Transcript
1
ANALISIS DAMPAK PENGGUNAAN PAGU ANGGARAN APBD 2014
TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DKI JAKARTA
TAHUN 2015
Rakhmat, S.E., M.S.E. Dosen Tetap Program Studi S-1 Manajemen, STIE Mulia Pratama, Kota Bekasi.
e-mail: rachmatdjabar@gmail.com
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
instrument kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran
Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret
pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan
prioritas-prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan
konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah
daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut
benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai
tambah besar bagi masyarakat. APBD yang direncanakan setiap tahun
dengan mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) pada dasarnya menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah,
berapa besar alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta
pembiayaan yang muncul apabila terjadi surplus atau defisit. Pendapatan
daerah bersumber dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana
transfer dari pemerintah pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang
sah. Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan
kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran
yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh
program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung
terhadap pelayanan public di daerah. Dalam pelaksanaan penganggaran
dapat terjadi selisih antara pendapatan dan belanja daerah (surplus/defisit),
dan untuk selanjutnya ditutup dengan kebijakan pembiayaan daerah.
Apabila terjadi surplus, daerah harus menganggarkan untuk pengeluaran
pembiayaan tertentu, misalnya untuk investasi, atau dapat juga dengan
mengoptimalisasi dana tersebut guna mendanai belanja kegiatan yang telah
3
direncanakan. Sebaliknya apabila terjadi defisit, daerah perlu mencari
alternatif pembiayaan berupa pinjaman daerah, penggunaan SiLPA, atau
dapat pula melakukan penghematan anggaran dengan melakukan
penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau ditunda
pelaksanannya.
Pelaksanaan APBD DKI Jakarta tahun 2015 menarik untuk dianalisis
dan dikaji lebih jauh terkait dampaknya terhadap Perekonomian DKI
Jakarta. Hal mendasar yang perlu dicermati adalah penggunaan pagu
anggaran tahun 2014 untuk pelaksanaan APBD DKI tahun 2015, hal ini
merupakan kali pertama dalam sejarah pemerintahan daerah DKI Jakarta
dalam pelaksanaan APBD.
Atas dasar latar belakang dan informasi tersebut di atas, penulis
merasa perlu melakukan kajian dengan judul “Analisis Dampak
Penggunaan Pagu Anggaran APBD 2014 Terhadap Kinerja
Perekonomian DKI Jakarta tahun 2015”
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan permasalahan dan latar belakang tersebut diatas, maka
rumusan dan batasan masalah yang diangkat dalam kajian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana capaian kinerja pelaksanaan APBD DKI Jakarta tahun
2014?
2. Bagaimana dampak pelaksanaan APBD DKI tahun 2014 terhadap
kinerja perekonomian DKI Jakarta tahun 2014?
3. Bagaimana proyeksi dampak pelaksanaan pagu anggaran 2014 dalam
APBD 2015 terhadap kinerja perekonomian DKI Jakarta tahun 2015?
1.3 Tujuan dan Sasaran
Dengan merujuk pada latar belakang diatas, maka penelitian ini bertujuan
untuk :
4
1. Menganalisis capaian kinerja pelaksanaan APBD DKI Jakarta tahun
2014
2. Menganalisis dampak pelaksanaan APBD tahun 2014 terhadap
kinerja perekonomian DKI Jakarta
3. Menganalisis dampak pelaksanaan pagu anggaran 2014 dalam
APBD 2015 terhadap kinerja perekonomian DKI Jakarta tahun 2015
1.4 Metodologi dan Ruang Lingkup Kajian Materi
Metode penulisan yang digunakan penulis menggunakan metodologi
deskriptif melalui studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan dan mempelajari
bahan kajian yang bersumber dari buku-buku referensi yang terkait dengan
anggaran, belanja daerah, serta dari sumber-sumber lain yang mempunyai
korelasi dengan judul kajian ini.
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan,
maka terdapat beberapa batasan yang ditetapkan agar penelitian lebih
terarah. Batasan ruang lingkup penelitian ini adalah :
1. Penelitian difokuskan pada kinerja keuangan daerah, evaluasi
anggaran daerah, dan analisis APBD terhadap kinerja perekonomian
daerah DKI Jakarta
2. Analisis kinerja keuangan yang digunakan adalah analisis deskriptif
analisis dengan menggunakan metode komparatif terhadap capaian
pada periode sebelumnya
3. Data yang digunakan pada analisis kinerja keuangan dan evaluasi
anggaran daerah adalah laporan keuangan berupa realisasi APBD.
Sedangkan untuk analisis dampak APBD terhadap kinerja
perekonomian daerah menggunakan beberapa sumber data, yaitu
BPS, Kajian regional BI, dan laporan keuangan daerah Dirjen
Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu
rencana kerja pemerintah yang dinyatakan secara kuantitatif, biasanya
dalam satuan moneter yang mencerminkan sumber-sumber penerimaan
daerah dan pengeluaran untuk membiayai kegiatan dan proyek daerah
dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Pada hakekatnya anggaran
daerah (APBD) merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan
publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian APBD harus
benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan
memperhatikan potensi-potensi keanekaragaman daerah .
Dalam APBD pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Selanjutnya Belanja digolongkan menjadi 4
yakni Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, Belanja Bagi
Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja Tak Tersangaka. Belanja
Aparatur Daerah diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu Belanja
Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, dan Belanja Modal
/ Pembangunan. Belanja Pelayanan Publik dikelompokkan menjadi 3 yakni
Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, dan
Belanja Modal. Pembiayaan seperti sudah dikatakan di atas, adalah sumber
- sumber penerimaan dan pengeluaran daerah yang dimaksudkan untuk
menutup defisit anggaran atau sebagai
6
alokasi surplus anggaran. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-
sumber pembiayaan, yaitu : sumber penerimaan daerah dan sumber
pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah
adalah: sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi,
hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan, dan transfer dari dana
cadangan. Sedang sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri
atas: pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal,
transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang.
2.2 Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
Pendapatan Daerah yang dimaksud bersumber dari Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan.
2.2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 disebutkan bahwa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah
yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. PAD merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok PAD dipisahkan menjadi
empat Jenis Pendapatan, yaitu:
a. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
7
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah.
Menurut Riwukaho ( 1988 : 130 ), Pajak Daerah adalah pajak negara yang
diserahkan kepada daerah untuk dipungut berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran
daerah sebagai badan hukum publik.
b. Retribusi Daerah
Retribusi Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari
retribusi daerah.
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik
Daerah yang Dipisahkan
Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik
Daerah yang Dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal
dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Jenis Pendapatan ini meliputi Objek Pendapatan berikut:
a. Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah
b. Bagian Laba Lembaga Keuangan Bank
c. Bagian Laba Lembaga Keuangan NonBank
d. Bagian Laba atas Penyertaan Modal/Investasi
d. Lain-lain PAD yang sah
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain
milik pemerintah daerah. Jenis Pendapatan ini menurut Undang-Undang
No.33 tahun 2004 meliputi Objek Pendapatan berikut:
a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
8
2.2.2 Dana Perimbangan
Sesuai dengan Undang-Undang No.33 tahun 2004 disebutkan bahwa Dana
Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain
dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya,
juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan
pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen Dana
Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta
merupakan satu kesatuan yang utuh.
2.3 Belanja Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang No.33 tahun 2004 disebutkan bahwa
Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau
kabupaten / kota yang terdiri atas urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan
yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat
dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang –
undangan.
9
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Realisasi APBD DKI Jakarta tahun 2014
3.1.1 Penerimaan Daerah
Pendapatan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014 menurun signifikan
dibandingkan dengan tahun 2013. Realisasi pendapatan Provinsi DKI Jakarta
tercatat sekitar Rp.46 triliun atau sebesar 70,7% dari total target pendapatan
sebesar Rp. 65 triliun. Adapun persentase realisasi pendapatan daerah Provinsi
DKI Jakarta dari tiga sumber utama, yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Pendapatan transfer, dan Pendapatan lain-lain yang sah, juga lebih rendah
daripada capaian tiga tahun terakhir.
Pendapatan daerah dari sisi PAD juga tidak mencapai targetnya. Total PAD
Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014 hanya tercapai 82,7% dari target.
Penurunan PAD sangat terkait dengan perlambatan perekonomian yang
tercermin dari penurunan capaian restribusi dan pajak. Penerimaan restribusi
sangat rendah dibandingkan dengan targetnya, yakni hanya mencapai 28,9%
yang ditengarai juga terkait dengan berbagai kendala teknis baik dalam
mekanisme pemungutan maupun pengawasan. Sementara itu, realisasi pajak
daerah hanya mencapai 83,2%, jauh di bawah realisasi pada tahun
sebelumnya yang berada di atas target. Meski realisasi PAD jauh di bawah
targetnya, pangsa PAD terhadap total pendapatan pada 2014 sedikit
meningkat menjadi 71,5%. Adapun rasio pajak daerah juga menurun, dari
2,7% pada tahun 2013 menjadi 2,1% pada tahun 2014.
Berdasarkan jenis pajak, perlambatan penerimaan pajak terbesar pada
tahun 2014 terjadi pada pajak bea balik nama (BBN-KB). Penurunan tersebut
ditengarai merupakan pengaruh dari menurunnya kinerja penjualan kendaraan
bermotor. Penerimaan BBN-KB bahkan lebih rendah secara nominal pada
tahun 2014 atau tumbuh negatif bila dibandingkan dengan tahun 2013. Jenis
pajak lain yang melambat signifikan adalah pajak kendaraan bermotor (PKB),
pajak restoran, pajak reklame, dan pajak parkir. Selain itu, jenis pajak lain
10
yang juga mencatatkan peningkatan pertumbuhan adalah pajak hiburan serta
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
Tabel 3.1
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah DKI Jakarta
Sumber : Dispenda DKI Jakarta
Tabel 3.2
Perkembangan Penerimaan APBD DKI Jakarta, 2012-2014
Sumber : BPKD Pemprov. DKI Jakarta
11
Dari tabel 3.2 dapat dijelaskan bahwa realisasi pendapatan APBD DKI
Jakarta tahun 2014 sebesar Rp. 45,97 triliun atau 70 persen dari target
APBD 2014 sebesar Rp. 65,04 triliun. Sumber pendapatan daerah DKI
Jakarta tahun 2014 bersumber dari PAD sebesar Rp. 32,87 triliun,
selanjutnya pendapatan transfer Rp.12,16 triliun.
3.1.2. Belanja Daerah
Tren penurunan kinerja belanja terjadi semenjak tiga tahun terakhir.
Realisasi belanja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2014 bahkan hanya
mencapai 60,7%, yang secara nominal relatif sama dengan capaian tahun
2013. Rendahnya realisasi belanja ini menjadi isu utama, terutama dikaitkan
dengan belum optimalnya dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui
belanja modal yang produktif. Selain itu, realisasi belanja operasi yang juga
minim berpotensi berpengaruh pada kualitas layanan publik. Berdasarkan
jenisnya, belanja operasi terserap sebesar 79%, sementara belanja modal
hanya terealisasi sebesar 43,6% dari alokasi yang dianggarkan. Dari sisi
komposisi belanja, tidak terlihat adanya pergeseran pangsa yang lebih besar
ke belanja modal. Pangsa belanja modal masih berkisar 28% - 29% dari total
belanja. Adapun belanja operasi masih didominasi oleh belanja pegawai dan
belanja barang.
Tabel 3.3 Perkembangan Belanja APBD DKI Jakarta, 2012-2014
Sumber : BPKD Pemprov. DKI Jakarta
12
Ke depan, diperlukan upaya dan komitmen kuat untuk meningkatkan
penyerapan anggaran belanja, terutama belanja modal guna mendukung
perekonomian Jakarta. Hal ini dilakukan dalam rangka mendukung
pertumbuhan ekonomi Jakarta yang lebih cepat. Belanja modal memiliki
peran penting dalam mendorong kinerja perekonomian Jakarta melalui
perbaikan sistem infrastruktur, maupun kualitas layanan publik. Berbagai
alokasi belanja modal yang perlu mendapat perhatian terkait dengan program
prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meliputi belanja untuk
pengembangan system transportasi, mitigasi banjir, pembangunan fasilitas
perumahan, pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kualitas hidup
masyarakat. Sejumlah langkah konkrit yang dapat dilakukan untuk
mengakselerasi belanja dengan penguatan sistem perlu terus didukung
pengoptimalannya. Selain itu, juga diperlukan strategi untuk mengatasi
kendala legal dalam pengadaan lahan
3.1.3. Pembiayaan Daerah
Sejalan dengan melambatnya perekonomian, pembiayaan dalam
APBD Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014 juga menurun dibandingkan
dengan tahun 2013. Penerimaan pembiayaan dalam APBD 2014 terealisasi
sebesar Rp7,13 triliun atau 90,7% dari yang ditargetkan. Penerimaan
pembiayaan tersebut menurun sebesar 24,2% dari realisasi penerimaan
pembiayaan pada tahun 2013. Sumber dari penerimaan pembiayaan
terutama berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun
sebelumnya. Berbeda dengan yang direncanakan, penerimaan pembiayaan
pada tahun 2014 lebih tinggi dari pengeluaran pembiayaan, sehingga tidak
terjadi defisit APBD. Hal ini juga terkait dengan penyerapan belanja yang
lebih rendah dari realisasi pendapatan. Secara agregat, APBD Provinsi DKI
Jakarta berpotensi menyisakan saldo sekitar Rp 9,7 triliun, lebih tinggi
dibandingkan dengan SILPA di 2013
Realisasi pengeluaran pembiayaan APBD yang meningkat signifikan
pada tahun 2014 adalah pada komponen penyertaan modal (investasi) .
Penyertaan modal ditujukan pada perusahaan daerah (BUMD). Investasi
dalam bentuk penyertaan modal ini dikaitkan dengan upaya untuk
menyehatkan organisasi BUMD serta mendukung sejumlah misi pemerintah
13
daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Diantaranya adalah
penguatan modal PT Food Station yang akan lebih berperan dalam
pembentukan harga di pasar induk beras Cipinang, sehingga volatilitas harga
beras dapat dijaga. Demikian pula dengan penyertaan modal di PD Pasar
Jaya yang diarahkan untuk mendukung program revitalisasi pasar dan
kerjasama perdagangan dengan wilayah lain.
Tabel 3.4 Perkembangan Pembiayaan APBD DKI Jakarta, 2012-2014
Sumber : BPKD Pemprov. DKI Jakarta
3.2 Kinerja Perekonomian DKI Jakarta tahun 2014
3.2.1 Pertumbuhan Ekonomi
Secara keseluruhan Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tahun 2014
tumbuh sebesar 6,0%, melambat daripada tahun 2013 sebesar 6,1%. Dari
sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta masih ditopang oleh
konsumsi rumah tangga. Ekspor yang terkontraksi, sehubungan dengan
perkembangan ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih, menjadi faktor
yang menahan laju pertumbuhan ekonomi Jakarta.
Tingkat Konsumsi untuk keseluruhan tahun 2014, mencatat
pertumbuhan sebesar 5,43% (yoy), meningkat terbatas dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 5,41%. Meski tumbuh relatif
terbatas, konsumsi rumah tangga masih menjadi salah satu mesin pendorong
utama pertumbuhan ekonomi Jakarta. Kegiatan belanja perayaan hari besar
keagamaan (Natal) dan masa liburan jelang tahun baru menjadi penopang
kinerja konsumsi rumah tangga di ujung tahun 2014.
14
Peran konsumsi pemerintah pada perekonomian terlihat belum
optimal. Belum optimalnya konsumsi pemerintah pusat yang dominan di
Jakarta, tercermin dari realisasi belanja Pemerintah Pusat
(Kementerian/Lembaga), yang masih di bawah target yaitu sebesar 93% dari
target APBN-P 2014 (Rp1.280,4 triliun). Realisasi belanja APBD Provinsi DKI
Jakarta juga tidak optimal. Hingga akhir Desember 2014 belanja APBD hanya
mencapai sekitar 60,7% dari total anggaran balanja APBD-P sebesar Rp
64,88 triliun.
Investasi Jakarta menunjukkan pertumbuhan yang positif, meski
mengalami perlambatan. Data investasi dari Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) juga mengonfirmasi melemahnya kinerja investasi.
Berdasarkan data BKPM, investasi PMA menunjukkan pertumbuhan yang
terbatas. Sementara itu, pertumbuhan investasi PMDN masih tertahan sejalan
dengan tendensi sejumlah pelaku untuk menahan ekspansi usaha.
Ekspor luar negeri DKI Jakarta mengalami pertumbuhan negatif.
Ekspor pada triwulan IV mencatat pertumbuhan -3,10% (yoy), atau tumbuh
sebesar -0,53% (yoy) untuk keseluruhan tahun 2014. Hal ini sejalan dengan
masih belum pulihnya perekonomian global. Impor Jakarta pada triwulan IV
2014 mencatat pertumbuhan yang positif, meski secara keseluruhan tahun
masih terkontraksi
3.2.2 Tingkat Inflasi
Inflasi Jakarta pada tahun 2014 relatif terjaga, meski lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun sebelumnya maupun dengan inflasi nasional.
Inflasi Jakarta tercatat sebesar 8,95% (yoy), meningkat dibandingkan dengan
tahun sebelumnya sebesar 8,0% (yoy). Dalam empat tahun terakhir (kecuali
tahun 2013), inflasi Jakarta cenderung lebih tinggi dari inflasi nasional.
Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh posisi Jakarta sebagai daerah defisit
pangan dan relatif kuatnya permintaan masyarakat urban, khususnya kelas
menengah. Selain itu, kenaikan harga BBM bersubsidi pada November 2014,
merupakan salah satu kebijakan dari rangkaian kebijakan reformasi subsidi
energi yang dilakukan pemerintah sepanjang tahun 2014, yang memberikan
dampak cukup signifikan bagi perkembangan inflasi. Dengan adanya
kebijakan ini tekanan inflasi di Jakarta melonjak pada akhir tahun 2014.
15
Dampak langsung dari kenaikan harga BBM pada tahun 2014 terhadap
komoditas bensin sebesar 30,8%, lebih rendah daripada tahun 2013 sebesar
44,4%. Namun, dampak tidak langsung yang ditimbulkan lebih besar pada
tahun 2014, akibat melonjaknya ekspektasi masyarakat sehubungan dengan
sejumlah penerapan kebijakan energi pada tahun 2014 maupun yang akan
dilaksanakan pada tahun 2015.
Tabel 3.5
Tingkat Inflasi DKI Jakarta dan Nasional
3.2.3 Tingkat Pengangguran
Perkembangan ekonomi DKI Jakarta cukup mampu membawa tingkat
pengangguran terbuka terus menurun. Secara umum, tren penurunan tingkat
pengangguran terbuka (TPT) telah terjadi sejak tahun 2010. Dari sisi latar
belakang pendidikan, penurunan TPT terutama terjadi opada level SMA
(umum dan kejuruan). Namun, pengangguran untuk tingkat pendidikan tinggi
(diploma dan universitas), pada tahun 2014 justru menunjukkan peningkatan).
Hal ini disebabkan belum terdapatnya perubahan struktur pekerja di Jakarta
beberapa tahun terakhir yang lebih banyak menyerap tenaga kerja dengan
level pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Peningkatan proporsi
pekerja untuk level pendidikan tinggi, tidak sejalan dengan peningkatan
jumlah angkatan kerja dengan tingkat pendidikan tinggi.
16
Jakarta, sebagai kota besar yang terus berbenah diri, semakin
membutuhkan tenaga kerja dengan level pendidikan dan keahlian yang
semakin tinggi. Kondisi ini tercermin dari pertumbuhan jumlah pekerja yang
diserap dengan latar belakang pendidikan tinggi, yang meningkat dari tahun
ke tahun. Permasalahannya adalah laju penyerapan tidak seimbang dengan
laju pertambahan angkatan kerja berpendidikan tinggi. Hal ini dapat juga
diartikan bahwa pasokan dari tenaga kerja tidak sepenuhnya sesuai dengan
yang diminta pasar. Kondisi ini mencerminkan adanya ketidaksesuaian (mis-
match) antara lapangan kerja dan keahlian pekerja. Permasalahan ini perlu
mendapat perhatian khusus, terutama dari dunia pendidikan, agar ada
kesesuaian antara kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Hal lain yang
perlu dicermati adalah laju penurunan tingkat pengangguran terbuka
melambat signifikan pada tahun 2014, mencerminkan semakin rendahnya
kemampuan lapangan kerja di DKI Jakarta menyerap tambahan angkatan
kerja.
Tabel 3.6
Tingkat Pengangguran Terbuka DKI Jakarta
17
Tabel 3.7
Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Pendidikan
Sumber: BPS
3.2.4 Tingkat Kemiskinan
Perekonomian Jakarta yang masih dalam tren melambat berdampak
pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin Jakarta
tahun 2014 (per September 2014) tercatat sebesar 412,79 ribu orang,
meningkat 11,05% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 371,70
ribu orang. Persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk juga
meningkat, dari 3,72% pada tahun 2013 menjadi 4,09%. Keadaan tahun 2014
menunjukkan bahwa pertumbuhan garis kemiskinan melambat, atau
meningkat relative terbatas sebesar 5,81% dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Namun, hal tersebut diikuti dengan peningkatan jumlah orang
miskin dengan persentase yang jauh lebih besar yaitu 11,05%. Kondisi ini
menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kedalaman kemiskinan di Jakarta.
Tabel 3.8 Tingkat Kemiskinan dan PDRB
Sumber : BPS
18
Dalam melihat permasalahan kemiskinan, dimensi lain yang perlu
mendapat perhatian adalah seberapa besar tingkat kedalaman dan
keparahan kemiskinan. Perkembangan terkini menunjukkan indeks
kedalaman kemiskinan penduduk Jakarta menunjukkan peningkatan yang
cukup signifikan, yaitu dari 0,39 menjadi 0,60. Artinya kesenjangan antara
pengeluaran masyarakat miskin dengan garis kemiskinan semakin melebar.
Buah pembangunan yang terjadi di Jakarta relatif tidak menyentuh perbaikan
pada masyarakat miskin. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan ekonomi di
Jakarta cenderung tidak pro job, sebagaimana terlihat dari meningkatnya
tingkat pengangguran terbuka. Rendahnya pertumbuhan kesempatan kerja
berkontribusi pada bertambahnya tingkat kemiskinan.
Sejalan dengan perkembangan indeks kedalaman kemiskinan, indeks
keparahan kemiskinan juga memburuk. Pada tahun 2013 indeks keparahan
kemiskinan tercatat sebesar 0,073. Pada tahun 2014 indeks ini meningkat
0,058 poin menjadi 0,131. Dengan demikian terjadi pelebaran disparitas
pengeluaran di antara penduduk miskin. Meningkatanya indeks keparahan
kemiskinan penting untuk diperhatikan, mengingat banyak pemasalahan
sosial, terutama kriminalitas kerap dipicu oleh parahnya kondisi kemiskinan.
Tabel 3.9
Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan
Sumber : BPS
19
3.2.5 Lapangan usaha dan Kesempatan Kerja
Stuktur perekonomian Jakarta menurut lapangan usaha tahun 2014,
berdasarkan tahun dasar 2010, dikontribusikan oleh empat lapangan usaha
utama, yaitu perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda
motor; industri pengolahan; konstruksi; dan jasa keuangan dan asuransi
Keempat lapangan usaha tersebut memberikan kontribusi sebesar 2,7%
terhadap total pertumbuhan ekonomi Jakarta pada tahun 2014 yang tercatat
sebesar 6,0%.
Kinerja lapangan usaha konstruksi Jakarta masih tumbuh positif, meski
belum optimal. Sektor properti tumbuh sebesar 3,0% (yoy), di tengah kondisi
ekonomi makro yang tidak kondusif. Hal tersebut memengaruhi daya beli dan
minat konsumen, serta tarif sewa properti komersial. Perlambatan tarif sewa
properti komersial terutama pada hotel dan perkantoran.
Sektor industri pengolahan Jakarta masih menunjukkan pertumbuhan
yang positif pada triwulan IV 2014, dan untuk keseluruhan tahun 2014 tumbuh
meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut sejalan
dengan konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh cukup baik. Indikasi
peningkatan kinerja sektor industri terlihat dari produksi industry manufaktur
Jakarta yang masih menunjukkan pertumbuhan positif
Lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan
Sepeda Motor masih tumbuh cukup baik, meski melambat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Pada triwulan IV 2014 lapangan usaha
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor mencatat
pertumbuhan sebesar 5,10%.
Pertumbuhan lapangan usaha keuangan dan asuransi cukup tinggi.
Pertumbuhan pada periode tersebut mencapai 11,9% (yoy), Kebijakan suku
bunga perbankan ketat, yang masih berlanjut hingga triwulan IV 2014
diprakirakan menekan spread laba (spread suku bunga kredit dan simpanan)
perbankan. Dari sisi kegiatan intermediasi, pertumbuhan kredit pada akhir
tahun 2014 sebesar 9,39% (yoy). Pertumbuhan kredit tersebut masih di
bawah target nasilnal tahun 2014 sebesar 15%-17%.
Di lihat dari sisi status pekerjaan utama, penduduk Jakarta yang
bekerja di sektor formal menunjukkan tren yang meningkat. Hal ini selaras
dengan dengan struktur latar belakang pendidikan angkatan kerja Jakarta
20
yang mengarah pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang secara
umum dapat lebih diterima oleh dunia kerja yang bersifat formal. Selain
jumlahnya yang dalam tren meningkat, proposi tenaga kerja formal juga terus
meningkat. Struktur pekerja Jakarta yang lebih didominasi oleh pekerja di
sektor formal tersebut, mendorong tingkat pendapatan masyarakat yang lebih
stabil, dalam hal ini ada kepastian penghasilan. Kondisi ini dapat menjadi
sumber penopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Hal ini pun
tercermin pada struktur perekonomian Jakarta, dari sisi pengeluaran, yang
ditopang cukup kuat oleh konsumsi rumah tangga
Tabel 3.10 Proporsi Tenaga Kerja Sektor Formal-Informal
Perkembangan ekonomi DKI Jakarta cukup mampu membawa tingkat
pengangguran terbuka terus menurun. Secara umum, tren penurunan tingkat
pengangguran terbuka (TPT) telah terjadi sejak tahun 2010. Dari sisi latar
belakang pendidikan, penurunan pada level SMA (umum dan kejuruan).
Namun, pengangguran untuk tingkat pendidikan tinggi (diploma dan
universitas), pada tahun 2014 justru menunjukkan peningkatan. Hal ini
disebabkan belum terdapatnya perubahan struktur pekerja di Jakarta
beberapa tahun terakhir yang lebih banyak menyerap tenaga kerja dengan
level pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Peningkatan proporsi
pekerja untuk level pendidikan tinggi, tidak sejalan dengan peningkatan
jumlah angkatan kerja dengan tingkat pendidikan tinggi.
21
Tabel 3.11 Tingkat Pengangguran Terbuka
Berdasarkan Latar Belakang
3.3. Proyeksi Perekonomian DKI Jakarta tahun 2015
Mencermati capaian kinerja perekonomian DKI Jakarta tahun 2014
yang cenderung mengalami perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya,
maka proyeksi perekonomian tahun 2015 diperkirakan tidak mengalami
banyak perbaikan, oleh karena itu diperlukan kerja keras dari pemerintah DKI
Jakarta untuk meningkatkan kinerja perekonomian daerah. Untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi Jakarta yang lebih cepat. Belanja modal
memiliki peran penting dalam mendorong kinerja perekonomian Jakarta
melalui perbaikan sistem infrastruktur, maupun kualitas layanan publik.
Berbagai alokasi belanja modal yang perlu mendapat perhatian terkait
dengan program prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meliputi belanja
untuk pengembangan system transportasi, mitigasi banjir, pembangunan
fasilitas perumahan, pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kualitas hidup
masyarakat. Sejumlah langkah konkrit yang dapat dilakukan untuk
mengakselerasi belanja dengan penguatan sistem perlu terus didukung
pengoptimalannya. Selain itu, juga diperlukan strategi untuk mengatasi
kendala legal dalm pengadaan lahan. Hal ini terkait dengan sejumlah target
capaian pembangunan yang dicanangkan pada Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) 2015.
22
Tabel 8
Target Capaian Pembangunan Prov. DKI Jakarta
Sumber : RKPD 2015 Prov. DKI Jakarta
3.3.1 Tantangan Eksternal
Dari sisi eksternal, terdapat risiko perlambatan ekonomi sejumlah
negara mitra dagang utama Jakarta, khususnya di Tiongkok dan Jepang.
Perlambatan perekonomian di kedua negara tersebut akan cukup
berpengaruh pada kinerja ekspor produk manufaktur Jakarta. Meluasnya
ketidakstabilan ekonomi Uni Eropa yang dipicu oleh konflik Yunani juga dapat
berpengaruh pada kinerja ekspor baik yang langsung melalui Jakarta maupun
re-ekspor melalui Negara ASEAN dan Tiongkok. Persaingan global yang
semakin ketat terutama dari faktor daya saing ekspor serta kemampuan
berintegrasi dalam rantai suplai/pemasaran global juga memberikan risiko
perbaikan kinerja ekspor lebih lanjut. Diversifikasi pasar ekspor yang
diupayakan juga cenderung belum sepenuhnya berjalan seperti yang
diharapkan. Hal ini tercermin dari pangsa pasar tujuan ekspor produk Jakarta
yang belum terdiversifikasi secara signifikan pada akhir tahun 2014.
Jalur transmisi lain dari risiko faktor eksternal pada perekonomian
Jakarta adalah pada tekanan nilai tukar. Gangguan ekspor berpotensi
menahan perbaikan defisit neraca perdagangan yang pada gilirannya akan
23
berpengaruh pada kestabilan nilai tukar dan terbatasnya capital inflow. Hal ini
juga juga dipersulit dengan rencana normalisasi kebijakan Bank Sentral
Amerika Serikat (The Fed) dengan penyesuaian suku bunga ke level yang
lebih tinggi. Secara umum, depresiasi nilai tukar dapat meningkatkan daya
saing ekspor. Namun dengan masih tingginya ketergantungan impor dari
komoditas ekspor, maka peningkatan daya saing relatif terbatas. Terbatasnya
capital inflow dan mengetatnya pasar keuangan juga akan berdampak pada
perekonomian Jakarta yang didominasi oleh jasa keuangan
3.3.2. Tantangan Domestik
Dari sisi domestik, faktor risiko terutama bersumber dari tekanan inflasi
yang lebih tinggi dari prakiraan dan terbatasnya pemanfaatan ruang fiskal.
Terkendalinya inflasi, yang merupakan salah satu elemen penting dari
stabilitas ekonomi makro, perlu menjadi perhatian di Jakarta, terutama
merujuk pada tingginya inflasi pada tahun 2014. Potensi tekanan inflasi yang
tinggi selain akan memengaruhi daya beli dan tingkat konsumsi, juga
berpotensi memberikan sentimen negatif pada pasar dan prospek investasi di
Jakarta. Meski ketersediaan pasokan pangan dapat dijaga, tekanan
permintaan yang besar dan rigiditas level harga yang tinggi di Jakarta perlu
menjadi perhatian. Selain itu, belum terselesaikannya masalah struktural
terkait mata rantai tata niaga serta inefisiensi pada sistem logistik dan
distribusi juga memberikan risiko pada kesinambungan pasokan pangan dan
inflasi tahun 2015.
Terkait dengan agenda reformasi struktural dari sisi fiskal, risiko
terkendalanya pemanfaatan ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur
menjadi isu utama. Hambatan dari realokasi anggaran subsidi BBM untuk
pembangunan proyek infrastruktur strategis yang lebih produktif bagi
perekonomian, diprediksi terjadi di level teknis. Dalam kasus Jakarta,
pembangunan infrastruktur yang difokuskan pada peningkatan kapasitas
serta perbaikan kualitas sarana pelabuhan, prasarana jalan, dan saluran
drainase, menghadapi kendala khususnya dari penyediaan lahan. Hingga
saat ini, proyek megaproject MRT Jakarta yang telah berjalan juga masih
menyisakan masalah pembebasan lahan. Selain itu, terdapat pula kendala
24
dari sisi administrasi pengadaan dan manajemen kontrak proyek infrastruktur
yang berpotensi menghambat pemanfaatan ruang fiskal yang telah dimiliki.
3.3.3 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2015
Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan I 2015 diprakirakan
sedikit lebih lambat dibandingkan dengan triwulan IV 2014. Hal ini terkait
dengan terbatasnya dukungan konsumsi pemerintah. Meski belanja
pemerintah relatif rendah pada triwulan I sesuai pola musimannya, kebijakan
pengetatan belanja Pemerintah Pusat untuk kegiatan di luar kantor serta
keterlambatan penetapan APBD Jakarta berdampak signifikan pada
perlambatan perekonomian tahun 2015. Hingga akhir Februari 2015, APBD
Jakarta belum mendapatkan persetujuan untuk ditetapkan melalui peraturan
daerah. Keterlambatan ini menyebabkan belum dapat direalisasikannya
sejumlah pos anggaran belanja strategis yang terkait dengan belanja program
pembangunan dan investasi. Dukungan pertumbuhan terutama bersumber
dari kenaikan konsumsi rumah tangga sejalan dengan peningkatan
pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income).
Kinerja investasi pada triwulan I 2015 diperkirakan membaik dengan
dukungan dari investasi swasta. Perbaikan investasi terutama berasal dari
investasi bangunan, sejalan dengan prospek pemulihan pembangunan
properti komersial dan residensial serta peningkatan belanja infrastruktur.
Selain itu, mulai meningkatnya permintaan ekspor terhadap produk
manufaktur diperkirakan berdampak positif pada investasi pada sektor
industry manufaktur. Setelah mengalami stagnasi selama beberapa periode,
investasi untuk menambah kapasitas produksi atau memperbaiki alat
produksi yang mendukung efisiensi usaha berpotensi dilakukan, meski dalam
level yang moderat.
Di sisi infrastruktur, peningkatan kinerja investasi masih bertumpu pada
realisasi proyek infrastruktur dalam jangka panjang. Sejumlah proyek
infrastruktur skala besar, baik yang telah berjalan maupun yang direncanakan
multi-years, akan mendukung kinerja investasi bangunan tahun 2015. Pada
triwulan I 2015, peningkatan kinerja didukung oleh intensitas pembangunan
proyek MRT dan penyelesaian pelabuhan peti kemas Kalibaru (New Tanjung
25
Priok Port) dan jalan layang pelabuhan. Dari sisi APBD, fokus pembiayaan
investasi selain pada pembangunan infrastruktur, juga pada pembebasan
lahan, yang nantinya diperuntukkan untuk pembangunan rumah susun dan
layanan publik lain, termasuk ruang terbuka hijau. Adapun focus
pembangunan infrastruktur yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Pusat
untuk wilayah jakarta meliputi tiga program utama, yakni perumahan rakyat,
pengelolaan sumber daya air dan mitigasi banjir, serta transportasi
perkeretaapian.
Di sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan I 2015
diproyeksikan bersumber dari kinerja sektor perdagangan besar dan eceran;
sektor informasi dan komunikasi; sektor konstruksi; serta sector industri.
Sebagian besar sektor non-tradable diproyeksikan tumbuh meningkat pada
triwulan I 2015, kecuali sektor sektor jasa keuangan dan jasa perusahaan,
sektor penyediaan akomodasi dan makan minum, serta sector transportasi
dan pergudangan. Dari empat sektor utama Jakarta, yang memiliki pangsa
terbesar, perlambatan diproyeksikan pada sektor jasa keuangan pada
triwulan I 2015.
Perlambatan sektor jasa perusahaan serta sektor transportasi dan
pergudangan di triwulan I 2015 terindikasi sebagai pengaruh dari terbatasnya
investasi pada kedua sektor tersebut. Menurunnya kinerja sektor jasa
perusahaan cenderung dipengaruhi oleh relatif terbatasnya investasi pada
periode sebelumnya, sejalan dengan melambatnya aktivitas perekonomian.
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dampak penggunaan pagu anggaran APBD
2014 terhadap kinerja perekonomian 2015 maka dapat disumpulakan
beberapa hal berikut ini:
1. Kinerja keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2014 merupakan
yang terendah dalam tiga tahun terakhir, baik merujuk pada capaian
pendapatan maupun belanja. Tidak optimalnya kinerja keuangan
pemerintah daerah ini terkait dengan permasalahan teknis penganggaran
dan pengadaan. Minimnya dukungan belanja daerah ditengarai turut
berpengaruh pada perlambatan ekonomi Jakarta pada tahun 2014.
2. Pembangunan ekonomi Jakarta, secara umum belum selaras dengan
kondisi ketenagakerjaan dan kesejahteraan penduduk Jakarta. Meskipun
tingkat pengangguran terbuka tetap menunjukkan tren yang menurun, laju
penurunannya relatif melambat. Selain itu, geliat persentase jumlah orang
miskin yang meningkat dan diikuti pula dengan peningkatan indeks
kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan.
3. Perekonomian Jakarta pada triwulan I 2015 berpotensi tumbuh melambat
sebagai pengaruh dari minimnya dukungan belanja dan investasi
pemerintah. Selain itu, kinerja perdagangan antardaerah juga terindikasi
melambat. Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan I 2015 akan
ditopang oleh kinerja konsumsi dan ekspor, serta investasi dalam level
yang lebih terbatas. Di sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi Jakarta pada
triwulan I 2015 diproyeksikan bersumber dari kinerja sektor perdagangan
besar dan eceran, sektor konstruksi, sektor informasi dan komunikasi, serta
sector industri pengolahan.
27
4.2 Saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Jakarta yang lebih cepat,
pemerintah daerah DKI Jakarta perlu mengalokasikan belanja modal lebih
besar untuk mendorong kinerja perekonomian lebih meningkat pada tahun
2015. Belanja modal tersebut dapat dialoksikan untuk perbaikan sistem
infrastruktur, pengembangan system transportasi, mitigasi banjir,
pembangunan fasilitas perumahan, pendidikan, kesehatan, dan perbaikan
kualitas hidup masyarakat.
2. Untuk meningkatkan daya serap anggaran dalam APBD 2015, pemerintah
DKI Jakarta perlu merumuskan SOP yang lebih sederhana untuk
mempercepat proses pencairan anggran, tanpa melanggar prinsip-prinsip
pengelolaan anggaran yang akuntabel.
28
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produk Domestik Bruto Atas Dasar
Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
[DJPK] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2014. Deskripsi analisis
APBD 2014
[BI] Bank Indonesia. 2014. Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV 2014
Mahmudi. 2010. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Edisi
Kedua. Cetakan Pertama. Penerbit UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
Mahmudi. 2009. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta (ID) : Erlangga.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Pertama. Cetakan pertama.
Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta.
Suparmoko. 2003. Keuangan Negara : Dalam Teori dan Praktik. Edisi kelima.
Cetakan kedua. Penerbit BPFE. Yogyakarta.
top related