DETERMINAN DAN STABILITAS EKSPOR CRUDE PALM OIL INDONESIA · ekspor Indonesia. KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Perdagangan International Perdagangan internasional dapat diartikan
Post on 18-Jan-2021
13 Views
Preview:
Transcript
45 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
DETERMINAN DAN STABILITAS EKSPOR
CRUDE PALM OIL INDONESIA
Eva Nurul Huda
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
evanhuda14@gmail.com
Arif Widodo
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
rifdoisme@gmail.com
ABSTRACT
We analyze the influence of CPO production, exchange rate, international CPO
price and the terms of trade on Indonesian CPO exports in October 2011-December
2015. In doing so, we use the Autoregressive Distributed Lag (ARDL) approach to
analyze the monthly time-series data for the periods of 2011:M10-2015:M12. Our
findings suggest that both in the short- and long-term, the international CPO price
has a significantly negative impact on Indonesia's CPO exports. Meanwhile, the
CPO production and exchange rate have negative and significant effects on
Indonesia's CPO exports both in short- and long-term. Taken together, all the
independent variables have significant effects on Indonesia’s CPO export. Finally,
based on CUSUM and CUSUMQ test, it shows that the long-term coefficient of the
CPO exports model is stable.
Keyword: CPO exports, term of trade, autoregressive distributed lag.
ABSTRAK
Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis seberapa besar pengaruh dari
produksi kelapa sawit, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga CPO internasional
dan Term of Trade terhadap ekspor CPO Indonesia pada periode Oktober 2011
sampai dengan Desember 2015. Penelitian ini menggunakan pendekatan
Autoregressive Distributed Lag (ARDL) dengan data sekunder runtut waktu bulanan
untuk periode 2011:M10-2015:M12. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
harga CPO internasional mempunyai efek negatif dan signifikan, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang terhadap ekspor CPO Indonesia. Variable Term of
Trade dalam jangka pendek maupun panjang mempunyai efek positif dan signifikan
terhadap ekspor CPO, sedangkan variabel produksi kelapa sawit dan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
ekspor dalam jangka pendek maupun panjang. Lebih lanjut, semua variabel
independen secara bersama-sama mempengaruhi ekspor CPO di Indonesia, sehingga
hipotesis yang menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel independen dan
dependen ditolak. Terakhir, berdasarkan pada uji CUSUM dan CUSUMQ dapat
disimpulkan bahwa model ekspor CPO stabil dalam jangka panjang.
Kata kunci: ekspor CPO, term of trade, autoregressive distributed lag.
46
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PENDAHULUAN
Bagi negara berkembang khususnya Indonesia, sumber pembiayaan yang
berupa penerimaan devisa yang berasal dan kegiatan ekspor memegang peranan yang
sangat penting dalam pembangunan nasional. Salah satu upaya pemerintah untuk
mendapatkan devisa dari luar negeri adalah dengan jalan mengekspor hasil-hasil
sumber daya alam ke luar negeri. Dari hasil devisa ini dapat digunakan untuk
menambah dana pembangunan dalam negeri (Huda 2006).
Salah satu sektor agroindustri Indonesia yang sangat berkembang dan
memiliki prospek baik ke depan adalah industri komoditas kelapa sawit. Kelapa
sawit yang diolah menjadi minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO)
memegang peran penting dalam perekonomian nasional yaitu sebagai komoditi
andalan ekspor non-migas Indonesia penghasil devisa negara di luar minyak dan gas
(Agustian 2002). Sejak tahun 2013 hingga 2015, nilai ekspor minyak kelapa sawit
olahannya dari sekitar US$20.660,4 hingga mencapai US$20.746,9 juta. Dilihat
peranannya, pada tahun 2015 peranan ekspor kelapa sawit mencapai 19,45 persen
(Lampiran 1). Inilah fakta mengapa pentingnya meneliti lebih dalam perihal ekspor
minyak kelapa sawit.
Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak
nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan
areal perkebunan kelapa sawit. Selama 25 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan
yang sangat signifikan pada luas areal perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut terlihat
dari data areal perkebunan sawit tahun 1991 yang jumlahnya hanya sekitar 38 ribu
hektar dan semakin meluas menjadi lebih dari 11 juta hektar pada tahun 2015 (Dirjen
Perkebunan 2016).
Seiring dengan bertambahnya luas perkebunan kelapa sawit, total produksi
minyak kelapa sawit Indonesia turut meningkat tajam. Selama 25 tahun terakhir ini
telah terjadi peningkatan produksi minyak kelapa sawit sebesar 28,2 juta ha, yaitu
dari 2,65 juta ton pada tahun 1991 menjadi 30,94 juta ha pada tahun 2015. Menurut
data Dirjen Perkebunan (2016), dengan raihan total produksi yang menyentuh angka
lebih dari 30 juta ton per tahunnya, menjadikan Indonesia sebagai negara produsen
kelapa sawit terbesar di dunia dengan prosentase 54.51 persen dari total produksi
dunia. Jauh melebihi produksi Malaysia yang duduk diperingkat kedua dengan total
produksi 33,65 persen dari total seluruh produksi kelapa sawit dunia. Produksi
minyak kelapa sawit Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya
dipasarkan di dalam negeri. Total ekspor minyak kelapa sawit 15 tahun terakhir
cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 total volume ekspor CPO
mencapai 4,68 juta ton, meningkat menjadi 26,4 juta ton pada tahun 2015. Luas areal
perkebunan dan total produksi minyak kelapa sawit yang senantiasa bertambah
merupakan bukti bahwa komoditas ini memang penting bagi kemajuan ekspor dan
cadangan devisa.
47 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Perkembangan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ternyata dipengaruhi
oleh beberapa faktor, misalnya Munadi (2007) meneliti tentang permintaan ekspor
minyak kelapa sawit Indonesia ke India menemukan bahwa harga minyak kelapa
sawit dunia dan total produksi sangat berpengaruh terhadap ekspor CPO. Selain itu,
Wulantoro (2009) meneliti tentang kebijakan dan pertumbuhan ekspor minyak
kelapa sawit Indonesia ke negara Belanda. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai
tukar rupiah terhadap USD tidak signifikan terhadap ekspor minyak kelapa sawit
Indonesia ke negara Belanda. Harga ekspor minyak sawit Indonesia, harga pesaing
Malaysia dan produksi minyak sawit signifikan terhadap ekspor minyak kelapa sawit
Indonesia ke negara Belanda. Abidin (2008) juga menyatakan bahwa faktor utama
pendorong kenaikan permintaan minyak kelapa sawit (CPO) adalah harga yang
relatif rendah dibandingkan dengan harga kompetitornya seperti minyak kedelai,
minyak biji matahari, minyak kacang tanah, minyak kapas dan minyak lobak.
Variabel makroekonomi lain yang memiliki pengaruh terhadap
perkembangan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia adalah nilai tukar. Perubahan
nilai tukar dapat mengubah harga relatif suatu menjadi lebih mahal atau lebih murah,
sehingga nilai tukar terkadang digunakan sebagai alat untuk meningkatkan daya
saing (mendorong ekspor). Perubahan posisi ekspor inilah yang kemudian berguna
untuk memperbaiki posisi neraca perdagangan. Faktor lainnya yakni posisi Term of
Trade Indonesia. Term of Trade yang membaik akan berdampak positif terhadap
ekspor Indonesia.
KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
Perdagangan International
Perdagangan internasional dapat diartikan sebagai sistem dimana negara-
negara mengekspor dan mengimpor barang dan jasa pelayanan untuk
mengembangkan spesialisasi dan spesialisasi meningkatkan produktivitas. Adapun
perdagangan itu melibatkan satu negara atau negara yang berbeda sehingga
perbedaan itu mempunyai konsekuensi ekonomis dan kesempatan untuk memperluas
perdagangan dan suatu kesatuan untuk mengatur aliran barang dan sistem finansial
harus menjamin kelancaran aliran barang dan jasa dalam perdagangan (Samuelson &
Nordhaus 1997). Ada beberapa teori yang berhubungan dengan perdagangan
internasional, pertama, Teori Merkantilis. Para penganut merkantilisme berpendapat
bahwa satu-satunya cara bagi suatu negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah
dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sedikit mungkin impor. Surplus
ekspor yang dihasilkannya selanjutnya akan dibentuk dalam aliran emas lantakan,
atau logam-logam mulia, khususnya emas dan perak (Salvatore & Krugman 1997).
Kedua, Teori keunggulan mutlak oleh Adam Smith. Adam Smith menyatakan
perdagangan antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute
advantage). Jika sebuah negara lebih efisien dari pada negara lain dalam
memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain dalam
memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh
48
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi
komoditi yang memiliki hubungan absolut, dan menukarnya dengan komoditi lain
yang memiliki kerugian absolut. Adam Smith percaya bahwa semua negara dapat
memperoleh keuntungan dari perdagangan dan dengan tegas menyarankan untuk
menjalankan kebijakan laissez-faire yaitu suatu kebijakan yang menyarankan sekecil
mungkin intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Terdapat pengecualian
dalam kebijakan laissez-faire ini, yakni proteksi terhadap berbagai industri penting
sebagai pertahanan negara (Salvatore & Krugman 1997).
Ketiga, Teori keunggulan komparatif oleh John Stuart Mill dan David
Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian
mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan
mengimpor barang yang dimiliki comparative disadvantage (suatu barang yang
dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan
sendiri memakan ongkos yang besar). Nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya
tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Kelebihan untuk
teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan
berapa keuntungan karena pertukaran di mana kedua hal ini tidak dapat diterangkan
oleh teori absolute advantage. David Ricardo (1772-1823) seorang tokoh aliran
klasik menyatakan bahwa nilai penukaran ada jika barang tersebut memiliki nilai
kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang
tersebut dapat digunakan. Teori perdagangan internasional dikemukakan oleh David
Ricardo mulai dengan anggapan bahwa lalu lintas pertukaran internasional hanya
berlaku antara dua negara yang diantara mereka tidak ada tembok pabean, serta
kedua negara tersebut hanya beredar uang emas (Tambunan 2001).
Keempat, Teori Heckscher-Ohlin. Heckscher-Ohlin dalam teori faktor
proporsi menyatakan bahwa perbedaan dalam opportunity cost suatu negara dengan
negara lain karena adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi yang dimilikinya.
Suatu negara memiliki tenaga kerja lebih banyak daripada negara lain, sedang negara
lain memiliki capital lebih banyak dari pada negara tersebut sehingga dapat
menyebabkan terjadinya pertukaran (Nopirin 1991). Negara yang memiliki faktor
produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan
spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-
masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor
produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.
Ekspor
Ekspor adalah benda-benda (termasuk jasa) yang dijual kepada penduduk
negara lain ditambah dengan jasa-jasa yang diselenggarakan kepada penduduk
negara tersebut, berupa pengangkutan dengan kapal, permodalan dan hal-hal lain
yang membantu ekspor tersebut (Todaro 1983;Todaro 2000). Sehubungan dengan
ekspor suatu komoditas, secara teoritis volume ekspor dari suatu negara merupakan
49 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
selisih antara penawaran dan permintaan domestik (excess demand) bagi negara
konsumen (Kindleberger & Lindert 1983).
Ditinjau dari sudut pengeluaran, ekspor merupakan salah satu faktor
terpenting dari GNP (Gross National Product), sehingga dengan berubahnya nilai
ekspor maka pendapatan masyarakat secara langsung juga akan mengalami
perubahan. Dilain pihak, tingginya ekspor suatu negara akan menyebabkan
perekonomian tersebut akan sangat sensitif terhadap keguncangan-keguncangan atau
fluktuasi yang terjadi di pasaran internasional maupun di perekonomian dunia. Suatu
negara dapat mengekspor barang produksinya ke negara lain apabila barang tersebut
diperlukan negara lain dan mereka tidak dapat memproduksi barang tersebut atau
produksinya tidak dapat memenuhi keperluan dalam negeri. Faktor yang lebih
penting lagi adalah kemampuan dari negara tersebut untuk mengeluarkan barang-
barang yang dapat bersaing dalam pasaran luar negeri. Maksudnya, mutu dan harga
barang yang dapat diekspor tersebut haruslah paling sedikit sama baiknya dengan
yang diperjualbelikan dalam pasaran luar negeri. Secara umum boleh dikatakan
bahwa semakin banyak jenis barang yang mempunyai keistimewaan yang
sedemikian yang dihasilkan oleh suatu negara, semakin banyak ekspor yang dapat
dilakukan (Sukirno 1985;Sukirno 2002).
Berdasarkan teori tersebut, maka ekspor suatu komoditas ke pasaran
international dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor domestik, harga luar
negeri dan faktor permintaan dan penawaran domestik antarnegara. Selain itu secara
implisit ekspor juga dipengaruhi oleh faktor nilai tukar (exchange rate) mata uang
suatu negara dengan negara lain. Sedangkan menurut Samuelson dan Nordhaus
(1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi volume dan nilai
ekspor suatu negara tergantung pada pendapatan dan output luar negeri, nilai tukar
uang (kurs) serta harga relatif antara barang dalam negeri dan luar negeri.
Hubungan Produksi terhadap Ekspor
Ayuningsih dan Setiawina (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa
peningkatan produksi secara parsial berpengaruh signifikan positif terhadap volume
ekspor. Saat produksi mengalami peningkatan maka ketersediaan barang dalam
negeri meningkat, sehingga penawaran barang di dalam dan luar negeri juga
meningkat. Hal inilah yang mengakibatkan apabila produksi meningkat, maka
volume ekspor juga meningkat.
Menurut Basri (2002) dari pengertian kegiatan produksi, apabila produksi
CPO terus mengalami peningkatan dan terjadinya excces supply maka CPO yang
berlebih tersebut akan diekspor ke luar negeri. Mariati (2009) menemukan bahwa
produksi nasional CPO meningkatkan ekspor CPO Indonesia. Selain itu, penelitian
empiris yang lebih komprehensif dilakukan oleh Azizah (2015) tentang ekspor CPO
ke negara Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Rusia dan Ukraina (Uni Eropa) juga
menemukan bahwa produksi CPO berpengaruh positif terhadap jumlah ekspor CPO
50
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia. Berdasar pada argumentasi dan hasil riset terdahulu maka dirumuskan
hipotesis pertama sebagai berikut.
H1: Produksi minyak kelapa sawit (CPO) berpengaruh terhadap ekspor CPO.
Hubungan Kurs terhadap Ekspor
Menurut Boediono (2001), apabila nilai rupiah terdepresiasi terhadap mata
uang asing maka akan berdampak pada nilai ekspor yang naik sedangkan nilai
impornya akan turun (apabila penawaran ekspor dan permintaan impor cukup
elastis). Hal ini dikarenakan di pasaran internasional produk domestik kita menjadi
kompetitif. Dengan meningkatnya nilai ekspor bersih akan berdampak pada
meningkatnya permintaan agregat riil sehingga berdampak pada meningkatnya
investasi. Sebaliknya, jika nilai tukar rupiah mengalami apresiasi maka akan
menyebabkan turunnya nilai ekspor, karena harga produk domestik menjadi relatif
mahal. Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap ekspor ini menarik perhatian
beberapa pengamat ekonomi untuk menelitinya. Susilo (2001) misalnya
menemukan bahwa fluktuasi nilai tukar memiliki dampak yang signifikan terhadap
ekspor riil non migas pada jangka pendek. Lebih lanjut penelitian yang dilakukan
oleh Huchet-Bourdon dan Korinek (2012) tentang pengaruh nilai tukar terhadap
perdagangan antara negara Chilie dan New Zealand juga menghasilkan analisis
yang sama, yaitu perubahan nilai tukar mempengaruhi neraca perdagangan pada
perekonomian terbuka kecil (Huchet-Bourdon & Korinek 2012). Hipotesis dua
dirumuskan sebagai berikut
H2: Nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap ekspor CPO.
Hubungan Harga terhadap Ekspor
Menurut Boediono (2001), tingginya harga mencerminkan kelangkaan dari
barang tersebut. Ketika sampai tingkat harga tertinggi konsumen cenderung
menggantikan barang tersebut dengan barang lain yang mempunyai hubungan dekat
dan relatif lebih murah. Hukum penawaran menyatakan apabila semakin tinggi
harga, jumlah barang yang ditawarkan semakin banyak. Sebaliknya semakin rendah
harga barang, jumlah barang yang ditawarkan semakin sedikit.
Menurut Lipsey (1995) harga dan kuantitas/jumlah permintaan suatu
komoditi berhubungan secara negatif. Artinya semakin tinggi harga suatu komoditi
maka jumlah permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang, ceteris
paribus. Untuk harga ekspor, Lipsey (1995) menyatakan bahwa suatu hipotesis
ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga yang
ditawarkan berhubungan secara negatif dengan jumlah yang diminta, atau dengan
kata lain semakin besar harga komoditi maka akan semakin sedikit kuantitas
komoditi tersebut yang diminta. Sebaliknya harga berhubungan secara positif dengan
penawaran. Semakin tinggi harga maka akan semakin banyak kuantitas yang
51 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
ditawarkan. Dengan argumentasi dan hasil riset terdahulu, maka dirumuskan
hipotesis tiga sebagai berikut.
H3: Harga CPO berpengaruh terhadap Ekspor CPO.
Hubungan Term of Trade terhadap Ekspor
Term of Trade merupakan komponen dari harga ekspor dibagi dengan harga
impor. Di dalam hal ini adalah harga barang-barang yang diperdagangkan di pasar
dunia. Semakin tinggi Term of Trade suatu negara maka preferensi untuk melakukan
ekspor semakin tinggi dan preferensi untuk melakukan impor juga semakin kecil.
Hubungan Term of Trade dengan tingkat ekspor berlaku positif, semakin tinggi Term
of Trade maka volume ekspor akan meningkat. Menurut Apridar (2009) bila Term of
Trade (ToT) lebih besar dari 100 atau kenaikan Term of Trade (ToT) berarti terjadi
perkembangan perdagangan luar negeri yang positif atau lebih baik karena dengan
nilai ekspor tertentu diperoleh nilai impor yang lebih besar.
Selain itu penelitian yang dilakukan Mendoza (1995) terhadap negara
industri, beberapa negara berkembang di Timur Tengah, Afrika dan beberapa negara
Asia seperti Cina dan Indonesia menunjukkan bahwa Term of Trade juga
berpengaruh positif dan tidak terlalu mengikuti business cycle (weekly procyclical).
Dengan demikian, hipotesis empat dirumuskan sebagai berikut.
H4: ToT berpengaruh terhadap Ekspor CPO.
Model Penelitian
Model dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1
Model Penelitian
H1
H4
H3
H2
Produksi (+)
Kurs Rupiah (-)
Harga CPO
Internasional (-)
Term of Trade (+)
Ekspor CPO
52
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
METODA PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder bulanan (time
series) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI) dan
World Bank dari periode Oktober 2011 sampai periode Desember 2015. Data
variabel dalam penelitian ini meliputi Ekspor CPO (EXCPO), Produksi Kelapa Sawit
(PROD), Harga CPO (PRICE), dan Term of Trade (ToT); semua data ini
ditransformasi dalam bentuk logarithm natural (ln) untuk memberikan hasil yang
valid dan konsisten.
Metode Estimasi
Penelitian ini menggunakan model Autoregressive Distributed Lag (ARDL)
yang diperkenalkan oleh Pesaran et al. (2001). Pendekatan ini relatif baru terutama
dalam membahas mengenai kointegrasi antar variabel untuk kepentingan analisis
jangka panjang, jika dibandingkan dengan Engle-Granger Test, atau Maximum
Likelihood Johansen Test. Perbedaan mendasar pendekatan ARDL dari pendekatan
lain diantaranya karena fleksibilitasnya, meskipun variabel-variabel yang ada
berbeda level integrasinya, baik I(0), 1(1) ataupun sama levelnya, pendekatan ini bisa
digunakan ( Pesaran & Smith 1998; Pesaran & Pesaran 1997; Pesaran et al., 2001).
Sedangkan pendekatan lain, misalnya kointegrasi Johansen-Juselius mengharuskan
semua variabel sama level integrasinya (Shrestha & Chowdhury 2005). Selanjutnya,
pendekatan ARDL merupakan model yang secara statitstik lebih signifikan untuk
menentukan hubungan kointegrasi untuk data yang kecil, sedangkan model Johansen
kointegrasi membutuhkan sampel yang banyak. Terakhir, dalam model ARDL setiap
variabel bisa memiliki lag optimal yang berbeda-beda (Pahlavani et al., 2005).
Dalam mengatasi perbedaan level integrasi antar variabel sebagaimana
dijelaskan, Pesaran et al. (2001) menggunakan bound testing procedure sebagai uji
kointegrasi untuk estimasi dalam jangka panjang dengan F-test. Langkah selanjutnya
adalah melakukan estimasi koefisien hubungan jangka panjang, diikuti estimasi
jangka pendek dari semua variabel dengan format error correction dari model
ARDL. Melalui ECM bisa ditentukan kecepatan penyesuaian ke arah keseimbangan
(Pesaran & Pesaran 1997). Mengikuti Pesaran dan Shin (1998a) model umum dari
ARDL (p, q) bisa ditulis.
∅(𝐿)𝑦𝑡 = 𝑎0 + 𝑎1𝑡 + 𝛽′𝑥𝑡 + ∑ 𝛽𝑗∗′∆𝑥𝑡−𝑗 − ∅∗(𝐿)𝑞−1
𝑖=0 ∆𝑦𝑡 + 𝜇𝑡 ...................................... 1
dimana ∅(𝐿) = 1 − ∑ ∅𝑗𝐿𝑗𝑝𝑗=1 , dan 𝛽(𝐿) = ∑ 𝛽𝑗𝐿𝑗𝑞
𝑗=0 , 𝑦𝑡 adalah variabel dependen,
𝑥𝑡 adalah variabel independen dan L adalah lag operator. Dalam penyesuaian dan
koreksi kesalahan pada jangka pendek ke arah keseimbangan jangka panjang, maka
model ARDL, mengikuti Pesaran et al. (2001) membutuhkan model ECM,
53 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
∆𝑦𝑡 = 𝑐0 + 𝑐1𝑡 + 𝜋𝑦𝑦𝑦𝑡−1 + 𝜋𝑦𝑥𝑥𝑥𝑡−1 + ∑ 𝜑′𝑖𝑝−1𝑖=1 ∆𝑧𝑡−𝑖 + 𝑤′∆𝑥𝑡 + 𝜇𝑡 ....................... 2
Sedangkan untuk model dasar ekspor CPO pada penelitian ini sebagai berikut,
ln 𝐸𝑋𝐶𝑃𝑂𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 ln 𝑃𝑅𝑡 + 𝛼2 ln 𝑃𝐶𝑡 + 𝛼3 ln 𝑇𝑜𝑇𝑡 + 𝛼4 ln 𝐸𝑋𝐶𝑡 + 휀𝑡 ................. 3
dimana EXCPO adalah jumlah ekspor CPO pada periode t ditransformasikan dalam
bentuk logarithm natural (ln); PR adalah jumlah produksi kelapa sawit periode t
dalam bentul ln; PC adalah harga CPO internasional periode t dalam ln; ToT adalah
term of trade pada periode t dalam bentuk ln; dan EXC adalah nilai tukar rupiah
terhadap US dollar pada periode t ditransformasikan dalam bentuk ln.
Untuk analisis stabilitas ekspor CPO dalam jangka panjang, pendekatan
ARDL bisa diterapkan dengan memasukkan persamaan (3) dalam format error
correction sehingga terjadi proses penyesuaian jangka pendek ke jangka panjang.
Model error correction-ARDL penelitian ini mengikuti Pesaran et al., (2001), bisa
dituliskan.
∆ ln 𝐸𝑋𝐶𝑃𝑂𝑡 = 𝑎0 + ∑ 𝑎1∆ ln 𝐸𝑋𝐶𝑃𝑂𝑡−𝑖𝑛1𝑖=1 + ∑ 𝑎2∆ ln 𝑃𝑅𝑡−𝑖
𝑛1𝑖=1 +
∑ 𝑎3∆ ln 𝑃𝐶𝑡−𝑖𝑛1𝑖=1 + ∑ 𝑎4∆ ln 𝑇𝑜𝑇𝑡−𝑖
𝑛1𝑖=1 + ∑ 𝑎5∆ ln 𝐸𝑋𝐶𝑡−𝑖
𝑛1𝑖=1 +
𝛿1 ln 𝐸𝑋𝐶𝑃𝑂𝑡−1 + 𝛿2 ln 𝑃𝑅𝑡−1 + 𝛿3 ln 𝑃𝐶𝑡−1 + 𝛿4 ln 𝑇𝑜𝑇𝑡−1 +
𝛿5 ln 𝐸𝑋𝐶𝑡−1 + 𝜇𝑡. ............................................................................................ 4
dimana parameter 𝛿𝑡, 𝑖 = 1, 2, 3, 4,5 sebagai multiplier jangka panjang, sedangkan
fungsi parameter 𝑎1, 𝑎2, 𝑎3, 𝑎4, 𝑎5 sebagai koefisien jangka pendek dari model
ARDL. Dalam model ARDL, perlu dilakukan F-statistik untuk menguji hipotesis
awal (null hypothesis) yang menyatakan bahwa tidak ada kointegrasi bisa
digambarkan ( 𝐻0: 𝛿1 = 𝛿2 = 𝛿3 = 𝛿4 = 𝛿5 = 0 ), sedang hipotesis alternatif
(adanya kointegrasi antar variabel) yang bisa digambarkan (𝐻0: 𝛿1 ≠ 𝛿2 ≠ 𝛿3 ≠
𝛿4 ≠ 𝛿5 ≠ 0 ). Dalam tahap ini, F-statistik yang sudah diuji akan dibandingkan
dengan nilai kritis (critical value) sebagaimana diajukan oleh Pesaran et al., (2001).
Nilai kritis ini mempunyai batas bawah (lower band) dan batas atas (upper band)
yang memungkinkan dilakukan klasifikasi vairabel menjadi I(1), I(0), atau sama
level integrasinya. Setelah terjadi kointegrasi, kemudian bisa dilakukan estimasi
jangka panjang dan estimasi penyesuaian jangka pendek. Selain itu, untuk menguji
stabilitas ekspor CPO digunakan CUSUM dan CUSUMQ test, diterapkan pada
residual dalam model. CUSUM test berdasar pada cumulative sum of recursive
residuals, jika plot CUSUM berada pada nilai kritis 5 persen (tidak keluar dari garis
batas atas dan bawah), maka estimasi dianggap stabil, begitu sebaliknya. Hal yang
sama juga berlaku untuk CUSUMQ test yang bedasar pada cumulative sum of
squares of recursive residuals.
54
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Sebagai langkah awal, model ARDL memang tidak mengharuskan adanya uji
akar unit (unit root test) untuk mengetahui apakah variabel mempunyai integrasi
pada level I(0) atau I(1), tetapi perlu dilakukan uji F-statistik atau bound test dengan
batas atas nilai kritis pada level I(1) dan batas bawah di level I(0). Dengan
membandingkan F-statistik dengan nilai kritis, hipotesis nol (null hypothesis) yang
menyatakan tidak ada kointegrasi ditolak apabila F-statistik lebih besar dari batas
atas (upper bound) nilai kritis. Sedangkan jika F-statistik lebih kecil dari batas bawah
(lower bound), maka hipotesis nol tidak bisa ditolak, artinya H0 diterima (tidak ada
kointegrasi). Tetapi, apabila nilai itu berada diantara batas bawah dan atas maka
hasilnya tidak meyakinkan. Pada penelitian ini, lag 4 merupakan lag maksimal yang
digunakan. Berikut ini hasil dari bound test, pada tabel 2 (Lampiran 1).
Hasil bound test menunjukkan bahwa F-statistik pada model ekspor CPO
dengan lag maksimal 4 (6,88) lebih besar dari pada batas atas (upper bound) nilai
kritis, baik pada taraf 1 persen (5,72), 5 persen (4,57) atau 10 persen (4,06). Artinya,
H0 yang menyatakan tidak ada kointegrasi antar variabel bisa ditolak dan menerima
hipotesis alternatif (H1) yaitu adanya kointegrasi untuk penyesuaian jangka panjang,
sehingga error correction bisa diestimasi.
Setelah lolos melakukan bound testing, maka estimasi jangka panjang dan
penyesuaian jangka pendek (melalui ecm) bisa dilakukan. Berdasarkan Akaike
Information Criterion (AIC), model ARDL terpilih adalah (1,4,3,0,0). Berikut hasil
estimasi ARDL (1,4,3,0,0).
Sebelum menganalisis lebih jauh—baik jangka pendek maupun jangka
panjang—satu indikator penting perlu dicermati yaitu error correction untuk
mengetahui penyesuaian jangka pendek. Ecm bertanda negatif dan sangat signifikan
(taraf 1 persen), artinya bahwa adanya kointegrasi antar-variabel bisa dikonfirmasi.
Koefisien ecm (-0.345) menandakan bahwa kesalahan jangka pendek akan dikoreksi
sebesar 0.34 persen selama satu periode (bulan) menuju keseimbangan. Berdasarkan
pada hasil estimasi di atas, menunjukkan bahwa dalam jangka pendek dan jangka
panjang dalam model (3), terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi ekspor
CPO Indonesia:
Pertama, adalah variabel ekspor itu sendiri. Ekspor CPO ternyata
dipengaruhi oleh ekspor CPO pada periode sebelumnya (t-1), karena data penelitian
ini bulanan, maka t-1 adalah ekspor pada bulan sebelumnya. Ini hanya terjadi dalam
jangka pendek. Artinya, performa ekspor CPO yang baik pada bulan sebelumnya
akan mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap ekpor CPO pada periode
sekarang dengan nilai koefisien bernilai positif 0,654 dan signikan secara statistik
pada level 1 persen, maka apabila ekspor pada t-1 naik sebesar 1 persen, akan
menaikkan ekspor periode ini sebesar 0,65 persen.
55 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Hal ini memang belum dijelaskan pada penelitian-penelitian sebelumnya,
tetapi dengan menggunakan model ARDL bisa diketahui bahwa kinerja ekspor CPO
tidak hanya dipengaruhi faktor makroekonomi, tetapi juga oleh kinerja ekspor pada
periode sebelumnya.
Kedua, pengaruh produksi kelapa sawit dalam mempengaruhi ekspor CPO.
Variabel produksi kelapa sawit mempunyai pengaruh jangka pendek, baik periode t
maupun pada periode sebelumnya (t-1). Nilai koefisien produksi bertanda negatif
dalam jangka pendek periode t sebesar -3,741 yang signifikan pada level 1 persen,
menunjukan apabila terjadi peningkatan produksi sebesar 1 persen maka ekspor CPO
akan mengalami penurunan sebesar 3,7 persen dengan asumsi harga CPO
internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan term of trade tidak mengalami
perubahan atau cateris paribus. Sedangkan pada periode sebelumnya (t-1) terjadi
sebaliknya, koefisien produksi bertanda positif sebesar 3,243 dan signifikan pada
level 5 persen. Hal ini menunjukkan apabila terjadi kenaikan produksi kelapa sawit
pada periode sebelumnya (bulan sebelumnya) sebesar 1 persen akan menaikkan
ekspor CPO sebesar 3,24 persen. Angka ini cukup elastis, artinya dalam jangka
pendek bisa terjadi dua kemungkinan pengaruh dari produksi kelapa sawit; apabila
produksi naik pada periode ini yang terjadi ekspor akan turun sebab ketika supply
(penawaran) mengalami kenaikan belum tentu akan ada permintaan yang tinggi,
karena jargon J.B Say “supply creates its own demand” tidak terbukti. Hal ini
berbeda jika kenaikan produksi kelapa sawit terjadi pada periode sebelumnya, yang
memungkinkan tejadinya waktu penyesuaian untuk memberikan dorongan kepada
ekspor, sehingga produksi kelapa sawit periode lalu bisa meningkatkan ekspor CPO
pada saat ini, tapi produksi naik saat ini belum tentu akan menaikkan ekspor.
Koefisien produksi yang bernilai positif, maka mempunyai hubungan positif
terhadap ekspor CPO dalam jangka pendek. Hal ini menandakan bahwa uji tanda
sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini menunjukan bahwa
produksi dalam jangka pendek signifikan dalam mempengaruhi ekspor CPO
Indonesia. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Smith mengenai Teori
Keunggulan Absolut yang membuktikan bahwa semakin tinggi produksi maka akan
mengakibatkan tingginya volume ekspor. Komalasari (2009) menjelaskan bahwa
adanya pengaruh secara positif antara peningkatan produksi terhadap penawaran
ekspor. Saat produksi mengalami peningkatan maka ketersediaan CPO meningkat
dan penawaran CPO di dalam maupun luar negeri meningkat, sehingga
menyebabkan ekspor CPO Indonesia juga akan mengalami kenaikan.
Nilai koefisien Produksi dalam jangka panjang sebesar -2,293 yang signifikan
pada level 5 persen, menunjukan apabila terjadi peningkatan produksi sebesar 1
persen maka ekspor CPO akan mengalami peningkatan sebesar 2,3 persen dengan
asumsi harga CPO internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan Term of
Trade tidak mengalami perubahan atau cateris paribus. Koefisien produksi bernilai
negatif, maka produksi mempunyai hubungan negatif terhadap ekspor CPO dalam
56
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
jangka panjang. bahwa produksi dalam jangka panjang signifikan dalam
mempengaruhi ekspor CPO Indonesia.
Ketiga, pengaruh harga CPO internasional terhadap ekspor CPO. Dalam
jangka pendek pada periode t-1 nilai koefisien harga CPO bertanda negatif sebesar -
0,1736 yang signifikan pada level 10 persen, hal ini menunjukan apabila terjadi
peningkatan harga CPO sebesar 1 persen maka ekspor CPO akan mengalami
penurunan sebesar 0,17 persen dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
Term of Trade dan produksi kelapa sawit tidak mengalami perubahan atau cateris
paribus. Koefisien harga CPO bernilai negatif, maka harga CPO mempunyai
hubungan negatif terhadap ekspor CPO dalam jangka pendek. Hal ini menandakan
bahwa uji tanda sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini. Hal ini
sesuai dengan teori Lipsey (1995) yang menyatakan harga dan kuantitas/jumlah
permintaan suatu komoditi berhubungan secara negatif. Artinya semakin tinggi harga
suatu komoditi maka jumlah permintaan (barang ekspor) terhadap komoditi tersebut
akan semakin berkurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Abidin (2008) mengenai analisis ekspor minyak kelapa sawit (CPO)
Indonesia. Dari hasil uji empiris ditemukan bahwa terdapatnya hubungan yang
negatif dan signifikan antara harga CPO nasional dan ekspor minyak kelapa sawit
(CPO) Indonesia.
Berdasarkan data Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI),
Indonesia telah mencatatkan ekspor CPO dan turunannya pada tahun 2014 mencapai
21,76 juta ton, sedikit meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 21,22 juta
ton. Namun demikian, peningkatan tersebut tidak disertai dengan peningkatan
kebutuhan CPO dunia, sehingga terjadi kelebihan pasokan CPO di pasar
international yang membuat harga terpengaruh secara negatif.
Nilai koefisien harga CPO dalam jangka panjang sebesar -1,1983 yang
signifikan pada level 1 persen, menunjukan bahwa harga CPO dalam jangka panjang
signifikan dalam mempengaruhi ekspor CPO Indonesia. Artinya, apabila terjadi
kenaikan harga CPO internasional 1 persen akan menurunkan ekspor CPO Indonesia
sebesar 1,2 persen. Angka ini menunjukkan elastisitas yang cukup tinggi pengaruh
harga internasional dalam jangka panjang. Tidak heran jika pengaruh negatif harga
internasional ini juga ditemui di beberapa komoditas ekspor non migas lain.
Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Sugiarsana dan Indrajaya (2012)
menganalisis tentang pengaruh jumlah produksi, harga dan investasi terhadap
volume ekspor tembaga Indonesia tahun 1995 sampai 2010. Dari hasil uji empiris
ditemukan bahwa terdapatnya hubungan yang negatif antara harga tembaga dan
volume ekspor tembaga Indonesia. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh
Anggraini (2006) yang menunjukkan bahwa harga kopi dunia berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap permintaan ekspor kopi Indonesia dari Amerika Serikat.
57 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Selanjutnya menurut penelitian Siburian (2012) tentang Analisis Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Karet Alam Indonesia ke Singapura,
menyatakan bahwa variabel Harga karet alam Indonesia dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang memiliki hubungan yang negatif terhadap ekspor
karet alam Indonesia ke Singapura. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel harga
menjadi pertimbangan bagi negara pengimpor dalam menentukan volume karet yang
akan diimpor dari Indonesia. Jika harga karet Indonesia tinggi, maka volume karet
yang diperdagangkan ke negara tersebut akan semakin kecil dan sebaliknya.
Keempat, pengaruh Term of Trade terhadap ekspor CPO. Nilai koefisient
Term of Trade dalam jangka pendek sebesar 0,751 yang signifikan pada level 5
persen, menunjukan dalam jangka pendek Term of Trade berpengaruh positif dan
signifikan dalam mempengaruhi ekspor CPO Indonesia. Menunjukkan pula apabila
terjadi peningkatan Term of Trade sebesar 1 persen maka ekspor CPO akan
mengalami kenaikan sebesar 0,75 persen dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS, harga CPO internasional dan produksi kelapa sawit tidak mengalami
perubahan atau cateris paribus. Sedangkan dalam jangka panjang, koefisien Term of
Trade bertanda positif sebesar 2.1724 yang signifikan pada level 1 persen;
menunjukkan bahwa Term of Trade dalam jangka panjang berpengaruh positif dan
signifikan dalam mempengaruhi ekspor CPO Indonesia. Menunjukkan pula apabila
terjadi peningkatan Term of Trade sebesar 1 persen maka ekspor CPO akan
mengalami kenaikan sebesar 2,17 persen dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS, harga CPO internasional dan produksi kelapa sawit tidak mengalami
perubahan atau cateris paribus. Artinya, ToT dalam jangka panjang mempunyai
pengaruh yang besar dalam meningkatkan performa ekspor CPO Indonesia,
mengingat nilai elastisitasnya cukup tinggi.
Konsep ToT yang paling umum digunakan, yaitu Net Barter Terms of Trade
atau juga dapat disebut Commodity Terms of Trade. Net Barter Terms of Trade
adalah perbandingan antara indeks harga ekspor dengan indeks harga impor.
Kenaikan ekspor menunjukkan perbaikan di dalam nilai tukar perdagangan, artinya
untuk sejumlah tertentu ekspor dapat diperoleh jumlah impor yang lebih banyak
dengan melalui hubungan harga (Nopirin 1991). Hasil temuan dalam penelitian ini
juga sesuai dengan teori bahwa Term of Trade yang membaik akan berdampak
positif terhadap ekspor dan berdampak negatif terhadap impor. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian Sugeng et al., (2010) dari Biro Riset Ekonomi – DKM Bank
Indonesia.
Kelima, pengaruh kurs rupiah terhadap ekspor CPO. Dalam jangka pendek,
nilai koefisien nilai tukar rupiah bertanda negatif sebesar -0,4809 dan signifikan pada
level 1 persen; menunjukan nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan dalam
terhadap ekspor CPO Indonesia. Hasil riset menunjukkan pula apabila terjadi
apresiasi (menguat) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar 1 persen maka
ekspor CPO akan menurun sebesar 0,48 persen dengan asumsi harga CPO
58
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
internasional dan produksi kelapa sawit dan ToT tidak mengalami perubahan atau
cateris paribus. Sedangkan dalam jangka panjang, koefisien nilai tukar juga bertanda
negatif sebesar -1,3902 yang signifikan pada level 1 persen; menunjukan bahwa nilai
tukar dalam jangka panjang berpengaruh negatif dan signifikan dalam
mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia. Menunjukan pula apabila terjadi penguatan
nilai tukar (apresiasi) rupiah terhadap dolar AS sebesar 1 persen maka ekspor CPO
akan mengalami penurunan sebesar 1,39 persen dengan asumsi harga CPO
internasional dan produksi kelapa sawit tidak mengalami perubahan atau cateris
paribus. Nilai koefisien jangka panjang (-1,39) menunjukkan bawah nilai tukar
rupiah mempunyai pengaruh yang besar untuk menurunkan ekspor CPO Indonesia,
mengingat nilai elastisitasnya cukup tinggi.
Hasil penelitian ini memperkuat teori mengenai kurs suatu negara dan
hubungannya dengan ekspor impor. Boediono (2001) menjelaskan apabila nilai
rupiah terapresiasi terhadap mata uang asing maka akan berdampak pada turunnya
nilai ekspor sedangkan nilai impornya akan meningkat (apabila penawaran ekspor
dan permintaan impor cukup elastis). Hal ini dikarenakan di pasaran internasional
produk domestik menjadi lebih mahal. Dalam konteks penelitian ini, maka ketika
mata uang rupiah mengalami apresiasi (menguat) terhadap dolar AS maka hal ini
akan menyebabkan harga CPO Indonesia di pasar internasional atau di negara tujuan
menjadi relatif lebih mahal, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan ekspor
CPO. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulantoro (2009), Alatas
(2015) dan Azizah (2015).
Untuk menguji stabilitas jangka panjang bersama dengan penyesuaian jangka
pendek, sebagaimana dijelaskan pada bagian metode penelitian, maka digunakan
CUSUM dan CUSUMQ. CUSUM test berdasar pada cumulative sum of recursive
residuals, jika plot CUSUM berada pada nilai kritis 5 persen (tidak keluar dari garis
batas atas dan bawah), maka estimasi dianggap stabil, begitu sebaliknya. Hal yang
sama juga berlaku untuk CUSUMQ test yang bedasar pada cumulative sum of
squares of recursive residuals. Gambar (2) dibawah ini menunjukkan bahwa plot
CUSUM dan CUSUMQ berada dalam garis batas, secara umum menunjukkan
koefisien regresi stabil selama periode penelitian (Lihat lampiran 2).
SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil analisis pengaruh harga CPO internasional terhadap tingkat ekspor
CPO Indonesia dalam jangka pendek berpengaruh negatif dan signifikan. Begitu juga
dalam jangka panjang, harga CPO berpengaruh negatif dan signifikan dalam
mempengaruhi ekspor CPO Indonesia. Hal ini sesuai dengan teori permintaan yang
menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditi maka jumlah permintaan
terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang. Hal serupa juga terjadi pada
59 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
variabel nilai tukar rupiah terhadap ekspor CPO dalam jangka pendek dan jangka
panjang yang berkoefisien negatif dan signifikan dalam mempengaruhi ekspor CPO
Indonesia. Artinya jika rupiah menguat, ekspor CPO akan turun baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Pengaruh variabel Term of Trade terhadap ekspor CPO dalam jangka pendek
dan jangka panjang berpengaruh positif signifikan dalam mempengaruhi ekspor CPO
Indonesia. Sedangkan pengaruh variabel produksi terhadap ekspor CPO dalam
jangka pendek memiliki nilai positif dan signifikan dalam mempengaruhi ekspor
CPO Indonesia. Begitu juga dalam jangka panjang, produksi memiliki pengaruh
yang positif dan signifikan. Tetapi dalam jangka panjang, produksi kelapa sawit tidak
menaikkan ekspor CPO. Melalui analisis CUSUM dan CUSUMQ bisa disimpulkan
bahwa model ekspor CPO Indonesia dalam keadaan stabil selama periode penelitian.
Keterbatasan dan Saran
Penelitian ini terbatas pada variabel-variabel yang mempengaruhi ekspor
CPO hanya dari negera pengekspor, atau dari faktor internal Indonesia. Sehingga
masih belum mampu menangkap secara komprehensif, karena tidak bisa dipungkiri
bahwa kondisi ekonomi negara-negara pengimpor CPO juga mempunyai pengaruh
dalam permintaan ekspor. Penelitian ini akan lebih menyeluruh, apabila dimasukkan
variabel-variabel kondisi ekonomi negara impotir terbesar CPO, seperti GDP atau
pertumbuhan ekonominya dan permintaan CPO negara importir. Negara pengimpor
terbesar CPO Indonesia adalah India, disusul Tingkok pada urutan kedua. Saran
untuk penelitian berikutnya: perlu ditambahkan varibel kondisi ekonomi negara
importir (GDP India, Tiongkok) serta permintaan dalam negeri akan CPO India dan
Tiongkok, supaya hasil lebih komprehensif.
Implikasi
Dari berbagai kesimpulan yang telah dirangkumkan di atas, sebagai implikasi
kebijakan bagi Pemerintah dalam upaya peningkatan nilai ekspor sebagai berikut:
1. Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia. Dengan peran yang cukup
besar Indonesia diharapkan harus dapat meningkatkan kualitas minyak kelapa
sawit (CPO) yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh negara-negara
importir di pasar internasional. Maka dari itu, perlu adanya sinergitas kebijakan
pemerintah yang mendukung daya saing hilirisasi industri sawit untuk menguasai
pasar internasional.
2. Sebagai negara pengekspor dan produsen CPO terbesar dunia, Indonesia perlu
mengupayakan untuk menjadi penentu harga atau prive maker CPO dunia.
3. Fluktuasi harga minyak sawit dunia hendaknya mampu diatasi pemerintah dengan
meningkatkan stok minyak sawit dalam negeri agar gejolak kenaikan harga dunia
tidak terlalu berimbas ke nilai ekspor kelapa sawit Indonesia.
4. Menjaga nilai Term of Trade agar tetap tinggi nilainya, hal itu akan meningkatkan
aliran modal masuk yang berasal dari perdagangan yang selanjutnya dapat
60
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
mengapresiasi nilai tukar riil dan sebaliknya. Term of Trade yang membaik akan
berdampak positif terhadap ekspor.
5. Dengan rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) yang
telah diadopsi Indonesia, pemerintah perlu menerapkan peringatan dini gejolak
nilai tukar rupiah, sebab jika variabel kurs mengalami apresiasi, akibatnya cukup
besar dalam menurunkan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
(BPS), Badan Pusat Statistik. n.d. “Jawa Tengah Dalam Angka 2008-2012.” BPS
Propinsi Jawa Tengah. Semarang.
(Dirjen), Direktorat Jendral Perkebunan. 2016. Statistik perkebunan Indonesia 2014-
2016: kelapa sawit (oil palm). Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal
Perkebunan.
https://doi.org/http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik
/2016/SAWIT 2014-2016.pdf.
Abidin, Z. 2008. “Analisis ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia.” Jurnal
Aplikasi Manajemen 6 (1): 139–44.
Agustian, A. 2002. “Analisis dinamika ekspor dan keunggulan komparatif minyak
kelapa sawit (CPO) di Indonesia.” SOCA (Socio-Economic Of Agriculturre
And Agribusiness) 4 (3): 1–24.
Alatas, Andi. 2015. “Trend Produksi dan ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia.”
Journal of Agribusiness and Rural Development Research 1 (2): 114–24.
https://doi.org/10.18196/agr.1215.
Anggraini, Dewi. 2006. “Faktor-Faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor kopi
Indonesia dari Amerika Serikat.” Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro Semarang.
Apridar. 2009. Ekonomi internasional, sejarah, teori, konsep dan permasalahan
dalam aplikasinya. Cetakan pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ayuningsih, N. S. M, dan N. D Setiawina. 2014. “Pengaruh jumlah produksi, kurs
dollar Amerika Serikat dan luas areal lahan terhadap ekspor karet Indonesia
tahun 1993-2013.” E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Unud 3 (8): 366–75.
Azizah, Nur. 2015. “Analisis ekspor crude palm oil (CPO) Indonesia di Uni Eropa.”
Economics Development Analysis Journal 4 (3): 330–37.
Basri, Faisal H. 2002. Perekonomian Indonesia: tantangan dan harapan bagi
kebangkitan ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Boediono. 2001. Teori dan aplikasi statistika dan probabilitas. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.
61 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Huchet-Bourdon, Marilyne, dan Jane Korinek. 2012. “Trade effects of exchange
rates and their volatility: Chile and New Zealand. OECD trade policy
papers.” OECD Publishing Paris.
Huda, Syamsul. 2006. “Analisis beberapa faktor yang mempengaruhi ekspor non
migas Indonesia ke Jepang.” Jurnal iIlmu-Ilmu Ekonomi 6 (2): 117–24.
Kindleberger, Charles P, dan Peter H Lindert. 1983. Ekonomi internasional. Jakarta:
Erlangga.
Lipsey, Richard G. 1995. Pengantar makroekonomi. Edisi Kese. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Mariati, R. 2009. “Pengaruh produksi nasional, konsumsi dunia dan harga dunia
terhadap ekspor crude palm oil (CPO) di Indonesia.” Jurnal Ekonomi
Pertanian dan Pembangunan 6 (1): 30–35.
Mendoza, Enrique. 1995. “The terms of trade, the real exchange rate, and economic
fluctuations.” International Economic Review 36 (1): 101–37.
https://doi.org/10.2307/2527429.
Munadi, Ernawati. 2007. “Penurunan pajak ekspor dan dampaknya terhadap ekspor
minyak kelapa sawit Indonesia ke India (pendekatan error correction ,odel).”
Jurnal Informatika Pertanian 16 (2): 1020–36.
Nopirin. 1991. Ekonomi internasional. Edisi kedu. Yogyakarta: BPFE-UGM.
Pahlavani, Mosayeb, Ed Wilson, dan Andrew C. Worthingt. 2005. “Trade-GDP
nexus in Iran: an application of the autoregressive distributed lag (ARDL)
model.” American Journal of Applied Sciences 2 (7): 1158–65.
https://doi.org/10.3844/ajassp.2005.1158.1165.
Pesaran, M. H., Shin, Y. 1999. “An autoregressive distributed lag modelling
approach to cointegration analysis. Dalam S. Strom, ed.” In Econometrics
and Economic Theory in the 20th Century: The Ragnar Frisch Centennial
Symposium., 33. Cambridge: Cambridge University Press.
https://doi.org/10.1017/CCOL521633230.
Pesaran, M. Hashem, dan Bahram Pesaran. 1997. Working with microfit 4.0:
interactive econometric analysis. Oxford: Oxford University Press.
Pesaran, M. Hashem, Yongcheol Shin, dan Richard J. Smith. 2001. “Bounds testing
approaches to the analysis of level relationships.” Journal of Applied
Econometrics 16 (3): 289–326. https://doi.org/10.1002/jae.616.
Pesaran, M Hashem, dan Ron P Smith. 1998. “Structural analysis of cointegrating
VARs.” Journal of Economic Surveys 12 (5): 471–505.
https://doi.org/10.1111/1467-6419.00065.
Salvatore, Dominick, dan Paul R Krugman. 1997. Ekonomi internasional. Jakarta:
62
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Penerbit Erlangga.
Samuelson, Paul A, dan William D Nordhaus. 1997. Mikroekonomi. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Shrestha, Min B., dan Khorshed Chowdhury. 2005. “ARDL modelling approach to
testing the financial liberalisation hypothesis.”
Siburian, Onike. 2012. “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor karet alam
Indonesia ke Singapura tahun 1980-2010.” Economics Development Analysis
Journal 1 (2).
Sugeng, M. N. Nugroho, Ibrahim, dan Yanifitri. 2010. “Pengaruh dinamika
penawaran dan permintaan valas terhadap nilai tukar rupiah dan kinerja
perekonomian Indonesia.” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan
(Januari), 311–53.
Sugiarsana, M, dan I. G. B. Indrajaya. 2012. “Analisis pengaruh jumlah produksi,
harga dan investasi terhadap volume ekspor tembaga Indonesia tahun 1995–
2010.” Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana 2 (1): 10–19.
Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan – Proses, Masalah dan Dasar
Kebijakan. Jakarta: LP3ES-UI dengan Bina Grafika.
———. 2002. Pengantar teori makroekonomi. Edisi Kedu. Jakarta: PT. Raja
Grafinda Persada.
Susilo, A. 2001. “Dampak ketidakpastian nilai tukar Indonesia terhadap
pertumbuhan ekspor periode 1979-1988: suatu pendekatan kointegrasi dan
model koreksi kesalahan.” Universitas Indonesia Jakarta.
Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia : teori dan temuan empiris.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Todaro, Michael P. 1983. Ekonomi pembangunan di dunia ketiga. Jakarta: Penerbit
Balai Aksara.
———. 2000. Economic development. Seventh ed. New York: New York
University, Addison Mesley.
Wulantoro, Aris. 2009. “Kebijakan dan pertumbuhan ekspor minyak kelapa sawit
Indonesia ke negara Belanda tahun 1985-2007.” Pascasarjana Universitas
Andalas.
63 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
64
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
LAMPIRAN 1
Tabel 1
Kontribusi Sektor Non Migas terhadap Cadangan Devisa Indonesia tahun 2013-2015 (dalam
juta Rupiah)
Kelompok Hasil
Industri 2013 2014 2015 Pertumbuhan
(%)
Minyak Kelapa
Sawit 20.660 23.711 20.746 19.45
Biji Baja, Mesin
dan Otomotif 14.684 5.813 14.455 13.55
Tekstil 12.661 12.720 12.262 11.50
Elektronika 8.520 8.066 6.913 6.40
Pengolahan Karet 9.724 7.497 6.171 5.79
Makanan dan
Minuman 5.379 5.554 5.597 5.25
Pulp dan Kertas 5.643 5.498 5.332 5.00
Peng. Kayu 4.727 5.202 5.188 4.86
Emas, perak, logam
mulia, dll 4.727 5.202 5.188 4.43
Kulit, Barang Kulit 3.933 4.090 4.615 4.33
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013-2015
Tabel 2
ARDL Bound Test
Model Ekspor CPO k F-Statistik
𝐸𝑋𝐶𝑃𝑂= 𝑓(𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖, 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐶𝑃𝑂 𝑖𝑛𝑡, 𝑇𝑜𝑇, 𝐾𝑢𝑟𝑠)
4 Lag (4,4,4,4)
6.879575*
Nilai Kritis Tabel CI(v): Case V*
Lower Bound I(0) Upper Bound I(1)
1% 4.4 5.72
5% 3.47 4.57
10% 3.03 4.06
Keterangan: Nilai kritis (critical value) dalam tes ini berdasarkan pada
al.,kasus V: Unrestricted intercept and unrestricted trend (Pesaran et
al., 2001, h. 301).
65 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Tabel 3
Hasil Estimasi model ARDL(1,4,3,0,0) (ln EXCPOt sebagai dependen variabel) berdasar AIC
A. Koefisien Jangka Pendek
Regressor Koefisien Std. Error T-ratio[Prob]
Intercept 19.125 5.9821 3.1971[0.00]
∆𝑙𝑛 𝐸𝑋𝐶𝑃𝑂𝑡−1 0.6540 0.0932 7.0163[0.00]
∆𝑙𝑛 𝑃𝑅𝑡 -3.7417 1.1637 -3.2153[0.00]
∆𝑙𝑛 𝑃𝑅𝑡−1 3.2434 1.5390 2.1074[0.04]
∆𝑙𝑛 𝑃𝑅𝑡−2 0.9498 1.5206 0.6246[0.53]
∆𝑙𝑛 𝑃𝑅𝑡−3 0.5658 1.5086 0.3750[0.70]
∆𝑙𝑛 𝑃𝑅𝑡−4 -1.8109 1.0305 -1.7573[0.08]
∆𝑙𝑛𝑃𝐶𝑡 -0.0672 0.0670 -1.0030[0.32]
∆𝑙𝑛𝑃𝐶𝑡−1 -0.1736 0.0916 -1.8941[0.06]
∆𝑙𝑛𝑃𝐶𝑡−2 -0.0604 0.0924 -0.6545[0.51]
∆𝑙𝑛𝑃𝐶𝑡−3 -0.1132 0.0776 -1.4577[0.15]
∆𝑙𝑛𝑇𝑜𝑇𝑡 0.7515 0.3187 2.3577[0.02]
∆𝑙𝑛𝐸𝑋𝐶𝑡 -0.4809 0.1435 -3.3510[0.00]
Trend 0.0076 0.0037 2.0607[0.04]
𝑒𝑐𝑡−1 -0.3459 0.0932 -3.7115[0.00]
R2 = 0.975, Adjusted R2 = 0.967, F-stat = 113.26[0.00], DW-stat = 2.132,
BG-LM test = 0.3390[0.84], Glejser-test = 18.927[0.12].
B. Koefisien Jangka Panjang
Koefisien Std. Error T-ratio[Prob]
Intercept 55.280 15.431 3.5822[0.00]
ln 𝑃𝑅 -2.2937 1.0611 -2.1614[0.03]
ln 𝑃𝐶 -1.1983 0.1605 -7.4660[0.00]
ln 𝑇𝑜𝑇 2.1724 0.6147 3.5336[0.00]
ln 𝐸𝑋𝐶 -1.3902 0.4737 -2.9346[0.00]
Trend 0.0221 0.0102 2.1498[0.03]
Keterangan: BG-LM (Breusch-Godfrey Lagrange Multiplier)
merupakan test residual mendeteksi serial korelasi. Glejser test
untuk menguji adanya heteroskedastisitas; dengan p-value yang
tertera dalam [..].
66
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
LAMPIRAN 2
Plot of Cumulative Sum of Recursive Residuals for EXCPO
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015
CUSUM 5% Significance Plot of Cumulative Sum of Squares of Recurcive Residuals
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
IV I II III IV I II III IV I II III IV
2013 2014 2015
CUSUM of Squares 5% Significance Gambar 2
Plot CUSUM (kiri) dan CUSUMQ (kanan) untuk menguji stabilitas
67 Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ISSN 1979 - 6471 Volume 20 No. 1, April 2017
top related