Potensi Produksi dan Kebutuhan Benih untuk Pengembangan ...
Post on 26-Nov-2021
4 Views
Preview:
Transcript
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
97
Potensi Produksi dan Kebutuhan Benih untuk Pengembangan Perikanan Tangkap
di Embung Nusa Tenggara Timur
Andri Warsa dan Krismono
Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Purwakarta
Email penulis: andriwarsa@yahoo.co.id
Diajukan 4 Januari 2018. Ditelaah 21 Maret 2018. Disetujui 10 Oktober 2018.
Abstrak
Embung merupakan salah satu sumber air permukaan berupa danau buatan yang diperoleh dari
rekayasa panen hujan dan aliran air permukaan. Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) telah membangun sebanyak 963 embung dan tiga bendungan. Badan air tersebut baru
dimanfaatkan untuk sumber air irigasi, perkebunan, dan peternakan, sedangkan untuk perikanan belum
dikembangkan secara optimal. Pengembangan perikanan tangkap melalui penebaran benih ikan
merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan badan air.
Kegagalan penebaran ikan di beberapa badan air di NTT disebabkan oleh belum ada kajian ilmiah
sebelum penebaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi produksi perikanan dan
jumlah benih optimal untuk pengembangan perikanan tangkap di beberapa embung di NTT. Penelitian
dilakukan pada bulan September 2016. Pengambilan contoh air dilakukan dengan menggunakan
Kemmerer water sampler di kedalaman 0,5 m dari permukaan. Data sekunder berupa parameter
pertumbuhan ikan tebaran diperoleh dari penelusuran pustaka, sedangkan produksi benih dan
karakteristik morfologi badan air diperoleh dari instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Embung Tulamalae dan Oelpuah merupakan badan air dengan status kesuburan perairan yang tinggi
(eutrofik), sedangkan Embung Haekrit dan Haliwen masing-masing mempunyai tingkat kesuburan
rendah (oligotrofik). Potensi rata-rata produksi perikanan berdasarkan MEIcond berkisar 41,3−68,7
kg/ha/tahun dengan rata-rata 52,8 kg/ha/tahun, sedangkan berdasarkan kandungan klorofil a berkisar
29,8−55,8 kg/ha/tahun dengan rata-rata 43,6 kg/ha/tahun. Estimasi kebutuhan benih untuk penebaran
dalam rangka pengembangan perikanan tangkap berkisar 1.000−48.600 ekor/tahun. Berdasarkan
kualitas air dan nilai ekonomi yang diperoleh, embung di lokasi penelitian layak untuk penebaran ikan
dalam rangka pengembangan perikanan tangkap.
Kata kunci: potensi produksi, benih ikan, embung, perikanan tangkap
Abstract
Production Potential and Seed Requirement for Capture Fishery Development in the
Retention Basins of East Nusa Tenggara. Embung or retention basin is one of the surface water
sources in the form of artificial lake obtained from harvesting the rain and surface water. East Nusa
Tenggara (NTT) Province has built 963 retention basins and three dams which are used mainly for
irrigation, plantation, and livestock, while for fisheries it has not been developed optimally. The
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
98
development of capture fisheries through the stocking of fish seeds is one of the efforts to optimize the
utilization and management of water bodies. The failure of fish stockings in several water bodies in
NTT is thought to be caused by lack of scientific studies before the stockings. Therefore, the purpose
of this research was to determine the potential of fisheries production and the optimal number of seeds
for the development of capture fisheries in the retention basins of NTT. The research was conducted in
September 2016. Water samples were taken at a depth of 0.5 m from the surface using the Kemmerer
water sampler. Secondary data which included fish growth parameters were obtained from literature,
while seed production and morphological characteristics of water bodies were obtained from relevant
institutions. The results showed that Embung Tulamalae and Oelpuah were eutrophic, while Embung
Haekrit and Haliwen were oligotrophic. The average potential of fisheries production based on MEIcond
ranged 41.3−68.7 kg/ha/year with an average of 52.8 kg/ha/year, while based on chlorophyll a content
ranged 29.8‒55.8 kg/ha/year with an average of 43.6 kg/ha/year. Estimation of seed requirements for
restocking in the context of developing capture fisheries ranged from 1,000 to 48,600 individuals/year.
Based on the water quality and economic values obtained, embung at the research locations are
feasible for fish stocking in the capture fisheries development.
Keywords: production potential, fish seed, embung, capture fisheries
Pendahuluan
Data dari Balai Besar Wilayah Sungai
Nusa Tenggara (BBWSNT) II yang belum
dipublikasikan menyebutkan bahwa pada akhir
tahun 2015 Pemerintah Daerah Provinsi NTT
telah membangun 963 embung yang terdiri
dari embung irigasi (35 buah), embung ternak
(11 buah), dan embung kecil (917 buah) dan 3
buah bendungan. Embung irigasi mempunyai
kisaran luas dan daya tampung bersih, masing-
masing adalah 0,8−112,1 ha dan
20.100−2.640.000 m3. Luas dan daya tampung
bersih embung ternak, masing-masing berkisar
1,3−5,1 ha dan 135.300−676.400 m3,
sedangkan embung kecil mempunyai kisaran
luas dan volume air, masing-masing 0,03−9,61
ha dan 4.200−190.700 m3. Selain embung, di
NTT juga terdapat tiga bendungan, yaitu
Tilong (154,7 ha), Rotiklot (30,3 ha), dan
Raknamo (147,3 ha). Daya tampung bersih
ketiga bendungan tersebut berkisar 3−19 juta
m3. Embung dan bendungan ini berfungsi
sebagai sumber air minum, irigasi, dan sumber
air untuk perkebunan dan peternakan (Meluk
et al., 2015). Perlu ada suatu upaya untuk
mengoptimalkan pemanfaatannya tanpa
mengganggu pemanfaatan yang lain
(Djuwansah et al., 2001), yaitu dengan
pengembangan perikanan tangkap. Menurut
Kartamihardja dan Umar (2009)
pengembangan perikanan tangkap dapat
dilakukan dengan penebaran ikan berdasarkan
konsep perikanan berbasis budi daya (culture-
based fisheries). Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan produksi perikanan darat yang
hanya menyumbang 2,51% dari produksi total
perikanan (Kause et al., 2013). Beberapa
contoh keberhasilan penebaran dalam rangka
peningkatan produksi perikanan tangkap antara
lain penebaran ikan Bilih (Mystaecoleucus
padangensis) di Danau Toba (Umar &
Kartamihardja, 2011), ikan Patin
(Pangasianodon hypophthalmus) di Wonogiri
(Kartamihardja & Purnomo, 2005), ikan Nila
(Oreochromis niloticus) di Waduk Malahayu
(Purnomo, 2011) serta ikan Bandeng (Channos
channos) di Waduk Jatiluhur (Tjahjo &
Purnamaningtyas, 2008a). Culture-based
fisheries (CBF) merupakan suatu pendekatan
pengembangan perikanan tangkap yang dapat
mendukung industrialisasi perikanan yang
berdampak pada ketahanan pangan nasional
(Nasution & Yanti, 2014).
Penentuan jenis ikan yang dapat ditebar
dalam suatu badan air didasarkan pada
beberapa kriteria, yaitu kemampuan
memanfaatkan pakan alami dan ruang ekologi
yang tersedia, kemampuan bertahan pada
kondisi kualitas air yang buruk (hypoxia),
ketersediaan benih di sekitar badan air, dan
laju pertumbuhan yang cepat (Cowx, 1994).
Ikan Bandeng memanfaatkan fitoplankton dari
kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae
sebagai sumber pakannya (Aqil et al., 2013),
sedangkan ikan Nila cenderung bersifat
omnivora (Otieno et al., 2014). Ikan Bandeng
merupakan jenis ikan yang mampu
memanfaatkan zona limnetik badan air yang
dalam, sedangkan ikan Nila menempati bagian
perairan yang dangkal (Kartamihardja, 2007).
Ikan Nila lebih mampu bertahan pada kondisi
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
99
kualitas air yang buruk (Offem et al., 2007),
sedangkan ikan Bandeng membutuhkan
kualitas air yang lebih baik (Pickering et al.,
2013). Selain itu, laju pertumbuhan ikan
Bandeng lebih cepat dibandingkan dengan ikan
Nila (Tjahjo et al., 2011). Ketersediaan benih
ikan juga merupakan faktor yang berpengaruh
pada keberhasilan penebaran ikan dalam badan
air. Produksi benih ikan Bandeng dan Nila di
Provinsi NTT sebanyak 7 juta ekor/tahun,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan untuk
penebaran di perairan embung.
Kajian pengembangan perikanan
tangkap di embung dan bendungan di NTT
baru mempertimbangkan aspek sosial dan
ekologi perairan, namun belum mengkaji
kebutuhan benih (Prianto et al., 2018). Untuk
memperbesar peluang keberhasilan kegiatan
tersebut, daya dukung perairan untuk
pertumbuhan benih ikan perlu
dipertimbangkan, yaitu jumlah benih yang
akan ditebar harus berdasarkan potensi
produksi ikan. Kajian potensi produksi ikan
merupakan konsep dasar dalam
mendeskripsikan sumber daya perikanan yang
akan dieksploitasi (Rahardjo et al., 2007).
Pendugaan potensi produksi ikan sangat
penting sebagai dasar pengelolaan sumber
daya perikanan dari suatu badan air agar tetap
lestari (Bramick, 2002). Beberapa pendekatan
yang digunakan untuk menduga potensi
produksi ikan di danau dan waduk pada
umumnya dilakukan berdasarkan nilai
produktivitas primer, klorofil a, konsentrasi
fosfor total, dan konduktivitas perairan
(Moreau & De Silva, 1991; Schlesinger &
Regier, 1982; Oglesby, 1977; Melack, 1976;
Ryder, 1965). Produksi perikanan selain
berhubungan dengan nutrien, juga berkaitan
dengan morfologi badan air, misalnya luas,
kedalaman, dan panjang garis pantai
(Jayasinghe et al., 2006). Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui potensi produksi ikan
dan kebutuhan benih optimal yang dapat
ditebar, serta nilai ekonomi pengembangan
perikanan tangkap di beberapa embung di
Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan
September 2016 di empat badan air, yaitu
Embung Oelpuah di Kabupaten Kupang,
Embung Tulamalae, Embung Haekrit, dan
Embung Haliwen di Kabupaten Belu (Gambar
1).
Gambar 1. Lokasi penelitian di embung NTT
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
100
Pengambilan contoh air di masing-
masing titik pengamatan dilakukan dengan
menggunakan Kemmerer water sampler 3,1 L
di kedalaman 0,5 m dari permukaan.
Pengambilan contoh di Embung Haliwen dan
Haekrit dilakukan di dua stasiun pengamatan,
sedangkan di Embung Tulamalae dan Oelpuah
dilakukan di satu stasiun. Contoh air yang
diperoleh dimasukkan ke dalam botol
polietilen volume 500 mL dan disimpan di
dalam coolbox yang telah diberi es.
Contoh air yang digunakan untuk
analisis klorofil a diberi pengawet MgCO3
sebanyak 1 mL. Sebanyak 250 mL contoh air
disaring menggunakan kertas saring 0,45 µm
nitroselulosa dengan bantuan pompa vacuum.
Analisis konsentrasi klorofil a dilakukan di
laboratorium kimia air Balai Riset Pemulihan
Sumber Daya Ikan, Jatiluhur, berdasarkan
APHA (2005). Suhu air, pH, oksigen terlarut,
dan daya hantar listrik diukur secara in situ.
Parameter kualitas air yang diukur dan metode
atau alat yang digunakan ditunjukkan dalam
Tabel 1.
Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari instansi terkait dan
penelusuran pustaka (Tabel 2). Data tersebut
berupa data karakteristik badan air dan
produksi benih ikan dari Balai Benih Ikan
(BBI) dan Unit Perbenihan Rakyat (UPR).
Parameter biologi ikan Bandeng dan Nila
terdiri dari pola pertumbuhan (hubungan
panjang-berat ikan), panjang asimptot (Loo),
umur ikan saat panjang ikan sama dengan nol
(to), konstanta pertumbuhan (k), dan mortalitas
alami (M).
Analisis data
Status kesuburan perairan diestimasi
berdasarkan Smith et al. (1999) menggunakan
parameter klorofil a dengan kriteria oligotrofik
(<3,5 mg/m3), mesotrofik (3,5‒9,0 mg/m3),
eutrofik (9‒25 mg/m3), dan hipereutrofik (>25
mg/m3).
Pendugaan potensi produksi ikan
A. Indeks Morfoedafik (MEI)
Model indeks morfoedafik sudah
digunakan untuk memprediksi produksi ikan di
perairan waduk kecil di Punjab, Pakistan
(Janjua et al., 2008) dan beberapa badan air di
Filipina (Moreau & De Silva, 1991). MEI
mempunyai korelasi dengan hasil tangkapan
lestari (Sugunan et al., 2002). MEI yaitu
besaran nilai daya hantar listrik atau
konduktivitas (µmhos/cm) dibagi dengan
kedalaman rata-rata danau (meter). Estimasi
potensi produksi dengan menggunakan indeks
morfoedafik didasarkan pada persamaan dari
Henderson & Welcomme (1974) yang
digunakan untuk mengestimasi produksi
perikanan tangkap di 31 badan air di Afrika.
Tabel 1. Parameter kualitas air yang diukur
Parameter Satuan Alat/metode
Suhu air °C YSI professional
pH YSI professional
Oksigen terlarut mg/L YSI professional
Daya hantar listrik µmhos/cm YSI professional
Padatan terlarut total mg/L YSI professional
Klorofil a mg/m3 Trichromatic
Tabel 2. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian
Parameter Sumber data
1. Luas, volume, dan kedalaman rata-rata Balai Besar Wilayah Sungai Nusa
Tenggara (BWSNT) II
2. Produksi benih ikan Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa
Tenggara Timur.
3. Parameter biologi ikan Bandeng dan Nila Tjahjo et al., 2011; Putri & Tjahjo, 2010
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
101
Y = 8,7489 x MEIcond 0,3813
Y = Potensi produksi (kg/ha/tahun)
MEIcond = Indeks morfoedafik (µmhos/cm/m)
B. Klorofil a
Pendekatan pendugaan potensi produksi
berdasarkan klorofil a menggunakan persama-
an dari Oglesby (1977):
LogYf = -1,92 + 1,17 log Chl
Yf = Potensi produksi (kg/ha/tahun)
Chl = Konsentrasi klorofil a (mg/m3)
Penghitungan keperluan benih untuk
penebaran
Parameter daya hantar listik merupakan
parameter pengganti dari padatan terlarut total
dalam pendugaan potensi produksi (Chow-
Fraser, 1991). Kedua parameter tersebut
mempunyai kemampuan yang sama untuk
menduga potensi. Jumlah benih yang ditebar
dapat diestimasi berdasarkan potensi produksi
dengan parameter daya hantar listrik
(Wijeyaratne & Amarasinghe, 1984). Jumlah
benih untuk ditebar diestimasi dengan
menggunakan indeks morfoedafik (Sugunan et
al., 2002) yaitu:
S =MSYest − Yest
W x e−z(t1−t0)
S = Jumlah benih yang ditebar
(ind/tahun)
W = Berat saat ikan dipanen (kg/ind)
Z = Laju kematian total (per tahun)
t1 = Umur saat ditangkap (tahun)
to = Umur saat ditebar (tahun)
MSYest = Hasil tangkapan lestari estimasi
(kg/ha/tahun)
Yest = Hasil tangkapan estimasi
(kg/ha/tahun)
e = eksponensial
Estimasi hasil tangkapan lestari
merupakan parameter yang digunakan sebagai
pembanding dengan produksi ikan tangkapan.
Jika produksi ikan tangkapan masih di bawah
nilai tangkapan lestari, maka badan air tersebut
masih berpeluang untuk penebaran.
Pendekatan hasil tangkapan lestari berdasarkan
parameter indeks morfoedafik menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Yest = 0,9897 x MEI1,3888
logeYest = 0,9005 loge MEI + 1,9220
Yest = Hasil tangkapan lestari (kg/ha/tahun)
Estimasi produksi dan umur optimal
untuk panen ikan Bandeng dan Nila tebaran
dilakukan berdasarkan pendekatan King
(1995) yang dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
• Penghitungan panjang ikan pada umur t
(Sparre & Venema, 1999):
Lt = Loo (1-e-k(t-to))
Lt = Panjang ikan pada umur t (cm)
Loo = Panjang asimptot ikan (cm)
k = Koefisien pertumbuhan (per tahun)
to = Umur teoritis ikan pada saat panjang
ikan sama dengan nol (tahun)
t = Umur ikan pada saat t (tahun)
• Pola pertumbuhan ikan yang diketahui
melalui hubungan panjang-berat ikan:
W = aLb
W = Berat ikan (gram)
L = Panjang total ikan (cm)
a dan b = Konstanta
• Jumlah individu ikan pada waktu t (King,
1995):
Nt+1 = Nt exp(-M)
Nt+1 = Jumlah individu ikan pada tahun ke
t+1 (ekor)
Nt = Jumlah individu ikan pada tahun ke t
(ekor)
M = Laju kematian alami ikan (per tahun)
• Biomassa total ikan (B, dalam kg):
B = (Nt+1 x W)/1000
• Nilai ekonomi yang diperoleh dari
penebaran ikan:
VE = B x A
VE = Nilai ekonomi ikan tebaran (Rupiah)
A = Harga untuk setiap kilogram ikan
(Rp/kg)
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
102
Hasil dan Pembahasan
Secara umum, kualitas air di embung
yang diteliti layak untuk kehidupan ikan
(Prianto et al., 2018). Konsentrasi oksigen
terlarut di badan air di lokasi pengembangan
perikanan tangkap berkisar 3,20−4,85 mg/L
dan pH berkisar 7,70−8,11. Nilai daya hantar
listrik dan padatan terlarut total (TDS),
masing-masing berkisar 246–561 µmhos/cm
dan 122−340 mg/L. Nilai TDS yang tinggi
disebabkan oleh erosi di daerah litoral sekitar
perairan. Kualitas air beberapa embung di NTT
diperlihatkan dalam Tabel 3. Nilai pH dan
oksigen terlarut di lokasi penelitian relatif
sama dengan perairan Waduk Jatiluhur yang
merupakan lokasi penebaran ikan Nila dan
Bandeng, yaitu pH berkisar 7,0−9,0 dan
oksigen terlarut berkisar 3,5−5,6 mg/L (Tjahjo
& Suman, 2009; Tjahjo & Purnamaningtyas,
2008b). Konsentrasi klorofil a di embung calon
lokasi penebaran ikan di NTT hampir sama
dengan badan air di Sri Lanka yang merupakan
lokasi penebaran ikan, yaitu berkisar
4,57−14,08 mg/m3 (Jayasinghe et al., 2005a).
Kosentrasi klorofil a akan menentukan jumlah
benih serta produksi ikan tebaran (Wijenayake
et al., 2005). Nilai parameter kualitas air di
lokasi penelitian, seperti suhu air, oksigen
terlarut, pH, dan daya hantar listrik hampir
sama dengan waduk di Sri Lanka yang
merupakan lokasi penebaran ikan yaitu
masing-masing berkisar 27,8−31,7°C;
2,58−6,77 mg/L; 6,7−9,0; dan 207−331
µmhos/cm (Jayasinghe et al., 2005b).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air
menyebutkan bahwa kualitas air golongan II
dan III layak untuk kegiatan perikanan dengan
nilai beberapa parameter kualitas air, yaitu pH
berkisar 6−9, padatan terlarut berkisar 50–400
mg/L, dan konsentrasi oksigen terlarut > 3
mg/L. Nilai parameter kualitas air untuk ikan
Nila yang dipelihara di perairan umum dengan
kisaran nilai parameter kualitas air yaitu pH
berkisar 6,4−8,0; oksigen terlarut berkisar
3,2−5,5 mg/L, dan suhu air berkisar
28,7−32,5°C (Karim et al., 2017; Alhassan et
al., 2012; Chakraborty & Banerjee, 2010;
Hasan et al., 2010;). Nilai parameter kualitas
air yang baik untuk kehidupan ikan Bandeng
yaitu suhu air berkisar 28−30°C, oksigen
terlarut > 4 mg/L, dan pH berkisar 6,5−9,0
(Rangka & Asaad, 2010). Berdasarkan uraian
diatas di atas, maka lokasi penelitian ini layak
untuk kehidupan ikan sehingga dan dapat
digunakan untuk penebaran ikan dalam rangka
pengembangan perikanan tangkap.
Embung Tulamalae dan Oelpuah
merupakan badan air dengan status kesuburan
perairan yang tinggi (eutrofik). Kedua embung
tersebut merupakan badan air yang dangkal,
sempit, dan tidak memiliki outlet, sehingga
nutrien yang masuk terakumulasi dan terjadi
penumpukan unsur hara yang memicu
pertumbuhan fitoplankton. Embung Tulamalae
dan Oelpuah mempunyai kedalaman rata-rata
Tabel 3. Nilai parameter kualitas air di beberapa embung, NTT
Parameter Tulamalae Haliwen Haekrit Oelpuah
Suhu air (°C) 28,0 29,0−29,3
(29,2 ± 0,2)
29,3−29,9
(29,6 ± 0,2) 31,1
pH 8,08 7,63−7,88
(7,70 ± 0,18)
8,05–8,10
(8,08 ± 0,04) 8,04
Oksigen terlarut
(mg/L) 3,75
3,20−4,03
(3,6 2 ± 0,59)
3,84−4,14
(3,99 ± 0,21) 4,05
Daya hantar listrik,
DHL (µmhos/cm) 561,0
555−565
(560,0 ± 7,1)
244,6−245,7
(245,2 ± 0,78) 263,1
Padatan terlarut
total, TDS (mg/L) 121,6
330−338
(334,0 ± 5,7)
146,9−147,6
(147,2 ± 0,5) 153,4
Klorofil a (mg/m3) 12,03 6,25−7,35
(6,80 ± 0,78)
3,40−4,23
(3,81 ± 0,58) 15,23
Status trofik Eutrofik Oligotrofik Oligotrofik Eutrofik
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
103
2,5 dan 2,3 m. Pengadukan oleh angin di
perairan yang dangkal akan menyebabkan
nutrien yang terdapat di dasar perairan
terangkat ke permukaan. Pada kondisi aerobik,
fosfor yang terikat pada partikel akan terlepas
kembali ke kolom air (Wetzel, 2001). Selain
itu, tata guna lahan di sekitar Embung
Tulamale merupakan lahan perkebunan dan
permukiman penduduk yang dapat menjadi
sumber masukan nutrien ke dalam perairan.
Secara umum, tata guna lahan di sekitar
embung di NTT berupa lahan pertanian,
padang rumput, dan permukiman (Widiyono,
2008). Hal yang sama juga terjadi di embung
yang ada di Nusa Tenggara Barat yang
menerima beban masukan dari perkotaan,
sehingga memiliki tingkat kesuburan yang
tinggi (Sulawesty et al., 2013).
Tingkat kesuburan di Embung Haliwen
dan Haekrit masing-masing adalah oligotrofik
(miskin hara). Tingkat kesuburan di kedua
badan air ini dipengaruhi oleh tata guna lahan
di sekitarnya, yaitu berupa hutan dan padang
rumput. Transpor fosfor yang berasal dari
lahan hutan lebih rendah dibandingkan dengan
lahan perkebunan dan sawah (Jones & Lee,
1982). Beberapa situ di Jawa Barat dengan tata
guna lahan yang didominasi oleh hutan,
umumnya mempunyai tingkat kesuburan
rendah-sedang (Sulastri et al., 2008). Tata
guna lahan akan berpengaruh terhadap tingkat
kesuburan suatu badan air (Sang-Woo et al.,
2009). Embung Haekrit dan Haliwen
mempunyai badan air yang dalam dan cukup
luas. Kedalaman rata-rata Embung Haekrit dan
Haliwen masing-masing adalah 4,2 dan 6,5 m.
Konsentrasi fosfor di suatu perairan
dipengaruhi oleh morfologi badan air, antara
lain luas, kedalaman, dan laju pembilasan
(Dillon & Rigler, 1974). Perpindahan fosfor
dari sedimen ke kolom air pada kondisi
anaerobik hanya terjadi di kedalaman kurang
dari 20 cm di bawah dasar perairan
(Sondergaard et al., 2003). Hal ini berdampak
pada konsentrasi nutrien yang rendah di kolom
air tersebut.
Badan air dengan tingkat kesuburan
yang tinggi cenderung memiliki potensi
produksi ikan yang tinggi. Estimasi potensi
produksi ikan di beberapa embung dalam
penelitian ini dihitung dengan beberapa
pendekatan dan ditunjukkan dalam Tabel 4.
Secara umum, pendekatan potensi produksi
dengan parameter klorofil a memiliki nilai
yang lebih rendah dibandingkan dengan
MEIcond.
Perairan yang dangkal dan tidak
memiliki outlet lebih mudah mengalami
penyuburan yang disebabkan akumulasi bahan
organik dari daratan sekitarnya yang masuk ke
perairan dan menyebabkan peningkatan
kandungan unsur hara perairan. Oleh karena
itu, perairan dangkal umumnya mempunyai
kelimpahan fitoplankton yang tinggi, sehingga
nilai potensi perikanan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan perairan yang dalam
(Jayasinghe et al., 2005a). Potensi produksi
ikan di keempat badan air yang diteliti (Tabel
4) lebih rendah dibandingkan dengan potensi
produksi rata-rata waduk di Asia pada
umumnya, yaitu sebesar 108,4 kg/ha/tahun
(Welcomme, 2001) dan Waduk Darma di
Kuningan, Jawa Barat, sebesar 59,6–106,4
kg/ha/tahun yang memiliki konsentrasi klorofil
a lebih tinggi, yaitu 19,4–59,6 mg/m3 (Tjahjo
et al., 2006).
Bobot benih ikan Nila dan Bandeng
yang ditebar mengacu pada beberapa kegiatan
penebaran di perairan umum. Benih ikan
Bandeng dan Nila yang ditebar di Waduk
Jatiluhur masing-masing mempunyai berat 5,1
g/ekor (Tjahjo et al., 2011) dan 20 g/ekor
(Krismono, 1989) dengan ukuran ikan
Bandeng dan Nila yang boleh ditangkap
masing-masing adalah 250 dan 200 g.
Parameter biologi ikan Bandeng dan Nila yang
menjadi dasar penghitungan jumlah benih ikan
tebaran diperlihatkan dalam Tabel 5 (Tjahjo et
al., 2011; Putri & Tjahjo, 2010).
Kebutuhan benih optimal yang dapat
ditebar diperlihatkan dalam Tabel 6. Jumlah
optimal yang dapat ditebar di Embung Haekrit
lebih tinggi dibandingkan dengan badan air
lain. Hal ini disebabkan Embung Haekrit lebih
luas daripada ketiga badan air yang lain.
Kebutuhan benih untuk penebaran di
Tulamalae lebih rendah dibandingkan dengan
Oelpuah karena memiliki kandungan klorofil a
yang lebih kecil. Namum, jumlah benih ikan
yang dapat ditebar di lokasi penelitian ini yaitu
1.000‒48.615 ekor/tahun lebih kecil jika
dibandingkan dengan benih ikan planktivora di
Waduk Malahayu, yaitu 352.412 ekor/tahun
(Warsa & Purnomo, 2011) dan ikan Bandeng
yang ditebar di Sempor yaitu 140.174 ekor per
tahun (Purnomo et al., 2013).
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
104
Tabel 4. Potensi produksi ikan (kg/ha/tahun) dari embung di NTT
Lokasi Dasar pendugaan potensi produksi (Y)
MEIcond Klorofil a
Tulamalae 68,7 51,0
Haliwen 47.7 37,7
Haekrit 41.3 29,8
Oelpuah 53.3 55,8
Tabel 5. Parameter populasi dan biologi kandidat ikan tebaran
Parameter populasi/biologi Bandeng Nila
Loo (cm) 88,42 44,1
K (per tahun) 0,95 0,72
M (per tahun) 3,5891 1,34
a 0,0113 0,129
b 2,9744 2,4608
Wo (g) 5 20
Wh (g) 250 200
Tabel 6. Jumlah benih optimal yang dapat ditebar di embung, NTT
Embung Luas (ha) Kebutuhan benih
(ekor/ha/tahun)
Benih total
(ekor/tahun)
Tulamalae 1,7 507 1 000
Haliwen 28 1.528 42.777
Haekrit 62 784 48.615
Oelpuah 1,37 2.465 3.377
Kepadatan benih ikan untuk penebaran di
beberapa waduk di Sri Lanka yaitu 245.430
ekor/ha dengan jenis ikan yang ditebar antara
lain ikan Nila, ikan Mas (Cyprinus carpio),
dan ikan Mola (Aristichthys nobilis)
(Wijenayake et al., 2005). Tabel 6
menunjukkan daya dukung lingkungan di
embung tersebut lebih kecil jika dibandingkan
waduk di Sri Lanka.
Jumlah benih yang dapat ditebar dalam
suatu badan air ditentukan oleh beberapa
faktor, antara lain tingkat kesuburan perairan,
ketersediaan pakan alami, dan luas badan air
(Welcomme & Bartley, 1998). Produksi ikan
yang dihasilkan dari kegiatan penebaran
dipengaruhi oleh kepadatan dan jenis benih
ikan yang ditebar (Nguyen et al., 2005; Phan
& De Silva, 2000). Kepadatan benih jenis ikan
dari famili Cyprinidae yang ditebar berkorelasi
secara signifikan dengan hasil yang diperoleh
di waduk berukuran sedang dan kecil di Kuba
(Quiros & Mari, 1999) dan waduk kecil di
Andhra Pradesh, India (Sugunan & Katiha,
2004). Kegiatan penebaran ikan di Sri Lanka
umumnya dilakukan di badan air berukuran
kecil, yaitu 3,2−28,9 ha (Jayasinghe et al.,
2006).
Produksi, nilai ekonomi, dan umur ikan
dengan hasil panen tertinggi diestimasi dengan
persamaan King (1995) yang ditampilkan
dalam Gambar 2 dan Gambar 3. Penampilan
grafik dalam satuan persentase merupakan
standardisasi yang dilakukan untuk
memperlihatkan nilai puncak. Estimasi
produksi ikan tebaran yang ditunjukkan
berkisar 45−680 kg/tahun. Estimasi produksi
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
105
ikan di lokasi penelitian ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan lokasi waduk perenial di
Sri lanka yang berkisar 57,3−208,1
kg/ha/tahun (Pushpalatha & Candrasoma,
2010). Jika mengacu pada biomassa total ikan
Bandeng yang dipanen, maka biomassa
tertinggi yang dihasilkan adalah jika ikan
ditangkap pada ukuran 100 g/ekor, tetapi nilai
ekonomi tertinggi dicapai jika ikan Bandeng
dipanen pada ukuran 200 g/ekor. Produksi
berdasarkan biomassa tertinggi untuk ikan Nila
dapat dicapai jika ikan ditangkap pada ukuran
100 g/ekor, namun nilai ekonomi tertinggi
terjadi jika ikan ditangkap pada ukuran 150
g/ekor. Untuk mencapai ukuran ekonomis
diperlukan waktu 3,5 bulan untuk ikan
Bandeng dan 4 bulan untuk ikan Nila setelah
penebaran atau pada umur 5,8 bulan untuk
ikan Bandeng dan 5,2 bulan untuk ikan Nila.
Penebaran hanya dapat dilakukan satu kali
setahun di Embung Tulamalae dan Oelpuah
karena ketersediaan air yang hanya 4−5 bulan
dalam satu tahun (Widiyono, 2011).
Sebaliknya, di Embung Haliwen dan Haekrit
penebaran dapat dilakukan sebanyak dua kali
setiap tahunnya.
Ikan Bandeng dan Nila merupakan jenis
ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi di NTT. Untuk memenuhi kebutuhan,
terutama ikan Bandeng masih didatangkan dari
luar daerah, yaitu Makassar dengan harga Rp
22.000/kg (Prianto et al., 2018). Nilai asumsi
harga ikan didasarkan pada harga rata-rata di
Waduk Jatiluhur, yaitu Rp18.000/kg. Harga
tersebut digunakan untuk menghitung nilai
ekonomi yang diperoleh dari penebaran ikan
(Tabel 7).
Gambar 2. Grafik umur ikan Bandeng terhadap kelimpahan, biomassa, dan nilai ekonomi
Gambar 3. Grafik umur ikan Nila terhadap kelimpahan, biomassa, dan nilai ekonomi
0
20
40
60
80
100
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0
Per
senta
se (
%)
Umur (tahun)
% Biomassa (kg)
% Berat (g)
% Kelimpahan (ind)
% Hasil (Rp)
0
20
40
60
80
100
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
Per
sen
tase
(%
)
Umur (tahun)
% Biomassa (kg)
% Berat (g)
% Kelimpahan (ind)
% hasil (Rp)
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
106
Tabel 7. Nilai ekonomi dari penebaran ikan di embung per periode penebaran
Embung Bandeng (Rp) Nila (Rp)
Tulamalae 2.700.000 1.900.000
Haliwen 10.400.000 1.100.000
Haekrit 11.200.000 7.950.000
Oelpuah 825.000 900.000
Kesimpulan
Potensi produksi ikan di Embung
Tulamalae, Oelpuah, Haekrit, dan Haliwen
berdasarkan MEIcond masing-masing sebesar
68,7; 53,3; 41,3; dan 47,7 kg/ha/tahun dan
klorofil a masing-masing sebesar 51,0; 55,8;
29,8; dan 37,7 kg/ha/tahun. Jumlah benih yang
diperlukan untuk penebaran di Embung
Tulamalae dan Oelpuah adalah 1.000 dan
3.377 ekor/tahun, sedangkan di Embung
Haliwen dan Haekrit masing-masing adalah
42.777 dan 48.615 ekor/tahun. Nilai ekonomi
tertinggi kegiatan penebaran ikan diperoleh di
Embung Haekrit dan Haliwen. Berdasarkan
kondisi kualitas air dan kelayakan ekonomi
yang diperoleh, maka embung di lokasi
penelitian layak sebagai lokasi penebaran
dalam rangka pengembangan perikanan
tangkap.
Ucapan Terima Kasih
Tulisan ini merupakan bagian dari
kegiatan “Penelitian pengembangan perikanan
berbasis budi daya (Culture-based fisheries) di
waduk, situ, dan embung di Provinsi Nusa
Tenggara Timur” yang diadakan oleh Balai
Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber
Daya Ikan Tahun Anggaran 2016. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dedi
Sumarno, A. Md selaku teknisi yang telah
membantu dalam pengumpulan data selama
penelitian.
Referensi
Alhassan EH, Abarike ED, Ayisi CL. 2012.
Effect of stocking density on the growth
and survival of Oreochromis niloticus
cultured in hapas in a concrete tank. African
Journal of Agricultural Research 7(15):
2405‒2411
APHA (American Public Health Association).
2005. Standar Methods for the Examination
of Water and Waste Water Including
Bottom Sediment and Sludges. 21st edition.
In: Eaton AD, Clesceri LS, Rice EW,
Grennberg AE. Amer. Publ. Health
Association Inc. New York
Aqil DI, Putri LSE, Lukman. 2013.
Pemanfaatan plankton sebagai sumber
makanan ikan bandeng di Waduk Ir. H.
Djuanda, Jawa Barat. Al-Kauniyah Jurnal
Biologi 6(1): 13‒25
Bramick U. 2002. Estimation of the fish yield
potential of lake in north-east Germany.
Edited by Cowx I.G. Management and
Ecology of lake and reservoir fisheries. 26–
33
Chakraborty SB, Banerjee. 2010. Effect of
stocking density on monosex nile tilapia
growth during pond culture in India. World
Academy of Science, Engineering and
Tecnology 44: 1521‒1525
Chow-Fraser P. 1991. Use of the
morphoedaphic index to predict nutrient
status and algal biomass in some Canadian
Lakes. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 48: 1909‒
1918
Cowx IG. 1994. Stocking strategy. Fisheries
management and ecology 1: 15‒30
Dillon PJ, Rigler FH. 1974. A test of a simple
nutrient budget model predicting the
phosphorus concentration in lake water. J.
Fish. Res. Board Can. 3l: 1771‒1777
Djuwansah MR, Utomo EP, Sastramihardja
TP. 2001. Potensi sumberdaya air Propinsi
NTT sebagai penunjang pengembangan
kawasan Cendana. Berita Biologi Edisi
Khusus Masalah Cendana NTT 5(5): 593‒
597
Hasan SJ, Mian S, Rashid AHA, Rahmatullah
SM. 2010. Effect of stocking density on
growth and production of GIFT
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
107
(Oreochromis niloticus). Bangladesh J.
Fish. Res. 14(1‒2): 45‒53
Henderson HF, Welcomme RL. 1974. The
relationship of yield to morphoedaphic
index and number of fisherman in Africa
inland waters. Comminte for Inland
Fisheries in Africa, Occas Pap 1: 19
Janjua MY, Ahmad T, Gerdeaux D. 2008.
Comparison of different models for
estimating fish yield in Shahpur Dam,
Pakistan. Lake & Reservoirs: Research and
Management 13: 319‒324
Jayasinghe UAD, Amarasinghe US, De Silva
SS. 2005a. Trophic classification of non
perennial reservoir utilized for the
development of culture-based fisheries, Sri
Lanka. Internat. Rev. Hydrobiol. 9(2): 209‒
222
Jayasinghe UAD, Amarasinghe US, De Silva
SS. 2005b. Limnology and culture-based
fisheries in non-perennial reservoirs in Sri
Lanka. Lake & Reservoirs: Research and
Management 10: 157‒166
Jayasinghe UAD, Amarasinghe US, De Silva
SS. 2006. Culture-based fisheries in non-
pereenial reservoirs of Sri Lanka: influence
of reservoir morphometry and stocking
density on yield. Fisheries Management
and Ecology 13: 157‒164
Jones RA, Lee GF. 1982. Review: recent
advances in assessing impact of phosphorus
loads on eutrophication on eutrophication
related water quality. Water Research 16:
503‒515
King M. 1995. Fisheries biology: Asessment
and management. Blackwell Science Ltd.
London
Karim M, Zafar A, Ali M. 2017. Growth and
production of monosex tilapia
(Oreochromis niloticus) under different
feeding frequencies in pond conditions.
Journal of Aquaculture & Marine Biology
6(5): 167‒172
Kartamihardja ES. 2007. Spektra ukuran
biomassa plankton dan potensi
pemanfaatannya bagi komunitas ikan di
zona limnetik Waduk Ir. Djuanda, Jawa
Barat. Disertasi, Sekolah Pascasarjana IPB
Kartamihardja ES, Purnomo K. 2005.
Keberhasilan introduksi ikan patin siam
(Pangasius hypophthalmus) dan
dampaknya terhadap komposisi dan hasil
tangkapan ikan di Waduk Wonogiri, Jawa
Tengah. Prosiding Forum Perairan Umum
Indonesia I: 321‒325
Kartamihardja ES, Umar C. 2009. Kebijakan
pemacuan sumberdaya ikan di perairan
umum daratan Indonesia: Teknologi
alternatif untuk meningkatkan produksi
ikan pendapatan nelayan. Jurnal Kebijakan
Perikanan Indonesia 1(2): 99‒111
Kause WL, Helfiarne MR, Komba YT, A
Salim, Djesse ST. 2013. Kajian status
Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai
Provinsi Kepulauan di tinjau dari perspektif
hukum. Jurnal Borneo Administrator 9(2):
137‒161
Krismono. 1989. Komunitas ikan di Waduk
Jatiluhur selama 5 tahun (1982-1986). Bull.
Penel. Perik. Darat 8(2): 40‒49
Melack JM. 1976. Primary productiviy and
fish yield in tropical lakes. Trans Am. Fish.
Soc. 105: 575‒580
Meluk Y, Suprapto M, Syafi’i. 2015.
Penyusunan skala prioritas program
rehabilitasi embung di Kabupaten Kupang
Provinsi NTT. Jurnal Teknik Lingkungan
III (1): 104‒108
Moreau J, De Silva SS. 1991. Predictive fish
yield models for lakes and reservoirs of the
Philipines, Sri Lanka and Thailand. FAO
Fish. Tech. Pap. 319
Nasution Z, Yanti BVI. 2014. Industrialisasi
perikanan mendukung ketahanan pangan di
Perdesaan Perarian umum daratan. Dalam
Syahyuti, Susilowati SH, Agustian A,
Friyatno S. Prosidng Seminar Nasional
Hari Pangan Sedunia ke 34: 481‒490
Nguyen HS, Bui AT, Nguyen DQ, Truong DQ,
De Silva SS. 2005. Cultured-based fisheries
in small reservoirs in north Vietnam: effect
stocking density and species combination.
Aquaculture Research 36: 1037‒1048
Offem BO, Akegbejo-Samsons Y, Omoniyi
IT. 2007. Biological assessment of
Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae;
Linne, 1958) in a tropical floodplain river.
African Journal of Biotechnology 6(16):
1966‒1971
Oglesby RT. 1977. Relationship of fish yield
to lake phytoplankton standing corp,
production, and morphoedaphic factor. J.
Fis. Res. Board Can. 34: 2271‒2279
Otieno ON, Kitaka N, Njiru JM. 2014. Some
aspects of the feeding ecology of Nile
Tilapia, Oreochromis niloticus in Lake
Naivasha, Kenya. International Journal of
Fisheries and Aquatic Studies 2(2): 1‒8
Pickering T, Tanaka H, Senikau A. 2013.
Capture-based aquaculture of milkfish
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
108
Chanos chanos in the Pacific Islands.
Proceedings of Regional Workshop at
Vitawa Village, Fiji Islands. Fiji Island
Phan PD, De Silva SS. 2000. The fishery of the Ea Kao reservoir, southern Vietnam: a
fishery based on combination of stock and
recapture, and self-recruiting populatios. Fisheries Management and Ecology 7:
251‒264
Prianto E, C Umar, ES Kartamihardja, Husnah. 2018. Pengelolaan dan pemanfaatan
perairan embung dan bendungan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia 9(2): 105‒114
Purnomo K. 2011. Pertumbuhan, mortalitas
dan preferensi makanan ikan nila (Oreochromis niloticus) di Waduk
Malahayau. Dalam Isnansetyo A.
Djumanto, Suadi. Prosiding Seminar Nasional Tahunan VIII. 1‒9
Purnomo K, Warsa A, Kartamihardja ES.
2013. Daya dukung dan potensi produksi
ikan Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen-Propinsi Jawa Tengah. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 19(4): 203‒
2012 Pushpalatha KBC, Candrasoma J. 2010.
Culture based-fisheries in minor perennial
reservoirs in Sri Lanka: variability in
production, stocked species and yield implications. J. Appl. Ichthyol. 26: 99‒104
Putri MRA, Tjahjo DWH. 2010. Analisis
hubungan panjang bobot dan pendugaaan parameter pertumbuhan ikan nila
(Oreochromis niloticus) di Waduk Ir. H.
Djuanda. Bawal 3(2): 85‒92 Quiros R, Mari A. 1999. Factor contributing to
the outcome of stocking programmes in
Cuba reservoirs. Fisheries Management
and Ecology 5: 241‒254 Rahardjo MF, Kartamihardja ES, Utomo AD.
2007. Identifikasi dan karakterisasi potensi
perikanan perairan umum daratan. Prosiding Forum Perairan Umum
Indonesia Ke – 3. Pusat Riset Perikanan
Tangkap. 1‒17 Rangka NU, Asaad AIJ. 2010. Teknologi
budidaya ikan bandeng di Sulawesi Selatan.
Dalam Dalam Sudrajat A et al (editor).
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur: 187‒203
Ryder R. 1965. A method for estimationg the
potenstial fish production of North-
temperate lakes. Tras.am.Fish.Soc. 84:
154‒164
Schlesinger DA, Regier HA. 1982. Climatic
and morphoedaphic indices of fish yield from natural lakes. Transactions of the
American Fisheries Society 111: 141‒150
Sondergaard M, Jensen JP, Jeppesen E. 2003. Role of sediment and internal loading of
phosphorus in shallow lakes.
Hydrobiologia 506‒509: 135‒145 Smith VH, Tilman GD, Nekola JC. 1999.
Eutrophication: impact of excess nutrient
input on freshwater, marine, and terrestrial
ecosystems. Environmental Pollution 100: 179‒196
Sang-Woo L, Soon-Jin H, Sae-Bom L, Ha-Sun
H, Hyun-Chang S. 2009. Landscape ecological approach to the relatioships of
land use pattern in watersheds to water
quality characteristics. Landscape and Urban Planning 92: 80‒89
Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi
pengkajian stok ikan tropis. Buku I.
Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan. Jakarta
Sugunan VV, Mandal SK, Krishna Rao DS.
2002. Fish yield prediction through morpho-edaphic index and estimation of
stocking density for stocking density for
Indian reservoirs. Indian J. Fish. 49(4):
369‒378 Sugunan VV, Katiha PK. 2004. Impact of
stocking on yield in small reservoirs in
Andhra Pradesh, India. Fisheries Management and Ecology 11: 65‒69
Sulastri, Harsono E, Suryono T, Ridwansyah I.
2008. Relationship of land use, water quality anad phytoplankton community of
some small lakes in West Java. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia 34(2): 307‒332
Sulawesty F, Chrismadha T, Satya A, Yoga GP, Mardiati W, Mulyana E, Widoretno
MR. 2013. Karakteristik limnologis
perairan embung di Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, April 2012. LIMNOTEK
Perairan Darat Tropis di Indonesia 20(2):
117‒128 Tjahjo DWH., Kartamihardja ES.
Purnamaningtyas SE. 2006. Kualitas air,
produktivitas primer, dan potensi produksi
ikan di Waduk Darma untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan udang galah
(Macrobrachium rosenbergii) yang di
introduksikan. J. Lit. Perikanan. Ind. 12(1): 1‒12
Warsa & Krismono
LIMNOTEK Perairan darat Tropis di Indonesia 2018 25(2): 97‒109
109
Tjahjo DWH, Purnamaningtyas SE. 2008a.
Evaluasi keberhasilan penebaran ikan di
Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Editor
Rahardjo MF. Wiadnyana NN. Kartamihardja ES. Purnomo K. Krismono.
Sjafei DD. Syam AR Forum Nasional
Pemacuan Sumberdaya Ikan I: 205‒213 Tjahjo DWH, Purnamaningtyas SE. 2008b.
Kajian kualitas air dalam evaluasi
pengembangan perikanan di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. J. Lit. Perikanan. Ind.
14(1): 15‒29
Tjahjo DWH, Suman A. 2009. Pengelolaan
perikanan waduk Saguling, Cirata dan Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. J. Kebijak.
Perikan. Ind. 1(2): 113‒120
Tjahjo DWH, Purnamaningtyas SE, Kartamihardja ES. 2011. Evaluasi
keberhasilan penebaran ikan bandeng
(Channos channos) di Waduk Ir. H. Djuanda. Bawal 3(4): 231‒237
Umar C, Kartamihardja ES. 2011. Hubungan
panjang-berat, kebiasaan makan dan
kematangan gonad ikan bilih (Mystcaecoleucus padangensis) di Danau
Toba, Sumatera Utara. Bawal 3(6): 351‒
356 Warsa A, Purnomo K. 2011. Potensi produksi
dan status perikanan di Waduk Malahayu,
Kabupaten Brebes-Jawa Tengah. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 17(4): 229‒237
Welcomme RL, Bartley DM. 1998. An
evaluation of present techniques for the enhancement of fisheries. In Petr T (edt).
Inland fishery enhancement. FAO
Technical Paper 374: Rome, Italy Welcomme RL. 2001. Inland Fisheries
Ecology and management. Blackwell
Science. United States of America
Wetzel RG. 2001. Limnology Lake and River Ecosystem. Academic Press. United States
of America
Widiyono W. 2008. Konservasi flora, tanah dan sumberdaya air embung-embung di
Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara
Timur. LIMNOTEK Perairan Darat Tropis di Indonesia 9(2): 197‒204
Widiyono W. 2011. Embung di Nusa Tenggara
Timur: Konsep, Problem dan Prospeknya.
LIMNOTEK Perairan Darat Tropis di Indonesia 18(2): 110‒119
Wijenayake WMH, Jayasinghe UAD,
Amarasinghe, Athula JA, Pushpalatha, De Silva SS. 2005. Culture-based fisheries in
non-perennial reservoirs in Sri Lanka:
production and relative performance of
stocked species. Fisheries Management and
Ecology 12: 249‒258 Wijeyaratne MJS, US Amarasinghe. 1984.
Estimation of maximum sustainable fish
yield and stocking density of Inland Reservois of Sri Lanka. J. NARA 31: 65‒72
top related