Makalah Klp. I- Influenza, Flu Burung, Flu Babi, Hepatitis, Dan HIV AIDS
Post on 18-Jan-2016
116 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
BAB I
INFLUENZA
I. ETIOLOGI
Virus influenza adalah virus RNA, termasuk famili Orthomyxovirus,
berantai tunggal dan berbentuk heliks. Sesuai dengan antigen dasarnya
dibagi menjadi tiga tipe yaitu A, B dan C. Virus ini dibagi menjadi
beberapa subtipe berdasarkan antigen permukaannya yaitu hemaglutinin
(H) dan neuraminidase (N). Tiga tipe hemaglutinin yang ada pada
manusia (H1, H2, H3) berperan dalam penempelan virus pada sel. Dua
tipe neuraminidase (N1, N2) berperan dalam penetrasi virus ke dalam sel.
Variasi kedua glikoprotein eksternal H dan N, adakalanya berubah secara
periodik, hal ini menyebabkan perubahan antigenitas. Antigenic shift
merupakan perubahan besar (major) salah satu antigen permukaan (H
atau N), yang dapat menyebabkan pandemi. Antigenic drift merupakan
perubahan kecil (minor) pada antigen permukaan yang timbul diantara
major shift dan bisa dihubungkan dengan epidemi (Pickering dkk., 2000)
Infuenza tipe A menyebabkan penyakit sedang-berat dan dapat
menyerang semua umur. Virus ini menyerang manusia dan binatang lain,
seperti babi dan burung. Influenza tipe B biasanya menyebabkan penyakit
yang lebih ringan daripada tipe A, dan terutama menyerang anak-anak.
Influenza tipe B lebih stabil daripada influenza tipe A, dengan sedikit
antigenic drift dan menyebabkan imunitas yang cukup stabil. Virus ini
hanya menyerang manusia. Influenza tipe C dilaporkan jarang
menyebabkan sakit pada manusia, kemungkinan karena sebagian besar
kasus bersifat subklinis dan tidak menyebabkan epidemi.
II. PATOFISIOLOGI
Virus influenza masuk ke dalam saluran napas melalui droplet,
kemudian menempel dan menembus sel epitel saluran napas di trakea
dan bronkus. Infeksi dapat terjadi bila virus menembus lapisan mukosa
non-spesifik saluran napas dan terhindar dari inhibitor non-spesifik serta
antibodi lokal yang spesifik. Daerah yang diserang adalah sel epitel
silindris bersilia. Selanjutnya terjadi edema lokal dan infiltrasi oleh sel
limfosit, histiosit, sel plasma dan polimorfonuklear. Nekrosis sel epitel ini
terjadi pada hari pertama setelah gejala timbul. Perbaikan epitel dimulai
pada hari ke-3 dan ke-5 dengan terlihatnya mitosis sel pada lapisan basal.
Respons pseudometaplastik dari epitelium yang undifferentiated timbul.
Puncaknya dicapai pada hari ke–9 sampai ke-15 setelah awitan penyakit.
Setelah 15 hari, tampak produksi mukus dan silia kembali seperti
sediakala.
Adanya infeksi sekunder menyebabkan reaksi infiltrasi sel radang
lebih luas dan kerusakan pada lapisan sel basal dan membrana basalis
lebih hebat, yang akan mengakibatkan terhambatnya regenerasi sel epitel
bersilia. Kemudian virus bereplikasi di dalam sel pejamu yang
menyebabkan kerusakan sel pejamu. Viremia tidak terjadi. Virus
terlindung di dalam sekret dari saluran napas selama 5-10 hari.
Pada perokok atau pengidap asma, saluran pernapasan yang
sudah rapuh dapat dengan mudah terkena serangan virus. Bila virus
menginvasi alveolus atau jaringan interstisial paru, flu biasa akan berubah
menjadi pneumonia viralis. Tanda kunci bagi pneumonia viralis ini adalah
nyeri dada dan sesak napas. Perubahan susunan genetis pada virus flu
juga dapat meningkatkan ragam organ yang terinfeksi.
III. PENULARAN INFLUENZA
Virus influenza menyebar di udara melalui titik air yang timbul dari
bersin orang yang terinfeksi. Perkembangbiakan virus flu dalam rubuh
sebenarnya dimulai 24 jam sebelum timbul gejala. Begitu gejala timbul
biasanya setelah pajanan selama dua hari, penularannya sampai 5 hari
berikutnya.
Gambar 1. Virus Influenza
IV. GEJALA DAN TANDA INFLUENZA
Didahului oleh perasaan malas dan rasa dingin
Demam sampai 40oC
Sakit tenggorok dan kepala
Nyeri sendi dan otot di seluruh tubuh
Batuk pilek
Sakit pada waktu menelan
Suara serak.
Rasa capek dan rasa lelah
V. PENCEGAHAN INFLUENZA
Yang paling pokok pada influenza adalah pencegahan. Infeksi
dengan virus influenza akan memberikan kekebalan terhadap reinfeksi
dengan virus yang homolog. Karena sering terjadi perubahan akibat
mutasi gen, antigen pada virus influenza akan berubah, sehingga seorang
masih mungkin diserang berulang kali dengan galur (strain) virus influenza
yang telah mengalami perubahan. Pencegahan meliputi :
1. Cara yang paling mudah dan murah untuk menghindari influenza
adalah dengan membiasakan diri mencuci tangan. Cuci tangan
terutama penting sebelum dan setelah berinteraksi dengan anak-anak
(sebab mereka sangat mudah terjangkau dan menjadi penyebab virus
flu) dan penderita flu.
2. Sementara bagi penderita influenza selalu menggunakan tisyu untuk
menutup mulut dan hidung saat bersin serta untuk membuang lendir.
Hal ini mencegah penyebabnya virus menyebar ke orang lain.
3. Memperbanyak minum air
Air membantu proses metabolisme dalam tubuh dengan mengubah
makanan menjadi energi. Air berperan sebagai bahan bakar untuk
mendorong reaksi kimia metabolisme. Jika Anda tidak minum cukup
air, Anda tidak akan dapat membakar kalori dengan baik. Anda tidak
dapat mendapat manfaat dari olahraga. Metabolisme meningkat
dengan olahraga dan airlah yang berperan memaksimalkan
metabolisme tersebut karena itu minum banyak air sebelum, selama
dan sesudah olahraga. Berusahalah minum air putih minimal 2 liter
per hari, atau 8 gelas sehari.
4. Cara lain untuk mencegah terinfeksi oleh virus influenza adalah
dengan vaksinasi, dimana vaksin mudah didapat, tidak mahal dan
aman. Vaksinasi flu dilakukan setiap tahun dan disesuaikan dengan
jenis virus yang sedang popular sekarang.
VI. PENGOBATAN INFLUENZA
Konsumsi Multivitamin, Terutama Vitamin C
Konsumsi multivitamin setiap hari sangat baik untuk membantu
meningkatkan stamina tubuh dan mencegah penyakit. Vitamin C dapat
diperoleh melalui makan sayur dan buah atupun dari sediaan vitamin
yang beredar di pasaran. Khasiatnya yang terpenting adalah berdaya
antiviral kuat dan antibakteri yang diperkirakan berdasarkan sifat
antioksidannya.
Antihistamin
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi
efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin
dan digunakan untuk mengobati simptomatis bermacam-macam
gangguan alergi yang disebabkabn oleh pelepasan histamin.
Contoh : difenhidramin HCl, feniramin maleat.
Dekongestan
Sampai saat ini ada 3 jenis dekongestan yang dikenal. Penggunaan
dekongestan dapat mengurangi tekanan dan sumbatan, bukan dengan
mengeringkan lendir, tetapi dengan mengerutkan pembuluh darah
dalam hidung agar tidak menyumbat jalan napas. Virus influenza
memicu dilepaskannya substansi radang yang membuat pembuluh
darah halus dilubang hidung bengkak. Mengingat saluran pernapasan
yang kecil, maka jika pembuluh darah membengkak sedikit saja maka
sumbatan yang terjadi akan menyebabkan sulit bernapas.
Pseudoefedrin (agonis α) jenis dekongestan pertama yang biasa
digunakan, dimana obat ini menyebabkan venokontriksi dalam mukosa
hidung melalui reseptor α1 sehingga mengurangi volume mukosa dan
dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung.
Dekongestan jenis kedua disebut antikolinergik. Obat ini bekerja
dengan memblokir bahan kimia tubuh yang bernama asetilkolin. Bahan
kimia inilah yang biasanya merangsang kelenjar lendir.. Dengan
memblokir produksi asetilkolin dihidung, produksi lendir berkurang.
Jenis dekongestan ketiga adalah bahan kimia aromatic. Seperti
kamper dan minyak kayu putih. Bahan ini meringankan hidung
tersumbat dengan merangsang kelenjar lendir hidung untuk
menghasilkan lebih banyak cairan. Lendir encer ini akan melunakkan
dan melarutkan lender yang kering dan keras yang menyebabkan
sumbatan. Dengan demikian, system pernapasan dapat
membersihkan dirinya sendirinya lewat batuk atau ingus keluar.
Analgetik dan antipiretik
Influenza seringkali disertai dengan sakit kepala dan demam. Nyeri
ringan dapat ditangani dengan obat perifer seperti parasetamol,
asetosal, mefenaminat, begitu pula dengan rasa nyeri yang disertai
dengan demam.
VII. PENGOBATAN TRADISIONAL
1. Daun Bayam Duri (Amaranthus spinosus)
Gambar 2. Daun Bayam Duri
Kandungan Kimia : amarantin, rutin, spinasterol, hentriakontan,
tannin, kalsium nitrat, garam fosfat, zat besi,
serta Vitamin (A, C, K dan piridoksin atau B6).
Cara pemakaian : Daun bayam duri + sembung legi +
adas&pulosari + kayu angin + daun Randu.
semua direbus dengan air 2 gelas hingga tinggal
setengahnya. Diminum sedikit-sedikit untuk
sehari
2. Buah jeruk nipis (Citri aurantifoliae Fructus)
Gambar 3. Buah Jeruk Nipis
Kandungan Kimia : Asam sitral; Minyak atsiri; Linna; Lisasetat; d-
limonen; L-linaliol; Dihidrokumarinalkohol;
Terpenool; Pinen; Kamfen.
Cara pemakaian : Air Jeruk nipis 1 sendok makan, diberi sedikit
kapur sirih, diaduk lalu diminum 2 kali sehari.
3. Rimpang Jahe (Zingiber officinale)
Gambar 4. Rimpang Jahe
Kandungan kimia : minyak atsiri, damar, mineral sineol, fellandren,
kamfer, borneol, zingiberin, zingiberol, gigerol
( misalnya di bagian-bagian merah), zingeron,
lipidas, asam aminos, niacin, vitamin A, B1, C
dan protein.
Cara pemakaian : Jahe 1 jari + Lempuyang 1 jari + Cabe Jawa 3
batang. Semua dipotong-potong, direbus dengan
air 3 gelas hingga tinggal setengahnya. Sesudah
itu disaring, minum pagi dan sore.
Nama obat Dosis Indikasi mekanisme kerja Efek samping Paten PabrikParasetamol Oral analgetik Menghambat Kerusakan hati Actigesik®tablet Glaxo Wellcome Dewasa 500mg antipiretik Sintesis Ruam kulit Aflucaps®kapsul Erela 3-4X sehari Prosraglandin Anacetine®sirup Berlico Anak 6-12thn Anaflu®tablet Mecosin 3-4x sehari 240mg Anarin®tablet Emba Megafarma Anak 1-6thn Antiza®tablet Coronet Crown 3-4X sehari 12 mg Astaflu®tablet Asta Medica Bestocol®tablet Tanabe Bodrex®tablet Tempo Cold®kapsul Nufarindo Coldrexin®sirup Zenith Colpica®tablet Tropica Mas Combiflu®tablet Combiphar Contraflu®tablet Darya Varia Corexin®tablet Otto Decolgen®tablet Westmount Fludane®tablet Armoxindo Flumin®tablet Zenith Inza®tablet Konimex Mixagrip®tablet Dankos Neozep®tablet Medifarma Paramex®tablet Itrasal Procold®sachet Kalbe farma Sanaflu®tablet Sanbe farma Stopcold®sirup Pharos Ultraflu®tablet Mugi Zeroflu®tablet Konimex
Pseudoefedrin Oral Dekongestan Bekerja pada reseptor rasa terbakar Actived®sirup Glaxo Wellcome
Dewasa dan anak adrenergik pada mukosa bersin Actigesik®tablet Glaxo Wellcome
>12 tahun 60mg hidung menyebabkan hipertensi Alerfed®tablet Guardian
3Xsehari vasokontriksi, menciutkan Colpica®tablet Tropica Mas
6-12thn 30mg mukosa yang membengkak Corhinza®tablet Hexpharm jaya
3Xsehari dan memperbaiki Crofed®tablet Coronet Crown 2-6thn 15mg Ventilasi Eflin®tablet Meprofarm 3Xsehari Ficolsin®kapsul First medipharm Inza®tablet Konimex Mecafed®tablet Mecosin Nostel®tablet Pyridam Rhinofed®kapsul Dexa medica Tremenza®tablet Sanbe farma Trifed®sirup Interbat Trifedin®tablet Otto Zentra®tablet Zenith Zeroflu®tablet Konimex Difenhidramin Oral Antihistamin Menekan produksi Bimacold®sirup Bima mitra Farma
Dewasa 25-50mg mediator dalam mast cell Flupasgin®tablet Gratia
3-4X sehari Fortusin®sirup Solas langgeng Mixaflu®tablet Dankos Neladryl®sirup Yupharin
Fenilpropanolamin Oral dekongestan Bekerja pada reseptor hipertensi Anacetine®sirup Berlico Dewasa 12,5mg adrenergik pada mukosa Astaflu®tablet Asta medica 3X sehari hidung menyebabkan Bestocol®tablet Tanabe
vasokontriksi, menciutkan Bimacold®sirup Bima Mitra Farma
mukosa yang membengkak Bodrex®tablet Tempo
dan memperbaiki Combiflu®tablet Combiphar ventilasi Decolgen®tablet Medifarma Deconal®tablet Apex farma Elsiron®tablet Ifars Erpha Flu®sirup Erlimplex Extra-Flu®tablet Berlico Fludane®tablet Armoxindo Flugrip®tablet Erela Flumin®tablet Zenith Mixagrip®tablet Dankos Neozep®tablet Medifarma Nodrof®tablet Tempo Procold®tablet Kalbe Sanaflu®tablet Sanbe Stpcold®sirup Pharos Tuzalos®tablet Sanbe Ultraflu®tablet Henson Farma
BAB II
FLU BABI
I. PENDAHULUAN
Flu Babi (swine flu) adalah penyakit pernapasan pada babi yang
disebabkan oleh virus influenza tipe A. Flu babi menyebabkan penyakit
dengan tingkat keparahan tinggi dan tingkat kematian yang rendah pada
babi.Virus flu babi dapat berjangkit dalam suatu populasi babi sepanjang
tahun, namun kebanyakan penyebaran terjadi pada musim gugur dan
musim dingin, mirip dengan penyebaran pada manusia.Virus flu babi
klasik (virus influenza H1N1 tipe A) pertama kali diisolasi dari babi pada
tahun 1930.
Seperti virus influenza lainnya, virus flu babi berubah secara
konstan.Babi dapat terinfeksi oleh flu burung dan virus flu manusia seperti
halnya terinfeksi oleh virus flu babi. Saat virus influenza spesises lain
menginfeksi babi, virus tersebut mampu bertukar gen dan membentuk
virus baru dari gabungan virus flu burung dan/atau virus flu manusia dan
babi. Selama bertahun-tahun, variasi virus flu yang bermacam-macam
telah terbentuk. Sekarang ini, ada empat subtipe virus influenza tipe A
yang berhasil diisolasi dari babi: H1N1, H1N2, H3N2, dan H3N1. Namun
kebanyakan virus yang diisolasi dari babi akhir-akhir ini adalah virus
H1N1.
II. ETIOLOGI
Penyebab influenzayang ditemukan pada babi, bersamaan dengan
penyakit yang langsung menyerang manusia. Pertama kali, virus influenza
babi diisolasi tahun 1930, sudah banyak aspek dari penyakit tersebut yang
diungkapkan, antara lain meliputi tanda klinis, lesi, imunitas, transmisi,
adaptasi virus terhadap hewan percobaan dan hubungan antigenik
dengan virus influenza lainnya serta kejadian penyakit di alam.
Penyebab penyakit saluran pernafasan pada babi adalah virus
influenza tipe A yang termasuk Famili Orthomyxoviridae. Virus ini erat
kaitannya dengan penyebab swine influenza, equine influenza dan avian
influenza (fowl plaque).Ukuran virus tersebut berdiameter 80-120 nm.
Selain influenza A, terdapat influenzaB dan C yang juga sudah dapat
diisolasi dari babi. Sedangkan 2 tipe virus influenza pada manusia adalah
tipe A dan B. Kedua tipe ini diketahui sangat progresif dalam perubahan
antigenik yang sangat dramatik sekali (antigenik shift). Pergeseran
antigenik tersebut sangat berhubungan dengan sifat penularan secara
pandemik dan keganasan penyakit. Hal ini dapat terjadi seperti adanya
genetik reassortment antara bangsa burung dan manusia.. Ketiga tipe
virus yaitu influenza A, B, C adalah virus yang mempunyai bentuk yang
sama dibawah mikroskop elektron danhanya berbeda dalam hal
kekebalannya saja. Ketiga tipe virus tersebut mempunyai RNA dengan
sumbu protein dan permukaan virionnya diselubungi oleh semacam paku
yang mengandung antigen haemagglutinin (H) dan enzim neuraminidase
(N). Peranan haemagglutinin adalah sebagai alat melekat virion pada sel
dan menyebabkan terjadinya aglutinasi sel darah merah, sedangkan
enzimneurominidase bertanggung jawab terhadap elusi, terlepasnya virus
dari sel darah merah dan juga mempunyai peranan dalam melepaskan
virus dari sel yang terinfeksi. Antibodi terhadap haemaglutinin berperan
dalam mencegah infeksi ulang oleh virus yang mengandung
haemaglutinin yang sama. Antibodi juga terbentuk terhadap antigen
neurominidase, tetapi tidak berperan dalam pencegahan infeksi.
III. DIAGNOSIS
Mendiagnosis influenza babi dengan metoda imunohistokimia
sudah dilaporkan Hainesetal., (1993) dengan menggunakan antibodi
poliklonal kemudian Vincent etal., (1997) menggunakan antibodi
monoklonal. Kualitas pengujian dengan antibodi monoklonal tersebut lebih
konsisten, karena latar belakang pewarnaan yang rendah dan tidak
terbatasnya penyediaan antibibodi. Pada kasus penyakit influenza babi
yang kronis, diagnosis dapat dilakukan secara serologi dengan
memperlihatkan peningkatan antibodi pada serum ganda (paired sera)
yang diambil dengan selang waktu 3-4 minggu.Untuk memeriksa antibodi
terhadap virus influenza dapat digunakan uji haemagglutination inhibition
(HI), Immunodifusi single radial dan virus netralisasi. Kenaikan titer 4x
lipatnya sudah dianggap adanya infeksi. Pada uji serologis digunakan
kedua antigen H1N1 dan H3N2 (Olsen et al., 2002).
Sampel untuk isolasi virus dapat berasal dari swab hidung/ tonsil,
trachea dan paru-paru yang diambil 2-5 hari dari sejak munculnya gejala
klinis. Semua sampel disimpan dalam media transpor. Selain isolasi virus,
diagnosis juga dapat dilakukan dengan mendeteksi antigen dengan uji
fluorescent antibody technique (FAT) pada sampel paru-paru, tetapi
mempunyai kekurangan oleh karena lesi akibat virus sangat menyebar
sehingga lesi dapat mendapatkan hasil sampel yang negatif dan sampel
harus benar-benar segar dengan sedikit perubahan otolisis serta FA slide
tidak dapat disimpan lama, warna akan pudar sehingga ditawarkan
Vincent et al., 1997, metode deteksi swine influenza virus (SIV) pada
jaringan yang difiksasi dengan metode imunohistokimia yang
menggunakan antibodi monoklonal.
IV. PATOGENESIS
Pada penyakit influenza babi klasik, virus masuk melalui saluran
pernafasan atas kemungkinan lewat udara. Virus menempel pada trachea
dan bronchi dan berkembang secara cepat yaitu dari 2 jam dalam sel
epithel bronchial hingga 24 jam pos infeksi. Hampir seluruh sel terinfeksi
virus dan menimbulkan eksudat pada bronchiol. Infeksi dengan cepat
menghilang pada hari ke. Lesi akibat infeksi sekunderdapat terjadi pada
paru-paru karena aliran eksudat yang berlebihan dari bronkhi. Lesi ini
akan hilang secara cepat tanpa meninggalkan adanya kerusakan.
Kontradiksi ini berbeda dengan lesi pneumonia enzootica babi yang dapat
bertahan lama.
V. GEJALA
Gejala flu babi pada manusia mirip dengan gejala influenza
musiman, berupa demam, lesu, kurang nafsu makan, dan batuk.Beberapa
orang dengan flu babi juga dilaporkan dengan gejala hidung berair, nyeri
tenggorokan, mual muntah, dan diare.
VI. PENYEBARAN
Penyebaran virus Swine Flu H1N1 pada dasarnya terjadi dengan
cara yang sama dengan terjangkitnya flu musiman. Virus flu disebarkan
utamanya dari orang ke orang melalui batuk atau bersin dari orang yang
terkena flu.Kadang-kadang orang dapat terinfeksi dengan menyentuh
sesuatu yang berisi virus flu lalu mereka menyentuh mulut atau
hidungnya. Orang yang terinfeksi mungkin dapat menginfeksi orang lain
mulai dari sehari sebelum gejala berkembang hingga 7 hari atau lebih
setelah sakit. Artinya anda mungkin dapat melewatkan flu ke orang lain
sebelum anda sadar anda sakit atau ketika anda sakit.
VII. PENCEGAHAN
Saat ini tidak ada vaksin tersedia untuk melindungi diri dari Swine
Flu H1N1. Ada beberapa tindakan harian yang dapat membantu anda
untuk menghindari penyebaran kuman yang menyebabkan sakit
pernafasan seperti influenza, yaitu dengan melakukan hal-hal beriku:
1. Tutup hidung dan mulut anda dengan tissu ketika batuk atau bersin.
Buang tissu pada tempt sampah setelah menggunakannya.
2. Cuci tangan lebih sering dengan sabun dan air, khususnya setelah
batuk atau bersin. Pembersih tangan berbahan alkohol juga efektif.
3. Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut, kuman menyebar melalui
cara ini.
4. Coba untuk tidak terlalu dekat dengan orang yang sakit.
5. Jika anda sakit flu, dianjurkan agar anda tinggal dirumah jauh dari
kantor atau sekolah dan batasi kontak dengan orang lain untuk
menjaga menginfeksi mereka.
VIII. PENGOBATAN
Pemberian pengobatan antivirus diberikan pada seseorang dengan
ditemukan H1N1 berdasarkan pemeriksaan laboratorium, berupa
oseltamivir dan zanamir, selain itu juga obat ini berdasarkan CDC dapat
diberikan tidak hanya sebagai terapi, juga sebagai pencegahan.
Pemberian vaksin influenza yang biasa diberikan pada sebelum musim flu
dan juga obat antivirus lain (amatadine, rimantadine) tidak di
rekomendasikan karena dapat menyebabkan resisten terhadap golongan
viruslainnya.Berdasarkan WHO pemberian antivirus yang
direkomendasikan adalah oseltamivir, begitu gejala sudah mulai timbul,
ataupun gejala sudah berat. Apabila pemberian oseltamivir tidak
memungkinkan karena ada penyakit pemberat, dapat diberikan obat
zanamivir sesegera mungkin tanpa menunggu hasil laboratorium,
pemberian ini juga dapat diberikan pada penderita dengan kehamilan,
semua usia termasuk anak dan balita. Penderita dengan sakit yang berat,
WHO merekomendasikan pemberian oseltamivir dan zanamivir, diberikan
sesegera mungkin.
Pengobatan tradisional untuk mengobati flu babi antara lain :
1. Campuran dari 1 sdm madu dengan 1 / 2 sdm bubuk kayu manis dapat
dikonsumsi. Menghilangkan gejala flu babi seperti pilek, hidung dan
sakit tenggorokan.
2. Uap inhalasi dengan daun kemangi yang ditambahkan ke dalam air,
membantu dalam menghilangkan gejala flu babi & kongesti paru-paru.
3. Mengunyah bawang putih segar: obat rumahan efektif lainnya dan
bagus sebagai antivirus.
4. Mengkonsumsi lemon tea: meringankan gejala seperti batuk, sakit
kepala
BAB III
FLU BURUNG
I. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini dunia kesehatan disibukkan dengan merebaknya
penularan virus flu burung. Virus yang biasa kita kenal dengan nama virus
H5N1 ini telah merebak dan menyebabkan kematian pada manusia, dan
sangat dihawatirkan dapatberkembang menjadi wabah pandemiyang
berbahaya bagi umat manusiadi muka bumi ini.
Wabah flu burung ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1878
yangmenjangkiti ayam dan burung di Italia (Perroncito, 1878), saat itu
disebut sebagai “Penyakit Lombardia”, sesuai dengan sebuah daerah
lembah di hulu sungai Po. Kemudian di tahun 1901 Centanini dan
Savonucci berhasil mengidentikfikasi organisme penyebab penyakit
tersebut, namun di tahun 1955Schafer dapat menunjukkan ciri organisme
itu sebagai virus influenza A(Schafer, 1955).
Diawali tahun 1918, dunia dikejutkan oleh wabah influenza yang
mengakibatkan kematian pada lebih dari 40.000 jiwa.Saat itu flu yang
mewabah adalah “Spanish Flu” yaitu virus flu subtipe H1N1. Kemudian di
tahun 1957 mewabah lagi flu yang dikenal dengan nama “Asian Flu” yaitu
virus flu yang telah bermutasi menjadi subtipe H2N2 yang merenggut
100.000 jiwa. Tahun 1968, virus flu kemudian bermutasi menjadi H3N2
(dikenal dengan nama “Hong Kong Flu”) yang merenggut 700.000 jiwa.
Hingga kemudian, dunia dicengangkan dengan merebaknya kembali virus
flu yang kita kenal sampai saat ini dengan nama virus “Flu Burung” atau
Avian influenza H5N1 yang menewaskan 6 orang penduduk Hong Kong
dari 18 orang yang terinfeksi tahun 1997 (Horimoto T, Kawaoka Y. 2001).
Gambar 5. Beberapa subtipe influenza A yang menjadi penyebab wabah pandemi
Flu burung ini sangat patogen, yangmungkin sudah muncul di
China Selatan sebelum tahun 1997, menyerang ternakunggas di seluruh
Asia Tenggara dan secara tidak terduga melintasi batas antarkelas
(Perkins daan Swayne, 2003) ketika terjadi penularan dari burung ke
mamalia (kucing, babi, manusia).
II. VIRUS PENYEBAB
Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau
bulat panjang,merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah
lipatan tersegmentasisampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas
negatif. Virus influenza merupakan nama generik dalam keluarga
Orthomyxoviridae dan diklasifikasikandalam tipe A, B atau C berdasarkan
perbedaan sifat antigenik dari nucleoproteindan matrix proteinnya. Virus
influenza unggas (Avian Influenza Viruses, AIV) termasuk tipe A.
Cara pemberian nama yang sesuai nomenklatur konvensional
untuk isolat virus influenza harus mengesankan tipe virus influenza
tersebut, spesies penjamu(tidak perlu disebut kalau berasal dari manusia),
lokasi geografis, nomor seri, dantahun isolasi. Untuk virus influenza tipe A,
subtipe hemaglutinin danneuroamidasenya ditulis dalam kurung. Salah
satu induk strain virus influenza unggas dalam wabah H5N1 garis Asia
yang terjadi akhir-akhir ini, berhasildiisolasikan dari seekor angsa dari
provinsi Guangdong, China. Oleh karena itu iadiberi
namaA/angsa/Guangdong/1/96 (H5N1) (Xu 1999). Sedangkan isolat
yangberasal dari kasus infeksi H5N1 garis Asia pada manusia yang
pertama kaliterdokumentasikan terjadi di Hong Kong (Claas 1998), dan
dengan demikiandisebut sebagai A/HK/156/97 (H5N1).
Determinan antigenik utama dari virus influenza A dan B
adalahglikoprotein transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan
neuroaminidase (N atauNA), yang mampu memicu terjadinya respons
imun dan respons yang spesifikterhadap subtipe virus.Respons ini
sepenuhnya bersifat protektif di dalam, tetapi bersifat protektif parsial pada
lintas subtipe yang berbeda.Berdasarkan sifatantigenisitas dari
glikoprotein-glikoprotein tersebut, saat ini virus influenza dikelompokkan
ke dalam 15 subtipe H (H1-H15) dan sembilan N (N1-N9).Beberapa
subtipe virus influenza A telah menyebabkan wabah pandemi antara lain
H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900),
dan H2N2 (1889) (Yuen, KY and Wong SS, 2005).Kelompok-kelompok
tersebut ditetapkan ketika dilakukan analisis filogenetikterhadap
nukleotida dan penetapan urutan (sequences) gen-gen HA dan NA
melaluicara deduksi asam amino (Fouchier 2005).
Virus Influenza A sangat penting dalam bidang kesehatan karena
sangat patogen baik bagi manusia, dan binatang, yang menyebabkan
angka kesakitan dan kematian yang tinggi, di seluruh dunia. Virus
influenza A ini dapat menyebabkan pandemi karena mudahnya mereka
bermutasi, sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih patogen.
III. PENJAMU ALAMI
Burung-burung air yang liar, terutama yang termasuk dalam orde
Anseriformis(bebek dan angsa) dan Charadiformis (burung camar dan
burung-burung pantai),adalah pembawa (carrier) seluruh varietas subtipe
dari virus influenza A, dan olehkarenanya, sangat mungkin merupakan
penampung (reservoir) alami untuk semuajenis virus influenza (Webster
1992, Fouchier 2003, Krauss 2004, Widjaja 2004).Sementara semua
spesies burung dianggap sebagai rentan terinfeksi, beberapaspesies
unggas domestik – ayam, kalkun, balam, puyuh dan merak –
diketahuiterutama rentan terhadap sekuele (lanjutan) dari infeksi virus
influenza.Virus-virus influenzaA unggas biasanya tidak menimbulkan
penyakit padapenjamu alami mereka. Sebaliknya, virus-virus tersebut
tetap dalam suatu keadaan stasis yang evolusioner, yang secara
molekuler ditandai dengan rendahnya rasio mutasi N/S (non synonymous
vs. synonymous) yang menunjukkan adanya evolusi pemurnian (Gorman
1992, Taubenberger 2005).Antara penjamu dengan virus agaknya terjadi
saling toleransi yang seimbang, yang secara klinis ditunjukkan dengan
tidak adanya penyakit dan replikasi virus secara efisien.Sejumlah besar
virus, sampai sebanyak 108,7x 50% dosis infektif (egg-infective dose)
(EID50) per gram tinja, dapat dikeluarkan (Webster 1978).Jika virus
tersebut menular ke spesies unggas yang rentan, dapat timbul gejala-
gejala sakit yang – kalau ada -- biasanya bersifat ringan.Virus dari
fenotipe seperti ini disebut sebagaiberpatogenisitas rendah (LPAIV).Tetapi
strain-strain dari subtipe H5 dan H7 berpotensi untuk mengalami mutasi
menjadi bentuk yang sangat patogen setelah mengalami perpindahan dan
adaptasi terhadap penjamu yang baru. Kelahiran bentuk yang sangat
patogen dari H5 dan H7 atau subtipe yang lain tidak pernah dijumpai
dalam unggas liar (Webster 1998).Oleh karena itu, orang dapat
mengambil kesimpulan bahwa bentuk yang sangat patogen tersebut
sebenarnya merupakan hasil perbuatanmanusia juga, akibat kelakukan
manusia yang mempengaruhi keseimbangansystem alami.
Sekali fenotip HPAIV tumbuh dalam unggas domestik, mereka
akan dapatditularkan secara horisontal dari unggas ternak kembali ke
burung liar. Kerentananburung liar terhadap penyakit yang ditimbulkan
oleh HPAIV sangat bervariasitergantung kepada spesies dan umur
unggas, serta strain virusnya. Sampai padamunculnya virus ganas
(HPAIV) garis H5N1 di Asia, limpahan dari HPAIV kepopulasi burung liar
hanya terjadi secara sporadik dan terbatas pada suatu daerahsaja, kecuali
satu yaitu pada kematian sekelompok sterna (sejenis camar) di
AfrikaSelatan pada tahun 1961 (Becker 1966), sehingga sebegitu jauh
unggas liar secaraepidemiologik tidak dianggap mempunyai peranan
penting dalam penyebaranHPAIV (Swayne and Suarez 2000). Pandangan
ini kini berubah secara fundamentalsejak awal 2005, ketika terjadi wabah
virus ganas (HPAIV) yang terkait dengangaris H5N1 Asia pada ribuan
burung air di cagar alam Danau Qinghai di barat lautChina (Chen 2005, Lu
2005). Akibat kejadian ini, ditemukan adanya penyebaranlebih lanjut ke
arah Eropa selama tahun 2005 (OIE 2005).
Gambar 6. Bagan patogenesis dan epidemiologi flu burung; LPAIV= Low Pathogenic Avian Influenza Virus;HPAIV= High Pathogenic Avian Influenza Virus; HA= Protein
hemaglutinin
IV. PENULARAN KE MANUSIA
Penularan atau transmisi darivirus influenza secara umum
dapatterjadi melalui inhalasi, kontak langsung,ataupun kontak tidak
langsung(Bridges CB, et.al. 2003).Sebagian besar kasus infeksi HPAI
pada manusiadisebabkan penularan virusdari unggas ke manusia (Beigel
JHet.al. 2005).Pada tahun 1997 dari total 18orang yang didiagnosis telah
terinfeksidengan H5N1 di Hongkongdimana 6 diantaranya
meninggalmenunjukkan bahwa adanya kontaklangsung dari korban
dengan unggasyang terinfeksi.Tidak ada risikoyang ditimbulkan dalam
mengkonsumsidaging unggas yang telah dimasakdengan baik dan
matang(Mounts AW, et.al.1999). Beberapapenelitian telah dilakukan
untukmengetahui risiko terinfeksi H5N1bagi para pakerja atau
peternakunggas (Bridges CB, et.al. 2002),penelitian tentang risiko
tenagakesehatan yang menangani pasienavian influenza A (Schults C,
et.al.2005), dan juga penelitian tentangkemungkinan transmisi virus
H5N1pada binatang lainnya. Dari hasilpenelitian yang dilakukan
dengancara memberi makan binatang sepertikucing, macan, ataupun
macan tutuldengan unggas yang terinfeksidengan H5N1 terbukti bahwa
binatangpemakan daging tersebut dapatmengalami kelainan paru
berupapneumonia, severe diffuse lveolar damage,dan dapat
menyebabkan kematian(Keawcharoen J, et.al. 2004,Kuiken T, et.al.
2004).Bukti bahwa terjadinya transmisidari manusia ke manusia
sangatjarang ditemukan. Namun demikianberdasarkan beberapa
kejadiandimana terjadi kematian pasien yangberkerabat dekat
disebabkan olehinfeksi virus H5N1 (Hien TT, et. al.2004), dan transmisi
yang terjadididalam keluarga penderita padatahun 2004 di Thailand,
antaraseorang anak perempuan berumur 11 tahun yang tinggal bersama
bibinya,diduga telah menularkan virus H5N1 kepada bibi dan ibunya yang
datangdari kota lain yang berjauhan untuk merawat anaknya yang sakit
terinfeksiH5N1. Putrinya meninggal padatanggal 8 September 2004
setelahsempat dirawat selama satu hari di rumah sakit. Seminggu
kemudianpada tanggal 17 September ibunyadibawa kerumah sakit dan
didugaterinfeksi virus H5N1 dan meninggalpada tanggal 20 September
2004.Sedangkan bibinya menderita gejalaflu dan dibawa ke rumah sakit
padatanggal 23 September dan diobatidengan oseltamivir (tamiflu).
Bibinyaberhasil disembuhkan dan pulangdari rumah sakit pada tanggal
7Oktober 2004.Dari pemeriksaan laboratoriumdapat dipastikan bahwabaik
ibu maupun bibinya telah terinfeksivirus H5N1 yang berasal darianaknya,
selama mereka merawatanaknya yang sedang sakit (UngchusakK, et.al.
2005).
Kekhawatiranyang muncul di kalangan para ahligenetika adalah
bila terjadi rekombinasigenetik (genetic reassortment)antara virus
influenza burung danvirus influenza manusia, sehinggadapat menular
antara manusia kemanusia.
V. MASA INKUBASI DAN GEJALA
a. Masa Inkubasi
- Pada Unggas : 1 minggu
- Pada Manusia : 1 – 7 hari (rata-rata 3 hari.)
Masa infeksi 1 hari sebelum, sampai 3 - 5 hari sesudah timbul
gejala, pada anak sampai 21 hari.
b. Gejala flu burung pada unggas dan manusia :
- Gejala pada unggas
Jengger berwarna biru, Pendarahan merata pada kaki yang berupa
bintik-bintik merah atau sering terdapat borok di kaki yang disebut
dengan ”kaki kerokan”. Adanya cairan pada mata dan hidung sehingga
terjadi gangguan pernapasan.Keluar cairan jernih sampai kental dari
rongga mulut.Diare.Haus berlebihan dan cangkang telur
lembek.Kematian mendadak dan sangat tinggi jumlahnya mendekati
100% dalam waktu 2 hari, maksimal 1 minggu.
- Gejala pada manusia
Gambaran klinis pada manusia yang terinfeksi flu burung
menunjukkan gejala seperti terkena flu biasa.Diawali dengan demam,
nyeri otot, sakit tenggorokan, batuk, sakit kepala dan pilek.Dalam
perkembangannya kondisi tubuh sangat cepat menurun drastis.Bila
tidak segera ditolong, korban bisa meninggal karena berbagai
komplikasi misalnya terjadinya gagal napas karena pneumonia dan
gangguan fungsi tubuh lainnya karena sepsis.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan :
1. Anamnesis tentang gejala yang diderita oleh penderita dan adanya
riwayat kontak atau adanya faktor risiko, seperti kematian unggas
secara mendadak, atau unggas sakit di peternakan/dipelihara di
rumah, atau kontak dengan pasien yang didiagnosis avian influenza
(H5N1), atau melakukan perjalanan ke daerah endemis avian
influenza 7 hari sebelum timbulnya gejala .
2. Pemeriksaan fisik: suhu tubuh >38º C, napas cepat dan hiperemi
farings (farings kemerahan).
3. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) diperoleh leukopenia,
limfopenia, trombositopenia ringan sampai sedang dan kadar
aminotransferase yang meningkat sedikit atau sedang, kadar
kreatinin juga meningkat.
4. Pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit diperlukan untuk
mengetahui status oksigenasi pasien, keseimbangan asam-basa dan
kadar elektrolit pasien.
5. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya avian influenza
H5N1 antara lain dengan Immunofluorescence assay, Enzyme
Immunoassay, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Real-time
PCR assay, Biakan Virus. Dari hasil pemeriksaan ini dapat
ditentukan status pasien apakah termasuk curiga (suspect), mungkin
(probable) atau pasti (confirmed).
6. Pada pemeriksaan radiologi dengan melakukan X-foto toraks
didapatkan gambaran infiltrat yang tersebar atau terlokalisasi pada
paru. Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi oleh karena virus
atau bakteri di paru-paru atau yang dikenal dengan pneumonia.
Gambaran hasil radiologi tersebut dapat menjadi indikator
memburuknya penyakit avian influenza.
VII. FARMAKOTERAPI
Seperti penyakit virus lainnya, sebenarnya penyakit ini belum ada
obat yang efektif. Penderita hanya akan diberi obat untuk meredakan
gejala yang menyertai penyakit flu itu, seperti demam, batuk atau pusing.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat telah
merekomendasikan 4 (empat) jenis obat antiviral untuk pengobatan dan
pencegahan influenza A.
Jenis obat tersebut diantaranya adalah M2 inhibitors (amantadin
dan rimantadin) dan neuraminidase inhibitors (oseltamivir dan
zanamivir).Keempat obat ini dapat digunakan yang biasa kita kenal
(seasonal influenza). Akan tetapi, tidak semua obat antivirus ini dapat
digunakan untuk mengobati penyakit flu burung yang disebabkan oleh
virus influenza A subtipe H5N1.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, virus
H5N1 sudah resisten terhadap amantadin dan rimantadin.Oseltamivir
yang diberikan secara oral dan zanamivir secara inhalasi (dihirup) efektif
melawan virus H5N1.Selain digunakan dalam pengobatan, oseltamivir
juga dapat dimanfaatkan sebagai profilaksis atau pencegahan terhadap
penyakit flu burung.
1. OSELTAMIVIR FOSFAT
Bentuk sediaan oseltamivir adalah kapsul (75 mg) dan suspensi (12
mg/mL).
INDIKASI
Infeksi influenza
Pengobatan : pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai
komplikasi yang disebabkan oleh infeksi influenza pada pasien yang
berusia lebih dari 1 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2
(dua) hari.
Profilaksis : untuk profilaksis influenza pada dewasa dan anak yang lebih
dari 13 tahun. Oseltamivir tidak digunakan sebagai pengganti vaksinasi.
DOSIS DAN PENGGUNAAN
Oseltamivir dapat digunakan tanpa memperhatikan makanan.Jika
digunakan bersamaaan dengan makanan, toleransi dapat meningkat.
Pengobatan influenza :
Dewasa dan Anak lebih dari 13 tahun : dosis oral yang direkomendasikan
adalah 75 mg dua kali sehari selama 5 hari. Pengobatan dimulai setelah
timbul gejala influenza dalam dua hari.
Anak – anak : dosis oral suspensi yang direkomendasikan untuk anak di
atas 1 tahun dan dewasa yang tidak dapat menelan kapsul adalah
sebagai berikut:
*tabel*
Profilaksis Influenza :
Dosis oseltamivir oral yang direkomendasikan untuk profilaksis influenza
pada dewasa dan anak di atas 13 tahun yang telah mengalami kontak
langsung dengan individu yang terinfeksi adalah 75 mg sekali sehari,
sekurang-kurangnya selama 7 hari. Terapi sebaiknya dimulai setelah 2
hari terpajan.Dosis yang direkomendasikan untuk profilaksis selama
terjadi wabah influenza adalah 75 mg sekali sehari.
Gangguan fungsi ginjal :
Pengobatan influenza : penyesuaian dosis direkomendasikan untuk
pasien dengan kreatinin klirens 10-30 mL/menit. Pada kondisi ini,
direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg sekali sehari selama 5
hari.
Profilaksis : untuk profilaksis, penyesuaian dosis direkomendasikan untuk
pasien dengan kreatinin klirens 10 – 30 mL/menit. Pada kondisi ini,
direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg pada waktu tertentu.
MEKANISME KERJA
Farmakologi :oseltamivir adalah suatu bentuk etil ester yang memerlukan
perubahan menjadi bentuk aktif oseltamivir karboksilat. Mekanisme kerja
dari oseltamivir adalah inhibisi neuraminidase virus influenza yang
menyebabkan perubahan agregasi dari partikel virus untuk selanjutnya
menjadi bebas.
Farmakokinetik :
Absorpsi : oseltamivir fosfat diabsorpsi melalui saluran pencernaan
setelah pemberian secara oral. Konsentrasi puncak rata-rata dari
oseltamivir dan oseltamivir karboksilat adalah 65,2 ng/mL dan 348 ng/mL,
setelah pemberian 75 mg, dua kali sehari. Area di bawah kurva (AUC) dari
0-12 jam adalah 112 ng/mL untuk oseltamivir dan 2719 ng/mL untuk
oseltamivir karboksilat.Pemberian oseltamivir bersamaan dengan
makanan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap konsentrasi
plasma puncak dan area bawah kurva.
Distribusi : ikatan oseltamivir karboksilat terhadap protein plasma
manusia adalah rendah (3%). Ikatan oseltamivir terhadap protein plasma
adalah 42% artinya belum cukup mampu untuk menyebabkan pergeseran
yang signifikan dalam interaksi obat.
Metabolisme : oseltamivir secara ekstensif berubah menjadi oseltamivir
karboksilat melalui proses esterase yang berlangsung di liver. Baik
oseltamivir maupun oseltamivir karboksilat merupakan substrat untuk atau
inhibitor dari isoform sitokrom P450.
Ekskresi : oseltamivir yang diabsorsi, secara umum (sekitar 90 %)
dieliminasi melalui konversi menjadi oseltamivir karboksilat. Konsentrasi
plasma oseltamivir menurun dalam waktu paruh 1-2 jam pada kebanyakan
subjek percobaan setelah pemberian oral.Oseltamivir karboksikat tidak
mengalami perubahan metabolisme lebih lanjut dan dieliminasi melalui
urin. Konsentrasi plasma dari oseltamivir karboksilat akan menurun dalam
waktu paruh 6-10 jam pada kebanyakan subjek percobaan. Oseltamivir
karboksilat dieliminasi secara keseluruhan (99%) melalui ekskresi ginjal.
Klirens ginjal (18,8 L/jam) melebihi kecepatan flitrasi glomerulus (7,5
L/jam) menunjukkan terlibatnya sekresi tubulus, sebagai tambahan dari
flitrasi glomerulus. Kurang dari 20% dosis oral dieliminasi melalui feces.
KONTRA INDIKASI
Oseltamivir dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap
komponen yang ada di dalam produk.
PERHATIAN
Gangguan fungsi ginjal : penyesuaian dosis direkomendasikan untuk
pasien dengan klirens kurang dari 30 mL/menit (lihat bagian dosis dan
pemberian).
Kondisi menyusui : belum diketahui apakah oseltamivir dan oseltamivir
karboksilat diekskresikan ke dalam air susu. Dengan demikian, oseltamivir
hanya digunakan jika manfaat lebih besar daripada risikonya.
Anak –anak : keamanan dan efikasi oseltamivir pada anak kurang dari 1
tahun belum diketahui.
PERINGATAN
Infeksi bakteri : infeksi bakteri serius mungkin terjadi dengan gejala mirip
influenza atau mungkin mengikuti atau terjadi sebagai komplikasi dari
influenza.
Penyakit lain : belum ada bukti efikasi untuk oseltamivir terhadap infeksi
lain yang disebabkan oleh agen penyebab lain kecuali oleh virus influenza
tipe A dan B.
Mulai pengobatan : efikasi dari oseltamivir pada pasien yang mulai diobati
setelah 40 jam gejala tidak diketahui.
Pasien risiko tinggi : efikasi dari oseltamivir pada pasien dengan penyakit
jantung kronis atau penyakit pernapasan tidak diketahui.
Pencegahan influenza : penggunaan oseltamivir seharusnya tidak
mempengaruhi evaluasi dari seseorang untuk diberikan vaksinasi
influenza rutin. Efikasi oseltamivir untuk penggunaan profilaksis dalam
pencegahan influenza belum diketahui).
INTERAKSI OBAT
Probenecid :penggunaan bersama oseltamivir dan probenecid akan
menghasilkan peningkatan konsentrasi oseltamivir karboksilat kira-kira
sebesar 2 kali karena adanya penurunan sekresi tubular anionik di ginjal.
EFEK SAMPING
Efek samping yang terjadi pada sekitar 3 % pasien adalah sakit perut,
batuk, diare, sakit kepala, mual dan muntah.
CATATAN
Belum ada kebijakan Departemen Kesehatan RI untuk menggunakan
oseltamivir sebagai profilaksis.
2. ZANAMIVIR
Bentuk sediaan zanamivir adalah serbuk inhalasi dalam bentuk
blister 5 mg.
INDIKASI
Infeksi influenza
Pengobatan : pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai
komplikasi yang disebabkan oleh infeksi virus influenza A dan B pada
pasien dewasa dan anak lebih dari 7 tahun yang sudah mengalami gejala
tidak lebih dari 2 (dua) hari. Zanamivir tidak direkomendasikan untuk
pasien yang mengalami penyakit kerusakan saluran pernapasan seperti
asma atau penyakit kerusakan paru-paru kronik (COPD).
DOSIS DAN PENGGUNAAN
Zanamivir digunakan untuk saluran pernapasan melalui inhalasi oral
dengan menggunakan alat “diskhaler” yang disertakan bersama obat.
Pasien harus diberi penjelasan tentang cara penggunaan obat, jika
mungkin disertai demonstrasi cara pemakaian obat. Jika zanamivir
diresepkan untuk anak-anak, pemakaiannya harus dalam pengawasan
dan instruksi orang dewasa. Orang dewasa yang dimaksud disini adalah
orang dewasa yang telah diberi penjelasan tentang cara pemakaian obat.
Dosis zanamivir yang direkomendasikan untuk perawatan influenza pada
pasien yang berusia lebih dari 7 tahun dan lebih adalah 2 inhalasi (per
inhalasi adalah 5 mg blister, jadi dosis total adalah 10 mg) dua kali sehari
(jarak pemakaian 12 jam), selama 5 hari. Dua dosis ini harus digunakan
pada pengobatan awal, jika mungkin jarak pemberian adalah 2 jam. Pada
hari berikutnya, jarak pemberian adalah 12 jam (misalnya pada malam
dan siang hari), waktu pemberian ini hendaknya sama setiap hari. Tidak
ada data tentang keefektifan dari pengobatan dengan zanamivir jika
dimulai lebih dari dua hari setelah timbul tanda atau gejala.Pasien yang
menggunakan bronkodilator bersamaan dengan zanamivir, harus
menggunakan bronkodilator terlebih dahulu.
MEKANISME KERJA
Farmakologi :Mekanisme kerja dari zanamivir adalah inhibisi
neuraminidase virus influenza yang menyebabkan perubahan agregasi
dari partikel virus untuk selanjutnya menjadi bebas.
Resistensi obat : virus influenza dengan kepekaan yang menurun
terhadap zanamivir telah diketahui secara in vitro dengan cara
melewatkan virus pada konsentrasi obat yang meningkat. Analisis genetik
terhadap virus-virus ini menunjukkan bahwa kepekaan virus yang
berkurang secara in vitro terhadap zanamivir berhubungan dengan mutasi
yang menghasilkan perubahan asam amino pada neuraminidase atau
hemaglutinin atau keduanya.
Resistensi silang :resistensi silang telah dipelajari antara virus influenza
mutan yang resisten terhadap zanamivir dan resisten terhadap oseltamivir
secara in vitro.
Farmakokinetik :
Absorpsi : sekitar 4% - 17% dari dosis inhalasi akan terabsorbsi secara
sistemik. Konsentrasi serum puncak bervariasi antara 17 – 42 ng/mL,
dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis 10 mg.
Distribusi :zanamivir memiliki ikatan terhadap protein plasma yang
sangat terbatas (kurang dari 10%)
Metabolisme : zanamivir diekskresi melalui ginjal dalam bentuk yang
tidak berubah. Tidak ada metabolit yang terdeteksi.
Ekskresi :waktu paruh dari zanamivir setelah pemberian melalui inhalasi
oral bervariasi antara 2,5 -5,1 jam. Zanamivir akan diekskresi dalam
bentuk yang tidak berubah dalam urin dengan ekskresi dari dosis tunggal
utuh dalam waktu 24 jam. Total klirens adalah 2,5 – 10,9 L/jam. Obat yang
tidak diabsorbsi akan diekskresi melalui feces.
KONTRA INDIKASI
Zanamivir dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap
komponen yang ada di dalam produk.
PERHATIAN
Pasien dengan penyakit pernapasan : Zanamivir tidak menunjukkan efektif
dan mungkin berisiko untuk pasien dengan penyakit saluran pernapasan
parah seperti asma dan penyakit pernapasan serius lainnya. Dengan
demikian, zanamivir tidak direkomendasikan untuk pasien dengan
gangguan saluran pernapasan seperti asma.
Kehamilan : Kategori C. Tidak ada penelitian yang cukup atau terkontrol
dengan baik pada wanita hamil. Penggunaan saat hamil hanya jika
manfaat lebih besar daripada risikonya.
Kondisi menyusui : belum diketahui apakah zanamivir diekskresikan ke air
susu. Harus disertai perhatian jika memberikan zanamivir untuk pasien
yang menyusui.
Anak –anak : keamanan dan efikasi zanamivir pada anak kurang dari 7
tahun belum diketahui.
PERINGATAN
Mulai pengobatan :tidak ada data untuk mendukung keamanan dan efikasi
pada pasien yang memulai pengobatan setelah 48 jam timbulnya gejala.
Serangan berulang :keamanan dan efikasi dari penggunaan untuk
serangan berulang belum diketahui.
Reaksi alergi :reaksi seperti alergi, termasuk edema oropharyngeal dan
gangguan kulit serius telah diketahui dari hasil penelitian post marketting
zanamivir. Penggunaan zanamivir harus dihentikan dan dimulai
pengobatan yang sesuai jika dicurigai akan terjadi reaksi alergi.
Infeksi bakteri : infeksi bakteri serius mungkin terjadi dengan gejala mirip
influenza atau mungkin mengikuti atau terjadi sebagai komplikasi dari
influenza. Zanamivir tidak diketahui dapat mencegah komplikasi-
komplikasi ini.
Penyakit lain : belum ada bukti efikasi untuk zanamivir terhadap infeksi
lain yang disebabkan oleh agen penyebab lain kecuali oleh virus influenza
tipe A dan B.
Pencegahan influenza :keamanan dan efikasi dari zanamivir untuk
penggunaan profilaksis untuk mencegah influenza tidak diketahui.
penggunaan oseltamivir seharusnya tidak mempengaruhi evaluasi dari
seseorang untuk diberikan vaksinasi influenza rutin. Efikasi oseltamivir
untuk penggunaan profilaksis dalam pencegahan influenza belum
diketahui).
Pasien risiko tinggi : efikasi dari oseltamivir pada pasien dengan penyakit
jantung kronis atau penyakit pernapasan tidak diketahui.
INTERAKSI OBAT
Zanamivir bukan merupakan substrat dan tidak mempengaruhi isoenzim
sitokrom P450 (CYP) : CYP1A1/2, 2A6, 2C9, 2C18, 2D6, 2E1, dan 3A4)
pada mikrosom liver manusia.
EFEK SAMPING
Efek samping yang terjadi pada sekitar 3 % pasien adalah diare,
gangguan hidung, mual, sinusitis, infeksi telinga, hidung dan tenggorokan.
Hasil laboratorium : terjadi peningkatan enzim liver, CPK, lymfopenia,
neutropenia. Hasil yang diperoleh antara pemberian zanamivir dan
plasebo menunjukkan hasil yang mirip.
3. OBAT – OBAT PENUNJANG
Analgesik-antipiretik, antibiotik, vitamin, kortikosteroid, simpatomi-
metik, cairan elektrolit dan nutrisi.
VIII. KETERSEDIAAN OBAT FLU BURUNG
Ketersediaan obat flu burung mengacu pada Pedoman
Pengelolaan Tamiflu Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan – Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan – Departemen
Kesehatan RI.
IX. VAKSIN FLU BURUNG
Departemen Kesehatan RI masih dalam persiapan untuk
memproduksi vaksin flu burung dari strain virus H5N1 asal Indonesia
karena hasil pengujian rantai RNA menunjukkan bahwa virus H5N1 yang
menginfeksi warga Indonesia merupakan virus asli Indonesia. PT.
Biofarma, Badan Usaha Milik Negara yang menjadi mitra pemerintah
dalam penyediaan vaksin hingga saat ini masih melakukan berbagai
pembicaraan dengan pihak Baxter Bioscience. Pihak PT. Biofarma sendiri
tetap menyiapkan berbagai sarana produksi yang diperlukan dalam
pembuatan vaksin tersebut.
X. CATATAN KHUSUS
Asetosal sebaiknya tidak diberikan pada anak-anak dan remaja
karena dapat menyebabkan Reye Syndrome.
BAB IV
HEPATITIS
I. PENDAHULUAN
Hati adalah organ yang sangat penting dalam pengaturan
homeostasis tubuh dari metabolisme, biotransformasi, sintesis,
penyimpanan hingga imunologi.Hepatosit dapat melakukan regenerasi
dengan cepat.Sehingga pada batas tertentu, hati dapat mempertahankan
fungsinya bila terjadi gangguan ringan. Namun untuk gangguan yang
terbilang berat, terjadi gangguan fungsi yangserius dan akan berakibat
fatal.
WHO menunjukkan bahwa pada gangguan hati yang
disebabkan oleh virus, Indonesia termasuk dalam peringkat yang
tinggi, meskipun angka pasti prevalensi dan insidens masih
belumdiketahui.
II. EPIDEMIOLOGI, ETIOLOGI, DAN PATOGENESIS
Gangguan fungsi hatiseringkalidihubungkan dengan beberapa
penyakit hati tertentu. Beberapa pendapat membedakan penyakit hati
menjadi penyakit hatiakutatau kronis.Dikatakan akutapabila kelainan-
kelainan yangterjadiberlangsungsampaidengan6 bulan,
sedangkanpenyakithati kronis berartigangguan yang terjadi sudah
berlangsung lebih dari 6 bulan. Ada satu bentukpenyakit hatiakutyang
fatal,yakni kegagalanhatifulminan,yangberartiperkembangan mulai
dari timbulnya penyakit hati hingga kegagalan hati yangberakibat
kematian (fatal) terjadi dalam kurang dari 4 minggu.
Ada limajenisvirus hepatitis: HepatitisA (HAV), B(HBV), C (HCV), D
(HDV), dan E (HEV). Jenis virus inimungkinhadir sebagaipenyakitakut
ataukronis, yangterutamadibedakan berdasarkandurasipenyakit.Hepatitis
akutdapat berhubungandengan semualima jenishepatitis.Hepatitis
kronis(penyakitberlangsung lebih lamadari 6 bulan) adalah biasanya
berhubungandengan hepatitisB, C,dan D.Kronisvirushepatitisdapat
menyebabkanperkembangan sirosis, yang mungkin menginduksistadium
akhir penyakithati (ESLD). KomplikasiESLDmeliputiasites, edema, sakit
kuning, ensefalopatihepatik,infeksi, danperdarahanvarisesesofagus.Oleh
karena itu,pencegahan dan pengobatanhepatitis virusdapat
mencegahESLD.Virus hepatitis dapatterjadi pada semua usiadan
merupakanyang paling umummenyebabkanpenyakit hatidi
dunia.Prevalensidan kejadianmungkintidak dilaporkankarenakebanyakan
pasientidak menunjukkan gejala.Epidemiologi, etiologi, dan
patogenesisbervariasi tergantungpada jenishepatitis danakan
dipertimbangkansecara terpisahdi bawah ini.
HEPATITIS A
Patofisiologi
Hepatitis A is a non-enveloped single-stranded ribonucleic acid
(RNA) virus diklasifikasikan sebagai genus hepatovirus famili
Picornaviridae. Inang untukHAVadalahmanusia,dengan selhatisebagai
situsutama untukreplikasi virus.Sebagai bagiandari
prosesdegradasivirus,HAVadalahdilepaskan ke dalamsistem
empedumenyebabkanpeningkatan konsentrasidari virusdifeces.
HEPATITIS B
Patofisiologi dan epidemiologi
Konsentrasi tertinggi dari HBV ditemukan di dalam darah dan
cairan serosa.Oleh karena itu, transmisi dari hepatitis B baik oleh darah
atau cairan tubuh melalui perinatal, seksual, atau perkutan. Bayi yang lahir
dari ibu yang terinfeksi HBV yang aktif bereplikasi memiliki risiko 90%
terkena hepatitis B. Jika bayi bertempat tinggal di daerah endemik tidak
terinfeksi saat lahir, risiko memperoleh hepatitis B kronis masih 30%
sampai 60%. Individu paling berisiko tertular HBV tercantum dalam Tabel
21-1.Sekitar 33% kasus hepatitis B yang dilaporkan tidak diidentifikasi
adanya faktor risiko.
Patofisiologi
Hepatitis B juga termasuk dalam famili Hepadnaviridae yang
pertama kali ditemukan pada individu yang terserang hepatitis melalui
transfusi darah.Hepatitis merupakan double-stranded deoxyribonucleic
acid (DNA) virus dengan dengan lapisan fosfolipid mengandung hepatitis
B antigen permukaan (HBsAg) yang mengelilingi nukleokapsid
tersebut.Nukleokapsid mengandung protein inti yang menghasilkan
hepatitis B antigen inti (HBcAg), yang tidak terdeteksi dalam
serum.Mekanisme yang tepat dari cedera hepatoseluler dari hepatitis B
tetapi masih diselidiki bahwa reaksi imun sitotoksik terjadi ketika HbcAg
diekspresikan pada permukaan sel-sel hati.Untungnya, antibodi terhadap
antigen inti hepatitis B (anti-HBc) dapat terukur dalam darah, di mana anti-
HBc untuk imunoglobulin M (IgM) menunjukkan infeksi aktif dan anti-HBc
untuk IgG berhubungan dengan baik infeksi kronis atau kekebalan
mungkin terhadap HBV.Replikasi virusterjadi ketika selubung
antigen(HBeAg) hepatitisBberedardalam darah.DNA HBVdigunakanuntuk
mengukurtingkat penularanvirus, menilai dan mengukurreplikasi
virus.Setelahinfeksihepatitis Bsembuh kembali, sistem imun melawan
selubung hepatitis B (anti-Hbe) dan sistem imun juga melawan permukaan
hepatitis B antigen (anti-HBs) berkembang, dan kadar DNA HBV tidak
terdeteksi. Namun bila sistem imun tersebut tidak berkembang, maka
kemungkinan perkembangan Hepatitis B kronik meningkat.Hal ini
terutamatergantungpada sistemkekebalan inangpada saat terinfeksi.
HEPATITISC
Hepatitis C, pertama dikenal sebagai non-A hepatitis non-B, infeksi
melalui darah yang merupakan RNA beruntai tunggal temasuk keluarga
Flaviviridae dan genus Hepacivirus.Mekanisme sebenarnya dari
kerusakan hati masih menjadi pertanyaan, teori bahwa peptida struktural
dan nonstruktural mungkin bertanggung jawab untuk replikasi RNA virus,
khususnya peptida NS5. Saat ini, ada enam genotipe (nomor 1 sampai 6)
dan lebih dari 90 subtipe (genotipe 1a, 1b, 2a, 3b, dll) yang unik untuk
hepatitis C. Antibodi menyerang HCV (anti-HCV) dalam darah
menunjukkan infeksi dengan HCV. Jika infeksi terjadi lebih dari 6 bulan
dan replikasi virus dikonfirmasi oleh kadar HCV RNA, maka seseorang
mengalami hepatitis C. Penyakit kronis mungkin terjadi karena sebuah
sistem imun host tidak efektif terhadap HCV. Cytotoxic limfosit T tidak
efektif dalam memberantas HCV, sehingga memungkinkan kerusakan
parah pada sel hati.
HEPATITIS D
HepatitisD(awalnyadisebut
sebagaideltahepatitis)termasukgenusDeltavirusdarikeluarga
Deltaviridae.HDVmemilikiRNA beruntai tunggalmelingkaryang dibutuhkan
untuk replikasivirus HDV.Iniini karenavirushepatitis Dantigen(HDVAg)
dilapisiolehhepatitisBantigen permukaan(HBsAg).Mekanismeyang tepat
darikerusakan hatiyang diinduksi olehHDVmasihsedang diselidiki,tetapi
diketahuibahwa replikasiHDVtidak dapat terjadi tanpa adanya
HBVmenyebabkansalah satu koinfeksi(baikhepatitisB dan
Dinfeksiterjadisecara bersamaan) atau superinfeksi(mendapatkan HDV
setelahmengalamipenyakitHBV).
HEPATITIS E
Hepatitis E adalah non non-enveloped single-stranded messenger
Virus RNA. HEV ini mirip dengan HAV yang terinfeksi dalam kotoran yang
terkontaminasi, sehingga menginfeksi orang lain melalui rute fecal-oral.
Keparahan kerusakan hati tergantung pada strain HEV. Tidak ada kasus
hepatitis E kronis yang didokumentasikan.
III. DIAGNOSA VIRUS HEPATITIS
Diagnosavirus hepatitis mungkin sulitkarena sebagianorang yang
terinfeksitidak menunjukkan gejala.Karena gejala-gejalatidak dapat meng-
identifikasijenis spesifikhepatitis,serologilaboratoriumharus
diperoleh(Tabel21-2).Selain itu, tes fungsi hatidapat diperolehuntukmenilai
sejauh manakolestasisdancedera hepatoseluler.Namun, tes yang tepat
untuk menentukan jumlah kerusakandan peradangansel hatiadalah
melalui biopsi hati.
HEPATITIS A
Diagnosis hepatitis A dibuat dengan mendeteksi imunoglobulin
antibodi terhadap protein kapsid dari HAV tersebut.Kehadiran IgM anti-
HAV dalam serum menunjukkan adanya infeksi akut.IgM muncul sekitar 3
minggu setelah paparan dan menjadi tidak terdeteksi dalam waktu 6
bulan. Sebaliknya, IgG anti- HAV muncul dalam serum kira-kira pada saat
yang sama IgM anti-HAV berkembang tetapi menunjukkan perlindungan
dan kekebalan seumur hidup terhadap hepatitis.
HEPATITIS B
Hepatitis Bdidiagnosis
ketikaHBsAgdapatterdeteksidalamserum
.NukleokapsiddariHBsAgmengandungprotein intiyang
menghasilkanHBcAg, yang tidak terdeteksidalam
serum.Keberadaanantibodi terhadapanti-HBc
IgMuntukmenunjukkaninfeksi aktif, dan anti-HBc untukIgGberhubungan
denganbaikkronisinfeksi ataumungkinkekebalanterhadapHBV.Replikasi
virusterjadi ketikaHbeAg mucul.Pengukuran DNAHBVdigunakan untuk
menentukanpenularanvirus danmenilai danmengukurreplikasi
virus.Setelahinfeksihepatitis Bselasai, anti-HBedan anti-HBs
berkembang,dan kadar DNAHBVtidak terdeteksi.
HEPATITIS C
Hepatitis Cdidiagnosis dengan tesanti-HCVdalam serum.Penyakit
inidikonfirmasioleh kehadiranRNA HCV.Kadar RNA
HCVmeunjukkanreplikasi virusdan digunakanuntuk
menentukanjikapengobatan antivirusuntuk HCVefektif.
HEPATITIS D
Infeksi virus hepatitis D memerlukan kehadiran HBV untuk replikasi
virus HDV. Pengukuran kadar RNA HDV dalam serum melalui polimerase
chain rection (PCR) menegaskan keberadaan HDV dan menunjukkan
diagnosa yang akurat. Adanya antibodi IgM tehadap HCV Ag (IgM anti-
HD) menunjukkan penyakit yang aktif, dan IgG anti-HD juga terdeteksi jika
infeksi tidak teratasi secara spontan.Antibodi HDV tidak memberikan
kekebalan yang berbeda dengan HAV.
HEPATITIS E
Diagnosa hepatitis E tergantung dari kehadiran anti-HEV antibodi.
Tes untuk mengukur kadar RNA hepatitis E belum dapat dilakukan untuk
penggunaan komersial, tetapi dilakukan dengan melalui uji klinis.
IV. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Tujuan umum yang harus dicapai adalah untuk:
(1)mencegahpenyebaranpenyakit, (2) mencegah danmengobati gejala, (3)
menekanreplikasi virus, (4) menormalkanaminotransferasehati;
(5)meningkatkanhistologipadabiopsi hati, dan
(6)menurunkanmorbiditasdan mortalitasdengan
mencegahsirosis,hepatoselulerkarsinoma, dan ESLD. Untuk hepatitis B,
tujuan pengobatan tambahanmeliputi:(1) hilangnyaHBsAg, (2)
hilangnyaHBeAg, dan (3)achieving undetectable HBV DNA
levels.Targetuntuk hepatitis C kronismeliputi:(1)achieving undetectable
HCV RNA; dan (2)memperolehrespon virologiberkelanjutan.
Lamivudine adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita
hepatitis B. Virus hepatitis Bmembawa informasigenetik
DNA.Obatinimempengaruhi proses replikasi DNA dan
membatasikemampuan virushepatitisB berproliferasi.Lamivudine
merupakan analognukleosidadeoxycytidine dan bekerja dengan
menghambat pembentukan DNA
virushepatitisB.Pengobatandenganlamivudineakan menghasilkan
HBVDNA yang menjadi negatifpada hampir semua pasien yang diobati
dalamwaktu 1bulan.Lamivudineakanmeningkatkanangkaserokonversi
HBeAg,mempertahankan fungsi hatiyangoptimal, dan menekan
terjadinyaprosesnekrosis-inflamasi.Lamivudine juga mengurangi
kemungkinanterjadinya fibrosisdansirosis serta dapat
mengurangikemungkinan terjadinya kanker hati.Profil keamanan
lamivudine sangatmemuaskan,dimana profil keamanannya sebanding
denganplasebo.Lamivudinediberikanperoralsekalisehari,sehingga
memudahkanpasien dalam penggunaannya danmeningkatkan keteraturan
pengobatan.Oleh karenanyapenggunaan lamivudinerasional untuk terapi
pada pasien dengan hepatitis B kronis aktif.
Dalam pengobatan Anti Retroviral (ARV) pada koinfeksi hepatitis
C, saatini tersedia ARV gratis di Indonesia. ARV yang tersedia gratis
adalah Duviral (Zidovudine + Lamivudine) dan Neviral
(Nevirapine).SedangkanEfavirenz (Stocrin) tersedia gratis dalam jumlah
yang amatterbatas.Didanosine atau Stavudinetidak boleh diminum
untuk penderita yang sedang mendapat pengobatan Interferon dan
Ribavirin, karenaberatnyaefek samping terhadap gangguan faal hati.
Zidovudine, termasuk Duviral dan Retrovir harus ketat dipantau bila
digunakan bersama Ribavirin (untuk pengobatan hepatitis C), karena
masing-masing memudahkan timbulnya anemia.Anemia bisa
diantisipasidengan pemberian eritropoetin atau transfusi darah.Neviral
dapat mengganggu faal hati. Jadi, kadar hemoglobin dan leukosit serta
tes faal hati (SGOT, SGPT, bilirubin, dan lain-lain) harus dipantau ketat.
BAB V
HIV/AIDS
I. DEFINISI
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome.Acquired artinya didapat, jadi bukan merupakan penyakit
keturunan, immuno berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency artinya
kekurangan, sedangkan syndrome adalah kumpulan gejala.HIV adalah
singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, virus yang menyebabkan
rusaknya/melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia.Jadi AIDS dapat
didfinisikan sebagai kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
II. ETIOLOGI
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak
sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh mudah diserang penyakit-
penyakit lain yang dapat berakibat fatal.Padahal, penyakit-penyakit
tersebut misalnya berbagai virus, cacing, jamur protozoa, dan basil tidak
menyebabkan gangguan yang berarti pada orang yang sistem
kekebalannya normal.Selain penyakit infeksi, penderita AIDS juga mudah
terkena kanker.Dengan demikian, gejala AIDS amat bervariasi.
Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah virus HIV (Human
Immuno-deficiency Virus).Dewasa ini dikenal juga dua tipe HIV yaitu HIV-
1 dan HIV-2.Sebagian besar infeksi disebabkan HIV-1, sedangkan infeksi
oleh HIV-2 didapatkan di Afrika Barat. Infeksi HIV-1 memberi gambaran
klinis yang hampir sama. Hanya infeksi HIV-1 lebih mudah ditularkan dan
masa sejak mulai infeksi (masuknya virus ke tubuh) sampai timbulnya
penyakit lebih pendek.
III. PATOFISIOLOGI
Setelah terinfeksi HIV, 50-70% penderita akan mengalami gejala
yang disebut sindrom HIV akut. Gejala ini serupa dengan gejala infeksi
virus pada umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit tenggorok,
mialgia (pegal-pegal di badan), pembesaran kelenjar dan rasa
lemah.Pada sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran
menurun. Sindrom ini biasanya akan menghilang dalam beberapa
mingggu. Dalam waktu 3 – 6 bulan kemudian, tes serologi baru akan
positif, karena telah terbentuk antibodi. Masa 3 – 6 bulan ini disebut
window periode, di mana penderita dapat menularkan namun secara
laboratorium hasil tes HIV-nya masih negatif.
Setelah melalui infeksi primer, penderita akan masuk ke dalam masa
tanpa gejala. Pada masa ini virus terus berkembang biak secara progresif
di kelenjar limfe. Masa ini berlangsung cukup panjang, yaitu 5 10 tahun.
Setelah masa ini pasien akan masuk ke fase full blown AIDS.
IV. GEJALA
Gejala penyakit AIDS sangat bervariasi. Berikut ini gejala yang
ditemui pada penderita AIDS :
Panas lebih dari 1 bulan,
Batuk-batuk,
Sariawan dan nyeri menelan,
Badan menjadi kurus sekali,
Diare ,
Sesak napas,
Pembesaran kelenjar getah bening,
Kesadaran menurun,
Penurunan ketajaman penglihatan,
Bercak ungu kehitaman di kulit.
Gejala penyakit AIDS tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati,
karena dapat merupakan gejala penyakit lain yang banyak terdapat di
Indonesia, misalnya gejala panas dapat disebabkan penyakit tipus atau
tuberkulosis paru. Bila terdapat beberapa gejala bersama-sama pada
seseorang dan ia mempunyai perilaku atau riwayat perilaku yang mudah
tertular AIDS, maka dianjurkan ia tes darah HIV.
V. PENULARAN
Cara Penularan
AIDS disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency
Virus).Terdapat 2 jenis HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Keduanya
menyebabkan AIDS tetapi pada infeksi HIV-1, AIDS timbul lebih cepat.
HIV berkembang biak di sel limfosit yang disebut CD4 (Limfosit T).
Penularan HIV melalui hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik,
dan dari ibu hamil ke bayinya. Efektifitas penularan paling tinggi adalah
melaui transfusi darah. Sekitar 90 % penerima transfusi darah yang
tercemar HIV akan tertular. Risiko penularan melalui hubungan seksual
berkisar antara 0,1 % sampai 1 % setiap kali hubungan dengan pasangan
HIV positif. Risiko penularan ibu hamil HIV positif ke bayinya berkisar
antara 15 sampai 40 %.
Salah satu cara penularan yang sekarang ini sangat penting di
Indonesia adalah pemggunaan jarum suntik bersama di kalangan
pecandu narkotika. Jumlah kasus infeksi HIV baru pada akhir tahun 1999
meningkat tajam karena tingginya angka HIV positif pada pecandu
narkotika suntikan. Kebiasaan menggunakan jarum suntik bersama dan
jarum yang tidak steril pada pecandu narkotika suntikan menyebabkan
kelompok ini rentan terhadap penularan hepatitis C dan HIV. Penelitian
pendahuluan di Jakarta mendapatkan pada kelompok pecandu narkotika
suntikan 60 % positif hepatitis C serta sekitar 10 % positif HIV. Menurut
pakar sesuai dengan pengalaman negara-negara yang terlebih dahulu
menghadapi permasalahan narkotika, seperti Malaysia, Thailand,
Vietnam, dan Kamboja, angka HIV positif di kalangan pecandu narkotika
suntikan dapat mencapai 40 %.
HIV masuk tubuh manusi terutama melalui darah, semen, dan sekret
vagina, serta transmisi dari ibu ke anak. Tiga cara penularan HIV adalah
sebagai berikut:
1. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, maupun anal dengan
pengidap. Ini adalah cara penting yang paling umum terjadi, meliputi
80-90% total kasus sedunia.
Cara PenularanEficiency per single
exposureEstimated percentage
of global total
Transfusi darah > 90 % 3 – 5 %
Perinatal + 30 % 5 – 10 %
Hubungan seksual 0,1 – 1,0 % 70 – 80 %
Injecting drug use-sharing
needle0,5 – 1, 0 % 5 – 10 %
Health care-needle stick 0,5 % < 0,1 %
Sumber : The HIV Expert : A comprehensive review of HIV and AIDS management
Perinatal adalah berkenaan dengan masa sesaat sebelum dan
sesudah kelahiran dari akhir minggu ke 20 sampai ke 28 kehamilan
hingga sampai 4 minggu setelah melahirkan.
2. Kontak langsung dengan darah, produk darah , atau jarum suntik.
Transfusi darah/produk darah yang tercemar mempunyai resiko
sampai > 90 %, ditemukan 3 – 5 % total kasus sedunia. Penularan
melalui kecelakaan termasuk jarum pada petugas kesehatan
mempunyai risiko 0,5 % dan mencakup < 0,1 % total kasus sedunia.
3. Transmisi secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya
melalui plasenta. Risiko penularan dengan cara ini 25 – 40 % dan
terdapat < 0,1 % total kasus sedunia.
Setelah masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada
dalam sel dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom
retrifinil akut seperti flu ( serupa infeksi mononukleosis) disertai viremia
(adanya virus di dalam darah) hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar
limfe. Pada tubuh timbul respon imun humoral maupun selular. Sindrom
ini akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Kadar virus yang tinggi dalam
darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini terjadi
berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan
virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan
yang disebut set point (nilai sasaran variabel kontrol yang dipertahankan
secara fisiologis oleh mekanisme kontrol badan untuk hemoestasis) ini
penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi,
perjalanan penyakit menuju AIDS akan berlangsung lebih cepat.
Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3
bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan.
Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini
terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 (jumlah normal 800 – 1.000/mm)
yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relatif
konstan.
CD4 adalah reseptor pada limfosit T4 yang menjadi target sel utama
HIV. Pada awalnya penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/mm3/tahun, tapi
pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi 50 – 100 / mm3/tahun
sehingga bila tanpa pengobatan rata-rata masa infeksi HIV sampai
menjadi AIDS adalah 8 – 10 tahun, dimana jumlah CD4 akan menjadi
kurang dari 200/ mm3
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan
sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. CD 4 pada orang
dengan sistem kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya
sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam
memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal
pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin
menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol)
Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya berfungsi untuk
melawan berbagai macam infeksi. Di sekitar kita banyak sekali infeksi
yang beredar, entah itu berada dalam udara, makanan ataupun minuman.
Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa
berfungsi dengan baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang,
mikroorganisme yang patogen di sekitar kita tadi akan dengan mudah
masuk ke tubuh kita dan menimbulkan penyakit pada tubuh manusia
Pencegahan penularan
Pendekatan yang dilakukan dalam upaya pencegahan penularan
infeksi HIV adalah penyuluhan untuk mempertahankan perilaku tidak
beresiko serta penggunaan kondom untuk mencegah penularan melalui
hubungan seks. Sedangkan pencegahan di kalangan pengguna narkotika
suntikan adalah dengan pendekatan harm reduction, yaitu upaya untuk
mengurangi penularan penyakit melalui jarum suntik dengan cara
membagikan jarum suntik steril serta mengajarkan prinsip-prinsip
sterilisasi.
Untuk mencegah penularan dari ibu hamil positif kepada bayinya
dapat dilakukan pemberian obat antirettroviral azidotimidin (AZT) dan
seksio sesaria.
Pendekatan agama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia
merupakan pendekatan penting karena dengan mengingatkan ajaran
agama dan nilai-nilai budaya diharapkan prilaku hubungan seks yang
beresiko dapat dikurangi begitu juga dengan penggunaan narkotika.
Pendekatan agama dan kesehatan hendaknya dijalankan saling
melengkapi. Dengan demikian upaya pencegahan penularan dapat
dilakukan secara lebih menyeluruh.
VI. Komplikasi
Berdasarkan data-data hasil penilaian komplikasi yang mungkin
terjadi mencakup : (Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare, Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Sudarth ed. 8, EGC, Jakarta, 2001: 1734)
1) Infeksi oportunistik
2) Kerusakan pernapasan atau kegagalan respirasi
3) Syndrome pelisutan dan gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit
4) Reaksi yang merugikan terhadap obat-obatan.
VII. Penyakit yang Sering Menyerang Perilaku AIDS
Dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh, penderita menjadi
lebih mudah terserang penyakit infeksi maupun kanker.Bahkan penyakit-
penyakit inilah yang sering menjadi penyebab kematian penderita.Infeksi
yang timbul karena melemahnya kekebalan tubuh ini disebut infeksi
oportunistik.Sebagian besar penyakit infeksi yang timbul merupakan
reaktivasi (pengaktifan kembali) kuman yang sudah ada pada penderita,
jadi bukan merupakan infeksi baru.Sementara itu, untuk infeksi
parasit/jamur tergantung prevalensi parasit/jamur di daerah tersebut.
Berikut penyakit yang ditemukan pada penderita AIDS :
Kandidiasis oral dan esophagus,
Tuberkulosis paru/ekstrapulmoner,
Infeksi virus sitomegalo,
Pneumonia rekurens,
Ensefalitis toksoplasma,
Pneumonia P. Carinii,
Infeksi virus herpes simpleks
VIII. Pelaksanaan Tes Penyakit
Manifestasi Klinis
Kondisi yang ditetapkan sebagai AIDS (CDC, 1993 revisi):
1. Keganasan
o Sarkoma Kaposi (Sarkoma yang ditandai oleh sel anaplastik
yang besar atau raksasa)
o Limfoma Burkitt (bentuk sel limfoma yang tidak membelah dan
kecil, biasanya ditemukan di Afrika, sering bermanifestasi
sebagai lesi osteolitik yang besar pada rahang atau sebagai
massa abdomen, virus Epstein-Bar telah dinyatakan sebagai
agen penyebab)
o Limfoma imunoblastik (tipe limfoma non Hodgking sangat
ganas, ditandai oleh limfoblas besar (limfoblas B atau limfoblas
T atau campuran) yang menyerupai histosit dan memiliki pola
infiltrasi difus)
o Limfoma primer pada otak
o Kanker leher rahim invasif (masuknya bahan asing ke dalam
tubuh)
o Ensefalopati (setiap penyakit degeneratif pada otak) yang
berhubungan dengan infeksi HIV
o Sindrom kelelahan karena infeksi HIV
o Penurunan imunitas yang hebat (CD4 < 200/ mm3)
2. Infeksi opportinistik
o Kandidosis (infeksi dengan jamur dari genus Candida, biasanya
Candida albicans, paling sering menyerang kulit, mukosa mulut,
sel pernafasan, vagina, jarang terdapat infeksi sistemik atau
endokarditis) pada bronkus, trakea atau paru
o Kandidosis pada esofagus
o Kriptokokosis Ekstrapulmoner (Cryptococus neoformans yang
gemar menginfeksi otak dan meninges tetapi juga menginvasi
kulit dan bagian lain yang tidak berhubungan dengan paru-paru)
o Kriptosporidiosis pada usus bersifat kronis (lebih dari 1 bulan)
infeksi protozoa dari genus Cryptosporidium. Pada manusia
infeksi ini menimbulkan gejala yang jarang yaitu berupa
sindrome diare yang dapat sembuh sendiri pada penderita yang
daya kekebalan tubuhnya rendah, serta sebagai diare yang
berkelanjutan dan melemahkan tubuh, penurunan berat badan,
demam dan nyeri abdomen, yang kadang-kadang menyebar ke
trakea, dan cabang bronkial pada penderita yang daya
kekebalan rendah.
o Infeksi Cytomagalovirus (selain herpes, limpa, atau kelenjar
limfe) setiap kelompok herpes virus yang bersifat sangat
spesifik terhadap pejamu, menginfeksi manusia, monyet atau
binatang pengerat, yang menghasilkan sel-sel besar yang unik
dengan inklusi intranukleus, virus dapat menyebabkan berbagai
sindrom klinis.
o Infeksi Cytomagalovirus retinitis/radang retina (disertai
kehilangan visus)
o Herpes simpleks (ulkus kronis lebih dari 1 bulan, bronkitis,
peumonitis/radang paru, atau esofagitis/radang esofagus)
Penyakit virus akut yang ditandai oleh kelompok vesikel pada
kulit sering pada perbatasan bibir tau lubang hidung (cold sores)
atau pada genital (genital herpes), sering menyertai demam.
o Histoplasmosis (diseminata atau ekstrapilmoner) infeksi
histoplasma capsulatum, umumnya asimptomatik, namun dapat
menimbulkan pneumonia akut atau penyakit seperti influenza
dengan difusi sendi.
o Isosporiasis/genus parasit sporozoa pada usus bersifat kronis
(lebih dari 1 bulan)
o Mycobacterium avium complex (MAC) atau M. kansasii
diseminata atau ekstrapulmoner.
o Pneumocystis carinii Pneumonia (PCP) merupakan agen
penyebab penyakit pneumonia sel plasma intertisial.
o Pneumonia rukerens radang paru-paru
o Leukoenselofalopati multifokal progresif Bentuk
leukoensefalopati yang disebabkan infeksi opportunistik sistem
saraf pusat oleh virus dengan proses demielinisasi yang
biasanya timbul di dalam hemisferium serebri serta jarang sekali
pada batang otak dan serebelum.
o Salmonella septikema rekurens Adanya bakteri Salmonella di
dalam darah yang menyebabkan toksin.
o Toksoplasmosis pada otak Penyakit hewan dan manusia
yang akut atau kronis, tersebar luas, disebabkan oleh
Toxoplasma gondii dan ditularkan oleh ookis pada kotoran
kucing. Sebagian besar infeksi pada manusia bersifat
asimtomatik, bila gejala muncul, akan bekisar dari penyakit
ringan dan sembuh sendiri yang menyerupai mononukleosis
hingga penyakit fulminan dan diseminata yang dapat
membahayakan otak, mata, otot, hati dan paru.
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1. Cara langsung, yaitu isolasi virus dari sampel. Umumnya dengan
menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah
satu cara deteksi antigen virus adalah dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Penggunaan PCR antara lain untuk:
o Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi
sehingga menghambat pemeriksaan serologis
o Menetapkan suatu infeksi pada individu seronegatif
o Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi riserokonversi
o Tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA untuk HIV-
2 rendah
2. Cara tidak langsung, yaitu dengan melihat respon zat anti spesifik.
Tes, misalnya:
o ELISA, sensitivitasnya tinggi (98,1-100%). Biasanya
memberikan hasil yang positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Hasil
positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan West-ern blot.
o Western blot, spesifisitas tinggi (99,6-100%). Namun,
pemeriksaan ini cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu
sekitar 24 jam. Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil
pemeriksaan ELISA positif
o Immunofluorescent ascay (IFA) menentukan lokasi
antigen/antibodi dalam potongan atau asupan jaringan dengan
pola fluoresensi yang timbul bila spesimen tersebut dipajankan
terhadap antibodi atau antigen spesifik yang ditandai dengan
fluorokrom (senyawa fluoresen sebagai zat warna yang
digunakan untuk menandai protein dengan label fluoresen.
o Radioimmunopraecipitation assay (RIPA)
Diagnosis
1. Diagnosis dini infeksi HIV
Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium
dengan petunjuk gejala klinis atau adanya perilaku beresiko tinggi.
Untuk diagnosis HIV, yanh lazim dipakai adalah ELISA,
Westernblot, dan PCR
2. Diagnosis AIDS
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV. Pasien dinyatakan
sebagai AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya
menunjukkan infeksi dan kanker opportunistik yang mengancam
jiwa penderita. Selain itu, termasuk juga ensefalopati, sindrom
kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan CD4 <
200/mm3.
IX. PENGOBATAN
Walau belum ada obat penyembuh AIDS, namun telah ditemukan
beberapa obat yang dapat menghambat infeksi HIV dan beberapa obat
yang secara efektif dapat mengatasi infeksi.Jadi sebagian besar masalah
klinik dapat diobati, kualitas hidup dapat diperbaiki dan harapan hidup
dapat ditingkatkan.
Pada umumnya pengobatan penderita AIDS dapat dibagi menjadi 3
yaitu pengobatan terhadap HIV, pengobatan terhadap infeksi oportunistik,
dan pengobatan pendukung seperti nutrisi, olahraga, tidur, psikososial,
dan agama.
SIKLUS HIDUP HIV DAN TEMPAT AKSI OBAT
Setelah seorang anak terinfeksi HIV, infeksi awal HIV terjadi ketika
virion berikatan dengan reseptor spesifik pada sel inang. Limfosit CD4 dan
makrofag merupakan sel-sel target primer dari HIV. Glikoprotein gp120
pada selubung permukaan virus berikatan dengan sel limfosit tersebut
dengan afinitas yang kuat.Ikatan gp120 terhadap CD4 sendiri tidak cukup
menghasilkan penetrasi virus, sehingga dibutuhkan reseptor sekunder
atau ko-reseptor.
Beberapa reseptor kemokin terutama reseptor CCR5 dan CXCR4
berperan sebagai reseptor sekunder yang memfasilitasi proses masuknya
virus. Peran reseptor-reseptor kemokin ini sebagai ko-faktor dalam
masuknya virus memperjelas pengertian mengenai proses masuknya
virus. Baik makrofag maupun limfosit T memerlukan ko-reseptor, dimana
makrofag CCR5 merupakan ko-reseptornya, sedangkan CXCR4
merupakan ko-faktor bagi sel T. Terapi yang dikembangkan saat ini
bertujuan untuk menghambat fungsi kemokin tersebut sehingga
membantu mengurangi atau mencegah transmisi HIV.
Setelah melekat pada sel target, selubung virus kemudian berfusi
dengan membran sel inang sehingga virus dapat masuk.Fusi ke membran
ini difasilitasi oleh interaksi dengan protein selubung gp41. Penghambat
fusi (Fusion inhibitor) dikembangkan dengan tujuan yang spesifik yaitu
menghambat peran yang diperantarai gp41 dalam proses fusi. T-20
(Fuzeon) adalah penghambat fusi gp41 yang baru saja disetujui badan
pengawas obat Amerika. Terdapat beberapa obat yang masih dalam
tahap penelitian dengan target pada gp120, gp41, dan reseptor-reseptor
kemokin.
Setelah protein selubung virus berfusi dengan sel inang, virion HIV
mengalami internalisasi, RNA virus (2 rantai tunggal tiap virion) kemudian
diubah oleh enzim reversetranscriptase virus. Enzim ini memfasilitasi
produksi rantai deoxyribonucleic acid (DNA) komplementer yang akan
menjadi rantai ganda dan dibawa ke inti sel inang. Rantai ganda DNA
berikatan pada komplek pre-integrasi yang ditransfer melewati pori-pori
inti sel dan kemudian ditranslokasikan pada tempat yang berdekatan
dengan genom sel inang.Tiruan rantai ganda DNA kemudian
diintegrasikan ke dalam genom sel inang.Langkah ini membutuhkan
derivat enzim yaitu enzim integrase virus.Enzim reverse-transcriptase
adalah polimerase DNA yang bergantung RNA yang berperan dalam
memulai sintesis rantai DNA dari RNA yang kemudian dicerna oleh RNA-
ase virus.Enzim reverse-transcriptase ini rentan membuat kesalahan, di
samping hal tersebut virus HIV juga kurang memiliki histon khusus yang
berfungsi memperbaiki enzim-enzim sehingga terjadi akumulasi
terbentuknya beberapa pasang basa yang salah selama replikasi HIV.
Ketidakakuratan dalam proses pengkodean ini mengakibatkan variasi
urutan nukleotida yang bervariasi antar strain yang menyebabkan
heterogenitas virus yang disebut ”quasispecies mixture”. Enzim reverse-
transcriptase merupakan target dari penghambat nukleosida, nukleotida,
dan non-nukleosida. Penghambat integrase HIV merupakan tujuan
berikutnya dari penelitian yang dilakukan untuk mengatasi infeksi HIV.
Aktivasi sel inang menghasilkan RNA HIV baru, yang sebagian
ditranslasikan menjadi ngenom dan sebagian ditranslasikan menjadi
poliprotein HIV.Poliprotein ini dipecah oleh enzim virus menjadi komponen
pengatur dan struktural yang kemudian berada disekitar RNA HIV genom
yang muncul dari sel inang.Enzim protease HIV berperan menyelesaikan
pemecahan poliprotein menjadi protein yang berfungsi secara penuh
sehingga menghasilkan virion HIV baru yang matur dan infeksius.
Langkah terakhir ini merupakan langkah yang penting dalam infeksi HIV
dan merupakan target dari obat antiretroviral yaitu sebagai penghambat
protease (protease inhibitor).
Siklus hidup dan tempat aksi obat antiretroviral terlihat pada gambar
di bawah ini:
Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Peningkatan survival pada pasien dengan manifestasi klinis dapat
dicapai dengan diagnosis dini, pemberian zidopudin, pengobatan
komplikasi, serta penggunaan antibiotik sebagai profilaksis secara luas,
khususnya untuk pneumonia karena P. Carinii.
a. Infeksi dini
CDC menyarankan pemberian antirettriviral pada keadan
asimtomatik bila CD4 < 300/mm3, dan CD4 < 500/mm3 pada
keadaan simtomatik. Obat-obatan:
Zidovudin (ZDV) merupakan analog nukleosida yang telah
terbukti menurunkan angka kematian, insidens infeksi
oportunistik, dan gejala-gejala umum pada pasien AIDS yang
telah muncul gejala klinis. Zidovudin ini bekerja dengan cara
menghambat replikasi HIV dengan menghambat kerja enzim
reverse transkriptase. Obat ini menekan P24 antigenamia, dan
memproduksi modest biasanya transient, meningkatkan hitung
CD4.
CDC telah menyarankan pemakaian obat ini untuk infeksi HIV.
Volberding menyarankan pemberian ZDV bila hitungan CD4 <
500/mm3 tanpa melihat ada tidaknya gejala. Dosis yang
diberikan 500 – 600 mg/hari, pemberian 100 mg/4 jam sewaktu
penderita terjaga
Efek sampinya yang timbul antara lain anemia dan
neutropenia/penurunan jumlah leukosit neutrofilik di dalam
darah, gangguan gastrointestinal, dan pada penggunaan jangka
panjang dapat terjadi miopati/ setiap penyakit otot dan
masuknya virus dengan strain yang telah berkurang
sensitivitasnya.
Didanosis (DDI), digunakan bila penderita tidak toleran terhadap
ZDV, atau sebagai pengganti bila zdv sudah amat lama
digunakan, atau bila pengobatan dengan ZDV tidak
menunjukkan hasil.
Dosis 2 x 100 mg/12 jam (BB < 60 kg) atau 2 x 125 mg/12 jam
( BB > 60 kg).
b. Profilaksis
Indikasi pemberian profilaksis untuk Pneumocystis carinii
pneumonlae (PCP) ialah bila CD4 < 200/ mm3, terdapat
kandidosis/infeksi jamur dari genus candida oral yang berlangsung
lebih dari 2 minggu, atau pernah mengalami infeksi PCP di masa
lalu. Sedangkan profilaksis pada tuberkulosis diberikan bila tes kulit
PPD 5 mm dengan indurasi.
c. Stadium lanjut
Pada stadium ini banyak yang dapat terjadi, umumnya infeksi
oportunistik yang mengancam jiwa. Oleh karena itu diperlukan
penanganan multidisipliner. Obat yang dapat diverikan adalah ZVD
dengan dosis awal 1000 mg/hari dalam 4 – 5 kali pemberian (BB 70
kg).
d. Pada fase terminal, yakni sudah tak teratasi, pengobatan yang
diberikan hanya simtomatik dengan tujuan pasien merasa cukup
enak, dari rasa mual dan sesak, mengatasi infeksi yang ada, dan
mengurangi rasavvjn cemas
2. Nonmedikamentosa (upaya tanpa obat)
o Pendidikan kepada kelompok yang beresiko terkena AIDS
o Anjuran bagi yang telah terinfeksi virus ini untuk tidak
menyumbangkan darah, organ atau cairan semen, dan
mengubah kebiasaan seksualnya guna mencegah terjadinya
penularan
o Skrining darah donor terhadap adanya antibodi HIV.
Mekanisme Pengobatan dan Prognosis
AIDS sampai sekarang biasanya berakhir dengan kematian.
Jumlah kematian sejak diketahui berkisar antara 50-89% dalam jangka
waktu 3 tahun. Pengobatan untuk penyembuhan sampai sekarang belum
ada. Obat yang masih dalam taraf percobaan, misalnya HPA-23 di
Perancis, Voscarnet di Swedia dan Canada, Suramin. Obat yang paling
akhir terbukti dapat memperlambat laju penyakit adalah Sidovudin (A.Z.T.)
Semua infeksi oportunistik pada penderita AIDS pada umumnya
dapat diobati terutama bila dimulai sedini-dininya.
Prinsip Pengobatan
Pengobatan AIDS dapat dibagi :
1. Pengobatan suportif
Tujuan pengobatan ini ialah untuk meningkatkan keadaan umum
pasien. Pengobatan ini terdiri atas pemberian gizi yang sesuai, obat
sistemik, serta vitamin. Disamping itu perlu diupayakan psikossosial agar
pasien dapat melakukan aktivitas seperti semula.
2. Pengobatan infeksi opportunistik
Pola infeksi oportunistik biasanya sesuai dengan pola mikroba yang
ada di lingkungan pasien. Di negeri kita yang sering dijumpai adalah
infeksi jamur, tuberkulosis, toksoplasma/genus sporozoa yang merupakan
parasit intraseluler pada banyak organ dan jaringan burung dan mamalia
termasuk manusia, herpes, dan sitomegalovirus. Karena kekebalan tubuh
pasien amat menurun, diperlukan obat yang lebih kuat dan waktu
pengobatan yang lebih lama. Sebagian infeksi oportunistik seperti PCP
dan Sitomegalovirus memerlukan pengobatan pemeliharaan. Acapkali
pasien juga menderita 2-3 infeksi oportunistik sekaligus. Obat yang dapat
digunakan dalam pengobatan infeksi oportunistik dapat dilihat dalam tabel
di bawah ini :
Infeksi Terapi
Kandidiasis esofagus Flukonazol
TuberkulosisRifampisin, INH, Ethambutol, Pirazinamid,
Streptomysin
MACKlaritromycin, Ethambutol, Rifabutin,
Cyprofroksasim
ToksoplasmosisPirimetamin, Sulfadiazin, Asam Folat,
Klimdamysin
Sitomegalovirus Gencyklovir, Foskamed
Herpesimpleks Asiklovir
Herpes Zoster Asiklovir
PCP Kotrimokzasol
Pengobatan kanker yang terkait AIDS yaitu linfoma malignum,
sarkoma kaposi, dan karsinoma serviks infasif disesuaikan dengan
standar terapi penyakit kanker.
Mekanisme kerja obat
1. Rifabutin
Adalah derifat baru dengan khasiat mirip rifapim. Obat ini terutama
digunakan pada pasien HIV poritif. Rifabutin digunakan untuk profilaksis
dan terapi dari infeksi M. Avium complex (MAC) pada pasien dengan
sistem imun menurun. Misalnya pada penderita AIDS.
2. Flukonazol
Flukonazol umumnya dapat ditoleeansi dengan baik. Gangguan
saluran cerna merupakan efek samping yang paling banyak ditemukan.
Reaksi alergi pada kulit, eosinofilia, sindrom Stevens Johnsons, gangguan
faal hati sementara dan trombositopenia dijumpai pada penderita AIDS.
Flukonazol berguna untuk mencegah relaps meningitis oleh kriptokokus
pada penderita AIDS setelah pengobatan dengan amfoterisin B. Obat ini
juga efektif untuk pengobatan kandidiasis mulut dan tenggorokan pada
penderita AIDS.
3. Rifampisin
Mekanisme kerja: Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang
bertumbuh, kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polemerase dari
mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula
terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA
polymerase dari berbagai sel eukaryotik tidak mengikat rifampisin dan
sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis
RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi
daripada kadar untuk penghambatan pada kuman.
4. Ethambutol
Etambutol telah berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkulosis
dan menggantiukan tempat asam para amino salisilat. Manfaatnya yang
utama dalam paduan terapi tuberkulosis ialah mencegah timbulnya
resistensi kuman terhadap antituberkulosis lain.
5. Pirazinamid
Aktivitas antibakteri . Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh
enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai
tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. Mekanisme
kerjanya belum diketahui.
6. INH
Mekanisme kerja: belum diketahui mekanisme kerjanya tetapi ada
beberapa hipotesis yang diajukan, diantara efek pada lemak, biosintesis
asam nukleat, dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah
menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting
dinding sel mikobakterium, isoniazid kadar rendah mencegah
perpanjangan ranai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan
bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat asam
dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari
mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dalam selnya,
dan ambilan ini merupakan proses aktif.
7. Streptomysin
Untuk infeksi tuberkulosis dan infeksi kuman gram negatif.
Penggunaan streptomisin sudah sangat terdesak
8. Klaritromicyn
Klaritromisin jufga digunakan untuk indikasi yang sama seperti
eritromisin. Secara invitro, obat ini adalah makrolid yang paling aktif
terhadap Chyamidia trachomatis.Klaritromisin juga meningkatkan kadar
teofilin dan karbamazepin bila diberikan bersama obat-obat tersebut.
9. Pirimetamin
Mekanisme kerja: Pirimetamin menghambat enzim dihidrofolat
reduktase plasmodia pada kadar yang jauh lebih rendah daripada yang
diperlukan untuk menghambat enzim yang sama pada manusia. Enzim ini
bekerja dalam rangkaian reaksi sintesis purin, sehingga
penghambatannya menyebabkan gagalnya pembelahan inti pada
pertumbuhan skizon dalam hati. Kombinasi dengan sufonamid
memperlihatkan sinergisme karena keduanya mengganggu sintesis purin
pada tahap yang berurutan. Dalam kombinasi ini hanya diperlukan dosis
yang jauh lebih kecil untuk kedua komponen. Berkembangnya galur yang
resisten terhadap kedua obat pun akan dicegah atau diperlambat dengan
kombinasi ini.
10.Zulfadiazin
Mekanisme kerja: Kuman memerlukan PABA (P-aminobenzoic acid)
untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan
asam-asam nukleat. Sulfonamid merupakan penghambat bersaiing PABA.
Efek antibakteri sulfonamid dihambat oleh adanya darah, nanah, dan
jaringab nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan asam folat berkurang
dalam media yang mengandung basa purin dan timidin.
Sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfonamid karena
menggunakan folat jadi terdapat dalam makanan (tidak mensintesis
sendiri senyawa tersebut)
Dalam proses sintesis asam folat, bila PABA digantikan oleh
sulfonamid, maka akan terbentuk analog asam folat yang tidak fungsional.
11.Asam folat
Merupakan prekursor inaktif dari beberapa koenzim yang berfungsi
pada transfer unit karbon tungga. Mula-mula folat reduktase mereduksi
PmGA menjadi THFA. THFA yang terbentuk bertindak sebagai akseptor
berbagai unit karbon tunggal dan selanjutnya memindahkan unit ini
kepada zat-zat yang memerlukan. Beberapa reaksi penting yang
memerlukan. Berbagai reaksi penting yang menggunakan unit karbon
tunggal adalah: 1) sintesis purin melalui pembentukan asam inosianat. 2.)
Sintesis nukleotida pirimidin melalui metilasi asam deoksiuridilat menjadi
asam timidilat. 3) Interkonversi beberapa asam amino misalnya antara
serin dengan glisin, histidin dengan asam glutamat, homosistein dengan
metionin.
12.Klindamicyn
Walaupun beberapa infeksi kokus gram positif dapat diobati dengan
klindamisin, penggunaan obat ini harus dipertimbangkan baik-baik karena
mungkin menimbulkan kolitis. Klindamisin terutama bermanfaat untuk
infeksi kuman anaerobik.
13.Gancyclovir
Untuk kasus infeksi CMC yang mengancam jiwa atau penglihatan
pasien. Untuk ritinitis karena CMV.
14.Asiklovir
Mekanisme kerja: asiklovir diambil secara selektif oleh sel yang
terinfeksi virus herpes. Untuk mengaktifkan asiklovir, obat ini harus diubah
dahulu ke bentuk monofosfat oleh timidin kinase milik virus tersebut.
Afinitas asiklovir terhadap timidin kinase asal virus herpes ini 200 x lebih
besar dari yang asal sel manusia atau mamalia. Setelah terbentuk
asiklovir monofosfat (asiklo GMP), fosforilasi berikutnya dilakukan dengan
enzim dari hospes menjadi asiklo-GDP dan terakhir asiklo-GTP. Bentuk
akhir inilah yang secara selektif menghambat DNA polimerase virus
dengan berkompetisi terhadap desoksiguanosin-trifosfat. Selain itu asiklo-
GTP juga diinkorporasi ke dalam DNA virus yang sedang memanjang
yang menyebabkan terminasi biosintesis rantai DNA-virus. Resistensi
alamiah terhadap beberapa strain dari virus herpes simpleks dan varizela
zooster jarang, tetapi dapat timbul bila strain itu merupakan mutan
defisiensi timidin kinase.
15.Kotromokzazol
Mekanisme kerja : aktivitas antibakteri kotrimoksasol berdasarkan atas
kerjanya pada 2 tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk
membentuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamid menghambat masuknya
PABA kedalam molekul asam folat dan trimetoprim menghambat
terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
Tetrahidrofolat penting untuk reaksi- reaksi pemindahan satu atom C,
seperti pembentukan basa purin (adenin, timidin dan guanin) dan
beberapa asam amino (metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan
folat jadi tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat
enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sanagat selektif . Hal ini
sangat penting karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.
GOLONGAN OBAT ANTIRETROVIRAL
Sampai saat ini terdapat 21 jenis obat antiretroviral yang
diakui penggunaannya pada orang dewasa dengan HIV.Dua belas di
antaranya disetujui penggunaannya pada anak. Obat-obat ini terbagi
dalam 5 kelas yang berbeda yaitu nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTI), nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NtRTI),
non-nucleoside reversetranscriptase inhibitors (NNRTI), protease
inhibitors (PI), dan fusion inhibitors.
1. Golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) yang
tersedia yaitu: zidovudin (ZDV, AZT), didanosin (ddI), stavudin
(d4T), lamivudin (3TC), emtricitabin (FTC), abacavir (ABC), dan
zalcitabin (ddC).
2. Golongan nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NtRTI) yang
tersedia hanya tenofovir (TDF). Tenovofir berbeda dengan
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) karena
mengandung sebuah gugus fosfat (sehingga fosforilasi awal yang
dibutuhkan untuk aktivasi NRTI tidak dilalui prosesnya). Akan
tetapi, obat ini baru disetujui penggunaannya pada orang dewasa,
pada anak belum disetujui karena masih dalam penelitian.
3. Golongan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI)
yang tersedia yaitu: delavirdin (DLV), efavirenz (EFV), dan
nevirapin (NVP). Obat yang sudah digunakan pada anak adalah
nevirapin dan efavirenz.
4. Golongan protease inhibitors (PI) yang tersedia yaitu: nelfinavir
(NFV), ritonavir (RTV), lopinavir/ritonavir (LVP/r), dan amprenavir
(AMP). Indinavir (IDV) direkomendasikan dengan pertimbangan
pada anak-anak yang sudah dapat menelan kapsul. Saquinavir
(SQV/r), atazanavir, fosamprenavir, dan tipranavir tidak digunakan
pada anak anak karena efikasi dan keamanannya belum diketahui.
5. Golongan fusion inhibitors yang tersedia adalah enfuvirtid (T-20).
Penggunaannya pada pasien dengan infeksi HIV pada usia lebih
dari 6 tahun karena pada umur di bawah tersebut efikasi dan
keamanannya belum diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim,2009, Media Informasi Obat dan Penyakit, http://www.medicastore.com diakses tanggal 14 Juni 2009
2. ISFI, 2007,ISO Indonesia, Volume 42, Penerbit Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia
3. Sweetman SC (Ed), 2007, Martindale: The Complete Drug Reference. London: Pharmaceutical Press. Electronic version
4. Katzung,Bertram, 2006, Basic and Clinical Pharmacology, 10th edition, McGraw Hill, San Francisco. Electronic version.
5. Ian Tanu, 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
6. Sukandar E.Y dkk, 2008, ISO Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI, Jakarta.
7. Yudhi N, 2009, Resep Obat Tradisional Indonesia, Available from : http //Influenza/selesma/flu._resep tardisional.
8. Angon C, 2009, Resep Kuno Pengobatan Influenza dan Selesma, Available from : Resep Obat Kuno _ Saluran Pernafasan.
9. Muftadi I, 2009, Selesma & Influenza, Available from : http //Research and Education Drug’s for Community,
10.Tjay, T.H., dkk, 2002, Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi kelima, Cetakan Pertama, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.
11.Wijayakusuma H., 2007, Mencegah dan Mengatasi Pilek secara Alami,Available from : http//Pocket CBN_Cyberhealth Hembing.
12.Muftadi I, 2009, Selesma & Influenza, Available from : http //Research and Education Drug’s for Community
13.Schachter Niel, M,D, 2006, Panduan Bijak Mengatasi Flu dan Selesma, PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
14.Tjokronegoro Arjatmo, Ph. D dan dr.Hendra Utama, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit Fakultas Kedikteran Universitas Indonesia, Jakarta
15. Rehan. Kenali Flu Babi dan Diri Anda. [serial on the internet]. 2008. [Diakses tanggal 03 Oktober 2010]. Available from: http//techniquestips.com
16. Klinik Sehat. Apakah flu babi itu?. [serial on the internet]. 2009. [Diakses tanggal 03 Oktober 2010]. Available from: http//www.kliniksehat.com
17. International Swine Flu Conference. [serial on the internet]. 2009. [Diakses tanggal 03 Oktober 2010]. Available from: http//www.New-Fields.com/ISFCNe
18.Tjay T. H. Dan Kirana Rahardja. Obat-Obat Penting edisi 6. PT.Elex Media Komputindo Gramedia. Jakarta. 2007. Hal. 637-641
19. VINCENT L.L., B.H. JANKE, P.S. PAUL and P.G. HALBUR, 1997. A
monoclonal antibody based immunohistochemical method for the detection of
swine influenza virus in formalin fixed, paraffin embedded tissues. J. Vet.
Diag. Invest. 9: 191-195
20. HAINES D.M., E.H.WATERS, and E.G. CLARK, 1993.
Immunohistochemical detection of swine influenza A virus in formalin-fixed
and paraffin-embedded tissues. Canadian J. of Vet. Research 57, 1: 33-36.
21. OLSEN C.W., L. BRAMMER, B.C. EASTERDAY, N. ARDEN, E.
BELAY, I. BAKER and N.J. COX, 2002. Serologic Evidence of H1 Swine
Influenza Virus Infection in Swine Farm Residents and Employees. Emerging
Infectious Diseases. (8) 8: 814-819
22. Sufriati, T. Mengenal Penyakit Influenza Babi. Balai Penelitian Veteriner.
Bogor. Hal : 102-107
top related