Tokoh-Tokoh Penyebar Agama Islam Di Indonesia
Post on 15-Nov-2015
140 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
TOKOH-TOKOH YANG MENYEBARKAN
AGAMA ISLAM DI INDONESIA
DITUJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA PELAJARAN
SEJARAH
Disusun Oleh :
1. Alifia Lulu Salsabilla
2. Hapsah Aulia Azzahra
3. Siti Nurqoriah Habibah
4. Yusgiani Putri Habibah
Kelas : X MIA 1
SMA NEGERI 1 MAJALENGKA
Jl. K.H. Abdul Halim No. 113 Telp. (0233) 281220 Majalengka 45418
2014/2015
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kepada yang Maha Kuasa, karena dengan
karunianya kami dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi yang bertajuk Tokoh-Tokoh
yang Menyebarkan Agama Islam di Indonesia ini dengan baik.
Adapun laporan hasil diskusi tentang Tokoh-Tokoh yang Menyebarkan Agama Islam di
Indonesia ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan ini. Untuk itu kami tidak
lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan laporan ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari laporan hasil diskusi tentang Tokoh-
Tokoh yang Menyebarkan Agama Islam di Indonesia ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya.
Majalengka, Maret 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
3. Tujuan ......................................................................................................................... 2
4. Manfaat ....................................................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................................... 3
1. Penyebaran Islam di Jawa ............................................................................................ 3
2. Penyebaran Islam di Sumatra ..................................................................................... 19
3. Penyebaran Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku ............................................ 21
BAB III : PENUTUPAN ................................................................................................... 23
1. Kesimpulan ................................................................................................................ 23
2. Saran ......................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 24
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Islam adalah salah satu agama yang memiliki penganut terbesar di dunia. Selain itu,
penganutnya juga terus-menerus mengalami peningkatan dan perkembangan yang sangat
signifikan setiap tahunnya. Perkembangan tersebut terjadi di seluruh dunia, tanpa terikat oleh
geografis, etnis, kasta dan lain sebagainya. Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad Saw dari golongan kaum Quraisy. Padahal, agama-agama sebelumnya banyak
diturunkan kepada bangsa Israil, bukan kaum Quraisy yang tidak memiliki akar sejarah yang
kuat ketimbang bangsa Israil. Respon masyarakat terhadap agama Islam sangat menakjubkan
sekali. Sebab Islam yang tergolong agama baru dibandingkan agama lainnya, bisa mendapat
respon positif dari masyarakt yang mengitarinya, bahkan memiliki penganut yang besar
hingga saat ini.
Negara Indonesia merupakana negara yang memiliki penganut Islam terbesar di jagad
raya ini. Dalam sejarahnya, Islam pertama kali turun dan berkembang di Jazirah Arab, bukan
di Indonesia. Lantas, mengapa yang memiliki penganut Islam terbesar di dunia adalah bangsa
Indonesia? Tidakkah terlalu jauh antara Arab-Indonesia? Kenapa tidak Negara tetangganya
saja yang memiliki mayoritas penganut agama Islam, misalnya Tajikistan, Palestina, Turki,
Uzbekistan, dan lain-lain? Dan bagaimana perkembangan Islam pada awal masuknya ke
Nusantara?
Ketika Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme,
dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa Indonesia. Bahkan
dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu
dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara di Jawa
Barat, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang ke wilayah-
wilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang dengan membawa prinsip-
prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada kasta), menghilangkan perbudakan
dan yang paling penting juga adalah masuk kedalam Islam sangat mudah hanya dengan
membaca dua kalimah syahadat dan tidak ada paksaan.
Menurut kesimpulan seminar masuknya Islam di Indonesia pada tanggal 17 s.d 20
Maret 1963 di Medan, Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada
abad ke-7 M. Menurut sumber lain menyebutkan bahwa Islam sudah mulai ekspedisinya ke
Nusantara pada masa Khulafaur Rasyidin (masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), disebarkan langsung dari Madinah.
Pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang Islam dari Arab, Persia,
dan India. Mereka telah ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini
konsekuensi logisnya menimbulkan jalinan hubungan dagang antara masyarakat Indonesia
dan para pedagang Islam. Di samping berdagang, sebagai seorang muslim juga mempunyai
kewajiban berdakwah maka para pedagang Islam juga menyampaikan dan mengajarkan
agama dan kebudayaan Islam kepada orang lain. Dengan cara tersebut, banyak pedagang
Indonesia memeluk agama Islam dan mereka pun menyebarkan agama Islam dan budaya
Islam yang baru dianutnya kepada orang lain. Dengan demikian, secara bertahap agama dan
budaya Islam tersebar dari pedagang Arab, Persia, India kepada bangsa Indonesia.
Proses penyebaran Islam melalui perdagangan sangat menguntungkan dan lebih efektif
dibandingkan dengan cara lainnya.
2. Rumusan Masalah
a. Siapa sajakah Tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia ?
3. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran islam di Indonesia.
4. Manfaat Penulisan
Melalui laporan ini kami berharap agar makalah ini dapat menambah ilmu dan wawasan
para pembaca mengenai tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pernyebaran Islam di Jawa
"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan.
Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan
Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel.
Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan
sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus
murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana
Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di
tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-
Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk
peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa
itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri
dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan
Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa
hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan
mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya
terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
"sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam.
Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan
Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga
Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat
dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Berikut adalah biografi para walisongo :
1. Sunan Gresik
Agama Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang
kemudian dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
adalah sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau
Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang
dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa
Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik
Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan
Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal
keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-
Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada
paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan
perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal,
Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin,
dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para
Mahomedans lainnya di Desa Leran di Janggala.
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan
J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan,
Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya
dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali
Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Jafar ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib,
Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah,
Alwi ats-Tsani, Ali Khali Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul
Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar
al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Penyebaran Agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para
Walisongo lainnya.
Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah
yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan
Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam
di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi
bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan
hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat
keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan
Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja
dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai
pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan
kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam
tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota
Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat
tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada
saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk
dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan
menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren
yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini
makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama
Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai
berkunjung untuk berziarah.
Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, sesuai
tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran,
mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur
harisah.
Legenda Rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.
Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana
Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama
terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil
Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah;
Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam
Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai
negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang
memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau
Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa
dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek
Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan
berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah
dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib,
diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa.
Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun
1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik,
Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya
dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari
tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan
Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan
nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat
dekat Surabaya.
Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan
Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan
Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa
adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam
wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu
bukan yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di
Aceh.
Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana
Maghribi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi
Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja
Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi Karimah dan Dewi
Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak yaitu:
Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak
Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri.
Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak,
yaitu: Siti Syareat, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau
Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan
Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.
Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan
mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal
mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang
tinggi terhadap masalah-masalah.
3. Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,
yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan
Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas,
Gresik.
Silsilah
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri.
Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang
datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu
putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan
Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan
Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin,
Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi,
Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani,
Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad
Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin
Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur,
dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari
Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan
pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan
berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi
Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke
Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede
Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar
agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel
mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel
mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di
Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di
sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan
alasan mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah dan Kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden
'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah
perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak
itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama
Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan
dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir
dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana
dan Pucung.
4. Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya
adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama
Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup
dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia
berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan
Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer
timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai
imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana
ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau
Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di
sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan
Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin,
tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai
seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan
kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan
intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal
ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah
satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al
Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung
laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta
Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,
dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir
yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo
Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius
penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas
Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan
antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
5. Sunan Drajat
Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama
lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang
Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari
perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel
lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng
Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan
halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung
halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan
Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan
sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di
tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan,
sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu.
Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat
yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini
terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung
bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga
terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan
menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan
sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi
kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun,
Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi
dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin
oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah
perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah
angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu.
Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat
kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan
Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan
hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan,
yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan
masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah
menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di
tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan
Sunan Drajat termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan
lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Bapang
den simpangi, ana catur mungkur, demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan
pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara
bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara.
Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui
penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat
tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama
melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta;
paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung
kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang
kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang
kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan
makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar,
Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk
melaksanakan salat magrib.
Berhentilah bekerja, jangan lupa salat, katanya dengan nada membujuk. Ia selalu
menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan
doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur
Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan
dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika
Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening
yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut
menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa
Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri
pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum
sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan
Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi saling
memuridkan. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden
Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau
Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan
cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana
dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan
Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat
dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran
Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan
Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun,
kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun,
kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: Duk samana anglaksanani, mangkat
sakulawarga. Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik
sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli
sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan
Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa
peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
6. Sunan Kalijaga
Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar
tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan
Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam
('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal
dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan
demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta
awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal"
(pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan
Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya,
Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon
wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin
serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di
Kadilangu -selatan Demak.
7. Sunan Muria
Ia putra Dewi Sarohadik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak,
dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari
tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda
dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari
pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil
mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di
Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan
berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat
diterima oleh semua pihak yang berseteru.
Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
8. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik
Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah
seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun
diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai
daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat.
Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari
pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-
simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah
wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.
Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah
mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi
betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan
begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya,
ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak,
di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
9. Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya
adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad
Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M.
Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan
ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani
Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak,
dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal
sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran
untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi
ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah
Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
2. Penyebaran Islam di Sumatra
Agama Islam masuk ke wilayah Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Arab dan
Gujarat. Mula-mula Islam dikenal dan berkembang di daerah Sumatra Utara, tepatnya di
Pasai dan Peurlak. Dari daerah tersebut, Agama Islam terus menyebar ke hampir seluruh
wilayah Nusantara. Agama Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia
waktu itu.
Di Sumatra pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, yaitu Samudra Pasai dan Kerajaan
Aceh. Beberapa tokohnya sebagai berikut.
1. Abdurrauf Singkil
Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105
H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar
dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya
yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-
Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang
datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-
mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan
Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya
ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta
mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya
banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama
terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul
Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia
dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya
Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
2. Sultan Malik al-Saleh
Sultan Malik Al-Saleh adalah pendiri dan raja pertama Kerajaan Samudera Pasai.
Sebelum menjadi raja beliau bergelar Merah Sile atau Merah Selu. Beliau adalah putera
Merah Gajah. Diceritakan Merah Selu mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya,
beliau berhasil diangkat menjadi raja di suatu daerah, yaitu Samudra Pasai.
Merah Selu masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang Syarif
Mekah. Setelah masuk Islam, Merah Selu diberi gelar Sultan Malik Al-Saleh atau Sultan
Malikus Saleh. Sultan Malik Al-Saleh wafat pada tahun 1297 M.
3. Sultan Ahmad
Sultan Ahmad adalah sultan Samudera Pasai yang ketiga. Beliau bergelar Sultan Malik
Al-Tahir II. Pada masa pemerintahan beliau, Samudera Pasai dikunjungi oleh seorang ulama
Maroko, yaitu Ibnu Battutah. Ulama ini mendapat tugas dari Sultan Delhi, India untuk
berkunjung ke Cina. Dalam perjalanan ke Cina Ibnu Battutah singgah di Samudera Pasai.
Ibnu Battutah menceritakan bahwa Sultan Ahmad sangat memperhatikan perkembangan
Islam. Sultan Ahmad selalu berusaha menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah yang
berdekatan dengan Samudera Pasai. Beliau juga memperhatikan kemajuan kerajaannya.
4. Alauddin Riyat Syah
Sultan Alauddin Riyat Syah adalah sultan Aceh ketiga. Beliau memerintah tahun 1538-
1571. Sultan Alauddin Riyat Syah meletakan dasardasar kebesaran Kesultanan Aceh. Untuk
menghadapi ancaman Portugis, beliau menjalin kerja sama dengan Kerajaan Turki Usmani
dan kerajaankerajaan Islam lainnya. Dengan bantuan Kerajaan Turki Usmani, Aceh dapat
membangun angkatan perang yang baik.
Sultan Alauddin Riyat Syah mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia. Ulama-
ulama tersebut mengajarkan agama Islam di Kesultanan Aceh. Selain itu, beliau juga
mengirim pendakwah-pendakwah masuk ke pedalaman Sumatera, mendirikan pusat Islam di
Ulakan, dan membawa ajaran Islam ke Minang Kabau dan Indrapura. Sultan Alauddin Riyat
Syah wafat pada tanggal 28 September 1571.
5. Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda adalah sultan Aceh yang ke-12. Beliau memerintah tahun 1606-
1637. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami puncak kemakmuran
dan kejayaan. Aceh memperluas wilayahnya ke selatan dan memperoleh kemajuan ekonomi
melalui perdagangan di pesisir Sumatera Barat sampai Indrapura. Aceh meneruskan
perlawanan terhadap Portugis dan Johor untuk merebut Selat Malaka.
Sultan Iskandar Muda menaruh perhatian dalam bidang agama. Beliau mendirikan sebuah
masjid yang megah, yaitu Masjid Baiturrahman. Beliau juga mendirikan pusat pendidikan
Islam atau dayah. Pada masa inilah, di Aceh hidup seorang ulama yang sangat terkenal, yaitu
Hamzah Fansuri.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, disusun sistem perundang-undangan
yang disebut Adat Mahkota Alam. Sultan Iskandar Muda juga menerapkan hukum Islam
dengan tegas. Bahkan beliau menghukum rajam puteranya sendiri. Ketika dicegah melakukan
hal tersebut, beliau mengatakan, Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana lagi akan
dicari keadilan. Setelah beliau wafat, Aceh mengalami kemunduran.
3. Penyebaran Agama Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku
Perkembangan Islam di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku juga terjadi melalui
jalur perdagangan. Perkembangan Islam di daerah ini semakin cepat karena peran putra-putra
daerah ini menuntut ilmu agama Islam ke Jawa. Ketika pulang mereka menjadi ulama yang
menyebarkan agama di daerahnya. Perkembangan Islam di wilayah ini ditandai dengan
berdirinya kerajaan Islam seperti Kesultanan Kutai Kertanegara, Ternate, dan Kerajaan
Gowa-Tallo. Beberapa tokoh dari sejarah perkembangan Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku antara lain sebagai berikut.
1. Sultan Alauddin
Sultan Alauddin adalah raja Gowa ke-14. Beliau adalah raja Gowa pertama yang
memeluk agama Islam. Beliau masuk Islam bersamaan dengan raja Tallo. Raja Tallo tersebut
sekaligus menjadi Mangkubumi Kerajaan Gowa. Setelah masuk Islam, raja Tallo itu dinamai
Sultan Abdullah Awwal al-Islam.
SetelahSultan Alauddin dan Mangkubuminya Sultan Abdullah Awwal al-Islam masuk
Islam, berangsur-angsur rakyat Gowa-Tallo juga di-islamkan. Sultan Alauddin juga berusaha
menyebarkan Islam ke kerajaan tetangganya. Kerajaan-kerajaan yang berhasil di-islam-kan
antara lain Kerajaan Soppeng (1607), Wajo (1610), dan Bone (1611). Beliau masih
melanjutkan penyebaran Islam ke Buton, Dompu (Sumbawa), dan Kengkelu (Tambora,
Sumbawa).
2. Tuan Tunggang Parangan
Tuan Tunggang Parangan adalah ulama yang menyebarkan agama Islam di Kerajaan
Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur. Awalnya di kerajaan ini ada dua ulama yang
melakukan siar agama Islam yaitu Tuan Tunggang Parangan dan Dato ri Bandang. Namun
setelah beberapa lama, Dato ri Bandang kembali ke Makasar (Kerajaan Gowa- Tallo)
melanjutkan siar yang telah beliau rintis di sana. Tuan Tunggang Parangan tetap tinggal di
Kutai.
Berkat ajaran Tuan Tunggang Parangan, Raja Aji Mahkota memeluk Islam. Hal itu
diikuti oleh putranya, Ai Di Langgar, yang menggantikan kedudukannya. Keislaman Raja
Mahkota diikuti juga oleh pangeran, hulubalang, dan seluruh rakyat Kutai. Penduduk yang
enggan masuk Islam semakin terdesak masuk ke pedalaman.
Kerajaan Kutai Kertanegara berganti nama menjadi Kesultanan Kutai Kertanegara.
Ajaran Islam berkembang pesat di kesultanan ini. Raja memberlakukan undang-undang
kesultanan yang berpedoman pada ajaran Islam.
3. Sultan Zainal Abidin
Zainal Abidin adalah raja Kerajaan Ternate (1486-1500). Beliau pernah pergi ke Giri,
untuk belajar agama Islam. Ketika kembali dari Giri, beliau berusaha memasukkan ajaran
Islam dalam pemerintahannya. Beliau juga berusaha memperluas pengajaran Islam untuk
rakyat. Beliau mendirikan pesantren dan mendatangkan guru-guru (ulama) dari Jawa. Selain
itu, Zainal Abidin juga berusaha menyebarkan Islam lewat ekspansi kekuasaannya.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Negara Indonesia merupakana negara yang memiliki penganut Islam terbesar di dunia. Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Perkembangan agama Indonesia di Indonesia sangat
pesat. Hal ini atas berkat para tokoh yang berjuang dalam menyebarkan agama Islam, sehingga
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Penyebaran agama Islam dilakukan di berbagai
daerah yang berbeda dan penyebarannya dilakukan oleh tokoh yang berbeda pula. Diantaranya :
di Pulau Jawa penyebaran agama Islam dilakukan oleh walisonga atau para wali (Sunan Gresik,
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Jati), di Pulau Sumatera penyebaran agama Islam dilakukan oleh
Abdurrauf Singkil, Sultan Malik al-Saleh, Sultan Ahmad, Alauddin Riyat Syah, dan Sultan
Iskandar Muda. Di Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku penyebaran agama Islam
dilakukan oleh Sultan Alauddin, Tuan Tunggang Parangan, dan Sultan Zainal Abidin.
2. Saran
Kita harus menghargai jasa perjuangan para tokoh penyebar agama Islam ini dalam
menyebarkan agama Islam di Indonesia. Kita juga harus melanjutkan perjuangan para tokoh
untuk menyebarkan agama Islam. Dari kisah para tokoh, kita pun harus mengikuti sifat-sifat
teladannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://postinganpuput.blogspot.com/2013/12/makalah-perkembangan-islam-di-
indonesia.html
http://tigapuluh-tujuh.blogspot.com/
http://sajadahmuslimku.blogspot.com/2014/03/tokoh-tokoh-penyebar-agama-islam-di.html
top related