PENGARUH LUAS KANDANG DAN PEMBERIAN ...scholar.unand.ac.id/10031/5/PENGARUH LUAS KANDANG DAN...yang di sekat sesuai dengan luas kandang perlakuan. Percobaan menggunakan Rancangan Acak
Post on 14-Jun-2018
251 Views
Preview:
Transcript
PENGARUH LUAS KANDANG DAN PEMBERIAN BEBERAPA LEVEL
PROTEIN TERHADAP JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN
DAN NILAI HEMATOKRIT ITIK KAMANG BETINA FASE STARTER
SKRIPSI
Oleh
FAHLI REVSIANTO
1110611036
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
PENGARUH LUAS KANDANG DAN PEMBERIAN BEBERAPA LEVEL
PROTEIN TERHADAP JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN
DAN NILAI HEMATOKRIT ITIK KAMANG BETINA FASE STARTER
SKRIPSI
Oleh
FAHLI REVSIANTO
1110611036
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Peternakan
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2016
PENGARUH LUAS KANDANG DAN PEMBERIAN BEBERAPA LEVEL
PROTEIN TERHADAP JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN
DAN NILAI HEMATOKRIT ITIK KAMANG BETINA FASE STARTER
Fahli Revsianto, dibawah bimbingan
Prof.Dr.Ir.Hj. Husmaini, MP dan Dr.Ir. Sabrina, MP
Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan
Universitas Andalas Padang, 2016
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara luas
kandang dengan pemberian beberapa level protein terhadap gambaran darah itik
Kamang betina fase starter. Penelitian ini menggunakan 135 ekor itik betina umur
1 minggu dan kandang box berukuran (75 cm x 60 cm x 50 cm ) sebanyak 27 unit
yang di sekat sesuai dengan luas kandang perlakuan. Percobaan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 3 x 3 dengan 3 kelompok bobot
badan sebagai ulangan. Faktor A adalah luas kandang yaitu: 0,03 m2/ekor; 0,04
m2/ekor; 0,05 m2/ekor dan faktor B adalah pemberian protein 16%, 18%, 20%.
Peubah yang diamati adalah jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai
hematokrit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi yang
nyata (P>0,05) antara luas kandang dan level protein terhadap gambaran darah itik
Kamang betina fase starter, sementara luas kandang dan level protein masing-
masing berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap gambaran darah itik Kamang betin a
fase starter. Luas kandang dan level protein terbaik untuk itik Kamang betina fase
starter adalah 0,05 m2/ekor dan18%.
Kata Kunci : Eritrosit, Gambaran Darah, Hematokrit, Hemoglobin, Itik Kamang,
Level Protein, Luas Kandang
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Pengaruh Luas Kandang Dan Pemberian Beberapa Level Protein
Terhadap Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit Itik
Kamang Betina Fase Starter”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi sarjana di
Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada kedua orang tua yang telah mendukung secara moril dan materil, tanpa
adanya dukungan dari kalian tidak akan ada seorang “Fahli”.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hj. Husmaini, MP selaku Pembimbing I dan
Dr.Ir. Sabrina, MP selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan
dan saran yang sangat berguna dalam penulisan skripsi ini. Tak lupa kepada dosen
Penguji dari seminar proposal, seminar hasil dan ujian sarjana yaitu Ir. Arif Rachmat,
MS. Ir. H. Rijal Zein, MS. Lendrawati S.Pt, M.Sc. Dr. Ir. Tertia Delia Nova, MS.
Rusdimansyah S.Pt, M.Si. Dino Eka Putra S.Pt, M.Sc
Ucapan terima kasih juga penulis dampaikan kepada Dekan, Ketua Jurusan
Peternakan, Ketua Bagian Program Studi Produksi Ternak, Kepala Unit Pelaksanaan
Teknis (UPT) serta seluruh dosen, Karyawan/ti Fakultas Peternakan Univeritas
Andalas dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
ii
Apabila terdapat kekurangan dalam hal penulisan ataupun isi skripsi, kritik
dan saran sangat diharapkan agar maksud dan tujuan penulis tercapai. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan kita semua. Amin.
Padang, 14 April 2016
Fahli Revsianto
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.5 Hipotesis ..................................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Itik Kamang ............................................................................................... 5
2.2 Pemeliharaan Itik ...................................................................................... 5
2.3 Luas Kandang ............................................................................................ 6
2.4 Ransum itik ............................................................................................... 8
2.5 Protein ....................................................................................................... 9
2.6 Gambaran Darah ........................................................................................ 10
2.7 Eritrosit ...................................................................................................... 11
iv
2.8 Hemoglobin ........................................................................................... 12
2.9 Hematokrit ............................................................................................ 13
III. MATERI DAN METODA PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian ........................................................................................ 14
3.2 Metode Penelitian....................................................................................... 15
3.3 Parameter Penelitian ................................................................................... 18
3.4 Pelaksanaan Penelitian ............................................................................... 21
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Eritrosit ......................................... 23
4.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Hemoglobin .................................... 26
4.3 Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Hematokrit ....................................... 28
V. KESIMPULAN dan SARAN
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 30
5.2 Saran ........................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 31
LAMPIRAN………………………………………………………. ............... 35
RIWAYAT HIDUP........................................................................................ 49
v
DAFTAR TABEL
Tabel Teks Halaman
Tabel 1. Kebutuhan gizi itik fase starter umur 0 – 8 minggu .................................... 8
Tabel 2. Standar konsumsi Ransum Itik Berdasarkan Tingkat Umur ....................... 9
Tabel 3. Kandungan Zat-Zat Bahan Makanan dan Energi Metabolisme
Bahan Penyusun Ransum Penelitian .......................................................... 15
Tabel 4. Komposisi Bahan Penyusun dan Kandungan Zat Nutrisi serta
Energi Metabolisme .................................................................................... 15
Tabel 5. Bagan Pengamatan untuk Setiap Perlakuan ................................................ 17
Tabel 6. Analisis Keragaman ..................................................................................... 17
Tabel 7. Rataan Jumlah Eritrosit yang Diberi Perlakuan Luas Kandang dan
Level Protein Berbeda (juta/mm3) .............................................................. 23
Tabel 8. Rataan Kadar Hemoglobin yang Diberi Perlakuan Luas Kandang
dan Level Protein Berbeda (gram/100 ml) .................................................... 26
Tabel 9. Rataan Nilai Hematokrit yang Diberi Perlakuan Luas Kandang
dan Level Protein Berbeda (%) .................................................................... 28
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Teks Halaman
Lampiran 1. Konsumsi Pakan Itik (gram/ekor/7 minggu). ..................................... 35
Lampiran 2. Pertambahan Bobot Badan Itik (gram/ekor/7 minggu). ..................... 37
Lampiran 3. Rataan Jumlah Eritrosit Darah Itik Kamang Betina Fase Starter. ...... 38
Lampiran 4. Rataan Kadar Hemoglobin Darah Itik Kamang Betina Fase Starter. . 42
Lampiran 5. Rataan Nilai Hematokrit Darah Itik Kamang Betina Fase Starter. ..... 46
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk dan kualitas hidup masyarakat berbanding
lurus dengan peningkatan kebutuhan akan protein hewani. Pemenuhan kebutuhan
akan protein hewani dapat diperoleh dari berbagai jenis hewan ternak seperti itik.
Menurut data Roadmap Pembibitan Lokal 2012, Direktorat Jendral Pembibitan
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, kebutuhan daging itik terus meningkat
dari tahun 2010-2014. Kebutuhan daging itik di Indonesia tahun 2014 sekitar 17,0
ribu ton. Sedangkan ketersediaan daging itik di Indonesia tahun 2014 hanya 12,2
ribu ton. Sehingga Indonesia masih kekurangan daging itik di Indonesia sekitar
4,8 ribu ton.
Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan mengembangkan dan
memanfaatkan potensi sumber daya ternak lokal yang terdapat di Indonesia salah
satunya adalah jenis itik yang terdapat didaerah Kamang Magek Bukittinggi
Provinsi Sumatra Barat. Itik Kamang memiliki ciri khusus ada garis melengkung
putih diatas mata putih. Warna bulu cenderung coklat tua, dengan warna paruh
kehitaman (Mito dan Johan, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Arsih (2013) itik
Kamang betina memiliki warna bulu kepala lebih didominasi berwarna coklat tua
putih (73,33%), warna bulu leher didominasi warna coklat muda (66,67%), warna
bulu dada didominasi warna coklat muda (48,89%), warna bulu sayap
didomninasi warna coklat muda coklat tua (70%). Warna bulu punggung
didominasi warna coklat tipis coklat muda (71,11%). Warna bulu paha didominasi
warna coklat tipis (40%) dan warna bulu ekor didominasi warna coklat muda
(41,11%).
2
Pada pemeliharaan ternak itik, umumnya peternak belum memperhatikan
luas kandang padahal tingkat satuan luas kandang berhubungan dengan
pertumbuhan itik karena adanya persaingan dalam mengambil pakan yang pada
akhirnya dapat menentukan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan konversi
pakan dan kualitas darah itik. Setiap varietas itik mempunyai tingkat satuan luas
kandang yang berbeda dalam pemeliharaannya. Kandang yang terlalu sempit
dapat mengakibatkan peningkatkan akumulasi zat karbondioksida serta penurunan
kadar oksigen di dalam kandang yang dapat menyebabkan pertumbuhan yang
lambat serta itik rentan terhadap penyakit hingga dapat mengakibatkan kematian
pada anak itik (Pinky, 2012).
Satuan luas kandang juga memberikan pengaruh terhadap gambaran darah
itik karena akan mempengaruhi proses fisiologis dalam tubuh itik. Hasil
penelitian Effendi (2009) menjelaskan bahwa darah itik Bayang menunjukkan
jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin darah itik Bayang fase
starter pada luas kandang 0,48 m2/ekor masing- masing 2,46 juta/mm2, 31,28%
dan 16,56 g/100 ml darah nyata lebih tinggi dari jumlah eritrosit, nilai hematokrit
dan kadar hemoglobin pada luas kandang 0,08 m2/ekor masing – masing 2,33
juta/mm2, 27,4% dan 15,81 g/100 ml darah (Effendi, 2009).
Luas kandang sangat erat kaitannya dengan kebutuhan protein dalam
ransum itik, karena luas kandang adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
konsumsi protein dalam ransum. Jika luas kandang kecil maka ransum yang
dikonsumsi akan sedikit sehingga protein yang terkonsumsi sedikit begitu juga
sebaliknya.
3
Nutrien yang berperan besar dalam pertumbuhan organ dan produksi
adalah protein (Sudaryani dan Santoso, 1994). Pemberian protein adalah cara
yang terbaik dilakukan agar produktifitasnya meningkat. Pemberian protein dalam
ransum untuk itik lokal belum diketahui secara pasti, hanya berdasarkan pada
kebiasaan dan keinginan peternak saja. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
pemberian pakan dengan kandungan protein yang meningkat dengan level protein
13%, 15%, 17%, 19% dan 21% akan meningkatkan kadar total protein plasma
(Utari et al, 2013).
Status nutrisi memberikan pengaruh terhadap gambaran darah. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Swenson (1997) bahwa jumlah eritrosit dipengaruhi oleh
status nutrisi, volume darah, spesies dan ketinggian tempat. Menurut Whittow
(2000) nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh status nutrisi, umur, dan jenis
kelamin. Berbeda dengan eritrosit dan hematokrit, kadar hemoglobin dalam darah
tidak dipengaruhi oleh status nutrisi (Arifin, 1989).
Dari uraian tersebut penulis tertarik dengan penelitian tentang” Pengaruh
Luas Kandang dan Pemberian Beberapa Level Protein terhadap Jumlah
Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit Itik Kamang Betina fase
Starter.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaruh luas kandang dan pemberian beberapa level
protein terhadap gambaran darah itik Kamang betina fase starter?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi luas kandang
tertentu dan pemberian beberapa level protein terhadap gambaran darah itk
Kamang betina fase starter.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian digunakan sebagai informasi tentang
luas kandang dan level protein ransum itik periode strater yang tepat berkaitan
dengan gambaran darah itik Kamang betina fase starter.
1.5 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah luas kandang dan pemberian beberapa
level protein berpengaruh terhadap gambaran darah itik Kamang betina fase
starter.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Itik Kamang
Menurut Mito dan Johan (2011) itik Kamang berasal dari Kamang Magek
Bukittinggi. Itik Kamang memiliki ciri khusus ada garis melengkung putih diatas
mata putih. Warna bulu cenderung coklat tua, dengan warna paruh kehitaman.
Berdasarkan hasil penelitian Arsih (2013) itik Kamang betina memiliki warna
bulu kepala lebih didominasi berwarna coklat tua putih (73,33%), warna bulu
leher didominasi warna coklat muda (66,67%), warna bulu dada didominasi warna
coklat muda (48,89%), warna bulu sayap didominasi warna coklat muda, coklat
tua (70%). Warna bulu punggung didominasi warna coklat tipis coklat muda
(71,11%). Warna bulu paha didominasi warna coklat tipis (40%) dan warna bulu
ekor didominasi warna coklat muda (41,11%).
2.2 Pemeliharaan Itik
Rasyaf (2004) menyatakan sistem pemeliharaan itik terdiri dari sistem
ektensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif merupakan pemeliharaan
yang tidak ada campur tangan manusia sebagai pemiliknya karena dilepas begitu
saja dan itik akan datang dengan sendirinya pada sore harinya, sementara semi
intensif ada sebahagian campur tangan pemeliharaan. Sistem intensif adalah
campur tangan manusia sangat berperan dalam kehidupan ternak, cara ini
memerlukan modal tambahan tetapi jauh lebih memuaskan dari pemeliharaan lain.
Menurut Cahyono (2005) pemeliharaan intensif mempunyai beberapa
keuntungan antara lain, produksi meningkat secara optimal karena pengadaan
energi tidak terbuang untuk mencari makan, pertumbuhan lebih baik karena
makannya terkontrol, menjamin kesehatan itik karena setiap hari diawasi dan
6
mempermudah pemeliharaan terutama dalam kegiatan pemberian pakan, minum
dan pengawasan terhadap itik yang sakit. Berdasarkan penelitian Rahim et.al
(2009) bahwa tidak terdapat perbedaan hematologi (jumlah eritrosit, nilai
hematokrit dan kadar hemoglobin) pada itik Bayang yang dipelihara secara
intensif maupun ekstensif dengan luas kandang yang sama, karena pada
pemeliharaannya itik tidak berada pada kondisi stres.
2.3 Luas Kandang
Permasalahan dari pemeliharaan itik secara intensif yang perlu
diperhatikan adalah masalah tatalaksana (Margawati, 1985). Diantaranya
penempatan itik dalam satuan luas kandang. Semakin kecil tingkat satuan luas
kandang akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan tingkat satuan luas
kandang yang terlalu besar mengakibatkan tidak efisien dalam pemakaian
kandang. Soesantoso (2002) menyatakan bahwa kepadatan kandang yang tinggi
atau rendah akan memberikan respon yang kurang baik pada pertumbuhan atau
segi ekonomisnya.
Menurut Atmoko (1988) kandang yang terlalu padat akan mengganggu
performa ternak, sebaliknya jika kepadatan kandang rendah secara ekonomis akan
merugikan. Jumlah yang terlalu banyak tiap petak kandang akan menyebabkan
mudah timbulnya gangguan diantara ternak itu sendiri (Srigandono, 1996). Luas
lantai kandang hendaknya disesuaikan dengan jumlah dan umur itik yang akan
dipelihara (Suharno,2006).
Djanah (1985) menyatakan bahwa carry capacity kandang tiap 1 m2 luas
lantai dapat menampung 12 ekor itik. Samosir (1993) menyatakan bahwa luas
lantai kandang yang dibutuhkan itik sangat bervariasi tergantung dari umur itik,
7
luas kandang itik umur 2-3 minggu 0,07 m2/ekor, umur 3-4 minggu 0,09 m2/ekor,
umur 4-5 minggu 0,11 m2/ekor dan umur 6-8 minggu 0,15 m2/ekor. Ukuran luas
lantai kandang 100-150 m2 dapat menampung 650 ekor itik yang berumur 1-2
bulan.
Rasyaf (1995) menyatakan jika memadatkan jumlah ternak unggas
persatuan luas melebihi dari yang dianjurkan akan menyebabkan konsumsi
makanan menjadi menurun, pertumbuhan terlambat, feed efisiensi berkurang,
meningkatkan persentase kematian, kanibalisme dan menambah kebutuhan udara
segar untuk mengusir udara kotor dari kandang. Tingkat konsumsi makanan akan
dipengaruhi oleh luas kandang. Semakin kecil tingkat stuan luas kandang maka
pertambahan bobot badan cenderung berkurang, sebailknya pada tingkat luasan
kandang yang besar pertambahan berat badan semakin meningkat (Tami, 1988).
Menurut Murtidjo (dalam Ali, 2009) kepadatan kandang yang melebihi kebutuhan
optimal dapat menurunkan konsumsi ransum yang menyebabkan terlambatnya
pertumbuhan ternak dan berkurangnya berat badan ternak.
Berdasarkan penelitian Ali (2009) itik pada luas kandang 0,5 m2 untuk 7
ekor tidak dapat memanfaatkan ransum dengan baik. Hal ini disebabkan karena
suhu di dalam kandang menjadi tinggi karena terlalu padat, sehingga tubuh itik
menjadi panas dan akan menyebabkan itik banyak minum air untuk menurunkan
suhu tubuhnya. Itik yang dipelihara dengan luas kandang yang tidak sesuai akan
menyebabkan cekaman dan stress, perebutan dalam mengkonsumsi ransum,
pertambahan bobot badan lebih rendah, dan meningkatnya konsumsi air minum.
Menurut penemuan Harlova dalam Rahim et. al (2009) menyatakan bahwa
8
cekaman panas dapat menurunkan jumlah eritrosit, leukosit, konsentrasi
hemoglobin dan nilai hematokrit darah ayam broiler berumur satu minggu.
2.4 Ransum Itik
Menurut Wahju (1997) bahan makanan untuk ransum itik tidak berbeda
dengan ransum ayam . Bahan pakan yang dipergunakan dalam menyusun ransum
pada itik belum ada aturan bakunya, yang terpenting ransum yang diberikan
kandungan nutriennya dalam ransum sesuai dengan kebutuhan itik. Rasyaf (1995)
menyatakan bahwa ransum dasar dianggap telah memenuhi standar kebutuhan
ternak apabila cukup energi, protein, serta imbangan asam- amino yang tepat.
Ransum adalah bahan pakan yang telah diramu dan biasanya terdiri dari berbagai
jenis bahan dengan komposisi tertentu. Ransum itik umumnya terbuat dari bahan
nabati dan hewani (Sudaro dan Siriwa, 2000).
Menurut NRC (1994) bahwa itik periode starter dan grower mempunyai
kebutuhan 20% dan 16% dengan energi metabolis 2800% kkal/kg, sedangkan
kalsium dan fosfor adalah 0,85% dan 0,40%. Tinggi rendahnya kualitas ransum
tergantung pada tinggi rendahnya kadar protein dari ransum tersebut.
Tabel 1. Kebutuhan gizi itik fase starter umur 0 – 8 minggu No Gizi Fase Starter umur ( 0-8 mingu)
1
2
3
4
5
6
Protein Kasar (%)
Energi Metabolisme (Kkal/kg)
Kalsium (%)
Fosfor (%)
Lemak (%)
Serat Kasar (%)
16-22
2800
0,6-1
0,6
7
5
Sumber: NRC (1994)
Standar kebutuhan gizi itik umur 0-8 minggu dalam penyusunan ransum
Wakhid (2010) membutuhkan kandungan protein sebesar 18%, energi
9
metabolisme (ME) 2.900 Kkal/kg, Kalsium (Ca) 0,65-1%, Fosfor (P) 0,63%
dalam ransum.
Tabel 2. Standar konsumsi Ransum Itik Berdasarkan Tingkat Umur
No Umur itik (minggu) Kebutuhan ransum (gram)
1
2
3
4
0-1
1-4
4-6
6-30
20
40
120
160
Sumber: Wakhid,(2010)
2.5 Protein
Winarno (1984) menyatakan bahwa protein adalah suatu zat yang sangat
penting dalam tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai zat pembakar.
Fungsi utama protein bagi tubuh adalah untuk membentuk jaringan baru dan
mempertahankan jaringan yang telah ada, perotein akan digunakan sebagai bahan
bakar apabila energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein
yang terutama dibutuhkan oleh itik untuk pembentukan telur adalah protein
hewani. Menurut Anggorodi (1985) protein adalah unsur pokok alat-alat tubuh
dan jaringan lunak tubuh ternak unggas. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kebutuhan protein pada ternak unggas antara lain umur, laju pertumbuhan,
reproduksi, iklim, tingkat energi, penyakit dan bangsa ternak.
Srigandono (1986) membagi secara garis besar kebutuhan protein untuk
itik menjadi 2 bagian yaitu untuk itik muda yang sedang tumbuh dan untuk
dewasa yang berproduksi. Oleh sebab itu, protein harus ada dalam ransum baik
untuk kelangsungan hidup maupun untuk produksi. Djanah (1985) menyatakan
bahwa kadar protein dalam pakan itik fase starter 22,1% dengan energi
termetabolisme 3000 kkal dan pada fase grower kadar protein 17,9% dengan
energi termetabolisme sebesar 2800 kkal (Supardjata dalam Samosir, 1993).
10
Srigandono (1996) juga menjelaskan bahwa itik periode starter membutuhkan
pakan dengan kadar protein antara 20-22% dan energi termetabolisme 3000
kkal/kg, sementara pada periode finisher, kadar protein tersebut turun menjadi
antara 16–17% dan energi metabolisme berkisar antara 2800 kkal/kg.
Seperti halnya karbohidrat dan lipida, protein mengandung unsur-unsur
karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi protein juga mengandung nitrogen. Hampir
lima puluh persen dari berat kering suatu sel hewan adalah protein. Penyusun
struktur sel-sel, antibodi-antibodi dan banyak hormon adalah protein. Melekul
protein adalah sebuah polimer dari asam-asam amino yang digabungkan dengan
ikatan peptide-peptide. Asam-asam amino adalah unit dasar dari struktur protein
Ditambahkan juga oleh Bharoto (2001) bahwa protein berguna untuk
menggantikan sel-sel tubuh yang telah rusak, untuk pertumbuhan dan juga
merupakan unsur pembentukan telur. Itik yang dipelihara biasanya untuk dua
tujuan, yaitu untuk diambil dagingnya dan untuk diambil telurnya (Sudaro &
Siriwa, 2000). Adapun akibat kelebihan protein adalah mengakibatkan penurunan
pertumbuhan yang ringan, penurunan penimbunan lemak tubuh.
Tanda-tanda defisiensi protein atau asam amino esensial yaitu defisiensi
ringan mengakibatkan pertumbuhan menurun sesuai dengan derajat defisiensinya.
Defisiensi protein yang hebat atau defisiensi sebuah asam amino tunggal
menyebabkan segera berhentinya pertumbuhan dan kehilangan pertumbuhan rata-
rata sebesar 6-7% dari berat badan per hari.
2.6 Gambaran Darah
Darah terdiri dari sel-sel yang terendam dalam cairan yang disebut plasma
(Frandson, 1996). Darah memiliki banyak fungsi dalam tubuh makhluk hidup.
11
Menurut Arifin et al. (1984) menjabarkan bahwa fungsi darah yaitu sebagai media
transport, membawa zat-zat makan dari tempat penyerapan kejaringan-jaringan
yang membutuhkan. Membawa sisa-sisa metabolisme dari sel-sel ketempat
pembuangan. Membawa oksigen dari paru-paru kejaringan dan membawa sisa gas
hasil pembakaran (CO2) dari jaringan keparu-paru. Membawa sekresi glandula
endokrin dari tempat asalnya ketempat targetya.
Berdasarkan laporan Guyton dan Hall (2001) bahwa terdapat persamaan
dan perbedaan antara darah unggas dan darah mamalia. Perbedaannya terdapat
pada eritrosit unggas berinti dan dalam pembekuan darah sel disatukan oleh
keping-keping trombosit tetapi inti trombosit yang tertutup tampak seperti eritosit.
Jika tubuh mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan
mengalami perubahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran darah yaitu
faktor internal seperti pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stres dan suhu
tubuh serta faktor eksternal seperti infeksi kuman dan perubahan suhu lingkungan.
2.7 Eritrosit
Swenson (1997) menyebutkan bahwa eritrosit mengandung hemoglobin
dan berfungsi sebagai transpor oksigen. Eritrosit berbentuk bikonkaf dengan
lingkaran tepi tipis dan tebal ditengah, eritrosit kehilangan intinya sebelum masuk
sirkulasi. Pembentukan sel darah merah (erithropoiesis) terjadi di sumsum tulang
panjang. Pada fetus eritrosit dibentuk juga di dalam hati dan limpa. Erithropoiesis
merupakan suatu proses yang kontinu dan sebanding dengan tingkat pengrusakan
sel darah merah.
Menurut Arifin (1989) sel darah merah dari unggas berbentuk lonjong dan
mempunyai inti, tidak seperti sel darah merah mamalia pada umumnya. Sel darah
12
merah unggas berukuran agak besar dibandingkan dengan hewan ternak yang
lainnya. Jumlah eritrosit menurut Sturkie (1976) dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin dan hormon. Swenson (1997) juga menyebutkan jika jumlah eritrosit juga
dipengaruhi oleh status nutrisi, volume darah, spesies dan ketinggian. Selain
mempengaruhi jumlah eritrosit juga mempengaruhi kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, dan konsentrasi kandungan darah lainnya. Jumlah eritrosit itik lokal
India 2,92x106 per mm3, itik Peking 2,71x106 per mm3 dan ternak itik betina
2,0x106 per mm3 (Sturkie, 1976). Berdasarkan hasil penelitian Effendi (2009)
terdapat perbedaan jumlah eritrosit pada darah itik Bayang yang dipelihara dengan
luas kandang 0,48 m2/ ekor dibandingkan dengan luas kandang 0,08 m2/ekor yaitu
2,46 juta/mm3 dan 2,33 juta/mm3.
2.8 Hemoglobin
Menurut Srigandono (1996) hemoglobin merupakan senyawa organik
yang mengandung ferrum (zat besi) dan yang memberi warna merah pada eritrosit
dalam darah. Kadar hemoglobin itik adalah 15,5 gram/100 ml, kadar hemoglobin
dalam darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, kondisi hewan, cuaca, tekanan
udara dn penyakit (Whittow, 2000). Hormon kelamin juga mempengaruhi kadar
hemoglobin, ini disebabkan karena androgen dapat meninggikan level hemoglobin
pada ayam yang dikebiri mendekati ayam jantan yang normal.
Ganong (2002) menyebutkan jika hemoglobin merupakan pigmen merah
yang membawa oksigen dalam darah, yaitu suatu protein yang mempunyai berat
molekul 64,450. Jumlah hemoglobin dalam beberapa literatur sangat bervariasi,
variasi ini timbul karena perbedaan metode pengamatannya. Tiap eritrosit
mengandung 400 juta hemoglobin (Schalm et al., 1975). Level hemoglobin pada
13
itik Peking jantan dewasa adalah 14,2 gram/100 ml dan 12,7 gram/100 ml pada
betina (metode Sahli), pada itik lokal India dewasa pada jantan 13,3gram/100 ml
dan 12,7 gram/100 ml pada yang betina (metode Wong atau iron). Berdasarkan
hasil penelitian Effendi (2009) terdapat perbedaan kadar hemoglobin pada darah
itik Bayang yang dipelihara dengan luas kandang 0,48 m2/ ekor dibandingkan
dengan luas kandang 0,08 m2/ekor yaitu 16,56 gr/100ml darah dan 15,81 gr/100ml
darah.
2.9 Hematokrit
Nilai hematokrit adalah suatu istilah yang artinya persentase (berdasarkan
volume) dari darah yag terdiri dari sel-sel darah merah (Frandson, 1996). Rataan
hematokrit normal pada unggas adalah 30-33% berdasarkan laporan Swenson
(1997). Sel darah sebagian besar terdiri dari eritrosit dan sedikit leukosit.
Hubungan volume sel dengan plasma dapat diketahui dengan menggunakan
hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV). Swenson (1997) menyatakan bahwa
nilai hematokrit berhubungan dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin pada
hewan normal. Nilai hematokrit untuk itik lokal India dewasa jantan 40,7%,
betina tidak bertelur 38,1%, sedang itik peking dewasa jantan 46,7% dan betina
44,2%. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah dan ukuran sel
darah merah juga ikut mempengaruhi nilai hematokrit (Sturkie, 1976).
Berdasarkan hasil penelitian Effendi (2009) terdapat perbedaan nilai hematokrit
pada darah itik Bayang yang dipelihara dengan luas kandang 0,48 m2/ ekor
dibandingkan dengan luas kandang 0,08 m2/ekor yaitu 31,28% dan 27,49%.
14
III. MATERI DAN METODA PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
3.1.1 Ternak Percobaan
Ternak itik yang digunakan adalah itik Kamang betina umur 1 minggu
sebnayak 135 ekor.
3.1.2 Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang boks
berlantai kawat, luas kandang untuk A1 (0,03 m2/ekor = 38 cm x 60 cm), A2 (0,04
m2 ekor = 48 cm x 60 cm) dan A3 (0,05 m2/ekor = 54,5 cm x 60 cm), dengan total
keseluruhan 27 boks dan setiap boks ditempati 5 ekor itik. Alat yang dibutuhkan
adalah timbangan digital (CHQ) kapasitas 2 kg . Setiap kandang dilengkapi
dengan tempat pakan dan tempat minum yang diletakkan langsung di dalam boks,
sumber panas yang digunakan adalah lampu pijar 65 watt / boks.
3.1.3 Ransum
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini ,terdiri dari jagung, dedak
halus, bungkil kedele, tepung ikan dan top mix. Kandungan zat – zat makanan dan
energi metabolis bahan penyusun ransum pada Tabel 3 dan komposisi bahan
pakan penyusun dengan zat nutrisi serta energi metabolisme pada Tabel 4.
15
Tabel 3. Kandungan Zat-zat Bahan Makanan dan Energi Metabolisme Bahan
Penyusun Ransum Penelitian
Bahan Makanan PK (%) LK (%) SK (%) Ca (%) P (%) ME
(kkal/kg)
Jagung* 8,28 2,9 2,66 0,37 0,19 3300
Dedak* 12,9 4,09 16,15 0,69 0,26 1640
Tepung Ikan** 38,00a 1,52 2,8 5,5 2,88 3080
Bungkil kedelai 45 2,49 7,5 0,63 0,32 2240
Top Mix** - - - 5,38 1,14 -
Minyak Kelapa*** - 100 - - - 8600
Sumber : * Nuraini et,al (2013)
** Batubara (2012)
*** Scott et,al (1982)
Tabel 4. Komposisi Bahan Penyusun dan Kandungan Zat Nutrisi serta Energi
Metabolisme
Bahan Makanan P 1 P 2 P 3
Jagung 54 52 48
Dedak 19 15 15
Tepung Ikan 14 14 15
Bungkil Kedele 9 15 19
Top Mix 2 2 1
Minyak Kelapa 2 2 1
Total 100 100 100
Protein (%) 16,29 18,31 20,16
Lemak (%) 5,14 5,07 5,09
Serat Kasar (%) 7,44 7,19 7,55
Ca (%) 1,27 1,28 1,28
P (%) 0,61 0,61 0,63
ME (kkal/kg) 2898,4 2901,2 2889,6
Disusun berdasarkan tabel 3
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan pola faktorial 3x3 dengan 3 kelompok sebagai ulangan.
Perlakuan faktor A adalah luas kandang dan faktor B adalah protein.
Faktor A :
A1: Luas kandang 0,03 m2/ekor
A2: Luas kandang 0,04 m2/ekor
16
A3: Luas kandang 0,05 m2/ekor
Faktor B :
B1 = Pemberian protein 16 %
B2 = Pemberian protein 18 %
B3 = Pemberian protein 20%
Model matematika rancangan percobaan yang digunakan mengacu pada
Steel dan Torrie (1996) sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj +ρk + (αβ)ij + ∑ijk
dimana :
Yij = Respon yang didapat dari pengaruh perlakuan antara ke-i dan antara f ke-j
serta ulangan ke-k
µ = Nilai tengah umum
i = Luas kandang
j = Pemberian protein (16%,18% dan 20%)
αi = Pengaruh perlakuan pengamatan ke i (luas kandang)
βj = Pengaruh perlakuan kedua taraf ke j (pemberian protein )
ρk = Pengaruh akibat kelompok
(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-j faktor B
∑ij = Pengaruh sisa dari unit percobaan
K = Ulangan 1, 2, 3
17
Tabel 5. Bagan Pengamatan untuk Setiap Perlakuan
Jika perlakuan menunjukkan hasil berpengaruh nyata (F hitung > F tabel
0.05), dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test
(DMRT) berdasarkan Steel and Torrie (1996)
Tabel 6. Analisis Keragaman
SK Db JK KT Fhit Ftabel
0.05 0.01
Kelompok k-1 JKK KTK KTK/KTS
Faktor A a-1 JKA KTA KTA/KTS
Faktor B b-1 JKB KTB KTB/KTS
Faktor AB (a-1) (b-1) JKAB KTAB KTAB/KTS
Sisa (9-1) (k-1) JKS KTS
Total tk-1 JKT
Jika :
F hitung > F tabel 5 % berarti berbeda nyata (P < 0.05)
F hitung > F tabel 1 % berarti berbeda sangat nyata (P < 0.01)
F hitung < F tabel 5 % berarti berbeda tidak nyata (P > 0.05)
Keterangan :
FK = Faktor Koreksi = (ΣX)2/r2
Luas
Kandang
Level
Protein Ulangan – Ulangan Jumlah Rata - Rata
1 2 3
B1 A1B1 1 A1B1 2 A1B1 3 ∑Y1A1 Ῡ1A1
K1 B2 A1B2 1 A1B2 2 A1B2 3 ∑Y2A1 Ῡ2A1
B3 A1B3 1 A1B3 2 A1B3 3 ∑Y3A1 Ῡ3A1
B1 A2B1 1 A2B1 2 A2B1 3 ∑Y1A2 Y3A2
K2 B2 A2B2 1 A2B2 2 A2B1 3 ∑Y2A2 Ῡ2A2
B3 A2B3 1 A2B3 2 A2B3 3 ∑Y3A2 Ῡ3A2
B1 A3B1 1 A3B1 2 A3B1 3 ∑Y1A3 Ῡ1A3
K3 B2 A3B2 1 A3B2 2 A3B2 3 ∑Y2A3 Ῡ2A3
B3 A3B3 1 A3B3 2 A3B 3 ∑Y3KA3 Ῡ3A3
Jumlah ∑Y1 ∑Y2 ∑Y3 ∑YK ∑ Ῡ
Rata – rata Ῡ 1 Ῡ 2 Ῡ 3 Ῡ ∑ Ῡ
18
JKT = Jumlah Kuadrat Tengah = ΣXij2 – FK
JKP = Jumlah Kuadrat Perlakuan = ΣXk2/r – FK
JKA = Jumlah Kuadrat A = (ΣXi.2/r)– FK
JKB = Jumlah Kuadrat B = (ΣX.j2/r) – FK
JKAB = Jumlah Kuadrat AB = JKP – JKA – JKB
JKS = Jumlah Kuadrat Sisa = JKT – JKP
3.3 Parameter Penelitian
3.3.1 Variabel yang diukur
Variabel yang diukur pada penelitian ini meliputi eritrosit, hemoglobin dan
hematokrit darah itik yang diambil setelah berumur 8 minggu. Darah itik diambil
pada bagian vena axilaris dengan menggunakan spuit 3 cc. Setelah diambil,
masukkan darah kedalam tabung EDTA (Ethylene Diamine Tetracetic Acid),
kemudian masukkan kedalam kotak yang telah berisi es. Darah selanjutnya di bawa
kelaboratorium Fisiologi Ternak untuk menghitung jumlah eritrosit, kadar
hemoglobin dan nilai hematokrit.
1. Jumlah Eritrosit
Alat dan Bahan :
- Seperangkat alat haemocytometer
- Pipet penghisap
- Mikroskop
- Kamar hitung
- Darah
- Larutan Hayem
Cara Kerja :
19
1. Hisaplah darah pada tabung EDTA sampai kepada garis tanda 0,5 tepat. Hapus
kelebihan darah yang melekat pada ujung pipet.
2. Larutan Hayem dihisap perlahan-lahan sampai garis tanda 101, jangan sampai
terjadi gelembung hawa. Angkatlah pipet dan tutup ujung pipet dengan jari
lalu lepaskan karet penghisap.
3. Kocoklah pipet itu selama 15-30 detik dengan membuat angka delapan.
Kocoklah pipet yang diisi tadi selama 3 menit terus-menerus, jangan sampai
ada cairan terbuang dari dalam pipet itu waktu mengocok.
4. Buanglah cairan yang ada didalam batang kapiler pipet sebanyak 3 atau 4 tetes
karena tidak bercampur dengan darah, dan segeralah sentuhkan ujung pipet itu
dengan sudut 30 derajat pada permukaan kamar hitung yang sudah diletakkan
di bawah mikroskop dengan menyentuhkan pada pinggir kaca penutup.
Biarkan kamar hitung itu terisi cairan perlahan-lahan dengan daya
kapilaritasnya sendiri.
5. Hitunglah semua eritrosit yang terdapat dalam 5 bidang yang tersusun dari 16
bidang kecil, umpamanya pada keempat sudut bidang besar ditambah yang
ditengah-tengah. Cara menghitung sel yaitu dari kiri ke kanan kemudian dari
kanan ke kiri dan seterusnya.
6. Pengenceran dalam pipet eritrosit adalah 200 kali. Tinggi kamar hitung 1/10
mm, sedangkan jumlah luasnya 1/5 mm2. Faktor untuk mendapatkan jumlah
eritrosit dalam µl darah menjadi 5 x 10 x 200 = 10.000. Jumlah eritrosit yang
dihitung dari 5 kotak ditotalkan dan dikalikan 10.000, maka didapatkan jumlah
eritrosit per mm3.
20
2. Nilai Hematokrit
Alat dan Bahan :
- Pipa Kapiler
- Centrifuge
- Haemofuge
- Darah
- Cristal seal cat no 01503
- Haemotokrit Reader
Cara Kerja :
1. Isilah tabung mikrokapiler hematokrit dengan darah.
2. Tutuplah salah satu ujungnya dengan cristal seal cat.
3. Masukkanlah tabung kapiler kedalam sentrifuge yang mencapai kecepatan
12.000 rpm (haemofuse).
4. Sentrifuge selama 3-5 menit.
5. Bacalah nilai hematokrit dengan menggunakan Hawksley mikrohematokrit
reader
3. Kadar Hemoglobin
Alat dan Bahan :
a. Seperangkat alat haemometer yang terdiri dari:
- Pipet Hb Sahli
- Hemoglobinometer
- Batang Pengaduk
- Tabung Pengencer Hemometer
b. Larutan HCl 0,1 N
21
Cara kerja :
1. Masukkan kira-kira 5 tetes HCl 0,1 N kedalam tabung pengencer hemometer.
2. Isaplah darah pada tabung EDTA dengan pipet hemoglobin sampai garis tanda
20 µl.
3. Hapuslah darah yang melekat pada sebelah luar ujung pipet menggunakan
kertas tisu.
4. Masukkan darah dari pipet kedalam tabung yang berisi HCl 0,1 N pelan-pelan.
Hati-hati jangan sampai terjadi gelembung udara.
5. Angkatlah pipet itu sedikit, lalu hisap HCl 0,1 N kedalam pipet 2 atau 3 kali
untuk membersihkan darah yang masih tinggal dalam pipet dan masukkan
kembali ke dalam tabung.
6. Tambahkan HCl 0,1 N setetes demi setetes, tiap kali diaduk dengan batang
pengaduk yang tersedia. Persamaan warna campuran dan batang standard harus
dicapai dalam waktu 3-5 menit setelah saat darah dan HCl dicampur.
7. Setelah warna pada tabung terlihat sama dengan warna kotak standar. Bacalah
kadar hemoglobin dengan melihat skala yang ditunjukkan pada tabung tersebut
dengan satuan gram/100 ml darah
3.4 Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Kandang
a. Satu minggu sebelum DOD masuk, kandang harus dibersihkan dengan
pengapuran dan pemberian desinfektan (Rhodalon). Lakukan persiapan
kandang dan alat-alat penelitian seperti tempat pakan, tempat minum,
lampu pijar 65 Watt sebanyak 27 buah, plastik penampung kotoran,
timbangan, dan alas kandang sudah dipasang sebelum DOD masuk
22
kandang. Setiap kandang diberi nomor urut dan itik diletakan per unit
kandang
b. Itik ditimbang sebelum ditempatkan pada unit kandang.
2. Penempatan itik dalam Kandang
Kandang diberi nomor 1-27 secara acak dan perlakuan ditempatkan secara
acak berdasarkan kelompok. Itik ditimbang dan dikelompokkan menjadi 3
kelompok. Setiap kelompok ditempatkan unit kombinasi perlakuan secara acak.
Setiap unit-unit kandang ditempati oleh 5 ekor anak itik. Luas kandang untuk A1
(0,03 m2/ekor = 38 cm x 60 cm), A2 (0,04 m2 ekor = 48 cm x 60 cm ) dan A3
(0,05 m2/ekor = 54,5 cm x 60 cm).
3. Penyediaan ransum penelitian
4. Minum diberikan secara adlibitum.
5. Itik dipelihara sampai umur 8 minggu dan diambil sampel darah kemudian di
analisa dilaboratorium.
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di UPT Fakultas Peternakan Universitas
Andalas Padang. Waktu penelitian adalah 8 Juni sampai 9 Agustus 2015
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Eritrosit
Rataan jumlah eritrosit darah itik Kamang betina fase starter masing-
masing perlakuan yang diperoleh pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Jumlah Eritrosit yang diberi Perlakuan Luas Kandang dan Level
Protein Berbeda (juta/mm3)
Level Protein Ransum
Rataan B1 B2 B3
A1 (0,03 m2/ekor) 1,77 2,06 2,22 2,02A
A2 (0,04 m2/ekor) 1,74 2,56 2,25 2,18A
A3 (0,05 m2/ekor) 2,22 2,65 2,92 2,60B
Rataan 1,91A 2,42B 2,46B 2,26
Keterangan: Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda
sangat nyata (P<0,01)
Hasil analisis ragam terhadap rataan jumlah eritrosit menunjukkan
interaksi antara luas kandang dan level protein tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap jumlah eritrosit darah itik Kamang betina fase starter, sementara luas
kandang dan level protein masing-masing berpengaruh sangat nyata (P<0,01).
Berdasarkan uji lanjut Duncan’s diketahui bahwa A3 (0,05m2/ekor)
dengan jumlah eritrosit 2,60 juta/mm3 sangat nyata lebih tinggi (P<0,01)
dibandingkan dengan A2 (0,04 m2/ekor) dan A1 (0,03 m2/ekor), namun antar A2
(0,04 m2/ekor) dengan jumlah eritrosit 2,18 juta/mm3 tidak nyata lebih tinggi
(P>0,05) dibandingkan dengan A1 (0,03 m2/ekor) dengan jumlah eritrosit 2,02
juta/mm. Perbedaan jumlah eritrosit darah itik Kamang betina fase starter
disebabkan oleh pengaruh stres yang terjadi karena perbedaan luasan kandang,
dimana semakin sempit luasan kandang menyebabkan stress semakin tinggi,
selain itu juga akan menyebabkan itik berdesak-desakan di dalam kandang. Itik
24
pada luas kandang A1 memiliki cekaman panas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan luas kandang lainnya karena lebih sempitnya luasan kandang perekor itik.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Effendi (2009) yang mendapatkan jumlah
eritrosit itik Bayang periode starter dengan dua luas kandang berbeda akan
mendapatkan jumlah eritrosit yang lebih banyak pada luas kandang yang lebih
besar 0,48 m2/ekor dengan jumlah eritrosit 2,46 juta/mm3. Harlova et al (2002)
juga mendapatkan stres yang disebabkan cekaman panas karena kenaikan suhu
kandang pada unggas ternyata menurunkan jumlah eritrosit, leukosit, nilai
hematokrit dan kadar hemoglobin.
Rataan jumlah eritrosit itik penelitian ini berdasarkan luasan kandang
adalah berkisar antara 2,02 – 2,60 juta/m3 darah. Sturkie (1976) menyatakan
bahwa jumlah eritrosit pada itik adalah 2,8 juta/mm3 darah. Ismoyowati (2006)
juga melaporkan bahwa rataan status hematologis itik betina lokal (itik Tegal)
produksi tinggi umur 22 minggu yaitu 2,30 ± 0,27 juta/mm3. Perbedaan hasil yang
didapatkan disebabkan faktor luas kandang, itik yang digunakan, ransum yang
diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sturkie (1976) bahwa perbedaan
jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, jenis
kelamin, bangsa, penyakit, temperatur, lingkungan, kedaan geografis, kebuntingan
dan kegiatan fisik. Didukung Swenson (1997) yang menyebutkan status nutrisi,
volume darah, spesies dan ketinggian tempat juga mempengaruhi jumlah eritrosit
darah.
Berdasarkan uji lanjut Duncan’s diketahui bahwa B3 dengan jumlah
eritrosit 2,46 juta/mm. Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa rataan jumlah eritrosit
ransum B3 yaitu 2,46 juta/mm3 dan B2 yaitu 2,42 juta/mm3 sangat nyata lebih
25
tinggi (P<0,01) dengan B1 dengan jumlah eritrosit 1,91 juta/ mm3. Hal ini
menunjukkan ransum dengan protein yang cukup akan meningkatkan jumlah
eritrosit darah merah pada itik Kamang betina fase starter. Ransum B2 dan B3
tidak berbeda sangat nyata (P>0,05) dalam mempengaruhi jumlah eritrosit
sehingga pemberian level protein 20% tidak efisien jika dilihat dengan
signifikansi (P<0,01) karena tidak berbeda sangat nyata dengan B2.
Lebih rendahnya jumlah eritrosit pada itik yang diberi ransum dengan
level protein 16% disebabkan tidak terpenuhinya kecukupan protein ransum itik.
Pemberian beberapa level protein terhadap ternak menyebabkan terjadinya
perbedaan jumlah eritrosit dikarenakan terjadi perbedaan metabolisme yang
terjadi karena berbedanya jumlah protein yang dimakan itik. Sesuai dengan
pendapat Widodo (2006) yang menyatakan bahwa protein ransum yang memasuki
usus halus akan dipecah menjadi asam-asam amino, kemudian seluruhnya akan
diabsorpsi oleh dinding usus halus sampai masuk ke peredaran darah melalui
vena porta ke hati.
Pemberian ransum untuk itik Kamang betina fase starter lebih baik dengan
level protein 18% karena dengan level 20% akan terjadi kelebihan asupan nutrien.
Standar kebutuhan protein itik umur 0-8 minggu menurut NRC (1994) adalah
20%. Menurut Wakhid (2010) kebutuhan protein itik umur 0-8 minggu adalah
18%. Rendahnya konsumsi ransum berpotensi sekali terjadinya kekurangan
asupan gizi sehingga pembentukan sel darah merah mengalami penurunan
(Kusnadi, 2008). Suryana dalam Utari (2013) juga menyatakan ransum untuk itik
fase starter adalah dengan protein 19% dan energi metabolis 2900 kkal.
Konsumsi protein akan mempengaruhi proses eritropoesis dalam membentuk
26
eritrosit. Proses eritropoesis membutuhkan bahan bahan dasar protein, glukosa
dan berbagai mineral aktivator salah satunya Fe yang berperan dalam
pembentukan senyawa heme pada hemoglobin (Praseno, 2005)
4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Hemoglobin
Rataan kadar hemoglobin darah itik Kamang betina fase starter masing-
masing perlakuan yang diperoleh pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 8,
Tabel 8. Rataan Kadar Hemoglobin yang diberi Perlakuan Luas Kandang dan
Level Protein Berbeda (gram/100ml)
Luas Kandang
Level Protein Ransum
Rataan B1 B2 B3
A1 (0,03 m2/ekor) 12,30 14,13 15,20 13,92A
A2 (0,04 m2/ekor) 12,60 16,57 15,40 14,81A
A3 (0,05 m2/ekor) 14,20 16,87 17,93 16,33B
Rataan 13,03A 15,86B 16,18B 15,02
Keterangan: Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda
sangat nyata(P <0.01)
Hasil analisis ragam terhadap rataan kadar hemoglobin menunjukkan
interaksi antara luas kandang dan level protein tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap kadar hemoglobin darah itik Kamang betina fase starter, sementara luas
kandang dan level protein masing-masing berpengaruh sangat nyata (P<0,01).
Hasil uji lanjut Duncan’s menunjukkan bahwa rataan kadar hemoglobin
A3 (0,05 m2/ekor) dengan kadar Hb 16,33 gram/100 ml sangat nyata lebih tinggi
(P<0,01) dibandingkan dengan A2 (0,04 m2/ekor) dengan kadar Hb 14,81
gram/100 ml dan A1 (0,03 m2/ekor) dengan kadar Hb 13,92gram/100 ml. Hal ini
menunjukkan itik yang dipelihara pada luas kandang yang sempit dan berdesak-
desakan ternyata menyebabkan kadar hemoglobin darah lebih rendah. Hasil ini
sesuai dengan Effendi (2009) yang mendapatkan kadar hemoglobin darah itik
27
Bayang yang dipelihara dengan luas kandang yang lebih besar akan lebih tinggi
dibanding yang dipelihara dengan luas kandang yang lebih sempit yaitu 16,56
g/100 ml.
Lebih rendahnya kadar hemoglobin itik yang dipelihara pada kandang
sempit pada penelitian disebabkan pengaruh lingkungan kandang terutama
cekaman panas sehingga suhu dalam kandang meningkat yang menyebabkan
konsumsi ransum lebih rendah serta itik kesulitan dalam melakukan respirasi dan
akhirnya stres. Selain itu jumlah eritrosit mempengaruhi kadar hemoglobin dalam
darah itik. Hal ini didukung pendapat Guyton (1990) yang menyatakan
hemoglobin merupakan 90% dari bobot kering eritrosit atau sel darah merah.
Tabel 8 menunjukkan bahwa rataan kadar hemoglobin pada perlakuan B3
yakni 16,18 gram/100 ml dan B2 yakni 15,86 gram/100 ml sangat nyata lebih
tinggi (P<0,01) dibandingkan B1 dengan kadar hemoglobin 13,03 gram/100 ml.
Hal ini menunjukkan itik yang diberi perbedaan level protein tertentu
mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah. Menurut Anggorodi (1979)
protein adalah unsur pokok alat tubuh dan jaringan lunak aneka ternak unggas.
Pemberian level protein 18% dan 20% menunjukkan hasil yang tidak signifikan
perbedaannya, sehingga penggunaan ransum dengan protein 20% menyebabkan
inefisiensi dalam pemeliharaan ternak itik Kamang betina fase starter.
Rataan kadar hemoglobin yang diperoleh penelitian ini adalah 15,02
gram/100ml, hasil ini tidak jauh berbeda dengan Whittow (2000) yang
menyatakan kadar hemoglobin itik adalah 15,5 gram/100 ml. Perbedaan kadar
28
hemoglobin dalam darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur,
jenis kelamin, kondisi hewan, cuaca, tekanan udara dan penyakit.
4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Hematokrit
Rataan nilai hematokrit darah itik Kamang betina fase starter masing-
masing perlakuan yang diperoleh pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan nilai Hematokrit yang diberi perlakuan luas kandang dan level
protein berbeda(%)
Luas Kandang Level Protein Ransum Rataan
B1 B2 B3
A1 (0,03 m2/ekor) 29,00 32,67 36,67 32,78A
A2 (0,04 m2/ekor) 30,33 39,00 36,67 35,33A
A3 (0,05 m2/ekor) 36,67 40,67 42,00 39,78B
Rataan 32,00A 37,44B 38,44B 35,96
Keterangan: Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda
sangat nyata(P <0.01)
Hasil analisis ragam terhadap rataan nilai hematokrit menunjukkan
interaksi antara luas kandang dan level protein tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap kadar hemoglobin darah itik Kamang betina fase starter, sementara luas
kandang dan level protein masing-masing berpengaruh sangat nyata (P<0,01).
Tabel 9 menunjukkan bahwa rataan nilai hematokrit pada A3 (0,05
m2/ekor) yakni 39,78% sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan A2
(0,04 m2/ekor) dan A1 dengan (0,03 m2/ekor) dengan nilai hematokrit berturut-
turut yakni 35,33% dan 32,78%. Hal ini menunjukkan itik yang dipelihara pada
luas kandang yang sempit dan berdesak-desakan ternyata mempunyai nilai
hematokrit darah lebih rendah. Hasil ini sama dengan Effendi (2009) yang
mendapatkan nilai hematokrit dengan kandang yang lebih luas akan lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai hematokrit dengan kandang yang lebih sempit. Lebih
rendahnya nilai hematokrit disebabkan itik menderita stres akibat tingkat luas
29
kandang yang sempit. Nilai hematokrit yang lebih rendah dipengaruhi oleh
jumlah eritrosit, semakin sedikit jumlah eritrosit maka akan semakin rendah nilai
hematokrit, semakin banyak jumlah eritrosit maka akan semakin tinggi nilai
hematokrit.
Tabel 9 menunjukkan bahwa rataan nilai hematokrit pada perlakuan B3
yakni 38,44% dan B2 yakni 37,44% sangat nyata lebih tinggi (P<0,01)
dibandingkan B1 dengan nilai hematokrit 32,00%. Hal ini menunjukan itik yang
protein ransumnya semakin tinggi akan meningkatkan nilai hematokrit. Namun
antar pemberian level protein 18% dan 20% tidak menunjukkan hasil yang
signifikan (P<0,01) sehingga pemberian level protein 20% dalam ransum itik
Kamang betina fase starter merupakan tidak efisien karena terjadinya kelebihan
kandungan nutrisi.
Lebih rendahnya nilai hematokrit selain diakibatkan stres pada itik juga
terjadinya penurunan konsumsi ransum terutama yang mengandung protein lebih
sedikit. Turunnya asupan protein dalam tubuh mengakibatkan terjadi penurunan
sintesis darah merah dalam darah yang berakibat turunnya jumlah eritrosit.
Turunnya jumlah eritrosit mengakibatkan turunnya nilai hematokrit dalam darah.
Terjadinya perubahan sel darah merah nampaknya memiliki pola dengan
kandungan hematokrit, hal ini dapat dipahami karena persentasi hematokrit
merupakan kandungan sel darah merah dibandingkan volume total darah
(Kusnadi, 2008).
30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Tidak terdapat interaksi antara luas kandang dan level protein terhadap
gambaran darah itik Kamang betina fase starter. Peningkatan luas kandang dan
level protein juga meningkatkan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai
hematokrit itik Kamang betina fase starter. Luas kandang terbaik yaitu 0,05
m2/ekor dengan jumlah eritrosit 2,60 juta/mm3, kadar hemoglobin 16,33 gram/100
ml dan nilai hematokrit 39,78%. Level protein terbaik adalah 18% dengan jumlah
eritrosit 2,42 juta/mm3, kadar hemoglobin 15,86 gram/100 ml dan nilai
hematokrit 37,44%.
5.2. Saran
Disarankan kepada peternak untuk memperhatikan faktor luas kandang
dan level protein dalam pemeliharaan itik. Dalam pemeliharaan itik Kamang
betina fase starter disarankan dengan luas kandang 0,05 m2/ekor dengan
pemberian level protein ransum 18%.
31
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak. UI Press,
Jakarta
Ali, A dan F. Nanda. 2009. Performans itik pedaging (lokal x peking) fase starter
pada tingkat kepadatan kandang yang berbedadi desa laboi jaya kabupaten
kampar. Jurnal Peternakan Vol 6 No 1 Februari 2009 (29 – 35) ISSN 1829
– 8729, Pekanbaru
Arifin, A. L. Naim dan F. Rahim. 1984. Fisiologi Ternak. Diktat fakultas
Peternakan, Universitas Andalas, Padang
Arifin, A. 1989. Fisiologi Ternak Unggas. Diktat Fakultas Peternakan Universitas
Andalas, Padang
Arsih, C.C. 2013. Keragaman sifat kualitatif itik lokal di usaha pembibitan “ER”
di Koto Baru Payobasung. Skripsi. Universitas Andalas, Padang
Atmoko, A.I.D. 1988. Broiler jantan dan betina alternatif pemeliharaan terpisah .
Poultry Indonesia. 114:15
Batubara, L. 2012. Pengaruh penggunaan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dalam
ransum terhadap total kolesterol, HDL, LDL plasma darah ayam broiler.
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang
Bharoto, K.D. 2001. Cara Beternak Itik. Edisi ke-2. Aneka Ilmu, Semarang.
Cahyono, B. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya, Jakarta
Direktorat Jendral Pembibitan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012.
Roadmap Pembibitan Lokal, Jakarta
Djanah, D. 1985. Beternak Ayam dan Itik. CV. Yasaguna, Jakarta
Effendi, R. 2009. Pengaruh luas kandang dan cara pemberian pakan terhadap
beberapa gambaran darah itik Bayang. Skripsi. Universitas Andalas,
Padang
Frandson, R.B. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Cetakan ke-2, diterjemahkan
oleh Srigandono dan Koen Prasono. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Ganong, W.F. 2002. Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Terjemahan D.
Widjajakusumah. E.G.C, Jakarta
32
Gandasoebrata, R. 2011. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat , Jakarta
Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Alih bahasa:
Setiawan, I. dan Santoso, A., Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Harlova,H. J. Blaha, M. Koubkova, J. Drasralova and A. Fucikova. 2002.
Influence of heat stress on the metabolic response in broiler chickens.
Scientia Agriculture Bohemica 33:145-149
Ismoyowati, T. Yuwanta, J.H.P Sidadolog, dan S. Keman. 2006. Performans
reproduksi itik Tegal berdasarkan status hematologis. Fakultas Peternakan
UNSOED dan fakultas peternakan UGM. Animal Production Vol. 8, No. 2
: 88-93
Kusnadi, E. 2008. Pengaruh temperatur kandang terhadap konsumsi ransum dan
komponen darah ayam broiler. Fakultas Peternakan Universitas Andalas,
Padang
Margawati, E. T. 1985. Pengaruh tingkat kepadatan itik dalam sangkar terhadap
berat badan pada periode pertumbuhan awal. In Prosiding Seminar
Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Bogor, 19-20
Maret 1985. Puslitbang Peternakan, Bogor
Mito dan Johan, ST. 2011. Usaha Penetasan Telur Itik. PT Agromedia Pustaka,
Jakarta
NRC. 1994. Nutrient Requirement of Poultry, 9th Revised Edition. National
Academy Press, Washington. DC
Pearce. E.C. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Diterjemahkan oleh
Sri Yuliani. PT Gramedia, Jakarta
Pinky. 2012. Pengaruh kepadatan kandang terhadap performan itik hibrida dan
itik Mojosari periode starter. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang
Praseno, K. 2005. Respon eritrosit terhadap perlakuan mikromineral Cu, Fe dan
Zn pada ayam (Gallus gallus domesticus). J. Indo. Trop. Anim Agric 30
(3) :179-185
Rahim, F. L. Naim, Yetmaneli dan E. Kusnadi. 2009. Potensi plasma nutfah itik
Bayang ditinjau dari karakteristik fisiologis dan produktivitas pada
pemeliharaan ekstensif dan intensif. Jurnal. Universitas Andalas, Padang
Rasyaf, M.. 1995. Beternak Ayam Pedaging. PT Penebar Swadaya, Jakarta
33
_________. 2004. Beternak Itik Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta
Samosir, D.J. 1993. Ilmu Ternak Itik. Cet II PT. Gramedia, Jakarta.
Soesantoso, I.R.H. 2002. Respon fisiologi, tingkah laku dan pertumbuhan ayam
pedaging dengan kepadatan yang berbeda. Jurnal Peternakan dan
Lingkungan, 8:35
Srigandono, B. 1986. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
_________. 1996. Beternak Itik pedaging. PT. Trubus Agriwidiya Unggara,
Jakarta
Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1996. Principles and Procedures of Statistics; a
Biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company, New York.
Sturkie, P.D. 1976. Blood Physical Characteristic, Formed, Element, Hemoglobin
and Coagulation. In : Avian Physiology. 3th Ed. Comstock Publishing
Associates, New York.
Sudaro, Y. dan A. Siriwa, 2000. Ransum Ayam dan Itik. Penebar Swadaya,
Jakarta
Sudaryani, T. dan H. Santoso. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya,
Jakarta
Suharno. 2006. Beternak Itik Intensif. Penebar Swadaya, Jakarta
Swenson. 1997. Duke’s Physiology of Domestic Animals. 9th Ed. Crnel
University Press, London.
Tami, D. 1988. Makanan Ternak Unggas. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Utari, A.G. N, Iriyanti dan S. Mugiyono. 2013. Kadar total plasma dan glukosa
darah pada itik Manila yang diberi pakan dengan protein dan energi
metabolis yang berbeda. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas .Cetakan ke -4. Gadjah Mada Universitas
Press,Yogyakarta
Wakhid, A. 2010. Beternak dan Berbisnis Itik. PT. Agromedia, Jakarta
34
Widodo. 2006. Pengantar Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang
Whittow, G.C. 2000. Sturkie’s Avian Physiology 5th Edition. Academic Press,
San Diego
35
Lampiran 1. Analisa Statistik Konsumsi Pakan Itik (gram/ekor/7 minggu)
Level Protein Kelompok Luas Kandang Jumlah
A1 A2 A3
1 4724,60 4792,00 4863,60 14380,20
B1 2 4747,60 4821,60 4872,00 14441,20
3 4787,20 4836,40 4845,20 14468,80
Jumlah 14259,40 14450,00 14580,80 43290,20
Rataan 4753,13 4816,67 4860,27
1 4716,80 4782,20 4797,60 14296,60
B2 2 4786,60 4766,60 4816,80 14370,00
3 4768,60 4791,20 4856,20 14416,00
Jumlah 14272,00 14340,00 14470,60 43082,60
Rataan 4757,33 4780,00 4823,53
1 4727,00 4778.60 4876.20 14381,80
B3 2 4749,20 4789,80 4903,80 14442,80
3 4761,80 4790,80 4925,80 14478,40
Jumlah 14238,00 14359,20 14705,80 43303,00
Rataan 4746,00 4786,40 4901,93
Total 42769,40 43149,20 43757,20 129675,80
Rataan 14256,47 14383,07 14585,73 14256,47
36
Rataan Konsumsi Ransum Itik /Ekor/Hari Selama Penelitian
Perlakuan Kelompok Minggu Jumlah Rataan
II III IV V VI VII VIII
1 40,80 66,86 93,71 114,29 120,71 115,71 122,86 674,94 96,42
A1B1 2 41,03 69,43 93,51 116,54 118,29 114,51 124,91 678,22 96,89
3 41,54 65,71 94,31 120,00 122,49 124,43 115,40 683,88 97,70
1 41,03 68,00 93,14 114,34 113,71 118,54 125,06 673,82 96,26
A1B2 2 38,03 67,14 93,29 120,06 119,00 123,66 122,46 683,64 97,66
3 41,06 68,71 96,60 114,40 115,89 120,69 123,89 681,24 97,32
1 41,06 70,57 89,40 115,40 114,77 119,66 124,43 559,89 79,98
A1B3 2 41,00 69,71 85,71 116,26 122,66 119,31 123,80 592,89 84,70
3 41,26 60,14 91,43 114,94 124,11 125,29 123,14 680,31 97,19
1 41,11 69,57 96.57 117,31 119,31 116,00 124,69 684,51 97,79
A2B1 2 41,23 68,00 96,94 118,20 119,60 120,00 124,83 688,8 98,4
3 41,09 67,14 94,29 115,09 129,40 122,20 125,71 690,92 98,70
1 38,23 66,57 94,00 115,00 125,71 119,31 124,34 683,16 97,59
A2B2 2 42,49 66,29 91,09 117,66 115,11 123,46 124,86 680,96 97,28
3 41,14 66,60 97,60 119,66 118,69 120,49 120,29 684,47 97,78
1 41,03 66,57 92,86 123,17 120,00 115,29 123,74 682,66 97,52
A2B3 2 41,09 66,89 97,91 117,49 122,14 114,63 124,11 684,26 97,75
3 41,17 67,00 96,37 119,97 122,29 116,63 120,97 684,4 97,77
1 41,83 69,43 94,66 120,03 120,49 124,57 123,80 694,81 99,26
A3B1 2 42,20 61,40 97,14 121,23 125,49 123,74 124,80 696,00 99,43
3 41,34 67,29 94,60 119,66 123,00 122,34 123,94 692,17 98,88
1 41,11 68,86 96,11 118,26 115,20 121,57 124,26 685,37 97,17
A3B2 2 41,14 68,29 95,14 118,43 118,89 123,20 123,03 688,12 98,30
3 41,09 68,57 94,91 122,86 121,57 123,69 121,06 693,75 99,11
1 43,09 70,00 94,34 123,49 118,54 123,17 123,97 696,6 99.51
A3B3 2 44,37 67,43 97,14 120,94 124,11 121,69 124,86 697,54 99,65
3 43,17 70,86 95,06 120,34 125,09 124,89 124,29 703,7 100,53
37
Lampiran 2. Pertambahan Bobot Badan Itik (gram/ekor/7 minggu)
Level Protein Kelompok Luas Kandang Jumlah
A1 A2 A3
1 736.8 807.20 943.80 2487.8
B1 2 870.4 742.80 960.40 2573.6
3 700.4 789.60 961.20 2451.2
Jumlah 2307.6 2339.6 2865.4 7512.6
Rataan 769.2 779.87 955.13
1 807.6 834.40 1062.40 2704.4
B2 2 765.4 1150.00 1114.40 3029.8
3 896 1026.20 1087.40 3009.6
Jumlah 2469 3010.6 3264.2 8743.8
Rataan 823 1003.53 1088.07
1 872.2 897.40 1135.20 2904.8
B3 2 851.40 1029.40 1100.60 2981.4
3 902.00 980.80 1150.00 3032.8
Jumlah 2625.6 2907.6 3385.8 8919
Rataan 875.2 969.2 1128.6
Total 7402.2 8257.8 9515.4 25175.4
Rataan 822.4667 917.53 1057.27
38
Lampiran 3. Rataan Jumlah Eritrosit Darah Itik Kamang Betina Fase Starter
Perlakuan Ulangan A1 A2 A3 Jumlah Rataan
B1 1 1,85 1,93 2,3 6,08 2,03
2 1,76 1,88 1,97 5,61 1,87
3 1,71 1,41 2,38 5,5 1,83
Junlah 5,32 5,22 6,65 17,19
Rataan 1,77 1,74 2,22 1,91
B2 1 2,07 2,6 2,62 7,29 2,43
2 2,09 2,48 2,58 7,15 2,38
3 2,01 2,59 2,74 7,34 2,45
Jumlah 6,17 7,67 7,94 21,78
Rataan 2,06 2,56 2,65 2,42
B3 1 2,46 2,35 2,93 7,74 2,58
2 2,16 2,23 3,04 7,43 2,48
3 2,03 2,17 2,8 7 2,33
Jumlah 6,65 6,75 8,77 22,17
Rataan 2,22 2,25 2,92 2,46
Total 18,14 19,64 23,36 61,14
Rataan 2,02 2,18 2,60 2,26
FK = (61,14)2
27
= 3738,1
27
= 138,45 JKT =((1,85)2+(1,932)+(2,3)2+(1,76)2+..........+(2,8)2) – 138,45
= 3,42+3,72+5,29+3,10+......+7,84–138,45
= 4,13
JKA = (18,14)2+(19,64) 2+(23,36) 2 – 138,45
9
= 329,06+385,73+545,69 – 138,45
9
= 1,61
JKB = (17,19)+ (21,78)+(22,17) – 138,45
9
= 295,50+474,37+3738,10–138,45
9
=1,70
39
JKAB = (5,32)2+(5,22)2+.......+ 8,772 –138,45
3
= 28,30+27,25+.........+76,91–138,45 –1,61 –1,70
3
= 0,38
JKK = (6,08+7,29+7,74)2+(5,61+7,15+7,43)2+(5,5+7,34+7)2 –138,45
9
= 445,63+407,64+393,63–138,45
9
= 0,10
JKS = JKT-JKA-JKB-JKAB-JKK
= 0,34
KTK = JKK
2
= 0,048
KTA = JKA
2
= 0,803
KTB = JKB
2
= 0,852
KTAB = JKAB
4
= 0,095
KTS = JKS
16
= 0,021
40
Tabel Anova
SK DB JK KT F
hitung
F tabel Keterangan
0,05 0,01
Kelompok 2 0,10 0,048 2,233 3,63 6,23 Ns
Faktor A 2 1,61 0,803 37,475 3,63 6,23 **
Faktor B 2 1,70 0,852 39,796 3,63 6,23 **
Faktor AB 4 0,38 0,095 4,435 3,01 4,77 Ns
Sisa 16 0,34 0,021
Total 26 4,13
Keterangan : ** = Berpengaruh Sangat Nyata (P<0,01)
Ns = Non Signifikan (P>0,05)
Uji Lanjut
SE = √𝐾𝑇𝑆
𝑛
= 0,05
2 3
SSR 0.05 2,998 3,144
SSR 0.01 4,131 4,308
LSR 0.05 0,15 0,15
LSR 0.01 0,20 0,21
Urutan nilai tengah faktor A (Luas Kandang) dari tertinggi sampai yang terendah
A3 A2 A1
2,60 2,18 2,02
Uji Lanjut DMRT
Perlakuan Jarak Selisih LSR 1% Keterangan
A3-A2 2 0,41 0,20 **
A3-A1 3 0,58 0,21 **
A2-A1 2 0,17 0,20 Ns
Keterangan : Ns = Non Signifikan (P>0,05)
** = Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip :
A1A A2A A3B
Urutan nilai tengah faktor B ( Level Protein) dari tertinggi sampai yang terendah
B3 B2 B1
2,46 2,42 1,91
41
Perlakuan Jarak Selisih LSR 1% Keterangan
B3-B2 2 0,04 0,20 Ns
B3-B1 3 0,55 0,21 **
B2-B1 2 0,51 0,20 **
Superskrip :
B1A B2B B3B
42
Lampiran 4. Rataan Kadar Hemoglobin Darah Itik Kamang Betina Fase Starter
Perlakuan Ulangan A1 A2 A3 Jumlah Rataan
B1 1 11,9 12,4 14 38,3 12,767
2 12,6 12,6 14,2 39,4 13,133
3 12,4 12,8 14,4 39,6 13,200
Jumlah 36,9 37,8 42,6 117,3 39,100
Rataan 12,3 12,60 14,2 13,033
B2 1 16 16,4 17,4 49,8 16,600
2 12,4 16,4 16,8 45,6 15,200
3 14 16,9 16,4 47,3 15,767
Jumlah 42,4 49,7 50,6 142,7 47,567
Rataan 14,13 16,57 16,87 15,856
B3 1 14,6 15,9 17,8 48,3 16,100
2 15,5 15,1 18 48,6 16,200
3 15,5 15,2 18 48,7 16,233
Jumlah 45,6 46,2 53,8 145,6 48,533
Rataan 15,20 15,40 17,93 16,178
Total 124,9 133,7 147 405,6
Rataan 13,88 14,86 16,33 135,200 135,200
FK = (405,6)2
27
= 6093,01
JKT = (11,9)2+((12,4)2+(14) 2+(12,6) 2+..........+(18) 2– 6093,01
= 141,61+153,76+196+158,76+..........+324 – 6093,01
= 96,09
JKA = (124,9)2+(133,7)2+(1472)– 6093,01
9
= 15600,01+17875,69 +21609– 6093,01
9
= 27,51
JKB = (117,3)2+(142,7)2+(145,6)2– 6093,01
9
= 13759,29+20363,29 +21199,36– 6093,01
9
= 53,87
43
JKAB = (36,9)2+(37,8)2+(42,6)2+(42,4)2+........+(53,8)2– 6093,01
3
= 1361,61+1428,84+1814,76+1797,76+........+2894,44– 6093,01
3
= 6,16
JKK =(38,3+49,8+48,3)2+(39,4+45,6+48,6)2+(39,6+47,3+48,7)2– 6093,01
9
= 18604,96+17848,96+18387,36–6093,01
9
= 0,46
JKS = JKT–JKA–JKB–JKAB–JKK
= 8,08
KTK = JKK
2
= 0,231
KTA = JKA
2
= 13,754
KTB = JKB
2
= 26,934
KTAB = JKAB
4
= 0,385
KTS = JKS
16
= 0,505
44
Tabel Anova
SK DB JK KT F
hitung
F tabel Keterangan
0,05 0,01
Kelompok 2 0,462 0,231 0,457 3,63 6,23 Ns
Faktor A 2 27,509 13,754 27,222 3,63 6,23 **
Faktor B 2 53,869 26,934 53,306 3,63 6,23 **
Faktor
AB
4 6,162 0,385 0,762 3,01 4,77 Ns
Sisa 16 8,084 0,505
Total 26
Keterangan : ** : Berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
Ns : Non Signifikan (P>0,05)
Uji Lanjut
SE = √𝐾𝑇𝑆
𝑛
= 0,24
2 3
SSR 0.05 2,998 3,144
SSR 0.01 4,131 4,308
LSR 0.05 0,71 0,74
LSR 0.01 0,98 1,02
Urutan nilai tengah faktor A (Luas Kandang) dari tertinggi sampai yang terendah
A3 A2 A1
16,33 14,86 13,88
Uji Lanjut DMRT
Perlakuan Jarak Selisih LSR 1% Keterangan
A3-A2 2 1,48 0,98 **
A3-A1 3 2,46 1,02 **
A2-A1 2 0,98 0,98 Ns
Keteranga : Ns = Non Signifikan (P>0,05)
** = Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip :
A1A A2A A3B
45
Urutan nilai tengah faktor B (Level Protein) dari tertinggi sampai yang terendah
A3 A2 A1
16,18 15,86 13,03
Uji Lanjut DMRT
Perlakuan Jarak Selisih LSR 1% Keterangan
A3-A2 2 0,32 0,98 **
A3-A1 3 3,14 1,02 **
A2-A1 2 2,82 0,98 Ns
Keteranga : Ns = Non Signifikan (P>0,05)
** = Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip :
B1A B2B B3B
46
Lampiran 5. Rataan Kadar Hematokrit Darah Itik Kamang Betina Fase Starter
Perlakuan Ulangan A1 A2 A3 Jumlah Rataan
B1 1 30 31 34 95 31,667
2 29 29 37 95 31,667
3 28 31 39 98 32,667
Jumlah 87 91 110 288 96,000
Rataan 29 30,33 36,666 96 32,000
B2 1 32 40 41 113 37,667
2 31 40 39 110 36,667
3 35 37 42 114 38,000
Jumlah 98 117 122 337 112,333
Rataan 32,67 39,00 40,67 112,3333 37,444
B3 1 35 40 44 119 39,667
2 34 34 40 108 36,000
3 41 36 42 119 39,667
Jumlah 110 110 126 346 115,333
Rataan 36,67 36,67 42,00 38,444
Total 295 318 358 971
Rataan 32,78 35,33 39,78 323,6667 35,963
FK = (971)2
27
= 34920,04
JKT = (30)2+((31)2+(34) 2+(29) 2+..........+(42) 2– 34920,04
= 900+961+1156+841+..........+1764 –34920,04
= 572,96
JKA = (295)2+(318)2+(3582)– 34920,04
9
= 87025 +101124 +128164– 34920,04
9
= 225,85
JKB = (288)2+(337)2+(346)2– 34920,04
9
= 82944 +113569 +119716– 34920,04
9
= 216,52
47
JKAB = (87)2+(91)2+(110)2+(98)2+........+(126)2– 34920,04
3
= 7569+8281+12100+9604+........+15876– 34920,04
3
= 38,59
JKK =(95+113+119)2+(95+110+108)2+(98+114+119s)2– 34920,04
9
= 106929+97969+109561–34920,04
9
= 19,85
JKS = JKT–JKA–JKB–JKAB–JKK
= 72,15
KTK = JKK
2
= 9,93
KTA = JKA
2
= 112,93
KTB = JKB
2
= 108,26
KTAB = JKAB
4
= 9,65
KTS = JKS
16
= 4,51
48
Tabel Anova
SK DB JK KT
F
hitung
F tabel
Keterangn 0.05 0.01
Kelompo
k 2 19.85 9.93 2.20 3.63 6.23 Ns
Faktor A 2 225.85 112.93 25.04 3.63 6.23 **
Faktor B 2 216.52 108.26 24.01 3.63 6.23 **
Faktor
AB 4 38.59 9.65 2.14 3.01 4.77 Ns
Sisa 16 72.15 4.51
Total 26
Uji Lanjut
SE = √𝐾𝑇𝑆
𝑛
= 0,71
2 3
SSR 0.05 2,998 3,144
SSR 0.01 4,131 4,308
LSR 0.05 2,12 2,23
LSR 0.01 2,92 3,05
Urutan nilai tengah faktor A (Luas Kandang) dari tertinggi sampai yang terendah
A3 A2 A1
39,78 35,83 32,78
Uji Lanjut DMRT
Perlakuan Jarak Selisih LSR 1% Keterangan
A3-A2 2 4,44 2,92 **
A3-A1 3 7,00 3,05 **
A2-A1 2 2,56 2,92 Ns
Keteranga : Ns = Non Signifikan (P>0,05)
** = Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip :
A1A A2A A3B
49
Urutan nilai tengah faktor B (Level Protein) dari tertinggi sampai yang terendah
B3 B2 B1
38,44 37,44 32,00
Uji Lanjut DMRT
Perlakuan Jarak Selisih LSR 1% Keterangan
A3-A2 2 1,00 2,92 **
A3-A1 3 6,44 3,05 **
A2-A1 2 5,44 2,92 Ns
Keteranga : Ns = Non Signifikan (P>0,05)
** = Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip :
B1A B2B B3B
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Desember 1993 di
Padang Kunik, Kuantan Singingi. Penulis adalah anak
kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Raja Sahan
dan Ibu Evi Rianis. Pendidikan dasar diselesaikan pada
tahun 2005 di SDN 09 Padang Kunik, Pendidikan lanjutan
menengah pertama diselesaikan pada tahun 2008 di SMPN 2 Pangean, Kuantan
Singingi dan pendidikan lanjutan menegah atas diselesaikan pada tahun 2011 di
SMAN Pintar Kab Kuantan Singingi.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Peternakan, Fakultas
Peternakan, Universitas Andalas pada tahun 2011. Selama masa pendidikannya
penulis mengikuti berbagai kegiatan kampus diantaranya BAKTI, BBMK di UKF
Neotelemetri Universitas Andalas. Penulis melaksanakan KKN pada Juni-Juli
2014 di Nagari Ampalu, Kabupaten Lima Puluh Kota. Farm Experience
gelombang III pada bulan November-Desember 2014.
14 April 2016
Fahli Revsianto
top related