Peraturan Desa Tentang Ekowisata Damar Hitam: Apakah · PDF filePeraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Kenyataan ... mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
Post on 03-Feb-2018
254 Views
Preview:
Transcript
Policy Paper
Peraturan Desa Tentang Ekowisata Damar Hitam: Apakah Telah
Menjadi Solusi Bagi Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Lestari? (Analisa kebijakan tingkat lokal dari aspek problem structuring)
Ni Putu Sarilani Wirawan
NPM: 1006742522
MAGISTER PSIKOLOGI TERAPAN – INTERVENSI SOSIAL
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2011
1
Ringkasan Eksekutif
Peraturan Desa (Perdes) Nomor 01 Tahun 2010 tentang Kawasan Ekowisata Damar
Hitam disusun sebagai kontribusi tingkat desa untuk mengatasi ancaman meluasnya
perambahan hutan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera
Utara. Secara mendasar, peraturan desa ini disusun untuk menyelamatkan hutan yang masih
alami dengan strategi pendekatan ekowisata untuk menjamin kegiatan perlindungan dan
pengawasan hutan TNGL dari ancaman perambahan. Materi dalam perdes ini berisikan
perlindungan hutan dan rencana pembentukan ekowisata di masa yang akan datang terhadap
wilayah hutan yang masih dalam kondisi baik (belum mengalami kerusakan).
Namun demikian terdapat beberapa tantangan dalam efektifitas perdes ini. Oleh karena
itu, permasalahan yang dikaji di dalam policy paper ini berkaitan dengan proses penyusunan
peraturan desa. Policy paper ini memberikan argumentasi bahwa agar suatu peraturan di
tingkat lokal dapat efektif, para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembuatan (serta
penegakan) peraturan tingkat lokal ini perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
faktor psikologis yang mempengaruhi internalisasi norma oleh suatu komunitas, pengetahuan
mengenai permasalahan, perilaku manusia yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta
solusi yang ditawarkan melalui suatu peraturan desa. Pada akhirnya, beberapa rekomendasi
akan diberikan untuk dapat meningkatkan kualitas dari pembuatan peraturan desa (sehingga
mampu efektif di dalam penegakannya), terutama terkait pengelolaan sumberdaya alam di
tingkat masyarakat lokal, dari aspek problem structuring di dalam proses pembuatan
peraturan.
Kajian kebijakan ini disusun untuk menjangkau para aktivis konservasi di tingkat lapang
yang secara aktif memfasilitasi proses-proses penyusunan kebijakan di tingkat desa yang
terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Harapan dari penyusunan policy paper ini
adalah dengan membaiknya proses penyusunan kebijakan di tingkat lokal, maka penerapan
2
nya juga akan menjadi semakin efektif yang akan berkontribusi pada semakin efektifnya
penyelesaian tantangan-tantangan pengelolaan sumberdaya alam oleh komunitas lokal.
Rekomendasi yang diberikan untuk kajian terhadap Peraturan Desa tentang Ekowisata
Damar Hitam, adalah opsi: Tidak merubah perdes yang telah ada namun melakukan
seperangkat intervensi terpadu untuk memberikan kekuatan non-formal terhadap
perdes ini. Sementara itu, bagi para aktivis konservasi di tingkat lapang yang secara aktif
memfasilitasi proses penyusunan kebijakan di tingkat desa yang terkait dengan pengelolaan
sumberdaya alam maka direkomendasikan opsi: menyusun perdes baru melalui problem
structuring yang tepat dan proses yang memperhatikan prinsip pengelolaan komunitas
dalam mengembangkan internalisasi terhadap norma baru.
3
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif .................................................................................................................. 1
Daftar Isi .................................................................................................................................... 3
1. Pendahuluan........................................................................................................................ 4
1.1. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL): Ilustrasi Tantangan Pengelolaan Wilayah
Konservasi di Indonesia ......................................................................................................... 4
1.2. Peraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Proses Panjang.. 6
1.3. Peraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Kenyataan ......... 9
1.4. Permasalahan Utama ................................................................................................. 10
2. Evaluasi dan Argumentasi ................................................................................................ 12
2.1. Pendekatan Psikologis dalam Proses Penetapan Peraturan bagi Komunitas ............ 12
2.2. Argumentasi : Efektifitas Proses Penyusunan Perdes ............................................... 16
2.3. Argumentasi: Efektifitas Penerapan Perdes .............................................................. 18
3. Policy Options .................................................................................................................. 20
4. Rekomendasi Kebijakan ................................................................................................... 24
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 26
Lampiran A: Peraturan Desa Tentang Ekowisata Damar Hitam ............................................. 28
Lampiran B: PP RI No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa............................................................ 36
Lampiran C: Peraturan Mendagri No. 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan
Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa ................................................................................. 74
4
1. Pendahuluan
1.1. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL): Ilustrasi Tantangan Pengelolaan
Wilayah Konservasi di Indonesia
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas 1.094.692 hektar merupakan suatu
kawasan konservasi yang terletak di dua propinsi Indonesia yaitu Sumatera Utara dan
Nanggroe Aceh Darussalam (Center, 2009). TNGL juga merupakan salah satu dari 2
kawasan konservasi lainnya (Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan) yang telah ditetapkan oleh badan dunia United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai “Tropical Rainforest Heritage of
Sumatra” atau Warisan Dunia Hutan Tropis Sumatra (Tropical Rainforest of Sumatra, 2004).
Pengertian kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya (UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 68
Tahun 1998 tentang Konservasi Suaka Alam dan Konservasi Pelestarian Alam). Salah satu
contoh bentuk kawasan konservasi adalah Taman Nasional. Penetapan kawasan konservasi
merupakan implementasi strategi konservasi ekosistem dan strategi konservasi in-situ yang
diarahkan sebagai fungsi pokok perlindungan/suaka dan pelestarian alam.
TNGL merupakan suatu kawasan konservasi yang memiliki nilai penting dari kekayaan
flora dan faunanya, juga dari sisi layanan ekologis. Dari sisi keanekaragaman hayati, kawasan
ekosistem Leuser merupakan habitat (tempat tinggal) terbesar bagi Orangutan Sumatera
(Pongo abelii). Orangutan Sumatra merupakan jenis satwa endemik (jenis satwa yang hanya
dapat ditemui di tempat tertentu) Sumatra. Dari sisi nilai layanan ekologis, tutupan dan
struktur ekosistemnya memiliki fungsi penting dalam memelihara ketersediaan air, iklim,
serta system penyangga kehidupan lainnya (Tentang TNGL).
5
TNGL sebagai suatu kawasan Taman Nasional (TN) merupakan kawasan pelestarian
alam, yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi. Namun demikian di dalam pengelolaannya, kawasan ini menghadapi
berbagai tantangan yang mengancam kelangsungan kelestarian dan keberadaan ekosistem
dan kekayaan alam di dalamnya. Berdasarkan nomenklatur ancaman konservasi yang
ditetapkan oleh International Union of Nature Conservation (IUCN), beberapa ancaman
terhadap kelangsungan kelestarian TNGL adalah:
Kategori ancaman IUCN : 7 (perubahan (modifikasi) sistem alami) : 7.3. modifikasi
ekosistem lainnya
Perambahan kawasan hutan: aktivitas membuka kawasan hutan TNGL menjadi
perkebunan skala besar dan kecil telah mengakibatkan kerusakan habitat dan
ekosistem.
Kategori ancaman IUCN : 5 (penggunaan sumber daya biologi) : 5.3. penebangan
kayu & pemanenan kayu
Illegal loging (penebangan hutan): sampai dengan tahun 2006 perusakan hutan
dengan penebangan liar menjadi kegiatan yang sangat mengancam kawasan TNGL
wilayah Besitang.
Kategori ancaman IUCN : 1 (pembangunan hunian & komersil : 1.1. wilayah
perumahan
Pendudukan kawasan TNGL oleh eks pengungsi asal Aceh, sebagai akibat konflik
militer Aceh (disusul dengan bencana tsunami): Menurut data Balai Besar TNGL
tahun 2007 pengungsi yang membuka hutan menjadi pemukiman dan perladangan
mencapai ± 500 kepala keluarga.
6
Kategori ancaman IUCN: 5 (Penggunaan Sumber Daya Alam Hayati): 5.1 Perburuan
dan pengambilan hewan daratan.
Perburuan (Perburuan & Pengambilan Hewan Daratan): Kebiasaan atau kegemaran
memasang jerat, serta masuknya satwa termasuk orangutan dan gajah ke area ladang
masyarakat memicu perburuan yang berakibat pada ancaman berkurangnya populasi
satwa liar
Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Center (YOSL-OIC)
adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal yang berkantor pusat di Medan
yang memiliki perhatian terhadap kelestarian orangutan Sumatra. Lembaga ini didirikan
pada tahun 2002. Sejak tahun 2007, lembaga ini memfokuskan kegiatan di Kawasan TNGL
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang (Kecamatan Besitang, Sei Lepan,
dan Batang Serangan di Kabupaten Langkat) melalui program penyadaran dan peningkatan
partisipasi masyarakat setempat terhadap usaha-usaha konservasi di area ini.
Wilayah VI Besitang ini memiliki luas ± 126.000 ha dengan tantangan pengelolaan
kawasan yang cukup kompleks. Data luas kerusakan kawasan TNGL di wilayah Kabupaten
Langkat sendiri menurut hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2002 menunjukkan kerusakan
seluas 43.623 Ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas 20.688 Ha (Ismail, 2010).
Penyelesaian secara menyeluruh terhadap permasalahan kerusakan kawasan TNGL menjadi
agenda utama dari pengelolaan kawasan oleh Balai TNGL bekerja sama dengan semua pihak
terkait dan pelibatan masyarakat.
1.2. Peraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Proses
Panjang
Terkait dengan usaha mengatasi tantangan dalam pengelolaan kawasan TNGL,
kelompok masyarakat Desa Mekar Makmur dengan fasilitasi dari beberapa lembaga telah
mengembangkan dan menyusun sebuah peraturan desa (perdes). Peraturan di tingkat lokal
7
ini disebut Peraturan Desa (Perdes) Nomor 01 Tahun 2010 tentang Kawasan Ekowisata
Damar Hitam. Lokakarya penetapan Perdes ini dilaksanakan bekerjasama dengan
Conservation Response Unit- Flora Fauna International (CRU-FFI), Balai Besar Taman
Nasional Gunung Leuser dan UNESCO pada bulan Februari 2010. Peserta lokakarya ini
terdari dari para kepala dusun (dari 6 dusun yang ada di Desa Mekar Makmur), anggota
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LKMD),
perwakilan perempuan dari kelompok PKK, pemuda, Balai Besar TNGL, dan LSM.
Lokakarya berlangsung selama satu hari dari pukul 8 pagi hingga 6 sore.
Lokakarya dilakukan untuk menyusun dan menyepakati sebuah kebijakan di tingkat lokal
yaitu di Desa Mekar Makmur untuk melindungi hutan Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) khususnya di wilayah kecamatan Sei Lepan. Secara substantif, peraturan desa ini
disusun untuk menyelamatkan hutan yang masih alami dengan strategi pendekatan ekowisata
untuk menjamin kegiatan perlindungan dan pengawasan hutan TNGL dari ancaman
perambahan. Oleh karena itulah, perdes ini kemudian berisikan perlindungan hutan dan
rencana pembentukan ekowisata di masa yang akan datang terhadap wilayah hutan yang
masih dalam kondisi baik (belum mengalami kerusakan). Luas kawasan hutan yang
dilindungi di dalam Perdes ini seluas 8325 hektar (terletak pada koordinat 03010‟12.3‟‟ LU,
98006‟10.5‟ BT s/d 03050‟44.1‟‟ LU, 98010‟15.9‟ BT).
Namun sesungguhnya, lokakarya ini merupakan suatu bagian dari sebuah proses panjang
dalam penyusunan perdes ini. Inisiatif dan proses penyusunan perdes ini telah dimulai sejak
tahun 2007 oleh CRU-FFI melalui beberapa pendekatan informal kepada tokoh-tokoh
masyarakat Desa Mekar Makmur. Kehadiran dua kelompok pengungsi (pasca konflik militer
di Aceh) di wilayah kecamatan Sei Lepan pada saat itu dikhawatirkan akan mempengaruhi
meluasnya area kawasan konservasi yang dirambah. Kebijakan di tingkat desa, diharapkan
dapat membantu memperkuat perundang-undangan tingkat nasional terkait pengelolaan
8
TNGL serta memberi ruang pada kelompok masyarakat desa untuk berperan aktif mencegah
perluasan area hutan yang dirusak. Di dalam rangkaian proses tersebut, dibentuklah Lembaga
Permata Rimba Damar Hitam (pada 27 Maret 2007) atau disebut juga LPRD, dengan harapan
lembaga di tingkat desa ini mampu mengawal, mengimplementasikan, dan mengawasi
pelaksanaan perdes yang disusun, serta sebagai langkah awal dalam menjawab keinginan
masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di desa ini. Namun demikian, proses
penyusunan perdes ini mengalami tantangan dengan adanya keterbatasan sumberdaya yang
kemudian memperlambat proses penyusunan peraturan di tingkat desa ini maupun
pengembangan kelembagaan LPRD.
Sebuah kampanye perubahan perilaku dengan pendekatan sosial-marketing yang
dilakukan oleh YOSL-OIC (2008 - 2010) kemudian mengingatkan para pemangku
kepentingan mengenai rancangan perdes yang pernah didiskusikan ini. Bagi YOSL-OIC,
inisiatif perdes ini dianggap akan menjadi faktor penguat dalam usaha menangani meluaskan
perambahan kawasan TNGL, terutama terkait dengan fokus kampanye yang bertujuan untuk
memperkenalkan pertanian tumpangsari di antara tanaman karet dan sawit untuk mengurangi
keinginan terhadap kebutuhan perluasan lahan yang mengancam kelangsungan hutan di
kawasan TNGL. Berkaitan dengan hal inilah maka YOSL-OIC bersama dengan CRU-FFI,
Balai Besar TNGL, dan perwakilan dari UNESCO memutuskan untuk melakukan lokakarya
penyusunan perdes dengan harapan perdes dapat didiskusikan bersama dengan pemangku
kepentingan dan ditandatangani sehingga dapat disosialisasikan dan segera dapat diterapkan.
Sebagai persiapan dari lokakarya ini, rancangan awal yang pernah didiskusikan dikumpulkan
kembali dan disusun menjadi panduan dan materi diskusi. Ismail (personal communication,
1 Juni 2011) dari YOSL-OIC menjelaskan bahwa di dalam proses lokakarya, rancangan
pasal-pasal yang telah ada didiskusikan melalui pembagian komisi kemudian dipresentasikan
kepada seluruh peserta untuk mendapatkan umpan balik dan kesepakatan terhadap muatan isi
9
dari pasal tersebut. Pada akhir lokakarya, rancangan perdes disahkan melalui tandatangan
BPD dan Kepala Desa, disertai mengirimkan tembusan kepada Kepala Daerah Kabupaten
Langkat.
Pengesahan perdes ini kemudian diikuti dengan langkah sosialisasi kepada seluruh
masyarakat desa. Perdes dibuatkan salinannya lalu disebarluaskan kepada anggota
masyarakat melalui Kepala Dusun. Perdes juga disosialisasikan oleh LPRD kepada
kelompok pengungsi yang menempati area hutan Leuser blok Damar Hitam Desa Mekar
Makmur.
1.3. Peraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Kenyataan
Pasca penandatangan perdes dan sosialisasi di seluruh dusun yang ada di Desa Mekar
Makmur terdapat beberapa kenyataan dari implementasi perdes ini.
Pengesahan perdes pada beberapa dusun telah membangkitkan semangat konservasi
sumberdaya alam. Salah satu contohnya adalah dengan adanya Pasal 13 mengenai Lubuk
Larangan, dusun merasa penting untuk mengelola sumberdaya air/sungai dan mengatur
penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang tidak merusak untuk menjamin tetap
tersedianya sumberdaya alam secara jangka panjang (Ismail, personal communication, 1 Juni
2011).
Pada sisi lain, penegakan perdes ini juga menghadapi tantangan. Pada kenyataannya,
ketika kegiatan perambahan dilakukan oleh orang-orang di luar Desa Mekar Makmur, perdes
menjadi tidak efektif karena keengganan menerapkan sanksi kepada pelaku. Walaupun
perdes juga dirancang untuk mengikat kepada orang-orang di luar desa yang melanggar
ketentuan, namun karena pengelolaan TNGL secara umum juga berada di dalam kebijakan di
tingkat yang lebih tinggi daripada perdes, pihak Desa merasa bahwa ketika yang melakukan
pelanggaran adalah orang di luar desa maka selayaknya pihak TNGL perlu mengambil
tindakan (Ismail, personal communication, 1 Juni 2011). Ketika kegiatan melanggar
10
perundangan kawasan konservasi tidak mendapatkan sanksi dari pihak pengelola kawasan
konservasi, pihak desa akhirnya juga merasa tidak perlu mengambil tindakan karena
kekuatiran terhadap implikasi yang mungkin terjadi. Tantangan lainnya adalah, LPRD yang
diharapkan menjadi penggerak dan pengawas dari pemberlakukan perdes hingga saat ini
kapasitasnya belum berkembang sebagaimana diharapkan karena masih terdapat sifat
ketergantungan terhadap bantuan dari luar lembaga/luar desa dan belum dapat bergerak
secara mandiri.
1.4. Permasalahan Utama
Masalah dari policy paper ini berkaitan dengan proses penyusunan peraturan desa,
termasuk di dalamnya kejelasan pengertian/definisi dari beberapa terminologi yang
digunakan serta hubungan antara tantangan konservasi dan isi peraturan desa itu sendiri.
Policy paper ini memberikan argumentasi bahwa agar suatu peraturan di tingkat lokal dapat
efektif, para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembuatan (serta penegakan)
peraturan tingkat lokal ini perlu memiliki pengetahuan yang cukup faktor psikologis yang
mempengaruhi internalisasi norma oleh suatu komunitas, pengetahuan mengenai
permasalahan, perilaku manusia yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta solusi
(dalam bentuk manfaat atau pun sanksi) yang ditawarkan melalui suatu peraturan di tingkat
lokal. Pada akhirnya, beberapa rekomendasi akan diberikan untuk dapat meningkatkan
kualitas dari pembuatan peraturan desa (sehingga mampu efektif di dalam penegakannya),
terutama terkait pengelolaan sumberdaya alam di tingkat masyarakat lokal, dari aspek
problem structuring di dalam proses pembuatan peraturan.
Sistematika penyusunan policy paper ini adalah sebagai berikut:
- Bab Pendahuluan: menjelaskan konteks pengelolaan kawasan konservasi di TNGL
sebagai salah satu pendorong pembentukan peraturan tingkat lokal, proses pembuatan
11
peraturan desa, serta efektifitas peraturan desa ini terkait dengan proses dan aspek
strukturisasi permasalahan di dalam peraturan desa ini.
- Bab Analisa Kebijakan: memaparkan kajian teoritis dari sudut pandang psikologis, serta
evaluasi terhadap efektifitas proses pembuatan dan penerapan peraturan terkait
- Bab Pilihan Kebijakan: memaparkan beberapa solusi alternatif terhadap proses maupun
solusi lainnya
- Bab Rekomendasi: menjelaskan rekomendasi yang dapat diterapkan pada proses
penyusunan peraturan desa lainnya dengan mempertimbangkan aspek perilaku manusia
dan masalah lingkungan yang coba diatasi.
Kajian kebijakan ini disusun untuk menjangkau para aktivis konservasi di tingkat lapang
yang secara aktif memfasilitasi proses-proses penyusunan kebijakan di tingkat desa yang
terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Harapan dari penyusunan policy paper ini
adalah dengan membaiknya proses penyusunan kebijakan di tingkat lokal, maka penerapan
nya juga akan menjadi semakin efektif yang akan berkontribusi pada semakin efektifnya
penyelesaian tantangan-tantangan pengelolaan sumberdaya alam oleh komunitas lokal.
12
2. Evaluasi dan Argumentasi
2.1. Pendekatan Psikologis dalam Proses Penetapan Peraturan bagi Komunitas
Di era otonomi daerah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 72 tahun 2005
menyediakan ruang legal kepada pemerintah desa untuk mengatur dan mengelola desa
melalui pembentukan peraturan desa (Pasal 5 ayat 2). Selanjutnya, arahan yang lebih detail
dalam pembentukan dan mekanisme penyusunan Peraturan Desa diatur dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor
29 tahun 2006. Sayangnya, pedoman ini lebih banyak memuat hal-hal teknis terkait penulisan
dan format, serta tidak menyediakan panduan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan
permasalahan secara tepat maupun penjelasan mengenai proses yang idealnya dilakukan
(selain bahwa masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan/tertulis).
Di dalam konteks psikologi sosial, aturan yang di dalam kelompok yang mengindikasikan
bagaimana anggota kelompok harus atau tidak harus bertindak disebut dengan norma (Baron
et al, 2008 dalam Halida, 2009). Norma dibedakan menjadi dua jenis yaitu injunctive norm
dan descriptive norm (Hafiyah, 2009). Injunctive norm adalah perilaku yang seharusnya
dilakukan dan umumnya dinyatakan secara eksplisit atau pun tertulis; sedangkan descriptive
norm adalah perilaku yang umumnya ditampilkan oleh kebanyakan orang. Peraturan desa
merupakan suatu bentuk injunctive norm sebagai cara untuk mengelola komponen-komponen
yang ada di dalam pemerintah desa. Namun demikian, secara teoritis, injunctive norm
cenderung diabaikan dibandingkan dengan descriptive norm (Hafiyah, 2009). Pentingnya
partisipasi para pengguna sumberdaya alam (resource users) serta peranan norma deskriptif
dalam hal ini menunjukkan bahwa teori psikologi sosial mengenai pengaruh sosial (sosial
influence) terutama terkait norma sosial dan konformitas memiliki relevansi yang mendasar
bagi efektifitas penerapan suatu aturan pengelolaan sumberdaya alam di tingkat lokal.
13
Pengaruh sosial (social influence) didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah sikap,
kepercayaan (belief), persepsi, atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya
(Cialdini, 1994 dalam Hafiyah, 2009). Terdapat tiga tipe pengaruh sosial yang penting yaitu:
konformitas (conformity), ketaatan (compliance), dan kepatuhan terhadap otoritas
(obedience). Norma sosial diikuti oleh manusia jika terdapat tekanan-tekanan untuk
bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan sosial. Hollander (1981)
menyebutkan bahwa konformitas dan non konformitas merupakan hasil dari kebebasan
individual (individual freedom) dalam menentukan pilihan. Lebih detil disebutkan bahwa
konformitas dan non-konformitas merupakan bagian dari suatu proses yang sama dalam
membuat keputusan diantara alternatif yang tersedia.
Selanjutnya, adanya aturan/norma deskriptif serta sanksi dan reward yang berasosiasi
dengan perilaku konformis dapat terbentuk jika anggota masyarakat desa memiliki intensi
untuk membangun kesepakatan dalam mengelola sumberdaya alamnya (Ajzen, 1991).
Budaya kolektif (Triandis, 1990 dalam Bond & Smith, 1996) yang ditandai dengan
terbangunnya tujuan bersama (shared goal) yang dipengaruhi dari adanya anggapan bahwa
permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya hutan merupakan masalah bersama, serta
adanya sikap positif, norma subyektif, dan mudahnya melakukan kendali perilaku (Ajzen,
1991) akan memberikan kontribusi terhadap munculnya intensi ini.
Pengelolaan sumberdaya hutan dan tantangannya memberikan ilustrasi terhadap konsep
“Tragedy of the Common” yang dikemukakan oleh Garett Hardin pada tahun 1968. Konsep
„Tragedy of the Common” menjelaskan terjadinya degradasi lingkungan yang terjadi ketika
terdapat banyak pengguna sumberdaya terhadap sumberdaya yang tersedia secara terbatas.
Hardin menyebutkan bahwa pengguna sumberdaya bersama (common resource) – yang
dimungkinkan karena adanya akses terbuka - seringkali terlibat dalam proses yang pada
akhirnya merusak sumberdaya dimana para pengguna tersebut tergantung.
14
Secara lebih spesifik, Ophuls (1973, 1977, dalam Gardner & Stern, 1996) telah
mengidentifikasi penggunaan peraturan pemerintah, aturan dan insentif sebagai salah satu
dari empat tipe solusi dasar atau cara-cara untuk mendukung perilaku individual terhadap
sumberdaya kepemilikan bersama. Menurut Hardin ( 1960, dalam Gardner & Stern, 1996)
kelemahan terbesar dari tragedy of the common adalah keinginan manusia untuk
menguntungkan diri sendiri secara individual, yang dikombinasikan dengan sumberdaya
yang bebas tapi tersedia terbatas dan akses yang bebas, berpotens i menghalangi konservasi
sumberdaya dan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Hardin menyatakan hanya ada dua
solusi untuk mengatasi hal ini, yaitu membatasi akses dan membuat sumberdaya menjadi
mahal. Kedua solusi ini memiliki pendekatan yang serupa, yaitu merubah insentif yang
diterima oleh individu. Insentif dijelaskan sebagai kondisi positif dan negatif yang meliputi
perilaku. Insentif negatif sering juga disebut sebagai disinsentif.
Sementara itu, teori belajar operan dari Skinner menjelaskan bahwa perilaku dipelajari
melalui proses dimana perilaku berulang adalah fungsi dari konsekuensi-konsekuensi yang
diterima. Di dalam tragedy of the common, perilaku memanfaatkan sumberdaya bersama
dijelaskan melalui dua alasan: adanya reward yang diterima dari orang yang menggunakan
sumberdaya , sementara biaya dikeluarkan oleh orang lain; serta rewards diterima lebih dekat
dengan perilaku yang ditampilkan daripada biaya. Perlu untuk selalu diingat bahwa insentif
juga dapat memberikan dampak yang tidak diharapkan, positif maupun negatif. Selain itu
efektifitas insentif seringkali sangat tergantung pada strategi lain yang diterapkan pada saat
bersamaan, terutama pemberian informasi.
Selanjutnya di dalam konteks pengorganisasian komunitas, terdapat beberapa hal kunci,
yaitu: pengambilan keputusan yang partisipatif, monitoring, norma sosial, dan sanksi sosial
(Gardner & Stern, 1996). Hardin (1968 dalam Gardner & Stern, 1996) menambahkan bahwa
15
untuk kesuksesan pengorganisasian komunitas dalam mengelola sumberdaya alam maka
diperlukan kontrol terhadap perilaku individu.
Berkaitan dengan hal ini, pada bagian lain, Gardner dan Stern (1996) menjelaskan
jawaban terhadap pertanyaan: bagaimana seperangkat peraturan pengelolaa n komunitas
mampu merubah perilaku individual? Bagaimana caranya individu mau mematuhi peraturan
ketika manfaat yang diterima lebih besar ketika ia melanggar peraturan? Dalam konteks ini,
bagaimana seorang petani atau anggota masyarakat mau mematuhi peraturan untuk
melindungi hutan di kawasan TNGL, ketika manfaat dari merambah hutan dirasakan lebih
besar?
Gardner dan Stern (1996) menyatakan bahwa satu alasan penting mengapa kebanyakan
orang mau melakukan yang terbaik bagi kelompok dan sumberdaya adalah karena adanya
internalisasi terhadap kepentingan kelompok (dibandingkan karena adanya ketaatan/
compliance terhadap aturan). Ketaatan hanya bekerja dengan baik ketika orang-orang
berharap akan ada hukuman terhadap pelanggaran peraturan, sedangkan internalisasi dapat
bekerja setiap saat. Internalisasi umumnya selalu melibatkan struktur insentif yang terdiri
dari suatu bentuk insentif yang terkandung di dalam perilaku yang diharapkan itu sendiri
(built-in incentives); monitoring, serta sanksi-sanksi formal dan informal jika insentifnya
tidak memadai. Struktur insentif yang diciptakan oleh masyarakat (termasuk pengawasan
dan penegakan aturan/sanksi) dan proses yang terlibat (partisipasi dan harapan sosial
terhadap ketaatan) menciptakan kondisi psikologis untuk self-control (internalisasi norma).
Perasaan menjadi bagian dan bertanggung jawab terhadap komunitas dimana seseorang
berada (dengan cara menginternalisasi norma) adalah aspek yang membentuk self-control.
Selanjutnya, Triandis (1990, hal. 42 dalam Bond & Smith, 1996) menjelaskan bahwa di
dalam budaya kolektif – sebagaimana perilaku masyarakat di pedesaan - perilaku sosial
sangat dideterminasi oleh tujuan bersama (shared goal) diantara para sesama anggota
16
kelompok dan jika terdapat suatu konflik antara tujuan pribadi dan tujuan kolektif maka
secara sosial sangat diharapkan bahwa tujuan kolektif didahulukan daripada tujuan pribadi.
2.2. Argumentasi : Efektifitas Proses Penyusunan Perdes
Berdasarkan tinjauan teoritis dari sudut pandang psikologi sosial, terdapat beberapa hal
terkait efektifitas proses penyusunan perdes tentang kawasan ekowisata Damar Hitam ini,
yaitu:
- Penyusunan perdes menggunakan pintu masuk diskusi melalui ekowisata dengan harapan
dapat mendorong semangat untuk melakukan perlindungan dan pengawasan terhadap
kondisi hutan TNGL yang masih dalam keadaan alaminya. Namun demikian, strategi ini
tidak dibarengi dengan pemahaman yang memadai mengenai definisi dan prinsip dasar
dari ekowisata maupun hubungannya dengan ancaman perambahan hutan yang terjadi di
dalam kawasan. Sebagai implikasinya, strategi ini kurang dapat menggagas secara
spesifik tujuan bersama (shared goal) yang dipengaruhi dari adanya anggapan bahwa
pengelolaan sumberdaya hutan merupakan masalah bersama.
Kelemahan ini, misalnya terlihat dari definisi „ekowisata‟serta tidak adanya definisi
mengenai “Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser” yang termuat dalam Bab 1
Ketentuan Umum. Pada bab 1 ini, Balai Besar TNGL sebagai pihak pengelola kawasan
konservasi sebagai diamanatkan dalam perundang-undangan yang lebih tinggi dari perdes
ini tidak disertakan definisinya.
Sementara itu, pengertian ekowisata dibatasi sebagai kegiatan pemanfaatan jasa
lingkungan dan pemanfaatan kawaan TNGL secara terbatas. Sementara pada dasarnya,
definisi ekowisata mencakup pengertian mengenai partisipasi komunitas lokal, kelestarian
alam, serta manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat. Berkaitan dengan definisi
ekowisata ini, pada dasarnya setidaknya terdapat enam prinsip untuk mendefinisikannya
(Wallace & Pierce, 1996 dalam Fennel, 2008) yaitu:
17
a. dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan dan masyarakat setempat
b. kesadaran dan pemahaman mengenai alam dan sistem budaya di kawasan, serta
keterlibatan wisatawan di dalam hal-hal yang mempengaruhi sistem tersebut
c. konservasi dan pengelolaan kawasan yang secara legal dilindungi dan kawasan alam
lainnya
d. pengambilan keputusan di tingkat komunitas yang menentukan jenis dan besaran
wisata yang diharapkan terjadi
e. memberikan manfaat ekonomi dan manfaat lainnya kepada komunitas setempat yang
melengkapi dan bukan membebani atau pun menggantikan praktik kehidupan
tradisional
f. memberikan kesempatan khusus kepada komunitas lokal dan pekerja wisata alam
untuk mengunjungi kawasan alam dan belajar lebih banyak tentang keunikannya yang
menjadikannya sebagai daerah kunjungan wisata
- Kelemahan di dalam mendefinisikan dan menjelaskan prinsip-prinsip ekowisata di
dalam perdes ini mempengaruhi muatan spesifik pasal yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya alam maupun sanksi terhadap pelanggaran. Selain itu,
karenanya perdes tidak secara spesifik memuat keempat unsur penting dari struktur
insentif yang dapat meningkatkan internalisasi terhadap aturan. Perdes ini hanya
memuat larangan dan sanksi yang bersifat formal. Contoh dari hal ini adalah Bab VII
hanya memuat mengenai larangan terhadap kegiatan-kegiatan yang merusak alam,
namun tidak memuat manfaat atau insentif jika seseorang mentaati peraturan atau
melaporkan terjadinya pelanggaran.
Terkait sanksi pelanggaran (Bab VIII pasal 14), rujukan terhadap perundang-
undangan yang lebih tinggi tidak dijelaskan secara spesifik. Selain itu, walaupun
18
diberikan penjelasan jenis-jenis sanksi yang dapat diberikan, namun jenis-jenis sanksi
ini tidak digunakan untuk menerapkan sanksi secara bertingkat.
- Karena masalah bersama yang ingin diatasi, yaitu perambahan hutan, kurang secara
kuat terbangun, hal ini mempengaruhi ketidakjelasan identifikasi aktor maupun
penerima manfaat jika perdes diberlakukan.
- Kapital sosial yang diharapkan menjadi pelaksana dan pengawas belum berkembang
dengan baik. Dalam hal ini, LPRD yang diharapkan mengawal dan mengawasi
penerapan perdes ini belum memiliki kapasitas pengorganisasian masyarakat yang
memadai serta masih tergantung pada fasilitasi yang berasal dari luar kelompok.
- Proses penyusunan perdes telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
partisipasif dalam pengambilan keputusan, dengan dilibatkannya berbagai perwakilan
dari pemangku kepentingan yang ada di Desa Mekar Makmur. Kualitas partisipasi
pemangku kepentingan dapat ditingkatkan dengan menghadirkan pakar ekowisata
dan atau telah memiliki pengalaman dalam mengembangkan ekowisata di dalam
kawasan konservasi serta meningkatkan keterwakilan dari kelompok pelaku
perusakan hutan, kelompok pengungsi, maupun pengambil keputusan di tingkat Balai
Besar TNGL.
2.3. Argumentasi: Efektifitas Penerapan Perdes
Selanjutnya, berdasarkan tinjauan teoritis dari sudut pandang psikologi sosial,
terdapat beberapa hal terkait efektifitas penerapan perdes tentang kawasan ekowisata
Damar Hitam ini yang juga dipengaruhi oleh efektifitas dalam proses penyusunan
terutama terkait dengan problem structuring, yaitu:
- Pemilihan strategi dengan entry point ekowisata mampu memberikan semangat
konservasi secara positif kepada pemerintah di tingkat dusun. Ha l ini dikarenakan
adanya harapan terhadap suatu perubahan lingkungan (dan ekonomi).
19
- Pasal 13 mengenai pengelolaan Lubuk Larangan menjadi pasal yang diterima dan
diterapkan dengan baik, hal ini dikarenakan Lubuk Larangan telah lama menjadi
bagian yang kehidupan sehari-hari sehingga memiliki kedekatan dengan masyarakat
dalam mengelola sumberdaya sungai, serta pasal ini memuat aturan secara spesifik
dan jelas.
- Namun demikian, ketika penegakan aturan di dalam perdes tidak konsisten (termasuk
juga belum optimalnya penegakan aturan pada tingkat yang lebih tinggi), maka
masyarakat kemudian menjadi enggan menerapkan sanksi yang ada.
- Pelibatan atau pun komunikasi yang belum optimal antara Balai Besar TNGL dan
pemerintahan Desa Mekar Makmur terkait penerapan perdes ini secara langsung di
tingkat desa maupun implikasinya dalam memperkuat peraturan yang lebih tinggi
dalam pengelolaan TNGL. Disebabkan oleh hal ini maka penegakan aturan di dalam
perdes ini akhirnya cenderung menjadi perilaku yang „wait and see’, saling menunggu
siapa yang akan mengambil langkah pertama, namun berakhir dengan tidak
diambilnya langkah apa pun.
20
3. Policy Options
Setelah menganalisa dan mengevaluasi proses penetapan perdes tentang Ekowisata
Damar Hitam, terdapat beberapa usulan opsi proses kebijakan yang dapat meningkatkan
kualitas perdes ini serta memungkinkan terjadinya internalisasi dalam penerapannya maupun
dapat menjadi opsi bagi proses pembentukan suatu perdes baru mengenai pengelolaan
sumberdaya alam. Opsi tersebut adalah:
A. Tidak merubah perdes yang telah ada namun melakukan seperangkat intervensi terpadu
untuk memberikan kekuatan non-formal terhadap perdes ini.
Berkaitan dengan Opsi A di atas, kelompok masyarakat perlu difasilitasi (baik oleh LSM
maupun oleh pemerintah) untuk memperkuat internalisasi terhadap perdes ini. Suatu studi
perilaku perlu dikembangkan untuk mempelajari halangan dan manfaat yang dirasakan
(perceived-benefit) terhadap perdes ini dalam menangani masalah kerusakan hutan Leuser,
maupun menemukan tujuan bersama dari dimilikinya hutan Leuser yang lestari. Berdasarkan
kajian empiris tersebut kemudian dikembangkan seperangkat kegiatan untuk
mengembangkan descriptive norm yang memuat struktur insentif (Gardner & Stern, 1996)
yang jelas bagi masyarakat yang memperlihatkan perilaku yang diharapkan.
Konsekuensi dari Opsi A adalah:
- Tidak memulai proses kebijakan dari awal sehingga efektif dalam penggunaan
waktu
- Memperjelas tujuan bersama (shared-goal) ketika sumberdaya dikelola dan
dilindungi dengan baik akan meningkatkan pemahaman terhadap nilai penting
dari perdes ini pada tingkat desa
- Diperlukan sejumlah biaya tertentu (bisa bersumber dari dana desa maupun dana
lembaga pendamping) untuk mengembangkan suatu proses intervensi yang layak
21
dan menjamin bahwa tercipta internalisasi norma sosial yang baru. Peningkatan
kapasitas lokal (misalnya LPRD) penting untuk dilakukan melalui intervensi ini.
B. Merubah perdes yang telah ada dengan menambah/merubah materi perdes yang
diperlukan
Opsi B untuk merevisi materi perdes dapat dilakukan sesuai dengan pedoman dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2006. Opsi B ini dilakukan dengan cara
memperbaiki dan menyempurnakan definisi terminologi „ekowisata‟ yang digunakan agar
sesuai dengan kajian ilmiah, serta memasukkan definisi „Balai Besar Taman Nasional
Gunung Leuser‟ pada Bab 1 mengenai Ketentuan Umum. Implikasi dari revisi perdes ini
akan memungkinkan ditambahkannya beberapa pasal terkait dengan prinsip-prinsip
ekowisata yang mendorong perlindungan kawasan hutan; insentif/manfaat langsung atau
tidak langsung (termasuk juga insentif ekonomi dan non-ekonomi) dari perilaku yang
mendukung perlindungan terhadap hutan TNGL; serta sanksi bertingkat yang lebih jelas dan
spesifik sesuai dengan besaran pelanggaran yang terjadi dan pernyataan jelas mengenai
rujukan kepada peraturan perundangan yang lebih tinggi bagi pelanggaran-pelanggaran yang
tidak dapat diatasi di tingkat desa (misalnya: pelanggaran yang dilakukan oleh orang dari luar
desa; luas hutan yang dirusak, dan sebagainya).
Konsekuensi dari Opsi B adalah:
- Problem structuring diperbaiki dan mampu mendekati permasalahan nyata yang
ingin diatasi, sehingga kebijakan benar-benar berfungsi sebagai alat uMentuk
menyelesaikan masalah.
- Perlu pelibatan dan komunikasi yang konstruktif dan intensif dari pengambil
keputusan di Balai Besar TNGL dan pemerintahan desa sehingga perdes secara
integratif mendukung peraturan perundangan yang lebih tinggi dalam mengelola
kawasan konservasi TNGL.
22
- Diperlukan waktu dan biaya baik untuk proses mencapai kesepakatan terhadap
materi baru maupun untuk sosialisasinya, yang mungkin akan setara dengan
proses pembuatan perdes baru.
C. Menyusun perdes baru melalui problem structuring yang tepat dan proses yang
memperhatikan prinsip pengelolaan komunitas dalam mengembangkan internalisasi
terhadap norma baru
Opsi C memberikan saran untuk melakukan suatu proses baru dengan lebih sistematis
dan empiris. Di dalam proses penyusunan perdes yang baru ini terdapat beberapa hal yang
penting untuk dilakukan:
- Melakukan definisi permasalahan yang jelas dan spesifik, melalui di antaranya:
studi literature, studi lapang, maupun pelibatan pakar untuk mendapatkan
gambaran permasalahan secara nyata dan komprehensif. Definisi permasalahan
yang jelas dan spesifik juga sangat penting dalam diskusi dengan masyarakat di
tingkat lokal sehingga diperoleh tujuan bersama yang akan menjadi dasar dari
penyusunan suatu kebijakan lokal, maupun internalisasi dari suatu norma sosial
baru.
- Mengembangkan peta dan analisa hubungan pemangku kepentingan terkait
dengan permasalahan dan solusi. Analisa semacam ini akan membantu
menentukan strategi pendekatan yang dipilih dalam proses penyusunan perdes,
menentukan pemangku kepentingan yang tepat dan harus terlibat untuk menjamin
partisipasi penuh serta termuatnya semua kepentingan terkait permasalahan dan
solusi. Analisa ini juga akan menentukan bentuk dan durasi strategi komunikasi
yang perlu dibangun sesuai dengan perbedaan/persamaan kepentingan yang ada di
antara para pemangku kepentingan
23
- Selain menepati struktur dan format penulisan peraturan sebagaimana
diamanatkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2006 dan
peraturan daerah terkait lainnya, peraturan di tingkat lokal juga penting untuk
memuat materi-materi terkait struktur insentif bagi perilaku yang diharapkan dan
sanksi bertingkat baik berupa sanksi formal maupun sanksi sosial bagi
pelanggaran terhadap aturan.
- Karena pada kenyataannya proses kebijakan di tingkat lokal adalah juga suatu
perubahan sosial struktural yang memerlukan waktu yang panjang, maka lembaga
pendamping di dalam proses penyusunan ini perlu secara strategis membuat
perencanaan pendekatan yang akan digunakan termasuk juga memperhitungkan
sumberdaya (keahlian, waktu, dana) yang diperlukan untuk mencapai lebih dari
sekedar penandatanganan kesepakatan, namun hingga pada menjamin internalisasi
suatu norma baru di tingkat lokal.
Pemilihan Opsi C sebagai suatu solusi kebijakan memiliki beberapa konsekuensi sebagai
berikut:
- Diperlukan sumberdaya (keahlian, waktu, dana) yang lebih besar dibandingkan
Opsi A dan Opsi B.
- Penerapan Opsi C secara konsisten akan menjamin terpenuhinya lima aspek
kunci dalam pengelolaan komunitas terhadap sumberdaya alam yaitu keputusan
yang partisipatif, monitoring, norma sosial, dan sanksi sosial, serta kontrol
terhadap perilaku individu
- Karena rancangan strategi untuk proses internalisasi norma menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari rancangan proses penyusunan perdes secara formal legal,
maka dapat diharapkan bahwa penerapan perdes akan menjadi lebih efektif.
24
4. Rekomendasi Kebijakan
Masalah dari policy paper ini berkaitan dengan proses penyusunan peraturan desa,
termasuk di dalamnya kejelasan pengertian/definisi dari beberapa terminologi yang
digunakan serta hubungan antara tantangan konservasi dan isi peraturan desa itu sendiri.
Policy paper ini memberikan argumentasi bahwa agar suatu peraturan di tingkat lokal dapat
efektif, para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembuatan (serta penegakan)
peraturan tingkat lokal ini perlu memiliki pengetahuan yang cukup faktor psikologis yang
mempengaruhi internalisasi norma oleh suatu komunitas, pengetahuan mengenai
permasalahan, perilaku manusia yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta solusi
(dalam bentuk manfaat atau pun sanksi) yang ditawarkan melalui suatu peraturan di tingkat
lokal. Pada akhirnya, beberapa rekomendasi akan diberikan untuk dapat meningkatkan
kualitas dari pembuatan peraturan desa (sehingga mampu efektif di dalam penegakannya),
terutama terkait pengelolaan sumberdaya alam di tingkat masyarakat lokal, dari aspek
problem structuring di dalam proses pembuatan peraturan
Peraturan Desa terkait pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu perangkat
kebijakan di tingkat lokal yang seringkali digunakan, sebagaimana kajian di dalam policy
paper ini terkait Peraturan Desa tentang Ekowisata Damar Hitam. Namun demikian, pada
kenyataannya, penegakan aturan dari kebijakan lokal ini seringkali tidak efektif dan akhirnya
belum mampu menjadi solusi terhadap ancaman pelestarian alam. Salah satu penyebab dari
ketidakefektifan ini adalah karena proses penyusunan perdes yang dilakukan terutama terkait
dengan aspek problem structuring masih belum dilakukan secara sistematis dan tepat.
Untuk kajian policy paper ini yaitu Peraturan Desa tentang Ekowisata Damar Hitam,
maka opsi kebijakan yang dianggap paling tepat adalah Opsi A (opsi pertama). Opsi A
yaitu: Tidak merubah perdes yang telah ada namun melakukan seperangkat intervensi
terpadu untuk memberikan kekuatan non-formal terhadap perdes ini, dianggap paling
25
tepat karena logis dan realistis untuk dilakukan, serta bersifat progresif karena diarahkan pada
membangun mekanisme untuk memperkuat penegakan aturan secara norma deskriptif
daripada mengulangi proses penyusunan perdes dari awal.
Sementara itu, bagi para aktivis konservasi di tingkat lapang yang secara aktif
memfasilitasi proses penyusunan kebijakan di tingkat desa yang terkait dengan pengelolaan
sumberdaya alam maka Opsi C merupakan rekomendasi kebijakan yang tepat untuk
dilakukan. Opsi C adalah: menyusun perdes baru melalui problem structuring yang tepat
dan proses yang memperhatikan prinsip pengelolaan komunitas dalam
mengembangkan internalisasi terhadap norma baru. Opsi C merupakan proses yang
dianggap tepat karena secara terencana memuat rancangan strategi untuk membangun
internalisasi terhadap suatu peraturan di tingkat lokal (norma deskriptif) yang akan menjamin
penegakan aturan ini dalam jangka panjang karena masyarakat sebagai penerima manfaat
mampu merasakan dan memahami kebijakan sebagai perangkat untuk menyelesaikan
masalah komunitas dalam pengelolaan sumberdaya alam.
26
Daftar Pustaka
Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human
Decision Processes , 179-211.
Center, Y. O.-O. (2009). Buku Saku menuju Taman Nasional Gunung Leuser: Tropical
Rainforest Heritage of Sumatra. Medan: YOSL-OIC.
Fennel, D. A. (2008). Ecotourism (3rd ed.). New York: Routledge.
Gardner, G. T., & Stern, P. C. (1996). Environmental Problems and Human Behavior.
Boston: Allyn and Bacon.
Hafiyah, N. (2009). Pengaruh Sosial. In T. P. UI, S. W. Sarwono, & E. A. Meinarno (Eds.),
Psikologi Sosial (pp. 105-119). Jakarta: Salemba Humanika.
Halida, R. (2009). Individu dalam Kelompok. In S. W. Sarwono, & E. A. Meinarno,
Psikologi Sosial (pp. 165-183). Jakarta: Salemba Humanika.
Hardin, G. (1968). The Tragedy of The Commons. Science (162), 1243-1248.
Hollander, E. P. (1981). Principles and Methods of Social Psychology (4th ed.). New York:
Oxford Univery Press.
Ismail. (2010). Laporan Akhir Program: Pride Campaign Tahun 2008 - 2010 - Taman
Nasional Gunung Leuser-Wilayah Besitang, Sumatra Utara, Indonesia. Medan: Yayasan
Orangutan Lestari-Orangutan Information Center.
Pollis, N. P. (1981). Conformity, Compliance, and Human Rights. Human Rights Quarterly ,
3 (1), 93-105.
27
Tentang TNGL. (n.d.). Retrieved Mei 26, 2011, from Taman Nasional Gunung Leuser: The
Tropical Heritage of Sumatra: http://gunungleuser.or.id/tentang-kami/tentang-tngl/
Tropical Rainforest of Sumatra. (2004). Retrieved November 23, 2009, from Unesco.org:
http://whc.unesco.org/en/list/1167
28
Lampiran A: Peraturan Desa Tentang Ekowisata Damar Hitam
36
Lampiran B: PP RI No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa
74
Lampiran C: Peraturan Mendagri No. 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa
top related