Transcript
IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
PEMBERANTASAN DBD DI PUSKESMAS MEDAN
JOHOR KECAMATAN MEDAN JOHOR
TAHUN 2020
SKRIPSI
Oleh
NELA ISNAINIYAH SIREGAR
NIM. 151000026
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
PEMBERANTASAN DBD DI PUSKESMAS MEDAN
JOHOR KECAMATAN MEDAN JOHOR
TAHUN 2020
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
NELA ISNAINIYAH SIREGAR
NIM. 151000026
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
i
ii
Telah diuji dan dipertahankan
Pada tanggal: 26 Agustus 2020
TIM PENGUJI SKRIPSI
Ketua : Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes.
Anggota : 1. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes.
2. Puteri Citra Cinta Asyura Nasution, S.K.M., M.P.H.
iii
Pernyataan Keaslian Skripsi
Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul
“Implementasi Program Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD di
Puskesmas Medan Johor Kecamatan Medan Johor Tahun 2020” beserta
seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan
penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika
keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pertanyaan ini,
saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila
kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya
saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Medan, 26 Agustus 2020
Nela Isnainiyah Siregar
iv
Abstrak
Gambaran masalah kesehatan di Indonesia yaitu kejadian penyakit menular atau
penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih bisa
kita lihat dari KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah, salah satunya yaitu
DBD (Demam Berdarah Dengue). Kota Medan merupakan salah satu daerah yang
dikategorikan endemis sehingga berpotensi menimbulkan penyakit DBD,
terutama saat musim hujan ketika kondisi optimal untuk nyamuk berkembang
biak. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yang bersifat
interaktif untuk mengetahui secara jelas dan mendalam tentang Implemetasi
Program Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor
Kecamatan Medan Johor. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam. Analisis data disajikan dalam bentuk narasi. Hasil penelitian ini
menjukkan bahwa implementasi program pemberantasan DBD belum sesuai,
karena kuantitas dan kualitas sumber daya yang terbatas, kurangnya pelatihan
dalam pemberantasan DBD terhadap petugas, seperti pelatihan memberikan
pengetahuan dan ketrampilan terhadap kader jumantik maupun petugas
Puskesmas Medan Johor serta kurangnya kesadaran dan partisipasi dari
masyarakat terhadap kegiatan pemberantasan DBD. Kesimpulan hasil penelitian
Implementasi program promosi kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas
Medan Johor belum berjalan maksimal karena Penyuluhan dilakukan belum
merata. Maka diharapkan kepada Puskesmas Medan Johor melakukan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan motivasi petugas dalam program
promosi kesehatan pemberantasan DBD melalui peningkatan kuantitas dan
kualitas sumber daya yang ada seperti sarana dan prasarana serta media
komunikasi yang digunakan dalam pelaksanaan promosi kesehatan
pemberantasan DBD.
Kata kunci : Implementasi, promosi kesehatan, pemberantasan DBD
v
Abstract
The description of health problems in Indonesia, namely the incidence of
infectious diseases or infectious diseases is still a public health problem that we
can still see from outbreaks (Extraordinary Events) in several areas, one of which
is DHF (Dengue Hemorrhagic Fever). Medan City is one of the areas categorized
as endemic so that it has the potential to cause dengue fever, especially during the
rainy season when conditions are optimal for mosquitoes to breed. This type of
research is interactive qualitative research to know clearly and deeply about the
implementation of the DHF Eradication Health Promotion Program at the Medan
Johor Health Center, Medan Johor District. Data collection was carried out by in-
depth interviews. Data analysis is presented in narrative form. The results of this
study indicate that the implementation of the DHF eradication program has not
been optimal, due to limited quantity and quality of resources, lack of training in
DHF eradication for officers, such as training in providing knowledge and skills
for jumantik cadres and Medan Johor Public Health Center officers as well as a
lack of awareness and participation from the community. against DHF eradication
activities. Conclusion of the research results The implementation of the DHF
eradication health promotion program at the Medan Johor Health Center has not
run optimally because the counseling was not evenly distributed. So it is expected
that the Puskesmas will do to increase the knowledge, skills and motivation of
officers in the DHF eradication health promotion program by increasing the
quantity and quality of existing resources such as facilities and infrastructure as
well as communication media used in implementing DHF eradication health
promotion.
Keywords: Implementation, health promotion, eradication of DHF
vi
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Implementasi Program Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD di
Puskesmas Medan Johor Kecamatan Medan Johor Tahun 2020”. Skripsi ini
disusun guna sebagai salah satu syarat untuk menyandang gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM). Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis
menyadari banyak sekali memperoleh bantuan dari berbagai pihak baik secara
moril maupun material. Oleh Karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes. selaku Ketua Departemen Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara sekaligus selaku Dosen Pembimbing Skripsi saya yang telah meluangkan
waktu dalam memberikan bimbingan, masukan, dan arahan selama proses
penyelesaian skripsi ini berlangsung.
4. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes. selaku Dosen Penguji I yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, kritik dan saran selama
proses penyelesaian skripsi ini berlangsung.
5. Puteri Citra Cinta Asyura Nasution, S.K.M., M.P.H. selaku Dosen Penguji II
yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, kritik
vii
dan saran selama proses penyelesaian skripsi ini berlangsung.
6. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
7. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis menjalani
pendidikan khususnya Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
8. Kepala Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor dan seluruh Staff
yang telah memberikan izin dan membantu penulis dalam melakukan
penelitian di Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor.
9. Teristimewa untuk kedua orang tua tercinta, Alm. Ahmad Ghozaly Siregar dan
Yanti Hasyunah Hasibuan serta saudara kandung penulis Algi Frista Libra
Siregar yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan semangat kepada
penulis selama pengerjaan skripsi ini.
10. Teman-teman terkasih Raja Sahban Pangadilan Harahap, S.T.P., Pramita
Yolandari, Riska Aulia, Novita Handayani Dalimunte, Yuli Sarah dan Mutia
Delvira Tampubolon yang telah menyemangati, membantu dan mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis
berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat
bagi pembaca.
viii
Medan, 26 Agustus 2020
Nela Isnainiyah Siregar
Daftar Isi
Halaman
ix
Halaman Persetujuan i
Halaman Penetepan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xii
Daftar Lampiran xiii
Daftar Istilah xiv
Riwayat Hidup xv
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah . 6
Tujuan Penelitian 7
Tujuan umum 7
Tujuan khusus 7
Manfaat Penelitian 7
Tinjauan Pustaka 9
Promosi Kesehatan 9
Metode dan media promosi kesehatan 9
Alat bantu/media promosi kesehatan 10
Aplikasi smartphone promosi kesehatan DBD berbasis android 11
Strategi promosi kesehatan 12
Teori promosi kesehatan menurut Leavel and Clark 13
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) 15
Tujuan puskesmas 15
Demam Berdarah Dengue (DBD) 15
Pengertian DBD 15
Sejarah perkembangan DBD 16
Siklus hidup nyamuk aedes aegypti 16
Gejala dan tanda 17
Metode dan pengendalian vektor 17
Faktor yang mempengaruhi DBD 18
Tenaga yang terlibat dalam program pemberantasan DBD 21
Kegiatan dalam program promosi kesehatan 22
Tindakan pengendalian dan pencegahan DBD 24
Implementasi 26
Teori implementasi kebijakan 27
Kerangka Berpikir 29
Metode Penelitian 31
Jenis Penelitian 31
x
Lokasi dan Waktu Penelitian 31
Informan Penelitian 31
Definisi Konsep 32
Metode Pengumpulan Data 32
Metode Analisis Data 33
Hasil Penelitian dan Pembahasan 35
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 35
Geografi 35
Demografi 36
Sumber daya manusia 36
Sarana kesehatan 37
Karakteristik Informan 37
Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya dalam Implementasi 38
Sarana dan prasarana 42
Dana 46
Sikap petugas 48
Komunikasi petugas 52
Indeks tupoksi petugas 56
Evaluasi hambatan dan kendala upaya 59
Keterbatasan Penelitian 60
Kesimpulan dan Saran 62
Kesimpulan 62
Saran 63
Daftar Pustaka 65
Lampiran 68
Daftar Tabel
No. Judul Halaman
xi
1. Distribusi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor
Tahun 2020
36
2. Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Medan Johor Tahun
2020
36
3. Sarana Kesehatan di Puskesmas Medan Johor
37
4. Karakteristik Informan
38
Daftar Gambar
No. Judul Halaman
xii
1. Kerangka berpikir
29
2. Sarana dan prasarana Puskesmas Medan Johor 44
Daftar Lampiran
xiii
Lampiran Judul Halaman
1. Pedoman Wawancara 68
2. Surat Permohonan Izin Penelitian 72
3. Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan 73
4. Surat Selesai Penelitian 74
5. Matriks Pernyataan Informan 75
6. Dokumentasi Penelitian 84
Daftar Istilah
xiv
3M Menguras, Mengubur, Menutup
ABK Analisis Beban Kerja
CFR Case Fatality Rate
DBD Demam Berdarah Dengue
Depkes Departemen Kesehatan
DHF Dengue Haemorrhagic Fever
Ditjen PPPL Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
DSS Dengue Shock Syndrome
HBM Health Belief Model
IR Incidance Rate
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Jumantik Juru Pemantau Jentik
Kemenkes Kementerian Kesehatan
KLB Kejadian Luar Biasa
PE Penyelidikan Epidemiologi
Permenkes Peraturan Mentri Kesehatan
PJB Pemberantasan Jentik Berkala
Pokja Kelompok Kerja
PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk
P2DBD Program Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue
SDM Sumber Daya Manusia
UKM Upaya Kesehatan Masyarakat
UKP Upaya Kesehatan Perorangan
WHO World Health Organization
Riwayat Hidup
xv
Penulis bernama Nela Isnainiyah Siregar berumur 23 tahun, dilahirkan di
Purwodadi Aceh Barat pada tanggal 20 Januari 1997. Penulis beragama Islam,
anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Alm. Ahmad Ghozaly Siregar dan
Yanti Hasyunah Hasibuan.
Pendidikan formal dimulai di TK Dharma Wanita Lima Puluh Tahun
2003. Pendidikan sekolah dasar di SDN 010200 Tanah Gambus Tahun 2004-
2009, sekolah menegah pertama di MTsN 1 Lima Puluh Tahun 2010-2012,
sekolah menengah atas di SMAN 1 Air Putih Tahun 2013-2015, selanjutnya
penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Medan, 26 Agustus 2020
Nela Isnainiyah Siregar
1
Pendahuluan
Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada beban
ganda akibat transisi epidemiologi. Gambaran masalah kesehatan di Indonesia
terlihat memiliki satu sisi yaitu kejadian penyakit menular atau penyakit infeksi
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, yang masih bisa kita lihat dari
KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah, salah satunya yaitu DBD
(Demam Berdarah Dengue). Kecenderungan ini dipacu oleh berubahnya gaya
hidup masyarakat dan globalisasi.
Menurut WHO demam berdarah merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus yang ditularkan dari nyamuk. Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus
yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis diantaranya kepulauan di Indonesia
sehingga bagian utara Australia. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang
menjadi endemi dengue. Sekarang penyakit ini sudah ada di 100 negara di
wilayah WHO. Kasus di seluruh wilayah, Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik
Barat adalah wilayah yang paling terkena dampakanya, hingga kasus tersebut
sudah melebihi 1,2 juta di tahun 2008 dan lebih dari 3,2 juta pada tahun 2015
(WHO, 2017).
Angka kejadian kasus DBD di Indonesia dari tahun 2011-2016 secara
umum mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, jumlah angka insiden kasus
DBD sebesar 27,67% kemudian pada tahun 2012 meningkat menjadi 37,27% dan
pada tahun 2013 juga meningkat menjadi 45,85%. Hal ini berbeda ketika di tahun
2014 yang mengalami penurunan menjadi 39,80% tahun 2015 jumlah kasus
2
sebesar 50,75 % dan pada tahun 2016 meningkat secara signifikan sebesar
78,85% (Kemenkes RI, 2017).
Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2016, dilaporkan bahwa
jumlah seluruh kasus DBD di Sumatera Utara sebanyak 8.715 kasus, angka
kesakitan atau Incidence Rate (IR) sebanyak 63,3% sedangkan angka kematian
sebesar 0,69%. Pada tahun 2017 ditemukan laporan DBD sebanyak 5.454 kasus,
dimana Kota Medan merupakan yang paling banyak ditemukan kasus DBD, yaitu
sebanyak 1,214 kasus.Kemudian diperingkat kedua adalah Deli Serdang yaitu
sebnayak 959 kasus, dan yang ketiga yaitu Kabupaten Langkat terdapat sebanyak
314 kasus yang ditemukan (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2017).
Kota Medan merupakan salah satu daerah yang dikategorikan endemis di
Provinsi Sumatera Utara potensi DBD sebagai penyakit yang bisa menimbulkan
KLB, terutama saat musim hujan ketika kondisi optimal untuk nyamuk
berkembang biak. Seluruh wilayah kerja Puskesmas di Kota Medan termasuk
daerah endemis DBD. Terdapat 5 (lima) Puskesmas dengan kasus DBD terbanyak
yaitu Puskesmas Helvetia, Puskesmas PB. Selayang, Puskesmas Medan Johor,
Puskesmas Sumggal dan Puskesmas Amplas. Data laporan Dinas Kesehatan Kota
Medan Tahun 2013 terdapat 1.270 kasus dengan CFR 0,70% pada tahun 2014
sebanyak 1.699 kasus dengan IR 77,5% dan CFR 0,90%, dan di tahun 2015
sebanyak 1.362 kasus dan CFR 0,66% (Dinkes Kota Medan, 2016).
Puskesmas Medan Johor membawahi tiga kelurahan yaitu Pangkalan
Mansyur, Gedung Johor dan Kuala Bekala dengan jumlah penduduk sebanyak
95.262 jiwa. Berdasarkan data dari Puskesmas Medan Johor angka kejadian
3
penyakit pada tahun 2017 sebanyak 20 kasus dan 4 orang meninggal dunia, pada
tahun 2018 sebanyak 39 kasus, sedangkan pada tahun 2019 terdapat 67 kasus
(Profil Puskesmas Medan Johor, 2019).
Saat ini, Sumatera Utara sedang mengalami musim yang tidak teratur,
terkadang hari begitu terik dan panas, terkadang juga hujan sangat lebat. Kejadian
diatas yang membuat masyarakat harus lebih waspada lagi akan kebersihan
lingkungan maupun kebersihan pribadi. Penyakit DBD biasanya akan menyebar
dan meningkat apabila musim hujan sedang melanda. Ketika terjadi musim hujan
maka, nyamuk akan lebih muda berkembangbiak sehingga terjadi peningkatan
yang diakibatkan oleh banyaknya tempat penampungan air menjadi tempat
perindukan nyamuk. Hal ini juga menyebabkan nyamuk berkembangbiak dan
semakin berpotensi menggigit manusia, sehingga terjadilah peningkatan kasus
DBD. Dalam proses berkembangnya DBD, cuaca dan lingkunagan juga
memegang peranan, dimana musim hujan dapat menimbulkan peningkatan jumlah
nyamuk yang membawa virus dengue yang menimbulkan peningkatan pada kasus
DBD.
Upaya pemberantasan penyakit demam berdarah dengue dilaksanakan
dengan cara pelaksanaan kegiatan pengendalian DBD yaitu: Surveilans
Epidemiologi, Penemuan dan Tatalaksana Kasus, Pengendalian Vektor,
Peningkatan peran serta Masyarakat, Sistem Kewaspadaan Dini, dan
Penanggulangan KLB, Penyuluhan, Kemitraan/jejaring kerja. Pengembangan
SDM, Penelitian dan survey, Monitoring dan evaluasi. Upaya pemberantasan
DBD difokuskan pada penggerakan potensi masyarakat untuk berperan serta
4
dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD melalui 3M Plus (3M :
menutup, menguras, mendaur ulang barang bekas dan Plus: menabur larvasida
(abatisasi), memelihara ikan pemakan jentik, memakai kawat kasa, menghindari
menggantung pakaian didalam kamar, mengenakan kelambu, dan memakai
obat/lotion anti nyamuk (Kemenkes, 2011).
Menurut hasil penelitian Rosiana (2006) tentang studi pelaksanaan
program pemberantasan vektor penyakit demam berdarah dengue terhadap
kejadian DBD diwilayah kerja Puskesmas Ternate Kota Makassar periode 2001-
2005 menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang mendukung dan menghambat
kegiatan pelaksanaan program pemberantasan DBD yaitu kurangnya dukungan
ataupun pengetahuan dari masyarakat, pola musim, pemberian bubuk abate yang
tidak merata, keterbatasan tenaga yang dimiliki oleh Puskesmas dan faktor dana.
Penelitian Sriwulandari (2009) mengenai evaluasi pelaksanaan program
pencegahan dan penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue di Dinas
Kesehatan Kabupaten Magenta, menyatakan keberhasilan program pencegahan
dan penanggulangan penyakit DBD dipengaruhi oleh kurangnya dana, kurangnya
kesadaran masyarakat, masih kurangnya gerakan PSN, susahnya koordinasi
dengan beberapa pihak terlihat dari terkadang ada perangkat desa yang tidak
terlalu tanggap serta ada kasus yang menimpa warga dan rendahnya pendidikan
masyarakat.
Hasil penelitian ini juga dikuatkan kembali dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fibriana (2013), berdasarkan teori Health Belief Model
(Rosenstock, 1977), dinyatakan bahwa dalam melakukan tindakan dalam
5
mencegah terjadinya suatu penyakit maupun mencari pengobatan dipengaruhi
oleh persepsi terhadap keseriusan yang dirasakan. Artinya apabila seseorang
menderita suatu penyakit dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
faktor persepsi keparahan dengan upaya pencegahan DBD yang dilakukan.
Hasil penelitian yang dilakukan Manda (2012) tentang evaluasi pelaksana
program pemberantaan DBD (P2 DBD) di wilayah kerja Puskesmas Tamalanrea
Kota Makassar memberikan gambaran bahwa dari segi input yaitu tenaga
kesehatan belum mencukupi, sarana yang digunakan Jumantik hanya diberikan
tiga tahun terakhir. Komponen proses berupa pelaksanaan kegiatan berupa
Penyelidikan Epidemiologi (PE) dan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) telah
dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Komponen outpout
berupa hasil capaian beberapa kegiatan hasil PE telah tercapai tetapi hasil capaian
Angka Bebas Jentik yang merupakan indikator keberhasilan PSN dan PJB belum
memenuhi standar.
Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2017) yang menyatakan dana yang
kurang untuk program pemberantasan DBD dengan sumber dana berasal dari
Pemerintah Kota dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Dana
APBD dialokasikan secara periode bersifat fluktuatif dan lebih banyak
diprioritaskan pada hal teknis.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan bersama dengan
penanggung jawab program DBD di Puskesmas Medan Johor diketahui dalam
upaya pelaksanaan pelayanan promosi kesehatan pemberantasan DBD di
Puskesmas Medan Johor telah dilakukan, namun ada beberapa kendala yang
6
dihadapi seperti media penyuluhan yang belum mencukupi misalnya leafleat,
flipcharts, dan poster yang diakibatkan minimnya dana untuk program
pemberantasan DBD. Sarana dan prasana memiliki batasan penunjang di wilayah
Puskesmas Medan Johor seperti alat fogging yang sudah rusak.
Penanggung jawab program DBD juga menyatakan bahwa selain
permasalahan kurang kerjasama antar jejaring kerja di Puskesmas Medan Johor.
Masalah yang dihadapi adalah kurangnya kesadaran atau pengetahuan masyarakat
sehingga kegiatan yang dibuat oleh Puskesmas kurang berjalan dengan baik.
Program abatisasi kurang berjalan karena tidak semua masyarakat yang
mengetahui kegunaan bubuk abate dan pemberian bubuk abate yang belum merata
diberikan keseluruh masyarakat. Keadaan geografis yang mendukung tingginya
kejadian DBD di Kota Medan karena kepadatan penduduk dan curah hujan yang
cukup tinggi pada bulan-bulan tertentu. Serta kurangnya anggaran dana dari
APBD pada pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
DBD. Penyuluhan dilakukan jika sudah ditemukannya kasus DBD.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana
implementasi program promosi kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas
Medan Johor kecamatan Medan Johor.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah
“Bagaimana implementasi program promosi kesehatan pemberantasan DBD di
Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor Tahun 2020”.
7
Tujuan Penelitian
Tujuan umum. Mengetahui bagaimana implementasi program promosi
kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor Kecamatan Medan
Johor Tahun 2020.
Tujuan khusus. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kuantitas dan kualitas sumber daya (SDM, dana, sarana dan
prasarana) dalam implementasi program promosi kesehatan pemberantasan
DBD di Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor.
2. Untuk mengetahui sikap pelaksana dalam implementasi program promosi
kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan
Johor.
3. Untuk mengetahui konsep komunikasi petugas dalam implementasi program
promosi kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor
kecamatan Medan Johor.
4. Untuk mengetahui tugas pokok dan fungsi petugas dalam implementasi
program promosi kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor
kecamatan Medan Johor.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan bagi puskesmas dalam hal implementasi program
promosi kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor.
2. Dapat memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan tentang program
promosi kesehatan pemberantasan DBD.
8
3. Sebagai bahan referensi dan perbandingan bagi penelitian yang berhubungan
dengan implementasi program promosi kesehatan pemberantasanDBD.
9
Tinjauan Pustaka
Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui proses pembelajaran diri oleh, untuk, dan bersama masyarakat
agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan
didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Batasan promosi
kesehatan ini mencakup dua dimensi yakni “kemauan dan kemampuan”,atau tidak
sekedar meningkatnya kemauan masyarakat tetapi masyarakat bisa mencapai
derajad kesehatan yang sempurna baik fisik,mental maupun sosial. Masyarakat
harus mampu mengenal dan mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, dan mampu
mengubah atau mengatasi lingkungannya (Depkes, 2006)
Metode dan media promosi kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan
berguna untuk mencapai tujuan yakni perubahan perilaku, dipengaruhi oleh
banyak faktor. Disamping, faktor metode, faktor materi atau pesannya, petugas
yang melakukannya juga alat-alat bantu/alat peraga yang dipakai. Agar mencapai
suatu hasil yang optimal, maka faktor-faktor tersebut harus bekerjasama secara
harmonis. Hal ini berarti bahwa untuk masukan (sasaran) tertentu harus
menggunakan cara tertentu pula. Materi juga harus disesuaikan dengan sasaran
atau media. Untuk sasaran kelompok maka metodenya harus berbeda dengan
sasaran massa dan sasaran individual, begitu juga sebaliknya.
10
Adapun metode dalam promosi kesehatan terbagi atas :
1. Metode Individual (Perorangan), Dalam promosi kesehatan metode yang
bersifat individual digunakan untuk membina perilaku baru, atau membina
seseorang yang mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi.
Contoh metode individual antara lain yaitu wawancara, bimbingan dan
penyuluhan.
2. Metode Kelompok, Dalam metode ini terbagi atas 2 yaitu kelompok besar
seperti (ceramah dan seminar) dan kelompok kecil seperti (Diskusi
kelompok,curah pendapat, bola salju,kelompo-kelompok kecil, bermain peran,
dan permainan simulasi).
3. Metode Massa, Metode ini sasarannya berifat umum dengan tujuan untuk
mengomunikasikan pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat, contoh dari
metode ini seperti ceramah umum, talk show,simulasi, tulisan- tulisan di
majalah atau koran dan billboard.
Alat bantu/media promosi kesehatan. Media promosi kesehatan adalah
alat bantu atau sarana yang digunakan untuk mempermudah penerimaan
informasi kesehatan ke masyarakat dengan menarik dan dapat diterima oleh
masyarakat. Promosi kesehatan tidak dapat lepas dari media karena melalui
media, informasi yang disampaikan dapat lebih menarik dan dipahami, sehingga
sasaran dapat mempelajari informasi tersebut. (Notoatmodjo, 2014) .
1) Media cetak. Media cetak yang digunakan untuk menyampaiakan pesan
kesehatan terdiri dari berbagai macam bentuk, yaitu seperti booklet, leaflet,
11
flyer (selebaran), flif chart (lembar balik), rubik, poster, foto dan lain
sebagainya.
2) Media elektronik. Media elektronik yang digunakan untuk memberikan
informasi kesehatan memiliki berbagai macam jenis, yaitu seperti televisi,
radio, video, slide, film dan lain sebagainya.
3) Media papan atau billboard. Papan atau billboard yang dipasang ditempat-
tempat umum dapat juga diisi dengan pesan-pesan kesehatan. Media papan
juga mencakup pesan pada seng yang di pasang di kendaraan umum. Pesan-
pesan kesehatan yang ada dapat dibaca oleh siapa saja saat memiliki
kendaraan umum atau membacanya saat berhenti di lampu merah.
Aplikasi smarthphone. Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD Berbasis
Android. Perkembangan teknologi informasi belakangan ini memang dapat
membantu banyak hal di berbagai bidang, termasuk salah satunya di bidang
kesehatan. Bahkan pencegahan penyakit maupun promosi kesehatan juga bisa
dilakukan melalui teknologi, seperti kasus DBD. Media promosi kesehatan
sekarang sudah tidak hanya berpatokan dengan adanya poster, leafflet, spanduk
dll. Tetapi inilah yang dilakukan oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pencegahan Penyakit (BTKLPP), dengan membuat sebuah aplikasi smartphone
berbasis android ini yang diberi nama Pokentik. Melalui aplikasi ini, maka
masyarakat dapat turut berperan aktif dalam memberantas nyamuk DBD. Setiap
user yang telah mendaftar bisa melakukan survei sederhana untuk menemukan
lokasi-lokasi yang menjadi tempat berkembang biak jentik-jentik nyamuk DBD.
Kemudian, para pengguna dapat memfoto lokasi tersebut dan tindakan
12
pencegahan yang telah dilakukan, mulai dari menguras air, membersihkannya dan
memberi bubuk abate untuk membasmi jentik-jentik nyamuk DBD. Aplikasi ini
diharapkan bisa membnatu program pemerintah dalam upaya menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit DBD.
Selanjutnya aplikasi bernama Healthpoint atau disingkat HP Kader.
Dengan aplikasi ini, Kader Jumantik atau Juru Pemantau Jentik mampu
mengidentifikasi wilayah mana saja yang beresiko tinggikasus DBD. Cara
kerjanya yaitu para kader dapat memasukkan data jumlah wadah yang diperiksa,
jumlah wadah yang mengandung jentik nyamuk, dan menyertakan bukti foto
wadah yang diperiksa dengan menunggahnya kedalam sistem aplikasi. Sehingga
dengan aplikasi ini dari sisi petugas Puskesmas, akan memudahkan pemetaan
wilayah yang beresiko terhadap DBD dan kader juga dapat lebih mudah
memasukkan data dan menghasilkan laporan.
Strategi promosi kesehatan. Menurut rumusan WHO 1994, strategi
promosi kesehatan secara global terdiri dari 3 hal, yaitu:
1. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment).
Pemberdayaan merupakan usaha untuk mencegah dan atau mengatasi masalah
kesehatan yang dihadapi oleh pasien dengan memberikan atau meningkatkan
pengetahuan, kemauan, dan kemampuan pasien (to facilitate problem solving),
dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
2. Dukungan Sosial (Social Support).
Suatu kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat
(toma), dengan tujuan utamanya yaitu gar para tokoh masyarakat sebagai
13
jembatan antar sektor kesehatan sebagai (pelaksana program kesehatan) dengan
masyarakat (penerima program) kesehatan. Strategi ini juga dapat dikatakan
sebagai upaya bina suasana atau membina suasana yang kondusif terhadap
kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial ini antara lain: pelatihan-pelatihan
para toma,seminar, lokakarya, bimbingan kepada toma dan sebagainya.
3. Advokasi.
Advokasi merupakan proses melakukan pendekatan dan motivasi kepada
pihak-pihak tertentu yang kemungkinan dapat mendukung keberhasilan upaya
program kesehatan baik dari segi materi maupun non materi.
Teori promosi kesehatan menurut Leavel and Clark. Menurut Leavel
and Clark, pencegahan penyakit terbagi dalam 5 tahapan yang disebut five levels
of prevention yaitu
1. Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Promosi Kesehatan merupakan tahapan yang pertama dan utama dalam hal
mencegah penyakit. Singkatnya perlu ada persamaan persepsi bahwa yang
namanya promosi kesehatan adalah proses memberikan informasi kesehatan
kepada masyarakat agar mau dan mampu memelihara dan meningkatkan
kesehatannya. Tujuannya, agar masyarakat berubah perilakunya yang tidak
baik menjadi baik. Contoh dalam kasus promosi kesehatan pemberantasan
DBD yaitu memberikan informasi terkait terjadinya penyakit DBD dan
pencegahannya, serta mengajak masyarakat untuk melakukan program
pemberantasan DBD seperti gerakan PSN 3M-Plus, Pemeriksaan Jenetik
Berkala, Fogging dan penyuluhan.
14
2. Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Perlindungan khusus yang dimaksud dalam tahapan ini adalah perlindungan
yang diberikan kepada orang-orang atau kelompok yang beresiko terkena
suatu penyakit tertentu.
3. Diagnosis dini dan pengobatan segera (Early diagnosis and prompt treatment)
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dan cepat merupakan langkah
pertama ketika seseorang telah jatuh sakit. Tentu saja sasarannya adalah
orang-orang yang telah jatuh sakit, agar sakit yang dideritanya dapat segera
diidentifikasi dan secepatnya pula diberikan pengobatan yang tepat.
4. Pembatasan Kecacatan (Disability Limitation)
Kurangnya pengertian dan kesadran masyarakat tentang kesehatan dan
penyakit seringkali mengakibatkan masyarakat tidak melanjutkan
pengobatannya sampai tuntas. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna
dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan menjadi cacat atau memiliki
ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu pendidikan
kesehatan juga diperlukan pada tahap ini.
5. Rehabilitasi (Rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi
cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut diperlukan latihan tertentu. Oleh
karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak mau atau
segan melakukan latihan-latihan yang diajukan. Disamping itu, orang yang
telah cacat setelah sembuh dari penyakitnya, kadang merasa malu untuk
kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau menerima
15
mereka sebagai anggota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu jelas
pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut,
tetapi juga masyarakat.
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
Pusat Kesehatan Masyarakat yang disebut dengan Puskesmas merupakan
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes RI No 75,
2014).
Tujuan puskesmas. Tujuan puskesmas yaitu menyelenggarakan
pembangunan kesehatan yang mana tertera pada Permenkes No. 75, 2014 tujuan
tersebut untuk:
1. Mewujudkan masyarakat yang memiliki perilaku sehat yang meliputi
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat.
2. Mewujudkan masyarakat yang mampu menjangkau pelayanan kesehtan
bermutu.
3. Mewujudkan masyarakat yang hidup dalam lingkungan sehat.
4. Mewujudkan masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik
individu, kelompok dan masyarakat.
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD). DBD adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue yang masuk ke peredaran darah manusia
16
melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit
DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok
umur. Munculnya penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku
masyarakat (Kemenkes RI, 2013).
Sejarah perkembangan DBD. Epidemi dengue selama tiga abad terakhir
diketahui terjadi di daerah beriklim tropis, sub tropis dan sedang di seluruh dunia.
Epidemi pertama dengue tercatat tahun 1935 di wilayah India Barat Prancis,
walaupun penyakit serupa dengan dengue telah dilaporkan terjadi di Cina sejak
992 SM. Selama abad ke-18, -19, dan awal abad ke-20 epidemi penyakit yang
menyerupai dengue tercatat menyerang seluruh dunia baik di wilayah tropis
maupun maupun di beberapa daerah beriklim sedang (WHO 2005).
Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun
1953. Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun
1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu
penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980
seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak
pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat
baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu
terjadi KLB setiap tahun (Ginanjar, 2008).
Siklus hidup nyamuk aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti mengalami
metamorfosis sempurna yaitu: telurjentik-kepompong-nyamuk. Stadium telur,
jentik dan kepompong hidup/berada di dalam air. Pada umumnya telur akan
menetas menjadi jentik dalam waktu + 2 hari setelah telur terendam air. Stadium
17
jentik biasanya berlangsung 6-8 hari dan stadium kepompong (pupa) berlangsung
antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi nyamuk dewasa selama 9-
10 hari. Umur nyamuk Aedes aegypti betina dapat mencapai 2-3 bulan (Ditjen PP
& PL, 2014).
Gejala dan tanda. Pasien DBD pada umumnya disertai dengan tanda-
tanda berikut :
1. Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.
2. Manifestasi perdarahan dengan tes Rumpel Leede (+), mulai dari petekie (+)
sampai perdarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah
hitam.
3. Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal:150.000-300.000 L).
Hematokrit meningkat (normal : pria <45, dan wanita <40 ).
4. Badan dingin, gelisah, tidak sadar.
Metode pengendalian vektor. Pada dasarnya metode pengendalian vektor
yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM).
Sehingga metode cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat
memutus rantai penularan. Metode pengendalian DBD terbagi atas :
1. Pengendalian Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Sebagai contoh menguras bak mandi/ penampungan
air sekurang-kurangnya sekali seminggu, menutup dengan rapat tempat
18
penampungan air, mengubur kaleng-kaleng bekas, dan ban bekas di sekitar
rumah.
2. Pengendalian Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik
(ikan adu/ikan cupang), dan bakteri.
3. Pengendalian Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan/fogging (dengan
menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi
kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu, memberikan bubuk
abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air,
vas bunga, dan kolam.
Faktor yang mempengaruhi penularan DBD. Menurut penelitian Fathi,
et al (2005) ada peranan faktor lingkungan dan perilaku terhadap penularan DBD,
antara lain:
1. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk turut menunjang atau sebagai salah satu faktor risiko
penularan penyakit DBD. Semakin padat penduduk, semakin mudah nyamuk
Aedes menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya. Pertumbuhan
penduduk yang tidak memiliki pola tertentu dan urbanisasi yang tidak
terencana serta tidak terkontrol merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam munculnya kembali kejadian luar biasa (KLB).
19
2. Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk di daerah yang mengalami KLB penyakit DBD sama
dengan mobilitas penduduk di daerah yang tidak mengalami KLB penyakit
DBD.
3. Sanitasi Lingkungan
Hal ini disebabkan karena kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi
sanitasi lingkungan yang tidak jauh berbeda antara daerah dengan KLB
penyakit DBD tinggi dan daerah dengan KLB penyakit DBD. Sebenarnya
kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk
Aedes, terutama apabila terdapat banyak kontainer penampungan air hujan
yang berserakan dan terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan
dengan rumah penduduk.
4. Kepadatan Vektor
Data kepadatan vektor nyamuk Aedes yang diukur dengan menggunakan
parameter ABJ yang di peroleh dari Dinas Kesehatan Kota. Hal ini nampak
peran kepadatan vektor nyamuk Aedes terhadap daerah yang terjadi kasus
KLB. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi angka kepadatan vektor
akan meningkatkan risiko penularan.
5. Tingkat Pengetahuan DBD
Pengetahuan merupakan hasil proses keinginan untuk mengerti, dan ini
terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terutama indera
20
pendengaran dan pengelihatan terhadap obyek tertentu yang menarik
perhatian terhadap suatu objek.
6. Sikap
Sikap dapat dikatakan adalah respons terhadap stimulus (pemberian) sosial
yang telah terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin kurang sikap
seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan dan pencegahan
penyakit DBD maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya KLB
penyakit DBD.
7. Tindakan PSN
Tindakan PSN meliputi tindakan masyarakat menguras air kontainer secara
teratur seminggu sekali, menutup rapat kontainer air bersih, dan mengubur
kontainer bekas seperti kaleng bekas, gelas plastik, barang bekas lainnya yang
dapat menampung air hujan sehingga menjadi sarang nyamuk yang dikenal
dengan istilah tindakan 3M dan tindakan abatisasi atau menaburkan butiran
abate ke dalam tempat penampungan air bersih yang mempunyai efek residu
sampai 3 bulan.
8. Pengasapan (Fogging)
Tindakan pengasapan seharusnya dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu waktu
antara pengasapan pertama dan berikutnya (kedua) harus dalam interval 7
hari, dengan maksud jentik yang selamat dan menjadi nyamuk Aedes dapat
dibunuh pada pengasapan yang kedua.
Pengasapan pada umumnya menggunakan insektisida misalnya malathion
dalam larutan minyak solar tidak begitu efektif dalam membunuh nyamuk
21
dewasa dan kecil pengaruhnya dalam menurunkan kepadatan populasi
nyamuk Aedes, apalagi siklus pengasapannya tidak 2 kali dengan interval 7
hari. Sebaliknya tindakan pengasapan memberikan rasa aman yang semu
kepada masyarakat yang dapat mengganggu program pembersihan sarang
nyamuk seperti 3M dan abatisasi.
9. Penyuluhan DBD
Penyuluhan dari Dinas Kesehatan dan kurangnya pengertian tentang apa yang
harus dilakukan oleh petugas sebelum melakukan penyuluhan, seperti
identifikasi hal-hal apa saja yang penting bagi masyarakat dan apa yang harus
diimplementasikan pada tingkat masyarakat, tingkat wilayah, atau tingkat
penentu kebijakan. Perlu dipahami, penyuluhan bukanlah semata-mata
sebagai forum penyampaian hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan
masyarakat. Sebaiknya masyarakat dibekali pengetahuan dan ketrampilan
tentang cara-cara pengendalian vektor yang memungkinkan mereka
menentukan pilihan terbaik segala hal yang berkaitan dengan masalah
kesehatan secara individu maupun secara kolektif.
Tenaga yang terlibat dalam program pemberantasan DBD
diantaranya yaitu:
1. Petugas provinsi, berfungsi sebagai:
a. Melakukan evaluasi dan bimbingan kegiatan pengendalian vektor
(fogging), larvasida, PJB dan PSN.
b. Penentuan kegiatan PSN.
22
2. Petugas Dinkes Kabupaten/Kota, berfungsi sebagai:
a. Pembuat rencana kegiatan fogging, larvasida, PSN.
b. Pelaksana kegiatan larvasida, PJB, PSN, melakukan pelatihan
fogging.
c. Pengawasan kegiatan fogging, larvasida, PJB.
3. Petugas Puskesmas berfungsi sebagai:
a. Pengusul kegiatan larvasida, PJB dan PSN.
b. Pelaksana kegiatan fogging, larvasida, PJB dan PSN serta
penyelenggara pelatihan kegiatan fogging.
c. Pengawas pelaksanaan kegiatan fogging,larvasida, PJB dan PSN.
4. Juru Pemantau Jentik, berfungsi sebagai tenaga pelaksana kegiatan PSN,
larvasida dan PJB.
5. Bahan pendukung diagnosis dan penatalaksanaan penderita DBD. Sumber
dana pola pembiayaan untuk pengadaan sarana dan bahan untuk
mengoperasikan kegiatan program pemberantasan penyakit DBD berasal
APBD atau melalui DIPA P2P Kabupaten/Kota (Depkes RI, 2007)
Kegiatan dalam pogram promosi kesehatan pemberantasan DBD
yang dilakukan di Puskesmas. Upaya pemberantasan penyakit DBD
berdasarkan Kepmenkes No. 581/MENKES/SK/VII/1992, dilaksanakan dengan
cara tepat guna oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat yang meliputi:
a. Gerakan PSN-DBD. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah
memberantas nyamuk dengan memberantas jentik-jentiknya di sarang tempat
yang berkembang biak yaitu tenpat penampungan air dan barang-barang yang
23
memungkinkan air tergenang dirumah dan tempat umum sekurang-kurangnya
seminggu sekali. Kegiatan ini lebih lanjut berkembang dengan metode
Menutup, Menguras dan Mengubur (3M). PSN dimaksudkan untuk memotong
daur hidup nyamuk dengan menghilangkan telur dan jentik nyamuk sebelum
siap bergenerasi (telur nyamuk siap menetes dalam 1 minggu). Sasaran PSN
adalah di daerah dengan potensi penularan tinggi (endemis, sporadis dan
daerah dengan angka bebas jentik < 95 %) tempat-tempat yang diduga
menjadi sarang nyamuk Aedes Aegypti di rumah ataupun dikantor-kantor dan
tempat-tempat umum yaitu semua tempat penampungan air, barang bekas,
ember, ban, dan tempat dimana air tertampung yang tidak berhubungan
langsung dengan tanah. PSN 3M dapat dilakukan dengan menutup tempat
penampungan air,dan menimbun barang bekas yang dapat menampung air,
dan intensif saat penularan.
b. Pemeriksaan Jentik Berkala. Kegiatan PJB merupakan kegiatan pemeriksaan
atau pengamatan dan pemberantasan vektor penular DBD pada tempat
penampungan air dan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti
untuk mengetahui adanya jentik nyamuk.PJB dilakukan setiap 3 (tiga) bulan
sekali di rumah dan tempat tempat umum. Diharapkan Angka Bebas Jentik
(ABJ) setiap kelurahan/desa dapat mencapai lebih dari 75% akan dapat
menekan penyebaran DBD.
c. Penyuluhan. Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan penyampaian materi
mengenai situasi DBD di wilayahnya dan cara-cara pencegahan DBD yang
dapat dilaksanakan oleh individu, keluarga, dan masyarakat disesuaikan
24
dengan kondisi setempat oleh petugas kesehatan/kader DBD desa/kelurahan.
Tujuan diadakannya penyuluhan kesehatan agar masyarakat berpartisipasi
aktif dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD (Depkes RI, 2007)
d. Fogging. Fogging adalah kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD
serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter,
dilaksanakan 2 siklus dengan interval 1 minggu oleh petugas. Kegiatan
fogging hanya dilakukan jika ditemukan penderita/tersangka penderita DBD
lain, atau sekurang-kurangnya ada 3 orang penderita tanpa sebab yang jelas
dan ditemukannya jentik nyamuk Aedes Aegypti di lokasi. Target capaian
untuk kegiatan fogging fokus ialah sudah mencapai target dengan radius 100
meter dan dapat menurunkan angka penderita DBD dalam suatu
wilayah.Sasaran target fogging dihitung berdasarkan jumlah fokus yang akan
ditanggulangi (1 fokus=300 rumah atau 15 Ha) dalam 1 tahun. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh petugas puskesmas atau bekerjasama dengan dinas
kesehatan kabupaten/kota. Petugas penyemprot adalah petugas puskesmas
atau petugas harian lepas terlatih (Depkes RI, 2007).
Tindakan pengendalian dan pencegahan DBD.
a. Partisipasi masyarakat
Melibatkan setiap indivuidu, keluarga dan masyarakat di dalam perencanaan
dan pelaksanaan aktivitas pengendalian vektor ditingkat lokal untuk
memastikan bahwa kegiatan tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat
setempat dan prioritas penduduk yang tinggal di masyarakat, serta
25
mempromosikan kemandirian masyarakat dalam kaitannya dengan
pengembangan kegiatan itu sendiri (WHO, 2005).
b. Koordinasi antar sektor
Perkembangan ekonomi di negara-negara Asia Tenggara telah memunculkan
berbagai masalah di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat
meningkatkan penyebaran nyamuk. Dengan demikian masalah penyakit DBD
mungkin melebihi kemampuan kementerian kesehatan. Kegiatan pencegahan
dan pengendalian penyakit DBD memerlukan koordinasi dan kerjasama yang
erat antara sektor kesehatan dan sektor non kesehatan (baik Pemerintah
maupun Swasta), lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat
setempat.
c. Pengembangan metode
Pengembangan metode untuk pengendalian penyakit DBD melalui pendekatan
partisipasi masyarakat harus dimulai untuk menetapkan penggerak utama yang
potensial dimasyarakat dan untuk mengkaji cara yang dapat membujuk
mereka agar mau berpartisispasi dalam kegiatan pengendalian vektor. Faktor-
faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang dapat meningkatkan atau
menurunkan partisispasi masyarakat harus dikaji secara mendalam guna
mendapatkan lebih banyak partisipasi dari masyarakat (WHO, 2005).
d. Mobilisasi sosial
Pertemuan curah pendapat harus diadakan bagi pembuat kebijakan untuk
mencapai komitmen politis di dalam pelaksanaan kampanye kerja bakti dan
sanitasi lingkungan. Pertemuan koordinasi antara sektor harus dilakukan untuk
26
mengkaji donor potensial pendukung pelaksanaan kegiatan dan kampanye
massal pangendalian larva dan untuk membantu pendanaan program ini.
Pelatihan orientasi ulang bagi tenaga kesehatan harus dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam mengawasi jalannya kegiatan
pencegahan dan pengendalian (WHO, 2005).
e. Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting untuk mendapat partisispasi masyarakat.
Untuk bisa mengubah perilaku masyarakat dibutuhkan waktu yang panjang,
sehingga pendidikan kesehatan harus dilakukan secara berkesinambungan.
Walaupun negara memiliki sumber daya yang terbatas, pendidikan kesehatan
harus dijadikan prioritas di wilayah yang endemik dan di wilayah yang
beresiko tinggi terhadap demam .
Implementasi
Implementasi adalah sebagai proses administrasi dari hukum yang
didalamnya tercakup keterlibatan berbagai actor, organisasi, prosedur, dan teknik
yang dilakukan agar kebijakan yang telah ditetapkan mempunyai akibat, yaitu
tercapainya tujuan kebijakan (Kesumanegara, 2010). Implemetasi program adalah
tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat
terhadap suatu objek atau sasaran yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan, melalui adanya organisasi, interprestasi dan penerapan
(Jones, 1991).
27
Fungsi implementasi sendiri berguna untuk membentuk suatu hubungan
yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan public
sebagai outcome kegiatan yang dilakukan pemerintah
Teori implementasi kebijakan. Menurut Indianahono (2017) yang
mengutip pendapat George C. Edward III mengemukakan ada beberapa hal yang
dapat memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu komunikasi,
sumber daya, sikap atau disposisi dan struktur organisasi.
a. Komunikasi. Komunikasi yang baik harus memiliki sumber informasi yang
jelas. Dengan kejelasan itu, pengambil kebijakan dapat mengetahui apa yang
harus dilakukan untuk dapat menghasilkan hasil yang sesuai dangan tujuan
kebijakan. Konsep komunikasi efektif antara pelaksana program dengan
kelompok sasaran harus memiliki standar dan tujuan yang dapat dipahami
oleh individu (implementors). Standar dan tujuan yang jelas membuat setiap
kebijakan terlaksana dengan baik. Tujuan dan sasaran kebijakan yang
disosialisasikan dengan baik akan menghindari penyimpangan atas kebijakan
tersebut. Tujuan komunikasi yang baik dapat meningkatkan pengetahuan
kelompok sasaran terhadap program yang telah ditetapkan sehingga
mengurangi kesalahpahaman dan tingkat penolakan dalam
mengimplementasikan program serta kebijakan dalam ruang lingkup kerja.
b. Sumber daya. Tingkat keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung
kepada kemampuan mengelola sumber daya yang ada. Sumber daya yang
diperlukan untuk mencapai keberhasilan implementasi kebijakan yaitu
manusia, finansial dan waktu. Manusia adalah sumber daya yang utama dalam
28
menentukan keberhasilan implementasi kebijakan karena setiap tahap
implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas.
Sumber daya finansial sangat menentukan keberlangsungan implementasi
kebijakan. Pemanfaatan waktu secara tepat menjadi indikator perhitungan
untuk menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Dengan dukungan
sumber daya manusia yang kompeten, sumber daya finansial yang memadai
dan pemanfaatan waktu yang terukur maka program/kebijakan akan berjalan
dengan baik, efektif serta cepat dalam mencapai tujuan.
c. Disposisi atau Sikap. Sikap penerimaan dan penolakan sangat dipengaruhi
oleh informasi yang disampaikan para pelaksana (implementors) serta
pengaruh kebijakan terhadap kepentingan pribadi dan organisasi masyarakat
terkait. Pelaksana (implementors) yang berkompeten harus memiliki karakter
yang kuat seperti kejujuran, berkomitmen dan pemikiran yang terbuka.
Dengan karakter tersebut maka implementor akan sanggup menghadapi segala
bentuk kemungkinan dilapangan baik itu penolakan atau penerimaan,
sehingga tahapan-tahapan kebijakan/program dapat terlaksana dengan baik
dan konsisten. Untuk mengurangi resiko tingkat kegagalan implementasi
kebijakan maka intensitas disposisi harus cukup dan terukur.
d. Struktur birokrasi. Terpenuhinya sumber daya harus didukung oleh struktur
birokrasi yang efisien. Struktur birokrasi meliputi aspek-aspek seperti
komponen organisasi, anggota organisasi, latar belakang serta hubungan
organisasi dengan lingkungan luar. Semua struktur birokrasi harus saling
mendukung disetiap tahapan kebijakan/program sehingga tujuan implementasi
29
kebijakan dapat tercapai dengan efektif. Struktur birokrasi yang efisien
memiliki ciri-ciri adanya kesepakatan tujuan dan keinginan dari semua aspek
dalam mengimplementasikan kebijakan dengan rentan waktu yang disetuji
bersama.
Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka berpikir
Berdasarkan gambar di atas dapat dirumuskan definisi fokus penelitian
sebagai berikut:
1. Kuantitas dan kualitas sumber daya yaitu segala sesuatu yang sangat penting
dibutuhkan untuk menunjang terlaksananya suatu program dan juga
didukung oleh sarana dan prasarana yang digunakan dalam pelaksanaan
program promosi kesehatan pemberantasan DBD seperti alat ataupun media
Kualitas &
Kuantitas
Sumber Daya
Sikap
Petugas
Konsep
Komunikasi
Indeks
Tupoksi
Petugas
Implementasi Program
Promosi Kesehatan
Pemberantasan DBD
30
promosi kesehatan, dana yang digunakan untuk program promosi kesehatan
pemberantasan DBD dan juga waktu yang efektif untuk melaksanakan
program tersebut.
2. Sikap petugas yaitu karakteristik yang dimiliki oleh petugas kesehatan dalam
mempengaruhi kinerja untuk pelaksanaan program promosi kesehatan
pemberantasan DBD.
3. Konsep komunikasi yaitu penyampaian informasi promosi kesehatan
pemberantasan DBD oleh petugas kesehatan kepada masyarakat agar
informasi dapat diterima oleh masyarakat sekitar.
4. Indeks tupoksi petugas yaitu satu kesatuan yang saling terkait antara tugas
pokok dan fungsi yang dibebankan kepada organisasi untuk dilakukan dan
dicapai.
31
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif yang bersifat interaktif dengan pendekatan wawancara mendalam yang
bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan mendalam tentang Implementasi
Program Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor
Kecamatan Medan Johor.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian. Penelitian dilakukan di Puskesmas Medan Johor,
dengan pertimbangan berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun
2019 bahwa Puskesmas Medan Johor memiliki kasus DBD tertinggi di wilayah
Kota Medan.
Waktu penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan April 2019 sampai
dengan Agustus Tahun 2020.
Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini diambil menggunakan metode Purposive.
Metode ini digunakan untuk memberikan informasi yang terkait dengan topik
penelitian Implementasi Program Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD.
Informan dalam penelitian ini yaitu :
1. Kepala Puskesmas
2. Penanggung Jawab Program DBD Puskesmas
3. Petugas Surveilans Epidemiologi
4. Petugas Promosi Kesehatan
32
5. Kepala Lingkungan
6. Kader Jumantik
7. Masyarakat yang terkena DBD
8. Masyarakat yang tidak terkena DBD
Definisi Konsep
1. Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya merupakan suatu nilai potensi yang
dimiliki oleh petugas dalam implementasi program promosi kesehatan
pemberantasan DBD yang meliputi banyaknya jumlah anggaran dana,waktu
dan jumlah petugas kesehatan dalam implementasi program promosi
kesehatan pemberantasan DBD.
2. Sikap Petugas yaitu reaksi ataupun komitmen dari petugas terhadap
implementasi program promosi kesehatan pemberantasan DBD dan memberi
respon terhadap suatu situasi yang terjadi.
3. Konsep komunikasi yaitu penyampaian informasi promosi kesehatan
pemberantasan DBD oleh petugas kesehatan kepada masyarakat agar
informasi dapat diterima oleh masyarakat sekitar.
4. Indeks tupoksi yaitu satu kesatuan yang saling terkait antara tugas pokok dan
fungsi yang dibebankan kepada organisasi untuk dilakukan dan dicapai.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam
berpedoman pada instrumen yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, untuk
melengkapi hasil wawanca mendalam peneliti juga mengumpulkan dokumen-
dokumen yang terkait kepada tujuan penelitian yang diperoleh dari profil
33
puskesmas seperti data masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor yang
terkena penyakit DBD, serta referensi dari buku-buku yang terkait dengan tujuan
penelitian.
Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelititan ini menggunakan model analisis
data interaktif dari Miles dan Huberman (1984:21–23 dalam Emzir, 2009) sebagai
berikut :
1. Reduksi Data
Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang memepertajam, memilih,
memfokuskan, membuang dan menyusun data dalam suatu cara dimana
kesimpulan akhir dapat digambarkan dan diverifikasikan. Data kualitatif dapat
direduksi dan ditransformasikan dalam banyak cara, yaitu; melalui seleksi
halus, melalui rangkuman, prafase menjadikannya bagian dalam suatu pola
yang besar dan seterusnya.
2. Penyajian Data
Display data merupakan suatu kumpulan informasi yang tersusun dan
membolehkan pendeskripsian kesimpulan dalam pengambilan tindakan.
Bentuk yang paling sering dari model dan kualitatif selama ini adalah teks
naratif. Serta penyajian data merancang matriks yang baris dan kolom.
3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif interaktif menurut Miles dan
Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam
penelitian kualitatif merupakan temuan yang berupa deskripsi atau gambaran
34
umum suatu objek penelitian. Secara singkat makna atau maksud penelitian
akan muncul dari data yang telah teruji kepercayaan, kekuatan, dan
validitasnya.
35
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Geografi. Puskesmas Medan Johor terletak di Kecamatan Medan Johor ini
berbatasan dengan:
1. Sebelah Utara berbatsan dengan Medan Polonia
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Namorambe
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Medan Amplas
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Selayang/ Medan
Tuntungan
Kecamatan Medan Johor adalah salah satu dari 21 kecamatan yang berada
di wilayah Kota Medan berada pada ketinggian 12m diatas permukaan laut yang
merupakan daerah resapan air bagi Kota Medan Kecamatan Medan Johor
merupakan daerah pemukiman penduduk, daerah pengembangan wisata, dan
berada dikawasan pinggiran bagian selatan Kota Medan yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayah kecamatan Medan Johor adalah 15
Km2 atau sekitar 17,15 Ha. Secara garis besar Kecamatan Medan Johor
merupakan kawasan pemukiman namun masih memiliki kawasan pertanian yang
terdapat di Kelurahan Gedung Johor dan Kwala Bekala yang masih meiliki
peluang untuk dapat dikembangkan menjadi kawasan agrobisnis yang bernilai
ekonomis. Untuk sarana kebersihan menjadi prioritas utama dan untuk
mewujudkan hal tersebut dibutuhkan sarana pendukung kebersihan yang
berfungsi dengan baik, guna mengangkut sampah, dan juga personil yang mampu
36
bekerja dengan baik. Kenyataannya di Kecamatan Medan Johor untuk sarana
kebersihannya masih belum cukup memadai.
Demografi. Berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Medan Johor semua
kelurahan yang ada di Kecamatan Medan Johor merupakan wilayah yang datar.
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor tahun 2019 sebanyak
95.262 jiwa dari 3 kelurahan.
Tabel 1
Distribusi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor Tahun 2019
Kelurahan
Luas
Wilayah
(Ha)
Jumlah
Lingkungan
Jumlah
KK
Jumlah
Penduduk
Jenis Kelamin
L P
P. Masyhur 400 15 10.271 34.260 17.205 17.055
Gedung Johor 315 13 8.106 25.287 12.436 12.851
Kwala Bekala 550 20 9.872 35.715 17.209 18.506
Sumber: Profil Puskesmas Medan Johor Tahun 2019
Sumber daya manusia. Wilayah kerja Puskesmas Medan Johor memiliki
tenaga kesehatan yang terdiri dari medis, paramedis, dan staff administrasi yang
bekerja dalam upaya peningkatan derajat kesehatan di wilayah kerja Puskesmas
Medan Johor.
Tabel 2
Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Medan Johor
Tenaga Kesehatan Jumlah
Dokter Umum 7
Dokter Gigi 3
Perawat 17
Asisten Apoteker 2
Bidan 9
Perawat Gigi 2
Ahli Gizi 2
Kesehatan Masyarakat 5
(bersambung)
37
Tabel 2
Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Medan Johor
Tenaga Kesehatan Jumlah
Analis 2
Sanitasi 1
Honorer 4
Total 54
Sumber: Profil Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor Tahun 2019
Sarana kesehatan. Berikut ini data sarana kesehatan yang ada di wilayah
Kecamatan Medan Johor, meliputi :
Tabel 3
Data Sarana Kesehatan di Kecamatan Medan Johor
Sarana Kesehatan Jumlah
Rumah Sakit Swasta 2
Balai Pengobatan 8
Klinik 6
Apotik 15
Puskesmas 1
Puskesmas Pembantu 2
Sumber: Profil Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor Tahun 2019
Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini berjumlah 6 informan yang terdiri dari satu
informan Kepala Puskesmas Medan Johor, satu informan petugas DBD
Puskesmas Medan Johor, satu informan Petugas Surveilans Epidemiologi
Puskesmas Medan Johor, satu informan Petugas Promosi Kesehatan, satu
informan Kepala Lingkungan Medan Johor, satu informan masyarakat yang
terkena DBD daan satu informan masyarakat yang tidak terkena DBD.
38
Tabel 4
Karateristik Informan
Informan Jenis Kelamin Umur
(tahun)
Pendidikan Jabatan
dr. HM P 55 S1 Kepala Puskesmas
ES P 50 D3 Petugas DBD Puskesmas
Medan Johor
YR P 45 S1 Petugas SE Puskesmas
Medan Johor
MP P 48 S1 Petugas Promkes
Puskesmas Medan Johor
IB L 45 SMA KeplingMedan Johor
R P 39 SMA Kader Jumantik
AW P 20 SMA Masyarakat yang terkena
DBD
S P 40 SMA Masyarakat yang tidak
terkena DBD
Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya dalam Implementasi Program Promosi
Kesehatan Pemberantasan DBD
Sumber daya meliputi kecukupan baik kualitas maupun kuantitas
implementasi yang dapat meliputi seluruh kelompok sasaran serta sarana dan
prasarana , selain itu sumber daya manusia adalah tenaga kesehatan di Puskesmas
yang terlibat dan memiliki tugas dan fungsi dalam implementasi kegiatan program
promosi kesehatan pemberantasan DBD. Sumber daya manusia adalah salah satu
faktor yang sangat penting dalam menjalankan suatu program sebagai penggerak
dan perencana untuk mencapai tujuan. Suatu program akan dikatan berhasil jika
sumber daya manusianya memadai baik dia dari segi kualitas maupun kuantitas
yang merangkum seluruh sasaran program.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti mengenai sumber
daya manusia dalam pelaksanaan program pemberantasan DBD maka diperoleh
informasi sebagai berikut:
39
“kalau untuk bagian pemberantasan DBD ada 3 orang yaitu buk
erna sebagai pemegang program DBD sekaligus buk erna itu
merangkap sebagai petugas kesling, lalu dibantu juga dengan buk
Yuni sebagai petugas Surveilans Epidemiologi. Buk Mei sebagai
petugas promkes, semuanya terlibat dalam hal pemberantasan
DBD,termasuk saya tetapi yg lebih besar kerjanya ya yg 3 orang
itu. saya rasa sudah cukup SDM di puskesmas ini nak, karena
sudah di ABK sehingga tidak perlu ada penambahan SDM lagi”
(informan 1)
Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketersediaan SDM dalam
pelaksanaan program promosi kesehatan pemberantasan DBD berjumlah 3 orang
dan SDM nya sudah cukup tidak perlu penambhan SDM dikarenakan semuanya
sudah di ABK (Analisa Beban Kerja). Namun berbeda pendapat dengan informan
petugas pemegang program DBD yang menyatakan bahwa :
“dari segi kuantitas SDM disini kurang, perlulah ditambah SDM
nya, karena karena saya yang mensurvei kelapangan sekaligus
mencatat pelaporan kasusnya.kalau untuk pelaksanaan program
atau suvey gitu biasanya saya sendiri,”.(informan 2)
Hasil wawancara terhadap informan 2 menunjukkan bahwa adanya tugas
yang merangkap terhadap petugas pemegang program DBD dikarenakan adanya
tugas pelayanan mensurvei serta mencatat pelaporan dan kuantitas SDM dirasa
masih kurang. Petugas surveilans yang pasif biasanya hanya menerima laporan
kasus yang terjadi tetapi jika petugas surveilans yang aktif , petugas mendatangi
masyarakat yang terkena DBD dirumahnya ataupun sarana pelayanan kesehatan
lainnya. Hal ini didukung oleh pernyataan terhadap informan petugas surveilans
sebagai berikut:
“saya petugas surveilans menerima laporan jika ada warga yang
terkena DBD saya sempatkan mengunjungi masyarakat yg terkena
DBD itu dek kalau lagi ada kegiatan kek PSN saya ikut
ngebantu,masih kurang jumlah SDM nya” (informan 3).
40
Sumber daya yang kurang mampu, kurang cakap dan tidak terampil, salah
satunya mengakibatkan pekerjaan tidak dapat diselesaikan secara optimal dengan
cepat dan tepat pada waktunya. Dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi
pekerjaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan keinginan kemampuan dan
ketrampilan. Menurut penelitian Juliani (2012) bahwa pelatihan sangat penting
untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan kerja. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan mengenai pelatihan sumber
daya manusia dalam pelaksanaan program promosi kesehatan pemberantasan
DBD maka diperoleh informasi sebagai berikut:
“dari Dinkes ada pelatihan untuk program DBD tetapi jarang dk,
pelatihannya seperti memanfaatkan kembali atau mendaur ulang
barang-barang bekas yang menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk demam berdarah dan itupun nggak ada jadwal tetap untuk
pelatihan buat kami”(informan 2)
Hasil wawancara menunjukkan bahwa pelatihan terhadap petugas
pemberantasan DBD di puskesmas Medan Johor yaitu sudah berjalan seperti
pelatihan mendaur ulang kembali barang-barang bekas yang menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk demam berdarah dan tidak ada jadwal tetap untuk
pelatihan-pelatihan tersebut. Hal serupa juga dinyatakan oleh informan kader
jumantik sebagai berikut:
“dulupun ada pelatihan program gerakan 1 rumah 1 jentik untuk
kader jumantik, tapi sekarang udh nggak ada lagi dk, mungkin
terkendala di biaya ,kalau jumlah jadernya ada 2 dk”(informan 6)
Hasil wawancara terhadap informan 6 menunjukkan bahwa pelatihan
terhadap kader jumantik yaitu sudah tidak aktif lagi dilakukan dikarenakan
terkendala di biaya. Pelatihannya seperti memperkenalkan gerakan 1 rumah 1
41
jentik dan kader berjumlah 2 orang dengan status tidak aktif lagi. Pelatihan yang
belum terlaksana dengan maksimal di wilayah kerkja Puskesmas Medan Johor
seperti pelatihan teknik komunikasi kader jumantik dikarenakan tidak aktifnya
kader jumantik di wilayah kerja puskesmas Medan Johor. Keaktifan kader
jumantik dalam memantau lingkungannya merupakan langkah penting untuk
mencegah meningkatnya kasus DBD. Oleh karena itu perlu diperlukan upaya
peningkatan motivasi jumantik melalui motivasi yang diberikan oleh dinas
kesehatan setempat.
Berdasarkan hasil wawncara yang dilakukan terhadap petugas promosi
kesehatan di Puskesmas Medan Johor diperoleh informasi sebagai berikut:
“saya rasa di puskesmas ini perlu ada penambahan SDM karena
partisipasi dan pengetahuan masyarakat terhadap DBD itu kurang
sehingga diperlukan pelatihan pada SDM tapi jarang dilakukan
pelatihan dari pusat dk”. (informan 4)
Hasil wawancara menunjukkan bahwa perlu penambahan SDM karena
kurangnya partisipasi dan pengetahuan masyarakat terhadap penyakit DBD. Serta
SDM di Puskesmas Medan Johor juga jarang diberikan pelatihan dari Dinkes
Kota Medan. Kurangnya dana untuk program promosi kesehatan pemberantasan
DBD di Puskesmas Medan Johor menyebabkan pelaksanaan pelatihan bagi SDM
jarang dilakukan.
Menurut penelitian Bhatiar (2012) salah satu strategi pengendalian DBD
yaitu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, tenaga kesehatan, kader dan
masyarakat. Kualitas SDM tidak terlepas dari keikutsertaan pelatihan yang dapat
membantu serta meningkatkan kinerja petugas.
42
Dari sisi sumber daya manusia dapat disimpulkan bahwa petugas program
pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor sudah memiliki kuantitas yang
memadai namun belum memiliki kualitas sumber daya manusia yang cukup baik,
karena jarangnya mendapatkan pelatihan upaya pemberantasan DBD. Pada
dasarnya tujuan diadakannya pendidikan dan pelatihan bagi petugas Puskesmas
Medan Johor adalah agar dapat bekerja lebih efektif dan efisisen sehingga dapat
meningkatkan produktifitas para petugas. Sehingga diharapkan Puskesmas Medan
Johor mengikuti pelatiham-pelatihan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kota
Medan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan motivasi petugas
dalam program promosi kesehatan pemberantasan DBD melalui peningkatan
kuantitas dan kualitas sumber daya yang ada seperti sarana dan prasarana serta
media komunikasi yang digunakan dalam pelaksanaan promosi kesehatan
pemberantasan DBD.
Sarana dan prasarana. Peningkatan kualitas kinerja juga didukung oleh
kesiapan sarana dan prasarana yang memadai dan terstandarisasi secara nasional
agar dapat berdaya guna dan berhasil. Program promosi kesehatan pemberantasan
DBD di Puskesmas Medan Johor haruslah memiliki sarana dan prasarana. Sarana
adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan,
sedangkan prasarana adalah sesuatu yang digunakan sebagai penunjang dalam
melaksanakan suatu kegiatan (Wibowo, 2008). Hasil wawancara terhadap
informan Kepala Puskesmas Medan Johor tentang sarana dan prasarana dalam
program promosi kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor
diperoleh informasi sebagai berikut:
43
“kalau sarana dan prasarana untuk pelaksanaan pemberantasan
DBD sendiri itu masih kurang, kurangnya itu di alat fogging ,
mesiin fogging di puskesmas ini ada tetapi sudah rusak, jadi kalau
ada kasus kami calling dulu ke pihak Dinkes Kota Medan supaya
mereka menyetujui untuk dilakukan fogging” (informan 1)
Hasil wawancara terhadap informan 1 menunjukkan bahwa sarana yang
tersedia di Puskesmas Medan Johor untuk menjalankan kegiatan program promosi
pemberarantasan DBD yaitu mesin fogging yang rusak sehingga untuk melakukan
kegiatan fogging Puskesmas Medan Johor harus menghubungi pihak Dinas
Kesehatan Kota Medan. Jumlah mesin fogging yang digunakan untuk pengasapan
adalah empat unit. Berdasarkan hasil wawancara diketahui jumlah ini masih
kurang karena jumlah kecamatan yang ada dikota Medan tidak sebanding dengan
jumlah mesin fogging yang tersedia. Hal ini ditandai dengan keterlambatan
pelaksanaan fogging karena harus menunggu giliran.
“biasanya kalau sarana yang kami pake untuk pemeriksaan jentik
itu pakai senterlah dek, untuk pepmeriksaan DBD nya langsung
kami belum ada, palingan kalau udah kita curigai ada tanda-tanda
DBD kita rujuk ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan laboratorium.
Kalau hasilnya positif barulah kita laporkan ke Dinas Kesehatan.
Bubuk abate udah kami siapkan untuk 1 tahun, terus untuk fogging
kami ada mesinnya tapi udah rusak Kami juga nggak ada
transportasi dari puskesmas kalau mau ke daerah-daerah yang
jauh terpaksalah pake kereta awak pribadi, memang uang
minyaknya diganti.” (informan 2)
Hasil wawancara terhadap informan 2 menunjukkan bahwa sarana yang
digunakan untuk pemeriksaan jentik yaitu senter dan mesin fogging yang ada di
Puskesmas Medan Johor tidak bisa digunakan karena mesinnya sudah rusak,
sehingga mengakibatkan kegiatan fogging harus menunggu giliran kecamatan
yang sudah melapor terlebih dahulu. Terlambatnya pelaporan juga yang menjadi
faktor lamanya pelaksanaan fogging. Bubuk abate sudah disiapkan untuk 1 tahun.
44
Menurut Depkes RI (2007) jumlah mesin fogging yang ideal adalah empat unit
per kecamatan.
Gambar 2. Sarana dan prasarana Puskesmas Medan Johor Kecamatan Medan
Johor
Untuk melaksanakan kegiatan program pemberantasan DBD diperlukan
berbagai alat dan bahan. Dalam standar penanggulangan DBD alat dan bahan
yang harus tersedia antara lain formulir pemeriksaan jentik, bahan penyuluhan
seperti leaflet, poster, proyektor, formulir penyelidikan epidemiologi, alat semprot
minimal empat unit per puskesmas kecamatan, kendaraan roda empat minimal
satu unit, solar dan bensin, insektisida sesuai kebutuhan, alat komunikasi minimal
satu unit (Depkes RI, 2007).
“sarana prasananya untuk pemeriksaan DBD apalah dek,
palingan kan yang dipake untuk lihat jentik-jentiknya ya senter,
sarana prasarana yang kurang itu di masker di saat kita lagi
fogging/pengasapan, karena kan sebenarnya masker yg cocok itu
masker yang jenisnya P95 yang gunanya mampu menyaring
partikel mengandung minyak seperti bensin, solar dll. Tapi kami
yang ada maskernya yang jenis biasalah yg warna hijau itu
masker bedah gitu, karna itu kan murah tapi kalau masker yg jenis
P95 itu mahal walaupun itu sebenarnya yang lebih efektif dipakai
kalau lagi pengasapan dek“ (informan 3)
Hasil wawancara terhadap informan 3 menunjukkan bahwa sarana yang
digunakan untuk pengasapan atau fogging yaitu mereka menggunakan masker
bedah yang harganya terjangkau. Walaupun masker yang efektif digunakan saat
45
diadakan pengasapan atau fogging yaitu jenis masker P95 yang dapat menyaring
partikel mengandung minyak, bensin, solar pada mesin fogging tersebut.
Puskesmas Medan Johor dalam melaksanakan penyuluhan dilaksanakan diluar
gedung beersmaaan dengan kegiataan posyandu, dikarenakan tidak adanya
prasarana didalam gedung, hal ini dinyatakan oleh informan :
“biasanya kami untuk penyuluhan menggnakan poster, leaflet dan
juga menempelkan stiker kerumah masyarakat di wilayah kerja
kami, dan kami juga tidak mempunyai prasarana untuk melakukan
penyuluhan didalam gedung makanya kami penyuluhan
bersamaan dengan kegiatan posyandu. (informan 4)
Hasil wawancara terhadap informan 4 menunjukkan bahwa sarana dan
prasarana dalam kegiatan promosi kesehatan pemberantasan DBD yaitu
menggunakan media cetak seperti stiker, poster dan leaflet yang dibagikan ke
masyarakat dengan jumlah yang sangat terbatas. Puskesmas Medan Johor tidak
mempunyai prasarana untuk melakukan penyuluhan sehingga penyuluhan
dilakukan diluar gedung bersamaan dengan kegiatan posyandu.
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang
pemberantasan penyakit DBD, sarana dan bahan yang digunakan yaitu, mesin
fogging dengan kebutuhannya setiap puskesmas sebanyak 4 unit setiap
kabupaten/kota sebanyak 10 unit, mesin ULV (Ultra-Low Volume), kebutuhan
PSN Kit, kebutuhan kader jumantik dan bahan pendukung diagnosis serta
penatalaksanaan penderita DBD (Depkes RI, 2011)
“Sarananya itu sebenarnya ada dek, tapi nggak pernah dikasih
lagilah, dulu ada sekitar 6tahun yang lalu kami dikasih tas
lengkap isinya untuk PSN ada topi, rompi, senter, pipet, plastik
untuk jentik, masker, alat tulis dan formulir hasil pemeriksaan
jentik (Informan 6)
46
Hasil wawancara terhadap informan 6 menunjukkan bahwa sarana dan
prasarana yang digunakan oleh kader jumantik yaitu topi, rompi, senter, pipet,
plastik untuk jentik, masker dan alat tulis formulir hasil pemeriksaan jentik namun
sekarang pemanfaatan PSN Kit untuk kader jumantik belum diberikan kembali.
Menurut Putri (2008) ketidakcukupan sarana dapat menyebabkan
terlambatnya pelaksanaan kegiatan dan kegiatan tidak terlaksana sesuai standar
yang ada. Sarana merupakan penunjang kegiatan yang sangat penting agar
kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Jika sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh tenaga penatalaksana
mengalami kekurangan, maka hal tersebut bisa menghambat jalannya pelaksanaan
program yang mengakibatkan pencapaian target tidak sesuai dengan perencanaan.
Oleh karena itu, sarana menjadi suatu hal yang harus tersedia dan harus dapat
mencukupi sesuai dengan kebutuhan berdasarkan KEPMENKES RI Nomor
581/MENKES/SK/VII/1992.
Dana. Dalam sebuah program dana merupakan salah satu sumberdaya
yang sangat penting dalam keberhasilan suatu program. Berdasarkan hasil
wawancara mengenai sumber pendanaan yang ada di Puskesmas Medan Johor
untuk implementasi program promosi kesehatan pemberantasan DBD.
Penggunaan dana BOK berdasarkan rencana kerja di Puskesmas Medan Johor
maka diperoleh informasi sebagai berikut :
“dana sudah diberi dari pusat, kalau cukup nggak cukupnya pasti
manusia nggak ada cukupnya dek, tapi saya rasa dana untuk DBD
sudah cukup dari BOK yang diakomodir untuk pelacakan kasusya
seperti DBD itulah dek” (informan 1)
47
Dilihat dari hasil wawancara tersebut didaptakan informasi bahwa dana
yang digunakan untuk pelaksanaan program promosi kesehatan pemberantasan
DBD berasal dari dana pusat dan sudah cukup dari BOK karena telah diakomodir
untuk pelacakan kasus DBD:
“kita biasanya pendanaan dari dana BOK sama dana dari APBD.
untuk jumlahnya itu tergantung kasus, bisa jadi ada kasus tapi gak
semuanya ada dananya. Tapi kita ada dana atau enggak tetap
wajib kerja” (informan 2)
“kalau dana untuk buat leaflet, poster, brosur itu udah ada dari
dinas dek, dananya diambil dari BOK,” (informan 4)
Dari hasil wawancara terhadap informan 2, dan 4 menunjukkan bahwa
dana kegiatan program promosi kesehatan pemberantasan DBD berasal dari dana
BOK dan APBD tetapi tidak cukup sehingga untuk pembuatan media cetak
seperti leaflet dan poster.
Sumber daya dana atau pembiayaan kegiatan promosi kesehatan
pemberantasan DBD meliputi pembiayaan kegiatan penyuluhan, pergerakan PSN
dan abatisasi, survei jentik dan fogging. Pembiayaan tersebut bersumber dari dana
bantuan operasional kesehatan (BOK) Puskesmas Medan Johor. Menurut
informan petugas surveilans epidemiologi mengatakan bahwa:
“Jumlah kegiatan sama jumlah penduduk disini banyak dek, tapi
tidak sesuai dengan anggaran dananya,misalnya dari 10 kegiatan
hanya 2 kegiatan saja yang dibiayai secara khusus maupun tidak
husus, jadi kami lakukan kegiatan yang sesuai jumlah target
dengan jumlah dananya”(Infoman 3)
Dari hasil wawancara terhadap informan 3 menunjukkan bahwa
implementor melakukan penyesuaian jumlah target sesuai jumlah dana yang ada.
Dari 10 pokok kegiatana program DBD hanya ada 2 kegiatan saja yang dibiayai
48
secara khusus maupun tidak khusus seperti kegiatan sosialisasi atau penyuluhan
DBD yang biayanya menumpang pada program promosi kesehatan dalam BOK
2018 dan 2019. Karena minimnya lokasi dana membuat petugas lebih memilih
melaksanakan kegiatan seperti penyelidikan epidemiologi (PE), pemeriksaan
jentik berkala (PJB), penyuluhan kelompok terbatas. Kegiatan fogging atau
pengasapan pada kasus DBD positif, juga menjadi sangat selektif baik karena
pertimbangan hasil PE dan juga karena pertimbangan pembiayaan.
Menurut penelitian Wibowo (2008), Keterbatasan dana dalam suatu
program dapat menghambat pelaksanaan suatu kebijakan. Semakin besar dana
yang dikeluarkan untuk memperbaiki sebuah program, maka hasilnya akan
semakin efektif, dan sebalikny apabila dana yang diberikan kecil, maka program
hanya akan berjalan dengan lambat dan hasilnya tidak akan efisien.
Dana di Puskesmas Medan Johor sebaiknya tidak hanya untuk kegiatan
penyuluhan saja, seharusnya dana yang ada bisa dimanfaatkan untuk melengkapi
sarana yang dibutuhkan oleh puskesmas seperti LCD untuk penyuluhan dan
sarana laboratorium untuk pemeriksaan DBD. Puskesmas Medan Johor
seharusnya membuat anggaran dana untuk pelaksanaan program promosi
kesehatan pemberantasan DBD serta mengajukan proposal kepada Dinas
Kesehatan Kota Medan agar mengalokasikan dana operasional untuk membantu
keterbatasan biaya operasional program promosi kesehatan pemberantasan DBD
di Puskesmas Medan Johor.
Sikap petugas. Sikap petugas yaitu karakteristik yang dimiliki oleh
petugas kesehatan dalam mempengaruhi kinerja untuk pelaksanaan program
49
promosi kesehatan pemberantasan DBD. Berdasarkan hasil wawancara mengenai
sikap petugas bila ditemukan kasus DBD maka didapatkan hasil wawancara
sebagai berikut :
“sikap biasa tetap tenang, namun tetap kelapangan dan program
pemberantasan dari pihak kami puskesmas biasanya lebih ke
penyuluhan, karena kasus DBD itukan dapatnya enggak cuma
dilingkungan sekitar rumah bisa juga di tempat-tempat umum
kayak di sekolah, mesjid, tapi tetap dilaporkan ke pihak dinkes
kota setiap bulannya. Ketegasan dari saya apabila tidak
terlaksananya kegiatan ini akan saya beri sanksi” (informan 1)
Dilihat dari wawancara tersebut didaptakan informasi bahwa sikap petugas
bila ditemukan kasus DBD yaitu bersikap lebih tenang karena petugas
berpendapat bahwasanya penyakit DBD ini didapat bukan ketika masyarakat
berada di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor bisa jadi masyarakat terkenanya
disaat ia berada diwilayah luar kerja Puskesmas Medan Johor. Namun walaupun
begitu, sikap petugas puskesmas apabila ditemukannya kasus DBD tetap
melaporkannya ke pihak Dinas Kesehatan Kota Medan agar bisa ditindaklanjuti
seperti diadakannya fogging dan penyuluhan serta jika kegiatan tidak terlaksana
dengan baik makan akan diberikan sanksi.
Wabah DBD biasanya akan mulai meningkat saat pertengahan musim
hujan, hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk karena meningkatnya curah hujan. Wawancara
terhadap informan petugas pemegang program DBD yaitu:
“paling kalau udah mau musim penghujan gini baru kita kasih
penyuluhan tentang DBD ke sekolah-sekolah. Program
pemberantasan DBD di Puskesmas ini ada PSN,PJB, abatisasi,
fogging dan penyuluhan. Fogging bisa dilakukan jika
ditemukannya kasus DBD disertai dengan persetujuan dari
Dinkes kota Medan. Setiap hari jumat dilakukan kegiatan jumat
50
bersih dengan gotong oyong membersihkan lingkungan sekitar
rumah dan mensosialisasikan ke masyarakat untuk gerakan 3M
(Menutup, Menguras dan Mengubur). Tetapi kurangnya kesadaran
dan partisipasi masyarakat terhadap pemberantasan DBD jadinya
jadwal yang sudah ditetapkan tidak berjalan lagi dek dan juga
sebagian masyarakat tidak terlibat dalam pelaksanaan gotong
royong” (informan 2)
Hasil wawancara terhadap informan 2 menyatakan bahwa Program
pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor ada PSN, PJB, abatesasi,
fogging dan penyuluhan. Petugas juga melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk
melakukan gerakan 3M (Menutup, Menguras dan Mengubur). Tetapi sebagian
masyarakat tidak mau terlibat dalam pelaksanaan gotong royong dan juga
kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap pemberantasan DBD di
wilayah kerja Puskesmas Medan Johor.
“langkah pertama bila ditemukan kasus DBD yaitu kita lakukan
tes darah dan trombositnya di laboratorium setelah itu kita buat
laporannya ke dinkes. Selanjutnya pasien dan tetangganya kita
pantau keadaannya agar tidak menular ke yang lain. (informan 3)
Hasil wawancara terhadap informan 3 menyatakan bahwa sikap petugas
Puskesmas Medan Johor terhadap ditemukannya kasus DBD yaitu melakukan tes
darah dan trombosit di laboratorium setelah itu membuat laporannya untuk
diserahkan ke dinkes agar bisa dilakukan fogging atau penyemprotan di wilayah
kerja. Selanjutnya pasien dan tetangganya dipantau keadaanya agar tidak
menularkan di sekelilingnya. Sama dengan pendapat kepling yang menyatakan
bahwa :
“kalau sikap petugas puskesmas sejauh ini cukup peduli kalau
ditemukannya kasus DBD, karena kan saya sebagai kepala
lingkungan juga selalu melaporkan ke pihak puskesmas jika ada
warga disini yang terkena DBD. Jadi kalau misalnya mereka
nggak berobat di Puskesmas tapi berobatnya di RS dan dinyatakan
51
terkena DBD, jadi saya lapor ke pihak Puskesmas untuk dicatat.
kadang masyarakat disini nggak mau buka pintu rumahnya
alasannya sibuklah kurang kesadaran masyarakat disini untuk
saling membantu” (informan 5)
Dari hasil wawancara terhadap informan 5 menujukkan bahwa sikap
kepling terhadap ditemukannya kasus DBD selalu melaporkan ke puskesmas jika
ada masyarakat yang terkena DBD untuk pencatatan. Namun, kurangnya
partisipasi masyarakat terlihat dari adanya masyarakat yang tidak mau
membukakan pintu ketika petugas puskesmas mendatangi rumah mereka. Hal ini
bertentangan dengan pendapat masyarakat yang terkena DBD dan yang tidak
terkena DBD, mereka menyatakan bahwa:
“ya tunggu udah kejadian ada yang terkena DBD dulu mereka
baru datang, barulah ada itu pengasapan/fogging, diperiksa
kekamar mandi katanya mau melihat jentik-jentik nyamuk,dikasih
penyuluhan juga, awakpun kemarin itu dipantau sama mereka.
orang-orang yang kenak DBD kek awak inilah dek, mau memang
diperiksa orang itu, dulu ada setiap jumat gotong royong tapi
sekarang udah nggak pernah lagi awak nampak” (informan 7)
“kakak memang belum pernah terkena DBD, tapi ada kemaren
yang nawarkan ke kakak untuk dilakukan fogging minta bayaran
Rp.15.000 tapi itu bukan orang puskesmas nggak tahu orang
mana. Kalau puskesmas sini tunggu ada kasus dulu baru mau di
fogging dek”(Informan 8)
Dari hasil wawancara terhadap informan 7 dan 8 menunjukkan bahwa
sikap petugas dalam pelaksanaan promosi kesehatan pemberantasan DBD yaitu
jika sudah terdapat kasus barulah ditindaklanjuti, petugas lebih mengedepankan
kuratif dan rehabilitatif. Tidak adanya komitmen kerjasama yang baik antara
petugas puskesmas dengan masyarakat membuat tidak terlaksananya tujuan yang
telah direncanakan sehingga dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab dengan diadakannya pungli jika mau rumahnya di fogging.
52
Menurut penelitian Winarno (2014) bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauhmana para pelaku kebijakan
(implementors) mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu
melaksanakannya, tapi juga ditentukan oleh kemauan (sikap) dan komitmen kuat
para pelaku kebijakan terhadap proses implementasi.
Komitmen yang disepakati yaitu diharapkan setiap kelurahan dan
lingkungannya ikut berperan aktif dalam menangani kasus DBD. Seharusnya
petugas Puskesmas Medan Johor dalam pencegahan dibuat cara promosi
kesehatan sedangkan dalam pemberantasan dibuat dengan cara pelaksanaan
fogging, pemeriksaan jentik berkala, penaburan bubuk abate dan gerakan
pemberantasan sarang nyamuk. Kurangnya komitmen terhadap tugas yang
diemban dalam melaksanakan program promosi kesehatan pemberantasan DBD
membuat seringkali tidak terlaksana sesuai tujuan atau perencanaan yang telah
dilakukan oleh puskesmas. Dikarenakan juga motivasi dan dukungan yang
dimiliki masyarakat juga kurang, sehingga para petugas puskesmas dalam
menjalankan tugasnya tidak membuahkan hasil yang maksimal.
Diharapkan kepada masyarakat diwilayah kerja puskesmas Medan Johor
agar ikut serta dalam mendukung pelaksanaan kegiatan penanggulangan DBD
agar berkurangnya jumlah kasus.
Komunikasi petugas. Konsep komunikasi efektif antara pelaksana
program dengan kelompok sasaran harus memiliki standar dan tujuan yang dapat
dipahami oleh individu (implementors). Standar dan tujuan yang jelas membuat
setiap kebijakan terlaksana dengan baik. Tujuan dan sasaran kebijakan yang
53
disosialisasikan dengan baik akan menghindari penyimpangan atas kebijakan
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara mengenai komunikasi petugas ketika
melakukan implementasi program promosi kesehatan pemberantasan DBD ke
masyarakat maka di dapatkan hasil sebagai berikut :
“sosialisasi dalam bentuk penyuluhan sudah sangat sering
dilakukan dek, kami datangi rumah-rumah warga disini untuk
abatisasi, lihat jentik-jentik nyamuk dirumahnya. Sudah kenyang
sepertinya masyarakat dengan adanya penyuluhan”(Informan1)
“biasanya kami melakukan penyuluhan diluar gedung disaat lagi
posyandu ataupun door to door mendatangi rumah-rumah warga
disini yang terkena kasus DBD kami kasih tau biar dibersihkan
bak mandinya, yg 3M itulah dek (menguras, menutup, mengubur)
disaat fogging, PSN kami kasihtaulah”(informan 2)
Dari hasil wawancara terhadap informan 1 dan 2 menunjukkan bahwa
konsep komunikasi petugas Puskesmas Medan johor dalam promosi kesehatn
pemberantasan DBD yaitu melakukan penyuluhan di luar gedung disaat kegiatan
posyandu. Kegiatan promosi kesehetan sperti penyuluhan terlihat kurang
maksimal dikarenakan dilakukan diposyandu sehingga hanya yang memiliki bayi
saja yang mendaptakan informasi. Metode penyuluhan yang digunakan saat ini
yaitu door to door saat fogging, PSN dan belum efektif untuk membuat
masyarakat sebagai target menerima informasi pencegahan DBD dengan jelas dan
kemudian memeahami tindakan apa yang harus mereka lakukan untuk
pemberantasan DBD di tingkat rumah tangga dan lingkungan. Koordinasi dan
sosialisasi sudah sering dilakukan untuk mengendalikan penyakit DBD, tapi
memang masyarakat belum terlalu tertarik dengan masalah DBD. Meskipun
pendapat berbeda disampaikan oleh masyarakat yang terkena DBD dan yang tidak
terkena DBD menyatakan bahwa :
54
“Biasanya petugas puskesmas ngejelasi apa itu DBD, cara
pencegahnnya dan pengobatannya, ngasih stiker juga untuk
ditempelkan di rumah masyarakat sini. Awak kan udah pernah
kenak DBD makanya dijealsin secara detail sama mereka. Tapi
penyampaiannya yang itu terus jadi buat bosen”(Informan 7)
“Kalau menurut kakak para petugas puskesmas disini masih belum
mampu mencakup seluruh kelompok sasaran masyarakat dan juga
kami jarang terinformasi kalau ada jadwal kegiatan penyuluhan
gitu, karna mereka lebih ngasih informasi arahan sama orang-
orang yang terkena DBD dek”(Informan 8)
Dari hasil wawancara terhadap informan 7 dan 8 menunjukkan bahwa
konsep komunikasi petugas terhadap masyarakat yang berada di wilayah kerja
Puskesmas Medan Johor yaitu Promosi kesehatan dalam bentuk sosialisasi
dilakukan hanya saat kasus DBD terjadi atau saat anggota keluarga mengalami
penyakit DBD. Serta kurang terinformasinya secara merata kepada masyarakat
sehingga penyuluhan dilakukan lebih kepada masyarakat yang terkena DBD.
Menurut Winarno (2014) bahwa komunikasi sangat menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan dan implementasi kebijakan publik. Kebijakan
yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi
diperlukan agar para pembuat keputusan dan para pelaksana implementasi akan
semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan
dalam masyarakat.
“biasanya metode komunikasi kami ke masyarakat pada saat
penyuluhan sasarannya perorangan ataupun kelompok dengan
perantaranya media cetak seperti membagikan leaflet dan stiker
kerumah masyarakat, Dari pusat belum ada pelatihan tekhnologi
aplikasi untuk promosi kesehatan DBD” (informan 4)
“Masyarakat disini menolak kalau mau diperiksa rumahnya
padahal kami mau melakukan pemeriksaan jentik nyamuk,
fogging, PSN, payah orang disini dek alasannya selalu
sibuk”(Informan 6)
55
Dari hasil wawancara terhadap informan 4 dan 6 menunjukkan bahwa
konsep komunikasi petugas dalam promosi kesehatan pemberantasan DBD
menggunakan media cetak seperti poster membagikan stiker kerumah-rumah
masyarakat dan sasaran penyuluhan biasanya perorangan ataupun kelompok.
Serta masyarakat menolak saat dilakukan program promosi kesehatan
pemberantasan DBD yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Medan Johor
seperti PJB, fogging, PSN dan juga belum adanya pelatihan yang menggunakan
tekhnologi promosi kesehatan pemberantasan DBD.
Penelitian Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pencegahan Penyakit
(BTKLPP, 2016), telah membuat sebuah aplikasi smartphone berbasis android ini
yang diberi nama Pokentik. Melalui aplikasi ini, maka masyarakat dapat turut
berperan aktif dalam memberantas nyamuk DBD. Setiap user yang telah
mendaftar bisa melakukan survey sederhana untuk menemukan lokasi-lokasi yang
menjadi tempat berkembang biak jentik-jentik nyamuk DBD. Kemudian, para
pengguna dapat memfoto lokasi tersebut dan tindakan pencegahan yang telah
dilakukan, mulai dari menguras air, membersihkannya dan memberi bubuk abate
untuk membasmi jentik-jentik nyamuk DBD. Aplikasi ini diharapkan bisa
membnatu program pemerintah dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan
kematian akibat penyakit DBD.
Penyuluhan tentang upaya pemberantasan penyakit DBD yang
dilaksanakan oleh Puskesmas Medan Johor kepada masyarakat kurang maksimal
dikarenakan dilakukan diposyandu sehingga hanya yang memiliki bayi saja yang
mendapatkan informasi. Hal tersebut karena minimnya intensitas kegiatan
56
penyuluhan mengenai penyakit DBD.Petugas Puskesmas Medan Johor dalam
melakukan penyuluhan/ promosi kesehatan menggunakan media cetak seperti
poster dan leaflet sehingga penyuluhan bersifat monoton dan masyarakat tidak
mau dan mengikuti apa yang sudah disampaikan oleh petugas puskesmas.
Tersedianya poster pada media penyuluhan belum menyentuh masyarakat umum.
Oleh karena itu, perlu ditambahkan media elektronik yang bersifat audio visual
seperti radio, TV dan juga dibeli pelatihan kepada petugas untuk menggunakan
tekhnologi aplikasi smartphone berbasis android untuk promosi kesehatan
pemberantasan DBD. Sosialisasi yang dilakukan oleh Puskesmas Medan Johor
tidak berjalan dengan baik karena masih banyak masyarakat yang tidak
berpasrtisipasi dalam program promosi kesehatan pemberantasan DBD. Hal
tersebut dikarenakan kurang intensifnya Dinas Kesehatan Kota Medan dan
Puskesmas Medan Johor dalam mempropagandakan programnya dan ditambah
lemahnhya akses untuk mensosialisasikan ke masyarakat secara langsung.
Indeks tupoksi petugas. Indeks tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) petugas
yaitu satu kesatuan yang saling terkait antara tugas pokok dan fungsi yang
dibebankan kepada organisasi untuk dilakukan dan dicapai. Berdasarkan hasil dari
wawancara terkait dengan indeks tupoksi petugas dan koordinasi antar lintas
sektoral, maka di dapatkan hasil wawancara sebagai berikut :
“tupoksi petugas di puskesmas ini saya rasa sudah dijalankan
sesuai SOP yang ada serta jika terjadinya kasus DBD kita bekerja
sama dengan lintas sektor seperti, kepling,lurah camat dan tokoh
masyarakat kontribusi kita kuat, Karena kan koordinasi lintas
sektor itu penting dan kontribusi kita juga kuat.” (informan 1)
57
Hasil wawancara terhadap informan 1 menunjukkan bahwa tupoksi
petugas dalam pemberantasan DBD sudah sesuai dengan SOP serta bekerjasama
dengan lintas sektor seperti kepling, lurah, camat dan tokoh masyarakat yang
saling berkontribusi. Namun informan 2 yaitu petugas pemegang program DBD
menyatakan bahwa tupoksi petugas memiliki tugas yang merangkap seperti:
“tupoksi petugasnya masih belum dilkasanakan sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya masing-masing, banyak yang
merangkap jadi belum optimal. Malahan saya yang sering turun
kelapangan.Tapi kalau koordinasi itu perlu, Memang rapat lintas
sektor sudah dilakukan, namun masih ada petugas yang belum
memahami tugasnya dalam penanganan DBD ini dek”(Informan2)
Hasil wawancara terhadap informan 2 menunjukkan bahwa tupoksi
petugas Puskesmas Medan johor dalam pemberantasan DBD belumlah optimal,
diakarenakan banyaknya tugas yang merangkap. Rapat lintas sektor memang
sudah dilakukan , namun adanya perbedaan pemahaman menunjukkan bahwa
masih ada pihak-pihak yang belum memahami perannya secara utuh dalam
penanggulangan DBD.
“kalau tupoksi saya sebagai sebagai petugas surveilans
epidemiologi dalam penanganan DBD sudah saya lakukan seperti
menganalisis KLB DBD, Koordinasi kami juga baik dengan
orang kelurahan dan juga kepling. misalnya ada kasus, datanya
kurang lengkap untuk mencari alamat pasien, nanti kami minta
bantuan sama orang kelurahan, orang kelurahan ikut bantu
itu”(Informan 3)
“Kami melakukan pemberian bubuk abate kepada masyarakat
tetapi tidak tiga bulan sekali dikarenakan stock bubuk abate
jarang terbatas di puskesmas dek, tapi ada juga kami temui yang
menjual bubuk abate dengan bebasnya ke masyarakat disini gatau
dapat darimana harganya sekitar Rp.10.000 dapat 3
biji”(Informan 6)
58
Hasil wawancara terhadap informan terhadap informan 3 dan 6
menunjukkan bahwa tupoksi petugas surveilans di Puskesmas Medan Johor dalam
pemberantasan DBD sudah dilakukan sesuai tugas dan tanggung jawabnya seperti
menganalisis kejadian luar biasa pada DBD dan koordinasi dilakukan baik dengan
lintas program kelurahan dan juga lingkungan wilayah kerja. Petugas jumantik
juga melakukan pemberian bubuk abate kepada masyarakat tetapi tidak tiga bulan
sekali dikarenakan stock bubuk abate terbatas di puskesmas dan kader jumantik
masih ditemukan penjual bubuk abate oleh orang yang tidak bertanggung jawab
dengan harga Rp.10.000 untuk mendapatkan 3 bungkus bubuk abate. Kepling
sangat memiliki peran penting dalam melaporkan atau memperhatikan masyarakat
dalam penanggulangan DBD. Hal ini dikarenakan kepling memilki kedekatan dan
juga mengetahui pembagian kerjanya. Hal ini diperkuat berdasarkan kutipan
informan berikut:
“kalau ada yang terkena DBD masyarakat dapat melaporkan ke
saya, lalu saya laporkan ke pihak kelurahan ataupun langsung ke
puskesmas. Nanti orang puskesmas yang lihat langsung. Kalau
perlu fogging mungkin orang kelurahan yang dampingi. Kalau
udah dilaksanakan fogging itu, kelurahan yang kasih laporan ke
kecamatan kalau fogging itu udah terlaksana” (informan 5)
Hasil wawancara terhadap informan 5 menunjukkan bahwa kepling sudah
melakukan tugas dan fungsinya dengan adanya kasus yang terkena DBD, kepling
melaporkan ke pihak kelurahan ataupun langsung ke puskesmas. Kemudian
petugas puskesmas yang nantinya turun ke lapangan.
Pihak lurah, kepala lingkungan maupun tokoh masyarakat juga selalu
saling berkoordinasi untuk setiap pelaksanaan program, pihak puskesmas selalu
melaporkan kepada pihak desa apabila ingin melakukan kegiatan yang berkaitan
59
dengan masyarakat. Pihak desa / kelurahan juga selalu menerima laporan yang
diberikan terkait penyakitt DBD agar dapat segera dilakukan penanganan, karena
penanganan yang lama dapat menyebabkan semakin tingginya angka penyakit
DBD di wilayah tersebut.
Menurut Winarno (2014) bahwa meskipun sumber-sumber untuk
mengimplementasikan kebijakan cukup dan para pelaksana kebijakan mengetahui
apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mempunyai keinginan untuk
melakukannya, implementasi kebijakan dapat jadi masih belum efektif, karena
adanya ketidakefisienan lintas sektor ataupun struktur birokrasi. Struktur birokrasi
mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi yang ada dalam organisasi yang
bersangkutan , dan hubungan organisasi dengan luar organisasinya.
Hambatan dan kendala upaya program promosi kesehatan
pemberantasan DBD. Evaluasi digunakan untuk mengetahui hasil ataupun
proses kegiatan bila dibandingkan dengan target atau dengan yang diharapkan.
Tanpa adanya evaluasi kita tidak akan mengetahui apakah kekurangan dan
kelebihan dari suatu proses yang dilaksanakan. Evaluasi bisa dijadikan referensi
untuk kegiatan yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Setelah
evaluasi terdapat penilaian seperti hasil kerja dengan system pencatatan dan
pelaporan, untuk menunjang penyajian data dan informasi program promosi
kesehatan pemberantasan DBD. Berdasarkan hasil wawancara terkait hambatan
dan kendala yang dihadapi dalam implementasi program promosi kesehatan
pemberantasan DBD adalah sebagai berikut:
“kalau hambatannya sih mungkiin dari segi sarana dan
prasarananya yang kurang, karena alat fooging adanya di dinas,
60
jadi harus tunggu menunggu giliran untuk di fooging” (informan
1)
“kalau kendalanya sih menurutnya yang pertama itu cuacanya,
kayak sekarang inilah, kancuaca sekarang itu gak menentu, jadi
hal itu juga yang membuat banyak air yang tergenang, terutama
kan kalau musim hujan, apalagi masyarakat yang gak perduli
sama kebersihan lingkungannya, kan sampah plastik itu aja bisa
jadi tempat bertelurnya nyamuk, sedangkan masyarakat, buat
bersihin pekarangan rumahnya aja malas” ( informan 2)
“kendalanya kalau lagi penyuluhan itu kesadaran masyarakat
kurang, capek awak becakap tapi masih juga nggak didengar gitu
dek, terus kurang jugalah media kami untuk penyuluhan misalnya
pembuatan leaflet, poster proyektor, itu semua dari dana juga,
sdm juga terbatas” (informan 4)
Makna yang dapat kita simpulkan dari beberapa wawancara diatas adalah
bahwa petugas merasa kurangnya kesadaran masyarakat dalam kebersihan dirilah
yang paling menjadi kendala, mereka merasa program DBD ini dapat berjalan
hanya dengan apabila masyarakat dapat bekerjasama dengan petugas untu dapat
menjaga kebersihan diri maupun lingkungan.
Hambatan untuk program fogging adalah tebatasnya jumlah alat yang
dimiliki oleh dinas kesehatan , sedangkan permintaan untuk melakukan fogging
masih sangat tinggi. jarak anatar kecamatan juga menjadi kendala karena harus
menunggu giliran dari lingkungan lain, dan petugas untuk melakukan fogging
yang masih kurang karena sedikitnya jumlah petugas. Hambatan lainnya yaitu
kurangnya SDM untuk melakukan program yang membuat petugas dalam
melakukan tugasnya menjadi kesulitan, karena pekerjaan yang banyak.
Hambatan untuk program penyuluhan adalah sulitnya mengumpulkan
masyarakat untuk hadir dalam penyuluhan karena sibuk bekerja dan ada yang
merasa tidak pentingnya penyuluhan itu. Hambatan lainnya adalah kurangnyanya
61
media penunjang yang digunakan untuk penyuluhan. Selain itu juga diharapkan
masyarakat lebih meluangkan waktunya untuk ikut penyuluhan mengenai
penyakit DBD.
Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian mengenai implementasi program promosi
kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor Kecamatan Medan
Johor Tahun 2020 masih banyak memiliki keterbatasan penelitian, diantaranya:
1. Penelitian ini hanya melakukan pengkajian terhadap faktor implementasi
program promosi kesehatan pemberantasan DBD diantaranya kuantitas dan
kualitas SDM, sikap petugas, komunikasi petugas dan indeks tupoksi petugas,
sehingga perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk meneliti faktor lain
yang belum dikaji terhadap implementasi program promosi kesehatan
pemberantasan DBD.
2. Pada proses wawancara, informasi yang diberikan responden melalui
pertanyaan yang diberikan kepada peneliti terkadang tidak menunjukkan
pendapat responden yang sebenarnya.
62
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Pada kuantitas dan kualitas sumber daya (manusia, dana, sarana dan
prasarana) yang ada di Puskesmas Medan Johor secara keseluruhan masih
belum sesuai dikarenakan masih kurangnya sarana prasana untuk pelaksanaan
program promosi kesehatan pemberantasan DBD seperti alat fogging yang
sudah rusak, kurangnya media-media promosi kesehatan baik media cetak
maupun media elektronik. Dana yang digunakan untuk melakukan kegiatan
pemberantasan DBD berasal dari dana BOK. Kuantitas SDM yang aktif
bekerja bertanggung jawab dalam pemberantasan penyakit DBD di wilayah
kerja Puskesmas Medan Johor berjumlah 3 orang, serta kualitas SDM yang
belum memadai dikarenakan minimnya pelatihan program pemberantasan
DBD yang diberikan kepada SDM karena kurangnya dana menjadi
penghambat untuk pemberian pelatihan kepada SDM.
2. Sikap petugas dalam implementasi program promosi kesehatan pemberantasan
DBD di Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor dilakukan secara
kondisional apabila ditemukan kasus DBD. Motivasi dan dukungan yang
dimiliki masyarakat juga kurang, sehingga para petugas puskesmas dalam
menjalankan tugasnya tidak membuahkan hasil yang maksimal.
3. Komunikasi petugas dalam implementasi program promosi kesehatan
pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor
belum mampu mencakup seluruh kelompok sasaran masyarakat,dan juga
masih kurangnya media cetak dan elektronik seperti audio visual untuk
63
promosi kesehatan pemberantasan DBD, sehingga penyuluhan bersifat
monoton dan belum menyentuh masyarakat umum.
4. Indeks tupoksi petugas dalam implementasi program promosi kesehatan
pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor
sudah dibuat sesuai SOP yang ada, namun masih ada petugas yang bekerja
secara rangkap dan tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masing-
masing dalam program promosi kesehatan pemberantasan DBD dikarenakan
adanya perbedaan pemahaman masing-masing petugas.
Saran
Berdasarkan kesimpulan, adapun saran-saran yang diberikan adalah
sebagai berikut:
Kepada Puskesmas Medan Johor diharapkan:
1. Diharapkan kepada petugas program promosi kesehatan pemberantasan DBD
Puskesmas Medan Johor agar mengikuti pelatihan-pelatihan yang diberikan
oleh Dinas Kesehatan Kota Medan dan juga memperluas jaringan antar
lintas sektor baik pemerintahan maupun swasta sehingga dapat meningkatkan
keberhasilan dalam pelaksanaan program promosi kesehatan pemberantasan
DBD.
Kepada Dinas Kesehatan Kota Medan diharapkan :
1. Kepada Dinas Kesehatan Kota Medan diharapkan agar melakukan evaluasi
terhadap alokasi pendanaan yang ideal, karena berdampak pada minimnya
penyelenggaraan pelatihan bagi petugas program promosi kesehatan
pemberantasan DBD di puskesmas Medan Johor kecamatan Medan Johor
64
serta memberian penambahan kuantitas SDM dan melengkapi media-media
penyuluhan yang dibutuhkan.
65
Daftar Pustaka
Depkes RI. (2006) Panduan integrasi promosi kesehatan. Jakarta: Widya Medika.
Dinas Kesehatan Kota Medan. (2016). Profil kesehatan Kota Medan. Medan:
Anonim.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. (2017). Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2016. Medan: Anonim.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. (2014).
Modul pengendalian demam berdarah dengue. Jakarta: Kemenkes RI.
Fibriana, A. I. (2013). Determinan keikutsertaan pelanggan wanita pekerja seks
(WPS) dalam program voluntary conseling and tasting (VCT). Jurnal
Kesehatan Masyarakta, 08(02),146-151.
Fathi, Keman, S. & Wahyuni, C. U. (2005). Peran faktor lingkungan dan perilaku
terhadap penularan demam berdarah dengue di Kota Mataram. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 2(1), 1-10.
Ginanjar, G. (2008). Demam berdarah. Yogyakarta: PT. Bintang Pustaka.
Indianahono, D. (2017). Kebijakan publik berbasis dynamic policy analysis.
Yogyakarta: Gava Media.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Buletin jendela
epidemiologi. Jakarta: Pusat Data dan Survailans Epidemiologi.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Modul pengendalian demam
berdarah dengue. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Buku saku pengendalian
demam berdarah dengue untuk pengelola program DBD puskesmas.
Jakarta: Kemenkes RI.
Keputusan Menterian Kesehatan RI Nomor 581 Tahun 1992 tentang
Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2017. Diakses dari http:www.depkes.go.id/resources/
download/pusdatin/profil
66
Kholid, A. (2015). Promosi kesehatan dengan pendekatan teori perilaku, media,
dan aplikasinya untuk mahasiswa dan praktisi kesehatan. Jakarta:
Rajawali Pers.
Manda, Y. S. (2012). Evaluasi pelaksanaan program pemberantasan penyakit
DBD (P2DBD) di wilayah kerja Puskesmas Tamalanrea Kota Makassar
(Skripsi, Universitas Hasanuddin). Diakses dari
http://www.unhas.skripsi.ac.id
Miles, M. B. A., Michael, H. (2009). Analisis data kualitatif. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press).
Notoatmodjo, S. (2014). Promosi kesehatan teori & aplikasi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat.
Profil Puskesmas Medan Johor. (2019). Cakupan pelayanan penderita DBD di
Puskesmas Medan Johor. Medan: Dinkes Medan.
Putri, Lestariana, C. R. dan Laksono, B. (2017). Keefektifan Petugas Surveilans
Kesehatan Demam Berdarah Dengue dalam Menentukan Angka Bebas
Jentik. Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017)
Rosiana. (2006). Studi pelaksanaan program pemberantasan vektor penyakit
demam berdarah dengue terhadap kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Tamalate Kota Makassar Periode 2001-2005 (Skripsi,
Universitas Hasanuddin). Diakses dari http://www.unhas.skripsi.ac.id
Rosenstock, I. M. (1974). The health belief and preventive health behavior.
Health Education Monograph, 2(4), 354.
Sriwulandari. (2009). Evaluasi pelaksanaan program pencegahan dan
penaggulangan penyakit demam berdarah dengue dinas kesehatan
Kabupaten Magetan Tahun 2008 (Skripsi, Universitas Sebelas Maret).
Diakses dari http://unes.ac.id
Syarifuddin. (2015). Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: Trans Info Media.
WHO. (2005). Panduan lengkap pencegahan dan pengendalian dengue dan
demam berdarah dengue. Jakarta: EGC.
WHO. (2017). Dengue and Severe Dengue. Diakses dari http://www.who.int/
mediacentre/factsheets/fs117/en/
67
Widoyono. (2008). Penyakit tropis, epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Semarang: Erlangga.
Winarno, B. (2014). Kebijakan publik teori, proses dan studi kasus. Yogyakarta:
CAPS.
68
Lampiran 1. Pedoman Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI
KE SEHATAN PEMBERANTAAN DEMAM BERDARAH DENGUE
(DBD) DI PUSKESMAS MEDAN JOHOR KECAMATAN MEDAN
JOHOR TAHUN 2020
A. Pedoman wawancara untuk Kepala Puskesmas Medan Johor
I. Identitas Informan
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan Terakhir :
Asal Instansi :
Tanggal Wawancara :
II. Pertanyaan
1. Bagaimana ketersediaan SDM dalam Pelaksanaan Program Promosi
Kesehatan Pemberantasan DBD ?
2. Bagaimana kelengkapan dari sarana dan prasarana untuk Pelaksanaan
Program Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD di Puskesmas ini ?
3. Apakah dana yang dibutuhkan untuk kegiatan Pelaksanaan Program
Promosi Kesehatan sudah cukup?
4. Bagaimana sikap Ibu bila ditemukan kasus DBD di wilayah kerja
Puskesmas Ibu?
5. Apa saja bantuk materi tertulis yang diberikan kepada masyarakat
dalam melaksanakan promosi kesehatan ?
6. Bagaimana koordinasi antara pihak Puskesmas dengan lintas sektor
terkait pelaksanaan program promosi kesehatan pemberantasan DBD
7. Siapa sajakah yang mendukung dan berkontribusi dalam
penanggulangan penyakit DBD ini ?
8. Apa saja kendala yang dialami dalam pelaksanaan program promosi
kesehatan pemberantasan DBD ?
B. Pedoman wawancara untuk Petugas Pemegang Program DBD
I. Identitas Informan
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan Terakhir :
Asal Instansi :
Tanggal Wawancara :
69
II. Pertanyaan
1. Dalam pemberantasan DBD di wilayah kerja puskesmas Medan Johor
siapa saja tenaga kesehatan yang terlibat?
2. Bagaimana dengan kelengkapan dana, sarana dan prasarana dalam
program pemberantasan DBD?
3. Bagaimana sikap Ibu bila ditemukan kasus DBD di wilayah kerja
Puskesmas Ibu ?
4. Apa saja bantuk materi tertulis yang diberikan kepada masyarakat
dalam melaksanakan promosi kesehatan ?
5. Bagaimana koordinasi antara pihak Puskesmas dengan lintas sektor
terkait pelaksanaan program promosi kesehatan pemberantasan DBD
?dan siapa sajakah yang mendukung dan berkontribusi dalam
penanggulangan penyakit DBD ini ?
6. Apa saja kendala yang dialami dalam pelaksanaan program promosi
kesehatan pemberantasan DBD ?
7. Bagaimana pelaksanaan program pemberantasan DBD ?
a. PSN DBD
1. Bagaimana kegiatan PSN DBD dilakukan ? Apakah ada jadwal
rutin yang sudah ditetapkan ?
2. Apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan PSN DBD ?
b. PJB
1. Bagaimana kegiatan PJB dilakukan ? Apakah ada jadwal rutin
yang sudah ditetapkan ?
2. Apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan PJB ?
c. Fogging
1. Bagaimana kegiatan fogging dilakukan ? Apakah ada jadwal
rutin yang sudah ditetapkan ?
2. Apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan fogging ?
d. Penyuluhan
1. Bagaimana kegiatan penyuluhan dilakukan ? Apakah ada jadwal
rutin yang sudah ditetapkan ?
2. Apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan penyuluhan ?
C. Pedoman wawancara untuk Petugas Surveilans Epidemiologi
I. Identitas Informan
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan Terakhir :
Asal Instansi :
Tanggal Wawancara :
70
II. Pertanyaan
1. Dalam pemberantasan DBD di wilayah kerja puskesmas Medan Johor
siapa saja tenaga kesehatan yang terlibat?
2. Bagaimana dengan kelengkapan dana, sarana dan prasarana dalam
program pemberantasan DBD?
3. Bagaimana sikap Ibu bila ditemukan kasus DBD di wilayah kerja
Puskesmas Ibu ?
4. Apa saja bantuk materi tertulis yang diberikan kepada masyarakat
dalam melaksanakan promosi kesehatan ?
5. Bagaimana koordinasi antara pihak Puskesmas dengan lintas sektor
terkait pelaksanaan program promosi kesehatan pemberantasan
DBD?dan siapa sajakah yang mendukung dan berkontribusi dalam
penanggulangan penyakit DBD ini ?
6. Apa saja kendala yang dialami dalam pelaksanaan program promosi
kesehatan pemberantasan DBD ?
7. Bagaimana pelaksanaan program PSN, PJB, Fogging dan Penyuluhan?
C. Pedoman wawancara untuk Petugas Promosi Kesehatan
I. Identitas Informan
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan Terakhir :
Asal Instansi :
Tanggal Wawancara :
II. Pertanyaan
1. Dalam pemberantasan DBD di wilayah kerja puskesmas Medan Johor
siapa saja tenaga kesehatan yang terlibat?
2. Bagaimana dengan kelengkapan dana, sarana dan prasarana dalam
program pemberantasan DBD?
3. Bagaimana sikap Ibu bila ditemukan kasus DBD di wilayah kerja
Puskesmas Ibu ?
4. Apa saja bantuk materi tertulis yang diberikan kepada masyarakat
dalam melaksanakan promosi kesehatan ?
5. Bagaimana koordinasi antara pihak Puskesmas dengan lintas sektor
terkait pelaksanaan program promosi kesehatan pemberantasan
DBD?dan siapa sajakah yang mendukung dan berkontribusi dalam
penanggulangan penyakit DBD ini ?
6. Apa saja kendala yang dialami dalam pelaksanaan program promosi
kesehatan pemberantasan DBD ?
7. Bagaimana pelaksanaan program PSN, PJB, Fogging dan Penyuluhan ?
dan bagaimana Ibu menyusun rencana kegiatan promosi kesehatan ?
71
D. Pedoman wawancara untuk Kepala Lingkungan
I. Identitas Informan
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan Terakhir :
Asal Instansi :
Tanggal Wawancara :
II. Pertanyaan
1. Apakah Bapak selalu melaporkan setiap ada kasus DBD yang terjadi di
lingkungan Bapak?
2. Bagaimana koordinasi yang Bapak/Ibu lakukan dengan pihak
puseksmas ?
3. Apakah setiap pelaporan yang Bapak lakukan langsung di tanggapi
dengan cepat oleh pihak puskesmas ?
4. Apakah setiap selesai pelaporan selalu dilakukan program
penanggulangan oleh pihak puskesmas ?
5. Apakah hambatan atau kendala yang Bapak alami dalam menemani
pihak puskesmas dalam melaksanakan pemberantasan DBD ?
E. Pedoman wawancara untuk Masyarakat yang menderita DBD
I. Identitas Informan
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan Terakhir :
Asal Instansi :
Tanggal Wawancara :
II. Pertanyaan
1. Apa saja program yang dilakukan oleh puskesmas dalam
penanggulangan DBD? Dan berapa sebulan sekali dilakukan?
2. Bagaimana sikap petugas puskesmas bila ditemukan kasus DBD?
3. Menurut anda apakah bahasa petugas puskesmas pada saat
memberikan penyuluhan mudah dimengerti ?
4. Apa saja bentuk materi tertulis yang diberikan kepada masyarakat
dalam melaksanakan promosi kesehatan DBD ?
5. Apakah Bapak/Ibu terlibat aktif dalam mendukung program
pemberantasan DBD ? bagaimana bentuk keterlibatan yang
bapak/ibu lakukan?
72
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian
73
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian
74
Lampiran 4. Surat Selesai Penelitian
75
Lampiran 5. Matriks Pernyataan Informan
1. Pernyataan Informan dalam Kuantitas Kualitas Sumber Daya
Manusia dalam Program Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD di
Puskesmas Medan Johor
Informan Pernyaataan
Informan 1 (Kepala Puskesmas)
Informan 2 (Pemegang Program
DBD)
Informan 3 (Petugas Surveilans
Epidemiologi)
Informan 2 (Pemegang Program
DBD)
Informan 6 (Kader Jumantik)
Informan 4 (Petugas Promkes)
kalau untuk bagian pemberantasan
DBD ada 3 orang yaitu buk erna
sebagai pemegang program DBD
sekaligus buk erna itu merangkap
sebagai petugas kesling, lalu
dibantu juga dengan buk Yuni
sebagai petugas Surveilans
Epidemiologi. Buk Mei sebagai
petugas promkes, semuanya terlibat
dalam hal pemberantasan
DBD,termasuk saya tetapi yg lebih
besar kerjanya ya yg 3 orang itu.
saya rasa sudah cukup SDM di
puskesmas ini nak, karena sudah di
ABK sehingga tidak perlu ada
penambahan SDM lagi.
dari segi kuantitas SDM disini
kurang, perlulah ditambah SDM
nya, karena karena saya yang
mensurvei kelapangan sekaligus
mencatat pelaporan kasusnya.kalau
untuk pelaksanaan program atau
suvey gitu biasanya saya sendiri.
saya petugas surveilans menerima
laporan jika ada warga yang terkena
DBD saya sempatkan mengunjungi
masyarakat yg terkena DBD itu dek
kalau lagi ada kegiatan kek PSN
saya ikut ngebantu,masih kurang
jumlah SDM nya.
dari Dinkes ada pelatihan untuk
program DBD tetapi jarang dk,
pelatihannya seperti memanfaatkan
kembali atau mendaur ulang barang-
barang bekas yang menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk demam
76
berdarah dan itupun nggak ada
jadwal tetap untuk pelatihan buat
kami
dulupun ada pelatihan program
gerakan 1 rumah 1 jentik untuk
kader jumantik, tapi sekarang udh
nggak ada lagi dk, mungkin
terkendala di biaya ,kalau jumlah
jadernya ada 2 dk
saya rasa di puskesmas ini perlu ada
penambahan SDM karena
partisipasi dan pengetahuan
masyarakat terhadap DBD itu
kurang sehingga diperlukan
pelatihan pada SDM tapi jarang
dilakukan pelatihan dari pusat dk.
2. Pernyataan Informan dalam Sarana dan Prasarana Program
Promosi Kesehatan Pemberantasan DBD di Puskesmas Medan Johor
Informan Pernyaataan
Informan 1 (Kepala Puskesmas)
Informan 2 (Pemegang Program
DBD)
kalau sarana dan prasarana untuk
pelaksanaan pemberantasan DBD
sendiri itu masih kurang, kurangnya
itu di alat fogging , mesiin fogging
di puskesmas ini ada tetapi sudah
rusak, jadi kalau ada kasus kami
calling dulu ke pihak Dinkes Kota
Medan supaya mereka menyetujui
untuk dilakukan fogging
biasanya kalau sarana yang kami
pake untuk pemeriksaan jentik itu
pakai senterlah dek, untuk
pepmeriksaan DBD nya langsung
kami belum ada, palingan kalau
udah kita curigai ada tanda-tanda
DBD kita rujuk ke Rumah Sakit
untuk pemeriksaan laboratorium.
Kalau hasilnya positif barulah kita
laporkan ke Dinas Kesehatan. Bubuk
abate udah kami siapkan untuk 1
tahun, terus untuk fogging kami ada
mesinnya tapi udah rusak Kami juga
77
Informan 3 (Petugas Surveilan
Epidemiologi)
nggak ada transportasi dari
puskesmas kalau mau ke daerah-
daerah yang jauh terpaksalah pake
kereta awak pribadi, memang uang
minyaknya diganti
sarana prasananya untuk
pemeriksaan DBD apalah dek,
palingan kan yang dipake untuk lihat
jentik-jentiknya ya senter, sarana
prasarana yang kurang itu di masker
di saat kita lagi fogging/pengasapan,
karena kan sebenarnya masker yg
cocok itu masker yang jenisnya P95
yang gunanya mampu menyaring
partikel mengandung minyak seperti
bensin, solar dll. Tapi kami yang ada
maskernya yang jenis biasalah yg
warna hijau itu masker bedah gitu,
karna itu kan murah tapi kalau
masker yg jenis P95 itu mahal
walaupun itu sebenarnya yang lebih
efektif dipakai kalau lagi pengasapan
dek.
Informan 4 (Petugas Promkes)
Informan 6 (Kader Jumantik)
biasanya kami untuk penyuluhan
menggnakan poster, leaflet dan juga
menempelkan stiker kerumah
masyarakat di wilayah kerja kami,
dan kami juga tidak mempunyai
prasarana untuk melakukan
penyuluhan didalam gedung
makanya kami penyuluhan
bersamaan dengan kegiatan
posyandu.
Sarananya itu sebenarnya ada dek,
tapi nggak pernah dikasih lagilah,
dulu ada sekitar 6tahun yang lalu
kami dikasih tas lengkap isinya
untuk PSN ada topi, rompi, senter,
pipet, plastik untuk jentik, masker,
alat tulis dan formulir hasil
pemeriksaan jentik
78
3. Pernyataan Informan dalam Dana untuk Program Promosi
Kesehatan Pemberantasan DBD
Informan Pernyaataan
Informan 1 (Kepala Puskesmas) dana sudah diberi dari pusat, kalau
cukup nggak cukupnya pasti
manusia nggak ada cukupnya dek,
tapi saya rasa dana untuk DBD
sudah cukup dari BOK yang
diakomodir untuk pelacakan
kasusya seperti DBD itulah dek
Informan 2 (Pemegang Program
DBD)
kita biasanya pendanaan dari dana
BOK sama dana dari APBD. Untuk
jumlahnya itu tergantung kasus,
bisa jadi ada kasus tapi gak
semuanya ada dananya. Tapi kita
ada dana atau enggak tetap wajib
kerja.
Informan 4 (Petugas Promkes) kalau dana untuk buat leaflet,
poster, brosur itu udah ada dari
dinas dek, itulah dia dananya
diambil dari BOK tapi itupun masih
kuranglah, kadang kalau ada anak
PKL disini, kami suruh buat leaflet
uangnya pake dari mereka juga
4. Pernyataan informan dalam sikap petugas bila ditemukan kasus
DBD di Puskesmas Medan Johor
Informan Pernyaataan
Informan 1 (Kepala Puskesmas)
Informan 2 (Petugas Pemegang
Program DBD)
sikap biasa tetap tenang, namun
tetap kelapangan dan program
pemberantasan dari pihak kami
puskesmas biasanya lebih ke
penyuluhan, karena kasus DBD
itukan dapatnya enggak cuma
dilingkungan sekitar rumah bisa
juga di tempat-tempat umum kayak
di sekolah, mesjid, tapi tetap
dilaporkan ke pihak dinkes kota
setiap bulannya. Ketegasan dari saya
apabila tidak terlaksananya kegiatan
ini akan saya beri sanksi.
paling kalau udah mau musim
79
Informan 3 (Petugas Surveilans
Epidemiologi)
penghujan gini baru kita kasih
penyuluhan tentang DBD ke
sekolah-sekolah. Program
pemberantasan DBD di Puskesmas
ini ada PSN,PJB, abatisasi, fogging
dan penyuluhan. Fogging bisa
dilakukan jika ditemukannya kasus
DBD disertai dengan persetujuan
dari Dinkes kota Medan. Setiap hari
jumat dilakukan kegiatan jumat
bersih dengan gotong oyong
membersihkan lingkungan sekitar
rumah dan mensosialisasikan ke
masyarakat untuk gerakan 3M
(Menutup, Menguras dan
Mengubur). Tetapi kurangnya
kesadaran dan partisipasi
masyarakat terhadap pemberantasan
DBD jadinya jadwal yang sudah
ditetapkan tidak berjalan lagi dek
dan juga sebagian masyarakat tidak
terlibat dalam pelaksanaan gotong
royong.
langkah pertama bila ditemukan
kasus DBD yaitu kita lakukan tes
darah dan trombositnya di
laboratorium setelah itu kita buat
laporannya ke dinkes. Selanjutnya
pasien dan tetangganya kita pantau
keadaannya agar tidak menular ke
yang lain.
Informan 6 (Kader Jumantik) Kami melakukan pemberian bubuk
abate kepada masyarakat tetapi tidak
tiga bulan sekali dikarenakan stock
bubuk abate jarang terbatas di
puskesmas dek, tapi ada juga kami
temui yang menjual bubuk abate
dengan bebasnya ke masyarakat
disini.
Informan 4 (Petugas Promkes) sikap kami sebagai petugas promkes
bila ada kasus DBD diwilayah
kerja,kami melakukan penyuluhan
kemasyarakat lebih aktif lagi
memberikan informasi upaya
80
promotif dan preventif terkait
penyakit DBD inilah dek,
Masyarakat disini juga yang susahan
buka pintunya kalau kami datang.
Informan 5 (Kepala Lingkungan) Kalau sikap petugas puskesmas
sejauh ini cukup peduli kalau
ditemukannya kasus DBD, karena
kan saya sebagai kepala lingkungan
juga selalu melaporkan ke pihak
puskesmas jika ada warga disini
yang terkena DBD. Jadi kalau
misalnya mereka nggak berobat di
Puskesmas tapi berobatnya di RS
dan dinyatakan terkena DBD, jadi
saya lapor ke pihak Puskesmas
untuk dicatat. kadang masyarakat
disini nggak mau buka pintu
rumahnya alasannya sibuklah
kurang kesadaran masyarakat disini
untuk saling membantu.
Informan 7 (Masyarakat yang
terkena DBD)
ya tunggu udah kejadian ada yang
terkena DBD dulu mereka baru
datang, barulah ada itu
pengasapan/fogging, diperiksa
kekamar mandi katanya mau melihat
jentik-jentik nyamuk,dikasih
penyuluhan juga, awakpun kemarin
itu dipantau sama mereka. orang-
orang yang kenak DBD kek awak
inilah dek, mau memang diperiksa
orang itu, dulu ada setiap jumat
gotong royong tapi sekarang udah
nggak pernah lagi awak nampak
Informan 8 (Masyarakat yang tidak
terkena DBD)
kakak memang belum pernah
terkena DBD, tapi ada kemaren
yang nawarkan ke kakak untuk
dilakukan fogging minta bayaran
Rp.15.000 tapi itu bukan orang
puskesmas nggak tahu orang mana.
Kalau puskesmas sini tunggu ada
kasus dulu baru mau di fogging dek
81
5. Pernyataan informan dalam komunikasi petugas melakukan
program promosi kesehatan pemberantasan DBD di Puskesmas
Medan Johor
Informan Pernyaataan
Informan 1 (Kapus)
Informan 2 (Petugas Pemegang
Program DBD)
sosialisasi dalam bentuk penyuluhan
sudah sangat sering dilakukan dek,
kami datangi rumah-rumah warga
disini untuk abatisasi, lihat jentik-
jentik nyamuk dirumahnya. Sudah
kenyang sepertinya masyarakat
dengan adanya penyuluhan.
biasanya kami melakukan
penyuluhan diluar gedung disaat
lagi posyandu ataupun door to door
mendatangi rumah-rumah warga
disini yang terkena kasus DBD kami
kasih tau biar dibersihkan bak
mandinya, yg 3M itulah dek
(menguras, menutup, mengubur)
disaat fogging, PSN kami
kasihtaulah
Informan 7 (Masyarakat yang
terkena DBD)
Biasanya petugas puskesmas
ngejelasi apa itu DBD, cara
pencegahnnya dan pengobatannya,
ngasih stiker juga untuk
ditempelkan di rumah masyarakat
sini. Awak kan udah pernah kenak
DBD makanya dijealsin secara
detail sama mereka. Tapi
penyampaiannya yang itu terus jadi
buat bosen.
Informan 8 (Masyarakat yang tidak
terkena DBD)
Informan 4 (Petugas Promkes)
Kalau menurut kakak para petugas
puskesmas disini masih belum
mampu mencakup seluruh
kelompok sasaran masyarakat dan
juga kami jarang terinformasi kalau
ada jadwal kegiatan penyuluhan
gitu, karna mereka lebih ngasih
informasi arahan sama orang-orang
yang terkena DBD dek.
biasanya metode komunikasi kami
ke masyarakat pada saat penyuluhan
sasarannya perorangan ataupun
82
Informan 6 (Kader Jumantik)
kelompok dengan perantaranya
media cetak seperti membagikan
leaflet dan stiker kerumah
masyarakat, Dari pusat belum ada
pelatihan tekhnologi aplikasi untuk
promosi kesehatan DBD
Masyarakat disini menolak kalau
mau diperiksa rumahnya padahal
kami mau melakukan pemeriksaan
jentik nyamuk, fogging, PSN, payah
orang disini dek alasannya selalu
sibuk
6. Peryataan informan dalam indeks tupoksi petugas dan koordinasi
antar lintas sektor
Informan Pernyaataan
Informan 1 (Kepala Puskesmas)
Informan 2 (Petugas Pemegang
Program DBD)
Informan 3 (Petugas SE)
tupoksi petugas di puskesmas ini
saya rasa sudah dijalankan sesuai
SOP yang ada serta jika terjadinya
kasus DBD kita bekerja sama
dengan lintas sektor seperti,
kepling,lurah camat dan tokoh
masyarakat kontribusi kita kuat,
Karena kan koordinasi lintas sektor
itu penting dan kontribusi kita juga
kuat.
tupoksi petugasnya ya ginilah dek,
banyak tugas gandanya karena
merangkap itu, belum optimallah
ini. Malahan saya yang sering turun
kelapangan.Tapi kalau koordinasi
itu perlu, Memang rapat lintas
sektor sudah dilakukan, namun
masih ada petugas yang belum
memahami tugasnya dalam
penanganan DBD ini dek.
kalau tupoksi saya sebagai sebagai
petugas surveilans epidemiologi
dalam penanganan DBD sudah saya
lakukan seperti menganalisis KLB
DBD, Koordinasi kami juga baik
dengan orang kelurahan. misalnya
83
ada kasus, datanya kurang lengkap
untuk mencari alamat pasien, nanti
kami minta bantuan sama orang
kelurahan, orang kelurahan ikut
bantu itu.
Informan 5 (Kepala Lingkungan) Kalau koordinasinya ya kami cuma
melaporkan kasus DBD. Biasanya
kalau ada kasus kami laporkan ke
puskesmas. Nanti orang puskesmas
yang lihat langsung. Kalau perlu
fogging mungkin orang kelurahan
yang damping. Kalau udah
dilaksanakan fogging itu, kelurahan
yang kasih laporan ke kecamatan
kalau fogging itu udah terlaksana
84
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Wawancara
top related