Pemicu 3 imun

Post on 15-Feb-2016

253 Views

Category:

Documents

3 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

semoga membantu

Transcript

LO 1

Definisi Hipersensitivitas

Definisi

• Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik yang menimbulkan penyakit bagi tubuh kita

• Komponen HS = Komponen sistem imun proteksi

• Hipersensitivitas: peningkatan reaktivitas / sensitivitas terhadap antigen yg pernah di pajankan / dikenal

Pembagian HS

• Reaksi hipersensitivitas terdiri atas bbg kelainan yg heterogen yg dpt dibagi menurut berbagai cara:

1. Menurut waktu timbulnya reaksi2. Menurut mekanisme GELL dan COOMBS3. Menurut mekanisme GELL dan COOMBS yg

dimodifikasi

Menurut waktu timbulnya reaksi

Reaksi cepat• Terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam

2 jam. • Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel

mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. • Manifestasi : anafilaxis sistemik atau anafilaxis

lokal seperti asma, pilek-bersin, urtikaria dan eksim

Menurut waktu timbulnya reaksiReaksi intermediat• Terjadi stlh beberapa jam dan menghilang dlm 24 jam• Melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan

kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen. • Manifestasinya: 1. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis foetalis dan anemia hemolitik autoimun. 2. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik yaitu serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis rematoid dan LES (lupus eritematosis

sistemik)

Menurut waktu timbulnya reaksi

Reaksi lambat• Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam

setelah pajanan dengan antigen.• Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang

dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh : dermatitis kontak, reaksi Mycobacterium tuberculosis dan reaksi penolakan graft.

Menurut mekanisme GELL dan COOMBS

• Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi yaitu tipe I, II, III dan IV

• Tipe I : Hipersensitivitas cepat (Anafilaktik)

• Tipe II : Hipersensitivitas sitotoksik

• Tipe III : Hipersensitivias kompleks imun

• Tipe IV : Hipersensitivitas lambat (berperantara sel)

• Catatan : Tipe I, II, III berperantara antibodi

Menurut mekanisme GELL dan COOMBS yg dimodifikasi

• Pembagian Gell dan Coombs dibuat sebelum analisis yg mendetail mengenai subset dan fungsi sel T diketahui

• Berdasarkan penemuan penelitian imunologi, telah dikembangkan beberapa modifikasi klasifikasi yg membagi tipe IV dlm bbrp subtipe reaksi

• Tipe 1: IgE• Tipe 2: sitotoksik (IgG dan IgM)• Tipe 3: Kompleks imun (IgG dan IgM)• Tipe 4: Hipersensitivitas selular• Tipe 5: Reaksi granuloma• Tipe 6: hipersensitivitas stimulasi

LO 2

Perbedaan reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

Anafilaksis (Reaksi sistemik)

• Adalah reaksi tipe 1 yg dpt fatal dan tjd dlm bbrp menit

• Ditimbulkan IgE• Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yg

melepas berbagai mediator• Dpt dipacu berbagai alergen seperti makanan ,

obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya

Anafilaktoid (Reaksi pseudoalergi)

• Adalah reaksi sistemik umum yg melibatkan penglepasan mediator oleh sel mast yg tjd tdk melalui IgE

• Merupakan jalur efektor nonimun• Scr klinis menyerupai reaksi Tipe 1 spt : syok,

urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus, ttp tdk berdasarkan reaksi imun

• Tdk memerlukan pajanan dahulu• Dapat ditimbulkan oleh: AM, protein, kontras

dgn yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot

Kriteria kasar untuk membedakan alergi dan pseudoalergi

Alergi Pseudoalergi

Perlu sensitisasi Tidak perlu sensitisasi

Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi pada pajanan pertama

Jarang (<5%) Sering (>5%)

Gejala klinis khas Gejala tidak khas

Dosis pemicu kecil Tergantung dosis

Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak ada riwayat keluarga (kec defek enzim)

Pengaruh fisiologis sedang Pengaruh fisiologis kuat

LO 3

Hipersensitivitas tipe 1

Tipe I : Hipersensitivitas cepat (anafilaktik)

• Alergen masuk ke dlm tbh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi.

Urutan kejadian reaksi tipe I

• Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

• Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik

• Fase efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Langkah mekanisme umum pada hipersensitivitas cepat

• Antigen menginduksi sel B untuk membentuk antibodi IgE yang mengikat erat dengan bagian Fc-nya pada sel mast dan basofil.

• Beberapa minggu kemudian, apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast dan basofil.

• Akibat ikatan antigen-IgE, sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator dalam waktu beberapa menit.

Mediator penting pada hipersensitivitas anafilaktik

• Histamin Pelepasan histamin menyebabkan : - vasodilatasi

- peningkatan permeabilitas kapiler- kontraksi otot polos

• Secara klinis ada gangguan seperti rinitis alergi (hay fever), urtikaria dan angioedem

• Pada anafilaksis akut gejala yang menonjol yaitu bronko-

spasme karena pelepasan histamin.• Obat antihistamin dapat memblokir tempat reseptor

histamin dan relatif efektif pada rinitis alergi, tidak pada asma

SRS-A (Slow reacting substance of anaphylaxis)• Terdiri dari leukotrien yang timbul waktu terjadi

reaksi anafilaksis. • Leukotrien dibentuk dari asam arachidonat dan

menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler serta kontraksi otot polos.

• Merupakan mediator utama terjadinya bronkokonstriksi pada asma dan tidak

dapat dipengaruhi oleh antihistamin.

ECF-A (Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis)• Merupakan tetrapeptida yg berada di dlm granula sel

mast.• Ketika dilepaskan pd waktu anafilaksis, ia menarik

eosinofil yg sangat prominen pada reaksi alergi tipe cepat.

• Peranan eosinofil tidak tentu, tetapi dapat melepas histaminase dan arylsulfatase yang menimbulkan degradasi 2 mediator penting yaitu histamin dan SRS-A.

• Serotonin (hydroxytryptamine)• Pelepasan waktu anafilaksis menyebab-kan

dilatasi kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler dan kontraksi otot polos. (peranannya kecil pada manusia)

• Prostaglandin dan tromboksan Kedua zat ini berhubungan dengan leuko- trien, dan diturunkan dari asam arakidonat lewat jalur siklooksigenase.• Prostaglandin menyebabkan bronkokons- triksi dan dilatasi serta peningkatan per- meabilitas kapiler. • Tromboksan menggumpalkan trombosit.

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe I

• Dapat timbul dalam berbagai bentuk yaitu urticaria,eczema, rhinitis, conjunctivitis dan asthma

• Bila individu terpajan tepung sari melalui udara akan timbul hay fever. Dan bila menelan alergen dalam makanan akan timbul diare.

• Seseorang yg respons thd alergen dgn urtikaria mempunyai ikatan alergen-IgE pada sel mast di kulit,sedangkan yg respons dgn rhinitis mempunyai alergen spesifik sel mast di dlm hidung.

• Paling berat adalah anafilaksis sistemik, pada mana bronkokonstriksi berat dan hipotensi (shok) dapat menimbulkan kematian.

• Mekanisme anafilaksis berbeda diantara spesies, karena ada perbedaan di dalam shok organ.

• Misalnya, saluran napas (bronkospasme, edema larynx) adalah shok organ utama pada manusia,

• tetapi hepar (vena hepatica) memegang peranan pada anjing dengan gejala yaitu gelisah, muntah,diare kemudian kolaps.

Terapi & pencegahan reaksi anafilaksis

• Tujuan terapi ialah melawan daya kerja mediator dengan mempertahankan saluran napas, ventilasi & fungsi jantung

• Satu atau lebih dari obat berikut dapat diberikan yaitu epinefrin, antihistamin, kortikosteroid atau natrium kromolin. Yang terakhir ini mencegah pelepasan mediator (misalnya histamin) dari granula sel mast.

• Pencegahan dilakukan dengan mengenali alergen (dengan uji kulit) lalu menghindari antigen itu.

• Ada beberapa pendekatan pada terapi asthma.

• Dapat diberikan inhalasi beta-adrenergik bronkhodilator seperti albuterol

• Kortikosteroid seperti prednison juga efektif.• Bronkhodilator seperti aminofilin juga efektif

tetapi tidak umum diberikan.

• Monoclonal anti-IgE antibody (omalizumab, Xolair) indikasi untuk penderita asma berat yang gejalanya tidak bisa dikendalikan dengan kortikosteroid.

• Untuk pencegahan asthma, leukotriene receptor inhibitor seperti montelukast (Singulair), dan natrium kromolin adalah efektif.

• Terapi rhinitis alergika termasuk antihista-min bersama nasal dekongestan.

• Untuk allergic conjunctivitis, tetes mata mengandung antihistamin atau vasokons-triktor adalah efektif.

• Hindari alergen seperti tepung sari (pollen) untuk profilaksis. Juga dapat dilakukan desensitisasi.

LO 4

Hipersensitivitas tipe 2

Tipe II: Hipersensitivitas sitotoksik

• Antibodi yang diarahkan pada antigen permukaan sel akan mengaktifkan komplemen untuk merusak sel.

• Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada antigen lewat daerah Fab dan bekerja sebagai suatu jembatan ke komplemen lewat daerah Fc

• Akibatnya dapat terjadi lisis yang berperantara-komplemen, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik, reaksi transfusi ABO,atau penyakit hemolitik Rh.

• Beberapa obat, misalnya penisilin, fenasetin dan kuinidin,dapat melekat pada protein permukaan di sel darah merah dan memicu pembentukan antibodi. Antibodi autoimun semacam itu (IgG) kemudian dapat bergabung dengan permukaan sel, dan mengakibakan hemolisis.

• Infeksi tertentu (misalnya Mycoplasma pneumoniae) dapat menginduksi antibodi yang bereaksi silang dengan antigen sel darah merah, mengakibatkan anemia hemolitik.

• Pada demam rematik, antibodi terhadap streptokok kelompok A bereaksi silang dengan jaringan jantung.

• Pada sindroma Goodpasture, antibodi ter-hadap membran dasar ginjal dan paru-paru mengakibatkan kerusakan berat ter-hadap selaput melalui aktivitas lekosit yang ditarik oleh komplemen.

LO 5

Hipersensitivitas tipe 3

Tipe III : Hipersensitivitas kompleks imun

• Bila antibodi bergabung dgn antigen, terbentuklah kompleks imun.

• Biasanya, kompleks imun ini dgn cepat dibuang o/ RES, tetapi kadang-kadang kompleks ini ttp bertahan dan diendapkan dlm jaringan, sehingga mengakibatkan beberapa penyakit.

• Pada infeksi bakteri atau virus yang kronis, kompleks imun dapat diendapkan pada organ tubuh (misalnya ginjal), sehingga fungsinya terganggu

• Pada penyakit autoimun, antigen “self” dapat menimbulkan antibodi yang mengikat antigen organ atau diendapkan dalam organ sebagai kompleks, terutama dalam sendi (artritis), ginjal (nefritis), atau pembuluh darah (vaskulitis).

• Dimanapun diendapkan, kompleks imun ini mengaktifkan komplemen, dan sel PMN ditarik ke tempat itu, dimana sel-sel ini menyebabkan radang dan cedera jaringan.

• Reaksi hipersensi-tivitas tipe III yang khas ialah reaksi Arthus dan penyakit serum (serum sickness).

• Reaksi Arthus (bentuk lokal)• Arthus menyuntikkan serum kuda ke dlm kelinci

intradermal berulangkali dan menemukan reaksi yg makin hebat di tempat suntikan

• Mula-mula terjadi eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang esok hari.

• Suntikan kemudian menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit menyembuh.

• Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun.

• Reaksi Arthus dapat terjadi di dinding bronkus atau alveol dan menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen pada asma akibat kerja.

• Reaksi Arthus di dalam klinik dapat berupa vaskulitis.

• Penyakit serum (serum sickness)• Istilah itu berasal dari Pirquet dan Schick yg

menemukannya sbg konsekuensi imunisasi pasif pd pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dgn antiserum asal kuda.

• Setelah injeksi serum asing, antigen perlahan-lahan dibersihkan dari sirkulasi, dan produksi antibodi dimulai.

• Adanya antigen dan antibodi secara serentak mengakibatkan pembentukan kompleks imun yg mungkin beredar atau diendapkan di berbagai tempat.

• Beberapa hari – 2 minggu setelah injeksi serum asing,penyakit serum scr khas mengakibatkan demam, urtikaria, artralgia, limfadenopati, dan splenomegali.

• Gejala meningkat sementara antigen dibuang lewat sistem imun, dan gejala mereda bila semua antigen telah habis.

• Pada masa kini, penyakit serum lebih jarang muncul setelah injeksi serum asing dibandingkan setelah pemberian obat (misal penisilin)

• Meskipun simptom baru tampak setelah beberapa hari, penyakit serum digolongkan sebagai reaksi segera, krn gejala-gejalanya muncul dgn cepat stlh terbentuk kompleks imun

• Penyakit kompleks imun• Byk penyakit dlm klinik dihubungkan dgn kompleks

imun, walaupun antigen seringkali tidak dapat diidentifikasi. Contoh: glomerulonefritis

• Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus telah dikenal sebagai penyakit kompleks imun.

• Mula timbulnya terjadi beberapa minggu setelah infeksi streptokokus B-hemolitik grup A, terutama pd kulit, dan seringkali pada infeksi akibat streptokokus tipe nefritogenik.

• Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun.

• Pada artritis rematoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG dan timbul kompleks imun

LO 6

Hipersensitivitas tipe 4

Tipe IV : Hipersensitivitas lambat (berperantara sel)

• Hipersensitivitas berperantara sel merupakan fungsi limfosit T, bukan fungsi antibodi.

• Hipersensitivitas ini dpt dipindahkan o/ sel T yang terlibat secara imunologik ttp tdk o/ serum.

• Respons ini lambat : artinya, dimulai beberapa jam (atau hari) setelah kontak dengan antigen dan sering berlangsung selama beberapa hari.

A. Hipersensitivitas kontak• Manifestasi hipersensitivitas berperantara sel ini

terjadi setelah sensitisasi dengan zat kimia sederhana (misalnya nikel, formaldehida), bahan dari tumbuhan (poison ivy, pohon oak beracun), pemakaian obat topikal (misalnya sulfonamida, neomisin), beberapa kosmetika, sabun dan zat-zat lain.

• Pada semua kasus, molekul-molekul kecil memasuki kulit dan kemudian – dengan bekerja sebagai hapten– melekat pada protein tubuh untuk bertindak sebagai antigen lengkap.

• Hipersensitivitas berperantara sel pun di-induksi, terutama dalam kulit. Bila kulit berkontak lagi dengan zat penyebab, orang yang telah peka ini akan mengalami eritema, gatal-gatal, vesikel, eksema, atau nekrosis kulit dalam 12-48 jam.

• Uji tempel (patch test) pada daerah kecil di kulit kadang-kadang dapat mengenali antigen penyebab.

• Penghindaran terhadap bahan itu akan mencegah kekambuhan penyakit.

B. Hipersensitivitas tipe-tuberkulin

• Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroba terdapat dalam banyak penyakit menular dan telah digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.

• Contoh khasnya adalah reaksi tuberkulin. Bila sejumlah kecil tuberkulin disuntikkan ke dalam epidermis pasien sebelumnya pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, hanya sedikit reaksi segera yang tampak; secara berangsur-angsur indurasi dan kemerahan muncul dan mencapai puncaknya pada 48-72 jam.

• Uji kulit yang positif menunjukkan bahwa orang itu pernah terinfeksi oleh penyebab, tetapi ini tidak berarti bahwa penyakitnya masih ada. Namun, uji kulit yang berubah dari negatif menjadi positif menunjukkan infeksi yang baru terjadi dan mungkin sekarang masih aktif.

• Respons uji kulit yang positif dapat membantu diagnosis dan menyokong untuk kemoprofilaksis atau kemoterapi.

• Pada lepra, uji lepromin positif menunjukkan lepra tuberkuloid–dengan imunitas berperantara-sel yang aktif, sedangkan uji lepromin yang negatif menunjukkan lepra lepromatosa—dengan imunitas berperantara terganggu.

• Pada infeksi jamur sistemik (misalnya kok-sidioidomikosis, histoplasmosis, blastomikosis), uji kulit jenis-lambat yang positif terhadap antigen khusus membantu menentukan kontak terhadap organismenya.

• Hipersensitivitas berperantara-sel muncul pada banyak infeksi virus (misalnya herpes simpleks, parotitis). Tetapi uji serologi lebih spesifik untuk diagnosis maupun untuk penilaian imunitas.

• Pada infeksi protozoa dan cacing, uji kulit dapat positif tetapi uji serologi khusus biasanya lebih bermanfaat.

LO 7

Prosedur diagnostik

Alergi

Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut:

• Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.

• Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.

• Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.

• Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.

• Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007).

LO 8

Penatalaksanaan

Farmako (Urtikaria)• Pengobatan lini pertama dengan antihistamin klasik, tetapi

ini bersifat sedative. • Untuk antihistamin generasi berikutnya yang dari golongan

Piperion tidak menimbulkan efek sedative tersebut, yaitu;– Terfenadin– Astemizol– Loratadin

• Untuk Loratadin, dapat diberikan dengan dosis 10mg, sekali sehari dan cukup efektif dalam beberapa jam setelah ditelan dan mempunyai lama kerja 12-48 jam.

Farmako (Urtikaria)

• Pengobatan lini keduaPemberian kortikosteroid untuk menghambat fenomena inflamasi dini, oedema, dilatasi kapiler.

• Bisa diberikan peroral, parenteral, topical dan aeorosol.

• Harus diperhatikan untuk pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dengan jangka panjang

Farmako (Urtikaria)

• Pengobatan lini ketigaPemberian adrenalin jika kondisi akut angiodema berat, digunakan untuk konstriksi pembuluh darah.

• Untuk urtikaria kronik dapat diberikan obat imunosupresan seperti siklosporin yang evaluasinya dilakukan secara ketat

Farmako (Anafilaksis)• Ringan:

Stop alergen, beri Antihistamin• Sedang:

• Seperti di atas di tambah: aminofilin atau inj. Adrenalin 1/1000 0,3 ml sc/im, dapat diulang tiap 10-15 menit sampai sembuh, maksimal 3 kali.• Amankan jalan nafas, Oksigenasi.

• Berat:• Seperti sedang ditambah: posisi terlentang, kaki di atas• Infus NaCl 0,9% / D5%• Hidrokortison 100 mg atau deksametason iv tiap 8 jam• Bila gagal: beri difenhidramin HCl 60-80 mg iv secara pelan > 3 menit

• Jika alergen adalah suntikan, pasang manset di atas bekas suntikan (dilepas tiap 10-15 menit) dan beri adrenalin 0,1-0,5 ml im pada bekas suntikan

• Awasi tensi, nadi, suhu tiap 30 menit• Setelah semua upaya dilakukan, jika dalam 1

jam tidak ada perbaikan rujuk ke RSUD.

top related