PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL …repository.utu.ac.id/59/1/HAmdani.pdf · Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I,
Post on 19-Oct-2020
13 Views
Preview:
Transcript
i
ANALISIS KOMUNIKASI PERSUASIF ANTARA PETUGAS
PEMASYARAKATAN DENGAN WARGA BINAAN DI LAPAS
KELAS IIB MEULABOH
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas
dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Oleh :
Nama : HAMDANI
N I M : 06C2-0220014
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH – ACEH BARAT
2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi/tugas akhir dengan judul :
ANALISIS KOMUNIKASI PERSUASIF ANTARA PETUGAS
PEMASYARAKATAN DENGAN WARGA BINAAN DI LAPAS KELAS
IIB MEULABOH
Yang disusun oleh:
Nama : Hamdani
NIM : 06C20220014
ProgramStudi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 22 April 2013 dan
dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.
SUSUNAN KOMISI PENGUJI
1. Sudarman Alwy, M.Ag
NIDN. 01-2504-7601 ………………………
Ketua
2. Devi Ariani, S.Sos
NIDN. 01-1203-7092 ………………………
Anggota I
3. Saiful Asra, M.Soc.Sc
NIDN. 01-1305-8201 ………………………
Anggota II
4. Fachrul Riza, M.I.Kom
………………………
Anggota III
5. Triyanto, S.Sos
NIDN. 01-1507-7102 ………………………
Anggota IV
Alue peunyareng, 22 April 2013
Ketua Program Studi Komunikasi
Junaidi S.Sos.I
iii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
Judul Skripsi/tugas akhir : Analisis Komunikasi Persuasif Antara Petugas
Pemasyarakatan dengan Warga binaan di
LAPAS Kelas IIB Meulaboh.
Nama Mahasiswa : Hamdani
NIM : 06C20220014
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I, Pembimbing II
Sudarman Alwy, M.Ag Devi Ariani, S.Sos
NIDN. 01-2504-7601 NIDN. 01-1203-7092
Mengetahui,
Ketua Program Studi Komunikasi Dekan FISIP
Junaidi, S.Sos Sudarman Alwy, M.Ag
NIDN. 01-2504-7601
iv
RIWAYAT HIDUP
Nama : HAMDANI
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat /Tanggal Lahir : Meulaboh, 17 Mei 1986
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat Rumah : Jalan Letkol Teuku Cut Rahman, Dsn. Teungoh,
Gampong Lapang, Kec. Johan Pahlawan
Alamat E_Mail : hamdanimus@yahoo.co.id
Pendidikan Formal
1. SD (1992-1998) : SD Negeri 3 Meulaboh, Aceh Barat
2. SLTP (1998-2001) : SMP Negeri 3 Meulaboh, Aceh Barat
3. SLTA (2001-2005) : SMA Negeri 4 Meulaboh, Aceh Barat
v
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : HAMDANI
Nim : 06C20220014
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Universitas Teuku Umar
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini benar dibuat oleh penulis sendiri dan
orisinil, serta belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
sarjana akademik di suatu perguruan tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis disebutkan
dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata didalam skripsi ini semua atau sebagian isinya terdapat unsur-
unsur plagiat, maka saya akan bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik
yang saya peroleh dapat dicabut/dibatalkan, serta dapat diproses sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dan ditanda tangani dalam keadaan sadar
tanpa tekanan/paksaan oleh siapapun.
Meulaboh 22 April 2013
Yang membuat pernyataan
HAMDANI
vi
ABSTRAK
Hamdani. NIM 06C20220014. Analisis Komunikasi Persuasif Antara Petugas
Pemasyarakatan dengan Warga Binaan di LAPAS Kelas IIB Meulaboh.
Program Studi Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Teuku Umar. Pembimbing I, Sudarman Alwy, M.Ag.
Pembimbing II, Devi Ariani, S. Sos.
Kata Kunci : Komunikasi persuasif, Lembaga Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem penegakan hukum
pidana di Indonesia, yang berperan dalam rangka pembinaan, pembimbingan,
rehabilitasi, dan reintegrasi sosial bagi warga binaan agar setelah bebas dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sebagai masyarakat yang bebas dan
bertanggung jawab. Akan tetapi untuk mencapai tujuan pemasyarakatan yang
diamanatkan Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, petugas
pemasyarakatan dalam menjalankan perannya tidak terlepas dari komunikasi yang
digunakan, oleh sebab itu penggunaan teknik komunikasi yang tepat sangat
menentukan keberhasilannya, karena komunikasi merupakan suatu kegiatan untuk
merubah sikap, pendapat, dan perilaku. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pola komunikasi persuasif yang digunakan dalam proses pembinaan
di Lapas Kelas IIB Meulaboh, dan juga untuk mengetahui pengaruh komunikasi
persuasif terhadap warga binaan, yang diduga bahwa proses pembinaan yang
dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh belum menggunakan
teknik komunikasi persuasif yang efektif. Adapun Metode Penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif. Oleh karena itu dalam pemilihan informan
peneliti menggunakan teknik Purposive Sampling, sedangkan dalam teknik
pegumpulan data yang peneliti gunakan merupakan kombinasi dari beberapa
teknik yaitu: wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data, reduksi data, penyajian
data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menujukkan
bahwa Pola Komunikasi persuasif di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB
Meulaboh adalah petugas pemasyarakatan dalam komunikasinya cenderung
mengunakan kekuasaan (power) yang berasal dari peraturan perundang-undangan
tentang pemasyarakatan, dan aturan-aturan yang berlaku di dalam Lapas. Adapun
pengaruhnya dari komunikasi persuasif yaitu warga binaan tertekan secara
piskologis, dan perubahan perilaku yang terjadi karena sedikitnya pilihan.
vii
DAFTAR SINGKATAN
1. LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan
2. CB : Cuti Bersyarat
3. CMB : Cuti Menjelang Bebas
4. CMK : Cuti Mengunjungi Keluarga
5. PB : Pembebasan Bersyarat
6. HAM : Hak Asasi Manusia
7. TPP : Tim Pengamat Pemasyarakatan
8. WBP : Warga Binaan Pemasyarakatan
9. UPT : Unit Pelayanan Teknis
10. Tamping : Tahanan Pendamping
11. Depnakerj : Departemen Tenaga Kerja
12. Depkes : Departemen Kesehatan
13. Depdiknas : Departemen Pendidikan Nasional
14. Depkumham : Dapertemen Hukum dan HAM
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat beriring salam tak henti-
hentinya tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, seluruh keluarga,
sahabat dan penerus beliau yang menjadi suri tauladan bagi penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir untuk memenuhi salah satu
syarat kelulusan dalam meraih gelar Sarjana pada Program Strata Satu (S-1) Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teuku Umar,
Judul Penelitian yang penulis lakukan adalah : “Analisis Komunikasi Persuasif
Antara Petugas Pemasyarakatan dengan Warga Binaan di LAPAS Kelas IIB
Meulaboh”. Alasan pemilihan judul penelitian ini karena punilis melihat betapa
sulitnya membina narapidana yang sementara tersesat hidupnya dan sangat
meresahkan masyarakat, namun disisi lain petugas pemasyarakatan dituntut oleh
negara dan masyarakat untuk dapat memulihkan mereka agar ketika bebas
menjadi manusia yang lebih baik dari sebelum mereka masuk ke dalam Lapas.
Dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini tentunya penulis menyadari
bahwa masih jauh dari kesempurnaan, namun harapan penulis setidaknya skripsi
ini bisa bermanfaat, oleh karena itu kritik dan saran penulis terima dengan tangan
dan hati terbuka.
Terwujutnya skripsi ini berkat dukungan berbagi pihak, maka dalam
kesempatan ini bagi semua yang telah banyak membantu, penulis mengucapkan
terima kasih tak terhingga, terutama kepada orang tua tercinta yaitu Ayahanda
Mustafa dan Ibunda Nurjanah yang tak henti-hentinya telah memberikan do’a,
dan segalanya kepada penulis dalam menempuh pendidikan selama ini, dan tak
ada kata yang bisa mewakili rasa terima kasih dan sayang ananda serta kepada
Kakak tersayang Rosmanidar, Amran, S.pd, dan adinda Rafizahtul Al
Mukaromah, serta keponakan tercinta Rusyida, Anisa, Putri. Semoga Allah SWT
melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya bagi kita semua.
ix
Namun pada kesempatan ini pula penulis juga mengucapkan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang mendukung,
membantu, dan memberikan sumbangasihnya kepada penulis baik moril maupun
materil selama pembuatan skripsi ini, maka dari itu penulis tujukan kepada yang
terhormat:
1. Bapak Drs. Alfian Ibrahim, M.Si selaku Rektor Universitas Teuku Umar
2. Bapak Sudarman Alwy, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, dan juga selaku pembimbing I yang telah mengorbankan waktu,
tenaga, pikirannya dalam membimbing penulis dengan memberikan kritik dan
saran guna penyelesaian skripsi/tugas akhir ini.
3. Bapak Junaidi, S.Sos.I selaku Ketua Jurusan Prodi Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
4. Ibu Devi Ariani, S.Sos selaku dosen pembimbing II yang juga telah
mengorbankan waktu, tenaga, pikirannya untuk membimbing serta
memberikan saran dan kritikan dalam menyelesaikan skripsi/tugas akhir ini.
5. Bapak Said Fadhlain, S.IP selaku Penasehat Akademik penulis di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
6. Bapak Sulistiyono, Bc.IP selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB
Meulaboh, dan Bapak Drs, M Sulton Ma’arif, Bapak Drs, Abdul Wahid,
Bapak Yusuf, Bapak Irhamuddin, Amd.IP, MH, Bapak Khairuddin, S.Ag, Ibu
Hasni, SH, dan seluruh pegawai Lapas serta warga binaan yang telah
membantu memberikan data dalam penelitian ini.
7. Bapak/ibu… selaku dewan penguji yang sudah banyak membantu
memberikan kritik dan saran terhadap perbaikan skripsi penulis.
8. Saudara-saudara Hendri Tri Putra S.I.Kom, Eka Nawi, S.Sos, Yusmadi Jalil,
Surya Sutrisna, S.Sos, serta Bapak Saiful Asra, M.Soc.Sc yang telah banyak
membantu dan memberikan masukannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Rekan-rekan seperjuangan : Zulfikar, S.Sos, Sabki MH, S.Sos, Hendri Riandi,
Mursalim, Firza Mulia, S.Sos, Marthunis, Firdaus, Popon, Zainal Arifin, dan
rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi lainnya, serta seluruh
rekan-rekan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
x
10. Adek-adek Andri, Riki Karma, dan semua yang sedang menuntut ilmu di
Banda Aceh.
11. Dan kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang
patut mendapatkan ucapan terima kasih.
Demikianlah kata pengantar ini penulis paparkan, hanya dengan do’a
balasan yang bisa penulis berikan atas mereka yang telah memberikan
kontribusinya kepada penulis, karena penulis hanyalah insan yang penuh dengan
keterbatasan, semonga Allah SWT membalas bantuan dari semua pihak sebagai
amal dan ibadahnya, amin ya rabbal ‘alamin.
Alue Peunyareng 22 April 2013
Penulis
HAMDANI
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN ........................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... iii
HALAMAN RIWAYAT HIDUP ...................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN ORISINILITAS SKRIPSI ................................. v
ABSTRAK .......................................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 4
1.4.1. Manfaat Teoritis ............................................................. 5
1.4.2. Manfaat Praktis .............................................................. 5
1.5. Sistematika Pembahasan ........................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 7
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu ........................................................ 7
2.2. Tinjauan Komunikasi ................................................................ 9
2.1.1. Pengertian Komunikasi .................................................... 9
2.1.2. Fungsi Komunikasi .......................................................... 10
2.1.3. Tujuan Komunikasi .......................................................... 11
2.1.4. Media Komunikasi ........................................................... 12
2.1.5. Faktor-faktor Penghambat Komunikasi ........................... 13
2.1.6. Model Analisis Komunikasi ............................................. 13
2.1.7. Pola Komunikasi .............................................................. 16
2.3. Tinjauan Komunikasi Persuasif ................................................ 18
2.3.1 Pengertian Komunikasi Persuasif .................................... 18
xii
2.3.2 Komunikator (persuader)................................................. 20
2.3.3 Pesan (masage)................................................................. 24
2.3.4 Komunikan (persuade)..................................................... 25
2.3.5 Tujuan Komunikasi Persuasif .......................................... 27
2.3.6 Teknik-Teknik Persuasif .................................................. 30
2.3.7 Prinsip-Prinsip Persuasif .................................................. 32
2.4. Tinjauan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) ......................... 33
2.5. Tinjauan Petugas Pemasyarakatan ............................................ 36
2.6. Tinjauan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) ..................... 39
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 41
3.1. Metode Penelitian...................................................................... 41
3.1.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................... 42
3.1.2 Subjek Penelitian .............................................................. 43
3.2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ........................... 44
3.2.1 Sumber Data ..................................................................... 44
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................... 45
3.3. Instrumen Penelitian.................................................................. 46
3.4. Teknik Analisi Data .................................................................. 48
3.5. Pengujian Kredibilitas Data ...................................................... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 51
4.1. Hasil Penelitian ......................................................................... 51
4.1.1 Gambaran Umum Lapas Kelas IIB Meulaboh .......................... 51
4.1.1.1 Visi dan Misi Lembaga Pemasyarakatan ........................ 51
4.1.1.2 Struktur Organisasi ......................................................... 51
4.1.1.3 Tugas Pokok dan Fungsi................................................. 54
4.1.1.4 Tata Kerja Petugas Pemasyarakatan ............................... 57
4.1.1.5 Jumlah Pegawai Pemasyarakatan ................................... 58
4.1.1.6 Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan .......................... 60
4.1.1.7 Sarana dan Prasarana Lembaga Pemasyarakatan ........... 62
4.1.2 Proses Pembinaan Pemasyarakatan Lapas Kelas IIB
Meulaboh .................................................................................. 65
xiii
4.1.2.1 Tahapan Pembinaan ........................................................ 65
4.1.2.2 Tujuan Pembinaan Pemasyarakatan ............................... 68
4.1.2.3 Pendekatan Pembinaan Pemasyarakatan ........................ 69
4.1.3 Pola Komunikasi Persuasif Antara Petugas Pemasyarakatan
dengan warga binaa Lapas kelas IIB Meulaboh ....................... 70
4.1.3.1 Komunikator (persuader) ................................................ 70
4.1.3.2 Pesan (message) .............................................................. 77
4.1.3.3 Komunikan (persuade) ................................................... 81
4.1.4 Pengaruh Komunikasi Persuasif di Lapas terhadap Warga
Binaan ....................................................................................... 83
4.2. Pembahasan ................................................................................ 86
4.2.1 Pola Komunikasi Persuasif Antara Petugas Pemasyarakatan
dengan warga binaa Lapas kelas IIB Meulaboh ......................... 86
4.2.1.1 Komunikator (persuader) .............................................. 86
4.2.1.2 Pesan Persuasif (persuasi yang dilakukan) ................... 95
4.2.1.3 Komunikan (warga binaan pemasyarakatan) ................ 98
4.2.2 Pengaruh Komunikasi Persuasif di Lapas terhadap Warga
Binaan ......................................................................................... 99
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 103
5.1. Kesimpulan ................................................................................ 103
5.2. Saran .......................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
LAMPIRAN .......................................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL
TABEL 3.1 Jadwal Penelitian .............................................................................. 43
TABEL 4.1 Daftar Pegawai Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh .................... 59
TABEL 4.2 Berdasarkan Status Hukum ............................................................. 61
xv
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2.1 Model Komunikasi Klasik ........................................................... 14
GAMBAR 2.1 Model Komunikasi Antarpribadi ................................................. 15
GAMBAR 2.4 Teori S-O-R ................................................................................. 30
GAMBAR 4.1 Struktur Organisasi Lapas Meulaboh .......................................... 53
GAMBAR 4.2 Proses Pemasyarakatan ................................................................ 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, Lembaga Pemasyarakatan
sangat penting keberadaannya sama halnya seperti, Kepolisian, Kejaksaan, dan
Kehakiman. Namun banyak masyarakat tidak menyadari penting Lembaga
Pemasyarakatan sebagai salah satu komponen penyelenggara penegakan hukum
pidana di Indonesia. Menurut Anwar dan Adang, (2009:28) “Penyelenggaraan
peradilan adalah merupakan suatu sistem, yaitu suatu keseluruhan terangkai yang
terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional”. Sebagai
bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana, Lembaga
Pemasyarakatan punya peran dalam rangka pembinaan, bimbingan, rehabilitasi,
dan reintegrasi sosial bagi warga binaan, agar setelah bebas nanti dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sebagai bagian dari masyarakat yang
bebas dan bertanggung jawab.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan
batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Akan tetapi pada kenyataannya belum sepenuhnya berjalan, karena masih banyak
2
permasalah yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan, seperti warga binaan yang
melarikan diri, tindakan kekerasan, peredaran narkoba dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan tidak
hanya diukur dari sekedar selesai sebuah kegiatan program pembinaan, tetapi
sangat tergantung bagaimana komunikasi petugas pemasyarakatan dalam setiap
pembinaan yang dilakukannya, karena komunikasi bukan hanya sekedar tukar
menukar pikiran saja akan tetapi komunikasi merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan untuk berusaha mengubah sikap, pendapat dan tingkah-laku orang lain,
maka dapat dikatakan keberhasilan petugas pemasyarakatan juga tergantung pada
keberhasilan komunikasi yang digunakan. Menurut Carl I. Hovland (dalam Arifin,
2006:26), “bahwa komunikasi adalah proses dimana seseorang (komunikator)
memindahkan perangsang (biasanya berupa lambang-lambang dalam bentuk kata-
kata) untuk mengubah tingkah-laku orang lain”.
Maka, petugas pemasyarakatan harus menguasai dan memperhatikan
komunikasi yang digunakan dalam pembinaan, sehingga komunikasi yang
digunakan dalam upaya mencapai tujuan pemasyarakatan dapat berhasil. Menurut
Effendy, (1990:3) ”yang harus dipelajari dalam ilmu komunikasi adalah
bagaimana cara berkomunikasi agar menimbulkan hasil yang positif, bagaimana
cara berkomunikasi agar orang yang tadinya tidak melakukan sesuatu menjadi
melakukan sesuatu, yang tadinya melakukan hal yang salah menjadi melakukan
sesuatu yang benar”.
Namun, dalam upaya membina warga binaan Pemasyarakatan tidak
mudah, pemilihan teknik komunikasi menjadi sangat penting, yaitu untuk
membentuk sikap dan perilaku warga binaan yang baik dan bertanggung jawab,
3
yang merupakan tujuan pemasyarakatan. Menurut Widjaja, (2008:70) “tujuan
suatu pilihan dalam teknik komunikasi adalah dalam rangka memperoleh efek
yang sebesar-besarnya, sifatnya tahan lama bahkan kalau mungkin bersifat abadi”.
Oleh karena itu, dalam kegiatan pembinaan yang dilakukan diperlukan
adanya teknik komunikasi salah satunya teknik persuasif, yaitu untuk
mempengaruhi sikap individu atau kelompok warga binaan, karena menurut
Effendy, (2000:55) “teknik persuasif merupakan proses komunikasi yang
bertujuan untuk mempengaruhi sikap, opini, pendapat, dan perilaku”. Maka dari
itu, teknik persuasif dapat membawa pengaruh positif bagi warga binaan, karena
kemampuan persuasif yang sifatnya membujuk, merayu dan mempengaruhi
diharapkan dapat merubah sikap, pendapat/opini, dan perilaku dengan kesadaran
sendiri. Menurut Widjaja, (2008:68) dengan komunikasi pesuasif inilah orang
akan melakukan apa yang dikehendaki komunikatornya, seolah-olah komunikan
yang melakukan atas kehendaknya sendiri. Dengan demikian pengaruh dari
komunikasi persuasif terhadap warga binaan seolah-olah perubahan tersebut
bukan atas kehendak petugas pemasyaraktan akan tetapi justru atas kehendak
warga binaan itu sendiri.
Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas, apabila komunikasi
petugas pemasyarakatan dengan mengunakan teknik persuasif dalam pembinaan
kepribadian dan kemandirian berjalan dengan efektif, maka hasilnya dapat
membangkitkan keinginan mereka untuk berubah, mengembangkan potensi diri,
intelektual, sadar hukum, setia kepada bangsa dan Negara. Maka dari itu
diharapkan pembinaan yang sedang dan telah dilakukan di Lapas kelas IIB
Meulaboh dapat menjadi bekal kelak setelah warga binaan bebas, dan dapat
4
menjalani hidup dengan benar dan patuh kepada norma-norma, aturan hukum
yang berlaku, dan berperan aktif kembali di tengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
ingin mengangkat judul skripsi ini tentang “analisis komunikasi persuasif
antara petugas pemasyarakatan dengan warga binaan di lapas kelas IIB
Meulaboh”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pola komunikasi persuasif yang digunakan oleh petugas
pemasyarakatan kepada warga binaan di Lapas kelas IIB Meulaboh?
2. Apa pengaruh komunikasi persuasif di Lapas kelas IIB Meulaboh terhadap
warga binaan?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui komunikasi persuasif yang digunakan dalam proses
pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh komunikasi persuasif yang digunakan
terhadap narapidana.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan ini muncul dua manfaat penelitian yaitu:
manfaat teoritis dan manfaat praktis, sehingga memungkinkan penelitian ini
menjadi suatu acuan dan pemecahan masalah dari penelitian.
5
1.4.1 Manfaat Teoritis
Kegunaan teoritis dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan yang
dapat menambah kekayaan khasanah Ilmu Komunikasi, khususnya komunikasi
persuasif. Dalam hal ini bagaimana komunikasi persuasif dalam pembinaan yang
dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh kepada warga
binaan.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Dengan melakukan penelitian ini diharapkan penulis dapat memperoleh
pengalaman yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah
penulis dapatkan selama masa perkuliahan dan diharapkan berguna untuk
meningkatkan wawasan dan ilmu pengetahuan, dan juga sebagai salah satu
syarat bagi penulis untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) pada program
studi Ilmu Komunikasi Universitas Teuku Umar.
b. Kegunaan bagi Universitas Teuku Umar penelitian ini diharapkan menjadi
bahan literature maupun referensi bagi mahasiswa Fisip dan mahasiswa
program studi ilmu komunikasi, yang melakukan penelitian pada kajian yang
serupa yang berkaitan dengan komunikasi persuasif.
c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi bagi
Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh, dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi persuasif, pada bagian pembinaan dalam
menjalankan peran dan fungsi.
6
1.5 Sistematika Penulisan
Adanya sistematika penulisan adalah untuk mempermudah dan dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai skripsi ini, pembahasan dilakukan
secara komprehensif dan sistematik meliputi:
a. Bab Pertama, Pendahuluan :
Pada bab ini dijelaskan tentang alasan pemilihan judul, yang meliputi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika pembahasan.
b. Bab Kedua, Tinjauan Pustaka :
Bab ini berisikan beberapa hasil penelitian terdahulu, tinjauan tentang
komunikasi, tinjauan tentang komunikasi persuasif, tinjauan tentang Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS), tinjauan tentang petugas pemasyarakatan, dan
tinjauan tentang warga binaan pemasyarakatan (WBP).
c. Bab Ketiga, Metode Penelitian :
Bab ini berisikan metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian
ini. Menjelaskan mengenai sumber data dan teknik pengumpulan data,
instrumen penelitian, teknik analisa data, dan pengujian kredibilitas data.
d. Bab Keempat, Hasil dan Pembahasan :
Berisikan hasil penelitian yang peneliti lakukan pada Lembaga
Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh, dan uraian dalam pembahasan hasil
penelitian.
e. Bab Kelima, Simpulan dan Saran : Berisikan kesimpulan-kesimpulan yang
didapat dari hasil penelitian dan saran-saran, sebagai masukan bagi Lembaga
Pemasyarakatan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
Hasni (2007:48) dengan judul penelitian “pelaksanaan pembinaan
narapidana pada lembaga pemasyarakatan kelas II B Meulaboh, dengan rumusan
masalah bagaimana pelaksanaan narapidana di Lapas kelas IIB Meulaboh, faktor-
faktor yang menyebabkan pembinaan narapidana di lapas kelas IIB Meulaboh
belum berjalan sebagai mana mestinya, hambatan yang dihadapi petugas, dan
upaya penanggulangannya, penelitian yang dilakukan mengunakan metode
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan narapidana telah
dilaksanakan tetapi belum optimal terutama dibidang pendidikan, faktor penyebab
pembinaan narapidana Lapas Kelas IIB Meulaboh belum berjalan sebagaimana
mestinya karena faktor ketrampilan petugas, faktor fisik, faktor pendidikan, faktor
petugas, faktor kesehatan. Dengan hambatan-hambatan yang dihadapi adalah dana
yang tidak memadai, faktor personil, faktor narapidana, faktor masyarakat yaitu
sebagian besar masyarakat tetap beranggapan walaupun narapidana telah
diberikan pembinaan baik rohani maupun jasmani tetap saja orang jahat. Terbukti
dengan adanya cap atau lebel sekali penjahat tetap penjahat, sedangkan upaya
penanggulangan yang dilakukan agar pelaksanaan pembinaan mencapai hasil
yang diharapkan dan segala hambatan dapat diatasi adalah dengan mengadakan
kerja sama dengan intansi lain seperti kerja sama dengan Depkes, Depdiknas,
Depnakerj, serta kerja sama dengan masyarakat dibawah pengawasan
Depkumham.
8
Adapun persamaan antara penelitian Hasni dengan penelitian ini adalah
pada metode yang digunakan dan objek penelitian yaitu petugas pemasyarakatan
pada bagian pembinaan. Sedangkan yang menjadi perbedaan, yaitu Hasni ingin
mengetahui pelaksanaan pembinaan, dan faktor yang menyebabkan pembinaan
belum berjalan sebagai mana mestinya, sedangkan penelitian ini dilakukan
peneliti dengan lebih menitik beratkan kepada komunikasi persuasif yang
digunakan petugas Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh.
Siti Arofah (2009:92) dengan judul penelitian “pengaruh komunikasi
persuasi kinerja karyawan asuransi jiwa bersama (AJB) bumiputera 1912 cabang
pasuruan kota” yang menjadi rumusan masalah adalah pengaruh teknik Integrasi,
Pay off Idea, Iching Device secara parsial, simultan, dan yang paling dominan
terhadap kinerja karyawan asuransi jiwa bersama (AJB) bumiputera 1912 cabang
pasuruan kota. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik komunikasi persuasif
yang terdiri dari Integrasi, Pay-of Idea, Iching Device secara bersama-sama
(simultan) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel kinerja
karyawan. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dengan analisis regresi
parsial menunjukkan bahwa teknik integrasi dan teknik pay-of Idea tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel kinerja. Sedangkan teknik
iching device mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja.
Devie Puspitasari Suganda, (2010: 161) dengan judul “hubungan antara
teknik komunikasi persuasif atasan dengan sikap patuh anggota dalam bekerja”
yang menjadi rumusan masalah adalah apakah terdapat hubungan antara teknik
komunikasi persuasif atasan dengan sikap patuh anggota dalam bekerja. Penelitian
mengunakan teknik survei dengan metode korelasional yang menunjukkan untuk
9
mencari hubungan antara dua variabel atau lebih dengan mengunakan koefisien
korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara teknik persuasif atasan dengan sikap patuh anggota dalam bekerja.
Hubungan yang terjalin adalah hubungan yang kuat, dimana peningkatan teknik
komunikasi persuasif atasan akan seiring dengan sikap patuh anggota dalam
bekerja.
Yang menjadi persamaan antara penelitian Siti Arofah dan Devie
Puspitasari Suganda dengan penelitian ini yaitu sama-sama ingin melihat
pengaruh komunikasi persuasif yang digunakan. Sedangkan perbedaan penelitian
mereka dengan penelitian ini terletak pada metode penelitian, objek dan variabel
penelitian.
2.2 Tinjauan komunikasi
2.2.1 Pengertian komunikasi
Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia yang setiap saat
selalu berhubungan/berinteraksi dengan manusia, kelompok yang lain, secara
disadari atau tidak komunikasi ada dalam kehidupannya sehari-hari. Komunikasi
merupakan syarat manusia sebagai mahkluk sosial dalam menyatakan eksistensi
dirinya. Dan komunikasi sudah menjadi kebutuhan yang mutlak ada bagi manusia
dan merupakan milik siapa saja, mengikuti perkembangan peradaban manusia.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication, berasal dari
kata latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama,
sama disini adalah sama makna (Effendy, 2009:9). Kesamaan makna yang
dimaksud adalah mengenai sesuatu yang dikomunikasikan.
10
Pengertian komunikasi sangat beragam dan berbagai macam pengertian
yang dibuat oleh ahli sesuai latar belakang orang yang mendefinisikannya, berikut
ini beberapa pengertian komunikasi menurut para ahli (dalam Cangara 2005:19),
yaitu :
a. Harold D. Lasswell ialah dengan menjawab pertanyaan “siapa yang
menyampaikan, apa yang disampaikan, saluran apa, kepada siapa dengan
pengaruh bagaimana.
b. Everett M. Rogers, komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari
sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk merubah
tingkah laku mereka.
c. Shannon dan Weaver, komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang
saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja.
Tidak terbatas pada komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi wajah,
lukisan, seni dan teknologi.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi
adalah merupakan proses dimana suatu pesan dialirkan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media verbal maupun non verbal, dalam usaha saling
pengaruh mempengaruhi dengan tujuan merubah tingkah laku, dengan melibatkan
unsur-unsur komunikasi didalamnya.
2.2.2 Fungsi Komunikasi
Apabila dilihat dari pengertiannya komunikasi tidak sekedar sebagai
tukar menukar informasi dan pesan saja, tetapi merupakan sebuah kegiatan
seseorang ataupun sekelompok orang mengenai tukar menukar data, fakta, dan
11
ide. Menurut Effendy, (2009:8) fungsi komunikasi secara garis besar dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a. Menyampaikan informasi (to infrom)
Ditujukan agar komunikan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
dengan menyampaikan informasi-informasi kepada khalayak atau publik.
b. Mendidik (to educate)
Dilakukan untuk mendorong pembentukan watak dan pendidikan
keterampilan serta kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan
dengan cara memberikan pendidikan dan pengetahuan yang bermanfaat baik
secara formal maupun non formal.
c. Menghibur (to intertaint)
Yaitu fungsi yang dilakukan oleh komunikator untuk memberikan hiburan
kepada khalayak atau publik atau komunikan.
d. Mempengaruhi (to influence)
Yaitu membujuk, mempengaruhi atau membentuk suatu opini seseorang
maupun publik, meyakinkan tentang informasi-informasi yang diberikannya
sehingga benar-benar mengetahui situasi yang terjadi di lingkungannnya.
2.2.3 Tujuan Komunikasi
Pada umumnya komunikasi dapat mempunyai beberapa tujuan, menurut
Effendy, (2009:8) tujuan komunikasi terbagi menjadi empat yaitu:
a. Mengubah sikap (to change the attitude) memberikan informasi pada
komunikan dengan tujuan agar komunikan akan berubah sikapnya.
b. Mengubah pendapat/opini/pandangan (to change the opinion) memberikan
berbagai informasi pada komunikan dengan tujuan agar komunikan merubah-
12
pendapat dan persepsinya terhadap informasi yang disampaikan.
c. Mengubah prilaku (to change the behaviour) memberikan berbagai informasi
pada komunikan dengan tujuan agar komunikan berubah perilakunya.
d. Mengubah masyarakat (to change the society) memberikan berbagai informasi
pada komunikan/khalayak dengan tujuan agar khalayak mau mendukung dan
ikut serta terhadap tujuan informasi yang disampaikan.
2.2.4 Media Komunikasi
Dalam komunikasi juga dikenal dengan beberapa media yaitu:
a. Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan simbol-simbol atau
kata-kata yang dinyatakan secara oral atau lisan maupun secara tertulis.
Komunikasi verbal merupakan karakteristik khusus manusia, tidak ada
makhluk lain yang dapat menyampaikan macam-macam arti melalui kata-kata.
Kata-kata dapat juga dimanipulasi untuk menyampaikan secara eksplisit
sejumlah arti. Kata-kata yang disebut juga dengan bahasa dapat didefinisikan
(Mulyana, 2001:237).
b. Non Verbal
Komunikasi non-verbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak
menggunakan kata-kata, komunikasi ini menggunakan gerakan tubuh, sikap
tubuh, intonasi nada (tinggi rendahnya nada), kontak mata, ekspresi muka,
kedekatan jarak dan sentuhan-sentuhan. Komunikasi non verbal ini paling
banyak pengaruhnya dalam proses komunikasi persuasif, karena dalam
prosesnya komunikan lebih banyak dan lebih mempercayai tanda-tanda
(Mulyana, 2001:239).
13
2.2.5 Faktor-Faktor Penghambat Komunikasi
Dalam kegiatan komunikasi ada faktor-faktor yang menghambat
komunikasi tidak berjalan efektif, walaupun komunikasi yang dilakukan
sebenarnya berhasil dan efektif. Berikut hambatan-hambatan komunikasi menurut
Effendy, (2003:45) yaitu :
a. Gangguan komunikasi menurut sifatnya dapat diklarifiksi sebagai berikut :
1. Gangguan mekanik (mechanical, chanel noise) yang dimaksud dengan
ganguan mekanik ialah ganguan yang disebabkan saluaran komunikasi
atau kegaduhan yang bersifat fisik.
2. Semantik (semantic noise) adalah pengetahuan mengenai kata-kata yang
sebenarnya atau perubahan pengertian kata-kata.
b. Kepentinagan atau interest akan membuat seseorang selektif dalam
menanggapi atau menghayati suatu pesan. Orang hanya memperhatikan
perangsang yang ada hubungannya degan kepentingannya.
c. Motivasi terpendam akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang sesuai
benar dengan keinginannya, kebutuhan dan kekurangannya.
d. Prasangka (prejudice) merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat
bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang yang mempunyai prasangka
belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang
hendak melancarkan komunikasi.
2.2.6 Model Analisis Komunikasi
Model analisis komunikasi merupakan suatu bentuk paradigma berfikir
dari proses komunikasi, untuk menunjukkan serta menggambarkan sebuah
kerangka kerja dalam menganalisis fenomena komunikasi yang terjadi.
14
Aristoteles, ahli filsafat yunani kuno dalam bukunya RhetoricaI
menyebutkan bahwa suatu proses komunikasi memerlukan tiga unsur yang
mendukungnya, yakni siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dan siapa yang
mendengarkan (Cangara 2005:21). Sebagai model klasik atau model pemula yang
dikembangkan sejak Aristoteles. Aristoteles membuat model komunikasi atas tiga
unsur yakni seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 2.1
Model Komunikasi Klasik
(Sumber: Canggara, 2005:39).
Komunikasi bertujuan untuk menciptakan perubahan pada diri komunikan,
baik perubahan opini, sikap maupun perilaku, untuk mencapai tujuannya ada
beberapa teknik komunikasi yang digunakan. Teknik komunikasi menurut
Effendy, (2003:55), diklasifikasikan kedalam enam teknik, di antaranya
komunikasi informasif (informative communication), komunikasi persuasif
(persuasive communication), komunikasi pervasif (pervasive communication),
komunikasi koersif (coersive communication), komunikasi intruktif (instructive
communication), dan hubungan manusiawi (human relations). Dari beberapa
teknik yang dikemukakan tersebut peneliti hanya menganalisa komunikasi
persuasif yang digunakan petugas pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh.
Karena peneliti melihat pada umumnya dalam kegiatan pembinaan di
Lapas kelas IIB Meulaboh, komunikasi petugas pemasyarakatan dengan warga
binaan mengunakan komunikasi antarpribadi atau yang lebih dikenal dengan
Siapa Mengatakan Apa
Kepada Siapa
Sumber Pesan Penerima
15
komunikasi tatap muka, maka dari itu komunikasi persuasif petugas
pemasyarakatan kepada warga binaan dalam komunikasi antarpribadi. Menurut
Mulyana, (2008:81) Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication)
adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan
setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal
maupun nonverbal.
Devito dalam bukunya “The Interpersonal Communication Book”
menyebutkan komunikasi antarpribadi sebagai: proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-
orang dengan beberapa efek dan umpan balik seketika (dalam Effendy, 2003:60).
Karena itulah komunikasi antarpribadi dinilai sebagai komunikasi yang efektif
dalam mencapai tujuan komunikasi, proses komunikasi antarpribadi dapat dilihat
pada gambar berikut ini:
Gambar 2.2
Komunikasi Antarpribadi
(Sumber: Devito, 2007:10).
16
Alasan kenapa komunikasi antarpribadi dianggap paling efektif dalam
mencapai tujuan komunikasi, menurut Effendy, (2003:61) “kumunikasi
antarpribadi umumnya berlangsung tatap muka (face to face), oleh karena itu anda
dengan komunikan anda saling bertatap muka, maka terjadilah kontak pribadi
(personal contact) pribadi anda menyentuh komunikan anda. Ketika anda
menyampaikan pesan anda, umpan balik berlangsung seketika (immediate
feedback) anda mengetahui pada saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan
yang anda lontarkan, ekspresi wajah anda, dan gaya bicara anda. Apabila umpan
baliknya positif, artinya tanggapan komunikan anda itu menyenangkan anda,
sebaliknya jika tanggapan komunikan anda negatif anda harus mengubah gaya
komunikasi anda sampai komunikasi anda berhasil”.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa komunikasi antarpribadi
terdapat keterlibatan aktif komunikator dalam kegiatan mempengaruhi
komunikan, sehingga komunikasi yang dilakukan efektif.
2.2.7 Pola Komunikasi
Berdasarkan pengertian pola dalam kamus besar bahasa Indonesia online
(http://kbbi.web.id/), peneliti memahami bahwa pola sama artinya dengan contoh,
bentuk, atau model, corak, sistem/cara kerja yang biasanya dipakai untuk
membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu
(potongan,komponen, pattern). Sedangkan pola komunikasi adalah suatu
gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan
antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto, 2001:27).
Komponen yang dimaksud antaralain adalah komunikator, pesan, media,
komunikan, dan efek.
17
Pola komunikasi menurut Syaiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa pola
komunikasi dapat dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih
dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan
yang dimaksud dapat dipahami.(Djamarah, 2004:1). Dalam penelitian ini pola
komunikasi merupakan gambaran dari cara petugas pemasyarakatan membangun
komunikasi dengan warga binaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, menurut
Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidana/tahanan, yaitu: “untuk mempertahankan citra yang ideal
yang dimiliki para petugas pemasyarakatan, maka pendekatan petugas
pemasyarakatan dengan warga binaan adalah bagaikan seorang dokter dengan
pasiennya, seorang guru dengan muridnya dan seorang orang tua dengan
anaknya”.
Oleh sebab itu, dalam menganalisa pola komunikasi persuasif petugas
pemasyarakatan dengan warga binaan peneliti mengkaitkan dengan teori pola
komunikasi orang tua terhadap anaknya. Menurut Hurlock (1996:60) mengatakan
bahwa perilaku orang tua terhadap anak sesuai dengan tipe pola asuh yang
dianutnya diantaranya adalah:
1. Pola Asuh Otoriter
Perilaku orang tua dalam kehidupan keluarga adalah:
a. Orang tua menentukan segala peraturan yang berlaku dalam keluarganya.
b. Anak harus menuruti atau mematuhi peraturan-peraturan yang telah
ditentukan orang tua tanpa kecuali.
c. Anak tidak diberi tahu alasan mengapa peraturan tersebut ditentukan.
18
d. Anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya
mengenai peraturan-peraturan yang telah ditetapkan orang tua.
e. Kemauan orangtua dianggap sebagai tugas atau kewajiban bagi anak.
f. Bila tidak mengikuti peraturan yang berlaku, maka hukuman yang
diberikan berupa hukuman fisik.
2. Pola Asuh Permisif
Perilaku orang tua dalam kehidupan keluarga adalah:
a. Tidak pernah ada peraturan dari orang tua.
b. Anak tidak pernah dihukum.
c. Tidak ada ganjaran dan pujian karena perilaku dari si anak.
d. Anak bebas menentukan kemauannya/keinginannya.
3. Pola Asuh Demokratis
Perilaku orang tua dalam kehidupan keluarga adalah:
a. Orang tua sebagai penentu peraturan.
b. Anak berkesempatan untuk menanyakan alasan mengapa peraturan dibuat.
c. Anak boleh ikut andil dalam mengajukan keberatan atas peraturan yang
ada.
Dari pola asuh tersebut di atas, maka dapat dilihat seperti apa pola
komunikasi persuasif petugas pemasyarakatan terhadap warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Meulaboh.
2.3 Tinjauan Komunikasi Persuasif
2.3.1 Pengertian Komunikasi Persuasif
Pengertian komunikasi persuasif berasal dari istilah persuasion (Inggris).
Sedangkan persuasion dari bahasa latin: “persuasion”, kata kerjanya to persuade
19
yang dapat diartikan sebagai membujuk, merayu, meyakinkan dan sebagainya
(Widjaja, 2008:66).
Manusia sebagai mahluk sosial, yang tidak pernah terlepas dari kegiatan
komunikasi baik dalam berinteraksi, beradaptasi, dan mengontrol lingkungan,
maka pada umumnya situasi komunikasi sudah mencakup persuasi sebagai mana
yang dinyatakan oleh Erwin P. Betting House “bahwa suatu situasi komunikasi
harus mencakup upaya seseorang dengan sadar mengubah tingkah laku orang lain
atau sekelompok orang lain melalui penyampaian beberapa pesan” (Onong-
kepemimpinan dan komunikasi hal-107 dalam Widjaja 2008-66).
Sastroputro (1988:246) mendefinisikan persuasi merupakan salah satu
metode komunikasi sosial dalam penerapannya mengunakan teknik atau cara
tertentu sehingga orang dapat bersedia melakukan sesuatu dengan senang hati,
dengan suka rela dan tanpa dipaksa oleh siapa pun. Namun proses komunikasi
persuasif di Lapas tidak mudah, karena di dalam Lapas ada berbagai macam
pengaruh, seperti yang dikatakan Petrus dan Simorangkir (1995:39), “Lapas
adalah tempat berkumpulnya para penjahat tidak ada satu pun hal positif ataupun
yang baik dapat diharapkan, bagi masyarakat Lapas merupakan persinggahan
yang mengantar pada kehidupan akhir, seakan-akan Lapas dan penghuninya
adalah masyarakat yang mati”, begitulah gambaran Lapas secara realitas maupun
dalam pikiran masyarakat.
Oleh sebab itu, diperlukannya kontribusi dari petugas pemasyarakatan
sebagai komunikator (persuader) dalam mempersuasi warga binaan, maka dari itu
peneliti sependapat dengan yang dikutip Rakhmat, (2008:255) dalam bukunya
Psikologi Komunikasi, dimana menurut Aristoteles “persuasi tercapai karena
20
karakteristik personal pembicara, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya
kita menganggap dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada
orang-orang baik dari pada orang lain : ini berlaku umumnya pada masalah apa
saja dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat
terbagi. Tidak benar anggapan sementara penulis retorika bahwa kebaikan
personal diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuatan
persuasinya : sebaliknya, karakternya hampir bisa disebut sebagai alat persuasinya
yang paling efektif yang dimilikinya”.
Dari kutipan pendapat Aristoteles diatas menjelaskan bahwa karakteristik
komunikator punya pengaruh besar dalam komunikasi persuasif, baik itu dalam
mengelola maupun menyampaikan pesan pesannya.
2.3.2 Komunikator (persuader)
Penting karakteristik komunikator untuk mencapai tujuan komunikasi,
seperti dikatakan Aristoteles bahwa karakeristik komunikator hampir bisa disebut
alat persuasinya, oleh karena itu kondisi komunikator turut serta berpengaruh
dalam komunikasi persuasif, seorang komunikator tidak mungkin bisa merubah
atau menguat keyakinkan, sikap, pendapat/opini dan perilaku seseorang hanya
dengan kata-kata saja.
Adapun karakteristik komunikator dalam komunikasi persuasif menurut
Rakhmat, (2008:257), dalam bukunya Psikologi Komunikasi, yaitu salah satunya
kredibilitas (credibility), kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan
tentang sifat-sifat komunikator, meliputi : komponen kredibilitas ialah keahlian
dan kepercayaan. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang
komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Komunikator
21
yang nilai tinggi dianggap cerdas, mampu, ahli dan berpengalaman. Sedangkan
kepercayaan adalah kesan komunikan tentang komunikator yang berkaitan dengan
watak apakah komunikator dinilai jujur, tulus, bermoral, adil, etis atau bahkan
sebaliknya.
Persepsi komunikan kepada komunikator dapat berubah-ubah tergantung
pada situasi dan kondisi pada saat penyampaian pesan, perubahan khalayak, topik
dan waktu, oleh karena itu Koehler, Annatol, dan Applbaum (dalam Rakhmat,
2008:260) menambahkan empat komponen dalam kredibilitas yaitu:
a. Dinamisme, komunikator memiliki dinamisme bila dipandang sebagai
bergairah, bersemangat, aktif, tegas dan berani.
b. Sosialbilitas, kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang
periang dan senang bergaul.
c. Kooreientasi, merupakan kesan komunikan tentang komunikator sebagai
orang yang mewakili kelompok yang disenangi dan mewakili nilai-nilai.
d. Karisma, digunakan untuk menunjukkan suatu sifat yang luar biasa dimiliki
oleh komunikator yang menarik dan mengendalikan komunikan seperti
magnet menarik benda-benda sekitarnya.
Dari empat komponen yang ditambahkan Koehler, Annatol, dan
Applbaum menurut Rakhmat sebetulnya sosialbilitas dan kooreientasi harus
dimasukkan sebagai komponen atraksi.
Karakteristik komunikator lainnya adalah atraksi (Attractiveness) yang
juga tidak kalah pentingnya dibanding dengan kredibilitas (Credibility), dimana
daya tarik seseorang menjadi menarik bagi komunikan sehingga komunikator
mempunyai sumber daya persuasif.
22
Menurut Rakhmat, (2008:261) atraksi (Attractiveness) adalah daya tarik
fisik, ganjaran, kesamaan dan kemampuan. Atraksi fisik menyebabkan
komunikator menarik dan karena ia menarik sehingga mempunyai daya persuasif.
Daya tarik fisik ini dapat berupa paras wajah yang cantik atau tampan dan dalam
berpakaian, sedangkan yang dimaksud dengan kesamaan adalah kesamaan sikap
dan kepercayaan, orang-orang yang memiliki kesamaan dalam nilai-nilai, sikap,
tingkat sosioekonomi, agama, ideologi akan cendrung saling menyukai. Seseorang
akan mudah berempati dan merasakan perasaan orang lain yang dipandangnya
sama dengan dirinya, yang dapat berupa kepercayaan, sikap, maksud dan nilai-
nilai sehubungan dengan suatu persoalan.
Dan karakteristik komunikator yang terakhir adalah kekuasaan (power)
dengan kekuasaan seorang komunikator juga dapat mempersuasi komunikan,
karena kekuasaan-kekuasaan yang dimilikinya menimbulkan rasa ketunduk dan
hormat dari komunikan.
Menurut Rakhmat, (2008:264) kekuasaan juga termasuk dalam
karakteristik komunikator. Kekuasaan adalah kemampuan untuk menimbulkan
ketundukan. Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator dapat memaksakan
kehendaknya pada orang lain karena ia mempunyai sumber daya yang penting
(critical resourses).
Berbagai macam kekuasaan yang ada pada saat ini, terbentuknya tidak
terlepas dari hubugan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat, dan tidak
dapat dipungkiri juga bahwa kekuasaan pada saat ini sudah menjadi sumber daya
seseorang untuk melakukan persuasif terhadap orang lain.
23
Berdasarkan sumber daya yang dimiliki seorang komunikator, menurut
French dan dimodifikasi oleh Reven (dalam Rakhmat, 2008:66), kekuasaan dapat
dibedakan sebagai berikut :
1. Kekuasaan koersif (coercive power)
Kemampuan komunikator untuk mendatangkan ganjaran atau hukuman pada
komunikan. Ganjaran dan hukuman itu dapat bersifat personal misalnya benci
dan kasih sayang atau impersonal, misalnya pemecatan dan kenaikan pangkat.
2. Kekuasaan keahlian (expert power)
Kekuasaan ini berasal dari pengetahuan, pengalaman, ketrampilan dan
keahlian yang dimiliki oleh komunikator. Dosen memiliki kekuasaan keahlian,
sehingga dia dapat menyuruh mahasiswanya menafsirkan teori sesuai dengan
pendapatnya.
3. Kekuasaan Informasional (informasional power)
Kekuasaan ini berasal dari isi komunikasi tertentu atau pengetahuan baru yang
dimiliki komunikator. Ahli komputer memiliki kekuasaan informasional
ketika menyarankan kepada seorang pemimpin perusahaan untuk membeli
komputer jenis tertentu.
4. Kekuasaan rujukan (referent power)
Disini komunikan menjadikan komunikator sebagai kerangka rujukan untuk
menilai dirinya, komunikator dikatakan memiliki kekuasaan rujukan bila ia
berhasil menanamkan kekaguman pada komunikan, sehingga seluruh
perilkunya diteladani. Seorang nabi dengan perilakunya menakjubkan dapat
menyebabkan pengikut-pengikutnya meniru tingkah lakunya.
5. Kekuasaan legal (legitimete power)
24
Kekuasaan ini berasal dari seperangkat peraturan atau norma-norma yang
menyebabkan komunikator berwenang untuk melakukan suatu tindakan.
Seperti Rektor Universitas, kepala seksi kantor, komandan kompi dikalangan
tentara, atau kiai dipesantren memiliki kekuasaan legal.
Kekuasaan adalah pengaruh yang paling lemah apabila kredibilitas dan
atraksi belum berhasil diterapkan pada komunikan, sehingga selayaknya
kekuasaan digunakan setelah kredibilitas dan atraksi.
2.3.3 Pesan (messages)
Dalam komunikasi persuasif tidak hanya karakteristik komunikatornya
saja yang mempengaruhi keberhasilan persuasif tetapi juga pesan-pesannya,
menurut Kertapati (dalam Widjaja, 2008:69) mengatakan bahwa persuasi adalah
merupakan salah satu bentuk komunikasi, oleh karena itu dengan sendirinya
secara teoritis harus memiliki persyaratan tertentu, yaitu :
a. Pesan-pesan/ajakan-ajakan yang disampaikan kepada masyarakat atau pihak-
pihak tertentu harus dapat menstimulir sesuatu pada saran.
b. Bahwa pesan-pesan/ajakan-ajakan itu tentunya harus berisi lambang-lambang
atau tanda-tanda komunikasi yang sesuai dengan daya tangkap, daya serap
dan daya tafsir (decoding efficiency) dari sebagian besar masyarakat atau
golongan tertentu.
c. Bahwa pesan-pesan/ajakan-ajakan harus dapat membangkitkan keperluan atau
kepentingan (needs) tentu pada sasarannya dan kemudian menyarankan
usaha-usaha atau untuk pemenuhan harapan itu.
25
d. Bahwa pesan-pesan/ajakan-ajakan yang menyarankan usaha dan upaya
hendaknya disesuaikan (di- adjust) dengan situasi dan norma-norma
kelompok dimana sasaran itu berada.
e. Bahwa pesan-pesan/ajakan-ajakan harus dapat membangkitkan harapan-
harapan tertentu dan sebagainya.
Pesan persuasif yang disampaikan adalah tentang apa yang dikehendaki
komunikator terhadap komunikan, oleh karena itu pesan menjadi penting dalam
komunikasi persuasif. Menurut Cangara, (2005: 113) ada beberapa cara yang
dapat digunakan dalam penyusunan pesan yang memakai teknik persuasif
diantaranya :
a. Fear appeal ialah metode penyusunan atau penyampaian pesan dengan
menimbulkan rasa ketakutan pada khalayak.
b. Emotional appeal ialah cara penyusunan atau penyampaian pesan dengan cara
mengubah emosional khalayak.
c. Reward appeal ialah cara penyusunan atau penyampaian pesan dengan
menawarkan janji-janji kepada khalayak.
d. Motivational appeal ialah teknik penyusunan pesan yang dibuat bukan karena
janji-janji, tetapi disusun untuk menumbuhkan internal psikologis khalayak
sehingga mereka dapat mengikuti pesan-pesan itu.
e. Humorious appeal ialah teknik penyusunan pesan yang disertai humor,
sehingga dalam penerimaan pesan khalayak tidak merasa jenuh.
2.3.4 Komunikan (persuade)
Warga binaan sebagai komunikan dalam penelitian ini, yang menerima
langsung pesan-pesan persuasi yang disampaikan oleh petugas pemasyarakatan
26
(persuader). dari pada itu Cultip dan Center dalam bukunya “Effectif Public
Relations” (dalam Effendy, 2003:43) mengemukakan fakta fundamental yang
perlu diingat oleh komunikator :
a. Bahwa komunikan terdiri dari orang-orang yang hidup, bekerja, dan bermain
satu sama lainnya dalam lembaga sosial. Karena itu setiap orang adalah subjek
bagi berbagai pengaruh, diantaranya adalah pengaruh dari komunikator.
b. Bahwa komunikan membaca, mendengarkan, dan menonton komunikasi yang
menyajikan pandangan hubungan pribadi yang mendalam.
c. Bahwa tanggapan yang dinginkan komunikator dari komunikan harus
menguntungkan bagi komunikan : kalau tidak ia tidak akan memberikan
tanggapan.
Komunikan sebagai penerima pesan persuasif seperti, menurut Chester I.
Bernard (dalam Effendy, 2003:42) seorang dapat dan akan menerima sebuah
pesan hanya kalau terdapat empat kondisi berikut secara simultan :
a. Ia dapat dan benar-benar mengerti pesan-pesan komunikasi
b. Pada saat dia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusan itu diambil
sesuai dengan tujuannya.
c. Pada saat dia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu
bersangkutan dengan kepentingan pribadinya.
d. Ia mampu menepatinya baik secara mental maupun secara fisik.
Dari uraian diatas menjelaskan bahwa bagaimana seorang warga binaan
baru dapat menerima pesan seperti yang diharapkan petugas pemasyarakatan
sehingga komunikasi persuasif yang dilakukan berhasil.
27
2.3.5 Tujuan Komunikasi Persuasif
Komunikasi persuasif merupakan salah satu dari teknik komunikasi, maka
tujuan komunikasi persuasif tidak jauh berbeda dengan tujuan komunikasi pada
umumnya seperti telah dijelaskan diatas, menurut Widjaja, (2008:68) tujuan
pokok persuasi adalah untuk mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tingkah-laku
seseorang atau kelompok untuk kemudian melakukan tindakan/perbuatan
sebagaimana dikehendaki, persuasi bukan sekedar membujuk dan merayu saja,
tetapi persuasi merupakan suatu teknik mempengaruhi dengan mempergunakan
data dan fakta psikologis, sosiologis dari orang-orang yang inggin dipengaruhi.
Sedangkan menurut Mubarok, (1999:19), tujuan komunikasi persuasif
dalam bukunya Psikologi Dakwah, yaitu secara bertingkat terdiri dari dua sebagai
berikut :
a. Mengubah atau menguatkan keyakinan (believe) dan sikap (attitude) audiens.
b. Mendorong audiens melakukan sesuatu/memiliki tingkah laku (behaviour)
tertentu yang diharapkan.
Menurut Effendy, (2000:7), dampak yang dapat ditimbulkan dapat
diklasifikasikan menurut kadarnya yakni :
a. Dampak kognitif : adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan
dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Disini pesan yang
disampaikan komunikator ditujukan kepada pikiran si komunikan. Dengan
lain perkataan,tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah
pikiran diri komunikan.
b. Dampak afektif : adalah lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif.
Disini tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu,
28
tetapi bergerak hatinya, menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan
iba, haru, sedih, gembira, marah dan sebagainya.
c. Dampak Behavioral : adalah dampak yang timbul pada komunikan dalam
bentuk prilaku, tindakan atau kegiatan.
Pada dasarnya yang hendak dipengaruhi komunikator adalah sikap-sikap
individu/kelompok dari komunikan.
a. Komponen sikap
Sikap sering dianggap memiliki 3 komponen :
1. Komponen Afektif, dimana kesukaan atau perasaan terhadap sebuah
objek.
2. Komponen Kognitif, keinginan terhadap sebuah objek.
3. Komponen perilaku, merupakan tindakan terhadap objek.
(dalam Werner & James, 2007 : 178).
b. Definisi sikap
Menurut para ahli :
1. Sikap pada dasarnya adalah suatu cara “pandang” terhadap sesuatu
(Murphy dan Newcomb),
2. Kesiapan dan sistem syaraf yang diorganisasikan melalui pengalaman
menumbuhkan pengaruh langsung atau dinamis pada respon-respon
seseorang terhadap semua objek dan situasi terkait (Allport),
3. Sebuah kecenderungan yang bertahan lama, dipelajari untuk berperilaku
dengan konsisten terhadap sekelompok objek (English),
29
4. Sebuah sistem evaluasi positif atau negatif yang awet, perasaan-perasaan
emosional dan tendensi tindakan pro dan kontra terhadap sebuah objek
sosial (Krech, Grutch Field, dan Ballachey).
(dalam Werner & James, 2007 : 179).
c. Perubahan sikap
Menurut MC Quire dalam teori pemrosesan – informasi, menyebutkan
bahwa perubahan sikap terdiri dari enam tahapan yang masing-masing tahap
merupakan kejadian penting yang menjadi patokan untuk tahap selanjutnya, tahap
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pesan persuasi harus dikomunikasikan,
2. Penerima akan memerhatikan pesan,
3. Penerima akan memahami pesan,
4. Penerima akan terpengaruh dan yakin dengan argumen-argumen yang
disajikan,
5. Tercapai posisi adobsi baru,
6. Terjadi perilaku yang diinginkan.
(Werner & James, 2007 :204).
d. Teori perubahan sikap
Teori Stimulus-Organism-Response (S-O-R Theory) berasal dari psikologi
kemudian menjadi teori komunikasi, karena objek material dari psikologi dan
Ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-
komponen: sikap, opini, perilaku, kognisi, efeksi, dan konasi (Effendy, 2003:254).
Dalam proses perubahan sikap Mar’at dalam bukunya “sikap manusia,
perubahan serta pengukurannya. Mengutip pendapat Hovland, Jenis, dan Kelly
30
yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap yang baru ada tiga variable
penting yaitu: perhatian, pengertian, dan penerimaan (Effendy, 2003:255). Seperti
berikut ini:
Gambar 2.4
Teori S-O-R
(sumber: Effendy, 2003:255).
Menurut Effendy, (2003:256) Stimulus atau pesan yang disampaikan
kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan
berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya komunikan
mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang melanjutkan proses berikutnya.
Setelah komunikan mengolahya dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan
untuk mengubah sikap.
2.3.6 Teknik-Teknik Persuasif
Beberapa teknik dalam komunikasi persuasif yang dikemukakan oleh
Effendy (2000:22), menyebutkan bahwa demikian beberapa teknik untuk dipilih
dan dipergunakan dalam situasi komunikasi tertentu:
Stimulus
Organism : • Perhatian
• Pengertian
• Penerimaan
Response (perubahan sikap)
31
a. Asociation (Asosiasi)
Adalah penyajian pesan komunikasi dengan cara menumpangkannya pada
suatu objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. Metode
ini dilaksanakan oleh pimpinan dalam menyampaikan pesan dengan
menghubungkan sesuatu atau hal yang menarik perhatian sehingga pesan yang
disampaikan menjadi lebih mengena pada komunikan.
b. Integration (integrasi)
Adalah kemampuan komunikator untuk menyatukan diri secara komunikatif
dengan komunikan, metode ini mengandung pengertian adanya kemampuan
komunikator untuk menyatukan diri kepada pihak komunikan.
c. Pay- Off Idea (iming-iming)
Merupakan kegiatan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara mengiming-
ngiming hal yang menguntungkan atau hal yang menjanjikan harapan. Dalam
rangka mencapai tujuannya, metode ini berdaya upaya menumbuhkan
kegairahan emosional. Metode ini menyajikan pesan yang mengandung
sugesti (anjuran) yang bila ditaati hasilnya memuaskan.
d. Fear arousing (ketakutan)
Teknik menakut-nakuti adalah kebalikan dari teknik Pay- Off Idea, dalam
kegiatan mempengaruhi orang lain dengan jalan punisment yaitu menakut-
nakuti atau mengambarkan konsekuensi yang buruk.
e. Iching Device (tataan)
Yaitu menata pesan komunikasi dengan himbauan emosional sedemikian rupa
sehingga komunikan menjadi lebih tertarik. Metode ini pada dasarnya
bertujuan menggugah hati nurani karyawan, artinya upaya untuk mengubah
32
pesan berupa perintah, anjuran maupun teguran dari pimpinan agar karyawan
merasa tertarik dan akhirnya bertindak sesuai dengan pesan komunikator
(pimpinan).
f. Red Herring (gerak tipu)
Seni seorang komunikator untuk meraih kemenangan dalam perdebatan
dengan mengelakkan argumentasi yang lemah untuk kemudian
mengalihkannya sedikit demi ke aspek yang dikuasainya guna dijadikan
senjata ampuh dalam menyerang lawan.
2.3.7 Prinsip-prinsip Komunikasi persuasif
Ada beberapa prinsip-prinsip komunikasi persuasif yang dikemukakan
Djamaluddin dan Yosal, (1994:132) dalam bukunya Komunikasi persuasif antara
lain :
a. Prinsip Indetifikasi
Kebanyakan orang mengabaikan ide, opini atau sudut pandang sekalipun
diketahuinya. Betul bila hal-hal tersebut tidak mempengaruhi hasrat, rasa,
harapan dan aspirasi pribadinya. Pesan yang anda susun harus dengan
memperhatikan kepentingan khalayak.
b. Prinsip Tindakan
Orang yang jarang menerima gagasan yang terpisah dari tidakan, bila tindakan
yang diambil oleh penganjur ide maupun tindakan yang diyakini bisa
membuktikan kebenaran ide itu, sekalipun sarana tindakan diberikan, orang
cendrung menganggap enteng imbauan untuk mengerjakannya.
33
c. Prinsip Familiaritas dan kepercayaan
Kita hanya menerima ide yang disampaikan orang yang kita percayai. Orang
yang mempengaruhi kita atau hanya mengambil opini dan sudut pandang yang
disampaikan individu, perusahaan atau lembaga yang kita anggap terpercaya.
Sekalipun pendengar mempercayai pembicara, dia mungkin tidak mendengar
dan mempercayai.
d. Prinsip kejelasan situasi harus jelas bagi kita, tidak membingungkan.
Hal-hal diatas dibaca atau didengar yang membentuk kesan-kesan harus jelas.
Bukan hal memungkinkan munculnya berbagai interpretasi. Orang cendrung
melihat sesuatu sebagai hitam putih untuk berkomunikasi, anda harus
mengunakan kata-kata, simbul-simbul dan stereotip-stereotip yang dipahami
dan mendapat respon pendengar.
2.4 Tinjauan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Menurut Bahasa indonesia Lembaga Pemasyarakatan (LP) berasal dari dua
kata yaitu “Lembaga” dan “pemasyarakatan” Lembaga berarti organisasi yang
bermaksud melakukan sesuatu penyelidikan atau usaha ilmiah, sedangkan
pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan (narapidana, anak didik Negara yang lainnya) berdasarkan
sistem, kelembagaan dalam tata perdilan pidana (Badudu: 1980:45).
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 tentang pemasyarakatan. (1)
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. (2)
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
34
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat dan kembali dapat aktif berperan dalam pembangunan
serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.(3) Lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya disebut lapas adalah tempat
untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
Pasal 2, Undang-Undang No : 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
tujuan pemasyarakatan, “sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka
membentuk warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali dilingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.” Untuk mencapai tujuannya diperlukan pembinaan yaitu
pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.
Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, sebagai bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam tata peradilan pidana. “sistem pemasyarakatan berfungsi
menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab” (Pasal 3, Undang-Undang No : 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan).
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap
narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
35
merupakan bagian akhir dalam tata peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan
saat ini menganut sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan arah dan batas serta
cara pembinaan terhadap narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan
secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan
kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab. (Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan)
Pemasyarakatan berarti kebijakan dalam perlakuan terhadap narapidana
yang bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligus
mengayomi narapidana yang tersesat jalan dan memberi bekal hidup bagi
narapidana setelah kembali ke masyarakat (Sudjono, 1984:199)
Klasifikasi kelas pada tiap Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehakiman M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), diklasifikasikan dalam 3
(tiga) Klas yaitu:
a. LAPAS Kelas I,
b. LAPAS Kelas IIA,
c. LAPAS Kelas IIB
Klasifikasi LAPAS tersebut didasarkan atas kapasitas, tempat kedudukan
dan kegiatan kerja.
36
2.5 Tinjauan Petugas Pemasyarakatan
Petugas pemasyarakatan adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di
pemerintahan Indonesia pada Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia
yang menjalankan tugas dan fungsinya dibidang pemasyarakatan (Peraturan
Menteri No. M HH-16 KP 05. 02 Tahun 2011).
Petugas pemasyarakatan merupakan seseorang yang diberikan tugas
dengan tanggung jawab keselamatan narapidana di penjara. Petugas
pemasyarakatan bertanggung jawab untuk pemeliharaan, pembinaan dan
pengendalian seseorang yang telah ditangkap dan sedang menunggu pengadilan,
ketika dijebloskan maupun yang telah didakwa melakukan tindak kejahatan dan
dijatuhi hukuman dalam masa tertentu, dan yang bertanggung jawab melakukan
pembinaan terhadap narapidana atau tahanan di lembaga pemasyarakatan maupun
rutan. (Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan)
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M HH-16 KP 05.
02 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pegawai Pemasrakatan, pegawai
pemasyarakatan dalam melakukan pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan
terhadap warga binaan pemasyarakatan sebagai mana yang dimaksud dalam pasal
4 ayat 1 huruf c, sebagai berikut:
a. Menghormati harkat dan martabat warga binaan pemasyarakatan, meliputi:
1. Menghormati hak warga binaan pemasyarakatan,
2. Menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan kekerasan dan bentuk
pelecehan,
3. Menghormati dan menjaga kerahasiaan warga binaan pemasyarakatan,
37
4. Selalu ramah dan sopan dalam berinteraksi dengan warga binaan
pemasyarakatan.
b. Mengayomi warga binaan pemasyarakatan, meliputi:
1. Memberikan rasa aman dan tentram terhadap warga binaan
pemasyarakatan,
2. Menindaklanjuti setiap saran, keluhan, atau pengaduan yang
disampaikan warga binaan pemasyarakatan secara cepat dan tepat,
3. Tidak diskriminatif terhadap warga binaan pemasyarakatan atas dasar
suku, agama, ras atau lainnya yang dapat menimbulkan situasi yang
tidak kondusif,
4. Memenuhi hak warga binaan pemasyarakatan tanpa mengharapkan
balasan/pambrih.
c. Tanggap dalam bertindak, tangguh dalam bekerja dan tanggon dalam
berkepribadian, meliputi:
1. Teliti, cermat, dan tepat dalam menilai situasi,
2. Mampu mengambil tindakan yang tegas terhadap setiap bentuk perilaku
yang melanggar tata tertib/aturan,
3. Tidak melakukan hal yang bertentangan dengan moral dan hukum,
4. Menguasai keahlian dalam melaksanakan tugas,
5. Kesanggupan untuk melaksanakan keadilan dan kejujuran,
6. Menjaga kewaspadaan dan hati-hati.
38
d. Bijaksana dalam bersikap, meliputi:
1. Mengunakan akal budi, pengalaman, pengetahuan secara cermat dan
teliti apabila mengalami kesulitan, tantangan dan hambatan dalam
pelaksanakan tugas,
2. Membiri perhatian khusus terhadap warga binaan pemasyarakatan yang
mempunyai kebutuhan khusus, seperti anak-anak, wanita, lanjut usia
atau penderita penyakit permanen,
3. Mempunyai keinginan untuk mengembangkan kapasitas diri untuk
mendukung pelaksanaan tugas,
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan perkataan, sikap dan perbuatan
sehingga menumbuhkan sikap hormat warga binaan pemasyarakatan.
Dari penjelasan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M HH-16 KP
05. 02 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pegawai Pemasrakatan di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya harus memiliki kesadaran diri, mampu mengendalikan emosi, dapat
membina hubungan yang baik dengan warga binaan, dan berupaya untuk
mengembangkan kapasitas diri.
Petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang seluk-beluk sistem pemasyarakatan dan terus menerus
meningkatkan kemampuan, dalam menghadapi perangai warga binaan. Petugas
yang dimaksudkan dalam uraian dimuka melakukan peranan sesuai dengan
kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan, dan berusaha menciptakan bentuk
kerjasama yang baik untuk membantu menyelenggarakan “proses
39
pemasyarakatan” sedemikian rupa dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan
(Peraturan Menteri No. M HH-16 KP 05. 02 Tahun 2011).
2.6 Tinjauan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
Dalam pasal 1 angka 5, UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan
klien pemasyarakatan. Dan selanjutnya dijelaskan pada angka 6-9 yaitu: ayat (6)
Terpidana adalah orang yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga
pemasyarakatan. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (7) Narapidana
adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lapas. Ayat (8)
Anak didik pemasyarakatan: (a) Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan
putusan pengadilan menjalani pidana dilapas anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun, (b) Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan
pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di lapas anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun, (c) Anak yang atas
permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapat pengadilan untuk
dididik dilapas anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Ayat
(9) Klien pemasyarakatan yang selanjutnya disebut klien pemasyarakatan
seseorang yang berada dalam bimbingan bapas.
Dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No 12
tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menjelaskan terpidana adalah seorang yang
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Terpidana menjalani hukuman dengan hilangnya kemerdekaan di lembaga
pemasyarakatan.
40
Berdasarkan Pasal 12, Undang-Undang No : 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS
dilakukan penggolongan atas dasar:
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Lama pidana yang dijatuhkan
4. Jenis kejahatan,
5. Dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, penelitian
berusaha menjabarkan tentang komunikasi persuasif antara petugas
pemasyarakatan kepada warga binaan dalam setiap kegiatan, khususnya pada
kegiatan pembinaan. pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis studi kasus. Dalam
pelaksanaan penelitian ini mengalir secara alamiah, tidak dibuat-buat, dan apa
adanya, dalam situasi dan kondisi keadaan obyek yang normal, dan tidak ada
usaha-usaha untuk memanipulasi keadaan maupun kondisi objek yang sedang
diteliti dan juga bisa dikatakan penelitian keadaan alamiah.
Menurut Sanapiah, (2007:20) jenis penelitian deskriptif adalah
pengungkapan dan mengklarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan
sosial. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat,
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, situasi-situasi tertentu, termasuk
tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu
fenomena.
Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan
sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini
tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau
samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa
42
menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.
Disini yang ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan
banyaknya (kuantitas) data (Krisyantono, 2007: 58).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus. Penelitian studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai
berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok organisasi (komunitas), suatu
pogram atau suatu situasi sosial (Mulyana, 2008:201).
Dalam penelitian yang sifatnya kasusistik adalah penelitian yang dilakukan
intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala
tertentu. Ditinjau dari segi wilayah tertentu maka penelitian kasus ini hanya
meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit, tapi ditinjau dari segi sifatnya
penelitian yang bersifat kasus lebih mendalam (Arikunto, 2007:115).
Dengan demikian tujuan deskriptif kualitatif dalam penelitian ini adalah
untuk menggambarkan realitas dari fenomena yang ada, tentang komunikasi
persuasif antara petugas pemasyarakatan dengan warga binaan secara mendalam
rinci dan tuntas. Melalui metode ini penulis akan menjelaskan fenomena
berdasarkan data-data relevan yang diperoleh serta menafsirkan data-data yang
dimaksud sebagai suatu proses analisa untuk mencari relevansi antara indikator-
indikator.
3.1.1 Waktu Dan Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah pada Lapas kelas IIB
Meulaboh yang terletak di gampong peunaga paya, kecamatan meureboe,
kabupaten Aceh Barat. Lokasi ini dipilih karena peneliti dapat bisa mendapatkan
43
informasi dari narasumber dan juga dapat mengamati secara langsung objek
penelitian di lapangan.
Adapun tabel jadwal penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret 2012
dan berakhir pada bulan Febuari 2013, adalah sebagai berikut:
Table 3.1
Jadwal Penelitian
No. Jenis
Kegiatan
Mar
’12
Apr
’12
Mei
’12
Jun
’12
Okt
’12
Nov
’12
Des
’12
Jan
’13
Feb
’13
Apr
’13
1. Persiapan
Penelitian
2. Pengumpulan
data sekunder
3. Penelitian
Awal dan
Seminar
Proposal
4. Penelitian
lapangan
5. Pengolahan
data dan
Penulisan
Hasil
Penelitian
6. Seminar Hasil
dan Sidang
Akhir
3.1.2 Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Lapas kelas IIB Meulaboh yang terletak di
gampong peunaga paya, kecamatan meureboe, kabupaten Aceh Barat. Adapun
yang menjadi Informan dalam penelitian ini adalah :
Petugas Pemasyarakatan : 5 Orang
Warga binaan/Narapidana : 6 Orang
44
Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
“purposive sampling”. Menurut Bugin, (2005:15) teknik “ Purposive sampling
adalah teknik memilih sampel yang dilakukan secara sengaja”, maka pengambilan
sampel yang peneliti lakukan berdasarkan tujuan penelitian agar sampel mewakili
dari keseluruhan yang diteliti dari fenomena yang terjadi, adapun informan yang
dipilih di atas, peneliti anggap lebih mengetahui dan memahami masalah
dirumuskan dalam penelitian ini.
3.2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.1 Sumber Data
Data pokok dalam penelitian ini ada 2 sumber data yaitu data primer dan
data sekunder :
a. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya melalui
wawancara terhadap informan. Yang menjadi informan pada penelitian ini
adalah petugas pemasyarakatan dan warga binaan LAPAS kelas IIB
Meulaboh.
b. Data Skunder
Data skunder yang meliputi : buku-buku referensi, dokumen, dan Bahan
hukum, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang pemasyarakatan,
antara lain Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pemasyarakatan.
45
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah :
a. Wawancara
Menurut Krisyantono, (2007:98) “wawancara yang dilakukan dengan
pihak yang berkompeten atau berwenang serta yang dianggap lebih mengetahui
dan memahami masalah penelitian untuk memberikan informasi dan keterangan
yang sesuai dibutuhkan peneliti”, maka peneliti melakukan wawancara langsung
dengan informan. Wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa orang
petugas pemasyarakatan yang terlibat dalam kegiatan pembinaan di Lapas.
Namun sebelum melakukan wawancara di lapangan, penulis
mempersiapkan daftar pertanyaan (daftar panduan wawancara) yang terkait
dengan permasalahan penelitian, supaya pertanyaan yang diajukan terarah.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan berhubungan dengan
komunikasi persuasif di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh.
Wawancara langsung yang peneliti lakukan tidak berstruktur dan informal
guna mendapatkan data yang valid dan detail namun peneliti mencatat setiap
pertanyaan yang ada kaitannya dengan penelitian ini, walaupun tidak ada dalam
daftar panduan wawancara. Adapun wawancara yang berlangsung penuh dengan
ikatan hubungan emosional antara peneliti dengan informan dan dilakukan
diruangan ataupun diluar ruangan saat proses pembinaan berlangsung.
b. Observasi
Menurut Arikunto, (2007:145), sebagai metode ilmiah observasi dapat
diartikan sebagai pengamatan, meliputi pemusatan perhatian terhadap suatu objek
46
dengan seluruh alat indra”, oleh karena itu observasi yang peneliti lakukan
melalui pengamatan langsung guna memperoleh data penelitian dengan cara
membuat kunjungan lapangan, kehadiran peneliti berperan sebagai pengamat
partisipan dalam kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB
Meulaboh.
Dalam melakukan observasi peneliti langsung ke lokasi objek penelitian
untuk melihat kegiantan pembinaan dan mengamati setiap interaksi/komunikasi
yang dilakukan dalam membentuk perilaku warga binaan, namun dalam kegiantan
observasi peneliti juga menyempatkan untuk mewawancarai informan untuk
mencari informasi terkait dengan permasalahan penelitian. Observasi yang
dilakukan dengan melihat realita secara langsung di lapangan dengan demikian
pengamatan peneliti merupakan fenomena asli bukan historis.
c. Dokumentasi
Menurut Krisyantono, (2007:98) “Dokumentasi adalah suatu cara atau
metode dalam mengumpulkan data dari dokumen barang-barang tertulis. Metode
ini dilakukan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan
objek penelitian yang diperoleh dari instansi terkait”. Metode ini peneliti gunakan
untuk mengumpulkan data-data dari dokumen tertulis yang relevan dengan
penelitian ini yang berkenaan dengan Pemasyarakatan.
3.3. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat bantu pengumpulan dan pengolahan
data tentang yang diteliti. Sebagai alat pengumpul data, instrumen berhubungan
erat dengan teknik pengumpulan data yang dipengaruhi oleh jenis metode
penelitian, karena itu secara tidak langsung instrumen penelitian akan
47
menyesuaikan dengan metode penelitiannya, supaya peneliti bisa lebih mudah dan
sistematis dalam penulisan.
Menurut Moleong ( dalam Krisyantono, 2007:92) riset kualitatif instumen
penelitian utama adalah periset sebagai “alat pengumpulan data”. Artinya periset
mempunyai kebebasan untuk menggali data tanpa aturan-aturan ketat pembuatan
kuesioner, periset bebas menilai keadaan bebas menentukan data mana yang
dipakai dan yang tidak.
Dalam penelitian ini mengenai analisis komunikasi persuasif antara
petugas pemasyarakatan dengan warga binaan, peneliti mengunakan instrument
penelitian dan pengolahan data sebagai berikut :
a. Peneliti
Peneliti adalah salah satu instrument penelitian terjun langsung untuk meneliti
objek dan mengumpulkan data mengenai objek penelitian kemudian
menganalisis data-data yang diperoleh.
b. Catatan lapangan (Field Note)
Catatan yang didapat dari peristiwa atau kejadian saat penelitian di lapangan.
c. Wawancara langsung (Intervie Guide)
Sejumlah pertanyaan yang sesuai dengan penelitian yang disampaikan secara
langsung saat wawancara dengan narasumber/sumber data, agar dapat
memperoleh data yang optimal. Maka terlebih dahulu disusun pedoman
wawancara supaya pertanyaan yang diajukan terarah.
d. Alat Penunjang Penelitian, Alat penunjang yang digunakan untuk mendukung
penelitian, maupun mendokumentasikan berbagai data yang diperoleh, seperti
bulpoin, binder, computer, dan lain-lain.
48
3.4. Teknik Analisis Data
Dalam penalitian diperlukan metode analisis data yang berguna untuk
menjawab permasalahan yang diteliti. Setelah semua data terkumpul Maka
selanjutnya dilakukan analisa data terhadap hasil yang diperoleh “Analisis data
adalah proses mengatur urutan data mengorganisasikan ke dalam suatu pola
kategori dan satuan uraian dasar “(Moleong, 2005:103).
Pada prinsipnya analisis data pada penelitian kualitatif dilakukan secara
bersamaan dengan proses pengumpulan data. Teknik analisis data yang dilakukan
dengan menggunakan teknik analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman (dalam basrowi dan Suwandi 2008:209) dengan tahapan analisis data
sebagai berikut :
a. Pengumpulan Data
Peneliti mencatat semua data secara obyektif dan apa adanya sesuai dengan
hasil observasi dan wawancara di lapangan.
b. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian,
pengabstraksian dan pentransformasian data kasar dari lapangan. Proses ini
berlangsung selama penelitian dilakukan dari awal sampai akhir.
c. Penyajian Data
Adalah sekelompok informasi tersusun yang memberi kemungkinan untuk
menarik kesimpulan dan mengambil tindakan. Dalam proses ini peneliti
mengelompokkan hal-hal yang serupa menjadi kategori atau kelompok satu,
kelompok dua, kelompok tiga dan seterusnya. Dalam tahap ini peneliti juga
akan melakukan penyajian data secara sistematik, agar lebih mudah dipahami
49
interaksi antar bagian-bagiannya dalam konteks yang utuh bukan segmental
dan fragmental terlepas satu dan lainnya.
d. Verifikasi atau menarik kesimpulan
Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung. Makna-
makna yang muncul dari data harus selalu diuji kebenaran dan kesesuaiannya
sehingga validitasnya terjamin. Dalam tahap ini peneliti membuat rumusan
proposisi yang terkait dengan prinsip logika, mengangkatnya sebagai temuan
penelitian, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji secara berulang-ulang
terhadap data yang ada, pengelompokan data yang telah terbentuk dan
proposisi yang telah dirumuskan. Langkah selanjutnya yaitu melaporkasn
hasil penelitian lengkap dengan ” temuan baru” yang berbeda dari temuan
yang sudah ada.
3.5. Pengujian Kredibilitas Data
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian
merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Menurut Moleong
(2005: 57) ada 4 macam teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu :
a. Triangulasi
Yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
diluar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data
tersebut. Dalan triangulasi tersebut terbagi 4, antara lain :
1. Triangulasi data, yaitu menggunakan berbagai sumber data seperti
dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan
mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut
pandang yang berbeda.
50
2. Triangulasi Pengamat, adanya pengamat di luar peneliti yang turut
memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen
pembimbing studi kasus bertindak sebagai pengamat (expert judgement)
yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data.
3. Triangulasi Teori, penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk
memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat.
4. Triangulasi metode, penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu
hal, seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian
ini, peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan metode
observasi pada saat wawancara dilakukan.
a. Membercheck
Yaitu mengulang garis besar apa yang diungkapkan oleh informan pada
akhir wawancara guna mengoreksi bila ada kesalahan serta menambah apabila
terdapat beberapa kekurangan.
b. Perpanjangan pengamatan
Memperpanjang massa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat
kredibilitas data yang dikumpulkan, bisa mempelajari dan dapat menguji
informasi dari responden, juga untuk membangun kepercayaan responden
terhadap peneliti.
c. Diskusi teman sejawat
Yaitu membicarakan hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam
bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat. Hal ini dilakukan dengan
tujuan supaya hasil penelitian dapat lebih objektif.
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lapas kelas IIB Meulaboh
Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh, merupakan Unit Pelayanan
Teknis (UPT) dari Kanwil Nangroe Aceh Darusalam penempatan Meulaboh.
Lapas ini terletak di gampong penaga paya, kecamatan meurebo, Kabupaten
Aceh Barat. penelitian yang dilakukan dibatasi pada komunikasi persuasif antara
petugas pemasyarakatan dengan warga binaan, khususnya pada kegiatan
pelaksanan tugas pembinaan di Lapas Kelas IIB Meulaboh.
4.1.1.1 Visi dan Misi Lembaga Pemasyarakatan
Pada umumnya visi dan misi dari Lapas adalah sebagai berikut:
a. Visi adalah Memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan
penghidupan warga binaan pemasyarakatan sebagai individu (integrasi),
anggota masyarakat dan makluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun manusia
mandiri)
b. Misi adalah melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan
warga binaan pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan negara dalam
kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta
kemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
4.1.1.2 Struktur Organisasi
Strukturnya terdiri dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas),
Kepala Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (KA. KPLP) dengan Petugas 22
52
orang beserta Stafnya. Kepala Sub Bagian Tata Usaha (Kasubbag T U), Kepala
Urusan Kepegawaian/keuangan (KA.Urs Kepeg/Keuangan), Kepala Urusan
Umum (KA Urs Umum). Kepala Seksi bimbingan napi/andik dan kegiatan kerja
(Kasi Bimb napi/Andik dan Keg kerja), Kepala Seksi Administrasi,Kepala Sub
Seksi Registrasi bimbingan. PAS (Kasubsi Reg dan Bimb. PAS), Kepala sub seksi
Perawatan napi/andik (kasubsi perawatan napi/andik), Kepala Sub Seksi Kegiatan
Kerja (kasubsi Keg Kerja). Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban (Kasi Adm
Kamtib), Kepala Sub Seksi Keamanan ( Kasubsi Keamanan), Kepala Sub Seksi
Pelaporan (Kasubsi Pelaporan).
51
Gambar 4.1
Struktur Organisasi Lapas Meulaboh
Sumber: Lapas Kelas IIB Meulaboh 2012.
Petugas
1. Saifullah, SH 12. Merah Paya 2. Saiful Akmal 13. M. Yunus
3. M. Yasin, SH 14. T. Dedi Saputra
4. Tajuddin 15. Fiqi Ramadhan. 5. Zulkarnaini 16. Dedy Saputra
6. Raja Idi 17. Ichsan
7. Denni Husin 18. Syafrizal. Z 8. Suhadi 19. Tasman
9. T.M. Hamzah 20. Riki Apriasyah
10. Faisal 21. Jouni HS (Staf) 11. Safrial 22. Saiful Bahri
(staf)
KA. KPLP
IRHAMUDDIN, Amd.IP, SH, MH
NIP : 198007162000121001
KASUBSI REG. & BIMB PAS
ICHWAN SASTRIANTO, SE
NIP : 197005031990031001
KASUBSI PERAWATAN
NAPI/ANDIK
BANTA SIDI, SE
NIP : 196207061991031001
KASUBSI KEGIATAN
KERJA
JASMAN
NIP : 196001211988031001
KALAPAS
Drs, M. SULTON MA’ ARIF
NIP : 195911181984031001
KASUBBAG TATA USAHA
Drs, ABDUL WAHID
NIP : 196408061994031002
KASI BIMB. NAPI/ANDIK & KEG
KERJA
KHAIRUDDIN, S.ag
NIP : 195905161982031002
KA. URS. UMUM
YUSUF
NIP : 196112081989031001
KA. URS.
KEPEG/KEUANGAN
HASNI, SH
NIP : 196207271983032002
KASI ADM. KANTIB
YUSMADI, S.ag
NIP : 197004021989031001
KASUBSI KEAMANAN
KAMSIONO, SH
NIP :
1969100519880310021001
KASUBSI PELAPORAN &
TATA TERTIB
TEUKU MUKHTAR, SH
NIP : 197010141994031002
54
4.1.1.3 Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.01.PR.07.03 Tahun
1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga pemasyarakatan, adalah:
Susunan organisasi LAPAS kelas IIB terdiri dari:
a. Sub Bagian Tata Usaha;
b. Seksi Bimbingan Narapidana/ Anak Didik dan Kegiatan Kerja;
c. Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib;
d. Kesatuan Pengamanan LAPAS.
Dari susunan organisasi tersebut setiap petugas pemasyarakatan
mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, yaitu:
a. Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan
rumah tangga LAPAS.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Sub Bagian Tata Usaha
mempunyai fungsi:
1. melakukan urusan kepegawaian;
2. melakukan urusan surat-menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.
Sub Bagian Tata Usaha terdiri dari:
1. Urusan Kepegawaian dan Keuangan mempunyai tugas melakukan urusan
kepegawaian dan keuangan
2. Urusan Umum tugas melakukan urusan surat-menyurat, perlengkapan dan
rumah tangga.
b. Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik mempunyai tugas memberikan
bimbingan pemasyarakatan narapidana/anak didik dan bimbingan kerja.
55
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Seksi Bimbingan
Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja mempunyai fungsi:
1. melakukan regristrasi dan membuat statistik, dokumentasi sidik jari serta
memberikan bimbingan pemasyarakatan bagi narapidana/anak didik
2. mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi narapidana/anak
didik
3. memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan
mengelola hasil kerja
Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja terdiri dari:
1. Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan mempunyai tugas
melakukan pencatatan, membuat statistik, dokumentasi sidik jari serta
memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani, memberikan latihan olah
raga, peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan penglepasan
narapidana/anak didik.
2. Sub Seksi PerawatanNarapidana/AnakDidik mempunyai tugas mengurus
kesehatan dan memberikan perawatan bagi narapidana/ anak didik.
3. Sub Seksi Kegiatan Kerja. mempunyai tugas memberikan bimbingan
kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan mengelola hasil kerja.
c. Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib mempunyai tugas mengatur
jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan,
menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang
bertugas serta menyusun laporan berkala dibidang keamanan dan menegakkan
tata tertib.
56
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Seksi Administrasi Keamanan
dan Tata tertib mempunyai fungsi:
1. Mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas
pengamanan.
2. Menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang
menegakkan tata tertib.
Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib terdiri dari:
1. Sub Seksi Keamanan mempunyai tugas mengatur jadwal tugas,
penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan.
2. Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib mempunyai tugas menerima laporan
harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta
mempersiapkan laporan berkala dibidang keamanan dan menegakkan tata
tertib.
d. Kesatuan Pengamanan LAPAS mempunyai tugas menjaga keamanan dan
ketertiban LAPAS.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kesatuan Pengamanan LAPAS
mempunyai fungsi:
1. melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap Narapidana/ Anak Didik;
2. melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban;
3. melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan dan pengeluaran
narapidana/ anak didik;
4. melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan;
5. membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan.
57
Kesatuan Pengamanan LAPAS dipimpin oleh seorang kepala dan
membawahkan petugas pengamanan LAPAS, Kepala Kesatuan Pengamanan
LAPAS berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala
LAPAS.
4.1.1.4 Tata Kerja Petugas Pemasyarakatan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PR.07.03
Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga pemasyarakatan, yaitu:
a. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala
Bagian, Kepala Bidang, Kepala Kesatuan Pengamanan, Kepala Seksi, Kepala
Sub Bagian, Kepala Sub Seksi, dan Kepala Urusan Wajib menerapkan prinsip
koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan LAPAS serta
dengan instansi lain diluar LAPAS sesuai dengan pokok masing-masing
maupun antar satu organisasi dalam lingkungan LAPAS.
b. Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengawasi bawahannya masing-
masing dan bila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah-langkah yang
diperlukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
c. Setiap pimpinan satuan organisasi bertanggung jawab memimpin dan
mengkoordinasikan bawahannya masing-masing dan memberikan bimbingan
serta petunjuk-petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya.
d. Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk
petunjuk dan bertanggung jawab kepada atasan masing-masing dan
menyampaikan laporan berkala tepat pada waktunya.
58
e. Setiap laporan diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari bawahan wajib
diolah dan dipergunakan sebagi bahan untuk penyusunan laporan lebih lanjut
dan untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahan.
f. Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan laporan kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kehakiman (yang sekarang beganti nama
Departemen Hukum dan HAM).
g. Dalam menyampaikan laporan masing-masing kepada atasan, tembusan
laporan wajib disampaikan pula kepada satuan organisasi lain yang secara
fungsional mempunyai hubungan kerja.
h. Dalam melaksanakan tugasnya, setiap pimpinan satuan organisasi dibantu
oleh Kepala-Kepala Satuan Organisasi dibawahnya dan dalam rangka
pembinaan bimbingan kepada bawahan masing-masing wajib mengadakan
rapat terbuka.
i. Bimbingan teknis pemasyarakatan kepada LAPAS secara fungsional
dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman (yang sekarang beganti nama Departemen
Hukum dan HAM) yang bersangkutan.
4.1.1.5 Jumlah Pegawai Pemasyarakatan
Pegawai Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tugas pokok pembinaan,
untuk mencapai tujuan pembinaan yang diharapkan tersebut, maka keadaan
pegawai atau petugas pemasyarakatan harus memadai, ditempatkan sesuai
keahlian dan pengetahuan dengan formasi yang dibutuhkan berdasarkan
peraturan.
59
Petugas pemasyarakatan punya tugas dan fungsi masing-masing namun
dalam menjalankan tugas dan fungsinya, pembinaan dan pengamanan berjalan
seiring, dimana ada pembinaan disitu ada pengamana dan sebaliknya. Seperti
yang dijelaskan informan 1 dan 2 yaitu:
“Petugas pemasyarakatan ada empat bagian yaitu: Bimb Napi/andik, Adm
Keamanan dan Ketertiban, KPLP, Tata Usaha. Dimana keempatnya punya
tugas masing-masing, namun lain halnya dengan Bimb Napi/ andik punya
hubungan yang tak terpisahkan dengan KPLP dalam pelaksanaan tugas
masing-masing, dimana ketika pembinaan dilakukan maka pengamanan di
belakang dan sebaliknya bagaikan selembar mata uang punya sisi yang
berbeda tetapi saling melengkapi” (wawancara pukul: 10.00 Wib dan
12.00 Wib, tanggal 23 okt 2012)
Data dibawah ini memberikan gambaran tentang pegawai Lapas Kelas IIB
Meulaboh, dalam tabel sebagai berikut :
Table 4.1
Daftar Pegawai Pemasyarakatan Kelas IIB Meulaboh.
GOLONGAN SLTA DIII SI SII
IV/a - - 1 -
III/d - - 3 -
III/c - - 3 -
III/b 3 - 10 1
III/a 2 - - -
II/d 1 - 1 -
II/c 4 1 1 -
II/b 7 - 1 -
II/a 7 - - -
JUMLAH 24 1 20 1
Sumber :Lapas Kelas IIB Meulaboh 2012
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah pegawai Lapas Kelas IIB
Meulaboh sebanyak 46 orang dengan perincian sebagai berikut : pegawai yang
berpendidikan S2 berjumlah 1 orang beliau juga lulusan DIII Akademi Ilmu
Pemasyarakatan (AKIP), yang berpendidikan S1 berjumlah 20 orang, D III
berjumlah 1 orang, SLTA berjumlah 24 orang.
60
Untuk menunjang kinerja dan peningkatan kemampuan pegawai
pemasyarakatan dilakukan Pelatihan jabatan dari Departemen Hukum dan HAM,
berdasarkan data dari Lapas kelas IIB Meulaboh diantaranya adalah:
a. Piskologi dan sosial
b. Teknis PAS
c. Instruktur PAS
d. Diklat barang dan jasa
e. Kesamaptaan
f. Instruktur NARKOBA
g. Pendidikan dasar PAS
Sumber : Lapas kelas IIB Meulaboh 2012.
Dengan petugas Lapas yang berjumlah 46 orang, diharapkan pembinaan
yang dilakukan dengan pendekatan secara individual maupun kelompok (dengan
cara pembentukan tim, konsultasi, atau ceramah-ceramah) yang diberikan kepada
warga binaan dapat berjalan dengan baik, maksimal, dan efektif.
4.1.1.6 Jumlah Warga binaan pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Meulaboh dengan daya tampung
sekitar + 450 orang dan saat ini dihuni sekitar 239 orang jumlah tersebut masih
setengah dari kapasitas yang ada, namun dari jumlah tersebut penghuninya adalah
campuran dari tahanan dengan warga binaan.
Berikut ini penjelasan informan 1 tentang status terpidana dikatakan
sebagai warga binaan: “Disebut warga binaan pemasyarakatan dimulai dari
terdakwa mendapatkan putusan pengadilan yang sifat tetap dan mengikat. Setelah
61
divonis oleh hakim dan dieksekusi oleh jaksa lalu diserahkan kepada Lapas”
(wawancara pukul: 10.00 Wib tanggal 23 okt 2012).
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai jumlah penghuni Lapas
kelas IIB bedasarkan status hukum dapat dirincikan dalam tabel berikut ini :
Table 4.2
Berdasarkan Status Hukum
TAHANAN JUMLAH ORANG WARGA BINAAN JUMLAH ORANG
AI 6 BI 191
AII 6 BIIa 6
AIII 27 BIIb -
AIV - BIIIk -
AV 2 BIIIs - JUMLAH 41 JUMLAH 197
Sumber : Lapas kelas IIB Meulaboh 2012
Keterangan :
Tahanan A.I : tahanan Kepolisian
Tahanan A.II : tahanan Kejaksaan
Tahanan A.III : tahanan Pengadilan Negeri
Tahanan A.IV : tahanan Pengadilan Tinggi
Tahanan A.V : tahanan Mahkamah Agung
Narapidana Mati : pidana mati
Narapidana B.I : pidana 1 tahun keatas
Narapidana B.IIa : pidana 3 bulan sampai 1 tahun
Narapidana B.IIb : pidana 3 bulan kebawah
Narapidana B.IIIk : pidana kurungan
Narapidana B.IIIs : pidana bersyarat
62
Dari data di atas berdasarkan jenis kelamin, yaitu laki-laki sebanyak 224
orang, dan perempuan sebanyak 15 orang, dengan rata-rata usia anak-anak 3
orang, dewasa 234 orang dan lansia 2 orang dengan tingkat pendidikan beragam
SLTA, SLTP, SD sederajat dengan persentase paling banyak sekolah dasar 50%,
(Sumber: Kasubsi Reg. Napi).
4.1.1.7 Sarana dan Prasarana Lembaga Pemasyarakatan
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M. 02-PK.04.10
Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, agar pembinaan
warga binaan pemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan lancar, tertib dan
mencapai tujuan yang diharapkan, maka diperlukan sarana yang memadai baik
fisik maupun non fisik.
Adapun komponen-komponen gedung/bangunan Lapas, harus pula dapat
mendukung kelancaran dan ketertiban mendukung kelancaran dan ketertiban
pelaksanaan pembinaan/bimbingan :
a. Ruang/Kantor Kalapas.
b. Unit Keamanan dan Ketertiban yang terdiri dari, Ruang Portir (Pintu
Gerbang),Ruang Kantor Petugas Pintu Gerbang, Ruang Kantor Kepala Unit
Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (Ka KPLP). Ruang Staf
KPLP (bagi anggota Regu Jaga yang sedang istirahat), Ruang briefing KPLP,
Ruang penyimpanan senjata api dan alat perlengkapan, keamanan lainnya
yang siap pakai, Pos Pengamanan (menara) Ruang/bangunan Kunjungan,
Ruang/bangunan Blok Hukuman Disiplin, dan Ruang/bangunan "Kantor Pos
Lapas"
63
c. Unit Administrasi Kepegawaian yang terdiri dari : Ruang/kantor Kepala Unit
Kepegawaian, Ruang/kantor Staf Unit Kepegawaian, Ruang/kantor
Pendidikan Pegawai, Ruang arsip.
d. Unit Administrasi Keuangan yang terdiri dari : Ruang/kantor Kepala Unit
Keuangan, Ruang/kantor Bendahara, Ruang/kantor Staf Keuangan, Ruang
arsip.
e. Unit Urusan Umum yang terdiri dari : Ruang/kantor Kepala Unit Urusan
Umum, Ruang/kantor Staf Unit Urusan Umum, Ruang arsip.
f. Unit Pendaftaran (Admisi) yang terdiri dari : Ruang/kantor Kepala Unit
Pendaftaran, Ruang/kantor Staf Unit Pendaftaran, Ruang/kantor Pendaftaran,
Ruang Penyimpanan Barang Bawaan/Titipan dan Peti Besi (Brandkast)
khusus untuk menyimpan barang-barang dan surat-surat berharga serta uang
(barang-barang preciosa milik tahanan/narapidana), Ruang Foto Studio,Ruang
arsip.
g. Unit Pelayanan kesehatan (Rumah Sakit atau Poliklinik) yang terdiri dari :
Ruang/kantor Dokter, Ruang/kantor Paramedis, Ruang/kantor Administrasi,
Ruang/Kantor Pendaftaran Pasien, Ruang Pemeriksaan, Ruang Pengobatan,
Ruang/bangunan bangsal berobat tetap (opname), Ruang Operasi, Ruang/
bangunan Karantina bagi yang berpenyakit menu-lar, Ruang/bangunan Rumah
Obat Ruang arsip, Ruang Penyimpanan alat perlengkapan Rumah Sakit (poli-
klinik).
h. Unit Pengenalan Lingkungan (orientasi) yang terdiri dari : Ruang/kantor
Kepala Unit Orientasi, Ruang/kantor Staf Orientasi, Ruang tempat tinggal
64
sementara bagi napi/anak negara yang baru selama mengikuti program
orientasi, Ruang untuk keperluan pelaksanaan orientasi, Ruang arsip.
i. Unit Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada Lapas yang terdiri dari :
Ruang/kantor Ketua TPP (Kabid / Kasie Pembinaan Napi), Ruang/kantor
Sekretaris TPP, Ruang/kantor Staf TPP dan Tenaga suka rela yang terdiri dari
tenaga-tenaga ahli dan pemuka masyarakat (promi-nent citizens), Ruang
tunggu napi/anak negara yang akan disidangkan, Ruang sidang TPP, Ruang
Konsultasi Perorangan, Ruang untuk menyimpan File Pembinaan dan arsip.
j. Unit Pendidikan Umum/Akademik/Rekreasi, Olah raga dan Ketrampilan yang
terdiri dari Ruang/kantor Kepala Unit Pendidikan Umum/ Akademik,
Ruang/kantor Staf Unit Pendidikan Umum/Akademik, Ruangan-ruangan kelas
belaiar, rekreasi dan olah raga (indoor), Ruang arsip.
k. Unit Pendidikan Mental/Agama yang terdiri dari : Ruang/kantor Kepala Unit
Pendidikan Mental/Agama, Ruang/kantor Staf Unit Pendidikan
Mental/Agama, Ruangan-ruangan kelas belajar, Musholla, Gereja, Pura,
Pagoda dan lain-lain, Ruang arsip.
l. Unit Perpustakaan yang terdiri dari : Ruang/kantor Kepala Unit Perpustakaan,
Ruang/kantor Staf Unit Perpustakaan, Ruang Perpustakaan berikut ruang
Baca, Ruang arsip.
m. Unit Pendidikan/Latihan Ketrampilan Kerja yang terdiri dari : Ruang/kantor
Kepala Unit Pendidikan/Latihan Ketrampilan Kerja, Ruang/kantor Staf Unit
Pendidikan/Latihan Ketrampilan Kerja, Ruang Serba Guna (Workshop),
Ruang Penyimpanan bahan-bahan dan alat perlengkapan, Ruang Penyimpanan
Hasil Ketrampilan Kerja, Ruang arsip.
65
n. Unit Perusahaan (yang mengutamakan basil/produksi) yang terdiri dari :
Ruang/ kantor Kepala Unit Perusahaan, Ruang/kantor Staf Unit Perusahaan,
Ruangan-ruangan untuk berbagai kegiatan kerja, Gedung penyimpanan bahan-
bahan dan alat perlengkapan serta hasil produksi, Ruang arsip.
Apabila dilihat dari sarana dan prasarana yang harus ada, maka Lapas
kelas IIB Meulaboh masih banyak kekurang, ada beberapa yang belum sempurna,
bahkan juga memang belum ada sama sekali. Contohnya seperti ruang pembinaan
(Ruang Serba Guna), ruang kunjungan keluarga, dan lain-lain.
4.1.2 Proses Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh
4.1.2.1 Tahapan-Tahapan Pembinaan
Tahapan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh
dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M. 02-PK.04.10
Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, yaitu :
a. Tahap I
Pembinaan awal didahului dengan masa pengamatan penelitian dan
pengenalan lingkungan, sejak diterimanya narapidana sampai sekurang-
kurangnya sampai 1/3 dari masa pidana sebenarnya. Pada tahap ini dilakukan
penelitian terhadap narapidana untuk mengetahui hal ikhwal yang
bersangkutan dan didata di bagian registrasi narapidana (Admisi), admisi
adalah suatu penerimaan pertama narapidana di Lapas, dan Orientasi di kenal
dengan mapenaling (masa pengenalan linkungan). Namun untuk Narapidana
yang residivis penerimaan dinamakan “re-admisi” tahap ini berlangsung lebih
kurang 1 bulan. Sistem keamanan yang diberlakukan untuk warga binaan pada
tahap ini paling terbaik (maximum security).
66
b. Tahap II
Tahap kedua selanjutnya diatas 1/3 sampai dengan sekurang-kurangnya ½ dari
masa pidana yang sebenarnya adanya penilaian dari tim pengamat. Bilamana
proses pembinaan telah berjalan selamalamanya sepertiga dari masa
pidananya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah terdapat
kemajuan (insyaf, disiplin, patuh terhadap peraturan tata tertib), maka yang
bersangkutan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem
keamanan yang sedang (medium security).
c. Tahap III
Pembinaan lanjutan ½ sampai dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari masa
pidana sebenarnya narapidana mulai dikenalkan dengan masyarakat luar.
Apabila proses pembinaan telah berlangsung selama setengah dari masa
pidananya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) telah terdapat
cukup kemajuan, baik secara fisik, mental maupun keterampilannya, maka
dapat diadakan asimilasi dengan masyarakat luar dengan sistem keamanan
yang masih sedang, punya kebebasan yang lebih banyak (medium security).
d. Tahap IV
Pembinaan lanjutan bimbingan di atas 2/3 sampai selesai masa pidananya atau
sekurang-sekurangnya sembilan bulan dari masa hukuman para narapidana
telah diberikan cuti menjelang bebas atau bebas bersyarat cuti menjelang
bebas sering disebut dengan pre-release, yaitu tahap integrasi pembebasan
bersyarat atas usul dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Pada tahapan
ini sistem keamanannya sudah pada tahap yang paling mungkin diberlakukan
(minimum security) bisa berupa pengawasan dan lain sebagainya.
51
Gambar 4.2
Proses Pemasyarakatan
Sumber :Lapas kelas IIB Meulaboh 2012
LANDASAN HUKUM
1. PANCASILA
2. UUD 1945
3. KUHP
4. KUHAP
5. UU No 12 Th. 1995
6. UU No 3 Th. 1997
7. Peraturan pemerintah
8. Keputusan Pemarintah
9. Keputusan Menteri
10. Peraturan Menteri
11. Keputusan Dirjen PAS
B. Pembinaan kepribadian
Pembinaan Kesadaran beragama
Pembinaan kesadaran berbangsa
dan bernegara
Pembinaan kemampuan intelektual
(kecerdasan)
Pembinaan kesadaran hukum
A. Pembinaan Kepribadian
lanjutan
Program pembinaan ini merupakan
lanjutan pembinaan kepribadian
tahap awal
A. ADM & Orientasi
Masa pengamatan
pengenalan dan penelitian
lingkungan paling lama 1(satu)
bulan
B. Pembinaan kemandirian
Ketrampilan untuk mendisen usaha
mandiri
Ketrampilan untuk mendukung industri
kecil
Kemampuan yang dikembangkan sesuai
dengan bakatnya masing-masing
ASIMILASI DALAM LAPAS TERBUKA
(OPEN CAMP)
DALAM LAPAS
(Half-Way House/ Work Release)
MELANJUTKAN SEKOLAH
INTEGRASI
PB
CB
CMB
BAPAS
TUJUAN
TIDAK MELANGGAR
HUKUM LAGI
INSTANSI PENEGAK HUKUM
1. POLRI
2. KEJAKSAAN NEGERI
3. PENGADILAN NEGERI
INSTANSI LAINNYA
1. DEPKES 5. DEPDIKNAS
2. DEPNAKER 6. PEMDA
3. DEPERINDAK 7. DEPSOS
4. DEPAG 8. Dan lain-lain
PIHAK SWASTA 1. PERORANGAN
2. KELOMPOK
3. LSM
4. PERUSAHAAN
KERJA MANDIRI
MENJALANKAN IBADAH
KERJA PD PIHAK LUAR
BAKTI SOSIAL
CMK
DAPAT
BERPARTISIPASI
AKTIF DAN POSITIF
DALAM
PEMBANGUNAN
(MANUSIA MANDIRI)
HIDUP
BERBAHAGIA
DUNIA/AKHIRAT
MEMBANGUN
MANUSIA MANDIRI
T
P
P
T
P
P
T
P
P
B
E
B
A
S
S
E
S
U
N
G
G
U
H
N
Y
A
TAHAP LANJUTAN TAHAP AWAL TAHAP AKHIR
OLAH RAGA
DAN LAIN-LAIN
+ 1/3 MASA PIDANA +1/3-1/2 MASA PIDANA
B. Pembinaan Kepribadian
lanjutan
Program pembinaan ini merupakan
lanjutan pembinaan kepribadian
tahap awal
+1/2-2/3 MASA PIDANA +2/3 MASA PIDANA
MINIMUM SECURITY MEDIUM SECURITY MAXIMUM SECURITY
KERJA SAMA ANTAR INSTANSI
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
51
4.1.2.2 Tujuan Pembinaan Pemasyarakatan
Dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M. 02-PK.04.10 Tahun
1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, menjelaskan bahwa
Pemasyarakatan adalah suatu Proses pembinaan narapidana yang sering pula
disebut "therapeutics process", maka jelas bahwa membina itu sama artinya
dengan menyembuhkan seseorang yang sementara tersesat hidupnya karena
adanya kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.
Secara umum pembinaan narapidana bertujuan agar mereka dapat menjadi
manusia seutuhnya sebagaimana yang telah menjadi arah pembangunan nasional
melalui jalur pendekatan:
a. Memantapkan iman (ketahanan mental) mereka.
b. Membina mereka agar mampu berintegrasi secara wajar di dalam kehidupan
kelompok selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih
luas (masyarakat) setelah menjalani pidananya.
Secara khusus pembinaan narapidana ditujukan agar selama masa
pembinaan dan sesudah selesai menjalankan masa pidananya
a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta
bersikap optimis akan masa depannya.
b. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal ketrampilan untuk bekal mampu
hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.
c. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap dan
perilakunya yang tertib disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan
sosial.
d. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.
69
Pembinaan yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan hukum
diatasnya, Undang-Undang No 12 Tahun 1995 Tentang pemasyarakatan, bahwa
pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
4.1.2.3 Pendekatan Pembinaan Pemasyarakatan
Dalam Undang-Undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
a. Pengayoman.
b. persamaan perlakuan dan pelayanan.
c. pendidikan.
d. pembimbingan.
e. penghormatan harkat dan martabat manusia.
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
Berdasarkan dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 02-PK.04.10
Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/tahanan. Metode yang
digunakan adalah:
a. Pembinaan berupa interaksi langsung yang sifatnya kekeluargaan antara
pembina dengan yang dibina (warga binaan pemasyarakatan).
b. Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah tingkah lakunya
melalui keteladanan dan memperlakukan adil di antara sesama mereka
sehingga menggugah hatinya untuk melakukan hal-hal yang terpuji,
70
menempatkan warga binaan pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki
potensi dan memiliki harga diri dengan hak-hak dan kewajibannya yang sama
dengan manusia lainnya.
c. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematis.
d. Pemeliharaan dan peningkatan langkah-langkah keamanan yang disesuaikan
dengan tingkat keadaan yang dihadapi.
e. Pendekatan individual dan kelompok.
f. Dalam rangka menumbuhkan rasa kesungguhan, keikhlasan dan tanggung
jawab dalam melaksanakan tugas serta menanamkan kesetiaan ketaatan dan
keteladanan di dalam pengabdiannya terhadap negara, hukum dan masyarakat,
para petugas dalam jajaran pemasyarakatan perlu memiliki kode perilaku dan
dirumuskan dalam bentuk Etos Kerja yang isinya :
1. Kami Petugas Pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina narapidana
dan pengayom masyarakat.
2. Kami petugas pemasyarakat wajib bersikap bijaksana dan bertindak adil
dalam pelaksanaan tugas.
3. Kami petugas pemasyarakatan bertekat menjadi suri tauladan dalam
mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan pancasila.
4.1.3 Pola Komunikasi Persuasif Antara Petugas dengan Warga Binaan di
Lapas Kelas IIB Meulaboh
4.1.3.1 Komunikator (persuader)
Komunikator adalah salah satu unsur fundamental dalam komunikasi,
dalam hal ini komunikkasi persuasif antara petugas pemasyarakatan dengan warga
binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh, dimana yang menjadi
71
komunikatornya adalah petugas pemasyarakatan (persuader). Dilihat berdasarkan
karakteristik komunikatornya komunikasi persuasif yang dilakukan yaitu:
a. Kredibilitas (credibility)
Untuk menunjukkan bahwa petugas pemasyarakatan memang mempuni di
bidangnya, penempatan petugas pada posisi sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya, dan dapat bekerja sama atau pun diperbantukan kebagian yang lain.
Seperti dikatakan informan 1 bahwa : “mereka sudah ditempatkan sesuai dengan
kemampuan dan bekerja sesuai dengan tugas masing-masing tetapi kalau saja
petugas tidak mampu juga memberikan pembinaan, bisa juga petugas yang lain
diperbantukan pada suatu kegiatan,” (wawancara pukul : 10.00 Wib, tanggal 23
okt 2012).
Supaya mendapatkan kepercayaan dari warga binaan, petugas
pemasyarakatan dalam setiap pengambilan keputusan, khususnya yang
menyangkut dengan warga binaan, tidak berdasarkan keputusan sendiri-sendiri
melainkan melalui sidang tim pengamat pemasyarakatan (TPP), yaitu penilaian
dari Kasi-kasi, Kasubsi-kasubsi dan semua yang terlibat dalam proses
pemasyarakatan, salah satu contoh pengambilan keputusan, seperti dikatakan
informan 2 yaitu:
“Setelah warga binaan melalui 2/3 dari masa tahanan maka mereka akan
dinilai oleh tim pengamat pemasyarakatan (TPP) apakah selama menjalani
masa tahanan berkelakuan baik dan diputuskan apa hak yang akan
diberikan untuk narapidana tersebut pada saat asimilasi dan integrasi
apakah pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti
bebas (CB), dan salah satunya hasil keputusan sidang tim pengamat
pemasyarakatan (TPP), yaitu keberadaan tahanan pendamping (tamping)
untuk membantu petugas di dalam Lapas (wawancara pukul : 12.00 Wib,
tanggal 23 okt 2012).
72
Begitu juga apabila warga binaan melakukan pelanggaran, tata cara
pengambilan keputusan juga sama, harus melalui sidang TPP mengenai sanksi
yang akan diberikan tersebut seperti yang dikatakan informan 3 yaitu :
“Apabila warga binaan melakukan pelanggaran tartib akan dikenakan
sanksi dimasukkan ke sel isolasi selama tujuh hari, maksud dan tujuan
adalah untuk membina supaya menyadari kesalahannya dan tidak
mengulanginya lagi. Warga binaan yang masuk ke sel isolasi dia akan
diproses, dan ternyata dia benar salah akan di ajukan kesidang tim
pengamat pemasyarakatan (TPP) untuk memutuskan sanksi apa yang
pantas dia terima. Dari kejadian itu semua menjadi contoh bagi yang lain
supaya tidak melakukan pelanggaran” (wawancara pukul : 09.30 Wib,
tanggal 29 Okt 2012).
Upaya lainnya untuk menumbuhkan kepercayaan dari warga binaan juga
dilakukan pendekatan individu, yaitu dengan perwalian terhadap warga binaan,
dimana satu orang petugas mewalikan beberapa dari warga binaan. Wali napi
adalah penghubung antara warga binaan dengan keluarga, seperti yang dikatakan
informan 3 yaitu : “siapa yang mewalikan dia harus konsultasi pada pihak
keluarganya, tetangganya, maupun tempat dia berdomisili dan juga memberikan
informasi baik dari pihak warga binaan kepada keluarganya maupun sebaliknya,
satu petugas bisa mewalikan beberapa orang (wawancara pukul : 09.30 Wib,
tanggal 29 Okt 2012).
Dari semua pernyataan-pernyatan diatas penilaiannya ada pada warga
binaan itu sendiri, apakah petugas pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh
mempunyai kredibilitas dalam pembinaan atau sebaliknya. Namun harus diakui
bahwa upaya sudah dilakukan sudah baik, namun masih perlu ditingkatkan lagi.
b. Atraksi (attraktive)
Daya tarik tidak kalah pentingnya dengan kredibilitas yang harus dimiliki
petugas pemasyarakatan sebagai komunikator. Daya tarik disini ialah petugas
73
mempunyai fisik yang sempurna, dalam berpenampilan, memiliki kesamaan, dan
ganjaran. Menurut pengamatan peneliti di Lapas kelas IIB Meulaboh petugas
pemasyarakatan dari segi fisiknya sempurna dalam artian tidak cacat, berbicara
jelas.
Sebagian besar dari warga binaan yang ada di Lapas kelas IIB Meulaboh
adalah beragama Islam, berdasarkan kesamaan tersebut maka pembinaan yang
dilakukan Menurut informan 3 yaitu :
“mereka disini memang sudah sulit untuk di nasehati karena tingkat
pendidikan mereka yang kurang dan juga pengetahuan agama yang sangat
minim, jadi pembinaan cuma bisa dimulai dengan mengajarkan mereka
cara-cara beribadah, baca Alqur’an, praktek sholat, bacaan sholat dan lain-
lain, dengan menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam diri mereka supaya
menumbuhkan kesadaran untuk bertaubat” (wawancara pukul : 09.30 Wib,
tanggal 29 Okt 2012).
Informan 3 juga menambahkan bahwa pendekatan-pendekatan Agama
dilakukan dengan tujuan :“yaitu dengan memberikan mereka pengetahuan agama
dan tentang beribadah supaya mereka menyadari apa yang sudah mereka lakukan
adalah salah dan mendapatkan ganjaran dosa dari tuhan, tetapi tidak bisa
memaksa mereka untuk berubah itu tergantung kepada diri mereka sendriri”
(wawancara pukul, 09.30 Wib, tanggal 29 Okt 2012).
Bentuk kerja sama kegiatan pembinaan yang dilakukan dengan pihak lain
diantaranya menurut informan 1 dan 3 yaitu :
“kerja sama dengan majelis taqlim, yaitu melakukan ceramah umum dan
kegiatan keagamaan lainnya, dalam memberikan pembinaan kita bisa
lakukan kerja sama dengan pihak lain, sesuai dengan aturan yang berlaku,
tidak hanya dengan lembaga pemerintah, tapi bisa juga dengan yang non
pemerinta ataupun perorangan. Dan pembinaan yang dilakukan selebihnya
diatur oleh kebijakan Lapas setempat dengan tidak keluar dari petunjuk
dari pusat (wawancara pukul : 10.00 Wib dan 09.30 Wib, tanggal 23-29
Okt 2012).
74
Adapun daya tarik yang lain adalah ganjaran, menurut keterangan
informan 2 dan 3 ganjaran yang bisa didapatkan oleh warga binaan yaitu : “Setiap
warga binaan berhak mendapatkan, remisi, setiap hari besar agama dalam setahun
sekali dan setiap hari kemerdekaan, dan juga mendapatkan cuti menjelang bebas
(CMK), pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), seperti
ketentuan yang berlaku” (wawancara pukul : 12.00 Wib dan 09.30 Wib, tanggal
23-29 Okt 2012).
Untuk warga binaan yang sudah dinilai berkelakuan baik mereka akan
diberikan kepercayaan, dengan ganjaran seperti yang dikatakan oleh informan 2
dan 3 yaitu :
“Apabilaa warga binaan telah melalui 2/3 dari masa tahanan, bisa saja
mereka menjadi tahanan pendamping (tamping), yaitu warga binaan yang
bantu-bantu kerja petugas di dalam Lapas, menjadi tamping warga binaan
dapat kebebasan yang lebih di dalam Lingkungan Lapas karena mereka
tidak lagi dikurung dalam sel tahanan” (wawancara pukul : 12.00 Wib dan
09.30 Wib, tanggal 23-29 Okt 2012).
Dari pernyataan informan diatas peneliti menyimpulkan bahwa daya tarik
tersebut yang dimiliki petugas pemasyarakatan untuk menarik perhatian warga
binaan untuk mendengarkan seruan-seruan dari petugas pemasyarakatan.
c. Kekuasaan (power)
Petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dibekali
dengan seperangkat aturan yang berlaku didalam lapas, dengan adanya aturan-
aturan warga binaan diwajibkan mematuhi, dan mentaatinya, sehingga petugas
mempunyai kekuasaan-kekuasaan terhadap warga binaaan. Aturan tartib tersebut
dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti yang
dikatakan informan 4 yaitu : “tartib dibuat setelah adanya laporan dari kesatuan
pengamanan Lapas (KPLP) terhadap suatu pelanggaran, ataupun sebelum adanya
75
pelanggaran, namun dianggap berpotensi menjadi suatu pelanggaran. Akan tetapi
tartib dibuat harus mengikuti dan tidak melanggar peraturan dan perundang-
undangan berlaku” (wawancara pukul : 10.00 Wib, tanggal 30 Okt 2012).
Aturan-aturan dibuat dengan tujuan bahwa warga binaan harus patuh dan
taat kepada petugas, seperti yang dijelaskan informan 3 yaitu :
“Kewajiaban warga binaan, kewajiban patuh dan taat kepada petugas
sejauh tidak melanggar aturan hukum yaitu kewajiban yang harus
mengikuti setiap kegiatan-kegiatan pembinaan, menciptakan kedamaian,
keindahan lingkungan dalam lapas dan tidak akan melakukan keributan,
berkelahi, mengajak lari dan lain-lain. Apabila mereka melakukan
pelanggaran mereka akan diberi sanksi (wawancara pukul : 09.30 Wib,
tanggal 29 Okt 2012).
Menurut penjelasan informan 2 dan 3 yaitu :
“dari kewajiban dan larangan tersebut ada ganjarannya itu tergantung
kepada warga binaan tidak ada paksaan, tetapi kalau mereka melanggar
aturan-turan di dalam Lapas dan tidak berkelakuan baik contohnya,
mengajak lari orang lain, maka hak-hak mereka akan dicabut namun
pencabutannya pun melalui proses sidang tim pengamat pemasyarakatan
(TPP)” (wawancara pukul : 12.00 Wib dan 09.30 Wib, tanggal 23-29 Okt
2012).
Akan tetapi masih banyak yang melanggar dan mereka sulit untuk
dinasehati, dibujuk, walaupun adanya aturan-aturan tersebut. Namun apabila ada
yang melakukan pelanggaran, maka menurut informan 2, 3 dan 4 yaitu :
“Kalau mereka melakukan pelanggaran itu mereka akan di panggil,
setelah itu dilihat apa pelanggarannya termasuk yang mana ringan, sedang,
atau berat. Kalau itu pelanggaran biasa mungkin mereka cukup dinasehati,
tetapi kalau sudah pelanggaran sedang diberiperingatan supaya tidak
mengulaginya, tetapi kalau pelanggaran berat itu bisa-bisa hak-hak mereka
dicabut tergantung hasil sidang tim pengamat pemasyarakatan (TPP)”
(wawancara pukul : 10.30 Wib, 09.30 Wib dan 10.00 Wib, tanggal 23-30
Okt dan 5 Nov 2012).
Beliau juga menambahkan terkadang terpaksa harus dilakukan tindakan
represif sebagai berikut seperti dikatakan informan 2 dan 3 yaitu : “Apabila warga
binaan melakukan pelanggaran tartib akan dikenakan sanksi dimasukkan ke sel
76
isolasi selama tujuh hari, maksud dan tujuan adalah untuk membina supaya
menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi, dan itu menjadi contoh
bagi yang lain” (wawancara pukul : 10.30 Wib dan 09.30 Wib tanggal 23-30 Okt
2012).
Begitu juga yang dikatakan informan 2 dalam pembinaan kadang-kadang
perlu diambil tidakan represif akan tetapi itu tidak terlepas oleh sebab- akibat
yang dilakukan warga binaan, yaitu :
“Sebelum terjadi hal-hal yang sifatnya represif, itu dilihat dari beberapa
sisi apabila melanggarnya sudah dilakukan berkali-kali, mereka diisolasi
di dalam sel, kalau istilah orang sini itu sel dingin paling lama sampai satu
minggu dan dinilai apabila masih juga belum berubah/baik, maka akan
ditambah, prosesnya melalui sidang sidang tim pengamat pemasyarakatan
(TPP) disitulah keputusan apa sanksi yang pantas sesuai aturan yang
berlaku. Tujuan dari pemberian sanksi tersebut adalah untuk membina
mereka supaya menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi dan
juga contoh bagi yang lain.” (wawancara pukul : 11.00 Wib, tanggal 24
Okt 2010).
Tindakan-tindakan represif itu ada yang berujung kepada tindakan
kekerasan, menurut informan 2 menjelaskan alasan terjadinya hal tersebut :
“tetapi kalau pun ada kekerasan itu disebabkan karena tingkat pengetahuan HAM
dan prosedur yang kurang, disini petugas sangat kurang diberi pengetahuan
mengenai hak asasi manusia (HAM)” (wawancara pukul : 11.00 Wib, tanggal 24
Okt 2010).
Beliau (informan 2) juga menambahkan bahwa petugas dalam
menjalankan tugas dan fungsinya juga selalu dihimbau, diperingatkan agar
mengikuti prosedur-prosedur yang berlaku : “Selalu dihimbau, tetapi setiap
manusiakan berbeda-beda, ada yang mudah terpacing emosinya ada juga yang
sabar, kita tidak boleh samakan semuannya, tetapi selalu disampaikan disetiap
77
kesempatan supaya melakukan tugas sesuai prosedur” (wawancara pukul : 09.00
Wib, tanggal 5 Nov 2012).
Menurut pengamatan di lapangan memang benar ada petugas sangat
mudah terpacing emosinya dan sangat tidak sabar dalam menyikapi suatu
permasalahan, kejadian tersebut terjadi ketika peneliti sedang melakukan
pengamatan dimana dua orang petugas sempat terjadi percekcokan dan hampir
kontak fisik, kejadian itu terjadi berawal dari kesalah pahaman diantara kedua
orang petugas tersebut.
Dari pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa, petugas punya
kekuasaan terhadap warga binaan, dalam pemberian ganjaran (reward) maupun
sanksi, namun apabila tidak mampu menguasai emosi dan kurangnya pengetahuan
tentang hak asasi manusia (HAM) dan prosedur, maka akan terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
4.1.3.2 Pesan (message)
Pada tahap awal pada saat mereka masuk menjadi warga binaan di Lapas,
didahului dengan masa pengamatan penelitian (Admisi), dan Orientasi yang di
kenal dengan masa pengenalan lingkungan (mapenaling).
Untuk warga binaan pada masa pengenalan lingkungan (mapenaling)
sudah diperkenalkan dengan aturan-aturan yang ada di Lapas dan tidak langsung
di baurkan dengan yang lain, karena banyak hal ikwal yang harus diperhatikan
pada warga binaan, seperti yang dijelaskan oleh informan 2 dan 3 yaitu:
“pertama yaitu admisi dibagian registrasi narapidana dan orientasi, yaitu
masa pengenalan lingkungan (mapenaling) itu dilakukan oleh petugas
dengan tujuan untuk menjaga situasi kondusif lingkungan Lapas, dengan
memperkenalkan aturan-aturan dan kegiatan yang ada dilapas, juga salah
78
satunya untuk menjaga keselamatan narapidana tersebut” (wawancara
pukul : 12.00 Wib dan 10.00 Wib tanggal 23-29 Okt 2012 ).
Diberitahukannya kewajiaban, larangan, dan hak-hak kepada warga binaan
pada masa pengenalan lingkungan (mapenaling), supaya mereka paham akan
segala kewajiban, larangan dan hak-haknya sebelum mereka masuk ketahap
pembinaan selanjutnya. Adapun bentuk kewajiban, larangan, dan hak-hak warga
binaan adalah sebagai berikut :
a. Kewjiban:
1. Mengikuti secara tertip program pembinaan dan kegiatan tertentu
2. Mentaati peraturan lapas kelas IIB Meulaboh
3. Patuh, taat, dan hormat kepada petugas lapas.
4. Memelihara perikehidupan yang aman dan tertip didalam lapas
5. Menjaga kebersihan dilingkungan lapas
6. Memelihara barang inventaris
7. Menghormati hak orang lain
8. Menerima kunjungan pada saat jam kerja
b. Larangan:
1. Dilarang melakukan perilaku homo seksual
2. Dilarang membawa/menyimpan/membuat/memiliki senjata api dan senjata
tajam
3. Dilarang membawa, menyimpan, memiliki, mempergunakan,
mengedarkan, memperdagangkan Narkotika, Piskotropika, dan Zat Adiktif
(NAPZA), serta minuman keras.
4. Dilarang membuat kegaduhan dan kericuhan
5. Dilarang melakukan pencurian dan pemerasan serta perjudian
79
6. Dilarang melakukan penganiayaan
7. Dilarang membawa dan mempergunakan alat komunikasi(Hp, Laptop, dan
lain-lain)
8. Dilarang mengambil dan merusak barang-barang inventaris/ perlengkapan
9. milik lapas maupun milik sesame penghuni
10. Dilarang mempergunakan alat listrik dan elektronik
11. Dilarang melakukan peminjaman dana dengan pembungaan (rentenir)
12. Dilarang memasukkan benda-benda terlarang kedalam lapas
13. Dilarang menerima tamu diluar jam kantor
Sumber: Lapas kelas IIB Meulaboh.
Dan hak-hak warga bianaan Berdasarkan ketentuan diataur dalam Undang-
Undang No 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, pasal 14 angka (1) narapidana
berhak :
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e. Menyampaikan keluhan
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya
i. Mendapat pengurangan masa pidana (remisi)
j. Mendapat kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga
80
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
m. Mendapatkan hak-hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
perundangan yang berlaku.
Mapenaling merupakan tahap awal dari proses pembinaan pemsayaratan,
dan pada masa tersebut warga binaan dikenalkan dengan aturan-aturan tata tertib,
kegiatan-kegiatan yang ada di Lapas, setelah mereka paham akan segala
kewajiban, larangan dan apa saja hak-hak yang bisa didapat pada setiap tahapan
pembinaan mereka kemudian menanda tangani surat pernyataan, seperti
dijelaskan oleh informan 2 yaitu :
“ada surat pernyataan yang mereka tanda tangan setelah mereka diberi
tahu aturan-aturan yang ada di dalam Lapas, apakah bersedia mentaati dan
mematuhi, dan menjalankan kewjiban dan larangan yang berlaku di dalam
lembaga pemasyarakatan selama masa menjalani hukuman. Supaya
mereka mengerti kewajiban-kewajiban dan laranga-larangan yang berlaku
di dalam lapas, aturan tersebut disampaikan secara terus menerus, dengan
cara diyakinkan bahwa apa yang mereka lakukan akan mendapatkan
ganjaran yang setimpal” (wawancara pukul : 11.00 Wib, tanggal 24 Okt
2010).
Menurut informan 2 aturan-aturan yang berlaku di dalam Lapas
disampaikan dengan cara, yaitu :
“Sudah di tempel di kamar sel tapi selalu dicopot, bahkan pada setiap pagi
sebelum mereka melakukan kegiatan selalu dingatkan kembali, seperti saat
ada kujungan juga di ingatkan, sebenarnya aturan itu tanpa diberi tahu
mereka sudah tahu apa yang boleh dan apa yang tidak, karena aturan yang
berlaku di didalam Lapas itu sesuai dengan norma-norma yang berlaku
dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hal-hal tertentu” (wawancara pukul :
11.00 Wib, tanggal 24 Okt 2010).
Hal tersebut juga disampaikan dalam kegiatan-kegiatan pembinaan yang
ada di dalam Lapas disampaikan oleh petugas yang sedang melakukan pembinaan
seperti dikatakan informan 3 yaitu: “mengenai kewajiban dan larangan maupun
81
Hak-hak, itu juga kita lakukan dengan cara kita minta disampaikan pada saat
ceramah-ceramah supaya disinggung dalam materi ceramahnya” (wawancara
pukul : 10.00 Wib, tanggal 29 Okt 2012).
Penyampain-penyampaian pesan supaya warga binaan tidak melakukan
pelanggaran juga disampaikan pada saat sebelum warga binaan menjalankan
aktifitas rutinnya, seperti yang dikatakan informan 2 yaitu : “Sebelum
dilakukannya kegiatan pembinaan, senam pagi, olah raga, gotong-royong, dan
lain-lain mereka terlebih dahulu dihitung, setelah itu petugas menyampaikan apa-
apa yang ingin disampaikan termasuk aturan-aturan tartib yang berlaku di dalam
Lapas” (wawancara pukul : 09.00 Wib, tanggal 5 Nov 2012).
Pernyataan itu diperkuat oleh informan 3 dalam pernyataan yang
disampaikannya berikut ini : “Selalu diingatkan mereka, supaya tidak melakukan
pelanggaran karena dapat merugikan dirinya sendiri, tidak bisa mendapatkan hak-
haknya seperti remisi, asimilasi dan lain-lain” (wawancara pukul : 10.00 Wib,
tanggal 29 Okt 2012).
Dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa penyampaian
pesan persuasif yang dilakukan dalam upaya pencegahan terhadap pelanggaran
dari warga binaan, namun masih perlu ditingkatkan lagi, agar nantinya tidak ada
terjadi lagi tindakan-tindakan represif yang berujung kapada tindakan kekerasan.
4.1.3.3 Komunikan (persuade)
Komunikan adalah warga binaan yang menerima pesan dari petugas
pemasyarakatan, dimana mereka menerima pesan tidak hanya secara logis tetapi
juga berdasarkan perasaan dan pengalaman.
82
Mereka yang masuk sudah pasti pelanggar hukum, dan karena
kesalahannya mereka harus berada di dalam Lapas, seperti yang dikatakan
informan 1 yaitu :
”Bisa kita bilang lapas ini kan tempatnya orang-orang sakit, kalau tidak
sakit tidak mungkin melakukan tindak pidana, pasti tidak masuk kesini,
dengan kata lain mereka itu sakit perlu di obati, sakit disini dalam artian
sakit secara mental spritual maupun ekonomi, susah membina mereka
apalagi tidak mau mengikuti aturan yang ada lapas, seperti apa yang
menjadi kewajiban warga binaan dan apa yang dilarang” (wawancara
pukul : 09.00 Wib, tanggal 23 Okt 2012).
Mereka sulit untuk dibina kalau tidak ada aturan-aturan, seperti dikatakan
oleh informan 3 yaitu : “Secara dibujuk tidak mempan karena mereka disini
memang sudah sulit untuk di nasehati bahkan beberapa keluarga mereka pun
mengakuinya, maka perlu dibuat aturan-aturan, namun tidak boleh melanggar
hukum” (wawancara pukul : 10.00 Wib, tanggal 29 Okt 2012).
Ketidak mau tahuan warga binaan tentang tujuan mereka dicabut
kemerdekaan di dalam Lapas, seperti yang dikatakan informan 2 yaitu : “banyak
diantara mereka tidak mau tahu kalau mereka disini tidak hanya menjalani
hukuman tetapi juga dibina, yang mereka tahu mereka di penjara walaupun
mereka berfikir mereka tidak salah, kenapa harus dibina” (wawancara pukul :
09.00 Wib, tanggal 5 Nov 2012).
Pernyataan-pernyataan di atas adalah gambaran komunikan dalam
komunikasi persuasif antara petugas pemasyarakatan dengan warga binaan di
Lapas kelas IIB Meulaboh. Komunikan disini banyak diantara mereka tidak
mengakui apalagi menyadari atas kesalahan yang mereka perbuat walaupun sudah
di dalam Lapas.
83
4.1.4 Pengaruh Komunikasi persuasif di Lapas Terhadap Warga Binaan
Warga binaan pemasyarakatan sebagai komunikan dalam komunikasi
peruasif di Lapas kelas IIB Meulaboh adalah sebagai penerima pesan dari
komunikator (persuader) yang tujuannya mempengaruhi. Pengaruh adalah
perubahan yang terjadi pada komunikan setelah menerima pesan dari
komunikator, baik itu dalam usaha mengubah/menguatkan keyakinaan (believe),
sikap (attitude) dan tingkah laku (behaviour) sesuai dengan yang di harapkan
komunikator. Apabila perubahan terjadi sesuai yang diharapkan oleh petugas
pemasyarakatan, maka komunikasi persuasif yang dilakukan berhasil, untuk
melihat pengaruh komunikasi persuasif petugas pemasyarakatan berikut ini data-
data dan pernyataan-pernyataan dari warga binaan :
Warga binaan kurang yakin dengan yang dikatakan petugas “apabila tidak
melakukan pelanggaran mereka akan mendapatkan hak-haknya”. Seperti yang
dikatakan oleh informan 6 dan 7 yaitu : “Padahal pernah disampaikan tentang
adanya asimilasi, tetapi setau saya tidak ada satu pun warga binaan yang
mendapatkannya, gak tau apa alasannya, sekarang yang ada satu-satunya
kebahagiaan, dan paling diharapkan adalah kujungan keluarga” (wawancara
pukul : 10.00 Wib dan 14.00 Wib, tanggal 24 Okt 2012 dan 08 Nov 2012).
Dan informan 7 juga mengatakan tidak semua yang tertulis itu, semuanya
dilaksanakan oleh petugas, dan apa yang ditulis banyak yang tidak diberikan :
“Saya tidak begitu paham dengan hak-hak itu, tetapi ada dikasih pulang
kerumah barang satu atau dua hari istilahnya cuti mengunjungi keluarga
(CMK), itu pun dengan syarat dan jaminan-jaminan, yang lain belum
pernah dikasih misalkan bebas bersyarat dan lain-lain, padahal masa
hukuman saya tinggal + 2 bulan lagi” (wawancara pukul : 02.00 Wib,
tanggal 08 Nov 2012).
84
Hal serupa juga dikatakan oleh informan 6, bahkan dia sudah beberapa
kali mengurusnya dan dia jadi pasrah saja : “asimilasi mana ada, ditulis semua ada
tapi saya sudah beberapa kali ngurus belum dapat-dapat, waktu saya tanya tidak
dijawab apa-apa, kadang takut melarikan diri, sekarangkan musimnya seperti
itukan, kalau dikasih pun paling-paling dapat cuti mengunjungi keluarga (CMK)”
(wawancara pukul : 10.00 Wib, tanggal 24 Okt 2012).
Mereka mengatakan sekarang tidak mau banyak menuntut kepada petugas
karena menurut mereka apa yang diberikan sudah lebih baik dari pada tidak ada
sama sekali seperti yang dikatakan informan 6 sebagai berikut : “jadi tamping
sudah syukur dari pada di dalam sel, saya tidak urus lagi asimilasi, dan lain-lain
itu. Terserah kapan diberikan kalau tidak diberikan pun ya sudah” (wawancara
pukul : 10.00 Wib, tanggal 24 Okt 2012).
Seperti yang dikatan oleh informan 7, dia pun tidak mau memintanya lagi,
dan masa tahanannya pun hampir selesai:
“tidak mau mempermasalahkan lagi terserah kebijakan kalapas, masa
hukuman pun tidak lama lagi, semua kesulitan yang dihadapi adalah
teguran dari tuhan atas kesalahan selama ini. Padahal hak-hak itu boleh
diminta, kalau tidak diberikan untuk apa dikatakan dan ditulis, tetapi takut
nanti terjadi masalah baru” (wawancara pukul: 14.00 Wib tanggal 08 Nov
2012).
Warga binaan sudah kurang percaya terhadap pesan-pesan yang
disampaikan petugas, seperti yang dikatakan informan 8 yaitu: “aturan dibuatkan
untuk dilanggar, mana ada yang benar! semua harus pakai uang, keluarga yang
berkujung saja masuk bayar apa lagi yang lain (wawancara pukul: 14.00 Wib,
tanggal 08 Nov 2012).
Bahkan ada warga binaan yang curi-curi kesempatan untuk pulang ketika
petugas lengah, seperti yang diungkan informan 7 yaitu: ”kalau minta izin pulang
85
dikasih, tetapi ada ketentuannya dan tidak bisa juga sebetar-sebentar cuti
mengunjungi keluarga, kalau mau pulang situasi lengang beginilah, nanti sebelum
ganti anggota jaga harus balik lagi, karena dihitung” (wawancara pukul : 14.00
Wib, tangal 08 Nov 2012).
Pernyataan di atas mengigatkan kita pada kejadian tangga 15 mei 2012
lalu, warga binaan yang bernama Hendra Suadi gara-gara pulang kerumah tanpa
seizin petugas Lapas, sehingga mengakibatkan terjadinya tindakan kekerasan dari
oknum petugas pada saat dia kembali ke Lapas (serambi indonesia, 26/07/2012,
hal17).
Sebelum kejadian tindakan kekerasan terhadap Hendra Suadi, Lapas kelas
IIB Meulaboh baru saja bermasalah dengan kaburnya tahanan, seperti ujar
Kalapas Drs, M Sulton Ma’arif "Yang lari itu sebenarnya sebanyak 42 orang.
Sebanyak 40 orang berstatus narapidana (napi) dan dua orang tahanan titipan,"
(http://aceh.tribunnews.com/2012/05/09/21-tahanan-berhasil-diringkus).
Dan juga kejadian tanggal 10 Oktober 2012, seorang warga binaan yang
tertangkap polisi menjadi pengedar narkoba diluar penjara, Sabtu (15/12/2012)
dari keterangan aparat kepolisian dan petugas sipir Lapas menyebutkan, pasca
ditangkap kembali Samsul dalam kasus sabu-sabu. Dan Samsul kembali
melakukan pelanggaran dengan kabur/melarikan diri dari Lapas Meulaboh
(http://aceh.tribunnews.com/2012/12/16/samsul-kabur-dengan-memanjat-dinding-
lapas).
Dari pernyataan-pernyataan dan data-data di atas dapat dilihat bahwa
kurang tercapainya tujuan komunikasi persuasif yang dilakukan petugas Lapas
yaitu pengaruhnya pada keyakinan, sikap dan perilaku warga binaan.
86
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pola Komunikasi Persuasif Antara Petugas dengan Warga Binaan di
Lapas Kelas IIB Meulaboh
Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh sebagai Unit Pelaksana
Teknis (UPT) dari Kanwil Kementrian Hukum dan HAM Aceh, pelaksanakan
pembinaan di Lapas dilaksanakan oleh bagian Binadik serta melibatkan bagian
pengamanan, karena kedua bagian ini tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
pembinaaan di dalam Lapas, pembinaan terhadap warga binaan dilakukan dengan
mengikuti peraturan perundang-undangan tentang pemasyarakatan, oleh sebab itu
dalam tahapan pembinaan yang dilakukan sesuia dengan Keputusan Menteri
Kehakiman RI No : M. 02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan, seperti yang telah dijelaskan pada proses pemasyarakatan.
Untuk mengetahui pola komunikasi persuasif yang digunakan dalam
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh, maka dapat dilihat
polanya melalui analisa unsur-unsur komunikasi berikut ini: karakteristik
komunikator, pesan persuasif yang disampaikan, dan kamunikan sebagai objek
pengaruh persuasif yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan.
4.2.1.1 Komunikator (persuader)
Petugas pemasyarakatan sebagai unsur penting dalam komunikasi
persuasif di Lapas kelas IIB Meulaboh, sebagai komunikator petugas
pemasyarakatan punya andil besar dalam mengelola pesan persuasif yang
disampaikan agar dapat diterima, diserap, dan ditafsirkan oleh warga binaan,
sehingga pesan persuasif yang disampaikan dapat mengubah sikap dan kemudian
berperilaku sebagaimana dikehendaki petugas pemasyarakatan.
87
Oleh karena itu, menurut Canggara, (2005:87) “untuk mencapai
komunikasi yang mengena, seorang komunikator harus mengukur kapasitas
dirinya, dan ia juga harus memiliki kredibilitas (credibility), punya daya tarik
(attraktive), dan kekuatan/kekuasan (power), sehingga apa yang disampaikan oleh
komunikator dapat berpengaruh terhadap komunikan”. Komunikasi persuasif di
Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh, ditinjau berdasarkan karakteristik
komunikatornya yaitu :
a. Kredibilitas (credibility)
Kredibilitas seorang komunikator sangat diperlukan dalam komunikasi
untuk mempengaruhi komunikan, hadirnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM
No. M HH-16 KP 05. 02 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pegawai Pemasrakatan,
adalah sebagai bukti pemerintah menyadari bahwa keberhasilan petugas
pemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya tidak terlepas dari kredibilitasnya.
Dari pernyataan-pernyatan informan dapat dilihat bahwa petugas
pemasyarakatan melakukan upaya-upaya untuk mempengaruhi pesepsi warga
binaan mengenai keparcayaan terhadap dirinya, menurut Effendy, (2003:43)
“kepercayaan kepada komunikator ditentukan oleh keahlian dan dapat tidak ia
dipercaya”.
Sebagai komponen kredibilitas, keahlian seorang petugas pemasyarakatan
sangat penting dalam komunikasi persuasif di Lapas kelas IIB Meulaboh, hal
tersebut apabila dikaitkan dengan pendapat Effendy, (2003:43) “pada umumnya
diakui bahwa pesan yang dikomunikasikan mempunyai daya pengaruh yang lebih
besar, apabila komunikatornya dianggap sebagai seorang yang ahli”, oleh sebab
itu petugas Lapas kelas IIB Meulaboh mengikuti pogram latihan jabatan, seperti :
88
pendidikan dasar PAS, instruktur PAS, piskologi dan sosial, instruktur
NARKOBA, dan lain-lain. Latihan jabatan tersebut dilakukan dengan tujuan
supaya ketika mereka ditempatkan pada posisi tertentu dapat bekerja sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga pembinaan yang ada di Lapas
kelas IIB Meulaboh dapat berjalan efektif.
Namun, apabila petugas pemasyarakatan juga masih tidak mampu
memberikan pembinaan kepada warga binaan, maka petugas pemasyarakatan bisa
melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga binaa Pemasyarakatan, Bab I Pasal 5, “Dalam rangka penyelenggaraan
pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat
mengadakan kerja sama dengan instansi Pemerintah terkait, badan-badan
kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya sesuai dengan
penyelenggaraan sistem pemasyarakatan”. Kerja sama yang sudah dan sedang
dilakukan Lapas kelas IIB Meulaboh saat ini, contohnya : kerja sama dengan,
Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian, Departemen Sosial, Departemen
Agama, majelis taqlim, tokoh masyarakat dan lain-lain.
Dalam komunikasi persuasif petugas pemasyarakatan di Lapas kelas IIB
Meulaboh petugas pemasyarakatan sangat membutuhkan kepercayaan dari warga
binaan, pentingnya kepercayaan bagi komunikator karena menurut Effendy,
(2003:44) “kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang
diterima komunikan dianggap benar dan sesuai dengan kepercayaan empiris”,
oleh sebab itu petugas pemasyarakatan berupaya memperoleh kepercayaan
89
tersebut tidak hanya dengan keahlian saja, tetapi petugas pemasyarakatan juga
melakukan pendekatan individu, serta perlakukan adil bagi semua warga binaan.
Pendekatan individu dilakukan petugas pemasyarakatan di Lapas kelas IIB
Meulaboh dengan cara perwalian terhadap warga binaan, dengan tujuan agar
petugas pemasyarakatan dapat lebih mengenali warga binaan yang diwalikannya,
menilai setiap perkembangan dari warga binaan yang sedang dibina, memberikan
solusi bagi setiap permasalahan yang dihadapi oleh warga binaan, dan menjadi
penghubung antara warga binaan dengan keluarganya ataupun sebaliknya.
Dengan perwalian yang dilakukan petugas pemasyarakatan merupakan upaya
persuasif petugas pemasyarakatan kepada warga binaan, sehingga mereka dapat
berkeluh kesah tentang setiap permasalahan yang ingin disampaikan. Hal tersebut
sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M. 02-PK.04.10 Tahun
1990, BAB VI Metoda Pembinaan, yaitu: pendekatan individu dilakukan petugas
pemasyarakatan “untuk mempertahankan citra yang ideal yang dimiliki para
petugas pemasyarakatan, maka pendekatan petugas pemasyarakatan dengan warga
binaan adalah bagaikan seorang dokter dengan pasiennya, seorang guru dengan
muridnya dan seorang orang tua dengan anaknya”.
Warga binaan pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh semuanya mempunyai
hak-hak dan kewajiban yang sama seperti yang telah diatur dalam Undang-
Undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, oleh karena itu petugas
pemasyarakatan dalam memberikan hak-hak warga binaan seperti remisi, cuti
mengunjungi keluarga (CMK), pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas
(CMB), cuti bersyarat (CB) dan lain-lain, ataupun dalam meberikan sanksi
terhadap pelanggaran yang diakukan, diputuskan melalui proses sidang Tim
90
Pengamat Pemasyarakatan (TPP), penilaian terhadap apa yang pantas diberikan
kepada warga binaan tersebut dilakukan oleh para Kasi-kasi, Kasubsi-kasubsi dan
semua elemen-elemen yang terlibat dalam proses pemasyarakatan. Tujuan dari
pengambilan keputusan melalui proses sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP) tersebut diharapkan memenuhi rasa adil bagi seluruh warga binaan yang
ada di Lapas kelas IIB Meulaboh.
Kredibilitas sebagai faktor penting pada diri petugas pemasyarakatan
dalam proses komunikasi persuasif di Lapas kelas IIB Meulaboh, namun
kredibilitas tidak terletak pada petugas pemasyarakatan, akan tetapi merupakan
seperangkat persepsi warga binaan terhadap sifat-sifat petugas pemasyarakatan,
seperti: dianggap cerdas, mampu, ahli, jujur, tulus, bermoral, etis, adil, dan
berpengalaman. Dari sifat-sifat tersebutlah, maka kredibilitas dianggap salah satu
penyebab timbulnya pengaruh komunikator terhadap komunikan, namun apabila
dilihat dari pernyataan-pernyataan warga binaan, maka upaya-upaya yang
dilakukan petugas pemasyarakatan untuk meraih kredibilitas tinggi belum tercapai
karena warga binaan masih mengeluh terhadap upaya-upaya yang dilakukan
petugas pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh.
b. Atraksi (attraktiveness)
Daya tarik komunikator dalam penelitian ini, yaitu kesamaan, dapat
memberikan ganjaran, juga mempunyai fisik yang sempurna. Menurut Cangara,
(2005:90) “bahwa orang bisa tertarik pada komunikator karena adanya kesamaan
demografi seperti bahasa, agama, suku, daerah asal, partai atau ideologi”. Dari
pendapat tersebut peneliti menyimpulkan bahwa daya tarik yang digunakan
91
supaya menarik perhatian warga binaan untuk mendengarkan seruan-seruan dari
petugas pemasyarakatan adalah kesamaan dan ganjaran.
Petugas pemasyarakatan melihat bahwa warga binaan yang mayoritas
beragama islam, maka berdasarkan kesamaan itulah dilakukan pendekatan agama
dalam mempengaruhi perilaku warga binaan, seperti ceramah-ceramah,
mengajarkan mereka cara-cara beribadah, baca Alqur’an, praktek sholat, bacaan
sholat dan lain-lain. Petugas pemasyarakatan mengharapkan dengan menanamkan
nilai-nilai agama dalam diri warga binaan, supaya menumbuhkan kesadaran
mereka untuk bertaubat, dan menyadari tentang apa yang telah dilakukan dahulu
adalah salah, dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dari penjelasan diatas bahwa dengan daya tarik tersebut petugas
mempunyai kemampuan persuasif karena dianggap punya kesamaan dengan
warga binaan yaitu kesamaan agama, maka dari itu dalam melakukan komunikasi
persuasif petugas pemasyarakatan berusaha menjadi kelompok yang disenangi
atau mewakili nilai-nilai yang ada dimasyarakat, hal tersebut adalah sebagai pintu
masuk untuk menanamkan kesadaran kepada warga binaan, bahwa setiap anggota
masyarakat harus mentaati, mematuhi,dan menjalankan nilai-nilai/norma-norma
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Menganai kesamaan tersebut
Byrne telah melakukan demonstrasi bahwa komunikan menyenangi komunikator
apabila adanya kesamaan antara komunikator dengannya (Effendy, 2003:44).
Daya tarik lainnya yaitu ganjaran, bagi warga binaan yang dicabut
kemerdekaannya di dalam Lapas merupakan sebuah penderitaan, dengan adanya
ganjaran yang berupa remisi, setiap hari besar agama dalam setahun sekali dan
setiap hari kemerdekaan, juga bisa mendapatkan cuti mengunjungi keluarga
92
(CMK), pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat
(CB) sesuai dengan ketentuan yang berlaku merupakan keingginan dan harapan,
karena hanya itu yang bisa mereka harapkan untuk meringankan hukuman setelah
mendapatkan putusan tetap dan mengikat dari pengadilan.
Selain ganjaran yang sudah dijelaskan di atas petugas juga memberikan
ganjaran seperti menjadikan warga binaan tahanan pendamping (tamping) bagi
yang sudah melalui 2/3 dari masa tahanan, dan dinilai berkelakuan baik selama
menjalani masa hukuman. Tahanan pendamping (tamping) merupakan
kepercayaan yang diberikan oleh petugas pemasyarakatan kepada warga binaan
untuk membantu kerja petugas di dalam Lapas, hal yang dilakukan tersebut adalah
Sosiabilitas petugas pemasyarakatan dengan melibatkan warga binaan dalam
kegiatan-kegiatan di dalam Lapas. Sosiabilitas adalah kesan komunikate tentang
komunikator sebagai orang yang periang dan senang bergaul (Rakhmat,
2008:260). Namun bagi warga binaan dengan menjadi tamping mereka
mempunyai kebebasan yang lebih di dalam Lingkungan Lapas karena mereka
tidak lagi dikurung dalam sel tahanan, akan tetapi keberadaan tamping sering
disalah gunakan.
Menurut pengamatan peneliti di Lapas kelas IIB Meulaboh, semua petugas
pemasyarakatan dari segi fisiknya sempurna dalam artian tidak cacat, hal tersebut
sangat penting seperti yang dikatakan Cangara, (2005:90) “seorang komunikator
sedapat mungkin memiliki bentuk fisik yang sempurna, sebab fisik yang cacat
bisa menimbulkan ejekan sehingga mengganggu jalannya komunikasi”.
93
c. Kekuasaan (power)
Petugas pemasyarakatan dalam menjalakan pembinaan dibekali dengan
seperangkat aturan yang berlaku di dalam Lapas, dengan adanya aturan-aturan
yang mewajibkan warga binaan mematuhi, dan mentaatinya, sehingga petugas
pemasyarakatan mempunyai kekuasaan terhadap warga binaaan. Petugas
pemasyarakatan memandang penting sebuah aturan supaya warga binaan dapat
tunduk dan patuh terhadap petugas.
Aturan-aturan tersebut dibuat berdasarkan pelanggaran yang terjadi,
maupun hal-hal berpotensi menjadi suatu pelanggaran, dan juga mengikuti norma-
norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat Meulaboh, namun aturan
tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
belaku tentang pemasyarakatan. Aturan dibuat supaya warga binaan patuh dan
taat kepada petugas pemasyarakatan dengan mewajibkan warga binaan harus
mengikuti setiap kegiatan-kegiatan pembinaan, dan menciptakan keadaan yang
kondusif di dalam Lapas. Dari kewajiban dan larangan tersebut ada ganjarannya
seperti yang telah dijelaskan pada komponen daya tarik diatas, namun ketika
persuasinya tidak berhasil dilakukan, maka kekuasaan yang dimilikinya akan
dilaksanakan, seperti contohnya dimasukkan ke sel isolasi, dicabut hak-haknya
dan lain-lain.
Komunikasi persuasif petugas pemasyarakatan berdasarkan kekuasaan
yang dimilikinya seperti pernyataan informan, bahwa mereka memberitahukan
kewajiban dan larangan yang berlaku di dalam Lapas secara terus-menerus,
petugas memperingatkan warga binaan agar tidak melakukan pelanggaran
terhadap peraturan yang berlaku di Lapas, karena dapat dikenakan sanksi
94
dimasukkan ke sel isolasi dan jika pelanggaran berat bisa saja hak-hak mereka
dicabut. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan teknik persuasif menurut Effendy,
(2000:24), “maka dalam kegiatan mempengaruhi orang lain dengan jalan
punisment yaitu menakut-nakuti atau mengambarkan konsekuensi yang buruk”.
Dalam konteks ini, petugas pemasyarakatan berusaha menakut-nakuti warga
binaan tentang sanksi yang akan diberikan apabila warga binaan melanggar aturan
yang berlaku di dalam Lapas, upaya tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
meraih ketundukan dari warga binaan supaya apa yang disarankan dapat diikuti.
Komunikasi persuasif di Lapas kelas IIB Meulaboh dengan mengunakan
komponen kekuasaan, yaitu kemampuan petugas pemasyarakatan untuk
mendatangkan sanksi ketika warga binaan melakukan pelanggaran, seperti
dimasukkan ke sel isolasi, dicabut hak-haknya, dan lain-lain sesuai dengan aturan
yang berlaku di Lapas, namun ketika tindakan tersebut tidak mampu merubah
perilaku warga binaan, maka tindakan yang dilakukan bisa saja dapat menjadi
tindakan kekerasan, contohnya tindakan kekerasan yang terjadi pada Hendra
Suadi tanggal 15 Mei 2012, saat itu ia pulang kerumah dengan alasan keluarga
tanpa izin dari petugas pemasyarakatan, sehingga perilaku Hendra Suadi dianggap
suatu pelanggaran aturan yang berlaku di Lapas, seharusnya pelangaran yang
dilakukan Hendra Suadi diproses melalui sidang tim pengamat pemasyarakatan
(TPP) mengenai sanksi yang akan diberikan, namun karena faktor petugas
pemasyarakatan yang tidak mampu menguasai emosi dan kurangnya pengetahuan
HAM dan prosedur dalam menjalankan tugas mengakibatkan terjadinya tindakan
kekerasan tersebut.
95
Dari penjelasan diatas kekuasaan yang dimiliki petugas pemasyarakatan
merupakan kekuasaan paksaan (koersif) dan Kekuasaan resmi (legal). Kekuasaan
koersif yang dimiliki adalah kemampuan petugas pemasyarakatan untuk
mendatangkan ganjaran atau hukuman pada warga binaan yang sifatnya personal,
seperti benci dan suka atau impersonal, seperti pencabutan hak-hak dan
pemberian hak-hak, sedangkan kekuasaan legal yang dimiliki petugas
pemasyarakatan berasal dari seperangkat peraturan-peraturan yang berlaku di
Lapas, sehingga petugas pemasyarakatan berwenang untuk melakukan suatu
tindakan terhadap warga binaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.2.1.2 Pesan Persuasif (persuasi yang dilakukan)
Pesan persuasif dalam komunikasi petugas pemasyarakatan dengan warga
binaan di Lapas kelas IIB Meulaboh, disampaikan mulai dari tahap awal
pembinaan, yaitu admisi dan orientasi (masa pengenalan lingkungan), dimana
setelah dilakukan penelitian guna mengetahui hal ikwal pada diri warga binaan
untuk menyesuaikan pembinaan yang akan dilakukan selanjutnya. Pada masa
masa pengenalan lingkungan (mapenaling) inilah warga binaan diberitahu tentang
aturan yang berupa kewajiban dan larangan bagi warga binaan, hak-hak, dan
kegiatan pembinaan yang ada di dalam Lapas.
Dari pernyataan-pernyataan informan, dapat dilihat beberapa teknik
persuasif yang dipakai dalam penyusunan dan penyampaian pesan kepada warga
binaan, apabila ditinjau dari teknik persuasif menurut Cangara, (2005: 113), maka
pesan komunikasi persuasif petugas pemasyarakatan yaitu dengan :
a. Metode Reward Appeal penyusunan dan penyampaian pesan dengan
menawarkan janji-janji kepada khalayak. Metode ini digunakan karena
96
petugas pemasyarakatan menganggap dengan mengiming-imingi hak-haknya
seperti remisi, asimilasi dan lain-lain, pesan yang disampaikan dapat
membangkitkan keperluan, dan kepentingan bagi warga binaan untuk
mendapatkan hak-haknya, yaitu dengan syarat patuh dan taat kepada petugas
dengan mematuhi dan mentaati kewajiban dan larangan yang berlaku di dalam
Lapas. Janji-janji yang ditawarkan kepada warga binaan sudah sesuai dengan
keperluan dan kepentingan, sebab mereka sedang dicabut kemerdekaannya di
dalam Lapas sangat menginginkan kebebasan.
b. Metode Fear Appeal penyusunan dan penyampaian pesan dengan
menimbulkan rasa ketakutan pada khalayak. Metode ini dipakai petugas
dengan cara mengenalkan aturan-aturan mengenai kewajiban dan larangan
yang berlaku di dalam Lapas, setelah mereka paham terhadap aturan yang
berlaku di dalam Lapas, petugas menyampaikan pesan kepada warga binaan
supaya melakukan kewajiban, dan tidak melakukan pelanggaran dengan cara
menakut-nakuti warga binaan akan gambaran konsekuensi yang buruk
terhadap setiap pelanggaran yang mereka lakukan, seperti dikurung di sel
isolasi, dan bahkan apabila melakukan pelanggaran berat bisa saja hak-hak
mereka dicabut.
c. Metode Emotional appeal ialah cara penyusunan atau penyampaian pesan
dengan cara mengubah emosional khalayak. Metode emosional mengunakan
pernyataan-pernyataan atau bahasa yang menyentuh emosi komunikan dengan
mempermainkan bahasa dan ekspresi bahasa serta dengan mengunakan kata-
kata. Metode yang dilakukan petugas pemasyarakatan yaitu menyakinkan
warga binaan bahwa mereka bisa berubah lebih baik, dan dapat diterima
97
kembali dilingkungan masyarakat setelah bebas nanti. Petugas mengatakan
bahwa semua orang pernah melakukan kesalahan, namun tidak semua mau
bertaubat, masuk ke dalam Lapas merupakan teguran dari Allah. Namun
apabila menjalani hukuman dengan benar, dan mengikuti setiap kegiatan
pembinaan, karena pembinaan yang diberikan menjadi bekal saat berintegrasi
kembali kelingkungan masyarakat. Pesan-pesan seperti itu disampaikan
dengan tujuan menyentuh reaksi emosional dari warga binaan untuk
menggugah hati mereka.
d. Metode Motivational Appeal ialah teknik penyusunan pesan yang dibuat
bukan karena janji-janji, tetapi disusun untuk menumbuhkan internal
psikologis khalayak sehingga mereka dapat mengikuti pesan-pesan itu.
Metode ini digunakan petugas untuk dapat membangkitkan harapan-harapan
bagi warga binaan bahwa apabila bertaubat mereka akan diterima kembali di
lingkungan masyarakat, dan dapat menjalani hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab, oleh kerena itu petugas pemasyarakatan
memotivasi mereka untuk berkelakuan baik, yaitu dengan cara memberikan
mereka pengetahuan agama dan umum, sehingga mereka menyadari sendiri
apa yang dilakukannya dahulu salah, merugikan diri sendiri dan orang lain,
sehingga berusaha untuk menjadi lebih baik/bertaubat.
e. Metode Humorious appeal ialah teknik penyusunan pesan yang disertai
humor, sehingga dalam penerimaan pesan khalayak tidak merasa jenuh, pesan
yang disertai humor mudah diterima, enak dan menyenangkan. Hanya saja
dalam penyampaian pesan yang diseratai humor diusahakan jangan sampai
menyentuh aspek kejiwaan. Berangkat dari teori di atas maka jelas bahwa
98
untuk menarik dan memikat perhatian warga binaan perlu adanya humor hal
tersebut sering dilakukan pada saat warga binaan beristirahat setelah selesai
mengikuti kegiatan-kegiatan pembinaan, hal itu dilakukan dengan tujuan
supaya menghindari hubungan komunikasi yang kaku antara petugas
pemasyarakatan dengan warga binaan.
Dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan informan, bahwa inti dari
pesan persuasif yang disampaikan adalah upaya petugas pemasyarakatan dalam
menyarankan warga binaan untuk berperilaku sebagaimana yang dikehendaki.
Oleh karena itu, melalui teknik persuasif di atas pesan petugas pemasyarakatan
yang menyarankan secara langsung maupun tidak langsung kepada warga binaan
untuk tidak melakukan pelanggaran, menjalankan kewajiban mereka punya
kesempatan mendapatkan hak-haknya, sesuai yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku tentang pemasyarakatan.
4.2.1.3 Komunikan (Warga Binaan Pemasyarakatan)
Komunikan dalam penelitian ini adalah warga binaan yang karena
kesalahannya mereka harus berada di dalam Lapas, warga binaan pemasyarakatan
adalah sebagai anggota masyarakat yang sementara dicabut kemerdekaan adalah
manusia yang memiliki harga diri, potensi dengan hak-hak dan kewajiban yang
sama dengan anggota masyarakat lainnya, warga binaan merupakan subjek bagi
berbagai pengaruh, diantaranya pengaruh komunikasi persuasif petugas
pemasyarakatan yang berusaha merubah tingkah lakunya.
Menurut pernyataan-pernyataan informan tujuan warga binaan di dalam
Lapas, yaitu untuk melindungi masyarakat yang lain dari tindakan yang mungkin
akan diulanginya, oleh karena itu mereka perlu diberi pembinaan-pembinaan
99
sebagai bekal setelah bebas nanti. Petugas pemasyarakatan menganggap warga
binaan adalah orang-orang lemah secara mental, spritual, maupun ekonomi oleh
sebab itu mereka melakukan tindak pidana, maka perlu adanya pembinaan
kepribadian dan kemandirian. Selain itu Warga binaan tingkat pendikannya
rendah, baik itu pendidikan fomal maupun non formal dan juga banyak dari warga
binaan yang masih berfikir bahwa dirinya tidak salah, walaupun sudah mendapat
putusan pengadilan, sehingga sulit bagi petugas untuk membina mereka.
Maka, yang harus dilakukan petugas pemasyarakatan supaya komunikasi
yang digunakan dapat berjalan efektif yaitu menurut Effendy (2003:45), seorang
komunikator akan sukses dalam komunikasinya kalau ia menyesuaikan
komunikasinya dengan the image dari komunikan, yaitu memahami
kepentingannya, kebutuhannya, kecakapannya, kesulitannya, dan sebagainya.
Singkatnya, komunikator harus dapat menjagai kesemestaan alam mental yang
terdapat pada komunikan, yang oleh Hartley disebut “the image of other”.
4.2.2 Pengaruh Komunikasi Pesuasif di Lapas Terhadap Warga Binaan
Pengaruh komunikasi persuasif di Lapas kelas IIB Meulaboh ialah
perubahan yang terjadi pada warga binaan setelah menerima pesan dari petugas
pemasyarakatan, perubahan tersebut menjadi penilaian berhasil atau tidaknya
komunikasi persuasif yang dilakukan. Menurut Cangara, (2005:147) “pengaruh
dapat dikatakan mengena jika perubahan (P) yang terjadi pada penerima sama
dengan tujuan (T) yang diinginkan komunikator (P=T), atau seperti rumus yang
dibuat oleh Jamias, yakni pengaruh (P) sangat ditentukan oleh sumber, pesan,
media, dan penerima” (P=S/P/M/P).
100
Dari pernyataan-pernyataan informan, komunikasi persuasif petugas
pemasyarakatan adalah bagaimana caranya supaya warga binaan mentaati dan
mematuhi aturan-aturan yang berlaku, serta mengikuti setiap kegiatan yang
dilaksanakan. Perubahan yang diharapkan kepada warga binaan adalah sesuai
dengan tujuan pemasyarakatan yang diamanatkan dalam Undang-Undang No : 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. sehingga pembinaan yang dilakukan dapat
menjadikan warga binaan lebih baik dari sebelum masuk ke dalam Lapas.
Ditinjau dari sumbernya, komunikasi persuasif petugas pemasyarakatan
berdasarkan karakteristik komunikator, maka pengaruh dari komponen
kredibilitas, atraksi belum efektif, ini dibuktikan oleh kepercayaan warga binaan
kepada petugas pemasyarakatan masih kurang, hal tersebut dapat mempengaruhi
perubahan sikap warga binaan, seperti pendapat Effendy, (2003:43) “bahwa
kepercayaan yang besar akan dapat meningkatkan perubahan sikap, sedangkan
kepercayaan yang kecil akan mengurangi daya perubahan yang menyenangkan”.
Kesan warga binaan terhadap petugas pemasyarkatan yaitu memiliki sifat tertutup,
sulit untuk dipahami, warga binaan juga merasa takut karena petugas
pemasyarakatan mempunyai kekuasaan (power) terhadap mereka dalam
memberikan sanksi, sehingga merasa enggan menyampaikan permasalahan yang
dihadapinya, dan hanya bisa pasrah.
Apabila dilihat dari metode Reward Appeal (ganjaran) pengaruh
komunikasi persuasif berdasarkan janji-janji mengenai hak-hak yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan tentang pemasyarakatan, ada yang tidak
diberikan khususnya yang sangat mereka inginkan, diantaranya : kerja pada pihak
luar, pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB) dan lain-lain tanpa
101
dijelaskan sebab dan alasannya, hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan
terhadap petugas pemasyarakatan karena tidak berbanding lurus dengan yang
diucapkan dan dituliskan, maka pengaruh dari metode Reward appeal yang
digunakan juga sangat dipengaruhi dan mempengaruhi kredibilitas petugas
pemasyarakatan.
Komunikasi persuasif antara petugas pemasyarakatan dengan warga
binaan berdasarkan penyusunan pesan yang memakai metode Fear Appeal
(menakut-nakuti) dengan ancama konsekuensi yang buruk kepada warga binaan
yang melakukan pelanggaran, namun ketika terjadi pelanggaran dari warga binaan
hal tersebut tidak saja sekedar acaman tetapi dilakukan tindakan-tidakan nyata
dari ancaman sesuai dengan tingkatan pelanggaran yang dilakukan, oleh sebab itu
metode Fear Appeal menurut Cangara, (2005:113) “sebenarnya khalayak kurang
senang menerima pesan yang disertai ancaman yang menakutkan sebab mereka
tidak dapat menentukan sikap dan mengemukakan pendapatnya”. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sikap warga binaan karena adanya
tekanan psikologis dari sanksi yang diberlakukan apabila warga binaan
melakukan pelanggaran, sehingga walaupun ada perubahan sikap warga binaan itu
disebabkan karena terpaksa.
Terkait dengan penyampaian pesan dengan mengunakan metode Fear
Appeal Werner & James, (2007:192), mengatakan bahwa “pemakaian Fear
Appeal dapat menjadi upaya yang beresiko, pesan yang didesain untuk
menimbulkan rasa takut dapat menimbulkan emosi-emosi lain pula. selain itu,
beberapa emosi seperti rasa terkejut dan rasa sedih dapat mendorong diterimanya
pesan sedangkan emosi lain seperti rasa bingung dan marah dapat mengurangi
102
diterimanya pesan”. Mengenai hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian
Heilman dan Garner (dalam Rakhmat, 2008:266), “komunikate akan lebih baik
diyakinkan untuk melakukan perilaku yang tidak disukai dengan dijanjikan
ganjaran dari pada diancam dengan hukuman. Ancaman yang kuat bahkan dapat
menimbulkan efek boomerang – alih-alih tunduk malah melawan”.
Namun, pengaruh komunikasi pesuasif di Lapas kelas IIB Meulaboh
dilihat dari metode motivasi, menurut pengamatan dan pernyataan informan
belum dilakukan maksimal, sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar, walaupun
sudah ada diantara warga binaan yang mulai untuk menjalankan ibadah, belajar
pengetahuan agama dan umum, mengikuti pembinaan kemandirian, dan lain-lain
tanpa harus diperintah atau pun dipaksa oleh petugas. Namun karena motivasi
terhadap warga binaan belum dilakukan secara maksimal, maka bagi beberapa
warga binaan, motivasi dari dirinya dan lingkungan lebih kuat, sehingga kembali
melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran aturan yang berlaku didalam
Lapas.
103
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari pernyataan-pernyataan yang diutarakan dari hasil wawancara dengan
narasumber dalam penelitian ini, yakni petugas pemasyarakatan dan warga binaan
dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam penelitian ini pembinaan yang dilakukan
di Lapas kelas IIB Meulaboh yaitu :
a. Pola Komunikasi persuasif di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Meulaboh
adalah petugas pemasyarakatan dalam komunikasinya cenderung
mengunakan kekuasaan (power) yang berasal dari peraturan perundang-
undangan tentang pemasyarakatan, dan aturan-aturan yang berlaku di dalam
Lapas.
b. Pengaruh Komunikasi komunikasi persuasif petugas pemasyarakatan dengan
warga binaan yaitu warga binaan tertekan secara piskologis, dan perubahan
perilaku yang terjadi karena sedikitnya pilihan.
5.2 Saran
Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dan dari pernyataan-
pernyataan yang diperoleh dari wawancara yang peneliti lakukan. Maka peneliti
memberikan saran :
a. Untuk Kalapas, ada baiknya untuk lebih meningkatkan sumber daya manusia,
khususnya pada bagian pembinaan dan pengamanan, baik itu kualitas maupun
kuantitas supaya dapat tercapainya tujuan dari pemasyarakatan.
104
b. Untuk Kasi Binadik, agar dalam menyusun program pembinaan dengan upaya
persuasif lebih ditingkatkan, dan dapat berjalan dengan efektif, sehingga
pengaruhnya terhadap perubahan perilaku warga binaan lebih besar dan tahan
lama.
c. Untuk KPLP, agar petugasnya lebih ditingkatkan lagi pengetahuan HAM dan
prosedur yang berlaku di dalam Lapas, dan jangan mudah terpacing emosi dan
lebih sabar supaya dalam melakukan tugas dapat sesuai prosedur.
d. Untuk Lembaga Pemasyarakatan, dari beberapa teknik persuasif petugas
petugas pemasyarakatan yang sudah ada agar dapat diimplementasikan dengan
baik dan optimal, sehingga dapat menghasilkan pembinaan yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H. Anwar. 2006. Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas. Rajawali
Pers, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi. 2007. Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktek).
Rineka Cipta. Jakarta.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Rineka Cipta.
Jakarta.
Buhan Bungin. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Bidang Pembinaan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan
HAM RI. 2006. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang
Pemasyarakatan. Jakarta.
Cangara, Hafied. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Deddy Mulyana. 2001. Ilmu Komunikasi (suatu pengantar). PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Deddy Mulyana. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Deddy Mulyana. 2009. Ilmu Komunikasi (suatu pengantar). PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Dedy Djamaluddin.M dan Yosal I. 1994. Komunikasi Persuasif. PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Devito, Joseph A. 2007.The Interpersonal Communications Book . USA, Pearson
Educaton Inc.
Effendi, Onong Uchjana.2009. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Remaja
Rosda Karya, Bandung.
Effendi, Onong Uchjana.2003. Ilmu, Teori dan filsafat Komunikasi, cetakan ke3.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Effendi, Onong Uchjana.2000. Ilmu, Teori dan filsafat Komunikasi, cetakan ke2,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Effendi, Onong Uchjana. 1990. Radio Siaran Teori Dan Praktek, CV. Mandar
Maju, Bandung.
Elizabeth B. Hurlock. 1999. Perkembangan Anak. Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Alih bahasa Meitsari Tjandrasa, Muslichah Zarkasih.
Faisal. Sanapiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial. Ed.8. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
H.A.W. Widjaja. 2008. Komunikasi & Hubungan Masyarakat, PT Bumi Aksara,
Jakarta.
Hasni. 2007. pelaksanaan pembinaan narapidana pada lembaga pemasyarakatan
kelas II B Meulaboh, skripsi, Fakultas Hukum universiatas Abulyatama.
Jalaludin Rakhmat. 2008. psikologi komunikasi edisi revisi, Rosda Karya.
Bandung.
Krisyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Cetakan 2.
Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Lexy J. Moleong. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Mubarok, Achmad. 1999. Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Petrus I.P. dan Pandapotan S. 1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif
Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Syaiful Bahri Djamarah. 2004. Pola komunikasi orang tua dan anak dalam
keluarga, Rineka Cipta, Jakarta.
Sastroputro, Santoso. 1988. Komunikasi Persuasi dan Disiplin Pembangunan
Nasional, Bandung : Alumni.
Sudjono Dirjosisworo. 1984. sejarah dan azas-azas penologi (pemasyarakatan),
Alumni, Bandung.
Soejanto, Agoes. 2005. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr. 2001. communication theories :
origins, methos, use in the mass media © Addison wesly, dialih bahasakan
oleh Sugeng Harianto, Teori Komunikasi : Sejarah, Metode & Terapan di
dalam Media Massa-edisi revisi ke 5, Kencana 2007, Jakarta.
Yesmil Anwar dan Adang. 200., Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Widya
Padjdjaran, Bandung.
Yus Badudu. 1980. Membina Bahasa Indonesia Buku Seri Dua (2), Pustaka
Prima, Bandung.
Internet :
______, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia No. M HH-KP.
05. 02 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan. Jakarta.
http://www.depkumham.go.id. diakses 09 Juli 2012.
______, Siti Arofah 2009. http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/05610113-
siti-arofah.ps, di akses tanggal 27 november 2012.
______, Devie Puspitasari Suganda, 2010. http://elibrary.unisba.ac.id/files/10-
2123_Fulltext.pdf, diakses tanggal 27 November 2012.
______, Mei 2012. http://aceh.tribunnews.com/2012/05/09/21-tahanan-berhasil-
diringkus, Diakses tanggal 29 November 2012.
Ebta Setiawan © 2012-2013 KBBI Online (http://kbbi.web.id) versi 1.2 Database
merupakan Hak Cipta Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa), diakses tanggal 29 November 2012.
Lampiran I
Daftar Panduan Wawancara
1. Sudah berapa lama Bapak/Ibu menjadi pegawai Lapas ?
2. Seperti apa proses pemasyarakatan yang dilaksanakan di Lapas kelas IIB meulaboh,
dan bagaimana implementasinya ?
3. Siapa saja yang terlibat dalam proses pemasyarakatan tersebut ?
4. Dari program pembinaan tersebut menurut Bapak/Ibu yang sifatnya persuasif seperti
apa?
5. Bagaimana pengunaan komunikasi persuasif dalam pelaksanaan kegiatan pembinan ?
6. Kendala apa saja yang dihadapi petugas pemasyarakatan dalam melakukan
komunikasi persuasif dengan warga binaan ?
7. Apa saja yang Bapak/Ibu lakukan dalam memotivasi warga binaan agar merubah
perilakunya supaya lebih baik? Apa ada cara lain?
8. Bagaimana penilaian Bapak/Ibu atas berhasil tidaknya komunikasi persuasif yang
dilakukan ?
9. Menurut Bapak/Ibu apa saja yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan apabila ada
warga binaan yang masih melakukan pelanggaran ?
10. Pendekatan seperti apa yang dilakukan petugas Lapas kepada saudara ?
11. Seperti apa penilaian saudara terhadap petugas pemasyarakatan ? mengenai apa saja ?
12. Apa keluhan saudara terhadap pembinaan yang sudah diberikan di dalam Lapas, dan
apa harapan-harapan selanjutnya ?
13. Seperti apa keadaan yang saudara rasakan di dalam Lapas dan apa saja yang dilakukan
petugas pemasyarakatan kepada saudara ?
14. Apakah menurut saudara komunikasi petugas pemasyarakatan mudah dipahami,
dimengerti, dapat saudara serap dengan baik
Lampiran II
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995
TENTANG
PEMASYARAKATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu;
b. bahwa perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan system kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan;
c. bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab;
d. bahwa sistem kepenjaraan yang diatur dalam Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheidstelling (Stb. 1917-749, 27 Desember 1917 jo. Stb. 1926-488) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan, Gestichten Reglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917), Dwangopvoeding Regeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917) dan Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (Stb. 1926-487,6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan, tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-undang tentang Pemasyarakatan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) jo. Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3080);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMASYARAKATAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
4. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan.
5. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan.
6. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.
8. Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
9. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang
berada dalam bimbingan BAPAS.
10. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang pemasyarakatan.
Pasal 2
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Pasal 3
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar
dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pasal 4
1) LAPAS dan BAPAS didirikan di setiap ibukota kabupaten atau kotamadya.
2) Dalam hal dianggap perlu, di tingkat kecamatan atau kota administratif dapat
didirikan Cabang LAPAS dan Cabang BAPAS.
BAB II PEMBINAAN
Pasal 5
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. pendidikan;
d. pembimbingan;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
Pasal 6
1) Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di LAPAS dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh BAPAS.
2) Pembinaan di LAPAS dilakukan terhadap Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam BAB III.
3) Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap:
a. Terpidana bersyarat;
b. Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan
bersyarat atau cuti menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan
kepada orang tua asuh atau badan sosial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan
kepada orang tua asuh atau badan sosial; dan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan
kepada orang tua atau walinya.
Pasal 7
1) Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.
2) Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS
dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
1) Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di
bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
2) Pejabat Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di angkat dan
diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 9
1) Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi
pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan
yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
2) Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
Bagian Pertama Narapidana
Pasal 10
1) Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar.
2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status
Terpidana menjadi Narapidana.
3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan
pembebasan Narapidana di LAPAS.
Pasal 11
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi :
a. pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Terpidana.
Pasal 12
1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan
penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.
Pasal 13
Ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan Narapidana diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 14
1) Narapidana berhak :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 15
1) Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan
tertentu.
2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
1) Narapidana dapat dipindahkan dari satu LAPAS ke LAPAS lain untuk
kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. proses peradilan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.
2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Narapidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
1) Penyidikan terhadap Narapidana yang terlibat perkara lain baik sebagai
tersangka, terdakwa, atau sebagai saksi yang dilakukan di LAPAS tempat
Narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dilaksanakan setelah penyidik
menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang dan
menyerahkan tembusannya kepada Kepala LAPAS.
2) Kepala LAPAS dalam keadaan tertentu dapat menolak pelaksanaan penyidikan di
LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar
LAPAS setelah mendapat izin Kepala LAPAS.
4) Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibawa ke luar LAPAS
untuk kepentingan:
a. penyerahan berkas perkara;
b. rekonstruksi; atau
c. pemeriksaan di sidang pengadilan.
5) Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) Narapidana hanya dapat dibawa ke luar LAPAS setelah
mendapat izin tertulis dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
6) Jangka waktu Narapidana dapat dibawa ke luar LAPAS sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan ayat (5) setiap kali paling lama 1 (satu) hari.
7) Apabila proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan di
luar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang
sedang dijalani, Narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke LAPAS
tempat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16.
Dan seterusnya Pasal 18 sampai dengan pasal 54.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TTD
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1995
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TTD
MOERDIONO
Lampiran III
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR M.HH.16.KP.05.02 TAHUN 2011
TENTANG
KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa keberhasilan pegawai pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pelayanan,
pembinaan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, pengelolaan benda
sitaan dan barang rampasan serta dalam pergaulan hidup sehari-hari, salah satunya
ditentukan oleh integritas moral dan keteladanan sikap, dan tingkah laku pegawai
pemasyarakatan;
b. bahwa untuk menjaga integritas moral dan keteladanan sikap, dan tingkah laku
pegawai pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004
tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Kode Etik
Pegawai Pemasyarakatan;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3890);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3614);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor i 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4450);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
6. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara;
7. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi
Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun
2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
8. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-05.0T.01.01
Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
676);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG
KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN.
BAB 1 KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah
pedoman sikap, tingkah laku atau perbuatan pegawai pemasyarakatan dalam
pergaulan hidup sehari-hari guna melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan,
pembinaan, dan pembimbingan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan serta
pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan.
2. Pegawai Pemasyarakatan adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menjalankan tugas dan fungsi di bidang
pemasyarakatan.
3. Majelis Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Majelis
Kode Etik adalah lembaga nonstruktural yang bertugas melakukan penegakan
pelaksanaan dan menyelesaikan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh
Pegawai Pemasyarakatan.
BAB II PRINSIP DASAR
Pasal 2
Prinsip dasar dalam menjalankan tugas Pemasyarakatan meliputi:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia;
d. menghormati harkat dan martabat manusia;
e. memiliki rasa kemanusiaan, kebenaran dan keadilan;
f. kejujuran dalam sikap, ucapan, dan tindakan;
g. keikhlasan dalam berkarya; dan
h. berintegritas dalam setiap aktifitas.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Pegawai Pemasyarakatan harus memiliki
etos keija sebagaimana tercantum dalam Tri Dharma Petugas Pemasyarakatan.
BAB III
ETIKA PEGAWAI PEMASYARAKATAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 4
1) Setiap Pegawai Pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas kedinasan dan
pergaulan hidup sehari-hari wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam:
a. berorganisasi;
b. melakukan pelayanan terhadap masyarakat;
c. melakukan pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan;
d. melakukan pengelolaan terhadap benda sitaan dan barang rampasan;
e. melakukan hubungan dengan aparat hukum lainnya; dan
f. kehidupan bermasyarakat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
2) Setiap Pegawai Pemasyarakatan wajib mematuhi, mentaati, dan melaksanakan
etika sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua Etika dalam Berorganisasi
Pasal 5
Etika Pegawai Pemasyarakatan dalam berorganisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a, sebagai berikut:
a. menjalin hubungan keija yang baik dengan semua rekan kerja, baik bawahan
maupun atasan, meliputi:
1. menghormati hak orang lain untuk dapat bekerja dalam suasana yang tenang,
aman dan kondusif;
2. tidak memberikan penilaian secara subyektif dan tanpa kewenangan atas
tindakan atau pekerjaan orang lain;
3. menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan atau ucapan yang dapat
menyinggung perasaan dan harga diri orang lain;
4. bertindak secara proporsional sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang
diembannya;
5. menunjukkan rasa hormat ketika berkomunikasi;
6. memberikan saran, masukan dan pertimbangan kepada atasan secara
proporsional sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya untuk
kepentingan organisasi; dan
7. memiliki rasa setia kawan dan tenggang rasa.
b. melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab, meliputi:
1. berani mengambil keputusan sesuai dengan kewenangannya;
2. pengambilan keputusan harus didasarkan pada rasa keadilan dan kepastian
hukum;
3. mengkomunikasikan setiap tindakan dan keputusan kepada pimpinan secara
berjenjang dengan jelas dan tepat;
4. mengutamakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan permasalahan;
5. tidak menyembunyikan kebenaran; dan
6. tidak melakukan penyalahgunaan terhadap dokumen.
c. taat dan disiplin pada aturan organisasi, yang meliputi:
1. tidak melakukan perbuatan melanggar hukum seperti berjudi, mengkonsumsi
narkoba dan minuman beralkohol, dan tidak melakukan perbuatan tercela
yang dapat menurunkan harkat dan martabat Pegawai Pemasyarakatan.
2. mengenakan pakaian dinas/seragam secara pantas sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan;
3. menjaga penampilan diri secara pantas sebagai wujud penghormatan terhadap
profesi;
4. selalu bekeija dalam waktu yang telah ditetapkan;
5. mematuhi perintah atasan dalam batas kepentingan organisasi dan sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan;
6. tidak menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
kerabat, teman atau rekan;
7. tidak membuat keputusan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat,
teman atau rekan;
8. berani memberikan informasi kepada atasan terkait dengan segala sesuatu
yang dapat merugikan/ mengganggu kepentingan organisasi;
9. tidak melempar tanggung jawab atas tugas yang menjadi tanggung jawabnya;
dan
10. tidak menyalahgunakan kewenangan, fasilitas dinas, atribut, dan/atau tanda
pengenal lainnya.
Bagian Ketiga
Etika dalam Melakukan Pelayanan Terhadap Masyarakat
Pasal 6
Etika Pegawai Pemasyarakatan dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b,sebagai berikut:
a. mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau
golongan, meliputi:
1. memberikan pelayanan yang responsif dengan menggunakan standar yang
terbaik;
2. tidak mencari keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan
masyarakat;
3. memberikan pelayanan secara tepat waktu dan taat aturan; dan
4. memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat secara benar.
d. terbuka terhadap setiap bentuk partisipasi, dukungan, dan pengawasan
masyarakat, meliputi:
1. terbuka untuk menerima setiap saran, kritik, dan masukan tanpa mempunyai
prasangka negatif;
2. membangun jejaring kerja sama dengan segenap unsur masyarakat untuk
kepentingan pelaksanaan tugas; dan
3. menghargai setiap bentuk partisipasi masyarakat.
e. tegas, adil, dan sopan dalam berinteraksi dengan masyarakat, meliputi:
1. mengambil tindakan secara cepat dan tepat untuk kepentingan masyarakat;
2. memberikan pelayanan dengan senyum dan ramah serta menghindarkan diri
dari kesombongan;
3. memberikan perlakuan yang tidak diskriminatif; dan
4. menolak segala hadiah dalam bentuk apapun yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan tugas.
Bagian Keempat Etika dalam Melakukan Pelayanan, Pembinaan, dan
Pembimbingan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan
Pasal 7
Etika Pegawai Pemasyarakatan dalam melakukan pelayanan, pembinaan, dan
pembimbingan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebagai berikut:
a. menghormati harkat dan martabat Warga Binaan Pemasyarakatan, meliputi:
1. menghormati hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
2. menjauhkan diri dari segala bentuk tindak kekerasan dan pelecehan;
3. menghormati dan menjaga kerahasiaan Warga Binaan Pemasyarakatan; dan
4. selalu ramah dan sopan dalam berinteraksi dengan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
b. mengayomi Warga Binaan Pemasyarakatan, meliputi:
1. memberikan rasa aman dan tentram terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan;
2. menindaklanjuti setiap saran, keluhan, atau pengaduan yang disampaikan
Warga Binaan Pemasyarakatan secara tepat dan cepat;
3. tidak diskriminatif terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan atas dasar suku,
agama, ras atau lainnya yang dapat menimbulkan situasi yang tidak kondusif;
4. memenuhi hak Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa mengharapkan
balasan/pamrih.
c. tanggap dalam bertindak, tangguh dalam bekerja dan tanggon dalam
berkepribadian, meliputi:
1. teliti, cermat, dan cepat dalam menilai situasi;
2. mampu mengambil tindakan secara tegas terhadap setiap bentuk perilaku yang
melanggar tata tertib/ aturan;
3. tidak melakukan hal yang bertentangan dengan moral dan hukum;
4. menguasai keahlian dalam melaksanakan tugas;
5. kesanggupan untuk menegakkan keadilan dan
6. kejujuran; dan
7. menjaga kewaspadaan dan kehati-hatian.
d. bijaksana dalam bersikap, meliputi:
1. menggunakan akal budi, pengalaman, dan pengetahuan secara cermat dan teliti
apabila menghadapi kesulitan, tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan
tugas;
2. memberikan perhatian khusus terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang
mempunyai kebutuhan khusus, seperti anak-anak, wanita, lanjut usia, atau
penderita penyakit permanen;
3. mempunyai keinginan untuk mengembangkan kapasitas diri untuk
mendukung pelaksanaan tugas;
4. mempunyai kemampuan mengendalikan perkataan, sikap, dan perbuatan
sehingga menumbuhkan sikap hormat Warga Binaan Pemasyarakatan; dan
5. mampu menempatkan dirinya secara tepat di hadapan Warga Binaan
Pemasyarakatan baik sebagai petugas, teman, saudara, maupun orang tua
tanpa kehilangan kewibawaan.
Bagian Kelima
Etika dalam Melakukan Pengelolaan Terhadap Benda Sitaan
dan Barang Rampasan
Pasal 8
Etika Pegawai Pemasyarakatan dalam melakukan pengelolaan terhadap benda sitaan
dan barang rampasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, sebagai
berikut:
a. teliti dan cermat dalam menilai barang sitaan dan barang rampasan;
b. mampu mengambil tindakan secara tegas terhadap setiap bentuk ancaman;
c. mampu menilai kondisi yang dapat menimbulkan rusaknya benda sitaan dan
barang rampasan;
d. tidak tergoda untuk melakukan hal yang bertentangan dengan norma moral dan
hukum;
e. menguasai keahlian dalam melaksanakan tugas;
f. menjaga kewaspadaan dan kehati-hatian; dan
g. tidak memanfaatkan benda sitaan dan barang rampasan tanpa hak untuk
kepentingan pribadi.
Bagian Keenam
Etika dalam Melakukan Hubungan dengan Aparat Penegak
Hukum Lainnya
Pasal 9
Etika Pegawai Pemasyarakatan dalam melakukan hubungan dengan aparat penegak
hukum lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, sebagai
berikut:
a. menghormati dan menghargai kesetaraan profesi, meliputi:
1. mampu menjalin kerja sama secara bertanggung jawab;
2. memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan standar prosedur pelayanan
yang telah ditetapkan; dan
3. memelihara dan memupuk kerjasama yang baik tanpa merusak tanggung
jawab.
b. menjaga kehormatan dan kewibawaan profesi yang meliputi:
1. selalu bersikap ramah dan sopan namun tetap tegas dalam menegakkan aturan;
dan
2. tidak mengeluarkan ucapan atau melakukan tindakan yang dapat merendahkan
diri sendiri ataupun profesi.
Bagian Ketujuh Etika dalam Kehidupan Bermasyarakat
Pasal 10
Etika Pegawai Pemasyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, sebagai berikut:
a. tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik;
b. tidak menjadi anggota atau pengurus organisasi sosial kemasyarakatan/
keagamaan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan;
c. tidak menjadi penagih utang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
d. tidak menjadi perantara atau makelar perkara dan pelindung perjudian, prostitusi,
dan tempat hiburan yang dapat mencemarkan nama baik korps;
e. tidak melakukan perselingkuhan, perzinahan, dan/atau mempunyai istri/suami
lebih dari satu orang tanpa izin;
f. tidak menjadi wakil kepentingan orang atau kelompok atau politik tertentu yang
mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi; dan
g. tidak memasuki tempat yang dapat mencemarkan atau menurunkan harkat dan
martabat Pegawai Pemasyarakatan, kecuali atas perintah jabatan.
Dan seterusnya Pasal 11 sampai dengan pasal 28.
Ditetapkan di Jakarta
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 605
top related