TESIS S2 PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK KEKHUSUSAN ANTI AGING MEDICINE FK-UNUD
Post on 13-Jan-2016
1009 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semua orang tidak ingin menjadi tua karena penuaan merupakan penurunan
kondisi dan ketidakmampuan. Dengan bertambahnya usia makhluk hidup akan
diikuti pula dengan proses hilangnya fungsi berbagai jaringan tubuh. Penuaan
adalah akumulasi dari perubahan pada organisme dengan berjalannya waktu
(Atwood, 2004). Terdapat dua macam penuaan, penuaan kronologis yaitu penuaan
berdasarkan perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang sampai
dengan waktu penghitungan usia dan penuaan biologis yaitu penuaan berdasarkan
kondisi sel dan jaringan tubuh yang dimiliki oleh seseorang (Stuart-Hamilton and
Ian, 2006).
Berbagai teori menjelaskan tentang proses terjadinya penuaan, di antaranya
teori radikal bebas, dan teori wear and tear. Menurut teori radikal bebas, suatu
organisme menjadi tua karena akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel
sepanjang waktu. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik
oleh radikal bebas tersebut, sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan
fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dapat
dirusak oleh radikal bebas adalah deoxy nucleic acid (DNA), lemak dan protein
(Goldman and Klatz, 2007).
Menurut teori wear and tear, yang pertama kali dikenalkan oleh Dr. August
Weismann, seorang ahli biologi dari Jerman pada tahun 1882 menyatakan bahwa
2
tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan
disalahgunakan. Sel somatik normal mempunyai kemampuan normal untuk
replikasi dan fungsi terbatas (Troy, 1968).
Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya, menurun karena
toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula,
kafein, alkohol, nikotin, radiasi sinar ultraviolet, stres fisik dan emosional.
Kerusakan tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel. Teori
ini menyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak
terlambat dapat mengembalikan proses penuaan. Mekanismenya dengan
merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan
organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2007).
Proses penuaan mengakibatkan penipisan epidermis, dermis dan lemak
subkutan. Kulit menjadi kering, tipis dan elastisitasnya berkurang sehingga mudah
mengalami kerusakan (Forbes, 2008).
Kekeringan kulit merupakan masalah bagi jutaan orang dan seringkali
menyebabkan rasa tidak nyaman bahkan stres psikologis. Gejala klinis kulit
kering di antaranya permukaan kulit terasa kencang dan kaku, kasar, kusam,
bersisik, gatal, kemerahan bahkan nyeri. Kulit kering terutama menggambarkan
abnormalitas pada stratum korneum epidermis (Egelrud, 2000). Sebenarnya belum
ada definisi yang dapat diterima secara internasional tentang kulit kering. Karena
kulit kering hanyalah kurangnya air hanya pada 2-3 lapis permukaan stratum
korneum, tetapi pada bagian bawahnya tetap normal (Kligman, 2000).
3
Pada kondisi normal, stratum korneum mengandung sekitar 30% air. Kulit
kering ditandai dengan menurunnya kapasitas retensi air pada stratum korneum
dengan kandungan air kurang dari 10%, pada keadaan ini fungsi kulit akan
terganggu dan kulit menjadi dehidrasi (Tagami and Yoshikuni, 1985).
Kulit kering bukanlah merupakan diagnosis tunggal karena sering
berhubungan dengan keadaan endogen dan eksogen.
Keadaan endogen yang mempengaruhi di antaranya adalah iktiosis, psoriasis,
dermatitis atopik atau dermatosis endogen yang kronik (Vahlquist, 2000;
Takahashi and Ikezawa, 2000), bertambahnya usia serta perubahan hormonal
(Hashizume, 2004).
Keadaan eksogen yang berpengaruh antara lain cuaca, dermatitis yang dipicu
oleh faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia, kelembaban yang rendah dan
radiasi sinar ultraviolet, iritasi kronik, dermatitis kontak alergik, penuaan kulit
akibat sinar matahari (photoaged) dan lain-lain (Kligman, 2000). Kehidupan
modern seperti halnya penggunaan Air Conditioned (AC), bepergian dengan
pesawat udara juga dapat menyebabkan kulit dehidrasi (Finnegan et al., 1984).
Dengan ekstrapolasi statistik berdasarkan data di Amerika Serikat, United
Kingdom dan Australia, diperkirakan penduduk Indonesia yang menderita
kekeringan kulit sebesar 7.392.041 pada tahun 2004 (Health Grade, 2009).
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, jumlah wanita berusia di atas 50
tahun pada tahun 2020 diperkirakan jumlahnya akan meningkat menjadi 30,0 juta
atau 11,5% dari total penduduk (Lembaga Demografi FE-UI. 2009). Keadaan ini
4
menunjukkan bahwa masalah kekeringan kulit akan semakin bertambah setiap
tahunnya.
Hidrasi kulit menurun akibat menurunnya fungsi sawar stratum korneum dan
meningkatnya kehilangan air secara difusi melalui epidermis atau transepidermal
water loss (TEWL) (Black et al., 2005). Pada orang tua terjadi penurunan
berbagai lipid barrier utama sehingga fungsi barrier juga menurun (Fore, 2009).
Anti-aging medicine menganggap dan memperlakukan penuaan sebagai suatu
penyakit yang dapat dicegah, dihindari dan diobati, sehingga dapat kembali ke
keadaan semula. Dengan demikian manusia tidak lagi harus membiarkan begitu
saja dirinya menjadi tua dengan segala keluhan dan bila perlu mendapatkan
pengobatan atau perawatan yang belum tentu berhasil (Pangkahila, 2007).
Berbagai penelitian dilakukan untuk mendapatkan penatalaksanaan kulit
kering yang optimal. Salah satunya adalah dengan memproduksi pelembab yang
efektif meningkatkan kandungan air dalam stratum korneum dan menghidrasinya.
Bahkan pasar produk pelembab di Amerika Serikat menduduki peringkat
penjualan kosmetik terbesar yaitu sebesar 1 bilyun dollar per tahun (Bauman,
2002a).
Pelembab bekerja dengan komposisi yang bersifat oklusif dan atau humektan
seperti halnya komponen pada Natural Moisturizing Factor (NMF). Komposisi
yang bersifat oklusif secara fisik memblokir kehilangan air dari permukaan kulit
sedangkan komposisi yang bersifat humektan bekerja dengan menarik air ke
dalam kulit. Kulit yang dijaga kelembabannya dapat mempertahankan diri
terhadap kerusakan akibat proses penuaan (Warner and Boissy, 2000).
5
Dengan berkembangnya peran karbohidrat/Glycosaminoglycans dalam
komunikasi antar dan inter sel, maka berkembanglah cabang ilmu Glycobiology
yang mempelajari struktur, biosintesis, biologi dan evolusi dari saccharides
(rantai gula atau glycan) (Varki and Sharon, 2009).
Pada tahun 2008, industri farmasi Pentapharm di Swiss memproduksi bahan
aktif Saccaride isomerates (SI) yang merupakan kompleks karbohidrat
mukopolisakarida (glycan) yang sama dengan yang terdapat pada stratum
korneum kulit manusia. Sehingga di dalam epidermis akan membentuk hialuronan
atau hyaluronic acid. SI merupakan salah satu jawaban bagi perkembangan
Glycobiology (Pentapharm, 2009).
Sesuai dengan fungsi hialuronan pada epidermis, maka SI dapat berfungsi
mempertahankan kelembaban dengan meningkatkan kandungan air dalam stratum
korneum sekalipun dalam kelembaban udara yang rendah. SI juga dapat berikatan
dengan kulit sekalipun dalam kondisi pH yang sangat rendah (Pentapharm, 2009).
Belum ada penelitian yang dipublikasikan mengenai efek penggunaan SI
pada formulasi pelembab. Penelitian yang pernah dilakukan adalah penelitian dari
pihak produsen produk SI yang menunjukkan SI memiliki kapasitas retensi
kelembaban kulit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gliserin
(Pentapharm, 2009).
Dengan penambahan SI pada formulasi pelembab, maka diharapkan dapat
diperoleh formulasi pelembab yang efektif mengatasi masalah kekeringan kulit.
Sehingga dapat menjadi pelembab ideal yang mampu meremajakan kekeringan
kulit akibat penuaan tanpa menimbulkan efek iritasi.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang diuraikan di atas, maka
dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah penambahan saccharide isomerates 5% dalam formulasi
pelembab dapat meningkatkan hidrasi kulit lebih tinggi dibandingkan
dengan pelembab biasa?
2. Apakah penambahan saccharide isomerates 5% dalam formulasi
pelembab dapat mempertahankan hidrasi kulit tetap lebih tinggi
dibandingkan dengan pelembab biasa setelah pemberiannya dihentikan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui peningkatan hidrasi kulit setelah pemberian formulasi
pelembab yang ditambahkan saccharide isomerates 5% dan mengetahui
perubahan hidrasi kulit setelah penggunaan pelembab dihentikan.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui penggunaan formulasi pelembab yang ditambahkan
saccharide isomerates 5% dapat meningkatkan hidrasi kulit lebih tinggi
dibandingkan dengan pelembab biasa.
2. Mengetahui penggunaan formulasi pelembab yang ditambahkan
saccharide isomerates 5% dapat mempertahankan hidrasi kulit tetap lebih
tinggi dibandingkan dengan pelembab biasa setelah pemberiannya
dihentikan.
7
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Dari hasil penelitian diharapkan akan diperoleh informasi ilmiah tentang
efektivitas penambahan saccharide isomerates 5% dalam formulasi pelembab
terhadap hidrasi kulit dibandingkan dengan pelembab biasa. Data ini dapat
menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatasi
masalah kekeringan kulit dan peremajaan kulit pada penuaan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kekeringan pada Kulit
Kulit kering ditandai dengan menurunnya kapasitas retensi air pada stratum
korneum dengan kandungan air kurang dari 10% sedangkan pada kondisi normal
mengandung 30% air (Tagami and Yoshikuni, 1985). Kehilangan air terjadi akibat
penurunan fungsi sawar stratum korneum dan peningkatan TEWL (Black et al.,
2005).
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh kondisi kulit kering sangat bervariasi dari
sangat ringan sehingga diabaikan tetapi dapat menjadi sangat berat sehingga
mengakibatkan kulit pecah-pecah dan terinfeksi. Pada umumnya kulit kering
ditandai dengan keadaan kulit yang bersisik dan pecah-pecah, seringkali disertai
rasa gatal (Wildauner et al., 1971).
Kulit kering pada orangtua berhubungan dengan pruritus, gatal yang sering
mengganggu tidur dan penurunan kualitas hidup. Garukan akan merusak struktur
kulit sehingga dapat mengakibatkan infeksi kuman piogenik (Kligman, 2000).
Kulit yang kering dapat menyebabkan masalah yang serius bahkan dapat
menjadi prekursor dekubitus pada pasien rawat inap yang tidak berubah posisi
berbaringnya (Allman et al., 1995)
Kekeringan kulit dapat terjadi pada semua orang dengan berbagai penyebab
baik eksogen maupun endogen dan bukanlah merupakan diagnosis tunggal
(Kligman, 2000).
9
Stratum korneum berperan sebagai sawar yang memiliki fungsi proteksi.
Sawar kulit mampu melindungi terhadap bahan kimia, fisik dan mekanik, serta
pelindung terhadap infeksi bakteri, jamur, juga sebagai storage untuk obat-obatan
topikal yang bersifat lipofilik. Fungsi proteksi lain adalah melindungi kulit dari
kekeringan (Kligman, 2000).
Pelembaban kulit terjadi karena pada ruang di antara ikatan sel junctional
bridges atau desmosomes dipenuhi oleh substansi yang mengandung lemak lipid
rich. Lemak ini adalah ceramide, kolesterol dan asam lemak berperan sebagai
sawar utama terhadap kehilangan air (water loss). Kulit yang sehat memiliki rasio
lipid rich yang proporsional (Downing and Stewart, 2000).
Perubahan konfigurasi komposisi lipid menyebabkan barrier pada lapisan
terluar menjadi lebih lemah. Kadar ceramide yang tinggi menjaga ikatan antar sel,
sebaliknya kadar ceramide yang rendah menyebabkan kulit menjadi kering dan
bersisik (Downing and Lazo, 2000).
Untuk mengetahui hal yang mendasari terjadinya kulit kering maka perlu
pemahaman tentang struktur dan fungsi stratum korneum (Egelrud, 2000).
2.2 Epidemiologi
Menurut US Census Bureau, Population Estimates 2004, diperkirakan di
Amerika Serikat tahun 2004, terdapat 3,1% atau 8,4 juta penduduk yang
menderita kekeringan kulit. Diperkirakan penduduk Indonesia yang menderita
kekeringan kulit sebesar 7.392.041 pada tahun 2004. Data ini didapat dengan
10
ekstrapolasi statistik berdasarkan data di Amerika Serikat, United Kingdom, dan
Australia (Health Grade, 2009).
Perubahan hormonal dan penuaan berhubungan erat dengan menopause pada
wanita. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, jumlah wanita berusia di atas
50 tahun akan meningkat dua kali lipat menjadi 30,0 juta atau 11,5% dari total
penduduk pada tahun 2020 (Lembaga Demografi FE-UI, 2009). Keadaan ini
menunjukkan bahwa masalah kekeringan kulit akan semakin bertambah setiap
tahunnya.
Sekalipun stratum korneum membentuk lapisan yang mencegah terjadinya
difusi air, tetapi pajanan yang berulang terhadap surfactant dapat menyebabkan
dermatitis kontak iritan yang mengakibatkan kekeringan kulit (Schwindt et al.,
1998).
Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis
kontak dan dermatitis kontak alergik kira-kira hanya 20%. Insiden dermatitis
kontak alergik terjadi pada 3-4% dari populasi penduduk. Bila dibandingkan
dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergik lebih
sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya hipersensitif (Sularsito and
Soebaryo, 1994).
Kekeringan kulit didapatkan juga pada penderita psoriasis. Insidens psoriasis
adalah 78.9 per 100,000 pada tahun 2000, jumlah penderita psoriasis sekitar 4,5
juta di Amerika Serikat dan diderita lebih banyak oleh laki-laki dibandingkan
wanita (Icen et al., 2009). Sedangkan Iktiosis vulgaris autosomal dominan dan
11
iktiosis vulgaris X-linked recessive memiliki frekuensi 1/300 dan 1/2500 dalam
populasi (Traupe, 1989).
2.3 Etiologi Kulit Kering
Etiologi kulit kering didasari oleh berkurang dan atau adanya
ketidakseimbangan lipid termasuk perubahan komposisinya dalam kulit (Schûrer,
2006). Lipid ekstraseluler pada stratum korneum yang berperan sebagai sawar air
disusun oleh >40% ceramide, 25% asam lemak dan 20% kolesterol. Perubahan
kadar komposisinya akan mengakibatkan gangguan fungsi sawar kulit (Laudanska
et al., 2003).
Banyak perubahan yang sangat kompleks yang mendasari terjadinya
kekeringan pada kulit. Faktor yang dapat mempengaruhi komposisi lipid dalam
hidrasi dan sawar kulit adalah:
1. Faktor internal:
a. Genetik:
Ditemukan adanya pewarisan genetik untuk gen yang berpengaruh
terhadap protein filagrin yang unik yang merupakan penentu dominan
apakah seseorang akan menderita kekeringan kulit atau tidak (Scott,
2005).
Pada penderita iktiosis vulgaris terdapat peningkatan produksi
korneosit yang menunjukkan adanya kelambatan proses deskuamasi.
(Simon, 2002). Pada iktiosis vulgaris juga terdapat kekurangan NMF
12
memberikan gambaran kulit yang kering dan bersisik (Sybert et al.,
1985).
Psoriasis adalah keadaan inflamasi pada kulit akibat adanya defek
pada sistem imun. Kulit akan tumbuh secara cepat, kering dan
mengelupas (Icen et al., 2009).
b. Riwayat atopik :
Dermatitis atopik, merupakan gangguan kulit dengan ciri khas
kekeringan kulit. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada
dermatitis atopik terdapat kekurangan ceramide (Imokawa et al.,
1991). Tetapi pada pasien yang menderita kekeringan kulit dan kadar
air yang sangat menurun dapat saja tanpa disertai penurunan kadar
ceramide (Akimoto et al., 1993). Oleh karena itu diduga bahwa
kekeringan kulit berhubungan dengan struktur lamellar dan lipid
intraseluler dalam stratum korneum (Bauman, 2002a).
c. Jenis Kelamin:
Secara visual kulit pada laki-laki berbeda dibandingkan dengan kulit
wanita. Perbedaan yang utama adalah ketebalannya karena
penyebaran rambut pada laki-laki lebih banyak. Keadaan ini juga
yang menyebabkan kulit laki-laki lebih terlindung dari kerusakan
akibat aktivitas enzim kolagenase dengan adanya radiasi sinar ultra
violet (UV) (Draelos, 2006).
Selain karena kulit wanita lebih tipis, wanita juga lebih sering
mengalami dermatitis kontak alergik maupun iritan akibat seringnya
13
mengoleskan bahan-bahan iritatif untuk perawatan kulit dibandingkan
laki-laki (Schûrer, 2006).
Wanita lebih sering mengoleskan bahan anti aging topikal yang dapat
menyebabkan kerusakan barier kulit seperti halnya tretinoin, asam
glikolat, asam laktat dan lain-lain. Wanita juga lebih sering menjalani
prosedur perawatan seperti peeling wajah, mikrodermabrasi, spa
treatment dan lain-lain (Draelos, 2006).
Keseimbangan hormon testosteron, estrogen dan progesteron pada
wanita dan laki-laki juga berbeda. Testosteron dan estrogen keduanya
mempengaruhi produksi sebum (Hashizume, 2004).
d. Usia :
Sebelum pubertas produksi sebum dan kelenjar ekrin masih minimal.
Hal ini yang mendasari seringnya terjadi kekeringan kulit dan
dermatitis pada anak-anak. Pada usia pubertas, keluhan alergi dan
kekeringan kulit menurun karena fungsi kelenjar sebasea, dan ekrin
serta apokrin berfungsi dengan baik (Hashizume, 2004).
e. Menopause (hormonal):
Pada wanita usia 40 an, produksi sebum mulai menurun dan lipid
interselular berkurang terutama pada kondisi menopause. Dengan
menurunnya produksi estrogen, maka kualitas kulit juga menurun,
menjadi mudah rusak dan kering karena menurunnya kolagen pada
dermis. Proses keratinisasi melambat, mudah gatal karena pelindung
pada akhiran saraf juga menurun (Hashizume, 2004).
14
f. Penyakit kronik:
Kondisi kronik yang juga menyebabkan kekeringan kulit di antaranya
adalah Diabetes melitus, penyakit ginjal, uremia, hipotiroidisme,
defisiensi vitamin A, dan keganasan (Health Grade, 2009).
2. Faktor eksternal:
a. Bahan kontak dan iritasi kronik:
Kulit kering dapat disebabkan oleh kerusakan akibat polusi, bahan
kimia dan surfactant. Kulit yang teriritasi fungsinya akan terganggu
sama halnya dengan kondisi penyakit kulit. Sekalipun stratum
korneum membentuk lapisan yang mencegah terjadinya difusi air,
tetapi pajanan yang berulang terhadap surfactant dapat menyebabkan
dermatitis kontak iritan yang mengakibatkan kekeringan kulit
(Pedersen and Jemec, 2006).
b. Cuaca dan iklim:
Perubahan mendadak pada kelembaban udara akan mempengaruhi
kelembaban kulit. Lingkungan dengan kelembaban yang rendah akan
merusak sawar kulit, sehingga terdapat respons peningkatan sintesis
DNA (Deoxyribonucleic acid) epidermis (Denda et al., 1998).
Penelitian terhadap hewan menunjukkan, TEWL menurun sekitar
30% pada hewan yang dipajankan pada udara yang kering (<10%
RH). Hal ini terjadi karena terdapat peningkatan biosintesis lipid,
peningkatan lamellar bodies dan penebalan stratum korneum.
Sedangkan pada hewan yang dipajankan udara yang lembab (80%
15
RH) akan menginduksi penurunan biosintesis lipid. Setelah
dipindahkan dari lingkungan yang lembab (80% RH) ke lingkungan
yang kering (10%RH), terdapat peningkatan TEWL 6 kali lipat (Sato
et al., 2001).
c. Gaya hidup (Lifestyle):
Sekalipun tanpa memiliki kelainan kulit, kondisi kulit kering dapat
saja terjadi akibat pengaruh lifestyle. Akhir-akhir ini semakin
meningkat dengan kebiasaan mandi dengan shower dan air panas
yang terlalu sering dilakukan atau berendam dalam air yang
ditambahkan bath salt dan busa sabun.
Berbagai kondisi yang dapat mempengaruhi ikatan air dalam stratum
korneum dan menyebabkan kekeringan kulit di antaranya (Bauman,
2002a):
(1) Mandi dengan air panas: berendam dengan air panas dalam
waktu yang lama akan mengakibatkan lipid natural pada kulit
mudah hilang.
(2) Gesekan pakaian
(3) Kebiasaan bepergian dengan pesawat udara
(4) Berada di ruang ber AC dalam waktu lama
d. Photoaged :
Secara garis besar penuaan terbagi atas, penuaan akibat usia dan
photoaging. Penuaan akibat usia hanya disebabkan oleh kondisi yang
dipengaruhi dengan bertambahnya usia saja, sedangkan photoaging
16
disebabkan oleh pajanan kronik dan kumulatif terhadap sinar ultra
violet (UV). Pada umumnya penuaan terjadi akibat kedua hal di atas.
Photoaged ditandai dengan kondisi kulit yang kasar, kering, berkerut
dan hiperpigmentasi yang tidak beraturan. Kondisi yang lebih berat
dapat disertai kulit yang hipertrofik atau atrofik, purpura, dan lesi
prakanker (Christina et al., 2010).
Perubahan histologis yang terjadi pada photoaged, adalah epidermal
dysplasia dan atypia, meningkatnya jumlah sel Langerhans, dermal
elastosis (deposit serabut elastin yang abnormal) serta menurunnya
respons imunologis dan antiinflamasi (Schûrer, 2006).
2.4 Struktur dan Fungsi Epidermis
Kulit tersusun atas 3 lapisan primer: epidermis, dermis dan subkutan. Tiap
lapisan memiliki karakter dan fungsi masing-masing. Sekalipun merupakan
struktur dan jaringan yang menyatu, epidermis merupakan lapisan terluar dan
sangat penting perannya dalam segi kosmetik, karena memberikan kelembaban
dan tekstur kulit (Bauman, 2002a).
Penelitian tentang struktur dan fungsi epidermis memerlukan pembesaran
dengan mikroskop elektron agar dapat secara jelas mengetahui struktur lamellar
granules pada sel spinosum dan granulosum serta gambaran struktur sel lainnya
(Madison et al., 1987).
Keratinosit atau dikenal dengan korneosit adalah sel utama pada epidermis.
Diproduksi oleh stem cells yang disebut sel basal. Stem cells akan membelah dan
memproduksi sel anakan yang secara perlahan bergerak ke bagian atas epidermis.
17
Proses maturasi dan pergerakan sel anakan menuju sel di atasnya disebut
keratinisasi (Kimyai-Asadi et al., 2003).
Selama pergerakan, sel akan mengalami perubahan karakteristik. Lapisan
paling bawah adalah sel basal, di atasnya adalah sel spinosum karena memiliki
banyak penghubung sel yang berbentuk seperti duri disebut desmosom.
Desmosom merupakan struktur kompleks adhesi molekul dan protein. Lapisan di
atasnya lagi adalah sel granulosum karena mengandung granula keratohialin, dan
lapisan paling luar adalah sel kornifikasi atau stratum korneum, merupakan massa
sel padat yang sudah kehilangan inti dan granulanya. Stratum korneum dilapisi
material protein yang disebut cell envelope yang mempertahankan kadar air dan
absorpsi (Bauman, 2002a).
2.4.1 Sel basal
Sel basal adalah bagian sel paling bawah yang berfungsi meregenerasi sel
dengan cara membelah (Kimyai-Asadi et al., 2003). Tiap sel saling melekat
karena ada desmosom dan hemidesmosom, sel basal melekat ke dermis dengan
bantuan anchoring fibril (Chu et al., 2003).
2.4.2 Sel spinosum
Merupakan anakan sel dari hasil pembelahan sel basal yang memiliki duri,
saling melekat antar sel dengan diperantarai desmosom (Gambar 2.1) Terdapat
bundle serabut keratin yang menyeberangi tiap sel yang menguatkan perlekatan
desmosom dan nukleus. Bila sel spinosum matur, akan mengakumulasi organel
18
yang disebut “Oldland bodies”, membrane-coating granule, lamellar bodies dan
lamellar granules (Oldland, 1991).
Gambar 2. 1 Corneodesmosome
Paku yang melekatkan korneosit satu sama lain adalah struktur protein spesial
yang disebut corneodesmosomes. Struktur ini juga merupakan bagian dari analogi
"mortar" pada "brick and mortar" analogy. Corneodesmosomes merupakan
struktur utama yang harus rusak agar kulit dapat mengelupas dalam proses
deskuamasi (Brannon, 2007).
2.4.3 Sel granulosum
Sel ini memiliki granul yang merupakan deposit keratohialin yang dapat
terlihat dengan mikroskop cahaya, berbeda dengan lamellar granule yang hanya
biasa terlihat dengan mikroskop elektron karena ukurannya sangat kecil. Biasanya
terdapat 2-4 lapis sel granulosum dan granula keratohialin ukurannya semakin
bertambah (McGrath et al., 2004).
19
2.4.4 Sel transisional
Bagian atas sel granulosum menjadi sel mati dan lebih datar, sel transisional
ini secara bertahap kehilangan struktur organ subselulernya termasuk nukleus dan
struktur membran sitoplasma. Selama proses ini granula keratohialin bergabung
dengan bundle filamen keratin sehingga gambaran sel yang bergranul menjadi
hilang. Lamellar granule keluar dari sel dan masuk ke dalam ruang interseluler di
atasnya dengan cara berfusi dengan membran sel, diikuti dengan keluarnya granul
yang mengandung lamellar disk (Gambar 2.2) (Downing and Lazo, 2000).
Gambar 2. 2 Lamellar Bodies
Lamellar bodies dibentuk dalam keratinosit pada stratum spinosum dan stratum
granulosum. Pada saat keratinosit matur, enzim pada stratum korneum akan
merusak bagian luar envelope lamellar bodies dan membebaskan lipid tipe asam
lemak bebas dan ceramides (Brannon, 2007).
20
2.4.5 Sel kornifikasi
Stratum korneum terdiri atas sel yang tidak memiliki inti dan DNA sehingga
tidak dapat mensintesis apapun, tetapi sel ini ternyata tetap hidup (Steinert and
Freedberg, 1991).
Setelah lamellar granule keluar sampai berada di ruang interseluler, sel
transisional berubah menjadi datar dengan diameter 30 µm dan tebal 0,3 µm.
Proses ini akan menjadikan sel kehilangan organel subselulernya sehingga hanya
memiliki keratin fibril yang tersusun paralel pada panjang sel (Gambar 2.3). Di
antara keratin fibril terdapat matriks keratohialin yang tersisa (McGrath et al.,
2004).
Protein pada matriks ini tampaknya berdegradasi dengan susunan material
yang berat molekulnya rendah, termasuk asam amino. Selama proses kornifikasi,
protein envelope pada korneosit selalu ditambahkan di antara permukaan internal
membran sel dan melekat pada serabut keratin (Polakowska and Goldsmith,
1991).
21
Gambar 2. 3 Stratum Korneum
Stratum korneum merupakan lapisan terluar dari epidermis. Lapisan pada epidermis
memiliki peran penting dalam fungsi sawar kulit yang vital. Sebelum pertengahan tahun
1970 stratum korneum diduga inert secara biologis seperti lapisan plastik tipis yang
melindungi lapisan di bawahnya yang lebih aktif. Dalam 30 tahun terakhir terutama 5
tahun terakhir para ilmuwan telah menemukan bahwa aktivitas biologis dan kimiawi
stratum korneum sangat kompleks (Brannon, 2007).
Keratin envelope terutama mengandung protein yang membentuk ikatan iso
peptida antara residu glutamine dan lysine. Protein envelope sulit dicernakan oleh
enzim dan substrat dimana lipid eksternal melekat secara kimiawi (Wertz et al.,
1987a).
Keratin merupakan material yang sangat hidrofilik yang dapat mengikat
substansi yang mengandung air. Struktur korneosit yang merupakan sawar kulit
tersusun atas dua komponen utama. Terdapat substansi hidrofobik (water
repellent) merupakan sawar lipid dan komponen hidrofilik (water-attracting)
(Wertz et al., 1989).
22
Sawar lipid terutama mengandung lipid netral (asam lemak dan kolesterol)
serta ceramides yang berfungsi mengontrol dan membatasi transpor air melalui
kulit (Wertz et al., 1987a). Difusi air melalui keratinosit tidak dapat terjadi secara
bebas karena keratin membatasinya (Bodde et al., 1990).
2.4.6 Struktur lipid pada epidermis
Lipid termasuk dalam struktur anatomi sel epidermis dan memiliki fungsi
serta struktur yang bermakna pada jaringan. Lipid epidermis di antaranya terdapat
pada membran plasma sel, membran sitoplasma internal, retikulum endoplasma,
badan Golgi dan bounding membrane pada lamellar granule serta lipid pada
struktur intercellular lamellae di antara sel kornifikasi (Wertz et al., 1988).
Lipid pada jaringan kulit yang dapat diekstraksi adalah: fosfolipid, kolesterol
dan glycosylceramides, sedikit asam lemak bebas, trigliserida dan ceramide.
Glycosylceramides di dapat dari lamellar granule sel spinosum dan sel
granulosum (Swartzendruber et al., 1988 ; Downing, 1992).
Selama 2-3 minggu pembelahan, sel basal akan kehilangan sel anakan dari
permukaan kulit tetapi komposisi lipid akan tetap konstan. Biosintesis,
transformasi dan translokasi lipid epidermal dalam tiap sel akan terus berlanjut
dan berubah tiap waktu (Wertz and Downing, 1987b ; Downing and Stewart,
2000).
23
2.4.7 Biosintesis lipid pada sel hidup
Sel basal mengandung sedikit lipid dibandingkan dengan membran sel
permukaan dan sitoplasmanya. Pada membran sel permukaan terutama terdapat
fosfolipid dan kolesterol. Fosfolipid banyak mengandung linoleic acid sehingga
dapat diduga bahwa kulit mendapat lipid dari darah (Monger et al., 1988). Tetapi
terdapat bukti bahwa sel yang telah bermigrasi dari sel basal tidak mampu lagi
mengabsorpsi lipid dari sirkulasi dan harus mensintesisnya sendiri dengan
menggunakan prekursor berat molekul rendah, yaitu glukosa (Doering,et al.,
2002).
Hal di atas menunjukkan bahwa biosintesis epidermis berdiri sendiri dan
tidak bergantung pada glukosa dalam sirkulasi (Feingold and Elias, 2000). Lipid
yang disintesis harus mampu membentuk lamellar granule pada sel spinosum dan
sel granulosum (Robson et al., 1994).
Biosintesis lipid pada epidermis sangat bergantung pada adanya matriks
ekstraseluler hyaluronic acid (HA) yang memegang peranan penting dalam
aktivitas sel. HA merupakan mukopolikasarida yang secara kovalen berikatan
dengan protein. Molekul HA mengikat air dalam jumlah besar sekalipun dalam
konsentrasi yang sangat rendah. HA memiliki viskositas yang sangat tinggi. HA
dalam matriks ekstraseluler dermis berperan mengatur keseimbangan kadar air,
tekanan osmotik, mengatur aliran ion dan sebagai lubrikan pada permukaan sel
(Neudecker et al., 2004). Fungsi dan peran HA akan dijelaskan kemudian.
24
2.4.8 Transformasi biokimia dan translokasi lipid selama diferensiasi
epidermis
Lamellar granule dikeluarkan dari sel granulosum sebelum sel berubah
menjadi stratum korneum. Sel granulosum hanya mengandung glucosylceramides
sedangkan sel kornifikasi hanya mengandung ceramides. Hal ini menunjukkan
bahwa setelah berdiferensiasi menjadi sel kornifikasi, glucocylceramides
mengalami deglikosilasi dan berubah menjadi ceramides (Lavker, 1970).
Membran akan berikatan melekat dengan lamellar granule dan menjadi
bagian membran sel (Wertz and Downing, 1987b).
2.4.9 Intercellular lamellae
Isi lamellar disk akan keluar dari lamellar granule kemudian terdistribusi ke
dalam ruang interseluler, melekat edge to edge dan bergabung membentuk
intercellular lamellae. Lamellar disk akan membentuk double lipid bilayers
dengan membuat liposome menjadi datar (Downing and Lazo, 2000). Proses
pembentukan double–bilayer tampak pada Gambar 2.4.
25
Gambar 2. 4 Proses Pembentukan Double–Bilayer
Skema hipotesis formasi double lipid bilayer dalam lamellar disks, lamellar
granules dan intercellular lamellae dari stratum korneum (Downing and Lazo,
2000).
Lamellar bilayer pada stratum korneum membentuk pola yang unik terdiri
atas struktur electron-lucent dan electron-dense yang disebut unit Landmann.
Struktur ini tersusun dalam stratum korneum pada bagian dalam, tengah dan luar
(Gambar 2.5). Unit Landmann bagian tengah dan dalam tidak konstan karena
dipengaruhi oleh usia dan penyakit, sedangkan yang terletak pada stratum
korneum bagian luar sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (Warner and
Boissy, 2000).
Pada usia muda struktur unit Landmann tersusun teratur dengan ruang
interseluler yang sempit, sedangkan pada usia di atas 40 tahun struktur ini tidak
penuh lagi dan pada kulit kering susunannya tidak beraturan disertai pelebaran
ruang interseluler (Warner and Boissy, 2000).
26
Pemakaian sabun yang mengeringkan kulit akan membuat struktur unit
Landmann ini menjadi rusak, dan membaik dengan pemakaian pelembab yang
teratur (Warner and Boissy, 2000).
Gambar 2. 5 Struktur Unit Landmann
(a) Morfologi unit Landmann pada stratum korneum bagian luar tampak teratur
pada kulit wanita 24 tahun yang normal, sedangkan (b) gambaran unit Landmann
yang tidak teratur pada stratum korneum bagian luar disertai material amorf pada
ruang interseluler pada kulit seorang wanita 28 tahun yang kering (Warner and
Boissy, 2000).
2.4.10 Lipid envelope pada korneosit
Bila stratum korneum diekstraksi maka didapatkan 2% ω hydroxyceramides.
Lipid ini cukup untuk membentuk monomolecular layer lipid pada seluruh
permukaan sel kornifikasi (Polakowska and Goldsmith, 1991). Struktur lipid
envelope dapat dilihat pada Gambar 2. 6.
27
Gambar 2. 6 Cornified Envelope
Tiap korneosit dikelilingi oleh selubung protein yang disebut cell envelope. Cell
envelope tersusun dari terutama 2 protein loricrin dan involucrin. Protein ini
memiliki ikatan yang kuat satu sama lain sehingga membuat cell envelope
menjadi struktur pada korneosit yang paling sulit larut. Sub tipe dari cell envelope
dapat "rigid" atau "fragile" bergantung pada interaksi lamellar bilayer dengan cell
envelope (Brannon, 2007).
2.5 Transformasi Lipid pada Stratum Korneum
Natural Moisturizing Factor (NMF) terdapat dalam stratum korneum
sehingga bersifat humektan (mampu mengikat air) (Gambar 2.7). NMF
merupakan senyawa kimia yang sangat larut dalam air (water soluble), sangat
mudah keluar dari sel bila berkontak dengan air. Itulah sebabnya kontak dengan
air yang berulang justru akan mengeringkan kulit (Bauman, 2002a).
NMF terdiri atas asam amino dan metabolitnya dibebaskan oleh lamellar
granules dengan memecah filagrin. Pada kulit normal apabila sering terpajan
sabun, maka kadar NMF permukaan kulitnya akan menurun dibandingkan dengan
28
yang tidak sering terpajan sabun. Dengan bertambahnya usia, maka kadar NMF
juga akan menurun (Scott and Harding, 2000).
Gambar 2. 7 Natural Moisturizing Factor (NMF)
Natural moisturizing factor (NMF) merupakan kumpulan substansi water-soluble
yang hanya didapatkan pada stratum korneum, kadarnya sekitar 20-30%. Lapisan
lipid yang mengelilingi korneosit menyelubungi dan mencegah hilangnya NMF
(Brannon, 2007).
2.6 Lipid Epidermal dan Fungsi Barrier
Lipid pada stratum korneum memiliki “melting point” dan polaritas yang
tinggi sehingga dapat membentuk lipid bilayer yang kuat, diperkuat lagi dengan
adanya intercellular lamellae dan corneocyte lipid envelope yang meningkatkan
efektivitas fungsi sawar lipid (Linberg and Forslind, 2000).
Intercellular lamellae adalah barrier terhadap air dan molekul polar lainnya
dengan adanya multiple lipid lamellae dalam tiap intercellular space akan
meningkatkan sawar (Gambar 2. 8) (Guy et al., 1994).
29
Gambar 2. 8 Intercellular Lipid
Asam lemak bebas dan ceramides yang dibebaskan dari lamellar bodies akan
berfusi bersama dalam stratum korneum untuk membentuk continuous layer
lipids. Karena terdapat dua tipe lipid, maka lapisan ini juga disebut lamellar lipid
bilayer. Lipid bilayer berperan penting dalam memelihara sawar kulit dan analog
dengan "mortar" pada model brick and mortar (Brannon, 2007).
2.6.1 Corneocyte lipid envelope
Corneocyte envelope membentuk bagian yang penting dalam sawar
permeabilitas epidermis. Strukturnya terdiri atas dua bagian: (1) bagian yang tebal
yang melekat pada sitoplasma tersusun oleh protein dan (2) bagian yang tipis
merupakan bagian yang menyusun sisi luar protein yang tersusun dari lipid. Ikatan
lipid pada corneocyte lipid envelope sama dengan lipid pada intercellular
lamellae (Bauman, 2002a).
Corneocyte lipid envelope dapat menahan asam amino dengan berat molekul
rendah dan berperan penting dalam sawar permeabilitas epidermis
(Swartzendruber et al., 1987 ; Lévêque, 2002).
30
Gambar 2. 9 Cornified Envelope Lipid
Lapisan lipid ceramides melekat pada cell envelope dan menolak air. Karena
lamellar lipid bilayer juga menolak air, maka molekul air akan berada di antara
cell envelope lipid dan lipid bilayer. Ini akan memelihara keseimbangan kadar air
dalam stratum korneum dengan memerangkap molekul air dibandingkan dengan
membiarkannya terabsorpsi ke dalam lapisan epidermis yang lebih dalam
(Brannon, 2007).
2.7 Struktur dan Fungsi Dermis
Dermis terdapat di antara epidermis dan lemak sub kutan dan berperan
terhadap ketebalan kulit. Ketebalan kulit bervariasi pada bagian tubuh yang
berbeda dan dipengaruhi oleh usia. Pada penuaan lapisan basal akan menurun
ketebalan dan kelembabannya (Bauman, 2002b).
Pada dermis terdapat saraf, pembuluh darah, kelenjar keringat dan kolagen.
Pada bagian terluar dermis di bawah epidermis disebut dermis papila dan bagian
bawahnya disebut dermis retikuler. Struktur pada dermis retikuler lebih padat
dibandingkan pada dermis papila. Sel yang dominan pada dermis adalah fibroblas
yang memproduksi kolagen, elastin dan protein matriks lain serta enzim. Bagian
31
yang terdapat di antara epidermis dan dermis disebut dermal-epidermal junction
(DEJ) (McGrath et al., 2004).
Pada mulanya perhatian terhadap struktur kulit ditujukan pada sel yang
menyusun lapisan epidermis, dermis dan subkutan. Saat ini yang menjadi pusat
perhatian adalah material yang berada di antara sel. Ternyata komponen matriks
ekstraseluler (MES) memiliki peran yang sangat besar terhadap aktivitas sel.
Dengan mikroskop elektron komponen MES ini tampak sebagai massa yang
amorf. Struktur ini terdiri atas glycosaminoglycan (GAG), proteoglycan,
glycoprotein, growth factor peptide dan struktur protein kolagen serta elastin.
Komponen yang paling dominan pada kulit adalah HA (Neudecker et al., 2004).
2.7.1 Kolagen
Kolagen merupakan salah satu dari protein natural yang paling kuat dan
berperan terhadap kekuatan dan kelenturan kulit. Berbagai produk maupun
prosedur peremajaan kulit memiliki target kerja pada kolagen. Seperti halnya
produk kosmetik yang mengandung asam glikolat dan asam askorbat yang
diklaim dapat meningkatkan sintesis kolagen (Bauman, 2002b).
Kolagen merupakan protein kompleks, yang terutama terdapat pada dermis.
Letak serabut kolagen tersusun tegak lurus dengan serabut elastin. Serabut yang
imatur terdapat pada dermis superfisial, sedangkan yang matur terdapat pada
lapisan yang lebih dalam pada dermis (McGrath et al., 2004).
Tiap tipe kolagen tersusun atas 3 rantai. Kolagen disintesis pada fibroblas
dalam bentuk prekursor prokolagen. Residu prolin pada rantai prokolagen berubah
32
menjadi hidroksiprolin dengan adanya enzim prolyl hydroxylase. Proses ini
membutuhkan Fe ++, vitamin C dan α-ketoglutarate. Demikian juga dengan
residu lisin, berubah menjadi hidroksilisin dengan adanya enzim lysil hydroxylase.
Proses ini juga membutuhkan Fe ++, vitamin C dan α-ketoglutarate. Kekurangan
vitamin C akan menurunkan produksi kolagen (McGrath et al., 2004).
2.7.2 Tipe kolagen pada dermis
Kolagen tipe I merupakan tipe kolagen yang terbanyak dan 80-85% terdapat
pada dermis, berpengaruh pada kekuatan dan kelenturan dermis. Jumlah kolagen
tipe I menurun pada photoaged dan merupakan kolagen yang sangat
mempengaruhi penuaan kulit (Kimyai-Asadi et al., 2003).
Kolagen tipe III terdapat pada matriks dermis 10-15%, diameternya lebih
kecil dibandingkan kolagen tipe I. Dikenal juga dengan istilah “fetal collagen”,
karena ditemukan terbanyak pada masa embrional. Terutama didapatkan di sekitar
pembuluh darah di bawah epidermis (Kimyai-Asadi et al., 2003).
Kolagen tipe IV terdapat pada basement membrane zone. Kolagen tipe V
tersebar secara difus pada dermis sekitar 4-5%. Tipe VII membentuk anchoring
fibril pada DEJ. Sedangkan kolagen tipe XII terdapat pada hemidesmosom
(Kimyai-Asadi et al., 2003).
33
2.7.3 Elastin
Serabut elastin terdapat di perifer serabut kolagen, tersusun dalam bentuk
mikrofibril yang merupakan gabungan fibrilin. Fibrilin merupakan tempat elastin
dideposit. Bila sering terpajan sinar matahari elastin menjadi substansi yang amorf
pada dermis dan rusak (Kimyai-Asadi et al., 2003).
2.7.4 Glycosaminoglycans
Glycosaminoglycans (GAG) adalah rantai polisakarida yang tersusun oleh
unit disakarida yang berulang dan berikatan secara kovalen dengan protein inti.
GAG merupakan senyawa yang mampu mengikat air dan berperanan dalam
pelembaban kulit (Jung et al., 1997).
Proteoglycans merupakan makromolekul kompleks yang terdiri atas protein
utama dan satu atau lebih rantai GAG yang terikat secara kovalen. GAG terutama
didapatkan dalam matriks ekstraseluler tetapi terutama disintesis oleh apparatus
Golgi yang terdapat dalam sel (Jung et al., 1997).
Bagian utama dari GAG adalah gula yang berupa konjugat molekul kompleks
yang disebut glycan. Glycan terdapat dalam berbagai bentuk dan ukuran dari
rantai linier (polisakarida) sampai molekul dengan banyak cabang. Glycan
merupakan bagian terbesar yang menempati ekstraselular matriks dan berperan
penting dalam transmisi sinyal biokimia ke dalam dan antar sel (Tzellos et al.,
2009).
Dermatan sulfate adalah GAG yang terutama didapat dalam kulit tetapi juga
pada pembuluh darah, katup jantung, tendon dan paru. Dermatan sulfate berperan
34
dalam koagulasi, penyakit jantung, karsinogenesis, infeksi, penyembuhan luka
dan fibrosis (Tzellos et al., 2009).
Chondroitin sulfate adalah GAG yang tersulfatasi tersusun atas rantai gula
((N-acetyl-galactosamine dan glucuronic acid). Biasanya melekat pada
proteoglycan. Rantai chondroitin dapat memiliki 100 gula dalam berbagai variasi
posisi dan jumlah. Chondroitin sulfate merupakan struktur komponen utama dari
kartilago dan berfungsi melindungi dari regangan dan benturan (Bertozzi and
Rabuka, 2009).
Struktur kompleks molekul gula dari glycan, disajikan pada Gambar 2.10
yang menggambarkan permukaan sel dan matriks ekstraseluler di antara sel.
35
Gambar 2.10 Kompleks Molekul Gula dari GlycanMerupakan diversi dari struktur yang membentuk permukaan sel dan matriks
ekstraseluler yang berada di antara sel. Polisakarida ini tampak tersusun seperti
manik-manik yang berwarna-warni yang melekat pada protein (berwarna biru)
dengan ikatan kovalen. Glycan dapat merupakan rantai linier (GAG) atau
memiliki cabang molekul gula. Glycan dibentuk dalam Golgi. Terdapat vesikel
lipid yang mengangkut glycan yang sudah dimodifikasi menjadi protein ke
permukaan sel (Bertozzi and Rabuka, 2009).
36
Perkembangan teknologi terbaru untuk mengeksplorasi struktur rantai gula
dipelajari dalam cabang ilmu yang disebut Glycobiology. Istilah ini pertamakali
dikenalkan oleh Rademacher, Parekh, dan Dwek pada tahun 1988 untuk
menunjukkan pengetahuan modern tentang kimia karbohidrat dan biokimia serta
biologi molekuler dari glycan. Sampai saat ini istilah tersebut tetap digunakan
(Rademacher et al., 1988).
Ilmu ini terutama mempelajari tentang struktur, biosintesis dan biologi dari
saccharide (rantai gula atau glycan). Saat ini merupakan dasar ilmu bagi
perkembangan bioteknologi, farmasi dan laboratorium. Glycobiology sangat
bergantung pada disiplin ilmu genetika molekuler, biologi sel, fisiologi dan kimia
protein (Bertozzi and Rabuka, 2009).
Dalam perkembangan Glycobiology akan dibahas lebih jauh tentang peran
utama molekul kompleks karbohidrat dalam komunikasi sel. Paradigma sentral
dari biologi molekuler modern adalah tentang alur informasi dari DNA ke RNA.
Konsep utama dari informasi ini bukan hanya presisi dalam template-driven tetapi
juga kemampuan memanipulasi tiap kelas molekul berdasarkan pengetahuan
tentang pola urutan homologi dan hubungannya dengan fungsi dan evolusi.
Dengan selesainya urutan genom manusia (human genom project) dan
pengetahuan berbagai model organisme akan menjadi salah satu pengetahuan
yang sangat berharga bagi perkembangan sistem biologi (Bertozzi and Rabuka,
2009).
37
2.11 Jalur Komunikasi Glycan
Merupakan petunjuk komunikasi yang penting bagi perkembangan sel
dan jaringan serta fungsi fisiologisnya (Bertozzi and Rabuka, 2009)
Untuk menunjukkan peran glycan dalam komunikasi sel dapat digambarkan
dengan salah satu contoh sebagai berikut. Salah satu interaksi protein dan GAG
adalah fibroblast growth factor akan menerima sinyal dari GAG sehingga
fibroblast growth factor dapat berinteraksi dengan reseptornya pada permukaan
sel. Pengikatan growth factor pada reseptornya merupakan gerakan akibat sinyal
kaskade yang berakhir dalam nukleus sel dan memicu gen yang memodulasi
proliferasi sel. Untuk mempercepat sinyal bertingkat ini reseptor pada permukaan
sel harus berubah struktur yaitu dengan melekat pada reseptor kedua (glycan)
secara simultan (Esko and Linhardt, 2009). Jenis GAG yang terbanyak pada
dermis adalah hyaluronic acid (HA) atau hyaluronan (Gambar 2.12) (Varki, et al.
2009).
Volume HA yang besar berhubungan dengan kandungan air dan hidrasi kulit,
kemampuan memelihara kegiatan sel. Kadarnya meningkat pada aktivitas
proliferasi, regenerasi dan penyembuhan luka (wound healing). Dengan demikian
38
HA memiliki potensial sebagai anti penuaan. HA terutama diproduksi dalam
mesenkim jaringan konektif dan paling banyak oleh fibroblas. Dapat mencapai
sirkulasi darah melalui saluran limfatik (Neudecker et al., 2004).
Gambar 2. 12 Biosintesis HA
Biosintesis HA oleh HA synthase (HAS) terjadi dengan penambahan gula (N-
acetyl-glucosamine/GLcN and glucuronic acid/GlcA) pada akhir polimer. M++
adalah metal ion cofactor, UDP= Uridine Diphosphat (Varki and Sharon, 2009).
HA terdiri atas disakarida yang berulang yang disusun oleh N-
acetylglucosamine (GlcN) dan glucuronic acid (GlcA) dan membentuk matriks
yang menghidrasi. Berperan pada pertumbuhan sel, berfungsi sebagai reseptor
membran dan adhesi sel. Dalam produk kosmetik, HA berfungsi sebagai
humektan (Neudecker et al., 2004).
HA terutama terdapat ekstraselular pada lapisan stratum spinosum dan
stratum granulosum. Sedangkan pada lapisan basal HA didapatkan terutama
39
intraselular (Tammi et al., 1991). HA pada dermis lebih banyak dibandingkan
dengan pada epidermis. HA total terutama didapatkan pada kulit sekitar 50 %.
Kadarnya lebih banyak pada dermis papila dibandingkan pada dermis retikuler
(Neudecker et al., 2004).
Perkembangan genetika molekuler dan kemajuan dalam human genom
project disempurnakan dengan pengetahuan tentang metabolisme HA. HA
disintesis oleh HA syntases (HAS), sedangkan enzim yang memiliki peran dalam
reaksi katabolik adalah hyaluronidase. HA memiliki reseptor yang mengontrol
sintesis HA, deposisi, menyusun sel dan protein tertentu dan kemudian
mendegradasinya (Varki and Sharon, 2009).
2.8 Filagrin dan Kulit Kering
Di luar mekanisme kompleks yang disebutkan di atas, terdapat beberapa
orang yang menderita kekeringan kulit sekalipun terlepas dari pengaruh stres
lingkungan, udara dingin, kering, angin, kerusakan akibat detergen dan lain-lain.
Hal ini menunjukkan terdapat juga peranan intrinsik dalam menentukan terjadinya
kekeringan kulit (Irvine and Mc Lean, 2006).
Filagrin merupakan protein yang penting dalam kulit dan mempunyai efek
dominan terhadap resistensi stres. Kadar filagrin dalam kulit menjadi penentu
terjadinya kekeringan kulit.
40
2.8.1 Genotip filagrin sebagai penentu utama kecenderungan kulit kering
Filagrin dikode oleh gen profilagrin yang terletak pada kompleks diferensiasi
epidermal lokus 1q21 pada kromosom 1 bersama dengan gen yang terlibat dalam
proses diferensiasi epidermal lainnya. Gen ini mengkode sejumlah protein
prekursor yang disebut profilagrin terdiri atas 10-12 protein filagrin yang
bergabung dengan ikatan peptida (Scott, 2005).
Profilagrin disintesis dalam jumlah besar pada permukaan luar epidermis,
33% diproduksi dalam stratum granulosum. Filagrin memiliki komposisi asam
amino histidin dan arginin. Profilagrin berkumpul di dalam sel membentuk granul
keratohialin dan merupakan salah satu protein yang sensitif terhadap protease
(Irvine and Mc Lean, 2006).
2.8.2 Filagrin dan Natural Moisturizing Factor
Pada saat stratum korneum bergerak ke permukaan kulit, maka akan terpajan
dengan kondisi yang kering. Aktivitas air akan menurun di bawah 95%. Pada saat
ini protease dalam stratum korneum menjadi aktif dan secara lengkap akan
mendegradasi filagrin menjadi asam amino individual. Proses ini dipicu oleh
peningkatan konsentrasi ion karena sel kehilangan air. Asam amino bebas hasil
pembongkaran filagrin akan mengalami berbagai perubahan. Glutamine akan
kehilangan ammonia dan berubah menjadi pyrrolidone carboxylic acid melalui
reaksi non enzimatik, histidine kehilangan ammonia akibat pengaruh enzim
histidine ammonia lyase kemudian akan memproduksi urocanic acid (Scott,
2005).
41
Proses ini sangat penting bagi stratum korneum, pyrolidone carboxylic acid
bersifat sangat higroskopik sehingga dapat menarik air dalam kondisi kering
sekalipun. Pembentukan kompleks asam amino yang disebut sebagai NMF ini
membuat stratum korneum tetap terhidrasi (Irvine and Mc Lean, 2006).
2.8.3 Fungsi filagrin
Dalam proses keratinisasi, filagrin mempunyai fungsi (Irvine and Mc Lean,
2006) :
a. Mengagregasi keratin sehingga menjadi struktur matriks yang close-
packed
b. Mengkatalisa ikatan disulfida di antara keratin
c. Membentuk NMF
d. Membentuk acid mantle kulit
e. Memproduksi urocanic acid yang berperan dalam imunomodulator
dan sebagai tabir surya
42
Gambar 2. 13 Filagrin
Akibat mutasi homozigot, kulit tidak memiliki filagrin. Immunostaining dengan
filaggrin repeat domain mAb 15C10 (Novocastra, Newcastle upon Tyne, United
Kingdom) menunjukkan granula keratohialin pada kulit normal (kiri) berbeda
kontras dengan hilangnya lapisan granulosum pada individu homozigot yang
kehilangan filagrin (kanan). Pasien remaja ini menderita iktiosis vulgaris dan
dermatitis atopik yang sedang sampai berat sejak bayi (Irvine and Mc Lean,
2006).
2.9 Proses Deskuamasi
Proses deskuamasi yang normal merupakan hal yang penting dalam menjaga
fungsi stratum korneum yang normal, kohesi stratum korneum dan peran enzim
proteolitik mempengaruhi proses ini (Chu et al., 2003).
Bagian yang mengendalikan proses deskuamasi adalah intercellular space
dari stratum korneum karena didalamnya mengandung campuran lipid complex
yang menyusun struktur protein, enzim, dan nonstructural protein, substansi
43
dengan berat molekul rendah dan berbagai derajat hidrofilik yang berinteraksi
dengan rendahnya kadar air (Egelrud, 2000).
Pada kondisi menurunnya kadar air dalam stratum korneum, maka enzim
yang merusak desmosom menurun sehingga proses deskuamasi terganggu.
Permukaan kulit akan tampak kasar dan dan kering (Orth and Appa, 2000).
Desmosom memperantarai kontak antar sel stratum korneum bentuknya bulat
oval dengan diameter 0,2 – 1 mm. Berikatan dengan intracellular keratin filament
dan glycoprotein. Corneodesmosome berikatan dengan intercellular keratin
filament yang lebih padat, degradasi corneodesmosome akibat reaksi enzim
proteolitik stratum corneum chymotriptyc enzyme (SCCE) akan menyebabkan
terjadinya proses deskuamasi karena menurunkan kohesi stratum korneum (Simon
et al., 2002).
Kegagalan desmosom menyelesaikan program self destruction pada proses
deskuamasi akan mengakibatkan kulit bersisik. Bila stratum korneum mengalami
penurunan water-binding capacity, maka elastisitas kulit akan menurun (Scott,
2005).
44
Gambar 2. 14 Proses Deskuamasi.
Deskuamasi atau eksfoliasi merupakan proses pada stratum korneum yang sangat
kompleks dan sampai saat ini baru sebagian yang terungkap. Telah diketahui
beberapa enzim yang merusak corneodesmosomes dengan pola spesifik, tetapi
belum diketahui sifat alami dari enzim ini dan bagaimana mulai mengaktivasi
proses eksfoliasi ini sekalipun diketahui bahwa air dan pH berperan penting
terhadap aktivitas enzim ini (Brannon, 2007).
2.10 Kadar Air Pada Stratum Korneum dan Hidrasi Kulit
Pengukuran hidrasi stratum korneum untuk meneliti biofisik dan fungsi sawar
kulit sangatlah penting artinya. Dengan memonitor parameter ini dapat secara
efisien menjadi dasar dalam mencegah kambuhnya penyakit kulit dan membantu
mengevaluasi efektivitas pengobatan kulit (Primavera et al., 2005).
45
2.10.1 Hidrasi kulit
Selain sebagai sawar yang melindungi dari pengaruh luar, stratum korneum
juga mencegah hilangnya molekul endogen termasuk kehilangan air dari lapisan
dalam epidermis. Kulit kering tidak berarti berlawanan dengan kulit berminyak,
lawan dari kulit kering adalah kulit yang tidak kering sedangkan kulit berminyak
lawannya adalah kulit yang tidak berminyak, sehingga pengukuran produksi
sebum tidak dapat mengukur kekeringan kulit (Kligman, 2000).
Sejak tahun 1980 dikenal alat korneometer yang dapat mengukur kadar air
dalam kulit. Prinsip pengukuran korneometer berdasarkan kapasitans dari media
dielektrik. Setiap perubahan pada dielektrik yang diakibatkan variasi hidrasi kulit
akan mengubah kapasitans pada kapasitor pengukur. Keunggulan prinsip
pengukuran ini adalah tidak dipengaruhi oleh kondisi permukaan kulit di luar
hidrasi kulit, dan dapat mengukur perubahan tingkat hidrasi kulit serta hanya
membutuhkan waktu yang singkat dalam pengukuran. Pengukuran ini secara tidak
langsung mengukur fungsi sawar kulit (Heinrich et al., 2003)
Kulit yang menua ditandai dengan perubahan histopatologi dan biologi. Hal
yang mempengaruhi keadaan ini adalah peningkatan ukuran korneosit,
peningkatan ketebalan stratum korneum akibat akumulasi korneosit yang
disebabkan gangguan deskuamasi. Dengan bertambahnya usia, berbagai lipid
barrier utama menurun sehingga fungsi sawar kulit juga menurun dan terjadilah
kekeringan kulit (Fore, 2009).
46
Gambar 2. 15 Pengukuran Hidrasi Kulit dengan Korneometer
Probe yang digunakan merupakan bahan elektronik yang berkualitas dan stabil
terhadap perubahan temperatur serta tidak dipengaruhi oleh fluktuasi sumber
listrik. Adanya pegas pada probe membuat penekanan pada permukaan kulit tetap
konstan. Luas permukaan probe 49 mm2 memudahkan pengukuran pada semua
bagian tubuh dan mudah dibersihkan. Seluruh kaliberasi data ada pada probe
(Heinrich et al., 2003).
Hidrasi kulit dan TEWL merupakan pengukuran non invasif yang penting
dalam dermatologi dan kosmetologi karena nilai pengukuran TEWL dan kadar air
stratum korneum dapat digunakan untuk menilai dan membandingkan efikasi
berbagai produk yang dioleskan pada kulit terutama pelembab (Pedersen and
Jemec, 2006). Pengukuran kelembaban kulit dengan korneometri lebih mudah dan
lebih reliabel dibandingkan dengan pengukuran TEWL (Heinrich et al., 2003).
47
2.10.2. Transepidermal water loss (TEWL)
TEWL mencerminkan penguapan dari permukaan kulit. Salah satu
karakteristik kulit yang sehat adalah perbandingan yang proporsional antara
TEWL dan hidrasi kulit (Primavera et al., 2005).
Pengukuran TEWL hanya valid di dalam batas lapisan yang mengalami difusi
pada tubuh manusia yang kedalamannya sekitar 10 -30 µm pada kondisi normal.
Sensitivitas instrumen juga dapat mengganggu hasil pengukuran TEWL (Black et
al., 2005).
Usia tidak terlalu banyak mempengaruh TEWL, tetapi pada periode
kehidupan tertentu dapat terjadi perubahan yang bermakna, misalnya pada bayi
prematur dengan kehamilan kurang dari 30 minggu akan mengalami gangguan
sawar epidermal tetapi dalam beberapa hari setelah kelahiran akan terjadi maturasi
sawar kulit (Primavera et al., 2005).
Pengukuran TEWL menggunakan evaporimeter. Alat ini mempunyai probe
yang mengukur tekanan penguapan air parsial pada dua lokasi di atas permukaan
kulit, 3 mm dan 9 mm dengan bantuan dua pasang humidity transducer dan
thermistor. Perbedaan tekanan penguapan air parsial pada kedua lokasi tersebut
kemudian dikalkulasi dan dinyatakan sebagai gr/m2 per jam. Nilai TEWL normal
adalah antara 2-5 gr/m2 per jam. Nilainya dapat mencapai 90-100 gr/m2/ jam
setelah stripping kulit atau pada keadaan adanya lesi dermatitis atopik (Black et
al., 2005).
48
2.11 Penuaan pada kulit
2.11.1 Perubahan struktur pada penuaan kulit
Proses penuaan akan berlangsung heterogen pada tingkat struktur jaringan,
sel dan subseluler. Penuaan secara global terjadi pada seluruh tubuh dimulai pada
usia 30-45 tahun. Terdapat berbagai variasi regional dalam seluruh tubuh.
Berbagai organ akan menunjukkan manifestasi penuaan yang berbeda
tingkatannya. (Gerald et al., 2010)
Perubahan ketebalan dan karakteristik lain pada kulit tampak pada gambar di
bawah ini.
Gambar 2.16 Perubahan Ketebalan Kulit pada Penuaan (Farage et al., 2007)
Kulit dewasa akan menipis secara progresif dengan berjalannya waktu. Kulit
yang tidak terpajan sinar matahari akan menipis sampai 50% antara usia 30-80
tahun. Tetapi yang paling mencolok adalah penipisan kulit pada area yang
terpajan yaitu, pada wajah, leher, bagian atas dada, tangan dan lengan. Penipisan
49
epidermis terjadi 6,4% per 10 tahun. Penipisan kulit lebih cepat terjadi pada
wanita dibandingkan pria (Farage et al., 2010).
Penipisan vaskuler dan seluler lapisan dermis juga berlangsung sesuai usia.
Penurunan lapisan kolagen dan elastin adalah hal yang paling utama menipiskan
kulit secara total. Pada postmenopause penipisan ketebalan kulit terjadi 1,1 % per
tahun paralel dengan penurunan kolagen 2% per tahun. Sedangkan pada membran
basal justru akan meningkat dengan penuaan (Vázquez et al., 1996).
1. Epidermis
Jumlah sel epidermis dan turn over epidermal rate akan menurun.
Perubahan karakteristik akan terjadi pada setiap tipe sel epidermis. Sel
basal ukurannya menjadi hampir tidak sama sekalipun rata-rata ukuran sel
justru meningkat. Keratinosit menjadi lebih pendek dan datar, korneosit
menjadi lebih besar akibat penurunan turn over epidermal (Brégégère et
al., 2003). Berbagai perubahan yang terjadi pada struktur kulit yang menua
ditampilkan pada tabel 2.1 (Farage et al., 2010)
50
Tabel 2.1 Perubahan pada Struktur Kulit Menua
Lapisan kulit Efek pada kulit yang menua
Penurunan kadar lipid
Epidermis Pendataran dermal-epidermal junction
Jumlah melanosit yang aktif secara enzimatik menurun 8-20% per 10 tahun
Penurunan jumlah sel Langerhans
Penurunan kapasitas reepitelisasi
Peningkatan jumlah pori-pori
Dermis Atrofi (penipisan kulit)
Penurunan vaskularitas dan elastisitas
Penurunan sintesis kolagen
Degenerasi korpuskulum Meissner dan Paccini
Perubahan struktur kelenjar keringat dan jumlah kelenjar yang berfungsi menurun
Penurunan serabut elastin
Penurunan jumlah pembuluh darah
Penurunan jumlah akhiran syaraf
Hipodermis Perubahan distribusi lemak subkutan
Penurunan volume secara keseluruhan
Lain-lain Penurunan pigmen rambut
Penipisan rambut
Penurunan kelenjar minyak
Abnormalitas kuku
Produksi sebum menurun
(Sumber: Farage at al,. 2010)
51
Sel Langerhans menjadi heterogen dan jumlah serta dendritnya berkurang
sehingga imunitas kulit berkurang. Sekalipun jumlah kelenjar sebasea
tidak berkurang tetapi produksi sebum menurun. Dengan demikian maka
kadar air dalam stratum korneum kulit menua akan lebih rendah
dibandingkan kulit yang muda. Sesuai dengan bertambahnya usia maka
komposisi asam amino juga berubah dan mengakibatkan NMF berkurang
disertai penurunan water binding capacity. Keadaan inilah yang juga
memperlambat terjadinya proses deskuamasi dan menyebabkan
permukaan kulit menjadi kering dan kasar. Sawar kulit sangat bergantung
pada kandungan dan susunan lipid pada stratum korneum. Total lipid akan
berkurang sampai 65% pada kulit yang menua. Kadar ceramide terutama
linoleat sangat menurun. Demikian juga sterol ester pada lipid kulit.
Karena kadar air yang menurun pada stratum korneum maka TEWL juga
ikut menurun (Gunin et al., 2010)
2. Dermis
Komponen utama dermis adalah komponen ekstraseluler berupa kolagen,
elastin dan asam hialuronat. Kolagen akan menurun kadarnya seiring
dengan meningkatnya enzim metalloproteinase yang menghancurkan
kolagen. Sintesis kolagen dan enzim yang mensintesis kolagen akan
menurun. Susunan kolagen menjadi tidak beraturan dan elastin mengalami
kalsifikasi. Komposisi GAG menurun sehingga water binding capacity
juga menurun. Jumlah sel mast dan fibroblas yang menurun
mengakibatkan penyembuhan luka terhambat (Farage et al., 2010).
52
3. Subkutan
Secara umum volume lemak subkutan menurun dengan penuaan sekalipun
proporsi lemak subkutan pada bagian tubuh tertentu meningkat sampai
usia 70 tahun. Distribusi lemak menurun pada wajah, tangan dan kaki
sedangkan pada paha perut dan pinggang relatif meningkat. Secara
fisiologis fungsi termoregulasi pada organ internal akan meningkat
(Farage et al., 2010).
2.11.2 Perubahan Fisiologis
Secara fisiologis terdapat berbagai perubahan pada kulit yang menua sebagai
berikut:
1. Perubahan biokimia
Sintesis vitamin D berkurang akibat berkurangnya sintesis prekursor 7-
dehydrocholesterol menurun. Kondisi pH kulit tetap konstan 5,5 sampai
usia 70 tahun kemudian meningkat dengan menurunnya sirkuasi darah
(Tuohimaa, 2009). Keadaan pH yang asam akan mencegah kolonisasi
bakteri. Peningkatan pH kulit meningkatkan risiko infeksi, alergi dan
iritasi (Gerber et al., 1979).
Penuaan intrinsik sangat dipengaruhi oleh kadar berbagai hormon. Pada
klimakterium dan awal timbulnya penuaan intrinsik berjalan seiring
dengan menurunnya kadar estrogen (Hashizume, 2004).
53
Peningkatan radiasi UV akibat penipisan lapisan ozon dapat meningkatkan
risiko kerusakan fotooksidatif yang diinduksi oleh Reactive Oxygen
Species (Tetrahedron, 2010).
Gambar 2.17 UVA Menginduksi Stres Oksidatif dan Kerusakan Kulit
Eritema solaris, fotodermatitis, fotoaging dan kanker kulit merupakan efek
dari radiasi sinar UV. WHO memperkirakan antara 2-3 juta kanker kulit
non melanoma dan 130.000 melanoma maligna terjadi setiap tahunnya
(WHO, 2008).
Radiasi UV merupakan generator dari ROS dan reactive nitrogen species
(RNS) yang memegang peranan dalam menimbulkan efek biologis.
54
Dibawah kontrol antioksidan endogen, spesies ini akan terlibat dalan
pengaturan redox dependent metabolism dalam sel akibat stress UV, tetapi
tidak seimbang sehingga akan menginduksi kerusakan oksidatif yang
terakumulasi dan merupakan faktor risiko fotoaging, fotoimunosupresi dan
fotokarsinogenesis (Setlow et al., 1993).
Yang pertama kali terlibat dalam produksi ROS adalah singlet oxygen
(1O2), superoxide anion (O2•¯) dan hydrogen peroxide (H2O2). singlet
oxygen memegang peranan penting pada jalur ini dan jumlahnya akan
meningkat dalam kulit akibat radiasi UVA. Oksigen ini akan semakin
banyak dengan transfer fotoenergi dari lO2 ( Wood et al., 2006).
Modifikasi akibat ROS dan RNS akan menghasikan mutasi gen dan
perubahan membran sehingga akan menunjukkan ekspresi dari tumor
suppressor gene p53 dan pembebasan ceramide (Grether-Beck et al.,
2000).
2. Permeabilitas
Permeabilitas akan menurun diikuti dengan penurunan absorpsi stratum
korneum pada epidermis dan papilla dermis. Hal ini terjadi akibat
penurunan kadar lipid dan mikrosirkulasi (Davis et al., 1997).
Kemampuan absorpsi perkutan berhubungan dengan komponen hidrofobik
relatif dari lipid kulit sehingga bahan yang bersifat hidrofobik lebih mudah
diabsorpsi dengan kadar lipid kulit yang tinggi. Sebagai contoh, wajah
memiliki kadar lipid kulit 12-15% akan mudah menerima komponen
hidrofobik. Sedangkan telapak kaki memiliki kadar lipid kulit 1-2%
55
sehingga lebih mudah mengabsorpsi bahan hidrofilik (Wohlrab et al.,
2010).
3. Vaskularisasi dan termoregulasi
Kapiler dan pembuluh darah kecil pada kulit menua mulai kurang
beraturan dan berkurang jumlahnya sehingga reaksi vasokonstriksi otonom
akan menurun. Kemampuan berkeringatpun akan berkurang. Suhu pada
wajah akan lebih rendah dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya
(Farage et al., 2008).
4. Respons terhadap bahan iritan
Respons inflamasi terhadap bahan eksogen menurun pada usia di atas 70
tahun, oleh sebab itu kerusakan kulit dapat terjadi tanpa tanda-tanda klinis
yang jelas. Bahkan tes sensitisasi alergik dapat tidak berarti. Manifestasi
iritasi kulit menurun, uji tempel akan menghasilkan tanda eritematosa,
vesikel, pustul dan edema yang menurun di samping penurunan TEWL
(Farage et al., 2008).
5. Respons imun
Respons imun pada penuaan menurun, jumlah sel Langerhans pada
epidermis menurun 50% pada usia 25-70 tahun. Limfosit total yang
bersirkulasi menurun baik limfosit T maupun limfosit B sehingga
kapasitas fungsionalnyapun menurun. Reaksi terhadap berbagai tes alergi
menurun. Kadar autoantibodi yang bersirkulasi justru akan meningkat
(Sunderkötter et al., 1997).
56
6. Kapasitas regenerasi dan respons terhadap luka
Pada kulit sehat, satu lapis korneosit akan mengalami deskuamasi setiap
hari. Artinya seluruh stratum korneum akan berganti dalam 2 minggu.
Pada penuaan akan membutuhkan waktu 2 kali lipat. Reaksi perbaikan
memerlukan komposisi 3 lipid kulit utama dengan kadar yang
proporsional. Selain reaksi yang lebih lambat, penyembuhan luka juga
berlangsung dalam waktu yang lebih panjang. Misalnya luka berukuran 40
cm2 pada usia 20 tahun akan menurun dalam waktu 40 hari sedangkan
pada usia 80 tahun akan menyembuh dalam waktu 2 kali lipatnya.
(Worley, 2006).
Penyembuhan luka operasi meningkat 600% pada usia 80 tahun
dibandingkan usia 30 tahun. Hasil penyembuhan luka juga kehilangan
elastisitasnya pada usia di atas 70 tahun. Proses yang menurun pada
penyembuhan luka adalah: remodeling kolagen, proliferasi sel dan
metabolisme sel (Farage et al., 2010).
7. Persepsi neurosensor
Gatal dilaporkan lebih sering dikeluhkan oleh orangtua, sedangkan
persepsi nyeri dan tekanan menurun pada usia lebih dari 50 tahun. Oleh
sebab itu risiko terjadinya luka pada jaringan akan meningkat, karena
sinyal peringatan untuk terjadinya luka adalah nyeri, eritema dan edema
berjalan lambat. Hal tersebut dapat mengakibatkan meningkatnya
morbiditas pada kulit yang menua (Farage et al., 2008).
57
Berbagai perubahan fisiologis pada kulit yang menua dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Perubahan Fisiologis pada Kulit Menua
Fungsi Perubahan
Sawar kulit TEWL menurun
Persepsi nyeri dan perabaan
Menurunnya sensitivitas sampai usia 50 tahun
Mudah gatal-gatal
Termoregulasi Penurunan kelenjar keringat
Respons terhadap trauma
Repons inflamasi menurun (edema dan eritema)
Penurunan penyembuhan luka
Penurunan reepitelisasi
Mudah terjadi trauma
Permeabilitas Penurunan absorpsi perkutan
Penuruan kelenjar minyak
Penurunan vaskularisasi
Penurunan chemical clearance
Fungsi imun Penurunan jumlah thymus-derived lymphocyte yang bersirkulasi
Penurunan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat
Lain-lain Penurunan produksi vitamin D
Penurunan elastisitas
(Sumber: Farage et al., 2010)
58
2.12 Pelembab
Menurut Gabard (1994), pelembab adalah emulsi yang mengandung substansi
aktif yang dioleskan pada kulit dengan tujuan untuk rehidrasi atau regenerasi kulit
kering, kasar dan bersisik akibat xerosis, iritasi atau oleh sebab lain. Sediaan
pelembab adalah, lotion, krim, salep dan bath oil. Pelembab bekerja dengan
komposisi yang bersifat oklusif dan atau humektan seperti halnya komponen pada
NMF.
Komposisi yang bersifat oklusif secara fisik memblokir kehilangan air dari
permukaan kulit (Hannon and Maibach, 2005).
a. Substansi hidrofobik ini akan membentuk lapisan oklusif pada kulit yang
akan menurunkan TEWL dengan mencegah penguapan air.
b. Menjaga kadar lipid barrier kulit.
c. Contoh : petrolatum, beeswax, lanolin.
Komposisi yang bersifat humektan bekerja dengan menarik air ke dalam kulit
(Hannon and Maibach, 2005).
a. Air yang diambil untuk mempertahankan kelembaban kulit berasal dari
lapisan epidermis yang lebih dalam, jarang dari lingkungan.
b. Hidrasi stratum korneum akan menormalkan lipid interselular dan proses
deskuamasi alami
c. Kulit menjadi lebih resisten terhadap kondisi kekeringan.
d. Humektan akan berperan seperti halnya natural hydrophilic humectants
dalam stratum korneum.
59
e. Yang termasuk humektan antara lain: asam amino, asam laktat, alpha
hydroxy acids, propylene glycol, glycerine dan urea.
f. Beberapa substansi di atas merupakan komponen NMF.
Selain komponen oklusif dan humektan, pelembab juga dapat mengandung:
a. Komposisi bahan aktif lain yang dapat memperbaiki kelembutan kulit
dengan melubrikasi dan mengisi celah antar sel di antara sel yang kering,
yaitu bahan yang bersifat emolien (Simion and Story, 2005).
b. Bahan inaktif yang membantu melarutkan, menstabilkan, mengemulsi
sehingga didapatkan bentuk produk yang nyaman dipakai (Black, et al.
2005).
c. Pada umumnya pelembab mengandung 65-85% air dalam lotion. Air
berfungsi sebagai pelarut bagi bahan aktif dan inaktif. Banyaknya kadar
air juga memudahkan absorpsi dan evaporasi beberapa komponen
pelembab di samping berperan sebagai hydrating agent (Simion and Story,
2005).
d. Pelembab yang berbentuk krim mengandung sedikit air dan lebih banyak
minyak atau bahan oklusif (Black et al., 2005).
e. Salep dengan bahan dasar minyak kadar airnya yang sangat kecil atau
tidak ada akan sangat berlemak dan oklusif (Black et al., 2005).
Dengan mengoreksi rasio 3 komponen utama lipid interseluler (ceramides,
kolesterol, dan asam lemak) pada kulit akan memperbaiki kekeringan. Perlu
penelitian yang lebih lanjut untuk menetapkan rasio yang tepat. Pada kulit yang
60
menua, terdapat defisiensi kolesterol sehingga perlu formulasi kolesterol yang
lebih banyak untuk formula pelembab pada orangtua (Warner and Boissy, 2000).
Hidrasi yang adekuat bergantung pada adanya campuran intrinsic
hydroscopic water soluble material atau NMF (Irvine and Mc Lean, 2006).
2.11.1 Bahan-Bahan Pelembab
Bahan-bahan dalam formulasi pelembab antara lain:
a. Vaselin: berfungsi oklusif dan emolien, tidak bersifat komedogenik, jarang
menyebabkan alergi, tetapi bila digunakan tanpa campuran akan terasa
lengket, sehingga sebaiknya dicampur dengan bahan lain (Black et al.,
2005).
b. Lanolin: bekerja baik dengan lipid stratum korneum, karena lanolin
mengandung kolesterol yang merupakan bahan penting untuk
pembentukan lipid stratum korneum serta keduanya dapat bergabung pada
suhu kamar. Dapat terjadi sensitisasi terhadap lanolin (Black et al., 2005).
c. Gliserin: bersifat humektan kuat, mempunyai kemampuan menyerap air
(NMF), terbuat dari asam amino, berfungsi menstabilkan dan memberi air
pada membran sel (Black et al., 2005).
d. Urea : Termasuk humektan, mempunyai efek antipruritus ringan, dengan
kadar 3% dan 10% dalam bentuk krim. Sering digunakan dalam terapi
topikal pada penyakit kulit lain misalnya psoriasis, iktiosis, dan dermatitis
atopik. Terdapat efek samping berupa kemerahan, rasa tersengat dan rasa
terbakar terutama pada lesi ekskoriasi yang baru (Black et al., 2005).
61
e. Propilenglikol : sebagai humektan dan bahan oklusif, tidak berbau,
berbentuk cairan, serta larut dalam air, alkohol dan minyak, mempunyai
efek keratolitik, antimikrobial, dan meningkatkan penetrasi. Efek samping
berupa terjadi dermatitis alergi, iritasi dan rasa terbakar (Yu and Van
Scott, 2005).
f. Kolagen dan Polipeptida lain : kolagen yang mampu melakukan penetrasi
ke dalam stratum korneum adalah kolagen yang mempunyai berat molekul
< 5000 dalton, yang akan melekat pada permukaan kulit sehingga
permukaan menjadi lebih rata dan halus, dan setelah kering akan
memberikan efek mengencangkan kulit yang bersifat sementara (Yu and
Van Scott, 2005).
g. Asam hidroksi alfa maupun beta dapat memudahkan pengelupasan kulit.
Asam alfa hidroksi membantu sintesis lipid interselular terutama sintesis
ceramide (Yu and Van Scott, 2005).
2.11.2 Mekanisme Aksi Pelembab
Pelembab bekerja pada berbagai lokasi pada epidermis, dengan pengolesan
moisturizer akan meningkatkan kandungan air karena terjadi peningkatan absorpsi
per kutan terhadap air. Peningkatan ini terjadi karena adanya substansi yang
mampu menahan air (humektan) sehingga konsentrasi air pada permukaan kulit
meningkat (Johnson and Anthony, 2005).
62
Gambar 2.18 Hidrasi Kulit Sangat Dipengaruhi oleh Kadar GAG dan Proteoglycans Proteoglycans, Glycoproteins dan Glycosaminoglycans merupakan regulator yang mengaktifkan fungsi sel. Berinteraksi dengan matriks ekstrasel dan memiliki peran biologi yang penting dalam proliferasi (Kligman, 2000).
Mekanisme pelembaban kulit tidak terlepas dari sinyal kaskade yang
memerlukan HA sebagai salah satu reseptor untuk membawa sinyal pada
permukaan kulit agar mempertahankan kelembaban kulit (Bertozzi and Rabuka,
2009).
63
Pelembab digunakan untuk melembabkan kulit sehingga gejala dan tanda
kekeringan kulit, bersisik, permukaan yang kasar menjadi lembut dan halus.
Pelembab berbeda dengan “barrier cream” yang digunakan untuk melindungi
pajanan bahan kontak yang menyebabkan dermatosis (Kligman, 2000).
Pelembab memiliki manfaat yang tidak saja melembabkan kulit, tetapi juga
dapat mengobati dermatosis kronik seperti dermatitis atopik dan psoriasis karena
dapat memperbaiki kerusakan sawar kulit. Pelembab sering digunakan sebagai
antiinflamasi pada pasien yang diterapi dengan psoralen yang dikombinasi dengan
UVA (PUVA) (Kligman, 2000). Pelembab yang digunakan selama lebih dari 6
bulan sangat efektif untuk mengurangi photodamaged pada kulit wajah (Johnson
and Anthony, 2005).
2.12 Saccharide Isomerates (SI)
SI diproduksi sebagai salah satu jawaban dari perkembangan Glycobiology
untuk mendapatkan mekanisme pelembaban kulit yang efektif. SI merupakan
molekul gula yang dibentuk sedemikian rupa agar menyamai kondisi glycan pada
kulit.
Untuk mendapatkan efek pelembaban kulit yang optimal dengan
menggunakan bahan pelembab topikal, maka barrier-repairing yang dikandung
dalam lipid pada pelembab diupayakan sama dengan lipid intraseluler pada kulit.
Kombinasi asam lemak, ceramide dan kolesterol pada pelembab dapat
memperbaiki kerusakan lipid bilayers akibat sabun, cairan yang iritatif, kondisi
lingkungan yang sangat kering, cuaca dingin dengan mengganti komponen lipid
yang berpengaruh (Warner and Boissy, 2000).
64
SI merupakan kompleks karbohidrat yang sama dengan yang ada pada
stratum korneum kulit manusia. Berfungsi mempertahankan kelembaban
sekalipun dalam kelembaban udara yang rendah. SI dapat berikatan dengan kulit
sekalipun dalam kondisi pH yang sangat rendah sehingga sangat ideal bila
digunakan bersama dengan bahan pelembab yang mengandung Alpha hydroxy
acid (AHA) (Pentapharm, 2009). Rumus bangun molekul disaccharide
isomerate disajikan pada Gambar 2.19.
Gambar 2.19 Rumus Bangun dari Disaccharide Isomerates
Komposisi SI yang sesuai dengan HA berperan sebagai pelembab yang
efektif mengendalikan kelembaban kulit dengan berikatan pada grup asam amino
lisin yang ada pada keratin stratum korneum. Karena ikatannya sangat kuat, maka
akan tetap efektif sekalipun berada pada udara yang kering dan kelembabannya
rendah. SI memiliki ikatan yang kuat dengan stratum korneum yang hanya bisa
terlepas dengan proses deskuamasi, oleh karena itu sangat efektif melembabkan
kulit, di samping itu juga dapat membuat kulit menjadi lebih halus dan tidak gatal
(Pentapharm, 2009).
65
SI dapat bersifat sebagai komponen oklusif dan humektan. Dalam bahan
pelembab juga dapat mengandung bahan aktif lain yang dapat memperbaiki
kelembutan kulit dengan melubrikasi dan mengisi celah antar sel di antara sel
yang kering, yaitu bahan yang bersifat emolien (Simion and Story, 2005).
Kombinasi SI dan berbagai bahan pelembab berperan mengefektifkan
kelembaban kulit dengan berikatan pada grup asam amino lisin yang ada pada
keratin stratum korneum. Karena ikatannya sangat kuat, maka akan tetap efektif
sekalipun berada pada udara yang kering dan kelembabannya rendah
(Pentapharm, 2009).
Pelembab juga ditambahkan bahan yang mengandung bahan inaktif yang
membantu melarutkan, menstabilkan, mengemulsi sehingga didapatkan bentuk
produk yang nyaman dipakai (Warner and Boissy, 2000).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan produsen Saccharide Isomerate,
sebelum dipasarkan, didapatkan hasil bahwa ikatan SI dengan dengan stratum
korneum. Oleh karena itu hanya bisa terlepas dengan proses deskuamasi, oleh
karena itu sangat efektif melembabkan kulit, di samping itu juga dapat membuat
kulit menjadi lebih halus dan tidak gatal (Pentapharm, 2009).
66
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka berpikir
Seiring dengan proses penuaan akan terjadi penipisan epidermis, dermis dan
lemak subkutan. Kulit menjadi kering, dan elastisitasnya berkurang sehingga
mudah mengalami kerusakan, bersisik, gatal dan pecah-pecah (Forbes, 2008).
Etiologi kulit kering didasari oleh berkurang dan atau adanya
ketidakseimbangan lipid termasuk perubahan komposisinya dalam kulit (Schûrer,
2006). Lipid ekstraseluler pada stratum korneum yang berperan sebagai sawar air
disusun oleh >40% ceramide, 25% asam lemak dan 20% kolesterol (Laudanska et
al., 2003).
Kekeringan kulit merupakan masalah bagi jutaan orang dan seringkali
menyebabkan rasa tidak nyaman bahkan stres psikologis (Egelrud, 2000).
Penderita kulit kering akan bertambah dari waktu ke waktu (Health Grade, 2009).
Faktor yang dapat mempengaruhi komposisi lipid dalam hidrasi dan sawar
kulit adalah:
1. Faktor internal:
a. Genetik: kekurangan protein filagrin menentukan apakah seseorang
akan menderita kekeringan kulit atau tidak (Scott, 2005). Kondisi
lainnya adalah iktiosis vulgaris dan psoriasis (Sybert et al., 1985).
67
b. Riwayat atopik : Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada
dermatitis atopik terdapat kekurangan ceramide (Imokawa et al.,
1991).
c. Jenis Kelamin: Perbedaan yang utama antara kulit pada pria dan
wanita adalah ketebalannya karena penyebaran rambut pada laki-laki
lebih banyak. Keadaan ini juga yang menyebabkan kulit laki-laki
lebih terlindung dari kerusakan akibat aktivitas enzim kolagenase
dengan adanya radiasi sinar ultra violet (UV) (Draelos, 2006). Kadar
hormon testosteron, estrogen dan progesteron pada wanita dan laki-
laki juga berbeda. Testosteron dan estrogen keduanya
mempengaruhi produksi sebum (Hashizume, 2004).
d. Usia : Sebelum pubertas produksi sebum dan kelenjar ekrin masih
minimal. Hal ini yang mendasari seringnya terjadi kekeringan kulit dan
dermatitis pada anak-anak. Kulit mulai menjadi kering sering dengan
berjalannya proses penuaan (Hashizume, 2004).
e. Menopause (hormonal): Pada usia 40 an, produksi sebum mulai
menurun dan lipid interselular berkurang terutama pada kondisi
menopause. Estrogen yang menurun akan menurunkan kualitas kulit,
menjadi mudah rusak dan kering (Hashizume, 2004).
f. Penyakit kronik: kondisi kronik yang juga menyebabkan kekeringan
kulit di antaranya adalah Diabetes Melitus, penyakit ginjal, uremia,
hipotiroidisme, defisiensi vitamin A, dan keganasan (Health Grade,
2009).
68
2. Faktor eksternal:
a. Bahan kontak dan iritasi kronik:
Kulit kering dapat disebabkan oleh kerusakan akibat polusi, bahan
kimia dan surfactant. Kulit yang teriritasi fungsinya akan terganggu
sama halnya dengan kondisi penyakit kulit. (Pedersen and Jemec,
2006).
b. Cuaca dan iklim:
Perubahan mendadak pada kelembaban udara akan mempengaruhi
kelembaban kulit (Denda et al., 1998).
c. Gaya hidup (Lifestyle):
Sekalipun tanpa memiliki kelainan kulit, kondisi kulit kering dapat
saja terjadi akibat pengaruh lifestyle. Akhir-akhir ini semakin
meningkat dengan kebiasaan mandi dengan shower dan air panas
yang terlalu sering dilakukan atau berendam dalam air yang
ditambahkan bath salt dan busa sabun. Kondisi lainnya akibat:
gesekan pakaian, kebiasaan bepergian dengan pesawat udara atau
berada di ruang ber AC dalam waktu lama
d. Photoaged :`
Penuaan akibat usia hanya disebabkan oleh kondisi yang
dipengaruhi dengan bertambahnya usia saja, sedangkan photoaging
69
disebabkan oleh pajanan kronik dan kumulatif terhadap sinar ultra
violet (UV) (Christina et al., 2010).
e. Kebiasaan merawat kulit: kulit yang dijaga kelembabannya dapat
mempertahankan diri terhadap kerusakan akibat proses penuaan
dibandingkan dengan kulit yang kering
Penggunaan pelembab merupakan salah satu upaya untuk menjaga
kelembaban kulit dan mencegah serta mengobati penuaan kulit. Penggunaan
pelembab yang mengandung bahan aktif SI yang merupakan kompleks
karbohidrat mukopolisakarida yang sama dengan hialuronan atau hyaluronic acid
yang ada pada stratum korneum kulit manusia (Pentapharm, 2009). Oleh karena
itu diharapkan dapat memperbaiki kekeringan kulit lebih baik dibandingkan
dengan pelembab biasa.
70
3.2 Kerangka Konsep
Berdasar rumusan masalah dan tinjauan pustaka, maka dapat disusun
kerangka konsep sebagai berikut. Hidrasi kulit dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internal meliputi genetik, riwayat atopik, usia, menopause
(hormonal), penyakit kronik. Faktor eksternal meliputi iklim dan cuaca, suhu,
kelembaban udara, bahan kontak dan iritasi kronik, lifestyle, photoaged, dan
penggunaan pelembab dalam perawatan kulit.
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian
Faktor Internal :- Genetik- Riwayat atopik- Usia- Menopause (hormonal)- Penyakit kronik
Faktor Eksternal :- Iklim dan cuaca- Suhu- Kelembaban udara- Bahan kontak dan Iritasi
kronik- Lifestyle- Photoaged
AGING SKIN
KULIT KERING
PELEMBABdengan :
saccharide isomerates 5 %
HIDRASI KULIT
71
3.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan Kerangka Konsep penelitian di atas ditetapkan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
1. Penambahan saccharide isomerates 5% dalam formulasi pelembab
meningkatkan hidrasi kulit lebih tinggi dibandingkan dengan pelembab
biasa.
2. Penggunaan formulasi pelembab yang ditambahkan saccharide isomerates
5% dapat mempertahankan hidrasi kulit tetap lebih tinggi dibandingkan
dengan pelembab biasa setelah pemberiannya dihentikan.
72
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode True experimental dengan
menggunakan rancangan “Pretest-posttest Control Group Design” Campbell &
Stanley, 1963 (Hammersley, 1991).
P0
P1
Gambar 3.2 Disain penelitian
Pada subyek penelitian yang telah dilakukan pembagian sampel secara random menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara double blind. O1 : Pengamatan kelompok kontrol setelah dibebaskan dari pemberian lotion
apapun selama 1 mingguO2 : Pengamatan kelompok kontrol setelah menggunakan lotion pelembab
biasa selama 2 minggu dan setelah bebas 1 minggu O3 : Pengamatan kelompok perlakuan setelah dibebaskan dari pemberian
lotion apapun selama 1 mingguO4 : Pengamatan kelompok perlakuan setelah menggunakan lotion
pelembab dengan SI 5% selama 2 minggu dan setelah bebas 1 mingguP0 : Kelompok kontrol (lotion pelembab biasa)P1 : Kelompok perlakuan (lotion pelembab dengan SI 5%)
Populasi Sampel
O1
O3
O2
O4
Random
73
Bentuk dan ukuran kemasan lotion sama dengan penjelasan cara pemakaian
yang sama. Pengukuran hidrasi kulit dilakukan sebelum penggunaan pelembab
dan selama pemakaian pelembab. Pengukuran dilakukan 3 kali seminggu.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat penelitian
RS Tk. II Moh. Ridwan Meuraksa,
Jln. Kramat Raya 174, Jakarta.
b. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus-Oktober 2010.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi penelitian
Karyawan wanita RS Moh. Ridwan Meuraksa (MRM), Jakarta yang berusia
30-45 tahun.
Populasi karyawan di RS MRM memiliki kesamaan dalam jadual kerja dan
kegiatan sehari-hari selama menjalankan pekerjaan. Dengan demikian diharapkan
adanya kondisi yang sama pada pemukaan kulit yang akan diteliti.
74
4.3.2 Kriteria subyek
Karyawan wanita RS Tk. II MRM, Jakarta yang berusia 30-45 tahun, yang
memenuhi kriteria inklusi.
4.3.2.1 Kriteria inklusi
a. Karyawan wanita RS Tk. II MRM, Jakarta berusia 30-45 tahun dan
belum menopause.
b. Memiliki kulit yang sehat, tidak sedang menderita dermatitis.
c. Tidak menderita penyakit kronis.
d. Bersedia mengikuti penelitian sampai selesai dan bersedia dilakukan
pengukuran hidrasi kulit selama penelitian berlangsung serta
menandatangani persetujuan tindakan medik.
4.3.2.2 Kriteria drop out
a. Terjadi efek-efek yang tidak diinginkan seperti alergi terhadap bahan
yang dioleskan.
b. Tidak dapat melanjutkan prosedur penelitian karena sakit atau
berbagai alasan yang lain.
4.4. Penentuan Besar dan Cara Pengambilan Sampel
4.4.1 Penentuan besar sampel minimal :
Penentuan besar sampel minimal subyek penelitian dengan menggunakan
rumus Pocock (2008) :
n= 2σ 2
(μ2−μ1)2 x f (α , β )
75
n = Besar sampel
μ1 = Rerata hasil pada kelompok kontrol
μ2 = Rerata hasil pada kelompok perlakuan
s = Simpang baku
α = Tingkat kesalahan I (α=0,05)
β = Tingkat kesalahan II (β=0,1)
Sehingga f (αβ) = 10,5 (Tabel 9.1)
Telah dilakukan penelitian pendahuluan pada 10 orang subyek penelitian
(Dewi, 2009).
Pada penelitian pendahuluan ini didapatkan hasil rerata hidrasi kulit pada
kelompok kontrol sebelum menggunakan pelembab (μ1) dan rerata hidrasi kulit
pada kelompok SI 5% sesudah seminggu menggunakan pelembab (μ2) sebagai
berikut:
μ1 = 28,7
μ2 = 40,2
s = 8,6
2(8,6)2
n = __________ x 10,5
(40,2-28,7)2
n = 11,74
Berdasarkan rumus di atas didapatkan sampel minimal tiap kelompok sebesar
11,74. Untuk antisipasi adanya sampel drop out maka ditambahkan 20%,
sehingga jumlah sampel 14,10 masing-masing kelompok. Dengan demikian
sampel minimal adalah 15 orang per kelompok
76
4.4.2 Cara pengambilan sampel
Sampel diambil dari populasi total yang memenuhi kriteria penerimaan
subyek penelitian.
4.5. Variabel
4.5.1 Identifikasi
1. Variabel internal : Genetik, Riwayat atopik
2. Variabel eksternal : Perawatan kulit, Gaya hidup
4.5.2 Klasifikasi
1. Variabel bebas : Pemberian pelembab dengan saccharide isomerate 5%
2. Variabel tergantung: Peningkatan hidrasi kulit
3. Variabel kendali : Genetik, riwayat atopik, gaya hidup, perawatan kulit
4.5.3 Hubungan antar variabel
(variabel kendali)
Peningkatan Hidrasi Kulit
(Variabel tergantung)
Pelembab dengan SI 5%
(variabel bebas)
Internal
Genetik
Riwayat atopik
Eksternal
Perawatan kulit
Gaya hidup
77
4.5.4 Definisi operasional
a. Pelembab dengan saccaride isomerates 5% : lotion pelembab yang
mengandung saccharide isomerates 5% diproduksi oleh PT. DCM,
Bekasi.
b. Pelembab biasa: lotion pelembab tanpa penambahan SI 5% diproduksi
oleh PT. DCM, Bekasi.
c. Kulit kering : ditandai dengan menurunnya kandungan air kurang dari
10% pada stratum korneum. Bila di ukur dengan Multi skin test center
MC 750, Germany, maka kriteria kulit kering disesuaikan dengan
petunjuk manual alat ukur, satuannya adalah persen (%).
d. Hidrasi atau kelembaban kulit: kandungan air dalam stratum korneum
yang diukur dengan alat Multi skin test center MC 750, Germany
satuannya adalah persen (%).
e. Tinggi badan : ukuran tinggi badan dalam centimeter dengan pengukur
tinggi badan Microtoise Staturmeter 200 cm.
f. Berat badan : ukuran berat badan dalam kilogram dengan timbangan
berat badan digital merk Camry EB 9005.
g. Usia: masa hidup mulai dari tanggal lahir dengan pembulatan ke atas
bila melebihi 6 bulan, sesuai dengan yang tertulis pada Kartu Tanda
Penduduk.
h. Menopause: tidak adanya menstruasi selama lebih dari 1 tahun tanpa
adanya kelainan biologi dan fisiologi.
78
i. Genetik : Kondisi genetik yang mempengaruhi kekeringan kulit seperti
halnya iktiosis, psoriasis, dermatitis atopik dan lain-lain.
j. Kelembaban udara: persentase kandungan uap air dalam udara diukur
dengan alat higrometer dengan satuan RH %.
k. Suhu : suhu ruangan tempat bekerja diukur dengan thermometer suhu
ruangan.
l. Cuaca dan iklim: cuaca adalah kondisi sesaat dari keadaan atmosfer,
pengamatan secara rutin jangka panjang, menghasilkan suatu seri data
cuaca yang disebut iklim. Cuaca meliputi penerimaan radiasi matahari
dan lama penyinarannya, suhu serta curah hujan yang mempengaruhi
kekeringan kulit.
m. Riwayat atopik : riwayat atopik pada diri subyek penelitian dan
keluarganya yang ditandai dengan adanya dermatitis atopik, rhinitis
alergik atau asma bronkiale.
79
n. Perawatan kulit: kebiasaan rutin merawat kulit memakai pelembab.
o. Penyakit kronis : adanya penyakit yang menetap pada diri subyek
penelitian dalam jangka waktu lama dan dapat memburuk dengan
berjalannya waktu (Diabetes Melitus, hipertensi, dan lain-lain).
Menurut US National center for Health Statistic kurang lebih 3 bulan.
p. Photoaged: penuaan yang disebabkan oleh faktor eksternal akibat
sinar matahari. Ditandai dengan kondisi kulit yang kasar, kering,
berkerut dan hiperpigmentasi yang tidak beraturan. Kondisi yang
lebih berat dapat disertai kulit yang hipertrofik atau atrofik, purpura,
dan lesi prakanker
q. Gaya hidup : kebiasaan yang menjadi gaya hidup dan dapat
mengeringkan kulit seperti : merokok, mengkonsumsi kopi, alkohol,
sering berada di ruang ber AC, berjemur di pantai, melakukan
aktivitas di udara terbuka, sering bepergian dengan pesawat udara,
mandi dengan air panas, dan lain-lain.
r. Iritasi kronik: bahan kontak iritan yang dapat menyebabkan
kekeringan kulit karena berkontak secara terus-menerus.
80
4.6 Bahan Penelitian
Bahan Penelitian adalah:
Kelompok perlakuan : Pelembab dengan saccharide isomerates 5%
Kelompok kontrol : Pelembab biasa (tanpa saccharide isomerates 5%)
Saccharide isomerate yang dipakai adalah :
Nama Dagang : Pentavitin
Kode Produksi : 180-01
Nama Kimia : Aqueous solution of carbohydrates
INCI name : Saccharide isomerates
EU-Labelling name: Saccharide isomerates
Produksi : Pentapharm Ltd, Engelgasse 109, Switzerland
Bentuk fisik : Cairan jernih, kekuningan hampir kecoklatan dan agak
kental
pH :4,0-5,0
Kedaluwarsa : 3 (tiga) tahun
Komposisi :
a. Solvent: air
b. Buffer: citric acid
c. Preservative: none
d. Pewarna/antioksidan: none
Konsentrasi SI yang direkomendasi adalah 3-6% dan penelitian yang
dilakukan produsen menggunakan SI 5%, maka pada penelitian ini juga
menggunakan konsentrasi yang sama.
81
Pelembab yang dipakai merupakan produksi dari PT. DCM dengan
komposisi: campuran bahan I dan bahan II dikombinasi dengan SI 5%.
Tabel 4. 1
Komposisi Bahan I pada Pembuatan Lotion Pelembab
No. Bahan Baku % Kadar (gram)
ParafPenimbangan Produksi
Fase I
1 Lipowax 3,5 175
2 Emulium Delta 3,5 175
3 Isostearyl Isostearate 3 150
4 DC 200 0,6 30
5 Nipasin 0,16 8
6 Nipasol 0,08 4
7 Octyl
methoxycinnamate
5 250
8 Cetyl Alcohol 4 200
9 Benzphenon 0,5 25
10 TZ 0,38 24
Fase II :
1 Propylene Glycol 3 150
2 Gylcerin 1 50
3 Aqua DM 75,1
8
3759
82
Tabel 4. 2
Komposisi Bahan II pada Pembuatan Lotion Pelembab
No. Bahan Baku % Kadar (gram)
ParafPenimbangan Produksi
Fase I
1 Lipowax 6 300
2 Cetyl Alcohol 3 150
3 White Oil 3 150
Fase II
1 Natrosol 0,04 2
2 Propylene Glycol 3 150
3 Uniphen 0,5 25
4 Aquadest 75,36 3.768
Fase II
1 DC 200 1 50
2 DC 345 1 50
3 Polyquarternium 39 1 50
4 Vit E 0,1 5
5 Lactic Acid 4 200
6 Glycolic Acid 2 100
Tabel 4. 3
Formulasi Pelembab dengan SI 5% pada Pembuatan Lotion Pelembab
No. Bahan Baku % Kadar (gram)
ParafPenimbangan Produksi
1 Bahan I 20 1000
2 Bahan II 40 2000
3 Aquadest 33,
6
1680
4 Parfum White Musk 0,4 20
5 Aloe Vera 1 50
6 Pentavitin
(saccharide
5 250
83
Isomerates)
Tabel 4. 4
Pelembab biasa (pelembab tanpa campuran SI 5%)
pada Pembuatan Lotion Pelembab
No. Bahan Baku % Kadar (gram)
ParafPenimbangan Produksi
1 Bahan I 20 1000
2 Bahan II 40 2000
3 Aquadest 38,6 1930
4 Parfum White Musk 0,4 20
5 Aloe Vera 1 50
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur hidrasi kulit adalah
Multi Skin Test Center® MC 750 buatan Jerman. Alat ini dapat mengukur hidrasi
kulit secara non-invasif.
84
Gambar 4.1 Multi Skin Test Center® MC 750
Instrumen penelitian buatan Jerman yang digunakan pada penelitian ini.
Prinsip kerja alat ini adalah: pengukuran korneometer berdasarkan kapasitans
dari media dielektrik. Setiap perubahan pada dielektrik yang diakibatkan variasi
hidrasi kulit akan mengubah kapasitans pada kapasitor pengukur. Keunggulan
prinsip pengukuran ini adalah tidak dipengaruhi oleh kondisi permukaan kulit di
luar hidrasi kulit, dan dapat mengukur perubahan tingkat hidrasi kulit serta hanya
membutuhkan waktu yang singkat dalam pengukuran. Pengukuran ini secara tidak
langsung mengukur fungsi sawar kulit (Heinrich et al., 2003)
Gambar 4.2 Cara penggunaan alat Multi Skin Test Center® MC 750
Cara penggunaan alat Multi Skin Test Center® MC 750:
a. Disiapkan ruangan untuk melakukan pengukuran yang dilengkapi dengan
AC dengan suhu optimum 20 ̊C untuk mencegah penguapan air dari
85
permukaan kulit (TEWL) yang berlebihan. Kelembaban udara diupayakan
agar selalu sama dengan melakukan pengukuran pada waktu yang sama.
b. Subyek penelitian yang akan diukur hidrasi kulitnya, berkumpul di
ruangan ini setelah melaksanakan apel pagi. Beristirahat dalam ruangan
selama 5-10 menit sebelum pengukuran.
c. Pengukuran tidak dilakukan di bawah sinar lampu secara langsung.
d. Alat dihubungkan dengan komputer/Laptop dengan meng “install” driver
yang ada.
e. Pengukuran hidrasi kulit dilakukan dengan menggunakan probe
korneometer berukuran 49 mm2. Probe diletakkan pada bagian kulit yang
akan diukur hidrasinya. Selama pengukuran probe tidak boleh bergerak.
Penekanan pada permukaan kulit juga harus sama karena terdapat pegas
yang akan berpengaruh pada hasil pengukuran bila ditekan terlalu dalam.
Sekalipun probe yang digunakan merupakan bahan elektronik yang
berkualitas dan stabil terhadap perubahan temperatur serta tidak
dipengaruhi oleh fluktuasi sumber listrik. Seluruh kaliberasi data ada pada
probe.
f. Permukaan probe selalu dijaga agar tetap kering dan bebas dari kotoran,
air maupun alkohol.
g. Pengukuran diulang-ulang pada tiap lokasi pengukuran dengan jarak 5
detik. Pembacaan hasil akan tertera pada monitor komputer dalam 15 detik
h. Interpretasi hasil pengukuran menyesuaikan dengan petunjuk manual
(Courage and Richter, 2005). Tetapi hasilnyapun dapat bervariasi.
86
Tabel 4.5 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Hidrasi Kulit Berdasarkan Petunjuk
Manual Multi Skin Test Center® MC 750:
Kriteria Dahi, kulit kepala, pipi, kelopak mata, sudut bibir, bagian tubuh atas, punggung, leher
Lengan, tangan, tungkai, siku
Sangat kering < 50 <35
Kering 50-60 35-50
Lembab >60 >50
(Sumber: Courage and Richter, 2005)
4.8 Prosedur Penelitian
a. Mengumpulkan populasi sampel penelitian
Populasi sampel adalah karyawan wanita RS Tk. Moh. Ridwan
Meuraksa (MRM), Jakarta yang berusia 30-45 tahun dan belum
menopause. Subyek penelitian dipilih dari populasi sampel penelitian
yang memenuhi kriteria inklusi. Diberikan penjelasan kepada populasi
sampel penelitian tentang prosedur pelaksanaan penelitian.
b. Pengisian persetujuan tindak medis
Populasi sampel penelitian yang bersedia mengikuti penelitian
diminta untuk menandatangani informed concent. Persetujuan tindak
medis (informed concent) merupakan pernyataan persetujuan subyek
untuk ikut serta dalam penelitian setelah diterangkan maksud, tujuan,
cara, keuntungan, dan kemungkinan kerugian bila subyek ikut dalam
penelitian. Tindak medis yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik,
87
pemakaian lotion pelembab setiap hari sampai penelitian berakhir dan
pengukuran hidrasi kulit dengan instrument multi skin test center MC
750.
c. Pengisian status penelitian
Status penelitian meliputi: anamnesis, pemeriksaan fisis, diagnosis:
Anamnesis meliputi :
1) Identitas :
(a) Nama :
(b) Tempat/tanggal lahir :
(c) Alamat :
(d) No. telp : Rumah : HP :
(e) Status perkawinan :
(f) Suku :
(g) Jenis pekerjaan :
2) Anamnesis tentang :
(a) Ada tidaknya keluhan kekeringan kulit
(b) Kebiasaan merawat kulit: penggunaan pelembab, sabun
mandi, dan lain-lain.
(c) Riwayat pajanan dengan bahan iritan: sabun cuci,
alkohol, bahan kontak lain.
(d) Ada tidaknya gejala klinis kekeringan kulit
(e) Riwayat Penyakit Dahulu : Kekeringan kulit, gatal-gatal
yang sering berulang, status atopikus : Dermatitis
88
atopik, Rhinitis alergik, Asma bronkiale, Diabetes
melitus, Hipertensi, kelainan kelenjar tiroid dan lain-
lain.
(f) Riwayat Penyakit Keluarga : Status Atopikus:
Dermatitis atopik, Rhinitis alergik, Asma bronkiale,
Diabetes melitus, Hipertensi dan lain-lain
3) Pemeriksaan :
a) Status Generalis
b) Status Dermatologikus
4) Diagnosis :
(a) Apakah didapatkan kekeringan kulit
(b) Apakah didapatkan diagnosis penyakit kulit yang lain
5) Subyek penelitian yang menderita penyakit kulit diobati terlebih
dahulu hingga menyembuh baru diikutkan dalam penelitian.
d. Pengambilan foto dokumentasi.
e. Pengukuran hidrasi kulit sebelum pemakaian pelembab setelah
seminggu sebelumnya tidak mengoleskan bahan apapun pada kulit dan
menggunakan sabun mandi yang telah diberikan serta mandi dengan air
dingin.
f. Pemberian pelembab kepada subyek penelitian
1) Kelompok penelitian : mendapat lotion pelembab dengan
saccharide isomerate 5%.
2) Kelompok kontrol : mendapat lotion pelembab biasa.
89
3) Cara pemakaian: pelembab dioleskan ke permukaan kulit lengan
dan tungkai dua kali sehari setiap habis mandi secara merata
selama 14 hari.
4) Pemeriksaan hidrasi kulit dilakukan 3 kali seminggu di ruang
Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Tk. II MRM. Lokasi pengukuran
hidrasi kulit adalah lengan atas, lengan bawah, tungkai atas dan
tungkai bawah.
g. Penghentian pemberian pelembab
Pemberian pelembab pada kedua kelompok dihentikan dan tetap
dilakukan pengukuran hidrasi kulit pada keempat lokasi pengukuran
selama 3 kali dalam seminggu.
h. Analisis data penelitian
Dilakukan analisis data hasil pengukuran hidrasi kulit sebelum
pemberian pelembab, pada saat pemberian pelembab selama 2 minggu
dan pada saat pemberian pelembab dihentikan.
90
4.9. Alur Penelitian
Gambar 4.3 Gambar Alur Penelitian
Pengukuran hidrasi kulit selama tanpa pelembab 3x seminggu dalam 7 hari
Pelembab biasa (-) Pelembab dengan SI 5% (-)
Karyawan wanita RS Tk. II MRM
(30-45 tahun)
Data
Pengukuran hidrasi kulit selama pemakaian pelembab 3x seminggu dalam 14 hari
Penentuan subyek penelitian
Pelembab biasa (+)
Mengisi informed consent Mengisi data penelitian
AnamnesisPemeriksaan fisis
Diagnosis
Pelembab dengan SI 5% (+)
Analisis
Data
Pengukuran hidrasi kulit sebelum penelitian
91
4.10 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Analisis deskriptif untuk data karakteristik dasar subyek penelitian yng
meliputi umur, berat badan, tinggi badan.
b. Dari anamnesis subyek penelitian didapatkan faktor internal yang
mempengaruhi kelembaban kulit adalah kondisi atopik dan faktor
eksternal yang berpengaruh adalah kebiasaan merawat kulit. Dilakukan uji
Chi-Square (tabulasi silang 2x2) agar dapat diketahui perbedaan
penyebarannya pada masing-masing kelompok.
c. Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk terhadap data hasil pengukuran
hidrasi kulit dan didapatkan data berdistribusi normal (p>0,05).
d. Dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene’s test terhadap
data hasil pengukuran hidrasi kulit pada kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Hasilnya menunjukkan data homogen (p > 0,05).
e. Untuk mengetahui apakah terdapat efek penggunaan pelembab pada
keempat lokasi pengukuran terhadap hidrasi kulit pada masing-masing
kelompok, dilakukan uji komparatif dengan paired-sample t test.
f. Untuk uji hipotesis, dilakukan uji komparatif dengan independent-sample t
test terhadap persentase hidrasi kulit kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan.
g. Dari hasil pengukuran hidrasi kulit pada keempat lokasi pengukuran
didapatkan perbedaan sejak awal penelitian. Untuk itu dilakukan analisis
kemaknaan dengan uji One Way Anova untuk membandingkan persentase
92
hidrasi kulit pada keempat lokasi pengukuran tersebut. Analisis dilakukan
baik pada kelompok kontrol maupun kelompok SI 5%.
h. Data diolah dengan Program Statistic Base SPSS 13.0 for Windows
(Trihendadi, 2005)
top related