step 1 - 6 (pbl2) belia
Post on 15-Apr-2016
235 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
Skenario 5
Hidung Mimisan
Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dibawa ke IGD dengan epitaksis.
Perdarahan keluar dari kedua lubang hidung sejak setengah jam yang lalu, awalnya
mengucur deras. Kejadian ini sudah ketiga kalinya dialami oleh pasien satu bulan
terakhir, dan terjadi saat pasien bermain futsal dengan teman-temannya. Pasien juga
sering mengeluh kepalanya pusing dan hidung tersumbat. Pasien tampak anemis dan
pada rinoskopi anterior terlihat darah hampir menutupi kedua cavum nasi.
STEP I
1. Epitaksis : perdarahan hidung
2. Rhinoskopi : pemeriksaan rongga hidung dari dalam menggunakan
spekulum
STEP II
1. Bagaimana struktur makroskopis & mikroskopis hidung
2. Bagaimana sirkulasi pembuluh darah
3. Bagaimana sistem koagulasi darah
4. Etiologi epitaksis
5. Bagaimana bisa terjadinya epitaksis
6. Hubungan epitaksis dengan pusing
7. Penegakan diagnosis
8. Penatalaksanaan epitaksis
9. Penyakit yang bisa menimbulkan epitaksis
STEP III
1. Makroskopis
Terbentuk dari os frontal, cartilago
1
Arteri : a. maxillaries interna, a. etmoidal superior, a. palatine mayor, a.
facialis, a. splenopalatina
Terdiri dari pleksus
Local kissellbech di sekitar cavum nasi
2.
3.
4. Disebabkan oleh kelainan local dan sistemik
Local :
Trauma
Kelainan pem.darah
Infeksi
Sistemik :
Kardiovaskuler
Perubahan udara atau tekanan atmosfer
Gangguan hormonal
5. Patofisiologi timbulnya epitaksis pada penyakit tertentu
Pada hipertensi
Perubahan progresif di tunika media perubahan elastisitas pecah
pembuluh darah
Infeksi
Refleks inflamasi
DHF
Virus menyerang thrombosis
Tumor
Permeabilitas kapiler pembuluh darah
6. Penyebab pusing : rangsang nyeri dari hidung
7. Anamnesis : riwayat perdarahan, keluarga, lokasi
2
Pem.Fisik : rhinoskopis anterior & posterior, ct-scan, skinning koagulasi,
pemeriksaan darah rutin
8. Prinsip :
Perbaikan keadaan umum
Menghentikan pendarahan
Mencegah komplikasi
Mencegah berulangnya epitaksis
Penatalaksanaan
a. Anterior
Cara konvensional ( tekan hidung)
Pemasangan tempon
b. Posterior
Tampon dengan Vaseline dengan tambahan adrenalin
1:1000
Pemberian antibiotik
STEP IV
1. Makroskopis
Terbentuk dari os frontal, cartilago
Arteri : a. maxillaries interna, a. etmoidal superior, a. palatine mayor, a.
facialis, a. splenopalatina
Terdiri dari pleksus
Local kissellbech di sekitar cavum nasi
2.
3.
4. Disebabkan oleh kelainan local dan sistemik
3
Local :
Trauma
Kelainan pem.darah
Infeksi
Sistemik :
Kardiovaskuler
Perubahan udara atau tekanan atmosfer
Gangguan hormonal
5. Patofisiologi timbulnya epitaksis pada penyakit tertentu
Pada hipertensi
Perubahan progresif di tunika media perubahan elastisitas pecah
pembuluh darah
Infeksi
Refleks inflamasi
DHF
Virus menyerang thrombosis
Tumor
Permeabilitas kapiler pembuluh darah
6. Penyebab pusing : rangsang nyeri dari hidung
7. Anamnesis : riwayat perdarahan, keluarga, lokasi
Pem.Fisik : rhinoskopis anterior & posterior, ct-scan, skinning koagulasi,
pemeriksaan darah rutin
8. Prinsip :
Perbaikan keadaan umum
Menghentikan pendarahan
Mencegah komplikasi
Mencegah berulangnya epitaksis
Penatalaksanaan
4
1. Anterior
Cara konvensional ( tekan hidung)
Pemasangan tempon
2. Posterior
Tampon dengan Vaseline dengan tambahan adrenalin
1:1000
Pemberian antibiotik
SKEMA
5
EPITAKSIS
Penegakan diagnosis Etiologi
Makroskopis & Mikroskopis
Hubungan dengan pusing
Patofisiologi
Penatalaksanaan
STEP V
1. Bagaimana Struktur makroskopis, mikroskopis dan vaskularisasinya ?
2. Bagaimana sistem koagulasi darah ?
3. Patofisiologi epitaksis dengan pusing pada berbagai penyakit ?
4. Apa hubungan epitaksis dengan pusing?
STEP VI
Belajar Mandiri
STEP VII
1. ANATOMI HIDUNG
Hidung terdiri dari:
I. Hidung Luar
II. Hidung Dalam
6
Gambar 1.2 Makroskopis Hidung (Snell,2014)
I. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah yaitu:
1. Pangkal Hidung (Bridge), dibentuk oleh os nasal kiri dan kanan
2. Dorsum nasi (batang hidung)
3. Puncak hidung
4. Ala nasi, bagian hidung yang dapat digerakkan
5. Kolumela; pembatas lubang hidung kanan dan kiri
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
(Snell,2014)
7
Kerangka tulang penyusun hidung luar terdiri dari:
1. Os nasalis (tulang hidung)
2. Prosesus frontalis os maxilla
3. Prosesus nasalis os frontal
Kerangka tulang rawan penyusun hidung luar terdiri dari :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum
Lubang hidung dan puncak hidung dibentuk oleh kartilago ala mayor,
yang berbentuk tipis dan fleksibel. Sedangkan kolumela yang memisahkan
kedua lubang hidung dibentuk oleh tepi bawah kartilago septum.
(Snell,2014)
Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir
atas, struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian yaitu :
a) Yang paling atas, kubah tulang yang tidak dapat digerakkan.
Belahan bawah aperture piriformis kerangka tulang saja,
memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Disebelah
superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maxilla yang
berjalan keatas dan kedua tulang hidung semuanya disokong oleh
prosesus nasalis os frontalis dan suatu bagian lamina
perpendikularis os etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan
prosesus maksilaris medial.
8
b) Dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling
berfusi digaris tengah dan tepi atas kartilago septum kuadra
angularis.
c) Yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan dan dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis
inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi sebelah
medial oleh kolumela. Sebelah lateral oleh ala nasi dan
anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas lobulus hidung
penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus dan besin. Otot
ekspresi wajah yang terletak subkutan diatas tulang hidung, pipi
anterior dan bibir atas menjamin mobilitas lobulus.
Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut menyokong hidung
luar.Jaringan lunak diantara hidung luar dan dalam dibatasi disebelah
inferior oleh kripta piriformis dengan kulit penutupnya, dimedial oleh
septum nasi dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas
superior dan lateral. (Snell,2014)
II. Hidung Dalam / Rongga Hidung / Cavum Nasi
Cavum nasi ( Rongga hidung ) adalah suatu rongga berbentuk
terowongan tempat lewatnya udara pernapasan, yang dipisahkan oleh
septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior ( koana ) yang
menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.
Batas-batas cavum nasi :
- Anterior : Nares anterior
- Posterior : Nares posterior (koana)
9
- Lateral : Konka-konka
- Superior : Lamina cribifom
- Inferior : Os maxilla dan Os palatum
Konka inf.vestib
Meatusinf
MeatusmediusKonka media
choanaNares ant.
k.sup sphe
Meatus sup.
Gambar 1.2 Makroskopis Cavum Nasi (Snell,2014)
Bagian – bagian yang terdapat dalam cavum nasi :
A. Vestibulum
- Paling anterior, sejajar dengan ala nasi.
- Bagian yang masih dilapisi kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise)
B. Septum
- Merupakan dinding medial hidung, bagi cavum nasi sama
besar, lurus mulai dan anterior sampai posterior (koana).
- Dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yaitu:
Bagian tulang :
1. Lamina perpendikularis os etmoideus.
10
2. Os Vomer.
3. Krista nasalis os maxilla.
4. Krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan :
1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis).
2. Kolumela.
- Dilapisi perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang , sedang bagian luarnya lagi
dilapisi olaeh mukosa hidung. (Snell,2014)
C. Konka
- Terletak dilateral rongga hidung kanan dan kiri.
- Terdiri dari empat konka, dari atas ke bawah :
1. Konka suprema; biasanya rudimeter.
2. Konka superior; lebih kecil dari konka media.
3. Konka media; lebih kecil.
4. Konka inferior; terbesar dan letak paling bawah.
Merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maxilla dan labirin etmoid sedangkan konka suprema,
superior, dan media merupakan bagian dari labirin
etmoid.(Snell,2014)
D. Meatus - meatus
- Terletak diantara konka-konka dan dinding lateral hidung.
- Merupakan tempat bermuara dari sinus paranasal.
- Berdasarkan letaknya dibagi 3, yaitu :
1) Meatus inferior
Terletak antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung, tempat bermuara duktus
nasoakrimalis.
2) Meatus medius
11
Celah yang terletak konka media dengan dinding lateral
rongga hidung. Terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum
etmoid.Hiatus semilunaris merupakan celah sempit
melengkung dimana terdapat muara sinus frontal,
maxilla, dan etmoid anterior.
3) Meatus superior
Terletak antara konka superior dan konka media. Disini
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid.
Kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti
dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam
cenderung bervariasi tebalnya juga mengubah resistensi. Akibatnya
tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang
berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa.,
perubahan badan vascular yang dapat mengembang pada konka dan
septum atas.(Snell,2014)
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian
medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung.
Deformitas struktur demekian pula penebalan atau oedem mukosa
berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah
olfaktorius dan dengan demikian dapat sangat mengganggu penghidu.
Konka umumnya dapat mengkompensasi kelainan septum ( bila tidak
terlalu berat ), dengan memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan
mengecil pada sisi lainnya sedemikian rupa agar dapat mempertahankan
lebar rongga udara yang optimum. Jadi meskipun septum nasi bengkok,
aliran udara masih akan ada dan masih normal. Daerah jaringan erektil
12
pada kedua sisi septum berfungsi mengatur ketebalan dalam berbagai
kondisi atmosfer yang berbeda.(Snell,2014)
E. Sinus Paranasal
a. Sinus maksila adalah sinus terbesar dari semua sinus. Sinus
maksila memiliki bentuk piramida dan dibatasi menjadi empat
bagian yakni dinding anterior yang dibentuk dari permukaan wajah
dari maksila dan berhubungan dengan jaringan lunak pipi. Dinding
posterior berhubungan dengan bagian infratemporal dan fosa
pterygopalatina. Dinding medial berhubungan dengan bagian
pertengahan maksila dengan meatus inferior, pada daerah ini
dinding sangat tipis dan berupa membran sedangkan dasar dari
maksila dibentuk dari prosesus palatine dan alveolar dari maksila
dan terletak kira –kira 1 cm di bawah dasar hidung. (Dhingra, 2007
; Hwang & Abdalkhani, 2009).
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid. (Soejipto & Mangunkusumo, 2007)
b. Sinus etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses
perkembangan janin. Sinus etmoid anterior merupakan evaginasi
dari dinding lateral hidung dan bercabang ke samping dengan
membentuk sinus etmoid posterior dan terbentuk pada bulan
keempat kehamilan. Saat dilahirkan, sel ini diisi oleh cairan
sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun,
etmoid baru dapat dideteksi melalui foto polos dan setelah itu
membesar dengan cepat hingga umur 12 tahun. Jumlah sel berkisar
4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata 14-
15 ml. (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani ,2009).
c. Sinus etmoid berongga – rongga , terdiri dari sel – sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian
13
lateral os etmoid, yang terletak antara konka media dan dinding
medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid terbagi menjadi
dua yakni sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
(Soejipto & Mangunkusumo, 2007).
d. Sinus frontal mulai berkembang sepanjang bulan keempat masa
kehamilan yang merupakan suatu perluasan ke arah atas dari sel
etmoidal anterosuperior. Sinus frontal jarang tampak pada
pemeriksaan foto polos sebelum umur 5 atau 6 tahun, setelah itu
pelan-pelan tumbuh, total volume 6-7 ml. Sinus frontal
mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis. (Soejipto &
Mangunkusumo, 2007).
e. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih
besar daripada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kira –kira 15 % dari orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis
dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar kedaerah ini. (Soejipto & Mangunkusumo,
2007).
f. Sinus sfenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa
kehamilan yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superio
posterior rongga hidung. Sinus ini berupa suatu takikan kecil di
dalam os sfenoid sampai umur 3 tahun ketika pneumatisasi mulai
lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk menjangkau tingkatan sella
tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran orang dewasa
setelah berumur 18 tahun, total volume 7.5 ml. Sinus sfenoid
mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan
etmoid posterior. (Hwang & Abdalkhani, 2009).
F. Fisiologi Sinus Paranasal
14
Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan
pasti dan masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang
berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsiapa-apa
karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka
(Soetjipto & mangunkusumo, 2000).
Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka
sinus dapat membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan,
menghangatkan, melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara
pernafasan. Kebanyakan penulis masih ragu-ragu dan menyatakan
bahwa sinus paranasal hanya berpengaruh sedikit, terutama hanya bila
menderita sakit. (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:
1) Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)
Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat
sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang
defenitif antara sinus dan rongga hidung. (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2000).
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak
mukosa hidung. (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)
2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungiorbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak
terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2000)
3) Membantu keseimbangan kepala
15
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya
akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2000)
4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara
danmempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat,
posisisinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara
resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah.
(Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)
5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
(Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)
6) Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis. (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)
Perdarahan Hidung
Bagian hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maxillaris interna,
diantaranya ujung a.palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media.Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari cabang-cabang a. fasialis. (Snell,2014)
16
Pada bagian depan septum terdapat anostomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid, a. labialis superior dan a. palatina mayor yang
disebut pleksus kiesselbach (little’s area) pleksus ini letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi epitaksis terutama pada
anak. (Snell,2014)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial. (Snell,2014)
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang
berasal dari n. oftalmikus. (Snell,2014)
Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n. maxilla melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion ini selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n.
maxilla, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konka media. (Snell,2014)
Nervus olfaktorius turun melalui lamina cribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Snell,2014)
Histologi Hidung
Hidung
17
Luas permukaan cavum nasi kurang lebih 150 cmdan total volumenya
sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara
histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket ), epitel
kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang
terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda
(Mygind 1981).
a. Epitel Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel
skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di
belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada
sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki
silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber
energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan
kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal
merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel
goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air.
Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior
sebanyak 11.000 sel/mmdan terendah di septum nasi sebanyak 5700
sel/mm. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada
lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Higler 1989; Ballenger
1996; Weir 1997).
Sedangkan pada konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang
khusus untuk fungsi menghidu/membau. Epitel olfaktorius tersebut terdiri
atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar
dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia,
berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan
neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar
Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret
yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses
18
neuron untuk membau zat-zat. Cavum nasi bagian anterior pada tepi
bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia
(10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi
2/3 posterior kavum nasi (Ballenger 1996; Higler 1997; Weir 1997).
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel.
Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile.
Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6
μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari duamikrotubulus
sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.
Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan
elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada
badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler 1989;
Ballenger 1996; Weir 1997).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat
dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah
menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak
secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical
waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996).
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama
lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP
berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein
yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan
antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan
elastis yang diduga neksin (Mygind 1981; Waguespack 1995; Ballenger
1996).
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan
diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak
19
seperti silia. Semua epitel kolumnarbersilia atau tidak bersilia memiliki
mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap
sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia.
Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas
permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit
dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan
permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding
dengan sel epitel gepeng (Waguespack 1995; Ballenger 1996).
b. Palut Lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat,
merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus
dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang
menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer ) yang disebut lapisan
perisiliar (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Weir 1997; Lindberg
1997).
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum,
protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat
berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia
berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan
ini. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi
dandikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini
juga berfungsi sebagaipelindung pada temperatur dingin, kelembaban
rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang
terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997).
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi
antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan
transportasi mukosiliar.(Sakakura 1994).
c. Membrana Basalis Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran
rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan
yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind
1981).
20
d. Lamina Propia Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana
basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial
yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang
banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina
propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi
dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981; Ballenger
1996).
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung.
Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya
berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan
lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia
lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah
hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal,
maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi
(Waguespack 1995; Ballenger 1996; Lindberg 1997).
1) Mukosa Hidung
Secara histoligi dan fungsional dibagi atas :
- Mukosa pernapasan (mukosa respiratori)
- Mukosa penghidu (mukosa olfaktorius)
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung.
Epitel organ pernapasan biasanya berupa epitel torak bersilia, bertingkat
palsu (pseudo stratified columnae ephitelium), berbeda-beda pada berbagai
bagian hidung, tergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, suhu,
dan derajat kelembaban udara. (Snell,2014)
Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu,
benda asing dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda
ini diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan. Lisozim dan
IgA ditemukan pula dalam laapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut
21
terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbaharui 3-4 kali dalam 1 jam.
Silia begerak serempak secara cepat kearah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat. Kecepatan pukulan
silia kira-kira 700 – 1000 siklus per menit. (Snell,2014)
Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah muda dan selalu
basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dari sel-sel
goblet. (Snell,2014)
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa
rongga hidung didaerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga
hidung, hanya lebih tipis dan pembluh darahnya lebih sedikit. Tidak
ditemukan rongga-rongga vaskuler yang besar. Sel-sel goblet dan kelenjar
lebih sedikit dan terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir didalam
sinus dibersihkan oleh silia dengan gerakan menyerupai spiral kearah
ostium. (Snell,2014)
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior,dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu dan tidak bersilia (pseudo stratified columnar non ciliated
ephitelium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel
basal, dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan. (Snell,2014)
2) Silia
Silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tungal yang
dikelilingi sembilan pasang mikro tubulus, semuanya terbungkus dalam
membran sel berlapis tiga yang tipis dan rapuh. (Snell,2014)
Silia mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir didalam cavum nasi akan didorong kearah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
22
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. (Snell,2014)
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan,
radang, sekret kental dan obat-obatan. (Snell,2014)
3) Area Olfaktorius
Epitel penghidu bertingkat torak terdiri dari tiga jenis sel:
1. Sel saraf bipolar olfaktoris
2. Sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya
3. Sejumlah sel basal yang kecil. Merupakan sel induk dari sel
sustentakular
Sel-sel penghidu ini merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat
yang mencapai permukaan tubuh. (Snell,2014)
4) Pembuluh Darah
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang
khas.Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan
tersusun secara pararel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
perdarahan pada anyaman kapiler periglandular dan subepitelial.
(Snell,2014)
Pembuluh eferen dari anyaman kapler ini membuka ke rongga
sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik
dan otot polos.Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter
otot. Selanjutnya sinusoid akan mengaliskan darahnya ke pleksus vena
yang lebih dalam lalu ke venula. (Snell,2014)
Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu
jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengambang dan
23
mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi
saraf otonom. (Snell,2014)
5) Suplai Saraf
Yang terlibat langsung saraf kranial pertama untuk penghiduan,
divisi oftalmikus dan maxillaris dari saraf trigeminus untuk impuls afferen
sensorik lainnya, saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernafasan pada
hidung luar, dan system saraf otonom. (Snell,2014)
6) Sistem Limfatik
Suplai limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan
pembuluh anterior dan posterior.Jaringan limfatik anterior adalah kecil
dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju ke
leher.Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung-
vestibulum dan daerah prekonka. (Snell,2014)
Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung,
menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang-saluran
superior, media, dan inferior.Kelompok superior berasal dari konka media
dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas
eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok
media, berjalan dibawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus
inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe
jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar
hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis
interna. (Snell,2014)
2. Koagulasi Darah
Hemostasis adalah penghentian pendarahan yang terjadi akibat
trauma terputusnya integritas pembuluh darah. Terdapat 4 fase hemostasis.
Fase pertama adalah konstriksi pembuluh darah yang rusak untuk mengurangi
aliran darah distal terhadap luka. Fase kedua terdiri dari pembentukan
24
sumbatan trombosit yang longgar, atau thrombus putih, pada tempat luka
bekerja sebagai respon terhadap kolagen pengikat trombosit, yang sebagai
respon terhadap kolagen pengikat, mengalami kerusakan struktur interna dan
mebebaskan tromboxan dan ADP. Ini merangsang trombosit lain untuk
melekat pada trombosit yang terikat pada kolagen, membentuk sumbat
trombosit longgar dan sementara. Fase hemostasis ini mengukur dengan
menentukan waktu pendarahan. Fase ketiga adalah pembentukan thrombus
merah (bekuan darah). Fase keempat adalah disolusi (pelarutan) sebagian atau
seluruh bekuan.(Guyton, 2007)
Gambar 2.1 Proses Koagulasi Darah (Guyton, 2007)
Trombosit pecah pada saat menyentuh permukaan luka yang kasar akan
mengeluarkan enzim trombokinase. Enzim trombokinase menyebabkan
perubahab protrombin menjadi trombin. Perubahan tersebut dipercepat oleh
ion kalsium. Selanjutnya, thrombin mengubah fibrinogen menjadi benang-
benang fibrin. (Sherwood, 2001)
25
Terdapat dua faktor yang menyebabkan pembekuan darah yaitu faktor
instrinsik dan ekstrinsik. Proses yang mengawali pembentukan bekuan fibrin
sebagai respon terhadap cedera jaringan dilaksanakan oleh lintasan ekstrinsik.
Sedangkan lintasan instrinsik terjadi karena pengaruh dari protein kolagen dan
kalikrein di dalam tubuh. Lintasan ekstrinsik dan instrinsik menyatu dalam
lintasan akhir yang sama yaitu pengaktifan protrombin menjadi thrombin.
(Sherwood, 2001)
Gambar 2.2 Mekanisme koagulasi secara instrinsik dan ekstrinsik
(Sherwood, 2001)
26
Lintasan intrinsik, ekstrinsik, dan lintasan terakhir melibatkan banyak macam
protein yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: zimogen protease,
kofaktor, fibrinogen, transglutaminase, dan protein pengatur. (Sherwood,
2001)
Gambar.2.3 Tabel factor koagulasi (Sherwood L. 2001)
27
Proses pembekuan darah ini merupakan mekanisme bertingkat yang
melibatkan kesinambungan pengaktifan faktor yang satu dengan yang lainnya.
Pada tahap terakhir trombin akan mengubah fibrinogen menjadi serat fibrin
yang dapat menjaring platelet trombosit, sel darah merah, dan plasma
sehingga terbentuk bekuan darah. Fibrinogen (340 kDa) merupakan
glikoprotein plasma yang bersifat dapat larut, terdiri atas tiga pasang rantai
polipeptida nonidentik, pada kedua rantainya terdapat fibrinopeptida yang
mengandung muatan negatif berlebihan yang turut memberikan sifat dapat
larut. Benang fibrin merupakan produk degradasi fibrinogen oleh trombin,
yang masih memiliki 98% residu yang terdapat dalam fibrinogen. Trombin
menghidrolisis empat ikatan Arg-Gli diantara molekul-molekul fibrinopeptida
sehingga memungkinkan monomer fibrin mengadakan agregrasi spontan
dengan susunan bergiliran sehingga terbentuk bekuan fibrin yang tidak larut.
Polimerisasi fibrin terjadi akibat adanya ikatan hidrogen yang distabilkan oleh
ikatan kovalen. (Sherwood, 2001)
3. Patofisiologi epistaksis pada berbagai penjyakit (etiologi)?
Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan
sistemik. (Soepardi, 2012)
Etiologi local
a. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek
hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
b. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas.
Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri
perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan
berulang ringan bercampur lendir atau ingus.
28
c. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang
pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.
Eiologi lainnya yaitu
a. iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa
hidung;
b. Keadaan lingkungan yang sangat dingin
c. Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba
d. Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
e. Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai
Ingus berbau busuk.
Etiologi sistemik
a. Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.
Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab
epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun, perdarahan biasanya hebat
berulang dan mempunyai prognosis yang kurang baik,
b. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
c. Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam
tifoid dll.
Termasuk etiologi sistemik lain
a. Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada
kehamilan, menarke dan menopause
b. kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau
penyakit Rendj-Osler-Weber;
29
c. Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung
d. pada pasien dengan pengobatan antikoagjlansia.
Mekanisme :
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya, mengorek hidung,
benuran ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras atau sebagai
akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu
lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam/trauma
pembedahan. (Soepardi, 2012)
b) Neoplasma (Tumor)
Mekanisme pembentukan neoplasma atau tumor ganas disebut dengan
Karsinogenesis. Karsinogenesis merupakan suatu proses multi-tahap.
Sebagian besar karsinogen sebenarnya tidak reaktif (prokarsinogen atau
karsinogen proximate), namun di dalam tubuh diubah menjadi karsinogen
awal (primary) atau menjadi karsinogen akhir (ultimate).SitokromP450 suatu
mono-oksidase dependen retikulum endoplasmik sering mengubah karsinogen
proximate menjadi intermediatedefisienelektron yang reaktif
(electrophils).Intermediate (zat perantara) yang reaktif ini dapat berinteraksi
dengan pusat-pusat di DNA yang kaya elektron (nucleophilic) untuk
menimbulkan mutasi.Interaksi antara karsinogen akhir dengan DNA semacam
ini dalam suatu sel diduga merupakan tahap awal terjadinya karsinogenesis
kimiawi.DNA sel dapat pulih kembali bila mekanisme perbaikannya normal,
namun bila tidak sel yang mengalami perubahan dapat tumbuh menjadi tumor
yang akhirnya nampak secara klinis.Ko-karsinogen (promoter) sendiri bukan
karsinogen.Promoter berperan mempermudah pertumbuhan dan
perkembangan sel tumor dormant atau latent. Waktu yang diperlukan untuk
terjadinya tumor dari fase awal tergantung pada adanya promoter tersebut dan 30
untuk kebanyakan tumor pada manusia periode laten berkisar dari 15 sampai
45 tahun. (Soepardi, 2012)
c) Penyakit Kardiovaskuler
Pada hipertensi, baroreseptor tidak berespon untuk mengembalikan tekanan
darah ke tingkat normal karena mereka telah beradaptasi atau mengalami reset
(pengaturan ulang) untuk bekerja pada tingkat yang lebihtinggi. Pada tekanan
darah yang meninggi secara kronik, baroreseptor masih berfungsimengatur
tekanan darah, tetapi mereka mempertahankan pada tekanan rata– rata yang
lebihtinggi. (Soepardi, 2012)
Hipertensi menimbulkan stress pada jantung dan pembuluh darah. Jantung
mengalami peningkatan beban kerja karena harus memompa melawan
resistensi perifer total yangmeningkat, sementara pembuluh darah dapat
mengalami kerusakan akibat tekanan internalyang tinggi, terutama apabila
dinding pembuluh melemah akibat proses degenerativeaterosklerosis. Penyulit
hipertensi antara lain adalah gagal jantung kongestif akibat ketidak mampuan
jantung memompa darah melawan peningkatan arteri, stroke akibat rupturnya
pembuluh di otak, atau serangan jantung akibat rupturnya pembuluh koroner.
Perdarahanspontan akibat pecahnya pembuluh– pembuluh kecil di bagian
tubuh lain juga dapat terjadi,tetapi dengan akibat yang relative lebih ringan,
misalnya ruptur pembuluh darah di hidungyang menyebabkan epistaksis.
(Soepardi, 2012)
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen.Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis
interstitial sampai perubahan yang kompletmenjadi jaringan parut. Perubahan
tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluhdarah karena hilangnya
otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan
lama.Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinyaepistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah.Kelemahan
31
dinding pembuluh darah inidisebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
(Soepardi, 2012)
d) Tumor (Angiofibroma)
JNA merupakan tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena berkemampuan
merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya, misalnya: ke sinus
paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat mudah
berdarah dan sulit dihentikan.
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen
sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus
(bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring
dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring,
memindahkannya ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal.Pada
akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi
(“bengkok”) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi
erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau
diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding
posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
(Soepardi, 2012)
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the
sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura.Terjadi proptosis dan
atrofi nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor. (Soepardi, 2012)
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung
terjadi pada pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis
ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif
(less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA. (Soepardi, 2012)
32
e) Kelainan darah
Trombositopenia :
Trombositopenia adalah suatu keadaan jumlah trombosit dalam sirkulasi
darah dibawah batas normal . Dalam hal ini, trombositopenia secara khusus
didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000 trombosit/uL.
Jumlah yang trombosit rendah trombositopenia, dapat disebabkan oleh
berbagai keadaan. (Soepardi, 2012). Secara umum, dapat dibagi menjadi :
1. Penurunan produksi trombosit
2. Peningkatan kerusakan atau konsumsi trombosit
3. Peningkatan sekuestrasi trombosit oleh limpa atau kombinasi dari
mekanisme tersebut
Jumlah trombosit dalam darah disebut juga sebagai jumlah platelet normalnya
adalah antara 150.000 sampai 450.000 per liter mikro (sepersejuta liter)
darah. Jumlah trombosit kurang dari 150.000 ini disebut
trombositopenia.Yang lebih besar dari 450.000 disebut trombositosis. Penting
untuk dicatat bahwa, meskipun, jumlah platelet menurun pada
trombositopenia, namun fungsi mereka biasanya sepenuhnya tetap
utuh. Gangguan lain, berupa disfungsi trombosit meskipun jumlah trombosit
masih normal. (Soepardi, 2012)
Jumlah trombosit yang sangat rendah pada kasus berat dapat menyebabkan
perdarahan spontan atau dapat menyebabkan keterlambatan proses
pembekuan. Pada trombositopenia ringan, mungkin tidak ada pengaruh dalam
jalur pembekuan atau perdarahan. (Soepardi, 2012)
Hemofilia :
Hemofilia adalah penyakit kelainan koagulasi darah congenital karena anak
kekurangan faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau faktor IX (hemofilia B,
atau penyakit Christmas). Penyakit kongenital ini diturunkan oleh gen resesif
33
terkait-X dari pihak ibu. F VIII dam F IX adalah protein plasma yang
merupakan komponen yang yang diperlukan untuk pembekuan darah; faktor-
faktor tersebut diperlukan untuk pembentukan bekuan fibrin pada tempat
cidera vascular. Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi,
trombosit dan pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons
pembuluh darah, adesi trombosit, agregasi trombosit, pembentukan bekuan
darah, stabilisasi bekuan darah, pembatasan bekuan darah pada tempat cedera
oleh regulasi antikoagulan, dan pemulihan aliran darah melalui proses
fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh darah. Cedera pada pembuluh darah
akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan terpaparnya darah
terhadap matriks subendotelial. Faktor von Willebrand (vWF) akan teraktifasi
dan diikuti adesi trombosit. (Soepardi, 2012)
Setelah proses ini, adenosine, diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain
trombosit dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan
menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut.
Cedera pada pembuluh darah juga melepaskan tissue faktor dan mengubah
permukaan pembuluh darah, sehingga memulai kaskade pembekuan darah dan
menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit ini akan
distabilkan oleh faktor XIII. Kaskade pembekuan darah klasik diajukan oleh
Davie dan Ratnoff pada tahun 1950an. Kaskade ini menggambarkan jalur
intrinsik dan ekstrinsik pembentukan thrombin. Meskipun memiliki beberapa
kelemahan, kaskade ini masih dipakai untuk menerangkan uji koagulasi yang
lazim dipakai dalam praktek sehari-hari.Pada penderita hemofilia dimana
terjadi defisit F VIII atau F IX maka pembentukan bekuan darah terlambat
dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita hemofilia tidak berdarah lebih
cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. (Soepardi, 2012)
Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan
terhenti akibat efek tamponade.Namun pada luka yang terbuka dimana efek
tamponade tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang
terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses
34
fibrinolisis alami atau trauma ringan. Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan
oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8 terletak di bagian lengan panjang
kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen F9 terletak di regio Xq27.2,14
Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun inversi 22
dari gen F8 merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar
50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini diturunkan
secara x-linked resesif sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak ibu
yang menderita kelainan ini. (Soepardi, 2012)
Pada sepertiga kasus mutas spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai
adanya riwayat keluarga penderita hemofilia pada kasus demikian. Wanita
pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan walaupun
biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa 5 di
antara 55 orang penderita hemofilia ringan adalah wanita. (Soepardi, 2012)
35
Gambar 3.1 Trombositopen (Soepardi, 2012)
Leukimia :
Leukemia akut dan kronis merupakan suatu bentuk keganasan atau maligna
yang muncul dari perbanyakan klonal sel-sel pembentuk sel darah yang tidak
terkontrol.Mekanisme kontrol seluler normal mungkin tidak bekerja dengan
baik akibat adanya perubahan pada kode genetik yang seharusnya
bertanggung jawab atas pengaturan pertubuhan sel dan diferensiasi.
Sel-sel leukemia menjalani waktu daur ulang yang lebih lambat dibandingkan
sel normal. Proses pematangan atau maturasi berjalan tidak lengkap dan
lanbar dan bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel sejenis yang normal.
Blastosit abnormal gagal berdiferensiasi menjadi bentuk dewasa, sementara
proses pembelahan berlangsung terus. Sel-sel ini mendesak komponen
36
hemopoitik normal sehingga terjadi kegagalan sumsum tulang.Disamping itu,
sel-sel abnormal melalui peredaran darah melakukan infiltrasi ke organ-organ
tubuh. (Soepardi, 2012)
Penyebab : Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:
Faktor leukemogenik
Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi
frekuensi leukemia:
1) Racun lingkungan seperti benzena
2) Bahan kimia industri seperti insektisida
3) Obat untuk kemoterapi
f) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan strukturbayi
yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur.Kelainan kongenitaldapat
merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematiansegera
setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertamakehidupannya sering
diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat,hal ini seakan-akan
merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsunganhidup bayi yang
dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaIbesar, umumnya
akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkansering pula sebagai
bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahirrendah dengan kelainan
kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalamminggu pertama
kehidupannya. (Soepardi, 2012)
Disamping pemeriksaan fisik, radiologik danlaboratorik untuk menegakkan
diagnose kelainan kongenital setelah bayilahir, dikenal pula adanya diagnosisi
pre/- ante natal kelainan kongenitaldengan beberapa cara pemeriksaan tertentu
misalnya pemeriksaanultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin.
(Soepardi, 2012)
4. Hubungan epistaksis dengan keluhan pusing pasien ?
37
Aktivitas yang meningkatkan vasokonstriksi menyebabkan
sakit kepala, pusing karena adanya peningkatan tekanan vaskuler serebral dan
yang berperan dalam tekanan darah adalah sistem baroreseptor arteri terutama
ditemukan pada sinus carotis, tapi juga dalam aorta dan dinding ventrikel.
Baroreseptor ini memonitor derajat tekanan arteri. Sistem baroreseptor
meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui mekanisme perlambatan
jantung oleh respon vagal (stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi dengan
penurunan tonus simpatis. Oleh karena itu, refleks kontrol sirkulasi
meningkatkan tekanan arteri sistemik bila tekanan baroreseptor turun dan
menurunkan tekanan arteri sistemik bila tekanan baroreseptor meningkat.
Pengaturan kontrol ini tidak terjadi pada hipertensi sehingga tekanan vaskuler
meningkat secara tidak adekuat yang mengakibatkan peningkatan tekanan
vaskular serebral. Akibat dari peningkatan tekanan dari vaskular tersebut
sehingga menekan serabut saraf otak yang menyebabkan nyeri kepala pada
pasien hipertensi. (Adams, 1997)
Mimisan dan sakit kepala, dalam kedua kombinasi, adalah
tanda-tanda tekanan darah tinggi. Mimisan karena tekanan darah tinggi harus
diatasi sesegera mungkin, untuk menghindari komplikasi lebih lanjut.
Kondisi gabungan ini juga merupakan tanda dari anemia. Pemeriksaan
lengkap harus dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang menderita
anemia atau tekanan darah tinggi. (Adams, 1997)
Jika tekanan darah dan hasil tes lainnya normal, ini
menunjukkan bahwa orang tersebut tidak menderita mimisan parah.
Penyebab umum dari mimisan merupakan benturan pada kepala. Sebuah
benturan di kepala bisa menyebabkan pembuluh darah besar hadir pada
bagian belakang hidung yang mengalami kerusakan. Hal ini disebut sebagai
mimisan posterior, yang umum di kalangan orang tua dan mereka yang
menderita tekanan darah tinggi.Dalam kasus tersebut, mimisan disertai
38
dengan sakit kepala.
Seringkali, kekeringan pada selaput lendir yang melapisi hidung juga bisa
menyebabkan mimisan dan sakit kepala. Keringnya selaput lendir
menyebabkan retak dan pendarahan, yang juga dapat menyebabkan
ketidaknyamanan dan iritasi hidung.
Meskipun infeksi sinus tidak menyebabkan mimisan, itu adalah salah satu
penyebab umum karena terlalu sering menggunakan dekongestan, seperti
semprotan hidung. (Adams, 1997)
39
Daftar Pustaka
Adams, George L. 1997 Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals
of otolaryngology).Edisi ke-6. Jakarta: EGC
Guyton, AC. Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi
11.Jakarta.EGC
Faiz O, Moffat D. Anatomy at a Glance [e-book]. 2002. England: Blackwell
Science.
Soepardi, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh.Jakarta : EGC
Sherwood L. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Ed 2. Jakarta : EGC.
40
top related