BAB III PENYAJIAN DATA A. Pengertian Ushul Fiqhdigilib.uinsby.ac.id/13970/48/Bab 3.pdfA. Pengertian Ushul Fiqh Kata ushul fiqh adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul”
Post on 14-Apr-2019
250 Views
Preview:
Transcript
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
BAB III
PENYAJIAN DATA
A. Pengertian Ushul Fiqh
Kata ushul fiqh adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan
kata “fiqh”. Secara etimologi berarti “paham yang mendalam” kata ini muncul
sebanyak 20 kali dalam Al-qur’an dengan arti pahan itu, umpamanya dalam
Surat al-Kahfi (18):93.
حتى إذا بلغ بین السدین وجد من دونھما قوما ال یكادون یفقھون قوال
“Hingga ketika dia sampai diantara dua gunung, didapatinya dibelakang kedua
gunung itu suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan”.
Arti یفقھون dalam ayat itu “mereka memahami”.
Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dalam
arti etimologi sebagaimana disebutkan di atas, yaitu “ilmu tentang hukum-
hukum syara’” yang bersifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari dalil-
dalil tafsili”.28
Kata ushul yang merumakan jama’ dari kata “ashal” secara etimologi
berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”, arti etimologi ini tidak
jauh dari kata ashal tersebut karena ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang
kepadanya didasarkan fiqh. Dengan demikian ushul fiqh secara istilah teknik
28 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 35
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
hukum berarti: “ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha
merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci, “atau artian sederhana
adalah: ”kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari
dalil-dalilnya”.
Umpama dalam kitab-kitab fikih ditemukan ungkapan,”mengerjakan
shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum
syara’”. Tidak pernah disebut dalam Al-qur’an maupun hadits bahwa shalat itu
hukumnya wajib. Yang tersebut dalam Al-qur’an hanyalah perintah
mengerjakan shalat yang berbunyi:
الة أقم الص
“Kerjakanlah shalat”.
Ayat Al-qur’an mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut
“dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut hukum syara’
dari Firman Allah: الة اقم الص yang disebut ”dalil syara’” itu ada aturannya dalam
bentuk kaidah, umpamanya “setiap perintah menunjukkan wajib”.
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang
disebut hukum ushul fiqh.29
29 Ibid,. 36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah atau bahasan-
bahasan sebagai metodologi untuk memahami hukum-hukum syari’ah. Dalam
bahasa non Arab, ushul fiqh ini sering diterjemahkan dengan teori hukum
(legal theory), karena memang didalamnya berisi tentang teori-teori dalam
memahami hukum syari’ah.30
Dari penjelasan di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dan fiqh.
Ushul fiqh merupakan pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan
menjelaskan ketentuan atau aturan yang harus diikuti seorang fakih dalam
usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dan dalilnya. Sedangkan
fiqh merupakan hukum-hukum syara’ yang sudah digali dan dirumuskan
melalui dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan.
Adapun menurut istilah, ashal mempunyai beberapa arti berikut ini:
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama’ ushul fikih
bahwa ashal dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan
Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad
SAW:
سالم ع لى خمسة أصول بني اال .
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau pondasi)”.
30 Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah (Bogor: Kencana, 2003), 33.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:
األصل فى الكالم الحقیقة
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat
dari perkataan tersebut.31
d. Mustashab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula
selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang,
apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan
perkawinannya?. Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada
berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap
mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul:
الولد فرع لألب
“Anak adalah cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, I: 5).
Dari kelima pengertian ashal di atas, yang bisa digunakan adalah dalil,
yakni dalil-dalil fikih. Adapun fikih, secara etimologi berarti pemahaman yang
mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut
dapat ditemukan dalam Al-qur’an, yakni dalam Surat Thaha (20): 27-28, An-
Nisa (4): 78. Hud (11): 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda
Rasulullah SAW:
31 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 17-18
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
ین من یرد هللا بھ خیرا یفقھھ فى الد
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan
pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi dan Ibnu Majah).32
B. Objek Kajian Ushul fiqh
Dari definisi ushul fiqh yang sudah dipaparkan di atas, terlihat jelas
bahwa objek kajian ushul fiqh secara garis besar terbagi menjadi tiga:
1. Sumber hukum dengan semua hukum seluk beluknya.
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istimbath dengan semua
permasalahannya.33
Menurut pendapat Muhammad Al-Juhaili memperinci tentang objek
kajian ushul fiqh sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum syara’ baik yang disepakati seperti Al-qur’an dan
Sunnah, maupun yang masih diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah
mursalah.
2. Mencari jalan keluar dari kedua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat
dengan ayat atau Sunnah dengan Sunnah, dan lain-lain. Baik dengan jalan
32 Ibid,. 19.33 Ibid., 23.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
pengkompromian (Al-Jam’u Wa At-taufiq), menguatkan salah satu tarjih,
pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan.
3. Pembahasan tentang ijtihad, syarat-syarat, sifat-sifat, dan orang yang
melakukan ijtihad.
4. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam meng-istimbath-
kan hukum.
Dan adapun sumber pengambilan ushul fiqh ialah:
1. Ilmu kalam (theology)
2. Ilmu bahasa Arab
3. Tujuan syara’ (maqashid asy-sari’ah).
Dan hal ini disebabkan sumber hukum yang merupakan objek kajian
ushul fiqh diyakini oleh Allah SWT. Yang berbentuk Al-qur’an dan Sunnah.
Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah SWT, hal
tersebut pembahasan dalam ilmu kalam.
C. Perkembangan Ushul fiqh
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun
dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Dan
pada Rasullah ilmu ini sudah digunakan oleh beliau sendiri yaitu sebagai
syar’i.34 Sebenanya keberadaan ushul fiqh harus didahului oleh ushul fiqh,
34 Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Cet 1 (Bandung: PT Remaja Rosyakarya, 2013), 5.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid
pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh
datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah nabi wafat, yaitu
pada periode sahabat. Peminggiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu
perumusan fiqh itu. Para sahabat di antaranya Umar bin Ibn Khattab, Ibnu
Ma’sud, Ali Ibn Abi Thalib, umpamanya pada waktu mengemukakan aturan
atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak
mengemukakan demikian.
Sewaktu Ali Ibn Thalib mengemukakan hukum cambuk sebanyak 80
kali terhadap peminum khamar, beliau berkata: “bila ia minum ia akan mabuk
bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar”, dari
pernyataan Ali itu, akan diketahui bahwa Ali mengenggunakan kaidah pintu
kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari’ah”.
Abdullah Ibnu Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang
wanita hamil yang kematian suaminya iddah-nya adalah melahirkan anak,
mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surah at-Thalaq (85)
ayat 4, meskipun juga ada Firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) yang
menjelaskan bahwa istri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh
hari. Dalam menetapkan pendapatnya ini beliau mengatakan bahwa ayat 4
Surat at-Thalaq datang sesudah Surat al-Baqarah (2).35
35 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr,tt), 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan
fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentang nasikh dan mansukh, yaitu
bahwa dalil yang datang kemudian me-nasakh-kan dalil yang terdahulu. Dari
apa yang dilakukan Ibnu Mas’ud ini juga dari apa yang dilakukan oleh Ali Bin
Abu Thalib, dari paparan di atas dapat dipahami bahwa para sahabat dalam
melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak secara
jelas.
1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a. Masa Sahabat
Pada wafatnya Rasulullah SAW membuka catatan baru dalam
penetapan sebuah hukum. Akan tetapi pada munculnya para sahabat
setelah Nabi wafat muncullah permasalahan baru yang belum pernah ada
pada masanya Nabi menyangkut dengan penetapan Hukum. Untuk
mendapatkan hukum baru baru maka para sahabat melakukan ijtihad
dengan bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah. Pada masa sahabat ini
ijtihad tidak hanya dilakukan dengan menggunakan Al-qur’an dan Sunnah
saja melainkan dengan ijtihad para sahabat.36
Banyak hal positif terhadap ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat,
yang mana mereka sudah siap menghadapi permasalahan sosial. Meskipun
kaidah ushul fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Cara yang dilakukan
oleh para sahabat dalam ijtihad ialah mereka mempelajari teks Al-qur’an
36 Ibid., 11-12.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
dan Sunnah Nabi. Apabila tidak ditemukan diantara kedua tersebut maka
para sahabat melakukan ijtihad. Hasil kesepakatan sahabat disebut dengan
ijma’, qiyas dan mereka juga menggunakan istilah maslahah mursalah
seperti mengumpulkan Al-qur’an dalam satu mufhaf.
b. Masa Tabi’in
Setelah masa sahabat muncul periode berikutnya yaitu, tabi’in tabi’
al-tabi’in serta imam-imam mujtahid. Pada masa ini daulah Islamiyah
semakin berkembang dan muncul permasalah baru. Berbagai masalah,
perselisihan, pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu
persatu mulai muncul. Persoalan tersebut menambah beban imam
mujtahid untuk membuka pandangan yang lebih luas terhadap lapangan
ijtihad. Sumber yang digunakan pada periode ini ialah Al-qur’an, Sunnah,
keputusan sahabat Rasul, serta fatwa mujtahid.37
c. Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Sebenarnya mujtahid sebelum imam Syafi’i dikenal dua tokoh besar,
yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Imam Abu Hanifah Al-
Nu’man (w. 150 H), pendiri madzhab Hanafi menggunakan dasar istimbath
secara berurutan yaitu Al-qur’an Sunnah, fatwa sahabat. Imam Abu Hanifah
di hadapkan oleh beberapa pendapat yang berbeda, maka ia memilih
pendapat yang tidak akan mengeluarkan pendapat baru. Imam Abu Hanifah
37 Muhammad Abu Zahra, Ushul fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 9.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
dikenal dikenal mujtahid yang banyak menggunakan qiyas dan istihsan.
Dan Iman Hanifah tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.38
Imam Malik bin Anas dalam ijtihadnya tidak memiliki metode yang
cukup jelas, sehingga ushul fiqh pada masanya belum dibukukan secara
sistematis. Dan ia juga tidak meninggalkan karyanya dalam ushul fiqh.
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Ushul fiqh lahir pada dua Hijriyah, karena pada abad pertama belum
ada dan belum terasa diperlukan. Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan
keputusan (hukum) berdasarkan pada Al-qur’an dan Hadits, dan berdasarkan
naluri yang bersih tampa memerlukan ushul atau kaidah yang dijadikan
istimbath. Adapun para sahabat membuat keputusan hukum berdasarkan pada
nash yang telah dipahami dari aspek kebahasaan semampu mereka, dan untuk
memahaminya perlu kaidah bahasa yang baik. Di samping itu mereka juga
melakukan istimbath hukum sesuatu yang tidak terdapat dalam nash. Jadi
para sahabat sudah benar-benar menguasai tujuan-tujuan hukum syari’at serta
dasar-dasar pembentukannya.39
Setelah Islam semakin berkembang dan bangsa Arab memperluas
pergaulannya dengan bangsa lain maka penyerapan bahasa asing dalam
bentuk mufradat dan tata bahasa ke dalam bahasa Arab yang menimbulkan
kesamaran-kesamaran dan kemungkinan lain dalam rangka memahaminya
38Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr,tt), 13.39 Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fiqh (Mesir: Maktabah al-da’wah al-Islamiyah,tt), 16.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
lebih luas. Pada abad kedua Hijriyah muncul ulama’ bernama Muhammad bin
Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) yang menggagas, mengsistematiskan, dan
membukukan ushul fiqh.
Sebelum imam Syafi’i tercatatat sebagai orang yang pertama kali
membukukan ushul fiqh yang bercerai-berai dalam satu kumpulan adalah
Abu Yusuf seorang pengikut Abu Hanifah. Akan tetapi kumpulan tersebut
tidak sampai pada kita. Namun hasil pertama kali kitab imam Syafi’i diberi
nama kitab Ar-Risalah yang merupakan kitab pertama kali ushul fiqh yang
sampai kepada kita hingga saat ini. Setelah imam Syafi’i banyak ulama’ yang
berbondong-bondong untuk menyusun ushul fiqh baik dalam bentuk yang
panjang ataupun ringkas. Adapun karya ushul fiqh setelah imam Syafi’i yang
tercatata pada abad ke-3 diantaranya adalah: al-Khabar al-Wahid, karya Isa
Ibn Abban Ibn Sedekah (w.220 H), dari kalangan Hanafiyah, al-Nasihk wa
al-Mansukh oleh imam bin Hambal (w. 164 H- 241 H), pendiri madzab
hambali dan kitab Ibtal al-Qiyas oleh Daud al-Zahiri (200 H-270 H) pendiri
madzab Zahiri. Berdasarkan penelitiaan ulama’ ushul dikit demi sedikit ilmu
ushul fiqh terus merosot, akan tetapi setelah 200 tahun barulah ilmu ushul
fiqh tumbuh dengan subur, yaitu sebagai tolak ukur hukum fiqh.40
D. Aliran Ilmu Ushul Fiqh
Maraknya kajian tentang ushul fiqh setelah imam Syafi’i semakin
berkembang pesat yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda dalam
40 Ibid,. 18.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
merumuskan kaidal Al-qur’an dan Sunnah yang sudah jauh terjadi sebelumnya.
Namun tampak jelas aliran ushul fiqh menjadi tiga aliran.
1. Jumhur Ulama’ Ushul Fiqh
Disebut jumhur ulama’ karena mayoritas aliran ini di anut oleh ulama’
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Di sebut juga aliran Syafi’iyah karena
pertama kali mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah imam
Syafi’i. Dan disebut juga aliran mutakallimin karena pakar di bidang ini setelah
imam Syafi’i adalah dari kalangan mutakallimin (para ahli ilmu kalam) seperti
imam al-Juwaini, al-Qadho Abdul Jabbar, dan imam al-Ghazali.41
Sebutan Mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya.
Kaum Mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan
pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk
logika Yunani. Orang-orang seperti Qadlo Abdul Jabbar adalah seorang teolog
Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran
Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku
al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwaini, dipandang sebagai
Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan
Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis
ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi
41 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh. Cet ke-3 (Jakarta: Interpratama Offset, 2009), 23.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
teologis, tetapi menulis dengan pola Mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-
Syirazi.42
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran mutakallimin, antara lain:
1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas
kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang
menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum
digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah
kebahasaan.
2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti
terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori
kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu,
dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan
pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah
(pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-
Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-
Sul) karya Ibnu Hajib. Aliran Mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan
yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai
penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama’ dan
menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab. 43
42 http://sofiswa.blogspot.co.id/2011/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diaksespada 08 Oktober 201543 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh. Cet ke-3 (Jakarta: Interpratama Offset, 2009), 24.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
Aliran ini berdasarkan pada logika yang bersifat rasional dan
pembuktiannya oleh kaidah-kaidah yang ada. Fokus perhatinnya tidak
diarahkan kepada soal penerapan kaidah terhadap hukum yang telah diterapkan
oleh imam mujtahid atau hubungan kaidah dengan masalah furu’ tetapi apa saja
yang di anggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok
hukum syari’at Islam baik sesuai dengan masalah furu’ dalam berbagai
madhzab atau menyalahinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pembahasan ushul fiqh aliran jumhur ini bersifat teoritis tampa disertai contoh
dan bersifat murni karena tidak mengacu pada madzhab fiqh tertentu yang
sudah ada.44
Adapun dalalah menurut ushul mutakallimin ialah terbagi menjadi dua
yaitu dhahir dan nash, yang keduanya mengandung dalam kalimat yang terang
yaitu kalimat yang tidak mujmal.45
a. Dhahir, yaitu lafadz yang mengandung ta’wil atau lafadz yang maknanya
menunjukkan terhadap dalalah yang dzahir atau rajih itu dalalahnya muncul
dalam pembahasan lughawi (bahasa) seperti ‘am terhadap segala macam
afrad-nya (satuannya) dan dari urf seperti dalalah shalat yang secara sah
berupa ucapan dan perbuatan tertentu. Dzahir menurut ushul mutakallimin
sama artinya dengan konsep dzahir dan nash menurut Hanafiyah. Hukum
44 Ibid,. 25.45 Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilmi al-Ushul (t.t.p, Syirkah Tiba’ah al-Fatanniyah,t.t.p), 281.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
dzahir ini adalah diamalkan sesuatu dengan mathlub-nya, tidak boleh
meninggalkan kecuali adanya ta’wil yang benar.46
b. Nas, menurut ushul Mutakallimin adalah lafadz yang tidak mengandung
ta’wil atau lafadz yang menunjukkan makna yang qat’i yang tidak ada
pemahaman lainnya. Bisa juga nash adalah lafadz yang seiring sejalan
diantara dzahir lafadz dan batinnya. Seperti nama Muhammad yang diartikan
nama seseorang dan nash serupa dengan musaffar menurut ushul Hanafiyah.47
Hukum nash ini adalah seperti qat’i harus diamalkan kecuali ada nasakh.
Akan tetapi musaffar menurut ushul Hanafiyah tidak terlalu terkenal dalam
pandangan ushul Mutakallimin. Namun muhkam, menurut ushul
Mutakallimin adalah mengandung diantara nash dan dzahir yaitu lafadz-
lafadz yang maknanya menunjukkan makna yang jelas dan terang. Adapun
as-Syafi’i sebagaimana dikatakan al-Ghazali menganggap dzahir adalah nas
dimana nash itu terbagi menjadi nash yang menerima ta’wil dan nash yang
tidak menerima ta’wil.48
2. Aliran Hanafiyah (Ahnaf) atau Fuqaha
Metode ini dicetuskan oleh imam Hanifah dan dikembangkan oleh
ulama’ Hanifah. Aliran ini juga disebut aliran fuqaha (ahli fiqh), karena sistem
penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan
46 Wahab al-Zuhaily, Ushul fiqh, I (Damaskus: Dar al-Firk, 1986), 31947 Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (t,t.p,t.n,p.t.t), 165.48 Ibid,. 165.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
kaidah ushul fiqh Abu Hanifah dan para muridnya serta melengkapinya dengan
contoh-contohnya.49
Cara yang digunakan oleh aliran ini ialah istiqro’ (induksi), terhadap
imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan
yang mereka gunakan. Sehingga metode ini mengambil konklusi darinya.
Metode yang dipakai oleh aliran Hanafiyah dalam menyusun kaidah-kaidah,
ditempuh berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah
menyandarkan ijtihad kepada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyah
tersebut. Jadi, mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai
cabang dari kaidah itu. Adapun yang mendorong mereka untuk membuktikan
kaidah-kaidah itu adalah beberapa hukum yang telah di-istimbath-kan oleh
para imamnya yang bersandar kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang
bersifat teoritis. Oleh karena itu, mereka banyak menyebutkan masalah furu’
dalam beberapa kitabnya. Pada saat yang lain mereka pun menaruh perhatian
serius terhadap kaidah ushuliyah tentang masalah-masalah yang telah
disepakati dan juga pada masalah furu’. Jadi, semata-mata perhatian mereka
tertuju kepada masalah ushul fiqh para imamnya yang diambil dari masalah-
masalah furu’ dalam melakukan istimbath. Dan ulama’ ushul Hanafiyah
membgi dalalah menjadi empat bagian, yaitu: dhahir, nash, musaffar, dan
49 Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh. Cet ke-3 (Jakarta: Interpratama Offset, 2008), 26.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
muhkam.50 Dari urutan tersebut nampak dari status hukum dari yang kuat
sampai kepada yang paling kuat.
a. Dhahir, ulama’ ushul mengartikan dhahir dengan suatu lafadz atau kalam
yang jelas maknanya. Kejelasan makna itu tercermin dari bentuk nash itu
sendiri, tampa memerlukan faktor luar dari nash itu dan bisa saja mengandung
ta’wil.51 Hukum dhahir adalah wajib qat’i diamalkan baik ‘am adanya atau
khas sebagaimana arti yang ditunjukkan lafadz itu kecuali ada dalil yang
meng-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadz mutlak, maka harus
diamalkan menurut kemutlakannya sampai ada dalil yang membatasinya
(qayyid) kemutlakannya dan jika dhahir itu berupa lafadz ‘am, maka harus
diamalkan keumumannya, sampai ada dalil lain yang meng-takhsih-nya atau
diamalkan menurut arti yang ditunjuki lafadz itu sampai adanya dalil yang
me-mansukh-kannya. Misalnya pembatasan terhadap kemutlakan kebolehan
mengawini wanita. Kebolehan menikah dengan wanita tampa dibatasi
kemudian muncul ayat yang meng-takhsis-kannya dengan maksimal empat
istri.52
b. Nash, para ushul Hanafiyah mengatakan bahwa nash adalah suatu lafadz
yang lebih jelas dari dhahir, dimana kejelasan lafadz itu ditunjukkan oleh
lafadz itu sendiri yang berasal dari radiksional dan tidak mungkin
mengandung pengertian lain dari lafadz itu juga bisa mengandung ta’wil.
50 Abu Bakar Ibn Ahmad Ibn Sahal al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah), 163.51 Ibid,. 16452 Wahbah al-Zuhaily, Usul fiqh al-Islamy, I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 319.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
Memang kelihatanya antara nash dan dhahir agak mirip akan tetapi
sebenarnya berbeda. Bisa dikatakan nash adalah tindak lanjut dari dhahir
terhadap suatu makna lafadz. Hukum nash adalah sebagaimana hukum
dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ditunjuk oleh nash
tersebut sampai ada dalil yang meng-ta’wil-kannya, yaitu kalau lafadz itu
berupa lafadz mutlak harus diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil
yang meng-takhsis-kannya atau diamalkan menurut arti yang ditunjukinya
samsapi ada dalil yang me-mansukh-kannya.
c. Musaffar, pengertiannya adalah suatu lafadz yang terang petunjukannya
kepada arti yang dimaksud dari susunan lafadz itu, yang lebih terang
disebanding nash dan dhahir dan tidak mungkin di-ta’wil-kan kepada yang
lain akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa
diutusannya Rasul. Hukum musaffar adalah wajib diamalkan sebagaimana
penjelasannya terhadapnya, tidak mengandung kemungkinan untuk
dipalingkan dari makna dhahir-nya, kecuali kalau ada dalil shahih yang me-
nasakh-nya. Yang jelas hukum musaffar lebih qat’i dan kuat jika
dibandingkan dengan nash dan dhahir.53
d. Muhkam, para ushul Hanafiyah mengartikan muhkam dengan lafadz yang
sangat terang petunjukannya dari susunan lafadz itu, dengan tidak menerima
pembatalan dan penggatiannya pada masa Rasul dan tidak sama sekali tidak
mengandung ta’wil. Ia tidak mengandung ta’wil artinya tidak menghendaki
53 Ibid,. 323.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
arti lain yang bukan arti formalnya. Karena ia dijelaskan dan ditafsiri dengan
penafsiran yang tidak mungkin membuka penakwilan baginya. Juga tidak
menerima penghapusan yang diambil adakalanya berupa kaidah hukum yang
bersifat asasi seperti pada kasus penuduh zina terhadap wanita baik-baik, dan
adakalanya dari hukum cabang seperti ibadah kepada Allah, mempercayai
Rasul-Nya dan kitab-Nya dan sebagainya.54
3. Metode Campuran
Metode cempuran ini adalah gabungan antara Mutakallimin dan
Hanafiyah. Metode yang ditempuh adalah mengombinasikan kedua aliran
terdahulu dan yang telah dijelaskan di atas. Mereka memerhatikan kaidah-
kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah itu, juga
memerhatikan penerapan terhadap masalah fiqh far’iyah dan relevansinya
dengan kaidah-kaidah itu.55 Kitab-kitab yang termasuk dalam aliran ini,
sebagai berikut:
a. Kitab an-Nizham, karangan al-Bazdawi.
b. Kitab al-Ahkam, karangan Mudhaoffaruddin al-Bagdadi al-Hanafi
(694 H).
c. Kitab al-Tauhid, karangan Shadrus Shariah.
d. Kitab at-Tahrir, karangan al-Kamal bin Hamman.
54 Ibid,. 324.55 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 18.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
e. Kitab Jam’u al-Jawami’, karangan Ibnu Subki.
f. Kitab Irsyad litahqiqi al-Haqqi min al-Ilmi al-Ushul, karangan al-
Syaukani (w. 1250 H).
g. Kitab Ushul Fiqh, karangan Khudari Bek (w.1927).
h. Kitab Al-Wushul ila Ilmi al-Wushul, karangan Syekh Muhammad
Abdurahman ‘Aid al-Mihlawi (w. 1920).56
E. Problem kebahasaan dalam Ushul Fiqh
Logika menempati posisi sangan sentral dalam dunia ushul fiqh, selain
mengacu pada wahyu verbal, rumusan kaidah ushul fiqh juga didasarkan pada
pijakan logika formal sehingga ia tidak mudah lekang dengan waktu lantaran
bisa selalu di-update sesuai konteks perkembangan masyarakat. Nalar berpikir
merupakan intriksi dan ciri khan manusia yang dapat membedakan dirinya dari
makhluk lain. Karena dalam ilmu mantiq disebutkan, al-insanu hayawan an-
nathiq (manusia adalah hewan yang bisa berkata-kata, sekaligus berpikir).57
Sebenarnya logika induksi digunakan untuk menarik kesimpulan dari
kasus-kasus individual yang mempunyai jangkauan sangat spesifik menjadi
kesimpulan yang sangat umum. Sedangkan logika deduktif adalah sebaliknya,
yakni digunakan untuk menarik dari kesimpulan yang bersifat hal yang bersifat
umum menjadi kasus yang bersifat individual. Dalam tradisi pemikiran ilmu
56 Ibid,. 19.57 Abu Yazid. Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh” bagian 1, TahwirulAfkar, ed.Abdul Wahid (Situbondo: Buletin Ma’had Aly Salafiyah Safi’iyah, 2015), 24.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
ushul fiqh, penggunaan logika induktif sering direppresentasikan oleh mazhab
Ahnaf, sedangkan logika deduktif banyak digunakan oleh mahzab
Muktakallimin yang di logomotifi oleh imam Al-Syafi’i.58
Jika mazhab tersebut pertama menginduksi kasus-kasus hukum secara
spesifik menjadi teori dan kaidah-kaidah penalaran hukum secara umum maka
mazhab tersebut kedua sebaliknya. Mereka sering mendeduksi kaida-kaidah
umum ijtihad tentang pengalian hukum terhadap kasus- kasus hukum yang
bersifat khusus. Dengan perkataan lain, mazhan Ahnaf dalam paradigma fikih
berangkat dari kasus-kasus hukum yang dihadapi masyarakat secara khusus,
kemudian ditarik kesimpulan menjadi postulat-postulat berupa kaidah
istimbath hukum. Sebaliknya, karangangan mutakallimin segaja membangun
kaidah-kaidah ushuliyah secara mandiri kemudian diterapkan dalam
pengimpulan hukum-hukum secara khusus yang terjadi ditengah masyarakat.
Preseden yang ditampilkan kedua mazhab besar ini menunjukkan
logika induktif dan deduktif merupakan cara kerja yang khas dalam dunia
pemikiran ushul fiqh. Pada tahapan perkembangan selanjutnya pemaduan
keduan jenis pemikir logis ini tidak dapat dihindarkan seseai tingkat
perkembangan masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, cara
kerna para juris memiliki asal-usul yang sama dengan mengetangahkan dan
58 Ibid,. Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh” bagian II, Tahwirul Afkar,ed.Abdul Wahid (Situbondo: Buletin Ma’had Aly Salafiyah Safi’iyah, 2015), 23.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
mengembangkan logika induktif dan deduktif secara terintegrasi untuk
menemukan prekskripsi hukum.59
Selain kedua cara berpikir logis ini sesungguhnya terdadap jenis lain
dalam tradisi pemikiran ushul fiqh, yaitu logika dialektif. Logika ini digunakan
untuk mengompromikan perb edaan pendapat antara juris yang satu dengang
yang lain. Seperti kita tahu bahwa dalam hazanah fiqh syarat dengan
diferensiasi pendapat hukum (ikhtifaf), bukan pertentangan (khilaf). Dalam
kondisi seperti ini antara tesis yang satu dengan yang lain lalu bisa ditarik
sintesi sebagai upaya dialektika dalam perumusan hukum Islam.
Karena itu dalam terminology ilmu ushul fiqh lalu popular apa yang
sebut at-tarjih, yakni upaya seleksi dan memilih pendapat-pendapat yang
proses istidlal-nya di nilai lebih mendekati kebenaran. Logika lain yang justru
lebih mengkristal dalam tradisi pemikiran uhul fiqh adalah logika analogi atau
dalam bahasa arabnya disebut qiyas. Logika ini dalam ushul fiqh diposisikan
sebagai sumber hukum aqli sejajar dengan jenis-jenis logika lain semisal
istihsan, maslahatul mursalah urf, istishaf dan lain-lain.
Lebih jelasnya logika induktif dan deduktif mempunyai peran sangat
penting dalam proses pengambilan kesimpulan hukum berdasarkan mekanisme
istidlal. Kedua jenis logika ini merupakan cara kerja yang khas dalam dunia
59 Ibid,. 24.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
pemikiran ushul fiqh untuk menemukan perskripsi hukum sebagai panduan
bagi setiap manusia.60
Sebenarnya masalah yang ada dalam ushul fiqh ialah bahasa yang tidak
mudah dipahami, misalnya bahasa Al-qur’an yang mana terkadang kita hanya
sekedar menbaca tampa mengetahui isi kandungan ayatnya. Melalui bahasa
kita bisa berkomunikasi, akan tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham
dan salah tafsir. Arti atau makna atau kerangka waktu.61 Contoh filsuf yang
membahas bahasa adalah Derrida yang mana ia memulai dekontruksinya
pertama kali dengan memusatkan perhatian pada bahasa. Yang mencoba
membongkar pandangan tentang pusat, pondasi, prinsip, dan dominasi tersebut
sehingga berada di pinggir.62 Selain itu menurut Deridda makna itu seakan-
akan keluar atau diturunkan dari tulisan, entah benar atau salah atau hanya
khayalan saja. Hal ini hanya mungkin syarat bahasa yang asli dan alami tidak
pernah ada, jadi tidak pernah terkontak atau terjemah oleh tindakan menulis.63
Untuk menemukan makna yang tersembunyi, orang harus membuka
selubungnya, melihat isi secara terpisah, membuang hubungan yang sudah ada
antara kata dan konsep. Dan ini cara untuk menghapus prasangka, sumber
utama timbulnya pemahaman atau salah pengertian.64 Kengelisan bahasa
sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu. Dan jauh sebebum itu para sahabat
60 Ibid,. 25.61 Sumaryono, Hermeneutika (Yogyakarta: PT Kanisius, 1999), 29-30.62 Listiyono Santoso, Epistimologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Mdia, 2014), 253.63 Jacques Derrida, De La Grammatologie (Paris: Les Editions du Minuit, 1967), 82.64 Ibid., Hermeneutik (Yogyakarta: PT Kanisius, 1999), 121.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
bahkan para filsuf memcoba menjelaskan makna bahasa untuk mudah
dimengerti.
Dalam literatur ushul fiqh, kita dapat dua macam telaah dalam menggali
suatu hukum yaitu telaah sanad dan telaah matan. Dalam telaah sanad, kita
diperkenalkan metodologi sistematik tentang penggalian hukum dari sudut
pandang tentang khabar mutawwatir dan ahad. Dan dalam telaah matan, kita
disuguhkan dua macam analisa; analisa bentuk bahasa dan kata (al-mandzum)
dan analisis cara ungkap (ghayr al-mandzum).
Ushul Fiqh bergantung kepada Ilmu Kalam karena dalil-.dalil hukum
hanya berguna jika orang mengenal Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, jika
mengakui kebenaran ajaran Rasulullah, dan hal-hal akidah yang lain yang
hanya bisa diketahui dari Ilmu Kalam. Bahasa Arab berperan penting karena
dalil-dail lafdziyyah, tekstual (Al-qur'an dan As-Sunnah) dan pendapat para
ahli menggunakan bahasa Arab, sehingga persoalan-persoalan apakah teks itu
menggunakan al-haqiqah dan al-majaz, al-‘umum dan al-khas, al-mutlaq dan
al-muqayyad, dan lain-lainnya hanya bisa dipahami dengan menggunakan
Bahasa Arab. Hukum Syar'i penting bagi ushul fiqh karena materi bahasan
ushul fiqh adalah hukum-hukum syar'i, tentu orang harus tahu terlebih dahulu
hakikat hukum, sehingga ia tidak salah membahas.65
65 Ach Fajruddin Fatwa, Makinuddin dkk, Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah. Cet-1 (Surabaya:IAIN SA Press, 2013), 196
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
Menilik Abdul Wahab Khalaf, beliau memberikan titik tekan pada
ushul fiqh sebaga berikut:
1. Pembahasan tentang dalil dan
2. Kumpulan kaidah yang dengan itu
3. Bisa diperoleh hukum Syar'i.
Dengan kata lain, Khallaf seperti terlihat dalam daftar bahasan di bawah
ini tidak terlalu membedakan antara dalil dengan istidlal sehingga dari Al-
qur'an sampai dengan Madzhab as-Shahabi semuanya ia sebut dalil.
Berbeda dengan obyek materiil fiqh yang berupa perbuatan mukallaf,
obyek materiil ushul fiqh adalah dail Syar’i secara garis besarnya dari aspek
penetapan hukum yang ditimbulkannya. Mengenai pendekatan kebahasaan,
kami sebutkan sistematika pembahasan mereka masing-masing. Pendekatan
kebahasaan menurut mereka masing-masing dalam kitabnya, terbagi atas
beberapa terma:
Dalam kitab Al Ihkam, pendekatan tersebut ada sebagaimana berikut:
1. Amr,
2. Nahy,
3. Al-`am dan al-khas,
4. Al-mutlaq dan al-muqayyad,
5. Al-mujmal, al-bayan dan al-mubayyan,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
6. Az-Zahir dan ta'wil-nya,
7. Dalalah al-iqtida`,
8. Tanbih ima`,
9. Isyarah, dan
10. Mafhum.66
Sedang dari versi Abdul Wahab Khalaf, pendekatan kebahasaan hanya
diperbincangkan dalam beberapa poin sebagaimana berikut:
1. Cara-tunjuk (dalalah) Nash
2. Mafhum al-mukhalafah
3. Penunjukan yang jelas dan tingkat kejelasannya
4. Teks yang tak jelas dan tingkat ketakjelasannya
5. Al-Musytarak
6. Al-‘Am dan jangkauan maknanya
7. Al-Khas dan jangkauan maknanya.
Selanjutnya, Pada kitab tersebut, al-Ihkam dan 'Ilm Ushul Fiqh kita bisa
melakukan perbandingan sistematika yang dipergunakan. Yang menarik,
meski lahir kemudian dan banyak referensi yang bisa dirujuk dan digunakan,
'Ilm Ushul Fiqh justru lebih sederhana dibanding al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
66 Ibid,. 197.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam membagi materi ushul fiqh menjadi empat konsep:
ushul fiqh, dalil, ijtihad dan tarjih. Sementara 'Ilm Ushul Fiqh membahasnya
menjadi empat bagian: dalil, hukum, kaidah kebahasaan dan kaidah legislasi.
Apa yang dibahas dalam bagian hukum oleh Khallaf, dibahas oleh Amidi
dalam konsep ushul fiqh. Apa yang dibahas dalam kaidah kebahasaan juga
dibahas Amidi dalam bagian konsep ushul fiqh.67
Disini peran mantuq dan mafhum ialah untuk menjelaskan kesamaran
teks dan konteks yang mana merupakan salah satu bagian yang tidak dapat
diabaikan dalam melakukan istimbath hukum, selain itu juga berupaya
memahami pengertian nash. Dan oleh karena itu cara untuk mengatasi
masalah bahasa tersebut bisa melalui mantuq dan mafhum, selain bisa
mengetahui teks (ayat), kita juga bisa memahami konteks (makna ayat), yang
lebih mudah untuk dipahami tampa ada unsur kesalah pahaman.
F. Pengertian Dalalah Mantuq dan Dalalah Mafhum
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-qur’an merupakan sumber hukum
syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-qur’an dari segi wurud
(kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qat’i. Hal ini karena semua
ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Walaupun ada sebagian
sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada
pada qira’ah mutawattir. Hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran
terhadap Al-qur’an yang di dengan oleh Nabi, atau hasil ijtihad mereka dengan
67 Ibid,. 198.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
jalan membawa nash mutlak pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri.
Namun perlu ditegaskan bahwa hal tersebut tidak luput dari petuntuk
(dadalah), yang ada didalam Al-qur’an.68
Dalalah menurut definisi ulama’ ushul adalah makna baru pada sesuatu
permasalahan yang dihasilkan dari penyamaan pada permasalahan lain. Dalam
arti, eksistensi sebuah permasalahan dengan memahaminya akan
memunculkan pemahaman atas permasalahan lain. Dengan mengetahui dalalah
jelas dan tidak jelas menurut tingkatannya berfungsi dan berguna sebagai
upaya penggalian hukum apalagi bila ada perbedaan dan pertentangan dalil-
dalil yang mengetahui tindakan dalalahnya yang jelas dan tidak dapat
mengaborasikan dan menetapkan mana dalil yang paling didahulukan karena
qarinah yang sangat kuat dan mana dalil yang diakhirkan.69
a. Pengertian Dalalah Mantuq
Mantuq adalah makna yang kandungan hukumnya dipahami dari apa
yang diucapkan, dengan kata lain mantuq itu ialah makna yang tersurat
(terucap), contohnya, “diharamkan bagi kamu bangkai”. Mantuq dari ayat ini
ialah bangkai itu hukumnya haram. Menurut kitab mabadiulawwaliyah,
mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz atau makna dalam
tempat pengucapan. Arti lain mantuq yaitu makna yang ditunjukkan oleh
sebuah lafadz, oleh wilayah pengucapan. Apabila lafadz tersebut menghasilkan
68Juhana, Ilmu Ushul Fiqh, I (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 5469 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, II (Jakarta: Kencana, 2011), 131.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
makna yang tidak mungkin mengarah pada makna lain.70 Dan dalalah mantuq
seperti yang di pakai oleh istilah hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat, dan iqtida
nash.71 Oleh karena itu mantuq ialah petunjuk lafadz pada hukum yang disebut
oleh lafadz itu sendiri.
b. Pengertian Dalalah Mafhum
Adapun mafhum adalah petunjuk lafadz atau makna pada suatu hukum
yang tidak disebutkan oleh lafadz atau makna itu sendiri, dan dalalah mafhum
ini ialah tersirat (tidak terucap).72 Pendapat lain mafhum adalah makna yang
kandungan hukumnya dipahami dari apa yang terdapat dibalik arti mantuq-nya.
Dengan kata lain mafhum itu disebut dengan makna tersirat. Dan makna yang
ditunjuk oleh lafadz dan tidak terdapat dalam wilayah pengucapannya. Apabila
hukum mafhum selaras dengan mantuq-nya, maka disebut mafhum
muwafaqah, meskipun mafhum menyamai mantuq, menurut pendapat Ashah.
Maka tersebut berbentuk hukum sekaligus mahal (penyandang) dari hukum
tersebut (mahal al-hukm).
فال تقل لھما أف وال تنھرھما
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan jangan kamu membentak keduanya. (Q.S Al-Isra’ ayat 23).
70 Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul (Lirboyo: Satri Salaf Press, 2014), 9271 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Putaka Setia, 1999), 215.72 Ibid,. 215.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum,
pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata: uffin) jangan
kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan
mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga
dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi
pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.
Menurut para ulama’ ushul fiqh, bahwa sebagian besar dalalah yang diuraikan
di atas didasarkan pada teks.73
G. Macam-macam Mantuq dan Mafhum
A. Mantuq diklarifikasikan menjadi dua:
1. Nash, yakni manakala menghasilkan makna yang tidak terbuka
kemungkinan diarahkan pada makna lain. Contoh, lafadz”zaid” dalam
kalimat جاء زید (zaid telah datang). Makna yang dihasilkan dari contoh ini
adalah sosok tertentu, tampa ada kemungkinan diarahkan pada makna lain.
Atau Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang
secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain Seperti firman
Allah SWT QS. Surat al-Baqarah: 196
ثة أیام في الحج وسبعة إذا رجعتم تلك عشرة كاملة فمن لم یجد فصیام ثال
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam (musim) haji dan tujuh hari lagi apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna”.
73 Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul (Lirboyo: Satri Salaf Press, 2014), 96.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan
makna secara pasti.
2. Dzahir, yakni manakala menghasilkan makna yang terbuka kemungkinan
diarahkan pada makna yang marjuh (lemah) sebagai pengganti makna yang
pertama. Contoh, roaintu yaumal azda (hari ini saya melihat Harimau).
Lafadz االسد memiliki makna hewan buas, namun berpeluang diarahkan pada
makna lelaki pemberani, dimana makna ini marjuh karena termasuk makna
majas.74 Atau suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang
lemah seperti QS al-Baqarah: 173.
فمن اضطر غ م علیكم المیتة والدم ولحم الخنزیر وما أھل بھ لغیر ا یر باغ وال عاد فال إثم علیھ إن إنما حر
غفور رحیم ا
“Sesungguhnya dia hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”.
2. Mafhum terbagi menjadi dua macam, muwafaqah, dan mukhalafah.
a. Mafhum muwafaqah, yaitu menetapkan hukum dari makna yang
sejalan atau sepadan dengan makna mantuq-nya (yang diucapkan).
Contohnya dalam QS. Al-isra’/17; 32.
“Dan janganlah kamu mendekati zina”.
74 Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul (Lirboyo: Satri Salaf Press, 2014), 92
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
Mafhum muwafaqah dari ayat di atas adalah haram mendekati zina,
berduaan, berpacaran apalagi melakukan zina itu sendiri. Mafhum
muwafaqah terbagi menjadi dua macam:
a. Fatwa al-Khitab, yaitu mafhum yang kapasitasnya lebih besar
dibandingkan makna mantuq-nya. Contohnya firman Allah swt dalam QS.
Al-Isra’ ayat 23:
فال تقل لھما أف
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang tua”.
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi
memukulnya. Contoh, mafhum berupa memukul orang tua, dengan mantuq
berupa berkata kasar kepada orang tua dalam QS. Al-Isra’:23 di atas. Dalam
hal ini mafhum, yakni memukul tingkatannya lebih berat dibandingkan
berkata kasar dilihat dari aspek menyakitinya.75
b. Lahn al-Khithab, yaitu mafhum yang kapasitasnya menyamai
mantuq. Contoh, membakar harta anak yatim yang dipahami dari mantuq
atas. Seperti firman Allah SWT:
یر إن الذین یأكلون أموال الیتمى ظلما إنما یأكلون فى بطونھم ناراصلى وسیصلون سع
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara
aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
75 Racmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih. Cet IV (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), 216.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim
sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang
(haram). Dilihat dari aspek perusakannya, kedua hal ini setara. Menurut
sebagian pendapat, mafhum yang kapasitasnya menyamai mantuq tidak
disebut mafhum muwafaqah, meskipun sama-sama dijadikan hujjah.76
Mafhum muwafaqah dalam istilah hanafiyah disebut juga dalalah
nash, yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang
tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan
hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada
persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian
bahasa tampa memerlukan pembahasa yang mendalam ataupun ijtihad.
Sesuai dengan hukum yang tertulis. Mafhum muwafaqah dikenal pula
dengan makna fatwa al-khitab dan lahn al-khitab seperti yang sudah
dijelaskan di atas.
Sedangkan manakala menghasilkan makna yang terbuka kemungkinan
diarahkan pada makna lain yang setara (musawi), seperti thaubu zaidu junun
kata junun mungkin dimaknai hitam dan putih secara setara, maka disebut
dengan mujmal.
1. Mahfum mukhalafah, adalah makna mafhum yang tidak selaras
dengan mantuq-nya dari sisi hukumya. Mafhum mukhalafah disebut juga
76 Juhaya, Ilmu Ushul Fiqh, I (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 216.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
dengan dhalilul khitib. Atau pengertian yang dipahami berbeda dengan
ucapan, baik dalam istimbaht (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh
karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang
Seperti dalam firman Allah SWT seperti QS al-Jum’ah ayat: 9.
وذروا البیع إذا نودي للصالة من یوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر ا
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka
bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli”.
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at
sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.77
Dan menurut pendapat ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum
mukhalafah sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya
menurut mereka, mafhum mukhalafah bukan suatu metode untuk penetapan
hukum. Alasan mereka sebagai berikut:
1. Sesungguhnya banyak nash yang akan rusak apabila diambil mafhum
mukhalaf-nya dan akan rusak pengertiannya, antara lain sebagai berikut:
یوم خلق السماوات واألرض من إ اثنا عشر شھرا في كتاب ا لك ن عدة الشھور عند ا ھا أربعة حرم ذ
ین القیم فال تظلموا فیھن أنفسكم وقاتلوا المشركین كافة مع المتقین الد كما یقاتل ونكم كافة واعلموا أن ا
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya,
77 Ibid,. 217.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. QS
Surah At-taubah: 36.
Apabila ayat tersebut diambil mafhum mukhalaf-nya akan mempunyai
arti bahwa berbuat zalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja,
sedangkan diluar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada
setiap saat.78
2. Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk
pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan tarhib, seperti ayat:
ھا22اء سبیال (وال تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إال ما قد سلف إنھ كان فاحشة ومقتا وس مت علیكم أم ) حر
ھاتكم الال اتكم وخاالتكم وبنات األخ وبنات األخت وأم تي أرضعنكم وأخواتكم من تكم وبناتكم وأخواتكم وعم
ھات نسائكم ضاعة وأم تي دخلتم بھن فإن لم تكونوا دخلتم بھ الر تي في حجوركم من نسائكم الال ن وربائبكم الال
كان غفوراعلیكم وحالئل أبنائكم الذین من أصالبكم وأن تجمعوا بین األختین إال فال جناح ما قد سلف إن ا
)23رحیما(
Artinya:
22. “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.
23. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
78 Ibid,. 218.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.QS. Surah An-
nisa’: 22-23.
Sifat anak tiri pada ayat tersebut, adalah anak tiri yang ada dalam
pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalaf-nya, hal itu berarti
mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’
tetap mengharamkan.
3. Seandainya mafhum mukhalaf-nya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka
suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang
menerangkan hukum kemalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya
penyebutan seperti itu banyak ditemukan. Menurut jumhur ulama; ushuliyyin,
mafhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara
lain:
a. Berdasarkan logika, setiap syara’ atau sifat tidak mungkin dicantumkan
tampa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid
(pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
dicantumkannya suatu sifat itu tidak targib, tarhib, dan tanfir.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
b. Sikap Rasullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khattab dalam
memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ perjalanan
dibolehkan sekalipun dalam keadaan aman.79
الة إن خفتم أن یفت نكم الذین كفروا إن الكافرین وإذا ضربتم في األرض فلیس علیكم جناح أن تقصروا من الص
ا مبینا كانوا لكم عدو
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar sembah yang (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”.
QS Surah An-nisa’: 101.
Sebenarnya prinsip dalam hukum Islam tidak lain ialah untuk
pembinaan dan membangun prinsip-prinsip hukum Islam yang mana prinsip
Tauhidullah mengatakan segala hukum dan tindakan seorang Muslim mesti
menuju kepada satu tujuan yaitu kesatuan dalam rangka menyatu dengan
kehendak Tuhan, dan tidak bisa meraih apapun kecuali dengan kehendandak-
Nya.80 Dari berbagai penjelasan ayat di atas dapat dipahami secara teks dan
kontek bahwa ayat Al-qur’an terkadang memilki arti yang lebih dari apa yang
di ketahui. Dan disini tugas mantuq dan mafhum ialah memilah atau
menjadikan ayat sebagai makna yang dikehendaki.
79 Ibid,. 219.80Juhaya, Aspek Sosiologi dalam Pembaharuan Fiqh di Indonesia. Cet II (Yogyakarta: WalisongoPress, 2009), 121.
top related