Transcript
DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR
MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI
OLEH
WIDA KUSUMA WARDANI H14104036
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN WIDA KUSUMA WARDANI. Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri. (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).
Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam perekonomian Indonesia, karena CPO merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia. Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Eksportir CPO akan melakukan ekspor secara besar-besaran apabila harga CPO internasional sedang meningkat secara tajam tanpa memikirkan pasokan dalam negeri. Hal ini akan berdampak pada industri turunan CPO yang didominasi oleh industri minyak goreng. Industri ini akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku, sehingga produksinya akan menurun. Menyadari dampak tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan di sektor industri CPO yang berupa pajak ekspor guna membatasi para eksportir CPO untuk tidak mengekspor CPO dalam jumlah yang berlebihan dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri. Adanya pajak ekspor CPO akan mempengaruhi volume ekspor CPO, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keseimbangan pasar industri hilirnya, yaitu industri minyak goreng sawit yang akan dicerminkan melalui harga minyak goreng sawit di pasar dalam negeri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan pasar minyak goreng sawit di Indonesia dan menganalisis keterkaitan antar keduanya serta bagaimana dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri . Untuk tujuan tersebut, beberapa variabel yang diteliti adalah ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga CPO domestik, pendapatan nasional Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, pajak ekspor CPO, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga dan produksi minyak goreng sawit dalam negeri, permintaan minyak goreng sawit dalam negeri, upah tenaga kerja di sektor industri, dummy krisis ekonomi, harga minyak goreng kelapa, impor minyak goreng sawit serta harga impor minyak goreng sawit.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang menggunakan data statistik tahunan dari tahun 1990-2006. Sumber data berasal dari Laporan Tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan Jurnal-jurnal Ekonomi serta instansi-instansi lain yang terkait dengan penelitian yang
dilakukan. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software SAS 6.12 sedangkan analisis data menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS).
Hasil analisis memberikan kesimpulan bahwa model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri menghasilkan lima persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik dan populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari minyak goreng sawit yang diimpor dan minyak goreng sawit produksi Indonesia. Impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil impor minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng domestik dan pendapatan nasional Indonesia, sedangkan nilai tukar riil dan lag impor minyak goreng tidak berpengaruh nyata. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi Indonesia dan lag produksi minyak goreng sawit. Sedangkan harga riil minyak goreng sawit domestik dan upah riil tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng sawit Indonesia.
Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng oleh industri pengguna minyak goreng sawit. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan lag permintaan minyak goreng sawit. Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng sawit domestik adalah harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa dan dummy krisis ekonomi Indonesia. Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan sepuluh persen pajak ekspor CPO akan mengakibatkan penurunan permintaan minyak goreng sawit, impor minyak goreng sawit dan volume ekspor CPO masing-masing sebesar 0,0017 persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta diduga akan meningkatkan harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan produksi minyak goreng sawit sebesar 0,1433 persen.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah perlu suatu adanya kebijakan alternatif selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari penerapan pajak ekspor. Perlu juga adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam hal senjang pengambilan keputusan pada penetapan pajak ekspor agar penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO dunia yang fluktuatif.
Penerapan operasi pasar yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga keseimbangan pasar minyak goreng dapat efektif jika infrastrukturnya dipersiapkan secara baik dengan koordinasi yang baik dari pemerintah pusat dan daerah untuk menjangkau kalangan yang benar-benar kurang mampu.
DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR
MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI
Oleh
WIDA KUSUMA WARDANI H14104036
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Wida Kusuma Wardani
Nomor Registrasi Pokok : H14104036
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul : Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor
Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar
Minyak Goreng Sawit dalam Negeri
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 131 846 871
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872
Tanggal kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2008
Wida Kusuma Wardani H14104036
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Wida Kusuma Wardani lahir pada tanggal 14 Agustus
1986 di Jakarta. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, dari
pasangan Soeroso dan Tasmiyati. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di Sekolah
Dasar Jati Mekar, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 246 Jakarta. Setelah itu
penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 113 Jakarta dan
lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima
sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus
organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi
dan Studi Pembangunan (HIPOTESA), Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK)
dan Komisi Pelayanan Khusus (Kopelkhu). Selain itu, penulis juga aktif dalam
beberapa kepanitiaan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan anugerah yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis diberi kemudahan
dan kekuatan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dampak
Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan
Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan bantuan, perhatian dan dukungan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada :
1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Soeroso dan Ibu Tasmiyati atas doa dan
dukungannya. Serta mas Ambar dan mas Fajar atas semangat dan
keceriaannya untuk penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini secepatnya.
2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang
dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr selaku dosen penguji utama atas kesediaan
serta arahan, saran, kritik dan perhatian yang diberikan kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
4. Jaenal Effendi, S.Ag ., MA selaku dosen penguji komisi pendidikan atas
kesediaan serta arahan, saran, kritik dan perhatian yang diberikan kepada
penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
5. Sahabat penulis Deni, Liana, Tika, Rista, Ate, Rolas, Wike, Elsa, Epy dan
Rima terima kasih atas doa, semangat dan dukungannya.
6. Teman-teman penulis, Septi, Niken, Lia, Rani, Della, Hana, Irma, Prima,
Merlyn, Noorish, Titis, Tata, Dila, Dita, Eko, Arum, Tia, Hansen, Agus dan
teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 41. Terima kasih atas masukan dan
dukungannya.
7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini dan
tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuannya.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2008
Wida Kusuma Wardani H14104036
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 7
1.5 Batasan Penelitian .................................................................................. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9
2.1 Gambaran Umum Industri Kelapa Sawit Indonesia...................................... 9
2.1.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia .................... 10
2.1.2 Pengolahan Kelapa Sawit ........................................................................... 12
2.1.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit ...................................................... 13
2.1.4 Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit ......................................................... 15
2.2 Gambaran Umum Industri Minyak Goreng Indonesia.................................. 17
2.2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia ........................ 18
2.3 Tinjauan Kebijakan Pemerintah Disektor Industri Minyak Sawit ................ 19
2.4 Studi Terdahulu ............................................................................................. 20
2.4.1 Penelitian Mengenai CPO ............................................................. 20
2.4.2 Penelitian Mengenai Minyak Goreng sawit dan Minyak
Goreng Kelapa ................................................................................................... 21
2.4.3 Penelitian Mengenai Two-Stage Least Square(2SLS) ............................... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 26
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................................ 26
3.1.1 Teori Perdagangan Internasional.................................................. 26
3.1.2 Teori Nilai Tukar........................................................................................ 29
3.1.3 Teori Penawaran Ekspor CPO Indonesia ................................................... 32
3.1.4 Kebijakan Pajak Ekspor ............................................................................. 33
3.1.5 Teori Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................... 37
3.1.6 Teori Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................... 41
3.1.7 Metode Two-Stage Least Square (TSLS) .................................................. 45
3.1.8 Konsep Elastisitas ...................................................................................... 46
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ................................................................. 48
IV. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 52
4.1 Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 52
4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 52
4.3 Spesifikasi Model Simultan .......................................................................... 53
4.3.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia .................................. 55
4.3.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia .................................. 56
4.3.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................ 57
4.3.4 Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................. 58
4.3.5 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................ 59
4.3.6 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 60
4.3.7 Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Minyak Goreng
Sawit Indonesia ................................................................................................... 60
4.4 Hipotesis .................................................................................................. 61
4.5 Identifikasi Model ......................................................................................... 62
4.6 Model Lag yang Didistribusikan ................................................................... 65
4.7 Pengujian Model dan Hipotesis .................................................................... 66
4.7.1 Uji Kesesuaian Model ................................................................................ 66
4.7.2 Pengujian Hipotesis .................................................................................... 67
4.7.3 Uji Autokorelas .......................................................................................... 68
4.7.4 Uji Heteroskedastisitas ............................................................................... 69
4.7.5 Uji Normalitas ............................................................................................ 70
4.7.6 Pengukuran Elastisitas ............................................................................... 70
4.7.7 Validasi Model ........................................................................................... 71
4.7.3 Simulasi Model Kebijakan ......................................................................... 73
4.8 Definisi Operasional...................................................................................... 73
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 76
5.1 Estimasi Parameter Model ............................................................................ 76
5.1.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia .................................. 76
5.1.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia .................................. 81
5.1.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................ 85
5.1.4 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................ 88
5.1.5 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 91
5.2 Hasil Validasi Model..................................................................................... 94
5.3 Perubahan Pajak Ekspor CPO Sebesar 10 Persen ......................................... 95
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 100
6.1 Kesimpulan ................................................................................................... 100
6.2 Saran .............................................................................................................. 102
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 104
LAMPIRAN ........................................................................................................ 107
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton) ................. 2
1.2 Volume Ekspor Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005
(000 Ton) .................................................................................................... 3
2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia
Tahun 2000-2005 ....................................................................................... 19
4.1 Pengujian Order Condition ........................................................................ 64
5.1 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Penawaran
Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia ..................................................... 81
5.2 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan
Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 84
5.3 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Produksi
Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................................ 88
5.4 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan
Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................................ 91
5.5 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Harga Minyak
Goreng Sawit Indonesia ............................................................................. 94
5.6 Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO
terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit Dalam Negeri ....... 95
5.7 Hasil Simulasi Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Sepuluh Persen............... 99
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Tahun 2000-2006 .......................................................................................... 13
2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000-2006 ............................ 14
2.3 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara
Tujuan Tahun 2006 ....................................................................................... 15
3.1 Terjadinya Perdagangan Internasional ....................................................... 29
3.2 Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir
pada Keseimbangan Perdagangan Internasional ........................................ 31
3.3 Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO terhadap
Industri CPO .............................................................................................. 35
3.4 Efek Pajak Ekspor Terhadap Volume Ekspor ............................................ 41
3.5 Keseimbangan Minyak Goreng Sawit Akibat Adanya
Peningkatan Permintaan Minyak Goreng Sawit ....................................... 44
3.6 Diagram Alur Kerangka Pemikiran ........................................................... 51
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kebijakan Pemerintah Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia ................... 108
2. Data Riil Penelitian .................................................................................... 110
3. Hasil Estimasi Parameter pada Penawaran Ekspor CPO Indonesia
dengan Menggunakan Program SAS 6.12 .................................................. 112
4. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Impor Minyak Goreng
Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 113
5. Hasil Estimasi Parameter pada Produksi Minyak Goreng
Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ........................ 114
6. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Minyak Goreng
Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 115
7. Hasil Estimasi Parameter pada Harga Minyak Goreng
Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 116
8. Hasil Uji Autokorelasi, Heteroskedastisitas dan Normalitas
pada Masing-masing dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ................ 117
9. Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan
dengan Menggunakan Program SAS 6.12 .................................................. 122
10. Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor sebesar
10 Persen dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ................................. 123
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan nilai ekspor Indonesia sampai tahun 1986 masih
didominasi oleh ekspor migas, namun sejak tahun 1987 ekspor Indonesia
didominasi oleh sektor non migas. Ekspor komoditas pertanian merupakan salah
satu bagian penting dalam komposisi ekspor non migas. Total nilai ekspor produk
pertanian selama lima tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat, yaitu
dari US$ 3,8 milyar di tahun 2000 menjadi US$ 8,2 milyar di tahun 2004. Selama
periode Januari-Desember 2006, ekspor sektor pertanian secara relatif meningkat
sebesar 16,8 persen dibanding tahun 2005. Dan selama satu tahun, sektor ini telah
menghasilkan devisa senilai US$ 484,7 juta. Dari total komoditas pertanian
tersebut, sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sub
sektor lainnya adalah sub sektor perkebunan, yaitu sebesar 87,57 persen dengan
total nilai ekspor sebesar US$ 7,4 milyar (2004)1.
Salah satu komoditas yang berkontribusi terhadap ekspor perkebunan
Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas
perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam
perekonomian Indonesia. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat
dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, kemudian produksinya
menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam
negeri, lalu untuk diekspor sebagai penghasil devisa (ekspor Crude Palm Oil
1 Badan Pusat Statistik, Statistik Ekspor Indonesia 2006.
tahun 2006 bernilai US$ 4,8 milyar) dan menyediakan kesempatan kerja
diberbagai sub sistem (menyediakan kesempatan kerja bagi lebih dari 2 juta
orang). Peranan Industri minyak sawit dan produk turunannya akan terus
berkembang, terutama dengan adanya program energi alternatif biodiesel baik
nasional maupun internasional.
Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua
terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia
berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Produksi
CPO (Crude Palm Oil) Indonesia pada tahun 2006 sebesar 16.000 ribu ton,
sedangkan total produksi CPO Malaysia sebesar 15.881 ribu ton2. Pada data
produksi dan volume ekspor tahun 2001 hingga 2005, terlihat bahwa Malaysia
masih menempati peringkat pertama di dunia untuk produksi dan ekspor CPO
(Tabel 1.1 dan Tabel 1.2).
Tabel 1.1 Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton)
Negara 2001 2002 2003 2004 2005
Malaysia 11.804 11.909 13.355 13.976 14.962
Indonesia 8.396 9.622 10.441 12.326 14.620
Nigeria 770 775 785 790 800
Thailand 625 600 640 668 680
Columbia 548 528 527 632 661
Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006.
2 Indonesian Palm Oil Comission (IPOC), 2006.
Tabel 1.2 Volume Ekspor Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton)
Negara 2001 2002 2003 2004 2005
Malaysia 10.618 10.886 12.248 12.575 13.401
Indonesia 4.903 6.334 6.386 8.662 10.376
Papua New Guinea 328 324 325 348 320
Singapura 224 220 256 240 205
Columbia 90 85 105 183 225
Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006.
Industri CPO membutuhkan input dari perkebunan kelapa sawit dalam
bentuk Tandan Buah Segar (TBS). Perkebunan kelapa sawit dengan hasilnya yang
berupa TBS merupakan industri hulu dari industri CPO, sedangkan industri hilir
utamanya adalah industri minyak goreng sawit, dimana lebih dari 76 persen
penggunaan CPO oleh industri digunakan hanya untuk industri minyak goreng.
Sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia, minyak goreng asal kelapa sawit telah
mendominasi pangsa konsumsi minyak goreng yang beberapa tahun lalu dipegang
oleh kelapa3.
Industri minyak goreng Indonesia dari tahun ke tahun semakin pesat
perkembangannya. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya angka produksi
minyak goreng tiap tahunnya. Pada tahun 1998 total produksi minyak goreng
Indonesia mencapai angka 5,9 juta ton dan untuk tahun selanjutnya produksi
minyak goreng relatif meningkat hingga mencapai 11,9 juta ton pada tahun 2005.
Peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin bertambahnya permintaan akan
minyak goreng itu sendiri.
3 http://www.bumn.go.id/news.detail.html=21711 Wayan R. Susila. 2007. Mempertanyakan Efektivitas Pajak Ekspor dalam Mempercepat Pengembangan Industri Hilir Perkebunan.
Nilai dan volume impor minyak goreng sawit selama periode 1996-2002
meningkat rata-rata 565,7 persen dan 23,9 persen per tahun. Volume impor pada
tahun 1996 sebesar 3,3 ribu ton (US$ 3,7 juta) meningkat menjadi 14,9 ribu ton
(US$ 8,5 juta) pada tahun 2002. Peningkatan tersebut akibat adanya kenaikan
kapasitas ekspor dari Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku yang lebih
sering dipakai dalam proses produksi pabrik minyak goreng, sehingga kekurangan
tersebut ditutup dengan membuka keran impor minyak goreng (CIC, 2003).
Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO
internasional. Harga CPO dunia yang tinggi merupakan insentif yang besar bagi
pengusaha CPO domestik untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari
kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Harga CPO dunia
naik lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Harga CPO pada
Mei 2007 mencapai US$ 740 per ton dan diperkirakan akan terus naik hingga
mendekati US$ 800 per ton. Lonjakan harga CPO diindikasikan karena adanya
peningkatan permintaan dunia yang tinggi dan tidak sebanding dengan produksi
dan suplai CPO di pasar internasional (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007).
Ketika terjadi kenaikan harga CPO dunia, para produsen sawit akan lebih
memilih memasarkan produknya di pasar internasional. Hal ini menyebabkan
terjadinya kelangkaan CPO untuk bahan baku industri minyak goreng sawit yang
selanjutnya akan memicu ketidakseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam
negeri yang dicerminkan dengan kenaikan harga minyak goreng sawit domestik.
Menyadari dampak negatif tersebut pemerintah menetapkan suatu
kebijakan perdagangan yang berkaitan dengan industri CPO dan industri minyak
goreng. Salah satu kebijakan perdagangan yang ditetapkan pemerintah adalah
kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dengan harapan ketersediaan bahan baku
untuk industri pengolahan CPO dalam negeri khususnya industri minyak goreng
menjadi lebih terjamin dengan harga yang lebih murah. Selama ini pemerintah
telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan bagi industri kelapa sawit yang
dapat berdampak bagi industri hulu hingga hilir. Kebijakan pemerintah yang
berhubungan dengan CPO senantiasa berubah dari waktu ke waktu.
1.2 Rumusan Masalah
Indonesia yang memiliki potensi sebagai negara penghasil CPO terbesar di
dunia, berupaya mengembangkan industri hilir, mengingat industri yang berbasis
pada SDA lokal berpeluang untuk dapat menyerap tenaga kerja dan sebagai
penghasil devisa dan diperkirakan pada tahun 2010 akan menjadi produsen CPO
terbesar di dunia (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Kenyataannya,
tidak perlu menunggu sampai tahun 2010, total produksi CPO Indonesia pada
tahun 2006 telah melampaui Malaysia, sehingga Indonesia menjadi negara
produsen CPO pertama di dunia.
Kondisi permintaan dan penawaran domestik CPO dipengaruhi kekuatan
permintaan dan penawaran di pasar internasional, mengingat Indonesia menganut
sistem ekonomi terbuka. Lonjakan harga CPO dunia mengindikasikan adanya
permintaan dunia yang tidak sebanding dengan produksi dan suplai CPO di pasar
internasional. Harga yang meningkat di pasaran internasional dapat menjadi
insentif ekspor bagi pengusaha CPO domestik. Laju ekspor yang tidak terkendali
dapat mengakibatkan kurangnya pasokan CPO domestik, sehingga industri
minyak goreng sawit tidak mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup.
Pengembangan industri hilir CPO banyak mendapat insentif karena
pemerintah akan mengembangkan mekanisme untuk mendorong berkembangnya
industri hilir CPO yang dalam hal ini adalah industri minyak goreng. Pajak ekspor
banyak diterapkan di negara berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan
pendapatan pemerintah dan menjamin ketersediaan produk di pasar domestik.
Adanya kebijakan perdagangan yang berupa pajak ekspor untuk CPO akan
berdampak negatif pada industri hulunya yang dicerminkan oleh penurunan harga
tingkat petani, areal, produksi dan pendapatan petani. Sebaliknya, industri hilir
memperoleh beberapa manfaat seperti ketersediaan bahan baku yang lebih banyak
dengan harga yang lebih rendah.
Pada tahun 1991-1994 ekspor CPO dibebaskan. Tiga tahun kemudian
ditetapkan tarif ekspor progresif yang mencapai 40 persen sampai dengan 50
persen bagi CPO dan produk olahannya. Tarif ekspor pada tahun 1997 diturunkan
menjadi 2 persen sampai dengan 5 persen, hingga kemudian naik menjadi 15
persen sampai dengan 40 persen. Pada bulan Desember 2005, pemerintah
menetapkan kebijakan tarif ekspor sebesar 1,5 persen dari tarif ekspor sebelumnya
yaitu sebesar 3 persen sejak tahun 2001. Lalu melalui Peraturan Menteri
Keuangan Nomor : 94/PMK.011/2007 ditetapkan tarif pungutan ekspor baru atas
kelapa sawit, CPO dan produk turunannya. Besarnya tarif ekspor baru yang
ditetapkan oleh pemerintah ini adalah sebesar 10 persen, hal ini merupakan
perubahan ketujuh atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 92/PMK.02/2005.
Mengingat pentingnya komoditas kelapa sawit dan minyak goreng sawit
terhadap perekonomian Indonesia, maka permasalahan yang dianalisis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan
pasar minyak goreng sawit di Indonesia ?
2. Bagaimanakah keterkaitan ekspor CPO dengan keseimbangan pasar minyak
goreng sawit dalam negeri ?
3. Bagaimana dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap
keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan
pasar minyak goreng sawit di Indonesia.
2. Menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan keseimbangan pasar minyak
goreng sawit dalam negeri.
3. Menganalisis dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap
keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi
berbagai pihak yang berkepentingan.
1. Bagi penulis, hasil penulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman
tentang masalah-masalah yang dihadapi dan mampu memecahkan
permasalahan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah.
2. Bagi pemerintah, hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
bahan masukan dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan
perdagangan disektor industri CPO dan industri minyak goreng sawit.
3. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai salah satu bahan rujukan dan bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.
1.5 Batasan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan
perdagangan yaitu pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan
pasar minyak goreng sawit domestik. Data yang dipergunakan menjadi
keterbatasan dalam penelitian ini. Kode HS untuk Crude Palm Oil adalah HS
151110000, kode SITC untuk minyak goreng sawit adalah 42229 sedangkan
untuk industri minyak goreng sawit digunakan KLUI 5 digit yaitu 31154 dan
15144. Kemudian penelitian ini juga tidak membedakan antara minyak goreng
sawit kemasan bermerek dengan minyak goreng sawit curah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Industri Kelapa Sawit Indonesia
2.1.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia
Walaupun tanaman kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun
tanaman ini dapat berkembang dengan baik dan produk olahannya, Crude Palm
Oil (CPO), menjadi salah satu komoditas perkebunan yang handal. Awal
mulanya, kelapa sawit hanya berperan sebagai tanaman hias langka di Kebun
Raya Bogor dan sebagai tanaman penghias jalan atau pekarangan.
Tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan 4 batang bibit
kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam yang kemudian ditanam di Kebun
Raya Bogor. Selanjutnya hasil anakannya dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara.
Mulai tahun 1911, barulah kelapa sawit dibudidayakan secara komersil
(Satyawibawa dalam Mahisya, 2004).
Kelapa sawit berasal dari benua Afrika, bukti tersebut diperkuat dengan
adanya analisis fosil yang dilakukan oleh Fridel. Fridel menemukan lemak dalam
botol disebuah makam pada daerah Abyados yang diperkirakan adalah kelapa
sawit. Begitu pula Zeven, Zeven melaporkan bahwa fosil dari serbuk sari di Niger
Delta sama dengan serbuk sari yang tumbuh saat ini. Serbuk sari yang ditemukan
tersebut menjadi bukti kuat bahwa kelapa sawit sudah dipelihara.
Awalnya masyarakat dunia tidak mengenal kelapa sawit kecuali Afrika
dan daerah-daerah tropik. Di Afrika, kelapa sawit dikenal sebagai tanaman
domestik dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan akan minyak dan vitamin A
dalam susunan makanan. Kelapa sawit hanya digunakan oleh mereka yang
mengetahui manfaatnya sedangkan yang lain mengabaikan atau sekedar
membawanya saja. Sejak awal abad ke-19 kelapa sawit mulai diperdagangkan
karena masyarakat sudah banyak yang mengetahui manfaat dan kegunaannya.
Sekarang ini kelapa sawit mulai banyak dibudidayakan ditiga daerah tropik
ekuator, yaitu Afrika, Asia Tenggara dan Amerika.
2.1.2 Pengolahan Kelapa Sawit
Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak.
Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal
sebagai minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO), sedangkan minyak
yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO). Selain
minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut,
cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini
dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak dan bahan untuk
industri.
Keunggulan minyak sawit dapat dilihat dari susunannya yang terdiri dari
asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh. Minyak kelapa sawit juga
mengandung beta karoten atau pro-vitamin A, antioksidan dan pro-vitamin E
(tokoferol dan tokotrienol) yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme dan
untuk kesehatan tubuh manusia.
Produk kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam jenis bahan makanan
(oleofood), bahan non makanan (oleochemical) dan bahan kosmetika dan farmasi.
Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan
diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi dan hidrogenasi. Umumnya, sebagian
besar CPO difraksinasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan fraksi
stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan pangan, sedangkan fraksi
stearin untuk keperluan non pangan. Bahan pangan dengan bahan naku olein
antara lain : minyak goreng, mentega (margarine), lemak untuk masak
(shortening), bahan pengisi (adatif), industri makanan ringan dan sebagainya.
Minyak kelapa sawit sebagai bahan bukan pangan dapat digunakan untuk
bahan industri ringan maupun berat, antara lain untuk industri penyamakan kulit
agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit
sebagai pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu yang tinggi. Minyak
kelapa sawit pun digunakan oleh industri perak sebagai bahan flotasi pada
pemisahan bijih tembaga dan cobalt. Dan pada industri ringan dipakai sebagai
bahan baku sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak dan sebagainya.
Pengolahan minyak sawit melalui proses hidrolisis menghasilkan asam
lemak dan gliserin, yang selanjutnya dapat diproses menjadi turunan-turunan
asam lemak, seperti amine alcohol dan metilester. Bahan-bahan ini dapat
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan cat dinding atau cat kayu, tinta cetak,
pasta gigi, pembuatan plastik, minyak diesel, kerosene atau gasoline.
Selain untuk industri bahan makanan dan non makanan, minyak kelapa
sawit juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan
industri farmasi. Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak
dipakai untuk pembuatan shampo, krim, minyak rambut, sabun cair, lipstik dan
sebagainya.
2.1.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit
Perkembangan produksi kelapa sawit di Indonesia selama tujuh tahun
terakhir cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun berkisar antara
8,44-19,94 persen. Pada tahun 2000 produksi kelapa sawit mencapai 7,00 juta ton
dan meningkat 19,94 persen pada tahun 2001 menjadi sebesar 8,40 juta ton.
Selanjutnya pada tahun 2002 meningkat lagi sebesar 14,60 persen menjadi 9,62
juta ton dan meningkat 8,51 persen pada tahun 2003 menjadi sebesar 10,44 juta
ton. Pada tahun 2004 produksi kelapa sawit meningkat sekitar 18,6 persen atau
menjadi 12,33 juta ton, sedangkan pada tahun 2005 produksi kelapa sawit sebesar
14,62 juta ton yang berarti meningkat sekitar 18,61 persen. Produksi kelapa sawit
kembali mengalami peningkatan sekitar 9,44 persen pada tahun 2006 sehingga
menjadi sebesar 16,00 juta ton. Perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia
tahun 2000-2006 disajikan pada Gambar 2.1.
Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah). Gambar 2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Tahun 2000-2006
2.1.4 Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit
Produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar dipasarkan ke
mancanegara (diekspor) dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Pangsa pasar
untuk produk minyak sawit tersebut telah menjangkau kelima benua yakni Asia,
Afrika, Australia, Amerika dan Eropa. Namun demikian Asia merupakan pangsa
pasar yang paling utama.
Perkembangan ekspor minyak sawit periode 2000-2006 cenderung
mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 dan 2001 volume ekspor minyak sawit
Indonesia masing-masing mencapai 4,11 dan 4,90 juta ton dengan nilai ekspor
sebesar US$ 1,09 milyar dan US$ 1,08 milyar. Dan di tahun 2002, volume ekspor
minyak sawit Indonesia meningkat sekitar 29,17 persen menjadi sebesar 6,33 juta
ton dengan nilai ekspor mencapai US$ 2,09 milyar dan pada tahun 2003
mengalami peningkatan lagi sebesar 0,83 persen atau menjadi 6,39 juta ton
dengan nilai sebesar US$ 2,45 milyar. Pada tahun 2004 volume ekspor mengalami
02000000400000060000008000000
1000000012000000140000001600000018000000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006Tahun
Prod
uksi
CPO
(Ton
)
kenaikan yakni menjadi 8,66 juta ton atau meningkat 35,63 persen dan nilainya
mencapai US$ 3,44 milyar.
Ekspor minyak sawit kembali mengalami peningkatan (19,79%) pada
tahun 2005 dengan volume sebesar 10,38 juta ton dan nilai sebesar US$ 3,76
milyar. Pada tahun 2006 mengalami kenaikkan sebesar 16,61 persen atau menjadi
12,10 juta ton dengan nilai mencapai sebesar US$ 4,82 milyar.
Ekspor CPO Indonesia cenderung meningkat berkisar 1,73-51,68 persen
selama periode 2000-2006. Perkembangan ekspor CPO Indonesia tahun 2000-
2006 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah).
Gambar 2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000-2006
CPO Indonesia diekspor ke berbagai negara tujuan. Pada tahun 2006, lima
besar negara yang menjadi pengimpor CPO Indonesia berturut-turut yaitu India
yang volume ekspornya mencapai 1,89 juta ton atau sebesar 36,42 persen terhadap
total volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai sebesar US$ 738,3 juta,
peringkat kedua adalah Belanda dengan volume ekspor sebesar 0,83 juta ton atau
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
12000000
14000000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Eksp
or C
PO (T
on)
memiliki kontribusi 16,05 persen dan nilai ekspornya sebesar US$ 322,4 juta.
Kemudian yang ketiga adalah Singapura dengan kontribusi 9,41 persen atau
volume ekspornya sebesar 0,49 juta ton dengan nilai ekspor US$ 185,5 juta,
sementara itu Malaysia dan Jerman berada di posisi keempat dan kelima. Ekspor
CPO ke Malaysia pada tahun 2006 mencapai 0,47 juta ton atau sekitar 9,02 persen
dengan nilai ekspor sebesar US$ 166 juta, sedangkan untuk Jerman sebesar 0,17
juta ton atau 3,35 persen dengan nilai ekspor mencapai US$ 68,9 juta. Besarnya
persentase volume ekspor CPO dari lima negara terbesar pengimpor CPO
Indonesia tahun 2006 disajikan pada Gambar 2.3 di bawah ini.
Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah). Gambar 2.3 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara
Tujuan Tahun 2000-2006
2.2 Gambaran Umum Industri Minyak Goreng Indonesia
Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang
dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di
pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat pula
dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman yang
37%
16%9%3%9%
26% India Belanda Malaysia Jerman SingapuraLainnya
ada selama ini menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat
menimbulkan dampak ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi
perekonomian nasional.
Minyak goreng merupakan minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau
hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya
digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya
dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan,
jagung, kedelai dan kanola.
Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat pada masa sebelum orde
baru dan sampai pada awal pembangunan jangka panjang (PJP) I, didominasi oleh
jenis minyak goreng asal kelapa. Semenjak semakin meningkatnya produksi
kelapa sawit pada tahun 1970-an, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak
goreng asal sawit. Dibandingkan dengan minyak sawit, minyak kelapa
mengandung lemak jenuh dalam jumlah tinggi dan diperkirakan sebagai penyebab
penyakit jantung koroner. Rendahnya lemak jenuh dalam minyak sawit
dikarenakan adanya proses pemanasan dan pengepresan dalam produksi minyak
sawit.
Keunggulan lain yang dimiliki oleh minyak sawit dibandingkan minyak
kelapa adalah harga minyak kelapa sawit lebih murah dan juga warnanya lebih
jernih sehingga aman bagi kesehatan. Bagi masyarakat yang sudah paham
pentingnya kesehatan mereka lebih memilih minyak goreng yang berbahan baku
dari minyak kelapa sawit.
Pada awal masa perkembangannya, industri minyak goreng Indonesia
dimulai dari skala rumah tangga dengan menggunakan bahan baku yang berasal
dari minyak kelapa. Sistem perdagangan minyak goreng saat itu dilakukan dalam
bentuk minyak goreng curah, dan selanjutnya mulailah bermunculan minyak
goreng bermerek. Sejalan dengan diperkenalkannya tanaman kelapa sawit sebagai
salah satu tanaman perkebunan di Indonesia, minyak kelapa mulai tergeser
posisinya sebagai bahan baku minyak goreng oleh minyak kelapa sawit. Minyak
kelapa sawit mendominasi penggunaannya sebagai bahan baku industri minyak
goreng nasional. Pergeseran posisi tersebut dikarenakan minyak sawit mentah
yang berasal dari pohon kelapa sawit lebih mudah dibudidayakan. Budidaya
kelapa sawit tidak tergantung musim tertentu, lebih tahan hama dan dapat
diusahakan dalam skala besar sehingga dapat mencapai skala ekonomi tertentu.
Sistem pemasaran minyak goreng dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan
swasta. Akan tetapi mengingat bahwa minyak goreng merupakan komoditas
strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu
memantau perkembangan pemasarannya agar ketersediaan minyak goreng dipasar
selalu tercukupi dengan harga yang relatif stabil.
Pangsa pasar produk minyak goreng saat ini diperebutkan oleh sekitar 120
produsen lokal yang masih aktif berproduksi dengan kapasitas produksi sebesar
8,5 juta ton. Beberapa konglomerat yang terjun dalam bisnis perkebunan dan
pengolahan kelapa sawit diantaranya adalah Salim grup (produsen Bimoli),
Sinarmas grup (produsen Filma), Astra grup, Bakrie grup, Musi Mas grup, Hasil
Karsa grup, Bukit Kapur grup dan Raja Garuda Mas. Kelompok di atas memiliki
industri terpadu mulai dari perkebunan sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak
goreng.
2.2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia
Pada Tabel 2.1 terlihat bahwa perkembangan industri minyak goreng sawit
pada enam tahun terakhir mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola
konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit.
Rata-rata pertumbuhan produksi minyak goreng sawit di Indonesia selama
periode 1999-2005 sebesar 10,6 persen. Sedangkan konsumsi per kapita minyak
goreng di Indonesia mencapai 16,5 kilogram per tahun dimana konsumsi per
kapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 14,6 kilogram per kapita per
tahun. Konsumsi minyak goreng sawit yang relatif tinggi ini sejalan dengan
beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak
goreng sawit serta tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, yaitu sebesar
1,28 persen per tahun, dimana konsumsi minyak goreng terbesar adalah konsumsi
langsung oleh masyarakat. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak goreng
sawit Indonesia disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun
2000-2005
Tahun Produksi
(000 Ton)
Pertumbuhan
(%)
Konsumsi/Kap
(Kg/Kap/Tahun)
Pertumbuhan
(%)
2000 6.950 11,2 13,76 -1,6
2001 7.660 10,2 13,97 1,5
2002 9.060 18,3 14,28 2,2
2003 10.110 11,6 14,72 3,1
2004 10.955 8,4 15,38 4,5
2005 11.938 9,0 16,03 4,2
Sumber : Badan Pusat Statistik, Neraca Bahan Makanan dan Statistik Industri Besar dan Sedang Volume II 1999-2005 (diolah).
2.3 Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit
Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pada industri
kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun yang lebih
kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Hal ini telah dilakukan
sejak tahun 1978 (Lampiran 1). Berbagai instrumen kebijakan telah diaplikasikan
untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : (1) pengendalian laju inflasi dan
mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat, dan (2) pengendalian pasokan
minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga
kestabilan harga minyak goreng (Amang, 1996).
Beberapa instrumen kebijakan pemerintah yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pungutan ekspor, (2) penetapan
alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (3) pemupukan
cadangan penyangga minyak sawit kasar dan (4) pelarangan ekspor. Instrumen
yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang
berkepentingan adalah pajak ekspor (tax export) dan pelarangan ekspor (export
ban).
2.4 Studi Terdahulu
2.4.1 Penelitian Mengenai CPO
Penelitian Mahisya (2004), menganalisa permintaan ekspor CPO
Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Error Correction Model
(ECM). Mahisya menyimpulkan bahwa perkembangan harga domestik memiliki
pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekspor. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa pertumbuhan harga domestik suatu negara yang meningkat menandakan
adanya defisit supply terhadap komoditi CPO, defisit ini terjadi pada pasar dunia
yang juga memberikan imbas bagi pasar domestik suatu negara, karena adanya
defisit suplai dari pasar dunia maka akan memicu harga CPO dunia meningkat
dan berefek juga produsen CPO dalam negeri untuk melakukan ekspor untuk
memenuhi kebutuhan CPO dunia. Sementara itu, deflasi nilai tukar rupiah
berhubungan positif dengan volume permintaan ekspor, hal ini disebabkan karena
deflasi nilai tukar rupiah yang semakin meningkat menyebabkan harga CPO
Indonesia dipasar dunia akan dirasakan lebih murah oleh konsumen diluar negeri
sehingga mereka meningkatkan permintaannya terhadap CPO Indonesia.
Penelitian tentang CPO juga dilakukan oleh Askadarimi (2007)
mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit
(CPO) Indonesia dengan menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS).
Hasil penelitian Askadarimi menunjukkan bahwa produksi minyak sawit (CPO)
Indonesia tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal kelapa
sawit dan produktivitas minyak sawit Indonesia. Persamaan luas areal kelapa
sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil CPO domestik, harga riil
karet domestik, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit Indonesia dan luas
areal kelapa sawit Indonesia tahun sebelumnya. Pada persamaan produktivitas
kelapa sawit Indonesia menunjukkan bahwa harga riil ekspor CPO, dummy
kebijakan perluasan areal kelapa sawit dan produktivitas CPO Indonesia tahun
sebelumnya berpengaruh nyata, sedangkan harga riil CPO domestik dan harga riil
pupuk domestik tidak berpengaruh secara nyata. Pengenaan pajak ekspor CPO
untuk pengamanan pasokan domestik mestinya hanya menjadi kebijakan jangka
pendek, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan dari sisi produksi akan lebih
efektif.
2.4.2 Penelitian Mengenai Minyak Goreng Sawit dan Minyak Goreng Kelapa
Hasil kajian yang dilakukan oleh Suharyono (1996) mengkaji mengenai
Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dan Hasil
Industri yang Menggunakan Bahan Baku Minyak Sawit di Indonesia. Data yang
digunakan pada penelitian tersebut adalah data sekunder dalam time series periode
1969-1993. model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua
terkecil tiga tahap atau Linear Three Stage Least Squares (LTSLS). Hasil estimasi
menunjukkan bahwa luas areal produktif tidak responsif terhadap perubahan
masing-masing peubah eksogen yang diperhitungkan dalam model, disamping itu
produktivitas minyak sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan harga
ekspor.
Produksi minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak
sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif
terhadap teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik. Disamping itu
produksi margarine dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang
juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
permintaan minyak sawit minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan
besar pengruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan.
Permintaan minyak goreng sawit, margarine dan sabun baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan nasional.
Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga
dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng
sawit dan minyak goreng kelapa dilihat dari sisi konsumen lebih cenderung
bersifat substitusi.
Peubah trend teknologi ternyata mampu memberikan pengaruh yang besar
pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarine dan sabun.
Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun demikian
harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada
penawaran penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit
dunia dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap
perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Sedangkan harga ekspor minyak
sawit Indonesia ke pasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan
pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditi itu ke pasar MEE.
Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan
teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak responsifnya perubahan
harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarine maupun sabun
terhadap perubahan teknologi.
Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu
meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik
dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah
(1) kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga
tertinggi; (2) kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari
harga pupuk rata-rata dan; (3) kebijakan peningkatan pendapatan nasional.
Penelitian mengenai minyak goreng juga dilakukan oleh Ratri (2004) yang
menganalisis permintaan dan dan penawaran minyak goreng kelapa di Indonesia
dengan menggunakan metode persamaan simultan 2SLS. Hasil estimasi dari
penelitian Ratri menunjukkan bahwa persamaan penawaran menunjukkan bahwa
harga minyak goreng kelapa, harga minyak kelapa kasar dan stok tahun
sebelumnya tidak berpengaruh nyata pada penawaran sedangkan upah dan trend
berpengaruh nyata terhadap penawaran. Hasil estimasi persamaan permintaan
menunjukkan bahwa harga minyak goreng kelapa, harga minyak goreng sawit,
trend dan permintaan tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap permintaan,
sedangkan hasil estimasi persamaan ekspor menunjukkan bahwa harga ekspor,
nilai tukar dan dummy kebijakan pembebasan ekspor berpengaruh nyata terhadap
ekspor. Semua variabel dalam persamaan penawaran, permintaan dan ekspor tidak
responsif dalam jangka pendek.
2.4.3 Penelitian Mengenai Two-Stage Least Square (2SLS)
Jamaludin (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan metode
Two- Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisis dampak kebijakan
perdagangan gandum-tepung terigu terhadap keseimbangan tepung terigu di
Indonesia. Model yang dirumuskan oleh Jamaludin terdiri dari 7 persamaan yang
di dalamnya terdiri dari persamaan identitas dan persamaan struktural. Seluruh
jumlah variabel yang membangun berjumlah 29 variabel. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa produksi tepung terigu Indonesia secara nyata dipengaruhi
oleh variabel harga tepung terigu domestik, jumlah impor gandum, upah tenaga
kerja di sektor Industri, dan bedakala produksi tepung terigu Indonesia.
Permintaan tepung terigu ditentukan dan responsif terhadap harga tepung terigu
domestik, pendapatan nasional, jumlah penduduk dan dummy kebijakan
perdagangan impor gandum-tepung terigu. Sedangkan untuk harga tepung terigu
domestik secara nyata ditentukan oleh penawaran tepung terigu Indonesia dan
trend waktu.
Widayunita (2007) juga melakukan penelitian dengan menggunakan
metode 2SLS untuk menganalisa daya saing industri semen Indonesia periode
1978-2005. Dalam penelitiannya Ia menggunakan metode 2SLS dan metode
Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi daya saing industri semen Indonesia dan pengaruh daya saing
terhadap penyerapan tenaga kerja. Penelitian Pristia menggunakan dua persamaan
struktural yang diestimasi dengan menggunakan persamaan simultan. Kedua
persamaan tersebut diubah kedalam bentuk double log, kecuali variabel-variabel
yang sudah dalam bentuk persen. Bentuk logaritma menunjukkan persentase
perubahan variabel independent terhadap variabel dependent. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa industri semen Indonesia memiliki tingkat daya saing yang
kuat di pasar internasional. Daya saing industri semen Indonesia dipengaruhi
secara positif oleh produktivitas, efisiensi, ekspor semen Indonesia, nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, jumlah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja
dan dipengaruhi secara negatif oleh dummy krisis. Daya saing industri semen
Indonesia berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan atau pertukaran secara ekonomi dapat diartikan sebagai
proses tukar-menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela. Perdagangan akan
terjadi bila diantara pihak yang melakukan perdagangan mendapatkan manfaat
atau keuntungan. Demikian pula halnya dengan perdagangan internasional. Dalam
arti sempit, perdagangan internasional merupakan suatu proses yang timbul
sehubungan dengan pertukaran komoditi antar negara. Apabila perdagangan
internasional tidak ada, maka masing-masing negara harus mengkonsumsi hasil
produksinya sendiri (Salvatore, 1997).
Perdagangan internasional dalam arti luas merupakan alat penggerak bagi
pertumbuhan sektor ekonomi di suatu negara. Seiring dengan terus meningkatnya
taraf hidup dan kebutuhan masyarakat, meningkatnya peran teknologi,
komunikasi, sumberdaya, serta perubahan politik dunia, maka kehidupan suatu
negara akan semakin terkait dengan perkembangan keadaan negara lain.
Menurut Halwani dalam Ervina (2005) negara-negara akan melakukan
perdagangan bila mereka memperoleh manfaat atau keuntungan didalam
perdagangan tersebut (gains from trade). Karena dengan adanya perdagangan
internasional akan berdampak cukup luas terhadap perekonomian suatu negara,
baik aspek ekonomi maupun non-ekonomi. Ada dua alasan mengapa hal ini
terjadi yaitu karena setiap negara mempunyai keunggulan komparatif yang
berbeda dan untuk tujuan skala ekonomis (economic of scale).
Pada dasarnya beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan
internasional suatu negara dengan negara lainnya bersumber dari keinginan
memperluas pasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi
kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar
negara, serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi
tertentu. Dalam teori mengenai timbulnya perdagangan internasional, Heckser-
Ohlin menganggap bahwa suatu negara dicirikan oleh faktor bawaan yang
berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama. Berdasarkan
asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan fungsi produksi yang sama dan
faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara cenderung untuk
mengekspor komoditi yang menggunakan faktor produksi yang lebih banyak dan
secara relatif murah, dan mengimpor barang-barang yang menggunakan faktor-
faktor produksi yang relatif langka dan mahal (Salvatore, 1997).
Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu
komoditi (misal CPO) ke negara lain (misal negara B) karena harga domestik di
negara A lebih rendah jika dibandingkan dengan harga domestik di negara B.
Struktur harga yang relatif rendah di negara A tersebut disebabkan adanya
kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik yang melebihi
konsumsi domestik. Dalam hal ini faktor produksi di negara A relatif berlimpah.
Dengan demikian negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan
produksinya ke negara lain. Di pihak lain, negara B terjadi kekurangan penawaran
karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand)
sehingga harga menjadi tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk
membeli komoditi negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian
terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka dapat terjadi perdagangan
antara kedua negara tersebut dimana negara A akan mengekspor komoditi CPO ke
negara B (Salvatore, 1997).
Secara grafis terjadinya perdagangan antara negara A dan negara B dapat
dilihat pada Gambar 3.1. Sebelum terjadi perdagangan internasional,
keseimbangan di negara A terjadi pada titik Ea dengan jumlah produksi sebesar
Qa1 dan harga yang terjadi adalah P1. Di negara B keseimbangan terjadi pada titik
Eb dengan dengan jumlah produksi sebesar Qb1 dan harga yang terjadi adalah
sebesar P3. Harga di negara A (P1) lebih rendah daripada harga di negara B (P3).
Produsen di negara A akan memproduksi lebih banyak dari tingkat
konsumsi domestik untuk harga di atas P1. Hal tersebut akan menyebabkan
terjadinya excess supply di negara A. Sementara untuk harga di bawah P3, negara
B akan meminta lebih banyak dari tingkat produksi domestiknya. Hal tersebut
akan menyebabkan terjadinya excess demand di negara B. Kemudian terjadilah
perdagangan antara negara A dan negara B. Penawaran ekspor pada pasar
internasional digambarkan oleh kurva Sw yang merupakan excess supply dari
negara A. Permintaan impor digambarkan oleh kurva Dw yang merupakan excess
demand dari negara B. Keseimbangan di pasar dunia terjadi pada titik Ew yang
menghasilkan harga dunia sebesar P2 dimana negara A mengekspor sebesar
(Qa2-Qa3) yang sama jumlahnya dengan yang diimpor negara B (Qb2-Qb3) jumlah
ekspor dan impor tersebut ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar Qw pada
pasar dunia.
Grafik A Grafik B Grafik C Pasar di negara A Hubungan perdagangan Pasar di Negara B Untuk komoditi CPO internasional untuk komoditi untuk komoditi CPO CPO
3.1.2Teori Nilai Tukar
Kegiatan ekspor suatu komoditi yang terjadi di pasar internasional tidak
terlepas dari masalah nilai tukar yang terjadi. Nilai tukar adalah harga mata uang
suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual
(Lipsey, 1995). Nilai tukar ini akan mempengaruhi kebijakan perdagangan antara
masing-masing negara pengekspor dan pengimpor. Peningkatan atau penurunan
nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing dapat mempengaruhi volume
ekspor yang diperdagangkan. Bertambah mahal atau murahnya suatu komoditas
Q Q
Ekspor SA
B A
Ea
P P3 P2=Pw P1
Sw
Ew
DA
Dw
P P3 P2
A B
Impor
Eb SB
DB
Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 3.1 Terjadinya Perdagangan Internasional
Qa2 Qa1 Qa3 Qb2 Qb1 Qb3 Qw
P P2=Pw P1
Q
ekspor di pasar internasional sangat ditentukan oleh nilai tukar mata uang suatu
negara.
Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar
Amerika merupakan faktor yang dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran
ke kanan. Terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar Amerika membuat harga CPO
Indonesia relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan jumlah
penawaran ekspor. Mekanisme pengaruh perubahan nilai tukar terhadap volume
ekspor dapat dilihat pada Gambar 3.2. Apabila di negara A terjadi depresiasi nilai
tukar yang terlihat pada penurunan nilai tukar dari e1 menjadi e2. Penurunan nilai
tukar yang terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan output pada kurva IS.
Peningkatan output ini terjadi karena adanya peningkatan ekspor bersih
sebagaimana ditunjukkan pada gambar perpotongan keynesian. Oleh karenanya
dapat disimpulkan bahwa penurunan nilai tukar (depresiasi) menyebabkan
tejadinya peningkatan volume ekspor. Selanjutnya dapat dijelaskan pula
bagaimana mekanisme peningkatan volume ekspor yang disebabkan penurunan
nilai tukar pada gambar perdagangan internasional. Semula sebelum terjadinya
penurunan nilai tukar, besarnya excess supply di negara A sebesar X1X2. Setelah
terjadinya penurunan nilai tukar menyebabkan terjadinya peningkatan excess
supply menjadi X3X4. Kondisi ini mengakibatkan kurva supply dunia mengalami
pergeseran dengan titik awal yang sama. Pergeseran kurva supply dunia dari SW
menjadi SW1 menyebabkan tingkat harga dunia yang terjadi lebih rendah dan
volume perdagangan internasional meningkat dari 0Q menjadi 0Q1. Negara
pengimpor merespon perubahan harga ini dengan meningkatkan jumlah impornya.
Besarnya volume ekspor negara A setelah depresiasi nilai tukar (X3X4.) sama
dengan besarnya volume impor negara B (M3M4).
Pengeluaran Pengeluaran aktual
NX2
NX1
E
Y1 Y2
Y1 Y2
Negara Pengimpor
e2
e1
Kurs, e
e2
e1
(Output)
Kurs, e
Perdagangan Internasional
SA DA
(Ekspor bersih) NX2 NX1
SW1
SW
X2 X3 X4 X1
Negara Pengekspor
Q1 Q
DW
M3 M2 M4 M1
SB DB
Pw
0
Sumber : Mankiw, 2003 Gambar 3.2 Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir pada
Keseimbangan Perdagangan Internasional
3.1.3 Teori Penawaran Ekspor CPO Indonesia
Penawaran suatu komoditas merupakan jumlah komoditas yang
ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga
dan waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu
komoditas adalah harga komoditas yang bersangkutan, harga faktor produksi,
tingkat teknologi, pajak dan subsidi (Lipsey dkk, 1995).
Berdasarkan pengertian lebih luas, ekspor suatu negara merupakan
kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak
dikonsumsi oleh konsumen dari negara yang bersangkutan atau tidak disimpan
dalam bentuk stok (Kindleberger and Lindert, 1982). Dengan pengertian ini, maka
ekspor minyak sawit dapat didefinisikan sebagai berikut :
Xt = Q – Ct + St (3.1)
Dimana :
Xt = Jumlah ekspor pada tahun ke-t
Qt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke-t
Ct = Jumlah konsumsi pada tahun ke-t
St = Jumlah stok awal tahun ke-t
Asumsi yang digunakan dalam (3.1) adalah impor minyak sawit negara
pengekspor relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah produksinya,
sehingga dapat diabaikan. Konsumsi domestik negara produsen pada umumnya
relatif stabil sehingga dapat diabaikan. Mengingat besarnya tingkat produksi
minyak sawit bila dibandingkan dengan permintaannya, maka walaupun terdapat
stok di negara produsen diduga bukanlah berfungsi sebagai penyangga (buffer),
namun merupakan sisa produksi pada akhir tahun yang tidak dapat disalurkan di
pasar internasional.
Penawaran ekspor suatu negara juga dipengaruhi oleh tingkat bunga dan
nilai tukar valuta asing di negara pengekspor dan di negara partner dagang negara
pengekspor (Branson and Litvack dalam Imi, 2007). Demikian juga harga minyak
sawit negara produsen lain sebagai mitra dagang, berbagai kebijakan pemerintah
suatu negara atau kebijaksanaan internasional, tidak kalah pentingnya dalam
mempengaruhi keragaman ekspor suatu negara. Dengan demikian, maka fungsi
penawaran ekspor minyak sawit suatu negara dalam bentuk dinamis dapat
dirumuskan sebagai berikut ;
Xt = f (HXt, HDIt, Qt, XRt, Vt, Xt-1) (3.2)
Dimana :
HXt = Harga ekspor minyak sawit pada tahun t
HDIt = Harga minyak sawit domestik pada tahun t
Qt = Produksi pada tahun t
ERt = Nilai tukar mata uang asing pada tahun t
Vt = Faktor – faktor lain yang mempengaruhi ekspor tahun t
Xt-1 = Jumlah ekspor minyak sawit pada tahun t-1
3.1.4 Kebijakan Pajak Ekspor
Proses perdagangan internasional yang dilakukan oleh berbagai negara
diwarnai dengan adanya hambatan-hambatan perdagangan yang dilakukan oleh
suatu negara untuk tujuan tertentu seperti untuk meningkatkan kesejahteraan
nasional, dan sebagainya. Hambatan perdagangan yang diterapkan oleh suatu
negara dapat mempengaruhi harga suatu komoditi yang diperdagangkan. Apabila
negara yang memberlakukan hambatan perdagangan adalah negara besar, maka
pemberlakuan hambatan tersebut akan berpengaruh pada harga komoditi
perdagangan dunia. Namun, jika negara yang memberlakukan hambatan
perdagangan adalah negara kecil maka pemberlakuan hambatan tersebut hanya
berpengaruh pada harga komoditi di negara tersebut.
Negara-negara dapat menghambat perdagangan luar negeri dengan
membuat hambatan ekspor maupun impor. Salah satu bentuk hambatan
perdagangan yang sering diterapkan di negara eksportir adalah kebijakan tarif
ekspor, yaitu pajak yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diekspor ke negara
lain.
Piermartini dalam Fitri (2007) menjelaskan bahwa produk yang menjadi
subjek untuk pajak ekspor biasanya merupakan produk pertanian seperti gula,
kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan, mineral,
produk logam dan produk kulit. Efek pajak ekspor tergantung pada kekuatan pasar
yang ada. Pelaksanaan pajak ekspor oleh negara yang memiliki kekuatan pasar
akan lebih efektif dibandingkan dengan negara tanpa kekuatan pasar dalam hal
mempengaruhi harga internasional, volume perdagangan dan distribusi
pendapatan. Sementara itu, dampak pajak ekspor pada suatu negara yang tidak
memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan sosial. Bagaimanapun apabila terjadi peningkatan perdagangan, hal
tersebut akan diikuti dengan peningkatan harga ekspor.
P
Q Q
D Sd
Se1
Se2
Se
De
Pe2
Pe1
P1 P2
P0
Q1 Q5 Q3 Q4 Q6 Q2
Industri CPO Ekspor CPO
P
Sumber : Puteri et all. dalam Fitri, 2007 Gambar 3.3 Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor
CPO Terhadap Industri CPO
Crude palm Oil (CPO) adalah salah satu komoditas ekspor perkebunan
yang telah dikenakan pungutan ekspor. Sejak Maret 2001 sampai dengan
November 2005, ekspor CPO dikenakan tarif pungutan ekspor sebesar tiga persen.
Pengaruh pajak ekspor terhadap harga, permintaan, dan penawaran domestik
dibandingkan dengan tidak dikenakan pungutan ekspor dapat dijelaskan pada
Gambar 3.3.
Pada saat tidak dikenakan pajak ekspor maka harga ekspor akan sama
dengan harga domestik, yaitu sebesar P0. Dengan harga tersebut, jumlah CPO
domestik yang ditawarkan sebanyak Q2 dan jumlah yang diminta perusahaan
domestik sebanyak Q1, sehingga banyaknya CPO yang diekspor sebesar Q1Q2.
Dengan pengenaan tarif ekspor sebesar tiga persen maka kurva penawaran (Se)
akan bergeser ke kiri atas menjadi Se1. Pada saat itu harga ekspor sebesar Pe1,
tetapi yang diterima eksportir sebesar P1, yang lebih rendah dari P0. Akibatnya
jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebesar Q4 sedangkan yang diminta oleh
perusahaan domestik sebesar Q3. Hal ini berakibat jumlah yang diekspor
berkurang menjadi Q3Q4 (lebih kecil dari Q1Q2). Disisi lain, penurunan ekspor
CPO ini berpengaruh terhadap industri hilirnya yaitu minyak goreng sawit, karena
industri tersebut akan lebih banyak menerima pasokan bahan baku, sehingga
stabilitas harga minyak goreng sawit yang mencerminkan keseimbangan pasar
minyak goreng sawit dalam negeri dapat terjaga.
Pajak ekspor CPO sejak Desember 2005 diturunkan dari tiga persen
menjadi 1,5 persen. Dampak penurunan ini juga dapat dijelaskan pada Gambar
3.3. Penurunan pajak ekspor dari tiga persen menjadi 1,5 persen dapat
digambarkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor dari Se1 menjadi Se2.
Dengan asumsi permintaan ekspor tetap, maka harga ekspor turun dari Pe1
menjadi Pe2 dan harga yang diterima eksportir (produsen CPO) meningkat dari P1
menjadi P2. Hal ini menjadi daya tarik bagi para produsen CPO untuk lebih
banyak lagi dalam mengekspor CPO. Akibatnya jumlah CPO domestik yang
ditawarkan meningkat dari Q6, yang diminta turun dari Q3 menjadi Q5 dan yang
diekspor meningkat dari Q3Q4 menjadi Q5Q6. Hal ini akan berpengaruh pada
kelangkaan bahan baku untuk industri minyak goreng sawit dalam negeri
sehingga supply minyak goreng sawit menjadi berkurang yang akan memicu
kenaikan harga minyak goreng sawit dalam negeri.
3.1.5 Teori Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia
Penawaran adalah jumlah suatu barang dan jasa yang rela dan mampu
dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan kondisi tertentu.
Jumlah produksi yang ditawarkan di pasar berasal dari produksi pada waktu
tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode sebelumnya.
Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena adanya pengaruh dari
beberapa faktor seperti :
1. Harga komoditi itu sendiri (H)
Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah
yang ditawarkan, ceteris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi,
semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh para
produsen/penjual. Sebaliknya semakin rendah harga suatu komoditi, maka
semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh para produsen/penjual.
2. Harga komoditi lain (HS)
Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi
maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka
penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan
harga komoditi substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang
bersangkutan.
3. Teknologi (T)
Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi
maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila
produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan
meningkat.
4. Harga Input /Faktor-faktor produksi (HF)
Apabila harga faktor produksi turun, maka produsen akan menambah
penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan meningkat. Jika harga
faktor produksi meningkat, maka produsen akan cenderung mengurangi
penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan menurun. Turunnya
hasil/produksi secara otomatis menyebabkan turunnya penawaran.
5. Jumlah Produsen (PRD)
Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan
meningkat.
6. Tujuan Perusahaan (TP)
Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba
yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak
berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat
meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu
memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.
7. Pajak dan Subsidi (Tx)
Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan
kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk
berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan berkurang.
Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan
meningkatkan keuntungan sehingga penawaran komoditi tersebut akan
meningkat.
Dari uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu
komoditi dapat digambarkan dengan fungsi berikut:
QS = f (H, HS, T, HF, PRD, TP, Tx) (3.3)
Dalam penelitian ini, minyak goreng sawit merupakan hasil olahan dari
CPO, sehingga apabila jumlah CPO meningkat maka produksi minyak goreng
sawit juga akan meningkat. Hubungan ini sesuai dengan teori produksi, dimana
fungsi produksi merupakan hubungan matematik antara input dan outputnya
(Nicholson, 2002). Hubungan antara CPO dan minyak goreng dalam fungsi
produksi dapat dirumuskan sebagai berikut :
QMG = f (HMG, QCPO, UP) (3.4)
Dimana :
QMG = Jumlah minyak goreng sawit yang dihasilkan (ton)
HMG = Harga minyak goreng sawit (Rp/ton)
QCPO = Jumlah CPO yang digunakan untuk memproduksi minyak goreng
sawit (ton)
UP = Upah tenaga kerja (Rp/HOK)
Gambar 3.4 menganalisis tentang permintaan dan penawaran CPO yang
dipengaruhi pajak ekspor. Harga CPO dunia (P1) berada di atas harga ekuilibrium,
hal ini menjadi insentif bagi para produsen CPO domestik untuk menjual CPO ke
pasar internasional. Jika tidak ada pajak ekspor, CPO akan diekspor secara bebas
yakni sejumlah M1 pada tingkat harga dunia sebesar P1 dengan permintaan CPO
sejumlah D1 dan penawaran CPO sejumlah S1. Pengenaan pajak ekspor CPO
sebesar T akan menurunkan harga CPO dunia, dengan harga yang baru
perusahaan-perusahaan CPO dalam negeri akan mengurangi ekspornya karena
biaya yang harus dikeluarkan akan semakin besar dengan adanya pajak ekspor
tersebut dan penerimaan pendapatan melalui ekspor menjadi kurang
menguntungkan. Mereka merespon dengan menurunkan jumlah ekspor CPO dari
S2 ke S1. Sedangkan dengan adanya pajak ekspor, jumlah CPO yang diminta
menjadi bertambah dari D1 ke D2, sehingga jumlah CPO yang diekspor turun
menjadi M2.
Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari produksi minyak
goreng sawit dan impor minyak goreng sawit. Penerapan kebijakan perdagangan
pajak ekspor CPO akan berakibat pada pengurangan volume ekspor CPO
sehingga dapat meningkatkan pasokan CPO untuk industri minyak goreng sawit
domestik, sehingga supply minyak goreng sawit Indonesia akan meningkat.
3.1.6 Teori Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia
Permintaan adalah jumlah barang yang mampu dibeli oleh para pembeli
pada tempat atau waktu tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Faktor-
faktor yang mempengaruhi permintaan adalah:
1. Harga komoditi yang bersangkutan (H)
Keadaan harga suatu komoditi mempengaruhi jumlah permintaan terhadap
komoditi tersebut. Bila harga naik maka permintaan akan komoditi tersebut
akan turun. Sebaliknya bila harga turun maka permintaan akan komoditi
tersebut akan naik. Hubungan harga dengan permintaan adalah hubungan yang
negatif dengan asumsi faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan
dianggap tetap.
T
P2
P1
D0
S0
S2 D2 D1 S1 0 Q
Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 3.4 Efek Pajak Ekspor Terhadap Volume Ekspor
M1
M2
P
E
2. Harga komoditi lain (HS)
Terjadinya perubahan pada suatu komoditi akan berpengaruh pada permintaan
komoditi lain. Keadaan ini terjadi bila kedua komoditi tersebut mempunyai
hubungan apakah saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi
(komplemen). Bila tidak berhubungan, maka tidak akan berpengaruh.
3. Selera (S)
Selera merupakan variabel yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan.
Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu komoditi bukan saja dipengaruhi
oleh struktur umur konsumen, tetapi juga karena faktor adat dan kebiasaan
setempat, tingkat pendidikan atau lainnya.
4. Jumlah Penduduk (POP)
Semakin banyak jumlah penduduk makin besar pula jumlah komoditi yang
dikonsumsi dan permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin
meningkat.
5. Tingkat Pendapatan (Y)
Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya komoditi yang
dikonsumsi. Secara teoritis, peningkatan pendapatan akan meningkatkan
konsumsi.
Permintaan terhadap suatu barang (QD) dapat digambarkan dengan fungsi berikut:
QD = f (H, HS, S, POP, Y) (3.5)
Dalam penelitian ini permintaan terhadap minyak goreng sawit secara
garis besar dapat dibedakan atas permintaan langsung dan permintaan tidak
langsung. Permintaan langsung merupakan permintaan masyarakat akan minyak
goreng sawit yang langsung diolah sendiri untuk dikonsumsi, sedangkan
permintaan tidak langsung merupakan permintaan masyarakat akan minyak
goreng sawit dalam bentuk olahan atau bahan baku untuk industri sedang maupun
industri rumah tangga.
Secara umum permintaan minyak goreng sawit dipengaruhi oleh harga
minyak goreng sawit itu sendiri, harga komoditi substitusi atau komplementer
(dalam hal ini minyak goreng kelapa), pendapatan dan jumlah penduduk.
Sehingga persamaan permintaan minyak goreng sawit tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut :
QDT = f (HMG, HMK, Y, POP) (3.6)
Dimana :
QDT = Jumlah minyak goreng sawit yang diminta/dikonsumsi (Kg)
HMG = Harga minyak goreng sawit (Rp/kg)
HMK = Harga minyak goreng kelapa (Rp/kg)
Y = Pendapatan masyarakat (Rp)
POP = Jumlah penduduk (jiwa)
Qmg
D1
D0
Qmg0 Qmg1
E0 E1 Pmg1
Pmg0
Pmg
Sumber : Lipsey, 1995. Gambar 3.5 Keseimbangan Minyak Goreng Sawit Akibatnya Adanya
Peningkatan Permintaan Minyak Goreng Sawit
Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
fungsi permintaan. Harga minyak goreng sawit mempunyai pengaruh terhadap
pergerakan sepanjang kurva permintaan, sedangkan faktor yang lainnya
mempunyai pengaruh terhadap pergeseran kurva permintaan (Lipsey, 1995).
Misalnya saja faktor pendapatan masyarakat, maka adanya peningkatan
pendapatan masyarakat akan mengakibatkan peningkatan terhadap permintaan
minyak goreng sawit. Peningkatan pendapatan ini berakibat pada pergeseran
kurva permintaan minyak goreng sawit dari D0 menjadi D1, sehingga
keseimbanganpun berubah menjadi E1. Dimana jumlah minyak goreng sawit
menjadi lebih besar yaitu sebesar Qmg1 dengan tingkat harga yang lebih tinggi
yaitu sebesar Pmg1 (Gambar 3.5).
S
3.1.7 Metode Two-Stage Least Square (2SLS)
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga model
persamaan dengan kondisi overidentified, yaitu Two-Stage Least Squares (2SLS),
Three-Stage Least Squares (3SLS), Limited Information Maximum Likelihood
(LIML), dan Full Information Maximum Likelihood (FIML). Metode yang dipilih,
karena pertimbangan kemungkinan adanya kesalahan dalam perumusan model.
Dengan menggunakan 2SLS, kesalahan spesifikasi satu persamaan tidak
tertransfer ke persamaan-persamaan lain, walaupun penduga yang diperoleh
kurang efisien dibandingkan dengan hasil estimasi 3SLS.
Alasan lain memilih metode 2SLS adalah :
1. Metode ini cocok untuk mengestimasi model persamaan simultan yang berada
dalam kondisi overidentified.
2. Metode ini cocok digunakan pada jumlah sampel pengamatan yang sedikit.
3. Metode ini dapat menghindari estimasi yang bias dan dapat menghasilkan
penduga yang konsisten, serta tidak terlalu sensitif terhadap kesalahan
spesifikasi
Pilihan terhadap metode 2SLS dibandingkan dengan metode lainnya
disebabkan oleh : (1) Penerapan sistem persamaan simultan dengan metode
Ordinary Least Square (OLS) akan menghasilkan koefisien yang bias, karena
terjadi korelasi antara error term dengan peubah endogen yang ada disisi kanan
persamaan; (2) Dengan metode Instrumental Variables (IV) masalah tersebut
dapat diatasi dan menghasilkan koefisien yang tidak bias, tetapi koefisien yang
diperoleh tidak efisien karena terdapat lebih dari satu informasi; dan (3) Jika
menggunakan metode 3SLS (Three-Stage Least Square), kesalahan spesifikasi
dari satu persamaan akan merembet ke persamaan lain, sehingga koefisien yang
diperoleh dari semua persamaan akan bias.
Kelemahan metode 2SLS adalah diantaranya kurang efisien dibandingkan
estimator 3SLS. Metode ini bekerja dengan kurang baik jika koefisien determinasi
(R2) pada tahap pertama estimasi terlalu kecil (mendekati nol).
3.1.8 Konsep Elastisitas
Konsep elastisitas sangat berguna dan banyak sekali diaplikasikan dalam
ilmu ekonomi dalam kaitannya dengan permintaan dan penawaran. Pada
permintaan dikenal tiga konsep elastisitas yang penting, yakni elastisitas
permintaan terhadap harga, elastisitas permintaan terhadap pendapatan dan
elastisitas permintaan silang. Elastisitas permintaan terhadap harga merupakan
usuran besarnya respon jumlah yang diminta dari statu komoditi tertentu terhadap
perubahan harga. Elastisitas didefinisikan sebagai bilangan positif dan dapat
bervariasi dari nol sampai tak terhingga.
Jika bilangan elastisitas lebih kecil daripada satu, maka permintaannya
bersifat inelastis. Ini berarti bahwa persentase perubahan kuantitas lebih kecil
daripada persentase perubahan harga yang menyebabkannya. Jika bilangan
elastisitasnya lebih besar daripada satu, permintaannya bersifat elastis. Ini berarti
bahwa persentase perubahan kuantitas lebih besar daripada persentase perubahan
harga yang menyebabkannya.
Elastisitas permintaan terhadap pendapatan merupakan ukuran besarnya
respon jumlah yang diminta dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan
pendapatan. Untuk kebanyakan jenis barang, kenaikan pendapatan berakibat pada
kenaikan permintaan dan elastisitas terhadap pendapatan akan positif. Barang-
barang demikian disebut barang normal. Barang-barang yang konsumsinya
menurun sebagai respon terhadap kenaikan pendapatan memiliki elastisitas
pendapatan yang negatif dan barang yang demikian disebut sebagai barang
inferior.
Elastisitas permintaan silang merupakan ukuran besarnya respon jumlah
yang diminta dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga yang
menyebabkannya dari beberapa komoditi lainnya. Istilah tersebut biasa digunakan
untuk mendefinisikan komoditi yang merupakan barang substitusi antara satu
barang dengan barang lainnya (elastisitas silang yang positif) dan komoditi yang
bersifat komplemen antara barang satu dengan barang lainnya (elastisitas silang
yang negatif).
Elastisitas penawaran dalam ilmu ekonomi merupakan konsep yang
penting. Pada teori penawaran dua konsep elastisitas yang terpenting adalah
elastisitas penawaran terhadap harga dan elastisitas penawaran silang. Elastisitas
penawaran terhadap harga merupakan ukuran besarnya respon jumlah yang
ditawarkan dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga. Sementara
elastisitas penawaran silang merupakan ukuran besarnya respon jumlah yang
ditawarkan dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga yang
menyebabkannya dari beberapa komoditi lainnya. Apabila elastisitas harga silang
antara dua jenis komoditi adalah positif maka kedua komoditi tersebut adalah
merupakan joint product, dan jika elastisitasnya negatif maka kedua komoditi
tersebut adalah competiting product.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Secara umum perekonomian dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu
perekonomian sektor domestik dan sektor luar negeri. Fluktuasi dari kedua sektor
tersebut akan berpengaruh pada sektor ekonomi secara keseluruhan. Komponen
sektor domestik meliputi konsumsi swasta, investasi, dan pengeluaran pemerintah.
Sedangkan sektor luar negeri (internasional) meliputi ekspor-impor yang secara
statistik tertuang dalam neraca perdagangan dan selanjutnya berpengaruh dalam
neraca pembayaran.
Sektor luar negeri atau yang lebih dikenal dengan perdagangan
internasional adalah perdagangan yang menganalisa arus barang, jasa, dan
pembayaran-pembayaran antara sebuah negara dan negara-negara lain di dunia.
Dalam perdagangan tersebut ada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk
melindungi sektor industri domestiknya. Salah satu kebijakan yang diberlakukan
disini adalah dengan mengenakan pajak ekspor pada komoditi penting yang
diekspor oleh suatu negara. Biasanya komoditi yang dikenakan pajak ekspor
adalah komoditi hasil-hasil pertanian termasuk didalamnya komoditi hasil-hasil
perkebunan, hal ini dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk
sektor industri hilirnya.
CPO atau Crude Palm Oil merupakan salah satu komoditi hasil
perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian
Indonesia, karena CPO merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia. Eksportir
CPO akan melakukan ekspor secara besar-besaran apabila harga CPO
internasional sedang meningkat secara tajam tanpa memikirkan pasokan dalam
negeri. Hal ini akan berdampak pada industri turunan CPO yang didominasi oleh
industri minyak goreng. Industri ini akan mengalami kesulitan dalam
mendapatkan bahan baku, sehingga produksinya akan menurun. Lebih jauh lagi,
hal ini akan mengakibatkan terjadinya kelangkaan minyak goreng sawit di pasar
domestik yang disertai dengan kenaikan harga minyak goreng.
Menyadari dampak tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan
perdagangan di sektor industri CPO yang berupa pajak ekspor guna membatasi
para eksportir CPO untuk tidak mengekspor CPO dalam jumlah yang berlebihan
dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri. Adanya pajak ekspor CPO akan
mempengaruhi volume ekspor CPO, yang secara tidak langsung akan
mempengaruhi keseimbangan pasar industri hilirnya, yaitu industri minyak
goreng sawit yang akan dicerminkan melalui harga minyak goreng sawit di pasar
dalam negeri.
Berdasarkan uraian di atas, akan dianalisis pengaruh kebijakan
perdagangan yang dalam hal ini adalah pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan
pasar minyak goreng sawit dalam negeri. Analisis ini akan dilakukan dengan
menggunakan model persamaan simultan. Model terdiri dari tiga persamaan
identitas dan lima persamaan struktural. Persamaan identitas mencakup
penawaran ekspor CPO Indonesia, penawaran minyak goreng sawit Indonesia dan
keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit Indonesia.
Sedangkan persamaan struktural terdiri dari model faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia, permintaan impor minyak
goreng sawit Indonesia, produksi minyak goreng sawit Indonesia, permintaan
minyak goreng sawit Indonesia dan harga minyak goreng sawit Indonesia. Dari
hasil analisis, diharapkan akan diperoleh rekomendasi kebijakan perdagangan
yang efektif untuk industri CPO dan industri minyak goreng sawit dalam negeri.
Penulis membuat alur pemikiran yang digambarkan dalam Gambar 3.6 untuk
mempermudah pelaksanaan penelitian.
Ekonomi Terbuka
Perdagangan Internasional Ekspor CPO
Impor MGS
Kebijakan Perdagangan (Pajak Ekspor CPO)
Volume Ekspor CPO Produksi MGS Domestik
Harga MGS
Model Persamaan Simultan
SAS 6.12
Simulasi Kebijakan
Permintaan MGS Penawaran MGS
Saran dan Rekomendasi Kebijakan Perdagangan
Gambar 3.6 Diagram Alur Kerangka Pemikiran
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
menggunakan data statistik tahunan dari tahun 1990-2006. Sumber data berasal
dari Laporan Tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan Jurnal-jurnal
Ekonomi serta instansi-instansi lain yang terkait dengan penelitian yang
dilakukan.
Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data tentang antara lain :
data ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga
CPO domestik, pendapatan nasional Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, pajak
ekspor CPO, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga dan produksi
minyak goreng sawit dalam negeri, permintaan minyak goreng sawit dalam
negeri, upah tenaga kerja di sektor industri, harga minyak goreng kelapa, impor
minyak goreng sawit serta harga impor minyak goreng sawit.
4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode
kuantitatif. Untuk gambaran perkembangan CPO di Indonesia dan pembahasan
hasil pengolahan data dilakukan analisis secara deskriptif. Metode kuantitatif
dengan pendekatan bentuk persamaan simultan, karena variabel-variabel yang
digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan perdagangan disektor industri
CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri tersebut
saling berpengaruh. Masing-masing persamaan dalam penelitian ini diduga
dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS) dengan menggunakan program
SAS 6.12.
4.3 Spesifikasi Model Simultan
Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu
sistem atau proses. Salah satu model yang sering digunakan dalam menganalisis
masalah ekonomi adalah model ekonometrika. Model ekonometrika adalah suatu
model statistika yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu
fenomena yang mencakup unsur stokastik. Unsur stokastik ini biasanya diabaikan
dalam model ekonomi lainnya yang pada umumnya mengasumsikan adanya
hubungan-hubungan secara deterministik (Koutsoyiannis, 1977).
Suatu model dikatakan baik jika model tersebut memenuhi kriteria-kriteria
sebagai berikut :
1. Kriteria Ekonomi
Kriteria ini ditentukan oleh dasar-dasar teori ekonomi dan berhubungan
dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi. Model yang
diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada.
2. Kriteria Statistik
Kriteria ini menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel
endogen pada masing-masing persamaan, kemampuan variabel eksogen
dalam menjelaskan variasi atau keragaman variabel endogen.
3. Kriteria Ekonometrik
Kriteria ekonometrik didasari oleh asumsi-asumsi dari model regresi
berganda sebagai berikut :
E (ei) = 0 untuk setiap i, artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari ei
tergantung pada Xi tertentu adalah nol.
Cov (ei,ej) = 0 untuk setiap i ≠ j (asumsi non autokorelasi), artinya gangguan
ei dan ej tidak berkorelasi.
Var (ei) = δ2 untuk setiap i (asumsi homoskedastisitas), artinya varians ei
untuk setiap i (yaitu varians bersyarat untuk ei) adalah suatu angka konstan
positif yang sama dengan δ2.
Cov (ei,X2i) = Cov (ei,X3i) = 0, artinya gangguan ei dan varians yang
menjelaskan X tidak berkorelasi.
Sementara itu, pendekatan ekonometrika dibedakan atas persamaan
tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal merupakan persamaan
dimana variabel terikat (dependent variable), dinyatakan sebagai sebuah fungsi
linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga
hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan
hubungan satu arah. Sedangkan persamaan simultan adalah suatu persamaan yang
membentuk sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara
berbagai variabel dalam persamaan tersebut, sehingga model ini tidak mungkin
menaksir hanya pada satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada
pada persamaan-persamaan lainnya.
Dalam penelitian ini, perumusan model mencakup aspek penawaran
ekspor CPO Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor CPO
Indonesia, penawaran minyak goreng sawit Indonesia, impor minyak goreng sawit
Indonesia, produksi minyak goreng sawit Indonesia, permintaan minyak goreng
sawit Indonesia, harga minyak goreng sawit Indonesia, dan keseimbangan
penawaran dan permintaan minyak goreng sawit di Indonesia. Agar tujuan
penelitian sesuai dengan yang ditentukan, maka model dispesifikasi dalam bentuk
persamaan simultan yang yang terdiri dari lima persamaan struktural dan tiga
persamaan identitas.
4.3.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Ekspor minyak sawit merupakan kelebihan penawaran minyak sawit
domestik atau produksi minyak sawit yang tidak dikonsumsi oleh konsumen
Indonesia, sehingga persamaannya dapat ditulis :
XCPO = QCPO – CCPO (4.1)
Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi ekspor CPO Indonesia antara
lain adalah harga riil ekspor CPO Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak ekspor CPO
Indonesia, produksi CPO Indonesia dan ekspor CPO Indonesia tahun sebelumnya,
sehingga penawaran ekspor CPO Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :
XCPOt = a0 + a1 HXCPOt + a2 XRRt + a3 PEt + a4 QCPOt + a5 POP +
a6 XCPOt-1 + U1 (4.2)
Dimana :
XCPOt = Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia pada tahun ke-t (ton)
HXCPOt = Harga riil ekspor CPO Indonesia pada tahun ke-t (US$/ton)
XRRt = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika pada tahun ke-t
(Rp/US$)
PEt = Pajak ekspor CPO Indonesia pada tahun ke-t (%/tahun)
QCPOt = Produksi CPO domestik pada tahun ke-t (ton)
POP = Jumlah penduduk Indonesia pada tahun ke-t (jiwa)
XCPOt-1 = Lag ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia (ton)
a0 = Intersep
ai = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)
U1 = Kesalahan Pengganggu (error term)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan :
a1, a4 > 0 ; a2, a3, a5< 0 ; 0 < a6 < 1
4.3.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia merupakan fungsi dari
nilai tukar rupiah, harga riil impor minyak goreng sawit, permintaan minyak
goreng domestik, pendapatan nasional dan impor minyak goreng sawit tahun
sebelumnya. Persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia
dirumuskan sebagai berikut :
IMMGt = b0 + b1 XRRt + b2 PIMMGt + b3 QDMGt+ b4 GDPt + b5 IMMGt-1
+ U2 (4.3)
Dimana :
IMMGt = Jumlah impor minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t (ton)
PIMMGt = Harga riil impor minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t
(US$/ton, CIF Rotterdam)
GDP t = Pendapatan nasional Indonesia pada tahun ke-t (Rupiah)
IMMGt-1 = Lag impor minyak goreng sawit Indonesia (ton)
b0 = Intersep
bi = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)
U2 = Kesalahan Pengganggu (error term)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan :
b1, b3, b4 > 0 ; b2< 0 ; 0 < b5 < 1
4.3.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
Jumlah produksi minyak goreng sawit Indonesia ditentukan oleh harga riil
minyak goreng sawit domestik, luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik,
upah riil tenaga kerja di sektor industri, dummy krisis ekonomi dan produksi
minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Secara matematis persamaan produksi
minyak goreng sawit Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :
QMGt = c0 + c1 HMGDRt + c2 LAt + c3 QCPOt + c4 DKt + c5 UPRt
+ c6 QMGt-1 + U3 (4.4)
Dimana :
QMGt = Produksi minyak goreng sawit Indonesia (ton)
HMGDRt = Harga riil minyak goreng sawit domestik pada tahun ke-t (Rp/kg)
DK = Dummy krisis ekonomi Indonesia (D1 = 0 untuk tahun 1990-1996,
dan D1 = 1 untuk tahun 1997-2006)
LA = Luas areal kelapa sawit pada tahun ke-t (Ha)
UPR = Upah riil tenaga kerja di sektor industri pada tahun ke-t (Rp/HOK)
QMGt-1 = Lag produksi minyak goreng sawit Indonesia (ton)
c0 = Intersep
ci = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)
U3 = Kesalahan Pengganggu (error term)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan :
c1,c2, c3 > 0 ; c4, c5 < 0 ; 0 < c6 < 1
4.3.4 Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia
Penawaran minyak goreng sawit domestik merupakan penjumlahan antara
jumlah impor minyak goreng sawit dengan produksi minyak goreng sawit
Indonesia, sehingga persamaannya dapat ditulis :
QSMG = QMG + QIMMG (4.5)
Dimana :
QSMG = Penawaran minyak goreng sawit Indonesia
4.3.5 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia
Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi permintaan minyak goreng
sawit Indonesia adalah harga riil minyak goreng sawit domestik, harga riil minyak
goreng kelapa domestik sebagai substitusi minyak goreng sawit, pendapatan per
kapita dan jumlah permintaan minyak goreng sawit tahun sebelumnya, sehingga
persamaan permintaan minyak goreng sawit dapat dirumuskan sebagai berikut :
QDMGt = d0 + d1 HMGDRt + d2 HMKDt + d3 ICPKt + d4 QDMGt-1
+ U4 (4.6)
Dimana :
QDMGt = Jumlah permintaan minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t
(ton)
HMKDt = Harga riil minyak goreng kelapa sebagai substitusi minyak goreng
sawit pada tahun ke-t (Rp/kg)
ICPKt = Pendapatan per kapita Indonesia pada tahun ke-t (Rp/kap)
QDMGt-1 = Lag permintaan minyak goreng sawit Indonesia (ton)
d0 = Intersep
di = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)
U4 = Kesalahan Pengganggu (error term)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan :
d2, d3 > 0 ; d1 < 0 ; 0 < d4 < 1
4.3.6 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia
Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi harga minyak goreng sawit
domestik antara lain adalah penawaran minyak goreng sawit Indonesia, harga riil
CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa, dummy krisis ekonomi dan harga
minyak goreng sawit Indonesia tahun sebelumnya, sehingga harga minyak goreng
sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :
HMGDRt = e0 + e1 QSMGt + e2 HCPOt + e3 HMKD + e4 DK + e5
HMGDRt-1 + U5 (4.7)
Dimana :
HMGDRt = Harga riil minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t (Rp/kg)
QSMGt = Penawaran minyak goreng sawit Indonesia tahun ke-t (ton)
HCPO = Harga riil CPO domestik tahun ke-t (Rp/kg )
HMGDRt-1 = Lag harga minyak goreng sawit Indonesia (Rp/kg)
e0 = Intersep
ei = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)
U5 = Kesalahan Pengganggu (error term)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan :
e2, e3, e4 > 0 ; e1 < 0 ; 0 < e5< 1
4.3.7 Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Minyak Goreng Sawit
Indonesia
Kondisi keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit
Indonesia dicapai apabila jumlah minyak goreng sawit yang ditawarkan sama
dengan jumlah minyak goreng sawit yang diminta, sehingga persamaan identitas
keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit dapat ditulis
sebagai berikut :
QSMGt = QDMGt (4.8)
4.4. Hipotesis
Mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam
penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
1. Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Diduga bahwa harga riil ekspor CPO Indonesia dan produksi CPO domestik
berpengaruh positif, sedangkan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar
Amerika, pajak ekspor CPO Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia
berpengaruh negatif.
2. Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Diduga bahwa nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, permintaan
minyak goreng sawit domestik dan pendapatan nasional Indonesia
berpengaruh positif, sedangkan harga riil minyak goreng sawit Indonesia
berpengaruh negatif.
3. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
Diduga bahwa harga riil minyak goreng sawit domestik, luas areal kelapa
sawit dan produksi CPO domestik berpengaruh positif, sedangkan dummy
krisis ekonomi Indonesia dan upah riil tenaga kerja di sektor industri
berpengaruh negatif.
4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia
Diduga bahwa harga riil minyak goreng kelapa sebagai substitusi dari minyak
goreng sawit dan pendapatan per kapita berpengaruh positif, sedangkan harga
riil minyak goreng sawit Indonesia berpengaruh negatif.
5. Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia
Diduga bahwa harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa
sebagai substitusi dari minyak goreng sawit dan dummy krisis ekonomi
Indonesia berpengaruh positif, sedangkan penawaran minyak goreng sawit
Indonesia berpengaruh negatif.
4.5 Identifikasi Model
Yang dimaksud dengan masalah identifikasi adalah apakah taksiran angka
dari parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari koefisien bentuk
tereduksi yang ditaksir (Gujarati, 1978).
Dalam teori ekonometrika, terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu
identifikasi yaitu:
1. Persamaan Underidentified
Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak
tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih
persamaan-persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified
sehingga tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada
dengan teknik ekonometrik manapun.
2. Persamaan Identified
Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal, maka persamaan
tersebut dapat diidentifikasi (Identified), dan persamaan tersebut bisa
exactlyidentified, maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect
Least square (ILS) atau metode kuadat terkecil tak langsung, sedangkan jika
persamaan overidentified, maka salah satu metode yang dapat digunakan
untuk pendugaan adalah Two-stages least square (2SLS).
Dalam tahap identifikasi, terdapat dua tahap yaitu:
1. Order Condition
Order Condition adalah suatu kondisi yang perlu dari identifikasi-identifikasi
yang bertujuan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan yang ada
dapat diidentifikasi. Langkah-langkah dalam order condition :
1) Bila (K-M) > (G-1), maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi
secara berlebih (overidentified).
2) Bila (K-M) = (G-1), maka persamaan tersebut tepat teridentifikasi
(exactlyidentified).
3) Bila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut tidak teridentifikasi.
Dimana : K = Total variabel dalam model, yaitu variabel endogen dan
eksogen.
M = Jumlah variabel eksogen yang terdapat dalam satu persamaan
tertentu dalam model.
G = Total persamaan dalam model, yaitu peubah endogen dalam
model.
2. The Rank Condition of Identifiability
The Rank Condition of Identifiability digunakan untuk mengidentifikasi
persamaan yang setelah dilakukan uji Order condition (kondisi ordo)
menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah
persamaan tersebut exactlyidentified (identifikasi tepat) atau overidentified
(terlalu diidentifikasikan).
Model persamaan simultan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari 5 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas dengan total 24 variabel di
dalam model yang terdiri dari 6 variabel endogen dan 18 variabel eksogen.
Berdasarkan rumus identifikasi model di atas, setiap persamaan yang terdapat
dalam penelitian ini termasuk dalam kategori overidentified. Hasil selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Pengujian Order Condition
Persamaan K M G K-M G-1 Identified
4.2 24 6 6 18 5 Overidentified
4.3 24 5 6 19 5 Overidentified
4.4 24 6 6 18 5 Overidentified
4.6 24 4 6 20 5 Overidentified
4.7 24 5 6 19 5 Overidentified
Hasil dari pengujian order condition menunjukkan bahwa kelima
persamaan struktural dalam model adalah overidentified, sehingga parameter-
parameter pada persamaan simultan diatas dapat diduga dengan menggunakan
metode Two-Stage Least Square (2SLS).
4.6 Model Lag yang Didistribusikan
Dalam ilmu ekonomi, ketergantungan suatu variabel Y atas variabel X
jarang bersifat seketika (Firdaus, 2004). Sangat sering, Y beraksi terhadap X
dengan suatu selang waktu. Selang waktu itu disebut lag. Ada tiga alasan utama
terjadinya lag, yaitu :
1. Alasan Psikologi
Alasan ini disebabkan oleh kekuatan kebiasaan (kelembaman). Contohnya,
orang tidak mengubah kebiasaan konsumsi mereka dengan segera mengikuti
penurunan harga atau peningkatan pendapatan, mungkin karena proses
perubahan melibatkan suatu kehilangan kegunaan (disutulity) yang segera.
2. Alasan yang bersifat teknologi
Jika harga modal dibandingkan dengan tenaga kerja relatif menurun yang
menyebabkan penggantian untuk tenaga kerja secara ilmu ekonomi
dimungkinkan. Tentu saja, penambahan modal tersebut memerlukan waktu
(persiapan).
3. Alasan kelembagaan
Misalkan kewajiban yang bersifat kontrak mungkin mencegah perusahaan
untuk beralih dari satu sumber tenaga kerja atau bahan mentah yang lain.
Untuk alasan tersebut diatas, lag menempati peranan pokok dalam ilmu
ekonomi. Hal ini tercermin dalam metodologi jangka pendek dan jangka panjang
dalam ilmu ekonomi.
Model autoregresif adalah suatu model jika dalam model regresi
memasukkan satu atau lebih nilai masa lalu (lagged) dari variabel tidak bebas
diantara variabel yang menjelaskan. Dengan asumsi dasar bahwa variabel yang
menjelaskan dalam model regresi bersifat nonstokastik, model persamaan linier
dapat dituliskan sebagai berikut :
tttt V+Χ+Υ+=Υ − 3121 βββ (4.8)
atau
tttt V+Χ+Υ−+=Υ − 311 )1( βλβ
4.7 Pengujian Model dan Hipotesis
4.7.1 Uji Kesesuaian Model
Model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesis-
hipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis secara statistik bertujuan untuk
mengetahui nyata tidaknya pengaruh variabel yang dipilih terhadap variabel-
variabel yang diteliti.
Koefisien determinasi (R2) adjusted dipergunakan untuk mengukur
keragaman endogenous variable yang dapat diterangkan oleh predetermined
variable. Semakin besar nilai R2 adjusted, maka semakin layak suatu regresi
untuk dijadikan sebagai alat peramal.
Uji simultan (Uji-F) digunakan untuk menguji secara bersama-sama
apakah peubah-peubah eksogen dapat menjelaskan variasi peubah endogen.
Mekanisme yang digunakan untuk mengkaji hipotesis tersebut adalah sebagai
berikut :
H0 = a1 = a2 = a3 = a4 = ... = ai = 0
(tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan)
H1 = a1 ≠ 0, a2 ≠ 0, a3 ≠ 0, a4≠ 0 ... , ai ≠ 0
(paling sedikit ada satu variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap
variabel endogen)
Statistik uji yang digunakan dalam uji F :
Fhitung = )/()1/(
knSSEkSSR−− (4.9)
Dimana : SSR = Jumlah kuadarat regresi
SSE = Jumlah kuadrat sisa
k = jumlah parameter
n = jumlah pengamatan (sampel)
Kemudian dilakukan pengujian dimana Fhitung dari hasil analisis
dibandingkan dengan Ftabel. Jika Fhitung > Ftabel, maka tolak H0 yang berarti minimal
ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap
keragaman variabel endogen. Sedangkan jika Fhitung < Ftabel, maka terima H0 yang
berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan
secara nyata keragaman dari variabel endogen.
4.7.2 Pengujian Hipotesis
Untuk melakukan pengujian secara statistik masing-masing peubah
eksogen yang dipilih berpengaruh nyata atau tidak berpengaruh nyata terhadap
peubah endogen, digunakan uji statistik t. Mekanisme yang digunakan dalam
menguji hipotesis masing-masing peubah penjelas adalah sebagai berikut :
Hipotesis :
H0 = Perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak berpengaruh nyata
terhadap perubahan variabel endogen.
H1 = Perubahan suatu variabel eksogen secara individu berpengaruh nyata
terhadap perubahan variabel endogen.
Statistik uji yang digunakan dalam uji t yaitu :
thitung = bi / S (bi) (4.10)
Dimana : bi = koefisien parameter dugaan
S(bi) = standar deviasi parameter dugaan
Kriteria uji : thitung < ttabel : Terima H0
thitung > ttabel : Tolak H0
Semakin banyak H0 yang ditolak, maka suatu model akan semakin baik untuk
dijadikan model pendugaan persamaan simultan.
4.7.3 Uji Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (time series) atau cross
section. Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time series yang
mengandung lagged endogenous variabel. Uji d (Durbin Watson Statistic) sering
digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi. Namun, dikarenakan
di dalam persamaan yang diamati terdapat lagged endogenous variable, maka uji
d menjadi tidak valid. Selain itu, nilai d yang dihitung akan cenderung mendekati
nilai 2 sehingga statistik d dari Durbin Watson sudah tidak valid lagi digunakan.
Oleh karena itu, digunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test,
sebagai alternatif uji autokorelasi jika uji statistik d tidak berlaku pada suatu
persamaan. Pengujian autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation
LM Test adalah sebagai berikut :
Mt = α1 + α1Xt-1 + ...+ αkXtk + ρμt-1 (4.11)
Hipotesis : H0 : ρ = 0
H1 : ρ ≠ 0
Dengan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai (n-1)R2 > X21 (α), maka tolak H0 artinya bahwa persamaan tersebut
mengandung masalah autokorelasi.
4.7.4 Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi yang penting dari pendugaan metode kuadrat terkecil
adalah varian residual bersifat homoskedastisitas atau bersifat konstan.
Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan dimana asumsi di atas tidak tercapai.
Dampak adanya heteroskedastisitas adalah tidak efisiennya proses estimasi,
sementara hasil estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias. Dengan adanya
masalah heteroskedastisitas, akan mengakibatkan hasil uji t dan F dapat menjadi
tidak berguna, selain itu pengujian hipotesis menjadi tidak valid. Oleh karena itu
dilakukan uji heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test. Langkah-
langkah pengujian adalah sebagai berikut :
Yt = β1 + β2Xt1 + β3Xt2 + e (4.12)
Et2 = α1 + α 2Xt1 + α3Xt2 + α4Xt12 + α5Xt1
2 + α6Xt1Xt2 (4.13)
Hipotesis :
H0 : α 2 = α3 = α4 = α5 = α6 = 0
H1 : minimal salah satu α1 ≠ 0
Dengan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai nR2 > X2db (α), maka tolak H0 artinya bahwa persamaan tersebut
mengandung masalah heteroskedastisitas.
4.7.5 Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term mendekati
distribusi normal. Pada software SAS 6.12, uji normalitas diaplikasikan dengan
melakukan deskriptif statistic test. Jika diperoleh nilai probabilitas Normality Test
lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka model simultan tidak
mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal.
Hipotesis :
H0 : error term terdistribusi normal
H1 : error term tidak terdistribusi normal
Penerimaan H0 menandakan error term terdistribusi normal. Jika nilai
probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka
persamaan tidak mengalami masalah normalitas.
4.7.6 Pengukuran Elastisitas
Mengukur dan menjelaskan hingga seberapa jauh reaksi perubahan
kuantitas terhadap perubahan harga dan variabel-variabel lainnya, digunakan
konsep yang disebut elastisitas (Lipsey, 1995). Secara umum nilai elastisitas
dalam jangka pendek (short run) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Esr (Yt Xt) = a * Xt/Yt (4.14)
Dimana :
Esr (Yt Xt) = elastisitas jangka pendek peubah endogen terhadap peubah-peubah
eksogen
a = koefisien dugaan dari peubah eksogen
Xt = rataan peubah-peubah eksogen
Yt = rataan peubah-peubah endogen
Kriteria uji sebagai berikut :
1. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E>1), dikatakan elastis (responsive) karena
perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan variabel
endogen lebih dari satu persen.
2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1), dikatakan inelastis (non
responsive), karena perubahan satu persen variabel eksogen akan
mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen.
3. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0), dikatakan inelastis sempurna.
4. Jika nilai elastisitas tak hingga (E= ~), dikatakan elastis sempurna.
5. Jika nilai elastisitas sama dengan satu (E=1), maka dikatakan unitary elastis.
4.7.7 Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk mengetahui apakah model cukup valid
untuk membuat suatu simulasi kebijakan sehingga dapat menganalisis sejauh
mana model tersebut dapat merefleksikan dengan baik atau mewakili dunia nyata.
Simulasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini berupa simulasi
perubahan pajak ekspor CPO Indonesia. Kriteria statistik yang sering digunakan
untuk validasi penggunaan model ekonometrika adalah Root Mean Square Error
(RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality
Cofficient (U). Kriteria-kriteria tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
RMSE =
5,0
1
2)(1
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−∑=
T
t
at
st YYT
RMSPE =
5,0
1
2
100
1
⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛×
−∑=
T
ta
t
at
st
YYY
T
Koefisien Ketidaksamaan Theil (U) =
( ) ( )5,0
1
25,0
1
2 11 ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡+⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡ ∑∑==
T
t
at
T
t
st YTYT
RMSE
Dimana : RMSE = Akar tengah kuadarat terkecil
RMSPE = Akar tengah kuadarat persen galaat
U = Koefisien ketidaksamaan Theil
stY = Nilai dugaan model
atY = Nilai aktual
T = Jumlah pengamatan dalam simulasi
Statistik RMSPE berguna untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai
peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur-alur nilai-nilai aktualnya
dalam ukuran relatif (persen). Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui
kemampuan model untuk analisis simulasi historis maupun peramalan. Semakin
kecil nilai RMSE, RMSPE, dan U maka semakin baik pendugaan model. Nilai U
berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka pendugaan model sempurna.
Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang
disimulasi, dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya semakin
kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R2, maka pendugaan
model semakin baik.
4.7.8 Simulasi Model Kebijakan
Tujuan simulasi kebijakan adalah untuk mengetahui dampak kebijakan
yang akan dilakukan terhadap peubah-peubah endogen. Skenario dalam analisis
dampak kebijakan perdagangan disektor industri CPO terhadap keseimbangan
pasar minyak goreng sawit dalam negeri adalah dengan menggunakan kebijakan
peningkatan pajak ekspor sebesar 10 persen.
4.8 Definisi Operasional
1. Minyak sawit (CPO) merupakan hasil olahan dari buah segar kelapa sawit
yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit.
2. Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia merupakan jumlah total ekspor minyak
sawit Indonesia di pasar internasional dan dinyatakan dalam satuan ton.
3. Pajak atau pungutan ekspor merupakan pajak yang dikenakan setiap tahun
terhadap produk ekspor tertentu. Produk-produk ekspor yang dikenakan
kebanyakan adalah produk perkebunan, seperti kelapa sawit, kelapa dan lain-
lain. Pajak ekspor dinyatakan dalam persen per tahun.
4. Indeks harga konsumen adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya
perubahan harga pada tingkat konsumen dari komoditi yang dikonsumsi di
suatu negara.
5. Indeks harga perdagangan besar adalah indeks yang menggambarkan besarnya
perubahan harga pada tingkat harga perdagangan besar/harga grosir dari
komoditas-komoditas yang diperdagangkan di suatu negara.
6. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika merupakan perbandingan dari
perubahan mata uang Amerika terhadap mata uang Indonesia dan telah
dideflasikan (1993=100) dengan IHK Indonesia, dinyatakan dalam satuan
Rupiah per Dollar Amerika.
7. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia merupakan jumlah/total dari
impor minyak goreng sawit dan produksi minyak goreng sawit Indonesia yang
dinyatakan dalam ton.
8. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah
konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng
sawit untuk industri pengguna minyak goreng sawit.
9. Impor minyak goreng sawit Indonesia merupakan jumlah total impor minyak
sawit yang dipasarkan di pasar dalam negeri dan dinyatakan dalam satuan ton.
10. Harga riil CPO domestik merupakan harga CPO domestik setelah dideflasi
(1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam
satuan Rupiah per kilogram.
11. Harga riil ekspor minyak sawit merupakan harga ekspor minyak sawit
Indonesia yang dideflasikan (1993=100) dengan Indeks Harga Perdagangan
Besar dan dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika per ton.
12. Harga riil minyak goreng sawit merupakan harga minyak goreng sawit
domestik setelah dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen dan
dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
13. Harga riil minyak goreng kelapa merupakan harga minyak goreng kelapa
domestik setelah dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen dan
dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
15. Upah riil tenaga kerja di sektor industri adalah upah tenaga kerja di sektor
industri yang dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia
dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per HOK.
16. Harga riil impor minyak goreng merupakan harga impor minyak goreng
setelah dideflasi (2000=100) dengan Price Index, CIF Rotterdam dan
dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika per ton.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Estimasi Parameter Model
Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan
pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik menunjukkan hasil yang
memuaskan karena sebagian besar parameter-parameter dari setiap persamaan
memberikan tanda yang sesuai dengan teori dan hipotesis. Masalah autokorelasi
dan heteroskedastisitas tidak ditemukan dalam persamaan, baik dalam penawaran
ekspor CPO Indonesia, permintaan impor dan produksi minyak goreng sawit
Indonesia maupun permintaan dan harga minyak goreng sawit Indonesia. Masalah
autokorelasi dapat dilihat pada uji autokorelasi yang menyajikan nilai Breusch-
Godfrey Serial Correlation LM Test. Nilai Breusch-Godfrey Serial Correlation
LM Test yang lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan menunjukkan tidak
terdapat masalah autokorelasi dalam persamaan (Gujarati, 2000). Masalah
heteroskedastisitas juga tidak ditemukan dalam persamaan karena nilai White
Heteroskedasticity Test lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan, begitu
juga dengan uji normalitas pada setiap persamaan. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada pembahasan di bawah ini.
5.1.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Nilai koefisien determinasi pada persamaan penawaran ekspor minyak
sawit (CPO) Indonesia bernilai 0,9940 artinya persamaan penawaran ekspor CPO
Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model
tersebut sebesar 99,40 persen dan sisanya sebesar 0,60 persen dijelaskan oleh
variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test sebesar 0,1602 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi.
Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga riil ekspor CPO, nilai
tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik, jumlah penduduk Indonesia
dan lag ekspor CPO (Tabel 5.1).
Variabel harga riil ekspor CPO Indonesia memberikan pengaruh yang
nyata pada taraf 5 persen terhadap ekspor CPO Indonesia dengan koefisien
dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan bernilai
0,0040, artinya apabila harga riil ekspor CPO meningkat sebesar 1 US$/ton maka
akan mengakibatkan peningkatan penawaran ekspor CPO sebesar 0,0040 juta ton.
Ekspor CPO Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga riil ekspor yang
diperlihatkan oleh nilai elastisitas sebesar 0,27 dalam jangka pendek, dengan
asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka
peningkatan harga riil ekspor CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan
ekspor CPO sebesar 0,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga
riil ekspor CPO tidak akan memberikan dampak perubahan yang terlalu besar
terhadap peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia.
Variabel nilai tukar riil berpengaruh nyata pada penawaran ekspor CPO
Indonesia. Tanda parameter estimasi yang diperoleh tidak sesuai dengan
parameter yang diharapkan. Secara teori ekonomi apabila terjadi depresiasi nilai
tukar rupiah terhadap Dollar Amerika, maka ekspor akan meningkat, tetapi yang
terjadi adalah sebaliknya. Pada saat terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap
Dollar Amerika ditahun 1991, jumlah ekspor CPO Indonesia justru mengalami
peningkatan sebesar 43,17 persen karena adanya kebijakan pembebasan pajak
ekspor yang dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut terus berlangsung sampai
dengan tahun 1994 dimana peningkatan volume ekspor yang cukup besar yang
mengakibatkan kurangnya pasokan minyak sawit dalam negeri membuat
pemerintah untuk menetapkan pajak ekspor CPO yang berkisar antara 40 persen
sampai dengan 50 persen. Dengan adanya kebijakan pemerintah pada industri
kelapa sawit yang berupa kebijakan tataniaga minyak sawit seperti pembebasan
ekspor, pelarangan ekspor, patokan harga ekspor dan pajak ekspor menyebabkan
jumlah CPO yang diekspor menjadi fluktuatif.
Produksi CPO domestik berpengaruh nyata pada taraf 1 persen terhadap
ekspor CPO Indonesia dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan
parameter yang diharapkan dan bernilai 1,0354, artinya jika produksi CPO
domestik meningkat sebesar 1 juta ton maka akan mengakibatkan peningkatan
penawaran ekspor CPO sebesar 1,0354 juta ton. Volume ekspor CPO Indonesia
responsif terhadap perubahan produksi CPO domestik dalam jangka pendek dan
mempunyai nilai elastisitas sebesar 1,80, dengan asumsi jika faktor-faktor lain
dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan produksi CPO sebesar 1
persen diduga akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 1,80. Hal ini
mengindikasikan bahwa peningkatan produksi CPO Indonesia sebagian besarnya
diperuntukkan bagi ekspor.
Tentunya, orientasi yang lebih dari industri CPO terhadap peluang ekspor
dapat mengganggu kestabilan industri pengolahan kelapa sawit domestik, salah
satunya industri minyak goreng. Kebijakan dari pemerintah terhadap penerapan
PE dapat dikatakan berhasil. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang
berlawanan antara ekspor CPO dan PE dengan nilai 0,026, artinya jika pemerintah
menaikkan PE CPO sebesar 1 persen, maka volume ekspor CPO Indonesia diduga
akan mengalami penurunan sebesar 0,026 juta ton. Hal ini dikarenakan dengan
adanya PE, maka penerimaan yang akan diperoleh para eksportir CPO akan
berkurang dibandingkan jika tidak diberlakukan PE CPO, sehingga mereka
mengurangi jumlah CPO yang diekspor. Pernyataan ini kembali dibuktikan
dengan perhitungan pada elastisitas PE CPO Indonesia terhadap ekspor CPO
Indonesia dalam jangka pendek yang bernilai -0.091, dengan asumsi jika faktor-
faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan PE sebesar 1
persen dalam jangka pendek diduga akan menurunkan ekspor CPO sebesar 0,091
persen.
Variabel populasi Indonesia berpengaruh negatif dan nyata terhadap
ekspor CPO Indonesia pada taraf 10 persen dan tanda yang diperoleh sesuai
dengan parameter yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan CPO sebagai
bahan baku industri minyak goreng sawit domestik akan semakin meningkat
seiring dengan semakin bertambahnya konsumsi minyak goreng sawit karena
peningkatan jumlah penduduk Indonesia.
Lag ekspor CPO Indonesia berpengaruh positif terhadap ekspor CPO
Indonesia tahun analisis dan ini telah sesuai dengan parameter yang diharapkan.
Variabel lag ini tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia tahun
analisis. Hal ini dikarenakan adanya PE CPO yang ditetapkan oleh pemerintah.
Jumlah ekspor CPO Indonesia tahun 1990 sebesar 0,8155 juta ton dan meningkat
menjadi 1,1677 juta ton ditahun 1991 karena adanya keputusan pemerintah
mengenai paket kebijakan deregulasi yang berupa pembebasan sistem tataniaga
minyak sawit dan pajak ekspor. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama,
karena pada tahun 1994 pemerintah mulai memberlakukan kembali pajak ekspor
antara 40 persen hingga 50 persen yang mengakibatkan penurunan ekspor CPO
dari sebesar 1,6312 juta ton ditahun 1994 menjadi 1,2650 juta ton ditahun 1995.
Adanya kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh pemerintah di sektor
industri CPO menyebabkan volume CPO yang diekspor menjadi fluktuatif setiap
tahunnya, sehingga lag ekspor CPO tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor
CPO Indonesia tahun analisis.
Dari hasil perhitungan elastisitas pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa
variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah variabel
produksi CPO domestik, hal ini menjadi indikasi bahwa memang ekspor CPO
akan terus meningkat setiap tahunnya dimana kondisi Indonesia yang begitu
berlimpah akan komoditas CPO. Kebijakan pengendalian ekspor yang dilakukan
pemerintah agar ditetapkan bukan untuk menghambat industri untuk melakukan
ekspor, namun sebagai instrumen agar ekspor yang terjadi tidak melupakan
kebutuhan pasokan CPO domestik.
Tabel 5.1 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)
Koefisien 7,964767 0,1945 Harga riil ekspor CPO (HXCPO)
0,003953
*0,0167
0,25
Nilai tukar riil (XRR)
0,000355
***0,1243
Pajak ekspor CPO (PE)
-0,02590
*0,0045
-0,091
Produksi CPO domestik (QCPO)
1,035426
*0,0006
1,80
Populasi Indonesia (POP)
-0,065287
**0,0767
Lag ekspor CPO (XCPO(-1))
0,060552
0,7753
R2 = 0,9940 F value = 246,59 Prob (F value) = <.0001 Sumber : Lampiran 3. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % ** Nyata pada taraf 10 % * Nyata pada taraf 5 % 5.1.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Nilai koefisien determinasi pada persamaan permintaan impor minyak
goreng sawit Indonesia bernilai 0,7145 artinya persamaan permintaan impor
minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang
terdapat dalam model tersebut sebesar 71,45 persen dan sisanya sebesar 28,55
persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-
Godfrey Serial Correlation LM Test sebesar 0,1562 lebih besar dari taraf nyata
yang digunakan yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah
autokorelasi. Permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi oleh
nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga riil impor minyak goreng,
permintaan minyak goreng domestik, pendapatan nasional dan lag impor minyak
goreng sawit Indonesia.
Nilai tukar berpengaruh positif terhadap impor minyak goreng sawit
Indonesia dan tanda yang diperoleh sesuai dengan hipotesis, dimana ketika terjadi
apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, maka jumlah yang diimpor semakin
besar. Hal ini disebabkan karena apresiasi nilai tukar yang terjadi pada suatu
negara akan menyebabkan harga-harga barang di negara lain relatif lebih murah,
sehingga mendorong bagi negara yang bersangkutan untuk melakukan impor.
Variabel nilai tukar tidak berpengaruh nyata terhadap impor minyak goreng. Hal
ini disebabkan bahwa impor minyak goreng lebih diperuntukkan bagi pemenuhan
kebutuhan dalam negeri, sehingga tidak dipengruhi oleh nilai tukar. Impor minyak
goreng sawit memang masih relatif kecil, yakni hanya sebesar 74,18 ribu ton per
tahun, namun perkembangannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Rata-
rata perkembangan impor minyak goreng periode 1990-2006 adalah sebesar
55,87 persen per tahun.
Harga riil impor minyak goreng berpengaruh negatif dan nyata pada taraf
5 persen. Parameter yang diperoleh tidak sesuai dengan hipotesis, hal ini
mengindikasikan bahwa harga riil impor minyak goreng tidak mempengaruhi
importir untuk melakukan impor minyak goreng dari negara lain. Adanya
peningkatan harga riil impor minyak goreng pada tahun 1996 sebesar 0,009
persen justru diikuti oleh impor minyak goreng yang meningkat sebesar 56,9
persen. Hal ini dikarenakan konsumsi minyak goreng sawit Indonesia yang tinggi
yaitu sebesar 14,9 kilogram per kapita per tahun.
Pernyataan di atas dibuktikan dengan hasil estimasi parameter pada
variabel permintaan minyak goreng sawit Indonesia yang berpengaruh positif dan
signifikan terhadap impor minyak goreng Indonesia pada taraf 5 persen.
Permintaan minyak goreng sawit yang semakin meningkat akan menyebabkan
impor minyak goreng juga semakin meningkat. Impor minyak goreng Indonesia
tidak responsif terhadap perubahan permintaan minyak goreng sawit Indonesia
dalam jangka pendek dan mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,0092, dengan
asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka
peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen diduga
akan meningkatkan impor minyak goreng sebesar 0,0092 persen.
Pendapatan nasional Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap
impor minyak goreng Indonesia. Tanda parameter yang diperoleh telah sesuai
dengan hipotesis sebelumnya. Impor minyak goreng Indonesia tidak responsif
terhadap perubahan pendapatan nasional Indonesia dalam jangka pendek dan
mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,0085, dengan asumsi jika faktor-faktor lain
dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan pendapatan nasional
sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng Indonesia
sebesar 0,0085 persen.
Impor minyak goreng sawit tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata
terhadap impor minyak goreng sawit pada tahun analisis. Koefisien yang
diperoleh juga bertanda negatif dan tidak sesuai dengan hipotesis. Besarnya impor
minyak goreng sawit disesuaikan dengan kebutuhan akan permintaan minyak
goreng dalam negeri, sehingga jumlah impor minyak goreng tahun sebelumnya
tidak mempengaruhi jumlah impor minyak goreng pada tahun analisis.
Jika dilihat dari nilai elastisitas pada persamaan permintaan impor minyak
goreng sawit Indonesia (Tabel 5.2), variabel yang mempunyai nilai elastisitas
yang lebih responsif adalah variabel permintaan minyak goreng domestik.
Artinya, apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahan impor minyak goreng
yang semakin lama semakin bertambah, lebih baik pemerintah membuat suatu
kebijakan untuk mengamankan pasokan minyak goreng dalam negeri baik untuk
permintaan langsung bagi masyarakat umum maupun permintaan tidak langsung
oleh industri pengguna minyak goreng sawit.
Tabel 5.2 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)
Koefisien -604938,89 0,0091 Nilai Tukar (XRR)
0,019515
0,4384
Harga Riil Impor (PIMMG)
1364,17
*0,0090
Permintaan MG (QDMG)
0,254952
*0,0082
0,0092
Pendapatan Nasional (GDP)
0,00045219
*0,0546
0,0085
Lag Impor MG (IMMG(-1))
-0,028656
0,8826
R2 = 0,7145 F value = 5,003281 Prob (F value) = 0,0014837 Sumber : Lampiran 4. Keterangan : * Nyata pada taraf 5 %
5.1.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
Nilai koefisien determinasi pada persamaan produksi minyak goreng sawit
Indonesia bernilai 0,9982 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit
Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model
tersebut sebesar 99,82 persen dan sisanya sebesar 0,18 persen dijelaskan oleh
variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test sebesar 0,2783 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi.
Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi harga riil minyak goreng
sawit domestik, luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis
ekonomi, upah riil tenaga kerja dan lag produksi minyak goreng sawit.
Harga riil minyak goreng sawit domestik berpengaruh positif terhadap
produksi minyak goreng sawit. Hal ini sesuai dengan parameter yang diharapkan,
bahwa adanya peningkatan pada harga minyak goreng sawit merupakan insentif
bagi para produsen minyak goreng untuk memproduksi lebih banyak lagi produk
keluarannya. Variabel harga minyak goreng sawit domestik tidak berpengaruh
signifikan terhadap produksi minyak goreng sawit pada taraf 15 persen, hal ini
dikarenakan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan strategis masyarakat
Indonesia, dimana penetapan harga dan kuantitasnya akan selalu mendapat
perhatian dari pemerintah, sehingga harga dan ketersediannya terjamin dan
terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya, adanya peningkatan
pada harga minyak goreng tidak berpengaruh terhadap produksi minyak goreng.
Dengan laju peningkatan luas areal kelapa sawit sekitar 3,42 juta Ha per
tahun, produksi minyak goreng sebagai industri hilir dari industri minyak sawit
juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu sebesar 11,15 persen
per tahun. Dibuktikan dari hasil estimasi pada persamaan produksi minyak goreng
bahwa luas areal kelapa sawit berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen
terhadap produksi minyak goreng sawit, hal ini sesuai dengan hipotesis dimana
adanya peningkatan luas areal kelapa sawit akan meningkatkan jumlah CPO yang
diproduksi sebagai bahan baku dari industri minyak goreng sawit, sehingga
jumlah minyak goreng yang diproduksi juga bertambah. Jika dilihat dari nilai
elastisitasnya, produksi minyak goreng tidak responsif terhadap perubahan luas
areal kelapa sawit dalam jangka pendeknya, yaitu sebesar 0,35. Dengan asumsi
jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan luas
areal kelapa sawit sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan
meningkatkan produksi minyak goreng sebesar 0,35 persen.
Kebanyakan dari produsen minyak goreng memiliki industri terpadu mulai
dari perkebunan sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak goreng, sehingga
adanya peningkatan luas areal kelapa sawit akan meningkatkan jumlah CPO yang
diproduksi dan selanjutnya akan meningkatkan jumlah produksi minyak goreng
sawit, hal ini dibuktikan dari hasil estimasi pada variabel produksi CPO domestik
yang berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen. Nilai elastisitas produksi
CPO domestik dalam jangka pendek bernilai 0,32 artinya kenaikan jumlah
produksi CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan
meningkatkan jumlah produksi minyak goreng sebesar 0,32 persen.
Dummy krisis Indonesia berpengaruh nyata terhadap produksi minyak
goreng sawit pada taraf 5 persen dengan koefisien dugaan bertanda negatif sesuai
dengan parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sekitar tahun 1997 membuat produsen minyak goreng sawit mengurangi jumlah
produksinya karena mahalnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses
produksi.
Upah riil tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap produksi minyak
goreng sawit, hal ini telah sesuai dengan hipotesis dimana adanya kenaikan dari
biaya produksi akan membuat produsen untuk mengurangi jumlah produksinya.
Variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng. Hal ini
dikarenakan industri minyak goreng sawit adalah industri yang bersifat padat
modal. Biaya-biaya produksi yang dikeluarkan lebih banyak digunakan untuk
perawatan dan perbaikan mesin-mesin dalam proses produksi, sehingga upah
tenaga kerja tidak mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil produsen
minyak goreng dalam proses produksinya.
Variabel lag produksi minyak goreng sawit berpengaruh positif dan nyata
terhadap produksi minyak goreng sawit tahun analisis. Tanda parameter yang
diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, apabila lag produksi minyak goreng
sawit meningkat, maka produksi minyak goreng sawit tahun analisis juga akan
meningkat.
Dari perhitungan nilai elastisitas pada Tabel 5.3 di bawah juga menunjukkan
bahwa apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahn kurangnya ketersediaan
minyak goreng di pasaran, lebih baik pemerintah membuat suatu kebijakan yang
mendukung adanya perluasan areal dan peningkatan produktivitas kelapa sawit,
sehingga produksi CPO domestik dapat ditingkatkan untuk industri pengolahan
CPO domestik seperti industri minyak goreng.
Tabel 5.3 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)
Koefisien -146,656801 0,8905 Harga riil minyak goreng
sawit domestik (HMGDR)
0,187798
0,2469
Luas areal kelapa sawit (LA)
685,940763 *0,0308 0,35
Produksi CPO (QCPO) 296,603047 *0,0460 0,32 Dummy krisis ekonomi
(DK)
-797,436665
*0,0335
Upah riil (UPR) -0,00932414 0,8213 Lag produksi minyak
goreng sawit (QMG(-1))
0,390933
**0,1083
R2 = 0,9982 F value = 841,222 Prob (F value) = 0,0001 Sumber : Lampiran 5. Keterangan : ** Nyata pada taraf 10 % * Nyata pada taraf 5 %
5.1.4 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia
Nilai koefisien determinasi pada persamaan permintaan minyak goreng
sawit Indonesia bernilai 0,9736 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit
Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model
tersebut sebesar 97,36 persen dan sisanya sebesar 2,64 persen dijelaskan oleh
variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test sebesar 0,8446 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi.
Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi harga riil minyak goreng
sawit domestik, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan lag
permintaan minyak goreng sawit Indonesia (Tabel 5.5).
Harga riil minyak goreng sawit domestik mempunyai koefisien dugaan
bertanda negatif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan berpengaruh nyata
pada taraf 5 persen terhadap permintaan minyak goreng sawit. Artinya, ketika ada
peningkatan harga pada komoditi minyak goreng sawit, maka masyarakat dan
industri pengguna industri minyak goreng akan mengurangi jumlah konsumsinya
atau jumlah permintaannya. Nilai elastisitas harga riil minyak goreng sawit
domestik dalam jangka pendek bernilai -0,23 artinya adanya peningkatan harga
minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan
menurunkan jumlah permintaan minyak goreng sawit sebesar 0,23 persen.
Harga riil minyak goreng kelapa mempunyai pengaruh yang nyata dengan
koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan, hal
ini dikarenakan minyak goreng kelapa merupakan substitusi dari minyak goreng
sawit. Adanya kenaikan pada harga minyak goreng kelapa menyebabkan
permintaan akan minyak goreng sawit semakin meningkat karena beralihnya
konsumsi masyarakat dan industri pengguna minyak goreng kelapa ke minyak
goreng sawit. Nilai elastisitas harga riil minyak goreng kelapa domestik dalam
jangka pendek bernilai 0,19 artinya adanya peningkatan harga minyak goreng
kelapa domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan
meningkatkan jumlah permintaan minyak goreng sawit sebesar 0,19 persen.
Variabel pendapatan per kapita Indonesia berpengaruh nyata pada taraf 5
persen terhadap permintaan minyak goreng sawit Indonesia dengan koefisien
dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Nilai elastisitas
pendapatan per kapita dalam jangka pendek bernilai 1,57. Dengan asumsi jika
faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka kenaikan pendapatan
per kapita sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan
permintaan minyak goreng sawit sebesar 1,57 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
konsumsi minyak goreng sawit semakin meningkat dengan meningkatnya
pendapatan seseorang dan jumlah penduduk Indonesia.
Variabel lag permintaan minyak goreng sawit berpengaruh signifikan
terhadap permintaan minyak goreng sawit tahun analisis. Tanda parameter yang
diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, apabila lag permintaan minyak goreng
sawit meningkat, maka permintaan minyak goreng sawit tahun analisis juga akan
meningkat. Kecenderungan konsumen yang rentan akan isu-isu yang berkembang
dan keputusan ekonomi di masa lalu akan mempengaruhi perilaku pembelian
mereka.
Nilai elastisitas dari variabel-variabel pada persamaan permintaan minyak
goreng sawit Indonesia mengindikasikan bahwa jika tidak ada usaha pemerintah
untuk mengintroduksi produk substitusi minyak goreng sawit dan peningkatan
ketersediaan minyak goreng, maka variabel-variabel tersebut dalam jangka
panjang akan memberikan respon perubahan yang cukup besar terhadap
permintaan minyak goreng sawit.
Tabel 5.4 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia
Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)
Koefisien -2070,861915 0,0332 Harga riil minyak goreng
sawit (HMGDR)
-0,137087
*0,0441
-0,17 Harga riil minyak goreng
kelapa (HMKD)
0,431732
***0,1226
0,19 Pendapatan/kap (ICPK) 0,422148 *0,0144 1,10
Lag permintaan MG (QDMG(-1))
0,689786
*0,0004
R2 = 0,9736 F value = 116,3347 Prob(F value) = 0,0001 Sumber : Lampiran 6. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % * Nyata pada taraf 5 %
5.1.5 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia
Nilai koefisien determinasi pada persamaan produksi minyak goreng sawit
Indonesia bernilai 0,5403 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit
Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model
tersebut sebesar 54,03 persen dan sisanya sebesar 45,97 persen dijelaskan oleh
variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test sebesar 0,6347 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi.
Harga riil minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi oleh penawaran minyak
goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, harga riil CPO domestik, dummy
krisis ekonomi dan lag harga minyak goreng sawit (Tabel 5.5).
Hubungan yang negatif antara harga dan penawaran minyak goreng sawit
domestik telah memenuhi logika ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ketika penawaran suatu barang meningkat maka harga dari barang tersebut akan
turun. Variabel penawaran minyak goreng tidak signifikan terhadap harga minyak
goreng sawit, hal ini disebabkan oleh karakteristik dari minyak goreng sawit itu
sendiri, dimana komoditas ini telah menjadi konsumsi pokok bagi masyarakat
maupun industri pengguna minyak goreng sawit di Indonesia dan dapat
menyebabkan keresahan sosial jika terjadi gejolak. Oleh karena itu, pemerintah
akan mengeluarkan berbagai kebijakan pengendalian jika terjadi kemelut dari sisi
ekonomi maupun ketersediaan produk tersebut, agar harga dan ketersediannya
selalu terjamin dan terjangkau.
Hubungan yang positif dan sesuai dengan hipotesis yang telah ditetapkan
juga ditunjukkan dari hasil estimasi harga riil CPO domestik terhadap harga riil
minyak goreng sawit. Ketika harga input meningkat, porsi biaya yang ditanggung
industri akan semakin besar, sehingga solusi menaikan harga keluaran merupakan
alternatif yang logis bagi para pelaku industri. Variabel harga CPO domestik ini
berpengaruh signifikan terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia. Nilai
elastisitas harga riil CPO domestik dalam jangka pendek bernilai 0,68 artinya
adanya peningkatan harga CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek
diduga akan meningkatkan harga riil minyak goreng sawit sebesar 0,68 persen.
Kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga minyak goreng lebih baik
difokuskan pada stabilisasi harga CPO domestik. Penetapan harga minimum dan
maksimum patut untuk dicoba selain PE. Harga minimum digunakan ketika harga
CPO domestik sangat rendah dibanding harga internasional dan harga maksimum
pada kondisi sebaliknya. Hal ini dilakukan agar kondisi harga CPO domestik pada
tingkat dimana industri CPO diuntungkan dan begitu juga industri pengolahan
CPO.
Harga riil minyak goreng kelapa mempunyai koefisien dugaan bertanda
positif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Variabel ini berpengaruh nyata
terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia pada taraf 10 persen. Artinya,
adanya peningkatan dalam harga minyak goreng kelapa akan mendorong para
konsumen pengguna minyak goreng kelapa untuk beralih ke minyak goreng sawit,
sehingga membuat permintaan akan minyak goreng sawit semakin meningkat dan
selanjutnya harga minyak goreng sawit juga akan mengalami kenaikan.
Dummy krisis Indonesia berpengaruh nyata terhadap harga minyak goreng
sawit pada taraf 10 persen dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan
parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun
1997 yang ditandai dengan kenaikan harga sejumlah barang-barang pokok
ternyata berpengaruh pada harga minyak goreng sawit.
Lag harga minyak goreng sawit tidak berpengaruh nyata terhadap harga
minyak goreng sawit dengan koefisien dugaan bertanda negatif yang tidak sesuai
dengan parameter yang diharapkan. Apabila lag harga minyak goreng sawit
meningkat, maka harga minyak goreng sawit tahun analisis belum tentu akan
meningkat. Hal ini disebabkan intervensi pemerintah dalam penentuan harga
minyak goreng sering berubah dari waktu ke waktu, sehingga harga minyak
goreng sawit tahun sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga minyak goreng
sawit pada tahun analisis. Intervensi pemerintah dalam penentuan harga minyak
goreng sawit ini terutama terjadi ditingkat pabrik. Pengendalian ini pada dasarnya
bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi mengingat pentingnya peranan
minyak goreng sawit dalam perekonomian. Salah satu intervensi pemerintah
dalam hal harga minyak goreng sawit adalah dengan menetapkan Harga Eceran
Tertinggi (HET) dan adanya Program Stabilisasi Harga minyak goreng (PSH).
Tabel 5.5 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia
Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)
Koefisien 4303,141 0,0100 Penawaran minyak
goreng sawit (QSMG) -0,116881 0,2192
Harga riil CPO domestik (HCPO) 2,459150 ***0,1208
0,68
Harga riil minyak goreng kelapa (HMKD) -2,417950 **0,0623
Dummy krisis ekonomi (DK) 1243,969 **0,0814
Lag harga minyak goreng sawit (HMGD(-1))
-0,049384 0,8968
R2 = 0,5403
F value = 2,350661
Prob(F value) = 0,0117162
Sumber : Lampiran 7. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % ** Nyata pada taraf 10 %
5.2 Hasil Validasi Model
Sebelum melakukan simulasi model, terlebih dahulu dilakukan validasi
model. Pada penelitian ini, validasi model menggunakan kriteria Root Mean
Square Percent Error (RMSPE) dan Ststistic U-Theil. Keakuratan model melalui
nilai statistics of fit menghasilkan nilai RMSPE lebih kecil dari 23 persen.
Artinya, nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historisnya dengan
tingkat kesalahan 23 persen pada persamaan QDMG.
Bias (UM), Reg (UR) dan Var (US) mendekati nilai idealnya yaitu nol,
sedangkan nilai Dist (UD) dan Covar (UC) juga mendekati nilai idealnya satu.
Begitu juga dengan nilai U-Theil mendekati nol, yang mengindikasikan bahwa
simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik. Hasil validasi
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit Dalam Negeri
Peubah
RMS %
Error
Kesalahan
U-Theil Bias
(UM)
Reg
(UR)
Dist
(UD)
Var
(US)
Covar
(UC)
HMGDR 15,1994 0,00 0,00 1,00 0,21 0,79 0,0939
QDMG 22,4842 0,00 0,00 1,00 0,01 0,99 0,0379
QMG 2,7877 0,00 0,01 0,99 0,01 0,99 0,1536
IMMG 5,5164 0,00 0,02 0,98 0,07 0,93 0,1030
XCPO 16,3633 0,00 0,00 1,00 0,00 1,00 0,0242
Sumber : Lampiran 9.
5.3 Perubahan Pajak Ekspor CPO Sebesar Sepuluh Persen
Tabel 5.7 di bawah ini menunjukkan hasil simulasi berdasarkan
peningkatan pajak ekspor CPO sebesar sepuluh persen. Peningkatan pajak ekspor
CPO sebesar sepuluh persen diduga akan mengakibatkan penurunan permintaan
minyak goreng sawit, impor minyak goreng sawit dan volume ekspor CPO
masing-masing sebesar 0,0017 persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta
diduga akan meningkatkan harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan
produksi minyak goreng sawit sebesar 0,1433 persen.
Adanya kebijakan kenaikkan PE sebesar sepuluh persen diduga akan
menurunkan permintaan minyak goreng sawit dan meningkatkan harga minyak
goreng sawit. Secara ekonomi, ketika harga CPO dunia meningkat akan
menimbulkan kecenderungan bagi industri CPO untuk mengekspor. Karena itu,
ketika ekspor mencapai posisi tertinggi sehingga terjadi gejolak pada harga
minyak goreng, ada dua versi yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama,
volume ekspor CPO yang terlalu tinggi berakibat pada pasokan CPO untuk
industri minyak goreng sawit menjadi berkurang. Dampak dari hal tersebut adalah
produksi minyak goreng sawit menjadi berkurang, sehingga ketersediaan minyak
goreng untuk permintaan domestik tidak tercukupi dan pada akhirnya harga dari
minyak goreng sawit ini melonjak. Kedua, naiknya harga minyak goreng sawit
adalah karena adanya kenaikan harga minyak nabati dunia termasuk CPO.
Jika dilihat dari hasil simulasi yang telah dilakukan, penjelasan versi
kedua lebih masuk akal. Adanya lonjakan harga minyak goreng sawit adalah
karena adanya kenaikkan harga minyak nabati dunia, sehingga permintaan akan
minyak goreng sawit mengalami penurunan dengan meningkatnya harga minyak
goreng sawit. Karena dari hasil simulasi, produksi minyak goreng tidak
mengalami penurunan dan justru mengalami kenaikan, sehingga hal ini
mengindikasikan bahwa tidak adanya kekurangan pasokan CPO domestik
walaupun ekspor sedang tinggi-tingginya.
Untuk ekspor CPO sendiri diduga akan mengalami penurunan ketika PE
ditingkatkan sebesar sepuluh persen. Dengan adanya peningkatan PE, para
produsen CPO akan mengurangi jumlah ekspornya karena semakin berkurangnya
penerimaan yang mereka peroleh. Ketersediaan CPO untuk industri minyak
goreng sawit akan semakin bertambah dengan adanya pengurangan ekspor CPO.
Adanya dampak multiflier dari kenaikan harga minyak goreng sawit juga akan
mengakibatkan jumlah produksi minyak goreng semakin meningkat. Dimana
harga minyak goreng yang tinggi menjadi insentif bagi para produsen minyak
goreng untuk meningkatkan jumlah outputnya.
Kenaikan PE juga akan menurunkan impor minyak goreng sawit, hal ini
dimungkinkan karena kebutuhan akan minyak goreng sawit dapat dipenuhi dari
produksi minyak goreng dalam negeri.
Dari hasil simulasi di atas, adanya kebijakan kenaikan PE akan
berimplikasi pada :
1. Melemahkan posisi daya saing Indonesia di pasar dunia. Hal ini ditandai
dengan hilangnya potensi pasar ekspor Indonesia ketika permintaan CPO
dunia sedang tinggi-tingginya, serta kekhawatiran akan berpindahnya pembeli
ke negara kompetitor (Malaysia).
2. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Askadarimi (2007), adanya
kebijakan kenaikan PE akan menurunkan pendapatan yang diterima oleh
petani kelapa sawit.
3. PE yang tinggi akan memicu kegitan penyelundupan. Dengan pajak ekspor
CPO yang semakin tinggi, ekspor CPO legal memang semakin berkurang,
namun ekspor CPO ilegal atau penyelundupan CPO semakin tinggi, hal ini
dikarenakan produsen CPO lebih tertarik dengan harga CPO dunia yang lebih
tinggi dibandingkan dengan harga CPO domestik, sehingga para produsen
CPO lebih memilih menjual CPO ke pasar internasional dengan cara ilegal.
Selama Januari sampai dengan Februari 2008, penyelundupan CPO ke luar
negeri melonjak drastis, Oil World memperkirakan penyelundupan CPO
mencapai 400 ribu ton, meningkat dibandingkan tahun 2007 periode Januari-
September yang hanya 660 ribu ton. Oil World mencatat, ekspor CPO
Indonesia yang terdaftar pada periode Juli-September 2006 mencapai 2,93 juta
ton dan turun menjadi 2,18 juta ton pada periode yang sama di tahun 2007,
penurunan itu terjadi akibat adanya ekspor CPO yang tidak terdaftar karena
adanya penetapan pajak ekspor yang semakin tinggi.
4. Bagi pihak industri minyak goreng, adanya PE akan memberikan sedikit
jaminan tersedianya input untuk proses pengolahan dan bagi pemerintah dapat
menjadi alternatif penerimaan bukan pajak.
5. Pemerintah diharapkan untuk lebih memfokuskan pada kebijakan
pengendalian harga minyak goreng dengan memberikan subsidi kepada
industri atas kenaikan harga CPO. Subsidi ini penting agar harga minyak
goreng dapat ditekan dengan disubsidinya biaya input oleh pemerintah.
Tabel 5.7 Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor Sebesar Sepuluh Persen
Variabel Nilai Dasar Skenario Simulasi PE naik 10 %
Predicted Mean Predicted Mean % ∆ Harga riil minyak goreng
sawit (HMGDR)
3,400
3,473 2,1470 permintaan minyak
goreng sawit (QDMG)
60,3136
60,3126 -0,0017 produksi minyak goreng
sawit (QMG)
9,773
9,787 0,1433 Impor minyak goreng
sawit (IMMG)
15,4530
15,4528 -0,0013 Ekspor minyak sawit
(XCPO)
4,3137
4,2739 -0,9226 Sumber : Lampiran 10.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap
keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri menghasilkan lima
persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan identitas
mencakup penawaran ekspor CPO Indonesia, penawaran minyak goreng
sawit Indonesia dan keseimbangan penawaran dan permintaan minyak
goreng sawit Indonesia. Sedangkan persamaan struktural terdiri dari model
faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia,
permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia, produksi minyak goreng
sawit Indonesia, permintaan minyak goreng sawit Indonesia dan harga
minyak goreng sawit Indonesia.
2. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil
ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik dan
populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh
nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Variabel yang mempunyai nilai
elastisitas yang lebih responsif adalah produksi CPO domestik, dimana
peningkatan produksi CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan
ekspor CPO sebesar 1,80 persen.
3. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari minyak goreng sawit
yang diimpor dan minyak goreng sawit produksi Indonesia. Impor minyak
goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil impor
minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng domestik dan pendapatan
nasional Indonesia, sedangkan nilai tukar riil dan lag impor minyak goreng
tidak berpengaruh nyata. Nilai elastisitas pada persamaan impor minyak
goreng semakin tidak elastis dalam jangka panjang. Variabel yang
mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah permintaan minyak
goreng domestik dengan nilai elastisitas sebesar 0,0092 dalam jangka
pendek, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris
paribus), maka peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik
sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng sebesar
0,0092 persen dalam jangka pendek.
4. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas
areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi
Indonesia dan lag produksi minyak goreng sawit. Sedangkan harga riil
minyak goreng sawit domestik dan upah riil tenaga kerja tidak berpengaruh
nyata terhadap produksi minyak goreng sawit Indonesia. Nilai elastisitas
jangka pendek dari variabel luas areal kelapa sawit sebesar 0,35. Dengan
asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka
peningkatan luas areal kelapa sawit sebesar 1 persen dalam jangka pendek
diduga akan meningkatkan produksi minyak goreng sebesar 0,35 persen.
5. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah
konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak
goreng oleh industri pengguna minyak goreng sawit. Permintaan minyak
goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak
goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan
lag permintaan minyak goreng sawit.
6. Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng
sawit domestik adalah harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng
kelapa dan dummy krisis ekonomi Indonesia. Nilai elastisitas harga riil CPO
domestik dalam jangka pendek bernilai 0,68 artinya adanya peningkatan
harga CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan
meningkatkan harga riil minyak goreng sawit sebesar 0,68 persen.
7. Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan
model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi
menunjukkan peningkatan sepuluh persen pajak ekspor CPO akan
mengakibatkan penurunan permintaan minyak goreng sawit, impor minyak
goreng sawit dan volume ekspor CPO masing-masing sebesar 0,0017
persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta diduga akan meningkatkan
harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan produksi minyak
goreng sawit sebesar 0,1433 persen.
6.2 Saran
1. Adanya kenaikkan pajak ekspor CPO justru berdampak negatif bagi para
produsen dan petani sawit karena menurunkan pangsa pasar dan daya saing
Indonesia di pasar dunia, untuk itu diperlukan adanya kebijakan alternatif
selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari
penerapan pajak ekspor. Perlu juga adanya perhatian khusus dari pemerintah
dalam hal senjang pengambilan keputusan pada penetapan pajak ekspor agar
penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO dunia yang fluktuatif.
2. Penerapan operasi pasar yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk
menjaga keseimbangan pasar minyak goreng dapat efektif jika
infrastrukturnya dipersiapkan secara baik dengan koordinasi yang baik dari
pemerintah pusat dan daerah untuk menjangkau kalangan yang benar-benar
kurang mampu.
3. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai
variabel-variabel yang lebih relevan yang berkaitan dengan harga minyak
goreng sawit domestik. Perlu juga dilakukan penelitian tentang kebijakan
pengendalian mana yang paling efisien yang dapat dipilih oleh pemerintah
dalam mengatasi masalah keseimbangan pasar dan harga minyak goreng tetapi
tidak mengorbankan potensi ekspor CPO Indonesia yang cukup menarik
ketika harga CPO dunia sedang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, I. K. 2004. Struktur Produksi dan Peranan Minyak Goreng dalam Perekonomian Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Askadarimi, I. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Indonesia [skripsi]. Program Studi Ekonomi dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 1990-2006. Harga Perdagangan Besar Sektor Industri.
Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Konsumen Indonesia. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Pedagang Besar Indonesia. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Statistik Impor Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Statistik Industri Besar dan Sedang Volume II dan III.
Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 2006. Statistik Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2006. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. 1990-2006. Statistik Ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ______. 1990-2006. Statistical Year Book of Indonesia. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ______. 1990-2006. Neraca Bahan Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Indonesia. 1990-2006. Laporan Tahunan Bank Indonesia. Bank Indonesia,
Jakarta Corinthian Indopharma Corpora. 2003. Studi tentang Pemasaran Minyak Goreng
di Indonesia. Jakarta.
Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. UI Press, Jakarta. Departemen Perindustrian. 1990-2006. Perkembangan Impor Komoditi Indonesia
Menurut KLUI 5 Digit. Departemen Perindustrian, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 2007. Road Map Kelapa Sawit.
Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Djaenudin, D. R. 2000. Analisis Pasar Minyak Goreng Domestik : Dampak
Kebijakan Pemerintah dan Kemungkinan Pemberlakuan Liberalisasi Perdagangan [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara,
Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].
Erlangga, Jakarta. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC). 2007. Indonesian Palm Oil Statistics
2006. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC), Jakarta. Jamaludin, J. 2005. Dampak Kebijakan Perdagangan Gandum-Tepung Terigu
terhadap Keseimbangan Tepung Terigu di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kindleberger, C. P. dan P. H. Lindert. 1995. Ekonomi Internasional [terjemahan].
Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : Second Edition. Harper & Row
Publishers, Inc. Barnes & Nobles Import Division, New York. Lipsey, R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta.
Mahisya, F. 2004. Analisis Permintaan Ekspor CPO Indonesia : Suatu Pendekatan Error Correction Model [skripsi]. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga, Jakarta. Margaretha, E. 2005. Dampak Liberalisasi Perdagangan Disektor Industri Tekstil
Terhadap Neraca Perdagangan Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nicholson, W. 1991. Teori Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta.
Nurdiyani, F. 2007. Analisis Permintaan dan Penawaran Industri Minyak Goreng Kelapa di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ratri, C. D. 2004. Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao
Terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia [skripsi]. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta.
Sitepu R. Karo-karo, Bonar M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika : Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sugema I, M Fadhil Hasan, Aviliani, Usman H, Sugiyono. 2007. Strategi
Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. INDEF, Jakarta. Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak
Sawit dab Hasil Industri yang Menggunakan Bahan Baku Minyak Sawit di Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumaryanto dan Marcellus, R. 1996. Sistem Agribisnis dan Peranan Minyak
Goreng dalam Perekonomian Nasional. hal. 37-88. Dalam : Amang, Beddu, Pantjar Simatupang dan Anas Rachma, (Eds.). Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia. IPB Press. Bogor.
Widayunita, P. 2007. Analisis Daya Saing Industri Semen Indonesia Periode
1978-2005 [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews.
YKPN, Jogjakarta.
L A M P I R A N
Lampiran 1. Kebijakan Pemerintah Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia
Tanggal Surat Keputusan Hal
11 Des’78 SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No.268/KP/XII/78
Pengaturan tataniaga minyak sawit untuk tujuan ekspor
16 Des’78 SK Bersama tiga menteri Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi : No. 764/Kpts/UM/12/1978 No. 252/M/SK/12/1978 No. 275/KPB/XII/78
Pengaturan tataniaga minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri dan juga untuk tujuan ekspor
11 Jan’79 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 001/Dagri/Kp/79
Pengaturan alokasi atau jatah untuk kebutuhan dalam negeri beserta harganya
23 Jan’83 SK 17/Dagri/Kp/I/83 SK 22/Dagri/Kp/I/83
Pemberlakuan lisensi dari Departemen Perdagangan untuk ekspor.
1984 SK Menteri Perdagangan No. 47/KMK/001/84
Pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenis sebesar 37.18%.
1986 Pembebasan Pajak Ekspor minyak sawit.
3 Juni’91 Paket Kebijakan Deregulasi Pembebasan sistem tataniaga kelapa sawit dan pajak ekspor CPO. Jika dibutuhkan impor diperbolehkan dengan bea masuk 5%.
1992 Paket Deregulasi Penetapan minyak goreng sawit ke dalam daftar negatif investasi, baik untuk PMA, PMDN, dan non PMA/PMDN. Investasi diizinkan jika terpadu dengan pengembangan perkebunan sawit (penyediaan bahan baku 65%). Tarif bea tambahan (20%) dihapuskan.
31 Agst’94 SK Menteri Keuangan No. 439/KMK.017/1994
Penetapan pajak ekspor CPO bervariasi 40%-50%.
4 Juli’97 SK Menteri Keuangan No. 300/KMK.01/1997
Penurunan pajak ekspor CPO dan produk turunannya dari sekitar 10%-12% menjadi 2%-5% secara ad-volerem.
17 Des’97 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 456/MPP/Kep/12/1997
Penetapan pajak ekspor tambahan (PET) untuk RBD-PO dan Olein 30% dan RBD Olein 28%.
Tanggal Surat Keputusan Hal
19 Des’97 SK Menteri Keuangan No. 622/KMK.01/1997
Penetapan alokasi/kuota 80% dari produksi untuk pasokan dalam negeri.
24 Des’97 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 420/DJPDN/XI/1997
Pelarangan ekspor.
22 April’98 SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Pengaturan pengolahan CPO, pembatalan (outstanding contract), pengaturan pembayaran minyak goreng secara cash flow.
7 Juli’98 SK Menteri Keuangan No. 334/KMK.07/1998
Kenaikan PE (CPO : 40% menjadi 60% dan RBD Olein 35% menjadi 55%). Pelarangan ekspor sawit produksi PTPN.
29 Jan’99 SK Menteri Keuangan No. 30/KMK.01/1999
Penurunan PE CPO dari 60% menjadi 40%.
3 Juni’99 SK Menteri Keuangan No. 189/KMK.017/1999
Penurunan PE CPO dari 40% menjadi 30%.
21 Juli’99 SK Menteri Keuangan No. 360/KMK.017/1999
Penurunan PE CPO dari 30% menjadi 10%.
12 Sept’00 SK Menteri Keuangan No. 387/KMK.017/2000
Penurunan PE CPO menjadi 5%.
2001 SK Menteri Keuangan No. 66/KMK.071/2001
Penurunan PE CPO menjadi 3%.
2005 SK Menteri Keuangan No. 130/KMK.010/2005
Pajak Ekspor CPO 1.5%.
10 Sept’05 Peraturan Pemerintah No. 35 Penentuan Harga Patokan Ekspor (HPE) mengacu pada harga minyak sawit dunia.
29 Mar’06 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 17/M-Dag/Per/3/2006
HPE ditetapkan setiap bulan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri.
8 Mei’06 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 21/M-Dag/Per/5/2006
HPE berlaku satu bulan mulai 10 Mei-9 Juni 2006, yaitu US $ 358/MT.
Sumber : http://www.deperin.go.id
Lampiran 2. Data Riil Penelitian
Tahun XCPO (Juta Ton)
HXCPO (US $/Ton)
QCPO (Juta Ton)
XRR (Rp/US $)
QMG (000 Ton)
IMMG (000 Ton)
1990 0,815580 303,2 2,412612 2403,18 2413 27 1991 1,167689 299,5 2,657600 2300,16 2658 39 1992 1,030272 327,4 3,266250 2276,62 3266 310 1993 1,632012 338,0 3,421449 2118 3421 158 1994 1,631203 413,4 4,008062 2018,12 4008 130 1995 1,265024 481,9 4,479670 1941,87 4480 72 1996 1,671957 474,9 4,898658 1887,02 4899 113 1997 2,967589 430,6 5,448508 4061,28 5385 100 1998 1,479278 188,2 5,930415 3249,228 5902 27 1999 3,298987 165,8 6,455590 3394,28 6250 9 2000 4,110027 134,1 7,000508 3068,68 6950 24 2001 4,903218 112,1 8,396472 3207,40 7660 20 2002 6,333708 159,0 9,622345 2505,82 9060 52 2003 6,386409 186,6 10,440834 2226,05 10110 26 2004 8,661647 176,3 12,326419 2303,44 10955 45 2005 10,376200 135,04 14,619830 2206,61 11938 51 2006 12,101000 142,08 16,000000 1785,25 12921 58
QSMG (000 Ton)
POP (Juta Jiwa)
QDMG (000 Ton)
PI (2000=100)
GDP HK’93 (Milyar Rupiah)
UPR (Rp/HOK)
LA (Ha)
2440 179,2478 1573,94 106,47 959550 27923,29 11266772697 182,9401 1476,53 75,30 1019354 27308,65 13109963576 186,0427 1701,31 94,02 1085199 26051,03 14646863579 186,5448 2013,04 128,83 1155694 26233,01 16131874138 189,6751 2202,41 98,53 1242834 26677,58 18041494552 192,7128 2383,88 141,90 1344995 28319,08 20249865012 195,5249 2569,11 152,75 1450149 29440,99 22495145485 198,6758 2699,94 164,14 1518305 30478,58 29222965929 201,5378 2830,49 146,98 1317868 21500,98 35601966259 204,7839 2880,33 154,83 1329436 18175,19 39018026974 195,1033 2842,04 156,48 1394845 18779 41580777680 201,7033 2917,74 100,00 1442985 17031,39 47134359112 202,7074 3027 69,47 1505216 16483,53 506705810136 214,3741 3169 93,76 1579559 15533,73 528355711000 217,0723 3357 103,44 1656826 15507,33 544756211989 218,8688 3546 146,12 1750656 15591,48 564172112979 222,192 4108,25 98,65 1846655 15391,61 5824566
HCPO (Rp/Kg)
HMGDR (Rp/Kg)
HMKD (Rp/Kg)
PIMMG (US$/ton)
DK ICPK (000 Rp/Kap)
IHPB (1993=100)
IHK (1993=100)
674,91 1827,74 1154,91 443,4484 0 5353,204 79,88 79,27 754,43 2112,31 1128,31 443,4497 0 5572,064 94,83 86,82 799,12 2519,06 1413,17 443,5317 0 5833,064 104,71 91,1
694 2566,62 1132,2 443,5422 0 6195,262 100 100 904,27 3118,27 1108,91 443,5048 0 6552,436 107,14 109,26 1074,14 3917,03 1205,73 443,4806 0 6979,272 122,00 118,7 908,3 3360,96 1168,29 443,5193 0 7416,697 104,02 126,39
1014,61 5478,3 1100,18 443,4743 1 7642,123 112,15 140,35 1581,69 3631,98 1700,55 443,5115 1 6539,061 360,25 249,29 1171,4 3680,59 1661,83 443,4977 1 6491,897 264,12 254,31 867,31 3418,54 1284,39 443,5 1 7149,264 231,21 278,1 631,92 3078,23 1045,43 443,4981 1 7153,998 246,23 324,25 796,03 3520,66 1186 443,5161 1 7425,56 244,67 356,77 867,8 3694,08 1232,23 443,4867 1 7368,236 239,61 380,27 910,47 3779,05 1291,34 443,5383 1 7632,6 259,72 403,31 895,3 3422,92 1025,3 443,5013 1 7998,655 268,07 445,48 921,2 3091,333 1029,93 443,6543 1 8311,078 280,12 503,85
Sumber : BPS, Deptan, Deperin dan Depdag 1990-2006, diolah. Keterangan : XCPO : Ekspor CPO IMMG : Impor minyak goreng HXCPO : Harga riil Ekspor CPO QSMG : Penawaran minyak goreng QCPO : Produksi CPO POP : Populasi XRR : Nilai tukar QDMG : PermintaanMinyakgoreng QMG : Produksi minyak goreng PI : Price index, CIF Rotterdam GDP : Pendapatan nasional HMGDR : Harga riil minyak goreng sawit ICPK : Pendapatan/kap UPR : Upah riil HMKD : Harga riil minyak goreng kelapa LA : Luas areal kelapa sawit PIMMG : Harga riil impor minyak goreng HCPO : Harga riil CPO domestic DK : Dummy krisis ekonomi
Lampiran 3. Hasil Estimasi Parameter pada Penawaran Ekspor CPO Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12
22:20 Monday, July 14, 1997 1
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: SEXPORT Dependent variable: XCPO
Analysis of Variance
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 6 186.14818 31.02470 246.588 0.0001 Error 9 1.13234 0.12582 C Total 15 187.28052
Root MSE 0.35471 R-Square 0.9940 Dep Mean 4.31351 Adj R-SQ 0.9899 C.V. 8.22313
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob >
|T|
INTERCEP 1 7.964767 5.681348 1.402 0.1945 HXCPO 1 0.003953 0.001348 2.932 0.0167 XRR 1 0.000355 0.000209 1.695 0.1243 PE 1 -0.025899 0.006892 -3.758 0.0045 QCPO 1 1.035426 0.200860 5.155 0.0006 POP 1 -0.065287 0.032666 -1.999 0.0767 LAGXCPO 1 0.060552 0.205803 0.294 0.7753
Lampiran 4. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12
22:20 Monday, July 14, 1997 2
The SAS System
SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: DIMPORT
Dependent variable: IMMG
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 5 61037.43780 12207.48756 5.003281 0.0014837 Error 10 24384.31252 2438.43125 C Total 15 85421.75000
Root MSE 49.38047 R-Square 0.7145 Dep Mean 77.12500 Adj R-SQ 0.5718 C.V. 64.02655
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob>|T|
INTERCEP 1 -604938.89 187432.000000 -3.228 0.0091 XRR 1 0.019515 0.024180 0.807 0.4384 PIMMG 1 1364.166822 422.564790 3.228 0.0090 QDMG 1 0.254952 0.077568 3.287 0.0082 GDP 1 0.00045219 0.000208 2.176 0.0546 LAGIMMG 1 -0.028656 0.189214 -0.151 0.8826
Lampiran 5. Hasil Estimasi Parameter pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12
22:20 Monday, July 14, 1997 3
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: PRODUCE Dependent variable: QMG
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 6 158567696.78 26427949.463 841.222 0.0001 Error 9 282745.16000 31416.12889 C Total 15 158850441.94
Root MSE 177.24596 R-Square 0.9982 Dep Mean 6866.43750 Adj R-SQ 0.9970 C.V. 2.58134
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP 1 -146.656801 1035.451907 -0.142 0.8905 HMGDR 1 0.187798 0.151634 1.238 0.2469 LA 1 685.940763 268.212579 2.557 0.0308 QCPO 1 296.603047 128.208859 2.313 0.0460 DK 1 -797.436665 318.191885 -2.506 0.0335 UPR 1 -0.00932414 0.040087 -0.233 0.8213 LAGQMG 1 0.390933 0.219313 1.783 0.1083
Lampiran 6. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12
22:20 Monday, July 14, 1997 4
The SAS System
SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: DMINYAK
Dependent variable: QDMG
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 4 6729156.0607 1682289.0152 116.3347 0.0001 Error 11 159068.49156 14460.77196 C Total 15 6888224.5522
Root MSE 120.25295 R-Square 0.9736 Dep Mean 2732.75438 Adj R-SQ 0.9685 C.V. 4.40043
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0:
Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|
INTERCEP 1 -2070.861915 850.842772 -2.434 0.0332 HMGDR 1 -0.137087 0.060333 -2.272 0.0441 HMKD 1 0.431732 0.258135 1.673 0.1226 ICPK 1 0.422148 0.145392 2.904 0.0144 LAGQDMG 1 0.689786 0.139807 4.934 0.0004
Lampiran 7. Hasil Estimasi Parameter pada Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12
22:20 Monday, July 14, 1997 5
The SAS System
SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: HARGA
Dependent variable: HMGDR
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 5 4524042.8236 904808.56472 2.350661 0.0117162 Error 10 3849167.2726 384916.72726 C Total 15 8373210.0963
Root MSE 620.41658 R-Square 0.5403 Dep Mean 3399.37081 Adj R-SQ 0.3104 C.V. 18.25092
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0:
Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob>|T|
INTERCEP 1 4303.141208 1358.443115 3.168 0.0100 QSMG 1 -0.116881 0.089164 -1.311 0.2192 HCPO 1 2.459150 1.450211 1.696 0.1208 HMKD 1 -2.417950 1.248058 -1.937 0.0623 DK 1 1243.968554 593.057321 2.098 0.0814 LAGHMGDR 1 -0.049384 0.371212 -0.133 0.8968
Lampiran 8. Hasil Uji Autokorelasi, Heteroskedastisitas dan Normalitas pada Masing-masing dengan Menggunakan Program SAS 6.12
The SAS System
MODEL Procedure 2SLS Estimation
Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors
DF DF Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq
XCPO 7 9 1.13234 0.12582 0.35471 0.9940 0.9899
Heteroscedasticity Test
Equation Test Statistic DF Prob Variables
XCPO White's Test 16.00 15 0.3821 Cross of all vars Breusch-Pagan 5.30 6 0.5063 1, HXCPO, XRR, PE,
QCPO, POP, LAGXCPO
Autocorrelation Test
Equation Lag Statistic Value Prob
XCPO 1 Godfrey's AR 1.973 0.1602 2 Godfrey's AR 3.744 0.1538
3 Godfrey's AR 4.149 0.2458
Normality Test
Equation Test Statistic Value Prob XCPO Shapiro-Wilk W 0.960 0.6395 System Mardia Skewness 0.056 0.8129 Mardia Kurtosis -0.950 0.3431 Henze-Zirkler T 0.240 0.8102
22:20 Monday, July 14, 1997 14
The SAS System
MODEL Procedure 2SLS Estimation
Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors
DF DF Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq
IMMG 5 11 119558 10868.9 104.25412 0.9396 0.9086
Heteroscedasticity Test Equation Test Statistic DF Prob Variables
IMMG White's Test 16.00 15 0.3821 Cross of all vars Breusch-Pagan 5.77 4 0.2169 1, XRR, PIMMG, GDP,
LAGIMMG
Autocorrelation Test
Equation Lag Statistic Value Prob IMMG 1 Godfrey's AR 11.04 0.7145 2 Godfrey's AR 11.81 0.6125 3 Godfrey's AR 12.16 0.5679
Normality Test
Equation Test Statistic Value Prob IMMG Shapiro-Wilk W 0.864 0.2107 System Mardia Skewness 4.922 0.2065
Mardia Kurtosis 0.625 0.5317 Henze-Zirkler T 2.101 0.3257
22:20 Monday, July 14, 1997 19
The SAS System
MODEL Procedure 2SLS Estimation
Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors
DF DF Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq
QMG 6 10 285339 28533.9 168.91972 0.9982 0.9973
Heteroscedasticity Test
Equation Test Statistic DF Prob Variables QMG White's Test 16.00 15 0.3821 Cross of all vars
Breusch-Pagan 7.63 5 0.1779 1, LA, QCPO, DK, UPR, LAGQMG
Autocorrelation Test
Equation Lag Statistic Value Prob QMG 1 Godfrey's AR 1.175 0.2783 2 Godfrey's AR 2.235 0.3271 3 Godfrey's AR 7.540 0.0565
Normality Test
Equation Test Statistic Value Prob QMG Shapiro-Wilk W 0.971 0.8178 System Mardia Skewness 0.077 0.7812 Mardia Kurtosis -0.350 0.7258 Henze-Zirkler T -2.540 0.0112
22:20 Monday, July 14, 1997 24
The SAS System
MODEL Procedure 2SLS Estimation
Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors
DF DF Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq QDMG 4 12 1357898 113158.2 336.38989 0.8029 0.7536
Heteroscedasticity Test Equation Test Statistic DF Prob Variables QDMG White's Test 16.00 14 0.3134 Cross of all vars Breusch-Pagan 4.60 3 0.2037 1, HMKD, ICPK, LAGQDMG
Autocorrelation Test
Equation Lag Statistic Value Prob QDMG 1 Godfrey's AR 0.038 0.8446 2 Godfrey's AR 0.713 0.7001 3 Godfrey's AR 4.736 0.1922
Normality Test
Equation Test Statistic Value Prob QDMG Shapiro-Wilk W 0.845 0.2110 System Mardia Skewness 3.302 0.5692
Mardia Kurtosis 2.339 0.3193 Henze-Zirkler T 2.133 0.2329
22:20 Monday, July 14, 1997 29
The SAS System
MODEL Procedure 2SLS Estimation
Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors
DF DF
Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq HMGDR 5 11 4511723 410156.6 640.43471 0.4612 0.2652
Heteroscedasticity Test Equation Test Statistic DF Prob Variables HMGDR White's Test 16.00 15 0.3821 Cross of all vars Breusch-Pagan 8.55 4 0.0733 1, HCPO, HMKD, DK,
LAGHMGDR
Autocorrelation Test
Equation Lag Statistic Value Prob HMGDR 1 Godfrey's AR 0.123 0.6347
2 Godfrey's AR 0.244 0.8852 3 Godfrey's AR 1.628 0.6531
Normality Test
Equation Test Statistic Value Prob HMGDR Shapiro-Wilk W 0.945 0.4011 System Mardia Skewness 0.804 0.3698
Mardia Kurtosis 0.555 0.5787 Henze-Zirkler T 0.211 0.8328
Lampiran 9. Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan dengan Menggunakan Program SAS 6.12
15:28 Wednesday, July 9, 1997 137
The SAS System
SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Solution Summary
Dataset Option Dataset DATA= WIDA
Variables Solved 5
Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.0033E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 16 Average Iterations 1
Observations Processed
Read 17 Solved 16 Failed 1
Variables Solved For: HMGDR QDMG QMG IMMG XCPO
15:28 Wednesday, July 9, 1997 138
The SAS System
SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variable Nobs N Mean Std Mean Std
HMGDR 16 16 3399 747.1372 3.400 6.487942 QDMG 16 16 2733 677.6540 60.3136 98.158 QMG 16 16 6866 3254 9.787 48.64 IMMG 16 16 77.1250 75.4638 15.4530 25.155 XCPO 16 16 4.3135 3.5335 4.3137 3.5227
Statistics of Fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs % RMS RMS % Variable N Error Error Error Error Error Error R-Square
HMGDR 16 0.4334 0.8671 305.4141 9.08035 358.8133 15.1994 0.7540 QDMG 16 600403 22546 600403 22546 607782 22.4842 0.858039 QMG 16 2906 41.0446 2906 41.04459 3306 2.7877 0.1009 IMMG 16 154453 418187 154453 418187 156367 5.5164 0.4579739 XCPO 16 0.000173 0.5109 0.2330 11.05769 0.2660 16.3633 0.9940
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions Inequality Coef
Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
HMGDR 16 128747 0.000 0.000 0.000 1.000 0.21 0.79 0.1032 0.0939 QDMG 16 3.69398E11 0.956 0.000 0.000 1.000 0.01 0.99 21.2600 0.0379 QMG 16 10930387 0.998 0.000 0.01 0.99 0.01 0.99 0.4376 0.1536 IMMG 16 2.44506E10 -.436 0.000 0.02 0.98 0.07 0.93 14.71824 0.1030 XCPO 16 0.07077 0.997 0.000 0.000 1.000 0.00 1.00 0.0483 0.0242
Lampiran 10. Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor sebesar 10 Persen dengan Menggunakan Program SAS 6.12
15:28 Wednesday, July 9, 1997 118
The SAS System
SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variable Nobs N Mean Std Mean Std
HMGDR 16 16 3399.0000 747.1372 3.4730 7.063563 QDMG 16 16 2733.0000 677.6540 60.3126 98.159000 QMG 16 16 6866.0000 3254.0000 9.7870 48.580000 IMMG 16 16 77.1250 75.4638 15.4528 25.156000 XCPO 16 16 4.3135 3.5335 4.2739 3.547900
top related