Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan
Post on 10-Aug-2015
1517 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
TUGAS MANDIRI II
MAKALAH
URGENSI PERATURAN DAERAH DALAM MENGATASI MASALAH ANAK JALANAN,
GELANDANGAN DAN PENGEMIS(PRO)
OLEH:
RIVAI PUTRA, SH
KANWIL KEMENKUMHAM SUMATERA BARAT
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
PENYUSUNAN DAN PERANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang tidak
kunjung selesai, mulai dari kesadaran masyarakat sampai
kemampuan pemerintah dalam menganalisis masalah dan
merencanakan program yang menjanjikan. Namun faktanya
selama ini program-program tersebut hanya bersifat aturan yang
tertulis diatas kertas, sedangkan keluh kesah warga senantiasa
didengar dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti anak
jalanan, gelandangan dan pengemis yang hingga kini masih
menuai masalah tanpa ada solusi yang tepat untuk
mengatasinya. Fenomena anak yang hidup di jalan saat ini
mudah kita temui di sudut-sudut kota besar termasuk di Kota
Padang. Mata kita sudah tidak asing lagi melihat anak -anak
mengerumuni mobil-mobil dipersimpangan lampu merah,
mendatangi warung-warung pinggir jalan menawarkan jasa atau
sekedar meminta sumbangan. Aktivitasnya mulai dari bermain
musik, menjual koran, menyemir sepatu hingga meminta
sumbangan dengan membawa selebaran/kotak amal.
Jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Banyak hal yang menjadi faktor pendorong ataupun
penarik bagi seorang anak untuk terjun dan bergabung menjadi
anak jalanan, salah satunya adalah masalah kemiskinan yang
tentu saja bukan hal baru di Indonesia. Jumlah anak usia sekolah
yang berada di jalanan kota Padang mencapai 250 orang.1
Pasalnya, selain minimnya keuangan dari keluarga, anak juga
dijadikan pekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
1http://www.sumbarpost.com/berita-209-ranperda-anjal-dan- pengemisdigodok bakal-ada-sanksi-bagi-pemberi.html#.T72Q9VLDu9s, diakses tanggal 20 Mei 2012 pukul 19.15 WIB.
meskipun mereka masih dikatakan dibawah umur. Dengan usia
yang sangat muda, pada umumnya anak-anak jalanan bekerja di
sektor informal. Pilihan sektor informal adalah sebuah jawaban
atas rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh
anak-anak jalanan.
Interaksi anak-anak di jalan membuat mereka rentan
terhadap perlakuan kekerasan dan eksploitasi. Anak-anak
jalanan yang dipaksa berjuang untuk mempertahankan
hidupnya. Keadaan ini membentuk jiwa anak-anak jalanan
menjadi keras dan terkadang timbul kesan jauh dari etika dan
norma-norma kehidupan masyarakat. Anak-anak yang hidup di
jalan ini tentu sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup
dalam asuhan orang tuanya. Anak-anak dijalan hidup secara
bebas. Mereka bebas melakukan apa saja yang mungkin belum
patut dilakukan anak-anak seumuran mereka. Umumnya terlihat
berpakaian lusuh, kumal, dandanan jauh dari kesan rapi hingga
tato menghiasi tubuh mereka. Rokok, minuman keras, dan
mabuk-mabukan sepertinya sudah umum dilakukan anak-anak
yang seharusnya mengenyam pendidikan di sekolah. Anak-anak
di jalan sebagian besar putus sekolah karena ketiadaan biaya.
Akibatnya mereka seakan tidak terdidik. Keadaan-keadaan inilah
yang menyebabkan sebagian besar kelompok masyarakat
mengasingkan mereka. Masyarakat terkadang tidak
menganggap mereka bagian dari warga masyarakat. Akibatnya
terjadi penolakan di setiap kehadiran mereka.
Selain kehadiran anak jalanan yang mengganggu dan
meresahkan, di beberapa kota besar keberadaan anak jalanan
dan pengemis ini diduga terorganisir. Bahkan, hal yang sama
juga diduga kuat terjadi di Kota Padang. Beberapa waktu lalu,
salah seorang anggota DPRD Kota Padang menyampaikan
dugaan itu. Saat itu ia mengatakan, sekitar dua minggu sebelum
gempa dahsyat melanda Sumbar (30 September 2009) ia
menemukan fakta mencurigakan, yang mengindikasikan bahwa
anak jalanan dan pengemis di Kota Padang terindikasi
terorganisir. Para anak jalanan dan pengemis itu diduga kuat
dikoordinir seorang tenaga pengarah, yang kemudian mengambil
jatah persenan dari para pengemis.2
Hal itu dapat dilihat dari mobilitas pengemis yang
kebanyakan cacat. Bahkan, ada wanita-wanita yang
menggendong anak-anak hilir mudik, dengan meminta meminta
sedekah. Anehnya, anak yang digendong itu pun berganti-ganti.
Para pengemis itu sering terlihat di beberapa lokasi. Pada pagi
hari, dia bisa berada di Simpang Kadang. Siangnya di Simpang
Kinol dan sorenya di Jalan Proklamasi dan beberapa tempat
lainnya. Setidaknya, ini mengindikasikan ada orang yang
mengantar jemputnya dari satu lokasi ke lokasi lain. Orang-orang
inilah yang dimaksud sebagai koordinatornya. Mereka pun
hampir bisa dipastikan akan mengeruk keuntugan dari para
pengemis tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena tersebut timbul pertanyaan, yakni
bagaimanakah urgensi dibentuknya peraturan daerah dalam
mengatasi persoalan anak jalanan, gelandangan dan pengemis
yang merupakan suatu bentuk penyakit sosial di kehidupan
bermasyarakat.
C. Tujuan Penulisan
2 Ibid.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui urgensi
dibentuknya peraturan daerah dalam mengatasi persoalan anak
jalanan, gelandangan dan pengemis.
D. Metode Penulisan
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat normatif.
Bentuk penelitian ini ialah penelitian preskriptif, yaitu penelitian
yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa
yang harus dilakukan guna mengatasi masalah.3 Pendekatan
penelitian yang digunakan meliputi pendekatan peraturan
perundang-undangan. Jenis data yang digunakan adalah data
sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa bahan
pustaka melalui peraturan perundang-undangan dan buku-buku
literatur. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis data yang ada untuk
selanjutnya dikaji dan diinterpretasikan oleh penulis untuk
mendapatkan kesimpulan yang diharapkan.
3 Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, 1986, Jakarta: UI-Press, hlm. 10.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Anak Jalanan,
Gelandangan dan Pengemis
Anak jalanan menurut PBB adalah anak yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk
bekerja, bermain atau beraktifitas lain. Anak jalanan sebagian
tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampak dari
keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena
kemiskinan dan kehancuran keluarganya.
Menteri Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia
mendefinisikan anak jalanan sebagai berikut:
a. Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di jalanan,
putus sekolah, dan tidak lagi memiliki hubungan dengan
keluarganya.
b. Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di jalanan,
putus sekolah, dan tetapi masih memiliki hubungan
dengan keluarganya, meskipun hubungan tersebut
tidakberlangsung dengan teratur.
c. Anak jalanan adalah anak-anak yang bersekolah dan
anak putus sekolah yang meluangkan waktunya di
jalanan tetapi masih memiliki hubungan yang teratur
dengan keluarganya.
Dari berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan
bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang meluangkan
mayoritas waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun
tidak, baik yang masih sekolah maupun tidak sekolah, dan
masih memiliki hubungan dengan keluarganya maupun tidak
lagi memiliki hubungan dengan keluarganya.4
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam
keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam
masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal
dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup
mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah
orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-
minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan
gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan
pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-
sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya
cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal
meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan,
agama dan letak geografis5.
4Menteri Kesejahteraan Sosial, 2008, Pemberdayaan Anak Jalanan, http://elmurobbie.wordpress.com/2008/10/23/pemberdayaan-anak-jalanan/, diakses tanggal 23 Mei 2012.
5 Alkotsar, Artidjo, Advokasi Anak Jalanan, 1984, Jakarta: Rajawali.
Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
anak jalanan, gelandangan dan pengemis adalah sebagai berikut
:
a. Kemiskinan Individu dan Keluarga
Kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang
menentukan terjadinya kegiatan menggelandang dan
mengemis dikarenakan tidak cukupnya penghasilan yang
diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
b. Umur
Ternyata faktor umur memberikan pengaruh yang cukup
signifikan, dimana sebagian dari gelandangan dan
pengemis yang ditemui adalah berusia yang masih sangat
muda, yaitu kurang dari 13 tahun. Faktor umur yang masih
muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk
melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis
karena tiadanya memikirkan rasa malu yang terlalu kuat.
Bahkan mereka (anak-anak) terlihat riang berlari-lari dan
bercanda dengan temannya saat mengemis. Selain itu
kaum perempuan berumur lebih dari 40 tahun sepertinya
memberikan peluang yang lebih besar untuk memperoleh
”belas kasihan” dari penduduk kota. Kondisi tersebut
sangat wajar jika dikaji lebih lanjut dimana mereka akan
mendapat beberapa keuntungan, di antaranya adalah
sebagai berikut: (i) calon pemberi uang akan iba melihat
seorang ibu dengan anak kecil yang digendongnya; (ii)
uang yang diperoleh akan lebih banyak, selain terkadang
mereka diberikan juga makanan, khususnya untuk anak
yang digendongnya.
c. Pendidikan Formal
Berkenaan dengan faktor umur tersebut di atas, ternyata
faktor pendidikan juga turut mempengaruhi responden
untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis.
Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak,
semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan
formal di sekolah. Namun, mereka memilih menjadi
gelandangan dan pengemis dibandingkan bersekolah
karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk
kebutuhan sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang
tua.
d. Ijin Orang Tua
Sebagian besar anak-anak yang melakukan kegiatan
menggelandang dan mengemis diketahui bahwasanya
mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan
disuruh oleh orang tuanya.
e. Rendahnya Keterampilan
Para pengemis dan gelandangan merupakan orang-orang
tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia
kerja. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena sebagian
terbesar dari mereka adalah masih berusia yang belia atau
muda. Semestinya mereka sedang menikmati kegiatan
akademik atau di dunia pendidikan. Sementara mereka
yang tergolong umur relatif lebih tua dan berjenis kelamin
perempuan sejak muda tidak pernah memperoleh
pendidikan ketrampilan. Oleh karena itu, kegiatan
menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling
gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh
penghasilan secara mudah. Tetapi menurut mereka,
mengemis itu terkadang agak sulit untuk memperoleh
uang karena harus berkeliling dan mencoba serta mencoba
untuk meinta-minta, dimana tidak semua calon pemberi
sedekah langsung memberikannya, dan bahkan tidak
memperdulikannya.
f. Sikap Mental
Kondisi ini terjadi karena di pikiran para anak jalanan,
gelandangan dan pengemis muncul kecendrungan bahwa
pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang
biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan
untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber
penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan
sarana produktif, serta terbatasnya ketrampilan
menyebabkan mereka menjadikan mengemis sebagai
suatu pekerjaan,atau dengan kata lain, tiada jalan selain
mengemis untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi
kebutuhan hidupnya. Selain itu, sikap mental yang malas
ini juga didorong oleh lemahnya kontrol warga masyarakat
lainnya atau adanya kesan permisif terhadap kegiatan
menggelandang dan mengemis yang dilakukan oleh warga
karena keadaan ekonomi mereka yang sangat terbatas.
Sementara di sisi lain, belum dimilikinya solusi yang tepat
dalam jangka pendek bagi mereka yang menjadi anak
jalanan, gelandangan dan pengemis. Keadaan yang
demikian ini juga turut memunculkan dan sedikit menjaga
adanya budaya mengemis yang terjadi.
g. Sulitnya memperoleh Modal Usaha
Akses lainnya yang sulit untuk diperoleh adalah modal
usaha. Kesulitan ini diakibatkan karena perolehan modal
usaha memerlukan berberapa syarat yang sangat sulit
untuk dipenuhi oleh keluarga miskin, yang menyebabkan
mereka mencari pekerjaan lain yang tidak membutuhkan
modal yakni mengemis. Syarat utama yang dibutuhkan
adalah adanya agunan yang berupa sertifikat tanah. Warga
dusun dan keluarga Gepeng tidak berani menyerahkan
sertifikat tanahnya sebagai agunan karena mereka tidak
mau mengambil resiko terburuk, yaitu tanahnya disita jika
usahanya tidak berhasil.
B. Urgensi Pembentukan Daerah dalam Rangka
Melindungi Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis
Negara yang baik menurut Aristoteles ialah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga
unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu; pertama
pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua
pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang beradasarkan
pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat
secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan
konstitusi; ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti
pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan
berupa paksaan-paksaan yang dilaksanakan pemerintah
despotik.6
Menurut paham Julius Stahl pokok-pokok utama negara
hukum yang mendasari konsep negara hukum yang demokratis
ialah:1. berdasarkan hak asasi sesuai pandangan individualistik;
2. untuk melindungi hak asasi perlu trias politica Montesquieu
dengan segala variasi perkembangannnya; 3. pemerintah
berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur) dalam
Rechtsstaat materiil dan ditambah prinsip doelmatig bestuur di
dalam Socialeverzorgingsstaat; 4. apabila di dalam menjalankan
6 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, 2007, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, hlm. 9-10.
pemerintahan masih dirasa melanggar hak asasi maka harus
diadili dengan suatu pengadilan administrasi.7
Konsitusi negara Indonesia yakni Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 telah memberikan jaminan
seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh kesejahteraan,
sebagaimana yang termuat beberapa pasal,diantaranya :
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pe kerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh siapa pun.
7 Padmo Wahyono, “Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional” dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, Penyunting Muh. Busyro Muqoddas, dkk, 1992, Yogyakarta: UII Press, hlm,40-41.
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggara n pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara se rta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia.
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pela
yanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini
diatur dalam undang-undang.
Pengaturan dari pasal-pasal tersebut kemudian dituangkan
dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan,
diantaranya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1974 menyatakan bahwa "Setiap warga negara
berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan
berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-
usaha kesejahteraan sosial".
Selain usaha menciptakan sistem perekonomian yang
sifatnya mendasar, perlu pula usaha yang sifatnya lebih pada
pelaksanaan langsung di lapangan. Hal ini dibutuhkan untuk
dapat sesegera mungkin mengantisipasi keadaan sosial yang
memprihatinkan ini. Pengaturan yang bersifat lebih teknis di
bawah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 adalah Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1981 tentang
Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin. Pasal 2 ayat
(1) dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 di atas
menyebutkan bahwa fakir miskin berhak mendapatkan
pelayanan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ayat (2) pasal yang
sama menyatakan bahwa pelayanan kesejahteraan sosial bagi
fakir miskin tersebut meliputi bantuan sosial dan rehabilitasi
sosial.
Bantuan sosial adalah bantuan bersifat sementara yang
diberikan kepada keluarga fakir miskin agar mereka dapat
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Bantuan sosial
yang diberikan dapat berbentuk bantuan santunan hidup,
bantuan sarana usaha ekonomi produktif, atau bantuan sarana
kelompok usaha bersama. Bantuan ini berupa bahan atau
peralatan untuk menunjang usaha ekonomi produktif. Sesuai
dengan asas kekeluargaan yang dianut, maka sarana usaha
ekonomi produktif tersebut diberikan dan dikelola dalam sebuah
kelompok usaha bersama yang berada dalam pembinaan
pemerintah.
Tindak lanjut dari pemberian bantuan sosial adalah
rehabilitasi sosial yang berfungsi sebagai proses
refungsionalisasi dan pengembangan, untuk memungkinkan fakir
miskin mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses rehabilitasi sosial
ini, fakir miskin berhak untuk mendapatkan pembinaan
kesadaran berswadaya, pembinaan mental, pembinaan fisik,
pembinaan keterampilan, dan pembinaan kesadaran hidup
bermasyarakat. Fakir miskin yang telah selesai menjalani
pembinaan dapat diberikan bantuan permodalan oleh Depsos
guna meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Terkait dengan perlindungan anak menurut Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak,
dinyatakan bahwa anak adalah potensi serta penerus cita cita
bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi
sebelumnya. Agar setiap anak mampu memikul tanggung
jawab tersebut maka perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar
secara rohani, jasmani maupun sosial.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa negara
menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk
perlindungan terhadap hak-hak anak yang merupakan hak
asasi manusia. Berdasarkan konvensi hak-hak anak yang sudah
diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor
36 Tahun 1990, secara tegas menentukan hak-hak anak yang
secara garis besar berupa hak atas kelangsungan hidup, hak
untuk tumbuh kembang, hak atas perlindungan serta hak
berpartisipasi. Selain itu Undang-Undang no 23 tahun 2002
tersebut memberikan asas berdasarkan prinsip - prinsip dasar
konvensi hak-hak anak tersebut, yaitu :
1. Non diskrimanasi .
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan
4. Penghargaan terhadap pendapat anak
Namun peraturan-peraturan tersebut sepertinya masih
belum efektif dan belum mampu untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan terkait anak jalanan, gelandangan dan pengemis
ini, karenanya diperlukan suatu regulasi di tingkat daerah yang
dapat mengatur dan mengembalikan mereka ke keadaan yang
lebih bermartabat. Keberadaan peraturan Daerah tersebut
dimungkinkan keberadaannya menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandang dan
Pengemis, pada Pasal 4 dinyatakan :
(1) Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan
khusus berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan
petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri.
Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal tiga dasar agar
hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu
mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Ketiga dasar
tersebut sangat penting untuk mengukuhkan kaidah yang
tercantum dalam peraturan perundangan menjadi sah secara
hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat
diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk jangka
waktu yang panjang.
Para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan
pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum
beragam, bergantung pada sudut pandang yang dibidiknya.
Soerjono Soekanto berbicara mengenai derajat efektivitas
suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga
masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak
hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa:“Taraf
kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator
berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum
merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai
tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan
melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.8
Terkait dengan efektivitas hukum dalam masyarakat,
Ronny Hanintijo Soemitro mengutip Metzger bahwa efektif
tidaknya suatu sistem hukum ditentukan oleh 5 (lima) syarat,
yaitu:
a. mudah-tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu
ditangkap atau dipahami;
b. luas-tidaknya kalangan dalam masyarakat yang
mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan;
c. efisien dan efektif–tidaknya mobilisasi aturan-aturan
hukum yang dicapai dengan bantuan aparat administrasi
dan warga masyarakat yang harus berpartisipasi dalam
memobilisasi hukum;
8 Soejono Soekanto, Sosiologi ; Suatu Pengantar, 1996, Bandung : Rajawali Pres, hlm. 62.
d. tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa yang
mudah dihubungi dan dimasuki warga masyarakat serta
efektif untuk menyelesaikan sengketa itu;
e. adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan
anggota-anggota masyarakat bahwa aturan-aturan dan
pranata-pranata hukum memang memiliki daya
kemampuan yang efektif.9
Sebagai daerah otonom sebagaimana kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah berwenang untuk
membuat peraturan daerah guna menyelenggarakan urusan
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Kedudukan Peraturan
Daerah memiliki tempat tersendiri dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, pada Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud
9 Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Kemiskinan, 1989, Semarang: Tugu Muda, hlm. 46.
dengan peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan
persetujuan bersama kepala daerah. Peraturan Daerah
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang
dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang ada di atasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-
masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum, serta peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Fenomena sosial yang berkaitan dengan anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen di jalanan termasuk
pelaku eksploitasi dan pengguna jalan yang menggunakan jalan
tidak sesuai dengan fungsi jalan, tidak dapat dianggap sebagai
suatu bentuk kewajaran di dalam masyarakat, melainkan harus
ditanggulangi secara berkesinambungan dan melibatkan
seluruh komponen masyarakat baik
dilingkup pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Kendatipun demikian dalam rangka melakukan pembinaan
terhadap anak jalanan, gelandangan, pengemis, serta
pengamen di jalanan harus bersumber pada nilai-nilai
kemanusiaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan mengedepankan peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan pemberdayaannya secara berkesinambungan.
Seiring dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah maka
daerah harus berperan aktif dalam melaksanakan upaya-upaya
bagi penanganan permasalahan sosial tersebut.
Dalam rangka mengatasi persoalan anak jalanan,
gelandangan dan pengemis, ada tiga bentuk usaha yang harus
dilakukan , yakni :
1. Usaha preventif, merupakan usaha untuk mencegah
timbulnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis di
dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan
maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi
sumber timbulnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis.
Usaha preventif tersebut dapat dilakukan antara lain
dengan :
a. Penyuluhan dan bimbingan sosial;
b. Pembinaan sosial;
c. Bantuan sosial;
d. Perluasan kesempatan kerja;
e. Pemukiman lokal;
f. Peningkatan derajat kesehatan.
2. Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau
meniadakan anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang
ditujukan, baik kepada seseorang maupun kelompok orang
yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.
Usaha represif tersebut meliputi :
a. razia;
b. penampungan sementara untuk diseleksi;
c. pelimpahan.
3. Usaha rehabilitatif terhadap anak jalanan, gelandangan dan
pengemis meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi,
penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar
fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga
masyarakat. Usaha rehabilitatif sebagaimana dimaksud
dalam dilaksanakan melalui Rumah Singgah dan Panti Sosial.
Oleh karena itulah diperlukan adanya suatu produk hukum
daerah berupa Peraturan Daerah yang dapat berlaku dengan
efektif yang dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan
yang baku mengenai pembinaan anak jalanan, gelandangan,
dan pengemis. Ketentuan baku tersebut meliputi :
1. Mengembangkan pembinaan pencegahan, pembinaan
lanjutan dan rehabilitasi sosial agar tidak terjadi anak
yang berada di jalanan, gelandangan dan pengemis baik
yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak,
dengan mencegah meluasnya pengaruh negatif karena
keberadaan mereka di jalanan terhadap masyarakat
lainnya, sehingga masyarakat kembali menjadi anggota
masyarakat yang menghayati harga diri, serta
memungkinkan pemberdayaan untuk memiliki kembali
kemampuan guna mencapai taraf hidup dan penghidupan
yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia;
2. Memetakan identitas, asal usul anak jalanan, gelandangan,
pengemis guna dijadikan dasar pembinaan pencegahan,
pembinaan lanjutan dan rehabilitasi sosial;
3. Mengklasifikasikan kriteria pembinaan anak jalanan,
gelandangan, dan pengemis;
4. Membangun presepsi yang sama dalam melakukan
pembinaan terhadap anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen oleh berbagai pihak baik dari
pemerintah, masyarakat, keluarga maupun perorangan;
5. Mengupayakan fasilitas baik berupa sarana dan prasarana
agar anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen
mendapatkan pendampingan secara kuantitas maupun
kualitas; dan
6. Membangun sinergi antar dinas terkait maupun dengan
lembaga lembaga sosial, termasuk perguruan tinggi agar
terbentuk jaringan yang komprehensif dalam rangka
melakukan pembinaan terhadap anak jalanan,
gelandangan, dan pengemis.
Pemberdayaan terhadap anak jalanan, gelandangan dan
pengemis juga suatu hal yang penting untuk dimuat dalam
sebuah peraturan daerah, karena dengan dilakukannya berbagai
kegiatan pemberdayaan tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kualitas dari setiap anak jalanan, gelandang dan
pengemis. Pemberdayaan tersebut dilakukan oleh pemerintah
daerah dan/atau melibatkan lembaga sosial yang memiliki
kegiatan usaha kesejahteraan sosial. Kegiatan pemberdayaan
misalnya dapat dilakukan antara lain melalui :
a. Pelatihan Keterampilan Berbasis Rumah Tangga, dilakukan
untuk memberi pengetahuan dan keterampilan yang
disesuaikan dengan bakat dan minat serta lingkungan
sosialnya, yang dilaksanakan bekerja sama dengan lintas
sektoral dan stake holder;
b. Pelatihan Kewirausahaan, dilakukan untuk memberi
pemahaman dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip
usaha kecil dan menengah yang disesuaikan dengan
keterampilan yang mereka miliki dan berdasarkan kondisi
lingkungan tempat mereka berdomisili sehingga mereka
dapat termotivasi untuk melakukan aktifitas usaha mandiri
guna membantu penghasilan keluarganya;
c. Pemberian bantuan modal usaha ekonomis produktif,
dilakukan guna memberikan bantuan stimulan berupa
barang/bahan dagangan dan/atau modal usaha kecil
sebagai modal dasar dalam rangka membentuk dan
memotivasi untuk menciptakan kemandirian yang
dilakukan secara perorangan;
d. Pembentukan kelompok usaha bersama, dimaksudkan
untuk mengembangkan usaha ekonomis produktif melalui
pembinaan dalam bentuk pengelompokan keluarga yang
memiliki jenis usaha yang sama antara beberapa kepala
keluarga;
e. Pengembangan kelompok usaha bersama, dimaksudkan
untuk mengembangkan kelompok usaha bersama yang
berhasil melalui pendekatan pemberian modal usaha
pengembangan.
Selain maksud dan tujuan pembinaan dan pemberdayaan
bagi anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen,
keberadaan peraturan daerah juga diperlukan untuk :
a. Menghambat laju pertumbuhan anak jalanan,
gelandangan, dan pengemis di jalanan melalui
pembinaan pencegahan secara terorganisir dan
berkesinambungan.
b. Mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri serta
menumbuhkan rasa tanggung jawab dirinya maupun
sebagai anggota masyarakat.
c. Mengembalikan mereka kedalam keadaan kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang lebih layak.
d. Meningkatkan kesejahteraan mereka melalui upaya
bimbingan sosial dan keterampilan melalui bantuan
eknomis produktif maupun usaha-usaha lain dalam
rangka pemberdayaan keluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perwujudan kesejahteraan sosial ternyata
belum efektif untuk mengatasi penyakit sosial seperti anak
jalanan, gelandangan dan pengemis. Padahal undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah menjamin
terpenuhinya hak-hak warga negara tersebut. Oleh karenanya
dirasakan penting untuk membentuk suatu regulasi daerah
dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang
pembinaan dan pemberdayaan anak jalanan, gelandangan dan
pengemis dengan mengatur sejumlah tindakan yang aplikatif
dan efektif sehingga dapat mendukung, meningkatkan,
memberdayakan dan menyejahterakan anak jalanan,
gelandangan, dan pengemis agar kembali menjadi manusia yang
bermartabat.
B. Saran
Keberadaan sebuah peraturan daerah tentang anak
jalanan, gelandangan dan pengemis diharapkan tidak
menimbulkan permasalahan baru dalam penerapannya nanti.
Oleh karena itu dalam merumuskan materi muatan peraturan
daerah tersebut jangan memuat ketentuan/pasal-pasal yang
menjadikan anak jalanan, gelandangan dan pengemis sebagai
suatu subjek/pelaku tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi
pidana berupa kurungan atau denda, karena terkadang posisi
mereka hanyalah sebagai korban dari sebuah pengeksploitasian.
Sebaliknya pencantuman ketentuan pidana harus diancamkan
kepada pihak-pihak yang sengaja mengkoordinir dan
mengeksploitasi anak jalanan, gelandangan dan pengemis guna
mencari keuntungan pribadi dari pekerjaan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/Artikel
Alkotsar, Artidjo, Advokasi Anak Jalanan, 1984, Jakarta: Rajawali.
Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Kemiskinan, 1989,
Semarang: Tugu Muda.
Muh. Busyro Muqoddas, dkk (ed.), Politik Pembangunan Hukum
Nasional, 1992, Yogyakarta: UII Press.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta,2007.
Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga,
UI-Press, Jakarta, 1986.
Soejono Soekanto, Sosiologi ; Suatu Pengantar, 1996, Bandung :
Rajawali Pres.
Menteri Kesejahteraan Sosial, 2008, Pemberdayaan Anak
Jalanan,
http://elmurobbie.wordpress.com/2008/10/23/pemberdaya
an-anak-jalanan/, diakses tanggal 23 Mei 2012.
http://www.sumbarpost.com/berita-209-ranperda-anjal-
danpengemis digodokbakal-ada-sanksi-bagi-
pemberi.html#.T72Q9VLDu9s, diakses tanggal 20 Mei 2012
pukul 19.15 WIB.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan
Anak
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandang dan Pengemis
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1981
tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin.
top related