METRO GRAPHIAkaryailmiah.uho.ac.id/karya_ilmiah/Dirman/5.BUKU_SEJARAH... · 2020. 5. 17. · pemikiran penelitian sejarah dan Etnografi Buton, antara lain : 1) Mengungkap, meluruskan
Post on 03-Feb-2021
6 Views
Preview:
Transcript
METRO GRAPHIA
356
SEJARAH DAN ETNOGRAFI BUTON
Penulis : Dr. La Ode Dirman, MSi
DesainSampul : HISPISI SULTRA
Editor : Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd
Penerbit : Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-
IlmuSosial Indonesia Sultra
Cetakan Perdana : Maret 2017
Cetakanke-2 : Maret 2018
ISBN : 978-602-60719-1-0
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras mengutip, memfotocopy, dan memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
AlamatRedaksi : Jl. Kelapa No. 107 AnduonohuKendari
Telp : 085241529993 e-mail:anwarhapide@yahoo.com
METRO GRAPHIA
iii
Sejarah dan Etnografi Buton
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena atas Rakhmat
dan HidayahNya jualah sehingga Penulisan buku Sejarah dan
etnografi Buton dapat terselesaikan dengan baik.
Dasar pemikiran sekaligus tujuan penulisan buku
Sejarah dan etnografi Buton, yaitu : (1) mengungkap,
meluruskan bagian-bagian penting secara kronologis holistik,
komparatif sejarah dan budaya Buton, dari penulisan terdahulu,
(2) mencari Figur ketokohan dan diantara Sultan yang pernah
berkuasa, (3) mencari mata rantai hubungan kekerabatan antar
etnik di Buton yang bercikal bakal dari masa kerajaan, (4) Figur
tokoh diatas, yang nilai kepemimpinannya dapat diadopsi,
direlevansikan dengan sistim kepemimpinan masa kini, dalam
rangka menuju Provinsi Buton Kepulauan. Penulisan Sejarah
dan Etnografi Buton telah dilakukan selama satu tahun dengan
teknik pengumpulan data Library Research dan Field
Research. Kajian Penulisan dilakukan secara multidisiplin
yakni sejarah, antropologi, dan filologi dengan acuan sentral
metodologis ilmu antropologi budaya.
Edisi ke-2 buku ini dilakukan sebagai penyempurnaan
tulisan edisi perdana, khususnya hal-hal mengenai data
tambahan dan redaksionalnya, disamping juga kebutuhan
mahasiswa dan pelaku pembangunan elit Buton. Sekali lagi,
kualitas sebuah penulisan sejarah dan etnografi untuk waktu 1
tahun khususnya kajian secara akultratif, memang belum
menghasilkan sebuah kepadatan metodologis, namun temuan
yang sifatnya menetralisir interpretasi para tokoh dan
masyarakat Buton, dapat ditemukan indikasi penyatuan
pandangan, teristimewa penemuan tambahan daftar nama -
nama pejuang menentang kolonialisme yang selama ini tidak
tercatat dalam arsip nasional. Khususnya ketokohan Sultan
METRO GRAPHIA
iv
Sejarah dan Etnografi Buton
Lakilaponto/Murhum/ Latoolaki dan Sultan Himayatuddin/
Oputa i Koo serta menemukan kembali mata rantai hubungan
kekerabatan Raja-Raja/Sultan pada kerajaan-kerajaan yang
pernah ada di Sulawesi Tenggara. Pada gilirannya mengadopsi
nilai–nilai Falsafah, Kepahlawanan dan Teknologi dalam
konteks pembangunan menuju prospek masa depan menuju
pembentukan Provinsi Buton Kepulauan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian ini masih
jauh dari kesempurnaan .Saran dan kritik positif konstruktuf
dari berbagai pihak sangat kami harapkan. Karena itu
Penyusunan buku ini dapat terlaksana berkat adanya bantuan
berbagai pihak, baik moral maupun materi. Teristimewa kami
ucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada seluruh rekan-rekan dosen dalam lingkungan Jurusan
sejarah dan Program Studi Tradisi Lisan Universitas Halu Oleo
yang telah memberikan disain pemikiran mulai proses awal
penulisan buku ini hingga dalam bentuk naskah buku ini, telah
banyak memberikan kontribusi pemikiran baik sistematika
maupun kontennya,
Kepada tokoh Buton yang berjasa dalam penulisan
Sejarah Buton baik status dan perannya sebagai elite birokrasi
maupun tokoh masyarakat, Tokoh adat, kaum intelektual Buton
maupun sebagai infoman kunci. Pada kesempatan ini penulis
ucapkan terima kasih terutama kepada rekan-rekan sejawat
;Prof Dr. La Niampe,M.Hum, Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd,, Dr.
Rifai Nur, M.Si., Drs. H. Rauf Suleiman, MSi. Penulis terdahulu
Tokoh adat Buton antara lain; Prof. H. La Ode Siradjudin
Djarudju (alm), Drs.L.A. Rasyid. (alm). La Mbalangi (alm),La
Ode Aegu, Drs.La Ode Abubakar (alm) dan Dr. Ir. H. Muif
Mujur. Keenam tokoh adat terahir semasa hidup mereka
sangat memberikan kontribusi kearah penulisan Sejarah
Buton,baik melalui karya mereka maupun sebagai informan
METRO GRAPHIA
v
Sejarah dan Etnografi Buton
kunci, semoga mereka mendapat tempat yang layak disisi
Allah SWT. dan kepada keluarganya kami ucapkan terima
kasih yang mendalam.
Semoga buku ini dapat berguna dan bermanfaat
kepada semua pihak, terutama tokoh dan tokoh adat Buton,
baik yang berada di wilayah Buton maupun di perantauan
termasuk para generasi muda khususnya mahasiswa. Harapan
penulis semoga bantuan dan dukungan yang diberikan dari
berbagai pihak mendapatkan ganjaran pahala disisi Allah
SWT, Amin Ya Robbal A’alamin.
Kendari, Maret 2018
Penulis,
Dr. La Ode Dirman, MSi
METRO GRAPHIA
vi
Sejarah dan Etnografi Buton
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR ......................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... ix
BAGIAN I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Konsepsi Persebaran Kebudayaan
dan Etnografi.................................................................... 7
C. Skematik perubahan Sosial Budaya ....................... 30
BAGIAN II
PULAU BUTON, PENDUDUK TAHAP AWAL DAN
PERSEBARANNYA SEBELUM ABAD XIV
A. Istilah nama Buton dan Penduduk
Tahap awal ........................................................................ 37
B. Asal Usul Persebaran Kaum Migran Buton ........ 49
C. Simbolisasi Sawerigading dan Raja-Raja I
di Sulawesi Tenggara ................................................... 64
D. Komparatif Nenek Moyang Penduduk Sultra ... 79
BAGIAN III
BUTON ERA KERAJAAN ABAD XIV-XVI
A. Proses Terbentuknya Kerajaan ............................... 85
B. Struktur Pemerintahan Raja II Tua Rade ............ 92
C. Hubungan Buton Dengan Kerajaan Lain ............. 96
METRO GRAPHIA
vii
Sejarah dan Etnografi Buton
BAGIAN IV
ISLAM DI BUTON ABAD XV
A. Awal Masuknya Islam Di Buton............................... 101
B. Pengaruh Islam Sejak Masa Raja Mulae
Raja V .................................................................................. 105
C. Pembawa Ajaran Agama Islam ................................ 117
D. Islam Sebagai Faham Baru ........................................ 114
BAGIAN V
PEMERINTAHAN KESULTANAN ABAD XVI-XIX
A. Gambaran Umum Sosio Politik ................................ 149
B. Pemerintahan, Program dan Prestasi
Kerja ..................................................................................... 151
C. Struktur Pemerintahan dan Barata.
Patapalena .......................................................................... 198
D. Tata Cara Pelantikan Sultan ...................................... 209
E. Stratifikasi Sosial Tradisional dan
Perkawinan....................................................................... 221
F. Mata Pencaharian dan Teknologi ........................... 246
G. Bahasa .................................................................................. 250
H. Kesenian dan permainan Tradisional .................. 252
I. Agama dan Kepercayaan .............................................. 257
J. Silsilah, Kekerabatan dan Istri-Istri Raja .............. 272
K. Kedudukan Perempuan Dalam Pemerintahan,
Dan Peranan Wa Ode Wau ........................................ 289
BAGIAN VI
TOKOH, ETOS DAN NILAI BUDAYA KEPEMIMPINAN
A. Lakilaponto Pemersatu Kerajaaan-Kerajaan
METRO GRAPHIA
viii
Sejarah dan Etnografi Buton
Tradisional di Sulawesi Tenggara ................................ 295
B. Potensi dan Kepribadian Khas Kolektif
Orang Buton ..................................................................... 305
C. Budaya dan Etos Kerja Orang Buton ..................... 316
BAGIAN VII
PENUTUP ............................................................................................ 321
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 327
LAMPIRAN ......................................................................................... 339
SILSILAH RAJA/SULTAN BUTON DAN
HUBUNGAN KEKERABATAN RAJA-RAJA
NUSANTARA ...................................................................................... 339
PETA PULAU BUTON ..................................................................... 344
METRO GRAPHIA
ix
Sejarah dan Etnografi Buton
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Batu Podimba, tempat menempel surat
oleh para migran awal ........................................ 44
Gambar 2. Bendera Kerajaan Buton" Tombipagi"
dan Makam Spanjonga ....................................... 57
Gambar 3. Makam Betoambari terletak wilayah
pantai Lakeba Bau-Bau ...................................... 60
Gambar 4. Batu Poaro = batu menghadap.
Legenda Syekh Abdul Wahid ......................... 126
Gambar 5. Undang-Undang Kesultanan Buton
"Murtabah Tujuh" abad ke 17 ...................... 160
Gambar 6. Mesjid Agung Keraton Buton dan
tiang bendera .......................................................... 170
Gambar 7. Mesjid Baadia.......................................................... 184
Bagan 8. Skematik Formasi Posisi Duduk Pada
Upacara pelantikan Sultan ............................... 210
Gambar 9. Makam Sultan di keraton Buton .................... 215
Gambar 10.Kuningan dan peralatan dapur
yang digunakan upacara adat2 ..................... 243
Gambar 11.Batu " Popaua"= Tempat Sultan
mengangkat sumpah pelantikan .................. 252
Gambar 12.Pakaian adat Perempuan Buton ................... 283
Bagan 13.Masyarakat Tradisional-Transisi-
Modern....................................................................... 300
Gambar 14.Silsilah Raja Buton dan Raja-raja
Nusantara ................................................................ 330
Gambar 15.Peta Pulau Buton .................................................. 335
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
1
Sejarah dan Etnografi Buton
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penulisan sejarah dan etnografi Buton adalah salah
satu rencana perwujudan kearah pembangunan menuju
proses revitalisasi nilai kesejarahan menuju peradaban
Buton kepulauan. Salah satu pendekatan pembangunan
yang digunakan pemerintah Kota Baubau dan Kabupaten
Buton yaitu strategi pendekatan Gerakan pariwisata,
Kebudayaan dan peradaban.
Belajar dari pengalaman pertumbuhan masyarakat
industrial di Eropa dan Jepang dapat diajukan anggapan
bahwa proses menuju masyarakat industrial adalah proses
perubahan keseluruhan sendi dasar kemasyarakatan,
sedemikian rupa sehingga memenuhi kualifikasi untuk
disebut sebagai proses perubahan peradaban dan
Kebudayaan (civilization and cultural change). Pada kedua
gugus kebangsaan ini pertumbuhan masyarakat industrial
benar-benar dimulai dari posisi awalnya sebagai
masyarakat agraris, sedangkan pada proses perubahan
negara-negara newly industrial countries yang lain posisi
awalnya tidak sepenuhnya berada pada posisi sebagai
Negara agraris. Hal ini terlihat misalnya pada negara Korea
Selatan dan Taiwan. Mundur ke tahun sebelum perang
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
2
Sejarah dan Etnografi Buton
dunia ke-2, pada kedua negara ini sebagian benar struktur
sosial-ekonomi masyarakatnya memang masih tegak di atas
pilar-pilar agrarian society, namun beberapa kantong
masyarakat industrial sudah mulai berkembang, sehingga
perkembangannya menuju masyarakat industrial relatit
cepat, sekitar empat dasa warsa. Pada kedua negara ini
proses percepatan industrial berlangsung secara relatif
terencana dan direncanakan, bahkan digerakkan oleh
pemerintah yang berkolaborasi dengan dunia pendidikan
dan ekonomi-bisnis, sehingga proses perubahan bukan saja
dapat dipercepat, tetapi juga memiliki daya tahan atau
endurance yang tinggi.
Arif Budiman mencatat tentang ketidakjelasan
pilihan pendekatan pembangunan, antara pemerataan
dengan pertumbuhan (equality - growth policy), sehingga
Indonesia mudah terjebak dan demikian yang terjadi dalam
perangai terjelek dan masing-masing pendekatan, atau
gagal dikedua-duanya1. Prof. Sartono Kartodirdjo mencatat
betapa pluralitas masyarakat telah gagal difahami oleh
sistem politik dan pemerintahan, sehingga jangankan
menuju pertumbuhan atau pemerataan, bahkan
pembangunan semakin mengantarkan bangsa dan
Indonesia ke bibir jurang perpecahan dan kehancuran.
Sartono sampai pada keadaan tanpa harapan kecuali
terjadinya cutting generation2. Pemikir muda Didik J
Rachbini memandang bahwa kegagalan sistem politik dan
1 Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1995 2 Sartono Kartodirdjo, Multi Dimensi Pembangunan Bangsa, Kanisius,
Yogyakarta, 1999
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
3
Sejarah dan Etnografi Buton
pemerintahan di Indonesia ini ditunjukkan oleh fakta ketika
berbagai upaya pembangunan semakin menjauh dan
kepentingan sosial-ekonomi kerakyatan, tetapi juga gagal
dalam membangun struktur perekonomian yang
mengandalkan pada pertumbuhan dan globalisasi3.
Pemecahan yang memenuhi kualifikasi kesejarahan ini tidak
bisa tidak adalah civilization and cultural change.
Bagaimana standar perubahan mendasar ini dapat
diterapkan dalam rangka mewujudkan masyarakat
industrial ?.
Setelah lebih 60 tahun Buton berdiri sebagai
Kabupaten, bahkan dalam sejarah pemerintahan, sebelum
terbentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara, Buton tercatat
sebagai ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara ibu kotanya
Baubau. Dalam berbagai ukuran ekonomi dan sosial,
ternyata masih berada pada peringkat paling bawah, sedikit
di atas Kabupaten-Kabupaten yang ada di Nusa Tenggara
Timur, Maluku. Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat dan
Papua; bahkan Sulawesi Tenggara masih di bawah provinsi-
provinsi yang lebih muda, seperti Bangka Belitung,
Gorontalo, Bengkulu dan Banten. Namun, memperhatikan
rasio jumlah anggaran pemerintahan dan pembangunan
Provinsi maupun Kabupaten/ Kota dengan jumlah
penduduk yang ternyata lebih besar dibandingkan Provinsi
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah4, maka
dapat diduga penyebab kelambatan perkembangan provinsi
3 Didik J Rachbini, Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000 4 Ibid, 2002
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
4
Sejarah dan Etnografi Buton
ini bukan karena keterbatasan anggaran, melainkan karena
rendahnya prakarsa masyarakat dan dunia usaha untuk
berperan serta dalam pembangunan.
Demikian halnya masyarakat Buton, gagasan
pemerintah Kabupaten Buton memekarkan wilayahnya, di
mulai kota Baubau sebagai kota admistratif Ibu kota
Kabupaten Buton kemudian pada tahun 2003 berdiri
sendiri, menyusul beberapa kecamatan yang menjadi
Kabupaten yaitu,Kabupaten Wakatobi, Bombana, Buton
Tengah dan Buton Selatan. Hal ini dapat dipahami, selama
ini sektor pemerintahan memang berperan sebagai pelaku
tunggal pelaksanaan pembangunan, dan proyek
pemerintahan menjadi penentu detak ekonomi dan sosial
masyarakat. Namun juga disadari bahwa sasaran
pembangunan ke arah terwujudnya masyarakat industrial
memang memerlukan perubahan yang radikal, dalam arti
perubahan sampai ke akar-akar kebudayaan dan peradaban.
Secara konseptual Kebudayan sebagai komplek nilai,
kepercayaan dan adat istiadat masyarakat (dimensi afektif)
maka ia harus tetap lestari dan dijadikan landas tumpu
perkembangan peradaban. Sedangkan dalam dimensi
peradaban sebagai komplek pencapaian (dimensi kognitif),
seperti misalnya pencapaian pembangunan dibidang
pendidikan, kesehatan, perekonomian dan kesejahteraan
sosial dapat digerakkan ke arah globalisasi dan secara
bertahap harus siap diukur dengan standard kompetensi
global. Atas dasar latar ini penulis melakukan kajian
penelitian sejarah dan etnografi Buton yang merupakan
salah satu implementasi atau Skim agenda aksi Pendekatan
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
5
Sejarah dan Etnografi Buton
Gerakan Pariwisata, Kebudayaan dan Peradaban Menuju
Provinsi Buton Kepulauan, yang dituangkan dalam laporan
ini. Penulisan sejarah dan Etnografi Buton ialah
mengembangkan pemikiran dan kepedulian bersama untuk
memahami identitas, posisi, nilai dan ketokohan dalam
kerangka kebudayaan dan peradaban Buton, serta
merumuskan strategi perubahan Era Kerajaan,
kemerdekaan hingga Reformasi dan peradaban dalam
menuju ke arah terwujudnya masyarakat industrial. Dasar
pemikiran penelitian sejarah dan Etnografi Buton, antara
lain : 1) Mengungkap, meluruskan bagian-bagian penting
secara metodologis, kronologis holistik sejarah dan budaya
Buton dari penulisan terdahulu., 2) Mencari mata rantai
hubungan kekerabatan etni-etnik di Sulawesi Tenggara
yang bercikal bakal dari masa kerajaan. 3) Membangkitkan
heroisme dan peranan tokoh era kerajaan untuk diadopsi
konteks pembangunan masa kini. 4). Adopsi karakteristik
sifat kepemimpinan masa kerajaan (sifat dan perangai),
watak, etos kerja) dalam transisional sosiokultural masa
kini menuju mentalitas dan sikap industrial;
Secara umum penulisan Sejarah dan etnografi Buton
ialah memberikan perspektif dasariyah dalam perumusan
kebijakan dan program pemerintahan dan pembangunan
menuju Propinsi Buton Kepulauan. Manfaat khusus
penulisan ini ialah memberikan skim agenda aksi gerakan
Kerajaan pariwisata dan peradaban dalam kerangka
kegiatan pemerintahan dan pembangunan menuju Propinsi
Buton Kepulauan. Penulisan sejarah dan etnografi Buton,
disamping menghasilkan wacana dan perenungan tentang
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
6
Sejarah dan Etnografi Buton
prasyarat perubahan Kebudayaan dan peradaban yang
mendasari pelaksanaan Kerangka Umum juga diupayakan
merumuskan kerangka kebijaksanaan dan program
perubahan Kebudayaan dan peradaban. Sasaran pragmatik
ini merupakan realisasi dari pendekatan pembangunan
kebudayaan dan pariwisata, yaitu Pembangunan sebagai
proses perubahan Kerajaan dan peradaban.
Pertama, penulisan ini bergerak pertama sekali
melalui studi pustaka khususnya mengkaji berbagai tulisan
para penulis lokal Buton, mengklasifikasi aneka versi dan
dokumen tentang sejarah Buton khususnya Naskah Buton,
salah satu naskah dari 13 naskah yang ada di Indonesia.
Selanjutnya studi komparatif pustaka nasional maupun
referensi asing yang memiliki hubungan dengan sejarah dan
budaya Kerajaan di Sulawesi Tenggara.
Kedua, Penulisan terhadap sejarah kehidupan,
keberagamaan budaya dan adat istiadat kelompok-
kelompok etnikal Buton. Selanjutnya penelitian komparatif
yang dilakukan dengan adat istiadat Jawa, Sulawesi Selatan
dan kelompok-kelompok etnikal Nusantara yang lain
menjadi arah penelitian ini sebagai penguatan terhadap
identitas dan eksistensi sejarah Kebudayaan Buton masa
lampau yang sedang bergerak ke depan. Penulisan ini
praktis bergerak daiam kerangka participatory research,
satu dan lain hal, karena pelaku berasal dari varian
primordial yang ada. Standar tinggi penelitian dalam
kerangka PR ini diupayakan melalui pelibatan tokoh-tokoh
dan generasi muda, di antaranya diinteraksikan melalui
metaplan.
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
7
Sejarah dan Etnografi Buton
Ketiga, proses metaplan juga menjadi andalan dalam
perumusan kebijakan dan program gerakan pariwisata,
kebudayaan dan peradaban Buton Kepulauan.
Penulisan ini beruntung dapat melibatkan beberapa
informan kunci, tokoh adat, tokoh masyarakat, pemerhati
dan aktivis pengembangan budaya secara relatif
antargenerasi, sehingga hasil metaplan diharapkan cukup
mewakili pandangan tokoh adat aspirasi masyarakat,
akademisi yang relevan secara keilmuan melalui jenjang
seminar, bedah buku sampai tingkat budaya dalam Menuju
peradaban Buton Kepulauan. Seksi teknik yang ketiga ini
sungguh membuka dan mengawali berlangsung proses
participatory and action research (PAR) dalam
penyelenggarakan gerakan Kebudayaan dan peradaban ke
depan dan yang hanya berpihak ke masa depan : Provinsi
Buton Kepulauan.
B. Konsepsi Persebaran Kebudayan dan Etnografi
1. Arti dan pengertian Sejarah
Arti sejarah menurut Kuntowijoyo memiliki makna
harafiah : ‘pohon’ (syajaratun:bahasa Arab). Ada dua
macam pengarti annya; sejarah dalam arti negatif dan
sejarah dalam arti positif. Secara negatif bukan sebagai
mitos, filsafat, ilmu alam dan sastra, sebaliknya arti positif
sejarah dimaknai ilmu tentang manusia, waktu, sesuatu
yang bermakna sosial. Berdasarkan bentuk dan sifatnya
yaitu 1).sejarah sebagai peristiwa manusia yang hanya
sekali terjadi, 2) kisah yang sudah terjadi diungkap
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
8
Sejarah dan Etnografi Buton
kembali,3) sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang
memiliki obyek,teori, metode dan sistematis, 4) sejarah
sebagai seni bahwa sejarah meruapakn pengetahuan rasa
dengan ciri ; intuitif, imagjinasi, emosi dan gaya bahasa.
Bandingkan silsilah raja-raja Jawa dapat dilacak dari
silsilah Nabi Adam hingga raja-raja mataram
Islam,pelacakannya melalui prasasti, kitab serta bukti-
bukti sejarah lainnya (Bayu Aji, 2016:14),. Demikian pula
melacak silsilah raja dan Sultan Buton dapat dilacak
melalui kitab naskah kesultanan Buton yang dikenal
sebagai salah satu naskah dari 13 naskah yang ada di
Nusantara. Pelacakannya juga silsilah Nabi Muhamad
hingga Raja Buton Pertama Wakaaka atau juga dengan
nama Zamzawiah, juga pelacakan melalui prasasti Batu
podimba, kitab naskah “Buri Wolio” ( Tulisan Arab Gundul)
serta bukti sejarah lainnya
1.1. Difusi Kebudayaan Indonesia dan Konsepsi
Persebaran Penduduk.
Disertasi Koentjaraningrat (1958) mengacu tulisan
para ahli difusionisme dalam mengeksplanasi proses difusi
kebudayaan di Indonesia sebagai berikut: bahwa Sejak lama,
kira-kira mulai pertengahan abad ke-19, para sarjana telah
sadar bahwa kebudayaan-kebudayaan di Indonesia telah
dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan asing yang datang
dari daerah-daerah lain karena difusi.
Didalam garis besarnya ada suatu anggapan pada
para sarjana, bahwa daerah pulau-pulau Indonesia yang
besar, ialah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
9
Sejarah dan Etnografi Buton
juga sebagian dari Nusa Tenggara sampai kira-kira pulau
Flores, sejak berpuluh-puluh abad lamanya ada dibawah
pengaruh kebudayaan-kebudayaan asing yang datang dari
Asia, sedangkan daerah pulau-pulau disebelah timur
Sulawesi dan Sumbawa, ialah kepulauan Maluku Utara,
Maluku Selatan, dan Kepulauan Timor, sejak berabad-abad
lamanya ada dibawah pengaruh kebudayaan-kebudayaan
asing yang dari Irian dan Melanesia.
Didalam tahun 1868, terbitlah suatu kitab dari
seorang sarjana biologi bangsa Amerika, bernama
A.S.Bickmore, yang memandang akan soal tersebut diatas
dari sudut antopologi-fisik. Bickmore itu datang di Indonesia
dikirim oleh Lembaga ilmiah Boston Society of Natural
History. Dengan maksud untuk melanjutkan penyelidikan
terhadap kehidupan jenis-jenis ikan dan binatang-binatang
kerang di Indonesia, yang dalam abad ke-17 telah dimulai
oleh Rumphius. Disamping itu Bickmore telah menulis
sebuah kisah laporan perjalanan, berkepala Travels in the
East Archipelago (1868), yang memuat juga keterangan
tentang ciri-ciri suku-suku bangsa anak negeri Indonesia,
dipandang dari sudut ilmu antropologi fisik. Mengenai hal
itu beliau berkata bahwa penduduk Indonesia itu dapat
dibagi dalam tiga golongan : (a) golongan suku-suku bangsa
yang tinggal dipulau-pulau besar, di Filiphina dan Nusa
Tenggara sampai dengan Sumbawa, yang disebutnya
golongan Asia, termasuk ras Melayu ; (b) golongan suku-
suku bangsa yang tinggal disebelah timur dari daerah
tersebut dalam sub a yang disebutnya golongan Australi,
termasuk ras Papua ; (c) suatu golongan campuran yang
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
10
Sejarah dan Etnografi Buton
terdapat sekitar garis tapal batas antara kedua golongan
tersebut diatas.
Anggapan tentang adanya suatu .. “Daerah Barat” dan
suatu .. “Daerah Timur” di Indonesia, mendapat bantuan
banyak dari penyelidikan-penyelidikan ilmu perbandingan
bahasa di Indonesia. Bahwa bahasa-bahasa di Indonesia itu
merupakan anggota dari suatu rumpun bahasa yang lebih
besar, yang meliputi suatu daerah luas, ialah daerah pulau-
pulau di Lautan Teduh, dan yang pernah disebut rumpun
bahasa-bahasa Polynesia, kemudian rumpun bahasa Malayo-
Polynesia, kemudian rumpun bahasa-bahasa Austronesia,
telah lama disadari oleh para sarjana ilmu bahasa, mula-
mula oleh seorang sarjana ilmu bahasa bangsa Belanda,
A.Reland, dalam permulaan abad ke-18. kemudian
menyatakan bahwa ada suatu deret panjang dari sarjana-
sarjana yang telah memberi sumbangan yang banyak
terhadap pemecahan soal kekeluargaan bahasa-bahasa
Austronesia itu. diantara deret panjang itu, tampak sarjana-
sarjana seperti W. Marsden, J. Crawfurd, J.R.Logan,
W.Von Humboldt, A. Bastian, H.Kern J.Brandes,
W.Schmidt, O.Dempwolff, sebagai sarjana-sarjana yang
penting ; sedangkan berhubungan dengan soal pembatasan
antara bahasa-bahasa Austronesia sebelah barat dan
bahasa-bahasa Austeonesia sebelah timur, nama J. Brandes
lah yang muncul sebagai salah seorang sarjana yang paling
penting. Salah seorang sarjana yang mencoba memperkuat
anggapan tentang adanya suatu Daerah Barat dan suatu
Daerah Timur di Indoesia, adalah C,M. Pleyte Wzn. Dengan
mempelajari daerah difusi dari alat-alat senjata sampitan
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
11
Sejarah dan Etnografi Buton
dan busur, beliau mencoba memperlihatkan,, ........ an exact
demarcation between the western and eastern branches of
the Malayo-Polynesian race .....” (C.M.Pleyte Wzn, 1891-
a.265).
Sesudah menguraikan dimanakah di Indonesia
terdapat alat senjata sumpitan dan dimanakah terdapat alat
senjata busur, dan sesudah menyusun tempat-tempat itu
dalam suatu daftar yang panjang (C.M.Pleyte Wzn, 1891-
a.274-275), maka beliau sampai kepada kesimpulan bahwa
ada dua garis pembatasan yang membagi daerah kepulauan
Indonesia kedalam tiga daerah. Garis yang pertama berjalan
sebelah timur Filiphina, melalui Minahasa, membelok
kesebelah barat Sulawesi Selatan, membelok ke Timur
melalui sebelah timur Sumbawa kemudian membelok
kebarat lagi melalui sebelah barat Sumba. Adapun garis yang
kedua melalui sebelah timur Filiphina juga, melalui sebelah
barat Halmahera kemudian memotong melalui kepulauan
Maluku, kira-kira dipulau Buru dan memotong melalui pulau
Flores kira-kira di Manggarai. Demikian terjadi tiga daerah
yang tampak pada peta Indonesia,
Pada daerah sebelah barat, senjata pokok daripada
suku-suku bangsa yang tinggal disana adalah sumpitan.
Senjata busur hanya kadang-kadang dikenal pada beberapa
bangsa sebagai alat senjata penembak, atau sebagai
permainan anak-anak. Pada daerah tengah, senjata sumpitan
maupun busur tak ada. Sedangkan pada daerah timur, hanya
dikenal senjata busur. Dengan metode menggambarkan
difusi dari alat-alat senjata. Pleyte mencoba menerangkan
adanya tiga daerah kebudayaan di Indonesia yang kira-kira
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
12
Sejarah dan Etnografi Buton
cocok dengan tiga daerah ciri-ciri fisis dari penduduk
Indonesia menurut A.S. Bickmore dan yang kira-kira cocok
dengan daerah-daerah bahasa menurut J. Brandes.
Kecuali penyelidikan-penyelidikan difusi secara
sederhana, serupa dengan apa yang terurai diatas itu, Pleyte
pernah juga melakukan suatu penyelidikan tentang difusi
dari adat memotong kepala di Indonesia. Penyelidikan ini
bersifat lebih sederhana lagi, karena sebenarnya hanya
merupakan pembuatan suatu daftar saja tempat ada atau
pernah ada adat memotong kepala itu. (C.M.Pleyte Wzn, 189.
908-940).
Anggapan tentang adanya suatu Daerah Barat dan
Daerah Timur di Indonesia juga diselidiki dengan metode
kulturkreise oleh seorang sarjana, tidak kurang dari pada W.
Schmidt sendiri. Didalam tahun 1909 beliau mengumumkan
hasil suatu penyelidikan dihadapan suatu pertemuan
daripada lembaga pertemuan daripada lembaga Weiner
Anthropologischen Gesellschaft. Uraian itu kemudian
diperluas menjadi suatu karangan yang penting berkepala
Grundlinien einer Vergleichung der Religionen und
Mythologien der Austronesischen Volker. Didalam karangan
tersebut Schmidt mengembangkan teori bahwa didaerah
bahasa-bahasa Austronesia itu ada dua Kulturkreise.
Kulturkreis yang satu mempunyai sebagai unsur antara lain,
suatu mytologi yang berpusat kepada bulan. Kulturkreis
yang lain mempunyai sebagai unsur antara lain, suatu
mythologi bulan terdapat pada suku-suku bangsa Nias,
Batak. Dajak dan penduduk terutama di Pulau-Pulau Nusa
Tenggara sebelah timur, kepulauan Maluku Utara dan
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
13
Sejarah dan Etnografi Buton
Selatan, serta diberbagai pulau di Polinesia. Adapun daerah
perpaduan antara kedua Kulturkreise tadi adalah Sulawesi.
Pada tahun 1918 tampak didalam gelanggang ilmiah
suatu karangan yang memandang akan soal-soal difusi
kebudayaan Indonesia dari sudut Heliolithic Theory.
Karangan itu adalah karangan W.J. Perry yang membuat
suatu penyelidikan luas tentang bangunan-bangunan sisa-
sisa kebudayaan megalith di Indonesia (W.J. Perry, 1918).
Didalam penyeledikan tersebut Perry telah meletakkan
dasar bagi suatu teori lebih luas, yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut didalam sebuah kitab tebal yang
diterbitkan dalam tahun 1923. kitab itu yang bernama The
Children of The Sun, menerangkan bagaimana suatu
kompleks dari unsur-unsur kebudayaan yang disebut oleh
Perry, Archaic Civilization, dibawa dari Mesir ke Asia Barat,
ke India, ke Indonesia, kepulau-pulau di Lautan Teduh,
sampai di Amerika, oleh bangsa-bangsa yang berpindah
mencari kekayaan emas dan mutiara.
Kita kembalilah sekarang kepada anggapan tentang
adanya suatu Daerah Barat dan Daerah Timur didalam
kebudayaan Indonesia. Perlulah disebut disini bahwa
anggapan itu mendapat bantuan besar daru ilmu archeologi
prehistori. Ilmu ini, yang bermaksud menyelidiki sejarah
kebudayaan Indonesia dari zaman sebelum datang pengaruh
kebudayaan Hindu, adalah suatu ilmu yang masih amat
muda. Sungguhpun benda-benda tinggalan kebudayaan-
kebudayaan zaman pre-Hindu itu sudah terkenal dan
dikumpulkan didalam museum-museum sejak permulaan
abad ke-19, sungguhpun didalam tahun 1887 C.M. Pleyte
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
14
Sejarah dan Etnografi Buton
telah membuat suatu ichtisar dan klasifikasi sementara
daripada benda-benda artefak prehistoris yang terkumpul
didalam museum-museum di Indonesia maupun di negeri
Belanda (C.M.Pleyte Wzn, 1887) dan sungguhpun pada akhir
abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 ada suatu perhatian
besar dari kalangan para sarjana akan benda-benda
perunggu dari zaman prehistori Asia Tenggara, aktivitet
penggalian, pengumpulan dan klasifikasi daripada benda-
benda peninggalan kebudayaan-kebudayaan prehistori
Indonesia sebenarnya baru mulai sesudah tahun 1920.
Adapun penyelidikan dan penggalian-penggalian
yang mulai menjadi aktif itu terutama dilakukan oleh sarjana
seperti P.V. van Stein Callenfels, A.N.J.T. a T. Van der
Hoop dan H.R. van Heekeren. Hasil penggalian-penggalian
adalah kebudayaan-kebudayaan yang didalam ilmu
prehistori disebut kebudayaan paleolithicum dan proto-
neolithikum. Adapun analisa-analisa yang dilakukan oleh
sarjana-sarjana tersebut diatas dan juga oleh sarjana seperti
R. Von Heine Geldern menuju kearah anggapan adanya
beberapa persebaran bangsa-bangsa yang membawa
kebudayaan-kebudayaan proto-neolithicum,sedangkan
persebaran bangsa-bangsa tadi menyebabkan difusi-difusi
kebudayaan disebelah timur Indonesia. R. von Heine
Geldern, seorang sarjana ilmu anthropolgi-budaya yang
juga menaruh banyak perhatian kepada bahan archeologi
prehistori Indonesia, telah membuat suatu rekonstruksi dari
sejarah difusi kebudayaan neolithicum di Asia Tenggara
pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Di dalam
hal itu beliau telah mempergunakan dasar-dasar metode
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
15
Sejarah dan Etnografi Buton
Kulturkreise karena bahan kebudayaan neolithicum dari
Asia Tenggara itu dirangkaikan oleh beliau dengan lain
unsur kebudayaan-kebudayaan neolitichum di Asia
Tenggara itu diumumkan didalam beberapa karangan, dan
yang terpenting diantaranya adalah karangan yang
berkepala :
E.M. Loeb seorang sarjana ilmu antrhopologi budaya
bangsa Amerika yang terbukti juga seorang penganut
metode-metode aliran Kulturhistorisch. Loeb mencoba
mempelajari soal difusi kebudayaan di Indonesia dengan
mengambil suatu Kulturkompleks yang terdiri dari unsur-
unsur organisasi kemasyarakatan. Unsur-unsur itu adalah
cross-cousin marriage, persekutuan-persekutuan yang
berupa clan adat perkawinan exogami, susunan moiety, adat
pantangan-pantangan didalam hubungan dengan kerabat-
kerabat yang tertentu, dan istilah mama untuk saudara laki-
laki ibu.
Kompleks unsur-unsur kebudayaan ini dianggap oleh
Loeb asal dari daerah India Tengah dan kemudian
didifusikan melalui Indonesia ke Oceania. Di Indonesia
kompleks itu tampak di dalam organisasi masyarakat suku-
suku bangsa Batak dan Minangkabau. Teori difusi ini
diuraikan oleh Loeb didalam dua karangan, yang satu
termaktub dalam majalah Antrhopos (E.M.Loeb, 1933) dan
yang lain dalam majalah American Anthropologist
(E.M.Loeb, 1933-1934)
Pada akhirnya perlu disebut sebuah penyelidikan
difusi kebudayaan yang mempergunakan metode klasifikasi
Kulturkreise dan Kultuschicten. Penyeledikan itu
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
16
Sejarah dan Etnografi Buton
dilakukan oleh B.A.G. Vroklage, seorang pendeta penyiar
agama nasrani serta sarjana ilmu Anthropologi-Budaya
aliran W. Schimidt dan meliputi kebudayaan-kebudayaan,
suku-suku bangsa di Kalimantan, suku-suku bangsa di
Sulawesi dan suku-suku bangsa di kepulauan Maluku Utara
dan Selatan (B.A.G. Vroklage, 1936).
Didalam daerah tersebut Vroklage berhasil
mendapatan sembilan Kulturkreise dan Kulturschicten yang
mengandung Kulturkompleks yang terdiri dari banyak unsur
kebudayaan, terutama unsur-unsur organisasi kemasyara
katan dari suku-suku bangsa yang hidup didaerah-daerah
tersebut. Kesembilan Kulturkreise dan Kulturschicten itu
dianggap oleh Vroklage hasil dari delapan macam difusi
unsur-unsur kebudayaan asing, yang dibawa masuk ke
Indonesia oleh delapan migrasi bangsa-bangsa asing yang
asal dari berbagai jurusan. Sarjana lain yang pernah
memperhatikan soal difusi kebudayaan-kebudayaan, masih
dapat kita tambah dengan nama J. Kunst. seorang sarjana
musikologi.
J.Kunst pernah membuat suatu penyeledikan
perbandingan antara alat-alat bunyi-bunyian beberapa
bangsa yang tinggal didaerah Balkan, Rusia Selatan dan Asia
Barat dan berbagai alat bunyi-bunyian di Indonesia. Karena
beliau mendapatkan bahwa memang ada persamaan, maka
beliau membandingkan lain-lain unsur kebudayaan untuk
mendapatkan persamaan lebih lanjut. Persamaan-
persamaan terdapat didalam hal motif perhiasan, maka
berdasarkan atas Kulturkompleks sederhana yang terdiri
dari dua unsur, ialah alat-alat musik dan perhiasan itu.
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
17
Sejarah dan Etnografi Buton
J.Kunst berkesimpulan bahwa beliau telah memperkuat
teori-teori tentang adanya hubungan-hubungan
Kulturhistorisch antara Asia Barat dan Indonesia (J.Kunst,
1953).
1.2. Teori Difusi kebudayaan Yang dipakai oleh Para
Penyelidik Indonesia.
Sesudah melakukan suatu peninjauan sepintas lalu
didalam karangan-karangan mengenai difusi kebudayaan
tersebut diatas, maka terbukti bahwa disamping metode-
metode sederhana untuk menyelidiki persebaran unsur-
unsur kebudayaan di Indonesia ada pula dua buah metode
penting yang yang dipakai didalam penyelidikan-
penyelidikan itu. kedua metode itu akan kita tinjau lebih
lanjut dibawah ini didalam susunan urut sebagai berikut .
2.1. Metode klasifikasi Kulturkreise dan Kulturschichten
yang dikembangkan oleh para sarjana ilmu
anthropologi-budaya dari Jerman dan Austria.
2.2. Heliolithic Theory yang dikembangkan oleh G. Elliot
Smith dan W.J. Perry di Inggris.
2.3. Metode klasifikasi Kulturkreise dan Kulturschicten.
Diatas telah dikatakan bagaimana anggapan dasar
tentang difusi unsur-unsur kebudayaan yang
dikembangkan oleh F. Ratzel itu, melalui sarjana-
sarjana ilmu geografi seperti L. Frobenius dan B.
Ankermann, sampai kepada F.Graebner. sarjana
tersebut terakhir ini telah mengolah lebih lanjut
anggapan Ratzel itu sehingga terjadi metode tentang
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
18
Sejarah dan Etnografi Buton
klasifikasi kebudayaan-kebudayaan kedalam
Kulturkreise dan Kulturschichten. Bagaimanakah
Graebner sampai kepada teori itu akan kita
perhatikan tingkat demi setingkat dibawah ini.
Apabila seorang penyelidik mendapatkan di dua
tempat A dan Z yang amat berjauhan letaknya satu dengan
yang lain di dunia ini, ada dua unsur kebudayan x dan x1
yang berdasarkan Qualitats Kriteriumnya menundukkan
persamaan satu dengan yang lain, maka menurut Graebner
si penyelidik harus terlebih dahulu memperhatikan akan ada
kemungkinan-kemungkinan hubungan dalam masa lampau
antara kedua bangsa yang tinggal di A dan Z tadi terlebih
dahulu berusaha untuk mencari bukti-bukti daripada
hubungan dalam masa lampau itu. Apabila dengan segala
macam usaha, kemungkinan akan hubungan itu tak mungkin
dapat dibuktikan, maka bolehlah si penyelidik memikirkan
ada kemungkinan daripada suatu perkembangan atau
evolusi yang dijajar dari unsur-unsur kebudayaan x dan x1
itu ditempat A dan Z. Seorang penyelidik yang membuat
suatu penyelidikan perbandingan antara kebudayaan di A
dengan kebudayaan di Z, yang mengandung unsur x dan x1
yang sama itu, mungkin sekali akan mendapatkan bahwa
kecuali unsur x di A tadi masih ada unsur-unsur lain yang
sama dengan unsur-unsur lain di Z.
Demikian apabila di A terdapat berbagai-bagai unsur,
misalnya suatu benda berupa ikat pinggang dari kulit kayu,
rumah-rumah dengan atap yang berbentuk kerucut, kapal-
kapal lesung, penyandar-penyandar kepala dari kepala kayu
yang dipakai untuk tidur, pelempar tombak, sistem
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
19
Sejarah dan Etnografi Buton
kekerabatan patrilinear upacara-upacara inisiasi, dongeng-
dongeng matahari dalam mytologi, adat penguburan diatas
panggung dan lain-lain, mungkin sekali di Z semua atau
sebagian besar daripada unsur-unsur kebudayaan tersebut
diatas juga ada. Prinsip didalam metode membandingkan
dua kebudayaan yang mewajibkan perhatian akan
persamaan-persamaan bentuk dari sebanyak mungkin
unsur-unsur kebudayaan inilah yang disebut oleh para
sarjana prinsip Quantitats-Kriterium. Semua unsur dalam
satu kebudayaan yang menunjukkan persamaan bentuk
dengan unsur-unsur serupa itu juga dalam lain-lain
kebudayaan, disebut oleh para sarjana suatu
Kulturkompleks. Perwujudan lahir yang sama daripada
kompleks-kompleks kebudayaan diberbagai tempat dimuka
bumi ini diterangkan oleh Graebner sebagai suatu hal yang
logis sekali.
Graebner menyatakan bahwa bangsa-bangsa yang
didalam jangka waktu yang panjang berpindah daru satu
daerah kedaerah lain itu jarang sekali membawa hanya satu
unsur dari kebudayaannya, tetapi selalu membawa suatu
kompleks unsur-unsur. Demikian pada hakekatnya.
Kulturkompleks tersebut tidak hanya akan ada dalam
kebudayaan-kebudayaan ditempat A dan ditempat Z, tetapi
dalam kebudayaan-kebudayaan dibanyak tempat lain
diantara A dan Z, yang dahulu dilalui oleh bangsa pembawa
Kulturkompleks tadi, waktu mereka berpindah dari tempat
A ke Z, kebudayaan-kebudayaan ditempat-tempat lain, ialah
B, C, D, E, dan sebagainya itu, yang semua mempunyai
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
20
Sejarah dan Etnografi Buton
Kulturkompleks kita tadi, oleh Graebner diklasifikasikan
menjadi satu bersama A dan Z, dengan diberi Kulturkreis.
Kecuali kedua prinsip terurai diatas , ada suatu
prinsip lain yang amat penting didalam teori Graebner, ialah
prinsip Ferninterpretation. Ada kemungkinan bahwa kedua
daerah A dan Z tadi terletak demikian jauh satu dengan lain
dimuka bumi ini, sehingga pada pandangan pertama,
hubungan didalam zaman dahulu sukar dapat disanggakan.
Apakah persamaan diantara kedua kebudayaan ditempat A
dan Z itu tidak hanya berdasarkan atas Qualitas-Kriterium,
tetapi juga atas Quantitas-Kriteriumnya. Apabila terbukti
ada persamaan dari dua kompleks unsur-unsur kebudayaan
berdasarkan atas kedua kriterium tadi, maka betapa jauh
juga letaknya A dan Z, harus ditarik kesimpulan bahwa
persamaan antara kebudayaan di A dan kebudayaan di Z itu
adalah hasil difusi. Difusi yang menghubungkan jarak jauh
itu diinterpretasikan oleh Graebner dengan dua cara :
a. Mahluk manusia itu pada hakekatnya asal dari satu
tempat dimuka bumi ini, demikian bangsa-bangsa
yang sekarang tinggal berjauhan ditempat A dan Z itu,
didalam zaman dahulu mungkin merupakan bangsa-
bangsa tetangga.
b. Jarak jauh itu hanya soal yang amat relatif, karena hubungan antara bangsa-bangsa di A dengan bangsa-bangsa di Z itu mungkin sekali berlangsung secara berangkai melalui satu bangsa tetangga kebangsa tetangga berikutnya ; demikian difusi mungkin berlangsung melalu suatu Kontaktserie (F.Graebner, 1911, 153).
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
21
Sejarah dan Etnografi Buton
Pada satu tempat yang tertentu, biasanya ada
kebudayaan yang tidak hanya mengandung satu
Kulturkompleks yang tertentu, tetapi suatu campuran dari
beberapa Kulturkompleks. Hal ini disebabkan karena
didalam masa yang lampau ada banyak Kulturkompleks
yang pada laku difusinya bersimpang siur, dan saling
berpaduan dan bercampur pada berbagai tempat dimuka
bumi ini. Percampuran dari Kulturkompleks itulah, yang
menyebabkan bahwa menentukan suatu Kulturkreis itu
menjadi suatu pekerjaan yang sulit. Pada suatu tempat yang
tertentu, Kulturkompleks yang berpadu itu datang pada
zaman yang berbeda-beda, sehingga terjadi seolah-olah
lapisan daripada Kulturkompleks itu. lapisan-lapisan itulah
yang oleh Graebner disebut Kultur schichten.
Metode Graebner untuk mengklasifikasikan semua
kebudayaan didunia mengenai dimensi ruangnya kedalam
beberapa Kulturkreise dan mengenai demensi waktunya
kedalam beberapa Kulturschichten, telah disempurnakan
oleh W. Schmidt, yang kemudian mempergunakan metode
itu dalam usahanya untuk merekonstruksikan kembali
sejarah persebaran kebudayaan-kebudayaan di seluruh
dunia. Meskipun metode klasifikasi Kulturkreise-
Kulturschichten itu telah mendapat kritikan, yang biasanya
juga dilangsungkan terhadap lain-lain aliran Historisme
pada umumnya.
Bahwa metode klasifikasi Kulturkreise-
Kultursxhichten itu berdasarkan atas Kulturkompleks dari
pada unsur-unsur yang diambil lepas dari hubungan
berfungsi dengan masyarakatnya. Lebih lanjut kritikan dasar
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
22
Sejarah dan Etnografi Buton
itu juga bahwa Kulturkompleks yang ditentukan oleh para
penganut teori Kulturkreise itu hanya abstraksi-abstraksi
yang subjektif belaka. Kritikan ini kemudian diperhatikan
pula dan seorang sarjana anggota aliran W. Schimdt,
bernama V. v. Bulck, telah mencoba untuk lebih
menyempurnakan lagi metode Kulturkreise sebagai berikut :
a. Memperhatikan cara-cara untuk memandang akan
unsur-unsur kebudayaan daripada suatu Kultur
kompleks didalam rangka hubungan berfungsi
dengan masyarakat ;
b. Memperhatikan cara-cara untuk memperhatikan
secara detail proses-proses perpaduan antara
kebudayaan-kebudayaan didalam simpang siur difusi
itu :
c. Mempelajari daerah-daerah difusi yang terbatas.
Dengan pengolahannya yang terakhir itu, metode
Kulturkreise mendekati anggapan F. Boas tentang
penyelidikan difusi kebudayaan.
1.3. Heliolithic Theory
Teori ini, yang mula-mula dikembangkan oleh G.Elliot
Smith itu berdasarkan prinsip-prinsip bahwa : a) mahluk
manusia itu pada dasarnya tidak bisa menemukan dan
memperkembangkan satu usur kebudayaan baru untuk dua
kali ; b) karena itu persamaan antara unsur-unsur
kebudayaan yang ada diberbagai tempat didunia itu, harus
terutama diterangkan sebagai hasil difusi :c) didalam proses
difusi kebudayaan-kebudayaan dimuka bumi ini,
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
23
Sejarah dan Etnografi Buton
kebudayaan Mesir memegang suatu peranan penting,
sebagai sumber yang terutama. Diatas prinsip-prinisp itu
W.J. Perry mengolah Heliolithic Theory itu lebih lanjut.
Didalam sebuah kita tebal bernama The Children of The Sun,
beliau menerangkan teorinya itu yang dalam garis besarnya
berbunyi seperti apa yang termaktub dibawah ini. Didalam
zaman purba ada suatu difusi kebudayaan secara besar-
besaran yang berpangkal di Mesir. Kebudayaan itu, yang
disebut oleh Perry Archaic Civilization, dibawa oleh bangsa-
bangsa yang didalam jaman purba berpindah dari satu
tempat dimuka bumi ketempat yang lain untuk mencari
kekayaan didalam bentuk emas dan mutiara. Perpindahan
bangsa-bangsa itu berpangkal di Mesir dan Archaic
Civilization yang dibawa itu terdiri dari unsur-unsur
kebudayaan sebagai berikut .
a. Pertanian dengan irigasi ;
b. Bangunan-bangunan besar yang dibuat dari batu-
batu besar seperti piramid, dolmen, cromlech dan
lain-lain
c. Seni pahat patung-patung tembikar ;
d. Seni pembuatan benda-benda tembikar ;
e. Seni pandai benda-benda logam ;
f. Pemakaian benda-benda batu yang diasah ;
g. Suatu lapisan masyarakat yang berkuasa dan yang
menyebut diri keturunan matahari
h. Suatu religi yang menyembah matahari ;
i. Suatu kepercayaan kepada seorang tokoh dewi
bumi ;
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
24
Sejarah dan Etnografi Buton
j. Suatu kepercayaan kepada seorang tokoh dewa
pembawa adat, terutama mytologi
k. Adat munifikasi ;
l. Upacara-upacara berkorban manusia berhubung
dengan upacara-upacara bertani
m. Sistem masyarakat berdasarkan mother-right
n. Organisasi masyarakat dalam clean-clean
bersangkut paut dengan toteisme ;
o. usunan masyarakat dengan dual organization ;
p. Adat perkawinan eksogami.
Di tempat-tempat yang didatangi oleh bangsa-bangsa
pembawa Archaic Civilization itu, maka tumbullah negara-
negara besar dengan suatu kebudayaan yang tinggi.
Kebudayaan itu dikuasai oleh seorang raja yang
menganggap diri keturunan matahari. Kekayaan negara
disebabkan karena emas atau mutiara yang didapatkan.
Lamban laun kebesaran negara-negara itu mundur dan
golongan-golongan bawahan dalam negeri mulai berusaha
untuk merobohkan raja matahari itu dengan pemberontakan
dan akhirnya negara Archaic Civilization ditiap-tiap
tempatnya masing-masing runtuh satu demi satu. Dengan
demikian proses kehidupan kebudayaan-kebudayaan
manusia menurut Perry bukan terutama evolusi dari tingkat
tinggi kearah keruntuhan. Beliau malahan pernah berbicara
tentang adanya kebudayaan-kebudayaan yang berlalu
menghilang, “......civilization passed away ...’(W.J.Perry, 1923.
45).
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
25
Sejarah dan Etnografi Buton
Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa penganut
prinsip-prinsip dasar Heliolithic Theory , terdapat beberapa
hal yang dapat kita ajukan sebagai celaan terhadap Perry
sebagai berikut. Pertama, Kritikan terhadap Perry yang
mengambil lepas unsur-unsur kebudayaan dari
hubungannya dengan masyarakatnya masing-masing dan
merangkaikan unsur-unsur kedalam satu kompleks (ialah
kompleks Heiolithic atau Archaic Civilization ) hanya
berdasarkan keadaan bahwa unsur tadi dipandang secara
kasar, kira-kira terdapat bersamaan apabila digambar pada
peta. Kedua, unsur-unsur yang dirangkaikan oleh Perry
kedalam kompleks Heolithic Civilization itu, pada
hakekatnya tidak sama satu dengan lain.
Piramid di Mesir berbeda bentuk, arti, maupun
fungsinya daripada bentuk piramid di Mexico ; seni
pembuatan periuk belanga di India berbeda dengan seni
permbuatan periuk di Indonesia dan sebangainya. Tetapi
rupanya Perry dengan sengaja mengabaikan detail ini
berdasarkan suatu alasan yang kami sukar dapat mengerti.
Kecuali, beliau memakai bahan keterangan yang berupa
native explanation sebagai bahan bukti untuk memperkuat
teorinya. Ketiga, beliau mempergunakan pengertian-
pengertian yang rupa-rupanya kurang beliau pahami. Hal ini
misalnya tampak pada suatu cara berfikir sebagai berikut :
hilangnya pertanian, menyebabkan hilangnya motherright,
menyebabkan timbulnya fatherright dan menyebabkan
timbulnya peperangan (W.J. Perry, 1923, 252). Keempat,
caranya memberi bukti seringkali sukar untuk diikuti.
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
26
Sejarah dan Etnografi Buton
Uraiannya tersebut diatas yang bermaksud
membuktikan bahwa bangsa-bangsa pemangku kebudayaan
Archaic Civilization itu, bangsa-bangsa yang suka
perdamaian, tetapi dari bahan keterangan terbukti bahwa
mereka itu membangun benteng-benteng yang ....beyond
doubt .....were built without reason” (W.J.Perry, 1923,161).
Benteng itu dibangun hanya sebagai kebiasaan saja, kata
Perry, karena ditanah asal dari bangsa-bangsa itu
peperangan-peperangan sudah mulai dikenal. Kemudian
beliau berkata ..Warlike peoples of the earth have not
usually been given to the marking of fortifications, and this
makes the peaceful nature of the people of the archaic
civilization more probable” (W.J.Perry, 1923,161-162).
Keenam, kitab tebal itu pada beberapa tempat menunjukkan
kelemahan-kelemahan mengenai nyata dalam hal-hal
khusus. Banyak sekali celaan-celaan lain terhadap Perry dan
juga terhadap Elliot Smith termaktub misalnya didalam
Kitab R.H. Lowie tentang The history of Ethnological theory
(R.H. Lowie, 1937, 160-169) dan didalam banyak karangan
lain dari orang-orang sarjana lain, yang umumnya menyebut
Heliolithic Theory itu suatu teori difusi yang terlampaui
ekstrim.
Dengan demikian, kajian etnografi sejak Malinowski
dan Radcliffe di Inggris,memusatkan diri pada kajian secara
mikro yang memusatkan pada masyarakat Desa, sementara
akhli sosiologi berorientasi pada masyarakat Kota. Dengan
demikian ahli antropologi mulai meninggalkan pendekatan
terhadap kebudayaan manusia secara makro dengan ruang
lingkup seluas dunia seperti yang tampak teori-teori yang
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
27
Sejarah dan Etnografi Buton
dikembangkan secara deduktif oleh para ahli evolusionisme
dan difusi unsur-unsur kebudayaan sebagaimana diuraikan
diatas. Namun untuk kepentingan analisis kedua teori
tersebut diatas disandingkan. Teori difusi dan akultrasi
menganalisis sejarah persebaran dan proses akultrasi dalam
sejarah dan rentang perjalanan terbentuknya kerajaan
Buton, sementara kajian etnografi akan memfokuskan diri
pada kajian mikro tentang proses perubahan dalam lingkup
mikro.
2. Etnografi
Secara harafiah etnografi terdiri kata etnos berati
suku dan graphein berarti tulisan atau deskripsi. Etnografi
adalah deskripsi suku bangsa. Etnografi biasanya juga
diartikan kebudayaan dalam arti sempit yang mengandung
dua pengertian yaitu merupakan hasil penelitian yang
diperoleh dengan prosedure etnografi dan sebagai proses
pelaksanaan penelitian; kedua, etnografi sebagai hasil
penelitian berdasarkan teori dan metode sesuai dengan
paradigma yang mendasari penelitian etnografi itu sendiri
(Agar,1980:1).
Menurut Spradley (1979:3) etnografi adalah usaha
mendiskripsikan suatu kebudayaan,suatu kelompok atau
suku bangsa. Pada hakekatnya bahwa etnografi
dijelaskannya sebagai sesuatu aktifitas yang bertujuan untuk
memahami cara atau pandangan hidup sutu kelompok
masyarakat menurut pandangan orang atau bangsa itu
sendiri. Kerja etnografi disebut fied work atau kerja
lapangan, dalam proses kerja lapangan akhli etnografi
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
28
Sejarah dan Etnografi Buton
mempelajari, memahami kebudayaan suatu kelompok
masyarakat dengan cara belajar dari orang atau masyarakat
(learning from people) melalui cara hidup misalnya
bagaimana pandangan mereka terhadap dunianya, terhadap
hubungan berperilaku antar individu dan masyarakatnya,
bagaimana cara mereka menghasilkan dari hasil
pencahariannya, dan bagaimana mereka memper tahankan
hidup (Struggle for life).
2.1. Konsep Kebudayaan dan Hubungannya dengan
Etnografi
Bila kita memperhatikan suatu masyarakat maka
dapat dilihat bahwa para warganya walaupun mempunyai
sifat-sifat individual Yang berbeda akan mamberi reaksi
yang sama pada gejala-gejala tertentu, sebab dari reaksi
yang sama itu adalah karena mereka memiliki sikap-sikap
umum yang sama, nilai-nilai yang sama dan perilaku-
perilaku yang sama. Hal-hal yang dimiliki bersama itulah
yang dalam antropologi budaya dinamakan “kebudayaan”.
Para etnografi inilah mereka kelapangan untuk
mendiskripsikan unsur-unsur kebudayaan yang sifat
universil ( unsur yang dapat ditemukan disemua suku
bangsa didunia). Antropolog Spradley (1979 : 5)
mendevinisikan “kebudayan suatu pengetahuan yang
dipengalamannya dan menggeneralisasikan perilaku sosial
dalam suatu kelompok masyarakat’.
2.2. Kerja Lapangan
Sejak tahun 1830 Field work etnografi telah
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
29
Sejarah dan Etnografi Buton
meninggalkan kajian penelitian secara makro dan lebih
memfokuskan diri pada kajian secara mikro. Sebagaimana
yang diaktori ahli atropologi B. Malinowski (1922) tentang
sistem perdagangan “Kula” di Melanesia New Guinea dan
J.H. Steward (1956) tentang orang Puerto Rico. Karena itu
kerja lapangan dilakukan dengan metode-metode yaitu
metode observasi partisipasi dan wawancara mendalam,
maka seorang etnograf sekurang-kurangnya mengetahui
paling sedikit dua bahasa utamanya bahasa inggris dan
bahasa lokal ( obyek penelitian). Bahasa bukan hanya sarana
komunikasi tentang realitas akan tetapi juga sebagai alat
untuk merekonstruksi realitas lampau. Ketika etnografer
menggunakan penterjemah bahasa lokal tetapi tidak
menguasai bahasa lokal (native) pada tingkat tertentu maka
ia akan mengalami kesulitan untuk memahami cara berpikir,
cara berlaku dan bertindak dan terhadap asumsi mereka
tentang pengalaman. Karena itu, para etnograf sebelum
terjun kedaerah obyek, terlebih dahulu mempelajari
sejumlah daftar kata dari bahasa pribumi untuk
memudahkan sasaran penelitiannya.
Mendiskripsikan Etnografi perlu memahami
klasifikasi suku bangsa yang diteliti. Hildert Geertz (1980)
mengkalisifikasi kebudayaan suku bangsa di indonesia
kedalam 3 kategori, 1) Kebudayaan masyarakat petani
beririgas yang berkembang di pulau Jawa dan Madura,
kebudayaan dipengaruhi oleh Hinduisme yang kuat
berorientasi status, 2) kebudayaan pantai yang diwarnai
islam berorientasi pedagang seperti Makassar, Melayu dan
Kalimantan yang mengutamakan pensisikan agama serta
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
30
Sejarah dan Etnografi Buton
bentuk tari,musik dan kesustraan dan 3) kebudayaan
masyarakat peladang. Seperti orang toraja, Dayak,
Halmaherah, Gayo, Aceh
C. Skematik Proses Perubahan Sosial budaya
Ahli sejarah Arnold Toynbee (1972:228) menyebutkan
tentang proses perubahan kebudayaan sebagai persuasive
Process:
Selama disintegrasi suatu peradaban terjadi,
terdapat dua drama terpisah dengan alur cerita
yang berlainan sedang dimainkan secara
serempak dan berdampingan. Sementara suatu
minoritas dominan yang tak berubah tetapi
berlatih dengan kekalahannya sendiri, tantangan-
tantangan baru terus-menerus mengundang
tanggapan-tanggapan kreatif mereka sendiri
dengan setiap kali bangkit menuju peristiwa itu.
Drama tantangan-dan-tanggapan itu tetap
dimainkan terus, tetapi dalam situasi yang baru
dan dengan permainan-permainan yang baru
pula.
Proses perubahan sosial merupakan indikan dari
proses perubahan kebudayaan. Proses perubahan sosial
dapat diketahui dengan adanya ciri-ciri tertentu,
diantaranya :
• Tidak ada masyarakat yang berhenti
perkembangannya, karena setiap masyarakat
mengalami perubahan yang terjadi secara lambat
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
31
Sejarah dan Etnografi Buton
atau secara cepat.
• Perubahan yang terjadi pada lembaga
kemasyarakatan tertentu, akan diikuti pada
perubahan-perubahan pada lembaga lembaga-
lembaga sosial lainnya.
• Perubahan sosial yang cepat biasanya
mengakibatkan disorganisasi yang bersifat
sementara karena berada di dalam proses
penyesuaian diri.
• Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada
bidang kebendaan atau bidang spiritual saja,
karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan
timbal-balik yang sangat kuat.
Beberapa Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan
kedalam beberapa bentuk, yaitu :
• Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama,
dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling
mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi.
• Unilinear theories of evolution: Teori ini pada pokok
pendapat bahwa manusia dan masyarakat (termasuk
kebudayaannya) mengalami perkemba ngan sesuai
dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang
sederhana sampai tahap sempurna.
• Universal theory of evolution: menyatakan bahwa
perkembangan masyarakat tidaklah perlu melalui
tahap-tahap tertentu yang tetap.
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
32
Sejarah dan Etnografi Buton
• Multilined theories of evolution: Teori ini lebih
menekankan pada penelitian - penelitian terhadap
tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi
masyarakat.
• Perubahan kecil dan perubahan besar : Perubahan
kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada
unsur-unsur social yang tidak membawa pengaruh
langsung atau berarti bagi masyarakat.
• Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau
perubahan yang direncanakan (planned-change) dan
perubahan yang tidak dikehendaki (unitended-
change) atau perubahan yang tidak direncanakan
(unplanned-change).
Faktor –faktor yang menyebabkan perubahan Sosial ,
menurut ahli sosiologi Indonesia (Sumardjan: 1964:489)
sumbernya dapat didalam masyarakat sendiri dan ada
letaknya bersumber dari luar antara lain adalah: bertamah
atau berkurangnya penduduk, pemeuan baru, konflik,
terjadinya pemborontakan, atau revolusi, terjadinya
perubahan politik dan kebijakan pemerintah. Faktor yang
mempengaruhi perubahan sosial antara lain kontak dengan
kebudayaan lain, sistem pendidikan formal yang maju, sikap
menghargai karya seseorang, toleransi terhadap perbuatan
menyimpang (deviant), sistem terbuka lapisan masyarakat,
penduduk yang heterogen, ketidak puasan masyarakat pada
bidang bidang kehidupan tertentu, orientasi masa depan.
Adapun Faktor yang menghalangi terjadinya proses
perubahan sosial antara lain: kurangnya hubungan dengan
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
33
Sejarah dan Etnografi Buton
masyarakat lain, lambatnya perkembangan ilmu
pengetahuan, sikap masyarakat yang sangat tradisional,
keberakaran kepentingan, rasa takut terjadinya kegoyahan
pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang
baru atau sikap tertutup, faktor ideologis, orientasi nilai
bahwa hidup itu buruk.
Perubahan kebudayaan dalam kaitannya dengan
pembangunan masyarakat terasing di Indonesia, Ahli
antropologi Indonesia, Koentjaraningrat (1993:345)
mengemukakan 3 (tiga) macam pengaruh unsur-unsur dari
luar yaitu: (1) pengaruh yang dipaksakan dengan tujuan
untuk mencapai perubahan dengan cepat bahkan mendadak;
(2) pengaruh yang memang dipaksakan tetapi tanpa
mengharapkan perubahan yang cepat, (3) pengaruh yang
tidak dipaksakan tetapi yang di adopsi dan di integrasikan
dalam kehidupan para warga masyarakat terasing itu atas
kehendak mereka sendiri. Lebih lanjut Koentjaraningrat
(1980) mengklasifikasi paling sedikit lima konsepsi
perubahan Kebudayaan terdiri perubahan dari dalam yakni
Discavery dan Invention adalah perbahan terjadi akibat
penemuan dalam kebudayaan sendiri. Perubahan
kebudayan dari luar terjadi sebagai akibat kontak dengan
unsur-unsur kebudayaan lain, melalui proses difusi yakni 1)
akultrasi adalah kontak kebudayaan tetapi masing-masing
tidak meninggalkan keasliannya seperti Candi Brobudur
sebagai pengaruh kebudayaan India tetapi fakta
menunjukan bahwa bentuk candi brobudur banyak berbeda
dengan candi yang ada di India. 2) Asimilasi adalah bentuk
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
34
Sejarah dan Etnografi Buton
perubahan terjadi sebagai akibat kontak antar dua
kebudayan tetapi menjadi hilang keasliannya,
Piliang (1999:334) mengemukakan bahwa
masyarakat mengalami perubahan vertikal dan horisontal
yang disebabkan oleh faktor :Sistem Teknologi, Ekonomi
Globalisasi, Tekanan Moral. Masa menjelang perang dunia
II sekitar tahun 1930 perhatian ilmu antropologi terhadap
terhadap masalah perubahan kebudayaan diantara
berbagai bangsa didunia, Asia, Afrika, Oseania dan Amerika
latin. Hal tersebut disebabkan pengaruh sistem ekonomi,
pendidikan dan organsasi sosial yang dibawa orang Eropa
barat dan Amerika Serikat sebagai penjajah. Perubahan
kebudayaan bangsa terjajah tersebut disebabkan timbulnya
kepandaian, dan kemampuan melawan sistem kolonialisme.
Ahli antropologi Van Baal menyatakan bahwa
asimilasi terjadi pada kebudayan Ambon yang
dinyatakannya sebagai pengaruh Kebudayaan Belanda,
karena itu hilang keasliannya dan 3) simbiotik adalah
bentuk kontak dua buah kebudayaan yang saling
berhadapan tetapi masing-masing mempertahankan
kebuda-yaanya seperti komunitas Cina di Indonesia. Ralp
Linton dalam analisis kebudayaan (1980) menyatakan
bahwa prosentase keaslian suatu suku bangsa dimanapun
didunia menyisahkan paling banyak 15 % selebihnya akibat
kontak dengan kebudayaan lain. Jalannya suatu proses
akultrasi, mengikuti Steward (1955) bahwa perbedaan
dalam proses prubahan kebudayaan itu juga mengenai azaz
azaz kehidupan kekerabatan dan beberapa upacara
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
35
Sejarah dan Etnografi Buton
keagamaan. Ia menguraikan bagaimana petani tembakau
mengubah berbagai pranata sosial dan adat istiadat dalam
menghadapi tekanan eknomi dengan cara petani kopi di
daerah pegunungan.
Menurut. Steward menggunakan metode holistik
bahwa semua aspek budaya saling tergantung, tetap tidak
sama semua ciri untuk menentukan kehidupan masyarakat.
Ada tiga prosedure dalam ekologi budaya, (1) saling
hubungan antara teknologi eksploitasi dan teknologi
Prodktif, (2) pola prilaku dalam eksploitasi dari kawasan
tertentu oleh teknologi tertentu mesti dianalisis, 3) sejauh
mana pola prilaku terlibat dalam eksploitasi lingkungan.
mempengaruhi. aspek lain dari budaya Proses
pekembangan sejajar disebut inti kebudayan sebagai unsur
primer seperti; mata pencaharian, organisasi sosial dan
kepercayaan. Aspek lain yang tdk sejajar sebagai unsur
sekunder seperti, teknologi, pengetahuan dan kesenian.
Unsur yang sejajar tersebut disebabkan faktor lingkungan
memaksa kearah tertentu pula
Geertz (1963) mengkaji tentang kemiskinan di Jawa
dan membandingkan kepadatan penduduk jawa dan luar
jawa menyebabkan adaptasi berbeda di dua wilayah
tersebut. Fox (1977) mengkaji bentuk ekonomi palma di
pulau Rote dan Sawu dengan perladangan penduduk Timur
dan Sumba. Kondisi lingkungan kritis – penduduk
bertambah, maka pohon palma menjadi sumber ekonomi
dan terjadilah perubahan struktur sosial. Moran (1979: 9)
menyebutkan ada empat indikator adaptasi berhasil yaitu :
(1) kesehatan meningkat,(2) tingkat penghasilan dari
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
36
Sejarah dan Etnografi Buton
belanja keluarga, (3) hubungan sosial untuk menunjang
hidup, (4) pengembangan cara hidup yang lebih bak
Teori klasik secara makro tetap digunakan sebagai
fondasi besar menganalisis sejarah kebudayaan daerah yang
diteliti yakni mulai teori evolusionisme, evolusi multilineal,
difusionisme, neofungsionalisme, teori ekologi budaya
hingga teori-teori posmodernisme yang mengkonsepsikan
bahwa kebudayaan adalah praktik kekuasaan dan
kekuasaan ada dimana-mana. Teori ini lebih pada kajian
secara mikro yang memfokuskan diri pada komunitas desa
hingga masyarakat kota, baik secara historis maupun
masyarakat kontemporer.
Teori Posmodernisme yang mengkonsepsikan bahwa
terjdinya perubahan sosial sebagai relasi pengetahuan dan
kekuasaan sebagaimana teori hegemoni yang dikemukakan
Gramsci (2001), teori Praktik sosial oleh Bourdieu (1991)
mengenai soal praktik hubungan sosial dan teori Diskursus
oleh Foucault (1980) yang runtut mengkaji pendisiplinan,
normalisasi, mengangkat budaya terpinggirkan yang
semuanya sebagai akibat relasi pengetahuan dan kekuasaan.
Kajian tersebut yang berkaitan dengan kekuasaan, juga
menyangkut perubahan aturan, norma adat perkawinan,
atau pelanggaran adat, etos kebudayaan, adopsi
kepemimpinan dalam era kontemporer, melalui proses
sosialisasi individu, internalisasi dan enkultrasi baik melalui
hubungan kontraktual maupun familistik dan sebagainya.
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
37
Sejarah dan Etnografi Buton
II
PULAU BUTON, PENDUDUK
TAHAP AWAL ERA PRA
KERAJAAN ABAD XIV
A. Istilah Buton,Wolio dan Penduduk Tahap Awal
Untuk menelusuri jejak historis penduduk Pulau
Buton, maka perlunya terlebih dahulu dikaji asal usul
penamaan Pulau Buton, baik melalui mitos, hikayat, maupun
legenda penghuninya dalam upaya mencari keterhubungan
dengan penduduk tahap awal orang Buton. Dalam tradisi
lisan diriwayatkan bahwa Buton adalah sebuah pulau wasiat
yang berasal dari "'Burasatongka", yaitu segumpal buih air
laut. Dari gumpalan buih lama-kelamaan menjadilah pulau.
Istilah Wolio; versi Yarona Iman mesjid keraton Buton
La Ode Zaenu menyatakan bahwa istilah wolio sebagai
penamaan awal yang akhirnya menjadi sebuah kerajaan
Wolio, terdiri kata welia yang belum diketahui asal
bahasanya, namun bermakna tebas artinya sebuah wilayah
sebelumnya belukar kemudian jadilah satu perkampungan.
Adapula istilah kerajaan wolio digunakan awal terbentuknya
kerajaan dan isitlah kesultanan Buton digunakan setelaha
Islam di Buton menjadi agama kerajaan
Riwayat dari leluhur Wolio yang dicangkok dan
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
38
Sejarah dan Etnografi Buton
diterima dari turun temurun, menerangkan bahwa nama
Buton itu berasal dari bahasa Arab "Butuuni" artinya dapat
bermakna tujuh: (l) perut, (2) terbungkus, (3) rahasia, (4)
kota, (5) negeri,(6) marga,(7) pertama Rasulullah.
Terakumulasi makna " mengandung",= kokompo dalam
bahasa Wolio yang lebih jauh dikiaskan dengan kerajaan
Buton "mengandung" banyak ini, banyak hasil yang
terpendam yang perlu digali, dimana kerajaan Buton
dianggap dan dimisalkan dengan rasa kecintaan seorang
pemuda terhadap gadis pujaannya yang cantik jelita,
mengandung. Interpretasi kita sebenarnya guna mencari
ilmu-ilmu Wolio yang terpendam di dalamnya, baik yang
tersimpan dalam alam pikiran manusia wolio maupun
sumber daya alamnya.
Dalam sebuah syair ditulis oleh seorang pujangga
Wolio yang bernama Haji Abdul Ganiyu (Kenepulu Bula)
menuliskan tentang pemberian nama Butuni (Buton),
sebagai berikut.
Tuamo siy aku kupantidamo;Demikian ini aku tanyakan;
Ikompona incema uyincana;Diperut siapa kamu nampak;
Kaapaaka upeelu butuuni; Sebab karena suka butuuni;
Kuma-anaia butuuni kokompo; Kuartikan butuuni mengandung;
Motodikana inuncana kuruani;Yang tertera di dalam Alqur'an;
Yi tumo duka Nabiyta akooni; Itu pula Nabi kita bersabda;
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
39
Sejarah dan Etnografi Buton
Apaincana sababuna tanah siy; Melahirkan sebabnya tanah ini;
Tuano siy awalino Wolio;itulah asal usul tanah Wolio
Inda komondoa kupetula-tuiaa keya; Belum tuntalah keberceritakan;
So kidingki awwalina tua siy; Hanya sekelumit awalnya seperti ini;
Taoakana akosaro Butuuni; Sebabnya dinamakan Butuni;
Amboresimo pangkati kalanggaana; Menempati pangkat ketinggian.
Di kalangan masyarakat Wolio Buton dan tua-tua adat
pada umumnya menyatakan bahwa sebelum pendudukan
Belanda pada tahun 1906, mereka mengenal Buton hanya
dengan sebutan Butuuni. Sebagian kalangan menyatakan
sebutan itu berasal dari orang-orang Belanda. Hal itu
ditunjang dengan data surat menyurat bahkan dalam data
kontrak-kontrak perjanjian antara Buton dengan Kompeni
Belanda. Dalam versi lain yang berhubungan dengan
kerajaan sahabat, seperti misalnya Bone atau Ternate, di
dalam persuratan itu pada umumnya terdapat sebutan
Butuni. Lebih jauh mengikuti perkembangannya pelaut-
pelaut Bugis dan Makassar dengan sebutan Butung. Di
bawah ini kita turunkan tulisan Ligtvoet sebagai berikut.
"Het rijk Boeton, dat in de landstaal Boliyo, in het
maleisch Boetoen, en in het Makassarsch en
Boegineesch Boetoeng heet, bestaat uit.....enz.
Ligtvoet menyebut Buto, sementara pelaut Melayu
menyebutnya Boetoen dan orang Makassar Bugis
menyebutnya Boetoeng, sedangkan aparat kerajaan sendiri
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
40
Sejarah dan Etnografi Buton
menyebutnya Boliyo asal kata Wolio. Sebutan Wolio inilah
yang umum bagi orang Wolio menyebutnya Buton. Untuk
bahan perbandingan kita turunkan tulisan La Ode Madu
mengenai asal nama Buton sebagai berikut: Pulau Buton
dengan sebutan Butung menurut sebutan bahasa dari suku-
suku lain bahwa sejak zaman Majapahit istilah sebutan itu
sudah dikenal di mana-mana, terutama di pulau Jawa. Dalam
Negarakertagama pupuh 14/5 dijelaskan bahwa ikang saka
sanusanusa makhasar butun/banggawi. Hal ini menunjukan
bahwa Butun (Buton) masuk dalam wilayah Majapahit. Versi
lain dari tokoh adat Buton Lambalangi menyatakan bahwa
nama Buton atau Butung itu munculnya sejak zaman Nabi
Muhammad SAW sesudah beliau mengadakan rapat raksasa
seluruh Dunia Islam yang disampaikan kepada Syehdina
Umar, bahwa akan muncul suatu pulau di sebelah selatan
menenggara Arab , dan aku beri nama Butuni. Lebih lanjut
aneka versi sebagai berikut.
a. Penamaan Butun (Buton) telah sebelum Negara
kertagama ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365
pada pupuh 14/5. Di samping itu, pada pupuh 78/1
juga telah menyebutkan wilayah Buton sebagai
penyebar agama Hindu.
b. Nama Butung itu kemudian timbul pula pada tahun
1613, ketika Gubernur Jenderal Pieter Both dalam
perjalanannya ke Ambon yang singgah di Buton. Ketika
melihat pohon pakis yang berjejer di tepi pantai,
informan Buton menyebutnya Butu, maka
dinamakannyalah pulau itu,pulau Butung yang
kemudian dirobah menjadi Buton.
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
41
Sejarah dan Etnografi Buton
c. Istilah Butung atau Buton, pengaruh dialek Kerajaan,
misalnya ucapan orang tua-tua Bugis kata “Butun”
menjadi Butung dan bagi orang tua-tua Buton kata
Butun menjadi “Buto”
Bandingkanlah pernyataan tokoh adat La Ode Abu
Bakar bahwa asal-usul nama Buton berasal dari bahasa
Arab dari kata "Bathni" atau "Bathin", yang berarti
"kandungan" atau "lubuk hati". Secara filosofis
mengaitkannya sebagai kerajaan yang bersendikan ajaran
Agama Islam, yang dimaknakan sebagai rakyat yang berdiam
di negeri kandungan/lubuk hati itu memiliki pola hidup
budiman dan bertakwa. Versi lain lagi, kata Buton berasal
dari nama sejenis pohon yang disebut butun yang berasal
dari kata Butonica. Rumphius (dalam Heyne, 1987: 1480)
mengemukakan bahwa pohon ini dimana pun tiada yang
seindah yang didapati di pulau Butung, nama pulau itu
diambil dalam memberi nama kepada tumbuhan tersebut.
Cerita ini berkesudahan dengan terlahirnya kesan dari si
pembawa ceritera bahwa kata Buton berasal dari peristiwa
itu, bahkan diberitakan bahwa pada penamaan lainnya
"Wolio" bagi Buton, diberitakan menurut versi ceritera
tersebut adalah berasal dari kata "Waliullah". Dalam kitab I
Lagaligo pada salah satu episode yang oleh Enre (1999)
memberi nama ritumpanna welenrennge menyebutkan
bahwa makkeda Ugi, makkeda Jawa. Nasitun-rengeng dua
makkeda. Mattakiluwuq to Wadennge, Le Arakara Wulioe.
Orang Buton atau orang Wolio kadang digunakan
secara bergantian oleh berbagai kalangan. Orang Wolio
biasanya mengidentifikasikan diri berdasarkan wilayah
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
42
Sejarah dan Etnografi Buton
pemukimannya dalam lingkaran keraton Buton dan
sekitarnya termasuk yang bermukim di Kota Bau-Bau dan
juga yang bermukim di kecamatan lain yang masih kental
secara geneologis merasa berasal usul dari wilayah keraton
dan sekitarnya. Dengan demikian, orang Buton dapat
berarti keseluruhan wilayah politik dan budaya mulai dari
lingkaran Keraton dan sekitarnya sampai Kerajaan lokal
seperti Pasar wajo, Lasalimu, Sampolawa, Batauga, Kadatua,
Mawasangka, Lakudo (Kabupaten Buton Tengah), Moronene
sampai Kep. Wakatobi, bahkan Kulisusu karena secara
geneologis Buton, menyebabkan selalu mengidentifikasi diri
sebagai orang Buton yang kemudian menjadi Kabupaten
Buton Utara. Muna di masa kerajaan sampai berakhirnya
masa kerajaan, khususnya ketika berada Kerajaan rantau
seperti di Ambon, Manado, Jawa, Kalimantan, biasanya
menyebut diri mereka sebagai orang Buton. Kini identitas
Muna dan Moronene bahkan Wakatobi mulai menggunakan
identitas sendiri ketika mereka berada jauh ke Kerajaan
rantau.
Yunus (1995a; 23), mengklasifikasi secara etnis bahwa
penduduk pulau Buton terdiri dari 3 etnis :1) suku Wolio
yang mendiami pulau-pulau Buton bagian selatan dan
Kepulauan Tukang Besi dan pulau-pulau kecil disekitarnya;
2)suku Maronene yang mendiami pulau Muna, Kabaena,
Buton bagian utara, Poleang, Rumbia di Jazirah pulau
Sulawesi; 3) suku laut Bajoe (bajau) yang mendiami pesisir
pantai pulau-pulau Buton, Muna dan beberapa pulau
lainnya. Orang Buton adalah salah satu kelompok etnis
perantau di Nusantara yang punya semangat Bahari, dengan
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
43
Sejarah dan Etnografi Buton
corak Kerajaan yang terkait dengan laut (Southon 1995;
Abdul Munafi dkk. 2002; Tenri dan Sudirman 2002).
Cikal bakal Penduduk tahap awal orang Buton dalam
hikayat Buton, diawali dengan riwayat kedatangan beberapa
wali di Buton dengan menumpang kapal dan ternyata
kedatangan mereka di daratan Buton sudah ada
penghuninya,yakni, Sultan Rum dan Raja Mekah. yang
diringkas sebagai berikut.
Bermula ketika Nabi Muhammad SAW mengadakan
konfrensi pada 9 hari bulan Zulhijah tahun 10 Hijriah
yang mengundang semua bangsa Eropa Barat serta
para alim ularna dan konfrensi itu bertempat di
Mekah. Agenda konfrensi itu, Nabi Muhammad SAW
antara lain mengungkap bahwa di sebelah utara
negeri Mekkah ada sebuah pulau yang belum timbul
di atas permukaan air, yang sekaligus diberi nama
Butuuni. Dalam pertemuan ini Nabi sekaligus
menginstruksikan Lakina Rum dan Lakina (raja)
Mekah untuk mencari pulau itu. Selanjutnya
menemukan pulau itu, kegiatan awal menebas (Weli)
pohon rahantulu kemudian mendirikan bantea
(pondokan). Dan disitulah Lakina Mekah mulai
membuat perkampungan yang disebut kampung
“Melai”. Kira-kira pada jam 12 siang, Lakina Mekah
melihat sebuah kapal menuju pulau yang mereka
tebas. Ketika kapal mendarat, mereka telah
mempersiapkan taktik intimidasi dengan
membentangkan pakaian berukuran raksasa yang
disebut Jubah Ijo dan Jubah hitam sembari keduanya
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
44
Sejarah dan Etnografi Buton
bersembunyi. Awak kapal membayangkan demikian
raksasanya pemilik baju tersebut. Akhirnya kapal
meninggalkan tempat itu. Cerita tersebut berakhir
dimana kedua tokoh tersebut sebelum berlayar
sempat menempelkan surat di sebuah batu yang
dinamakan “ batu podimba” pada gambar berikut.
Gambar 1. Batu Podimba, tempat menempel surat oleh para migran awal, tampak samping Makam Sultan I Murhum yang memperkuat fakta dalam sejarah awal kerajaan Buton.
Nama baju jubah dan destar penutup kepala adalah
pakaian Islam. Berkaitan dengan itu, salah satu naskah
Buton, dalam hikayat Kanturuna Mohelana menyebutkan
pula adanya pertemuan Turki,Kompeni,Wolio, Ternate, dan
Bone. Pertemuan itu berlangsung pada 1 Muharram 872
Hijriah di Buton (2 Agustus 1467). Beberapa waktu
lamanya datanglah beberapa orang wali ke pulau Buton
dengan menumpang kapal. Mereka mendarat dan lalu
mendaki menuju arah puncak bukit pulau wasiat itu.
Riwayatnya sebagai berikut .
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
45
Sejarah dan Etnografi Buton
Indaa mangenge pada incia siytu;(Tidak lama setelah itu); Kera-kera ojamu sabalasi; (Kira-kira pukul sebelas); O takusiri obula syaafara (Taksiran bulan syafar); Lakina Maka akamatamo kapala(Raja Mekah melihat kapal); Arope-rope ipolotaana Talaga;(Menuju arah di antara pulau Talaga); Abelo-belo ilolono tana weta;(Membelok-belok di ujung tanah); Ahangu tunii itana Wolio siy:;(Mengikuti menuju negeri Wolio); Akoonimo Raja Mekah (Berkatalah Raja Mekah itu); Apaurnbamo osulutani i-Rumu;(Memberi tahu sultan Rum); Kamata peya okapala incema; (Lihat dulu kapal siapa); Alawanimo Lakina Rumu siytu;(Menjawab Raja Rum itu); Nebarangkala beya labu iwesiy;(Jikalau mereka berlabuh di sini); Musuti; apene yitabasiata siy; (Mesti mereka datang di tebasan kita ini); Karona yitu sundu mata marido; ( terlihat sejauh mata memandang): ingkita siy beta apoaka meya; (Kita ini bersembunyi saja); Akonimo Lakina maka siytu; (Berkatalah Raja Mekah itu); Jubata siy tapaulu uluya; (Juba kita ini kita ulur gantungkan): Iweitumo manga akantadimeya ojubana; (Di situ mereka gantungkan jubahnya;) Apandapa peya itampana turakia;(Dipanjangkannya di tempat turakia); Juba maeta satuwuna jubah ijo;(Juba hitam dan yang satunya jubah hijau)
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
46
Sejarah dan Etnografi Buton
Kaapene ijabbali rahantulu;(Lalu naiklah mereka kejabbal Rahantulu) indaa mangenge pada incia siytu;(Tidak lama sesudah itu); Alabumo manga kapal yitu;( maka Berlabuhlah kapal itu); Kasiympomo apasapo batelena;(Kemudian mereka turunkan sekocinya): Kaapangara itampa tabasiana;(Lalu naik di tempat tebasnya;) Sakawana manga sawina kapala siytu;(Setibanya penumpang kapal itu); Akamata meya juba ikandati yitu; (Dilihatnya jubah yang digantung itu) Iweitumo manga aropeai meya;(Disitulah mereka tujui ); Sakawana manga ijuba siytu; (Setibanya di tempat juba itu); Akoonimo kapitana kapala; (Berkatalah kapten kapal); Saubawamo manga teemo amente;(Bersamaan itu mereka sangat heran): Astagafirullah yaa sultan;( Astagafirullah yaa sultan); Menteaka okaogena juba;Heran karena besarnya jubah itu) Apogaumo manga incia siytu;(Berbicaralah mereka itu); Tabanculemo tambulimo ikapala; (Kita kembali saja ke kapal); Salanginamo juba soomo opu okaogena; (Besarnya juba hanya Tuhan yang tau); Beanamo karona takuserena; (membayangkan demikian besar tubuh pemiliknya; Ojini aipo maanusia; (Apakah Jin atau manusia) Boliakamo tadencua kameya; (Biarlah kita tinggalkan saja); Sakawana i totona samparaja; (Setibanya ditentangan
jangkar);
METRO GRAPHIA
La Ode Dirman
47
Sejarah dan Etnografi Buton
Akamatamo manga incia siytu;(Melihatlah mereka itu); Afikirimo kapitana kapala;(Berpikirlah kapten kapal); Saubawamo incia teya kooni; (Bersamaan dia dengan berkata); Boliakamo taburi tee sura; (Biar kita tulis dengan surat;) Ojinimo tawa omaanusia; ( apakah Jinkah atau manusia); Satotuuna daanamo abaceya; (Sebetulnya pasti dibacanya):
Bunyi Hikayat tersebut di atas, adalah sebuah cuplikan
riwayat kedatangan beberapa wali di Buton yang,
menunjukan bahwa di daratan Buton sudah ad
top related