TESIS PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN …
Post on 16-Oct-2021
11 Views
Preview:
Transcript
i
TESIS
PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN
MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR
THE USE OF LAND FOR SETTLEMENT AREA
ACCORDING TO SITE LAYOUT PLAN OF MAKASSAR CITY
Disusun dan diajukan oleh:
FATMASARI
P3600210023
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
HALAMAN JUDUL
PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN
MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR
THE USE OF LAND FOR SETTLEMENT AREA
ACCORDING TO SITE LAYOUT PLAN OF MAKASSAR CITY
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Disusun dan diajukan oleh :
FATMASARI
P3600210023
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii
LEMBAR PENGESAHAN
PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN
MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR
Diajukan dan disusun oleh:
FATMASARI
P3600210023
MENGETAHUI
KOMISI PENASIHAT
Ketua Anggota
Prof.Dr.Syamsul Bachri, S.H.,M.S. Dr.Sri Susyanti Nur, S.H.,M.H. NIP. 19540420 198103 1 003 NIP. 19641123 199002 2 001
MENGETAHUI:
KETUA PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
Dr. Nurfaidah Said, S.H.,M.H.,M.Si.
NIP. 19600621 198601 2 001
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : FATMASARI
Nomor Pokok : P3600210023
Program : Magister (Strata 2)
Program studi : Magister Kenotariatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul
”Pemanfaatan Tanah Untuk Kawasan Permukiman Menurut Rencana
Tata Ruang Kota Makassar” adalah benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran
orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 10 Mei 2013
Yang menyatakan,
FATMASARI
v
KATA PENGANTAR Assalamu Alaikum Warahmatullahir Wabarakatuh,
Alhamdulillah. Rasa syukur yang dalam penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, Dzat Yang Maha Kuasa, Pencipta Ilmu dan
Pengetahuan, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Teriring
shalawat dan salam senantiasa penulis lantunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada
Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin
Makassar.
Dalam melakukan penullisan tesis ini, penulis mendapat banyak
bantuan dari berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk
itu penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Tesis ini penulis persembahkan khusus kepada ibunda tercintaa
Hj. Mastam, yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan
serta cinta dalam kehidupan penulis. Juga penulis persembahkan
untuk ayahanda tercinta, H. Abdul Muin, BA, yang selalu memberikan
vi
semangat, mendoakan, memberikan bantuan moril dan materil hingga
selesainya penulisan ini;
2. Suami tercinta Muh. Najib, S.E., Anak-anak penulis, Muh. Hendy
Amirul Alifka, Muh. Rafli Indrajiv,v, Reyza Aurelia Triana, Elzi
Indriana Ramadhani, yang selalu menjadi semangat bagi penulis
dalam penyelesaian tesis ini;
3. Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S., selaku Ketua Komisi Penasihat
dan Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., selaku Anggota Komisi
Penasihat, yang telah membimbing dan memberikan waktunya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
4. Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H., Prof. Dr. M. Yunus Wahid, S.H.,
M.H., Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H., selaku Anggota Komisi Penguji,
atas saran, kritik dan waktu yang telah diberikan kepada penulis;
5. Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO., selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, beserta staf;
6. Prof. Aswanto, S.H., M.H., DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, beserta Pembantu Dekan I, Prof. Dr. Ir. Abrar
Saleng, S.H., M.H., Pembantu Dekan II. Dr. Anshori, S.H., M.H.,
Pembantu Dekan III, Romi Librayanto, S.H., M.H;
7. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si., selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan, dan Kahar Lahae, S.H., M.H., selaku Sekretaris
vii
Program Studi Magister Kenotariatan, beserta staf, Ibu Eppy dan
Pak Aksa, atas segala bantuan selama menempuh pendidikan di
Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan;
8. Seluruh staf pengajar Program Magister Kenotariatan yang telah
mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat
kepada penulis;
9. Prof. Dr. Hasbir, S.H., M.H. dan Ibu Lisa Valda, S.H., MKn, yang
senantiasa memberikan motivasi dan bantuan baik moril dan materil
kepada penulis;
10. Bapak Drs. Masri Tiro, MSc, Kepala Bidang Fisik dan Sarana
BAPPEDA, Kota Makassar, Ir. Darwis Herman, Kepala sub Bidang
Perhubungan Tata Ruang dan Lingkungan BAPPEDA Kota Makassar,
Ir. Muh. Ichsan Said, beserta seluruh Staf BAPPEDA yang telah banyak
memberikan data pada saat penelitian.
11. Bapak Apriady, SH, MH, Kepala Bagian Hukum dan HAM Sekretariat
Kota Makassar, Bapak Umar, SH, Kepala sub Bagian Hukum dan HAM
Pemerintah Kota Makassar, Asma Suharti, SH, beserta staf yang telah
membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian tesis
ini.
12. Bapak Ir. Ahmad Husain, MSi, Kepala Bidang Tata Ruang, Dinas Tata
Ruang dan Bangunan Kota Makassar, beserta staf yang telah
viii
membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian tesis
ini.
13. Bapak Ir. Supardi, Kepala Seksi Rencana Mikro dan Detail pada Dinas
Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, Ir. Donni, beserta staf
yang telah membantu memberikan data sehubungan dengan
penyelesaian tesis ini.
14. Bapak Yusuf Lukman, BE, SH, Kepala Seksi penertiban pada Dinas
Tata Ruang dan Bangunan, Emir, SH, beserta staf yang telah
membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian tesis
ini.
15. Bapak Muhammad Yusuf Taba, SE, Pengembang/Developer
Perumahan Barombong Griya Galesong, beserta staf yang telah
membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian tesis
ini.
16. Bapak Syaiful Mangimbangi, Pengembang/developer beserta staf yang
telah membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian
tesis ini.
17. Bunda A. Kadariah, S.H., MKn, Israiny, SH, Dewi Wulandari, S.H.,
MKn, Ibu Rasyida, S.H., MKn, Ibu Yati, S.H., Ibu Julianti Paputungan,
S.H., MKn, Audrey, S.H., MKn, Erin Daryansyah, S.H., MKn,, serta
teman-teman penulis, lainnya di Magister Kenotariatan UNHAS 2010,
ix
yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian
tesis ini. Terima kasih telah menjadi bagian dalam hidup penulis
sampai kapanpun. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar,30 Maret 2012 Penulis, FATMASARI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................. ii PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................................ iii KATA PENGANTAR.............................................................................. iv ABSTRAK .............................................................................................. v
ABSTRACT ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 11
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 11
E. Orisinalitas Penelitian .......................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 14 A. Prinsip Negara Hukum ........................................................ 14 B. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah ..................................... 17 C. Hak Menguasai Negara Atas Tanah.................................... 20 D. Hak Perseorangan Atas Tanah. .......................................... 24 E. Pemanfaatan /Penatagunaan Tanah. .................................. 27
1. Pengertian Tanah….. ..................................................... 27 2. Pengertian Penatagunaan Tanah .................................. 28 3. Prinsip dan Dasar Hukum Penatagunaan Tanah ........... 33 4. Pengertian Ruang .......................................................... 38 5. Pengertian Tata Ruang .................................................. 40 6. Rencana Tata Ruang ..................................................... 42 7. Pengertian Kawasan ...................................................... 45
F. Pengertian Kesadaran Hukum……………………………... .. 46 G. Pengertian Perizinan……………………………... ................. 48
xi
H. Sanksi Administratif dalam Perda Nomor 6 Tahun 2006 .... 52
I. Landasan Teori. ................................................................... 68 1. Teori Kewenangan….. .................................................. 68 2. Teori Kepastian Hukum ................................................ 73 3. Teori Perencanaan ...................................................... 75 4. Teori Koordinasi ............................................................. 79
J. Kerangka Pikir ...................................................................... 83
K. Definisi Operasional. ........................................................... 84
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 86 A. Tipe Penelitian ..................................................................... 86 B. Lokasi Penelitian. ................................................................ 86 C. Populasi dan Sampel. .......................................................... 86 D. Jenis dan Sumber Data. ...................................................... 87 E. Teknik Pengumupulan Data ................................................ 88 F. Analisis Data ....................................................................... 88
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 89 A. Pemanfaatan Kawasan Permukiman Dalam Pengaturan ....
Tata Ruang Kota Makassar ................................................. 89 1. Perizinan ......................................................................... 115 2. Koordinasi Kelembagaan ................................................ 132 3. Pengawasan .................................................................... 138 4. Peran Serta Masyarakat .................................................. 141
B. Penerapan Sanksi Terhadap Pemanfaatan Kawasan ......... Permukiman Yang Tidak Sesuai Dengan Rencana Tata…. Ruang Wilayah Kota Makassar Masyarakat ........................ 147
BAB V PENUTUP ................................................................................. 158 A. Kesimpulan ........................................................................... 158 B. Saran .................................................................................... 158
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 160
xii
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel1: Pendapat Narasumber dan Responden Tentang
Pemanfaatan Kawasan Permukiman dalam Pengaturan
RTRW Kota Makassar..................................................... 101
Tabel2: Data Permohonan Yang Memperoleh Rekomendasi
Mendirikan Bangunan untuk Permukiman, Ruko dan
Rukan Tahun 2010- 2012.................................................. 121
Tabel 3: Target dan Realisasi Retribusi Izin Mendirikan……..
Bangunan……………………………………………………… 124
Tabel 4: Rekomendasi Izin Prinsip untuk Perumahan………….
di Kota Makassar Tahun 2010-2012…………………….. 128
Tabel 5: Jenis dan Jumlah Pelanggaran RTRW di Kota………. Makassar………………………………………………..……… 150 Tabel 6: Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Mengurus
Izin Mendirikan Bangunan (n=48)…………………………. 151
Tabel 7: Pengetahuan Masyarakat tentang Garis Sempadan….. Bangunan (GSB)…..………………………………………… 153
xiii
ABSTRAK
FATMASARI, Pemanfaatan Tanah Untuk Kawasan Permukiman Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar (dibimbing oleh Syamsul Bachri dan Sri Susyanti Nur).
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman, dan bagaimana pengaturannya dalam tata ruang Kota Makassar serta untuk mengetahui dan memahami penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar.
Tipe penelitian yang digunakan adalah sosio-yuridis. Sampel penelitian ditetapkan secara Purposive Sampling. Data yang diteliti meliputi data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber dan responden, data sekunder merupakan data yang dapat mendukung keterangan-keterangan atau menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman di Kota Makassar belum sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar, hal ini dikarenakan belum disahkannya RDTR yang akan mengatur secara rinci atau detail 13 kawasan di Kota Makassar, sehingga DTRB dalam memberikan IMB dan izin prinsip tidak berdasarkan suatu pedoman yang jelas atau rinci, faktor lain adalah lemahnya koordinasi kelembagaan antar aparat Pemerintah Kota, lemahnya pengawasan yang mengakibatkan tidak terjaringnya semua pelanggaran pemanfaatan tata ruang serta kurangnya pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap pemanfaatan tata ruang Kota Makassar. Penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar hanya sebatas sanksi administratif belum pernah ditindak lanjuti dengan penerapan sanksi perdata dan sanksi pidana.
Kata kunci : Tata Ruang, Kawasan Permukiman
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan penduduk di suatu negara menuntut pemerintahnya
untuk mampu menyediakan berbagai sarana dan pemenuhan hidup bagi
rakyatnya. Kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
tersebut, terutama negara yang menganut paham Welfare State1,
sebagaimana halnya Indonesia. Negara dituntut untuk berperan lebih jauh
dan melakukan campur tangan terhadap aspek-aspek pemenuhan
kebutuhan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyatnya. Dengan adanya kewajiban tersebut, maka pemerintah dapat
mengatur dan mengelolah penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
alam baik darat, laut maupun udara yang tersedia, dengan selalu
memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang
1 Welfare State (Negara Kesejahteraan) selain mengharuskan setiap tindakan
negara berdasarkan hukum, negara juga diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat. Ciri dari negara kesejahteraan adalah: Mengutamakan terjaminnya hak-hak sosial ekonomi rakyat. Hak milik tidak bersifat mutlak. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan akan tetapi turut serta dalam
usaha-usaha sosial dan ekonomi. Kaidah-kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi dan
membebankan kewajiban tertentu kepada warga negara. Peranan hukum publik condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi
semakin luasnya peranan negara. (Dikutip dari Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2011, hal 14).
2
berbeda-beda, sehingga akan tercapai suatu tujuan negara yaitu
mensejahterakan masyarakatnya.2
Negara Indonesia sebagai negara hukum yang berkedaulatan
rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 19453 selanjutnya disebut UUD NRI 1945, menjamin
kesejahteraan rakyat meliputi aspek yang sangat luas terdiri dari aspek
sosial, politik, ekonomi dan budaya yang sangat dibutuhkan bagi
kehidupan masyarakat.4
Keanekaragaman pemanfaatan sumber daya alam dalam usaha
memacu pertumbuhan yang mendukung pemerataan serta peningkatan
pertumbuhan ekonomi, diupayakan sejalan dengan kemampuan alam
bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta kebutuhan masyarakat yang
semakin beraneka ragam sehingga dengan adanya kondisi tersebut
memerlukan adanya campur tangan dari pihak pemerintah, oleh karena
dalam pemanfaatan sumber daya alam menyangkut hajat hidup orang
banyak.5
Pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya mempunyai
kewenangan-kewenangan dalam mengelolah sumber daya alam sebesar-
2 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, 2008, hal 19.
3 UUD NRI 1945 telah mengalami empat kali amandemen, namun Pasal 33 ayat 3
tidak mengalami perubahan. Berdasarkan amandemen keempat UUD NRI 1945, Pasal 33 ditambah menjadi lima ayat.
4 Padmo Wahjono dalam Winahyu Erwiningsih, Hak Pengelolaan Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, 2011, hal 23.
5 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 20.
3
besarnya untuk kemaslahatan rakyat, yang antara lain adalah hak
menguasai negara atas tanah. Hak menguasai negara merupakan
instrumen (bersifat instrumental), yang tujuannya adalah dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian negara
mempunyai hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, termasuk ruang angkasa. Oleh karena itu,
pelaksanaan kekuasaan hak negara tersebut secara tidak langsung
merupakan instrumen kontrol terhadap mekanisme dan prosedur
penyelenggaraan hak dan kewenangan tersebut.6
Hak menguasai negara merupakan penjabaran dari Pasal 33
ayat (3) amandemen keempat UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Kata-kata dikuasai oleh negara inilah yang melahirkan konsep hak
menguasai negara atas sumber daya alam di Indonesia7, yang dijabarkan
dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria8 selanjutnya disingkat UUPA.
6 Darwin Ginting, Hukum Kepemilikan Hak atas Tanah Bidang Agribisnis, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010, hal 13. 7 Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010,
hal 100. 8 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
4
Fungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
oleh negara yang dilaksanakan pemerintah sangat penting, mengingat
pesatnya pembangunan ternyata dihadapkan pada masalah-masalah yang
berkaitan dengan pemanfaatan tanah. Masalah-masalah yang krusial
tersebut adalah terbatasnya tanah yang tersedia dengan berbagai fungsi
peruntukannya, pemanfaatan dan pengelolaan tanah serta pola tata ruang
yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh,
penggunaan tanah yang sering terjadi penyimpangan dari peruntukannya,
persaingan mendapatkan lokasi atau tanah yang telah didukung atau yang
berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan sebagai akibat
pertumbuhan dan perkembangan kota serta masih rendahnya kesadaran
hukum masyarakat terhadap kepatutan atas kewajiban sebagai warga
negara.
Kewenangan negara untuk mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa mengandung arti bahwa negara dalam hal ini pemerintah
memiliki kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan
serta untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang akhirnya
pemerintah menyusun Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
5
Penataan Ruang,9 namun seiring dengan adanya perubahan terhadap
paradigma Pemerintahan Daerah, dimana Pemerintah Daerah diberi
kewenangan untuk mengelolah daerahnya sendiri (Otonomi Daerah)10
berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah11, maka ketentuan mengenai penataan ruang
mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikannya ketentuan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 dengan Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang12 selanjutnya disingkat UUPR.
Tujuan dari penetapan kebijakan pemerintah terkait penataan
ruang yaitu dalam Pasal 3 UUPR bahwa penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
9 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493.
10 Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai penyerahan kewenangan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan dan perencanaan pembangunan. Dengan adanya konsep otonomi daerah maka Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang cukup luas dalam menentukan arahan kebijakan, khususnya mengenai rencana pembangunan. (Dikutip dari Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 86).
11 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437. 12 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725.
6
c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Berdasarkan Pasal 14 UUPA, Pemerintah Daerah diberi
wewenang mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan serta
pemeliharaan tanah. Penataan ruang meliputi suatu proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang
penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, yang didasarkan pada
pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan
pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah
provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut
merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif.
Sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan dan dengan
tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata
dengan baik, dapat mendorong kearah terciptanya ketidakseimbangan
pembangunan antar wilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan
ruang.
7
Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) huruf b UUPR meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Pemanfaatan tanah untuk mewujudkan penataan ruang wilayah
perkotaan yang optimal sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat
seyogyanya sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2006-2016
selanjutnya disingkat RTRW Kota Makassar, Pasal 9 mengatur bahwa
Kawasan Pengembangan Terpadu Kota Makassar, terdiri atas:
1. Kawasan Pusat Kota, yang berada pada bagian tengah Barat dan Selatan Kota mencakup wilayah Kecamatan Wajo, Bontoala, Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung Tanah dan Tamalate;
2. Kawasan Permukiman Terpadu, yang berada pada bagian tengah pusat dan Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Manggala, Panakkukang, Rappocini dan Tamalate;
3. Kawasan Pelabuhan Terpadu yang berada pada bagian tengah Barat dan Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Ujung Tanah dan Wajo;
4. Kawasan Bandara Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Biringkanaya dan Tamalanrea;
5. Kawasan Maritim terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea;
8
6. Kawasan Industri Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya;
7. Kawasan Pergudangan Terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya dan Tallo;
8. Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota mencakup wilayah Kecamatan Panakkukang, Tamalanrea dan Tallo;
9. Kawasan Penelitian Terpadu yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tallo;
10. Kawasan Budaya Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate;
11. Kawasan Olahraga Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate;
12. Kawasan Bisnis dan Pariwisata Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate;
13. Kawasan Bisnis Global Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Mariso.
Pengaturan tentang pembagian kawasan atau zonasi tersebut di
atas pada dasarnya merupakan sebuah alat pengendalian bagi
Pemerintah Kota Makassar dalam mengatur tata ruang Kota Makassar
dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi pengaturan zonasi tersebut pada
pelaksanaannya tidak sesuai dengan realisasi pelaksanaan pembangunan
misalnya pada saat ini di setiap kawasan yang merupakan jalan protokol
telah dipenuhi dengan pembangunan Ruko (rumah toko). Oleh karena itu
pembagian kawasan terpadu atau zonasi yang ditetapkan dalam RTRW
Kota Makassar pada tahap pelaksanaannya tidak dapat diwujudkan sesuai
dengan yang diharapkan.
9
Salah satu pengaturan yang sangat penting adalah pengaturan
tentang kawasan permukiman terpadu. Kawasan permukiman terpadu
adalah kawasan yang diarahkan dan diperuntukkan bagi pemusatan dan
pengembangan permukiman atau tempat tinggal/hunian beserta prasarana
dan sarana lingkungannya yang terstruktur secara terpadu.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan
peningkatan kebutuhan akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang
terkait. Pemenuhan kebutuhan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang
terkait tersebut tidak terlepas dari peningkatan penggunaan lahan.
Pengembangan kawasan permukiman telah mendorong terjadinya
pergeseran fungsi atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi atau alih fungsi
lahan dari ruang terbuka hijau, lahan konservasi, kawasan budi daya atau
kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman.
Kebutuhan permukiman yang merupakan kebutuhan pokok dari
masyarakat merupakan masalah yang sulit dikendalikan oleh Pemerintah
Kota karena terjadi persoalan-persoalan diantaranya adalah efek atau
dampak dari alih fungsi lahan. Efek atau dampak dari alih fungsi lahan atau
pergeseran fungsi kawasan ini adalah terjadinya banjir, kebakaran, dan
kemacetan, sedangkan efek atau dampak dari tidak terpenuhinya
kebutuhan perumahan adalah rentan terjadi penurunan kesehatan
masyarakat serta mudah terjadi konflik.
10
Pada harian Fajar terbitan Jumat, tanggal 4 Januari 2013
mengungkapkan telah terjadi banjir pada beberapa kelurahan di Kota
Makassar yang merupakan kawasan permukiman. Banjir yang terparah
adalah di Kelurahan Batua yang menyebabkan para warga terpaksa
mengungsi oleh karena ketinggian air telah mencapai 1,5 meter. Salah
satu penyebabnya adalah banyaknya drainase yang tertutup oleh
bangunan permukiman baru13 serta terjadinya alih fungsi dari ruang
terbuka hijau yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah beralih
fungsi menjadi kawasan perumahan. Hal ini menunjukkan bahwa RTRW
Kota Makassar sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan dinamika
masyarakat pada saat ini.
Berdasarkan uraian di atas maka issue penelitian yang penulis
angkat adalah bahwa RTRW Kota Makassar belum sesuai dengan UUPR
dan kurangnya sinergitas kewenangan antara aparat Pemerintah Kota
Makassar dalam pemanfaatan kawasan permukiman terhadap rencana
tata ruang Kota Makassar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman menurut
rencana tata ruang wilayah Kota Makassar?
13 Koran “ Fajar”, Jumat Tanggal 4 Januari 2013.
11
2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan
permukiman yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang wilayah
Kota Makassar?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami, serta menjelaskan tentang
pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman menurut rencana tata
ruang wilayah Kota Makassar.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang penerapan sanksi terhadap
pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sejalan dengan rencana
tata ruang wilayah Kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
untuk kepentingan teoretis maupun untuk kepentingan praktis.
1. Manfaat Secara Teoretis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap peningkatan dan
pengembangan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum
Tata Ruang pada khususnya terkait dengan pemanfaatan tanah
kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah Kota
Makassar.
12
2. Manfaat Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi Pemerintah Kota Makassar terhadap pemanfaatan
kawasan permukiman dalam tata ruang Kota Makassar yang lebih baik
khususnya bagi pengambil kebijakan terhadap pemanfaatan tanah
kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah Kota
Makassar.
E. Orisinalitas Penelitian
Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau
penelitian tentang ”Pemanfaatan Tanah Untuk Kawasan Permukiman
Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar”, belum pernah ada
yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang
meneliti yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu:
Tesis Robert Kurniawan Ruslak Hammar (2001), Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dengan judul “Penataan
Ruang Kota dan Implikasinya Terhadap Perlindungan Hak-Hak Rakyat
atas Tanah di Kota Manokwari”. Tesis ini membahas tentang rendahnya
partisipasi masyarakat dalam penataan ruang kota dan kurangnya
sosialisasi rencana tata ruang serta tidak transparannya pelaksanaan
musyawarah dalam pengadaan tanah yang berarti hak-hak rakyat atas
tanah di Kota Manokwari kurang terlindungi. Sementara tesis penulis lebih
13
menitikberatkan pada pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman
berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 dan RTRW Kota
Makassar, serta penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan
permukiman yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang wilayah Kota
Makassar.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Prinsip Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai negara hukum maka segala
kekuasaan yang ada dalam negara harus berlandaskan dan tunduk pada
hukum yang berlaku. Oleh karena itu segala kewenangan dan tindakan
alat-alat perlengkapan negara semata-mata berdasarkan hukum atau
dengan kata lain diatur oleh hukum.14
Pengertian lain dari negara hukum adalah bahwasanya kekuasaan
negara dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap tindak, tingkah
laku dan perbuatan baik yang dilakukan oleh para penguasa atau aparatur
negara maupun dilakukan oleh warga negara harus berdasarkan atas
hukum, termasuk dalam hal ini pemenuhan hak-hak setiap warga negara
yang sama di depan hukum dengan didasari prinsip kepastian hukum.
Negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi dapat juga
disebut sebagai negara hukum demokratis karena di dalamnya
mengakomodir prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.
J.B.J.M. ten Berge15 menyatakan prinsip-prinsip negara hukum adalah:
14 Abdul Azis Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2011, hal 8. 15 Ridwan HR, Op. Cit, hal 198.
15
1. Asas legalitas, pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara umum harus memberikan jaminan terhadap warga negaranya dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, kolusi dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-undang tertulis.
2. Perlindungan hak-hak asasi manusia. 3. Pemerintah terikat pada hukum. 4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan
hukum. Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum itu dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrument yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.
5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu, dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.16 menyatakan terdapat 11 prinsip
pokok negara demokrasi atas hukum dalam perspektif yang bersifat
horizontal dan vertikal, yaitu:
1. Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;
2. Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas;
3. Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama;
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama;
5. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia;
16 http//hukum.kompasiana.com/2012/12/17/penjabaran di akses tanggal 09 april
2013 jam 11.25.
16
6. Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembatasan kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal;
7. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran;
8. Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintah (pejabat administrasi negara);
9. Adanya mekanisme “Judicial review” oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif;
10. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan peiaksanaan prinsip-prinsip tersebut;
11. Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan peiaksanaan prinsip-prinsip tersebut;
Berdasarkan pandangan para ahli hukum di atas terhadap prinsip
negara hukum maka negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan
atas hukum harus mendasarkan pelaksanaan pengaturan atas bumi, air
dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu UUD NRI
1945, UUPA, dan UUPR sebagai dasar hukum bagi organ pemerintah
dalam melaksanakan pengaturan, pemanfaatan, pengelolaan dan
pengendalian tata ruang.
Pasal 14 UUPA menetapkan agar Pemerintah dan Pemerintah
Daerah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan
17
dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, untuk:
1. Kepentingan yang bersifat politis Termasuk kepentingan yang bersifat politis, misalnya perkantoran Pemerintah atau Pemerintah Daerah, pertahanan dan keamanan.
2. Kepentingan yang bersifat ekonomis Termasuk kepentingan yang bersifat ekonomis, misalnya tanah untuk pengembangan pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, industri, pertokoan, perdagangan, kehutanan, pertambangan.
3. Kepentingan yang bersifat sosial dan keagamaan Termasuk kepentingan yang bersifat sosial dan keagamaan,
yaitu tanah untuk keperluan perumahan, peribadatan, makam, kesehatan, pendidikan, rekreasi.17
B. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah
Hak bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik,
artinya semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia. Selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya
seluruh tanah yang ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan antara
bangsa Indonesia dan tanah bersifat abadi, artinya hubungan antara
bangsa Indonesia dan tanah akan berlangsung tiada terputus untuk
selamanya. Sifat abadi artinya selama rakyat Indonesia masih bersatu
sebagai bangsa Indonesia dan selama tanah bersama tersebut masih ada
17 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012,
hal 242.
18
pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan
yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Hak
bangsa Indonesia atas tanah merupakan induk bagi hak-hak penguasaan
yang lain atas tanah, mengandung pengertian bahwa semua hak
penguasaan atas tanah yang lain bersumber pada hak bangsa Indonesia
atas tanah dan bahwa keberadaan hak penguasaan apapun, hak yang
bersangkutan tidak meniadakan eksistensi hak bangsa Indonesia atas
tanah.18 Dengan demikian, hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur,
yaitu sebagai berikut:
1. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti
hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat
Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Pernyataan ini
menunjukkan sifat komunalistik dari konsepsi Hukum Tanah Nasional.
2. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan
memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama
tersebut.
Unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur
tangan kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang
termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat
Indonesia. Oleh karena itu, penyelenggaraannya dilakukan oleh bangsa
Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat yang pada
18 Ibid, hal 78.
19
tingkatan tertinggi diserahkan kepada Negara Republik Indonesia sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.19
Boedi Harsono dalam Urip Santoso menyatakan, pernyataan
tanah yang dikuasai oleh bangsa Indonesia sebagai tanah bersama
tersebut menunjukkan adanya hubungan hukum di bidang Hukum Perdata.
Biarpun hubungan hukum tersebut hubungan perdata bukan berarti bahwa
hak bangsa Indonesia adalah hak kepemilikan pribadi yang tidak
memungkinkan adanya hak milik individual. Hak bangsa Indonesia dalam
Hukum Tanah Nasional adalah hak kepunyaan, yang memungkinkan
penguasaan bagian-bagian tanah bersama dengan hak milik oleh warga
negara secara individual.20
Bagian-bagian atau bidang-bidang tanah hak bersama tersebut
dapat diberikan kepada orang atau badan hukum untuk dikuasai dalam
bentuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai.
Pemberian hak tersebut terkait dengan subjek pemegang haknya.
Dalam hal ini menurut undang-undang kewarganegaraan yang dimaksud
dengan orang-orang yang termasuk Warga Negara Indonesia atau rakyat
Indonesia yang disebut Warga Negara Indonesia (WNI). Setiap Warga
19 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di
Bidang Pertanahan, Rajawali Pres, Jakarta, 2009, hal 21. 20 Urip santoso, Loc. Cit, hal 78.
20
Negara Indonesia tidak dibedakan menurut asal keturunannya (asli atau
keturunan asing) maupun tidak dibedakan jenis kelaminnya.
Ketentuan ini menjadikan setiap Warga Negara Indonesia yang
merupakan bagian dari bangsa Indonesia mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh bidang-bidang tanah sesuai dengan kebutuhannya.
Bidang tanah tersebut dapat dimiliki dalam bentuk hak milik sebagai hak
atas tanah yang tertinggi maupun dengan hak-hak atas tanah lainnya,
sesuai dengan keperluan subjek pemegang haknya.21
C. Hak Menguasai Negara Atas Tanah
Hak menguasai negara atas tanah bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan
pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum
publik. Tugas mengelolah seluruh tanah bersama tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka dalam
penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan
pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada
negara Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Pasal 2
ayat (1) UUPA.22
21 Ibid, hal 79. 22 Ibid, hal 80.
21
Hak menguasai negara atas tanah memberikan wewenang
kepada negara untuk:23
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan tanah. Termasuk dalam wewenang ini adalah:
a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan
dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan (Pasal 14 UUPA
jo. UUPR)
b. Mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk memelihara
tanah, termasuk menambah kesuburan dan mencegah
kerusakannya (Pasal 15 UUPA).
c. Mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah pertanian untuk
mengerjakan atau mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif
dengan mencegah cara-cara pemerasan (Pasal 10 UUPA).
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan tanah. Termasuk dalam wewenang ini adalah:
a. Menentukan hak-hak atas tanah yang bisa diberikan kepada Warga
Negara Indonesia baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain atau kepada badan hukum. Demikian juga hak
atas tanah yang dapat diberikan kepada Warga Negara Asing
(Pasal 16 UUPA).
23 Sri Susyanti Nur, Bank Tanah “Alternatif Penyelesaian Masalah
PenyediaanTanah untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan”, AS Publishing, Makassar, 2010, hal 35.
22
b. Menetapkan dan mengatur mengenai pembatasan jumlah bidang
dan luas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh seseorang
atau badan hukum (Pasal 7 jo. Pasal 17 UUPA).
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Termasuk dalam wewenang ini adalah:
a. Mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia (Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah).
b. Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah.
c. Mengatur penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan baik yang
bersifat Perdata maupun Tata Usaha Negara, dengan
mengutamakan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Sri Susyanti Nur menyatakan atas dasar hak menguasai tersebut,
luas kekuasaan negara atas tanah meliputi:24
1. Tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak tertentu oleh
perorangan. Kekuasaan negara atas tanah itu bersifat tidak langsung,
artinya negara tidak bisa secara langsung menggunakan tanah ini
apabila negara memerlukan;
2. Tanah-tanah yang belum dipunyai oleh orang perorangan, kekuasaan
negara bersifat langsung, juga negara dapat memberikan kepada
24 Ibid, hal 36.
23
perorangan atau badan hukum menurut keperluannya seperti hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan dan lainnya.
Objek hak menguasai negara sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang ada di dalamnya. Objek hak menguasai negara
terhadap bumi adalah selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air. Sebagaimana Pasal 1 ayat (4)
UUPA, dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi termasuk pula
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Tentang hal ini,
Parlindungan25 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bumi, selain
di atas bumi, yaitu hak-hak atas tanah seperti yang tercantum dalam Pasal
16 UUPA, juga yang ditanam di bumi, yaitu hak-hak atas hutan (Hak
Pengusahaan Hutan–HPH) maupun yang terdapat ditubuh bumi yang
dikenal dengan kuasa pertambangan, yaitu izin usaha pertambangan atas
bahan-bahan galian dari bumi Indonesia.
Menurut Oloan Sitorus dan Nomadyawati dalam Urip Santoso26,
bahwa kewenangan negara dalam bidang pertanahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA di atas merupakan pelimpahan
tugas bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan
25 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 25.
26 Urip santoso, Loc. Cit, hal 80.
24
tanah bersama yang merupakan kekayaan nasional. Tegasnya, hak
menguasai negara adalah pelimpahan kewenangan publik dari hak
bangsa. Konsekuensinya kewenangan tersebut hanya bersifat publik
semata.
Tujuan hak menguasai negara atas tanah dalam Pasal 2 ayat (3)
UUPA, yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam
arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Pelaksanaan hak menguasai negara atas tanah adalah menjadi
wewenang Pemerintah Pusat namun dapat pula dikuasakan atau
dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra (Pemerintah Daerah) dan
masyarakat-masyarakat Hukum Adat Pasal 2 ayat (4) UUPA, pelimpahan
wewenang tersebut bersifat Medebewind artinya hanya sepanjang
membantu Pemerintah Pusat dan tidak bersifat otonom. Yang artinya
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Pasal 2 ayat (4)
UUPA).27
D. Hak Perseorangan Atas Tanah
Hak menguasai negara atas tanah memungkinkan Warga Negara
Indonesia sebagai pihak yang mempunyai hak bersama atas tanah
27 Winahyu Erwiningsih, Op. Cit, hal 9.
25
tersebut untuk menguasai dan menggunakan sebagian dari tanah bersama
tersebut secara individual, dengan hak-hak yang bersifat pribadi.
Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti
bahwa tanah yang bersangkutan dapat dikuasai secara perorangan. Tidak
ada keharusan menguasainya bersama-sama dengan orang lain. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “Atas
dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 UUPA ditentukan hak-hak atas permukaan bumi yang disebut
tanah yang dapat diberikan baik secara perorangan maupun bersama-
sama serta hak atas tanah yang dapat diberikan kepada badan hukum.
Hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang
secara bersama-sama atau badan hukum) untuk memakai, dalam arti
menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat dari tanah
tertentu. Hak-hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, Wakaf
tanah Hak Milik, Hak Tanggungan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun.
Tanah dalam pengertian yuridis menurut UUPA adalah permukaan
bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.28
28 Aminuddin Salle dkk, Bahan Ajar Hukum Agraria, AS Publishing, Makassar,
2010, hal 102.
26
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegang haknya untuk menggunakan tanah dan/atau mengambil
manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “menggunakan”
mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk
kepentingan bangunan (non-pertanian), sedangkan perkataan “mengambil
manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan
untuk kepentingan bukan untuk mendirikan bangunan, misalnya untuk
kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
Dasar hukum pemberian hak atas tanah kepada perseorangan
atau badan hukum diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar
hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum.”29
Hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA, Pasal 53
UUPA, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 199630 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Hak atas tanah terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah,
29 Urip Santoso, Op. Cit., hal 84.
30 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643.
27
Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi
Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah
Pertanian.
E. Pemanfaatan/Penatagunaan Tanah
1. Pengertian Tanah
Pengertian tanah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali. Pengertian tanah
dapat pula diartikan sebagai keadaan bumi di suatu tempat, permukaan
bumi yang diberi batas, permukaan bumi yang terbatas yang ditempati
suatu bangsa atau menjadi wilayah suatu negara. Istilah tanah dikaitkan
juga dengan istilah lahan. Lahan sendiri memiliki pengertian sebagai
sebuah tanah terbuka atau tanah garapan.
Pengertian tanah dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA yaitu: “Atas
dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-
badan hukum”.
Tanah dalam Pasal tersebut di atas adalah permukaan bumi.
Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh
setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu hak-hak yang timbul di
28
atas hak atas permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya
bangunan atau benda-benda yang terdapat di atasnya diatur berdasarkan
peraturan perundang-undangan yaitu UUPA.
Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan
kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Pemegang hak
atas tanah hanya diperbolehkan menggunakannya, itupun dalam batas-
batas seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dengan kata-
kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang
ini (yaitu: UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.31
2. Pengertian Penatagunaan Tanah
Sudikno Mertokusumo dalam Urip Santoso32 menggunakan istilah
tata guna tanah, yaitu apabila istilah tata guna dikaitkan dengan objek
Hukum Agraria Nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tata guna
tanah/ land use planning kurang tepat.
Penatagunaan tanah adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut cabang kebijakan sosial yang menggunakan berbagai ilmu untuk
mengatur dan meregulasi pemakaian tanah agar dapat berjalan efisien dan
etis.
31 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008, hal 18.
32 Urip Santoso, Op. Cit,hal 245.
29
Perencanaan atau penatagunaan tanah merupakan pendekatan
keilmuan, estetika dan pengaturan penggunaan lahan, sumber daya,
fasilitas dan pelayanan untuk menjamin efisiensi fisik, ekonomi dan sosial
serta kesehatan dan kesejahteraan masyarakat perkotaan.
Hasni menggunakan Istilah yang sama yaitu rencana tata guna
tanah merupakan bentuk nyata pelaksanaan Pasal 2, Pasal 14 dan Pasal
15 UUPA yang juga dijiwai oleh undang-undang lain yang mengurus
penggunaan tanah. Pasal 33 UUPR menggunakan istilah penatagunaan
tanah.33
Istilah tata guna tanah ( land use planning ) atau pengelolaan tata
guna tanah atau penatagunaan tanah bila dikaitkan dengan ruang lingkup
agraria dalam UUPA sebenarnya kurang tepat. Hal ini disebabkan bahwa
menurut Pasal 1 ayat (2) UUPA, ruang lingkup agraria meliputi bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang
lingkup bumi meliputi permukaan bumi juga disebut tanah (Pasal 4 ayat (1)
UUPA), tubuh bumi dan ruang yang berada di bawah permukaan air.34
Kegiatan tata guna tanah atau pengelolaan tata guna tanah atau
penatagunaan tanah dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan Pasal 14 ayat (1)
UUPA adalah persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan atas
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
33 Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks
UUPA, UUPR dan UUPLH, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal 45. 34 Urip Santoso, Loc. Cit, hal 245.
30
dalamnya. Kegiatan ini bersifat publik yang merupakan kebijakan yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Tanah (land) sebagai bagian dari bumi merupakan salah satu
objek Hukum Agraria Nasional. Dengan berpedoman pada objek Hukum
Agraria dan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA, maka istilah yang tepat
untuk digunakan adalah Tata Guna Agraria atau Agrarian Use Planning.
Agrarian Use Planning terdiri atas Land Use Planning (Tata Guna Tanah)
dan Water Use Planning (Tata Guna Air), Air Use Planning (Tata Guna
Udara). Jelaslah bahwa menurut UUPA, tata guna tanah merupakan
bagian kecil dari tata guna agraria. Namun di dalam praktek istilah tata
guna tanah lebih umum digunakan dan lebih dikenal dari pada tata guna
agraria. Selain itu, bagian terbesar dari kajian Hukum Agraria Nasional
adalah mengenai tanah.35
Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan
penataan tanah secara maksimal, oleh karena tata guna tanah selain
mengatur mengenai persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang
angkasa juga terhadap persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan
ruang angkasa juga terhadap tanggung jawab pemeliharaan tanah,
termasuk di dalamnya menjaga kesuburan tanah. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 15 UUPA, yaitu: “Memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap
35 Ibid, hal 245.
31
orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah”.36
Ketentuan Pasal 15 UUPA di atas, secara hukum setiap orang
atau badan hukum atau instansi pemerintah dan swasta yang memiliki
tanah mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mencegah kerusakan
tanah. Sejalan dengan ketentuan yang mengatur mengenai penatagunaan
tanah di atas, maka ke depan diperlukan dasar-dasar penatagunaan tanah
agar tidak menimbulkan konflik kepentingan di dalamnya.37
R. Soeprapto38 dalam Urip Santoso menyatakan bahwa tata guna
tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, peruntukan, penggunaan dan
persediaan tanah secara berencana dan teratur, sehingga diperoleh
manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Sudikno Mertokusumo39 menyatakan bahwa tata guna tanah
adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan
penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan
pembangunan nasional. Dalam tata guna tanah terdapat rangkaian
kegiatan penyediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah, sedangkan
36 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 261. 37 Ibid, hal 262.
38 Ibid, hal 246.
39 Ibid, hal 246.
32
tujuan tata guna tanah adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Tata guna tanah diatur dalam Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UUPR
jo PP No. 15 Tahun 2010 yaitu Penyelenggaraan Penataan Ruang sama
dengan pengelolaan tata guna tanah, yang meliputi penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi
pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil.40
Muchsin dan Imam Koeswahyono41 menyatakan bahwa ada
empat unsur esensial dalam penatagunaan tanah, yaitu:
1. Adanya serangkaian kegiatan/aktifitas, yaitu pengumpulan data
lapangan tentang penggunaan, penguasaan, kemampuan fisik,
pembuatan rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan dan
keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi dengan
instansi lain;
2. Dilakukan secara berencana dalam arti harus sesuai dengan prinsip
lestari, optimal, serasi dan seimbang;
3. Adanya tujuan yang hendak dicapai yaitu sejalan dengan tujuan
pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
40 Supriadi, Loc. Cit, hal 261.
41 Urip Santoso, Op. Cit, hal 247.
33
4. Harus terkait langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan
memperhatikan Daftar Skala Prioritas (DSP).
3. Prinsip dan Dasar Penatagunaan Tanah
Nad Darga Talkurputra dalam Urip Santoso menyatakan bahwa
ada sepuluh dasar penatagunaan tanah, yang di dalamnya memuat
pengaturan persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah, yaitu:42
a. Kewenangan Negara
Kewenangan penatagunaan tanah oleh negara bersumber kepada hak
menguasai negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Kewenangan tersebut digunakan agar tanah dimanfaatkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka menciptakan
masyarakat adil dan makmur. Hak menguasai dari negara yang
dimaksud adalah kewenangan untuk mengatur semua tanah, yang
telah dan atau belum dikuasai dan/atau dimiliki oleh orang-orang dan
badan hukum termasuk instansi pemerintah.
b. Batas-batas hak dari pemegang hak atas tanah
Menurut Pasal 4 UUPA, hak atas tanah memberi wewenang kepada
pemegang haknya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan,
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya,
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
42 Ibid, hal 248.
34
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Bersumber dari hak atas tanah tersebut, pemegang hak atas tanah
akan menggunakan tanah sesuai dengan keperluannya. Kekuasaan
negara mengenai tanah yang sudah dipunyai oleh orang-orang dan
badan-badan hukum dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu,
artinya sampai seberapa jauh negara memberikan wewenang kepada
pemegang hak untuk menggunakan tanahnya, sampai di situlah batas
kekuasaan negara.
c. Fungsi sosial hak atas tanah
Penatagunaan tanah pada hakikatnya merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam rangka mewujudkan fungsi sosial hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 UUPA. Penggunaan tanah
harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari hak atas tanah,
sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi yang
memilikinya maupun bagi masyarakat dan negara.
d. Perlindungan ekonomi lemah
Pemegang hak atas tanah berbeda-beda keadaan sosial ekonominya,
sehingga kemampuan dalam memenuhi kewajiban dalam rangka
penatagunaan tanah berbeda-beda pula. Dalam rangka penatagunaan
tanah perlu dipertimbangkan perlindungan terhadap ekonomi lemah.
35
e. Penatagunaan tanah tidak dapat dilepaskan dengan pengaturan dan
penguasaan dan pemilikan tanah.
Pada kenyataannya hampir seluruh bidang tanah dalam wilayah
Negara Republik Indonesia telah dikuasai atau dimiliki oleh orang-orang
atau badan hukum dalam berbagai bentuk hubungan hukum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun
ketentuan-ketentuan Hukum Adat atau Hak Ulayat.
Dengan demikian, penatagunaan tanah, baik di atas tanah yang telah
ada pemiliknya maupun yang belum ada, tidak dapat dilepaskan dari
pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah.
f. Penatagunaan tanah sebagai komponen pembangunan nasional.
Ketersediaan tanah sangat menentukan keberhasilan pembangunan.
Pembangunan tanpa tersedianya tanah kiranya tidak mungkin karena
tanah diperlukan sabagai sumber daya sekaligus sebagai tempat
menyelenggarakan pembangunan. Sebaliknya, tanah tidak akan
memberikan kemakmuran tanpa pembangunan sebab yang
memberikan kemakmuran adalah kegiatan manusia di atasnya melalui
pembangunan. Oleh karena itu, penatagunaan tanah terkait langsung
dengan sistem penyelengaraan pembangunan nasional.
Prosedur dan tahapan penyelengaraannya sejalan dan terkait dengan
prosedur dan tahapan waktu penyelengaraan pembangunan
36
merupakan upaya mengakomodasikan kebutuhan tanah bagi kegiatan
pembangunan yang diprioritaskan.
g. Penatagunaan tanah sebagai subsistem penataan
Untuk memenuhi keperluan pembangunan yang beraneka ragam perlu
dikembangkan penatagunaan tanah yang serasi dengan tata guna air,
tata guna udara, tata guna sumber daya alam lainnya dalam suatu
kesatuan tata ruang yang dinamis.
Sebagai subsistem penataan ruang, maka penatagunaan tanah harus
mampu mewujudkan rencana tata ruang wilayah sepanjang
menyangkut tanah.
Penatagunaan tanah dimaksud haruslah memuat pedoman-pedoman
penggunaan tanah yang berisi ketentuan-ketentuan, kriteria maupun
petunjuk teknis di dalam menggunakan tanah guna mewujudkan azas-
azas penataan ruang.
h. Penatagunaan tanah merupakan kegiatan yang bersifat koordinatif.
Penatagunaan tanah harus dapat mengakomodasikan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya mengenai
pemanfaatan ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup,
sepanjang menyangkut pengaturan dan penyelenggaraan persediaan,
peruntukan dan penggunaan tanah serta pemeliharaannya.
37
Karena sifat tanah berdimensi banyak dan menyangkut berbagai pihak
dengan berbagai kepentingan yang dilandasi dengan berbagai
peraturan perundang-undangan, namun sepanjang pelaksanaannya
menyangkut penatagunaan tanah, maka harus diakomodasikan melalui
koordinasi antar-departemen dan lembaga yang terkait, baik di pusat
maupun di daerah.
i. Penatagunaan tanah sebagai suatu sistem yang dinamis
Penatagunaan tanah harus mampu menampung kegiatan
pembangunan yang bersifat dinamis di atas tanah dengan berbagai
aspek baik dari segi keterbatasan maupun dimensinya. Untuk itu, dalam
rangka penyelenggaraan penatagunaan tanah dilaksanakan kegiatan-
kegiatan yang meliputi perumusan kebijaksanaan, pelaksanaan dan
pengendaliannya, yang satu sama lain saling terkait secara fungsional
membentuk suatu sistem yang dinamis, maka dalam pelaksanaannya
secara sistematis disiapkan dan disusun perangkat-perangkat teknis
berupa data tata guna tanah yang selalu dalam keadaan mutakhir, yang
bersama data pendukung lainnya dalam suatu sistem pengelolaan yang
terpadu dengan memanfaatkan perkembangan teknologi khususnya
dalam hal sistem manajemen informasi geografi.
j. Penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat
38
Dalam penjelasan Pasal 2 UUPA dikemukakan bahwa: “…… soal
agraria (pertanahan) menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan
tugas pemerintah pusat (Pasal 33 UUD NRI 1945). Dengan demikian,
pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari
negara atas tanah itu merupakan Medebewind. Segala sesuatunya
akan diselengarakan menurut keperluannya dengan demikian tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.
4. Pengertian Ruang
Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUPR
adalah:
“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya”.
Selanjutnya di dalam penjelasan umum dari UUPR dinyatakan
bahwa: “Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara
termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada
dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal
tersebut dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional, undang-undang ini mengamanatkan perlunya
dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam
39
dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat
memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah
penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap
proses perencanaan tata ruang wilayah.
D.A. Tisnaamidjaja, sebagaimana yang dikutip oleh Juniarso
Ridwan dan Achmad Sodik menyatakan yang dimaksud dengan pengertian
ruang adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis yang
merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan
kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak.”43
Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan
kehidupan manusia, juga sebagai sumber daya alam yang merupakan
salah satu karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Dengan demikian ruang wilayah Indonesia merupakan suatu aset yang
harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara
terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan
faktor-faktor lain seperti ekonomi, sosial, budaya, hankam serta kelestarian
lingkungan untuk mendorong terciptanya pembangunan nasional yang
serasi dan seimbang.44
43 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 23. 44 Ibid, hal 23 .
40
Ruang sebagaimana telah diuraikan dalam Pasal 1 UUPR, terbagi
dalam beberapa kategori, yang di antaranya adalah:45
a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah.
b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, dimana negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
c. Ruang Udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi, dimana negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
5. Pengertian Tata Ruang
Pengertian tata ruang dikemukakan oleh Rahardjo Adisasmita
adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan
maupun tidak direncanakan. Tata ruang perlu direncanakan dengan
maksud agar lebih mudah menampung kelanjutan perkembangan kawasan
yang bersangkutan.46
Pasal 1 angka 2 UUPR menjelaskan yang dimaksud dengan tata
ruang adalah “wujud struktural ruang dan pola ruang”.
Wujud struktural ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk
rona lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara
hierarkis berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedang yang dimaksud
dengan pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi, sebaran permukiman,
45 Ibid, hal 23.
46 Rahardjo Adisasmita, Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang, Graha
Ilmu,Yogyakarta, 2012, hal 64.
41
tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah perkotaan
dan pedesaan, dimana tata ruang tersebut adalah tata ruang yang
direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata
ruang yang terbentuk secara alami, seperti aliran sungai, gua, gunung dan
lain-lain.
Tata ruang sebagai wujud struktur ruang dan pola ruang disusun
secara nasional, regional, dan lokal. Secara nasional disebut Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
(RTRWK).
Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
Selanjutnya masih dalam peraturan tersebut, yaitu Pasal 1
angka 5 yang dimaksud dengan penataan ruang adalah “suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang”.
42
6. Rencana Tata Ruang
Perencanaan atau planning merupakan suatu proses, sedangkan
hasilnya berupa “rencana” (plan), dapat dipandang sebagai suatu bagian
dari setiap kegiatan yang lebih sekedar reflex yang berdasarkan perasaan
semata. Tetapi yang penting perencanaan merupakan suatu komponen
yang penting dalam setiap keputusan sosial, setiap unit keluarga,
kelompok, masyarakat, maupun pemerintah terlibat dalam perencanaan
pada saat membuat keputusan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk
mengubah sesuatu dalam dirinya atau lingkungannya.47
Rencana tata ruang perkotaan sangat kompleks, sehingga perlu
lebih diperhatikan dan direncanakan dengan baik. Kawasan/zona di
wilayah perkotaan dibagi dalam beberapa zona berdasarkan Peraturan
Daerah. Tata ruang di wilayah perkotaan yang tidak sesuai dari rencana
tata ruang yang telah ditetapkan menyebabkan terjadinya kesemrawutan
kawasan yang mengakibatkan berkembangnya kawasan kumuh yang
berdampak kepada gangguan terhadap sistem transportasi, sulitnya
mengatasi dampak lingkungan yang berimplikasi kepada kesehatan,
sulitnya mengatasi kebakaran bila terjadi kebakaran serta terjadi banjir.
Pada negara hukum dewasa ini, suatu rencana tidak dapat
dihilangkan dari segi hukum administrasi. Rencana dapat dijumpai pada
berbagai bidang kegiatan pemerintahan, misalnya dalam pengaturan tata
47 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 24.
43
ruang, rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan
dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan
tertentu yang tertib (teratur). Rencana yang demikian itu dapat
dihubungkan dengan stelsel perizinan (misalnya suatu perizinan
pembangunan akan ditolak oleh karena tidak sesuai dengan rencana
peruntukannya).
Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, sehingga
dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah sebuah spesies dari genus
kebijaksanaan. Masalah perencanaan berkaitan erat dengan perihal
pengambilan keputusan serta pelaksanaannya. Perencanaan dapat
dikatakan pula sebagai pemecahan masalah secara saling terkait serta
berpedoman kepada masa depan.48
Saul M Katz, mengemukakan alasan atau dasar dari diadakannya
suatu perencanaan adalah:49
a. Dengan adanya suatu perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian suatu perkiraan.
b. Dengan perencanaan diharapkan terdapat suatu perkiraan terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui. Perkiraan tidak hanya dilakukan mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan, tetapi juga mengenai hambatan-hambatan dan risiko-risiko yang mungkin dihadapi, dengan perencanaan mengusahakan agar ketidakpastian dapat dibatasi sesedikit mungkin.
48 Loc.Cit, hal 25. 49 Ibid, hal 25.
44
c. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara atau kesempatan untuk memilih kombinasi terbaik.
d. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan usahanya.
e. Dengan adanya rencana, maka akan ada alat pengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi.
Maksud diadakannya perencanaan tata ruang adalah untuk
menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam
memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien
dan serasi. Sedangkan tujuan diadakannya suatu perencanaan tata ruang
adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan
fungsionalnya yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan
sumber daya manusia, sehingga tercapai hasil pembangunan yang optimal
dan efisien bagi peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan
hidup secara berkelanjutan.50 Tujuan penyusunan rencana tata ruang
adalah:51
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional;
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya;
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas; 4. Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
5. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
50 Ibid, hal 26. 51 Rahardjo Adisasmita, Op. Cit, hal 256.
45
6. Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
7. Mewujudkan keseimbangan, kesejahteraan dan keamanan.
Penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan
suatu kesatuan sistem yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya.
Untuk menciptakan suatu penataan ruang yang serasi, memerlukan suatu
peraturan perundang-undangan yang serasi pula di antara peraturan pada
tingkat tinggi sampai pada peraturan pada tingkat bawah sehingga terjadi
suatu koordinasi dalam penataan ruang.
7. Pengertian Kawasan
Kawasan berdasarkan UUPR adalah wilayah dengan fungsi utama
lindung atau budi daya, sedangkan dalam Perda No. 6 Tahun 2006
memberikan definisi kawasan sebagai “ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri
tertentu (spesifik/khusus)”. Kawasan merupakan daerah yang secara
geografis dapat sangat luas ataupun terbatas, misalnya kawasan hutan
dan kawasan permukiman/perumahan yang terbatas.
Kawasan permukiman adalah sebidang tanah/lahan yang
diperuntukkan bagi pengembangan permukiman dapat pula diartikan
sebagai daerah tertentu yang didominasi lingkungan hunian dengan fungsi
utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana, prasarana
46
daerah dan tempat kerja yang memberikan pelayanan dan kesempatan
kerja guna mendukung penghidupan, perikehidupan sebagai fungsi
kawasan sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna.52 Kawasan
perumahan adalah kawasan dengan fungsi utama sebagai tempat
tinggal/hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.53
F. Pengertian Kesadaran Hukum
Scholten54 mengemukakan bahwa kesadaran hukum adalah
kesadaran yang ada pada diri setiap manusia tentang apa hukum itu atau
bagaimana seharusnya hukum itu, suatu keadaan yang berasal dari
kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan bukan
hukum (onrecht), antara yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya
tidak dilakukan. Dengan demikian kesadaran hukum berarti kesadaran
tentang apa yang seharusnya kita lakukan atau perbuat atau yang
seharusnya tidak kita lakukan atau diperbuat terutama terhadap orang lain
atau dapat pula berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-
masing.
Kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata
berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan undang-
undang saja, akan tetapi juga terhadap hukum yang tidak tertulis. Bahkan
52 Ibid, hal 61.
53 Ibid, hal 61. 54 Achmad Sanusi, Kesadaran Hukum Masyarakat, Majalah Hukum no. 5 tahun
ke 4 1977.
47
kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Jika suatu peristiwa terjadi secara
terulang dengan teratur, maka akan timbul pandangan atau anggapan
bahwa memang demikianlah seharusnya, hal ini akan menimbulkan
pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal
itu merupakan kewajiban hukum.
Soerjono Soekanto55 menyatakan pada hakekatnya kesadaran
hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang
hidup dalam masyarakat tentang hukum. Pandangan-pandangan yang
hidup di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan
produk pertimbangan-pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi
berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi,
politik dan sebagainya.
Pelanggaran akan peraturan perundang-undangan banyak terjadi
karena penyalahgunaan hak atau wewenang. Menggunakan hak secara
berlebihan adalah merupakan penyalagunaan hak. Komersialisasi jabatan
adalah juga merupakan penyalahgunaan hak. Penyalahgunaan hak
banyak dilakukan oleh golongan tertentu atau pejabat-pejabat yang merasa
dapat berbuat dan dimungkinkan dapat berbuat karena kedudukan atau
jabatannya.
55 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia, Penerbit UGM Yogyakarta, 1978, hal 102.
48
Pelaksanaan hukum (law enforcement) yang tidak tegas adalah
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pelanggaran-
pelanggaran hukum tersebut. Dengan makin banyaknya pelanggaran
hukum makin berkurangnya toleransi dan sikap berhati-hati di dalam
masyarakat, penyalagunaan hak dan sebagainya dapatlah dikatakan
bahwa kesadaran hukum yang menurun, akan mengakibatkan merosotnya
kewibawaan pemerintah. Menurunnya kesadaran hukum dalam hal ini
berarti orang cenderung akan melakukan pelanggaran hukum, sedangkan
makin tinggi kesadaran hukum seseorang makin tinggi ketaatan
hukumnya.56
Kurang tegasnya para petugas penegak hukum terutama polisi,
jaksa dan hakim dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum
pada umumnya merupakan peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran
atau kejahatan-kejahatan. Tidak adanya atau kurangnya pengawasan pada
petugas penegak hukum merupakan faktor menurunnya kesadaran hukum
masyarakat.
G. Pengertian Perizinan
Pemanfaatan kawasan permukiman terkait erat dengan perizinan,
oleh karena pembangunan permukiman atau perumahan tidak dapat
dilaksanakan apabila tidak memperoleh izin dari pejabat yang berwenang.
56 Sudikno Mertokusumo “Kampanye Penegakan Hukum antara Fakultas Hukum
UGM dengan Kejaksaan Agung RI” 1978.
49
Adapun pemberian izin ini terkait erat dengan pemanfaatan kawasan
permukiman agar sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu sangat penting untuk mengemukakan pengertian izin
dalam pembahasan ini. Para ahli mengemukakan pendapatnya masing-
masing tentang pengertian izin. Pengertian izin yang dikemukakan para
ahli hukum berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana izin
tersebut dilihat.
Sjachran Basah dalam Ridwan HR menyatakan bahwa Izin adalah
perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan
peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur
sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.57
Asep Warlan Yusuf58 menyatakan izin adalah suatu instrument
pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana
hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat.
Bagir Manan mengemukakan bahwa izin dalam arti luas adalah
suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan
tertentu yang secara umum dilarang.59
57 Ridwan HR, Loc. Cit, hal 198. 58 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 106. 59 Ridwan HR, Op. Cit, hal 199.
50
Ateng Syafrudin dalam Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik
menyatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan.
Hal yang dilarang menjadi boleh. Penolakan atas permohonan izin
memerlukan perumusan limitatif. Selanjutnya beliau membedakan
perizinan menjadi empat macam yaitu:60
1. Izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal dilarang menjadi boleh, dan penolakan atas permohonan izin memerlukan perumusan yang limitatif.
2. Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya secara formal tidak diizinkan. Dengan demikian dispensasi merupakan hal yang khusus.
3. Lisensi adalah izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan.
4. Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi tugas pemerintah, namun oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.
Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah, yang dalam
keadaan tertentu menyimpang dari peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, izin pada prinsipnya memuat larangan, persetujuan
yang merupakan dasar pengecualian. Pengecualian tersebut harus
diberikan oleh undang-undang, untuk menunjukkan legalitas sebagai suatu
ciri negara hukum yang demokratis.61
60 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Loc. Cit hal 106.
61 Ibid, hal 107.
51
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa izin
adalah merupakan suatu perangkat Hukum Administrasi yang digunakan
oleh pemerintah untuk mengendalikan warganya. Adanya kegiatan
perizinan yang dilaksanakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah pada intinya adalah untuk menciptakan
kondisi aman dan tertib yaitu agar sesuai dengan peruntukan,
pemanfaatan dan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan62. Izin
tersebut diberikan oleh pejabat negara dengan demikian, dilihat dari
penetapannya, izin merupakan instrumen pengendalian dan alat
pemerintah untuk mencapai apa yang menjadi sasarannya.63 Pada
kenyataannya izin terkadang dimanfaatkan untuk memberikan kontribusi
positif bagi kegiatan perekonomian, terutama sebagai pendapatan daerah
dan investasi. Izin yang diberikan oleh pemerintah memiliki maksud untuk
menciptakan kondisi yang aman dan tertib agar setiap kegiatan sesuai
dengan peruntukannya. Perizinan bagi pemerintah seringkali dijadikan
sebagai alat bagi sektor pendapatan asli daerah, izin dijadikan sebagai
pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah merupakan hal
yang penting dalam rangka mewujudkan otonomi daerah. Tanpa
62 Ibid, hal 108.
63 Loc.Cit, hal 107.
52
pendapatan yang memadai, otonomi daerah tidak dapat terwujud. Tujuan
dari perizinan adalah:64
1. Keinginan untuk mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).
2. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan). 3. Keinginan untuk melindungi objek-objek tertentu (izin terbang,
izin membongkar pada monumen-monumen). 4. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di
daerah padat penduduk). 5. Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-
aktivitas (izin dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).
H. Sanksi Hukum dalam Perda Nomor 6 Tahun 2006
Pasal 91 Perda No.6 Tahun 2006 mengatur tentang sanksi yang
menyatakan bahwa:
“ Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administratif; 2. Sanksi Perdata; 3. Sanksi Pidana;
Ad 1. Sanksi Administratif
Secara umum terdapat beberapa macam sanksi yang dikenal
dalam Hukum Administrasi. Keragaman bidang urusan pemerintahan serta
luasnya ruang lingkup yang diatur, mengakibatkan macam dan jenis sanksi
dalam rangka penegakan peraturan menjadi beragam. Pada umumnya
macam-macam dan jenis sanksi dicantumkan dan ditentukan secara tegas
64 Loc. Cit, hal 108.
53
dalam peraturan perundang-undangan bidang administrasi tertentu.
Adapun macam-macam sanksi dalam Hukum Administrasi Negara adalah:
a. Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang)
Bestuursdwang atau paksaan pemerintah diuraikan oleh Philipus
M. Hadjon sebagai tindakan-tindakan yang nyata (feitelijke handeling) dari
penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah
hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya
ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-
undang.65
Hal yang sama dikemukakan oleh Ridwan HR bahwa paksaan
pemerintahan adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah
atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan,
menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah
dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-
kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.66
Paksaan pemerintahan ini dapat dilaksanakan dengan melakukan
tindakan nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma
Hukum Administrasi Negara, karena kewajiban yang muncul dari norma itu
tidak dijalankan atau sebagai reaksi dari pemerintah atas pelanggaran
65 Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gajahmada University Press, Yogyakarta, 2008, hal 246. 66 Ridwan HR, Op. Cit, hal 306.
54
norma hukum yang dilakukan warga negara. Paksaan pemerintahan dilihat
sebagai bentuk eksekusi nyata, dalam arti langsung dilaksanakan tanpa
perantaraan hakim dan biaya yang berkenaan dengan pelaksanaan
paksaan pemerintahan ini secara langsung dapat dibebankan kepada
pihak pelanggar, contoh pelaksanaan paksaan pemerintahan yaitu pada
pelanggaran yang bersifat substansial misalnya seseorang membangun
rumah di kawasan industri ataupun seorang pengusaha membangun
industri di kawasan permukiman, yang berarti mendirikan bangunan tidak
sesuai dengan tata ruang atau rencana peruntukan yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Kota. Hal ini termasuk pelanggaran yang bersifat
substansial, dan pemerintah dapat langsung menerapkan
bestuursdwang.67
b. Penarikan Kembali Keputusan Tata Usaha Negara yang
Menguntungkan
Penarikan kembali KTUN yang menguntungkan ini dilakukan
dengan mengeluarkan suatu keputusan baru yang isinya menarik kembali
dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi keputusan yang terdahulu.
Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan berarti meniadakan
hak-hak yang terdapat dalam keputusan itu oleh organ pemerintahan.
Sanksi ini termasuk sanksi berlaku ke belakang, yaitu sanksi yang
mengembalikan pada situasi sebelum keputusan itu dibuat. Dengan kata
67 Ibid, hal 307.
55
lain hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul setelah terbitnya
keputusan tersebut menjadi hapus atau tidak ada sebagaimana sebelum
terbitnya keputusan itu, dan sanksi ini dilakukan sebagai reaksi terhadap
tindakan yang bertentangan dengan hukum. Sanksi penarikan kembali
KTUN yang menguntungkan diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran
terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan
tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-
undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar.68
Keputusan (ketetapan) yang menguntungkan dapat ditarik kembali
sebagai sanksi, jika:69
1. Pihak yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi atau pembayaran;
2. Pihak yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat izin, subsidi atau pembayaran telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, sehingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap maka keputusan yang diberikan akan berlainan (misalnya terjadi penolakan terhadap permohonan yang dimintakan izin).
c. Pengenaan Uang Paksa (dwangsom)
Uang paksa sebagai “hukuman atau denda” jumlahnya
berdasarkan syarat dalam perjanjian yang harus dibayar karena tidak
menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai dengan
68 Ibid, hal 311. 69 Philipus M. Hadjon dkk, Op.Cit, hal 258.
56
waktu yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian,
kerusakan dan pembayaran bunga.70
Pembuat undang-undang memberi alternatif kepada badan yang
berwenang melakukan bestuursdwang untuk mengenakan uang paksa
pada yang berkepentingan sebagai pengganti bestuursdwang, uang akan
hilang untuk tiap kali suatu pelanggaran diulangi atau untuk tiap hari ia
(sesudah waktu yang ditetapkan) masih berlanjut.71
Pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang
atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan
pemerintahan.72
Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan
nyata, yang berarti sebagai sanksi “Subsidiare” dan dianggap sebagai
sanksi “reparatoir”73 . Persoalan hukum yang dihadapi dalam pengenaan
dwangsom sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam kaitannya
dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan seperti izin,
biasanya pemohon izin disyaratkan untuk memberikan uang jaminan. Jika
terjadi pelanggaran atau pelanggar (pemegang izin) tidak segera
mengakhirinya, maka uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom. Uang
70 Ridwan HR, Op. Cit, hal 315. 71 Philipus M. Hadjon dkk, Loc. Cit, hal 258. 72 Ridwan HR, Op. Cit, hal 316. 73 Sifat sanksi reparatoir adalah sanksi yang bertujuan untuk memulihkan pada
keadaan semula (Dikutip dari Ridwan HR, Loc. Cit, hal 315).
57
jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan bestuursdwang
sulit dilakukan.74
d. Pengenaan Denda Administratif
Denda administratif (bestuurslijke boetes) adalah sanksi yang
dikenakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan yang
ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda
administrasi yang terdapat dalam hukum pajak. Organ administrasi dapat
memberikan hukuman tanpa perantaraan hakim, walaupun demikan tidak
berarti bahwa pemerintah dapat menerapkannya secara sewenang-
wenang melainkan harus tetap memperhatikan asas-asas Hukum
Administrasi Negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.75
Sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran
tata ruang secara rinci diatur dalam Pasal 63 UUPR yang terdiri dari:
a. Peringatan tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c. Penghentian sementara pelayanan umum; d. Penutupan lokasi; e. Pencabutan izin; f. Pembatalan izin; g. Pembongkaran bangunan; h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. Denda administratif.
Sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 63 UUPR di atas
telah mengakomodir jenis-jenis sanksi administratif yang ditentukan dalam
74 Ridwan HR, Loc. Cit, hal 316. 75 Ibid, hal 17.
58
lingkup hukum publik yaitu Hukum Administrasi Negara akan tetapi pejabat
publik sebagai pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi dalam
menerapkan sanksi administratif tersebut di atas harus memperhatikan dan
berpedoman pada azas-azas umum pemerintahan yang baik agar tidak
terjadi kekeliruan dalam pengenaan sanksi administratif yang akan
dijatuhkan.
Ad 2. Sanksi Perdata
Sanksi perdata secara yuridis formal diatur dalam Pasal 1365,
1366 dan 1367 Burgelijk Wetbook (selanjutnya disebut BW). Pasal 1365
BW menyatakan;
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Pasal ini mewajibkan orang yang melakukan perbuatan melanggar
hukum untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan akibat
perbuatan melangar hukum yang dilakukannya.
Tanggung jawab untuk melakukan pembayaran ganti kerugian
kepada pihak yang mengalami kerugian tersebut baru dapat dilakukan
apabila orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut
59
adalah orang yang mampu bertanggung jawab secara hukum (tidak ada
alasan pemaaf).76 Pasal 1366 BW menyatakan;
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Pasal ini menjelaskan bahwa orang yang melakukan perbuatan
melanggar hukum tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan akibat perbuatan yang dilakukannya secara aktif, tetapi juga
bertanggung jawab atas kerugian akibat kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Pasal 1367 BW menyatakan;
“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”
Tanggung jawab yang diatur dalam Pasal ini adalah tanggung
jawab atas kesalahan orang lain yang ada di bawah tanggung jawabnya.
Pasal ini dapat dikatakan menganut tanggung jawab risiko, atau tanggung
jawab tanpa kesalahan, walaupun tanggung jawab risiko tersebut dibatasi
hanya jika yang melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian
tersebut adalah orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.77
76 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456, Rajawali Pers, Jakarta: hal 96. 77 Ibid. hal 98.
60
Dalam Perda No. 6 Tahun 2006 hanya menyebutkan Sanksi
Perdata akan tetapi tidak menetapkan secara spesifik bilamana seseorang
dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata. Perda tersebut di atas
hanya mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana bagi mereka yang
melakukan pelanggaran terhadap Perda No. 6 Tahun 2006.
Setiap Pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang
menimbulkan kerugian materil, UUPR memungkinkan untuk dapatnya
diadakan penuntutan secara perdata, hal ini diatur dalam Pasal 75 UUPR
yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana.
(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.
Sedangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 Pasal
91 menyatakan:
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Daerah ini dapat dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administratif;
2. Sanksi Perdata;
3. Sanksi Pidana.
Meskipun diatur dalam Pasal 91 di atas namun sanksi perdata
dalam Pasal ini tidak diperinci secara jelas bilamana seseorang dapat
dituntut secara perdata terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Berbeda
dengan UUPR yang mengatur secara tegas tentang sanksi perdata ini.
61
Sanksi perdata dijatuhkan kepada pelanggaran terhadap rencana tata
ruang dalam hal ada korban yang dirugikan terhadap pelanggaran
tersebut, sehingga pihak yang menderita kerugian secara langsung dapat
menuntut pertanggungjawaban perdata berupa ganti rugi secara materil
kepada pelanggar. Dimana penuntutan secara perdata dapat diajukan
terhadap pelanggaran rencana tata ruang yaitu kepada orang-perorang
maupun kepada korporasi atau badan hukum dan juga dapat ditujukan
kepada pejabat pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Akan tetapi
tuntutan ganti kerugian secara materil baru dapat dilakukan oleh pihak
yang dirugikan manakala telah ada putusan hakim yang inkra (berkekuatan
hukum yang tetap) terhadap suatu perbuatan pidana yang berhubungan
dengan rencana tata ruang.
Pasal 69 UUPR menetapkan setiap tindak pidana yang dapat
diadakan penuntutan secara perdata yaitu berdasarkan ayat (1)
pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang oleh karena
perbuatannya itu mengakibatkan perubahan fungsi ruang misalnya
terjadinya pergeseran fungsi ruang dari ruang terbuka hijau menjadi
kawasan permukiman sehingga menimbulkan banjir dan ayat (2)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda dan kerusakan barang
dan/atau ayat (3) akibat perbuatannya mengakibatkan kematian orang.
62
Demikian pula dalam Pasal 70 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4), dimana tuntutan ganti kerugian secara perdata dapat dilakukan
terhadap setiap orang yang memanfaatkan izin pemanfaatan ruang tidak
sesuai dengan peruntukannya sehingga mengakibatkan perubahan fungsi
ruang yang menyebabkan kerugian terhadap harta benda dan barang atau
mengakibatkan meninggalnya seseorang.
Penuntutan secara perdata dapat pula diajukan berdasarkan Pasal
71 yaitu terhadap perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yaitu apabila
seseorang yang melaksanakan pembangunan sebuah rumah tidak sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) misalnya pada kawasan bandara terpadu yang tidak
memperbolehkan bangunan di sekitar bandara melebihi dua tingkat
sehingga apabila tetap dilakukan dapat mengakibatkan kecelakaan
penerbangan yang menyebabkan kematian orang atau jika seorang
pengusaha membangun hotel di kawasan pelabuhan yang mana hotel
tersebut letaknya dapat mengganggu olah gerak kapal sehingga
mengakibatkan terjadinya kecelakaan kapal yang menimbulkan korban
jiwa.
Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian secara materil tidak
hanya dilakukan oleh orang perorang akan tetapi dilakukan pula oleh
63
pejabat pemerintah dalam hal ini seorang pejabat dalam melaksanakan
jabatannya memberikan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
zonasi atau kawasan yang telah ditetapkan sehingga mengakibatkan
kerugian materil terhadap orang.
Berdasarkan Pasal 74 UUPR menyatakan apabila suatu
perbuatan yang menimbulkan kerugian secara materil dilakukan oleh
korporasi atau badan hukum maka terhadap pengurusnya dapat dituntut
untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan.
Menurut pendapat penulis UUPR memberikan pula perlindungan
terhadap korban yang menderita kerugian sebagai akibat dari adanya
pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang dilakukan oleh orang
perorang, badan hukum maupun kepada pejabat yang berwenang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Akan tetapi
penuntutan terhadap kerugian materil yang disebabkan oleh terjadinya
pelanggaran terhadap rencana tata ruang tersebut harus terlebih dahulu
diawali dengan penuntutan pidana. Sehingga apabila terbukti kesalahan
pelanggar dalam hal ini telah ada putusan hakim terhadap tindak pidana
yang dilakukan. Maka hal tersebut merupakan dasar bagi korban untuk
mengajukan gugatan perdata untuk memperoleh ganti kerugian secara
materil.
64
Ad 3. Sanksi Pidana
Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut terciptanya
suasana tertib, termasuk tertib hukum. Pembangunan negara merupakan
bagian mendasar dari pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, hal tersebut
tidak terlepas dari upaya pemberian pelayanan pada masyarakat dan para
warga. Untuk mewujudkan suasana tertib tersebut, berbagai program dan
kebijaksanaan pembangunan negara perlu didukung dan ditegakkan oleh
seperangkat peraturan perundang-undangan yang memuat aturan dan
pola perilaku tertentu, berupa larangan-larangan, kewajiban-kewajiban dan
anjuran-anjuran. Tidak ada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum
manakala kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan
menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara).78
Salah satu upaya pemaksaan hukum adalah melalui
pemberlakuan sanksi pidana terhadap pihak pelanggar mengingat sanksi
pidana membawa akibat hukum yang terkait dengan kemerdekaan pribadi
(pidana penjara dan kurungan) dari pelanggar yang bersangkutan. Oleh
karena itu hampir dalam berbagai ketentuan perundang-undangan
termasuk di bidang pemerintahan dan pembangunan negara selalu disertai
dengan pemberlakuan sanksi pidana. Sanksi pidana diatur dalam undang-
undang yang merupakan produk legislatif maupun pada peraturan
78 Philipus M. Hadjon dkk, Op. Cit, hal 262.
65
perundang-undangan yang lebih rendah termasuk Peraturan
Daerah (Perda).79
Ketentuan pidana penataan ruang diatur dalam Pasal 92 Perda
No. 6 tahun 2006 yaitu:
(1) Pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk Daerah, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, dapat dikenakan biaya paksaan penegakan hukum seluruhnya atau sebagian;
(3) Walikota menetapkan pelaksanaan dan besarnya biaya paksaan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini.
Pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) selaku
petugas penyidik menurut ketentuan Pasal 6 ayat 1 b Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sangat memungkinkan efektivitas
pemberlakuan dan penegakan sanksi pidana dari peraturan perundang-
undangan tertentu, seperti halnya kaidah-kaidah hukum berkenaan dengan
lingkungan hidup, kawasan hutan, industri, perdagangan, perlindungan hak
cipta/hak merek dan masalah-masalah penataan ruang. Namun dalam
kenyataan, masih terdapat adanya kaidah-kaidah hukum tertentu, seperti
halnya peraturan-peratuan daerah yang belum diketahui secara meluas
oleh masyarakat, sedangkan peraturan-peraturan tersebut diberlakukan
pada mereka serta masih ada hakim-hakim Pengadilan Negeri yang tidak
mengetahui pemberlakuan suatu Peraturan Daerah (yang di dalamnya
79 Ibid, hal 262.
66
memuat sanksi pidana) di wilayah hukum pengadilan tempatnya
bertugas.80
Sanksi Pidana tidak dapat dikenakan kepada pihak pelanggar
dengan cara penggunaan bestuursdwang. Penegakan sanksi pidana
dilaksanakan dengan berdasar pada hukum acara pidana dan pengenaan
sanksinya dinyatakan dengan suatu putusan hakim pada Pengadilan
Negeri setempat. Pemberlakuan sanksi pidana pada dasarnya turut
berperan pada efektivitas penegakan dan pentaatan kaidah-kaidah Hukum
Administrasi, termasuk pada pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.81
Perbedaan antara sanksi administratif dan sanksi pidana dapat
dilihat dari tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administratif
ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana
ditujukan kepada si pelanggar dengan memberikan hukuman sesuai
dengan Pasal 10 KUHPidana82. Sanksi administratif dimaksudkan agar
perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Perbedaan antara sanksi pidana
dan sanksi administratif adalah dari segi penegakan hukumnya. Sanksi
administratif diterapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara tanpa harus
melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat
80 Ibid, hal 263. 81 Ibid, hal 264. 82 Pasal 10 KUHPidana terdiri atas: a. Pidana pokok (pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan) b. Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim).
67
dijatuhkan oleh hakim pada Pengadilan Negeri setempat setelah melalui
proses peradilan.
Salah satu upaya pemaksaan hukum adalah melalui
pemberlakuan sanksi pidana terhadap pihak pelanggar mengingat sanksi
pidana membawa akibat hukum yang terkait dengan kemerdekaan pribadi
(pidana penjara dan kurungan) dari pelanggar yang bersangkutan. Oleh
karena itu hampir semua ketentuan perundang-undangan termasuk di
bidang pemerintahan dan pembangunan negara selalu disertai dengan
pemberlakuan sanksi pidana. Sanksi pidana diatur dalam undang-undang
yang merupakan produk legislatif maupun pada peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah termasuk Peraturan Daerah (Perda).83
Pengaturan tentang sanksi pidana sangat tegas mengatur tentang
sanksi yang dapat dijatuhkan kepada orang perorang maupun pelanggaran
yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum. Sebagaimana yang
diatur dalam UUPR dan Perda Nomor 6 Tahun 2006.
Sanksi pidana dapat pula dijatuhkan kepada Pejabat Pemerintah
(Pasal 73 UUPR) yang berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang. Pejabat Pemerintahan yang berwenang
memberikan izin pemanfaatan ruang adalah Walikota Makassar yang
bertanda tangan pada Izin Mendirikan Bangunan dan Kepala Dinas Tata
83 Philipus M. Hadjon, Loc. Cit hal 262.
68
Ruang dan Bangunan yang menandatangani Izin Lokasi (Izin Prinsip).
Dengan demikian Walikota Makassar dan Kepala DTRB yang dimaksud
dalam UUPR dan Perda Nomor 6 Tahun 2006 sebagai pejabat yang
berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang. Apabila izin yang
diterbitkan oleh dua pejabat pemerintahan di atas tidak sesuai dengan
rencana tata ruang maka dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya
setelah terlebih dahulu diadakan penuntutan pidana terhadap pejabat
tersebut.
Pada dasarnya pengenaan ketiga sanksi baik sanksi administratif.
sanksi perdata dan sanksi pidana ini tidak hanya dikenakan bagi orang
perorangan dan korporasi atau badan hukum yang melakukan pelanggaran
terhadap Perda No 6 Tahun 2006 ini akan tetapi harus pula dikenakan
terhadap pejabat yang memberikan izin pembangunan kawasan
permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.
I. Landasan Teori
1. Teori Kewenangan
Berdasarkan literatur Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, dan Ilmu
Hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.
Kekuasaan sering disamakan dengan kewenangan, dan kekuasaan sering
dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya.
69
Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu
pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the
ruled).84
Kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber
disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang
berdasarkan suatu sistem hukum, ini dipahami sebagai suatu kaidah-
kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang
diperkuat oleh negara.85
Wewenang dalam hukum publik berkaitan dengan kekuasaan.86
Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena
kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah
kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu
negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping
unsur-unsur lainnya, yaitu hukum, kewenangan (wewenang),
keadilan, kejujuran, kebijakbestarian dan kebajikan.87
84 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 1998, hal 35-36.
85 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hal 27. 86 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, tanpa tahun, hal 1. 87Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas
Islam Indonesia, 1998), hal 37-38.
70
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar
negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara
dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja
melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan.
Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau
sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau
kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari negara.88
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau
organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan
(een ambten complex) dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah
pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan
konstruksi subyek-kewajiban.89 Dengan demikian kekuasaan mempunyai
dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan
hanya beraspek hukum semata yang bersumber dari konstitusi.
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah
wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan
dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut
Phillipus M. Hadjon,90 jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah
88 Miriam Budiardjo, Loc. Cit, hal 35.
89 Rusadi Kantaprawira, Op. Cit, hal 39.
90 Phillipus M. Hadjon, Op. Cit, hal 20.
71
kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak
pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep
hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum
Indonesia istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan
dalam konsep hukum publik.
Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian
kewenangan dan wewenang.91 Kita harus membedakan antara
kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kewenangan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-
undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Pada kewenangan terdapat
wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak
hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi
meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan
wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pengertian wewenang secara yuridis adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-
91 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), hal 22.
72
akibat hukum.92 Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kewenangan (authority) memiliki
pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan
merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang,
sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya
barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-
undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut
dalam kewenangan itu.
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada
(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang
sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan
didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa
sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi)
pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan
organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh
hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa
kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.93
92 Indroharto, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal 65.
93 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi
dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hal 219.
73
2. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum bersumber dari aliran positivistis yang
dipelopori oleh Hans Kelsen yang menyatakan hukum adalah suatu
perintah yang memaksa terhadap tingkah laku manusia, dan hukum adalah
kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
Pandangan Kelsen tentang hukum, sangat mencerminkan ciri
positivisnya. Kelsen melihat hukum positif sebagai satu-satunya hukum.
Dan hukum harus benar-benar dipisahkan dari segala pengaruh anasir-
anasir non hukum, seperti moral, politis, ekonomis, sosiologis dan
sebagainya.94 Aliran positivistis beranggapan bahwa hukum sebagai
sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan
yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam hal ini sekedar
menjamin terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran ini meskipun
aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak
memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal ini
tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian hukum dapat terwujud.95
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum
menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas
bagi setiap peristiwa konkrit dan tidak boleh ada penyimpangan (fiat justitia
et repeat mundus/hukum harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh).
94 Achmad Ali “Menguak Tabir Hukum”, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung,
2002, hal 29. 95 Ibid, hal 83.
74
Kepastian hukum akan memberikan perlindungan hukum kepada
yustisiabel atau pencari keadilan dari tindakan sewenang-wenang pihak
lain, dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban masyarakat.96
Sudikno Mertokusumo menyatakan masyarakat juga
berkepentingan agar dalam pelaksanaan atau penegakan hukum itu,
memperhatikan nilai-nilai keadilan. Akan tetapi, harus diingat bahwa hukum
itu tidak identik dengan keadilan, karena hukum bersifat umum, mengikat
setiap orang dan bersifat menyamaratakan atau tidak membeda-bedakan
keadaan status ataupun perbuatan yang dilakukan manusia. Bagi hukum,
setiap kejahatan yang dilakukan akan dijatuhkan pidana/hukuman yang
sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal dalam undang-undang,
sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan keadilan
masyarakat.97
Pandangan Hans Kelsen di atas menurut pendapat penulis bahwa
hukum itu bukan hanya berupa kumpulan aturan-aturan yang bersifat
tertulis (undang-undang) dan berlaku di suatu negara akan tetapi terdapat
pula aturan-aturan hukum yang tidak tertulis yang berlaku dalam suatu
negara misalnya Hukum Adat. Adapun mengenai teori kepastian hukum
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat ini tidak lagi cocok untuk
96 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
SinarGrafika, hal 131. 97 Ibid, hal 1.
75
diterapkan oleh karena Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum harus
harus dipisahkan dari anasir-anasir non hukum dalam arti hukum harus
berdiri sendiri dan tidak boleh dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum.
Meskipun hukum harus ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa
hukum yang terjadi akan tetapi penerapan hukum harus memperhatikan
nilai-nilai yang ada pada saat ini dan tidak hanya sekedar bertujuan untuk
memperoleh kepastian hukum saja akan tetapi lebih dari itu bahwa
penerapan hukum di Indonesia harus diusahakan untuk mencapai 3 (tiga)
tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Dari
ketiga tujuan hukum ini maka untuk melihat manakah yang diutamakan di
antara ketiganya (kepastian hukum, kemanfaatan ataupun keadilan) maka
harus dilihat perkasus yang terjadi.
3. Teori Perencanaan
Perencanaan pada dasarnya merupakan cara, teknik atau metode
untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara tepat, terarah dan efisien
dengan sumber daya yang tersedia. Adapun perencanaan yang
dikemukakan oleh Wedgewood-Oppenheim sebagaimana dikutip oleh
Lawton dan Rose dalam Riyadi dan Deddy Supriadi Bratakusumah98
menyatakan bahwa perencanaan dapat dilihat sebagai suatu proses
dimana tujuan-tujuan, bukti faktual dan asumsi-asumsi diterjemahkan
98 Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, Perencanaan dan Pembangunan
Daerah, Pustaka Karya, Jakarta, 2005, hal 5.
76
sebagai suatu proses argumen logis ke dalam penerapan kebijaksanaan
yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan.
Ginanjar Kartasasmita menyatakan perencanaan sebagai fungsi
manajemen adalah proses pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.99
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa dalam perencanaan pada umumnya terkandung beberapa hal
pokok yang dapat dikatakan sebagai unsur-unsur dalam perencanaan yang
meliputi:
1. Adanya asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta. Ini berarti bahwa
perencanaan hendaknya disusun berdasarkan pada asumsi-asumsi
yang didukung dengan fakta-fakta atau dengan bukti-bukti yang ada.
Hal ini menjadi penting karena hasil perencanaan merupakan dasar
bagi pelaksanaan suatu kegiatan atau aktifitas;
2. Adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan
kegiatan yang akan dilakukan. Dalam penyusunan rencana perlu
memperhatikan berbagai alternatif/pilihan sesuai dengan kegiatan yang
akan dilaksanakan;
99 Ginanjar Kartasasmita, Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran
dan Prakteknya di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1997, hal 57.
77
3. Adanya tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini perencanaan
merupakan suatu alat/sarana untuk mencapai tujuan melalui
pelaksanaan kegiatan;
4. Bersifat memprediksi sebagai langkah untuk mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan
perencanaan;
5. Adanya kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus
dilaksanakan.
Perencanaan dapat diterjemahkan sebagai suatu alat atau cara
untuk mencapai tujuan yang lebih baik secara lebih efisien dan lebih baik.
Berbeda dengan kegiatan spontan yang tidak direncanakan secara
matang, kegiatan pembangunan yang direncanakan di atas kertas dapat
diharapkan akan memberikan hasil yang benar-benar maksimal.
Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa perencanaan
adalah teknik atau metode, proses identifikasi masalah sejak dini
berdasarkan asumsi-asumsi, fakta-fakta yang ada dalam rangka membuat
pilihan-pilihan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki. Dengan adanya perencanaan, faktor-faktor yang diperkirakan
akan menjadi penghambat bagi keberhasilan pelaksanaan program atau
kegiatan pembangunan niscaya dapat diatasi sedini mungkin. Dalam
proses perencanaan program, selain dilakukan identifikasi dan langkah-
78
langkah persiapan pelaksanaan program tahap berikutnya dan perlunya
dilakukan pemantauan (monitoring) dan evaluasi program. Sebaik apapun
sebuah rencana yang dirumuskan dalam program pembangunan yang
akan dilaksanakan biasanya akan tetap tidak terhindarkan kemungkinan
terjadinya penyimpangan, bahkan kegagalan. Kondisi masyarakat yang
bervariatif, kualitas sumber daya manusia, birokrasi yang kurang merata,
kendala politis dan sebagainya adalah faktor-faktor yang tidak mustahil
mempengaruhi efektifitas pelaksanaan program pembangunan di
lapangan.
Teori perencanaan yang merupakan landasan berpikir dalam
merencanakan tata ruang kota dan wilayah antara lain:
1. Comprehensif Planning adalah suatu jenis perencanaan yang
menyeluruh, semua aspek dianggap penting sehingga sangat sulit
menentukan siapa stakeholdernya. Perencanaan jenis ini ingin
memuaskan semua pihak sehingga sifat pengelola pembangunan disini
bukan sebagai pemimpin tetapi lebih sebagai fasilitator. Akibatnya
sering tujuannya tidak tercapai atau sulit membuat indikator pengukuran
kinerja pencapaian tujuan.
2. Strategis Planning atau Perencanaan strategis yang dikemukakan oleh
Einsiendel merupakan bagian yang lebih kecil dari perencanaan
komprehensif yang memiliki stakeholder yang jelas dan terbatas.
79
Pada sisi yang lain kaufman dan Jacob menerangkan bahwa
perencanaan strategis menyokong partisipasi yang lebih luas dan lebih
bervariasi dalam proses perencanaan, lebih menekankan pengkajian
kekuatan dan kelemahan dalam konteks internal dan menekankan pada
pemahaman masyarakat dalam konteks eksternal (peluang dan ancaman).
Perencanaan strategis dianggap metode yang ampuh untuk
mengantisipasi perubahan lingkungan yang cepat. Metode ini merupakan
metode alternatif dari metode yang lebih konvensional dalam perencanaan
jangka panjang atau perencanaan yang sangat menekankan pencapaian
tujuan.
4. Teori Koordinasi
Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang
berbeda, agar kegiatan bagian-bagian tersebut selesai tepat pada
waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan
usahanya secara maksimal, dan memperoleh hasil secara keseluruhan.
Koordinasi terhadap sejumlah bagian-bagian yang besar pada setiap
usaha yang luas daripada organisasi demikian pentingnya sehingga
beberapa kalangan menempatkannya dalam pusat analisis.
Koordinasi yang efektif adalah suatu keharusan untuk mencapai
administrasi/manajemen yang baik dan merupakan tanggungjawab yang
langsung dari pimpinan. Koordinasi dan kepemimpinan tidak dapat
80
dipisahkan satu sama lain oleh karena itu satu sama lain saling
mempengaruhi. Kepemimpinan yang efektif akan menjamin koordinasi
yang baik sebab pemimpin berperan sebagai Koordinator. Menurut G.R.
Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk
menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan
pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan
harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L.
Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan
memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing
dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang
semestinya di antara para anggota itu sendiri.100
Menurut Mc. Farland,101 koordinasi adalah suatu proses dimana
pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara
bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan
bersama.
Handoko102 mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai
proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-
satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut
Handoko kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan
100 Hasibuan, Op Cit, hal 59.
101 Hadyadiningrat, Op Cit, hal 77. 102 Handoko, Op Cit, hal 90.
81
komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan
bermacam-macam satuan pelaksanaannya. Hal ini juga ditegaskan oleh
Handayaningrat 103 bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal
yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga menyatakan
bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
Koordinasi Pemerintahan merupakan kegiatan-kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan harus ditujukan ke arah tujuan yang hendak dicapai yaitu
yang telah ditetapkan baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Untuk mencapai sasaran dan tujuan harus ada pengendalian sebagai alat
untuk menjamin berlangsungnya kegiatan. Pengendalian yang dimaksud
adalah kegiatan untuk menjamin kesesuaian kerja dengan rencana,
program, perintah-perintah, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang telah
ditetapkan termasuk tindakan-tindakan korektif terhadap ketidakmampuan
atau penyimpangan. Proses pengendalian menghasilkan data-data dan
fakta-fakta baru yang terjadi dalam pelaksanaan, hal ini bermanfaat bagi
pimpinan perencanaan dan pelaksanaan. Apa yang telah direncanakan,
diprogramkan tidak selalu cocok dengan kenyataan operasionalnya dalam
rangka inilah pengendalian berguna bagi perencanaan selanjutnya.
Selama pekerjaan berjalan, pengendalian digunakan sebagai penjaga dan
103 Ibid, hal 50.
82
pengaman. Pengendalian berguna bagi keperluan koreksi pelaksanaan
operasional, sehingga tujuannya tidak menyimpang dari rencana.
Berdasarkan lingkupnya, koordinasi dibagi dalam koordinasi intern
yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit dalam suatu organisasi dan
koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari bagian organisasi
atau antar organisasi sedangkan berdasarkan arahnya, terbagi dalam:
1. Koordinasi Horizontal yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit
yang mempunyai tingkat hierarkis yang sama dalam suatu organisasi
antar pejabat dari organisasi-organisasi yang sederajat atau organisasi
yang setingkat.
2. Koordinasi Vertikal yaitu koordinasi antara pejabat-pejabat dan unit-unit
tingkat bawah oleh pejabat atasannya atau unit tingkat atasnya secara
langsung, serta cabang-cabang suatu organisasi oleh organisasi
induknya.
3. Koordinasi Diagonal yaitu koordinasi antar pejabat atau unit yang
berbeda fungsi dan berbeda tingkat hierarkinya.
4. Koordinasi Fungsional adalah koordinasi antar pejabat, antar unit atau
antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena
koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.
83
J. Kerangka Pikir
3.
4.
5.
6.
Pemanfaatan Tanah Untuk Kawasan
Permukiman Menurut Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Makassar
Pemanfaatan Kawasan
Permukiman
- Perizinan
- Koordinasi Kelembagaan
- Pengawasan
- Peran Serta Masyarakat
Penerapan Sanksi
Administratif
- Peringatan Tertulis
- Pembongkaran Bangunan
- Pencabutan Izin
Terwujudnya Pemanfaatan
Kawasan PermukimanTerpadu
Menurut Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Makassar
84
K. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep
yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-
pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut:
1. Kawasan Permukiman adalah kawasan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Kota Makassar untuk permukiman.
2. Koordinasi Kelembagaan adalah kerjasama antara instansi
Pemerintahan dalam melaksanakan pengaturan tata ruang Kota
Makassar.
3. Pengawasan adalah upaya pengawasan oleh Pemerintah Kota
Makassar dalam hal ini pihak Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam
pelaksanaan Perda No 6 Tahun 2006.
4. Perizinan adalah izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Makassar
untuk mendirikan bangunan sesuai dengan peruntukannya.
5. Peran Serta Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara aktif
dalam setiap program pemerintah yang menyangkut penataan ruang di
Kota Makassar
6. Sanksi Administratif adalah sanksi yang diberikan oleh aparat Dinas
Tata Ruang dan Bangunan terhadap setiap pelanggaran pemanfaatan
tata ruang di Kota Makassar.
85
7. Peringatan Tertulis adalah tindakan yang diambil oleh pihak Dinas Tata
Ruang dan Bangunan terhadap pelanggaran tata ruang di Kota
Makassar.
8. Pembongkaran Bangunan adalah sanksi administratif yang dilaksanakan
oleh pihak Dinas Tata Ruang dan Bangunan apabila peringatan tertulis
yang diberikan kepada pelanggar tidak dihiraukan.
86
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian sosio-yuridis,
selain mengkaji hukum secara teoretis dan normatif, juga akan mengkaji
hukum dalam pelaksanaannya. Kesesuaian antara hukum dalam perspektif
normatif dan hukum dalam perspektif empiris merupakan sebuah tuntutan
realitas untuk mengefektifkan hukum dalam kehidupan.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Kota Makassar, karena Kota
Makassar cukup representatif untuk penelitian ini, dengan pertimbangan
bahwa di Kota Makassar pada saat ini pembangunan kawasan
permukiman atau perumahan dan ruko sangat pesat.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan aparat
Pemerintah Kota Makassar Bagian Hukum, aparat Dinas Tata Ruang Kota
Makassar (DTRB), aparat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA), Pengembang (Developer) dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM)/Walhi, serta masyarakat Kota Makassar:
87
Sampel dalam penelitian ini ditetapkan secara Purposive Sampling
yaitu sampel yang secara sengaja dipilih dengan menggunakan kriteria-
kriteria yang penulis tetapkan yaitu:
1. Aparat Pemerintah Kota Makassar Bidang Hukum 3 orang
2. Aparat Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar 3 orang
3. Aparat Bappeda 3 orang
4. Kepala Kantor Kecamatan 3 orang
5. Pengembang (Developer) 4 orang
6. LSM/Walhi 2 orang
7. Masyarakat 30 orang
Jumlah 48 orang
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk
menunjang hasil penelitian ini.
1. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
narasumber dan responden dengan menggunakan teknik wawancara
terhadap sampel yang dipilih.
2. Data Sekunder adalah merupakan data yang diperoleh melalui hasil
penelaahan studi kepustakaan, dokumen-dokumen, peraturan
perundang-undangan, karya-karya ilmiah yang ditulis para pakar
hukum, makalah-makalah dalam seminar, lokakarya, serta tulisan-
tulisan lepas yang dimuat dalam situs internet yang mengkaji dan
88
membahas materi yang terkait dengan obyek dan masalah dalam
penelitian ini.
3. Data tertier, berupa petunjuk maupun penjelasan terhadap istilah yang
dimaksud dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dalam bentuk kamus hukum dan kamus umum lainnya.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Wawancara dengan mendatangi nara sumber dan responden, dan
melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaannya teratur dan
terstruktur.
b. Dokumentasi dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
penelitian ini.
F. Analisis Data
Data primer dan data sekunder, dianalisis secara kualitatif dengan
menggunakan landasan teori dalam menjelaskan fenomena yang ada, atau
data dan informasi yang diperoleh disajikan secara deskriptif yaitu
menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan
permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian.
89
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pemanfaatan Kawasan Permukiman dalam Pengaturan Tata Ruang
Kota Makassar
Pembangunan kota merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilaksanakan secara sinergis, efektif dan berkelanjutan.
Dalam kebijaksanaan nasional, pembangunan kota ditekankan pada upaya
mengoptimalkan target pembangunan sektoral yang diintegrasikan dalam
satu pembangunan terpadu.
Untuk menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan kota
serta dalam mendukung usaha peningkatan keserasian dan keselarasan
pembangunan kota dengan pembangunan nasional secara bertahap dan
berkesinambungan, maka diperlukan suatu arahan dan pedoman
pelaksanaan pembangunan kota.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pemanfaatan kawasan
permukiman maka terlebih dahulu penulis akan menganalisis dalam
konteks teori perencanaan.
Perencanaan kawasan permukiman di Kota Makassar pada
dasarnya merupakan cara, teknik atau metode untuk mencapai tujuan yang
diinginkan secara tepat, terarah dan efisien yang bermuara pada tujuan
90
akhir yang ditetapkan yaitu terwujudnya keharmonisan lingkungan alam
dan lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan
sumber daya manusia serta terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang.
Teori perencanaan yang dikemukakan oleh George R. Terry
dalam Riyadi dan Deddy Supriadi Bratakusumah104 menyatakan bahwa
perencanaan adalah upaya untuk memilih dan menghubungkan fakta-fakta
dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang
akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-
kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Berdasarkan teori perencanaan yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa perencanaan tata ruang kota adalah merupakan alat
atau cara untuk mencapai tujuan pembangunan kota yang lebih baik
secara lebih efisien yang dituangkan dalam suatu rencana tata ruang, oleh
karena kegiatan pembangunan yang direncanakan dapat memberikan hasil
yang benar-benar maksimal. Perencanaan dalam pengembangan kota
atau wilayah sangat diperlukan oleh karena:
1. Ada pedoman (pengarahan) bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang
ditujukan pada pencapaian tujuan pembangunan;
104 Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, Op. Cit, hal 7.
91
2. Sebagai perkiraan (forecasting) terhadap hal-hal yang akan terjadi
dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui, baik perkiraan mengenai
potensi atau prospek perkembangan, juga perkiraan mengenai
hambatan dan resiko yang mungkin dihadapi;
3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai
alternatif tentang cara yang terbaik dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan atau kombinasi cara yang terbaik;
4. Dengan perencanaan yang baik dapat dilakukan penyusunan skala
prioritas serta pemilihan urutan dari segi pentingnya suatu tujuan,
sasaran maupun kegiatannya;
5. Perencanaan dapat digunakan sebagai alat pengukur untuk
mengadakan pengawasan atau evaluasi.
Faktor-faktor yang diperkirakan akan menjadi penghambat bagi
keberhasilan pelaksanaan program atau kegiatan pembangunan akan
dapat diatasi sedini mungkin dengan adanya suatu perencanaan. Dalam
proses perencanaan program, selain dilakukan identifikasi dan langkah-
langkah persiapan pelaksanaan program tahap berikutnya adalah perlunya
dilakukan pemantauan (monitoring) serta evaluasi program.
Arahan dan pedoman pembangunan ditujukan agar pelaksanaan
pembangunan dapat berjalan secara serasi dan seimbang sesuai dengan
yang direncanakan. Penyusunan rencana tata ruang Kota Makassar juga
92
dimaksudkan sebagai satu cara untuk mensinergikan kembali semua
arahan-arahan perencanaan kota ke dalam satu sinergitas baru yang
disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2006-2016.
Secara garis besar apresiasi perencanaan Kota Makassar dalam
wujud rencana tata ruangnya tetap akan menjadikan rujukan perencanaan
di atasnya seperti Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi Tahun Anggaran
2002, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan
1999-2004, dan Rencana Tata Ruang Metropolitan Mamminasata sebagai
referensi dalam penyusunan rencana tata ruangnya, dimana inti dari
perencanaan-perencanaan tersebut akan menjadi ide awal bagi
perencanaan tata ruang Kota Makassar.
Perencanaan tata ruang Kota Makassar secara filosofi akan
dikembangkan menurut dasar perencanaan tata ruang yang sebenarnya
dengan konsentrasi perencanaannya akan mengacu pada pencapaian visi
Kota Makassar yaitu bagaimana menjadikan Kota Makassar tumbuh dan
berkembang sebagai “Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa”.
Rencana pemanfaatan kawasan permukiman dalam tata ruang
Kota Makassar, arahan pengembangannya dikelompokkan dalam kategori
pengembangan kawasan permukiman yang berkepadatan tinggi, sedang
dan rendah. Pengembangan kawasan permukiman dalam 13 Kawasan
Terpadu Kota Makassar sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Akan
93
tetapi dibutuhkan ketentuan-ketentuan secara rinci atau detail yang
mengatur pola dan bentuk permukiman tersebut. Pola dan bentuk tersebut
diantaranya menjadikan visi, misi dan strategi masing-masing kawasan
terpadu sebagai tolak ukur.
Kawasan terpadu adalah kawasan yang memiliki fungsi lebih dari
satu, terdiri atas fungsi utama dan fungsi penunjang. Masing-masing
fungsi dari beberapa fungsi tersebut saling terkait dan bersinergi serta
saling mempengaruhi dan mendukung fungsi utama sebagai suatu sistem.
Kawasan terpadu diperlukan dalam rangka penyusunan rencana
tata ruang untuk kepentingan dan peran strategis yang ingin diambil Kota
Makassar ke depan dalam lingkungan persaingan global. Kedudukan dan
model perencanaan terpadu menjadi satu solusi yang diharapkan benar-
benar bisa mengakomodir semua kebutuhan ruang kota berkembang
sesuai dengan karakteristik fisik anatominya dan filosofi atmosfer ruang-
ruang kotanya.
Kawasan permukiman terpadu adalah kawasan yang diarahkan
dan diperuntukkan bagi pemusatan dan pengembangan permukiman atau
tempat tinggal/hunian beserta prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur secara terpadu. Pengembangan kawasan permukiman, secara
bertahap diharapkan dapat melengkapi infrastruktur kawasannya dengan
sarana dan prasarana lingkungan, yang jenis dan jumlahnya disesuaikan
94
dengan kebutuhan masyarakat setempat berdasarkan standar fasilitas
umum dan fasilitas sosial yang berfungsi sebagai penunjang terselenggara
dan berkembangnya kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, olahraga/ kesenian/
rekreasi, pelayanan pemerintah, bina sosial, perbelanjaan/niaga,
transportasi dan lain-lain.
Secara umum strategi pengembangan kawasan permukiman
dalam 13 kawasan terpadu dilakukan dengan mengembangkan cara-cara
progresi melalui program revitalisasi, peremajaan lingkungan secara
terbatas dan terukur dan atau membangun baru dari kawasan yang
direncanakan sebagai kawasan permukiman serta mengembangkan
sarana dan prasarana kawasan secara seimbang sesuai kebutuhan
masyarakat setempat. Adapun strategi pengembangan kawasan
permukiman terpadu meliputi:
1) Mendorong pembangunan kluster permukiman dengan standar yang
baik dan baku dan memberikan kemudahan kepada setiap developer
yang mampu mewujudkan dan memelihara kawasannya dengan
keasrian yang tinggi dan estetik dalam kegiatan melaksanakan
kelanjutan pembangunan kawasannya;
95
2) Mendukung pembangunan kawasan sentra primer Timur Baru pada
kawasan Panakkukang Mas sebagai daerah pusat bisnis ”Central
Business District” (CBD) di kawasan permukiman;
3) Mengembangkan dan menata sistem drainase kawasan permukiman
terpadu serta menetapkan/mengawasi derajat ketinggian terhadap
kawasan-kawasan permukiman tersebut agar bebas banjir dan bebas
genangan;
4) Mendorong pertumbuhan kawasan permukiman kepadatan sedang
sampai tinggi dalam upaya efisiensi pemanfaatan ruang;
5) Merencanakan, menata dan mengendalikan kawasan–kawasan sektor
informal yang tersebar di Kawasan Permukiman Terpadu menjadi
kawasan-kawasan sektor informal yang prospektif dan berdaya tarik
tinggi pada lokasi-lokasi yang mendukung terwujudnya kota yang
nyaman dan teratur;
6) Mendorong pembangunan kawasan Pasar Induk Kota dalam skala
regional sebagai prasarana penting yang melayani kebutuhan pokok
masyarakat kota dan sekitarnya.
Pengembangan kawasan permukiman dijabarkan dalam 13
Kawasan Terpadu dengan persentase luas ruang untuk permukiman atau
perumahan sebagai berikut105 :
105 Data berdasarkan RTRW Kota Makassar (Perda Nomor 6 Tahun 2006).
96
1. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada Kawasan Pusat Kota ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 631,19 Ha, atau 25 % dari luas kawasan.
2. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada Kawasan Permukiman Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 1.151,80 Ha, atau 40 % dari luas kawasan.
3. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada Kawasan Pelabuhan Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 87.55 Ha, atau 10 % dari luas kawasan.
4. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada Kawasan Bandara Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 154,59 Ha, atau 12 % dari luas kawasan.
5. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada Kawasan Maritim Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 53,01 Ha, atau 15 % dari luas kawasan.
6. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada Kawasan Industri Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 106,30 Ha, atau 11 % dari luas kawasan.
7. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada Kawasan Pergudangan Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 392,60 Ha, atau 8 % dari luas kawasan.
8. Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman pada Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 1.085,16 Ha atau 34 % dari luas kawasan.
9. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada Kawasan Penelitian Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 29,33 Ha, atau 5 % dari luas kawasan.
10. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada Kawasan Budaya Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 51,00 Ha, atau 9 % dari luas kawasan.
11. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada Kawasan Olahraga Terpadu ditargetkan menempati wilayah
97
perencanaan seluas 187,92 Ha, atau seluas 20 % dari luas kawasan.
12. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada Kawasan Bisnis dan Pariwisata Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 134,81 Ha atau seluas 20 % dari luas kawasan.
13. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada Kawasan Bisnis Global Terpadu ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 95,52 Ha atau seluas 15 % dari luas kawasan.
Kawasan permukiman terpadu di Kota Makassar, pada dasarnya
mempunyai fungsi utama sebagai fungsi permukiman dan fungsi
penunjang yang merupakan sarana dan prasarana bagi warga masyarakat
di kawasan permukiman misalnya fungsi perdagangan, fungsi perkantoran,
fungsi jasa, fungsi pendidikan dan lain-lain. Demikian pula di kawasan non
permukiman tetap mempunyai fungsi permukiman akan tetapi fungsi
permukiman di kawasan non permukiman adalah sebagai fungsi
penunjang. Meskipun telah ditetapkan bahwa dalam setiap kawasan
terpadu mempunyai fungsi permukiman baik sebagai fungsi utama maupun
sebagai fungsi penunjang. RTRW Kota Makassar adalah merupakan
master plan atau rencana induk yang tidak menetapkan secara rinci lokasi
permukiman yang ada pada tiap kawasan terpadu olehnya itu RTRW Kota
Makassar masih memerlukan pengaturan yang lebih rinci atau detail yang
menguraikan lebih lanjut keberadaan kawasan permukiman pada 13
kawasan atau zonasi ini. Sebagai contoh di kawasan bandara terpadu,
98
fungsi utamanya adalah kawasan bandara terpadu. Pada radius tertentu
dari kawasan bandara terpadu, pihak otoritas bandara memberikan
masukan kepada pihak Pemerintah Kota Makassar untuk membatasi
pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk permukiman, demikian
pula untuk bangunan yang berlantai 2 (dua) atau lebih oleh karena dapat
mengganggu kepentingan penerbangan khususnya mengenai keselamatan
penumpang pesawat, demikian pula dengan pengaruh kebisingan yang
dapat mengganggu masyarakat yang menempati permukiman di sekitar
kawasan bandara terpadu. Melihat kondisi yang kami paparkan di atas
maka kebutuhan akan adanya RDTR dan RTRK ini sangat penting sebagai
penetapan lebih lanjut tentang lokasi yang pasti terhadap fungsi utama dan
fungsi-fungsi penunjang pada kawasan bandara terpadu sehingga fungsi
bandara terpadu pada kawasan ini tetap jelas dan dapat dipertahankan
sebagai fungsi utama. Pada kawasan bandara terpadu fungsi permukiman
yang merupakan fungsi penunjang ditetapkan hanya seluas 12 % dari luas
keseluruhan kawasan bandara terpadu.
Demikian pula pada kawasan industri terpadu sebagai fungsi
utamanya adalah fungsi industri. Pada kawasan ini banyak didirikan pabrik
oleh karena itu di kawasan industri khususnya di sekitar pabrik dilarang
mendirikan rumah atau permukiman, sehingga perlu penetapan lebih lanjut
dalam RDTR dan RTRK tentang pengaturan fungsi permukiman pada
99
kawasan ini khususnya mengenai lokasi yang aman dan tepat untuk
membangun permukiman pada kawasan ini agar masyarakat tidak
terganggu oleh aktifitas pabrik misalnya terhadap kebisingan pabrik, limbah
pabrik, dan asap pabrik yang dapat menyebabkan polusi serta
mengganggu pernafasan.
Pada kawasan pendidikan tinggi ditetapkan fungsi utamanya
adalah fungsi pendidikan dari seluruh luas kawasan ini ditetapkan pula
34 % dari luas kawasan sebagai kawasan permukiman yang berfungsi
sebagai tempat tinggal bagi dosen pengajar. Sedangkan tempat tinggal
untuk mahasiswa dalam bentuk pondokan dengan demikian di kawasan ini
IMB untuk pondokan banyak diberikan rekomendasi oleh pihak DTRB.
Adapun fungsi-fungsi penunjang lain adalah fungsi perdagangan, jasa dan
perkantoran yang menunjang fungsi pendidikan di kawasan ini. Dengan
demikian meskipun di kawasan ini didirikan mall, akan tetapi mall tersebut
harus diupayakan untuk menunjang fungsi pendidikan pada kawasan ini,
berbeda dengan mall di kawasan lain.
Pada kawasan permukiman ditargetkan fungsi utama pada
kawasan ini menempati wilayah perencanaan seluas 1.151,80 Ha, atau
40 % dari luas kawasan. Untuk mengetahui wilayah mana dari kawasan ini
yang merupakan fungsi utama sebagai fungsi permukiman dan wilayah
mana dalam kawasan ini sebagai wilayah yang merupakan fungsi
100
penunjang, perlu dituangkan lebih lanjut dalam RDTR dan RTRK. Adapun
uraian arahan pengembangan kawasan permukiman adalah sebagai
berikut:
1. Mempertahankan lingkungan permukiman yang teratur dan tersebar
dalam kelompok-kelompok perumahan berkompleks dalam kawasan
ini;
2. Mengembangkan kawasan permukiman baru terutama di wilayah
bagian Timur Kota;
3. Mendorong pengembangan kawasan permukiman KDB rendah beserta
fasilitasnya di daerah pengembangan permukiman Panakkukang Mas;
4. Mempertahankan fungsi perumahan pada kawasan mantap;
5. Melengkapi fasilitas umum di kawasan permukiman;
6. Membatasi perubahan fungsi kawasan permukiman yang sudah ada
dan sekaligus melestarikan lingkungannya.
Terhadap implementasi pemanfaatan kawasan permukiman,
penulis mewawancarai sejumlah narasumber dan responden untuk
mengetahui sejauhmana pendapat mereka terhadap penataan ruang
kawasan permukiman terkait dengan RTRW Kota Makassar. Adapun
tanggapan mereka terlihat dalam tabel 1.
101
Tabel 1: Pendapat Narasumber dan Responden tentang Pemanfaatan
Kawasan Permukiman dalam Pengaturan RTRW Kota
Makassar (n=48)
No Kategori Jawaban
Responden
Jumlah Masyarakat
Pemerintah Kota
LSM / Walhi
Developer
F P F P F P F P
1 Sangat Sesuai - - 5 10,42 - - 1 2,08 12,50%
2 Sesuai 2 4,17 3 6,25 - - 2 4,17
14,59%
3 Cukup Sesuai 12 25,00 3 6,25 - - 1 2,08
35.42%
4 Tidak Sesuai 15 31,25 1 2,08 2 4,17 - -
37,05%
5 Tidak Tahu 1 2,08 - - - - - -
2,08 %
Jumlah
62,50
25,00
4,17
8,33 100
30
12
2
4
48
Sumber: Data Primer yang diolah 2013
Pada tabel 1 terdiri dari responden dan narasumber. Responden
adalah masyarakat yang berjumlah 30 (tigapuluh) orang dan developer
sebanyak 4 (empat) orang sedangkan narasumber adalah pihak
Pemerintah Kota sebanyak 12 (duabelas) orang dan LSM/WALHI
sebanyak 2 (dua) orang. Adapun tanggapan masyarakat tentang
kesesuaian antara pemanfaatan kawasan permukiman dengan rencana
tata ruang Kota Makassar, yang menyatakan bahwa pemanfaatan
kawasan permukiman sangat sesuai dengan RTRW Kota Makassar tidak
102
ada sedangkan yang menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan
permukiman sesuai dengan RTRW Kota Makassar hanya 2 (dua) orang
atau hanya 4,17 %, yang menyatakan cukup sesuai berjumlah 12 (dua
belas) orang atau 25,00 %, yang menyatakan tidak sesuai sebanyak 15
(lima belas) orang atau 31, 25 % sedangkan 1 (satu) orang atau 2.08 %
menyatakan tidak tahu. Responden dari pihak developer, 1 (satu) orang
yang menyatakan bahwa pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman
sangat sesuai, 2 (dua) orang menyatakan sesuai sedangkan 1 (satu)
orang menyatakan cukup sesuai. Adapun narasumber dari Pemerintah
Kota, 5 orang atau 10,42 % yang menyatakan sangat sesuai yaitu
narasumber yang berasal dari DTRB, 3 (tiga) orang atau 6,25 % yang
menyatakan sesuai sedangkan yang menyatakan cukup sesuai juga
berjumlah 3 (tiga) orang dan yang menyatakan tidak sesuai 1 (satu) orang
atau 2,08 %. Adapun narasumber dari pihak LSM/Walhi menyatakan
bahwa pemaanfaatan kawasan permukiman tidak sesuai dengan
pengaturan RTRW Kota Makassar.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Makassar menyatakan bahwa
pada saat ini pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman terjadi
deviasi atau simpangan di atas 40 % dari kondisi Das Sein dan Das Sollen.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya deviasi atau simpangan yaitu:
103
Ad 1. Regulasi
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar sebagai
sebuah regulasi dapat dikatakan sebagai alat untuk mengubah
masyarakat. Sesuai dengan konsep Roscou Pound yang menyatakan
bahwa fungsi hukum adalah sebagai a Tool of social Engineering. Roscou
Pound memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya diinginkan
dan apa yang tidak diinginkan terhadap penggunaan hukum sebagai alat
rekayasa sosial. Mochtar Koesoemaatmadja106 mengemukakan bahwa
hukum haruslah menjadi sarana atau alat untuk melaksanakan
pembangunan, artinya hukum haruslah mendorong proses modernisasi,
atau dengan kata lain hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang bermuara pada tujuan
negara yaitu mensejahterakan segenap warga masyarakat. Konsep yang
dikemukakan oleh Roscou Pound dan Mochtar Koesoemaatmadja tentang
hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat ini terkait erat dengan
keberadaan RTRW Kota Makassar yang pada dasarnya merupakan upaya
Pemerintah Kota Makassar menggunakan hukum sebagai alat untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang Kota Makassar dan penggunaan
sumber daya alam serta sumber daya buatan secara lestari dan
berkelanjutan. RTRW Kota Makassar adalah merupakan landasan atau
106 Mochtar Koesoemaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hal 104
104
dasar hukum bagi Pemerintah Kota Makassar dalam perencanaan,
pemanfaatan dan upaya pengendalian pemanfaatan tata ruang, atau
dengan kata lain Pemerintah Kota Makassar telah meletakkan dasar
yuridis dalam melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan di Kota
Makassar. Dimana RTRW Kota Makassar digunakan untuk membangun
kehidupan masyarakat yang lebih baik, lebih tertata, terarah dan lebih
teratur.
UUPR merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang
pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan undang-undang tersebut
diharapkan selain sebagai konsep dasar dalam melaksanakan
perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
acuan atau rujukan bagi pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah dalam penataan dan pelestarian lingkungan hidup.
Perda Nomor 6 Tahun 2006 atau RTRW Kota Makassar yang
disahkan dan berlaku pada tahun 2006, diharapkan dapat menjadi sarana
atau alat untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik
khususnya dari segi penataan ruang Kota Makassar, akan tetapi RTRW
Kota Makassar ini, dasar penyusunannya masih menggunakan Undang-
undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Seiring dengan
adanya perubahan terhadap paradigma Pemerintahan Daerah, dimana
Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri
105
(Otonomi Daerah) melalui ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan
ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikannya
ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 dengan Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang selanjutnya disingkat
UUPR.
Dengan berlakunya UUPR yang baru ini maka Pemerintah Pusat
menganjurkan kepada Pemerintah Kota Makassar untuk merevisi RTRW
Kota Makassar agar sesuai dengan UUPR yang baru sebagaimana
dinyatakan oleh Supardi107 bahwa:
Pada saat ini RTRW Kota Makassar telah mengalami revisi. Sebelum ada anjuran dari Pemerintah Pusat untuk merevisi RTRW Kota Makassar pihaknya telah lebih dulu membuat rancangan RTRW untuk menyesuaikan dengan UUPR yang baru. Akan tetapi pada saat ini pengaturan tentang penataan ruang Kota Makassar tetap merujuk dan mengacu pada Perda No. 6 Tahun 2006 dimana pemerintah pusat memberikan batas waktu (dead line) pada Pemerintah Kota Makassar bahwa RTRW yang baru harus sudah disahkan atau berlaku pada tahun 2012. Akan tetapi hingga saat ini rancangan Perda yang baru tersebut belum disahkan oleh DPRD Kota Makassar. Hal inilah yang menjadi kendala bagi DTRB untuk mengatur Tata Ruang Kota Makassar. Dengan lambatnya DPRD Kota Makassar mensahkan revisi RTRW tersebut sehingga keinginan BAPPEDA bersama DTRB untuk membuat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi tertunda. RDTR ini mengatur secara detail tata ruang di 13 (tigabelas) kawasan atau zona yang telah ditetapkan. Dimana RDTR ini harus pula berbentuk Perda. Setelah RDTR ini selesai dibuat maka berdasarkan RDTR ini akan dibuat lagi regulasi perkawasan atau Rencana Tata Ruang Kawasan
107 Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Supardi Kepala Seksi Rencana Mikro dan
Detail Pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar Pada tanggal 27 Februari 2013.
106
(RTRK/Zoning Regulation) sehingga nantinya tidak ada lagi kawasan yang tidak terencana dan terarah dengan baik.
Meskipun pemanfaatan kawasan permukiman tetap mengacu dan
merujuk pada RTRW Kota Makassar akan tetapi dalam pelaksanaan
pengaturan kawasan atau zonasi masih memerlukan RDTR atau Rencana
Rinci Tata Ruang yang mengatur secara detail atau terperinci setiap zona
atau kawasan. RTRW Kota Makassar adalah merupakan master plan atau
rencana induk yang pada dasarnya hanya mengatur secara makro atau
secara umum tentang pembagian 13 kawasan atau zonasi, misalnya pada
kawasan permukiman terpadu telah ditetapkan bahwa kawasan
permukiman terpadu meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan
Rappocini, Tamalate, Panakkukang dan Manggala. Akan tetapi belum ada
penentuan secara spesifik atau detail dalam suatu wilayah Kecamatan
yang merupakan kawasan permukiman dan wilayah mana yang termasuk
fungsi penunjang mengingat suatu kecamatan sangat luas wilayahnya.
Tidak detailnya RTRW ini menyebabkan pihak Dinas Tata Ruang dan
Bangunan (DTRB) yang menjadikan RTRW Kota Makassar dalam hal ini
pembagian 13 kawasan sebagai pedoman dalam memberikan
rekomendasi IMB dan Izin Prinsip terkesan hanya memperkirakan atau
meraba dan tidak berdasarkan suatu pedoman yang pasti dan terarah.
Dengan demikian sangat penting untuk segera membuat Rencana Detail
Tata Ruang Kota Makassar dan Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK)
107
atau yang biasa disebut Zoning Regulation yang merinci dan mengatur
secara jelas dan tegas tentang pembagian fungsi-fungsi dalam kawasan
baik sebagai fungsi utama maupun fungsi penunjang.
RDTR dan zoning regulation ini akan mengatur secara jelas atau
detail tata ruang per ruas jalan. Dengan demikian secara rinci dapat
diketahui bahwa di suatu jalan mempunyai fungsi utama atau fungsi
penunjang. Sehingga dalam mendirikan bangunan dapat diketahui secara
jelas bahwa pada suatu wilayah yang mempunyai fungsi utama sebagai
fungsi permukiman maka yang dapat didirikan di ruas jalan tersebut hanya
bangunan untuk permukiman atau rumah dan bukan bangunan yang
mempunyai fungsi lain selain dari permukiman, demikian pula jika di
sebuah ruas jalan hanya mempunyai fungsi penunjang, maka harus dilihat
secara detail apa fungsi penunjangnya yang ditetapkan di ruas jalan
tersebut, apakah fungsi perkantoran atau berfungsi penunjang sebagai
sarana pendidikan atau sekolah. Oleh karena pada kenyataannya di 13
kawasan atau zonasi ini pihak DTRB selalu menginterpretasikan adanya
fungsi perdagangan pada setiap kawasan sebagai pembenaran untuk
memberikan rekomendasi IMB terhadap ruko dan rukan sehingga
berakibat pertumbuhan ruko dan rukan di Kota Makassar semakin
dominan.
108
Pihak DTRB berdalih bahwa kendala yang dihadapi adalah
ketiadaan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dimana RDTR baru dapat
dibuat apabila revisi RTRW Kota Makassar telah disahkan akan tetapi
RTRW Kota Makassar tetap menjadi rujukan dan acuan dalam
pemanfaatan kawasan permukiman, sepanjang tidak bertentangan dengan
UUPR dan belum disahkannya RTRW Kota Makassar yang baru. Setelah
RTRW Kota Makassar disahkan maka barulah dapat dibuat RDTR dan
Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK) atau Zoning Regulation. Yang
mana pembuatan RDTR ini harus pula melalui proses yang panjang oleh
karena RDTR ini harus berbentuk Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUPR yang menyatakan bahwa
“Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf c ditetapkan dengan peraturan daerah Kabupaten”, untuk dapat
diberlakukan dan menjadi dasar hukum terhadap pengaturan tata ruang
Kota Makassar secara rinci atau detail.
Proses pembuatan RDTR sebagai Perda ini mengalami proses
yang panjang, yaitu rancangan RDTR yang telah dibuat oleh tim ahli
bersama dengan pihak BAPPEDA, kemudian diajukan ke Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang dipimpin oleh Sekda
dan harus memperoleh persetujuan dan ditandatangani oleh Gubernur
Provinsi Sulawesi Selatan, setelah itu kemudian diajukan ke Badan
109
Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang harus memperoleh persetujuan
dan ditandatangani oleh Menteri Pekerjaan Umum kemudian barulah
diajukan ke DPRD Kota Makassar untuk disahkan.
Terkait dengan sampai sejauhmana Revisi RTRW Kota Makassar
Darwis Herman108 menyatakan bahwa:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Makassar bersama dengan DTRB telah membuat revisi terhadap Perda Nomor 6 Tahun 2006, untuk disesuaikan dengan UUPR dan pada saat ini tengah diproses di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar. Pada saat ini telah dilaksanakan Rapat Pansus terhadap Ranperda ini di DPRD. Barulah Setelah terbit RTRW yang baru BAPPEDA bekerjasama dengan DTRB akan membuat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang harus juga melalui proses yang panjang oleh karena RDTR ini harus juga berbentuk Perda untuk dapat menjadi dasar hukum terhadap pengaturan 13 kawasan ini. Adapun faktor yang menghambat RTRW Kota Makassar untuk disahkan di DPRD Kota Makassar adalah persentase Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang secara persentase masih kurang dari yang seharusnya. Dimana RTH Kota Makassar baru berjumlah 12 % dari keseluruhan luas wilayah Kota Makassar. Hal inilah yang menghambat RTRW Kota Makassar untuk secepatnya disahkan, sedangkan untuk pembebasan lahan yang akan diperuntukkan sebagai RTH memerlukan dana yang besar, meskipun diakui bahwa Pemerintah Kota telah memperoleh kucuran dana sebesar Rp 800.000.000 untuk pembebasan lahan RTH. Namun demikian RTRW Kota Makassar tetap berlaku dan menjadi rujukan bagi Pemerintah Kota Makassar dalam mengatur tata ruang Kota Makassar, sepanjang tidak bertentangan dengan UUPR.
108 Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Darwis Herman, sebagai Kepala sub
Bidang Perhubungan Tata Ruang dan Lingkungan BAPPEDA Kota Makassar pada tanggal 26 Februari 2013.
110
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa Revisi RTRW Kota Makassar pada saat ini
tengah menanti ketok palu di DPRD Kota Makassar, akan tetapi ranperda
ini terkendala oleh persentase jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota
Makassar yang pada saat ini baru berjumlah 12 % dari keseluruhan luas
Kota Makassar, sedangkan luas RTH yang ditetapkan dalam Pasal 29 ayat
(2) UUPR menyatakan bahwa ”Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah
kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota”,
sedangkan pada ayat (3) menyatakan bahwa ”Proporsi ruang terbuka hijau
publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas
kota”. Hal inilah yang menyebabkan DPRD Kota Makassar sampai saat ini
belum mensahkan Ranperda tersebut.
RTRW Kota Makassar dapat pula ditinjau kembali atau
disempurnakan dalam waktu kurang dari 10 tahun. Dalam hal strategi
pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah perencanaan perlu dikaji
ulang. Peninjauan kembali, atau penyempurnaan yang diperlukan dapat
dilakukan minimal 5 tahun sekali. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa mekanisme revisi tata ruang wilayah dapat dilakukan sesuai dengan
kebutuhan, terutama bila hasil pemantauan pemanfaatan ruang
menunjukkan perubahan dan perkembangan yang cukup signifikan.
111
Kebutuhan akan revisi RTRW Kota Makassar ditentukan oleh
beberapa faktor penentu. Salah satunya adalah perubahan kebijaksanaan
pembangunan baik yang berasal dari Pemerintah Daerah, maupun dari
Pemerintah Pusat, adalah merupakan salah satu faktor penentu yang
cukup tinggi. Hal inilah yang saat ini terjadi dimana UU No. 24 Tahun 1992
dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan UU No 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Sehingga RTRW Kota Makassar yang baru
disahkan mengalami proses revisi untuk disesuaikan dengan UUPR yang
baru. Oleh karena perubahan kebijaksanaan pembangunan yang tidak
terakomodasi dalam rencana yang sudah ada menuntut adanya
penyesuaian terhadap isi rencana, terutama bila kebijaksanaan tersebut
menuntut adanya alokasi khusus dalam penataan ruangnya.
Faktor penentu lainnya untuk dapatnya RTRW Kota Makassar
dapat dievaluasi dan direvisi yaitu adanya perubahan penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan rencana penggunaan lahan. Hal ini terjadi
karena berlakunya mekanisme pasar di wilayah yang bersangkutan.
Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk merupakan dua
fenomena yang paling umum terjadi di setiap wilayah. Perkembangan
kedua elemen ini pada gilirannya menuntut kebutuhan akan adanya alokasi
pemanfaatan lahan baru yang menunjang aktivitas masyarakat. Lemahnya
kontrol dan pengendalian terhadap pemanfaatan ruang pada akhirnya
112
mengakibatkan masalah baru, yakni berkembangnya penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan rencana yang ada.
Ad 2. Pergeseran Fungsi Kawasan
Terkait dengan pergeseran fungsi kawasan Umar109 menyatakan
bahwa:
Meskipun telah ada RTRW Kota Makassar yang menjadi rujukan atau acuan, akan tetapi telah terjadi perubahan fungsi ruang yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar. Hal ini adalah sebagai akibat aksebilitas masyarakat yang begitu cepat. Sebagai contoh dapat dilihat di Jalan Lamadukelleng yang dulunya adalah merupakan kawasan permukiman pada saat ini faktanya sudah lain, kebanyakan berubah menjadi rumah makan dengan demikian telah terjadi perubahan peruntukan. Meskipun telah ada regulasi yang mengatur tentang pembagian kawasan/zonasi yang menetapkan tentang fungsi-fungsi bangunan atau peruntukan bangunan, akan tetapi pada saat ini sedang terjadi trend pembangunan ruko oleh karena gaya hidup masyarakat yang berpandangan bahwa dengan memiliki ruko maka status sosial akan meningkat di samping itu masyarakat berpendapat bahwa ruko mempunyai fungsi fleksibilitas yaitu selain sebagai tempat untuk berdagang dapat pula dipergunakan sebagai tempat tinggal. Hal ini memberikan kesan bahwa pada saat ini fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan lebih dominan dibandingkan dengan fungsi utama dari setiap kawasan. Sehingga keinginan Pemerintah Kota Makassar untuk mengendalikan kegiatan perdagangan dan jasa yang melebihi kebutuhan pada suatu kawasan tidak terlaksana.
Pada 13 kawasan atau zonasi yang telah ditetapkan muncul
fenomena lebih dominannya fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan
daripada fungsi utama di setiap kawasan. Lebih dominannya fungsi
penunjang yaitu fungsi perdagangan daripada fungsi utama di setiap
109 Hasil wawancara dengan Bapak Umar, SH, Kepala sub Bidang Hukum dan
HAM Pemerintah Kota Makassar pada tanggal 28 Feb 2013
113
kawasan menurut pendapat penulis oleh karena aparat Pemerintah Kota
Makassar tidak mengkaji secara teknis dan sosial tingkat kebutuhan
masyarakat terhadap sarana perdagangan di setiap kawasan. Kajian teknis
dan sosial pada tiap kawasan ini penting oleh karena di dalamnya terdapat
analisis-analisis tentang tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah yang
dikaitkan dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap fungsi-fungsi
perdagangan sehingga dengan adanya kajian teknis dan sosial ini menjadi
pedoman bagi pihak DTRB dalam memberikan rekomendasi penerbitan
IMB. Bahwa pada suatu ruas jalan tidak boleh lagi ada pembangunan ruko
ataupun rukan oleh karena telah melebihi dari kapasitas yang ada di setiap
ruas jalan, sebagai contoh dapat dilihat pada sebuah perumahan dimana
seorang developer membangun rumah sebanyak 45 unit, kemudian
membangun ruko sebanyak 20 unit di depannya, hal inilah yang
memerlukan kajian teknis dan sosial oleh karena dirasakan tidak seimbang
antara tingkat kebutuhan masyarakat yang akan menghuni 45 unit rumah
dalam sebuah perumahan dengan ruko yang berjumlah 20 unit. Oleh
karena itu dibutuhkan analisis terhadap fungsi perdagangan dan jasa agar
seimbang dengan kebutuhan masyarakat, dan agar Dinas Tata Ruang dan
Bangunan tidak memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tanpa
memperhitungkan kajian-kajian teknis dan sosial tersebut.
114
Munculnya fungsi perdagangan pada hampir seluruh bagian kota,
menjadikan tidak sedikit ruang kosong dalam kota telah diinvasi dengan
peruntukan lain di luar dari fungsi sebenarnya. Seperti jalur hijau yang
banyak dialihfungsikan menjadi tempat bermukim dan atau menjadi tempat
usaha, sehingga tidak hanya kesan kumuh yang dominan menjadi citra
kawasan tetapi juga dampak lingkungan seperti polusi dan banjir sudah
menjadi beban yang harus diterima oleh warga masyarakat Kota Makassar
pada saat ini.
Secara umum pemanfaatan lahan di wilayah Kota Makassar saat
ini tertuju pada kegiatan permukiman yang bercampur dengan
perdagangan. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak lama, seiring dengan
peran Kota Makassar yang sejak dahulu telah menjadi kota perdagangan.
Banyak faktor yang mempengaruhi pola sebaran guna lahan di Kota
Makassar salah satunya adalah gaya aktifitas dan tingkat kepentingan
masyarakat. Dimana masyarakat pada saat ini lebih banyak bekerja pada
sektor jasa ataupun perdagangan, maka alokasi guna lahan untuk sektor
lainnya juga semakin berkurang dan akhirnya berimplementasi pada
kegiatan konversi lahan untuk kegiatan di luar zonasi yang telah
ditentukan.
115
Berdasarkan hasil penelitian, maka indikator-indikator yang
menyebabkan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman belum
sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar adalah:
1. Perizinan
Penggunaan lahan hingga saat ini telah mencapai 99,2 %
terhadap luas wilayah administratif Kota Makassar yaitu 17.577 Ha atau
175,77 km dengan batas wilayah sebelah utara Kabupaten Maros,
sebelah timur Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sebelah selatan
Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar dan sebelah barat selat
Makassar.
Pemanfaatan kawasan permukiman terkait erat dengan proses
perizinan. Dasar hukum izin pemanfaatan ruang adalah Pasal 35 UUPR
yang menyatakan bahwa “Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan
melalui penetapan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif,
serta pengenaan sanksi”.
Secara umum izin pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai
konfirmasi persetujuan atas pemanfaatan ruang sebagai bagian dari
mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam kaitan ini maka
mekanisme perizinan pemanfaatan ruang perlu didayagunakan agar
secara dini dapat digunakan sebagai perangkat pengendalian yang dapat
diandalkan. Dengan demikian maka setiap pemanfaatan ruang harus
116
mendapat izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Menurut penulis dalam kaitannya dengan teori kewenangan maka
izin tidak lain adalah kewenangan pemerintah dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya dalam bidang pengaturan tata ruang, dimana dari
fungsi inilah diterbitkan instrument yuridis untuk menghadapi peristiwa
individual dan konkret dalam bentuk keputusan salah satunya adalah izin.
Pembuatan dan penerbitan izin merupakan tindakan hukum
pemerintahan. Sebagai tindakan hukum, harus ada wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UUPR dan
RTRW Kota Makassar. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum menjadi
tidak sah. Oleh karena itu dalam membuat dan menerbitkan izin haruslah
berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku, karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut
maka keputusan pemberian izin tersebut menjadi tidak sah.
Perizinan yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang
adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Lokasi (Izin Prinsip).
RTRW Kota Makassar dapat dijadikan acuan atau tolak ukur dalam
penerbitan perizinan pemanfaatan ruang. Untuk mendayagunakan
mekanisme perizinan ini maka setiap kegiatan yang dimohonkan izin
lokasinya perlu memperoleh konfirmasi kesesuaiannya dengan RTRW
117
Kota Makassar. Sehingga jenis kegiatan yang berlokasi pada kawasan
atau suatu lahan dapat sesuai atau tidak menyimpang dari cakupan
kegiatan dalam fungsi yang ditetapkan oleh RTRW Kota Makassar.
Upaya pendayagunaan mekanisme perizinan pemanfaatan ruang
ini perlu dikaitkan dengan pengembangan kebijaksanaan atau perangkat
insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang yaitu sebagai berikut:
- Kebijakan insentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk memacu
kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang. Kebijaksanaan
ini perlu dilaksanakan melalui penetapan kebijaksanaan baik di bidang
ekonomi (untuk menarik investasi) maupun pembangunan fisik
prasarana/pelayanan umum yang memacu pemanfaatan ruang sesuai
dengan yang diinginkan dalam RTRW Kota Makassar.
- Kebijakan disinsentif pemanfaatan ruang yang bertujuan untuk
membatasi pertumbuhan atau mencegah kegiatan yang tidak sejalan
dengan RTRW Kota Makassar. Kebijaksanaan ini dilaksanakan melalui
penolakan pemberian perizinan pemanfaatan ruang serta pembatasan
pengadaan sarana dan prasarana.
Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai salah satu unsur
pelaksana Pemerintah Kota Makassar yang mempunyai tugas pokok
merumuskan, membina dan mengendalikan kebijakan di bidang
perencanaan tata ruang, pengendalian kawasan, penataan dan penertiban
118
bangunan berupaya melakukan pencermatan terhadap intensitas
penggunaan lahan yang lebih didominasi dengan pemanfaatan lahan yang
berkaitan dengan kegiatan perkotaan (permukiman, jasa, perdagangan,
industri, infrastruktur dan lain-lain). Adapun Izin yang terkait dengan
pemanfaatan ruang yaitu:
Ad 1. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diatur dalam Peraturan Daerah
Kota Makassar Nomor 15 Tahun 2004 tentang Tata Bangunan.110 Pada
dasarnya IMB tidak hanya diperuntukkan untuk pembangunan rumah
tinggal dan perumahan akan tetapi semua bangunan yang akan didirikan di
Kota Makassar harus terlebih dahulu memperoleh IMB. Adapun bangunan-
bangunan yang harus dimohonkan IMB yaitu Gudang, Tower, Gedung
Olah Raga (GOR), Rusunawa, Pagar, Pondokan, Sekolah, Hotel, Mesjid,
Gereja, Panti, SPBU, Show Room, Gedung, Studio, Restoran, Wisma,
Bengkel, Ruko, Rukan, Kantor dan lain-lain.
Bangunan adalah wujud fisik hasil pelaksanaan pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air yang
berfungsi sebagai tempat manusia melakukan aktifitas kegiatan baik
hunian, tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya maupun kegiatan khusus yang diawali dari suatu
110 Lembaran Daerah Kota Makassar Nomor 29 Seri C Nomor 9
119
perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi dan kegiatan pemanfaatan
lahan.
Izin Mendirikan Bangunan adalah merupakan syarat yang harus
dipenuhi oleh masyarakat apabila akan mendirikan bangunan. Subyek Izin
Mendirikan Bangunan adalah setiap orang atau badan hukum yang ingin
mendirikan bangunan, sedangkan yang menjadi obyek Izin Mendirikan
Bangunan adalah setiap bangunan yang didirikan untuk keperluan tertentu.
Pada dasarnya kegiatan mendirikan bangunan menyangkut
pelaksanaan pekerjaan meliputi hal-hal sebagai berikut:111
a. Mendirikan bangunan baru, baik sebagian ataupun seluruhnya;
b. Merombak bangunan asal atau lama baik sebahagian maupun
seluruhnya atau dengan kata lain merenovasi;
c. Menambah bangunan asal atau lama;
d. Memasang pagar dengan tinggi lebih dari 1,20 meter dengan
menggunakan bahan bangunan;
e. Menambah pelataran parkir, sarana olahraga, rekreasi, pembuatan
jalan dan sebagainya;
f. Menambah pondasi mesin misalnya mendirikan tower dan lain-lain
sejenisnya;
g. Menambah dinding penahan tanah tempat mencuci kendaraan dan lain-
lain yang sejenisnya;
111 Juniarso Ridwan dan Achmad sodik Op. Cit 118.
120
h. Melakukan galian untuk pemasangan pipa/kabel/saluran air/listrik/ tiang
telepon.
Izin Mendirikan Bangunan harus memperoleh rekomendasi Dinas
Tata Ruang dan Bangunan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh pemohon adalah:
1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk pemohon;
2. Foto copy bukti kepemilikan/penguasaan tanah;
3. Foto copy lunas PBB tahun berjalan;
4. Surat pernyataan tidak keberatan tetangga;
5. Surat pernyataan pemohon bahwa lokasi/ tanah tidak dalam sengketa
dan diketahui Kepala Kelurahan dan Kecamatan;
6. Gambar rencana bangunan dan perhitungan konstruksi 5 (lima)
rangkap dengan melampirkan surat izin perencana bangunan;
7. Pas Photo ukuran 3x4 sebanyak 2 (dua) lembar.
Perkembangan pembangunan untuk permukiman, Ruko (rumah
toko) dan Rukan (rumah kantor), dapat dilihat berdasarkan jumlah
permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang diberikan rekomendasi
oleh Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar pada tabel 2.
121
Tabel 2: Data Permohonan yang Memperoleh Rekomendasi Izin
Mendirikan Bangunan untuk Permukiman, Ruko dan Rukan
Tahun 2010- 2012.
No
KECA
MATAN
2010
2011
2012
Rmh Ru Ko
Ru kan
Rmh Ru Ko
Ru kan
Rmh Ru ko
Ru kan
1 Mariso 55 18 4 65 16 6 82 35 3
2 Mamajang 64 29 14 88 41 16 96 37 8
3 Tamalate 1350 110 7 1377 115 7 1080 174 9
4 Rappocini 458 105 6 604 135 24 595 80 31
5 Makassar 102 46 5 178 61 2 96 48 11
6 U.Pandang 29 52 9 37 46 2 51 37 11
7 Wajo 66 37 8 47 55 4 43 147 5
8 Bontoala 81 75 8 52 46 2 51 54 1
9 U. Tanah 29 14 1 19 8 0 19 2 0
10 Tallo 179 32 0 125 38 3 214 33 1
11 P.kukang 590 137 10 446 114 69 351 97 23
12 Manggala 841 23 9 943 156 3 1102 68 0
13 B.kanaya 705 386 20 1442 540 14 901 249 6
14 T.lanrea 1141 24 12 532 33 5 339 28 2
JUMLAH 5424 1088 113 5955 1404 157 5020 1089 111
Sumber : Diolah dari Data Sekunder Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2013
Berdasarkan data tabel 2 tampak bahwa pertumbuhan ekonomi
masyarakat Kota Makassar dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan atau kemajuan hal ini terbukti dengan banyaknya permohonan
IMB yang masuk ke kantor DTRB. Adapun permohonan IMB untuk
122
permukiman di kawasan permukiman terpadu banyak diberikan
rekomendasi meskipun terjadi penurunan permohonan IMB untuk
permukiman yang cukup signifikan antara tahun 2011 dan tahun 2012.
Sedangkan permohonan IMB untuk pembangunan ruko dan rukan,
berdasarkan tabel 2 terlihat sedang menjadi trend dan fenomena.
Berdasarkan data tabel 2 maka terlihat bahwa pembangunan
permukiman tidak seimbang dengan pembangunan ruko dan rukan, hal ini
dapat dilihat dimana pembangunan permukiman pada tahun 2010
berjumlah 5424 unit sedangkan pembangunan ruko dan rukan berjumlah
1201 unit, dengan demikian apabila dirata-ratakan maka untuk setiap 4
unit rumah, dibangun 1 unit ruko atau rukan. Berdasarkan data inilah maka
penulis menarik kesimpulan bahwa perizinan menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi kawasan yaitu fungsi
perdagangan lebih dominan dibandingkan dengan fungsi utama pada
setiap kawasan. Kecenderungan lebih banyaknya didirikan ruko dan rukan
di Kota Makassar disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Pengusaha melihat bahwa bisnis ruko dan rukan adalah bisnis yang
sangat menguntungkan, ini terbukti dari minat masyarakat untuk
berinvestasi dan menggunakan ruko sebagai tempat tinggal atau
hunian sekaligus tempat untuk melakukan usaha.
123
2. Masyarakat sendiri yang memberikan peluang dalam arti bahwa apabila
di suatu ruas jalan telah dibangun ruko maka secara tidak langsung
nilai jual tanah di sekitarnya mengalami peningkatan. Hal inilah yang
membuat pemilik tanah di sepanjang jalan tersebut tergiur untuk
menjual tanahnya kepada pengusaha ruko atau developer dengan
harga yang tinggi kemudian membeli rumah di pinggiran kota dan
menggunakan sebagian sisa hasil penjualan tanah mereka sebagai
modal untuk usaha.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah merupakan sumber
Pendapatan Asli Daerah, berdasarkan Pasal 141 Undang-undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang
menyatakan bahwa 5 (lima) izin yang dapat dipungut retribusinya oleh
Kabupaten/Kota yaitu:
1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
2. Retribusi Izin tempat penjualan minuman beralkohol;
3. Retribusi Izin Gangguan (izin usaha);
4. Retribusi Izin Trayek;
5. Retribusi Izin Usaha Perikanan
Ahmad Husain112 menyatakan bahwa peningkatan permohonan
untuk memperoleh rekomendasi IMB yang masuk ke Dinas Tata Ruang
112 Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Ahmad Husain, MSi, Kepala Bidang Tata
Ruang, DinasTata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, tanggal 1 Maret 2013
124
dan Bangunan (DTRB) merupakan target dan skala prioritas bagi
Pemerintah Kota Makassar oleh karena IMB adalah merupakan sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Khususnya penerimaan retribusi daerah
dari retribusi IMB dari tahun ke tahun semakin mengalami peningkatan.
Penerimaan retribusi dari sektor ini dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan seperti yang tergambar pada tabel 3.
Tabel 3: Target dan Realisasi Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
No
TAHUN TARGET REALISASI
1 2008 13.600.000.000 13.884.934.860
2 2009 14.000.000.000 14.876.442.697
3 2010 15.000.000.000 15.027.495.736
4 2011 15.600.000.000 15.996.850.220
5 2012 16.000.000.000 16.148.917.390
Sumber : Diolah dari Data Sekunder Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2013
Pada tabel 3 ditetapkan target sumber Pendapatan Asli
Daerah yang berasal dari retribusi IMB yang ditetapkan oleh Pemerintah
Kota Makassar dari tahun ke tahun terus meningkat demikian pula
terhadap realisasinya atau pencapaian targetnya dari tahun ke tahun terus
meningkat. Dinas Tata Ruang dan Bangunan yang diserahi tugas oleh
Pemerintah Kota Makassar untuk merealisasikan target PAD yang berasal
dari retribusi IMB. Dimana dari tahun ke tahun Pemerintah Kota Makassar
125
menetapkan target PAD yang terus meningkat dan merupakan skala
prioritas dari sektor ini (IMB).
Menurut pendapat penulis Dinas Tata Ruang dan Bangunan
sebagai salah satu unsur dari Pemerintah Kota yang diserahi tugas pokok
untuk membantu Walikota Makassar dalam merumuskan, membina dan
mengendalikan kebijaksanaan di bidang perencanaan tata ruang,
pengendalian kawasan, penataan dan penertiban bangunan, seharusnya
tidak dibebani target untuk meralisasikan sumber PAD, oleh karena jika
Dinas Tata Ruang dan Bangunan dibebani target PAD maka tugas Dinas
Tata Ruang dan Bangunan sebagai pelaksana, pengawas dan pengendali
pemanfaatan tata ruang dalam melaksanakan tugasnya yaitu memberikan
rekomendasi terhadap permohonan IMB hanya untuk mengejar target PAD
dan tidak berdasarkan RTRW Kota Makassar yang telah ditetapkan atau
dengan kata lain DTRB akan mempergunakan IMB sebagai alat untuk
mencapai target. Dengan demikian tugas DTRB tidak akan terlaksana
dengan baik oleh karena dengan adanya target yang dibebankan kepada
DTRB ini, maka semua permohonan IMB yang masuk akan diberikan
rekomendasi, atau dengan kata lain DTRB semata-mata hanya mengejar
target PAD yang pada gilirannya akan mengakibatkan kesemrawutan
terhadap penataan ruang kota dan RTRW yang telah disusun, sehingga
pencapaian RTRW Kota Makassar tidak akan optimal.
126
Ad 2. Izin Lokasi (Izin Prinsip)
Izin Lokasi (Izin Prinsip) ini diberikan pada bangunan-bangunan
yang menggunakan lahan cukup besar seperti Hotel, Mall, SPBU,
Perumahan dan lain-lain. Izin lokasi ini dimohonkan ke DTRB sebelum
mengurus IMB. Muhammad Yusuf Taba113 Menyatakan bahwa:
“ Untuk mendirikan perumahan syarat yang harus dipenuhi adalah Izin Prinsip yang mutlak dimiliki bagi seorang developer yang menggunakan lahan 5000 M2 atau lebih. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh Izin Prinsip ini adalah: 1. Proposal yang memuat maksud dan tujuan permohonan surat
keterangan pemanfaatan ruang; 2. Foto Copy bukti keanggotaan REI; 3. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan NPWP pemohon; 4. Foto copy surat bukti kepemilikan/penguasaan tanah; 5. Foto copy lunas PBB tahun berjalan; 6. Surat pernyataan tidak keberatan dari pemilik tanah yang
tanahnya berbatasan dengan tanah yang akan didirikan perumahan;
7. Surat pernyataan pemohon bahwa lokasi/tanah tidak dalam keadaan sengketa dan diketahui oleh Kepala Kelurahan dan Kecamatan setempat;
8. Membuat Dokumen AMDAL yang telah mendapat pengesahan dari Pemerintah Kota Makassar;
9. Gambar rencana Site Plan dan perhitungan konstruksi atau Rencana Anggaran Biaya (RAB), dengan melampirkan surat izin perencanaan bangunan;
10. Foto Copy Akta Pendirian Perusahaan yang sudah disahkan oleh Menteri Kehakiman.
Jika syarat-syarat dipenuhi oleh pengembang atau developer
maka mekanisme izin lokasi adalah:
a. Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Walikota;
113 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Yusuf Taba, sebagai
pengembang atau developer pada tanggal 19 Februari 2013.
127
b. Melampirkan persyaratan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan
di atas dengan tembusan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional,
Ketua BAPPEDA, Asisten Tata Praja dan Kepala DTRB Kota Makassar.
c. Penelitian/pengkajian kelengkapan data pemohon;
d. Pengamatan/peninjauan oleh tim dan instansi terkait;
e. Rapat pembahasan tim yang dihadiri oleh seluruh anggota Tim dan
pemohon guna menyesuaikan dengan tata ruang dan menjelaskan
maksud dan tujuan yang disesuaikan dengan aspek pertimbangan
teknis, sosial dan legalitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Apabila persyaratan telah sesuai dengan maksud poin di atas, maka
permohonan tersebut dapat dikabulkan untuk mendapatkan izin lokasi
yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Walikota, setelah berita
acara ditandatangani oleh tim di bawah koordinator dan dilampiri nota
Dinas Aspek Tata Kota dari instansi yang berwenang;
g. Unit kerja memproses izin lokasi dan membuat ketetapan retribusi;
h. Pemohon melaksanakan kewajiban pembayaran retribusi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di loket pembayaran;
i. Pemohon mengambil izin lokasi atau izin yang telah selesai di loket
penyerahan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Jumlah pengembang yang memperoleh Izin Prinsip dari tahun
2010 sampai dengan 2012 dapat dilihat dari tabel 4.
128
Tabel 4: Rekomendasi Izin Prinsip untuk Perumahan di Kota
Makassar Tahun 2010-2012.
Sumber : Diolah dari Data Sekunder Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2013.
Pada tabel 4 dapat disimpulkan bahwa di Kecamatan yang
memiliki fungsi utama sebagai kawasan permukiman banyak diberikan
rekomendasi izin prinsip yaitu di Kecamatan Manggala, Tamalate, dan
Rappocini sedangkan di Kecamatan Panakkukang yang juga mempunyai
fungsi utama sebagai kawasan permukiman, rekomendasi yang diberikan
No
Kecamatan
Tahun
2010 2011 2012
1 Mariso 1 1 0
2 Mamajang 0 0 1
3 Tamalate 25 9 12
4 Rappocini 12 3 4
5 Makassar 0 1 2
6 Ujung Pandang 0 0 1
7 Wajo 1 0 0
8 Bontoala 0 0 0
9 Ujung Tanah 0 0 0
10 Tallo 1 3 1
11 Panakkukang 2 1 1
12 Manggala 14 14 20
13 Biringkanaya 15 20 20
14 Tamalanrea 4 8 8
Jumlah 75 59 71
129
hanya sedikit hal ini dapat disebabkan oleh karena di Kecamatan
Panakkukang lahan kosong yang agak luas yang dapat dibangun
perumahan semakin sedikit dan kebanyakan telah dibangun ruko dan
rukan. Adapun Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya meskipun pada
kawasan ini fungsi utamanya bukan sebagai kawasan permukiman akan
tetapi tetap diberikan izin prinsip pada Kecamatan Tamalanrea maupun
Biringkanaya oleh karena pada Kecamatan ini mempunyai fungsi
penunjang sebagai kawasan permukiman serta masih terdapat banyak
lahan kosong yang memungkinkan untuk perumahan hal inilah yang
menyebabkan Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya banyak dilirik
oleh pihak pengembang untuk mendirikan perumahan. Sedangkan di
Kecamatan Bontoala, Ujung Tanah dan Wajo dari tahun 2010 dan 2012
tidak ada rekomendasi izin prinsip yang diterbitkan hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bahwa di Kecamatan Bontoala,
Ujung Tanah dan Wajo bukan merupakan kawasan permukiman sebagai
fungsi utamanya melainkan hanya mempunyai fungsi penunjang sebagai
fungsi permukiman dan juga dapat disebabkan oleh karena sejak semula
pada Kecamatan ini telah ada rumah dan perumahan pada Kecamatan ini
sebelum RTRW (Perda Nomor 6 Tahun 2006) disahkan. Faktor lain yang
dapat dikemukakan adalah pada Kecamatan Bontoala, Ujung Tanah dan
Wajo tidak ada lagi lahan yang agak luas untuk didirikan perumahan,
130
sehingga permohonan yang masuk ke DTRB tidak ada atau tidak
diberikan.
Setelah memperoleh Izin Prinsip selanjutnya pengembang/
developer mengurus IMB perunit rumah yang akan dibangun atas nama
pengembang dengan syarat-syarat sama dengan persyaratan IMB
perseorangan oleh karena Izin Prinsip hanya bersifat Advice Planning dan
bukan merupakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sehingga pengembang
tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan pembangunan sebelum
memiliki IMB.
Menurut pendapat penulis peran Pemerintah Kota Makassar
terhadap pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman belum optimal
oleh karena Pemerintah Kota Makassar hanya berperan sebagai
perencana dan pihak yang menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan
permukiman. Pemerintah Kota Makasssar tidak berperan sebagai pihak
yang menyediakan lokasi atau lahan untuk perumahan. Dalam hal lokasi
atau lahan Pemerintah Kota memberikan kebebasan kepada pihak swasta
dalam hal ini developer untuk mencari lokasi atau lahan untuk membangun
permukiman.
Selain syarat-syarat pembangunan perumahan yang dikemukakan
di atas, ditambahkan oleh Supardi114 bahwa:
114 Hasil waawancara dengan bapak Supardi , Op. cit.
131
“Pihak pengembang (developer) harus memperhatikan penggunaan lahan dimana lahan terbangun pada perumahan ditetapkan 60 % dan 40 % adalah ruang terbuka untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial. Fasum dan fasos ini berupa jalan, taman atau lapangan yang difungsikan sebagai sarana olah raga oleh warga di perumahan tersebut dan sarana peribadatan (mesjid). Akan tetapi terkadang developer tidak melaksanakan himbauan ini demi mengejar keuntungan yang lebih banyak. Pada mulanya untuk menarik minat masyarakat, developer terkadang membuat taman di depan perumahan. Akan tetapi setelah perumahannya habis terjual, maka taman tersebut diubah menjadi ruko dan kemudian menjual ruko tersebut dengan harga yang tinggi sehingga di perumahan tersebut tidak lagi mempunyai fasum dan fasos bagi warga yang tinggal di perumahan.
Mengenai fasum dan fasos yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota
Makassar seluas 40 % dari luas lahan banyak dikeluhkan oleh developer
berdasarkan wawancara kami dengan seorang developer yaitu Syaiful
Mangimbangi115 yang menyatakan bahwa:
Penetapan Pemerintah Kota Makassar terhadap fasum dan fasos seluas 40 % dari luas lahan perumahan sangat berat untuk dilaksanakan oleh karena untuk membangun perumahan dibutuhkan dana yang cukup besar yang dipergunakan untuk pembebasan lahan (membeli tanah) dimana harga tanah di Kota Makassar sudah sangat tinggi, pembayaran pajak, kemudian biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus dokumen AMDAL, izin-izin dari DTRB serta untuk membayar bunga dari kredit konstruksi yang dikucurkan oleh pihak bank kepada pihak pengembang. Sehingga developer harus memanfaatkan lahan semaksimal mungkin agar modal yang ditanamkan dapat kembali.
Menurut pendapat penulis terkait dengan fasum dan fasos maka
harus ada regulasi setingkat Perda tentang fasum dan fasos yang
memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakat yang tinggal
115 Hasil wawancara dengan Bapak Syaiful Mangimbangi sebagai developer pada
tanggal 20 Februari 2013
132
di perumahan sehingga pengembang tidak lagi membangun perumahan
tanpa dilengkapi dengan fasum dan fasos. Oleh karena pihak pengembang
terkadang hanya menjanjikan fasum dan fasos pada brosur yang diberikan
kepada calon pembeli rumah untuk menarik minat pembeli, akan tetapi
tidak merealisasikan demi untuk mengejar keuntungan yang lebih banyak.
Dengan adanya regulasi setingkat Perda ini akan memberikan
perlindungan hukum bagi warga yang tinggal di perumahan tersebut dan
menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Kota Makassar untuk memastikan
adanya fasum dan fasos yang dijanjikan oleh pihak pengembang atau
developer. Dimana dalam Perda tersebut pengembang diwajibkan untuk
menyisihkan 30 % sampai 40 % untuk lokasi fasum dan fasos berupa
mesjid, ruang terbuka hijau serta fasilitas olah raga lainnya.
2. Koordinasi Kelembagaan
Koordinasi dalam pelaksanaan sebuah rencana pada dasarnya
merupakan salah satu aspek dari pengendalian yang sangat penting.
Koordinasi adalah suatu proses rangkaian kegiatan yang menghubungkan,
bertujuan untuk menyerasikan setiap langkah dan kegiatan dalam
berorganisasi agar tercapai gerak yang cepat untuk mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan.116 Selain sebagai suatu proses, koordinasi
dapat juga diartikan sebagai suatu pengaturan yang tertib dari kumpulan
atau gabungan usaha untuk menciptakan kesatuan tindakan. Koordinasi
116 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Op. Cit, hal 96.
133
dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan pengaturan yang aktif,
bukan pengaturan dalam arti pasif berupa membuat aturan mengenai
segala gerak dan kegiatan serta hubungan kerja antara beberapa pejabat
pemerintah.
Kelancaran pelaksanaan pembangunan di Kota Makassar harus
berjalan sesuai dengan konsep dan arahan rencana yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu fungsi dan peran lembaga Badan Koordinasi Penataan
Ruang Daerah (BKPRD) perlu ditingkatkan. Peran dan fungsi lembaga ini
secara yuridis telah diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
Secara garis besar fungsi koordinasi yang berjalan dilakukan secara
berjenjang dimulai dari BKPR Nasional hingga pembentukan BKPR
Daerah.
Dilihat dari nilai eksistensinya, BKPR Daerah sangat dibutuhkan
dalam menjaga agar komitmen pembangunan dapat berjalan sesuai
dengan komitmen perencanaan yang dibuat. Dilain pihak lembaga ini juga
sangat dibutuhkan dalam memberikan kepastian berusaha dan
berinvestasi bagi para investor di Kota Makassar. Di samping tugas lainnya
yang berfungsi menjaga agar pelaksanaan RTRW Kota Makassar dapat
berjalan baik dan tidak dilanggar oleh masyarakat.
134
Secara struktural BKPRD Kota Makassar terdiri dari gabungan
beberapa instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional Kota
Makassar, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Keindahan, Dinas Tanaman
Pangan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Kantor Telekomunikasi, PLN dan PDAM Kota Makassar,
yang tingkat koordinasinya berada di bawah Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Makassar.
Berdasarkan wawancara dengan narasumber Masri Tiro117,
menyatakan bahwa:
“ Memperhatikan kekuatan, kelemahan, tantangan serta peluang yang dimiliki lembaga BKPRD dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka pihak BAPPEDA mengusulkan dibentuknya lembaga-lembaga baru yang dimaksudkan sebagai lembaga yang dapat memberikan energi baru bagi pelaksanaan pengendalian ruang di Kota Makassar.”
Salah satu alasan yang mendasari mengapa lembaga baru
dibutuhkan adalah juga karena dasar pertimbangan kinerja BKPRD selama
ini belum banyak menyentuh pada titik persoalan yang sebenarnya di
lapangan, sementara arus perubahan yang terjadi cukup cepat
membutuhkan penanganan yang tepat dan tuntas. Keberadaan lembaga
baru tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan bersinergis
dengan lembaga BKPRD yang ke depan tentunya diharapkan dapat lebih
117 Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Masri Tiro, MSc, Kepala Bidang Fisik dan
Sarana BAPPEDA Kota Makassar.
135
menyentuh kepada substansial kontrol permasalahan ditingkat
operasionalnya. Di samping perannya turut menjaga agar komitmen
pembangunan bisa sejalan dengan komitmen perencanaan sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan perencanaan dalam dokumen RTRW Kota
Makassar.
Koordinasi antar lembaga dalam rangka penataan ruang di Kota
Makassar menurut pendapat penulis masih lemah, khususnya antara
DTRB dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Hal ini dapat dilihat
pada sistem pemberian izin yang tidak berkesesuaian antara IMB yang
direkomendasikan oleh DTRB untuk mendirikan rukan atau rumah kantor
sedangkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memberikan Surat Izin
Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) untuk
perdagangan atau izin rumah bernyanyi, demikian pula jika DTRB
memberikan IMB untuk membangun rumah, sedangkan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan memberikan SIUP dan SITU untuk
membuka usaha perbengkelan. Ketidaksinkronan perizinan yang
dikeluarkan antara DTRB dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
mencerminkan kurangnya koordinasi kelembagaan dalam pemberian izin.
Hal ini disebabkan oleh karena SIUP dan SITU adalah juga merupakan
sumber Pendapatan Asli Daerah, sehingga pihak Dinas Perindustrian dan
Perdagangan juga dibebani target untuk merealisasikan target PAD yang
136
berakibat bahwa semua permohonan SIUP dan SITU pasti akan diberikan
izin. Sehingga rukan dan rumah yang dibangun berubah fungsi dan tidak
sesuai dengan peruntukannya.
Berdasarkan teori koordinasi yang dikemukakan oleh George R.
Terry118 menyatakan bahwa pada dasarnya koordinasi dalam rangka
pelaksanaan suatu rencana, pada dasarnya merupakan salah satu aspek
dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi disini adalah suatu
proses atau rangkaian kegiatan yang menghubungkan dan bertujuan untuk
menyelaraskan tiap langkah dan kegiatan dalam organisasi agar tercapai
gerak yang tepat dalam mencapai sasaran dan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan.
Selain sebagai suatu proses, koordinasi itu dapat juga diartikan
sebagai suatu pengaturan yang tertib dari kumpulan/gabungan usaha
untuk menciptakan kesatuan tindakan. Maka koordinasi pemerintahan
merupakan pengaturan yang aktif, bukan pengaturan yang pasif berupa
membuat pengaturan terhadap setiap kegiatan dan hubungan kerja antara
beberapa pejabat pemerintah serta lembaga-lembaga pemerintahan yang
mempunyai tugas, kewajiban dan wewenang yang saling berhubungan
satu sama lain, dimana pengaturan bertujuan untuk mencegah terjadinya
kesimpang siuran dan ketidaksinkronan contohnya dalam hal ini adalah
pemberian izin. Penilaian terhadap ketidaksinkronan dalam hal pemberian
118 Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, Op. Cit hal 25.
137
izin dapat dilihat disini oleh karena IMB ditandatangani oleh Walikota
Makassar sedangkan SIUP dan SITU ditandatangani atas nama Walikota
Makassar dengan demikian ada dua izin yang dikeluarkan oleh satu
pejabat pemerintah yang berwenang memberikan izin dalam hal ini
Walikota Makassar yang bertentangan atau tidak sinkron satu sama lain.
Menurut pendapat penulis hal ini dapat dihindari dengan membuat
suatu program atau komputerisasi secara online tentang pelayanan
perizinan, dimana izin-izin yang telah diberikan dapat didata pada sistem
komputerisasi tersebut sehingga setiap izin yang telah dikeluarkan oleh
DTRB dapat ditampilkan dalam program ini sehingga permohonan SIUP
dan SITU yang dibuat tidak bertentangan dengan IMB yang dikeluarkan
oleh DTRB. Sehingga tidak terjadi ketidaksinkronan perizinan. Oleh karena
penyelenggaraan pemerintahan terutama di daerah, koordinasi bukan
hanya bekerjasama, melainkan juga integrasi dan sinkronisasi setiap
tindakan yang mengandung keharusan penyelarasan kegiatan di samping
penyesuaian perencanaan, dan keharusan adanya komunikasi yang teratur
antara sesama pejabat/petugas yang bersangkutan dengan memahami
dan mengindahkan ketentuan hukum yang berlaku sebagai suatu
peraturan pelaksanaan.
138
3. Pengawasan
Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk menjaga kesesuaian
pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam RTRW
Kota Makassar. Kegiatan pengawasan yang ditetapkan dalam RTRW Kota
Makassar adalah pembentukan tim pengawas yang bertugas untuk
melaporkan, memantau dan mengevaluasi kesesuaian antara pelaksanaan
pemanfaatan tata ruang dengan RTRW Kota Makassar.
Pada dasarnya ketiga proses pengawasan yang dikemukakan di
atas yaitu proses pelaporan, pemantauan dan evaluasi pemanfaatan ruang
akan dilaksanakan oleh suatu tim ini baru akan dibentuk setelah RTRW
Kota Makassar disahkan dan dinyatakan berlaku. Akan tetapi tim
pengawas yang bertugas sebagai tim pelaporan, pemantauan dan evaluasi
tersebut hingga saat ini belum terbentuk seiring dengan proses revisi
RTRW Kota Makassar. Dengan demikian tim pengawas yang
melaksanakan pengawasan terhadap tata ruang Kota Makassar adalah
aparat Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam hal ini bagian penertiban
dan pengawasan yang hanya khusus melaksanakan pengawasan terhadap
tata bangunan yang akan didirikan di Kota Makassar. Sebagaimana
dinyatakan oleh Yusuf Lukman119 bahwa:
Dalam hal pengawasan pihak DTRB hanya melaksanakan pengawasan terhadap bangunan yang akan didirikan di Kota Makassar. Dalam hal ini pengawasan dilakukan oleh Bidang
119 Hasil wawancara dengan Bapak Yusuf Lukman, BE, SH, Op.Cit.
139
Penertiban dan pengusutan yaitu seksi penertiban dan pengawasan. Dimana sampai saat ini aparat DTRB dengan sumber daya manusia yang terbatas sangat kewalahan dalam melaksanakan pengawasan atau dengan kata lain aparat yang melakukan pengawasan masih sangat kurang dan tidak sesuai dengan kapasitas luas ruang lingkup tugas masing-masing. Tim pengawas yang mengawasi pendirian bangunan terdiri dari 2 (dua ) orang pengawas yang bertugas untuk mengawasi 1 (satu) kecamatan sehingga hal ini dirasakan sangat kurang. Oleh karena itu yang menjadi kendala DTRB dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap tata bangunan adalah kekurangan SDM. Adapun tugas pengawasan yang dilaksanakan adalah terkait dengan IMB yang menjadi syarat utama dalam mendirikan bangunan. Dengan demikian setiap bangunan yang akan didirikan harus memiliki IMB. Jika sebuah bangunan telah memiliki IMB maka yang menjadi tugas bagi pengawas adalah untuk mengetahui apakah pembangunan yang dilaksanakan telah sesuai atau tidak dengan IMB dan untuk mengetahui terjadi atau tidaknya pelanggaran terhadap Garis Sempadan Bangunan (GSB). Apabila syarat-syarat tidak dipenuhi maka pihak DTRB akan memberikan sanksi administratif.
Tugas aparat Dinas Tata Ruang dan Bangunan pada setiap
kecamatan adalah:
1. Melaksanakan tugas pengawasan dan penertiban bangunan,
memeriksa bangunan-bangunan yang didirikan yang tidak didasari
dengan IMB dan bangunan-bangunan yang didirikan yang tidak sesuai
dengan IMB dalam wilayah Kota Makassar.
2. Memberikan teguran baik secara lisan maupun secara tertulis kepada
pemilik/pelaksana bangunan yang mendirikan bangunan tidak didasari
dengan IMB, serta bangunan yang didirikan tidak sesuai dengan IMB.
140
3. Menghentikan pelaksanaan bangunan kepada pemilik/pelaksana
bangunan yang mendirikan bangunan tidak didasari dengan IMB dan
pelanggaran terhadap GSP dan GSB.
4. Melaporkan hasil tugas/kegiatan dimaksud di atas kepada Kepala
DTRB Kota Makassar.
5. Melaksanakan tugas kedinasan lainnya yang diberikan/diperintahkan
oleh pimpinan.
Menurut pendapat penulis pengawasan yang dilaksanakan oleh
DTRB pada saat ini masih lemah. Salah satu faktor yang menyebabkan
adalah kurangnya jumlah aparat DTRB yang melakukan pengawasan di
setiap kecamatan yang hanya berjumlah 2 (dua) orang untuk mengawasi 1
(satu) kecamatan yang cukup luas. Sehingga berdasarkan data sekunder
dan pengamatan penulis masih banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan
oleh masyarakat khususnya pelanggaran mengenai ketiadaan IMB
terhadap renovasi yang dilakukan oleh warga masyarakat dalam suatu
permukiman. Demikian pula pelanggaran terhadap GSB berdasarkan
penelitian yang penulis laksanakan maka di setiap kawasan permukiman
terjadi pelanggaran GSB yang dilakukan, dimana renovasi rumah
dilaksanakan oleh masyarakat dengan tidak mengindahkan GSB tersebut.
Dengan demikian kurangnya aparat DTRB yang melaksanakan
pengawasan mengakibatkan tidak terjaringnya setiap pelanggaran
141
terhadap pemanfaatan tata ruang di Kota Makassar. Oleh karena itu tidak
menutup kemungkinan adanya wilayah yang tidak terjangkau oleh aparat
DTRB dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas di Kota
Makassar. Lingkup tugas aparat DTRB ini dalam melakukan pengawasan
hanyalah sebagai pengawas terhadap bangunan yang akan didirikan
apakah telah memiliki IMB atau pelaksanaan pembangunan telah sesuai
dengan IMB atau tidak, atau apakah dalam pembangunan itu melanggar
Garis Sempadan Bangunan (GSB) atau tidak. Sementara itu tim pengawas
yang bertugas untuk mengawasi pemanfaatan ruang berdasarkan RTRW
Kota Makassar yang sesuai dengan pembagian 13 kawasan atau zonasi
belum terbentuk oleh karena RTRW Kota Makassar yang baru belum
disahkan.
4. Peran Serta Masyarakat
Berdasarkan kamus Tata Ruang (Ditjen Cipta Karya Departemen
Pekerjaan Umum bekerja sama dengan IAP, edisi pertama, 1998:79)
Peran Serta Masyarakat diartikan sebagai kegiatan orang seorang,
kelompok atau badan hukum yang timbul atas kehendak dan keinginan
sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam
penyelenggaraan penataan ruang atas kehendak dan keinginannya sendiri.
Pada umumnya masyarakat mempunyai kehendak atau keinginan
untuk turut berperan serta dalam penyelenggaraan penataan ruang oleh
142
karena masyarakat mempunyai kepentingan terhadap penyelenggaran
penataan ruang, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hasni120 bahwa ada
3 (tiga) kelompok yang berkepentingan dalam penataan ruang yaitu:
1. Kelompok pertama, yaitu kelompok dominan atas kegiatan ekonomi
dan pencari untung. Kelompok ini terdiri atas developer, Pemerintah
Daerah (yang berkepentingan dengan retribusi perizinan), tuan tanah,
organisasi keuangan (bank, asuransi, yayasan dana pensiun) dan
spekulan tanah;
2. Kelompok kedua, yaitu peserta kelembagaan, terdiri atas serikat
pekerja, organisasi dan yayasan sosial nirlaba, kelompok agama, LSM,
organisasi sosial dan ormas;
3. Kelompok ketiga, yaitu masyarakat secara luas, yang berhubung tidak
mungkin melibatkan semuanya dalam suatu proses.
Pada umumnya masyarakat akan bermotivasi untuk berperan
dalam pembangunan apabila mereka melihat peluang terhadap apa yang
mereka lakukan tidak hanya menguntungkan pemerintah dan masyarakat
kota belaka, namun secara ekonomis juga memberikan keuntungan bagi
usahanya. Mereka akan tertarik untuk berperan serta apabila mereka
mengetahui adanya peluang dan kemudahan yang diberikan pemerintah
120 Hasni, Op. Cit, hal 106.
143
dalam pengurusan proses perizinan dan sejauh mana hak masyarakat
dijamin secara hukum.121
Menurut penulis peran serta masyarakat untuk turut aktif
berpartisipasi dalam melaksanakan pemanfaatan tata ruang Kota
Makassar dapat berbentuk:
1. Mengadakan pengawasan dan melaporkan kepada aparat Pemerintah
Kota Makassar dalam hal ini kepada BAPPEDA atau Dinas Tata Ruang
dan Bangunan atau ke BKPRD dalam hal terjadi pelanggaran terhadap
RTRW Kota Makassar. Peran serta masyarakat untuk turut mengawasi
pelaksanaan pembangunan proyek-proyek baik proyek pemerintah
maupun proyek swasta pada saat ini sangat penting oleh karena
berdasarkan pengamatan penulis bahwa pelaksanaan pembangunan
proyek khususnya proyek swasta cenderung tidak mempertimbangkan
kelestarian alam, contohnya adalah reklamasi pantai besar-besaran
yang diadakan oleh pihak swasta pada saat ini sudah sangat
mengkhawatirkan banyak pihak khususnya di kawasan pelabuhan
terpadu yang berakibat pada pendangkalan laut sehingga dapat
menyebabkan kesulitan kapal-kapal penumpang yang merapat ke
pelabuhan yang pada akhirnya dapat berakibat keselamatan
penumpang kapal. Demikian pula terhadap kelestarian alam Kota
Makassar. Disinilah peran serta masyarakat sangat diperlukan demikian
121 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 98.
144
pula peran LSM/WALHI dalam mengkritisi kebijakan Pemerintah Kota
dalam pengaturan tata ruang Kota Makassar.
2. Mengurus izin-izin pemanfaatan ruang apabila akan mendirikan
bangunan yaitu Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan izin pemanfaatan
ruang bagi developer;
3. Membayar Pajak dan Retribusi terhadap pelayanan yang diterima;
4. Ikut serta dalam sosialisasi RTRW, agar kepentingan-kepentingan
masyarakat dapat terakomodasi dalam RTRW yang akan dibuat, oleh
karena aspirasi maupun gagasan yang berasal dari masyarakat sangat
bermanfaat agar masyarakat benar-benar tahu apa yang menjadi
prioritas atau kebutuhan utama dalam suatu kegiatan pembangunan;
5. Menyisihkan ruang terbuka hijau yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai
taman dan sebagai daerah resapan air minimal 20 % pada permukiman
atau rumah masing-masing, terhadap permukiman yang berkepadatan
tinggi dan maksimal 40 % pada permukiman yang berkepadatan ruang
rendah. Oleh karena sebuah rumah atau tempat tinggal idealnya
persentase antara bangunan dan ruang terbuka hijau adalah 60 %
bangunan dan 40 % sebagai ruang terbuka hijau atau taman serta
berfungsi pula sebagai resapan air. Akan tetapi tingkat kesadaran
masyarakat pada saat ini masih rendah, terkadang pembangunan
sebuah rumah sudah tidak sesuai lagi dengan persyaratan yang
145
ditentukan dalam IMB, dimana setiap rumah harus memiliki sumur
peresapan yang berfungsi untuk mencegah banjir.
Masri Tiro122 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam
proses perancangan RTRW sejak awal telah dilibatkan yaitu pada tahap
sosialisasi rancangan RTRW Kota Makassar, pihak pemerintah telah
mengundang seluruh (stakeholders)123 yang terdiri dari seluruh elemen
masyarakat, tim ahli, LSM/Walhi, pihak otoritas bandara dan pelabuhan,
pihak swasta, pihak Perguruan Tinggi dan lain-lain.
Dalam rangka memacu motivasi masyakat agar berperan serta
dalam pembangunan, maka Pemerintah Kota Makassar hendaknya dapat
menciptakan kondisi yang dapat menumbuhkan motivasi masyarakat agar
secara sukarela berperan serta dalam pembangunan kota, melalui sikap
dan kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
a. Menyediakan informasi tentang kegiatan-kegiatan pembangunan kota
yang dapat dilaksanakan melalui kemitraan antara pemerintah dan
masyarakat;
122 Berdasarkan hasil wawancara dengan Masri Tiro, Op.Cit.
123 Pengertian stakeholders mengarah kepada konsep kepemilikan (ownership),
tetapi dengan perluasan kepada mereka yang terpengaruh oleh suatu tindakan/usaha sehingga dianggap mempunyai hak untuk dikonsultasi, menyatakan pendapatnya, dan secara umum supaya kepeduliannya diperlakukan secara sungguh-sungguh.
146
b. Menumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan penduduk kota untuk
membantu pemerintah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut
demi kepentingan bersama;
c. Menanamkan rasa percaya di kalangan masyarakat bahwa kontribusi
mereka pada akhirnya akan memberikan dampak positif terhadap
masyakat dan usahanya;
d. Memberikan bimbingan serta bantuan yang diperlukan oleh masyarakat
untuk dapat berperan serta;
e. Menyediakan perangkat peraturan yang diperlukan untuk menjamin
terjadinya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemerintah
dan masyarakat;
f. Pemerintah kota perlu terbuka mengenai kebijakan yang ditempuh,
kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah kota, dan alasan
mengapa kegiatan tersebut dilakukan, terutama dalam mempersiapkan
tata ruang kota;
g. Pemerintah kota dapat berkomunikasi dengan masyarakat guna
memberikan kesempatan yang luas kepada mereka untuk
mengembangkan bentuk-bentuk peran serta mereka;
h. Pemerintah kota sebaiknya menetapkan bentuk-bentuk kerjasama serta
peraturan-peraturan lainnya yang diperlukan dalam rangka menjamin
147
terjadinya kerjasama yang serasi, seimbang, serta selaras antara
pemerintah kota dengan masyarakat;
i. Pemerintah kota perlu meningkatkan kemampuan teknis maupun
manajerial para aparatnya, meningkatkan kejujuran dan kedisiplinan
melalui pengawasan melekat (waskat) dalam rangka menumbuhkan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
B. Penerapan Sanksi Administratif Terhadap Pemanfaatan Kawasan
Permukiman Yang Tidak Sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Makassar
Dasar hukum Sanksi administratif diatur dalam Pasal 63 UUPR
yang menyatakan bahwa sanksi administratif dapat berupa:
a. Peringatan tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c. Penghentian sementara pelayanan umum; d. Penutupan lokasi; e. Pencabutan izin; f. Pembatalan izin; g. Pembongkaran bangunan; h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. Denda administratif.
Sedangkan pada Perda Nomor 6 Tahun 2006 Pasal 91
menyatakan bahwa:
“ Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Perda ini dapat dikenakan sanksi berupa: 1. Sanksi Administratif; 2. Sanksi Perdata; 3. Sanksi Pidana.
148
Pada dasarnya RTRW Kota Makassar hanya menyebutkan jenis-
jenis sanksi akan tetapi tidak mengatur secara terperinci jenis sanksi
administratif yang dijatuhkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap
regulasi pengaturan tata ruang tersebut di atas. Yusuf Lukman124
menyatakan bahwa:
Pada dasarnya sanksi administratif diberikan apabila terjadi pelanggaran terhadap bangunan yang didirikan baik terhadap orang-perorang yang membangun rumah, ruko/rukan dan lain-lain bangunan dapat pula dilakukan oleh korporasi atau badan hukum, maupun terhadap pengembang atau developer dalam hal bangunan yang didirikan tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur lebih lanjut dalam Perda Kota Makassar Nomor 15 Tahun 2004 tentang Tata Bangunan yang mana sanksi diberikan bersifat penertiban dimana penertiban pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan penertiban pemanfaatan ruang dilakukan oleh DTRB melalui pemeriksaan dan penyelidikan atas semua pelanggaran/penyimpangan dalam pemanfaatan ruang yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar. Selanjutnya ditambahkan oleh beliau bahwa penertiban yang dilakukan bersifat pembinaan oleh karena jika terjadi pelanggaran pertama-tama diberikan Surat Teguran I (pertama), surat teguran ini bersifat pembinaan. Kepada pelanggar diberikan waktu 2x24 jam untuk datang menghadap ke DTRB untuk diberikan pengarahan terhadap bangunan yang didirikan, jika teguran pertama ini tidak diindahkan maka selanjutnya diberikan Surat Teguran II (kedua), kepada pelanggar diberikan lagi jangka waktu 2x24 jam jika surat teguran kedua ini tidak diindahkan oleh pelanggar maka diberikan Surat Teguran III (ketiga) berupa ultimatum untuk membongkar sendiri bangunannya, apabila pihak pelanggar tidak melaksanakan apa yang diperintahkan, maka Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar akan menerbitkan surat perintah pembongkaran bangunan. Apabila telah terbit surat perintah
124 Hasil wawancara dengan Bapak Yusuf Lukman, BE, SH, Kepala Seksi
penertiban pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan Pada tanggal 22 Februari 2013.
149
pembongkaran maka aparat DTRB akan turun untuk mengadakan pembongkaran terhadap bangunan tersebut.
Bentuk-bentuk pelanggaran terkait dengan RTRW di Kota
Makassar adalah:
1. Mendirikan bangunan tanpa didasari dengan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB);
2. Mendirikan bangunan tidak sesuai dengan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB);
3. Mendirikan bangunan dengan melanggar Garis Sempadan Bangunan
(GSB);
4. Terjadi gabungan pelanggaran yaitu tidak memiliki IMB dan melanggar
Garis Sempadan Bangunan;
5. Pelanggaran berdasarkan keberatan dari tetangga.
Pelanggaran terhadap RTRW yang terjadi di Kota Makassar setiap
tahun mengalami peningkatan hal ini tercermin dari tabel 5.
150
Tabel 5 : Jenis dan Jumlah Pelanggaran RTRW di Kota Makassar
No
JENIS PELANGGARAN
Tahun
2010 2011 2012
1 Tidak memiliki IMB 173 234 245
2 Pembangunan tidak
sesuai IMB
107 121 139
3 Melanggar GSB 54 70 46
4 Gabungan Pelanggaran 114 108 120
5 Pelanggaran berdasarkan
laporan tetangga
16 22 13
Jumlah 464 555 663
Sumber : Diolah dari Data Sekunder Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2013.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pelanggaran yang paling
banyak terjadi adalah pembangunan dengan tidak didasari dengan IMB, di
mana pelanggaran ini dari tahun ke tahun semakin meningkat, demikian
pula pelanggaran jenis kedua yaitu pembangunan yang tidak sesuai
dengan IMB, contoh dari pelanggaran ini misalnya seseorang yang ingin
mendirikan bangunan mengajukan permohonan untuk mendirikan sebuah
rumah, akan tetapi ternyata yang dibangun adalah pondokan atau bengkel,
sedangkan pelanggaran jenis ketiga adalah pelanggaran terhadap GSB
terlihat terjadi penurunan, adapun pada gabungan pelanggaran contohnya
mendirikan bangunan tanpa didasari dengan IMB serta melanggar GSB
151
juga terjadi peningkatan, sedangkan pelanggaran berdasarkan keberatan
tetangga pada tahun 2012 terlihat mengalami penurunan.
Menurut pendapat penulis terjadinya pelanggaran-pelanggaran
terhadap pemanfaatan tata ruang di Kota Makassar disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu:
1. Tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah;
2. Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat DTRB Kota
Makassar;
3. Pengurusan IMB yang rumit dan lama.
Hal ini tercermin dari wawancara penulis dengan 30 (tigapuluh)
orang responden di Kota Makassar. Berikut adalah hasil data primer yang
telah diolah dalam tabel 6.
Tabel 6: Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Mengurus Izin
Mendirikan Bangunan (n = 30)
No Kategori Jawaban F %
1 Mengurus IMB sebelum mendirikan
bangunan
9 18,75
2 Mengurus IMB setelah mendirikan
bangunan
8 16,67
3 Tidak mengurus IMB 13 27.08
Jumlah 30 62,50
Sumber : Data Primer yang diolah 2013.
152
Berdasarkan jawaban responden yaitu masyarakat maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat dalam
mengurus IMB masih rendah oleh karena dari 30 (tiga puluh) jumlah
responden hanya 9 (Sembilan) orang atau 18,75 % menjawab bahwa
sebelum mendirikan bangunan terlebih dahulu mengurus IMB ke Kantor
DTRB, sedangkan 8 (delapan) orang atau 16,67 % menjawab mengurus
IMB setelah mendirikan bangunan oleh karena telah mendapat teguran
dari aparat DTRB, jawaban dari 8 (delapan) responden di atas juga
mencerminkan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah
dalam hal mengurus IMB dan 13 orang atau 27,08 % menyatakan tidak
mengurus IMB, dua diantaranya menjawab tidak mengurus IMB karena
hanya mendirikan pagar, sedangkan 5 (lima) orang menjawab karena
keterbatasan ekonomi dan akan mengurus IMB apabila telah memperoleh
dana dan 6 (enam) orang menjawab tidak mengurus IMB karena
pengurusan yang berbelit dan memakan waktu yang lama.
Menurut pendapat penulis untuk menarik minat masyarakat dalam
melaksanakan kewajibannya khususnya terkait dengan IMB maka syarat-
syarat pengurusan IMB perlu disederhanakan agar masyarakat tidak
merasa dibebani dengan banyaknya persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pengurusan IMB. Adapun biaya-biaya yang timbul dalam
pengurusan ini diharapkan tidak terlalu membebani masyarakat. Sehingga
153
masyarakat tidak terbebani dengan biaya-biaya IMB yang sangat mahal.
Demikian pula terhadap aparat DTRB dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang akan mengurus IMB seyogyanya memberikan
pelayanan yang terbaik dan tidak bersikap acuh, sehingga masyarakat
tidak merasa bahwa pengurusan IMB itu pengurusannya berbelit-belit,
mahal dan dengan pelayanan yang buruk.
Pelanggaran terhadap Garis Sempadan Bangunan (GSB) dapat
pula terjadi oleh karena tingkat pengetahuan masyarakat, pengetahuan
masyarakat yang penulis maksud disini adalah pengetahuan masyarakat
tentang Garis Sempadan Bangunan. Dimana pelanggaran terhadap GSB
ini dapat disebabkan oleh karena ketidaktahuan masyarakat tentang GSB
yang tercermin dari tabel 7.
Tabel 7: Pengetahuan Masyarakat tentang Garis Sempadan
Bangunan (n=30)
No KATEGORI JAWABAN F %
1 Memahami 7 14,58
2 Kurang memahami 14 29,17
3 Tidak memahami 9 18,75
Jumlah 30 62,50
Sumber: Data Primer yang diolah, 2013
154
Dari tabel 7 dapat disimpulkan bahwa pada umumnya responden
tidak mengetahui tentang GSB, hal ini tercermin dari jawaban 30 (tiga
puluh) responden menjawab pertanyaan yang penulis ajukan hanya 7
orang atau 14,58 % yang memahami tentang apa yang dimaksud dengan
GSB sebagaimana jawaban mereka bahwa GSB adalah batas yang
diperbolehkan untuk mendirikan bangunan yang diukur dari Garis
Sempadan Pagar (GSP), 14 orang atau 29,16 % kurang memahami
sedangkan 9 orang atau 18,75 % menjawab tidak tahu. Hal ini diakui oleh
Yusuf Lukman125 yang menyatakan bahwa:
Terjadinya pelanggaran Garis Sempadan Bangunan oleh karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang GSB, sehingga pada waktu mendirikan bangunan tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan pelanggaran, akan tetapi ketika diberikan teguran sampai teguran ketiga tidak juga membongkar bangunannya oleh karena pelanggar menyayangkan bila harus membongkar sebagian bangunan yang telah melanggar GSB. Selanjutnya dijelaskan oleh beliau bahwa Garis Sempadan Bangunan adalah jarak yang diperbolehkan mendirikan bangunan dihitung dari AS jalan.
Pengaturan GSB dimaksudkan untuk menciptakan keteraturan
bangunan. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan rencana GSB
adalah:
125 Hasil wawancara dengan Bapak Yusuf Lukman, BE, SH, Op. Cit.
155
1. Keterkaitan dengan pengembangan kawasan perencanaan secara
terarah dan terencana, yang berkaitan pula dengan sistem pergerakan
baik dalam skala makro maupun mikro;
2. Memberikan daerah bebas pandang bagi pemakai jalan;
3. Jaringan jalan yang terkait dengan besarnya serta fungsi jalan tersebut
yang akan berpengaruh dengan bangunan yang ada di sepanjang jalan;
4. Memberikan jarak tertentu terhadap batas pandang manusia yang
memakai jalan.
Ketidaktahuan masyarakat tentang GSB ini mengakibatkan
terjadinya pelanggaran yang sudah tentu di luar dari kesengajaan bagi si
pelanggar, disinilah yang merupakan tugas dari aparat DTRB untuk
menjelaskan kepada setiap pemohon IMB agar tidak terjadi pelanggaran.
Bukan saja kepada pemohon yang tidak mengetahui, tetapi kepada setiap
pemohon rekomendasi IMB, untuk menghindari terjadinya pelanggaran.
Sanksi administratif langsung diberikan kepada pelanggar tanpa
melalui proses peradilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf
Lukman126 bahwa:
Pelanggaran terhadap Perda Nomor 6 Tahun 2006 selama ini terhadap pelanggar belum pernah diajukan Ke Pengadilan Negeri untuk dilakukan penuntutan pidana. Sehingga sampai saat ini terhadap pelanggaran yang terjadi belum pernah dijatuhi sanksi pidana baik pidana penjara maupun pidana denda. Pihak DTRB sebagai sebuah lembaga yang bertugas untuk mengawal Perda
126 Hasil wawancara dengan Yusuf Lukman, BE, SH, Op. Cit.
156
Nomor 6 Tahun 2006 hanya menjatuhkan sanksi administratif secara langsung kepada pelanggar yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap Perda Nomor 6 Tahun 2006 dan tidak perlu lagi membawa pelanggaran tersebut ke Pengadilan Negeri untuk diadakan penuntutan pidana oleh karena telah dilaksanakan tindakan pembongkaran terhadap pelanggaran tersebut.
Menurut pendapat penulis bahwa sanksi administratif yang
diberikan kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran telah sesuai
dengan tata cara dan prosedur pengenaan sanksi berdasarkan Pasal 63
UUPR. Dimana DTRB dalam menjatuhkan sanksi melalui beberapa tahap
dan bersifat pembinaan serta berdasarkan prosedur yang ditetapkan
dengan terlebih dahulu mengirimkan surat teguran pertama yang
merupakan peringatan tertulis sesuai dengan Pasal 63 UUPR bagi
pelanggar. Dengan adanya teguran pertama ini pelanggar diberikan waktu
2x24 jam atau 2 hari dengan demikian apabila pelanggaran yang dilakukan
berupa pembangunan tanpa berdasarkan IMB, maka pihak pelanggar tetap
mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kelengkapan berkas yang
menjadi syarat-syarat untuk mengurus IMB. Apabila pihak pelanggar
segera melakukan pengurusan IMB maka pihak DTRB tidak akan turun ke
lokasi bangunan untuk mengadakan pembongkaran bangunan tersebut.
Akan tetapi jika pelanggaran yang dilakukan berupa pelanggaran terhadap
GSB maka pihak DTRB memberikan kesempatan kepada pihak pelanggar
untuk membongkar sendiri bangunannya, apabila pelanggar tidak
melaksanakan teguran yang diberikan maka pihak DTRB yang akan turun
157
mengadakan pembongkaran atas bangunan tersebut, dalam hal ini DTRB
yang mengadakan pembongkaran, melaksanakan paksaan pemerintah
dengan melakukan tindakan-tindakan nyata dari penguasa guna
mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum
administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya
ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan yang berlaku, dalam hal ini Perda Nomor 15 Tahun 2004
tentang Tata Bangunan, yang mana paksaan pemerintah ini adalah bentuk
eksekusi nyata, dalam arti langsung dilaksanakan tanpa perantaraan hakim
dan biaya yang timbul berkenaan dengan pelaksanaan paksaan
pemerintah ini secara langsung dapat dibebankan kepada pihak pelanggar.
BAB V
158
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemanfaatan Kawasan Permukiman Terpadu di Kota Makassar belum
sejalan dengan RTRW Kota Makassar, hal ini disebabkan oleh karena
Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam memberikan rekomendasi IMB
tidak berdasarkan RDTR dan RTRK sehingga terjadi pergeseran fungsi
kawasan dimana pada saat ini fungsi penunjang yaitu fungsi
perdagangan pada kawasan permukiman terpadu lebih dominan
daripada fungsi utamanya, faktor lain yang menyebabkan adalah
lemahnya koordinasi kelembagaan, lemahnya pengawasan demikian
pula halnya dengan kurangnya peran serta masyarakat.
2. Penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang
tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar hanya dijatuhi sanksi
administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang perorang
ataupun yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi. Pihak
DTRB dan tidak membawa pelanggaran tersebut ke Pengadilan Negeri
untuk diadakan penuntutan secara Pidana maupun Perdata.
B. Saran
1. Revisi RTRW Kota Makassar yang baru perlu segera disahkan oleh
DPRD Kota Makassar untuk dapat dibuat RDTR dan RTRK (Zoning
159
Regulation) sebagai dasar hukum pengaturan tata ruang Kota
Makassar yang lebih detail atau terinci.
2. Untuk menjamin efektifitas Peraturan Daerah perlu diefektifkan sanksi
pidana dengan demikian keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sangat diperlukan sebagai sebuah lembaga yang menilai suatu izin
pemanfaatan ruang yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan.
160
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Teks:
A. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian. Alumni: Bandung.
Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakt, Bandung.
Ahmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456, Rajawali Pers, Jakarta.
Aminuddin Salle, (dkk), 2010, Bahan Ajar Hukum Agraria, AS Publishing, Makassar.
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Rajawali Pres, Jakarta.
Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung.
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Djambatan, Jakarta.
Darwin Ginting, 2010, Hukum Kepemilikan Hak atas Tanah Bidang agribisnis , Ghalia Indonesia, Bogor.
Farida Patittingi, 2008, Ringkasan Disertasi Penguasaan Tanah Pulau-Pulau Kecil (eksistensi dan Prospek Pengaturannya di Indonesia), Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
161
Fauzie Yusuf Hasibuan, 2009, Peranan Lembaga Anjak Piutang Dalam Ekonomi Indonesia, Jakarta.
Ginanjar Kartasasmita, 1997, Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia, LP3 ES, Jakarta.
Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UUPA, UUPR dan UUPLH, Rajawali Pers, Jakarta.
Indroharto, 1998, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan. Perikatan yang Lahir dari Undang-undang. Citra Aditya Bhakti : Bandung.
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik , 2008, Hukum Tata Ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah, Nuansa, Bandung.
Ninik Wauf, Kajian Teori Perlindungan hukum, 18 November 2011.
Padmo Wahjono dalam Winahyu Erwiningsih, 2011, Hak Pengelolaan Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta.
Philipus M. Hadjon, 1990, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya.
Philipus M. Hadjon dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Rahardjo Adisasmita, 2010, Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2009. Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Pustaka Karya, Jakarta.
Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
162
Sri Susyanti Nur, 2010, Bank Tanah “Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan” AS Publishing, Makassar.
Suhanan Yoshus, 2010, Hak atas Tanah Timbul Dalam Sistem Hukum Pertanahan di Indonesia, Restu Agung, Jakarta.
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.
Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta.
Winahyu Erwiningsih, 2011, Hak Pengelolaan Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta.
A. Sumber Hukum: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Repuiblik Indonesia Nomor
2043.
2. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725.
3. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2005-2015.
163
top related