Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Post on 02-Aug-2015
819 Views
Preview:
Transcript
IMPLIKASI HUKUM KETETAPAN MPR DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
(KAJIAN ATAS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12
TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN)
Oleh:
I KETUT SURYA BAWANANIM: I2B 011 032
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS MATARAM
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah Kapita Selekta Hukum Tata Negara ini dengan judul “Implikasi
Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia”.
(Kajian Atas Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan)
Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada para
dosen pengampu mata kuliah Kapita Selekta Hukum Tata Negara, khususnya
kepada H. Sofwan, SH.,M.Hum. yang telah memberikan bekal pengetahuan
dan tugas perkuliahan untuk menambah khasanah pengetahuan di dalam
menimba ilmu dibangku kuliah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik maupun saran demi penyempurnaan isi, bentuk maupun
susunan akan penulis terima dengan terbuka.
Semoga makalah ini dapat memberi kontribusi dalam menambah
wawasan kita semua dalam menempuh studi Ilmu Hukum pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum di Universitas Mataram.
.
Mataram, 12 Oktober 2012
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………….……. i
Kata Pengantar…………………………………………...……..……………… ii
Daftar Isi…………………………………………………..…...………………... iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....…………………………………….…………………… 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………… 3
BAB II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan MPR pasca amandemen UUD
1945………………………………………………………...….…….…… 4
B. Kedudukan TAP MPR pasca disahkannya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan……………………………………………………... 5
C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan mengadili terhadap Tap MPR yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945…………………………………………………..…… 19
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………..…………………… 24B. Saran…………………………………….……………………...………… 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum dilakukan perubahan atas UUD 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikontruksikan sebagai wadah penjelmaan
seluruh rakyat yang berdaulat, tempat ke mana Presiden harus tunduk dan
mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan tugas-tugas konstitusionalnya.
Dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum diadakan perubahan itu, dinyatakan
bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR”. Dari
kontruksi yang demikian, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat dipahami
sebagai lembaga tertinggi negara dimana kedaulatan seluruh rakyat Indonesia
terjelma. Oleh karena itu, segala ketetapan yang dikeluarkannya mempunyai
kedudukan lebih tinggi dari produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga-
lembaga tinggi negara yang lain, seperti Presiden, DPR, ataupun Mahkamah
Agung1. Dengan demikian, ketetapan MPR/S lebih tinggi kedudukan
hierarkinya daripada Undang-Undang ataupun bentuk-bentuk peraturan
lainnya.
Kewenangan pembentukan TAP MPR dan kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi Negara itu kemudian dihapus sejak amandemen ketiga
UUD 1945. Penghapusan kewenangan pembentukan TAP MPR ini
1
Jimly Asshiddiqie, “Perihal Undang-Undang”, PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan ke 2, Jakarta, 2010, halaman 33.
didasarkan alasan untuk memperkuat sistem presidensial, dimana Presiden
dan Wakil Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR dan tidak
mempunyai garis pertanggungjawaban terhadap MPR dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahan. Garis pertanggungjawaban Presiden dan Wakil
Presiden sekarang langsung kepada rakyat berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam UUD 19452. Kedudukan MPR juga bukan lagi sebagai lembaga
tertinggi Negara tetapi bergeser sebagai lembaga Negara yang kedudukannya
sama dengan lembaga-lembaga Negara lainnya seperti DPR, MA, MK, dan
lainnya.
Lebih lanjut di dalam perubahan UUD 1945 pada Pasal 24 C,
dinyatakan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar…..”. ini berarti bahwa
MK bertugas dalam rangka mengawal proses agar setiap hukum yang dibuat
oleh Pemerintah tidak menyimpang dari konstitusi serta mengacu kepada
Pancasila dan UUD 1945.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka akan timbul pemikiran kita
bersama mengenai kedudukan TAP MPR yang telah ditetapkan terdahulu/
sebelum diadakan amandemen UUD 1945 apabila ditinjau dengan sistem
perundang-undangan di Negara kita setelah disahkannya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Kemudian mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi yang
diberikan oleh UUD 1945 terkait pengujian terhadap Undang-Undang yang
2
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
dimohonkan karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, lantas
bagaimana kemudian dengan TAP MPR yang dianggap bertentangan dengan
UUD 1945.
Dimana menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa TAP MPR merupakan
bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang
ditempatkan di bawah UUD 1945 dan setingkat di atas Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa yang
dimaksud hirarki peraturan perundang-undangan meliputi:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Paraturan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Atas dasar latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan pengkajian guna menyusun makalah dengan judul “Implikasi
Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia (Kajian Atas Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya
dirumuskan pokok permasalahan – permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 ?
2. Bagaimanakah kedudukan TAP MPR pasca disahkannya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan ?
3. Apakah Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan mengadili terhadap Tap MPR yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan MPR Paca Amandemen UUD 1945.
Gerakan reformasi tersebut telah melahirkan beberapa perubahan
sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai upaya untuk menjamin
perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights) bagi warga negara
Indonesia. Perubahan sistem ketatanegaraan tersebut telah termanifestasikan
di dalam Amandemen UUD 1945 yang merupakan aturan dasar negara
(staadsgrunndgesetz) Indonesia.
Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebelum
amandemen UUD 1945 didasarkan pada faham integralistik yang diajukan
oleh Soepomo. Faham integralistik ini mengatakan bahwa “Negara ialah
suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian,
segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan
persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting ialah negara yang
berdasar pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya”. Menurut
Faham integralistik ini, di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia harus ada
satu lembaga yang menaungi semua lembaga-lembaga negara sebagai
puncak dari kekuasan negara untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan
mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Setelah amandemen ketiga kedudukan MPR kemudian bergeser
dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara sama dengan
lembaga negara lainnya. Oleh karena ini MPR bukan lagi sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2)
amandemen ketiga UUD 1945 bahwa ”Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Perubahan sistem ketatanegaraan sebagaimana telah dirumuskan di
dalam Amandemen UUD 1945 tersebut adalah terkait dengan perubahan
struktur dan fungsi dari lembaga kenegaraan di Indonesia, baik di dalam
kekuasan legislatif, kekuasaan eksekutif maupun di dalam kekuasaan
yudikatif. Perubahan tersebut sebagai wujud pelaksanaan gagasan check and
balances antar pelaksana ketiga macam kekuasaan negara. Jika sebelum
Amandemen ketiga UUD 1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara (supreme) yang melaksanakan kedaulatan rakyat
sepenuhnya, maka pada Amandemen ketiga UUD 1945 kedudukan MPR
tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan sebagai lembaga
negara yang sama seperti lembaga negara lainnya.
B. Kedudukan TAP MPR Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Berbicara mengenai kedudukan TAP MPR tentunya tidak terlepas
dari sejarah panjang Konstitusi Negara kita, dimana sebelum dilakukan
amandemen ketiga, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai mandatris MPR
dan mempunyai garis pertanggungjawaban kepada MPR berdasarkan Garis-
Garis Besar Haluan Negara yang dibuat oleh MPR melalui Ketetapan MPR
(TAP MPR). Hal inilah yang menjadi dasar kenapa MPR mempunyai
wewenang membentuk TAP MPR sebagaimana disebutkan dalam UUD
1945 pra amandemen, yaitu “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan
Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan Negara”.
Pertanggungjawaban Presiden terhadap MPR itu juga didasarkan
pada adanya struktur kekuasaan Negara yang menempatkan MPR sebagai
lembaga tertinggi Negara (supreme) sebagai pemegang kedaulatan rakyat
sehingga segala proses penyelenggaraan Negara dapat dilakukan
pengawasan oleh MPR termasuk dalam proses penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Kewenangan pembentukan TAP MPR dan kedudukan MPR
sebagai lembaga tertinggi Negara itu kemudian dihapus sejak amandemen
ketiga UUD 1945. Penghapusan kewenangan pembentukan TAP MPR ini
didasarkan alasan untuk memperkuat sistem presidensial, dimana Presiden
dan Wakil Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR dan tidak
mempunyai garis pertanggungjawaban terhadap MPR dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahan. Garis pertanggungjawaban Presiden dan Wakil
Presiden sekarang langsung kepada rakyat berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam UUD 1945. Kedudukan MPR juga bukan lagi sebagai lembaga
tertinggi Negara tetapi bergeser sebagai lembaga Negara yang
kedudukannya sama dengan lembaga-lembaga Negara lainnya seperti DPR,
MA, MK, dan lainnya.
Penghapusan wewenang pembentukan TAP MPR itu diatur dalam
Pasal 3 amandemen ketiga UUD 1945. Dalam Pasal 3 amandemen ketiga
UUD 1945 ini tidak menyebutkan lagi adanya wewenang pembentukan TAP
MPR. kewenangan MPR sekarang berdasarkan Pasal 3 amandemen ketiga
UUD 1945 tersebut adalah :
a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 di atas sangat jelas bahwa
kewenangan pembentukan Ketetapan oleh MPR sudah dihapus dalam
sruktur peraturan perundang-undangan, sehingga hal ini yang
melatarbelakangi diaturnya ketentuan dalam Pasal 1 Aturan Peralihan
amandemen keempat UUD 1945 yang berbunyi : “Majelis Permusyawaratan
Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status
hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada
Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”.
Berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan amandemen keempat UUD
1945 di atas, maka dalam sidang tahunan MPR tahun 2003, MPR
mengeluarkan TAP MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun
1966 sampai dengan tahun 2002. Berdasarkan Ketetapan MPR tersebut,
Ketetapan-Ketetapan MPR/S Tahun 1960 sampai dengan 2002
diklasifikasikan ke dalam enam kelompok, yaitu :
1. Kelompok TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tiak berlaku (8
Ketetapan = 1 TAP MPRS + 7 TAP MPR).
2. Ketetapan MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan
tertentu (3 Ketetapan = 1 TAP MPRS + 2 TAP MPR).
3. Ketetapan MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004 (8 Ketetapan TAP
MPR).
4. Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
Undang-Undang (11 Ketetapan = 1 TAP MPRS + 10 TAP MPR).
5. Ketetapan MPR yang masih berlaku sampai dengan ditetapkannya
Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR-RI hasil pemilihan umum
tahun 2004 (5 Ketetapan MPR).
6. Ketetapan MPR/S yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih
lanjut, baik bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai
dilaksanakan (104 Ketetapan = 41 TAP MPRS + 63 TAP MPR).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka fokus kajian kita
apabila dikaitkan dengan penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa :
“Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”
adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal
7 Agustus 2003”.
Oleh karena itu, tinggal dua kelompok ketetapan yang relevan
untuk dibahas lebih lanjut disini yang meliputi 3 + 11 atau 14 buah
ketetapan MPR/S. Ketetapan itu adalah :
1. Ketetapan MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan
tertentu.
1) TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah
Negara RI Bagi PKI Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk
Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme Dinyatakan Tetap Berlaku
Dengan Ketentuan Seluruh Ketentuan Dalam Ketetapan MPRS-RI
Nomor XXV/MPRS/1966 Ini, Ke Depan Diberlakukan Dengan
Berkeadilan Dan Menghormati Hukum, Prinsip Demokrasi, Dan Hak
Asasi Manusia.
2) TAP MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, Dinyatakan Tetap Berlaku
Dengan Ketentuan Pemerintah Berkewajiban Mendorong
Keberpihakan Politik Ekonomi Yang Lebih Memberikan
Kesempatan Dukungan Dan Pengembangan Ekonomi, Usaha Kecil
Menengah, Dan Koperasi Sebagai Pilar Ekonomi Dalam
Membangkitkan Terlaksananya Pembangunan Nasional Dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi Sesuai Hakikat Pasal 33 UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3) Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan
Pendapat Di Timor-Timur tetap berlaku sampai dengan
terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Ketetapan
MPR-RI No. V/MPR/1999.
Karena sekarang ketentuan yang dimaksud telah terlaksana, maka
ketetapan MPR Nomor V/MPR/1999 ini pun tidak lagi berlaku, sehingga
dalam kelompok ini tinggal 2 (dua) ketetapan saja yang masih berlaku
sampai sekarang, yaitu TAP No. XXV/MPRS/1996 dan TAP No.
XXVI/MPR/1998.
2. Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
Undang-Undang (11 Ketetapan = 1 TAP MPRS + 10 TAP MPR) :
1) Ketetapan MPR No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan
Pahlawan Ampera Tetap Berlaku Dengan Menghargai Pahlawan
Ampera Yang Telah Ditetapkan Dan Sampai Terbentuknya Undang-
Undang Tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan.
2) Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas KKN sampai terlaksananya
seluruh ketentuan ketetapan tersebut. sekarang telah terbentuk
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, sehingga ketetapan ini dapat dikatakan
tidak berlaku.
3) Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan
republik Indonesia sampai dengan terbentuknya Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 18, 18 A, dan 18B UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. sekarang telah terbentuk
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sehingga ketetapan ini dapat dikatakan tidak berlaku.
4) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan
tata urutan peraturan perundang-undangan sekarang telah
terbentuk Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga
ketetapan ini dapat dikatakan tidak berlaku lagi.
5) Ketetapan MPR-RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional. sekarang telah terbentuk
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara dan Undang-Undang lain yang terkait, sehingga
Ketetapan tersebut dapat dikatakan tidak berlaku lagi.
6) Ketetapan MPR-RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI
dan Polri sampai terbentuknya Undang-Undang yang terkait.
sekarang telah terbentuk Undang-Undang tentang TNI dan
Undang-Undang tentang Polri, sehingga Ketetapan tersebut
dapat dikatakan tidak berlaku lagi.
7) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan
Peran Polri sampai terbentuknya Undang-Undang yang terkait
dengan penyempurnaan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (2)
dari ketetapan tersebut yang disesuaikan dengan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. sekarang telah terbentuk
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia, sehingga Ketetapan
tersebut dapat dikatakan tidak berlaku lagi.
8) Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa.
9) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa
Depan.
10) Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantaan dan Pencegahan KKN sampai
terlaksanannya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut.
11) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh
ketentuan dalam ketetapan tersebut.
Dari tiga ketetapan pada kelompok pertama masih berlaku 2 (dua)
ketetapan, sedangkan dari 11 (sebelas) ketetapan terakhir masih berlaku
5 (lima) ketetapan, sehingga seluruhnya yang masih berlaku ada 7
(tujuh) Ketetapan = 2 TAP MPRS + 5 TAP MPR, yaitu :
1) TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah
Negara RI Bagi PKI Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk
Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme Dinyatakan Tetap Berlaku
Dengan Ketentuan Seluruh Ketentuan Dalam Ketetapan MPRS-RI
Nomor XXV/MPRS/1966 Ini, Ke Depan Diberlakukan Dengan
Berkeadilan Dan Menghormati Hukum, Prinsip Demokrasi, Dan Hak
Asasi Manusia.
2) TAP MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, Dinyatakan Tetap Berlaku
Dengan Ketentuan Pemerintah Berkewajiban Mendorong
Keberpihakan Politik Ekonomi Yang Lebih Memberikan
Kesempatan Dukungan Dan Pengembangan Ekonomi, Usaha Kecil
Menengah, Dan Koperasi Sebagai Pilar Ekonomi Dalam
Membangkitkan Terlaksananya Pembangunan Nasional Dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi Sesuai Hakikat Pasal 33 UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3) Ketetapan MPR No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan
Pahlawan Ampera Tetap Berlaku Dengan Menghargai Pahlawan
Ampera Yang Telah Ditetapkan Dan Sampai Terbentuknya Undang-
Undang Tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan.
4) Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa.
5) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa
Depan.
6) Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantaan dan Pencegahan KKN sampai
terlaksanannya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut.
7) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh
ketentuan dalam ketetapan tersebut.
Dengan demikian, timbul masalah serius dengan status hukum
ketujuh Ketetapan MPR/S yang masih berlaku tersebut atas. Apakah
ketujuh Ketetapan sederajat atau dapat disederajatkan dengan Undang-
Undang atau Undang-Undang Dasar. MPR sendiri dengan
kewenangannya yang telah dibatasi seperti yang diuraikan di atas,
sekarang tidak lagi berwenang untuk membahas Ketetapan-Ketetapan
yang dibuatnya sendiri di masa lalu. Oleh sebab itu, pertanyaan
mengenai lembaga negara mana yang dianggap berwenang
membahasnya tergantung kejelasan mengenai status hukum Ketetapan
MPR/S itu sendiri, apakah dapat disetarakan dengan Undang-Undang
atau dengan Undang-Undang Dasar.
Jika dipandang dari segi bentuknya dan lembaga yang berwenang
menetapkannya, jelas bahwa Ketetapan MPR/S itu dapat dinilai lebih
tinggi daripada Undang-Undang dan karena itu setara dengan Undang-
Undang Dasar, karena beberapa alasan. yaitu3 :
1) Secara historis sampai dengan pelaksanaan Sidang MPR Tahun
2003, kedudukannya memang (pernah) lebih tinggi daripada
kedudukan Undang-Undang seperti ditentukan oleh Ketetapan
MPR/S Nomor. III/MPR/2000.
2) Dari segi bentuknya, ketujuh Ketetapan MPR/S itu jelas pula bukan
berbentuk Undang-Undang sehingga tidak dapat disetarakan dengan
Undang-Undang.
3) Dari segi lembaga pembentuk atau lembaga negara yang
menetapkannya, jelas pula bahwa Ketetapan MPR/S tidak
3
Jimly Asshiddiqie, op.cit
ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang, yaitu DPR bersama-
sama dengan Presiden, melainkan oleh MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) dan MPRS (Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara).
Akatetapi, dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
maka berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca perubahan keempat
(2002), sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia dewasa ini
mengenal produk hukum yang bersifat mengatur yang kedudukannya
berada di bawah Undang-Undang Dasar (grondwet, gerundgesetz,
constitution), dan berada setingkat di atas Undang-Undang (wet, statue,
legislative act).
Untuk memastikan status hukum ketujuh Ketetapan MPR/S
tersebut di atas, pilihannya hanya ada dua kemungkinan itu saja, yaitu
dinilai mempunyai status sebagai Undang-Undang Dasar atau Undang-
Undang. Apabila ketujuh ketetapan tersebut disetarakan kedudukannya
dengan Undang-Undang Dasar, berarti ketujuh Ketetapan itu tidak dapat
diubah atau dicabut kecuali melalui mekanisme perubahan Undang-
Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.
Sedangkan apabila ketetapan-ketetapan itu diberi status setara dengan
Undang-Undang, berarti ketujuhnya dapat dicabut dan/atau diubah oleh
DPR bersama-sama dengan Presiden, yaitu dengan Undang-Undang.
Dalam Ketetapan No. I/MPR/2003, MPR sendiri juga menentukan
adanya 11 (sebelas) Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya Undang-Undang yang mengatur materi Ketetapan-
Ketetapan tersebut. Artinya kesebelas ketetapan MPR/S itu ditundukkan
derajatnya oleh MPR sendiri, sehingga dapat diubah oleh atau dengan
Undang-Undang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa MPR sendiri
telah menundukkan status hukum ketetapan-ketetapan yang pernah
dibuatnya setingkat dengan Undang-Undang, sehingga untuk selanjutnya
ketetapan-ketetapan yang tersisa tersebut harus dipandang sederajat
dengan Undang-Undang, jika demikian halnya, maka lembaga negara
yang berwenang membahas Undang-Undang ada empat lembaga yaitu :
1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
2. Presiden
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
4. Mahkamah Konstitusi (MK)
Sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya masing-masing.
Jika ditelaah dengan seksama, ada beberapa alasan yang dapat
dipakai untuk menyatakan bahwa kedudukan ketujuh Ketetapan
MMPR/S sisa tersebut di atas memang dapat disetarakan dengan
Undang-Undang, bukan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu :
1. Sejak Ketetapan Nomor I/MPR/2003 sendiri telah menurunkan status
hukum ketetapan MPR warisan lama itu dalam derajat yang memang
setara dengan Undang-Undang, bukan dengan Undang-Undang
Dasar. Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 misalnya menempatkan
sekian Ketetapan MPR/S yang masih terus berlaku sampai materinya
diatur dengan Undang-Undang.
Dengan diaturnya hal-hal dalam ketetapan MPR/S itu oleh Undang-
Undang, maka Ketetapan MPR/S itu tidak berlaku lagi sebagai
peraturan. Misalnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ditentukan
oleh Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 itu sebagai peraturan yang
masih berlaku sampai materinya diatur dengan Undang-Undang.
sehubungan dengan itu, dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian digantikan dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang memuat semua materi
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 di dalamnya, maka sejak itu
ketetapan MPR tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Artinya, MPR
sendiri telah menentukan bahwa derajat ketetapannya itu setara
dengan Undang-Undang.
Namun, dapat juga dipersoalkan secara kritis bahwa deklarasi
ketidakberlakuan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 itu, sebenarnya,
bukanlah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan yang saat
ini telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Mengenai tidak lagi berlakunya itu ditetapkan oleh MPR sendiri,
yaitu dengan Ketetapan No. I/MPR/2003. Pengaitannya dengan
Undang-Undang hanyalah sebagai kondisionalitas untuk berlakunya
deklarasi ketidakberlakuan Ketetapan No. I/MPR/2003. Dengan
demikian, hal atau keadaan masih berlakunya sejumlah Ketetapan
MPR/S sampai materinya diatur dengan Undang-Undang tidak serta
merta dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa ketetapan-
ketetapan MPR/S dimaksudkan disetarakan derajatnya oleh MPR
sendiri dengan Undang-Undang. Akan tetapi, pengaitannya dengan
Undang-Undang menunjukan bahwa secara materiil, kandungan
materi Ketetapan-Ketetapan MPR/S warisan masa lalu itu dianggap
cukup diatur dengan Undang-Undang saja. berdasarkan
pertimbangan yang bersifat praktis tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa adanya ketujuh buah ketetapan MPR tersisa yang
keberlakuannya berlanjut sampai sekarang, dapat disetarakan
derajatnya dengan Undang-Undang, bukan Undang-undang
Dasar.
2. Ketujuh Ketetapan MPR/S tersisa itu harus dianggap setara
kedudukannya dengan Undang-Undang, karena dalam sistem hukum
kita yang baru berdasarkan UUD 1945 memang tidak lagi dikenal
adanya produk hukum di atas Undang-Undang Dasar, maka demi
hukum, kedudukannya harus dianggap setara dengan Undang-
Undang, meskipun bentuk formalnya bukan Undang-Undang, yaitu
“wet in materiele zin”. Namun demikian, logika yang terkandung
dalam pandangan kedua ini juga dapat dipakai untuk mendukung ide
yang menempatkan kedudukan ketujuh ketetapan itu setara dengan
Undang-Undang Dasar (konstitusi).
Menurut Djokosutono, Konstitusi atau “constitutie” dapat dipahami
dalam 3 (tiga) arti, yaitu :
(1) Konstitusi dalam arti materiil (contitutie in materiele)
(2) Konstitusi dalam arti formal (constitutie in formele zin)
(3) Konstitusi dalam arti naskah yang didokumentasikan untuk
kepentingan pembuktian dan kesatuan rujukan (contitutie in
gedocumenteerd voo bewijsbaar en stabiliteit). Bagaimanapun,
seperti dikatakan oleh Hermann Heller, Konstitusi tidak dapat
dipersempit maknanya hanya sebagai Undang-Undang Dasar
atau Konstitusi dalam arti tertulis seperti yang lazim dipahami
karena pengaruh aliran kodifikasi. Disamping itu Undang-
Undang Dasar yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak
tertulis hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Bahkan,
seperti pengalaman di Inggris, banyak naskah hukum yang dapat
disebut sebagai konstitusi (constitution) dalam pengertian sistem
ketatanegaraan Inggris. Oleh sebab itu, di samping adanya
pengertian konstitusi tidak tertulis yang hidup dalam praktik
ketatanegaraan dan dalam kesadaran hukum masyarakat, dapat
pula dibedakan antara peraturan dasar yang terdapat dalam
berbagai naskah yang berbeda, dan Undang-Undang Dasar
sebagai satu naskah yang konstitusi tertulis.
Dengan berpatokan pada jalan pikiran demikian, ketujuh Ketetapan
MPR/S tersebut dapat juga diperlakukan sebagai peraturan yang
dikategorikan sebagai Peraturan Dasar. Yang dapat digolongkan sebagai
Peraturan Dasar itu adalah4 :
1. Undang-Undang Dasar,
2. Piagam Dasar seperti Piagam Hak Asasi Manusia,
4
Ibid, Hal..
3. Bill of Rights,
4. Magna Charta, dan sebagainya
Dengan Demikian, Ketujuh Ketetapan MPR/S sisa tersebut di atas
disebut saja sebagai memiliki kedudukan yang setingkat dengan
Undang-Undang Dasar, yaitu dengan status sebagai bentuk peraturan
semacam, naskah piagam dasar itu. Sayangnya, apabila ditelaah isinya,
norma-norma yang terkadung di dalam ketujuh Ketetapan MPR/S
tersebut di atas, memang tidak layak untuk disetarakan dengan piagam-
piagam dasar seperti magna charta atau Bill of Rights dan lain-lain yang
isinya bersifat sangat mendasar karena menyangkut hak asasi manusia.
Sebagian terbesar isi norma yang terkandung di dalam ketujuh Ketetapan
MPR/S di atas berisi rekomendasi mengenai kebijakan-kebijakan sangat
operasional teknis atau berisi nilai-nilai etika kehidupan berbangsa yang
sangat abstrak. Karena itu, ketujuhnya tidak tepat disetarakan dengan
Undang-Undang Dasar. Karena itu, menurut saya, memang lebih tepat
jika ketujuh ketetapan itu dianggap sederajat dengan Undang-Undang,
bukan dengan Undang-Undang Dasar.
Apabila status hukum ketujuh Ketetapan MPR/S tersebut tidak
dapat ditentukan dengan tegas, maka keberadaan norma hukum yang
terkadung di dalamnya akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Akan
tetapi, resiko yang timbul apabila ketujuhnya ditafsirkan sebagai produk
hukum yang setara dengan Undang-Undang Dasar, pastilah lebih buruk
daripada resiko yang mungkin timbul jika ketujuh ketetapan itu
ditafsirkan sederajat dengan Undang-Undang. Semula, ketika ketujuh
Ketetapan MPR/S itu dibentuk, maka penetapan Ketetapan MPR cukup
didukung oleh para anggota MPR dengan mekanisme suara terbanyak
sesuai dengan Ketentuan Pasal 3 UUD 1945. Akan tetapi, jika statusnya
sekarang dianggap setara dengan Undang-Undang-Undang Dasar, maka
untuk mengubah atau mencabutnya diperlukan persyaratan dukungan
suara yang lebih sulit sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Padahal, apabila ditinjau dari segi isinya, untuk memenuhi tuntutan
perubahan zaman, materi ketujuh Ketetapan MPR tersebut jauh lebih
memerlukan sifat keterbukaan dan fleksibilitas dibandingkan dengan
materi Undang-Undang Dasar, sehingga memerlukan mekanisme
perubahan yang lebih sederhana dibandingkan dengan materi UUD
1945.
Tentunya masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan lain yang
dapat dieksplorasi guna mendukung atau menolak ide penyetaraan status
hukum ketujuh Ketetapan MPR/S sisa tersebut di atas dengan Undang-
Undang. Apalagi apabila hal itu dikaitkan dengan faktor-faktor ‘trauma
sejarah’, kebencian, dan dendam yang timbul di masa alu berkaitan
dengan komunisme dan Partai Komunis Indonesia. Yang kemudian
muncul adalah pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis
emosional untuk menolak ide penyetaraannya dengan Undang-Undang.
Faktor-faktor yang bersifat Psikologis-Politis ini tentunya dapat selesai
dengan sendirinya nanti dalam perjalanan sejarah. Akan tetapi, analisis
ilmiah yang bersifat teknis-akedemis sudah seharusnya tidak terpaku
kepada faktor-faktor Psikologis-Politis semacam itu. Bagaimanapun
secara tegas, ketujuh Ketetapan MPR/S yang tersisa itu dapat dikatakan
masih berlaku setara dengan Undang-Undang.
Ketujuh produk hukum Ketetapan MPR/S sisa itu, meskipun
berbentuk Ketetapan MPR/S, tetapi berisi norma-norma hukum yang
setara dengan materi Undang-Undang. Karena itu, ketujuh produk
hukum tersebut dapat dikatakan sebagai Undang-Undang dalam arti
materiil (wet in materiele zin). Dengan status hukum sebagai “wet in
materiele zin” itu, maka prosedur pencabutannya, perubahanya,
penerapan dan penegakan serta pengujian konstitusionalitas suatu
Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, lembaga
negara yang dapat menentukan status hukum dan materi ketujuh
Ketetapan MPR/S tersebut untuk selanjutnya adalah lembaga-lembaga
negara yang mempunyai wewenang dalam urusan pembentukan,
perubahan, atau pembatalan Undang-undang.
Oleh karena itu, yang dapat menilai kembali (review) atau
menentukan status hukum dan materi ketujuh Ketetapan MPR/S sisa
tersebut ada empat lembaga negara yaitu :
1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
2. Presiden
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
4. Mahkamah Konstitusi (MK)
Sesuai dengan kewenangan Konstitusionalnya masing-masing.
Jika ketujuh Ketetapan MPR/S itu hendak ditinjau ulang (review),
dapat dilakukan “legislative review” dengan membentuk Undang-
Undang yang mengubah atau mencabut ketetapan-ketetapan tersebut.
Lembaga negara yang dapat mengambil inisiatif adalah Presiden atau
DPR sebagaimana mestinya. Dalam Hal Ketetapan MPR/S itu berkaitan
dengan bidang kewenangan DPD, maka DPD juga dapat terlibat atau
dilibatkan dalam proses perancangan ataupun pembahasan rancangan
Undang-Undang yang bersangkutan. Namun, apabila dilakukan
“legislative review” Ketetapan MPR/S dimaksud dinilai telah
menimbulkan kerugian hak konstitusional pihak-pihak tertentu, maka
dengan memperluas pengertian Undang-Undang yang dapat diuji oleh
Mahkamah Konstitusi – Pihak-Pihak yang bersangkutan dapat saja
mengajukannya sebagai perkara pengujian Konstitusional di Mahkamah
Konstitusi. Dalam hal ini mekanisme yang ditempuh adalah “Yudicial
Review” sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dengan dihapuskannya wewenang pembentukan TAP MPR
berdasarkan Pasal 3 Amandemen ketiga UUD 1945, bukan berarti MPR
tidak diperbolehkan untuk membentuk TAP MPR, akan tetapi masih
tetap diperbolehkan hanya sebatas ketetapan MPR mengenai pelantikan
maupun pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Ini berarti
bahwa Tap MPR tidak lagi bersifat mengatur secara umum (regeling)
akan tetapi sudah bersifat konkrit dan individual (beschiking)5.
5
Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 32-34.
C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan
mengadili terhadap Tap MPR yang dianggap bertentangan dengan
UUD 1945.
Munculnya pengaturan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun
2011 yang mengkategorikan bahwa TAP MPR merupakan bagian dari jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat regeling
(mengatur secara umum) dan berada di bawah UUD 1945 adalah akibat
masih berlakunya beberapa TAP MPR berdasarkan TAP MPR Nomor
1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Dalam Tap MPR ini mengelompokkan 139 TAP MPRS dan TAP MPR yang
sudah ada ke dalam enam kelompok status baru sebagaimana dikemukakan
sebelumnya.
Meskipun Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
mengkategorikan Tap MPR termasuk bagian dari jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan, namun tidak berarti MPR masih mempunyai
wewenang untuk membentuk Tap MPR yang baru pasca amanndemen UUD
1945, karena yang dimaksud dengan Tap MPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut hanya terhadap
beberapa TAP MPR yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan TAP MPR
Nomor 1/MPR/2003. Dengan demikian, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No.
12 Tahun 2011 ini hanya untuk mengakomudir terhadap beberapa TAP
MPR yang masih dinyatakan berlaku dan bersifat regeling. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.
12 Tahun 2011, bahwa :
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Meskipun MPR tidak akan membentuk TAP MPR lagi yang
mengatur secara umum (regeling), akan tetapi tidak akan menutup
kemungkinan bahwa akan terdapat permohonan pengujian TAP MPR yang
masih dinyatakan berlaku berdasarkan TAP MPR Nomor 1/MPR/2003 oleh
warga Negara yang mempunyai legal standing dimana hak-hak
konstitusionalnya dilanggar oleh berlakuknya TAP MPR yang masih
berlaku tersebut.
Akantetapi, apakah dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
ketujuh Ketetapan MPR/S tersebut dapat pula dinilai atau diuji oleh
Mahkamah konstitusi ? Jika DPR dan Presiden diperkenankan menilai,
mengubah, ataupun mencabut ketujuh ketetapan tersebut, mengapa
Mahkamah Konstitusi tidak ? Bukankah mekanisme “judicial review” atau
“constitutional review” di Mahkamah Konstitusi itu merupakan upaya
konstitusional yang disediakan oleh UUD 1945 apabila mekanisme
“legislative revew” tidak atau belum sempat dilaksanakan, sedangkan
ketentuan yang terkandung di dalam suatu produk peraturan telah
menimbulkan kerugian konstitusional bagi warga negara ataupun subjek
hukum yang dilindungi hak dan kewenangan konstitusionalnya oleh UUD
1945. Bukankah diadakannya mekanisme “judicial review” itu
dimaksudkan untuk mendampingi dan mengimbangi keberadaan
mekanisme “legislative review” adalah merupakan suatu keniscayaan,
sehingga segala ketentuan Undang-Undang Dasar dapat sungguh-
sungguh dijalankan dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi
dimaksudkan untuk menjamin hal itu. Oleh karena itu, apabila ketujuh
Ketetapan MPR/S tersebut di atas dianggap dapat diubah dengan Undang-
Undang, berarti ketujuh Ketetapan tersebut dapat pula diuji oleh Mahkamah
Konstitusi sesuai dengan Ketentuan UUD 1945.
Untuk menyelesaikan kasus ini, maka lebih tepat kiranya
dititikberatkan pada semangat dibentuknya MK sejak tahun 2003, bahwa
semangat dibentuknya MK adalah untuk melindungi hak-hak konstitusional
yang dilanggar oleh negara, sehingga keberadaan MK di Indonesia tidak lain
adalah sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the constitution) dan
penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution)6.
Terjadinya pelanggaran hak-hak konstitusional yang dinilai karena
berlakunya TAP MPR yang masih tetap dinyatakan berlaku akan banyak
6
Moh. Saleh, Wewenang Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
merugikan masyarakat sebagai warga negara, sehingga apabila pengujian
TAP MPR itu masih menunggu sidang tahunan MPR, maka hal ini akan
membutuhkan waktu dan proses yang lama dan akan semakin menambah
volume kerugian bagi masyarakat.
Lahirnya MK di Indonesia sejak tahun 2003 telah melahirkan
beberapa terobosan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengujian terhadap TAP MPR ini tidak diatur secara jelas di dalam UUD
1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga hal ini akan
terjadi kekosongan hukum, apakah pengujian TAP MPR ini merupakan
wewenang MK atau diserahkan pada MPR dengan konsekwensi masyarakat
banyak dirugikan karena harus menunggu waktu dan proses yang sangat
lama.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 bahwa MK
hanya mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional,
yaitu :
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Konsep mengenai wewenang menguji untuk menjaga kesucian
konstitusi oleh lembaga yudisial ini dapat melihat beberapa putusan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Di dalam
memberikan putusan, MA dapat berdasarkan pada peraturan yang dibuat
oleh Kongres maupun pada doktrin. Sebagian besar kasus yang ditangani
MA merupakan hasil interpretasi hukum dalam menentukan apakah suatu
peraturan atau pejabat berjalan sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Wewenang MA ini tidak disebutkan secara khusus dalam konstitusi AS,
akan tetapi didasarkan pada doktrin yang disimpulkan oleh MA berdasarkan
naskah konstitusi dan telah dinyatakan secara gamblang dalam kasus penting
yaitu Marbury vs. Madison tahun 1803. Dalam putusannya MA dengan
hakim Marshall menyatakan bahwa “...tindakan legislatif yang
bertentangan dengan Konstitusi bukanlah Hukum...”, dan lebih lanjut
menambahkan bahwa ”adalah tugas dan wewenang dari lembaga peradilan
untuk menyatakan apakah hukum itu”. Atas dasar inilah, maka MA
mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian (yudicial review)
terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi AS7.
Tradisi AS inilah yang kemudian menjadi tonggak bagi lahirnya
ajaran supremasi konstitusional dalam pengujian peraturan perundang-
undangan. Menurut Smith Baily (Inggris), bahwa yudicial review didirikan
atas dasar doktrin Ultra Vires (ultra vires doctrin) yang digunakan dalam
7
Richard C. Schroeder, Garis Besar Pemerinhan Amerika Serikat, (Kantor Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2000), hlm. 96 – 101
sistem hukum di Inggris. Berdasarkan doktrin tersebut kekuasan yudikatif
diberikan hak dan kewenangan untuk8 :
a. mengawasi batas kewenangan pemerintah dalam mengeluarkan
peraturan perundang- undangan (statutory authority) sesuai dengan
batas yurisdiksi atau kawasan kekuasaannya.
b. kekuasaan yudikatif diberikan hak, fungsi dan kewenangan untuk
melakukan pengawasan terhadap penguasa pusat maupun daerah dan
local untuk tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) melampaui batas-batas yurisdiksinya.
c. Apa-apa yang tidak didelegasikan undang-undang kepada penguasa,
atau membuat peraturan perundang-undangan yang jauh lebih luas dari
apa yang telah didelegasikan, harus dinyatakan sebagai tindakan yang
tidak berdasar hukum (unlawful), karena dianggap sebagai tindakan
yang illegal.
Secara analisis ketatanegaraan bahwa MPR bukan lagi sebagai
lembaga tertinggi Negara seperti sebelum amandemen UUD 1945. MPR
sekarang sudah berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga Negara
lainnya, sehingga terhadap produk hukumnya-pun dapat dilakukan
peninjauan atau pengujian oleh lembaga Negara lain, yakni oleh MK demi
untuk menjaga kesucian nilai-nilai dan semangat dari pada UUD 1945.
8
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 44 – 45
Jika kita melihat fungsi MA dalam sistem peradilan di Amerika
serikat bahwa MA pada dasarnya mempunyai wewenang untuk menguji
segala produk hukum lembaga Negara yang melanggar atau bertentangan
dengan konstitusi dan melihat kedudukan dari pada MPR pasca amandemen
UUD 1945, maka menurut penulis lembaga Negara yang berwenang untuk
menguji Tap MPR sebelum dirubah dalam rapat tahunan MPR adalah MK,
karena semangat pembentukan MK adalah sebagai pengawal UUD 1945
(the quardian of the constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of
the constitution).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan pada Bab I sampai dengan Bab
II, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Sebelum Amandemen ketiga UUD 1945, MPR berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi negara (supreme) yang melaksanakan kedaulatan
rakyat sepenuhnya, dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai
mandatris MPR dan mempunyai garis pertanggungjawaban kepada
MPR berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang dibuat oleh
MPR melalui Ketetapan MPR (TAP MPR). Akan tetapi setelah
dilakukan Amandemen ketiga UUD 1945 kedudukan MPR tidak lagi
sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi bergeser sebagai lembaga
Negara yang kedudukannya sama dengan lembaga-lembaga Negara
lainnya seperti DPR, MA, MK, dan lainnya. Sehingga berimplikasi
kepada pemangkasan kewenangan yang dimiliki sebelumnya, yakni
tidak lagi dapat menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
2. Adanya ketujuh buah ketetapan MPR tersisa yang keberlakuannya
berlanjut sampai sekarang, dapat disetarakan derajatnya dengan
Undang-Undang, bukan Undang-undang Dasar. Hal ini dikarenakan
jika statusnya sekarang dianggap setara dengan Undang-Undang-
Undang Dasar, maka untuk mengubah atau mencabutnya diperlukan
persyaratan dukungan suara yang lebih sulit sesuai dengan ketentuan
Pasal 37 UUD 1945. Padahal, apabila ditinjau dari segi isinya, untuk
memenuhi tuntutan perubahan zaman, materi ketujuh Ketetapan MPR
tersebut jauh lebih memerlukan sifat keterbukaan dan fleksibilitas
dibandingkan dengan materi Undang-Undang Dasar, sehingga
memerlukan mekanisme perubahan yang lebih sederhana dibandingkan
dengan materi UUD 1945.
3. Lembaga Negara yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap
Tap MPR yang bersifat regeling berdasarkan TAP MPR Nomor
1/MPR/2003 dan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini didasarkan pada dua
alasan. Alasan pertama, bahwa semangat pembentukan MK di
Indonesia adalah untuk menjaga hak-hak konstitusional warga Negara
yang diatur dalam UUD 1945, sehingga apapun peraturan yang dibuat
oleh lembaga atau pejabat Negara harus dikawal oleh MK supaya tidak
melanggar atau bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab inilah
maka MK disebut sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the
constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of the
constitution). Alasan kedua, bahwa MPR sejak dilakukan amandemen
ketiga UUD 1945 tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi
Negara (supreme), tetapi MPR sekarang berkedudukan sejajar dengan
lembaga Negara lainnya. Oleh karena inilah maka terhadap produk
hukumnya-pun dapat dilakukan pengujian oleh lembaga Negara lainnya
yang berwenang sebagai pengawal konstitusi, dalam hal ini adalah MK.
B. Saran
Meskipun secara yuridis-formal tidak terdapat ketentuan yang mengatur
untuk pengujian TAP MPR atau Perpu tidak terdapat dasar hukum lembaga
mana yang berwenang melakukan pengujian, akan tetapi berdasarkan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyatakan bahwa; “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”. maka ke depan diharapkan dalam rangka penyempurnaan
hukum tidak perlu menunggu waktu yang lama, sehingga terhadap suatu
produk peraturan yang telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi
warga negara dapat diselesaikan melalui koridor yang tepat dan berkeadilan.
LAMPIRAN EKSTRA
Struktur Kelembagaan Negara Sebelum Perubahan UUD 1945 (Sumber : Titik Triwulan Tutik, 2008 : 22-23)
Struktur Kelembagaan Negara Sesudah Perubahan UUD 1945 (Sumber : Titik Triwulan Tutik, 2006a : 125)
Berdasarkan bagan di atas terlihat bahwa UUD 1945 hasil Amandemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 1 (satu) lembaga bantu Negara dengan 7 (tujuh) lembaga negara sebagai berikut : Pertama, Kekuasaan Eksaminatif (Inspektif), yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Kedua, Kekuasaan Legislatif yaitu : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas : (1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan (2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Ketiga, Kekuasaan Pemerintahan Negara (Eksekutif), yaitu Presiden, dan Wakil Presiden; Keempat, Kekuasaan Kehakiman (Yudisial), Meliputi : (1) Mahkamah Agung (MA); (2) Mahkamah Konstitusi (MK), Kelima, Lembaga Bantu Negara (The State Auxiliary Body), yaitu Komisi Yudisial.
UUD 1945
BPK
Kekuasaan Eksaminatif(Inspektif)
MPR
DPR
PRESIDEN
WAKIL PRESIDEN
MA
Kekuasaan Yudisial
KY
Lembaga Negara Bantu
(Auxiliary State Body)
DPD
Kekuasaan Legislatif Kekuasaan
Eksekutif
MK
MPR
UUD 1945
DPR
Kekuasaan Legislatif
BPK
Kekuasaan Eksaminatif(Inspektif)
PRESIDEN
Kekuasaan Eksekutif
DPA
Kekuasaan Konsultatif
MA
Kekuasaan Yudikatif
Kedudukan, Tugas, dan Wewenang MPR sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945
(Sumber : Denny Indrayana, 2008 : 368)
Aturan-Aturan Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen
Kedaulatan Rakyat Dimonopoli MPR MPR tidak
memonopoli,
kedaulatan rakyat
dilaksanakan menurut
UUD 1945
Kedudukan Lembaga Tertinggi Negara
dengan kekuasaan yang
tidak terbatas
MPR hanya salah satu
dari beberapa lembaga,
dengan kekuasaan yang
terbatas
Pemilihan Presiden Dipilih oleh MPR MPR melantik Presiden
dan Wakil Presiden,
yang langsung dipilih
oleh rakyat.
GBHN Disusun oleh MPR, Presiden
melaksanakannya dan
mempertanggungjawabkan
pelaksanaannya kepada
MPR
MPR tidak lagi
memiliki kewenangan
ini
Perubahan Konstitusi Diubah dan ditentukan oleh
MPR
MPR masih tetap
memiliki wewenang-
wewenangan ini,
meskipun prosedur
amandemennya sudah
diubah
Pemberhentian Presiden Diberhentikan oleh MPR.
Prosedur ini tidak diatur
secara eksplisit dalam UUD
MPR memiliki
kekuasaan untuk
mencopot Presiden.
Kekuasaan ini diatur
dan terperinci dalam
UUD
Kekosongan kursi
Presiden
Konstitusi tidak memiliki
aturan tentang hal ini
MPR memiliki
kekuasaan untuk
memilih Presiden
dan/atau Wapres, dalam
hal bahwa salah satu
atau kedua jabatan itu
lowong.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Asshiddiqie, Jimly, “Perihal Undang-Undang”, Cetakan ke 2, (Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 2010)
Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan
Pembongkaran. (Jakarta : Mizan. 2008)
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Citra Aditya Bhakti, 1997)
Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
Richard C. Schroeder, Garis Besar Pemerinhan Amerika Serikat, (Kantor
Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat, 2000)
Tutik, Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pascaamandemen UUD 1945. (Jakarta : Cerdas Pustaka, 2008)
B. Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia, TAP MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI
tahun 1966 sampai dengan tahun 2002.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
top related