Bapak Bangsa: "Manusia Hidup untuk Menghidupi Manusia"
Post on 24-Oct-2015
168 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
BAPAK BANGSA:
“MANUSIA HIDUP UNTUK
MENGHIDUPKAN MANUSIA”
Oleh:
Agust Ronggur
10111391 | 3KA42
Sistem Informasi
Ilmu Komputer & Teknologi Informasi
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
BAPAK BANGSA:
“MANUSIA HIDUP UNTUK
MENGHIDUPKAN MANUSIA”
Oleh:
Agust Ronggur
10111391 | 3KA42
Sistem Informasi
Ilmu Komputer & Teknologi Informasi
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
A. RIWAYAT HIDUP DR. SAM RATULANGI
1. Perjalanan Pendidikan
Kalimat 'Su Tou Timou Tumou Tou' bahasa Minahasa yang bermakna
'Manusia hidup untuk menghidupkan manusia'. Kalimat tersebut sering
disampaikan oleh Dr Gerungan Saul Samuel Jacob Ratu Langie atau dikenal
sebagai Dr Sam Ratulangi. Berdasar arti kata perkatanya, 'Tou' memiliki arti
manusia, lalu 'Timou' artinya hidup dan 'Tumou' bermakna sebagai upaya untuk
mengembangkan, merawat dan mengajar. Ungkapan yang mempunyai makna
filosofi tinggi dipopulerkan oleh guru, pendiri bangsa serta pahlawan nasional Dr
Sam Ratulangi.
Gerungan Saul Samuel Jacob (GSSJ) Ratulangi, lahir di Tondano,
Sulawesi Utara pada tanggal 5 November 1890. Namanya gabungan antara nama
kakek pihak ayah (Saul Ratulangi) dan kakek dari pihak ibu (Jacob Gerungan).
Ayahnya, Jozias Ratulangi adalah guru Hoofden School. Dalam masyarakat,
sekolah setingkat SMP itu sering disebut "Sekolah Raja". Sekolah bagi para orang
kaya dan bangsawan.
Para murid di sekolah itu, selain harus tinggal di asrama, juga diberi
fasilitas penunjang lainnya seperti uang buku, uang saku, pakaian dan lain
sebagainya. Mereka juga diharuskan berpakaian rapi, baju dan celana putih,
sepatu, memakai peci atau destar lengkap dengan selempangnya. Agar keberadaan
mereka tampak berbeda dengan anak-anak lainnya, mereka harus selalu menjaga
penampilan di tempat-tempat umum. Semua peraturan tersebut harus ditaati oleh
semua murid.
Setelah tamat sekolah di Hoofden School, ia melanjutkan belajar di
Indische Artsenschool (Sekolah Dokter Hindia) di Jakarta meninggalkan kampong
halamannya. Namun, saat tiba di Jakarta, ia membatalkan tekad untuk masuk ke
sekolah dokter dan berbelok tekad untuk belajar di Koningin Wilhelmina School
(Sekolah Tehnik) pada tahun 1904.
Empat tahun kemudian ia pun berhasil menamatkan pendidikannya dengan
nilai gemilang. Latar belakang pendidikan itu membuka kesempatan baginya
untuk bekerja sebagai ahli tehnik mesin di daerah Priangan Selatan. Apalagi pada
saat itu tengah dilakukan pembangunan kereta api di daerah Bandung, Maos
sampai Cilacap.
Ratulangi bahagia dan menikmati pekerjaannya. Namun lama-kelamaan,
lantaran ia berasal dari pribumi, ia mendapatkan perlakukan tidak adil.
Diskriminasi yang didapatnya adalah bekerja lebih berat dengan gaji kecil
dibandingkan dengan keturuan Belanda. Ratulangi bertekad meneruskan
pendidikannya lebih tinggi lagi untuk dapat menghapus diskriminasi yang ada.
Ia pun meneruskan sekolahnya di Lager Onderwijs (LO) dan Middlebare
Acte. Ijazah guru ilmu pasti untuk Sekolah Menengah di negeri Belanda pun
berhasil diraihnya pada tahun 1915. Ia sebenarnya berhasrat untuk kuliah di
Jurusan Ilmu Pasti pada Vrije Universiteit Amsterdam, namun hasrat itu terpaksa
gagal karena ia tak memiliki ijazah HBS (Hogere Burger School) atau AMS
(Algemene Middlebare School) setingkat SMA.
Dengan nasihat dari Mr. Abendanon, ia pun meneruskan studinya di
Universitas Zurich. Pada tahun 1919, setelah empat tahun bekerja keras, Ratulangi
berhasil menyandang gelar Doktor Ilmu Pasti dan Ilmu Alam di Swiss, ia
sekaligus menjadi doktor ilmu pasti pertama Indonesia.
2. Memulai Karir Organisasi dan Guru
Meski jauh dari Tanah Airnya, ia aktif terlibat dalam organisasi. Misalnya
saat berada di Belanda, ia diangkat menjadi ketua Indische Vereniging yang
merupakan organisasi pelajar-pelajar Indonesia di negeri Belanda yang kemudian
berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia.
Jabatan ketua kembali dipercayakan kepadanya ketika ia berada di Swiss,
kali ini organisasi yang dipimpinnya adalah Association d'Etudiant Asiatiques
(Organisasi Pelajar-Pelajar Indonesia). Perkenalannya dengan Jawaharlal Nehru
(kelak menjadi perdana Menteri India) dan Tojo (kelak perdana Menteri Jepang
pada masa perang dunia II) juga diawali dari keikutsertaanya dalam organisasi
tersebut.
Tahun 1919, Ratulangi kembali ke tanah air dari perantauannya di Eropa,
ia mengajar di Prinses Juliana School (setingkat STM) dan AMS (setingkat SMA)
di Yogyakarta. Pada waktu itu sebagian besar muridnya merupakan orang Belanda.
Seorang wartawan Javabode bernama Zentgraaf sangat memusuhi Ratulangi
karena dianggap tidak pantas mengajar. Namun, kecaman yang didapatkannya
semakin mengobarkan semangat nasionalismenya. Ia pun sampai pada kesimpulan
bahwa dunia pendidikan kurang dapat menyalurkan cita-citanya.
3. Karir Politik, Sosial / Ekonomi
Tiga tahun kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Bandung bersama
seorang rekannya, Tumbelaka. Di kota itu mereka mendirikan Maskapai Asuransi
Indonesia. Dari tahun 1922 hingga 1924, Ratulangi memimpin dan
mengendalikan maskapai itu. Ketika Soekarno, seorang pelajar HBS dari
Surabaya sedang berjalan-jalan di kota Bandung, ia melihat papan nama
bertuliskan Algemene Levensverzekering Maatschappij Indonesia, di jalan Braga.
Peristiwa itu mengawali perjumpaannya dengan Bung Karno yang
menganggapnya sebagai guru dalam lapangan politik.
Dari tahun 1924 sampai 1927 ia menjadi Sekretaris Dewan Minahasa di
Manado. Jabatan itu dipergunakannya untuk melakukan usaha yang bermanfaat
bagi rakyat, seperti pembukaan daerah baru untuk pertanian, mendirikan yayasan
dana belajar, dan lain-lain. Perjuangannya pun tak sia-sia, pemerintah Belanda
menghapuskan kerja paksa di Minahasa.
Pada tahun 1927 Ratulangi diangkat menjadi anggota Volksraad. Ia
mengajukan tuntutan supaya Pemerintah Belanda menghapuskan segala
perbedaan dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan antara orang-orang
Belanda dan penduduk Indonesia. Ratulangi dengan penuh keberanian mengecam
kebijakan pemerintah kolonial yang diskriminatif sehingga ia sering dituduh
sebagai Radicalist dan Extremist.
Suatu kali, kekeliruan terjadi dalam reis declaratie (biaya perjalanan dan
pengangkutan barang) yang tidak sesuai dengan biaya yang sebenarnya. Karena
kekeliruan itu, ia harus menjalani hukuman empat tahun di penjara Sukamiskin
Bandung dan dipecat dari keanggotaannya di Dewan Rakyat selama tiga tahun.
Masih di tahun yang sama, pada tanggal 16 Agustus 1927 bersama dr.
Tumbelaka, Ratulangi mendirikan Partai Persatuan Minahasa. Partai yang
awalnya merupakan partai lokal yang berjuang untuk kepentingan daerah itu
kemudian berkembang menjadikan Indonesia merdeka sebagai tujuannya. Partai
berhaluan koperasi ini bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda
dengan mempertimbangkan alasan-alasan praktis.
Di tengah kesibukannya berpolitik, ia masih sempat mendirikan
Vereniging Indonesische Academici (Persatuan Kaum Sarjana Indonesia).
Kegiatannya yang lain adalah menerbitkan majalah mingguan 'Peninjauan'
bersama dr. Amir. Keluasan wawasannya dibuktikan dalam buku karangannya
yang berjudul Indonesia in de Pacifik-Kernproblemen van den Aziatischen
(Indonesia di Pasifik - Analisa Masalah-masalah Pokok Asia Pasifik).
Ratulangi waktu itu sudah melihat kemungkinan pecahnya perang di Asia.
Ia pun dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama dengan Jepang atau tidak,
ketika Jenderal Hideki Tojo memintanya untuk mengerahkan tenaga rakyat
Indonesia membantu pemerintah Jepang. Dwitunggal, Soekarno dan Hatta pun
ditunjuk Ratulangi sebagai orang yang tepat untuk itu.
Dari tahun 1938 sampai 1942 ia menjadi redaksi majalah politik mingguan
Nationale Commentaren. Dalam majalah itu pula ia menyampaikan pendapatnya,
bahwa sebagai pemimpin pergerakan Ratulangi menyadari berbagai perbedaan
dan pertentangan di antara tokoh pergerakan. Untuk itu, ia mengingatkan kepada
semua pemimpin gerakan nasional bahwa "mereka belum sampai kepada tujuan
dan bahwa pasti mereka akan mencapai tujuan itu".
Ratulangi kembali ke panggung politik ketika sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) digelar pada tanggal 18 Agustus 1945. Sidang itu
bertujuan untuk mengesahkan rencana Undang-undang Dasar yang telah dibuat
pada bulan Juli 1945. Setelah terbentuknya negara RI, jabatan gubernur Sulawesi
diembannya dengan kedudukan di Makassar. Pada saat tentara sekutu akan
menyerahkan Sulawesi kepada Belanda, Ratulangi menentangnya. Petisi kepada
PBB pun diajukannya agar Sulawesi tidak dipisahkan dari RI.
Sejumlah bentrokan terjadi dalam upaya melawan Belanda. Di Sulawesi
Utara terjadi bentrokan yang dikenal dengan "Peristiwa Merah Putih di Manado".
Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Selatan, perlawanan yang dilakukan oleh para
pemuda pejuang antara lain dipimpin Robert Wolter Monginsidi. Pada 5 April
1946 Ratulangi ditangkap beserta beberapa orang stafnya oleh tentara Belanda.
Tujuannya untuk menghentikan perlawanan rakyat. Selama tiga bulan lamanya ia
dipenjarakan di Makassar kemudian dibuang di Serui, Irian Jaya. Ia baru
dibebaskan setelah tercapai persetujuan Renvile pada bulan Januari 1948, setelah
menjalani masa pembuangan, ia kembali ke Jawa.
Ratulangi menentang keras kebijakan Belanda yang ingin memisahkan
Indonesia bagian Timur dari RI. Bersama Mr. I Gusti Ketut Puja, Ir. Pangeran
Muhammad Noor, Dr. T.S.T. Diapari, W.S.T. Pondang, Sukardjo Wirjopranoto,
Ratulangi mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan nama "Manifes
Ratulangi" yang isinya menyerukan kepada pemimpin-pemimpin daerah di
Indonesia bagian timur untuk menentang semua usaha yang bertujuan
memisahkan Indonesia bagian timur dari Republik Indonesia. Pernyataan tersebut
disiarkan di RRI Yogyakarta pada tanggal 10 November 1948.
4. Akhir Hayat
Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua, Ratulangi
kembali ditangkap di Yogyakarta tahun 1948. Tanggal 12 Januari 1949 ia
dipindahkan oleh Pemerintah Belanda ke Jakarta untuk menunggu
pengasingannya ke Bangka untuk bergabung kembali dengan rombongan Presiden
Soekarno dipengasingan. Akan tetapi karena gangguan kesehatan ia tetap
diizinkan dulu menunggu di ibukota. Oleh karena Dr. Sam Ratu Langie mendapat
serangan jantung, keberangkatan ke Bangka ditangguhkan.Saat menjalani masa
tahanan dan di tengah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan
kemerdekaan, pada tanggal 30 Januari 1949 Ratulangi meninggal dunia karena
sakit jantung tersebut, di Jakarta pada umur 58 tahun.
B. SUDUT PANDANG
1. Ringkasan
DR. Sam Ratulangi adalah salah satu tokoh pahlawan bangsa yang
membentuk dan mendeklarasikan nama Indonesia sebagai nama Negara merdeka
yang akhirnya diakui oleh dunia internasional.
Filsafat beliau yang terkenal, 'Su Tou Timou Tumou Tou', didasari rasa
kemanusiaan dan rasa kebangsaannya yang tinggi. Filsafat yang bermakna agar
semua manusia dapat saling membantu, merawat, mendidik & menjaga manusia
lain tanpa ada kesenjangan sosial. Yang kuat membantu yang lemah, yang kaya
membantu yang miskin. Dan sebaliknya. Disamping hubungan spiritual manusia
dengan Tuhan, manusia juga harus menjaga hubungan yang baik kepada sesame
manusia.
Filsafat yang beliau ucapkan tidak hanya sebatas ucapan, tapi juga beliau
terapkan sedari kecil. Beliau sosok yang bersahaja. Meski lahir dan tumbuh di
keluarga kaya, bersekolah di sekolah kalangan para bangsawan, itu tak
membuatnya menutup mata atas kenyataan yang ada di masa itu, yaitu
diskriminasi tingkat sosial.
Ketidakadilan terhadap kaum pribumi miskin, dan kesejahteraan bagi para
kaum bangsawan dan colonial. Beliau bertekad dan berjuang untuk menghapus
semua itu. Berjuang sebagai salah satu pejuang untuk kemerdekaan Indonesia dan
beliau berjuang untuk kemerdekaan manusia itu sendiri. Karna beliau berfikir,
perlakuan secara manusiawilah yang pantas dilakukan untuk sesame manusia
tanpa melihat latar belakang, asal usul atau tingkat kedudukan sosial.
Buah dari kerja keras pendidikannya tidak ia nikmati sendiri. Apa yang ia
dapat dari pendidikannya sampai berhasil menjadi Doktor, itu yang coba ia
bagikan kepada masyarakat Indonesia di masa itu. Haus pendidikan yang ia
rasakan, merasa harus ditularkan kepada masyarakat, untuk mendapat kemajuan
dan lepas dari keterbelakangan hingga mampu berjuang melawan tirani
penjajahan di masa itu yang dilakukan colonial membuat bangsa ini tetap
terbelakang untuk dapat mereka keruk keuntungannya.
Ratulangi begitu vocal untuk memajukan system otonomi daerah bukan
sentralisasi agar setiap daerah mampu mengembangkan potensinya sendiri demi
kemajuan daerahnya sendiri. Tidak hanya memberikan keuntungan daerah kepada
pemerintah pusat yang belum tentu jelas arahnya, dan belum tentu akan diberikan
kembali untuk pembangunan masing-masing daerah.
Meski akhirnya beliau tidak total menekuni bidang pendidikannya sebagai
guru, namun beliau tetap berjuang untuk memajukan pendidikan. Persamaan hak
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi setiap warga Negara. Dan berpindah
ke bidang sosial / ekonomi dan politik, bukan tujuan untuk meninggalkan cita-cita
pendidikan yang dia kobarkan sebelumnya. Beliau tetap berkecimpung secara
tidak langsung, selain itu, beliau telah memajukan mutu pendidikan di Sulawesi
yang saat itu justru menjadi lebih baik dari pendidikan di tanah Jawa.
Saat beliau memilih untuk terjun ke dunia politik secara lebih serius, karna
beliau melihat sudah seharusnya Negara Indonesia merdeka dan lepas dari
penjajahan. Beliau merasa proklamasi kemerdekaan harus segera berkumandang.
Untuk itu beliau sebagai salah satu tokoh kemerdekaan begitu gencar berpolitik
melawan colonial Belanda.
Termasuk menjadi orang terdepan yang mengirimkan petisi kepada PBB
untuk menolak pemisahan daerah timur Indonesia dari Negara Indonesia. Beliau
mengobarkan semangat bagi para pemimpin daerah untuk menolak segala upaya
pemisahan daerah Indonesia Timur.
Perjuangannya tidak sia-sia, selain itu terjadi masa yang telah beliau lihat
sebelumnya. Pemindahan kekuasaan jajahan dari Belanda ke Jepang. Dan
terpojoknya posisi Jepang oleh Amerika Serikat. Beliau telah memperkirakan hal
tersebut sebelumnya. Ya.. karna beliau seorang futurology multidimensional. Dr.
Sam Ratulangi terbiasa berpikir dan berargumentasi menggunakan nalar „deduksi‟
dan „induksi‟ berkat latar belakang ilmu pendidikan yang ia jalani. Kemampuan
itu ia manfaatkan dalam bidang politik dan bahkan membuatnya sebagai ahli
politik yang mampu melihat jauh ke depan.
Dr. Sam Ratulangi adalah tokoh politik yang menjadi panutan bagi
presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Soekarno sangat mengagumi
dan menghormati Ratulangi. Hingga kemerdekaan dapat diraih, Soekarno tidak
berpikir panjang lagi untuk menunjuk Ratulangi menjadi gubernur Sulawesi Utara.
Beliau tokoh besar yang pernah dimiliki bangsa ini. Kuat secara mental dan
karakter dari berbagai sisi. Tidak salah lagi jika presiden pertama, Soekarno,
meresmikan patung Dr. Sam Ratulangi pada tahun 1960 di acara penutupan
Musyawarah Pemuda Kawanua, sebagai tanda penghormatan bangsa Indonesia
atas jasa-jasanya. Dan sepantasnya memang Dr. Sam Ratulangi sebagai “Bapak
Bangsa” Negara Indonesia.
Patung simbolis Dr. Sam Ratulangi. Namanya juga diabadikan sebagai nama bandar
udara di Manado yaitu Bandara Sam Ratulangi dan Universitas Negeri di Sulawesi
Utara yaitu Universitas Sam Ratulangi.
Ir. Soekarno dan Dr. Sam Ratulangi
2. Kesimpulan Penulis
Dari riwayat sosok Dr. Sam Ratulangi pada zaman penjajahan sampai era
awal kemerdekaan. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada sekarang.
Cita-cita luhurnya mungkin hanya hidup bersama dengan nafasnya. Dan ketika itu
berakhir, tak ada lagi yang dapat meneruskan cita-cita beliau. Memajukan
kesejahteraan bangsa dari segi politik, hankam, pendidikan, kesehatan, sosial /
ekonomi, agrarian dll.
Kita dapat melihat bagaimana bobroknya politik Negara ini sekarang.
Kontaminasi korupsi yang merajalela di kalangan elit politik, benar-benar telah
merusak jati diri bangsa Indonesia yang telah terbentuk sejak lama dan tentu saja
merugikan banyak masyarakat miskin yang sekiranya ada hak kehidupan sejahtera
mereka yang dirampas oleh para koruptor.
Saling serang para pejabat untuk mendapatkan posisi aman dalam
pemerintahan. Pencitraan untuk menarik simpatik. Bahkan sampai pembiaran atas
diganggunya kedaulatan Negara dari penyadapan yang dilakukan oleh Australia
dan Amerka Serikat. Pemerintah tidak berdaya untuk melawan itu. Sungguh
sangat jauh berbeda dengan kegigihan Dr. Sam Ratulangi yang berjuang di garis
terdepan demi kedaulatan utuh Negara Indonesia.
Dari segi pendidikan sekarang. Tidak banyak perbedaan yang lebih baik
dari pendidikan pada zaman penjajahan. Ketidakmerataan hak masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan dan pengkotakan bagi kaum murid kapitalisme dengan
kaum-kaum minoritas. Lihat bagaimana sekarang begitu banyak lahirnya sekolah
dengan predikat “internasional school” atau “world class” bagaikan bumi dan
langit jika kita menengok ke sekolah di pedalaman. Bukan hanya predikat, baik
kualitas, fasilitas dan kelayakan tak dapat dikatakan manusiawi bagi sekolah-
sekolah di pedalaman.
Jalanan untuk akses ke sekolah pun sulit termasuk angkutan umum.
Gedung sekolah banyak yang rusak, berpotensi besar untuk roboh dan bahkan
memang ada yang sudah roboh. Fasilitas buku pendidikan kurikulum nasional
yang tidak sampai ke mereka murid-murid di pedalaman. Bagaimana dengan
tenaga pengajar? Bahkan mereka masih guru honorer yang dibayar alakadarnya,
guru menetap mungkin enggan untuk mengajar disana.
Siswi SMU mendayung perahu bersama adik-adik kelasnya.
Kondisi belajar yang jauh dari kata, layak.
Inikah sekolah di sebuah Negara “merdeka”?
Bahkan ini lebih mengerikan dari zaman penjajahan.
Pemerintahan harus melihat semua kenyataan lingkungan pendidikan yang
ada sekarang ini. Bukan hanya melihat yang ada di dekat mata mereka dan belum
tentu dipedulikan. Anggaran pendidikan secara nasional dan merata harus
diutamakan dan itu adalah harga mati yang harus di pegang pemerintah.
Pendidikan sejak dini bagi anak-anak harus dirasakan dan dapat dijalani
oleh semua lapisan masyarakat. Fasilitas, transportasi sampai kualitas dan
pengupahan tenaga pengajar harus di standarisasi kembali untuk lebih manusiawi
bagi daerah-daerah tertinggal di pedalaman.
Bukan hanya melakukan pencitraan diri di luar negeri mengumpulkan gelar
dan penghargaan pribadi sebanyak-banyaknya, melakukan perjalanan keluar
negeri dengan anggaran yang besar justru dipakai untuk kesenangan pribadi
semata. Pikirkan bagaimana besarnya anggaran tersebut diperuntukan bagi sarana
pendidikan di daerah pedalaman dan masyarakat bawah.
Negara takkan mampu berkembang menjadi lebih baik jika untuk
pendidikan saja, pemerintah masih berfikir dua kali atau menutup mata untuk
mengambil peranan memajukan pendidikan secara merata. Pendidikan harus
dimulai sejak dini untuk semua masyarakat. Diterima dan dapat dijalankan sejak
anak-anak. Karena anak-anak bangsa inilah yang nantinya akan meneruskan
perjalanan bangsa ini.
Pembangunan daerah yang tidak merata, daerah-daerah terpencil masing-
masing provinsi bahkan semakin terjerat meski sekarang memang otonomi daerah
sudah diterapkan. Tapi ternyata system sejati dari otonomi daerah seperti yang di
definisikan oleh Dr. Sam Ratulangi, tidak berjalan sebagaimana mestinya di masa
sekarang.
Otonomi daerah yang beliau cita-citakan yaitu pembangunan secara
bottom-up. Pembangunan dari lapisan bawah ke atas. Bukan yang terjadi sekarang
yaitu top down, dari lapisan atas menuju ke bawah. Ironisnya, APBN
pembangunan yang disumbang daerah untuk pusat, tidak kembali lagi ke daerah.
Mengalir dari atas tapi tidak sampai di lapisan bawah. Otonomi daerah top down
ini yang telah merugikan Negara secara materil dan imateril. Peluang korupsi
semakin besar. Bahkan nyata terlihat.
Pemikiran Dr. Sam Ratulangi perlu dibentuk kembali demi kesejahteraan
rakyat untuk segala sisi. Sayangnya pada masa sekarang, tidak ada lagi tokoh
politik yang memiliki rasa kemanusiaan, berbangsa dengan komitmen
kesejateraan negeri, mementingkan kepentingan Negara di atas kepentingan
pribadi. Mereka yang melenggang, duduk manis dan bahkan tertidur di gedung
dewan mungkin tidak pernah terlintas sedikitpun bagaimana perjuangan pahlawan
bangsa ini.
Segi sosial / ekonomi pun tak mengalami perbaikan. Masih tingginya
tingkat kemiskinan, gizi buruk dan pengangguran semakin memperburuk bangsa
ini. Tidak cakapnya pemerintah memegang kendali pemerintahan meski memang
tidak bisa hanya pemerintah yang berperan dan perlu peran masyarakat, tapi tetap
saja pemerintah tidak dapat merangkul masyarakat untuk bekerja sama
membangung negeri. Sedangkan pemerintah, pajabat sampai aktivis partai politik
hanya mementingkan diri sendiri dan golongan. Pidato presiden dalam hal apapun
seolah terasa angina yang menguap. Hanya ucapan tanpa ada tindakan dan
memang tidak pernah dilakukan.
Kecerobohan pemerintah demi mendapatkan simpatik dan pencitraan dari
Negara asing, membuat bangsa ini semakin menjadi Negara importir. Hal apa saja
diimport dari luar negeri. Bahkan dari segi pertanian, yang dulu Indonesia terkenal
sebagai Negara agraris, pupuknya saja import luar negeri. Jangan berharap banyak
untuk mendapatkan beras local bermutu. Negara ini yang dulu terkenal sebagai
lumbung padi Asia, bahkan mengimport beras dari Thailand. Atau bahkan untuk
sekedar kacang kedelai, bahan pokok tempe tahu, itupun import.
Usaha local tidak didukung oleh pemerintah, sebagian besar gulung tikar,
pengangguran bertambah. Bahkan mereka semakin terdesak oleh pengusaha asing
yang memiliki modal kuat dan didukung oleh pemerintah itu sendiri. Banyak yang
telah meninggalkan pekerjaan mereka di bidang agraria, karna melihat mereka tak
mungkin lagi hidup didalamnya dengan keadaan usaha yang tak lagi mendukung.
Semakin besar import, Negara ini tidak dapat lagi berdiri di kaki sendiri.
Semua bergantung dengan nasib luar negeri. Apapun yang terjadi di luar negeri,
itu akan mengimbas pada negeri ini. Dan sangat disayangkan, Negara yang sudah
terlalu bergantung pada import, masih harus dicemari oleh koruptor-koruptor yang
bermain dibelakangnya. Ekonomi negeri ini akan semakin anjlok, melihat kurs
dollar semakin mahal, tingkat sosial akan semakin terpuruk hingga benarlah akan
terjadi “yang kuat yang bertahan”.
Kesehatan pun tak jauh berbeda. Lagi dan lagi tingkat sosial menjadi
acuan seseorang warga Negara mendapatkan hak kesehatanya. Mutu pelayanan
kesahatan yang semakin menurun. Pajak alat kedokteran semakin tinggi,
sementara subsidi untuk kesehatan bagi setiap warga Negara miskin begitu kecil,
Negara berhutang banyak untuk banyak Rumah Sakit. Secara tak langsung justru
membuat Rumah Sakit pun melakukan tindakan ceroboh.
Di beberapa kasus, mereka yang miskin tidak ditangani kesehatannya
lantaran biaya yang kurang dan tidak ada sama sekali. Rumah Sakit seperti hanya
memberikan layanan bagi mereka yang membayar, hal itu terjadi lantaran Rumah
Sakit pun merugi dari dirugikan oleh pemerintah. Dalam hal ini Rumah Sakit
menjadi kambing hitam, masyarakat miskin sebagai korban dan pemerintah yang
jelas-jelas menjadi dalang justru hanya menonton pertunjukan pertaruhan
kesehatan bahkan nyawa manusia ini.
Gizi buruk bayi, balita dan anak kecil dari mereka yang miskin, mereka tak
punya banyak uang untuk memberikan makanan dan asupan yang sehat bagi anak
mereka. Semakin terlantar ditambah potensi terkena wabah penyakit menjadi
tinggi karna metabolisme menurun akibat gizi buruk si anak.
Sulitkah membuka anggaran Negara khusus untuk subsidi ekstra bagi
kesehatan bayi, balita dan anak-anak negeri ini? Saya rasa dengan melimpahnya
jumlah hasil korupsi para pejabat negeri ini sudah cukup dianggarkan bagi biaya
kesehatan anak-anak selama bertahun-tahun. Saya tidak akan menampilkan
gambaran untuk bagian gizi buruk ini, karna tidak sampai hati untuk melihatnya.
Dan banyak hal lain yang tidak menunjukan adanya perubahan untuk
pemerataan kesejahteraan bangsa ini. Seperti tekad Dr. Sam Ratulangi yang
tersirat dalam pidatonya di `All Idie Congress` yang termashyur itu, “Ons hart trek
tons naar da top van de Kalabat, maar onze voeten brengen ons tot Airmadidi”
yang artinya “Cita-citaku setinggi gunung Kalabat, tapi saying kakiku hanya
sanggup di kaki Airmadidi”. Ucapan sang Bapak Bangsa ini jelas memiliki arti
untuk mengobarkan semangat juang bagi pemuda dan pemudi bangsa meneruskan
cita-cita beliau untuk menguasai Asia-Pasifik.
Kita sebagai anak bangsa di era kemerdekaan, tidak perlu lagi mengangkat
senjata. Cukup menjadi peserta didik yang gigih, haus pendidikan, memiliki rasa
berbangsa yang tinggi dan rasa kemanusiaan yang tinggi dan kelak berguna bagi
negeri dan kemudian kita yang mengambil alih kemudi pemerintahan dan
membawa mereka yang tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan agar
dapat bersekolah, dengan menempatkan mereka di prioritas terdepan
dibandingkan kepentingan politik semata.
Membawa mereka yang lemah dan sakit. Merawat mereka yang masih
terjebak di garis kemiskinan. Mengembalikan peranan anak negeri untuk menjadi
raja di negeri sendiri, bukan lagi hanya pesuruh dari mereka kaum kapitalisme.
Tingkatkan rasa nasionalisme, dekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
menjauhkan diri dari godaan materil berbuat curang yang akan melukai bangsa ini.
Hingga akhirnya bangsa ini kembali ke jalur sejati yang diperjuangkan
para pahlawan sejak dulu, sebagai bangsa besar, bermartabat, Bhinneka Tunggal
Ika dan bangsa yang beragama. Dan kelak kita sebagai anak bangsa dapat
berbicara dengan lantang pada Bapak Bangsa dan jutaan pahlawan bangsa yang
telah gugur demi masa yang kita nikmati sekarang ini, bahwa kita bisa
meneruskan perjuangan mereka sampai anak cucu kita kelak.
Amien.
top related