UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id · UCAPAN TERIMA KASIH Assalamu’alaikum Wr.Wb. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, atas rahmat, anugerah dan karunia-Nya, penulis dapat
Post on 12-Aug-2019
284 Views
Preview:
Transcript
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, atas rahmat, anugerah dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kontradiksi Pengaturan Tindak Pidana
Ketidakhadiran Tanpa Izin Dalam Hukum Disiplin Militer Dan Hukum Pidana Militer”.
Tesis ini dipersembahkan kepada :
Yang terhormat, tercinta dan terkasih,
Ayahanda Joko Prasetyo dan Ibunda Dwi Sulistyowati, dan
Ayahanda Sukamdi (Alm) dan Ibunda Sugiati.
Atas seluruh doa dan kasih sayang yang tiada pernah akan terbalaskan, serta atas
segala-galanya yang telah diberikan kepada penulis dengan penuh cinta dan ketulusan.
Semoga Allah Yang Maha Besar berkenan membalas seluruh keikhlasan dan kebaikan beliau
dengan ridlo dan kasih sayang-Nya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak, oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dekan Fakultas Hukum, Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MHum. atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi Mahasiswa Program
Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
2. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH. dan Dr. Ida Bagus Surya
Darmajaya, SH., MH. selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah
ii
secara ikhlas dan penuh kesabaran meluangkan waktu dan tenaga untuk
memberikan arahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis hingga
terselesaikannya tesis ini.
3. Kolonel Chk Bambang Tri Haryanto, S.H. (Kakumdam IX/Udayana T.A.
2015) dan Kolonel Inf. I Nyoman Cantiasa, S.E. (Komandan Korem
163/Wirasatya) yang senantiasa memberikan kesempatan, motivasi dan
dukungan bagi penulis untuk meraih jenjang pendidikan S2 dengan penuh
kebijaksanaan. Beliau adalah para Komandan di jajaran TNI AD yang
excellent, bijaksana dan berintegritas dalam memimpin satuan.
4. Dr. Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, SH.,MH. dan Dr. Putu Tuni
Cakabawa Landra, SH.,M.Hum. yang senantiasa membimbing dan
mengarahkan penulis sebagaimana orang tua membimbing anak-anaknya.
Beliau adalah seorang guru, orang tua dan sekaligus sebagai sahabat yang luar
biasa.
5. Seluruh Dosen pengajar S2 yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan
yang sangat bermanfaat bagi penulis untuk mengembangkan karir dalam
penugasan selanjutnya di lingkungan kemiliteran. Penulis menyampaikan
penghormatan yang setinggi-tingginya dan rasa bangga memiliki kesempatan
untuk bertatap muka dengan para Dosen S2 Fakultas Hukum yang qualified.
6. Rekan-Rekan Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Udayana
TA. 2015 (2015 is The Best Performance) dan Para Pegawai Administrasi
Prodi S2, atas semua kerjasama dan persahabatan yang selama ini terjalin, serta
telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
iii
7. Kepada semua Pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan tesis
ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya.
Special thank’s to : Istriku tercinta Christine Kartika Sari dan Putra putriku
tersayang: Fiahsani Alya Azzahra; Nasywa Asshofa Puteri; Alfieya Insyiro Puteri;
dan Muhammad Deedat Alhibban, Untuk semua doa, ketulusan, dukungan dan
segala-galanya yang tidak terkatakan. Semoga Allah SWT selalu menganugerahkan
keagungan, kemuliaan, ketentraman, kemudahan, keselamatan dan kebahagiaan di
dunia dan akherat.
Akhir kata, dengan bekal ilmu dan pengetahuan yang terbatas, Penulis menyadari
bahwa penulisan dalam tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, karenanya segala kritik
dan saran yang bersifat konstruktif sangat diperlukan untuk menambah kesempurnaan
penulisan ini.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya
kepada kita semua, dan dengan harapan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu hukum di Indonesia.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Denpasar, 01 Januari 2017
Penulis,
iv
ABSTRAK
Pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4
hari dalam ketentuan Pasal 8 UU No 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer telah
menimbulkan dampak yang bersifat kontradiktif dengan pengaturan tindak pidana yang serupa
dalam ketentuan Pasal 85 ke-1 dan Pasal 86 ke-1 KUHPM. Situasi ini telah memunculkan
pertentangan norma yang mengakibatkan adanya suatu ketidakpastian hukum, dan yang pada
akhirnya dapat menimbulkan situasi ketidakadilan antar anggota militer yang berada pada
masing-masing kesatuannya. Berdasarkan uraian tentang adanya kontradiksi pengaturan tindak
pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4 hari tersebut, selanjutnya
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah konsekuensi hukum yang
dihadapi oleh anggota militer atas terjadinya kontradiksi pengaturan tindak pidana
ketidakhadiran tanpa izin ? dan 2) Bagaimanakah kebijakan formulasi pengaturan tindak
pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam perspektif ius constituendum?
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat
analisis deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep
hukum, dan pendekatan sejarah yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder
dan tersier. Penelitian ini menggunakan sistem kartu sebagai teknik pengumpulan bahan
hukum. Kajian dalam penelitian ini didukung oleh konsep negara hukum, teori kepastian
hukum, teori penjenjangan norma dan berlakunya asas preferensi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan tindak pidana ketidakhadiran
tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4 hari dalam ketentuan Pasal 8 UU No 25 Tahun
2014 tentang Hukum Disiplin Militer secara hukum telah bertentangan dengan pengaturan
tindak pidana yang serupa dalam ketentuan Pasal 85 ke-1 dan Pasal 86 ke-1 KUHPM.
Berdasarkan asas Lex posteriori derogat legi priori, maka dapat dipahami bahwa UU No 25
Tahun 2014 sebagai produk perundang-undangan terbaru secara hukum telah mengalahkan
atau menghentikan KUHPM, khususnya dalam pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa
izin paling lama 4 hari. Namun demikian, diperlukan reformulasi pada kebijakan formulasi
yang akan datang dengan menekankan pada keseragaman dan konsistensi untuk menghentikan
permasalahan kontradiksi dalam rangka mewujudkan tertib hukum, keadilan dan kepastian
hukum dalam organisasi militer.
Kata Kunci : Kontradiksi, Ketidakhadiran Tanpa Izin, Militer.
v
ABSTRACT
The regulation on a criminal offense of absent without official leave of maximum of 4
days in peace time as stipulated in the provisions of Article 8 of Law Number 25 of 2014 on
the law of Military Discipline has an impact that is contradictory with the regulation of
similar offenses in Article 85 of paragraph 1 and Article 86 of paragraph 1 of the Military
Criminal Law. This situation has resulted in the conflict of norms that lead to a legal
uncertainty, and that could ultimately lead to a situation of injustice among members of the
military who are on their respective military units. Based on the description of the
contradiction in the regulation on a criminal offense of absent without official leave of
maksimum of 4 days in peace time, then the problems of the study are formulated as
follows : 1) What are the legal consequences faced by members of the military on the
contradictory regulation on a criminal offense of absent without official leave? And 2) How is
the policy formulation on regulating a criminal offense of absent without official leave in the
perspective of ius constituendum?
This type of research is a kind of normative legal research of descriptive analysis by
approach of legislation, legal concept analysis approach and historical approach obtained
from sources of primary, secondary and tertiary legal materials. This study uses a card system
as a technique of collecting legal material. The analysis of the research was supported by the
concept of a state of law, legal certainty theory, the theory of hierarchical of norms and the
enactment of the principle of preference.
The conclusion of this research show that the regulation on a criminal offense of
absent without official leave of maximum of 4 days in peace time within the provisions of
Article 8 of Law Number 25 of 2014 on the law of Military Discipline by law is contradictory
to the regulation of similar offenses in Article 85 of paragraph 1 and Article 86 of paragraph
1 of the Military Criminal Law. Based on the principle of Lex posteriori derogate legi priori, it
can be understood that law Number 25 of 2014 as a product of the latest legislation has
legally overridden the Military Criminal Law, particularly in the regulation on a criminal
offense of absent without leave of maximum of 4 days in peace time. However, it is required a
reformulation on the future policy formulation with emphasis on uniformity and consistency to
overcome the problem of contradiction in order to realize the rule of law, justice and the legal
certainty in the military organization.
Keywords : Contradiction, Absent Without Official Leave, Military.
vi
RINGKASAN
Tesis ini berjudul Kontradiksi Pengaturan Tindak Pidana Ketidakhadiran Tanpa Izin
Dalam Hukum Disiplin Militer Dan Hukum Pidana Militer, disusun dalam lima bab yang
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
Bab I menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, manfaat
penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, orisinalitas penelitian,
landasan teoritis, kerangka berpikir dan metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian,
jenis pendekatan dan sumber bahan hukum.
Bab II menguraikan tentang tinjauan umum yang berupa tinjauan secara garis besar
tentang konsep yang tertuang dalam judul penelitian, yaitu pengertian militer, pengertian
Ankum dan Papera, pengertian hukum milter, hukum disiplin militer dan hukum pidana
militer serta pengertian tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin.
Bab III menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah pertama yakni,
konsekuensi hukum yang dihadapi oleh anggota militer atas terjadinya kontradiksi pengaturan
tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin. Dalam bab ini dibahas mengenai pembinaan personel,
hukum dan penyelesaian tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin serta perbedaan konsekuensi
hukum bagi militer yang melakukan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin.
Bab IV menguraikan tentang pembahasan masalah kedua, yakni kebijakan formulasi
pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam perspektif ius constituendum.
Dalam bab ini dibahas mengenai makna kontradiksi dalam hukum disiplin militer dan upaya
penyempurnaan dalam perspektif ius constituendum yang diuraikan dengan kajian tentang
vii
kebijakan hukum pidana dan kebijakan formulasi pengaturan tindak pidana ketidakhadiran
tanpa izin paling lama 4 hari.
Bab V merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan
merupakan hasil dari pembahasan penelitian terhadap rumusan masalah pertama dan rumusan
masalah kedua, sedangkan saran memuat hal-hal yang dapat direkomendasikan sebagai bentuk
solusi atas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ....................... ............................................ i
HALAMAN SAMPUL DALAM .................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
PERSYARATAN GELAR MAGISTER ..................................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
ABSTRACT ................................................................................................... x
RINGKASAN ................................................................................................. xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................ 9
1.3. Ruang Lingkup Masalah .............................................. 9
1.4. Tujuan Penelitian .......................................................... 9
1.4.1. Tujuan Umum .................................................... 10
1.4.2. Tujuan Khusus ............................................ ...... 10
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................ 10
1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................... 10
1.5.2. Manfaat Praktis ................................................. 11
1.6. Orisinalitas Penelitian .................................................. 11
1.7. Landasan Teoritis ......................................................... 13
1.7.1. Pengertian Konsep............................................. 13
1.7.2. Pengertian Teori Hukum.................................. . 13
1.7.3. Pengertian Konsep........................................... .. 15
1.7.4. Konsep Negara Hukum ..................................... 15
1.7.5. Teori Kepastian Hukum .................................... 21
1.7.6. Teori Penjenjangan Norma ................................ 27
ix
1.7.7 Teori Kebijakan Hukum Pidana....................... . 31
1.7.8. Asas Preferensi .................................................. 34
1.8. Metode Penelitian .......................................................... 38
1.8.1. Jenis Penelitian .................................................. 38
1.8.2. Jenis Pendekatan ................................................ 39
1.8.3. Sumber Bahan Hukum ...................................... 40
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................ 42
1.8.5. Teknik Analisis ................................................. 43
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM DISIPLIN
MILITER DAN HUKUM PIDANA MILITER .................. 44
2.1. Pengertian Militer .......................................................... 44
2.1.1. Pengertian Atasan Dalam Militer ...................... 45
2.1.2. Pengertian Bawahan .......................................... 48
2.2. Pengertian Atasan Yang Berhak Menghukum
(Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara
(Papera) di Lingkungan Militer .................................... 49
2.2.1. Pengertian Ankum ............................................. 49
2.2.2. Kewenangan Ankum ......................................... 50
2.2.3. Pengertian Papera .............................................. 53
2.3. Pengertian Hukum Militer ............................................. 55
2.4. Hukum Disiplin Militer ................................................. 59
2.4.1. Pengertian Disiplin ............................................ 59
2.4.2. Pengertian Hukum Disiplin Militer ................... 62
2.4.3. Pelanggaran Hukum Disiplin Militer ................ 63
2.4.4 Jenis Hukuman Disiplin .................................... 66
2.4.5 Tindakan Disiplin .............................................. 67
2.5. Pengertian Hukum Pidana Militer ................................. 68
2.6. Pengertian Tindak Pidana THTI ................................... 70
x
BAB III KONSEKUENSI HUKUM BAGI MILITER
TERHADAP KONTRADIKSI PENGATURAN
TINDAK PIDANA KETIDAKHADIRAN TANPA
IZIN................. ......................................................................... 76
3.1. Hakikat Pembinaan Personel ........................................ 76
3.2. Aktualisasi Pembinaan Hukum Bagi Militer ................ 80
3.3. Peran Ankum dan Papera Dalam
Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
Ketidakhadiran Tanpa Izin......................................... .. 83
3.3.1. Penegakan Hukum di Lingkungan Militer..... .. 88
3.3.2. Mekanisme Penegakan Hukum
Disiplin Militer .................................................. 89
3.3.3. Mekanisme Penegakan Hukum Pidana
Militer ................................................................ 92
3.3.4. Mekanisme Pemberian Sanksi
Administrasi ...................................................... 95
3.3.5. Penerapan Pemberhentian Sementara
Dari Jabatan (Schorsing) ................................... 97
3.4. Perbedaan Konsekuensi Hukum Bagi Militer Yang
Melakukan Tindak Pidana Ketidakhadiran Tanpa
Izin ................................................................................. 98
3.4.1. Konsekuensi Hukum Berdasarkan
Hukum Disiplin Militer .................................... 99
3.4.2. Konsekuensi Hukum Berdasarkan
Hukum Pidana Militer ....................................... 101
3.5. Tinjauan Kontradiksi Dalam Perspektif Konsep
dan Asas Hukum........................................................... 109
3.5.1. Kontradiksi Dalam Perspektif Negara Hukum.. 109
3.5.2. Asas Preferensi Dalam Penyelesaian
Konflik Norma ................................................... 112
xi
3.6. Upaya Penyelesaian Kontradiksi Melalui Hukum
Disiplin Militer............................................................. .. 114
3.6.1. Penegakan Melalui Hukum Disiplin Sebagai
Pilihan Yang Benar............................................ .. 114
3.6.2. Upaya Pembentukan Peraturan Internal TNI...... 117
BAB IV KEBIJAKAN FORMULATIF TINDAK PIDANA
KETIDAKHADIRAN TANPA IZIN PALING LAMA
4 HARI DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM 121
4.1. Perubahan Menuju Kultur Hukum Indonesia................ 121
4.2. Upaya Perubahan Menuju Penyederhanaan Hukum.... . 123
4.3. Tinjauan Kontradiksi Dalam Perspektif Teori Hukum . 126
4.3.1. Tinjauan Kontradiksi Dalam Perspektif
Hierarki Norma.................................................. . 126
4.3.2. Tinjauan Kontradiksi Dalam Perspektif
Kepastian Hukum.............................................. . 128
4.3.3. Tinjauan Kontradiksi Dalam Perspektif
Kebijakan Hukum Pidana.................................. . 131
4.4. Penyempurnaan Hukum Dalam Perspektif
Ius Constituendum........................................................ . 132
4.4.1. Kebijakan Formulasi Pengaturan Tindak
Pidana Ketidakhadiran Tanpa Izin
Paling Lama 4 Hari..................... ....................... 135
4.4.2. Pembentukan UU Sebagai Revisi Terhadap
KUHPM ............................................................ 140
BAB V PENUTUP................................................................................ 145
5.1. Kesimpulan ...................................................................... 145
5.2. Saran ................................................................................ 147
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 148
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Disiplin kemiliteran merupakan salah satu sendi dasar yang pentingbagi kehidupan
Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat TNI). Bagi setiap militer, kedisiplinan
merupakan hal yang bersifat pokok dan merupakan cara terbaik untuk menghindari suatu
kelalaian yang akan terjadi dalam setiap pelaksanaan tugas. Dihadapkan pada pelaksanaan
fungsi, peran dan tugas TNI sebagai alat pertahanan negara, maka kelalaian atau pelanggaran
disiplin sekecil apapun dapat mengakibatkan hal yang fatal dan pada akhirnya dapat
menimbulkan kerentanan dan keberbahayaan bagi pelaksanaan tugas pokok TNI untuk
menegakkan dan mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.
MMeennuurruutt SS.. SSuupprriiyyaattnnaa,, ppeemmbbiinnaaaann ddiissiipplliinn yyaanngg kkeettaatt bbaaggii pprraajjuurriitt TTNNII mmuuttllaakk
ddiillaakkuukkaann kkaarreennaa pprraajjuurriitt mmaauuppuunn ssaattuuaann TTNNII ddiippeerrlleennggkkaappii ddeennggaann aallaatt ppeerraallaattaann ddaann sseennjjaattaa
yyaanngg bbeerrttuujjuuaann mmeemmbbuunnuuhh mmuussuuhh,, ttaannppaa aaddaannyyaa ddiissiipplliinn yyaanngg kkeettaatt,, mmiilliitteerr ttiiddaakk uubbaahhnnyyaa
sseebbaaggaaii ggeerroommbboollaann bbeerrsseennjjaattaa yyaanngg ddaappaatt bbeerrttiinnddaakk sseemmeennaa--mmeennaa tteerrhhaaddaapp mmaassyyaarraakkaatt aattaauu
bbaahhkkaann aallaatt ppeerraallaattaann ddaann sseennjjaattaa yyaanngg ddiimmiilliikkii ddiigguunnaakkaann uunnttuukk mmeellaakkuukkaann ppeemmbbeerroonnttaakkaann
tteerrhhaaddaapp ppeemmeerriinnttaahh//nneeggaarraa yyaanngg jjuussttrruu hhaarruuss ddiilliinndduunnggii kkeewwiibbaawwaaaann ddaann kkeeddaauullaattaannnnyyaa..11
DDeennggaann ddeemmiikkiiaann,, mmaakkaa ddiissiipplliinn bbeerrffuunnggssii sseebbaaggaaii aallaatt kkoonnttrrooll yyaanngg eeffeekkttiiff uunnttuukk mmeennjjaaggaa ttaattaa
ppeerriillaakkuu mmiilliitteerr sseessuuaaii ddeennggaann nnoorrmmaa--nnoorrmmaa yyaanngg bbeerrllaakkuu ddii lliinnggkkuunnggaann kkeemmiilliitteerraann..
PPaaddaa ddaassaarrnnyyaa ddiissiipplliinn aaddaallaahh sseessuuaattuu yyaanngg ddiibbuuttuuhhkkaann uunnttuukk mmeemmppeerrttaahhaannkkaann ddaann
mmeenncciippttaakkaann ssttaabbiilliittaass ppeerriillaakkuu ppaaddaa ppeerruubbaahhaann ssiittuuaassii ddaann kkoonnddiissii yyaanngg fflluukkttuuaattiiff,, sseerrttaa
1S. Supriyatna, 2012, Konsepsi Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia, Jurnal
Hukum Militer : Vol.1 No. 5., STHM, Jakarta, h. 1.
xiii
mmeenngghhiinnddaarrkkaann sseeoorraanngg mmiilliitteerr ddaarrii ppeerriillaakkuu yyaanngg bbeerrssiiffaatt kkeejjii ddaann ttiiddaakk bbeerrmmoorraall.. KKoonnddiissii
ddiissiipplliinn ddaann mmoorraalliittaass tteerrcceerrmmiinn ddaarrii ssiikkaapp ddaann kkoonnssiisstteennssii sseettiiaapp mmiilliitteerr uunnttuukk mmeemmiilliihh
ttiinnddaakkaann yyaanngg bbeennaarr sseeccaarraa hhuukkuumm,, sseekkaalliippuunn ttiinnddaakkaann iittuu ddiillaakkuukkaann ddaallaamm ssiittuuaassii yyaanngg
mmeemmbbaahhaayyaakkaann kkeesseellaammaattaann ddiirriinnyyaa.. PPeellaattiihhaann mmiilliitteerr ddaallaamm ssiittuuaassii ddaann kkoonnddiissii tteekkaannaann yyaanngg
ssaannggaatt bbeerraatt mmeerruuppaakkaann ssuuaattuu tteekknniikk ddaann ccaarraa uunnttuukk mmeellaattiihh aaggaarr sseettiiaapp mmiilliitteerrsseellaalluu tteerrbbiiaassaa
ddeennggaann ssiittuuaassii kkeekkeerraassaann ddaallaamm ppeerrtteemmppuurraann,, ddaann ddeennggaann ssiittuuaassii iittuu sseettiiaapp mmiilliitteerr
tteettaappmmeemmiilliikkii kkeemmaammppuuaann uunnttuukk bbeerrttiinnddaakk sseeccaarraa bbeennaarr sseessuuaaii ddeennggaann aattuurraann ddaann kkeetteennttuuaann
hhuukkuumm yyaanngg bbeerrllaakkuu..
MMeennuurruutt NNaattssrrii,, ddiissiipplliinn mmeerruuppaakkaann ccaarraa uunnttuukk mmeennjjaaggaa kkeetteerrttiibbaann yyaanngg ddiippeerrlluukkaann
uunnttuukk mmeennccaappaaii ttuuggaass,, mmeennjjaaggaa kkeeddaauullaattaann ddaann iinntteeggrriittaass wwiillaayyaahh sseerrttaa mmeennjjaammiinn kkeesseellaammaattaann
bbaannggssaa..22Memahami bahwa setiap militer dilatih dan ditempa dalam situasi dan kondisi yang
tidak mengenal menyerah, sehingga karenanya keberadaan seorang militer menjadi terbiasa
dengan kekuatan, kekerasan dan ketrampilan, serta kemampuan untuk mencapai titik
maksimum dari kekuatan seorang manusia, maka posisi tersebut menempatkan setiap anggota
militer berada dalam posisi yang rentan terhadap terjadinya suatu pelanggaran hukum, baik
hukum disiplin maupun hukum pidana militer dalam arti yang luas. Oleh karenanya,
dikembangkanlah suatu sistem dan tatanan hukum yang lebih spesifik agar segala sesuatu
yang terkait dengan bentuk pelanggaran hukum sekecil apapun dapat diselesaikan berdasarkan
mekanisme penegakan hukum disiplin atau hukum pidana militer yang berlaku di lingkungan
militer. Natsri Anshari mengutip pendapat David A. Schlueter yang menyatakan bahwa militer
juga memiliki dan mengembangkan hukum dan tradisi sendiri selama perkembangan
sejarahnya yang panjang.Perbedaan antara masyarakat sipil dan masyarakat militer
2Natsri Anshari, 2014, Perubahan Hukum Disiplin Militer : Disiplin Versus Keadilan,Jurnal Hukum
Militer : Vol.2 No. 1., STHM, Jakarta, h.48.
xiv
diakibatkan dari fakta bahwa bisnis utama dari Angkatan Bersenjata adalah siap bertempur
dan siap berperang jika terjadi ancaman yang membahayakan terhadap kedaulatan negara.3
Perbedaan fungsi, peran dan tugas serta budaya antara masyarakat sipil dan militer merupakan
faktor-faktor yang menentukan adanya perbedaan pengaturan norma dan ketentuan hukum
yang berlaku bagi warga sipil dan yang berlaku bagi anggota militer.
Dalam sudut pandang kemiliteran, bentuk pelanggaran hukum dalam kategori ringan
adalah pelanggaran terhadap hukum disiplin, yang dapat diberi pemaknaan secara singkat
sebagai perbuatan yang “tidak patut” dilakukan oleh seorang militer (lalai melakukan
penghormatan kepada atasan, mendatangi tempat-tempat terlarang/prostitusi, melakukan
perjudian dan lain sebagainya).
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin
Militer (selanjutnya disebut UUHDM-2014), maka jenis pelanggaran hukum disiplin militer
terdiri atas:
a. Segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan
kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata tertib militer; dan
b. Perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pidana yang
sedemikian ringan sifatnya.
Dalam penjelasan Pasal 8 huruf b UUHDM-2014 selanjutnya dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan “perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana yang sedemikian
ringan sifatnya” adalah :
a. Segala bentuk tindak pidana yang digolongkan dalam peraturan perundang-
undangan terkaitdengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau
kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
b. Perkara sederhana dan mudah pembuktiannya;
3Natsri Anshari, Op Cit, h. 52.
xv
c. Tindak pidana yang terjadi tidak mengakibatkan terganggunya kepentingan
militer dan/ataukepentingan umum ;dan
d. Tindak pidana karena ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai paling
lama 4 (empat) hari.
Berdasarkan ketentuan hukum disiplin ini, maka pelanggaran hukum disiplin militer
yang terjadi akan diselesaikan secara internal pada masing-masing satuan militer menurut
ketentuan UUHDM-2014.Penjatuhan hukuman disiplin dilakukan melalui mekanisme sidang
disiplin yang dipimpin oleh seorang Komandan selaku Atasan yang berhak menghukum
(Ankum) untuk menjatuhkan hukuman kepada seorang militer yang melakukan
pelanggaranhukum disiplin militer. Kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman
disiplin merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dalam rangka
memelihara tegaknya hukum disiplin militer.
Namun demikian, pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin sebagaimana
diatur dalam penjelasan Pasal 8 huruf b UUHDM-2014 memiliki sifat kontradiktif dengan
pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
85 ke-1 dan 86 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya disebut
KUHPM) sebagai berikut :
Dalam Pasal 85 ke-1 KUHPM, yang dimaksud dengan Ketidakhadiran Tanpa Izin
adalah :
Militer, yang karena salahnya menyebabkan ketidakhadirannya tanpa izin diancam :
ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sembilan bulan, apabila ketidakhadiran itu
dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama dari tiga puluh hari;
Sedangkan yang dimaksud dengan Ketidakhadiran Tanpa Izin dalam ketentuan Pasal
86 ke-1 KUHPM adalah;
Militer, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin diancam :
xvi
ke-1, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun empat bulan,apabila
ketidakhadiran itu dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama dari tiga
puluh hari;
Bahwa adapun yang dimaksud dengan frasa“karena salahnya” dalam penjelasan Pasal
85 ke-1 di atas adalah suatu perbuatan yang dilakukan karena adanya unsur kelalaian atau
kealpaan (culpa), dalam hal mana pelaku telah melakukan suatu bentuk kecerobohan dalam
menggunakan pengetahuannya sehingga mengakibatkan suatu ketidakhadiran tanpa izin.
Unsur kelalaian dalam Pasal 85 ke-1 tersebutmerupakan salah satu unsur yang membedakan
dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 86 ke-1, dimana ketidakhadiran tanpa izin
sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 86 ke-1 dilakukan oleh seorang militer
dengan suatu kesengajaan (dengan maksud), dimana pelaku menyadari atau menghendaki
terjadinya suatu ketidakhadiran tanpa izin.
Kontradiksi pengaturan tindak pidana THTIpada tataran norma telah menimbulkan
dualisme pengaturan mengenai suatu hal yang sama atau ketentuan yang serupa, disatu sisi
tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4 (empat) hari
ditetapkan sebagai salah satu jenis pelanggaran hukum disiplin militer yang dapat diselesaikan
secara internal satuan menurut saluran hukum disiplin militer, namun disisi lain bahwa tindak
pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai dinyatakan secara tegas sebagai tindak
pidana militer yang penyelesaiannya dilakukan berdasarkan mekanisme penyelesaian hukum
acara pidana militer di Pengadilan Militer.
Dalam perspektif ilmu hukum, pengertian kontradiksi lebih ditujukan kepada situasi
pengaturan suatu norma yang sama dalam keadaan yang bertentangan, baik antar pasal yang
terdapat dalam satu aturan perundang-undangan maupun antar aturan perundang-undangan
yang satu dengan yang lainnya. Kontradiksi yang berhubungan dengan pengaturan norma-
xvii
norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan keragu-raguan
dalam pemahamannya, kekacauan dalam penerapannya dan secara keseluruhan telah
mengakibatkan suatu keadaan ketidakpastian hukum.Sebagaimana halnya penegakan hukum
dalam lingkungan peradilan umum, maka dalam hal seorang militer melakukan tindak pidana,
mekanisme penyelesaiannya pun harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa
adanya pembedaan/diskriminasi dengan landasan asas bahwa setiap orang diperlakukan sama
dihadapan hukum.
Keadaan kontradiksi sebagaimana tersebut di atas, tidak ditemukan ketika ketentuan
hukum disiplin militer masih didasarkan pada pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 1997
tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam ketentuan
undang-undang ini, yang dimaksud dengan pelanggaran hukum disiplin dibedakan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Pelanggaran hukum disiplin murni; adalah setiap perbuatan yang bukan
merupakan suatu tindak pidana, tetapi perbuatan tersebut bertentangan dengan
perintah kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak
sesuaidengan tata kehidupan prajurit.
b. Pelanggaran hukum disiplin tidak murni; adalah setiap perbuatan yang
merupakan tindak pidanayang sedemikian ringan sifatnya, sehingga perbuatan
itu dapat diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit.
Adapun yang dimaksud dengan kategori tindak pidana yang sedemikian ringan
sifatnya menurut UU Nomor 26 Tahun 1997 adalah :
1. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan
atau kurungan paling lama6 (enam ) bulan atau denda paling tinggi Rp
6.000.000,00 (enam juta rupiah);
2. Perkara sederhana dan mudah pembuktiannya; dan
3. Tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya
kepentingan Angkatan BersenjataRepublik Indonesia dan/atau kepentingan
umum.
xviii
Dengan mencermati ketentuan di atas, maka dapat diketahui bahwa UU Nomor 26
Tahun 1997 tidak mencantumkan pengaturan mengenai tindak pidana karena ketidakhadiran
tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4 (empat) haridalam memberikan definisi atau
pengertian tentang tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya.
Pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4
(empat) hari dalam UUHDM-2014 merupakan fenomena baru yang memerlukan suatu kajian
khusus untuk menguraikan secara lengkap tentang maksud dan keberadaan tindak pidana
ketidakhadiran tanpa izin dalam UUHDM-2014, yang secara hukum telah menimbulkan
kontradiksi dengan pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam KUHPM.
Penelitian terhadap urgensi permasalahan kontradiksi ini merupakan hal yang penting
untuk dilakukan. Di satu sisi, kontradiksi pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin
dalam hukum disiplin militer dapat dianggap sebagai bentuk perubahan menuju kultur hukum
Indonesia. Namun dalam sisi lain, bahwa kontradiksi pengaturan tindak pidana ketidakhadiran
tanpa izin dalam UUHDM-2014 telah berdampak kontradiktifdengan pengaturan tindak
pidana yang serupa dalam KUHPM. Situasi ini telah menimbulkan suatu keadaan
ketidakpastian hukum,yang pada akhirnyadapat menimbulkan situasi ketidakadilan antar
anggota militer yang berada pada satu kesatuan maupun pada masing-masing kesatuannya.
Berdasarkan permasalahan kontradiksi pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa
ijin dalam uraian latar belakang di atas, selanjutnya akan dilakukan penelitian secara lebih
mendalam dalam suatu karya tulis ilmiah yang berbentuk tesis dengan judul “Kontradiksi
Pengaturan Tindak Pidana Ketidakhadiran Tanpa Izin Dalam Hukum Disiplin Militer dan
Hukum Pidana Militer”.
xix
1.2. Rumusan Masalah.
1. Bagaimanakah konsekuensi hukum yang dihadapi oleh anggota militer atas
terjadinya kontradiksi pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin?
2. Bagaimanakah formulasi kebijakan pengaturan tindak pidana ketidakhadiran
tanpa izin dalam perspektif ius constituendum?
1.3. Ruang Lingkup Masalah.
Untuk menghindari adanya deviasi pembahasan dari pokok permasalahan yang ada
atau menghindari adanya ketidaksesuaian antara permasalahan dengan pembahasan, maka
diperlukan batasan-batasan permasalahan sebagai berikut :
1. Konsekuensi hukum yang dihadapi oleh anggota militer atas terjadinya
kontradiksi pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin.
2. Kebijakan formulasi pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam
waktu damai paling lama 4 hari dalam perspektif ius constituendum.
1.4. Tujuan Penelitian.
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan, selanjutnya dapat
ditentukan tujuan dari penelitian sebagai berikut :
1.4.1. Tujuan Umum.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi ilmu
pengetahuan di bidang hukum militer khususnya tentang tindak pidana Ketidakhadiran
Tanpa Izin dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin
xx
Militer dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa konsekuensi hukum bagi
militer terhadap kontradiksi pengaturan tindak pidana ketidakhadiran
tanpa izin dalam hukum disiplin militer dan hukum pidana militer.
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa formulasi kebijakan
pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam perspektif ius
constituendum.
1.5. Manfaat Hasil Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan asas,
konsep dan teori hukum pada umumnya dan hukum militer pada khususnya guna
mewujudkan tertib hukum di lingkungan militer.
1.5.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembinaan dan
pengembangan hukum militer, khususnya tentang pengaturan dan penegakan hukum
terhadap tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin, sehingga memberikan kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam implementasinya.
1.6. Orisinalitas Penelitian.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Pascasarjana Universitas
Udayana, Universitas lain, dan pencarian melalui internet, maka belum ada satupun penulisan
xxi
yang mengangkat hal yang sama yang pernah ditulis oleh Penulis lain. Adapun penelitian-
penelitian yang pernah ada dan berkaitan dengan hukum militer diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh S. Sarwo Edy dari Universitas Diponegoro
Tahun 1999 tentang Bekerjanya Peradilan Militer (Studi di Lingkungan
Peradilan Militer). Pembahasan Tesis ini difokuskan pada permasalahan faktor-
faktor apakah yang berperan dalam terjadinya proses peradilan militer dan
upaya-upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan penegakan hukum
militer.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Alifah dari Universitas Udayana Tahun
2007 tentang Sistem Peradilan Militer Dengan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tesis ini
menitikberatkan pada pembahasan sistem peradilan militer dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,
dan kompetensi Pengadilan Militer yang akan datang.
3. Penelitian yang dilakukan oleh A.A.A. Oka Putu Dewi Iriani dari Universitas
Udayana Tahun 2007 tentang Wewenang Pengadilan Militer Dalam Mengadili
Prajurit TNI Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia. Titik berat pembahasan Tesis ini adalah
kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili perkara tertentu dan
kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili prajurit TNI yang akan
datang.
xxii
Berdasarkan ketiga contoh tesis di atas dan membandingkan dengan penulisan
penelitian tentang “Kontradiksi Pengaturan Tindak Pidana Ketidakhadiran Tanpa Izin Dalam
Hukum Disiplin Militer danHukum Pidana Militer”, maka Penulis berkeyakinan dan
berkesimpulan bahwa penulisan penelitian ini belum pernah ditulis oleh Penulis lain. Dengan
demikian orisinalitas penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (non plagiat)
sebagai karya dan pemikiran dari Penulis.
1.7. Landasan Teoritis.
Landasan teoritis yang dipergunakan untuk mengkaji permasalahan penelitian dapat
berupa konsep, teori dan asas-asas hukum.
1.7.1. Pengertian Konsep.
Adapun yang dimaksud dengan pengertian konsep dalam pemaknaan yang
singkat adalah rancangan berpikir yang bersifat abstrak.Konsep adalah kata yang
merupakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.4
Menurut Maria SW sebagaimana dikutip oleh Salim, bahwa yang dimaksud
dengan konsep adalah unsur-unsur yang bersifat abstrak yang mewakili kelas-kelas
fenomena dalam satu bidang studi sehingga merupakan penjabaran abstrak dari sebuah
teori.5
1.7.2. Pengertian Teori Hukum.
4Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 47.
5Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 6.
xxiii
Menurut Brugginkyang dimaksud dengan teori hukum adalah suatu
keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan
hukum dan keputusan-keputusan hukum, yang untuk suatu bagian penting dalam
sistem tersebut memperoleh bentuknya dalam hukum positif.6
Menurut Soerjono Soekanto, teori sebenarnya merupakan suatu generalisasi
yang dicapai setelah mengadakan pengujian, dan hasilnya menyangkut fakta yang
sangat luas. Kadang-kadang dikatakan bahwa teori itu sesungguhnya merupakan “an
elaborate hypothesis.” Suatu hukum akan terbentuk, apabila suatu teori telah diuji dan
telah diterima oleh kalangan ilmuwan sebagai sesuatu hal yang benar dalam keadaan-
keadaan tertentu.7
Pengertian teori hukum menurut John D. Finch sebagaimana dikutip oleh
Munir Fuady adalah :“Legal theory involves a study of the characteristic features
essential to law and common to legal systems. One of its object is analysis of the basic
elements of law which make law distinguish it from other forms of rules and standards.
It aim to distinguish law from systems of order which can not be (or are not normally)
described as legal systems, and from other social phenomena. It has not proved
possible to reach a final and dogmatic answer to the question”What is
law?”8(Terjemahan bebas-Pen: Teori hukum merupakan studi yang memiliki
karakteristiktentang hal-hal yang bersifat penting dalam hukum yang terdapat dalam
sistem-sistem hukum. Salah satu objek yang menjadi kajiannya adalah pembahasan
tentang unsur-unsur dasar dari hukum yang menjadikan hukum memiliki
6JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum, Alih bahasa B. Arief Sidharta, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.4.
7Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, h.126-127.
8Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar Dalam Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 1-2.
xxiv
perbedaandengan standar lain di luar hukum, dengan tujuan untuk memperbandingkan
perbedaanantara suatu sistem hukum dan yang bukan sistem hukum. Namun yang
pasti, dalam sejarah perkembangan tentang hukum, tidak terdapat bukti yang
menyatakan bahwa manusia telah berhasil memperoleh jawaban yang dogmatis dan
final terhadap pertanyaan “Apakah hukum itu”).
1.7.3. Pengertian Asas Hukum.
Asas hukum adalah suatu kaidah atau hasil perenungan dan pemikiran hukum
yang memiliki tata ukuran nilai. Tentang pengertian asas hukum, Bruggink mengutip
pendapat Paul Scholten tentang asas hukum sebagai berikut : “Pikiran-pikiran dasar
yang terdapat di dalam sistem hukum masing-masing yang dirumuskan dalam aturan-
aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan bahwa
dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang
sebagai penjabarannya”.9
Adapun konsep, teori dan asas hukum yang akan digunakan dalam penulisan ini
dikemukakan sebagai berikut :
1.7.4. Konsep Negara Hukum.
Dalam upaya untuk memahami persoalan kontradiksi yakni timbulnya konflik
norma dalam peraturan perundang-undangan, maka terlebih dahulu diperlukan
pemahaman secara komprehensif mengenai konsep negara hukum. Dasar pemikiran ini
dilatarbelakangi oleh jiwa dan semangat konsep negara hukum yang mengarahkan dan
menjamin adanya persamaan perlakuan di depan hukum dan jaminan kepastian hukum.
Sifat kontradiktif yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan menyebabkan
9JJ. H. Bruggink, Op.cit, h. 119-120.
xxv
suatu peraturan memiliki penafsiran yang berbeda-beda, yang dalam penerapannya
dapat menimbulkan kekacauan masyarakat karena perbedaan perlakuan dan
ketidakpastian hukum.
Gagasan atau ide negara hukum memiliki keterkaitan dengan adanya konsep
“Rechtsstaat”dalam bahasa Jerman, “Rule of law” dalam bahasa Inggris dan “Etat de
droit” dalam bahasa Perancis, dimana ketiga istilah ini mengandung pengertian yang
identik yaitu kedaulatan atau supremasi hukum atas orang dan pemerintah yang terikat
oleh hukum.10
Dalam konsep negara hukum yang berkembang di Eropa Kontinental antara
lain dipelopori oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl dan Fichte,
menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’, sedangkan dalam tradisi
AngloSaxon, konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengansebutan
“The Rule of Law”.
Menurut Julius Stahlsebagaimana dikutip Gede Atmadja, konsep Negara
Hukum yangdisebutnya dengan istilah “rechtsstaat” mencakup empat unsur penting,
yaitu:
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Negara didasarkan pada trias politika (pemisahan kekuasaan negara atas
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial);
c. Pemerintahan diselenggarakan atas dasar undang-undang (wetmatigheid
van bestuur); dan
d. Ada peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah
(onrechtsmatigoverheidsdaad).11
10I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum
terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23. 11I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan UUD NRI 1945, Setara Press, Malang, h. 158.
xxvi
Sedangkan menurut pandangan A.V. Dicey, konsep “rule of law” dalam negara
hukum ditandai dengan unsur-unsur antara lain :
a. Supremasi hukum;
b. Persamaan dihadapan hukum;
c. Konstitusi merupakan konsekuensi dari keberadaan hak-hak individu
sebagaimana dipertahankan melalui putusan-putusan pengadilan.12
Selanjutnya yang dimaksud dengan Etat de droit merupakan terjemahan secara
harfiah dari Rechsstaatyang mengandung pengertian :
a. The state acts exclusively in a legal manner, it operates by means of
law;
b. The state is subjected to law, the objective pursued is that of framing
and limitting the state by means of law.13
(Terjemahan bebas-Pen: a. Negara bertindak berdasarkan atas hukum dengan
melaksanakan peraturan perundang-undangan, b. Negara merupakan subjek hukum
yang berada dalam bingkai aturan dan batas-batas hukum yang diatur oleh perundang-
undangan).
Konsep negara hukum juga turut mengilhami gagasan negara hukum di
Indonesia yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 sejak awal kemerdekaan, yang
selanjutnya diatur secara berturut-turut dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”, dan selanjutnya dalam ketentuan ayat (3) yang
menyatakan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Kedua pasal tersebut
memiliki keterkaitan yang erat dan mendeskripsikan Indonesia sebagai penganut
12I Dewa Gede Palguna, 2013, Op Cit, h. 88.
13I Dewa Gede Palguna, 2013, Op Cit, h. 85-86.
xxvii
konsep negara hukum demokrasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Russel F. Moore
yang dikutip oleh Siahaan bahwa “Negara yang menganut sistem negara hukum dan
teori kedaulatan rakyat dalam konsep pemerintahannya menggunakan konstitusi”.14
Menurut Mukti Fajar sebagaimana dikutip oleh Jazim Hamidi dan Malik,
konstitusionalisme adalah sebuah paham yang meliputi kedaulatan rakyat, negara
hukum, pembatasan kekuasaan, perlindungan dan jaminan hak asasi manusia dan
pluralisme.15
Dalam merumuskan pengertian negara hukum, selanjutnya Munir Fuady
menyatakan bahwa :“Negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur
berdasarkan hukum yang berlaku dan berkeadilan yang disusun dalam suatu konstitusi, dimana
semua orang dalam Negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah,
harus tunduk pada ketentuan hukum yang sama, sehingga setiap orang harus diperlakukan
sama dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional,
tanpa memandang pembedaan warna kulit, ras, gender, agama, dan daerah, dimana
kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan,
sehingga pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan tidak dapat
melanggar hak-hak rakyat, karenakepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan
peranannya secara demokratis.”16
Dalam paham Negara hukum, berlaku tiga prinsip dasar, yaitu:
14Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD NRI
1945, Konstitusi Pers, Jakarta, h. 26.
15Jazim Hamidi dan Malik, 2009, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,
h. 14.
16Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT Refika Aditama, Bandung,
(selanjutnya disebut Munir Fuady II), h. 3.
xxviii
1. Supermasi hukum (supremacy of law),
2. Kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan
3. Penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due
process of law).17
Menurut Scheltema sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, unsur-unsur dan
asas-asas negara hukum diantaranya adalah:
1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia.
2. Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwakepastian hukum
terwujud dalamlapangan kehidupan masyarakat. Hukum bertujuan
untuk mewujudkankepastian hukum. Asas yang terkait dengan asas
kepastian hukum diantaranya adalah asas legalitas, konstitusionalitas,
dan supremasi hukum;
3. Berlakunya similia similius atau equality before the law. Dalam negara
hukum, terkandung :
a. Adanya jaminan persamaan bagi setiaporang di hadapan hukum
dan pemerintahan, dan
b. Tersedianya mekanisme hukum untukmenuntut perlakuan yang
sama bagi semua warga negara.18
Terkait dengan unsur-unsur dan asas-asas negara hukum, menurut Jimly
Asshiddiqie ada 12 (dua belas) prinsip yang menjadi pilar utama penyangga negara
hukum, yaitu :
a. Supremasi hukum;
b. Persamaan dalam hukum;
c. Asas legalitas;
d. Pembatasan kekuasaan;
e. Organ pendukung yang bebas dan independen;
f. Peradilan bebas dan tidak memihak;
g. PTUN;
h. Mahkamah Konstitusi;
i. Perlindungan HAM;
17 A.M. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, hal. 48.
18http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/KonsepNegaraHukumIndonesia, Diakses tanggal 2
Agustus 2016.
xxix
j. Prinsip demokrasi;
k. Mewujudkan tujuan bernegara;
l. Transparansi dan kontrol sosial.19
Berdasarkan uraian di atas, maka konsep negara hukum memiliki relevansi
dalam penelitian ini untuk memberikan arah dan pemahaman dan sekaligus sebagai
landasan untuk menyelesaikan permasalahan kontradiksi norma hukum, bahwa
keberadaan negara untuk mengatur masyarakat harus dapat memberikan jaminan
perlindungan hak-hak asasi manusia, jaminan persamaan perlakuan di depan hukum,
tidak bersifat kontradiktif dan memberikan suatu jaminan kepastian hukum.Dengan
demikian,maka seluruh implementasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara harus dapat mewujudkan persyaratan dan prinsip-prinsip yang terdapat
dalam suatu negara hukum.
1.7.5. Teori Kepastian Hukum.
Kepastian hukum merupakan salah satu syaratyang utama untuk mewujudkan
terlaksananya supremasi hukum di dalam suatu negara hukum. Pengertian kepastian
hukum tidak hanya terbataspada keberadaan kaidah hukum atau peraturan perundang-
undangan, namunpada hakekatnya bahwa kepastian hukum mencakup juga kepastian
tentang proses, penerapan dan eksekusinya. Dengan adanya kepastian hukum pula,
maka setiap orang dapat memperkirakan akibat hukum yang akan dialami jika
melakukan sebuah tindakan hukum tertentu. Kepastian hukum menghendaki adanya
konsistensi yang sistematis dalam perumusan suatu peraturan perundang-undangan,
antar peraturan perundangan-undangan maupun antar pasal-pasal yang terdapat
didalamnya, sehingga tidak menimbulkan adanya kontradiksi dan tumpang tindih
19Jimly Asshiddiqie, 2008, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Setjen dan Kepaniteraan MK RI,
Jakarta, h.49-52.
xxx
norma (konflik norma), tidak menimbulkan pemahaman yang bersifat ambigu sehingga
dapat ditafsirkan secara berbeda-beda (norma kabur) dan tidak diaturnya suatu
peristiwa hukum tertentu dalam suatu perundang-undangan (norma kosong).
Kepastian hukum dalam perspektif normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur hal-hal yang bersifat jelas dan
logis. Jelas dalam arti bahwa pengaturan tersebut tidak menimbulkan keragu-raguan
dan logis dalam arti bahwapengaturan suatu peristiwa hukum menjadi suatu sistem
norma tidak berbenturan dengan norma lain atau tidak menimbulkan suatu konflik
norma. Tanpa kepastian hukum, setiap orang tidak akan mengetahui apa yang harus
diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuatnya, yang pada akhirnya akan dapat
menimbulkan kekacauan dan keresahan masyarakat. Tanpa nilaikepastian hukum,
maka hukum akan sangat sulit atau bahkan tidak dapat digunakansebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang. Kepastian hukum dapat menjamin seseorang melakukan
perilakusesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa adakepastian
hukum maka seseorang tidak memiliki pedoman dalam menjalankan perilakunya.
Berkaitan dengan keberadaan kepastian hukum, Gustav Radbruch
menyatakan“Justice, expediency, legal certainty, that is a concept related to value, we
were pressed on the value of the law, the idea of the law”20
Menurut Radbruch sebagaimana dikutip Ali, bahwa tiga ide dasar hukum yang
juga identik dengan tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.21Namun dalam kenyataannya, ketiga tujuan tersebut akan sulit terlaksana
20Gustav Radbruch, 1950, The Legal Philosophy, Translated by Kurt Wilk,Harvard University Press,
Cambridge Massachusetts, USA, h. 107.
21Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interpretrasi Undang-
Undang, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 288.
xxxi
secara bersama-sama ke dalam wujud kasus yang kongkret, karena timbulnya suatu
kontradiksi atau benturan antara kepastian hukum pada satu sisi dan antara keadilan
dengan kemanfaatan pada sisi lainnya. Terkait dengan hal ini maka dapat digunakan
skala prioritas secara berurutan yaitu : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Selanjutnya Gustav Rabruch mengemukakan tentang 4 (empat) hal mendasar
yangberhubungan dengan makna kepastian hukum sebagaimana dikutip oleh Achmad
Ali, yaitu :
1. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah
perundang-undangan (gesetzliches Recht).
2. Bahwa hukum itu didasarkan pada suatu fakta (Tatsachen).
3. Bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelassehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping itumudah untuk
dilaksanakan.
4. Hukum positif tidak boleh sering diubah-ubah.22
Kepastian hukum merupakan sarana yang menjamin bahwa hukum dapat
dijalankan. Meskipun kepastian hukum memiliki relevansi erat dengan keadilan,
namun hukum bukanlah keadilan. Hukummemiliki sifat yang umum, bersifat
menyamaratakan,sedangkan keadilan lebih bersifat subyektif, individualistis, dan
tidakmenyamaratakan. Dalam memahami nilai kepastianhukum, maka yang harus
benar-benar diperhatikan adalah bahwa nilai kepastianhukum menghendaki adanya
upaya pengaturan hukum dalamperundang-undangan, sehingga aturan-aturan itu
memiliki nilai yuridis yangdapat menjamin ketaatan masyarakat terhadap hukum.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto
sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu
mensyaratkan sebagai berikut:
22Achmad Ali, Op Cit, h. 293.
xxxii
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang dikeluarkan oleh kekuasaan negara;
2. Bahwa instansi-instansi penguasa menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten dan juga tunduk patuh kepadanya;
3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan norma dan
karena itu perilaku mereka menyesuaikan terhadap aturan-aturan
tersebut;
4. Bahwa peradilan yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-
aturan hukum tersebut secara konsisten pada waktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dapat untukdilaksanakan.23
Kelima syarat yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kepastian hukum
dapat dicapai jika terdapat kepatuhan dan ketaatan dari semua komponen dari suatu
negara tanpa terkecuali. Kepastian hukum dalam tataran ini disebut dengan kepastian
hukum yang sebenarnya (realistic legal certainty), yaitu kepastian hukum yang
mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam memahami,
mematuhi, mentaati dan melaksanakan aturan hukum secara benar dan konsekuen.
Selanjutnya Lon Fuller dalam sebuah buku The Morality of Law
mengemukakan tentang 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, apabila asas
tersebut tidak dipenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, yaitu :
“(1) Laws must be general, specifying rules prohibiting or permitting behavior of
certain kinds. (2) Laws must also be widely promulgated, or publicly accessible.
Publicity of laws ensures citizens know what the law requires. (3) Laws should be
prospective, specifying how individuals ought to be have in the future rather than
prohibiting behavior that occurred in the past. (4) Laws must be clear. Citizens should
be able to identify what the laws prohibit, permit, or require.(5) Laws must be non-
contradictory. (6) One law cannot prohibit what another law permits. Laws must not
ask the impossible. (7) Nor should laws change frequently; the demands laws make on
citizens should remain relatively constant. (8) Finally, there should be congruence
between what written statute declare and how officials enforce those statutes.”24
Kedelapan asas tersebut dengan memberi arti secara bebas adalah :
23 Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama,
Bandung, h. 85.
24 Lon Fuller, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press), h. 39.
xxxiii
1. Peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh diberlakukan secara
individual;
2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan hal
tertentu dan diumumkan kepada publik;
3. Publikasi hukum menjamin warga mengetahui tentang hal-hal yang
dipersyaratkan oleh hukum;
4. Hukum tidak boleh berlaku surut. Peraturan hukum harus jelas dengan
rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif;
6. Hukum harus menjangkau kesanggupan warga negara untuk
memenuhinya;
7. Hukum tidak boleh sering diubah-ubah,apa yang diminta oleh undang-
undang terhadap warga harus bersifat relatif konstan;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan hukum yang ditetapkan
denganpenegakannya.
Terkait dengan makna kepastian hukum di atas, menurut Van Kan sebagaimana
dikutip oleh Fernando M. Manullang, bahwa kepastian hukum adalah perangkat
hukum suatu negara yang mampumenjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.
Kepastian hukum tersebutdibedakan dalam dua macam yaitu:
1) Kepastian oleh karena hukum, yaituhukum menjamin kepastian antara
pihak yang satu terhadap pihak yanglainnya, artinya adanya konsistensi
penerapan hukum kepada semua orangsecara sama dan tanpa pandang bulu;
2) Kepastian dalam atau dari hukum, artinyakepastian hukum tercapai jika
hukum itu sebanyak-banyaknya undang-undang,tidak ada ketentuan yang
bertentangan (undang-undang berdasarkansistem logis dan pasti), dibuat
berdasarkan kenyataan hukum(rechtswerkelijkheid) dan di dalamnya tidak ada
istilah yang dapat ditafsirkansecara berlain-lainan.25
Berdasarkan uraian di atas, maka sangat beralasan bagi Penulis unuk
menggunakan teori kepastian hukum dalam rangka meletakkan dasar pemikiran dan
pemahaman bahwa keberadaan hukum haruslah menjadi suatu aturan yang memiliki
kejelasan, bersifat pasti, tidak menimbulkan penafsiran ganda/multitafsir, tidak bersifat
25E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 92.
xxxiv
kontradiktif, sehingga dapat dilaksanakan dan diterapkan sebagaimana mestinya.
Dalam kaitan itu, maka teori kepastian hukum berfungsi pula sebagai pedoman untuk
mengurai permasalahan kontradiksi norma yang mengakibatkan adanya konsekuensi
hukum yang berbeda bagi Militer yang melakukan tindak pidana ketidakhadiran tanpa
izin.
1.7.6. Teori Penjenjangan/Hierarki Norma.
Norma adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengatur bagaimana seseorang
berperilaku.Dalam melakukan penjelajahan terhadap keberadaan norma hukum sebagai
tata tertib normatif, Hans Kelsen dalam teori hukum murni menyatakan bahwa suatu
norma absah karena, dan bila, ia diciptakan dengan cara tertentu, yakni dengan cara
yang ditentukan oleh norma lain, yang dengan demikian norma yang lain itu
merupakan alasan antara untuk keabsahan norma baru. Hubungan antara norma yang
mengatur penciptaan norma lain dan norma yang diciptakan sesuai dengan norma yang
pertama bisa dikemukakan secara kiasan sebagai hubungan antara superordinasi dan
subordinasi. Norma yang mengatur penciptaan norma lain berkedudukan lebih tinggi,
norma yang diciptakan sesuai dengan norma yang disebut pertama itu berkedudukan
lebih rendah. Tatanan hukum bukanlah sebuah sistem norma terkoordinir yang
berkedudukan sama, melainkan sebuah hierarki norma hukum dengan berbagai
jenjang.26 Dalam pandangan ini, maka sepatutnya norma hukum harus selalu
mendasarkan pada norma yang lebih tinggi dan seterusnya, sampai pada norma yang
paling tinggi yang disebut sebagai norma dasar atau grundnorm.Terkait hal ini, Kelsen
menyatakan bahwa norma dasar ini merupakan alasan tertinggi bagi keabsahan norma,
26Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni, Terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung,
h.244.
xxxv
norma yang satu diciptakan sesuai dengan yang lain, dan dengan demikian
terbentuklah sebuah tatanan hukum dalam struktur hierarkisnya.27
Struktur hierarkis merupakan sistem anak tangga dengan kaidah yang
berjenjang, dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma
hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (konstitusi) harus
berpedoman pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Norma yang
menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat
adalah inferior. Pembuatan normayang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi
menjadi alasan validitas bagi keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.
Seperti yang diungkapkan oleh Kelsen, yaitu :“The unity of these norms is constituted
by the fact that the creation of the norm–the lower one-is determined by another-the
higher-the creation of which of determined by a still higher norm, and that this
regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason
of validity of the whole legal order, constitutes its unity.”28
Selanjutnya Kelsen menjelaskan bahwa hukum adalah tata aturan (order)
sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian
hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan
(rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.
Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan
satu aturan saja.29
27Ibid.
28Hans Kelsen, 2009, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Harvard
University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA, (Selanjutnya disebut Hans Kelsen II), h. 124.
29Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Setjen dan
Kepaniteraan MK RI, Jakarta, h.13.
xxxvi
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori hierarki tersebut adalah murid
Hans Kelsen, yakni Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von
stufenufbau der rechtsordnung, dimana susunan norma menurut teori ini adalah:
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz);
3. Undang-Undang formal (Formell Gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En
Autonome Satzung). 30
Staatsfundamentalnorm adalah suatu bentuk norma yang menjadi dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu
negara. Staatsfundamentalnorm terlebih dahuluada dari adanya konstitusi suatu
negara.31
Terkait dengan pembentukan norma hukum, menurut Bagir Manan
sebagaimana dikutip oleh Yuliandri, ada tiga landasan yang dapat digunakan guna
menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas, yakni;
a. landasan filosofis,
b. landasan sosiologis, dan
c. landasan yuridis.32
Ketiga landasan ini menjadi penting agar peraturan yang dibentuk menjadi
efektif, sehingga dapat diterima secara wajar dan luas serta berlaku untuk jangka waktu
yang panjang. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan
30A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Setneg RI, Jakarta, h. 287.
31Ibid.
32Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik (Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Rajawali Pers, Jakarta, h. 25.
xxxvii
yang mampu memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat
serta dapat memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat.33
Di samping itu, ketentuan mengenai materi muatan peraturan perundangan-
undangan haruslah mencerminkan asas-asas yang sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni:
a) pengayoman; b) kemanusiaan;c) kebangsaan; d) kekeluargaan; e)
kenusantaraan; f) bhinneka tunggal ika; g) keadilan; h) kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan; i) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau, j)
keseimbangan,keserasian,dankeselarasan.
Berdasarkan uraian diatas, maka teori penjenjangan norma memiliki relevansi
dan dapat digunakan sebagai pisau analisis yang memberikan tuntunan dan
pemahaman untuk menyelesaikan permasalahan pertama dalam penelitian ini yang
berkaitan dengan pengetahuan bahwa keberadaan norma hukum dengan norma hukum
lainnya bersifat linier, memiliki kedudukan berjenjang sampai kepada derajat yang
tertinggi, memiliki sifat keteraturan dan derajat keharmonisan, serta tidak saling
bertentangan baik secara vertikal maupun horisontal. Dalam kaitan ini, maka
penegakan hukum terhadap tindak pidana THTI yang dilakukan oleh militer dapat
diselesaikan menurut suatu ketentuan hukum yang pasti, sehingga karenanya tidak
menimbulkan adanya konsekuensi hukum yang berbeda-beda.
1.7.7. Teori Kebijakan Hukum Pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief istilah “kebijakan hukum pidana” dapat
puladisebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing,
33Ibid, h. 29.
xxxviii
istilah“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara
lain“penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.34
Lebih lanjut Barda Nawawi mengemukakan bahwa pengertian kebijakan atau
politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.35
Pengertian kebijakan hukum pidana dari perspektif politik hukum menurut
Barda Nawawi Arief adalah :“Sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum
pidanamengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan
suatuperundang-undangan pidana yang baik”.36
Mengenai kebijakan hukum pidana jika dilihat dari sudut politik kriminal,
Barda Nawawi Arief mengemukakan :“Dilihat dari sudutpolitik kriminal, maka politik
hukum pidana identik dengan pengertiankebijakan penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana”.37
Menurut A. Mulder sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi bahwa yang
dimaksud kebijakan hukum pidana dengan istilah “Strafrechtspolitiek” adalah:
Garis kebijakan untuk menentukan:
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
diubahatau diperbaharui;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.38
Definisi kebijakan hukum pidana menurut Marc Ancel yang menggunakan
istilah Penal Policyadalah : “Penal policy, both, a science and art, of which
34Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
24.
35Ibid.
36Ibid, h. 25.
37Ibid, h. 26. 38Ibid.
xxxix
thepractical purpose, ultimately, are to enable the legislator who hasto draft criminal
statutes, but the court by which they are applieand the prison administration which
gives practical effect to thecourt’s decision”.39(Terjemahan bebas-Pen: Penal policy
adalah suatu ilmusekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis agar
peraturan hukum positifdapat dirumuskan secara lebihbaik, dan untuk memberi
pedoman, tidak hanya kepada pembuatundang-undang,tetapi juga kepada pengadilan
yang menerapkanundang-undang dan para pelaksana putusan pengadilan).
Berdasarkan pendapat Marc Ancel di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebijakanhukum pidanatidak hanya sekedar mendiskusikan bagaimana cara membuat
peraturan perundang-undangan yang baik,melainkan juga melakukan hal-hal yang
penting agarlembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk menerapkan dan
melaksanakan hukum (putusan pengadilan) dapat bekerja secara baik dan maksimal
berdasarkan landasan prinsip-prinsip etika dan moral.
Mempelajari kebijakan hukum pidana pada dasarnya mempelajari
masalahbagaimana sebaiknya hukum pidana itu dibuat, disusun, dan digunakan
untukmengatur/mengendalikan tingkah laku manusia, khususnya untuk
menanggulangikejahatan dalam rangka melindungi dan mensejahterakan
masyarakat.40
Sedangkan menurut Muladi, bahwa semakin kompeksnya permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan,
maka perlu diimbangi dengan pembenahan dan pembangunan sistem hukum pidana
39Marc Ancel, 1965, Social Defense, A Modern Approach to Criminal Problems, Roudledge & Paul
Keagen, London, h. 99.
40Barda Nawawi Arief, 2005,Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h.125.
xl
secara menyeluruh, yang meliputi pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum
pidana. Jelaslah bahwa kebijakan hukum pidana (Penal Policy) menduduki posisi yang
sangat strategis dalam pengembangan hukum pidana modern.41
Berdasarkan uraian diatas, maka teori kebijakan hukum pidana diperlukan
sebagai landasan untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini yang berkaitan
dengan kepentingan adanya suatu kebijakan formulasipengaturan tindak pidana
ketidakhadiran tanpa izin dalam perspektif ius constituendum.
1.7.8. Asas Preferensi.
Kemutakhiran hubungan antar manusia saat ini telah sampai pada tahapan
untuk diatur berdasarkan hukum-hukum yang bersifat modern. Ciri-ciri hukum yang
modern adalah adanya norma-norma hukum yang tertulis, rasional, terencana,
universal dan responsif dalam mengadaptasi perkembangan kehidupan kemasyarakatan
dan dapat menjamin suatu kepastian hukum.42
Namun demikian, dalam mengidentifikasi peraturan-peraturan hukum nasional
yang berlaku pada saat ini, tidak jarang ditemukan adanya suatu keadaan aturan hukum
yaitu; kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum
(antinomi) dan norma yang kabur (vage normen) atau norma yang tidak
jelas.43Kelsenjuga mengatakan “bahwa tidak dipungkiri jikasebuah organ hukum
dapat menciptakan norma-norma yang saling bertentangan. Namun berdasarkan
prinsip peniadaan kontradiksi, bisa diterapkan pada penegasan tertentu terhadap yang
41Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, TheHabibie
Center, Jakarta, h. 256.
42I Gede Pantja Astawa dan Supri Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di
Indonesia, Alumni, Bandung, h.1.
43Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, h.89.
xli
bisa benar dan bisa salah;jika kontradiksi logis dijumpai diantara dua penegasan, maka
hanya salah satu penegasan yang benar, jika demikian, maka apabila yang satu benar,
yang lain mestinya adalah salah. Namun sebuah norma tidak bisa dikatakan benar atau
salah, tetapi absah atau tidak absah.”44
Secara khusus, untuk menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi
hukum), maka dapatlah diberlakukan asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi),
sebagai berikut :
a. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah;
b. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan perundang-undangan yang
khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang
khususlah yang harus didahulukan;
c. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan perundang-undangan yang
baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.45
Berkaitan dengan asas preferensi tersebut, Maria Farida menjelaskan dalam
bukunya:Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya, bahwa
suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang
44Hans Kelsen, Op Cit, h. 229-230.
45Sudikno Mertokusumo, 2004, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta (Selanjutnya
disebut Sudikno Mertokusumo II), h.85.
xlii
lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.46
Menurut Maria Farida, jika materi dalam peraturan perundang-undangan baru
menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi/isi dalam peraturan
perundang-undangan lama, maka di dalam peraturan perundang-undangan baru
haruslah secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau pencabutan sebagian
peraturan perundang-undangan yang lama. Demi kepastian hukum, pencabutan
peraturan perundang-undangan hendaknya tidak dirumuskan secara umum, tetapi
menyebutkan dengan tegas dan jelaspada bagian mana dari peraturan perundang-
undangan yang dicabut.47
Maria Farida jugamengatakan bahwa pencabutan peraturan perundang-
undangan harus disertai pula dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan
pelaksanaan, peraturan yang lebih rendah, atau keputusan yang telah dikeluarkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dicabut.48
Menurut Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh Ni’matul Huda, ajaran
tentang tata urutan perundang-undangan mengandung prinsip diantaranya:
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan sebagai landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah.
2. Suatu peraturan perundang-undangan hanya mampu dicabut atau diganti
atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau yang sederajat.
3. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur meteri
yang sama, maka peraturan yang terbaru harus diberlakukan, walaupun
46Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya,
Kanisius, Yogyakarta, h. 138.
47Ibid, h. 133.
48Ibid, h. 134.
xliii
tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu
dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus
harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih
umum.49
Berdasarkan uraian di atas, maka asas preferensi khususnya Lex posteriori
derogat legi priori, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian
mengesampingkan perundang-undangan yang terdahulu dan asasLex specialis derogat
legi generali, yaitu peraturan perundang-undangan yang khusus akan
mengesampingkan peraturan yang bersifat umum dapat digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan kontradiksi yang berkaitan dengan kepentingan adanya
suatu kebijakan formulasipengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam
perspektif ius constituendumdalam penelitian ini.
1.8. Metode Penelitian.
Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan
mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian
hukum normatif. Secara khusus, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
Peter Mahmud Marzuki mengemukakan pengertian penelitian hukum sebagaisuatu
49Ni’matul Huda, 2006, Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan, Jurnal Hukum, Edisi No. 1 Vol. 13, h. 33.
xliv
proses untuk menemukan aturan-aturan hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.50
Menurut I.B. Wyasa Putra, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang menggunakan pendekatan ilmu hukum murni.51
Sedangkan menurut Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, yang dimaksud
penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai
sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah
dari peraturan perundang-undangan, perjanjian serta doktrin (ajaran).52
1.8.2. Jenis Pendekatan
Bahwa jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian terhadap kontradiksi
pengaturan tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin dalam hukum disiplin militer dan
hukum pidana militer adalah:
a. Pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan sejarah dapat dibagi ke
dalam dua bagian; Pertama, mengenai sejarah hukum yang berkenaan dengan
adanya perubahan dan perkembangan aturan hukum secara luas dari rentang
waktu ke waktu. Kedua, sejarah perundang-undangan, dimana hal ini berkaitan
dengan proses pembentukan perundang-undangan sampai dengan tahap
pengundangannya. Berdasarkan kedua pendekatan ini, Penulis lebih
menggunakan pendekatan sejarah perundang-undangan.
50Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 35.
51I.B. Wyasa Putra, 2015, Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum, Udayana University Press, Denpasar, h.
193-194.
52Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34.
xlv
b. Pendekatan analisis dan konsep hukum (analitical and conseptual approach).
Jenis pendekatan analisis dan konseptual digunakan untuk menganalisa
permasalahan dengan menggunakan konsep-konsep hukum dan pandangan para
ilmuwan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian ini. Dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,
peneliti akan menemukan ide-ide baru yang melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi.53
c. Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-
undangan merupakan cara menganalisa yang didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di lingkungan kemiliteran, diantaranya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer serta Peraturan lain yang terkait.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum.
Bahan hukum yang dikaji dan yang dianalisis dalam penelitian hukum
normatif, terdiri dari :
1. Bahan hukum primer.
2. Bahan hukum sekunder.
3. Bahan hukum tersier.54
Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari
beberapa sumber, diantaranya :
53Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, h. 93.
54Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.13.
xlvi
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan
hukum mengikat seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014
tentang Hukum Disiplin Militer dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer serta Peraturan lain yang terkait.
2. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari buku-buku hukum, berbagai
literatur hukum, artikel ilmiah, jurnal hukum dan karya tulis hukum
yang dimuat dalam media cetak maupun elektronik yang relevan dengan
permasalahan penelitian.
3. Bahan Hukum Tersier adalah kamus hukum dan ensiklopedia yang juga
relevan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Maureen F.
Fitzgerald mengemukakan bahwa “legal dictionaries define legal terms
and common words with special legal meaning”55 (kamus hukum
mendefinisikan istilah hukum dan kata-kata umum dengan arti hukum
khusus).
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Tehnik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
:
1. Studi Kepustakaan. Studi dokumen atau kepustakaan adalah suatu
kegiatan untuk mengumpulkan dan memeriksa atau
55Maureen F. Fitzgerald, 2007, Legal Problem Solving : Reasoning, Research, and Writing, LexisNexis,
Canada, h. 111.
xlvii
menelusuridokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.56
2. Sistem kartu (card system). Sistem kartu adalah teknik pengumpulan
bahan hukum yang dilakukan melalui pencatatan terhadap hal-hal yang
dianggap penting dalam suatu penelitian. Soerjono Soekanto
menyatakan bahwa hal-hal yang dianggap penting perlu dicatat.
Catatan-catatan itu dibuat pada kartu tertentu dan dengan cara tertentu,
yang akan memudahkan penulis untuk menelusuri kembali data-
datayang telah diperolehnya.57 Sistem kartu yang digunakan dalam
penulisan ini untuk mencatat atau mengutip sumber bahan hukum yang
digunakan, diantaranyameliputi nama penulis, judul buku, tahun terbit,
penerbit, halaman dan lain sebagainya.
1.8.5. Teknik Analisis
Analisis merupakan bagian yang sangat penting untuk mengantarkan
pemecahan masalah. Penulisan ini diuraikan melalui beberapa teknik diantaranya
sebagai berikut:
1. Teknik Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju, syah atau tidak syah oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma hukum yang tertera
dalam bahan hukum.
2. Teknik Argumentasi. Teknik ini tidak dapat dilepaskan dari teknik
evaluasi, karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan tertentu
56Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.101.
57Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op Cit, h.5.
xlviii
yang bersifat penalaran hukum. Kualitas dan kuantitas argumen dapat
menunjukkan kedalaman suatu penalaran hukum.
top related