BAB III PENDIDIKAN GURU AGAMA ISLAM DAN PENDIDIKAN …repository.unj.ac.id/154/8/10. BAB 3.pdf · JASMANI A. Pendidikan Guru Agama Islam Setelah Indonesia merdeka, upaya menjadikan
Post on 19-Oct-2020
4 Views
Preview:
Transcript
27
BAB III
PENDIDIKAN GURU AGAMA ISLAM DAN PENDIDIKAN GURU
JASMANI
A. Pendidikan Guru Agama Islam
Setelah Indonesia merdeka, upaya menjadikan pendidikan agama sebagai
salah satu mata pelajaran di sekolah umum tetap diperjuangan oleh sejumlah elit
muslim di pemerintahan. Akhirnya, pendidikan agama mulai diajarkan di sekolah
umum, setelah Panitia Penyelidik Pengajaran pada tanggal 2 Juli 1946
mengeluarkan rekomendasi pendidikan agama yang mulai diajarkan di sekolah
umum, calon guru agama diangkat oleh Departemen Agama, dan guru agama
diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum. Sebagai tindak lanjut dari isi
rekomendasi di atas, Menteri Agama (K.H.R. Fathurahman Kafrawi) dan Menteri
Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan/PP dan K (Mr. Soewandi) membuat
kesepakatan bersama tentang pendidikan agama di sekolah yang dituangkan
dalam bentuk Peraturan Bersama Menteri PP dan K.
Para ahli pendidikan Indonesia berpendapat bahwa pendidikan agama
mempunyai peranan penting dalam pendidikan manusia Indonesia seutuhnya.
Ilmu pengetahuan hanya membentuk intelektualisme, tidak membentuk akhlak
yang luhur. Berdasarkan pemikiran itu maka masalah pendidikan agama
tercantum pula dalam UU No. 4 tahun 1950/UU No. 12 tahun 1954, pada pasal 20
yang berbunyi :
28
“dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran-pelajaran agam; orang tua
murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut”.
Kemudian dalam pelaksanaannya, pada tahun 1951 Menteri PP dan K (waktu itu
Dr. Bahder Djohan) mengeluarkan “peraturan bersama” Menteri Agama,
tertanggal 16 Juli 1951 No. . “Peraturan bersama” antara Menteri PP
dan K dan Menteri Agama yang ditandatangani oleh H. Wahid Hasjim pada
tanggal 20 Januari 1951 dan baru berlaku pada tanggal 1 Februari 1951. Dengan
dikeluarkannya “Peraturan Bersama” itu dapatlah diatasi masalah pendidikan
agama yang sangat peka sekali.
Penetapan pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran agama di
sekolah umum menjadi tantangan tersendiri bagi Departemen Agama karena
sebagaimana rekomendasi di atas, guru agama harus disiapkan oleh Departemen
Agama. Tugas ini merupakan beban yang tidak ringan mengingat departemen ini
baru berdiri dan pada masa itu guru-guru agama yang ada pada umumnya hanya
ahli dalam bidang studi agama. Padahal yang dikehendaki pemerintah adalah guru
agama yang memahami pengetahuan umum. Oleh karena itu, untuk
menindaklanjuti rekomendasi di atas Departemen Agama, sejak 1 Januari 1947,
mulai merancang pengadaan guru agama melalui sejumlah program, baik program
jangka pendek maupun jangka panjang :1
1. Program jangka pendek dilakukan dengan cara; (a) menyelenggarakan
kursus singkat calon guru agama melalui pelatihan selama minggu.
1 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : Logos, 2001), hal. 59-60
29
Dari 90 orang yang dilatih hanya 45 orang yang lulus; (b)
menyelenggarakan ujian calon guru agama melalui sistem pemeriksaan
awal di daerah dan pemeriksaan akhir di pusat.
2. Program jangka panjang dilakukan dengan cara mendidik calon-calon
guru agama melalui pendirian lembaga pendidikan guru agama.
Untuk merealisasikan program jangka panjang, Departemen Agama pada
masa Menteri Agama KH. Faqih Usman mulai merintis pendirian sekolah guru
yang diawali dengan pendirian Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHAI).
Lembaga ini berdiri pada tanggal 16 Mei 1948 di Solo. Pada tanggal 8 Desember
1948, atas perintah Menteri Agama (KH. Masjkur), SGHAI dipindah ke
Yogyakarta. Beberapa hari kemudian terjadi agresi militer Belanda II (19
Desember 1948), sehingga SGHAI terpaksa ditutup.
Sesuai namanya, SGHAI, berfungsi di samping mempersiapkan calon guru
agama juga “mencetak” calon pegawai pada pengadilan agama yang ketika itu
masih membutuhkan banyak tenaga. Penyatuan dua misi ke dalam satu lembaga
tersebut mungkin karena pertimbangan praktis, pada masa itu sumber daya
Departemen Agama belum memungkinkan mendirikan lembaga terpisah, lebih-
lebih kondisi negara belum stabil akibat gangguan dari luar dan dalam negeri.
Gangguan dari luar berupa agresi militer Belanda pertama (21 Juli 1947) dan
kedua (19 Desember 1948), sedangkan gangguan dari dalam berupa
pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. 2
2 Muhammad Kosim, Dari SGHAI Ke PGA : Sejarah Perkembangan Lembaga Pendidikan Guru Agama Islam Negeri Jenjang Menengah. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 2 No. 2, 2007, hal. 183
30
Masa perintisan dalam periode awal ini tidak berarti Departemen Agama
memulai dari awal. Karena sebelum pemerintah mendirikan SGHAI, umat Islam
telah banyak mendirikan sekolah guru agama. Di samping itu, Departemen PP dan
K telah pula mendirikan lembaga pendidikan guru pasca Indonesia merdeka,
dengan nama SGA, SGB, dan SGC.
Departemen Agama terus mengembangkan pendirian sekolah guru agama
ke sejumlah daerah. Perluasan ini dilakukan, terutama, setelah pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan
dan Pengajaran di Sekolah, yang isinya, antara lain, menyangkut program wajib
belajar di sekolah dasar.3 Untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut,
terutama dalam hal penyelenggaraan program wajib belajar, pendirian sekolah
baru semakin ditingkatkan. Akibatnya, kebutuhan guru agama juga meningkat.
Oleh karena itu, Departemen Agama terus berupaya meningkatkan pengadaan
guru agama melalui penyempurnaan dan perluasan SGHAI serta melalui
pendirian lembaga baru bernama Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Dua
lembaga ini, kendati sama-sama menyiapkan tenaga guru agama, memiliki
perbedaan-perbedaan, yaitu :4
1. Sekolah Guru dan Hakim Islam (SGHAI)
3 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/1950 menyatakan “Semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya”; ayat (2) “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. 4
H. Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979) hal. 360-361
31
Masa studi ditempuh selama empat tahun setelah lulus Madrasah
Tsanawiyah atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ; Terdiri atas empat
bagian (program), yaitu bagian A untuk calon guru kesusastraan, bagian B
untuk calon guru ilmu alam, bagian C untuk calon guru agama, dan bagian
D untuk calon pegawai pada pengadilan agama; Lulusan guru SGHAI
disiapkan untuk menjadi guru agama dan guru umum di madrasah.
2. Sekolah Guru Agama Islam (SGAI )
Sekolah Guru Agama Islam terdiri atas dua program, program jangka
pendek dan program jangka panjang. Pada program jangka pendek, lama
belajarnya dua tahun setelah Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama, sehingga disebut SGAI dua tahun. Dengan adanya
program ini, lulusan MTs/SLTP memiliki peluang untuk melanjutkan ke
dua lembaga keguruan, SGHAI atau SGAI dua tahun. Sedangkan program
jangka panjang masa belajarnya lima tahun setelah SR atau MI enam
tahun, sehingga disebut SGAI lima tahun. Pada program lima tahun ini,
kurikulumnya setara dengan Sekolah Guru B (SGB) ditambah dengan
mata pelajaran agama dan bahasa Arab. Karena itu, SGAI lima tahun ini
bisa disebut SGB plus. Masa belajarnya lebih lama dari SGB, yakni lima
tahun, sedangkan SGB hanya empat tahun ; Lulusan SGAI disiapkan
untuk menjadi guru agama di sekolah umum.
Pada awalnya, SGHAI dan SGAI hanya didirikan di daerah ibukota
Yogyakarta. Setelah Kementerian Agama RI di Yogyakarta digabung dengan
Kementerian Agama RIS di Jakarta ke dalam negara kesatuan RI, Menteri Agama
32
(KH. Wahid Hasyim) menganjurkan agar dua lembaga guru tersebut dibuka di
setiap karesidenan.5 Pada tahun 1951, setelah pemerintah RI pindah ke Jakarta,
Departemen Agama terus memperluas keberadaan lembaga-lembaga di atas
dengan sedikit perubahan, yaitu; nama SGAI diganti menjadi PGA (Pendidikan
Guru Agama), dan nama SGHAI diganti menjadi SGHA (Sekolah Guru dan
Hakim Agama). Perubahan nama ini tidak berpengaruh pada kurikulum dan masa
belajar. Dengan demikian SGHA tetap ditempuh empat tahun, dan PGA tetap
lima tahun (bagi lulusan SR/MI) atau dua tahun (bagi lulusan SLTP/MTs).
Perubahan nama tersebut didasarkan pada Penetapan Menteri Agama (KH. Wahid
Hasyim) Nomor 7/1951 tanggal 15 Pebruari 1951.
Sampai tahun 1951 SGHA dan PGA telah menyebar ke beberapa daerah
hingga mencapai jumlah 25 lembaga, yang terdiri dari lima SGHA dan 20 PGA,
dengan rincian SGHA sebanyak lima buah, dibuka di Yogyakarta, Malang,
Kotaraja Banda Aceh, Bukittinggi, dan Bandung dan PGA sebanyak 20 buah,
dibuka di Tanjung Pinang, Kotaraja Banda Aceh, Padang, Banjarmasin, Jakarta,
Tanjung Karang, Bandung, Pamekasan, Bogor, Cirebon, Purwokerto, Pekalongan,
Magelang, Solo, Salatiga, Kudus, Madiun, Bojonegoro, Kediri, dan Jember.
Pada tahun 1952-1958 dua jenis sekolah guru yang ada--SGAI dan SGHA-
-diintegrasikan menjadi satu lembaga, yakni Pendidikan Guru Agama Negeri
(PGAN), dengan ketentuan PGA jangka panjang (PGA lima tahun) diganti
menjadi PGAN enam tahun, yang terdiri atas PGA Pertama Negeri (PGAPN)
empat tahun (kelas I sampai kelas IV) dan PGA Atas Negeri (PGAAN) dua tahun
5 Muhammad Kosim, Op Cit, hal. 186-188
33
(kelas V sampai VI). Sedangkan PGA jangka pendek (PGA dua tahun) dihapus
sama sekali. Perubahan dari PGA lima tahun menjadi PGAN enam tahun ini
didasarkan atas Penetapan Menteri Agama Nomor 35/1953 tanggal 21 Nopember
1953.
SGHA bagian A, B, C dihapus, sedangkan bagian D diganti dengan
lembaga baru yang secara khusus mendidik calon pegawai pengadilan agama,
bernama PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri). Penghapusan SGHA
didasarkan pada Penetapan Menteri Agama tanggal 19 Mei 1954 No. 109/1954
terhitung mulai tanggal 1 Januari 1954. Sedangkan ide perubahan SGHA (Bagian
D) menjadi PHIN ini diusulkan pertama kali dalam rapat kerja ahli-ahli
pendidikan di lingkungan Departemen Agama pada tanggal 7 s/d 13 Januari 1954,
dan laporan rapat kerja kepala-kepala PGA dan SGHA seluruh Indonesia tanggal
18 s/d 21 Pebruari 1954 di Bogor. Akhirnya, berdasarkan Penetapan Menteri
Agama Nomor 14/1954 tanggal 19 Mei 1954 dan Penetapan Kepala Jawatan
Pendidikan Agama Nomor 2/1954 tanggal 24 Mei 1954, PHIN dibuka di
Yogyakarta.
Pada tahun 1958 Departemen Agama tetap mempertahankan konsep
PGAN enam tahun yang telah dikembangkan sebelumnya. Dengan demikian,
dalam masa yang panjang (± 20 tahun) kebijakan yang dilakukan Departemen
Agama berkisar pada pembinaan dan perluasan lembaga ke sejumlah
daerah,termasuk pula penambahan lembaga baru namun dalam kerangka PGAN
enam tahun, yaitu pendirian ; PGAN enam tahun lengkap (mulai kelas I sampai
kelas VI) dan PGA Atas Luar Biasa Negeri Jurusan Ketunanetraan di Sleman
34
Yogyakarta.6 Dalam perkembangan berikutnya, karena dipandang adanya
kesulitan penyebutan nama-nama lembaga pendidikan guru agama yang ada,
maka dilakukan upaya penyederhanaan melalui Penetapan Menteri Agama Nomor
18/1959 tentang Nama-nama Sekolah Dinas Pendidikan Guru Agama, dengan
ketentuan berikut :7
Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri 4 tahun (PGAPN 4 tahun)
diganti menjadi Pendidikan Guru Agama Negeri 4 tahun (disingkat PGAN
4 tahun), yaitu sekolah dinas yang menyelenggarakan bagian pertama dari
pendidikan guru agama (kelas I sampai kelas IV).
Pendidikan Guru Agama Atas Negeri 2 tahun (PGAAN 2 tahun) diganti
menjadi Pendidikan Guru Agama Negeri 6 tahun (disingkat PGAN 6
tahun), yaitu sekolah dinas yang menyelenggarakan secara lengkap
pendidikan guru agama mulai dari kelas I sampai kelas VI.
Pendidikan Guru Agama Atas Negeri Putri 2 tahun (PGAAN Putri 2
tahun) diganti menjadi Pendidikan Guru Agama Negeri Putri (disingkat
PGAN Putri), yaitu sekolah dinas yang menyelenggarakan bagian atas
(kelas V sampai kelas VI) dari pendidikan guru agama khusus putri.
Pendidikan Guru Agama Luar Biasa Negeri Bagian A Jurusan
Ketunanetraan (disingkat PGALBN/A), yaitu sekolah dinas yang
6 Heni Listiana, Dinamika Politik Pendidikan Guru Agama Islam Pada Masa Orde Lama . TADRIS: Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol. 2 No. 2, November 2013,hal. 390
7 Muhammad Kosim, Pendidikan Guru Agama di Indonesia : Pergumulan dan Problema Kebijakan
1948 – 2011 (Jakarta : Pustaka Nusantara, 2012), hal. 37
35
menyelenggarakan bagian atas (kelas V sampai kelas VI) dari pendidikan
guru agama khusus calon guru agama di sekolah luar biasa.
Pada ketetapan MPRS tahun 1960 kedudukan pendidikan agama di
sekolah masih lemah, murid/wali murid bisa memilih apakah akan mengikuti atau
tidak mengikuti pelajaran agama. Sedangkan pada ketetapan MPRS tahun 1966
pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang wajib diikuti
setiap peserta didik. Ketetapan ini, kendati belum begitu kuat, telah semakin
memantapkan posisi pendidikan agama di sekolah umum. Perbedaan cara
pandang pemerintah terhadap keberadaan pendidikan agama sangat dipengaruhi
situasi politik yang mengiringi ketika itu. Tahun 1960 merupakan periode akhir
Orde Lama. Di masa-masa itu keberadaan PKI cukup kuat di pemerintahan,
sehingga keputusan pemerintah banyak diwarnai sikap politik PKI. Tujuan
pendidikan nasional, misalnya, mulai bergeser ke arah kiri.
B. Pendidikan Guru Jasmani
Istilah pendidikan jasmani sebelum tahun 1950 disebut dengan istilah
gerak badan atau sport. Pendidikan jasmani merupakan bagian dari kurikulum
pada sebagian jenjang sekolah di Indonesia dari masa kolonial. Mata pelajaran
tersebut diajarkan pada sekolah rendah dan sekolah menengah. Memasuki masa
awal kemerdekaan Indonesia, pendidikan jasmani masih menjadi bagian dari
pendidikan di Indonesia.
Pendidikan jasmani pada masa kemerdekaan Indonesia menjadi bagian
dari mata pelajaran yang diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar atau sekolah
36
rakyat (SR) hingga sekolah lanjutan. Pendidikan jasmani dimasukkan ke dalam
kurikulum awal kemerdekaan diharapkan mampu membantu penumbuhan fisik
dan jiwa yang baik dari para pemudanya. Termuatnya pendidikan jasmani dalam
kurikulum menandakan bahwa waktu itu pemerintah telah berpandangan maju
dan berkemauan baik dalam menyeimbangkan pendidikan yang ada.
Penyeimbangan pendidikan yang dimaksud adalah karena gerak badan yang ada
saat itu menggunakan sistem permainan.8
Pelaksanaan pendidikan jasmani yang sebelum tahun 1950 disebut dengan
gerak badan memiliki berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi
disekolah antara lain; (1) pendidikan jasmani untuk anak perempuan, (2) perlunya
nasihat dokter, (3) bahan pengajaran diambil dari permainan dan kesenian
nasional, (4) perlunya musik, (5) kepanduan, (6) pencegahan ekses dalam
perlombaan serta perlunya membiayai kegiatan, (7) perlunya menolong sekolah
partikelir, (8) perlunya lapangan disetiap sekolah, dan (9) perlunya mengadakan
kursus kilat bagi guru-guru.
SGPD mulai dibuka pada tahun 1950. Kurikulum yang digunakan untuk
proses belajar mengajar menggunakan rencana pelajaran 1950. Awal
kemerdekaan Indonesia kurikulum hanya susunan tentang mata pelajaran yang
diajarkan di suatu sekolah. Kurikulum di SGPD juga hanya tersusun dari beberapa
mata pelajaran yang diajarkan di sekolah tersebut. Hal ini berbeda dengan
kurikulum pada masa sekarang yang mengatur tentang sistem pendidikan secara
8 Suhadi HP, dkk. op cit. hal. 71-73
37
utuh. Kurikulum tahun 1950 menetapkan SGPD sebagai sekolah dengan waktu
lama belajar empat tahun.
Kegiatan proses belajar mengajar tahun ajaran baru di SGPD dilaksanakan
pada bulan Agustus. Sebelumnya pada bulan Juni hingga Juli telah dilaksanakan
pendaftaran untuk murid baru di SGPD. Proses pendaftaran murid baru
berlangsung kurang lebih selama tujuh minggu. Model pendidikan di SGPD
Yogyakarta tidak meniru model pendidikan di Taman Siswa, yakni peguron.
Berbeda dengan Taman siswa yang mengunakan sistem peguron dengan
memisahkan pendidikan untuk kaum perempuan dan kaum laki-laki. SGPD justru
menggabungkan kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam satu asrama dan satu
sekolah. Penggabungan tersebut menjadi ciri khas dari model pendidikan di
SGPD bernama coeducation.
Proses belajar mengajar di kelas SGPD berlangsung dari hari Senin hingga
hari Sabtu. Proses belajar mengajar dalam satu hari dibagi menjadi dua waktu.
Waktu pertama yakni di pagi hari mulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan
pukul 12.00 WIB. Waktu kedua yakni pada sore hari pukul 15.00-17.30 WIB. Hal
ini diperkuat oleh Edi Sumardi yang menyatakan bahwa kegiatan belajar mengajar
di SGPD berlangsung selama dua kali dalam sehari yakni pagi dan sore hari.
Proses belajar mengajar di SGPD terdiri dari dua macam, yakni teori dan
praktek. Kegiatan belajar mengajar berupa teori dilaksanakan di dalam kelas.
Waktu proses ini tidak hanya berlangsung di pagi atau siang hari saja, terkadang
juga berlangsung di sore hari. Kegiatan belajar mengajar berupa praktek dilakukan
di luar kelas atau lapangan sesuai dengan kegiatan prakteknya. Sama halnya
38
dengan proses belajar mengajar teori, proses belajar mengajar praktek juga
berlangsung dalam dua waktu yakni pagi dan sore hari.
Proses pembelajaran di SGPD tidak berhenti di dalam kelas saja. murid
SGPD masih diberikan bekal ilmu di asrama. Proses pembelajaran di asrama ini
mengadopsi proses pembelajaran seperti di Taman Siswa. Hanya saja guru yang
ada di SGPD tidak semua tinggal di asrama. Hanya guru pengurus asrama saja
yang tinggal di asrama.
Saat di asrama mereka mendapat bekal ilmu berorganisasi dan berlatih
pendidikan jasmani sesuai dengan hobby masing-masing murid. Pernyataan
tersebut dipertegas oleh Rachmat yang menyatakan bahwa kegiatan di asrama
diselenggarakan sesuai dengan koordinasi yang diberikan oleh ketua asrama.
Kegiatan penilaian dan Evaluasi belajar di SGPD dilakukan setiap 4 bulan
sekali. Setiap empat bulan sekali diadakan tes untuk mengetahui hasil belajar
murid-murid SGPD. Penilaian dan evaluasi belajar teori dilakukan dengan cara
tertulis sesuai waktu yang telah ditentukan dari sekolah. Berbeda dengan penilaian
dan evaluasi praktek dilakukan tidak terjadwal.
top related