$MDUDQ%UDWDNHVDZD 6DUWLND ),%8,lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352212-MK-Sartika.pdfAllah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa mengatakan
Post on 16-Dec-2020
4 Views
Preview:
Transcript
1
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
2
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
3
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
4
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
5
AJARAN BRATAKESAWA DAN KESINAMBUNGANNYA DENGAN KONSEP MEMAYU HAYUNING BAWANA
Sartika, Turita Indah Setyani
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
sartika.fibui@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang Aliran Bratakesawa dan kesinambungannya dengan konsep Memayu Hayuning Bawana. Kajian ini menggunakan metode pustaka. Aliran Bratakesawa merupakan salah satu aliran kebatinan masyarakat Jawa, melalui aliran kebatinan ini masyarakat Jawa akan menemukan keselarasan dengan lingkungan dan hati nuraninya. Dalam proses tersebut masyarakat Jawa akan melalui tahapan Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusthi, dan Kasampurnaning Dumadi. Manusia yang sudah mencapai kesempurnaan hidup, segala tindakannya merupakan perwujudan dari Memayu Hayuning Bawana.
Kata Kunci: Bratakesawa, Aliran, Memayu Hayuning Bawana
Abstract
This paper examines the mysticism of Bratakesawa and continuity to the concept Memayu Hayuning Bawana. This study uses the method library. Bratakesawa is one of the Javanese mysticism, through of this mysticism the Javanese community will find harmony with the environment and conscience. In that process, the Javanese community will going through the stages Sangkan Paraning dumadi, Manunggaling Kawula Gusthi and Kasampurnaning Dumadi. The people who has reached perfection in life, every action of them is a manifestation of Memayu Hayuning Bawana.
Keywords: Bratakesawa, Flow, Memayu Hayuning Bawana
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Orang Jawa berpandangan bahwa segala sesuatu itu pada hakikatnya adalah satu,
yaitu satu kesatuan hidup. Karenanya kehidupan manusia selalu terpaut dalam kesatuan
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
6
kosmos alam raya yang bersifat religius (Franz Magnis, 1985: ). Menurut Maria A.Sardjono
(1995:19-21) mengatakan bahwa pandangan dunia batin manusia Jawa tidak dapat terlepas
dari ciri-ciri lahiriah dan batiniah yang terdapat dalam dirinya selaku mikrokosmos. Segi lahir
manusia menggambarkan dunia yang halus. Kesatuan harmonis antara dunia kasar dan dunia
halus dalam diri manusia pada akhirnya akan menciptakan tata eksistensi yang harmonis dan
seimbang dalam kosmos. Manusia Jawa yang ingin menciptakan keseimbangan,
keharmonisan dan keselarasan antara mikro dan makro kosmos diharapkan untuk memiliki
kemampuan mengolah batinnya agar dapat mengatasi segi lahiriah atau badaniah agar
batinnya dapat mengalami kesatuan dengan Tuhan. Oleh karena itu, masyarakat Jawa
memiliki ajaran-ajaran mistik kebatinan yang cukup khas yaitu ajaran untuk membentuk
sikap mental dalam menghayati hidup (Maria A. Sardjono, 1995: 20).
Menurut Harun Hadiwijono (1983:12-13), Kebatinan Jawa yaitu kebatinan seperti
yang dipelajari dan dipraktekan oleh orang Jawa serta yang mencerminkan pengolahan Jawa
dari bahan-bahan kebatinan yang datang dari luar (Makrokosmos) dengan bahan-bahan
kebatinannya sendiri (Mikrokosmos). Hasil dari pengolahan kebatinan tersebut akan
melahirkan kesatuan dengan Tuhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ajaran kebatinan Jawa
yaitu ajaran yang mengolah antara mikro kosmos dan makro kosmos hingga mencapai
keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan dalam hidup dan mengalami kesatuan batin
dengan Tuhan.
Gerakan kebatinan tampil ke permukaan sebagai bagian dari gerakan revolusi
Indonesia di bidang moral spiritual. Munculnya berbagai macam aliran kebatinan demikian
banyak jumlahnya, terutama menjelang kemerdekaan dan sesudahnya merupakan bentuk
partisipasi dalam memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa (Suwarno Imam, 2005:IX).
Iklim keagamaan di lingkungan masyarakat Jawa dalam sejarahnya sampai pertengahan abad
ke 20, tersusun dan tumbuh menjadi pesemaian yang subur bagi munculnya berbagai macam
aliran kebatinan. Ketika Pemerintah Kolonial telah ditumbangkan kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat lebih leluasa, hingga kebebasan tumbuh dan bergerak bagi aliran-
aliran kebatinan lebih besar. Muncullah aliran-aliran kebatinan dalam versi mutakhir dengan
jumlah yang tidak kecil, dan dengan organisasi yang lebih besar. Beberapa kebatinan yang
ada diantaranya Agama Jawa Sunda, Aliran Perjalanan, Aliran Ki Ageng
Suryomentaram,Wirid Hidayat Jati R, Ng. Ranggawarsita, Paguyuban Sumarah, Sapta
Darma, Bratakesawa, Pangestu, Subud dan Paryana Suryadipura. Masing-masing
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
7
menampilkan coraknya sesuai dengan aspirasi dasar dari masing-masing pemimpinnya
(Sularso, 1987:12). Gerakan kebatinan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama,
yaitu memperoleh keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup. Oleh karena itu
masyarakat Jawa sangat mengenal konsep Memayu Hayuning Bawana yang berarti
berperilaku selaras demi keselamatan dunia. Namun, bagi masyarakat Jawa yang merasa
batin, jiwa dan rohaninya belum terpenuhi akan terus berkelana dan mencari ajaran kebatinan
yang dianggapnya hakiki dapat memuaskan batin, jiwa dan rohaninya (Budya, 2004:3)
Tulisan ini membahas salah satu ajaran masyarakat Jawa yaitu Ajaran Bratakesawa
yang diyakini dapat mengantarkan mereka kepada Memayu Hayuning Bawana dengan
melewati tahapan Manunggaling Kawula Gusti (menyatukan diri dengan Tuhan), Sangkan
Paraning Dumadi (Tuhan merupakan asal mula kembalinya segala sesuatu di dunia) , serta
Kasampurnaning Dumadi (kesempurnaan hidup di dunia).
1.2 Masalah Penulisan
Permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana asal mula munculnya ajaran Bratakesawa?
2. Sejauh mana Ruang lingkup ajaran Bratakesawa diajarkan?
3. Bagaimana ajaran Bratakesawa dapat berkesinambungan dengan konsep masyarakat
Jawa Memayu Hayuning Bawana?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan kesinambungan antara ajaran Bratakesawa
dengan konsep Memayu Hayuning Bawana.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat untuk menambah wawasan serta
mengetahui dan mengenal dasar ajaran Bratakesawa yang dapat mengantarkan masyarakat
menuju keselarasan dalam hidup.
1.5 Metode Penulisan
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
8
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif
yang bertujuan untuk membahas tentang ajaran Bratakesawa dan ruang lingkup ajaran
Bratakesawa serta kesinambungan dengan konsep Memayu Hayuning Bawana.
2. Bratakesawa
2.1 Profile Bratakesawa
Bratakesawa lahir pada tahun 1897 M, di desa Wonopati Suwungalur Kulon Progo,
Yogyakarta. Ketika masih kecil Bratakesawa dipanggil dengan nama Gatot. Ayahnya yaitu
Raden Ngabehi Wonosastro, masih keturunan pujangga besaw R.Ng. Ranggawarsita (Muslih,
2002: 7-9). Bratakesawa pernah menikah beberapa kali. Perkawinan dengan istri yang
pertama mempunyai tiga orang anak dan memiliki satu anak dari istrinya yang terakhir
(Muslih, 2002:11-12). Bratakesawa meninggal di desa kelahirannya pada tanggal 17 Oktober
1972.
2.2 Ajaran Bratakesawa
Bratakesawa merupakan seorang pensiunan wartawan, selama hidupnya dia tinggal di
Yogyakarta. Pada tahun 1952 ia menulis buku yang diberi judul Kunci Swarga, dengan
maksud untuk menyumbangkan pikiran bagi pembangunan akhlak bangsa Indonesia yang
telah bebas dari penjajahan (Harun, 1983: 115).
Buku-buku ciptaan Bratakesawa sangatlah berbeda dengan buku-buku kebatinan pada
umumnya yang yang lebih menekankan kepada hal-hal yang berbau klenik, tidak berdasarkan
ilmu yang masuk akal, dan bahkan sering kali hanya omong kosong (Imam Supardi: 1960).
Buku-buku ciptaan Bratakesawa sangat menarik perhatian pembaca bukan karena
kesukarannya, tetapi karena cara beliau menguraikan pemikirannya, memilih kata-kata, serta
keindahan kalimatnya yang membuat orang menjadi tertarik untuk membacanya.
Ajaran Bratakesawa bukanlah ajaran yang sengaja diajarkan Bratakesawa kepada
masyarakat Jawa pada khususnya Ajaran Bratakesawa adalah pemikiran-pemikiran
Bratakesawa (tentang Allah, tentang manusia, dan tentang kelepasan) yang dituangkan
melalui tulisan menjadi sebuah buku dikarenakan beliau merasa prihatin dengan keadaaan
masyarakat sekitar yang perbuatannya menyimpang dari ajaran agama yang dibawa Rasul
Allah sehingga merugikan masyarakat dan negara.
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
9
Buku-buku yang dibuat oleh Bratakesawa berisi tentang pemikiran-pemikiran
Bratakesawa tersebut kemudian diimani dan diyakini oleh masyarakat Jawa sebagai petunjuk
yang baik untuk sebuah laku. Laku bagi masyarakat Jawa dapat berarti perilaku-perilaku yang
berpedoman kepada ajaran yang diyakininya untuk mencapai Memayu Hayuning Bawana
dengan diiringi oleh semangat Ambrastho Dur Angkara (memberantas keangkara murkaan
baik angkara murka yang berasal dari duniawi ataupun dari dalam diri). Oleh karena itu pola
pikir masyarakat Jawa yang membaca buku-buku ciptaan Bratakesawa menyimpulkan bahwa
buku-buku tersebut sebagai Ajaran Bratakesawa.
2.2 Ruang Lingkup Ajaran Bratakesawa.
2.2.1 Ajaran Tentang Allah
Menurut Bratakesawa, tidaklah perlu untuk mengetahui apa dan siapa Allah, sebab
Allah tidak dapat disamakan dengan sesuatu. Ia tidak dapat dikatakan seperti apa (tan kena
kinayangapa) (Harun, 1983:116). Menurut Bratakesawa istilah “Allah” itu hanya nama
anggapan, atau nama buatan manusia. Adapun manusia dalam membuat nama itu menurut
bahasanya sendiri-sendiri. Istilah “Allah” dibuat oleh orang Arab, artinya Yang Disembah,
sedangkan orang Jawa memberi istilah “Pangeran” artinya yang diperhamba (Suwarno,
2005:263).
Bratakesawa mengatakan bahwa yang lebih penting diketahui hanyalah sifat-sifat
Allah, sebab sifat-sifat itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an (Harun, 1983:116). Bratakesawa
mengatakan bahwa sifat-sifat Allah jumlahnya 41 yang terdiri dari 20 sifat wajib, 20 sifat
mustahil dan 1 sifat jaiz (Suwarno, 2005:270)1.
Bratakesawa menyebutkan sifat-sifat Allah menurut pendapatnya secara ringkas, yaitu
hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tak dapat dikatakan seperti apa,
tiada zaman tiada makan, tiada tujuan tiada tempat, jauh tanpa batas, dekat tanpa disentuh,
tiada luar tiada dalam, tetapi meliputi semua yang tergelar atau terbentang di dunia ini
(Harun, 1983:116).
Bratakesawa mengemukakan pendapatnya di dalam bukunya Kunci Swarga mengenai
bukti adanya Allah. Dia mengatakan bahwa orang tidak bisa melakukan apa-apa 1 Lihat hal. 270-273. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa. Dr. Suwarno Imam S. 2005. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
10
seumpamanya Allah tidak ada dan setiap orang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali dengan
pertolongan Allah. Tanda buktinya, yaitu dirinya tidak dapat menggunakan anggota
badannya, orang tidak dapat menahan usianya meski hanya satu menit kalau tiba-tiba saatnya
meninggal dunia. Bukti lainnya keadaan alam yang terhampar di dunia, siapa yang
menciptakan bulan dan matahari yang berotasi secara teratur, yang tidak bisa dipengaruhi
oleh manusia. Siapa yang menciptakan bumi, laut, sungai dan sebagainya? Hal-hal tersebut
dikemukakan oleh Bratakesawa untuk membuktikan keberadaan Allah. Bratakesawa
menggunakan referensi Al-Qur’an dan terjemahannya sebagai dalil naqli-nya terhadap
pernyataannya tersebut, meskipun bagi ilmu Tauhid hal-hal tersebut merupakan dalil ijmali 2.
2.2.2 Ajaran Tentang Manusia
Menurut Bratakesawa, manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Badan Kasar, ialah jasmani manusia, dari mulai organ tubuh sampai dengan panca indra
dan juga hakekat fungsinya bagi kehidupan manusia.
2. Badan Halus, hanya memiliki satu alat, yaitu rasa eling atau rasa sejati (rasa ingat atau rasa
yang sejati), yang halus sekali dan kadangkala bertindak.
3. Sang Halus, adalah bagian yang terdalam, tidak memiliki alat apapun, sebab Sang Halus
berkuasa tanpa alat.
Menurut Bratakesawa, hubungan di antara ketiga bagian itu harus digambarkan
seperti hubungan antara tiga macam substansi yang terdapat pada air laut, yaitu garam,
oxygen, dan hydrogen. Jika orang mati, Sang Halus bersama-sama dengan badan halus
dipisahkan dari badan kasar. Pemisahan itu sama dengan pemisahan air dari garam, pada
waktu air laut diupakan dan diembunkan. Kemudian ketika pemisahan Sang Halus dari
Badan Halus sama dengan pemisahan hydrogen dari oxygen dalam proses kimia (Harun,
1983:117).
Bratakesawa dalam bukunya Kunci Swarga mengatakan bahwa Sang Halus disebut
Ikheid atau Purusha. Purusha bukanlah badan halus, tapi purusha disebut hayyun bila ruuhin
(hidup tanpa roh), jadi bukan pula roh. Purusha memliki sifat yang meliputi semua yang
2 Dalil naqli artinya kitab Tuhan, Dalil aqli yaitu akal pikiran (Harun, 1983:115-116), Dalil ijmali yaitu dalil sederhana (Suwarno, 2005:264).
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
11
terhampar ini, termasuk batu yang bergerak, juga diliputi oleh purusha. Akan tetapi napas
dan nyawa manusia bukanlah purusha, justru napas itu hanya talinya hidup dan nyawa itu
hanya tandanya hidup (Bratakesawa, 1979:33). Di dalam hidup manusia agaknya Sang Halus
hanya berfungsi sebagai penonton terhadap segala peristiwa rohani dan jasmani di dalam
dirinya. Sebab ia bukanlah asas yang aktif di dalam diri manusia itu (Harun, 1983:118).
2.2.3 Ajaran Tentang Kelepasan
Menurut Bratakesawa hidup sehari-hari manusia terikat oleh belenggu duniawi, yaitu
keinginan. Orang yang memiliki keinginan dalam hidupnya akan dilahirkan kembali dalam
roda kehidupan, dia tidak dapat pulang ke alam yang mutlak jika belum terlepas dari
keinginan duniawi. Seseorang yang ingin terlepas dari kelahirannya kembali harus hidup
tanpa keinginan (Harun, 1983:119). Yang dimaksud dengan kelepasan ialah manusia
dibebaskan dari roda kelahiran, yang berarti pulang ke alam yang mutlak, asal-mula segala
sesuatu. Hidup tanpa keinginan harus diseimbangi dengan perbuatan yang mengingatkan
kepada tujuan hidup di dunia ini. Melakukan kegiatan di dunia ini memang harus dijalani
oleh setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun itu tidak menjadikan suatu
prioritas utama bagi manusia. Kehidupan di dunia ini hanya sementara, diperlukan
keseimbangan untuk menjalaninya, yaitu berbakti pula kepada Allah.
Bratakesawa mengungkapkan bahwa kelepasan yang membawa manusia kepada
kesempurnaan terdiri dari kebebasan manusia dari keinginan. Badan halus harus berusaha
menguasai nafsu manusia. Jika badan halus berhasil menguasai nafsu, maka badan halus itu
akan menjadi jernih. Hal ini akan mengakibatkan Sang Halus yang berada di dalam manusia
akan kembali kepada Allah (Harun, 1983:121).
Jalan menuju kesempurnaan disebut “hidup tanpa keinginan”, yang diterangkan
sebagai “hidup yang tidak aktif”, yang berarti manusia mencapai kelepasan, sekalipun orang
berbuat, serta menyembah Allah dengan pengetahuan dan perbuatan. Menyembah Allah
terdiri dari empat tingkat, yang tertinggi ialah ma’rifa, penyembahan suksma, yaitu
penyembahan jiwa yang tanpa alat. Cara melakukannya terdiri dari dua, yaitu pemusatan
cipta3 dan meditasi.
3 Lihat hal. 120-121. Konsep Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Harun Hadiwijono. 1983. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
12
2.3. Kesinambungan Ajaran Bratakesawa dengan Konsep Memayu Hayuning Bawana
2.3.1 Definis Memayu Hayuning Bawana
Memayu Hayuning Bawana terdiri dari tiga kata: Memayu, Hayuning, dan Bawana.
Kata memayu berasal dari kata hayu (canti, indah, atau selamat) kemudian ditambahkan
awalan ma- menjadi memayu yang berarti mempercanti, memperindah, membuat selamat,
atau meningkatkan keselamatan. Jadi dapat diartikan bahwa memayu berarti mengusahakan
(mengupayakan) keselamatan.
Hayuning berasal dari kata hayu dengan mendapatkan kata ganti kepunyaan ning (-
nya) yang berarti keselamatannya. Jadi dapat diartikan memayu hayuning mengusahakan
keselamatan, kebahagiaan dan kesejarhteraan.
Sedangkan bawana berarti dunia, dalam pengertian dunia batin, jiwa dan rohani.
Pengertian lahiriah, ragawi atau jasmaniahnya dipergunakan kata buwana yang berarti dunia
dalam arti fisik. Bawana terdiri dari tiga macam arti dan makna, yaitu:
1. Bawana cilik (dunia kecil), bermakna pribadi dan keluarga.
2. Bawana gede (dunia besar), bermakna masyarakat, bangsa, negara dan internasional
(global).
3. Bawana langgeng (dunia abadi), adalah alam akhirat.
Jadi yang dimaksud dengan Memayu Hayuning Bawana adalah mengusahakan keselamatan,
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini (Budya, 2004:4-5).
2.3.2 Kesinambungan antara Ajaran Bratakesawa dengan Konsep Memayu Hayuning
Bawana
Kesinambungan antara Ajaran Bratakesawa dengan konsep Memayu Hayuning
Bawana sebenarnya telah di bahas secara tersirat dari pembahasan tulisan ini. Seperti penulis
sampaikan pada pembahasan di atas bahwa pada dasarnya setiap ajaran atau aliran kebatinan
mengajarkan untuk hidup seimbang dan selaras antara makrokosmos dan mikrokosmos. Jika
setiap orang bisa menyeimbangkan dan menyelaraskan keduanya maka mereka akan
mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan di dunia. Manusia untuk mencapai
kesempurnaan dalam hidup dapat melewati tiga tahapan yaitu Sangkan Paraning Dumadi,
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
13
Manunggaling Kawula Gusthi dan Kasampurnaning Dumadi. Setelah manusia mencapai
tahapan-tahapan tersebut maka setiap tindakannya merupakan perwujudan dari Memayu
Hayuning Bawana.
Pada Ajaran Bratakesawa konsep Sangkang Paraning Dumadi merupakan asal dan
tujuan hidup ini adalah dari Tuhan, untuk Tuhan, dan kembali kepada Tuhan. Jika manusia
telah memahami makna kehidupan ini adalah semata-mata karena Tuhan, maka dia akan
melakukan sesuatu dengan niat karena Tuhan, dan manusia akan mencoba untuk melepaskan
diri dari keinginan yang bersifat duniawi, karena sesungguhnya asal dan tujuan hidup di
dunia ini adalah dari Tuhan, untuk Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan di alam yang
kekal, asal-muasal dari segalanya yang ada.
Ajaran mengenai Tuhan dalam ajaran Bratakesawa membawa kepada hakikat Tuhan
bagi seorang hamba. Jika seseorang sudah mampu untuk memahami hakikat Tuhan bagi
dirinya, maka dia akan mencoba untuk menyatukan diri kepada Tuhan atau Manunggaling
Kawula Gusthi, demi mencapai keseimbangan hidup di dunia dan akhirat kelak.
Manusia yang telah mampu melepaskan diri dari keinginan duniawi maka manusia itu
telah mencapai Kasampurnaning Dumadi dan akan membawanya kepada konsep Memayu
Hayuning Buwana, bahwa dia mampu untuk menjaga, melestarikan, dan memelihara alam
semesta ini agar harmonis, seimbang, selaras, dengan menjaga keseimbangan makro dan
mikro kosmos.
3.1 Kesimpulan
Ajaran Bratakesawa merupakan pemikiran-pemikiran dari Bratakesawa yang
dituangkan ke dalam tulisan sehingga menjadi buku-buku yang selanjutnya diyakini dan
diimani oleh masyarakat Jawa sebagai ajaran yang memiliki laku yang baik untuk mencapai
kasampurnaning dumadi, dan mampu menerapkan konsep Memayu Hayuning Bawana.
Ajaran ini merupakan ajaran yang sangat mengandung unsur islam, karena Bratakesawa
mendasarkan pemikirannya kepada Al Quran dan Hadist. Benar tidaknya suatu ajaran tidak
dilihat dari siapa yang mebawa dan dari mana ajaran itu, tetapi jika ajaran itu mengandung
unsur kebaikan serta laku yang baik, maka sudah seharusnya manusia mencoba mengambil
dan menyimpulkan secara positif maksud dari ajaran-ajaran tersebut.
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
14
REFERENSI
Hadiwijono, Harun. 1983. Konsep Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan.
Hariwijoyo, Harun. 1999. Kebatinan dan Injil. Jakarta: Gunung Mulia.
Imam S, Suwarno. 2005. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Pradipta, Budya. 2004. Memayu Hayuning Bawana; Tanda Awal Indonesia Menjadi Pusat,
Obor, dan Pemimpin Dunia. Jakarta: CV. Titian Kencana Mandiri.
Sarjono, Maria A. 1995. Paham Jawa. Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Tim UNY. 2006. Kejawen; Jurnal Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: NARASI.
Sopater, Sularso. 1987. Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Pangestu. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Ajaran Bratakesawa ..., Sartika, FIB UI, 2013
top related