompas, 30 No-

vember 2003. Dimuat kembali dalam Ajidarma (2014a).19. ”Tong Setan”, Koran Tempo, 8 Februari 2004.20. ”Badak Kencana”, Koran Tempo, 30 Mei 2004.21. ”Linguae”, dalam M. Firman Ichsan dkk, Yang tercinta/ The

Loved Ones (Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembang-an Budaya Visual Oktagon 2005), sebagai penafsiran foto karya Oscar Motuloh.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 273 10/24/2020 10:14:09 AM

Page 283: “ Aku Kesepian, Sayang.” “Datang lah, Menjelang Kematian.”

274

22. ”Joko Swiwi”, Koran Tempo, 18 Juni 2006.23. ”Simsalabim”, Koran Tempo, 27 Agustus 2006.24. ”Sebatang Pohon di Tengah Padang”, Koran Tempo, 12

November 2006.25. ”Gerobak”, Harian Kompas, 15 Oktober 2006. Dimuat

kembali dalam Ajidarma (2014a).26. ”Kopi, dan Lain-Lain”, Majalah Civitas, edisi 1/2007.27. ”Musim Politik”, Harian Kompas, Minggu 26 Mei 2019.

Dimuat kembali dalam Mereka Mengeja Larangan Menge-mis, Cerpen Pilihan Kompas 2019 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2020).

28. ”Macan”, Harian Kompas, Minggu 1 Maret 2020. 29. ”Simuladistopiakoronakra”, Harian Kompas, Minggu 5 Juli

2020.

Aku Kesepian, Sayang. Datanglah Menjelang Kematian.indd 274 10/24/2020 10:14:09 AM