Perlindungan Hutan Nagari Terhadap Illegal Logging
Post on 01-Oct-2015
38 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
PERLINDUNGAN HUTAN NAGARI TERHADAP ILLEGAL
LOGGING
DI NAGARI LUBUK KARAK
KABUPATEN DHARMASRAYA
JURNAL ILMIAH
OLEH :
FITRIA NOVITA
0910111004
PROGRAM KEKHUSUSAN: HUKUM PIDANA (PK IV)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
THE PROTECTION OF LOCAL FOREST FROM ILLEGAL LOGGING IN NAGARI LUBUAK
KARAK
DHARMASRAYA REGION
(Fitria Novita, 0910111004, The Faculty of Law Andalas University, 70 pages, 2013)
ABSTRACT
Forest is an open natural resource and can be directly utilized by humans to trigger problems in forest
management , such as illegal logging , forest harvesting which is not environmentally educated . To
protect the forest from the irresponsible hands, the government issued the regulations on forestry , that
is the Law No. 41 of 1999 about Forestry . The problem discussed in this paper : first , how the
protection of local forest by villager communities against illegal logging as a form of culture criminal
in Dharmasraya. Second , how the role of KAN and the local government in the protection of local
forests against illegal logging in LubukKarak, Dharmasraya. Third , what are the obstacles to the
enforcement of local forest protection laws related to illegal logging in LubukKarak, Dharmasraya.
The method used by the socio-juridical is approaching to the problem through the study of law with the
valid legal norms and relating it to the implementation and facts on the reality. The collection of data
from the document analyzer did the infentarisasi to the legal materials needed , such as : primary legal
materials , secondary legal materials, and tertiary legal materials . Second , interviews were conducted
in order to obtained data concretely. The study was conducted in theDhamasraya Forestry Office and
the Nagari office ofLubuk Karak, Dharmasraya. The results obtained in the field of research , that isthe
lack of formal protection from indigenous peoples and local government. While the role of the KAN
and the local governmentonly limited to providing advices and suggestions that will arise from the
impact of illegal logging as well as doing outreach in coordination with the Forestry Service. There
was absence of accurate regulation and involvement in the protection of local forest. the constraints in
eradication of illegal logging itself is, logging is the main jobbeside gathering the sap of rubber . The
researchers conclusion is that the law enforcement against illegal logging is very difficult to do,
because there are many indigenous or local people who arenot aware of the law .
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya atas sumber daya alam, dimana hutan
merupakan salah satu diantaranya yang menempati posisi strategis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.Sekitar dua pertiga dari 191 juta hektare daratan Indonesia
adalah kawasan hutan dengan ekosistem yang beragam, mulai dari hutan tropika
dataran tinggi, sampai hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan hutan bakau
(mangrove) .Indonesia juga memliki 12% dari jumlah spesies binatang
menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies
burung dan 25% dari spesies ikan dunia.
Hutan didominasi oleh kayu yang menyimpan berbagai macam kekayaan
alam yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.Oleh sebab itu, selain berfungsi
sebagai penyeimbang dan penyangga keberlanjutan lingkungan dan kelestarian alam,
hutan juga menjadi gantungan kehidupan bagi hampir 60 % masyarakat
Indonesia.Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hidup dalam
masyarakat semakin meningkat sehingga hutan menjadi pokok penghidupan banyak
orang.Industrialisasi kehutanan berdampak besar terhadap kelangsungan hutan
sebagai penyeimbang dan penyangga hidup dan kehidupan makhluk di dunia.Hutan
merupakan sumber daya alam yang sangat penting, tidak hanya sebagai sumber daya
kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponenlingkungan hidup.
Aspek-aspek pembangunan di bidang kehutanan pada dasarnya adalah
menyangkut upaya-upaya mengoptimalkan pendayagunaan fungsi-fungsi ganda dari
hutan dan kehutanan yang bertumpu pada kawasan hutan yang menyebar seluas
lebihkurang 72 % dari luas wilayah daratan Indonesia, atau sekitar 143,970 juta
hektar yang terbagi menjadi hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi
dansebagainya.
Fungsi-fungsi hutan tersebut pada hakikatnya merupakan modal alam (natural
capital) yang harus ditransformasikan menjadi modal riil (real capital) bangsa
Indonesia untuk berbagai tujuan, antara lain yaitu:
1. Melestarikan lingkungan hidup untuk kepentingan lokal, daerah, nasional, dan
global;
2. Meningkatkan nilai tambah pendapatan nasional, pendapatan daerah,
danpendapatan masyarakat;
3. Mendorong ekspor non migas dan gas bumi untuk menghimpun devisa
negara bagi penumpukan modal pembangunan.
Hutan merupakan sumber daya alamnya terbuka dan dapat langsung
dimanfaatkan oleh manusia,hingga memicu terjadinya permasalahan dalam
pengelolaan hutan, seperti penebangan liar, pengambilan hasil hutan yang tidak
berwawasan lingkungan. Jika dibiarkan terus menerus akan terjadinya kerusakan
hutan yang menyebabkan terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir,
erosi/tanah longsor, dan lain sebagainya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan bahwa setiap
menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat destructive logging
(penebangan yang merusak). Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian
akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 triliun rupiah
pertahun, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi
hidrologis, serta nilai social dari rencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat
pengrusakan hutan.
Aksi-aksi illegal logging terjadi disemua hutan Indonesia, baik itu di kawasan
hutan produksi, hutan konservasi, maupun hutan lindung.Maka konkritnya, telah
terjadi kerusakan hutan di seluruh wilyah hutan tropis Indonesia.Hal tersebut terjadi
karena adanya keterlibatan pelaku illegal logging yang merata mewakili kelompok
kepentingan dan unsur masyarakat. Bahkan, dalam praktek illegal logging terdapa
unsur yang sangat terorganisir mulai dari pekerja lapangan, pemilik moda, cukong
kayu, maupun oknum pejabat pemerintahan,mulai dari aparat yang bekerja di
lapangan baik itu sipil maupun militer hingga pejabat yang mempunyai kekuasaan
tertinggi didalam suatu instansi pemerintahan.
Eksploitasi hutan secara tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging
berdampak pada peran dan fungsi sumber daya hutan.Sumber daya hutan yang
mempunyai 3 fungsi utama sebagai penjaga keseimbangan ekologi, keselarasan social
dan keadilan ekonomi tidak lagi berfungsi semestinya karena praktek illegal logging
yang mewabah.Ada 6 faktor penyebab yang mendorong terjadinya praktek illegal
logging, yaitu (1) krisis ekonomi, (2) perubahan tatanan politik, (3) lemahnya
koordinasi antara aparat penegak hukum, (4) adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme,
(5) lemahnya system pengamanan hutan dan pengamanan hasil hutan, serta (6) harga
kayu hasil tebangan liar lebih yang murah .
Kegiatan illegal logging sangat memberikan dampak yang negatif terutama
bagi kelestarian fungsi sumber daya hutan yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan. Pemerintah Indonesia telah bertekad dan berupaya untuk memberantas
praktek illegal logging sebagai salah satu bentuk kejahatan lingkungan, sesuai dengan
amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.Pemerintah sudah melakukan berbagai tindakan konkrit untuk melakukan
pencegahan maupun penegakan hukum.Tindakan pencegahan dilakukan dengan
melakukan pendekatan kesejahteraan yang meliputi program pembinaan,
pendampingan, maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat desa hutan. Sementara
tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
melibatkan seluruh kelembagaan Negara yang berkaitan dengan keamanan hutan
untuk terlibat dalam kegiatan pemberantasan illegal logging . Praktek illegal logging
merupakan suatu praktek yang bermoduskan pidana maka harus dilawan juga dengan
pidana, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku illegal logging.
Untuk itu hutan sebagai penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya.
Sebagaimana disebutkan di dalam Dasar Negara Pasal 33 Ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia yang berbunyi :Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Untuk melindungi hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab,
maka dari itu pemerintah mengeluarkan peraturan perundangan tentang kehutanan,
yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Disamping itu masyarakat adat juga memiliki aturan-aturan yang tidak tertulis
bilamana terjadi pelanggaran dalam kosmis adat. Pelanggaran terhadap kosmis adat
itu tidak saja dilakukan terhadap perorangan tetapi juga dilakukan terhadap kejahatan
terhadap masyarakat adat, termasuk hak-hak yang melekat pada masyarakat adat,
oleh karena itu masyarakat adat juga mempunyai beberapa sanksi atau reaksi adat
yaitu :
1) pengganti kerugian materiil dalam berbagai rupa, seperti paksaan menikahkan
gadis yang telah dicemarkan;
2) uang adat;
3) selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran;
4) penutup malu/permintaan maaf;
5) berbagai rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan
6) pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar hukum.
Maka dari itu sanksi yang dapat diberikan kepada masyarakat adat yang
melakukan praktek illegall logging adalah berupa uang adat yang harus dibayarkan
guna pertanggungjawaban dari perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat/kosmis
adat yang melanggar.
Aturan adat Minangkabau tersusun atas induk aturan yang terdiri atas 6
(enam) macam, yakni :
1) adat
2) kato
3) nagari
4) undang
5) hukum
6) cupak
kemudian aturan ini dipecah menjadi 22 yang merupakan perincian dari
induk aturan yang 6 (enam) tadi , yang salah satunya adalah Undang-Undang duo
puluah, adalah himpunan aturan terdiri dari 20 macam, terdiri atas :
a. Undang-undang Salapan (Undang delapan)
b. Undang-undang duo baleh (undang dua belas)
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan,menebang, memotong, mengambil dan membawa kayu hasil hutan tanpa
ijin daripejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Setelah berlakunya Undang-Undang No. 41 tahun 1999
terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang
tersebut dikenakan pidana. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 50 jo Pasal 78 UU No.
41 tahun 1999 yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan
apabila dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP).
Namun sejak bergulirnya Otonomi Daerah sebagai sintesa pemeritahan yang
otoritarian, untuk menuju pemerintahan yang demokratis, berdampak pula terhadap
pola pengelolaan sumber daya alam termasuk didalamnya hutan.Sumatera Barat
melaksanakan otonomi dareah dengan kembali kepada nagari. Oleh karena iu,
didalam perda kembali disebutkan bahwa pengelolaan hutan berbasis nagari.
Pengaturan ini dapat dilihat pada ketentuan Bab I Pasal 1 angka 15 Perda No.
2 Tahun 2007, yang menyebutkan harta kekayaan nagari adalah: Harta benda yang
telah ada atau yang kemudian menjadi milik dan kekayaan nagari baik bergerak
maupun tidak bergerak. Sedangkan dalam BAB V Pasal 16 menyebutkan harta
kekayaan nagari itu meliputi :
a. Pasar nagari;
b. Tanah lapang atau tempat rekreasi nagari;
c. Balai, Mesjid dan/atau Surau nagari;
d. Tanah, hutan, sungai, kolam dan /atau laut yang menjadi ulayat nagari;
e. Bangunan yang dibuat oleh Pemerintah Nagari dan atau anak nagari untuk
kepentingan umum;
f. Harta benda dan kekayaan lainnya.
Maka dari itu nagari mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan
harta kekayaan nagari yang sudah dilimpahkan oleh pemerintah, terutama hutan yang
terletak dalam kawasan adat yang mana harus dijaga kelestariannya oleh nagari serta
jajaran nagari, seperti pemuka-pemuka adat dan pemuka-nagari. Pemuka adat dan
nagari harus menjaga hutan nagari dari praktek penebangan liar atau yang dikenal
dengan illegal logging.
Luas Kawasan Hutan Kabupaten Dharmasraya berdasarkan SK Mentri Hutan
Nomor : 304/Menhut-II/2011 tanggal 9 Juni 2011, sebagai berikut :
1. Hutan Swaka Alam (SA) 5.409 Ha
2. Hutan Lindung (HL) 11.986 Ha
3. Hutan Produksi Terbatas (HPT) 31.224 Ha
4. Hutan Produksi Tetap (HP) 26.770 Ha
5. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi 16.761 Ha
6. Kawasan Hutan 92.150 Ha
7. Areal Penggunaan Lainnya 203.963 Ha
Sedangkan luas hutan yang terdapat di kenagarian lubuk karak kecamatan IX
Koto adalah seluas 11724 Ha. Kondisi hutan yang ada di Kabupaten Dharmasraya
saat ini sudah sangat memprihatinkan, dimana dari data yang ada di Dinas Kehutanan
sebanyak 22 Ribu hektar hutan Dharmasraya rusak. Hal ini diungkapkan oleh Kepala
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ramilus SP M.Si dalam acara sosialisasi
pemantapan dan kelestarian kawasan hutan yang dipusatkan di Kelompok Tani
Rimbo Sakato Sungai Kilangan kemarin. Kerusakan hutan di Dharmasraya
berdasarkan table perbandingan luas kerusakan hutan antar Daerah tahun 2010 yaitu
disebabkan :
a. Kebakaran hutan seluas 100 ha
b. Lading berpindah 500 ha
c. Penebangan liar 750 ha
d. Perambahan hutan 200 ha
Maka dari itu nagari dan pemrintah berkewajiban menjaga dan melindungi
hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.Dengan memberikan
hukuman berdasarkan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik yang
berdasarkan KHUP maupun UU khusus berkaitan dengan pebenagan liar (illegal
logging) yaitu UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kejahatan penebangan liar (illegal logging) di atur di dalam Undang-Undang
kehutanan, yaitu undang-undnag No. 41 Tahun 1999, salah satu pasal yang
menyebutkan tentang tindak pidana penebangan liar (illegal logging) yaitu pasal 50
ayat 1-3, yang mana sebagian ayat itu berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Serta dalam Pasal 69 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
yang mana Pasalnya berkaitan dengan perlindungan hutan, yang berbunyi :
(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga
kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
(2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta
pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya
masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.
Berdasarkan data yang didapat dari lapangan, yaitu dengan cara wawancara
langsung dengan narasumber, yaitu Bapak Martiajis Wali Nagari Lubuk Karak
Kecamatan IX Koto Kabupaten Dharmasraya menyatakan bahwa 30% Hutan Nagari
di Nagari Lubuk Karak rusak diakibatkan oleh penebangan liar. Namun berdasarkan
pengamatan saya lebih dari 30% karena di sepanjang jalan dan di sungai begitu
banyak kayu-kayu hasil dari penebangan liar.
Berdasarkan latar belakang dan kondisi hutan yang semakin buruk di
akibatkan oleh penebangan liar kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
hutan bagi kehidupan, kemudian mendorong penulis untuk membuat proposal dan
melakukan penelitian, dengan judul proposal : PERLINDUNGAN HUTAN
NAGARI TERHADAP ILLEGAL LOGGING DI NAGARI LUBUK KARAK
KABUPATEN DHARMASRAYA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian ini, penulis membatasi ruang
lingkup penelitian ini dengan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hutan nagari oleh masyarakat nagari terhadap
illegal logging sebagai bentuk pidana adat di Kabupaten Dharmasraya
kenagarian Lubuk Karak?
2. Bagaimana peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan
Nagari dalam perlindungan hutan nagari terhadap illegal logging di
Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak?
3. Apakah yang menjadi kendala terhadap penegakan hukum untuk
perlindungan hutan nagari yang berkaitan dengan illegal logging di
Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak?
C. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan masalah bersifat yuridis sosiologis (socio-legal Research) yang
menekankan pada praktik di lapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau
perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan objek penelitian yang
dibahas dan melihat norma-norma hukum yang berlaku kemudian
dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat,1 yaitu Perlindungan Hutan Nagari terhadap Illegal
Logging di Nagari Lubuk Karak Kabupaten Dharmasraya.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu untuk
memberikkan gambaran tentang perlindungan hutan nagari oleh masyarakat
nagari terhadap illegal logging sebagai bentuk pidana adat di Kabupaten
Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak, peran Kerapatan Adat Nagari (KAN)
dan Pemerintahan Nagari dalam perlindungan hutan nagari terhadap illegal
logging di Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak dan yang
menjadi kendala terhadap penegakan hukum untuk perlindungan hutan nagari
1Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum.PT.Raja Grafindo Persada.
Jakarta: 2008.
yang berkaitan dengan illegal logging di Kabupaten Dharmasraya kenagarian
Lubuk Karak.
3. Jenis dan Sumber Data
a) Jenis Data
Adapun Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini penulis
mendapatkan data primer dengan melakukan wawancara dengan
Kepala Bidang Perlindungan Hutan di Kantor Dinas Kehutanan
dan Wawancarra dengan bapak Wali Nagari Lubuk Karak Serta
Ketua KAN nagari Lubuk Karak Kabupaten Dharmasraya.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian
perpustakaan yaitu berupa peraturan-peraturan dan buku-buku atau
literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
b) Sumber Data
Data dalam penelitian ini didapatkan melalui penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan.
4. Metode Pengumpulan Data
1) Wawancara
Dalam penelitian ini penulis mewawancarai Kepala Bidang
Perlindungan Hutan yaitu bapak Evi di Dinas Kehutanan, Wali Nagari
Lubuk Karak yaitu bapak Marti Ajis dan Ketua KAN yaitu bapak
Maridun.
2) Studi dokumen
Studi dokumen adalah suatu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis,
dan mempelajari data yang berupa bahan-bahan pustaka2.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang di peroleh setelah penelitian di lapangan akan diolah
melalui proses editing yaitu kegiatan yang dilakukan untuk meneliti
kembali dan mengoreksi atau melakukan pengecekan terhadap hasil
penelitian sehingga tersusun dan akhirnya melahirkan suatu kesimpulan.
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode yang bersifat
kualitatif 3. Dimana data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan
kemudian di olah dan dianalisa selanjutnya disusun untuk menggambarkan
tentang perlindungan hutan nagari oleh masyarakat nagari terhadap illegal
logging sebagai bentuk pidana adat di Kabupaten Dharmasraya kenagarian
Lubuk Karak, peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan Nagari
dalam perlindungan hutan nagari terhadap illegal logging di Kabupaten
Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak dan yang menjadi kendala terhadap
penegakan hukum untuk perlindungan hutan nagari yang berkaitan dengan
illegal logging di Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak. Sehingga
data akhirnya bersifat deskriptif yaitu data yang berbentuk uraian-uraian
2 Zainudin Ali (2010), Metode Penelitian Hukum ,Sinar Grafika, Jakarta ,hal 41 3 Bambang waluyo (2008) , penelitian hukum dalam praktek, Sinar Grafika. Jakarta , hal. 22
kalimat yang tersusun secara sistematis yang menggambarkan hasil penelitian
dan hasil pembahasan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Hutan merupakan sumber alam yang di anugerahkan oleh Tuhan, dan
sudah merupakan ketetapan dari Tuhan. Jika hukum alam tersebut dirusak
akan mengakibatkan suatu akibat yang fatal. Seperti hutan yang dirusak akan
memberikan suatu akibat yang fatal, karena alam merupakan ciptaan Tuhan
yang wajib untuk dilindungi.
Eksistensi hukum pidana adat di Indonesia telah lama dikenal baik
dikaji dari perspektif asas, teoretis, norma, praktek dan prosedurnya. Sebagai
salah satu contoh eksistensi pengaturan hukum pidana adat terdapat dalam
Oendang-Oendang Simboer Tjahaja pada abad ke-16 di wilayah Kesultanan
Palembang Durussalam Sumatera Selatan. Pada Oendang-Oendang Simboer
Tjahaja (UUSC) dikenal hukum pidana adat dimana sanksi denda dikenakan
pada delik kesusilaan diatur Pasal 18-23 Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan
Kawin UUSC. Sedangkan di Sumatera Barat dikenal dengan Undang-Undang
Duo Puluah yaitu himpunan aturan aturan yang terdiri dari 0 macam, yang
terdiri atas :
a. Undang-undang salapan ( undang delapan)
b. Undang-Undang duo baleh (undang dua belas)
Adapun undang salapan adalah aturan yang menetukan nama kejahatan
atau pelanggaran, yakni :
1. Dago-dagi
2. Sumbang salah
3. Maliang curi
4. Tikam bunuah
5. Lancuang kicuah
6. Upeh racun
7. Sia baka
8. Samun saka
Adapun undang duo baleh (dua belas) adalah aturan untuk
membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu aturan, atau telah
dilakukan perbuatan melawan undang, dan perbuatan itu mesti salah satu
diantara perbuatan tersebut diatas. Undang dua belas ini mengatur cara
membuktikan, dan menentukan syarat-syarat untuk membuktikannya.
Hukum pidana adat dapat kaji dari teori hukum, maka ilmu hukum
dibagi menjadi tiga lapisan yaitu teori hukum dan filsafat hukum dan
dogmatik hukum. Teori hukum menurut JJH Bruggink adalah keseluruhan
pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-
aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut sebagian yang
penting dipositifkan. Menurut JJH Bruggink lebih lanjut pengertian teori
hukum memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yaitu keseluruhan
pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretis bidang
hukum. Dalam arti proses, yaitu kegiatan teoretis tentang hukum atau pada
kegiatan penelitian teoretis bidang hukum sendiri. Kemudian dogmatik hukum
hakikatnya berisikan hukum positif yaitu yang dibentuk dalam wujud tententu
oleh kekuasaan yang berwenang.4 Filsafat Hukum merupakan refleksi
terhadap hukum atau gejala hukum sehingga sebagai refleksi kefilsafatan
eksistensinya tidak ditujukan mempersoalkan hukum positif tertentu
melainkan merefleksikan hukum pada umumnya atau hukum sebagai yang
demikian (law as such). Sedangkan Dogmatik Hukum menurut Bellefroid
dan Kusumadi Pudjesewojo disebut sebagai Ilmu Hukum Positif
mempelajari peraturan dari segi teknis yuridis, berbicara hukum dari aspek
yuridis, problem hukum yang konkret, aktual dan potensial dan melihat
hukum dari perspektif internal.5
Pada tataran dogmatik hukum yang secara teoretis berkorelasi dengan
teori hukum khususnya hukum positif maka tindak pidana adat (hukum pidana
adat) haruslah berupa sebuah rumusan yang bersifat tertulis sehingga dapat
dikualifisir unsur perbuatan tindak pidana adat sebagai suatu primes mayor.
Untuk itu, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart
Nomor 1 Tahun 1951 sebagai berikut:
4 ibid
5 ibid
Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam
KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat
yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan
ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus
rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya sebagaimana
termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk
pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan
ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang
berat ancaman pidana paling lama 10 (spuluh) tahun, sebagai
pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa.
Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman
pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP
seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau
Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak
pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP.
Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan
pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup
(living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya
dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam
KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.6
Pada dimensi teori hukum maka hukum pidana adat dipandang sebagai
norma hidup (living law) yang eksis dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena
dimensi demikian maka hukum pidana adat dalam implementasinya
dipergunakan penafsiran hukum berupa penafsiran sosiologi atau teleologis.
Konsekuensi logis dimensi demikian yang mempergunakan penafsiran
sosiologis atau teleologis ini dilakukan terhadap proses heurmanitika dalam
praktek hukum sehingga harus mempunyai tolok ukurnya dalam hukum
6 ibid
positif. Sedangkan dikaji dari perspektif filsafat hukum maka hukum pidana
adat mengatur tentang nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga
apabila nilai tersebut dilanggar akan terjadi kegoncangan keseimbangan magis
dan oleh karena itu harus dipulihkan keseimbangan tersebut dengan sanksi
adat atau obat adat. Nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam bentuk norma
dan asas serta diterapkan dalam praktek hukum. Dari dimensi fisafat hukum
nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman khususnya pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal
50 ayat (1) yang secara tegas meletaKkan dasar eksistensi hukum pidana
adat.7
2. Kerangka Konseptual
Dalam kerangka konseptual dapat di kemukakan istilah-istilah sebagai
landasan konsep penulisan skripsi ini sebagai berikut:
a. Perlindungan hukum
Perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 perlindungan adalah segala upaya
yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun
7 ibid
berdasarkan penetapan pengadilan. Dan menurut PP No.2 Tahun 2002
perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman
baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan.Maka dari itu dapat diambil pengertian perlindungan
hukum yaitu tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam
bidang hukum.8
b. Hutan Nagari
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-
batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau
(Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera
Barat.9 Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki
batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau
(Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan
8WJS. Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , Balai Pustaka 1959:224
9Pasal 1 angka (1) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Nagari
asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera
Barat.
c. Illegal logging (Pembalakan Liar)
Pengertian Illegal Logging dalam peraturan perundang-undangan
yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun,
terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah
bahwa illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan
pengangkutan kayu ketempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu
tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang
sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan.
II . PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hutan Nagari Oleh Masyarakat Nagari terhadap Illegal
Logging Sebagai Bentuk Pidana Adat Kabupaten Dharmasraya
Kenagarian Lubuk Karak.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan, pada dasarnya
perlindungan hutan sudah sesuai dengan aturan didalam peraturan perundang-
undangan dan peraturan pemerintah. Namun yang menjadi masalah adalah
masih banyaknya terjadi pembalakan liar dilapangan. Dari hasil wawancara
yang saya lakukan dengan bapak Wali Nagari dan bapak KAN Lubuk Karak
Kecamatan IX Koto Kabupaten Dharmasraya tersebut beliau mengatakan
bahwa belum adanya perlindungan secara formal dari masyarakat adat karena
masyarakat tersebut yang ikut andil dalam pembalakan liar karena merupakan
mata pencaharian meraka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun
selama ini yang dilakukan oleh pemerintah nagari hanyalah melakukan
penyuluhan dari dampaknya pembalakan liar.10
Pidana adat dan sanksi adat
yang merupakan tombak utama untuk melindungi hutan nagari tersebut sudah
mulai pudar dan hilang, karena hukum adat itu sendiri tidak dikenal lagi
didaerah tersebut. Sebagaimana pernyataan dari bapak Kepala Kerapatan Adat
Nagari yaitu Bapak Maridun Gindo Sutan pidana adat dan hukum adat yang
ada di nagari Lubuk Karak sudah lama mati, sehingga tidak ada lagi
perlindungan hutan masyarakat,sehingga banyak cukong-cukong yang
melakukan ekspedisinya di hutan adat tersebut. Sehingga begitu sulit untuk
menegakkan pidana adat itu sendiri kepada masyarakat adat yang melanggar
hukum adat dengan melakukan pengrusakan hutan atau merusak alam yang
telah dititipkan kepada kita.
Namun yang menjadi masalah adalah para oknum penegak hukum baik
di nagari maupun di Kabupaten yang masih lalai dan keluar dari aturan
tersebut, sebagaimana yang saya lihat di lapangan, begitu banyaknya hasil
dari pembalakan liar yang di hanyutkan melalui aliran sungai untuk dibawa
kepada tempat pengolahan atau tempat transaksi. Dari hasil penelitian tidak
terlihat sanksi adat yang diterapkan oleh masyarakat nagari terhadap
10 Hasil wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Lubuk Karak tanggal 20 Agustus 2013 jam
11.00
penebangan liar, padahal patut diketahui sanksi adat minangkabau seperti
aturan adat yang 6 (enam) yang salah satunya adalah Undang-Undang Nan
Duo Puluah. Undang-Undang Nan Duo Puluah terdiri dari dua macam, yakni
Undang-Undang Salapan dan Undang-Undang Duo Baleh. Undang-Undang
Salapan tersebut adalah Undang-Undang yang menentukan nama kejahatan
atau pelanggaran. Sedangkan Undang-Undang Duo Baleh adalah aturan untuk
membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu aturan atau lebih
dilakukan perbuatan yang melawan Undang, perbuatan itu adalah perbuatan
yang salah satu perbuatan yang terdapat didalam Undang Salapan. Dengan
tidak diterapkannya sanksi adat tersebut sehingga masyarakat tetap dan tidak
berhenti melakukan penebangan liar dengan pengrusakan hutan. Lemahnya
aturan hukum membuat para pelaku tidak pernah jera untuk melakukan
praktik atau ekploitasi hutan dengan mengambil hasil hutan yang tidak sesuai
dengan semestinya.
B. Peran KAN dan Pemerintahan Nagari dalam Perlindungan Hutan
Nagari terhadap Illegal Logging di Kabupaten Dharmasraya Kenagarian
Lubuk Karak
Peran serta masyarakat diatur dalam Pasal 68 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang dinyatakan bahwa, masyarakat berhak menikmati
kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan (ayat (1)). Oleh karena itu,
selain hak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, maka
masyarakat dapat: (a) memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) mengetahui rencana
peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; (c)
memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan
baik langsung maupun tidak langsung (ayat (2)).11
Berkaitan dengan hal diatas, maka perlu mendapatkan perhatian bahwa,
masyarakat yang tinggal dan bermukim di sekitar hutan perlu mendapatkan
kompensasi atas hilangnya akses dari hutan tersebut, dan masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan perlu di awasi pemerintah terkait dengan pungatan
hasil hutan dan pengelolaan hasil hutan serta penebangan kayu yang tidak
berwawasan lingkungan perlu di awasi kembali karena akan menimbulkan
dampak yang sangat besar bagi lingkungan dan juga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Terkait dengan kompensasi atas hilangnya
akses kehutanan tersebut, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat
(3) dinyatakan bahwa: masyarakat didalam dan sekitar hutan berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya
sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat
penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu, setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena
hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan
kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ayat (4).
11 Ibid. Hlm 476
Seiring dengan ketetapan diatas dengan adanya kompensasi, masyarakat
diharapkan pula memiliki kewajiban menjaga dan memelihara hutan tersebut
dari gangguan perusakan seperti penebangan liar yang dilakukan oleh orang-
orang yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat ikut serta dalam hal
memelihara dan menjaga hutan yaitu dengan melaksanakan rehabilitasi hutan.
Pemerintah dan pemerintah dareah harus meningkatkan peran serta
masyarakat dalam hal melindungi dan menjaga hutan, karena masyarakat
hidup dalam kawasan hutan. Dalam hal menjaga, memelihara dan
memanfaatkan hutan masyarakat mempunyai sautu kewajiban yaitu menjaga
kelestarian hutan dan lingkungan hidup dengan tidak melakukan penebangan
liar yang berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka dari itu Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan Nagari
juga berperan serta dalam melindungi dan menjaga hutan adat atau hutan
Nagari, agar tidak terjadinya penggundulan hutan yang diakibat oleh
penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat adat itu sendiri maupun
pihak luar yang berkoordinasi dengan masyarakat adat. KAN dan
Pemerintahan Nagari harusnya memberikan sanksi terhadap pelanggaran dan
kejahatan yang dilkukan oleh masyarakatnya agar hutan yang ada di dalam
nagari tersebut masih terjaga kelestariaannya. Hukum adat harus ditegakkan
dan harus membuat efek jera oknum masyarakat adat yang melakukan
kejahatan penebangan liar. Berdasarkan hasil penelitian yang penelti lakukan
dilapangan dengan wawancara kepada Bapak Wali Nagari yang bernama
Bapak Marti Ajis serta bapak Maridun selaku kepala KAN meraka
mengatakan bahwa selama ini peran serta KAN dan Pemerintahan Nagari
hanya sebatas memberikan nasihat dan saran dari dampak yang akan timbul
dari penebangan liar serta melakukan penyuluhan yang berkoordinasi dengan
Dinas Kehutanan. Belum adanya aturan dan keterlibatan yang akurat dalam
perlindungan hutan nagari. KAN yang terdapat di dalam nagari tersebut
berperan hanya sebagai formalitas saja, karena KAN hidup dibawah aturan
Ninik Mamak dan segala keputusan berada di tangan ninik mamak semuanya
tegantung kepada ninik mamak. KAN hanya berfungsi sebagai tempat untuk
meminta tanda tangan dari hasil keputusan para ninik mamak, jadi KAN
hanya sebagai lambang dalam nagari saja agar memenuhi dan melengkapi
aturan. 12
Maka dari itu perlu pembenahan kembali akan KAN berjalan
sebagaimana mestinya dan hukum adatpun hidup kembali. Dan perlu juga
kesadaran hukum masyarakat bahwa penebangan liar itu jika terus-terus
dilakukan akan merusak hutan dan mempunyai akibat yang buruk bagi hutan
dan lingkungan sekitarnya.
C. Kendala Terhadap Penegakan Hukum Untuk Perlindungan Hutan
Nagari yang Berkaitan Dengan Illegal Logging Di Kabupaten
Dharmasraya
12 Wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Lubuk Karak rabu tanggal 4 september 2013, jam
13.20
Berdasarkan hasil wawancara dilapagan, sebagaimana di ungkap oleh
Bapak Wali Nagari Marti Ajis kendala dalam pemberantsan illegal logging
yaitu berdasarkan mata pencaharian, amak mata pencaharian masyarakat adat
di Lubuk Karak sebagian besar adalah pengolahan kayu, sehingga sangat sulit
untuk diberantas dan juga tidaka adanya tindakan yang serius dari para
penegak hukum, hal tersebut di ungkapkan beliau dalam wawancara hari
jumat 6 september 2013 pada jam 10.30 Wib. Dan juga ditambahkan oleh
Bapak Kepala KAN yang menjadi kendala juga yaitu yang melakukan
penebangan liar adalah para kemenakan, maka untuk melindungi cucu
kemenakan, sampai sekarang belum ada upaya yang serius untuk melakukan
pemberantasan illegal logging. 13
Mencermati praktik illegal logging dan penyelundupan kayu sebagai
suatu tindak pidana kejahatan yang terorganisir, sepantasnya kalau semua
lapisan masyarakat melakukan perang terhadapnya. Dengan demikian,
pemerintah, baik pada tataran pusat maupun tataran pemerintah di daerah
menjadi tulang punggung utama dalam pemberantasan illegal logging dan
penyelundupan kayu. Fakta menunjukkan bahwa pemerintah pada dasarnya
telah berupaya melakukan pencegahan prakti illegal logging dan
penyelundupan kayu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan,
diantaranyapembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT), Operasi
13
Wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Nagari Lubuk Karak hari Jumat 6 September
2013 jam 10.30
Wanalaga dan Operasi Wanabahari dan terakhir Operasi Hutan Lestari
(OHL). Dengan adanya beberapa kebijakan ternyata selama ini tidak mampu
membendung laju terjadinya kegiatan illegal logging dan penyelundupan
kayu, alasannya karena adanya keterlibatan oknum aparat keamanan dan tidak
adanya koordinasi antara instansi yang terkait sebagaimana terlihat faktanya
dilapangan bahwa masih banyak kegiatan illegal logging dan sebagian besar
hutan rusak. Maka dari itu kunci utama dalam hal penegakan hukum dalam
pemberantasan illegal logging yaitu melakukan pembenahan kembali dalam
hal kerja setiap instansi penegak hukum. Agar pelaku illegal logging jera
hendaknya pemerintah dan aparat penegak hukum memberikan sanksi yang
tegas dan memberikan tuntutan berlapis terhadap pelaku, baik itu pelakunya
oknum elite penguasa maupun masyarakat yang ikut andil dalam hal tersebut,
sehingga praktik illegal logging berkurang dan kelestarian hutan terjaga.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ternyata pidana adat tidak lagi melindungi hutan karena adanya campur
tangan pemerintah dalam hal perlindungan hutan nagari tersebut,
pemerintah mengambil alih hutan dan perlindungan hutan. Sehingga
masyarakat adat tidak lagi peduli terhadap hutan mereka. Namun selama
ini yang dilakukan oleh pemerintah nagari hanyalah melakukan penyuluhan
dari dampaknya pembalakan liar itu sendiri. Maka secara spesifik belum
adanya upaya perlindungan hutan adat atau hutan nagari oleh masyarakat
nagari.
2. Peran KAN dan pemerintahan nagari dalam hal perlindungan hutan nagari
yaitu hanya sebatas menasihati dan penyuluhan dan penyuluhan itupun
masih adanya andil dari Dinas Kehutanan Kabupaten. KAN di nagari
tersebut hanya sebagai lambang nagari, untuk melengkapi aturan
pemerintah saja.
3. Kendala dalam hal perlindungan hutan nagri masih banyak yaitu masih
kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat bahwa pentingnya hutan dan
serta hal tersebut merupakan suatu mata pencaharian masyrakat, jadi sukar
untuk melindungi hutan. Dan para aparat keamananpun ikut andil dalam
hal tersebut.
B. SARAN
1. Aturan adat harus dihidupkan kembali karena hukum adat itu telah hilang
dan pudar seiring berjalannya waktu. Maka akan terlaksanalah
perlindungan hutan dan terjaganya hutan dengan adanya aturan adat dan
sanksi adat terhadap pelanggar.
2. Hendaknya aparat penegak hukum setempat juga ikut menjaga dan
melakukan razia-razia untuk mencegah terjadiya illegal logging disamping
masyarakat adat dan kembali membenahi koordinasi antar instansi agar
kembali berjalan sesuai dengan yang diharapakan
3. Pemerintahan nagari dan KAN bersama perlunya melakukan himbauan dan
memberikan pengetahuan kepada msyarakatnya untuk tidak melakukan
pembalakan liar karena efeknya nanti sangatlah berbahaya untuk bangsa
dan negara. Dengan membimbing masyrakat adat untuk tidak melakukan
pembalakan liar. Pemerintahan nagari dan KAN bersama-sama dengan
Depertemen Kehutanan melakukan penyuluhan pentingnya kelestarian
hutan dan menghimbau serta meyakinkan warga dari dampak yang
ditimbulkan oleh penebangan liar.
top related