EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SAMBANG COLOK (Aerva … · 2015-09-02 · FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013. ... pada pengamatan 24, 48, ... Nyamuk membutuhkan
Post on 23-Mar-2019
231 Views
Preview:
Transcript
EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SAMBANG COLOK (Aerva
sanguinolenta) SEBAGAI LARVASIDA
NYAMUK Aedes aegypti DAN Culex quinquefasciatus
MOH. JAMALUDDIN ASSIDIQI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Efektivitas Ekstrak
Daun Sambang Colok (Aerva sanguinolenta) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes
aegypti dan Culex quinquefasciatus” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 03 Mei 2013
Moh. Jamaluddin Assidiqi
NIM B04080146
ABSTRAK
MOH. JAMALUDDIN ASSIDIQI. Efektivitas Ekstrak Daun Sambang
Colok (Aerva sanguinolenta) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes aegypti dan Culex
quinquefasciatus. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan
SUPRIYONO.
Pengendalian nyamuk perlu diperhatikan karena perannya sebagai vektor
berbagai penyakit. Usaha pengendalian populasi nyamuk saat ini lebih banyak
menggunakan insektisida sintetik. Pengendalian menjadi sulit karena adanya
resistensi terhadap insektisida sintetik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
efektivitas ekstrak daun sambang colok (Aerva sanguinolenta) sebagai larvasida
terhadap larva instar ketiga nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus.
Penelitian dilakukan dari bulan April sampai Juli 2011 dan dilakukan dalam dua
tahap. Tahap pertama adalah ekstraksi dan uji fitokimia dan tahap kedua adalah
pengujian ekstrak terhadap larva nyamuk. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
kematian larva Ae. aegypti sebanyak 91,7% dan pada larva Cx. quinquefasciatus
sebanyak 96,7% pada konsentrasi 1000 ppm setelah 24 jam paparan. Mortalitas
larva meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak serta durasi paparan.
Nilai LC50 masing-masing dari Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus adalah
494,47 ppm dan 243.33 ppm. Ekstrak daun sambang colok terbukti berpotensi
sebagai larvasida nyamuk.
Kata kunci: Aedes aegypti, Aerva sanguinolenta, Culex quinquefasciatus,
Larvasida
ABSTRACT
MOH. JAMALUDDIN ASSIDIQI. Effectiveness of Sambang Colok
(Aerva Sanguinolenta) Leaf Extract as Mosquito Larvicide Againts Aedes aegypt
and Culex quinquefasciatus. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and
SUPRIYONO.
Control of mosquito vectors need to be considered because it's role as
vector of various diseases. Control efforts to reduce mosquito population more
using synthetic insecticides at this time. The controling has become difficult
because of resistance to synthetic insecticides. This research was aim to
determine the effectiveness of sambang colok (Aerva sanguinolenta) leaf extract
as mosquito larvicide against third instar larvae of Aedes aegypti and Culex
quinquefasciatus. The study was conducted from April to July 2011 and
performed in two stages. First stage was the extraction and phytochemical test
and second stage was effication test of those extract againts larvae. The result
showed that both of 91.7% Ae. aegypti larvae and 96.7% Cx. quinquefasciatus
died at 1000 ppm after 24 hours exposure. Mortality of larvae increased with
increasing the extract concentration and duration of exposure. The value of LC50
respectively from Ae. aegypti and Cx. quinquefasciatus were 494.47 ppm and
243.33 ppm. Sambang colok leaf extract was potential as a mosquito larvicide.
Keywords: Aedes aegypti, Aerva sanguinolenta, Culex quinquefasciatus,
Larvicide
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SAMBANG COLOK
(Aerva sanguinolenta) SEBAGAI LARVASIDA
NYAMUK Aedes aegypti DAN Culex quinquefasciatus
MOH. JAMALUDDIN ASSIDIQI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Efektivitas Ekstrak Daun Sambang Colok (Aerva sanguinolenta)
sebagai Larvasida Nyamuk Aedes aegypti dan Culex
quinquefasciatus
Nama : Moh. Jamaluddin Assidiqi
NIM : B04080146
Disetujui oleh
Dr. drh. Hj. Upik Kesumawati Hadi, MS
Ketua
drh. Supriyono
Anggota
Diketahui oleh
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D., APVet.
Wakil Dekan FKH IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini ialah
insektisida hayati, dengan judul Efektivitas Ekstrak Daun Sambang Colok (Aerva
sanguinolenta) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes aegypti dan Culex
quinquefasciatus.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Hj. Upik Kesumawati
Hadi, MS dan Bapak drh. Supriyono selaku pembimbing yang telah banyak
memberi masukan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada seluruh staf Laboratorium Entomologi IPB yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda,
Ibunda, Adikku dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Serta
teman-teman Avenzoar FKH45, CSS MORA 45, PPM Al-Inayah serta patner
kerja PKM yakni Rofindra dan Mirsageri.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 3 Mei 2013
Moh, Jamaluddin Assidiqi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Sambang Colok 2
Nyamuk Aedes aegypti 4
Nyamuk Culex quinquefasciatus 6
Siklus Hidup Nyamuk 8
Pengendalian Nyamuk 9
Insektisida Nabati 10
METODE 10
Waktu dan Tempat 10
Persiapan Daun Sambang Colok 11
Ekstraksi 11
Uji Fitokimia (metode Harborne) 11
Persiapan Larva Nyamuk 12
Uji Efektivitas Larvasida 12
Analisis Data 13
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Hasil 13
Pembahasan 16
SIMPULAN DAN SARAN 19
Simpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 23
DAFTAR TABEL
1 Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak etanol 70% daun sambang colok 14 2 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti pada pengamatan 24, 48, dan 72
jam setelah pemaparan dengan ekstrak daun sambang colok 14 3 Persentase mortalitas larva Cx. quinquefasciatus pada pengamatan 24,
48, dan 72 jam setelah pemaparan dengan ekstrak daun sambang colok 15
4 Persentase mortalitas larva Ae. Aegypti dan Cx. quinquefasciatus serta
nilai LC50 pada pengamatan 24 jam setelah pemaparan 16
DAFTAR GAMBAR
1 Tanaman sambang colok 3
2 Nyamuk Ae. aegypti 5
3 Nyamuk Cx. quinquefasciatus 7 4 Siklus hidup nyamuk 9
5 Nilai LC50 dan LC90 ekstrak daun sambang colok terhadap larva Ae.
aegypti pada pengamatan 24, 48, dan 72 setelah pemaparan 14
6 Nilai LC50 dan LC90 ekstrak daun sambang colok terhadap larva Cx.
quinquefasciatus pada pengamatan 24, 48, dan 72 setelah pemaparan 15
7 Sampel Tanaman sambang colok yang akan diuji 29
8 Sampel tanaman yang telah disortir 29
9 Oven untuk pengeringan dengan suhu 50 oC 29
10 Uji fitokimia: serbuk kering tanaman sambang colok (atas), uji alkaloid
(bawah kiri), uji saponin (bawah kanan) 29
11 Kandang pemeliharaan nyamuk dewasa 30
12 Nampan pemeliharaan larva nyamuk 30
13 Ekstrak daun sambang colok 30
14 Uji larvasida nyamuk Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus 30
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0,05) persentase
kematian larva Ae. aegypti pada paparan 24 jam 23 2 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0,05) persentase
kematian larva Ae. aegypti pada paparan 48 jam 24 3 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0,05) persentase
kematian larva Ae. aegypti pada paparan 72 jam 25
4 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0,05) persentase
kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 24 jam 26
5 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0,05)
persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 48 jam 27
6 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0,05) persentase
kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 72 jam 28
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nyamuk merupakan serangga yang erat kaitannya dengan masalah
kesehatan manusia. Nyamuk membutuhkan darah untuk kebutuhan protein dalam
proses pematangan telurnya. Perilaku inilah yang meningkatkan potensi nyamuk
sebagai vektor penyakit. Spesies nyamuk yang sering dijumpai di sekitar
permukiman manusia adalah Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus.
Pengendalian serangga ini perlu diperhatikan karena peran nyamuk sebagai vektor
berbagai penyakit.
Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor penyakit demam berdarah dengue
(DBD) dan chikungunya. Penyakit ini mempunyai angka kejadian yang cenderung
meningkat di daerah tropis dan subtropis. Ditjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen Kesehatan melaporkan pada tahun
2010, jumlah kematian akibat DBD adalah sebanyak 1.317 dari total penderita
sebanyak 149.423 orang. Jumlah ini meningkat dibandingkan periode tahun 2009
yaitu 953 orang meninggal dari 117.830 kasus. Kondisi ini membuat Indonesia
berada dalam urutan tertinggi kasus DBD di ASEAN. Kasus chikungunya di
Indonesia relatif menurun pada tahun 2009 sebanyak 71.318 menjadi 53.899
kasus pada tahun 2010.
Nyamuk Cx. quinquefasciatus berperan sebagai vektor filariasis (kaki gajah)
dan Japanese enchepalitis (JE). Filariasis merupakan penyakit infeksius pada
manusia yang disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan
Brugia timori. Filariasis dapat menyebabkan kecacatan, stigma, psikososial, dan
penurunan produktivitas penderita serta lingkungannya. Data yang diperoleh dari
Dirjen P2PL menunjukkan bahwa kasus filariasis meningkat dari 11.699 pada
tahun 2009 menjadi 11.914 pada tahun 2010. Kasus JE di Indonesia yang
dikonfirmasi positif pada tahun 2005 sebanyak 67 kasus (PATH 2006). Nyamuk
Culex sp. juga berperan menularkan cacing jantung pada anjing (Dirofilaria
immitis) (Hadi & Koesharto 2006).
Upaya pengendalian populasi nyamuk saat ini lebih banyak menggunakan
insektisida sintetik. Efek dari penggunaan insektisida sintetik adalah toksik
terhadap serangga bukan sasaran, hewan lain, dan manusia. Usaha untuk
mengendalikan serangga ini menjadi sulit karena adanya resistensi terhadap
berbagai insektisida sintetik.
Penggunaan bahan alami dari tanaman (insektisida nabati) merupakan cara
alternatif dalam upaya pengendalian nyamuk. Insektisida nabati mudah terurai
(biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan. Kelebihan
insektisida nabati dibandingkan dengan insektisida sintetik adalah komponen
senyawanya yang lebih kompleks. Ekstrak suatu tanaman terdapat zat aktif utama
dan zat lain yang dapat meningkatkan efektivitas ekstrak secara keseluruhan
(sinergi). Hal ini memungkinkan serangga tidak mudah menjadi resisten.
Kemampuan serangga membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa
yang berbeda secara bersamaan lebih kecil daripada senyawa insektisida tunggal.
Tanaman yang berpotensi sebagai larvasida adalah sambang colok (Aerva
sanguinolenta). Tanaman sambang colok mempunyai zat aktif seperti saponin,
2
polifenol, flavonoid, dan minyak atsiri (Hariana 2008). Ketersediaan tanaman
sambang colok sangat melimpah karena masyarakat banyak menggunakannya
sebagai tanaman pagar. Penggunaan larvasida nabati yang alami dan murah
diharapkan menjadi alternatif bagi masyarakat dalam upaya mengurangi
penggunaan bahan kimia sintetik.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas ekstrak daun
sambang colok (Aerva sanguinolenta) sebagai larvasida terhadap nyamuk Ae.
aegypti dan Cx. quinquefasciatus
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui potensi ekstrak daun sambang
colok (Aerva sanguinolenta) sebagai alternatif dalam mengurangi penggunaan
insektisida sintetik dalam pegendalian nyamuk. Penelitian ini juga bermanfaat
sebagai landasan dalam eksplorasi senyawa aktif dari tanaman sambang colok.
TINJAUAN PUSTAKA
Sambang Colok
Deskripsi Sambang Colok
Tanaman sambang colok (Aerva sanguinolenta) termasuk dalam suku
Amaranthaceae, marga Aerva, dan jenis Aerva sanguinolenta. Nama umum
tanaman ini adalah sambang colok (Jawa), ki sambang (Sunda) atau rebha et
raedhan (Madura). Tanaman ini merupakan tanaman herba dengan tinggi 0,5-2
m. Batang tanaman ini berkayu, bulat, bercabang, beruas, dan berwarna merah
keunguan. Tipe daun adalah tunggal, berbentuk bulat, ujung terbelah, tepi rata,
dan mempunyai pangkal meruncing. Warna daun sambang colok adalah merah
keunguan dengan panjang daun sekitar 5-10 cm, lebar 4-9 cm, dan tangkai daun 1-
6 cm. Tipe bunga adalah majemuk berbentuk mangkok di ketiak daun dengan
panjang 0,75-10 cm. Bunga tanaman ini berkelamin dua. Mahkota bunga
berjumlah lima dengan panjang ± 2 mm, berbulu halus, dan berwarna putih. Buah
sambang colok berbentuk pipih hitam dan akar tunggang berwarna merah
keunguan (Hariana 2008).
3
Gambar 1 Tanaman sambang colok
(Sumber: pribadi)
Kandungan Senyawa Sambang Colok
Tanaman sambang colok kaya akan kandungan kimia aktif seperti saponin,
polifenol, flavonoid, dan minyak atsiri (Hariana 2008). Saponin adalah glikosida
metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam. Senyawa ini terdiri dari gugus
gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Senyawa ini bersifat racun
bagi binatang berdarah dingin. Oleh karena itu saponin dapat digunakan untuk
pembasmi hama tertentu. Sifat-sifat saponin yaitu berasa pahit, berbusa dalam air,
dan mempunyai sifat detergen yang baik. Saponin juga mempunyai aktivitas
hemolisis sel darah merah dan mempunyai efek diuretika. Senyawa ini beracun
bagi binatang berdarah dingin tetapi tidak beracun bagi binatang berdarah panas
(Harborne 2006). Saponin juga dapat meningkatkan resorbsi berbagai zat oleh
aktivitas permukaan. Senyawa ini merupakan emulgator partikel tidak terlarut
menjadi tersebar dan terbagi halus dalam larutan. Keracunan akibat senyawa ini
pada hewan berdarah dingin disebabkan terjadi kerusakan pada alat pernapasan
(Sirait 2007).
Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tanaman. Zat
ini memiliki ciri khas yaitu banyak gugus fenol dalam molekulnya. Polifenol
berperan dalam memberi warna pada suatu tanaman seperti warna daun saat
musim gugur. Beberapa golongan senyawa polifenol adalah lignin, melanin,
kuinon, dan tanin. Golongan terbesar polifenol adalah golongan senyawa
flavonoid (Harborne 2006). Senyawa flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari
15 atom karbon. Senyawa ini terdapat pada seluruh bagian tanaman. Lebih dari
2000 senyawa flavonoid telah diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang
umum dipelajari, yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Antosianin adalah pigmen
berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah dan biru, sedangkan
4
flavonol dan flavon terdapat di bunga berwarna sianik (kuning) maupun non
sianik. Flavonoid sering terdapat di sel epidermis, sebagian besar flavonoid
terhimpun di vakuola sel tanaman walaupun tempat sintesisnya ada di luar
vakuola (Harborne 2006; Sirait 2007).
Minyak essensial yang mewakili bau dari tanaman asalnya disebut minyak
atsiri. Minyak atsiri secara kimiawi bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi
tersusun dari berbagai macam komponen. Golongan senyawa utama minyak atsiri
terdiri dari golongan terpenoid dan fenil propana. Sebagian besar minyak atsiri
merupakan fraksi menguap pada proses destilasi. Adapun sifat minyak atsiri
adalah memiliki bau khas, memiliki rasa getir, dan berasa tajam. Efek minyak ini
memberi rasa hangat sampai panas atau dingin ketika di kulit tergantung dari jenis
komponen penyusunnya. Minyak atsiri bersifat tidak bisa disabunkan dengan
alkali dan tidak berubah menjadi bau tengik. Hal ini berbeda dengan minyak
lemak yang sangat mudah larut dalam pelarut organik (Harborne 2006; Sirait
2007).
Tanaman sambang colok diekstraksi untuk mendapatkan senyawa aktif yang
dikandungnya. Ekstraksi adalah proses pemisahan atau penarikan suatu zat aktif
berdasarkan perbedaan kelarutan. Ekstrak adalah sediaan kental hasil proses
ekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani mengggunakan pelarut
tertentu. Semua pelarut kemudian dievaporasi sehingga diperoleh massa yang
tersisa sesuai dengan keinginan (Harborne 2006). Metode ekstraksi yang sering
dilakukan pada bahan herba adalah dengan menggunakan metode maserasi.
Harborne (2006) menjelaskan bahwa metode maserasi adalah proses
pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Remaserasi berarti
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama
dan seterusnya.
Nyamuk Aedes aegypti
Morfologi dan Bioekologi Nyamuk Ae. aegypti
Klasifikasi nyamuk Ae. aegypti adalah filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo
Diptera, dan famili Culicidae. Nyamuk ini memiliki ciri yaitu berwarna hitam
dengan garis belang putih pada toraks, abdomen, dan tungkai. Nyamuk Ae.
aegypti pada toraksnya terdapat rambut-rambut halus berwarna putih yang
membentuk lyre. Karakteristik khas ini berbentuk dua garis putih setengah bulan
(semilunar) pada pinggir toraks bagian protoraks dan mesotoraks. Garis putih ini
berakhir dengan garis lurus pada bagian akhir toraks (metatoraks). Probosis
nyamuk ini bersisik hitam dan palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih
perak. Oksiput bersisik lebar dan berwarna putih memanjang. Femur bersisik
putih pada permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik
memanjang. Tibia semuanya berwarna hitam dan pada tibia belakang berlingkar
putih pada segmen basal ke satu sampai ke empat dan segmen ke lima berwarna
putih. Sayap nyamuk ini berukuran 2,5 – 3,0 mm dan bersisik hitam
(Christophers 1960).
5
Gambar 2 Nyamuk Ae. aegypti
(Sumber: http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au)
Nyamuk Ae. aegypti berasal dari Afrika timur, kemudian menyebar ke
wilayah tropis dan sub tropis. Nyamuk ini biasa dijumpai di dalam dan di sekitar
rumah. Ae. aegypti lebih menyukai darah manusia (anthropofilik) dari pada darah
hewan (zoofilik). Hanya nyamuk betina yang mengisap darah, sedangkan nyamuk
jantan mengisap cairan atau sari bunga tumbuhan (Soegijanto 2006). Umur
nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan, sedangkan pada lingkungan
laboratorium dapat mencapai umur 2 bulan.
Nyamuk betina membutuhkan darah untuk memenuhi kebutuhan protein
dalam proses pematangan telurnya. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit
berulang (multiple bitters), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dan
dalam waktu singkat. Kebiasaan mengisap darah ini dilakukan berpindah-pindah
dari individu satu ke individu lain. Hal ini disebabkan karena nyamuk Ae. aegypti
sangat sensitif dan mudah terganggu. Perilaku inilah yang meningkatkan potensi
nyamuk sebagai vektor penyakit (Hasyimi 2004; Marisa 2007). Nyamuk perlu
istirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telur setelah kenyang mengisap
darah. Tempat istirahat yang disukai adalah tempat yang lembab serta kurang
terang seperti kamar mandi dan gantungan baju. Nyamuk Ae. aegypti
berkembang biak di tempat penampungan air bersih seperti bak mandi, tempayan,
tempat minum burung, dan barang-barang bekas yang terisi air hujan (Riyadhi
2008).
Peranan Nyamuk Ae. aegypti dalam kesehatan
Penyakit yang disebarkan oleh nyamuk Ae. aegypti diantaranya adalah
DBD dan chikungunya. Penyakit DBD sering menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB) dengan angka kematian yang tinggi (Budiyanto 2005). Pencegahan wabah
DBD dan chikungunya dilakukan karena tidak adanya obat antiviral spesifik pada
penyakit ini serta belum terdapat vaksin virus dengue dan chikungunya yang
efektif serta komersial di pasaran. Pengendalian nyamuk vektor masih menjadi
tumpuan utama dalam pencegahan dan pengendalian penyakit.
6
Penyakit DBD adalah penyakit menular yang ditandai demam mendadak,
perdarahan baik di kulit maupun di bagian tubuh lainnya serta dapat menimbulkan
shock dan kematian. Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue famili
Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus. Terdapat empat serotipe virus
yaitu dengan tipe DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus ini ditularkan ke
tubuh manusia melalui nyamuk Ae. aegypti yang terinfeksi (Hasyimi 2004;
Marisa 2007).
Chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya
(CHIKV). Virus ini termasuk virus RNA dengan genus Alphavirus dan famili
Togaviridae. Cara transmisi virus Chikungunya adalah melalui gigitan nyamuk
Aedes sp. yang terinfeksi. Rata-rata masa inkubasi penyakit Chikungunya adalah
sekitar 2-12 hari tetapi umumnya 3-7 hari. Gejala klinis yang muncul pada
penderita chikungunya adalah nyeri sendi (arthralgia) dan otot (myalgia). Keluhan
arthralgia ini ditemukan sekitar 80% pada penderita Chikungunya. Sendi yang
sering dikeluhkan adalah sendi lutut, siku, pergelangan, jari kaki, dan tangan serta
tulang belakang. Penyakit chikungunya bersifat self limiting diseases yang berarti
dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pemberian obat dan membutuhkan waktu
relatif lama (CDC 2011).
Penyakit Chikungunya ditemukan pertama kali tahun 1952 di Afrika pada
suatu tempat yang dinamakan Makonde Plateau. Tempat ini merupakan daerah
perbatasan Tanzania and Mozambique. Penyakit Chikungunya kemudian
menyebar di wilayah Uganda pada tahun 1963. Penyakit ini dilaporkan pertama
kali di Indonesia adalah di kota Samarinda pada tahun 1973, kemudian menyebar
di Kuala Tungkal, Jambi tahun 1980. Penyakit Chikungunya pada tahun 1983
merebak di wilayah Martapura, Ternate, dan Yogyakarta. Kejadian luar biasa
(KLB) Chikungunya terjadi pada awal tahun 2001 setelah menghilang hampir 20
tahun. Daerah yang pertama kali yang muncul adalah di Muara Enim, Sumatera
Selatan, dan Aceh, kemudian muncul di Bogor bulan Oktober. Demam
Chikungunya berjangkit lagi di Bekasi (Jawa Barat), Purworejo, dan Klaten (Jawa
Tengah) pada tahun 2002. Selanjutnya berkembang hingga sekarang ke berbagai
wilayah lain di Indonesia (Hadi et al. 2012).
Nyamuk Culex quinquefasciatus
Morfologi dan Bioekologi Nyamuk Cx. quinquefasciatus
Nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki tubuh berwarna emas kecokelatan.
Probosis berwarna gelap tetapi kebanyakan dilengkapi dengan sisik berwarna
lebih pucat pada bagian bawah. Skutum nyamuk ini berwarna kecoklatan dan
terdapat warna emas keperakan di sekitar sisiknya. Sayap berwarna gelap sampai
kecokelatan. Seluruh kaki berwarna gelap kecuali pada bagian persendian. Kaki
belakang nyamuk ini memiliki femur yang berwarna lebih pucat (Guimaraes et al.
2000).
7
Gambar 3 Nyamuk Cx. quinquefasciatus
(Sumber: http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au)
Cx. quinquefasciatus sering ditemukan di dalam maupun di luar ruangan.
Nyamuk betina merupakan nyamuk yang aktif pada malam hari. Spesies ini lebih
menyukai menggigit manusia setelah matahari terbenam (Tiawsirisup dan
Nithiuthai 2006). Ciri khas nyamuk ini adalah posisi istirahatnya sejajar antara
tubuh (abdomen dan toraks) dengan permukaan tumpuan.
Peranan Nyamuk Cx. quinquefasciatus dalam kesehatan
Penyakit yang disebarkan oleh nyamuk Cx. quinquefasciatus diantaranya
adalah Filariasis dan Japanese Encephalitis (JE). Filariasis atau penyakit kaki
gajah (elephantiasis) disebabkan oleh cacing dari kelompok nematoda, yaitu
Wucheraria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacing betina akan
menghasilkan larva, disebut mikrofilaria, yang akan bermigrasi kedalam sistem
peredaran darah (Depkes 2010). Cacing ini ditularkan ke tubuh manusia melalui
nyamuk Cx. quinquefasciatus yang terinfeksi.
Filariasis terjadi akibat adanya cacing dewasa yang hidup di saluran getah
bening. Cacing tersebut akan merusak saluran getah bening yang mengakibatkan
cairan getah bening tidak dapat tersalurkan dengan baik sehingga menyebabkan
pembengkakan pada tungkai dan lengan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup
selama 5–7 tahun di dalam kelenjar getah bening (Onggowaluyo 2002). Kondisi
ini dapat menyebabkan kecacatan, stigma, psikososial, dan penurunan
produktivitas penderita serta lingkungannya. Penyakit kaki gajah merupakan
penyakit yang terabaikan sebelumnya. World Health Organization (WHO) sejak
tahun 2000 mendeklarasikan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic
Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”. Indonesia berkomitmen
untuk menanggulangi filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global
(Depkes 2010).
Penyakit JE dikenali secara klinis pertama kali di Jepang pada tahun 1871.
Penyakit ini menyebar dari Jepang ke sebagian negara Asia termasuk Indonesia.
8
Kasus JE merupakan kasus endemis dan bersifat zoonosis. Penyakit ini
disebabkan oleh Japanese Encephalitis virus yang termasuk dalam famili
Flaviviridae dengan genus Flavivirus. Virus JE menyerang susunan saraf pusat
dan menyebabkan peradangan otak. Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk
(mosquito-borne viral disease) dengan perantaraan hewan lain, seperti babi
sebagai reservoar. (Sendow dan Bahri 2005; Dharma et al. 2009). Virus JE
menimbulkan penyakit akut dengan gejala klinis seperti sakit kepala, demam, dan
kejang. Virus ini merupakan agen penyebab penyakit radang saraf pusat seperti
meningitis dan ensefalitis yang parah dengan tingkat mortalitas antara 20-30%
(Ferro et al. 2003).
Keberadaan virus JE, vektor, dan hewan reservoar di berbagai wilayah
Indonesia menyebabkan perlunya kewaspadaan mewabahnya penyakit ini. Pada
tahun 1990 dilaporkan kasus JE pada seorang anak berkebangsaan Australia yang
tertular di Bali. Keberadaan penyakit JE pada manusia di Indonesia telah
dibuktikan keberadaanya berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan serologis.
Kejadian JE pada hewan hanya ditemukan berdasarkan serologis dan isolasi virus
penyebabnya. Berbagai spesies nyamuk berpotensi menularkan virus JE karena
berhasil dilakukan isolasi terhadap virus ini (Sendow dan Bahri 2005). Spesies
nyamuk di Indonesia yang berpotensi menularkan virus JE adalah Ae. aegypti, Ae.
albopictus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. fuscocephalus
(Sendow et al. 2003; Hadi et al. 2011). Kasus epidemis dan sporadis dari virus ini
banyak terjadi di daerah yang mempunyai empat iklim dan di daerah tropis di
Asia. Negara tersebut diantaranya Jepang, Thailand, Vietnam, Kamboja,
Malaysia, Myanmar, China, India, Nepal, Sri Lanka, Rusia bagian tenggara, dan
Australia (Ferro et al. 2003)
Siklus Hidup Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola) karena mengalami empat tahap dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan. Tahapan yang dialami oleh nyamuk yaitu tahap telur, larva, pupa,
dan dewasa (Gambar 3). Telur nyamuk akan menetas menjadi larva dalam waktu
1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh suhu,
tempat, keadaan air, dan kandungan zat makanan. Soegijanto (2006) menyatakan
bahwa pada kondisi optimum larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9
hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari sehingga
waktu yang dibutuhkan dari telur hingga dewasa yaitu 7-14 hari.
9
Gambar 4 Siklus hidup nyamuk
Sumber: http://www.cdc.gov
Pengendalian Nyamuk
Pengendalian nyamuk vektor dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain menggunakan bahan kimia misalnya dengan menggunakan insektisida
pembasmi larva (larvasida), pemakaian repelen maupun fogging. Pengendalian
secara biologi dapat dilakukan dengan menebar ikan pemakan jentik dan
penggunanan larva Toxorhynchites sp., sedangkan secara fisik dikenal dengan
kegiatan 3M yaitu menguras, menutup, dan mengubur. Usaha pengendalian
tersebut harus berjalan secara sinergis agar efek yang dihasilkan terlihat nyata.
Kegiatan 3M dapat berdampak lingkungan yaitu polusi tanah akibat mengubur
barang-barang bekas.
Hadi et al. (2008) menjelaskan bahwa pengendalian nyamuk saat ini telah
telah berkembang menjadi program “3M plus”. Program ini disertai dengan cara
perlindungan diri lainnya yang dapat dilakukan oleh masyarakat seperti
penggunaan anti nyamuk bakar, aerosol, repelen, dan lainnya. Metode yang umum
digunakan untuk mengendalikan nyamuk vektor adalah dengan cara membunuh
jentik-jentiknya. Penggunaan insektisida nabati relatif lebih aman digunakan dari
pada insektisida sintetik. Jenis insektisida ini mudah terurai (biodegradable) di
alam sehingga tidak mencemari lingkungan. Insektisida nabati juga lebih aman
bagi manusia, ternak, dan hewan peliharaan karena residunya mudah hilang.
Pemakaian insektisida temephos sebagai larvasida di Indonesia untuk
membunuh jentik- jentik nyamuk telah dilakukan sejak 1976 (Riyadhi 2008).
Penggunaan insektisida sejenis secara terus menerus berimplikasi menimbulkan
resistensi pada nyamuk. Penggunaan insektisida secara efektif dan bijaksana
untuk menghindari resistensi. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif insektisida
10
yang lain, sehingga penelitian terhadap jenis insektisida nabati perlu terus
dilakukan.
Insektisida Nabati
Insektisida nabati merupakan insektisida yang memiliki bahan aktif berasal
dari tumbuhan. Secara umum insektisida nabati adalah bahan-bahan alami yang
bersifat racun serta dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan serangga,
mempengaruhi tingkah laku, mempengaruhi hormon dan aktivitas lainnya yang
dapat mempengaruhi organisme pengganggu tanaman. Tahapan yang dilakukan
dalam pengembangan insektisida nabati meliputi eksplorasi, ekstraksi, fraksinasi,
isolasi, dan identifikasi (Grainge 2006).
Penggunaan racun (toksin) yang berasal dari tanaman dapat digunakan
untuk pengendalian larva nyamuk. Kandungan ekstrak tanaman terdapat senyawa
aktif utama dan beberapa senyawa lain yang kurang efektif. Keberadaannya dapat
meningkatkan efektivitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi) (Kardinan 2001).
Hal ini memungkinkan serangga tidak mudah menjadi resisten.
Cara kerja (mode of action) insektisida nabati dalam membunuh serangga
sasaran adalah dengan menghambat perkembangan telur, larva, dan pupa.
Insektisida nabati dapat mengganggu aktivitas pergantian kulit larva dan
menghambat proses metamorfosis. Cara kerja lain adalah mengganggu atau
mencegah makan serangga pada berbagai tahap dan mengusir atau menolak hama
(Saraswati 2004). Insektisida dapat masuk ke dalam tubuh serangga melalui
berbagai cara antara lain sebagai racun perut (stomach poison) yang masuk ke
dalam tubuh serangga melalui alat pencernaan serangga. Senyawa insektisida
dapat masuk melalui kulit atau dinding tubuh secara langsung sebagai racun
kontak (contact poisoining). Senyawa aktif juga dapat masuk ke dalam tubuh
serangga melalui sistem pernapasan. Banyak senyawa yang merusak sistem saraf
yang bekerja menurunkan enzim asetilkolineterase. Enzim ini bertugas
menghantarkan pesan atau impuls dari saraf otot melalui sinaps (Fradin dan Day
2002).
Prijono (2004) menyatakan bahwa larvasida juga dapat masuk ke dalam
tubuh larva nyamuk melalui kulit atau dinding tubuh dengan cara osmosis. Kulit
atau dinding tubuh larva bersifat permeable terhadap senyawa yang dilewati.
Larvasida akan masuk ke sel-sel epidermis yang selalu mengalami pembelahan
dalam proses pergantian kulit, sehingga sel-sel epidermis mengalami kelumpuhan
(paralyisis) dan akhirnya mati. Larva yang keracunan insektisida menggulung
badannya dan melakukan gerakan teleskopik yaitu gerakan turun naik dari
permukaan air dengan cepat (Saraswati 2004).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari bulan April sampai dengan
Juli 2011. Penelitian dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah ekstraksi
11
dan uji fitokimia daun sambang colok yang dilakukan di Laboratorium
Farmakologi. Tahap kedua adalah pengujian larvasida yang dilakukan di
Laboratorium Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesmavet.
Persiapan Daun Sambang Colok
Sampel yang digunakan adalah daun sambang colok. Tanaman sambang
colok diperoleh dari daerah Gunung Batu, Kota Bogor. Daun yang diperoleh
kemudian dicuci terlebih dahulu, disortir lalu dikeringkan dengan oven pada suhu
45 °C selama 2 hari dan dihaluskan menggunakan greeder.
Ekstraksi.
Serbuk daun sambang colok kering diekstraksi dengan metode maserasi
menggunakan etanol 70% hingga filtrat terakhir tidak berwarna hijau lagi. Ekstrak
kemudian disaring dan dipekatkan dengan rotavapor pada suhu 50 °C.
Uji Fitokimia (metode Harborne)
Uji Alkaloid
Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dalam 10 ml kloroform dan 4 tetes
NH4OH kemudian disaring dan filtratnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi
tertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 6 ml H2SO4 2 M
dan lapisan asamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi yang lain. Lapisan asam
ini diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Meyer, Wagner, dan
Dragendorf yang akan menimbulkan endapan warna berturut-turut putih, coklat,
dan merah jingga.
Uji Saponin dan Flavonoid
Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian
ditambahkan 100 ml air panas dan didihkan selama 5 menit. Setelah itu, disaring
dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Uji saponin, 10 ml filtrat dimasukkan
ke dalam tabung reaksi tertutup kemudian dikocok selama 10 detik dan dibiarkan
selama 10 menit. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang
stabil. Sebanyak 10 ml filtrat yang lain ditambahkan 0.5 gram serbuk Mg, 2 ml
alkohol klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol 95% dengan perbandingan
1:1), dan 20 ml alkohol kemudian dikocok dengan kuat. Terbentuknya warna
merah, kuning, dan jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya
Flavonoid.
Uji Tanin
Sebanyak 5 gram sampel dilarutkan dalam akuades kemudian dipanaskan
selama 5 menit, lalu disaring dengan menggunakan kertas saring. Sebanyak 5 ml
filtrat hasil penyaringan ditambahkan 3 tetes FeCl3 10%. Terbentuknya warna biru
tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapat senyawa tanin.
12
Uji Triterpenoid dan Steroid
Sebanyak 2 gram sampel dilarutkan dengan 25 mL etanol dan disaring
kedalam pinggan porselin kemudian diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan
1 ml dietil eter dan dihomogenasikan. Selanjutnya ekstrak dipindahkan ke dalam
lempeng tetes lalu ditambahkan 1 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4
pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan kandungan triterpenoid sedangkan
warna hijau atau biru menunjukkan kandungan steroid.
Persiapan Larva Nyamuk
Koloni nyamuk Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus diperoleh dari
Laboratorium Entomologi Kesehatan IPHK. Koloni nyamuk dewasa ditempatkan
ke dalam kandang nyamuk. Persediaan makanan bagi nyamuk jantan dewasa
diberikan air gula 10% yang dimasukkan ke dalam botol kecil dan diberi kapas.
Nyamuk betina dewasa diberi makan berupa darah segar marmut. Kandang jepit
berisi marmut yang telah dicukur sebagian rambut punggungnva dimasukkan ke
dalam kandang nvamuk. Nyamuk betina yang telah mengisap darah marmut akan
bertelur.
Telur nyamuk Ae. aegypti diperoleh dengan menggunakan kertas saring.
Kertas saring dimasukkan ke dalam gelas ukur 250 ml yang berisi air secukupnya
untuk melembabkan media tersebut. Kertas saring tersebut berfungsi untuk
menempelnya telur-telur dari nyamuk Ae. aegypti. Kertas saring yang berisi telur-
telur nyamuk kemudian dikeringkan pada suhu kamar dan disimpan dalam wadah
tertutup. Kertas saring dicelupkan ke dalam nampan plastik berukuran 30 x 20 x 5
cm yang berisi air untuk ditetaskan.
Nyamuk Cx. quinquefasciatus meletakkan telurnya di atas permukaan air.
Telur nyamuk Cx. quinquefasciatus tidak bisa disimpan dalam waktu lama karena
akan segera menetas setelah ditelurkan. Telur tersebut langsung dipindahkan
kedalam nampan plastik yang telah disiapkan. Telur akan menetas dan tumbuh
menjadi larva instar satu setelah 24 jam.
Telur-telur yang menetas berkembang menjadi larva. Stadium larva terbagi
menjadi empat tingkatan perkembangan atau instar. Instar satu terjadi setelah 1-2
hari telur menetas, instar dua berkembang setelah 2-3 hari telur menetas, instar
tiga terjadi setelah 3-4 hari telur menetas. Larva tersebut diberi makan berupa
pelet ikan dan rebusan hati ayam. Larva yang digunakan untuk pengujian
efektivitas larvasida adalah larva instar tiga.
Uji Efektivitas Larvasida
Ekstrak kasar etanol dilarutkan dalam pelarut air dan diencerkan untuk
mendapatkan konsentrasi tertentu. Pengujian dilakukan dengan menggunakan
konsentrasi 0, 125, 250, 500, 750, 1000, dan 1500 ppm. Kontrol negatif
menggunakan air sebagai media tumbuh larva. Kontrol positif menggunakan
senyawa temephos dengan konsentrasi 1 ppm. Gelas plastik yang berisi larutan
ekstrak sebanyak 200 ml dimasukkan 20 ekor larva nyamuk instar tiga. Masing-
masing pengujian secara terpisah menggunakan larva nyamuk Ae. aegypti dan Cx.
13
quinquefasciatus. Pengamatan dilakukan pada jam 24, 48, dan 72 setelah
perlakuan serta dihitung jumlah larva yang mati.
Analisis Data
Data percobaan dilakukan analisa ragam (ANOVA) dan dilanjutkan sengan
uji Duncan pada taraf nyata 5% dengan program SPSS 16 for Windows. Analisis
probit dilakukan untuk mengetahui nilai LC50 dan LC90 dengan menggunakan
program Probit 1.5 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Ekstraksi dan Uji Fitokimia
Hasil ekstrak daun sambang colok diperoleh rendemen sebesar 4.33%
(b/b). Ekstrak dilakukan pengujian fitokimia secara kualitatif terhadap senyawa
alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, triterpenoid, dan steroid (Tabel 1).
Tabel 1 Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak etanol 70% daun sambang colok
Jenis pengujian fitokimia Hasil pengujian
Alkaloid +
Saponin ++++
Tanin +++
Flavonoid +
Triterpenoid +
Steroid +++ Keterangan: + Positif lemah, ++ Positif , +++ Positif kuat, ++++ Positif kuat sekali
Efektivitas Larvasida terhadap Larva Ae. aegypti
Hasil pengujian efektivitas ekstrak daun sambang colok terhadap
mortalitas larva Ae. aegypti (Tabel 2) dan nilai konsentrasi letal (LC50 dan LC90)
(Gambar 5).
14
Tabel 2 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti pada pengamatan 24, 48, dan 72
jam setelah pemaparan dengan ekstrak daun sambang colok
Konsentrasi (ppm) Mortalitas (%)
24 jam 48 jam 72 jam
125 8.3c
10e 10
e
250 15.0c
21.7d 23.3
d
500 48.3b
63.3c 71.7
c
750 56.7b
73.3b 85.0
b
1000 91.7a
100a 100
a
1500 95.0a
100a 100
a
Temephos (1) 100a
100a 100
e
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan uji berbeda
nyata pada taraf 5% (p<0.05)
Gambar 5 Nilai LC50 dan LC90 ekstrak daun sambang colok terhadap larva
Ae. aegypti pada pengamatan 24, 48, dan 72 setelah pemaparan
dengan ekstrak daun sambang colok
Efektivitas Larvasida terhadap Larva Cx. quinquefasciatus
Hasil pengujian efektivitas ekstrak daun sambang colok terhadap
mortalitas larva Cx. quinquefasciatus (Tabel 3) dan nilai konsentrasi letal (LC50
dan LC90) (Gambar 6).
494,47416,93
336,50
1347,62
904,29810,36
0,00
200,00
400,00
600,00
800,00
1000,00
1200,00
1400,00
1600,00
24 48 72
Konse
ntr
asi
(p
pm
)
Waktu (jam)
LC 50
LC 90
15
Tabel 3 Persentase mortalitas larva Cx. quinquefasciatus pada pengamatan 24, 48,
dan 72 jam setelah pemaparan dengan ekstrak daun sambang colok
Konsentrasi (ppm) Mortalitas (%)
24 jam 48 jam 72 jam
125 18.3c
38.3c 63.3
c
250 58.3b
60.0b 86.7
b
500 85.0a
85.0a 100
a
750 88.3a
88.3a 100
a
1000 96.7a
96.7a 100
a
1500 100.0a
100a 100
a
Temephos (1) 98.3a
100a 100
a
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan uji berbeda
nyata pada taraf 5% (p<0.05)
Gambar 6 Nilai LC50 dan LC90 ekstrak daun sambang colok terhadap larva
Cx. quinquefasciatus pada pengamatan 24, 48, dan 72 setelah
pemaparan
234,33
154,58103,33
646,51
328,43
246,98
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
700,00
24 48 72
Konse
ntr
asi
(pp
m)
Waktu (jam)
LC 50
LC 90
16
Perbandingan Efektivitas Larvasida terhadap Larva Ae. aegypti dan Cx.
quinquefasciatus
Tabel 4 Persentase mortalitas larva Ae. Aegypti dan Cx. quinquefasciatus serta
nilai LC50 pada pengamatan 24 jam setelah pemaparan dengan ekstrak
daun sambang colok
Konsentrasi (ppm) Mortalitas (%)
Ae. aegypti Cx. Quinquefasciatus
125 8.3c
18.3c
250 15.0c
58.3b
500 48.3b
85.0a
750 56.7b
88.3a
1000 91.7a
96.7a
1500 95.0a
100.0a
Temephos (1) 100a
98.3a
Nilai LC50 (ppm) 494.47 234.33 Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan uji berbeda
nyata pada taraf 5% (p<0.05)
Pembahasan
Ekstraksi dan Uji Fitokimia
Perhitungan rendemen ekstrak kasar dilakukan untuk mengetahui jumlah
senyawa yang dapat terekstrak oleh pelarut tertentu. Kandungan senyawa aktif
sambang colok sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, geografis, dan unsur
hara di dalam tanah. Oleh karena itu, kandungan bahan aktif ekstrak dapat
berbeda-beda di setiap daerah. Ekstrak daun sambang colok dilakukan pengujian
fitokimia secara kualitatif terhadap senyawa alkaloid, saponin, tanin, flavonoid,
triterpenoid, dan steroid. Golongan senyawa-senyawa tersebut diduga sebagai zat
aktif yang dapat berfungsi sebagai larvasida. Berdasarkan hasil uji fitokimia
ditemukan bahwa senyawa saponin merupakan senyawa yang paling dominan.
Efektivitas Ekstrak Daun Sambang Colok terhadap Larva Ae. aegypti
Ekstrak kasar daun sambang colok diujikan pada larva instar tiga nyamuk
Ae. aegypti. Pemilihan instar tiga sebagai fase uji karena lebih memiliki ketahan
terhadap cekaman lingkungan. Selain itu instar tiga lebih memiliki waktu yang
cukup lama untuk berubah menjadi imago (nyamuk dewasa). Kondisi ini
diperlukan karena pengujian larvasida memerlukan pengamatan beberapa hari.
Tingkat kematian larva terhadap ekstrak daun sambang colok dengan
konsentrasi 125 dan 250 ppm tidak berbeda nyata (p>0.05). Konsentrasi antara
750 dan 1000 ppm berbeda nyata (p<0.05). Pada konsentrasi 1000 dan 1500 ppm
tidak berbeda nyata (p>0.05), tetapi secara deskriptif kemampuan daya bunuh
konsentrasi 1500 ppm lebih besar dari pada 1000 ppm. Persentase mortalitas larva
pada konsentrasi 1000 dan 1500 ppm mendekati nilai mortalitas senyawa
17
temephos. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun sambang colok berpengaruh
terhadap kematian larva nyamuk (Tabel 2).
Kematian larva nyamuk Ae. aegypti akibat pemaparan ekstrak daun
sambang colok semakin bertambah seiring dengan penambahan konsentrasi.
Semakin banyak jumlah senyawa aktif yang bereaksi dengan larva memungkinkan
peningkatan kematian. Efektivitas larvasida ekstrak terhadap kematian larva
nyamuk Ae. aegypti semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu
paparan. Jumlah kematian larva nyamuk semakin meningkat pada pengamatan 48
jam dan 72 jam setelah pemaparan. Waktu paparan yang semakin lama
memungkinkan senyawa aktif bereaksi dengan larva, sehingga mengakibatkan
peningkatan jumlah kematian larva nyamuk Ae. aegypti (Tabel 3).
Pengujian larvasida senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak kasar
tumbuhan diperlukan untuk menentukan dosis dari suatu zat yang dapat
menyebabkan keracunan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui jumlah
penggunaan konsentrasi yang tepat dalam aplikasinya. Tingkat konsentrasi yang
dapat menyebabkan kematian ditentukan dengan nilai konsentrasi letal (LC50 atau
LC90). Nilai LC50 adalah konsentrasi dari suatu bahan yang menyebabkan 50%
populasi mengalami kematian, sedangkan nilai LC90 adalah 90% populasi
mengalami kematian. Suatu ekstrak kasar memiliki potensi bioaktif apabila nilai
LC50-nya kurang dari 1000 ppm (Andriani 2008).
Nilai LC50 yang diperoleh dari pengujian larvasida ekstrak sambang colok
terhadap larva Ae. aegypti adalah 494,47 ppm (berkisar antara 300 sampai 500
ppm), sedangkan nilai LC90 adalah 1347,62 (berkisar antara 800 sampai 1300
ppm). Geris et al. (2008) menyatakan bahwa nilai LC50 standar untuk larvasida
nabati (senyawa murni) yaitu berkisar 0,1-49 ppm. Nilai LC50 sambang colok
tersebut masih jauh di bawah nilai standar. Kondisi ini disebabkan ekstrak kasar
masih banyak mengandung komponen senyawa yang perlu dipisahkan lebih lanjut
untuk mendapat senyawa aktif tunggal (murni).
Nilai konsentrasi letal suatu senyawa akan semakin berkurang seiring
dengan lama waktu paparan. Hal ini telah terlihat pada grafik peningkatan
mortalitas larva Ae. aegypti terhadap lama waktu paparan. Waktu paparan yang
semakin lama memungkinkan senyawa aktif bereaksi dengan larva, sehingga
terjadi peningkatan kematian larva. Hal ini menyebabkan penurunan nilai LC50
dan LC90 seiring bertambahnya waktu paparan (Gambar 5).
Efektivitas Ekstrak Daun Sambang Colok terhadap Larva Cx.
quinquefasciatus
Pengujian efektivitas ekstrak daun sambang colok juga dilakukan terhadap
larva Cx. quinquefasciatus. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa mortalitas
larva pada konsentrasi 125 ppm berbeda nyata dengan konsentrasi 250 ppm
(p<0.05). Konsentrasi 500 ppm, 750 ppm, 1000 ppm, dan 1500 ppm tidak berbeda
nyata dengan mortalitas pada senyawa temephos (p>0.05). Persentase mortalitas
larva pada konsentrasi 1000 ppm mendekati nilai mortalitas senyawa temephos (1
ppm). Nilai mortalitas konsentrasi 1500 ppm bahkan lebih besar dari mortalitas
larva pada senyawa temephos yakni sebesar 100% (Tabel 3). Hal ini
membuktikan bahwa ekstrak daun sambang colok (Aerva sanguinolenta)
mempunyai daya bunuh terhadap larva Cx. quinquefasciatus.
18
Kematian larva akibat pemaparan ekstrak sambang colok semakin
bertambah seiring dengan penambahan konsentrasi. Semakin banyak jumlah
senyawa aktif yang bereaksi dengan larva menyebabkan terjadinya peningkatan
kematian larva nyamuk Cx. quinquefasciatus. Efektivitas larvasida juga semakin
bertambah seiring dengan bertambahnya waktu paparan. Waktu paparan yang
semakin lama memungkinkan senyawa aktif untuk bereaksi dengan larva sehingga
meningkatkan jumlah kematian (Tabel 3).
Nilai LC50 yang diperoleh dari pengujian larvasida ekstrak sambang colok
terhadap larva Cx. quinquefasciatus adalah 234.33 (berkisar antara 100 sampai
250 ppm), sedangkan nilai LC90 adalah 646.51 (berkisar antara 250 sampai 650
ppm). Nilai LC50 dan LC90 Cx. quinquefasciatus masih relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan nilai konsentrasi letal pada Ae. aegypti. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak daun sambang colok (Aerva sanguinolenta)
mempunyai daya bunuh yang lebih efektif terhadap larva nyamuk Cx.
quinquefasciatus dibandingkan dengan larva Ae. aegypti. Nilai konsentrasi letal
sangat dipengaruhi oleh jenis atau spesies tertentu. Spesies nyamuk yang berbeda
menunjukkan respon yang berbeda terhadap ekstrak sambang colok yang
dipaparkan. Nilai LC50 dan LC90 suatu senyawa akan semakin berkurang seiring
dengan lama waktu paparan. Senyawa aktif dari ekstrak daun sambang colok akan
semakin efektif karena semakin lama waktu paparan pada larva. Hal ini
menyebabkan peningkatan jumlah kematian larva nyamuk Cx. quinquefasciatus
(Gambar 6).
Ekstrak Daun Sambang Colok sebagai Larvasida Nabati
Pengujian efektivitas larvasida pada ekstrak daun sambang colok belum
pernah dilakukan sebelumnya. Tanaman sambang colok termasuk dalam suku
Amaranthaceae. Aktivitas larvasida senyawa bioaktif tanaman dari suku
Amaranthaceae telah dilaporkan oleh Kamalakannan et al. (2011). Senyawa
metabolit sekunder hasil pengujian fitokimia yang terdapat pada ekstrak daun
sambang colok paling banyak mengandung saponin kemudian tannin serta steroid.
Golongan alkaloid dan flavonoid juga positif terdeteksi walaupun jumlahnya
sedikit. Senyawa-senyawa tersebut bekerja secara keseluruhan (sinergi) sehingga
dapat meningkatkan kematian larva nyamuk Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus.
Aminah et al. (2001) menyatakan saponin dan golongan steroid
berpengaruh dalam pertumbuhan larva nyamuk. Saponin dapat menurunkan
tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding
traktus digestivus menjadi korosif. Chowdhury et al. (2008) menjelaskan bahwa
saponin menekan konsumsi makan, tingkat pertumbuhan, dan kemampuan
bertahan. Saponin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan
mekanisme penghambatan makan pada larva uji. Rasa yang pahit menyebabkan
larva tidak mau makan sehingga larva akan kelaparan dan akhirnya mati.
Wiesman dan Chapagain (2005 ) melaporkan bahwa saponin yang didapat
dari ekstrak buah Balanites aegyptica menunjukkan kematian 100% pada larva
nyamuk Cx. pipiens. Efek fisiologis dan efek farmakologis saponin disebabkan
oleh kemampuannya untuk membentuk kompleks, baik dengan protein maupun
polisakarida (Gosh dan Chandra 2006). Kondisi ini juga dapat menyebabkan
nonaktifnya enzim pencernaan seperti enzim protease, karbohidrase, dan lipase
19
maupun enzim yang lain seperti enzim toposomerase. Akibatnya penyerapan
protein dalam sistem pencernaan menjadi terganggu
Ekstrak daun sambang colok juga banyak mengandung senyawa tanin.
Senyawa ini mempunyai rasa getir sehingga menyebabkan nafsu makan larva
berkurang. Senyawa tanin di dalam tubuh larva akan mengikat protein pada
selaput lendir, mengikat enzim-enzim pencernaan, dan protein dari makanan
tersebut (Chowdhury et al. 2008). Hal ini menyebabkan terbentuknya lapisan
yang dapat menghambat proses penyerapan makanan dan rnenganggu kerja dari
saluran pencernaan. Tanin yang mengalami hidrolisa dan diserap oleh tubuh serta
bersirkulasi akan menyebabkan keracunan, akibatnya larva akan mati karena
kelaparan (Ramadhaniah 2004).
Golongan senyawa alkaloid umumnya larut pada pelarut akuades dan
metanol. Alkaloid dapat menurunkan gerakan larva karena bersifat depresan
sehinga menyebabkan paralisis dan berakhir dengan kematian (Isman et al.
2007). Alkaloid juga dapat mempengaruhi hormon pengatur pertumbuhan
sehingga larva tidak mampu untuk berubah menjadi pupa dan mati. Senyawa
Alkaloid yang berasal dari buah Piper longum dan Triphyophyllum pellatum telah
diketahui menunjukkan efek larvisida terhadap Cx. pipiens dan Ae. stephensi
(Francois et al. 1996). Senyawa flavonoid mempunyai sifat sebagai antimikroba,
anti-inflammatori dan aktivitas antikanker (Isman et al. 2007). Senyawa flavonoid
di dalam tubuh larva dapat menghambat proses pernapasan sel, menghambat
proses pembekuan darah serta dapat merangsang hormon pengatur pertumbuhan.
Adanya gangguan pada fisiologis larva akan menyebabkan kematian (Berger dan
Sicker 2009). Senyawa flavonoid pada tanaman Neorautanenia mitis juga
dilaporkan memiliki efek larvisida terhadap nyamuk An. gambiae dan Cx.
quinquefaciatus (Joseph et al. 2004).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ekstrak etanol daun sambang colok (Aerva sanguinolenta) dengan
konsentrasi 1000 ppm terbukti menyebabkan kematian larva nyamuk Ae. aegypti
(91,7%) dan Cx. quinquefasciatus (96,7%). Nilai LC50 Ae. aegypti dan Cx.
quenquefasciatus adalah sebesar 494,47 dan 234.22 ppm.
Saran
Perlu dilakukan pengujian lanjutan meliputi fraksinasi, isolasi, dan
identifikasi dari senyawa aktif daun sambang colok untuk menggali potensinya
sebagai larvasida nyamuk yang efektif.
20
DAFTAR PUSTAKA
Aminah NS, Sigit SH, Partosoedjono S, Chairul. 2001. S. rarak, D. metel , dan E.
prostate sebagai Larvisida Aedes aegypti. J Cermin Dunia Kedokteran. 131:
7-9
Andriani A. 2008. Uji potensi larvasida fraksi ekstrak daun Clinacanthus nutans L.
terhadap larva instar III nyamuk Aedes aegypti. [skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor
[Bapedda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2006.
Kabupaten Bogor dan Pemanfaatan Ruang yang Insentif. Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025.
Berger S, Sicker D. 2009. Classics in Spectroscopy: Isolation and Structure
Elucidation of Natural Products. Weinheim Germany: WILEY-VCH Verlag
GmbH & Co. KGaA
Budiyanto A. 2005. Studi Indeks Larva Nyamuk Ae. aegypti dan Hubungannya
dengan PSP Masyarakat tentang Penyakit DBD di Kota Palembang Sumatera
Selatan tahun. Litbang Departemen Kesehatan
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2011. Preparedness and
Response for Chikungunya Virus: Introduction in the Americas. Washington
DC: PAHO Library Publication
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2012. Mosquito Life-Cycle.
http://www.cdc.gov/Dengue/entomologyEcology/m_lifecycle.html [17 Juni
2012]
Chowdhury N, Ghosh A, Chandra G. 2008. Mosquito larvicidal activities of
Solanum villosum berry extract against the dengue vector Stegomyia aegypti. J
Biomed Central. 8:10
Christophers SR. 1960. Aedes aegypti (L) The yellow fever mosquito. London:
Cambridge Univ. Press
Dharma IDGS, Kristiani, Lazuardi L. 2009. Evaluasi sistem surveilance penyakit
Japanese Encephalitis di dinas kesehatan Kabupaten Gianyar. Working Paper
Vol. 7. Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan (KMPK), Universitas
Gajah Mada
[Depkes] Direktorat Jenderal P2PL. 2010. Rencana Nasional Program Akselerasi
Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral P2PL
Ferro C, Boshell J, Moncayo AC, Gonzalez M, Ahumada ML, Kang W. 2003.
Natural enzootic vectors of Venezuelan equine encephalitis virus in the
Magdalena Valley, Colombia. Emerging Infectious Diseases. Vol. 9(1)
Fradin MS, Day JF. 2002. Comparative efficacy of insects repellents against
mosquito bites. The New England Journal of Medicine. Vol. 347:13-18
Francois G, Looveren MV, Timperman G, Chimanuka B, Assi LA, Holenz J,
Bringmann G. Larvicidal activity of the naphthylisoquinoline-alkaloid-
dioncophylline-A against the malaria vector Anopheles stephensi. J
Ethnopharmacol. 54: 125-130
Geris R, Rodriguez E, Da Silva HHG, Da Silva IG. 2008. Larvicidal effects of
Fungal Meroterpenoids in the Control of Aedes aegypti in the Main Vector of
Dengue and Yellow Fever. J Chem & Biodiv 5: 341-345.
21
Ghosh A, Chandra G. 2006. Biocontrol efficacy of Cestrum diurnum (L.)
(Solanales: Solanaceae) against the larval forms of Anopheles stephensi. J Nat
Prod Res. 20:371-379
Grainge M. 2006. Handbook of Plants with Pest Control Properties. New York:
Wiley Press
Guimaraes AE, Gentile C, Lopes CM, de Mello RP. 2000. Ecology of Mosquitoes
(Diptera: Culicidae) in Areas of Serra do Mar State Park, State of Sao Paulo,
Brazil. III – Daily Biting Rhythms and Lunar Cycle Influence. Mem Inst
Oswaldo Cruz. Vol. 95(6): 753-760
Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. (Dalam) SH Sigit dan UK Hadi. (Ed).
Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit
Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. FKH-IPB. Bogor
Hadi UK, Sigit SH, Gunandini DJ, Soviana S, Sugiarto. 2008. Pengaruh
Penggunaan Repelen Masal Jangka Panjang pada Suatu Pemukiman terhadap
Keberadaan Nyamuk Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae). J Entomologi
Indonesia Vol. 5 (1): 27-35
Hadi UK, Soviana S, Syafriati T. 2011. Ragam jenis nyamuk di sekitar kandang
babi dan kaitannya dalam penyebaran Japanese Encephalitis. J Veteriner.
12(4): 326-334
Hadi UK, Soviana S, Supriyono, Chalidaputra M. 2012. Pengamatan Vektor pada
Kejadian Luar Biasa Penyakit Chikungunya di Desa Leles dan Haruman,
Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kongres VIII dan Seminar
Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI). Bogor 24-25 Januari 2012,
IPB Internatinal Convention Center Botani Square Bogor
Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Edisi ke-2. Terjemahan Kosasih
Padmawinata & Iwang Soediro. Bandung : Penerbit ITB
Hariana A. 2008. Tanaman Obat dan Khasiatnya Seri III. Jakarta: Penebar
Swadaya
Hasyimi M. 2004. Pengamatan tempat perindukan Aedes aegypti pada tempat
penampungan air rumah tangga pada masyarakat pengguna air olahan. J
Ekoogil Kesehatan 3(1): 37-42
Isman MB, Machial CM, Miresmailli S, Bainard LD. 2007. Essential Oil-Based
Pesticides: New Insights from Old Chemistry. In Pesticide Chemistry Crop
Protection, Public Health, Environmental Safety; Ohkawa H, Miyagawa H,
Lee PW Editor. Weinheim Germany: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.
KGaA
Joseph CC, Ndoile MM, Malima RC, Nkunya MH. 2004. Larvicidal and
mosquitocidal extracts, a coumarin, isoflavonoids and pterocarpan from
Neorautanenia mitis. J Trans R Soc Trop Med Hyg. 98: 451-455
Kamalakannan S, Murugan K, Barnard DR. 2011. Toxicity of Acalypha indica
(Euphorbiaceae) and Achyranthes aspera (Amaranthaceae) leaf extracts to
Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). J Aspen. 14: 41-45
Kardinan A. 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar
Swadaya
Marisa. 2007. Toleransi larva dan nyamuk dewasa Aedes aegypti terhadap
temefos dan malation di wilayah endemik Kelurahan Duren Sawit Jakarta
Timur. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
22
Nurhasanah S. 2001. Efek Mematikan Ekstrak Biji Sirsak (Annona muricata)
terhadap Larva Aedes aegypti [skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
[NSW] The New South Wales Arbovirus Surveillance & Mosquito Monitoring
Program. 2012. Aedes aegypti adult. http://www.arbovirus.health.nsw.
gov.au/mosquit/photos/aedes_aegypti_adult.jpg [17 Juni 2012]
[NSW] The New South Wales Arbovirus Surveillance & Mosquito Monitoring
Program. 2012. Culex quinquefasciatus. http://www.arbovirus.health.nsw.
gov.au/mosquit/photos/mosquitophotos_culex.htm [17 Juni 2012]
Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi medik I (helmintologi). Edisi 1. Jakarta:
EGC
[PATH] Program for Appropriate Technology in Health. 2006. Japanese
Encephalitis Surveillance in Indonesia: current status and activities.
Prijono. 2004. Pengaruh campuran ekstrak Aglaia harmsiana Perkins dan
Dysoxylum acutangulum Miq. terhadap mortalitas dan oviposisi Plutella
xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae). JHPT Trop 4: 1–7
Ramadhaniah V. 2004. Pengaruh ekstrak daun legundi (wiex trifolia Linn.)
terhadap perkembangan pradewasa nyamuk Aedes alliopietus (Diptera:
Culicidae). [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Riyadhi A. 2008. Identifikasi senyawa aktif tanaman kamandrah (croton tiglium)
dan biji jarak pagar (Jatropha curcas) sebagai larvasida nabati vektor demam
berdarah dengue. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Saraswati. 2004. Pengaruh Konsentrasi Filtrat Biji Bengkuang (Pachyrrhizus
erosus L) Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus L.
[skripsi]. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Sendow I, Syafriati T, Hadi UK. Molale M, Soviana S, Darminto. 2003.
Epidemiologi penyakit Japanese-B-Encephalitis pada babi di Propinsi Riau dan
Sumatera Utara. JITV. 8(1): 64-70
Sendow I, Bahri S. 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia
Balitvet. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Sirait M. 2007. Penuntun Fitokima dalam Farmasi.Bandung: Penerbit ITB
Soegijanto S. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi kedua. Surabaya: Airlangga
University Press
Tiawsirisup S, Nithiuthai S. 2006. Vector Competence of Aedes aegypti (L.) And
Culex quinquefasciatus (Say) for Dirofilaria imitis (Leidy). Journal of Insect
Science, 4:20
Wiesman Z, Chapagain BP. 2005. Larvicidal effects of aqueous extracts of
Balanites aegyptiaca (desert date) against the larvae of Culex pipiens
mosquitoes. Afr J Biotechnol. 4:1351-1354
23
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0.05)
persentase kematian larva Ae. aegypti pada paparan 24 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Skor
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Model 3993.476a 9 443.720 462.055 .000
Perlakuan 1039.905 6 173.317 180.479 .000
Ulangan 1.143 2 .571 .595 .567
Error 11.524 12 .960
Total 4005.000 21
a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .995)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan
lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut
tabel hasil uji lanjut Duncan.
Skor
Duncan
Perlakuan N
Subset
1 2 3
125 3 1.6667
250 3 3.0000
500 3 9.6667
750 3 11.3333
1000 3 18.3333
1500 3 19.0000
Temephos 3 20.0000
Sig. .122 .059 .070
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .960.
24
Lampiran 2 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0.05)
persentase kematian larva Ae. aegypti pada paparan 48 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Skor
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Model 4795.095a 9 532.788 3.357E3 .000
Perlakuan 1034.952 6 172.492 1.087E3 .000
Ulangan .095 2 .048 .300 .746
Error 1.905 12 .159
Total 4797.000 21
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan
lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut
tabel hasil uji lanjut Duncan.
Skor
Duncan
Perlakuan N
Subset
1 2 3 4 5
125 3 2.0000
250 3 4.3333
500 3 12.6667
750 3 14.6667
1000 3 20.0000
1500 3 20.0000
Temephos 3 20.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .159.
25
Lampiran 3 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0.05)
persentase kematian larva Ae. aegypti pada paparan 72 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Skor
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Model 5162.667a 9 573.630 1.291E3 .000
Perlakuan 1044.667 6 174.111 391.750 .000
Ulangan 2.000 2 1.000 2.250 .148
Error 5.333 12 .444
Total 5168.000 21
a. R Squared =.999 (Adjusted R Squared = .998)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan
lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut
tabel hasil uji lanjut Duncan.
Skor
Duncan
Perlakuan N
Subset
1 2 3 4 5
125 3 2.0000
250 3 4.6667
500 3 14.3333
750 3 17.0000
1000 3 20.0000
1500 3 20.0000
Temephos 3 20.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .444.
26
Lampiran 4 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0.05)
persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 24 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Skor
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Model 5776.000a 9 641.778 213.926 .000
Perlakuan 634.286 6 105.714 35.238 .000
Ulangan 18.667 2 9.333 3.111 .082
Error 36.000 12 3.000
Total 5812.000 21
a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .989)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan
lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut
tabel hasil uji lanjut Duncan.
Skor
Duncan
Perlakuan N
Subset
1 2 3
0 3 3.6667
125 3 12.0000
250 3 17.0000
500 3 17.6667
750 3 19.3333
1000 3 19.6667
Temephos 3 20.0000
1500 3 1.000 1.000 .076
Sig. 3.6667
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3.000.
27
Lampiran 5 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0.05)
persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 48 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Skor
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Model 7382.952a 9 820.328 9.396E3 .000
Perlakuan 139.810 6 23.302 266.909 .000
Ulangan .286 2 .143 1.636 .235
Error 1.048 12 .087
Total 7384.000 21
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan
lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut
tabel hasil uji lanjut Duncan.
Skor
Duncan
Perlakuan N
Subset
1 2 3
125 3 12.6667
250 3 17.3333
500 3 20.0000
750 3 20.0000
1000 3 20.0000
1500 3 20.0000
Temephos 3 20.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.508.
28
Lampiran 6 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (p<0.05)
persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 72 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Skor
Source
Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Model 5162.667a 9 573.630 1.291E3 .000
Perlakuan 1044.667 6 174.111 391.750 .000
Ulangan 2.000 2 1.000 2.250 .148
Error 5.333 12 .444
Total 5168.000 21
a. R Squared =.999 (Adjusted R Squared = .998)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan
lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut
tabel hasil uji lanjut Duncan.
Skor
Duncan
Perlakuan N
Subset
1 2 3 4 5
125 3 2.0000
250 3 4.6667
500 3 14.3333
750 3 17.0000
1000 3 20.0000
1500 3 20.0000
Temephos 3 20.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .087.
29
Gambar 7 Tanaman sambang colok
Gambar 8 Sampel tanaman yang telah
disortir
Gambar 9 Oven untuk pengeringan dengan
suhu 50 oC
Gambar 10 Uji fitokimia: serbuk kering
tanaman sambang colok (atas), uji alkaloid (bawah kiri), uji saponin (bawah kanan)
30
Gambar 11 Kandang pemeliharaan nyamuk dewasa
Gambar 12 Nampan pemeliharaan larva
nyamuk
Gambar 13 Ekstrak daun sambang colok
Gambar 14 14 Uji larvasida nyamuk Ae.
aegypti dan Cx. quinquefasciatus
31
RIWAYAT HIDUP
Penulis, dilahirkan di Jombang pada tanggal 22 Februari 1991 sebagai anak
keempat dari lima bersaudara, anak dari pasangan Istichori dan Luluk Fuadah.
Pendidikan formal penulis sampai dengan tingkat SMA diselesaikan di
Jombang, yaitu MI Al-falah, SMPN 03 Darul „Ulum Peterongan dan SMA 02
Darul „Ulum Peterongan Jombang. Penulis lulus dari SMA dan pada tahun yang
sama diterima di jurusan Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Beasiswa
Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama Republik Indonesia.
Selama masa studi, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah
Endoparasit dan Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan (PKHL).
Penulis pernah mendapatkan hibah penelitian dari Orangutan Fondation United
Kingdom (OF UK) dengan melakukan penelitian lapang di Suaka Margasatwa
Lamandau Kalimantan Tengah dan mendapatkan pendanaan Program kreativitas
Mahasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI).
top related