CAMPUR KODE DAN ALIH KODE TUTURAN · PDF filecampur kode dan alih kode tuturan penjual dan pembeli di pasar johar semarang skripsi azizah purnamawati npm 06410230 program studi
Post on 03-Feb-2018
301 Views
Preview:
Transcript
CAMPUR KODE DAN ALIH KODE TUTURAN
PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR JOHAR SEMARANG
SKRIPSI
AZIZAH PURNAMAWATI
NPM 06410230
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
2010
ii
CAMPUR KODE DAN ALIH KODE TUTURAN
PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR JOHAR SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
IKIP PGRI Semarang untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat
Guna Memperolrh Gelar Sarjana Pendidikan
AZIZAH PURNAMAWATI
NPM 06410230
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
2010
iii
SKRIPSI
CAMPUR KODE DAN ALIH KODE TUTURAN
PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR JOHAR SEMARANG
yang disusun dan diajukan oleh
Azizah Purnamawati
NPM 06410230
telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan
dihadapan Dewan Penguji
pada Juni 2010
Pembimbing I,
Nanik Setyawati, S.S., M.Hum.
NPP 997101150
Pembimbing II,
Drs. Siswanto PHM., M.Pd.
NIP 131470261
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
iv
SKRIPSI
CAMPUR KODE DAN ALIH KODE TUTURAN
PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR JOHAR SEMARANG
yang disusun dan diajukan oleh
Azizah Purnamawati
NPM 06410230
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 03 Juli 2010
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji,
Ketua, Sekretaris,
Dra. Sri Suciati, M.Hum. Drs. Harjito, M.Hum.
NIP 131918348 NPP 936501103
( )
Penguji I Nanik Setyawati, S.S., M.Hum.
NPP 97101150
( )
Penguji II Drs. Siswanto PHM., M.Pd.
NPP 936601104
( )
Penguji III Drs. Suyoto, M.Pd.
NIP 196403021991121001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Kegagalan adalah keberhasilan
yang tertunda
Keberhasilan itu sendiri tak pernah
final
Kejar terus, keberhasilan demi
keberhasilan
Serius tetapi tetap santai
(Azizah Purnamawati)
PERSEMBAHAN
1. Buat Ayah Bunda yang tida
henti memberikan do’a dan
dukungan.
2. Buat anak-anak koz “Lampir”
yang selalu menemani saat suka
dan duka.
3. Buat Critenx, Cuby, Citeng,
Ares, Jack, Liez, Lala,
terimakasih atas do’a dan
semangatnya..
.
vi
ABSTRAK
Azizah Purnamawati. NPM 06410230. Campur Kode dan Alih Kode Tuturan
Penjual dan Pembeli di Pasar Johar Semarang. IKIP PGRI Semarang Juni 2010.
Pembimbing I Nanik Styawati, S.S., M.Hum. Pembimbing II Drs. Siswanto PHM.,
M.Pd.
Masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah wujud atau
bentuk campur kode dan alih kode tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar
Semarang? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud atau bentuk
campur kode dan alih kode tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar Semarang.
Metode yang digunakan adalah metode simak, rekam, catat dan pendekatan
penelitian, yaitu pendekatan kualitatif deskriptif. Analisis penelitian ini, yaitu Sebagai
masyarakat dwibahasa dan multibahasa, masyarakat tutur di pasar Johar Semarang
tentunya juga memiliki bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara penjual dan
pembeli. Sebagian besar dari mereka menguasai bahasa Jawa. Karena bahasa tersebut
merupakan bahasa yang pertama kali dikuasai (bahasa ibu). Dan bahasa Indonesia
yang dipakai oleh penjual untuk berkomunikasi merupakan bentuk-bentuk tuturan
untuk menghormati pembeli, karena dilihat dari status sosial atau dari segi
penampilan. Sebagai masyarakat tutur, penjual dan pembeli yang ada di pasar Johar
memiliki karakteristik kebahasaan yang menarik untuk dikaji. Di pasar Johar
Semarang seringkali kedatangan masyarakat dari daerah lain yang menghasilkan
bentuk-bentuk tuturan. Di dalam proses komunikasi yang sebenarnya setiap penutur
tidak pernah setia pada satu ragam bahasa atau dialek tertent saja. Ragam bahasa pada
satu dialek ke dialek sering disebut dengan dialek switching atau kode switching (alih
kode).
Berdasarkan hasil penelitian saran kepada masyarakat di Pasar Johar Semarang
(penjual dan pembeli) dengan adanya campur kode dan alih kode dalam masyartakat
hendaknya tetap menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, dan
digunakan sesuai dengan tempat, kondisi, tujuan dan keperluannya.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, taufiq
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Campur Kode dan Alih Kode Tuturan Penjual dan Pembeli di Pasar Johar
Semarang”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan di IKIP PGRI Semarang.
Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta bimbingan dari
berbagai pihak. Maka perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Muhdi, S.H, M.Hum., Rektor IKIP PGRI Semarang yang telah memberikan
izin penulisan skripsi ini.
2. Dra. Sri Suciati, M.Hum., Dekan FPBS IKIP PGRI Semarang yang telah
memberikan izin penulisan skripsi ini.
3. Drs. Harjito, M.Hum., Kajur FPBS IKIP PGRI Semarang yang telah
menyetujui tema skripsi ini.
4. Nanik Setyawati, S.S M.Hum., Pembimbing I yang dengan sabar dan penuh
kesungguhan memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
5. Drs. Siswanto PHM., M.Pd., Pembimbing II yang dengan sabar dan penuh
kesungguhan memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu dosen FPBS yang telah memberikan ilmunya sebagai pedoman
penulisan skripsi ini
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan baru
bagi pembaca.
Semarang, Juni 2010
Penulis.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL .............................................................................................................. i
PERSETUJUAN ............................................................................................... iii
PENGESAHAN ................................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .......................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
E. Penegasan Istilah .............................................................................. 4
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................... 7
A. Peristiwa Tutur ................................................................................. 7
B. Masyarakat Tutur.............................................................................. 9
C. Bentuk Tingkat Tutur ....................................................................... 10
D. Variasi atau Ragam Bahasa .............................................................. 13
E. Kdwibahasaan................................................................................... 13
1. Interferensi.................................................................................. 14
2. Integrasi...................................................................................... 15
3. Campur Kode............................................................................. 16
4. Alih Kode................................................................................... 19
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 24
A. Pendekatan dan Jenis Penalitian ....................................................... 24
ix
B. Sumbe data dan Data ........................................................................ 25
C. Teknik Pengumpulan Data................................................................ 25
D. Teknik Analisis Data........................................................................ 26
E. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.............................................. 27
BAB IV CAMPUR KODE DAN ALIH KODE TUTURAN PENJUAL DAN
PEMBELI DI PASAR JOHAR SEMARANG.................................. 28
A. Pemerian Wujud Campur kode dalam Tuturan Penjual dan
Pembeli di Pasar Johar semarang ..................................................... 28
B. Pemerian Wujud Alih kode dalam Tuturan dan Penjual dan
Pembeli di Pasar Johar Semarang..................................................... 47
Bab V PENUTUP............................................................................................... 72
A. Simpulan..................................................................................... 72
B. Saran........................................................................................... 72
Daftar Pustaka .................................................................................................... 74
Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah suatu sistem, sama dengan sistem-sistem lain, yang
sekaligus bersifat sistematis dan bersifat sistemis. Bahasa bukan merupakan suatu
sistem tunggal melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem (fonologi, sintaksis,
dan leksikon). Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi
(Chaer, 2003:30).
Bahasa adalah alat interaksi sosial, dalam arti alat untuk menyampaikan
pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan.
Dalam hal ini Wardaugh (1972) seorang pakar sosiolinguistik juga mengatakan
bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik lisan maupun tulisan.
Kemudian disimpulkan bahsa bahasa adalah alat untuk melahirkan ungkapan-
ungkapan natin yang ingin disampaikan seorang penutur kepada orang lain.
Pernyataan senang, benci, jengkel, kagum, marah, sedih dan kecewa, dapat
diungkapkan dengan bahasa, meskipun tingkah laku, gerak-gerik, dan mimik juga
berperan dalam mengungkapkan ekspresi batin itu (Chaer, 2003:33).
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa. dan
bahasa merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan dan kerja sama dengan
orang di pasar, di rumah sakit, di sekolah dan di lapangan. Hidup dimana saja
terus menggunakan bahasa.
2
Bentuk dan tuturan yang terjadi di pasar, yaitu tempat sebagai transaksi
jual-beli sangatlah beragam. Di dalam proses berkomunikasi yang sebenarnya,
setiap penjual maupun pembeli tidak pernah setia pada satu ragam/dialek tertentu.
Beragam dialek tentunya akan ditemui saat proses jual-beli tersebut. Hal
ini dimaksudkan agar penutur (penjual) maupun mitra tutur (pembeli) dapat saling
memahami apa yang dimaksud oleh kedua belah pihak dan tidak menimbulkan
salah pengertian. Adanya alih kode dan campur kode selama tuturan berlangsung
merupakan hal wajar yang dipakai penjual saat bertransaksi.
Masyarakat tutur menggunakan bahasa yang hidup di masyarakat dan
terkait oleh peraturan yang berbeda-beda yang ada di masyarakat, namun tetap
dapat saling memahami, sehingga masyarakat tutur dan keadaan pribadinya yang
berbeda-neda tersebut yang memungkinkan munculnya beragam tuturan. Sebagai
masyarakat dwibahasa dan multibahasa, masyarakat tutur di pasar Johar Semarang
tentunya juga memiliki bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara penjual
dan pembeli.
Sebagian besar dari mereka menguasai bahasa Jawa. Karena bahasa
tersebut merupakan bahasa yang pertama kali dikuasai (bahasa ibu). Dan bahasa
Indonesia yang dipakai oleh penjual untuk berkomunikasi merupakan bentuk-
bentuk tuturan untuk menghormati pembeli, karena dilihat dari status sosial atau
dari segi penampilan.
Sebagai masyarakat tutur, penjual dan pembeli yang ada di pasar Johar
memiliki karakteristik kebahasaan yang menarik untuk dikaji. Di pasar Johar
Semarang seringkali kedatangan masyarakat dari daerah lain yang menghasilkan
3
bentuk-bentuk tuturan. Di dalam proses komunikasi yang sebenarnya setiap
penutur tidak pernah setia pada satu ragam bahasa atau dialek tertent saja. Ragam
bahasa pada satu dialek ke dialek sering disebut dengan dialek switching atau
kode switching (alih kode).
Contoh :
Seorang penjual dari Jawa yang sering kali dalam berkomunikasi menggunakan
bahasa Jawa ragam ngoko menyelipkan serpihan bahasa Jawa ragam kromo inggil,
maupun tingkat tutur bahasa Jawa lainnya. Dan bisa saja seorang pembeli yang
berstatus sosial tinggi menggunakan bahasa Indonesia yang menyelipkan
serpihan-serpihan bahasa Jawa. Hal ini bisa dikatakan telah melakukan campur
kode, akibatnya muncul ragam bahasa Indonesia kejawa-jawaan maupun tingkat
tutur bahasa Jawa. Alih kode maupun campur kode tuturan penjual sepatu dipasar
Johar Semarang.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah,
bagaimanakah wujud atau bentuk campur kode dan alih kode tuturan penjual dan
pembeli di pasar Johar Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikaji, tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan wujud atau bentuk campur kode dan alih kode tuturan penjual
dan pembeli di pasar Johar Semarang.
4
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik dalam arah teoretis
maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan informasi bagi
pengembangan khasanah kebahasaan khususnya pengembangan ilmu bahasa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi
pengguna bahasa Indonesia pada umumnya, agar dapat mengetahui bahwa di
suatu pasar terdapat bentuk-bentuk tuturan yang terjadi antara penjual dan
pembeli.
E. Penegasan Istilah
Dalam penulisan proposal ini akan dibatasi dengan istilah yang digunakan.
Dengan maksud agar pembaca tidak salah di dalam memahami istilah-istilah yang
dimaksud. Istilah-istilah itu adalah sebagai berikut :
1. Tuturan, adalah sesuatu yang dituturkan, berupa ucapan atau ujaran (cerita)
(Depdikbud, 2005:1231).
2. Campur kode, adalah suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase
yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clausses,
hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi
mendukung fungsi-fungsi sendiri (Thelander, 1976:103, melalui Chaer,
2004:115).
5
3. Alih kode, adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya
situasi (Appel, 1976:79, melalui Chaer, 2004:107).
4. Penjual, adalah orang yang memberikan sesuatu kepada orang lain untuk
memperoleh uang pembayaran atau menerima uang (Depdikbud, 2005:478).
5. Pembeli, adalah orang yang berhubungan dengan kegiatan membeli, untuk
memperoleh sesuatu yang diinginkan (Yasyin, 1997:87).
6. Pasar Johar, adalah nama sebuah tempat transaksi jual-beli antara penjual
(pedagang) dan pembeli untuk mendapatkan barang, yang terletak di jalan
Agus Salim Kelurahan Kauman Kecamatan Semarang Tengah, Kota
Semarang (Jongkie, 2006:36).
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran secara garis besar, maka disampaikan
sistematika penulisan skripsi yang terbagi menjadi beberapa bagian secara rinci,
bagian-bagian itu adalah sebagai berikut.
Bagian awal skripsi terdiri dari halaman judul, halaman persetujuan,
halaman motto dan persembahan, abstrak, pengantar, daftar isi, dan daftar
lampiran.
Bagian isi skripsi terdiri bab I, bab II, bab III, bab IV dan bab V. Uraian
secara rinci masing-masing bab adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan
skripsi.
6
Bab II Landasan Teori yang memuat peristiwa tutur, masyarakat tutur,
bentuk tingkat tutur, variasi atau ragam bahasa, kedwibahasaan yang terdiri dari
interferensi, integrasi, campur kode dan alih kode.
Bab III Metode Penelitian. Dalam bab ini diuraikan tentang pendekatan
dan jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data, teknik
analisis data, teknik penyajian hasil analisis data.
Bab IV Analisis Data, Campur Kode dan Alih Kode Tuturan Penjual dan
Pembeli di Pasar Johar Semarang.
Bab V Penutup, yang berisi Simpulan dan Saran-saran.
Bagian Akhir skripsi ini berisi daftar pustaka dan Lampiran-lampiran.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan di
dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Jadi interaksi yang terjadi antara seorang penjual dan pembeli di pasar pada waktu
tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah
peristiwa tutur (Chaer, 2004:47).
Dell Hymes (1972), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf
pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu
adalah (diangkat dari Wardhaugh, 1990) melalui Chaer, 2004:48.
1. Seeting and Scene
Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung,
sedangkan scene mengacu pada situasi dan waktu, atau situasi psikologis
pembicaraan. Waktu, tempat, danm situasi tuturan yang berbeda dapat
menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
8
2. Participants
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa atau pengirim dan penerima
(pesan).
3. Ends
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.
4. Act Sequence
Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
5. Key
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan
dengan gerak tubuh dan isyarat.
6. Instrumentalities
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan. Seperti
jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga
mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam,
atau register.
9
7. Horm of Interaction and Interpretation
Horm of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari
lawan bicara.
8. Genre
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian seperti narasi, puisi,
pepatah, do’a dan sebagainya.
B. Masyrakat Tutur
Masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan
bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang
sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. kemudian untuk dapat disebut
satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan diantara para penuturnya, bahwa
mereka merasa menggunakan bahasa yang sama (Djokokoentjono melalui Chaer,
2004:36).
Fishman (1976:28) melalui Chaer (2004:36) “Masyarakat tutur adalah
suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-setidaknya mengenal satu
variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.”
Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif dapat menyangkut
masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil
orang.
Setiap kali orang yang karena tempat, atau daerahnya, profesinya, hobinya
dan sebagainya, menggunakan bentuk bahasa yang sama serta mempunyai
10
penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, mungkin
membentuk suatu masyarakat tutur.
Suatu masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara
dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena
rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan tetap mengakui
kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variasi
bahasa yang digunakan. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa
kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan oleh banyaknya dan luasnya
variasi bahasa didalam jaringan yang didasari oleh pengalaman dan sikap para
penutur dimana variasi itu berada (Chaer dan Leoni Agustina, 2004:38).
C. Bentuk Tingkat Tutur
Pada umumnya di dalam sebuah bahasa terdapat cara-cara tertentu untuk
menentukan perbedaan sikap hubungan antara penutur dengan mitra tutur dalam
bertutur. Sikap hubungan itu biasanya bervariasi dan sangat ditentukan oleh
anggapan tentang tingkatan sosial para peserta tutur itu.
Terdapat anggota golongan masyarakat tertentu yang sangat perlu untuk dihormati
dalam bertutur, teapi terdapat juga anggota golongan masyarakat tertentu yang
tidakperlu mendapatkan penghormatan yang khusus.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya 2 macam bentuk tingkat tutur itu
bermacam-macam dan berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lainnya. Ada anggota masyarakat yang dihormati atau tidak dihormati karena
bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi, status sosial, kekuatan dan
11
pengaruh politisnya, alur kekerabatan, usia, jenis kelamin, kondisi psikis dan lain
sebagainya.
Bahasa Jawa juga memiliki gejala-gejala khusus dalam sistem tingkat
tuturnya. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi membawakan rasa kesopanan
yang tinggi, ada tingkat tutur menengah yang membawakan rasa kesopanan yang
sedang-sedang saja, dan ada tingkat tutur biasa yang berfungsi membawakan rasa
kesopanan rendah.
Tingkat tutur menunjuk kepada suatu sistem kode penyampaian rasa
kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosakata tertentu, aturan sintaksis
tertentu, aturan morfologi dan fonologi tertentu. Dalam bahasa Jawa tyerdapat
tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, dan tingkat tutur krama.
1. Tingkat tutur ngoko
Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa yang tak berjarak antara
orang pertama atau penutur dengan orang kedua atau mitra tutur. Dengan
perkataan lain hubungan antara keduanya tidak dibatasi oleh semacam rasa
segan atau ‘pekewuh’. Oleh karena tidak ada rasa yang demikian, maka
tingkat ngoko yang dipakai didalam bertutur. Tuturan yang muncul antar
teman sejawat yang akrab biasa menggunakan tingkat ngoko. Orang yang
berpangkat tinggi juga biasanya menggunakan tingkat ngoko dalam berbicara
dengan orang yang berpangkat rendah. Seorang majikan juga biasanya
menggunakan tingkat ngoko untuk berbicara dengan pembantu. Antara orang
yang akrab, tetapi antar keduanya terdapat perasaan saling menghormati akan
12
digunakan tingkat tutur ngoko yang sifatnya halus. Tingkat tersebut
dinamakan antyabasa atau basaantya.
2. Tingkat tutur krama
Tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh
sopan-santun antara penutur dengan mitra tutur. Dengan perkataan lain,
tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan diantara keduanya. Hal
demikian disebabkan karena relasi antara penutur dengan mitra tutur ini belum
terjalin dengan baik. Sebagai contoh seorang murid akan berbicara dalam
tingkat tutur krama dengan seorang guru. Seorang pegawai bawahan akan
memakai bahasa dalam tingkat tutur krama dengan atasannya.
3. Tingkat tutur madya
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berbeda
diantara tingkat tutur ngoko dan tingkat tutur krama.
Tingkat tutur madya ini menunjukkan perasaan sopan teapi
tingkatannya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah (Kunjana R,
2001:53-60). Kadar kesopanan yang ada dalam tingkat tutur ini adalah kadar
yang sedang-sedang saja. Banyak orang yang menyebut bahwa tingkat tutur
madya ini memiliki ciri setengah sopan dan setengah tidak sopan. Orang-
orang desa biasanya berbicara dengan tingkat tutur ini terhadap orang yang
mereka anggap perlu disegani. Demikian pula para pegawai disuatu kantor
yang masih memelihara basa antara yang satu dengan yang lainnya, tingkat
tutur inilah yang biasanya digunakan dalam bertutur.
13
D. Variasi atau Ragam Bahasa
Tiap penutur bahasa hidup dan bergerak dalam sejumlah lingkungan
masyarakat yang adat istiadatnya atau tata cara pergaulannya dapat berbeda-beda.
Perbedaan itu terwujud pula dalam pemakaian bahasa. orang yang ingin turut serta
dalam bidang tertentu atau ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan
dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan yang
cocok dengan bidang atau pokok itu.
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa
Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap pemakai bahasa.
ragam ini, yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada
sikap penutur terhadap orang yang diajak bicara (Hasan, dkk, 2003:5-6).
Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa bukan hanya disebabkan
oleh para penuturnya yang tidak homogen, teapi juga karena kegiatan interaksi
sosial yang mereka lakukan sangat beragam (Chaer, 2004:51).
E. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan adalah “perihal pemakaian dua bahasa”.
Menurut Hangen, 1953 melalui Henry guntur Tarigan (1988:4) kdwibahasaan
diartikan (sebagai yang) bermula pada titik tempat sang pembicara satu bahasa
dapat menghasilkan ucapan-ucapan sempurna yang bermakna dalam bahasa lain.
Sedangkan menurut Weinreich (1953:1) melalui Aslinda dan Leni Syafyahya
(2007:23) kdwibahasaan adalah the pratice of alternately using to languages
(kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian).
14
1. Interferensi
Interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan
oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang
menggunakan dua bahasa secara bergantian, dan penutur multilingual, kalau
ada, tentu penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian.
Namun, kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi.
Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap B1 dan B2 sama
baiknya, oleh Ervin dan Osgood (1965:139) melalui Chaer dan Leoni
Agustina (2004:121) disebut berkemampuan bahasa yang Sejajar. Sedangkan
yang kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dengan
kemampuan terhadap B1-nya disebut berkemampuan bahasa yang
bermajemuk. Penutur yang yang mempunyai kemampuan majemuk ini
biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena akan
dipengaruhi oleh kemampuan B1-nya (Chaer dan Leoni Agustina, 2004:120-
126).
Mackey (dalam Lestari, 1991:14) interferensi adalah bagaimana
seseorang yang dwibahasawan itu menjaga bahasa-bahasa itu sehingga
terpisah dan seberapa jauh seseorang itu mampu mencampuradukan serta
pengaruh bahasa yang satu dalam penggunaan bahasa yang lainnya (Aslinda
dan Leni Syafyahya, 2007:24).
15
Menurut Soewito (1983:59) melalui Chaer dan Leoni Agustina (2004:
126) interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara
berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa
Indonesia dan bahasa indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah.
Tetapi dengan bahasa asing, bahasa Indonesia hanya menjadi penerima dan
tidak pernah menjadi pemberi.
2. Integrasi
Mackey (1968) melalui Chaer dan Leoni Agustina (2004:128)
menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan
dalam bahasa tertentu dan di anggap sudah menjadi warga bahasa tersebut.
Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat
menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya sehingga pemakaiannya
telah menjadi umum karena tidak lagi terasa keasingan (Suwito,1982:50)
melalui Aslinda dan Leni syafyahya (2007:24)
Penyerapan unsur asing dalam rangka pengembangan bahasa
Indonesia bukan hanya melalui penyerapan kata asing itu yang disertai dengan
penyesuaian lafal dan ejaan, tetapi banyak pula dilakukan dengan cara :
a. Penerjemahan langsung, artinya kosakata dicarikan padanannya dalam
bahasa Indonesia. Misalnya; airport menjadi bandar udara, samen werking
menjadi kerja sama, joint venture menjadi usaha patungan, dan balance
budget menjadi anggaran berimbang.
16
b. Penerjemahan konsep, artinya kosakata asing itu di teliti baik-baik
konsepnya lalu dicarikan kosakata bahasa Indonesia yang konsepnya dekat
dengan kosakata asing tersebut. Misalnya begroting post menjadi mata
anggaran, network menjadi jaringan, brother in law menjadi ipar laki-laki,
dan medication menjadi pengobatan.
Kalau sebuah kata serapan sudah ada pada tingkat integrasi, maka
artinya kata serapan itu sudah disetujui dan conferged in to the new language.
Karena itu, proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim juga disebut
konvergensi (Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 128-130).
3. Campur Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan
mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat
yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga sering kali
sukar dibedakan.
Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah
digunakannnya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa
dalam satu masyarakat tutur.
Dalam alih kode setiap bahasa atau ragam ahasa yang digunakan itu
masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan
sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan di dalam campur kode ada
sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa
tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi atau
17
keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya yang dalam
berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa
daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya akan
muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa
daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahas Indonesia yang kesunda-sundaan
(kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda) (Chaer, 2004:114-115).
Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi
dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan
karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa
keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi
informal. Namun bisa tejadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam
bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan
menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur
kode termasuk juga konvergense kebahasaan (lingusitic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Campur kode dalam (innercode-mixing); campur kode yang bersumber
dari bahasa asli dengan segala variasinya.
2) Campur kode luar (outer code-mixing); campur kode yang berasal dari
bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua,yaitu :
1) Sikap (attitudinal type); latar belakang sikap penutur.
18
2) Kebahasaan (linguistic type); latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga
ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal
balik antarperanan penutur bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode:
1. Penyisipan kata,
Kata adala satuan bahasa yang memiliki satu pengertian atau
deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi dan mempunyai arti (Chaer
dan Leoni Agustina, 2004:162) berikut ini contoh campur kode dengan
wujud penyisipan kata.
“Idealnya memang pemilihan ketua panitia harus diulang, tetapi saya kira
disini itu impossible dilakukan”.
Tuturan kalimat tersebut di atas mengalami peristiwa campur kode
ke luar berwujud kata. Peristiwa campur kode ke luar yang dimaksud
adalah peristiwa campur kode yang bersumber dari bahasa asing, yaitu
bahasa inggris.
2. Kelompok kata,
Kelompok kata sama arti dengan penggolongan kata/penjenisan
kata. Jadi kelompok kata adalah gabungan dua buah kata atau lebih yang
bisa berdiri sendiri dan mempunyai arti. Berikut ini contoh campur kode
dengan wujud kelompok kata.
19
“Untuk itu saya sarankan agar pejabat-pejabat itu tau diri
sedikitlah, kalau rakyat sudah tidak mau, mbok ya ngerasa”.
Tuturan contoh kalimat tersebut di atas mengalami campur kode ke
dalam yang berwujud kelompok kata mbok ya ngerasa (seharusnya
merasa). Peristiwa campur kode ke dalam yang di maksud adalah wujud
campur kode yang bersumber dari bahasa jawa.
3. Penyisipan klausa,
Satuan sntaksisyang berupa runtutan kata-kata berkontruksi,
artinya didalam kontruksi ada subjek dan predikat dan yang lain.
4. Penyisipan ungkapan atau idiom,
Idiom adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk
menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan. Berikut dibawah ini contoh
campur kode dengan wujud idiom atau ungkapan.
“Lagipula orang bawah bingung dengan omongan orang-orang atas sana,
mikir kehilangan pekerjaan aja mumet kok, selain itu kesabaran juga amat
diperlukan dalam mengatasi hal ini dan jangan emosi, ana rembug padha
rembug dan jangan saling hantam” .
Tuturan kalimat diatas mengalami peristiwa campur kode ke dalam
yang berwujud idiom bahasa jawa yaitu ana rembug pada dirembug (ada
masalah dibicarakan bersama).
20
4. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode
ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih
menggunakan bahasa Jawa.
Appel (1976:79) melalui Chaer (2004:107) mendefinisikan alih kode
sebagai, “Gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.”
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode
intern dan ekstern. Alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antara
bahasa sendiri (bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya). Sedangkan
alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing (Chaer,
2004:114).
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah :
1) Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap
mitra tutur karena suatu tujuan.
Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau
sebaliknya.
Contoh: “Seorang pembeli yang kedatangan pembeli di pasar, seharusnya
penjual berbahasa indonesia, tapi kenyataannya tidak. Apabila penjual
sudah pertamakali menyapanya dengan bahasa jawa, maka pembelipun
mengikutinya dan mengalihkannya ke bahasa jawa. Karena memang
secara kebetulan keduanya berasal dari jawa, jadi mereka menggunakan
21
bahasa jawa. Dengan tujuan dan maksud mengubah situasi resmi menjadi
santai”.
2) Mitra tutur
Setiap penutur biasanya ingin mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh lawan tuturnya dalam masyarakat. Penutur mungkin harus
beralih kode untuk mengimbangi. Suwito dalam Chaer dan Leoni
Agustina, 2004:73 lawan tutur dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: 1).
Penutur yang berlatar belakang kebahasaan yang sama dengan lawan tutur.
2). Lawan tutur yang berlatar belakang berlainan alih gaya.
3) Hadirnya penutur ketiga
Untuk menetralisir situasi dan menghormati mitra tutur ketiga,
biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang
kebahasaan mereka berbeda.
4) Pokok pembicaraan (Topik)
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan
dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat
formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan
serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan
bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5) Untuk membangkitkan rasa humor
Biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya
bicara. Penutur mengalihkan kode humor untuk menghilangkan
ketegangan.
22
6) Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-
situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak
komunikatif.
Macam-macam alih kode yang berwujud alih bahasa tidak hanya
satu atau dua bahasa, namun ada banyak bahasa yang digunakan dalam
bertutur, diantaranya; 1. Alih kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa
2. Alih kode bahasa Jawa ke bahasa Indonesia 3. Alih kode bahasa Jawa
ke bahasa Asing 4. Alih kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Asing 5.
Alih kode bahasa Asing kedalam bahasa Indonesia 6. Alih kode bahasa
Asing ke dalam bahasa Jawa.
Alih kode dilakukan oleh seseorang dikarenakan ada beberapa macam
tujuan yang ingin disampaikan dalam suatu tuturan. Penutur tidak asal bertutur
dalam melakukan pengalihan bahasa yang digunakan. Tujuan yang ingin
disampaikan oleh penutur, diantaranya adalah:
a. Ingin membina keakraban.
b. Ingin memperjelas maksud pembicaraan.
c. Ingin menyesuaikan pembicaraan antara penjual dan pembeli.
d. Ingin menyembunyikan atau merahasiakan pembicaraan antara penjual
dan pembeli.
e. Ingin menimbulkan rasa humor.
f. Ingin beralih kode karena emosi atau marah.
23
Sehingga Appel (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2004:79)
mendefinisikan alih kodesebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karna
berubahnya situasi. Sedangkan menurut Hymes (dalam Chaer dan Leoni
Agustina, 2004:107) menyatakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antar
bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang
terdapat dalam satu bahasa. Fasold (dalam Chaer dan Leoni Agustina,
2004:115) mengatakan bahwa apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur
gramatikal satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur
gramatikal bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Contoh percakapan antara seorang penjual dan pembeli di pasar yang
menimbulkan alih kode;
Penjual : Nawar berapa?
Pembeli 2 : Pasnya saja berapa?
Penjual : Tujuh, pak.
Pembeli 2 : Offer wae, three.
Pembeli 1 : Nggak tiga ribu saja?
Pembeli 2 : Tigaribuan ya pak?
Penjual : Lima ribu, boleh.
Pembeli 1 : Hah... limang ewu?
Tuturan yang berbunyi Offer wae, three yang maknanya adalah ;tawar
saja tigaribu’ adalah contoh alih kode yang dilakukan pembeli. Pembeli itu
beralih kode dengan tuturan yang demikian agar penjual tidak mengetahui
berapa kesepakatan dari kedua pembeli itu dalam menawar barang yang
dijajakan penjual.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupaakan cara yang teratur untuk mencapai tujuan.
Metode yang merumuskan ide dan pikiran yang didasarkan pada pendekatan
ilmiah ini berarti bahwa metode penelitian diperlukan dalam mencapai sasaran
penelitian, seperti pendapat Sudaryanto (1993:25) yang mengatakan bahwa
metode penelitian sangat dibutuhkan untuk menuntun seorang peneliti menuju
kebenaran dan juga menuntun pada kajian penelitian.
Proses penelitian ini mulai pengumpulan, pengolahan sampai pengambilan
simpulan menggunakan beberapa tahapan yang prosesnya seperti tertera di dalam
metode penelitian sebagai berikut :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
deskriptif. Karena data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk
deskriptif fenomena, tidak berupa angka-angka, lambang-lambang atau
koefisien tentang hubungan antarvariabel (Aminudin, 1990:16).
Dalam penelitian in digunakan pendekatan kualitatif, untuk meneliti
kondisi objek yang dialami. Pendekatan ini digunakan karena data yang
dikumpulkan berupa bahasa pedagang (penjual) dan pembeli dalam proses
komunikasi pada saat transaksi atau tawar-menawar/jual-beli di pasar Johar
Semarang.
25
Penelitian ini bersifat deskriptif, sehingga data yang dianalisis dan
hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena.
Secara teoritis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik adalah pendekatan
penelitian dalam ilmu bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa
dalam masyarakat (Chaer dan Leonie Agustina, 1995:3).
2. Sumber Data dan Data
a. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini adalah masyarakat tutur yaitu
penjual dan pembeli di Pasar Johar Semarang, dimana terdapat 33 penjual
dan 58 pembeli.
b. Data
Data penelitian ini adalah tuturan masyarakat, yakni antara penjual
dan pembeli yang melakukan transaksi jual-beli di pasar Johar Semarang,
yang di dalamnya ada campur kode dan alih kode.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode simak. Metode simak adalah penyediaan data yang dilakukan dengan
menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133).
Teknik yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap, teknik
rekam dan teknik catat. Teknik simak bebas libat cakap adalah peneliti sebagai
pemerhati yang dengan penuh minat tekun mendengarkan apa yang dikatakan
26
oleh orang-orang yang hanyut dalam proses berdialog. Teknik rekam yaitu
memperoleh data dengan cara merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat
spontan. Yaitu peneliti tanpa sepengetahuan penjual dan pembeli merekam
peristiwa tuturan yang terjadi antara penjual dan pembeli di pasar Johar
Semarang. Hal itu dilakukan agar tuturan yang terjadi antara penjual dan
pembeli bersifat alami, murni dan tidak sengaja di buat-buat. Teknik catat
yaitu pencatatan pada kartu data yang segera dilakukan dengan klasifikasi.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul dan diklasifikasikan, maka langkah selanjutnya
adalah menganalisis data. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
metode padan. Metode padan adalah yang alat penentunya di luar bahasa
terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto,
1993:13).
Di dalam alih kode dan campur kode yang menjadi objek penelitiannya
adalah isi tuturan manusia yang berupa dialog, maka alat penentunya
menggunakan referen bahasa, untuk teknik dasarnya disesuaikan dengan alat
penentunya yaitu dengan menggunakan teknik pilah unsur penentu atau teknik
PUP (Sudaryanto, 1993:21-22). Adapun alatnya adalah daya pilah yang
bersifat mental yang dimiliki penelitinya, yaitu sesuai dengan jenis penentu
yang akan dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi menjadi berbagai unsur itu. jadi,
yang akan digunakan untuk mendeskripsikan alih kode dan campur kode
adalah dengan daya pilah referen. Untuk membagi satuan lingual alih kode
27
menjadi berbagai jenis, maka perbedaan referen atau sosok teracu yang
ditunjuk oleh alih kode dan campur kode itu harus diketahui terlebih dahulu,
dan untuk mengetahui perbedaan referen itu, daya pilah yang dimiliki oleh
setiap penelitian haruslah digunakan. Daya pilah itu dapat dipandang sebagai
tekniknya, yang dalam hal ini disebut teknik pilah unsur penentu atau taknik
PUP.
Selain metode padan, teknik analisis yang di gunakan dalam tahap
analisis data ini yaitu metode agih. Metode agih adalah analisis bahasa yang
menggunakan alat penentu justru bagian dari bahasa yang bersangkutan
sendiri (Sudaryanto, 1993:13).
Dalam menerapkan metode agih untuk menerapkan penelitian ini
menggunakan teknik bagi unsur langsung (BUL) yaitu membagi satuan
lingual datanya menjadi beberapa bagian berdasarkan wujud kebahasaannya
(Sudaryanto, 1993:31).
5. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Setiap data yang dianalisis menghasilkan kaidah yang harus ditulis
untuk dimasyarakatkan. Cara yang di kenal sebagai metode penyajian kaidah
ada dua macam, yaitu bersifat informal dan formal (Sudaryanto, 1993:144).
Teknik penyajian hasil analisis secara informal adalah dengan kata-
kata, sedangkan penyajian hasil anallisis secara formal adalah perumusan
dengan tanda dan lambang. Dalam penelitian ini hanya menggunakan teknik
informal. Teknik informal digunakan untuk menyajikan jenis tuturan penjual
dan pembeli di pasar Johar Semarang.
28
BAB IV
CAMPUR KODE DAN ALIH KODE TUTURAN
PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR JOHAR SEMARANG
Hasil penelitian yang dikemukakan dalam bab IV ini meliputi pemerian
wujud tuturan penjual dan pembeli yang menyebabkan terjadinya peristiwa
campur kode dan alih kode di pasar Johar Semarang. Penelitian dalam tulisan ini
dilakukan pada bulan Mei 2010 di pasar Johar Semarang.
Pemerian wujud campur kode dalam tuturan penjual dan pembeli di pasar
Johar Semarang adalah berupa : 1) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, 2)
berwujud frase, 3) berwujud baster, 4) berwujud klasua, 5) berwujud kata ulang,
dan 6) idiom/ungkapan. Dan dilihat dari penggolongannya ada 2 campur kode,
yakni campur kode intern dan campur kode ekstern. Sedangkan wujud alih kode
yang terjadi adalah berupa alih bahasa yang meliputi : alih bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Jawa, alih bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan alih bahasa
Indonesia ke dalam bahasa asing. Alih bahasa Jawa berupa : peralihan
antartingkat tutur yaitu krama, madya dan ngoko.
A. Pemerian Wujud Campur Kode dalam Tuturan Penjual dan Pembeli di
Pasar Johar Semarang
Kegiatan aktifitas jual beli di pasar Johar Semarang, para penjual
melakukan transaksi dengan pembeli. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat
tutur para penjual dan pembeli, seringkali bercampuran ke dalam bahasa Jawa
maupun bahasa asing ataupun sebaliknya. Hal itu disebabkan karena adanya status
29
sosial yang berbeda-beda atau minimnya ilmu pengetahuan tentang bahasa yang
dipelajari. Oleh sebab itu dalam transaksi yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli adalah terjadi campur kode.
Peristiwa campur kode, erat hubungannya dengan peminjaman leksikal.
Campur kode itu sendiri dapat berwujud panyisipan kata, idiom, baster, frase,
klasua, dan pengulangan kata. Peristiwa campur kode yang diucapkan oleh
penjual dan pembeli dalam transaksi jual beli di pasar Johar Semarang yaitu
berupa : 1) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, 2) berwujud frase, 3)
berwujud baster, 4) berwujud klausa, 5) berwujud kata ulang, dan 6)
idiom/ungkapan.
1. - Wujud wujud Campur Kode
Setelah campur kode dilakukan oleh seseorang, maka yang terbentuk
adalah wujud dan bentuk tuturan tersebut. wujud-wujud campur kode
tersebut, berupa :
a. Wujud Campur Kode berupa Penyisipan Kata
Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur berwujud
kata pada tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar Semarang, dapat
dilihat pada peristiwa tutur di bawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli Jilbab olehPenjual dan Pembeli
Penjual : Monggo Mbak, ditingali riyen.(Silahkan Mbak, dilihat dulu)
Pembeli 1: Ningali tok angsal?(Lihat saja boleh?)
Penjual : Oh ... angsal, Mbak.(Boleh, Mbak)
30
Pembeli 1 : Wernane sing ungu kados Vario niku, enten?(Warna yang ungu seperti Vario itu ada?)
Penjual : Oh ... sing niku telas, Mbak.(Yang itu habis, Mbak)
Pembeli 2 :Berapa itu, Mas?Penjual :Yang itu tiga puluh ribu.Pembeli 1 :Kalau yang ini berapa, Mas?Penjual : Itu lima belas ribu.Pembeli 1 :La, kaya’ gini, ungu sing hampir pink ini, gak ada?Penjual : Ada, Mbak.Pembeli 1 :Mana?Penjual : Di sana, tak ambilke, tapi hargane jadi?Pembeli 1 :Berapa? Dua belas, ya Mas?Penjual :Ya udah, tak ambilke, ya.
(Tanggal : 05 Mei 2010// Pukul : 14.16)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengalami peristiwa
campur kode, yakni pada penjual jilbab. Karena dalam tuturan penjual
menggunakan bahasa Jawa, namun terkadang penjual mencampurkan
dengan bahasa Indonesia seperti dalam tuturan “Di sana, tak ambilke,
tapi hargane jadi?”
Dengan tujuan penjual berharap agar suasana menjadi lebih
akrab dan tidak terkesan jenuh atau membosankan, serta lebih santai.
Peristiwa campur kode juga dilakukan oleh pembeli, yakni
pada tuturan “La kaya’ gini, ungu sing hampir pink ini, gak ada?”
“La”, “sing” adalah dialog yang dituturkan oleh pembeli kepada
penjual pada saat transaksi jual beli berlangsung.
Peristiwa campur kode yang dimaksud adalah peristiwa campur kode
ke dalam yang berupa bahasa Jawa yang berwujud penyisipan kata.
31
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli Celana Pendek(boxer)
Penjual : Sebelah mana?Pembeli 1 : Itu sebelah utara.Pembeli 2 : Udah, ini berapa, Bu?Penjual : Lima belas, Mbak.Pembeli 2 : Sepuluh ...?Pembeli 1 : Halah, nak entuk, Bu.Penjual : Mau ambil berapa toh?Pembeli : SatuPenjual : Ya, udah.
(Tanggal : 05 Mei 2010// Pukul : 13.57)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengalami peristiwa campur
kode yakni pada penjual, karena dalam tuturannya, penjual
menggunakan bahasa Indonesia dan terkadang mencampurkan dengan
bahasa Jawa, seperti dalam tuturan “Mau ambil berapa toh?”
Dengan tujuan penjual bermaksud mengubah suasana, menjadi
santai, lebih akrab dan tidak terkesan jenuh atau membosankan.
Petistiwa campur kode yang dimaksud adalah peristiwa campur
kode Ke dalam yang berupa bahasa atau dialek Jawa yang berwujud
penyisipan kata.
b. Campur Kode berupa Frase
Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur yang
berwujud frase pada tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar
Semarang, dapat dilihat pada peristiwa tuturan di bawah ini :
Konteks : Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli CelanaBoxer oleh Penjual dan Pembeli
Pembeli 1 : Ini satu berapa, Bu?Penjual : Dua puluh ribu
32
Pembeli 1 : Mosok, larangmen, Bu.(Masak, mahal sekali, Bu)
Penjual : Itu yang alus, Nok.(Itu yang halus, Nak)
Pembeli 2 : Kurang boleh, gak?Penjual : La, mau kurang berapa?Pembeli 2 : Sepuluh ribu.Penjual : Lima belas ribu boleh.Pembeli 1 : Kalau ini berapa, Bu?Penjual : Itu yang besar atau kecil? Yang jumbo dua lima, yang
kecil dua puluh.Pembeli 1 : Itu delapan ribu, ya Bu?Penjual : Murah, ini murah kok.Pembeli 1 : Kemarin di Simpang Lima aja delapan ribu, tujuh ribu
malah.Penjual : Oh ... gak ada, wong aku jualnya yo ning Simpang kok,
Mbak.(Oh ... gak ada, orang aku jualnya juga di Simpang kok,Mbak)
Pembeli 1 : Kemarin kok beli di Simpang boleh, ya ...Penjual : Sebelah mana?Pembeli 1 : Itu sebelah utara.Pembeil 2 : Udah, ini berapa, Bu?Penjual : Lima belas ribu, Mbak.Pembeli 2 : Kalau sepuluh ribu ...?Pembeli 1 : Halah, nak entuk, Bu.
(Kalau boleh, Bu)Penjual : Mau ambil berapa, toh?Pembeli 2 : Satu.Penjual : Y, udah.
(Tanggal : 05 Mei 2010// Pukul : 13.57)
Tuturan kalimat tersebut di atas, terjadi campur kode yaitu pada
saat penjual dan pembeli bertutur menggunakan bahasa Indonesia, yang
kemudian pembeli menanggapi tuturan penjual dengan menggunakan
bahasa Jawa, seperti pada tuturan “Mosok larangmen, Bu ...”. Kemudian
penjual pun tetap konsisten menanggapinya dengan menggunakan bahasa
Indonesia, karena pada awalnya mereka (penjual dan pembeli) melakukan
percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun terkadang
33
penjual masih mencampurkan bahasa Jawa ke dalamnya, seperti pada
tuturan “Itu yang alus, Nok”. Campur kode dilakukan karena penjual ingin
memperlancar komunikasi dalam tawar menawar barang dengan pembeli.
Dan karena memang penjual sudah terbiasa bercampur kode pada saat
bertutur, itu dilakukan dengan tujuan agar suasana yang terjalin bisa
menjadi santai dan lebih akrab. Dan dengan harapan agar barang
dagangannya cepat laku terjual. Dengan demikian, campur kode yang
terjadi pada tuturan penjual dan pembeli tersebut adalah campur kode
bahasa Jawa tingkat tutur ngoko ke dalam bahasa Indonesia dengan wujud
frase.
c. Wujud Campur Kode berupa Klausa
Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur yang
berwujud klausa pada tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar
Semarang, dapat dilihat pada peristiwa tutur dibawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli Baju Anak-anak oleh Penjual dan Pembeli
Penjual : Ampun, Mak De, nak sepuluh dereng entuk.(Jangan, Mak De, kalau sepuluh belum boleh)
Pembeli : Aku wingi karo Makmu yo semono.(Aku kemaren sama Ibumu ya segitu)
Penjual : Ora ngono kuwi, yo ... ora duwe Ibu ki ...(Gak seperti itu, gak punya Ibu itu)
Pembeli : Niki lo ...(Ini lo ...)
Penjual : Paringi receh, Mak De ...(Kasih receh, Mak De ...)
(Tanggal : 08 Mei 2010// Pukul : 09.45)
34
Tuturan tersebut di atas, terjadi campur kode yaitu penjual
pada saat atau awalnya bertutur dengan menggunakan bahasa Jawa
tingkat tutur madya. Seperti pada tuturan “Ampun Mak De, nak
sepuluh dereng entuk”, tetapi ditanggapi oleh pembeli dalam bertutur
menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur ngoko. Seperti pada tuturan
“Aku wingi karo Makmu yo semono”. Yang kemudian oleh penjual
pun menanggapi lagi tuturan pembeli dengan menggunakan bahasa
Jawa tingkat tutur ngoko, nampak seperti pada tuturan “Ora ngono
kuwi yo, ora duwe Ibu iki ...”. Hal itu dilakukan oleh penjual untuk
memperlancar komunikasi dalam transaksi jual beli tersebut. Dan agar
suasana yang tercipta bisa lebih santai dan makin akrab. Dengan
demikian campur kode yang terjadi pada tuturan penjual baju anak-
anak tersebut adalah campur kode bahasa Jawa tingkat tutur madya ke
dalam bahasa Jawa tingkat tutur ngoko dengan wujud klausa.
d. Wujud Campur Kode berupa Pengulangan Kata
Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur yang
berwujud kata ulang pada tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar
Semarang, dapat dilihat pada peristiwa tutur di bawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan antara Penjual kepada Pembeli dalamTransaksi Jual Beli Beras
Pembeli : Beras, Bu, 1 kg berapa?Penjual : Lima setengah mawon, Mbak, di sana-sana ki wis enem
ewu.(Lima setengah ja, Mbak, di sana-sana sudah enam ribu)
Pembeli : Tapi, emang item ya, Bu, berasnya?Penjual : Lo, beras ayu ngene koyo’ Mbak’e kok dibilang item.
(Lo, beras cantik gini mirip Mbak’nya kok dibilang item)
35
Pembeli : Hehe ..., matursuwun, monggo ...(Hehe ..., terima kasih, permisi ...)
Penjual : Sami-sami, atos-atos, Mbak.(Sama-sama, hati-hati, Mbak)
(Tanggal : 09 Mei 2010// Pukul : 15.13)
Tuturan tersebut di atas, terjadi campur kode yaitu penjual
yang menanggapi tuturan pembeli dengan menggunakan bahasa Jawa
yang kemudian dicampur dengan bahasa Indonesia, nampak seperti
pada tuturan “Lima setengah mawon, Mbak, disana-sana ki wis enem
ewu”. Yang kemudian oleh pembeli pun menanggapi dengan bahasa
Jawa yang awalnya pembeli menggunakan bahasa Indonesia, seperti
pada tuturan “Matur nuwun, monggo ...”. Dan penjual pun dengan
senang hati menjawab atau menanggapi tuturan pembeli tersebut
dengan menggunakan bahasa Jawa dengan wujud pengulangan kata,
seperti pada tuturan “sami-sami” yang artinya (sama-sama), dan “atos-
atos” yang artinya (hati-hati). Campur kode yang dilakukan penjual
tersebut karena penjual ingin menciptakan suasana yang terjadi pada
transaksi jual beli tersebut menjadi lebih santai dan lebih akrab dengan
tujuan untuk menarik perhatian pembeli dan memperlancar
komunikasi antara penjual dan pembeli agar terkesan bersifat
kekeluargaan dan tidak kaku. Dengan demikian, campur kode yang
terjadi pada tuturan tersebut yaitu tuturan antara penjual dan pembeli
adalah campur kode ke dalam dari bahasa Jawa dan bahasa Indonesia
yang berupa kata ulang.
36
e. Wujud Campur Kode berupa Idiom/Ungkapan
Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur yang
berwujud idiom/ungkapan pada tuturan penjual dan pembeli di pasar
Johar Semarang, dapat dilihat pada peristiwa tuturan di bawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalamTransaksi Jual Beli Pakaian Dalam
Pembeli1 : Kok mahal? Pasnya berapa?Penjual : Ada harga ada kualitas, lha ini merknya saja Gtmen. Ya
sudah tak paskan, CDnya tujuh belas setengah, Bhnya duapuluh, lha singletnya dua puluh lima. Bagaimana?
Pembeli1 : Ya sudah saya ambil.Pembeli2 : Celana daleme regane piro, Bu?
(Celana dalam, harganya berapa, Bu?)Penjual : Monggo, Bu, murah, kualitase apik, sing iki rungpuluh
ewu.(Silakan, Bu, Murah, tapi kualitasnya bagus, yang ini duapuluh ribu)
Pembeli2 : Pase pira? Lha ibune kuwi, kok sampean wenehi regopitulas setengah?(Pasnya berapa? Lha Ibunya itu kok kamu beri harga tujuhbelas setengah?)
(Tanggal : 12 Mei 2010// Pukul : 13.13)
Tuturan tersebut di atas, terjadi campur kode yaitu pembeli
menggunakan bahasa Indonesia dalam bertutur, sesuai pada tuturan
“Kok mahal? Pasnya berapa?”. Penjual juga menjawabnya dengan
bahasa Indonesia speerti pada tuturan “Ada harga, ada kualitas, lha
ini merknya saja Gtmen”. Namun pada akhirnya si pembeli bercampur
bahasa dengan bahasa Jawa, yaitu pada cuplikan “Ada harga ada
kualitas, lha ini merknya saja Gtmen. Ya sudah tak paskan, Cdnya
tujuh belas setengah, Bhnya duapuluh ribu, lha singlete duapuluh
lima ribu. Bagaimana?”. Hal itu dilakukan oleh penjual agar terkesan
37
akrab dan pandai berbahasa ungkapan yakni “Ada harga, ada
kualitas”, dan menjadikan suasana menjadi lebih santai. Dengan
demikian, campur kode yang terjadi pada tuturan tersebut adalah
campur kode ke dalam yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang
berupa idiom/ungkapan.
2. Campur Kode Dilihat dari Penggolongannya
Campur kode dibedakan menjadi dua, yaitu campur kode yang
bersifat intern dan campur kode yang bersifat ekstern.
a. Campur Kode Intern
Campur kode intern biasanya bersumber dari bahasa asli
dengan segala variasinya. Campur kode ini berupa penyisipan unsur-
unsur bahasa, yakni campur kode ke dalam yang dilakukan oleh
penjual dan pembeli di pasar Johar Semarang.
Dapat dilihat pada contoh cuplikan tuturan di bawah ini. Dan berikut
ini peristiwa tuturan campur kode intern.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam TawarMenawar Kaos Kaki
Penjual : Padhos nopo, Mbak?(Cari apa, Mbak)
Pembeli : Kaos kaki, Bu.Penjual : Monggo, niki milih piyambak.
(Silahkan pilih sendiri)Pembeli : Sing niki pinten, Bu?
(Yang ini berapa, Bu?)Penjual : Niki limang ewu mawon.
(Ini lima ribu saja)Pembeli : Halah sih, tiga, sepuluh ribu, ya?
(Tanggal : 13 Mei 2010// Pukul : 13.08)
38
Tuturan tersebut di atas, mengalami peristiwa campur kode ke
dalam yang berwujud campur kode intern, seperti pada tuturan “Halah
sih, tiga, sepuluh ribu, ya?” kata “halah sih” disini adalah dialek
bahasa Jawa. Karena pada awalnya penjual melakukan komunikasi
dengan menggunakan bahasa Jawa tetapi karena pembeli tersebut
mahasiswa yang sering bahkan menguasai dalam menggunakan
bahasa Indonesia, pembeli itupun mencampurkan bahasa Indonesia ke
dalam tuturannya. Hal itu dilakukan dengan alasan agar komunikasi
yang sedang dilakukan tetap berjalan lancar, dan suasana yang timbul
bisa menjadi lebih santai dan akrab. Dengan demikian, peristiwa
campur kode yang terjadi adalah campur kode ke dalam dari bahasa
Jawa ke bahasa Indonesia.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam TawarMenawar Barang Kelontongan
Pembeli 1 : Ada mug, Mbak?Penjual 1 : Ada, tetapi isinya dua, mau?Pembeli 1 : Kaya’ apa, Mbak?Penjual 1 : Sek, tak ambilke.
(Sebentar, saya ambilkan)Penjual 2 : Pink apa ijo, Sayang?Pembeli 3 : Ijone kaya’ apa?
(Hijaunya kaya’ apa?)Penjual 2 : Ijone terang, tak ambilke ijone ya.
(Hijaunya terang, tak amblikan hijaunya ya)Penjual 1 : Mbak’e tak jupukke sekalian mug, ya.
(Mbaknya saya ambilkan sekalian mug, ya)Pembeli 1 : Iya, Mbak.Penjual 2 : Mbak, ijone habis. Jelek owg malah ijone.
(Mbak, hijaunya habis. Jelek kok hijaunya)Pembeli 4 : Pink’e wae wis lah.
(Pink-nya saja gak apa-apa)Pembeli 3 : Iki, Mbak, tinggal bayar.
(Ini, Mbak, tinggal bayar)
39
Penjual 2 : Oh ... ya.Penjual 1 : Ini, Mbak, duapuluh ribu, yang itu lima belas ribu.Pembeli 2 : Bedanya apa, Mbak?Penjual 1 : Bedanya besar, itu kecil. Isinya hampir sama, cuma besar
sama kecil.Pembeli 2 : Cuma dua tok isinya?
(Cuma dua saja isinya?)Penjual 1 : Iya.
(Tanggal : 19 Mei 2010// Pukul : 11.22)
Tuturan kalimat di atas, mengalami peristiwa campur kode ke
dalam. Yakni pada tuturan pembeli (3) “Ijone kayak apa?”, kalau
diartikan dalam bahasa Indonesia “Hijaunya kaya’ apa?”.
Kemudian oleh penjual juga melakukan peristiwa campur kode
tersebut yakni pada tuturan “Mbak’e tak jupukke sekalian mug, ya?”,
yang dalam bahasa Indonesia berarti “Mbaknya saya ambilkan
sekalian mug, ya?”.
Oleh pembeli 2 pun juga melakukannya, yakni pada tuturan “Cuma
dua tok isinya?”, yang berarti “Cuma dua saja isinya?”. “Dua tok”
disini campuran dari dialek Jawa, “tok”. Hal tersebut dilakukan
dengan alasan agar komunikasi tetap lancar, dan memang kebetulan
pembeli asli orang Semarang yang notabene kalau bertutur sering
bercampur kode dengan bahasa lain, dalam hal ini adalah bahasa Jawa
dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian, peristiwa campur kode
yang terjadi adalah campur kode ke dalam dari bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia.
Konteks : Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli Rak Sepatudi Pasar Johar
Penjual 2 : Pink apa ijo, Sayang?
40
Pembeli 3 : Ijone kaya’ apa?(Hijaunya kaya’ apa?)
Penjual 2 : Ijone terang, tak ambilke ijone ya.(Hijaunya terang, tak amblikan hijaunya ya)
(Tanggal : 19 Mei 2010// Pukul : 11.20)
Tuturan kalimat tersebut, mengalami peristiwa campur kode ke
dalam. Yakni pada tuturan penjual “Pink apa ijo sayang?”. Kata “ijo”
sebenarnya bisa dihindari, karena kata tersebut sudah ada padanannya
dalam bahasa Indonesia yakni “hijau” (warna).
Kata “ijo” berasal dari bahasa Jawa. Hal tersebut dilakukan agar
komunikasi yang terjadi antara penjual dan pembeli berjalan lancar
dan suasana yang tercipta menjadi lebih akrab. Dengan demikian
peristiwa campur kode yang terjadi adalah campur kode ke dalam dari
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dengan wujud kata.
b. Campur Kode Ekstern
Campur kode yang disebabkan oleh bahasa asing yang masuk
ke dalam bahasa Indonesia. Campur kode ini berupa penyisipan unsur-
unsur bahasa asing pada bahasa Indonesia dalam tawar menawar antara
penjual dan pembeli di pasar Johar Semarang. Dan dapat dilihat pada
peristiwa tuturan yang mengandung campur kode ekstern di bawah ini.
Konteks : Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam TransaksiJual Beli Charger Hp
Pembeli : Mbak, charger untuk Hp ini ada?Penjual : Boleh saya lihat dulu, Mbak, besar atau kecil?Pembeli : Ini, Mbak, HpnyaPenjual : Oh ... Nokia besar, ya. Kalau yang ini kosong, Mbak,
barangnya. Mungkin minggu depan.
41
Pembeli : Kira-kira harganya nyampe berapa ya, Mbak, kalauboleh saya tau.
Penjual : Sekitar dua puluhan, dua puluh ke bawah.
(Tanggal : 10 Mei 2010// Pukul : 09.48)
Tuturan kalimat di atas, termasuk peristiwa campur kode
ekstern. Yakni pada tuturan “Mbak, chargeruntuk Hp ini ada?”. Kata
“charger” berasal dari bahasa Inggris, dan kata “Hp” kata tersebut
berasal dari bahasa Inggris (Handphone) yang berarti “telephone
tangan/genggam”. Hal tersebut dilakukan oleh pembeli, karena
memang alat untuk komunikasi yang berupa telepon genggam adalah
dinamakan Hp (Handphone) yang diserap dari bahasa Inggris dan sulit
untuk menggantikan atau merubah dengan kata lain. Karena kalau
orang Indonesia mengucapkannya dengan makna yang sebenarnya
yakni “telepon tangan/genggam”, maka akan sulit karena terlalu
panjang kata dan pemborosan. Dengan demikian, peristiwa campur
kode yang terjadi adalah campur kode ke luar yakni dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
Konteks : Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalamTransaksi Jual Beli Make-up
Pembeli 1 : Pinten, Bu?(Berapa, Bu?)
Pen jual : Setunggal ewu.(Seribu)
Pembeli 1 : La niki?(La ini?)
Penjual : Sing panjang dua ribu.(Yang panjang dua ribu)
Pen jual : Niku separo coklat, separo ireng, pengen hitambisa, coklat bisa.(Itu setengah coklat, setengah hitam, ...)
42
Pembeli 1 : Niki nggih sami, Bu?(Ini juga sama, Bu?)
Penjual : Nggih, Mbak, monggo pokok’e panjang kalih ewu, singpendek sewu. Milih mawon.
(Ya, Mbak, silahkan, yang panjang du aribu, yang pendekseribu. Pilih sendiri)
Pembeli 2 : Bu, sing damel teng mriki, niku opo?(Bu, yang buat disini, itu apa?)
Penjual : Oh ... eye shadow? Niku toh, niku sing gedhe onoblason’e.
(Tanggal : 17 Mei 2010// Pukul : 13.30)
Tuturan tersebut, mengalami peristiwa campur kode ekstern
yakni pada tuturan “Oh ... Eye shadow? Niku toh, niku sing gedhe ono
blason’e”. Kata “eye shadow” adalah kata yang diserap dari bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia, kata tersebut digunakan karena dalam
sehari-harinya kata tersebut memang sudah dibakukan ke dalam
bahasa Indonesia yang artinya “bayangan mata” (pewarna pada
kelopak mata). Dan jika orang Indonesia mengucapkannya dengan
bahasa Indonesia, yaitu makna yang sebenarnya, akan terlalu sulit dan
terlalu panjang kata (pemborosan). Dengan demikian peristiwa campur
kode yang terjadi adalah campur kode keluar dari bahasa, Jawa ke
bahasa Inggris.
3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode dalam Peristiwa
Tuturan antara Penjual dan Pembeli
Dalam menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
campur kode pada peristiwa tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar
Semarang, penelitian ini menggunakan konsep komponen tutur. Penutur
43
dalam transaksi jual beli barang, dalam hal ini penjual dan pembeli
melakukan campur kode dari kode yang satu ke kode yang lain, pastilah
memiliki maksud dan sebab-sebab tertentu. Maksud dan sebab-sebab
tersebut adalah :
a. Ingin Menjelaskan Sesuatu/Maksud Tertentu
Keinginan untuk menjelaskan suatu maksud tertentu, karena
campur kode juga menandai sikap dan hubungan dengan orang lain.
Kadang-kadang untuk dapat memberikan penjelasan kepada orang lain
perlu dipergunakan bahasa lain dari bahasa dasar yang dipergunakan oleh
penutur. Demikian halnya untuk mempermudah penafsiran suatu bahasa
maka digunakan juga bahasa yang lain. Berikut adalah peristiwa tutur yang
mengandung campur kode untuk menjelaskan suatu maksud.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam TransaksiJual Beli Eye Shadow
Pembeli 2 : Bu, sing damel teng mriki, niku opo?(Bu, yang buat disini, itu apa?)
Penjual : Oh ... eye shadow? Niku toh, niku sing gedhe ono blason’e.Pembeli 2 : Berapa, Bu?Penjual : Sing niku dua puluh ribu, Mbak.
(Yang itu dua puluh ribu, Mbak)
(Tanggal : 17 Mei 2010// Pukul : 13.35)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengandung campur kode
yakni dari bahasa Jawa ke bahasa Inggris yang dilakukan oleh penjual,
seperi pada tuturan “Oh ... eye shadow? Niku toh, niku sing gedhe ono
blason’e”. Penjual menjelaskan suatu maksud tertentu, bahwa yang
44
dimaksud oleh pembeli adalah “eye shadow” seperti pada tuturan pembeli
“Bu, sing damel teng mriki, niku opo?”.
Campur kode yang dilakukan oleh penjual bertujuan agar
suasana yang tercipta menjadi lebih santai. Dengan demikian campur kode
yang terjadi pada cuplikan percakapan tersebut adalah dari bahasa Jawa ke
bahasa Inggris dengan alasan untuk menjelaskan maksud tertentu.
b. Karena Situasi
Keinginan penutur dalam mencampurkan kode terhadap mitra
tutur agar tidak jenuh, maka penutur menggunakan bahasa lain saat
bertutur. Dan biasanya juga disebabkan karena kedatangan orang ketiga
maka penutur langsung mencampur kode bahasanya. Berikut adalah
peristiwa tutur yang mengandung campur kode karena situasi.
Konteks : Peristiwa Tuturan oleh Penjual dan Pembeli dalam JualBeli Buku
Penjual : La ini buku tentang gaib, mau?Pembeli : Mistik, kok Pak.Penjual 1 : Mistik?Penjual 2 : Majalah mistik ono malahan.Pembeli : Gak owg. Itu tentang teorinya.
(Tanggal : 18 Mei 2010// Pukul : 12.54)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengandung campur kode,
yaitu antara penjual dan pembeli dalam berdialog menggunakan bahasa
Indonesia, seperti pada tuturan penjual; “Lha ini buku tentang gaib,
mau?”. Pembeli pun menjawab dengan bahasa Indonesia, “Mistik, kok
Pak”. Namun di tengah pembicaraan mereka, hadirlah penjual (2) yang
menyapanya dengan menggunakan bahasa Jawa, seperti pada tuturan,
45
“Majalah mistik ono malahan”, yang dalam bahasa Indonesia artinya,
“Kalau majalah mistik ada”. Yang kemudian pada akhirnya antara
mereka, yaitu penjual dan pembeli menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi. Hal itu bertujuan agar suasana yang terjadi menjadi lebih
santai dan lebih akrab. Pencampuran kode bahasa tersebut disebabkan
karena kehadiran penjual (2) yang menggunakan bahasa Jawa. Yang pada
akhir percakapan, mereka sama-sama menggunakan bahasa Jawa dengan
tingkat tutur ngoko dan bercampur dengan bahasa Indonesia. Dengan
demikian campur kode yang terjadi adalah dari bahasa Jawa dengan
tingkat tutur ngoko dan bercampur dengan bahasa Indonesia dengan alasan
karena berubahnya situasi.
c. Ingin Menjalin Keakraban Penjual dan Pembeli
Untuk menjalin keakraban, maka penutur (penjual) sesekali
mencampur kode bahasanya dengan bahasa lain, agar tidak bosan dan
menimbulkan sikap kekeluargaan, sehingga apa yang diinginkan oleh
penjual dapat terwujud. Seperti pada peristiwa tutur yang menjalin
keakraban di bawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan oleh Penjual kepada Pembeli dalamTransaksi Jual Beli Kaset
Pembeli : Delapan ribu gak boleh, Pak?Penjual : Gak boleh.Pembeli : Pase pinten?Penjual : Pase sepuluh ribu mboten nopo-nopo, gawe pelaris.Pembeli : Delapan ribu, ya, Pak?Penjual : Pas owg, Mbak, sepuluh ribu.
(Tanggal : 13 Mei 2010// Pukul : 10.31)
46
Tuturan kalimat di atas, mengandung campur kode, yaitu pada
awal percakapan pembeli dalam bertutur menggunakan bahasa Indonesia,
dan penjual pun menjawab dengan bertutur juga menggunakan bahasa
Indonesia. Seperti pada tuturan pembeli; “Delapan ribu gak boleh, Pak?”.
Penjual, “Gak boleh”. Namun setelah itu pembeli bertutur dengan
menggunakan bahasa Jawa, “Pase pinten?”, yang kemudian oleh penjual
dijawab dengan mencampurkan bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia
seperti pada tuturan, “Pase sepuluh ribu mboten nopo-nopo, gawe
pelaris”. Pencampuran kode tersebut dilakukan penjual dan pembeli
dengan tujuan yang sama, yakni agar tidak bosan dan tidak jenuh dalam
bertutur dan menimbulkan rasa kekeluargaan. Dengan demikian campur
kode yang terjadi adalah campur kode ke dalam yaitu pencampuran dari
bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia dengan alasaan karena ingin
menjalin keakraban antarkeduanya.
d. Karena Menyindir atau Memuji (Mitra Tutur)
Dengan dilakukannya pencampuran kode bahasa oleh penutur
kepada mitra tutur karena ingin memberikan kemudahan dan kelancaran
dalam percakapan pada saat tawar menawar, sehingga dengan terpaksa
penutur melakukan dengan cara menyindir atau memuji terhadap mitra
tutur. Seperti peristiwa tutur yang mengandung pujian di bawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan oleh Penjual dan Pembeli dalam JualBeli Beras
Pembeli : Beras ini, 1 kg berapa?Penjual : Lima setengah.Pembeli : Tapi kok item ya berasnya?
47
Penjual : Berasa ayu ngene koyo’ Mbak’e kok dibilang item.(Beras cantik gini kaya’ Mbaknya, kok dibilang item)
Pembeli : Hehe ..., matursuwun.(Hehe ..., terima kasih)
(Tanggal : 09 Mei 2010// Pukul : 15.13)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengandung campur kode,
yaitu pada awal percakapan antara pembeli dan penjual berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi pada saat pembeli bertutur
(tidak sengaja) mencela penjual dengan tetap menggunakan bahasa
Indoneisa, seperti pada tuturan, “Tapi kok item yang, berasnya?”. Yang
kemudian oleh penjual dijawab dengan sedikit memuji pembeli, agar
pembeli jadi membeli barang yang ditawarkan penjual, seperti pada
tuturan, “Beras ayu koyo’ Mbak’e kok dibilang item” (Beras cantik kaya’
Mbaknya kok dibilang item). Pencampuran kode tersebut dilakukan
penjual kepada pembeli karena ingin memberikan kemudahan dan
kelancaran dalam percakapan pada saat transaksi jual beli berlangsung,
sehingga dengan terpaksa penjual melakukan dengan cara menyindir atau
memuji terhadap pembeli. Dengan demikian campur kode yang terjadi
adalah dari bahasa Jawa bercampur dengan bahasa Indonesia dengan
alasan ingin memuji mitra tutur.
B. Pemerian Wujud Alih Kode dalam Tuturan Penjual dan Pembeli di
Pasar Johar Semarang
Masyarakat tutur di pasart Johar Semarang, adalah masyarakat
dwibahasawan artinya menggunakan bahasa lebih dari satu, antara lain bahasa
48
Jawa, dan bahasa Indonesia, yang terkadang mereka menggunakan unsur kosakata
dari bahasa asing. Oleh karena itu, saat mereka berkomunikasi sering melakukan
alih kode.
Dari pemerian wujud kode yang mencakup kode bahasa, kode tingkat
tutur, kode dialek, kode ragam maka wujud kode bahasalah yang mendominasi
tuturan penjual dan pembeli di pasar Johar Semarang. Kode yang berwujud
bahasa, dalam penelitian ini mencakup bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa
asing.
Wujud alih kode pada peristiwa yang terjadi di pasar Johar Semarang,
dapat dipaparkan sebagai berikut : 1) kode yang berwujud bahasa Jawa, 2) kode
yang berwujud bahasa Indonesia, 3) kode yang berwujud bahasa asing.
1. Alih Kode yang Berwujud Alih Bahasa
Alih kode yang berwujud alih bahasa cukup banyak ditemukan
dalam wacana jual beli di pasar. Alih kode yang berwujud alih bahasa
dibedakan menjadi dua, yakni : bahasa Jawa dan nonbahasa Jawa (bahasa
Indonesia dan bahasa asing). Alih kode tersebut mencakup peralihan dari
bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
a. Alih Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa
Alih kode yang berupa peralihan dari bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Jawa relatif banyak ditemukan. Hal demikian tentu akan
lebih cenderung beralih kode ke dalam bahasa Jawa, sebab mereka sudah
terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Salah
49
satunya adalah dalam hal tawar menawar sandang di pasar. Berikut ini
adalah peristiwa tuturan yang mengandung alih kode tersebut.
Konteks : Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalamTawar Menawar Gerabah (Gelas)
Pembeli : Yang kayak ini, berapa, Mbak?Penjual : Itu mahal enampuluh lima ribu, itu kan kaya’ yang dari
Mekah itu, lho Mbak.Pembeli : Ya, udah Mbak, berapa?Penjual : Duapuluh dua setengah, towone sithik, Mbak, paling yo
potong dua setengah ribu.(Dua puluh dua setengah ribu, menawarnya sedikit, Mbak,paling dipotong dua setengah ribu)
Pembeli : Nggih mpun niki mawon.(Ya sudah ini saja)
Penjual : Pecah wae.(Uang kecil saja)
Pembeli : Ndak ada, Mbak.(Gak ada, Mbak)
Penjual : Paringi recehe.(Kasih uang kecilnya)
Pembeli : Mboten enten.(Gak ada)
Penjual : Sing dua setengahe, ono gak?(Yang dua setengahnya ada gak?)
Pembeli : Oh ... sing dua setengah.Penjual : He’eh ntar kan kembali delapan puluh.Pembeli : Recehan tapiPenjual : Rak popo to malah
(Gak apa-apa)Pembeli : Matursuwun nggih, Mbak.
(Terima kasih, ya Mbak)
(Tanggal : 16 Mei 2010// Pukul : 11.27)
Tuturan kalimat tersebut di atas, merupakan kegiatan tawar
menawar yang dilakukan oleh penjual dan pembeli. Tuturan tersebut
terjadi di pasar Johar Semarang pada toko gerabah. Awalnya mereka
menggunakan bahasa Indonesia, yakni pada tuturan pembeli, “Yang kayak
ini berapa, Mbak?” Penjual pun menanggapi dengan menggunakan bahasa
50
Indonesia seperti pada tuturan, “Itu mahal enam puluh lima ribu, itu kan
kaya’ yang dari Mekah itu lho, Mbak”. Namun dipertengahan percakapan
penjual beralih ke bahasa Jawa, yakni pada tuturan, “Dua puluh setengah,
towone sithik, Mbak, paling yo potong dua setengah”, dan pembeli juga
menanggapi dengan menggunakan bahasa Jawa juga, yakni pada tuturan,
“Nggih mpun niki mawon”. Dan pada akhirnya mereka menggunakan
bahasa Jawa sampai akhir percakapan. Alih kode tersebut terjadi
disebabkan karena penjual merasa bahwa pembeli terlalu lama dalam
tawar menawar barang yang mau dibeli. Jadi dengan sadar penjual
mengganti bahasanya dengan bahasa sehari-harinya, yakni bahasa Jawa,
dengan tujuan untuk memperlancar komunikasi. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa alih kode tersebut adalah alih bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa tingkat tutur madya. Dan alih kode ini berbentuk alih kode ke
dalam, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa tingkat tutur madya
yang berwujud alih kode kalimat.
Konteks : Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam JualBeli Beras
Pembeli : Beras ini, 1 kg berapa?Penjual : Lima setengah, Mbak.Pembeli : Tapi kok item ya, Bu, berasnya?Penjual : Berasa ayu ngene koyo’ Mbak’e kok dibilang item.
(Beras cantik gini kaya’ Mbaknya, kok dibilang item)Pembeli : Hehe ..., matursuwun.
(Terima kasih)Penjual : Sami-sami, atos-atos, Mbak.
(Sama-sama, hati-hati, Mbak)
(Tanggal : 09 Mei 2010// Pukul : 15.13)
51
Tuturan kalimat di atas mengalami peristiwa alih kode yaitu
dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Yaitu pada awal percakapan
antara penjual dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia, yakni pada
tuturan pembeli, “Beras ini 1kg, berapa?” Penjual, “Lima setengah,
Mbak”. Kemudian oleh penjual melakukan alih kode dari bahasa Indonesia
ke bahasa Jawa seperti pada tuturan, “Beras ayu ngene koyo’ Mbak’e kok
dibilang item”, dan pembeli pun juga ikut beralih bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa, yakni pada tuturan, “Matur suwun”, yang pada akhir
percakapan mereka menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur krama. Alih
kode tersebut dilakukan oleh penjual karena penjual ingin menciptakan
suasana jual beli menjadi lebih akrab dan santai.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alih kode dalam tuturan kalimat
tersebut adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dengan wujud
kalimat.
Konteks : Peristiwa tuturan antara penjual dan Pembeli dalam transaksijual beli Batik
Pembeli1 :tapi modele sama?Penjual : ini sama bunga beda warna, ini beda bunga beda warnaPembeli3 : iki mbek iki podho
(ini dengan ini sama)Penjual : ini sama ini beda, beda motif beda warna.Penjual : maturnuwun
(Terimkasih)Pembeli1 : nggih
(iya)
(Tanggal : 11 Juni 2010//Pukul 11:40)
Tuturan kalimat di atas mengalami peristiwa alih kode yaitu
dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Yaitu pada awal percakapan
52
antara penjual dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia, yakni pada
tuturan pembeli, “tapi modele sama?” Penjual, “ini sama bunga beda
warna,ini beda bunga beda warna”. Kemudian oleh penjual melakukan
alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa seperti pada tuturan,
“maturnuwun”, dan pembeli pun juga ikut beralih bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa, yakni pada tuturan, “nggih”. Alih kode tersebut dilakukan
oleh penjual karena penjual ingin menciptakan suasana jual beli menjadi
lebih akrab dan santai.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alih kode dalam tuturan kalimat
tersebut adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dengan wujud
kalimat.
b. Alih Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia
Alih kode yang berupa peralihan dari bahasa Jawa ke dalam
bahasa Indonesia juga relatif banyak ditemukan dalam peristiwa tuturan
antara penjual dan pembeli di pasar Johar Semarang. Hal demikian
disebabkan oleh latar belakang penutur yang sebagian besar orangnya
berpendidikan, tentu paham dan bisa menggunakan bahasa Indonesia,
salah satunya dalam hal tawar menawar barang. Dan dapat dikatakan
demikian karena kedua bahasa ini dikuasai dengan cukup baik oleh
anggota masyarakat tutur. Fungsi bahasa dari kedua bahasa tersebut sering
dapat saling menggantikan. Dengan demikian bahwa dalam suatu
kesempatan bahasa Jawa dapat berfungsi sebagai bahasa yang berstatus
53
tinggi dan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa yang berstatus
rendah ataupun dapat berfungsi sebaliknya.
Berikut peristiwa tuturan yang mengandung alih kode tersebut.
Konteks : Peristiwa Tuturan antara Penjual kepada Pembeli dalamJual Beli Kaset
Pembeli : Pinten, Pak?(Berapa, Pak?)
Penjual : Kalihwelas ewu, Mbak.(Dua belas ribu, Mbak)
Pembeli : Gak boleh kurang?Penjual : Pas, Mbak, sudah biasa kok, Mbak.Pembeli : Di sana tadi delapan ribu.Penjual : Lain-lain, Mbak, ya ada tujuh ribu, delapan ribu juga ada.Pembeli : Delapan ribu gak boleh, Pak?Penjual : Gak boleh.
(Tanggal : 13 Mei 2010// Pukul : 10.31)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengalami peristiwa alih kode
yaitu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Yang dari sejak awal
percakapan penjual dan pembeli tersebut berkomunikasi menggunakan
bahasa Jawa dan pada akhir percakapan mereka menggunakan bahasa
Indonesia. Kegiatan alih bahasa terlebih dahulu dilakukan oleh pembeli,
karena pembeli merasa jenuh dan ingin menjadikan suasana menjadi lebih
serius atau formal dan dengan tujuan agar penjual mau dengan cepat
memberikan barang dagangannya dengan harga yang ditawarkan yaitu
seperti pada tuturan, “Gak boleh kurang?”
Penjual pun menanggapi dengan beralih bahasa, yaitu dari bahasa Jawa ke
bahasa Indonesia, yang nampak seperti pada tuturan, “Pas, Mbak, sudah
biyasa kok, Mbak”. Dengan demikian arah alih kode pada peristiwa
54
tuturan tersebut adalah dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Dan
alih kode ini berbenetuk alih kode ke dalam yaitu dari bahasa Jawa ke
bahasa Indonesia yang berwujud kalimat.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam TawarMenawar Jilbab
Penjual : Monggo Mbak, ditingali riyen.(Silahkan Mbak, dilihat dulu)
Pembeli 1 : Ningali tok angsal?(Lihat saja boleh?)
Penjual : Angsal, Mbak.(Boleh, Mbak)
Pembeli 1 : Wernane sing ungu kados Vario niku, enten?(Warna yang ungu seperti Vario itu ada?)
Penjual : Oh ... sing niku telas, Mbak.(Yang itu habis, Mbak)
Pembeli 2 : Berapa itu, Mas?Penjual : Yang itu tiga puluh ribu.Pembeli 1 : Kalau yang ini berapa, Mas?Penjual : Itu lima belas ribu.
(Tanggal : 05 Mei 2010// Pukul : 14.16)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengalami peristiwa alih kode
dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Percakapan dimulai dari penjual
dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur dengan pembeli, seperti
pada tuturan, “Monggo, Mbak, ditingali riyen”. Pembeli, “Ningali tok
angsal?”. Yang kemudian muncul pembeli (2) yang berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Indonesia, seperti pada tuturan, “Berapa ini, Mas?”
Penjual, “Yang itu tiga puluh ribu”, disusul pembeli (1) juga beralih
bahasa yang tadinya berkomunikasi dengan penjual menggunakan bahasa
Jawa, akhirnya beralih ke bahasa Indonesia, seperti pada tuturan, “Kalau
yang ini berapa, Mas?”
55
Alih kode tersebut terjadi karena disebabkan antara penjual dan pembeli
menginginkan agar suasana yang tercipta dalam tawar menawar jilbab
tersebut menjadi lebih akrab dan santai.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alih kode dalam tuturan kalimat
tersebut adalah dari bahasa Jawa tingkat tutur krama ke dalam bahasa
Indonesia dengan wujud kalimat.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalamTransaksi Jual Beli Sarimbit
Penjual : korting limaribu, seratus tagapuluhPembeli1 : seratus duapuluh?Penjual : pake sap itu belum dapet, pasnya tigapuluhPembeli2 : modele seneng?Pembeli3 :modele ngene-ngene tok
(modelnya ini saja)Pembeli2 : nak sing dadi mang ngene-ngene tok maceme
(kalau yang jadi memeng seperti saja macamnya)Pembeli3 : apik sing ndi?
(bagus yang mana?)Pembeli2 : apik sing iki toh
(bagus yang ini)Pembeli3 : gak limapuluh mbak?Penjual : pas bu.
(Tanggal : 11 Juni 2010//Pukul: 16:02)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengalami peristiwa alih kode
yaitu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Yang dari sejak awal
percakapan penjual dan pembeli tersebut berkomunikasi menggunakan
bahasa Jawa dan pada akhir percakapan mereka menggunakan bahasa
Indonesia. Kegiatan alih bahasa terlebih dahulu dilakukan oleh pembeli,
karena pembeli merasa jenuh dan ingin menjadikan suasana menjadi lebih
serius atau formal dan dengan tujuan agar penjual mau dengan cepat
56
memberikan barang dagangannya dengan harga yang ditawarkan yaitu
seperti pada tuturan, “gak limapuluh mbak?”
Penjual pun menanggapi dengan beralih bahasa, yaitu dari bahasa Jawa ke
bahasa Indonesia, yang nampak seperti pada tuturan, “Pas, bu”. Dengan
demikian arah alih kode pada peristiwa tuturan tersebut adalah dari bahasa
Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Dan alih kode ini berbenetuk alih kode
ke dalam yaitu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia yang berwujud
kalimat.
c. Alih Bahasa Indonesia ke Bahasa Asing
Alih kode yang melibatkan bahasa asing ternyata juga dapat
ditemukan dalam peristiwa tuturan antara penjual dan pembeli di pasar
Johar Semarang. Bahasa asing yang cukup sering muncul dalam wacana
ini adalah bahasa Inggris. Hal demikian disebabkan karena banyak juga
turis atau wisatawan asing yang datang ke kota Semarang. Berikut
peristiwa tutur yang mengandung alih kode yang berwujud alih bahasa
dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing (Inggris).
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli di Sebuah Counter
Pembeli : Mbak, charger untuk Hp ini ada?Penjual : Boleh saya lihat dulu, Mbak, besar atau kecil?Pembeli : Ini, Mbak, HpnyaPenjual : Oh...Nokia besar, ya. Kalau yang ini kosong, Mbak,
barangnya.Pembeli : Kira-kira harganya nyampe berapa ya, Mbak, kalau boleh
saya tau.Penjual : Sekitar dua puluhan, dua puluh ke bawah.Pembeli : Ups ... very expensive yach.
(Ups ... mahal sekali ya)
(Tanggal : 10 Mei 2010// Pukul : 09.48)
57
Tuturan kalimat tersebut, mengandung peristiwa alih kode
yakni dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris yang dilakukan oleh
pembeli. Dari sejak awal percakapan penjual dan pembeli menggunakan
bahasa Indonesia, seperti pada tuturan pembeli, “Mbak charger untuk Hp
ini ada?” Penjual, “Boleh saya lihat dulu, Mbak, besar atau kecil?”
Pembeli, “Ini, Mbak Hpnya”, dan seterusnya. Kemudian di akhir
percakapan, pembeli (2) bertutur menggunakan bahasa Inggris, yang
sebenarnya pembeli (2) tersebut bukan orang asing, dia asli orang Jawa,
tetapi dia menguasai bahasa tersebut, yang mungkin karena dia seorang
mahasiswa, yakni seperti pada tuturan, “Ups ... very expensive yach”, yang
artinya “sangat mahal”. Penggunaan bahasa Inggris itu dilakukan oleh
pembeli dengan alasan sangat tertentu. Pembeli ingin membuat suasana
jadi santai dan humor, karena bahasa asing dia pergunakan pada saat tawar
menawar barang, yang oleh masyarakat Semarang terdengar asing dan
lucu ketika mendengarnya. Jadi, keasingan dan kelucuan bahasa tersebut
dapat menjadikan suasana menjadi humor. Dengan demikian arah alih
kode pada cuplikan percakapan tersebut adalah dari bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Inggris. Dan alih kode ini berbentuk alih kode keluar, yaitu
dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dengan wujud frase.
d. Alih Bahasa Asing ke Bahasa Indonesia
Alih kode yang melibatkan bahasa asing ternyata tidak hanya
bahasa asing, namun dapat ditemukan juga dalam wacana jual beli di pasar
Johar Semarang, berupa bahasa Arab. Hal demikian disebabkan karena
58
banyak masyarakat tutur yang terbiasa memasukkan kosakata bahasa Arab
ke dalam bahasa Indonesia di dalam tuturan sehari-hari. Berikut peristiwa
tutur yang mengandung alih kode yang berwujud alih bahasa dari bahasa
asing (Arab) ke dalam bahasa Indonesia.
Konteks : Peristiwa Tuturan yang Dilakukan Penjual kepada Pembelidalam Tawar Menawar Celana Jeans
Pembeli : Assalamu’alaikum(Semoga kedamaian ada pada kalian)
Penjual : Wa’alaikumussalam, cari apa, Mas?(Dan semoga keselamatan juga ada pada kalian, ya cariapa, Mas?)
Pembeli : Celana jeansPenjual : Yang panjang atau pendek?Pembeli : Yang panjang saja, ada?Penjual : Ada, sebentar ya, ukurannya berapa, Mas?
(Tanggal : 22 Mei 2010// Pukul : 11.45)
Tuturan kalimat tersebut di atas, mengandung peristiwa alih
kode yakni alih kode dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yang
dilakukan oleh pembeli kepada penjual, yakni sesuai dengan kutipan
tuturan pembeli, “Assalamu’alaikum”, yang artinya adalah semoga
keselamatan ada pada kalian. Dan penjual menjawab,
“Wa’alaikumussalam, cari apa, Mas?” Pembeli, “Celana jeans”, dan
seterusnya.
Penggunaan alih kode bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia tersebut
dilakukan dengan alasan yang sangat tertentu yakni pembeli ingin
mengucapkan salam kepada penjual agar terkesan ramah, baik, sopan dan
sekaligus untuk menyebarkan salam kepada siapa saja. Dan perlui
59
diketahui bahwa ucapan salam di masyarakat Indonesia sudah
membudaya, ucapan salam kepada siapa saja adalah sifat terpuji, apalagi
sebagai seorang muslim, maka disunnahkan mengucapkan salam kepada
muslim lain, apabila bertemu. Jika dalam hal ini seorang pembeli sebelum
membeli barang yang diinginkan terlebih dahulu mengucapkan salam
kepada penjual yang notabene ucapan salam dengan menggunakan bahasa
Arab, meskipun pada akhirnya mereka mengalihkan ke bahasa Indonesia.
Dengan demikian, bentuk alih kode tersebut termasuk alih kode ke luar
karena terbentuk dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dengan
wujud kalimat.
2. Alih Kode yang Berwujud Alih Tingkat Tutur
Dari penelitian ini diperoleh bahwa, wujud alih kode yang dominan
dan sering terjadi adalah tingkat tutur dan alih bahasa. Alih kode yang
berwujud alih tingkat tutur yaitu berupa perpindahan antartingkat tutur
dalam bahasa Jawa. Dalam peristiwa tuturan antara penjual dan pembeli di
pasar Johar Semarang, juga ditemukan alih kode yang berupa alih ragam
dan alih dialek, namun hal ini tidak dominan terjadi bahkan cukup sulit
ditemukan, sehingga tidak dibahas dalam tulisan ini.
a. Alih Tingkat Tutur Ngoko ke Madya
Alih kode yang berwujud alih tingkat tutur ngoko ke tingkat
madya relatif jarang terjadi dibanding alih kode dari tingkat tutur
madya ke tingkat tutur ngoko. Hal demikian karena alih kode tersebut
pada umumnya terjadi dari kode yang berstatus tinggi ke dalam kode
60
yang berstatus rendah. Berikut ini peristiwa tutur yang mengandung
alih tingkat tutur ngoko ke madya.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Jual BeliGerabah (Gelas)
Pembeli : Ya, udah Mbak, berapa?Penjual : Duapuluh dua setengah, towone sithik, Mbak, paling yo
potong dua setengah ribu.(Dua puluh dua setengah ribu, menawarnya sedikit, Mbak,paling dipotong dua setengah ribu)
Pembeli : Nggih mpun niki mawon.(Ya sudah ini saja)
Penjual : Pecah wae.(Uang kecil saja)
Pembeli : Ndak ono, Mbak.(Gak ada, Mbak)
Penjual : Paringi recehe.(Kasih recehnya)
Pembeli : Mboten enten.(Gak ada)
(Tanggal : 16 Mei 2010// Pukul : 11.27)
Tuturan peristiwa di atas, terjadi pecakapan antara penjual dan
pembeli yang menimbulkan alih kode yaitu dari tingkat tutur ngoko ke
tingkat tutur madya. Pada awalnya penjual menggunakan bahasa Jawa
tingkat tutur ngoko, seperti pada tuturan, “Dua puluh dua setengah,
towone sithik, Mbak, paling to potong dua setengah tok”. Tetapi oleh
pembeli menanggapi dengan menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur
madya, seperti pada tuturan, “Nggih mpun niki mawon”, karena
pembeli lebih menghormati penjual dan ingin bersikap sopan.
Kemudian di akhir percakapan penjual bertutur dengan menggunakan
bahasa Jawa tingkat tutur madya, yang tadinya menggunakan atau
bertutur dengan menggunakan tingkat tutur ngoko, seperti pada
61
tuturan, “Paringi recehe mawon”. Penggunaan alih kode tersebut
disebabkan karena memang mereka sama-sama mahir berbahasa Jawa
tingkat tutur ngoko yang kebetulan asli orang Jawa. Jadi ketika mereka
bertemu menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur ngoko dengan tujuan
agar mereka saling akrab dan santai, meskipun pada akhir percakapan
mereka beralih ke bahasa Jawa tingkat tutur madya, namun tidak
menjadikan mereka tidak mengerti maksud tuturan satu sama lain.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alih kode pada tuturan
tersebut adalah bahasa Jawa tingkat tutur ngoko ke tingkat tutur madya
yang berupa kalimat.
b. Alih Tingkat Tutur Krama ke Madya
Alih kode yang berupa alih tingkat tutur krama ke tingkat tutur
madya, tidak dominan terjadi dalam wacana jual beli barang di pasar
Johar Semarang. Hal ini disebabkan seperti yang dijelaskan di depan
bahwa percakapan jual beli ini bersifat santai dan tidak formal.
Sehingga, penutur jarang menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur
krama. Berikut peristiwa alih tingkat tutur krama ke tingkat tutur
madya.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Jual BeliJilbab
Penjual : Monggo Mbak, ditingali riyen.(Silahkan Mbak, dilihat dulu)
Pembeli : Ningali tok angsal?(Lihat-lihat saja boleh?)
Penjual : Oh ... angsal, Mbak.(Oh ... boleh, Mbak)
Pembeli : Warnane sing ungu kados Vario niku, enten?
62
(Warna yang ungu seperti Vario itu ada?)Penjual : Oh ... sing niku telas, Mbak.
(Oh ... yang itu habis, Mbak)
(Tanggal : 05 Mei 2010// Pukul : 14.16)
Tuturan tersebut terjadi peristiwa alih kode, yaitu alih tingkat
tutur krama ke tingkat tutur madya. Yang pada awal percakapan antara
penjual dan pembeli menggunakan komunikasi dengan bahasa Jawa
tingkat tutur krama. Yang pada akhirnya percakapan antara keduanya
berakhir dengan menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur madya.
Seperti pada tuturan penjual, “Monggo, Mbak, ditingali riyen”.
Pembeli, “Ningali tok angsal?” Penjual “Oh angsal, Mbak”. Pembeli,
“Wernane sing ungu kados Vario niku enten?” Penjual “Oh, sing niku
telas, Mbak”.
Penggunaan alih kode tingkat tutur krama ke dalam tingkat tutur
madya tersebut dilakukan oleh penjual dengan alasan ingin
menghormati pembelinya, karena perlu diketahui bahwa tingkat tutur
krama lebih tinggi kedudukannya atau lebih tinggi nilai sosialnya
dibanding dengan tingkat tutur madya. Dengan alasan ingin
menghormati pembeli dengan penggunaan bahasa yang statusnya lebih
tinggi, maka pembeli akan merasa terhormat. Dan dengan adanya
sikap hormat yang diberikan oleh penjual, maka pembeli mau
membeli barang yang diinginkan dengan harga yang relatif mahal, dan
penjual mendapatkan keuntungan besar. Penggunaan alih kode yang
dilakukan oleh penjual tersebut bertujuan untuk memperakrab etika
63
perdagangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alih kode
dalam tuturan tersebut dari bahasa Jawa tingkat tutur krama ke dalam
bahasa Jawa tingkat tutur madya dengan wujud kalimat.
c. Alih Tingkat Tutur Krama ke Ngoko
Alih kode yang berwujud alih tingkat tutur krama ke tingkat
tutur ngoko, juga cukup sulit ditemukan dalam peristiwa tuturan antara
penjual dan pembeli di pasar Johar Semarang. Seorang pembeli yang
berstatus sosial tinggi, akan cenderung berbahasa Jawa dalam tingkat
tutur ngoko kepada penjual. Dengan kata lain, pembeli tersebut akan
sering menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat tutur krama.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperolah, calon pembeli sering
beranggapan bahwa penjual memiliki status sosial di bawahnya. Hal
ini menyebabkan pembeli lebih cenderung menggunakan bahasa Jawa
tingkat tutur ngoko. Berikut ini peristiwa tutur yang mengandung alih
tingkat tutur krama ke ngoko.
Konteks : Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli Celana olehPenjual kepada Pembeli
Penjual : Monggo Bu ingkang pundhi?(Silahkan Bu, yang mana?)
Pembeli : Menika, Mas(Itu, Mas)
Penjual : Oh ... menika kalihipun nginggile pitungdasa, Bu(Oh ... itu sama atasnya tujuh puluh, Bu)
Pembeli : Wis ora isa kurang, Mas?(Sudah tidak bisa kurang, Mas?)
Penjual : Saged diawis, panjenengan dhawuhipun ngawis pinten?(Bisa ditawa, kamu menawar berapa?)
Pembeli : Sing tenan wae pira regane?(Yang benar saja berapa harganya?)
(Tanggal : 24 Mei 2010// Pukul : 13.15)
64
Tuturan kalimat tersebut di atas, terjadi peristiwa alih kode.
Pembeli semula menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat tutur krama,
yakni pada tuturan “Menika, Mas” dan penjual menanggapi dengan
menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur krama, seperti pada tuturan,
“Oh ... menika kalihipun nginggile pitungdasa, Bu”. Dan pembeli
kemudian beralih bahasa dari tingkat tutur krama ke tingkat tutur
ngoko, yakni “Wis ora isa kurang, Mas”. Akan tetapi penjual dalam
cuplikan di atas tetap konsisten menggunakan bahasa Jawa tingkat
tutur krama, seperti pada tuturan, “Saged diawis, panjenengan
dhawuhi ngawis pinten?”. Penggunaan alih tingkat tutur krama yang
dilakukan oleh penjual tersebut karena ingin menghormati pembeli.
Dan perlu diketahui bahwa alih tingkat tutur krama status sosialnya
lebih tinggi dibanding dengan alih tingkat tutur ngoko. Maka dengan
penggunaan alih kode tingkat tutur krama oleh penjual, pembeli akan
merasa senang dan dihormati. Meskipun pada tuturan pembeli
menjawabnya dengan tingkat tutur ngoko, namun penjual tetap
konsisten dengan alih tingkat tutur krama, dengan tujuan agar
mempererat persaudaraan dan etika perdagangan. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa alih kode dalam contoh tuturan percakapan di
atas adalah dari bahasa Jawa tingkat tutur krama ke dalam tingkat tutur
ngoko dengan wujud kalimat.
65
3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode dalam Peristiwa
Tuturan antara Penjual dan Pembeli di Pasar Johar Semarang
Alih kode terjadi karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya alih kode, antara lain : siapa yang berbicara,
dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa.
Dalam berbagai kepustakaan linguistik, secara umum penyebab terjadinya
alih kode adalah : a) pembicara (penutur), b) pendengar (lawan tutur/mitra
tutur), c) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, d) pokok
pembicaraan (topik), e) membangkitkan rasa humor, f) untuk sekedar
bergengsi.
a. Penutur (OI)
Penutur memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan
bentuk kuantitas tuturan yang disampaikan seseorang. Berkaitan
dengan hal ini ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu siapakah
identitas orang pertama dan dari manakah asal-usul penutur itu.
Identitas OI akan ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu : keadaan
fisiknya, mentalnya dan kemampuan berbahasanya.
Latar belakang penutur perlu dikaitkan jenis kelamin, daerah asal,
suku, umur, golongan kelas dalam masyarakat, profesi dan lain
sebagainya. Hal demikian terdapat dalam tuturan wacana penjual dan
pembeli dalam melakukan transaksi jual beli di pasar Johar Semarang.
Berikut ini peristiwa tutur yang mengandung faktor alih kode dalam
hal penutur.
66
Konteks : Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalamTawar Menawar Kaset
Pembeli : Pinten, Pak?(Berapa, Pak?)
Penjual : Kalihwelas, Mbak(Dua belas ribu, Mbak)
Pembeli : Gak boleh kurang?Penjual : Pas, Mbak, udah biyasa kok, Mbak.Pembeli : Di sana tadi delapan ribu.Penjual : Lain-lain, Mbak, ya ada tujuh ribu, delapan ribu juga ada.Pembeli : Delapan ribu gak boleh, Pak?Penjual : Gak boleh.
(Tanggal : 13 Mei 2010// Pukul : 10.31)
Tuturan kalimat di atas, terjadi peristiwa alih kode, yaitu pada
awalnya penjual dan pembeli menggunakan bahasa Jawa, dan pada
akhirnya mereka mengakhiri percakapan dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Seperti pada tuturan pembeli, “Pinten, Pak?”. Penjual,
“Kalihwelas, Mbak”. Pembeli, “Gak boleh kurang”. Penjual, “Pas,
Mbak. Sudah biyasa kok, Mbak”. Di tengah percakapan tersebut
pembeli beralih bahasa dari bahasa Jawa tingkat tutur madya ke bahasa
Indonesia. Hal itu dilakukan karena pembeli kurang menguasai bahasa
Jawa meskipun sebenarnya pembeli tersebut asli orang Jawa dan lebih
nyaman menggunakan komunikasi dengan bahasa Indonesia ketika
bertutur kepada penjual. Pengalihan kode yang dilakukan oleh penjual
dan pembeli mempunyai alasan tertentu, yakni penjual dengan senang
mengikuti kode yang digunakan oleh pembeli. Pada awal percakapan
pembeli menggunakan bahasa Jawa, dan di akhir percakapan
menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut dilakukan oleh penjual
67
dengan tujuan untuk menghormati pembeli dengan cara penggunaan
bahasa, agar pembeli merasa terpuji dan senang dengan perlakuan
penjual yang ramah sekaligus agar barang dagangannya laku terjual.
Dengan demikian, alih kode bahasa yang terjadi adalah dari bahasa
Jawa tingkat tutur madya ke dalam bahasa Indonesia, yang disebabkan
oleh adanya penutur pertama yakni pembeli.
b. Mitra Tutur (O2)
Faktor O2 juga dapat menentukan bentuk tuturan yang
dikeluarkan seseorang dalam bertutur. Penutur yang berbicara dengan
mitra tutur yang berasal dari kelas sosial atas, tentu akan berasal dari
kelas sosial bawah. Dalam peristiwa tuturan antara penjual dan
pembeli di pasar Johar Semarang, faktor kedudukan sosial ini dapat
menyebabkan penjual dan pembeli beralih kode. Hal demikian terdapat
dalam peristiwa tutur di bawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Jual Beli AirMinum
Pembeli : Yang dingin, BuPenjual : Nggih sekedap
(Ya, sebentar)Pembeli : Pinten, Bu?
(Berapa, Bu?)Penjual : Dua setengahPembeli : Sedotane mboten enten?
(Sedotannya gak ada?)Penjual : Niku, Mbak
(Itu, Mbak)
(Tanggal : 15 Mei 2010// Pukul : 10.51)
68
Tuturan kalimat tersebut di atas terjadi alih kode, yakni pada
awal percakapan pembeli menggunakan bahasa Indonesia, “Yang
dingin, Bu”, tetapi oleh penjual ditanggapi dengan menggunakan
bahasa Jawa tingkat tutur krama, seperti pada tuturan, “Nggih
sekedap”. Yang akhirnya pembeli pun melakukan alih bahasa yaitu
dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa tingkat tutur krama, seperti
“Pinten, Bu?”, yang selanjutnya berakhir dengan tuturan bahasa Jawa.
Pembeli yang pada awalnya menggunakan bahasa Indonesia,
kemudian beralih ke bahasa Jawa, setelah mendengar jawaban dari
penjual yang menggunakan bahasa Jawa. Karena pembeli merasa
status sosial penjual lebih tinggi. Dan dengan alasan untuk
menghormati penjual yang kebetulan kedudukan usianya lebih tua
daripada pembeli. Jadi pembeli disini lebih menghormati penjual agar
suasana tercipta pada saat jual beli berlangsung bisa menjadi lebih
santai dan akrab. Dengan demikian, alih kode bahasa yang terjadi
adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa tingkat tutur
krama yang disebabkan oleh adanya mitra tutur yaitu pembeli.
c. Kehadiran Orang Ketiga (O3)
Kehadiran orang ketiga kadang-kadang juga dapat dipakai
sebagai penentu berubahnya kode yang dipakai oleh seseorang dalam
berkomunikasi. Misalnya dalam peristiwa tawar menawar barang.
Penjual dan pembeli bertutur dalam bahasa Indonesia, kemudian
69
berpindah ke bahasa Jawa tanpa dicampuri dengan bahasa Indonesia
meskipun penjual kehadiran calon pembeli baru.
Berikut adalah peristiwa tutur yang mengandung alih kode yang
berupa kehadiran orang ketiga.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Jual BeliJilbab (Kerudung)
Penjual : Monggo Mbak, ditingali riyen(Silahkan Mbak, dilihat dulu)
Pembeli 1 : Ningali tok angsal?(Lihat-lihat saja boleh?)
Penjual : Oh ... angsal, Mbak.(Boleh, Mbak)
Pembeli 1 : Wernane sing ungu kados Vario niku, enten?(Warna yang ungu seperti Vario itu ada?)
Penjual : Oh ... sing niku telas, Mbak.(Yang itu habis, Mbak)
Pembeli 2 : Berapa itu, Mas?Penjual : Yang itu tiga puluh ribu.Pembeli 1 : Kalau yang ini berapa, Mas?Penjual : Itu lima belas ribu.Pembeli 1 : La, kaya’ gini, ungu hampir pink gini, gak ada?Penjual : Ada, Mbak.Pembeli 1 : Mana?Penjual : Di sana, tak ambilke, tapi harganya jadi?Pembeli 1 : Berapa? Dua belas ribu, ya Mas?Penjual : Ya udah, tak ambilke, ya.
(Tanggal : 05 Mei 2010// Pukul : 14.16)
Tuturan kelimat tersebut terjadi peristiwa alih kode. Pada
peristiwa tuturan antara penjual d dan pembeli yang awalnya
menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur madya, seperti pada tuturan
penjual, “Monggo, Mbak ditingali riyen”. Pembeli, “Ningali tok
angsal?”. Penjual, “Oh, angsal, Mbak”. Pembeli, “Wernane sing ungu
kados Vario niku enten?”. Penjual, “Oh, sing niku telas, Mbak”.
70
Namun di tengah percakapan, hadirlah pembeli (2) yang
berkomunikasi dengan penjual dengan menggunakan bahasa Indonesia
seperti pada tuturan, “Berapa ini, Mas?” dan oleh penjual
menanggapinya dengan melakukan alih bahasa yaitu beralih dari
bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, yaitu sesuai dengan kondisi
pembeli (2) yang saat itu sedang bertutur kepada penjual dengan
menggunakan bahasa Indonesia, seperti pada tuturan, “Yang itu tiga
puluh ribu”, dan seterusnya sampai berakhir dengan percakapan
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut disebabkan
karena memang antara penjual dan pembeli asli orang Jawa, tepatnya
Semarang. Tetapi diantara meraka masing-masing menguasai bahasa
Indonesia, yang kebetulan ditandai dengan hadirnya pembeli (2).
Alasan mereka beralih kode karena tujuan tertentu, yaitu agar
komunikasi yang terjadi pada saat tawar menawar berlangsung itu
menjadi lebih santai dan akrab. Dengan demikian, alih kode yang
terjadi adalah alih kode dari bahasa Jawa tingkat tutur madya ke dalam
bahasa Indonesia yang disebabkan karena adanya kehadiran orang
ketiga.
d. Pokok Pembicaraan (Topik)
Permasalahan yang dibicarakan dalam peristiwa bentuk bahasa,
ragam maupun variasi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan itu
mengenai masalah ilmu pengetahuan, persahabatan, dan lain-lain.
Apabila terjadi alih pokok pembicaraan bentuk bahasa atau variasi
71
bahasanya, cenderung berubah mengikuti pokok pembicaraannya.
Dalam peristiwa tuturan antara penjual dan pembeli di pasar Johar
Semarang, alih pokok pembicaraan mempengaruhi penjual dan
pembeli untuk melakukan alih kode.
Hal demikian dapat dilihat pada peristiwa tutur di bawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam TawarMenawar Sepatu Fantofel
Penjual : Mangga, Mbak, padhos sepatu napa?(Silakan, Mbak, cari sepatu apa?)
Pembeli : Ya, Pak, sepatu fantofel yang merknya Crocodile ada?Penjual : Ada, sebentar. Yang nomor berapa? Itu Mbak, milih
sendiri, ya?Pembeli : Yang nomor empat puluh. Ini harganya berapa, Pak?Penjual : Seratus lima puluh ribuPembeli : Kok mahal sekali, PakPenjual : Ngomong-ngomong, Mbak kuliah atau kerja?Pembeli : Saya masih kuliah, PakPenjual : Ya, sudah saya beri harga seratus dua puluh lima. Buat
siapa to, Mbak?Pembeli : Buat pacar saya. Masih terlalu mahal, diskon lagi, Pak,
seratus ribu, ya?Penjual : Ya, sudah ambil berapa?
(Tanggal : 06 Mei 2010// Pukul : 13.00)
Tuturan kalimat tersebut di atas mengandung alih kode, yakni
di dalam tuturan antara penjual dan pembeli ada dua topik yang
dibicarakan, yaitu yang pertama tawar menawar sepatu dan yang kedua
membicarakan tentang status pembeli. Pada topik yang pertama
penjual menggunakan bahasa Jawa, seperti pada tuturan, “Mangga,
Mbak, padhos sepatu napa?”. Kemudian setelah mendengar jawaban
dari pembeli yang menggunakan bahasa Indonesia, maka penjual
72
beralih bahasa yaitu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia sampai
akhir percakapan, yakni seperti pada tuturan, “Ya, Pak, sepatu fantofel
yang merknya Crocodile ada?”. Sedangkan pada topik kedua penjual
sekedar ingin tahu status pembeli (mahasiswa) seperti pada tuturan,
“Ngomong-ngomong, Mbak kuliah atau kerja?”, sehingga mereka
beralih ke bahasa Indonesia untuk kembali ke topik tawar menawar,
seperti pada tuturan, “Ya sudah saya beri harga seratus dua puluh
lima”. Alasan penjual beralih kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia karena penjual merasa bahwa pembeli adalah seorang
pelajar/mahasiswa, adanya hal tersebut maka penjual dengan sadar
beralih kode bahasa Indonesia agar mudah dan lancar dalam
berkomunikasi dan dimengerti oleh pembeli pada saat tawar menawar
barang. Dengan demikian, alih kode yang terjadi adalah dari bahasa
Jawa ke dalam bahasa Indonesia, yang disebabkan oleh adanya
pergantian topik yang mereka bicarakan.
e. Membangkitkan Rasa Humor
Penutur mengalihkan kode bahasa dalam hal kehumoran untuk
menghilangkan ketegangan dan keseriusan. Alih kode demikian
berwujud alih varian, alih ragam dan alih gaya bahasa. Hal demikian
dapat dilihat pada peristiwa tutur di bawah ini.
Konteks : Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam TawarMenawar Tas
Pembeli : Kalau ini berapa, Bu?Penjual : Seratus delapan puluh ribuPembeli 1 : Gak boleh kurang, Bu?
73
Penjual : Maaf, disini ndak nawarinPembeli 1 : Oh ... ndak pernah nawarin?Penjual : Iya, bakule renyah ...Pembeli 2 : Emangnya makanan?! RenyahPenjual : IyaPembeli 1 : Kalau yang ini berapa, Bu?Penjual : Mana? Yang itu juga samaPembeli 3 : Sama, bahannya kan samaPenjual 1 : Itu gak boleh kurang, Bu?Penjual : Iya, ntar tak kurangi sumpelePembeli : Ha ... ha ... ha ...Penjual : Kalau tak kurangi resletingnya ntar gak bisa dipake loPembeli 2 : Iya ... ya
(Tanggal : 18 Mei 2010// Pukul : 13.07)
Tuturan kalimat di atas terjadi peristiwa alih kode yang
dilakukan oleh penjual. Komunikasi yang dilakukan antara penjual dan
pembeli tersebut adalah menggunakan bahasa Indonesia yang sesekali
dicampurkan dengan bahasa Jawa, seperti pada tuturan penjual,
“Seratus delapan puluh ribu”. Pembeli, “Gak boleh kurang, Bu?”.
Penjual, “Maaf, disini ndak nawarin”, Pembeli (2), “Oh ... ndak
pernah nawarin?”, dan setelah itu penjual beralih bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa, seperti tuturan, “Iya bakule renyah”, yang artinya “Ya,
penjualnya renyah”. Yang kemudian penjual pun memunculkan atau
membuat rasa humor dengan tujuan untuk menghilangkan ketegangan
dan keseriusan. Seperti pada tuturan pembeli, “Itu gak boleh kurang,
Bu?” Penjual, “Iya, ntar tak kurangi sumpele”. Pembeli (1, 2, 3), “ha
... ha ... ha”.
74
Alasan peralihan kode yang dilakukan oleh penjual karena ingin menimbulkan
suasana santai, lelucon dan memuji pembeli agar barang dagangannya laku
terjual, karena sesungguhnya pembeli suka dipuji agar jadi membeli barangnya.
Dengan demikian, alih kode yang terjadi adalah alih bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa, yang disebabkan oleh adanya suasana humor/lucu
75
BAB VPENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan pada Bab IV, dapat disimpulkan
bahwa penelitian yang dikemukakan meliputi pemerian wujud tuturan penjual
dan pembeli yang menyebabkan terjadinya peristiwa campur kode dan alih
kode di pasar Johar Semarang. Wujud campur kode tuturan penjual dan
pembeli di Pasar Johar Semarang adalah berupa : 1) penyisipan unsur-unsur
yang berwujud kata, 2) berwujud frase, 3) berwujud klausa, 4)berwujud kata
ulang, dan 5) berwujud idiom/ungkapan. Dan dilihat dari penggolongannya ada
2 campur kode, yakni campur kode intern dan campur kode ekstern.
Wujud alih kode tuturan penjual dan pembeli di Pasar Johar Semarang
adalah berupa alih bahasa yang meliputi : alih bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa, alih bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan alih bahasa
Indonesia ke dalam bahasa asing. Alih bahasa Jawa berupa : peralihan
antartingkat tutur yaitu karma, madya dan ngoko.
B. Saran
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa. Dan
bahasa merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan dan kerja sama dengan
orang di pasar.
Beragam dialek akan ditemui saat proses jual-beli. Hal ini dimaksudkan
agar penutur (penjual) maupun mitra tutur (pembeli) dapat saling memahami
76
apa yang dimaksud oleh kedua belah pihak dan tidak menimbulkan salah
pengertian. Adanya alih kode dan campur kode selama tuturan berlangsung
merupakan hal wajar yang dipakai penjual dan pembeli saat bertransaksi
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT
Refika Aditama.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.
Jongkie, Tio. 2006. Kota Semarang dalam Kenangan. Semarang: Mustika.
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sudaryanto. 1993. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. yogyakarta: Duta Wacana
Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Analisis Aneka Bahasa: pengantar penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Kdwibahasaan. Bandung: Angkasa.
Thomas, Linda & Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yasyin, Sulchan. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: AMANAH.
A. TUTURAN PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR JOHAR
SEMARANG
1. Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Jual Beli Kerudung( jilbab)
Tanggal : 05 Mei 2010Pukul : 14:16Penjual : Mas Catur
Penjual : monggo mbak ditingali riyen.(silahkan mbak, dilihat dulu)
Pembeli I : ningali tok angsal?(lihat-lihat saja boleh?)
Penjual : angsal mbak(boleh mbak)
Pembeli I : wernane sing ungu kados Vario niku wonten?(warna yang mirip vario itu ada?)
Penjual : oh.. sing niku telas mbak.(oh.. yang itu habis mbak)
Pembeli 2 : berapa ini mas?
Penjual : yang itu tigapuluh ribu
Pembeli I : kalau yang ini berapa mas?
Penjual : itu limabelas ribu.
Pembeli I : lha kayak gini, ungu sing hampir pink gini gak ada?(lha seperti ini, ungu yang hampir pink gini gak ada?)
Pembeli I : berapa? Duabelas ribu ya mas?
Penjual : ya sudah, tak ambilke ya.
2. Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam Jual BeliCelana Pendek (Boxer).
Tanggal : 05 Mei 2010Pukul : 13:57Penjual : Bu Aisyah
Pembeli I : ini satu berapa bu?
Penjual : duapuluh ribu.
Pembeli I : mosok larangmen bu?(masa’ mahal sekali bu?)
Penjual : itu yang alus nok.
Pembeli 2 : kurang boleh gak bu?
Penjual : Lha mau kurang berapa?
Pembeli 2 : sepuluh ribu?
Penjual : limabelas ribu boleh.
Pembeli I : kalau ini berapa bu?
Penjual : itu yang Boxer besar atau kecil? Yang jumbo duapuluhlima, yang kecil duapuluh ribu.
Pembeli I : ini delapan ribu ya bu?
Penjual : ini murah kok.
Pembeli I : kemarin di Simpang lima saja delapan ribu, tujuh ribumalah.
Penjual : oh.. gak ada, wong aku jualnya yo ning simpang kokmbak.(oh gak ada, wong aku jualnya juga di simpang lima kok
mbak).
Pembeli I : kemarin kok beli di Simpang boleh ya..
Penjual : sebelah mana?
Pembeli I : itu sebelah utara.
Pembeli 2 : sudah, ini berapa bu?
Penjual : limabelas ribu mbak.
Pembeli 2 : sepuluh?
Pembeli I : halah nak entuk bu,(kalau boleh bu?)
Penjual : mau ambil berapa toh?
Pembeli 2 : satu.
Penjual : ya sudah.
3. Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam TawarMenawar Sepatu Pantofel
Tanggal : 06 Mei 2010Pukul : 13:00Penjual : Pak Bandhi
Penjual :Mangga, Mbak, padhos sepatu napa?(Silakan, Mbak, cari sepatu apa?)
Pembeli :Ya, Pak, sepatu fantofel yang merknya Crocodile ada?
Penjual :Ada, sebentar. Yang nomor berapa? Itu Mbak, milihsendiri, ya?
Pembeli :Yang nomor empat puluh. Ini harganya berapa, Pak?
Penjual :Seratus lima puluh ribu
Pembeli :Kok mahal sekali, Pak
Penjual :Ngomong-ngomong, Mbak kuliah atau kerja?
Pembeli :Saya masih kuliah, Pak
Penjual :Ya, sudah saya beri harga seratus dua puluh lima. Buatsiapa to, Mbak?
Pembeli :Buat pacar saya. Masih terlalu mahal, diskon lagi, Pak,seratus ribu, ya?
Penjual :Ya, sudah ambil berapa?
4. Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli Baju Anak-anak olehPenjual dan Pembeli
Tanggal : 08 Mei 2010Pukul : 09:45Penjual : Mbak Rom
Penjual :Ampun, Mak De, nak sepuluh dereng entuk.(Jangan, Mak De, kalau sepuluh belum boleh)
Pembeli :Aku wingi karo Makmu yo semono.(Aku kemaren sama Ibumu ya segitu)
Penjual :Ora ngono kuwi, yo ... ora duwe Ibu ki ...(Gak seperti itu, gak punya Ibu itu)
Pembeli :Niki lo ...(Ini lo ...)
Penjual :Paringi receh, Mak De ...(Kasih receh, Mak De ...)
5. Peristiwa Tuturan antara Penjual kepada Pembeli dalam TransaksiJual Beli Beras
Tanggal : 09 Mei 2010Pukul : 15:13Penjual : Bu Wagini
Pembeli : Beras, Bu, 1 kg berapa?
Penjual : Lima setengah mawon, Mbak, di sana-sana ki wis enemewu.(Lima setengah ja, Mbak, di sana-sana sudah enam ribu)
Pembeli : Tapi, emang item ya, Bu, berasnya?
Penjual : Lo, beras ayu ngene koyo’ Mbak’e kok dibilang item.(Lo, beras cantik gini mirip Mbak’nya kok dibilang item)
Pembeli : Hehe ..., matursuwun, monggo ...(Hehe ..., terima kasih, permisi ...)
Penjual : Sami-sami, atos-atos, Mbak.(Sama-sama, hati-hati, Mbak)
6. Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual BeliCharger Hp
Tanggal : 10 Mei 2010Pukul : 09:48Penjual : Mbak Yulia
Pembeli : Mbak, charger untuk Hp ini ada?
Penjual : Boleh saya lihat dulu, Mbak, besar atau kecil?
Pembeli : Ini, Mbak, Hpnya
Penjual : Oh ... Nokia besar, ya. Kalau yang ini kosong, Mbak,barangnya. Mungkin minggu depan.
Pembeli : Kira-kira harganya nyampe berapa ya, Mbak, kalau bolehsaya tau.
Penjual : Sekitar dua puluhan, dua puluh ke bawah
7. Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi JualBeli Pakaian Dalam
Tanggal : 12 Mei 2010Pukul : 13:13Penjual : Bu Diah
Pembeli 1 : Kok mahal? Pasnya berapa?
Penjual : Ada harga ada kualitas, lha ini merknya saja Gtmen. Yasudah tak paskan, CDnya tujuh belas setengah, Bhnya duapuluh, lha singletnya dua puluh lima. Bagaimana?
Pembeli 1 : Ya sudah saya ambil.
Pembeli 2 : Celana daleme regane piro, Bu?(Celana dalam, harganya berapa, Bu?)
Penjual : Monggo, Bu, murah, kualitase apik, sing iki rungpuluhewu.(Silakan, Bu, Murah, tapi kualitasnya bagus, yang ini duapuluh ribu)
Pembeli 2 : Pase pira? Lha ibune kuwi, kok sampean wenehi regopitulas setengah?(Pasnya berapa? Lha Ibunya itu kok kamu beri hargatujuh belas setengah?)
8. Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Tawar Menawar KaosKaki
Tanggal : 13 Mei 2010Pukul : 13:08Penjual : Bu Hanik
Penjual : Padhos nopo, Mbak?(Cari apa, Mbak)
Pembeli : Kaos kaki, Bu.
Penjual : Monggo, niki milih piyambak.(Silahkan pilih sendiri)
Pembeli : Sing niki pinten, Bu?(Yang ini berapa, Bu?)
Penjual : Niki limang ewu mawon.(Ini lima ribu saja)
Pembeli : Halah sih, tiga, sepuluh ribu, ya?
9. Peristiwa Tuturan antara Penjual dan pembeli dalam jual beli Kaset
Tanggal : 13 mei 2010Pukul : 10:31Penjual : Pak Kandik
Pembeli : pinten pak?(berapa pak?)
Penjual : kalih welas mbak.(duabelas ribu mbak)
Pembeli : gak boleh kurang?
Penjual : pas mbak, sudah byasa kok mbak.
Pembeli : di sana tadi delapan ribu.
Penjual : lain-lain mbak, ya ada tujuh ribu, delapan ribu juga ada.
Pembeli : delapan ribu gak boleh pak?
Penjual : gak boleh.
Pembeli : pase pinten?(pasnya berapa?)
Penjual : pase sepuluh ribu mboten nopo-nopo, gawe pelaris.(pasnya sepuluh ribu gak apa-apa, buat pelaris)
Pembeli : delapan ribu ya pak?
Penjual : pas kok mbak, sepuluh ribu.
Pembeli : sembilan wis sembilan?(sembilan ya?)
Penjual : Lha mau beli berapa?
Pembeli : satu tok.
Penjual : ya sudah.
10. Peristiwa tuturan antara Penjual dan Pembali dalam tawar MenawarGerabah (gelas).
Tanggal : 16 Mei 2010Pukul : 11:27Penjual : Mbak Sarah
Pembeli : pasnya berapa mbak?
Penjual : potonge dua setengah ribu mbak, gak towo banyak ogibuk’e
(potong dua setengah ribu mbak, gak nawar banyakibunya)
Pembeli 2 : yo gak po-po jenenge ngenyang.(ya gak apa-apa namanya nawar)
Penjual : daripada mbak’e ini ketok’e kan ra pantes ngono lhodigowo,
Nak ini kan mewah walaupun murah, ya toh?(daripada mbaknya ini kelihatannya kan gak pantes begitu,Kalau ini kan mewah walaupun murah, iya toh?)
Pembeli : yang kayak ini berapa mbak?
Penjual : yang itu enampuluh lima ribu, kayak yang dari Mekah ituLho mbak.
Pembeli : ya sudah mbak, berapa?
Penjual : dua dua setengah, towone sithik mbak.(duapuluh dua setengah mbak, nawarnya sedikit kok
mbak)
Pembeli : nggih sampun niki mawon(ya sudah, ini saja)
Penjual : pecah wae.(uang kecil saja)
Pembeli : gak ada mbak.
Penjual : paringi recehe(kasih uang recehnya)
Pembeli : mboten wonten(tida k ada)
Penjual : sing dua setengahe ono gak?(yang dua setengah ribu ada tidak?)
Pembeli :oh..
Penjual : he’eh ntar kan kembali delapanpuluh ribu.
Pembeli : iya, recehan tapi mbak.
Penjual : rak po-po toh malah(gak apa-apa)
Pembeli : maturnuwun nggih mbak.(terima kasih mbak)
11. Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Jual Beli Air Minum(Aqua)
tanggal : 15 Mei 2010pukul : 10: 51penjual : Bu Kusyati
Pembeli :Yang dingin, Bu
Penjual :Nggih sekedap(Ya, sebentar)
Pembeli :Pinten, Bu?(Berapa, Bu?)
Penjual :Dua setengah
Pembeli :Sedotane mboten enten?(Sedotannya gak ada?)
Penjual :Niku, Mbak(Itu, Mbak)
12. Peristiwa Tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi JualBeli Make-up
Tanggal : 17 Mei 2010Pukul : 13:30Penjual : Bu Waginah
Pembeli 1 : Pinten, Bu?(Berapa, Bu?)
Pen jual : Setunggal ewu.(Seribu)
Pembeli 1 : La niki?(La ini?)
Penjual : Sing panjang dua ribu.(Yang panjang dua ribu)
Pen jual : Niku separo coklat, separo ireng, pengen hitam bisa,coklat bisa.(Itu setengah coklat, setengah hitam, ...)
Pembeli 1 : Niki nggih sami, Bu?(Ini juga sama, Bu?)
Penjual : Nggih, Mbak, monggo pokok’e panjang kalih ewu, singpendek sewu. Milih mawon.(Ya, Mbak, silahkan, yang panjang du aribu, yang pendekseribu. Pilih sendiri)
Pembeli 2 : Bu, sing damel teng mriki, niku opo?(Bu, yang buat disini, itu apa?)
Penjual : Oh ... eye shadow? Niku toh, niku sing gedhe onoblason’e.(oh eye shadow?, itu yang besar ada blason’e)
Pembeli 2 : Berapa, Bu?
Penjual : Sing niku dua puluh ribu, Mbak.(Yang itu dua puluh ribu, Mbak)
13. Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Tawar Menawar Tas
Tanggal : 18 Mei 2010Pukul : 13:07Penjual : Bu Tutik
Pembeli : Kalau ini berapa, Bu?
Penjual : Seratus delapan puluh ribu
Pembeli 1 : Gak boleh kurang, Bu?
Penjual : Maaf, disini ndak nawarin
Pembeli 1 : Oh ... ndak pernah nawarin?
Penjual : Iya, bakule renyah ...
Pembeli 2 : Emangnya makanan?! Renyah
Penjual : Iya
Pembeli 1 : Kalau yang ini berapa, Bu?
Penjual : Mana? Yang itu juga sama
Pembeli 3 : Sama, bahannya kan sama
Penjual 1 : Itu gak boleh kurang, Bu?
Penjual : Iya, ntar tak kurangi sumpele
Pembeli : Ha ... ha ... ha ...
Penjual : Kalau tak kurangi resletingnya ntar gak bisa dipake lo
Pembeli 2 : Iya ... ya
14. Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli antara Penjual dan Pembelidalam Jual Beli Buku
Tanggal : 18 Mei 2010Pukul : 12:54Penjual I : Pak DarnoPenjual 2 : Mas hermantoPenjual 3 : Pak Kasmuni
Penjual : apa mbak?
Pembeli : buku mistik.
Penjual : gak punya, apa jenenge? Tentang gaib ya?(tidak punya, apa namanya? Tentang ghaib ya?)
Pembeli : iya
Penjual : lha ini buku tentang ghaib mau?
Pembeli : mistik kok pak
Penjual 2 : mistik?
Pembeli : ya mistik.
Penjual 3 : majalah tentang mistik ono malahan(majalah mistik ada malah)
Pembeli : gak og, itu tentang teorinya
Pembeli 2 : itu cerita pak?
Penjual : iya cerita
Pembeli : tentang teorinya kok
Penjual 2 : mistik yo mbak?
Pembeli : nggih(iya)
Penjual 2 : sek, aku mau nemu mistik, endhi yo?
(sebentar, aku tadi lihat mistik, mana ya?)
Penjual 3 : buku-buku sulap iku lho
Penjual 3 : la iya ono mau kok(la iya, ada tadi kok)
Pembeli 2 : tentang teorinya pak?
Pembeli 3 : pak tak ataruh sini ya?
Penjual 2 : iya, terima kasih ya pak.
Pembeli : gak ada ya pak?
Penjual 2 : kok ora ono yo?(kok tidak ada ya?)
Pembeli : nggih sampun pak(ya sudah pak)
Pembeli 2 : mari pak..
Penjual : ya, monggo-monggo(ya, silahkan-silahkan)
15. Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Tawar MenawarBarang Kelontongan
Tanggal : 19 Mei 2010Pukul : 11:22Penjual : Mbak Sarah
Pembeli 1 : Ada mug, Mbak?
Penjual 1 : Ada, tetapi isinya dua, mau?
Pembeli 1 : Kaya’ apa, Mbak?
Penjual 1 : Sek, tak ambilke.(Sebentar, saya ambilkan)
Penjual 2 : Pink apa ijo, Sayang?
Pembeli 3 : Ijone kaya’ apa?(Hijaunya kaya’ apa?)
Penjual 2 : Ijone terang, tak ambilke ijone ya.(Hijaunya terang, tak amblikan hijaunya ya)
Penjual 1 : Mbak’e tak jupukke sekalian mug, ya.(Mbaknya saya ambilkan sekalian mug, ya)
Pembeli 1 : Iya, Mbak.
Penjual 2 : Mbak, ijone habis. Jelek owg malah ijone.(Mbak, hijaunya habis. Jelek kok hijaunya)
Pembeli 4 : Pink’e wae wis lah.(Pink-nya saja gak apa-apa)
Pembeli 3 : Iki, Mbak, tinggal bayar.(Ini, Mbak, tinggal bayar)
Penjual 2 : Oh ... ya.
Penjual 1 : Ini, Mbak, duapuluh ribu, yang itu lima belas ribu.
Pembeli 2 : Bedanya apa, Mbak?
Penjual 1 : Bedanya besar, itu kecil. Isinya hampir sama, cuma besarsama kecil.
Pembeli 2 : Cuma dua tok isinya?(Cuma dua saja isinya?)
Penjual 1 : Iya.
16. Peristiwa Tuturan yang Dilakukan Penjual kepada Pembeli dalamTawar Menawar Celana Jeans
Tanggal : 22 Mei 2010Pukul : 11:45Penjual : pak Tikno
Pembeli : Assalamu’alaikum(Semoga kedamaian ada pada kalian)
Penjual : Wa’alaikumussalam, cari apa, Mas?(Dan semoga keselamatan juga ada pada kalian, ya cariapa, Mas?)
Pembeli : Celana jeans
Penjual : Yang panjang atau pendek?
Pembeli : Yang panjang saja, ada?
Penjual : Ada, sebentar ya, ukurannya berapa, Mas?
17. Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli Celana oleh Penjual kepadaPembeli
Tanggal : 24 Mei 2010Pukul : 13:15Penjual : Bu Umi
Penjual : Monggo Bu ingkang pundhi?(Silahkan Bu, yang mana?)
Pembeli : Menika, Mas(Itu, Mas)
Penjual : Oh ... menika kalihipun nginggile pitungdasa, Bu(Oh ... itu sama atasnya tujuh puluh, Bu)
Pembeli : Wis ora isa kurang, Mas?(Sudah tidak bisa kurang, Mas?)
Penjual : Saged diawis, panjenengan dhawuhipun ngawis pinten?(Bisa ditawa, kamu menawar berapa?)
Pembeli : Sing tenan wae pira regane?(Yang benar saja berapa harganya?)
18. Peristiwa Tuturan dalam Transaksi jual Beli Rok Panjang
Tanggal : 8 Juni 2010Pukul : 08:45Penjual : Mbak Rom
Pembeli : Rok’e piro mbak Rom?(roknya berapa mbak Rom?)
Penjual : seket lima(limapuluh lima ribu)
Pembeli : ONo kaose?(ada kaosnya)
Penjual : Niku toh De saged didamel baju panjang talenan(itu bisa dibuat baju panjang bertali)
Pembeli2 : Lha klambine?(bajunya?)
Penjual : gak ono(gak ada)
19. Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli Batik
Tanggal : 11 Juni 2010Pukul : 14:40
Pembeli1 : itu ukurannya apa pak?
Penjual : XXL
Pembeli1 : yang S pak
Pembeli2 : limapuluh toh?
Penjual2 : lima-lima
Pembeli2 : init oh mbak, kurangi sepuluh ribu wong beli dua kok
Penjual : belum dapet
Pembeli1 :ini sama toh?
Penjual : inisama ini sama motif, ini sama ini beda motif, mau kembarmotif beda warna? Mudeng gak?, ini sama ini bungane sama,Cuma beda wrna, tapi nak ini sama ini beda bunga, beda warna.
Pembeli1 : tapi modele sama?
Penjual : ini sama bunga beda warna, ini beda bunga beda warna.
Pembeli3 : iki mbek iki podho?(ini dengan ini sama?)
Penjual : ini mbek ini beda, beda motif beda warna.
Penjual : maturnuwun(terima kasih)
Pembeli1 : nggih(iya)
20. Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual Beli
Pernak-pernik.
Tanggal : 11 Juni 2010Pukul : 15:03
Pembeli1 : sama mbak semua?
Penjual : sama
Pembeli2 : sing apik ndi?(yang bagus mana?
Penjual : bagus semua
Pembeli1 : sak senengmu ah, iku lo doraemon(terserah, itu lo Doraemon)
Pembeli2 : ki siong 2B( ini yang 2B)
Pembeli1 : ora kabeh yow(gak semuanya)
Pembeli2 : la iki?(yang ini?)
Pembeli1 : ora(gak)
Pembeli1 : boleh kurang mbak?
Penjual : pas mbak
Pembeli2 : iki opo iki?(ini atau ini?)
Pembeli1 : gage tah mileh ndi?(cepet pilih mana?)
21. Peristiwa Tuturan Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual Beli
Sarimbit
Tanggal : 11 Juni 2010Pikul : 16:02
Penjual : Korting limaribu, seratus tigapuluh ribu
Pembeli1 : seratus duapuluh?
Penjual : pake sap itu belum dapet, pasnya tigapuluhPembeli2 : modele seneng?
Pembeli3 : modele ngene-ngene tok?(modelnya gini-gini saja?)
Pembeli2 : nak sing dadi mang ngene-ngene tok maceme(kalau yang jadi gini-gini saja macamnya)
Pembeli3 : apik sing ndi?(bagus yang mana?)
Pembeli2 : apik iki toh(bagus yang ini)
Pembeli3 : gak limapuluh mbak?
Penjual : pas bu
Pembeli3 : enam lima ya mbak?
Penjual : gak bisa, tujuh lima bu.
22. Peristiwa tuturan antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual Beli
Baju Kemeja
Tanggal : 12 Juni 2010Pukul : 10:15
Pembeli1 : Kalau yang ini harganya berapa, Bu?
Penjual : hemnya gak jadi? Bagus-bagus lho.
Pembeli1 : tidak ada yang cocok Bu, ini berapa?
Penjual : Enampuluh ribu saja
Pembeli2 : ini warnanya apa saja?
Penjual : ngersake werna napa tho bu?(menghendaki warna apa bu?)
Pembeli2 : sing ijo enten mboten?(yang hijau ada tidak?)
Penjual : kulo pundhutke rumiyen nggih.(saya ambilkan dulu)
23. Peristiwa Tuturan Antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual
Beli Baju Batik
Tanggal : 12 juni 2010Pukul : 13:02
Penjual : Batiknya, mbak
Pembeli : yang kemeja ada mbak?
Penjual : mau dipake acara apa?
Pembeli : kondangan
Penjual : sebentar saya carikan dulu
Pembeli : iya.
Penjual : seperti ini
Pembeli : pinten niki regane?(berapa harganya?)
Penjual : papat lima mawon.
Pembeli : nggih mpun niku mawon.
24. Peristiwa Tuturan Antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual
Beli Gambar dan Pigura
Tanggal : 12 juni 2010Pukul : 16:16
Penjual :niki wangsulane(ini kembalinya)
Pembeli : matursuwun nggih(terima kasih)
Penjual : sami-sami(sama-sama)
Pembeli : pareng(permisi)
Penjual : mangga atos-atos(silakan, hati-hati)
25. Peristiwa Tuturan Antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual
Beli Assesoris HP
Tanggal : 13 Juni 2010Pukul : 11:45
Penjual :siang mas, ada yang bisa dibantu?
Pembeli : ya siang. Mau cari tempat HP ada mas?
Penjual : ini, milih sendiri mas
Pembeli : berapa harganya?
Penjual : tigapuluh ribu.
26. Peristiwa Tuturan Antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual
Beli Seprei
Tanggal : 13 Juni 2010Pukul : 13:36
Penjual : Golek apa mbak?(cari apa mbak?)
Pembeli : golek seprei(cari seprei)
Penjual : sing apik po sing biasa?( yang bagus atau yang biasa?)
Pembeli : yo sing apik to mbak(ya yang bagus mbak)
Penjual : ki telungpuluh lima mbak(ini tigapuluh lima mbak)
Pembeli : telungpuluh ya mbak?(tigapuluh ya mbak?)
Penjual : tidak boleh mbak, belum dapet.
27. Peristiwa Tuturan Antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual
Beli Jilbab
Tanggal : 13 Juni 2010Pukul : 14:43
Pembeli1 : permisi mbak
Penjual : ya, silakan mbak jilbabnya
Pembeli1 : jilbab yang seperti tapi yang abu-abu ada mbak?
Penjual : ada, ini mbak
Pembeli2 : pinten mbak, regine?(berapa mbak harganya?)
Penjual : tigang doso ewu(tigapuluh ribu)
28. Peristiwa Tuturan Antara Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual
Beli Pulsa
Tanggal : 13 Juni 2010Pukul : 15:09
Penjual : golek opo mas?(cari apa mas?)
Pembeli : pulsa
Penjual : pulsa nopo?(pulsa apa?)
Pembeli : IM3
Penjual : pinten?(berapa?)
Pembeli : limangewu(lima ribu)
Penjual : nomer re?(nomornya?)
Pembeli : 085640129203
Penjual : limaribu?
Pembeli : iya.
B. Rekapitulasi Data Tuturan Penjual dan Pembeli di Pasar Johar
Semarang
No Tuturan Jenis Tuturan
Campur Kode Alih Kode
1 “ disana tak ambilke” Penyisipan kata
2 “lha kayak gini ungu sing hampir
pink ada?”
Penyisipan kata
3 “mau ambil berapa toh?” Penyisipan kata
4 “itu yang alus nok” Frase
5 “lima setengah mawon” Penyisipan kata
6 “disana ki wis enem ewu” frase
7 “celana daleme regane piro bu?” frase
8 “halah sih, tiga sepuluh ribuya?”
frase
9 “Ijone kayak apa sayammg?” Penyisipan kata
10 “mbak’e tak jupukke sekalianMug ya?”
frase
11 “Cuma dua tok isinya?” Penyisipan kata
12 Pink apa ijo?” Penyisipan kata
13 “mbak charger untuk HP iniada?”
Penyisipan kata
14 “sing panjang duribu” Penyisipan kata
15 “niku separo coklat separo ireng,jadi pengen hitam bisa coklatjuga bisa”
klausa
16 “monggo pokok’e panjangkalihewu sing pendek sewu”
Penyisipan kata
17 “oh.. eye shadow niku mbak” Frase
18 “Sing niku duapuluh ribu mbak” Penyisipan kata
19 “majalah mistik ono malahan” Frase
20 “gak owg, itu tentang teorinya” Frase
21 “pase sepuluhribu mboten nopo-
nopo gawe pelaris”
Penyisipan kata
22 “tapi kok item berasnya” Penyisipan kata
23 “Beras ayu kayak mbak’e kokdibilang item”
frase
24 “Saged didamel baju panjang” frase
25 “limapuluh toh?” Penyisipan kata
26 Ini toh mbak kurangi sepuluhribu wong beli dua kok”
Penyisipan kata
27 Ini sama ini bungane sama Cumabeda warna”
Penyisipan kata
28 “ini mbek ini beda, beda motifbeda waerna”
Penyisipan kata
29 “Korting limaribu, seratustigapuluh”
Penyisipan kata
30 “Sami-sami”, atos-atos” Pengulangan kata
31 P1“apik sing ndi?, p2 ”apik ikitoh, enam lima ya mbak?”
Jawa-Indonesia
32 P1 “sama mbk semua?”, pj“sama”, p2 “ki sing apik ndi?”p1 “sak senengmu ah”
Indonesia-jawa
33 P ”yang kayak ini berapambak?”, pj “itu mahal enampuluh ribu”, pj “ duapuluhsetengah, towone sithik mbak,paling yo potong dua setengah”
klausa Indnesia-Jawa tk.Tutur madya.
34 P “beras ini 1kg berapa?”, pj “lima setengah mbak”, p “ tapikok item ya berasnya?”, pj“beras ayu ngene kyok mbak’ekok dibilang item, p “maturnuwun”
Penyisipan kata Indonesia-Jawa
35 P “pinten pak?”, Pj “kalihwelasewu mbak”, P “gak bolehkurang?” Pj “pas mbak, sudahbiasa kok mbak’
Jawa-Indonesia
36 Pj “sekitar duapuluhan, duapuluhkebawah”, P “ups very expensiveyach”
Indonesia-Asing(Inggris)
37 P “assalamualaikum” Pj“waalaikumsalam, cari apamas?”, P “celana Jeans”
Penyisipan kata Asing (Arab)-Indonesia
38 Pj “towone sithik mbak, palingpotong dua setengah”, P “Nggihmpun niki mawon”, Pj “paringi
Frase Bahasa Jawatingkat tutur
ngoko ke tingkat
recehe mawon” P “mbotenenten”
tutur madya
39 Pj “monngo mbak ditingaliriyen” P “ningali tok angsal?” Pj“angsal mbak”, P “wernane singungu kados vario niku enten?”,Pj “sing niku telas mbak”
Frase Bahasa Jawatingkat tutur
krama ke tingkattutur madya
40 P “ yang dingin bu?”, Pj “nggihsekedap”, P “ pinten bu?”
Indonesia kebahasa Jawatingkat tutur
krama41 Pj “monggo mbak padhos sepatu
nopo?”, P “ya pak sepatufantofel yang mereknyacrocodile ada?” Pj “ada,sebentar”
Bahasa Jawa kedalam bahasa
Indonesia
42 P1 “rok’e piro mbak Rom?”, Pj“seket lima”, P1 “ono kaose?”,Pj “niku toh De saged didamelbaju panjang talenan”, P2 “laklambine?”, Pj “ gak ono”
Frase Bahasa Jawatingkat tutur
Madya ke tingkattutur Ngoko
43 Pj “pulsa nopo?”, P “ IM3”, Pj“pinten?”, P “limaewu”, Pj“limaribu?”, P “iya”.
Bahasa Jawatingkat tutur
madya ke Bahasaindonesia
44 P1 “ini berapa?”, Pj “enampuluhribu saja”, P2 “ini warnanya apasaja?”, Pj “ ngersake warna nopotho bu?”
Frase Bahasa Indonesiake bahasa Jawa
tingkat tuturmadya
45 Pj “mau dipakai acara apa?”, P“kondangan”, Pj”saya carikandulu”, P “pinten niki regine?”, Pj“papat lima mawon”
Frase Bahasa Indonesiake dalam bahasa
Jawa
46 Pj “ada, sebentar ya”, P “pintenmbak regane?”, Pj “tigadosoewu”
Frase Bahasa Indonesiake bahasa Jawa
tingkat tuturmadya
top related