BAB II TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN … · 2017. 4. 1. · Dasar Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Post on 22-Jan-2021
3 Views
Preview:
Transcript
BAB II
TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL, MEDIASI,
PERJANJIAN KERJA, DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
2.1. Tinjauan Perselisihan Hubungan Industrial
2.1.1. Pengertian, Dasar Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 1 angka 1 UU PPHI mendefinisikan perselisihan
hubungan industrial sebagai “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentinga
n, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan”.
Dasar Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial adalah Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(UU PPHI). UU PPHI terdiri dari 8 BAB dan 126 Pasal dengan sistematika sebagai
berikut:
1. Bab I (Pasal 1 – 5) tentang Ketentuan Umum berisikan definisi dan ruang lingkup
secara umum;
2. Bab II (Pasal 6 – 54) tentang Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (Penyelesaian Bipatrit, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase);
3. Bab III (Pasal 55 -80) tentang Pengadilan Hubungan Industrial (Ruang Lingkup
PHI; Hakim, Panitera, Panitera Pengganti PHI secara Umum);
4. Bab IV (Pasal 81 – 115) tentang Penyelesaian Perselisihan Melalui PHI (Hukum
Acara dalam PHI, Pengambilan Putusan, dan Upaya Hukum Kasasi);
5. Bab V (Pasal 116 – 122) tentang Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana (bagi
Mediator, Panitera, Konsiliator, Arbiter);
6. Bab VI (Pasal 123) tentang Ketentuan Lain-lain;
7. Bab VII (Pasal 124) tentang Ketentuan Peralihan;
8. Bab VIII (Pasal 125 - 126) tentang Ketentuan Penutup (Tidak Berlakunya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di
Perusahaan Swasta).
2.1.2. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Menurut Pasal 2 UU PPHI, jenis perselisihan hubungan indutrial adalah :
1. Perselisihan hak.
Pasal 1 angka 2 UU PPHI menyatakan “perselisihan hak adalah perselisihan yg
timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran terhadap ketentuan
UU, PK, PP atau PKB”. Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan menyebutkan “
2. Perselisihan kepentingan.
Pasal 1 angka 3 UU PPHI menyatakan “perselisihan kepentingan adalah
perselisihan yg timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja dalam PK, PP
atau PKB”.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pasal 1 angka 4 UU PPHI menyatakan “perselisihan PHK adalah perselisihan
yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak”.
4. Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 1 angka 5 UU PPHI menyatakan ”perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dalam satu perusahaan adalah
perselisihan antara SP/SB dalam satu perusahaan karena tidak adanya keses
uaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban
keserikatan”.
2.1.3. Tata cara Penyelesaian Hubungan Industrial
Dalam rangka upaya penyelesaian hubungan industrial dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Cara-cara yang di tempuh ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa
dalam perselisihan hubungan industrial itu sendiri. Secara garis besar ada dua cara yang
dapat di tempuh dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yaitu:
1. Melalui pengadilan hubungan industrial;
2. Di luar pengadilan hubungan industrial; Adapun cara-cara yang dapat di
tempuh di luar pengadilan hubungan industrial antara lain adalah bipatrit,
konsiliasi, arbitrase dan mediasi.Cara-cara penyelesian perselisihan hubungan
industrial ini sangat dianjurkan, karena tidak melalui pengadilan hubungan
industrial yang pastinya akan lebih menyita waktu, biaya dang tenaga pada
pihak-pihak yang bersengketa.
Pengertian tata cara penyelasian perselisihan hubungan industrial, adalah sebagai
berikut:
1. Bipatrite.
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 UU PPHI adalah perundingan
antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih
dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat,
dan jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk
berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan,
maka perundingan bipartit dianggap gagal.
2. Konsiliasi.
Pengertian konsiliasi sendiri diatur dalam UU PPHI dalam pasal 1 angka 13 yang
berbunyi “konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral”. Konsiliator sendiri juga di atur dalam pasal 1 angka 14 UU PPHI yang
berbunyi “konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliator
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator
ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
3. Abitrase.
Pengertian arbitrase diatur UU PPHI dalam pasal 1 angka 15 yang berbunyi
“arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
kerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan
industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyerahkan penyelesaian kepada arbiter yang putusanya mengikat para pihak dan
bersifat final”. Sedangkan arbiter sendiri adalah seorang atau lebih yang dipilih
oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri
unuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaianya melalui arbitrase yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat
final.
4. Mediasi.
Mediasi menurut UU PPHI dalam pasal 1 angka 11 yaitu mediasi hubungan
industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator atau lebih mediator yang netral.
5. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Pengadilan Hubungan Industrial menurut UUPHI adalah pengadilan khusus yang
di bentuk di lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili
dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Proses beracara di PHI, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU PPHI adalah sama
dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan
hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan
ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam
penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat
pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan
Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di tingkat
pertama mengenai perselisihan hak; di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan; di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2.2. Tinjauan Umum Mediasi
Mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk
memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan
mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator). Pihak yang
netral tersebut tugas utamanya adalah sebagai fasilitator yang menemukan dan
merumuskan persamaan pendapat sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat
digunakan untuk menemukan, merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para
pihak, dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (penyesuaian
persepsi), sehingga mengarahkan kepada suatu keputusan bersama.
Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi
didasarkan atas kehendak para pihak yang bersengketa, jadi bukan atas kehendak pihak
ketiga (mediator). Mediator tersebut tetap bersikap netral dan selalu membina
hubungan baik dengan kedua belah pihak mendengarkan secara aktif, memberikan
saran-saran, menekankan pada keuntungan potensial serta meminimalisir perbedaan-
perbedaan dengan menitikberatkannya pada persamaan. Oleh sebab itu, tujuan mediasi
adalah untuk membantu para pihak bernegosiasi secara lebih baik terhadap
penyelesaian suatu sengketa.
2.2.1. Pengertian Mediasi
Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” yang artinya penyelesaian
sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesian sengketa
secara menengahi dan yang menengahinya disebut mediator atau orang yang menjadi
penengah. Dalam terminologi hukum, istilah “mediation” berarti pihak ketiga yang ikut
campur perkara cenderung mencari penyelesaiannya1, sedangkan pihak yang menjadi
penengah disebut dengan “mediator”.2
Berikut diuraikan pengertian mediasi menurut pandangan beberapa sarjana:3
1. Menurut J. Folberg dan A. Taylor menyatakan “meditation the process by which
the participants, together with the assistance of a neutral persons, systematically
isolate disputed issues in order to develop options, consider alternatives, and reach
a consensual settlement that will accommodate their needs”.
2. Menurut Christoper W. More menyatakan “meditation is generally defined as the
intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who has
limited or no authoritative discussion making power but who assists the involved
parties in voluntarily reaching a mutually acceptable settlement of issues in
dispute”.
3. Menurut Butterwoths menyatakan “mediation is a method of dispute resolution
which in cludes undertaking any activity for the purpose of promoting the
1Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar pengadilan, Citra Aditya Bakti,
Yogyakarta, h.79. 2I.P.M. Ranuhandoko, 2006, Terminologi Huku Inggris-Indonesia, Cetakan ke-IV, Sinar Grafika,
Jakarta , h. 399. 3Lokakarya Terbatas, 2002, Teknik Mediasi (Tingkat Dasar), Makalah, HotelLido Lakes, Bogor,
Jawa Barat, 18-20 Nopember 2002, h. 19.
discussion and settlement of disputes, bringing together the parties to any dispute
for that purpose, and the follow up of any matter being the subject of such
discussion or settlement”.
4. Menurut Leonard L. Riskin dan James E. Westbrook menyatakan “mediation is an
informal process in which a neutral third party helps other resolve a dispute or
plan a transaction but does not (and ordinarily) does not have the power to impose
a solution”.
5. Menurut Christopher W. Moore menyatakan, mediasi adalah intervensi dalam
sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang
bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral.
Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia
bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau
mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah
persengketaan.
Dalam pengertian secara yuridis berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Artribase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya
disingkat UU 30 Tahun 1999) tidak diketemukan pengertian mediasi dengan jelas,
namun secara implisit pengertian mediasi ini tertuang dalam Pasal 6 ayat (3) UU 30
Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa
atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli
maupun melalui seorang atau lebih mediator.
Berdasarkan Pasal 1 butir 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disingkat PERMA 2 Tahun 2003)
menyebutkan mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para
pihak dengan dibantu oleh mediator. Selanjutnya yang dimaksud dengan mediator
berdasarkan Pasal 1 butir 5 PERMA 2 Tahun 2003 adalah pihak yang bersifat netral
dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa. Melihat kedua ketentuan ini, dapat dikatakan
bahwa mediasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa para pihak yang dibantu oleh
mediator sebagai pihak penengah.
Menurut UU PPHI, mediasi adalah penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota. Mediasi diatur dalam pasal 8 – 16 UU PPHI. Dalam mediasi
diusahakan agar tercapai kesepakatan di antara pihak yang berselisih. Jika terwujud,
maka kesepakatan perdamaian itu dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama.
Dari beberapa pengertian mediasi yang diberikan para pakar serta UU 30 Tahun
1999, PERMA 2 Tahun 2003, dan UU PPHI tersebut di atas, maka terminologi mediasi
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan.
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian.
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan
berlangsung.
2.2.2. Asas-asas Hukum Mediasi
Menurut Mahadi, asas yang dalam bahasa Inggris disebut “principle” yang
dapat berarti sebagai: 1) sumber atau asal sesuatu. 2) penyebab yang jauh dari sesuatu,
3) kewenangan atau kecakapan asli, 4) aturan atau dasar bagi tindakan seseorang, dan
5) suatu pernyataan (hukum, aturan, kebenaran) yang dipergunakan sebagai dasar-
dasar untuk menjelaskan sesuatu peristiwa. Dengan demikian, asas adalah sesuatu yang
dapai dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk
menyandarkan atau untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan.4
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum merupakan jantungnya
peraturan hukum, disebut demikian karena asas hukum merupakan landasan yang
paling luas bagi lahirnya peraturan hukum, yang pada akhirnya peraturan-peraturan
hukum itu akan kembali kepada asas-asas tersebut. Artinya asas hukum ini dapat
disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari
peraturan hukum. Selanjutnya Satjipto Rahardjo menambahkan bahwa dengan adanya
4Mahadi, 1991, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, h. 119.
asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan hal ini
dikarenakan asas hukum menganduang nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.5
Berdasarkan atas pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa asas hukum
atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran
dasar yang bersifat umum atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit
yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma melalui
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim sebagai hukum positif.
Asas hukum daapat ditemukan dengan mencari sifat umum dalam peraturan konkrit
tersebut.
Didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara
garis besar kita dapat menggali beberapa asas hukum sebagai dasar penyelesaian
sengketa melalui mediasi:6
1. Asas perwakilan, asas ini merupakan asas yang sangat mendasar dalam
penyelesaian sengketa melalui mediasi, karena dalam penyelesaian sengketa
melalui mediasi pembicaraan secara langsung antara para pihak yang bersengketa
selalu dihindarkan, baik dalam proses tawar-menawar maupun musyawarah untuk
menentukan keputusan yang diambil, semua pembicaraan dilakukan melalui
perantara mediator yang telah dipilih dan disepakati oleh para pihak yang
5Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, h. 85.
6Mohammad Koesnoe, 1989, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga
University Press, Surabaya, h. 45-56.
bersengketa. Para mediator ini dapat berasal dari daftar mediator yang dimiliki oleh
pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan. Sedangkan seseorang yang
dianggap mampu menjadi mediator apabila telah mengikuti pelatihan atau
pendidikan mediasi melalui lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah
Agung.
2. Asas musyawarah, asas ini merupakan tindakan bersama antara para pihak yang
bersengketa untuk mengambil suatu pendapat bersama yang bulat atas
permasalahan yang dihadapi para pihak. Dalam penyelesaian sengketa melalui
mediasi asas musyawarah merupakan hal yang mendasar dalam setiap pengambilan
keputusan. Masing-masing para pihak yang bersengketa diberikan hak yang seluas-
luasnya unhik menyampaikan apa yang ia rasakan dan mengharapkan apa yang ia
inginkan kepada pihak lain melalui perantara mediator. Para pihak dalam
penyelesaian sengketa ini tidak mengenal adanya intimidasi, paksaan maupun
tekanan dari pihak manapun, dan yang paling penting adalah diharapkan para pihak
saling menerima dan bersedia mengalah untuk mencapai suatu kesepakatan
bersasna.
3. Asas mufakat, asas ini mengajarkan bahwa perbedaan-perbedaan kepentingan
pribadi di antara para pihak yang bersengketa haruslah diselesaikan dengan cara
perundingan, antara seorang dengan orang lain yang bersengketa. Perundingan
ditujukan kepada pihak-pihak yang bersengketa akibat terjadinya perbedaan antara
kehendak atau prinsip dan pendirian dari masing-masing pihak. Dengan melakukan
tawar menawar keinginan diharapkan sampai pada persamaan dan kesepakatan
mengenai apa yang dikehendaki oleh masing-masing pihak. Dalam mewujudkan
proses tawar-menawar tersebut masing-masing pihak harus saling bersikap
menerima dan memberi dengan ikhlas hati untuk sampai kepada persamaan
kehendak bersama. Asas ini sangat berperan dan tampak jelas dalam penyelesaian
sengketa melalui mediasi, dimana setiap keputusan yang diambil dalam proses
mediasi merupakan hasil dari proses tawar menawar yang kesemuanya dilakukan
melalui kesepakatan dalam perundingan. Artinya para pihak yang bersengketa
tidak ada yang tetap mempertahankan haknya secara absolut, hal ini tidak lain
untuk mencapai kesepakatan bersama antara para pihak dalam mengemukakan
pendapat dan keinginannya. Kesepakatan untuk mengambil keputusan harus
dilakukan dengan bebas tanpa ada paksaan dan tekanan dalam bentuk apapun dan
dari siapapun, sehingga kesepakatan bersama yang dicapai melalui mediasi
merupakan kesepakatan yang benar-benar bersumber dari hati maupun yang dalam
dari masing-masing pihak yang bersengketa. Untuk itu, peran mediator harus betul-
betul netral hanya berusaha semaksimal mungkin dalam membantu membimbing
dan mengarahkan para pihak yang bersengketa untuk mencapai konsensus
bersama.
4. Asas kepatutan, merupakan asas yang mengarah kepada usaha untuk mengurangi
jatuhnya perasaan seseorang karena rasa malu yang ditimbulkan oleh hasil
penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena itu, asas kepatutan ini memusatkan
perhatiannya kepada cara menemukan penyelesaian sengketa yang dapat
menyelamatkan kualitas dan status pihak-pihak yang bersangkutan dengan sebaik-
baiknya. Penyelesaian sengketa melalui mediasiakan menyelamatkan harkat dan
martabat para pihak yang bersengketa dengan lebih baik, hal ini dikarenakan tidak
ada para pihak yang dikaitkan dan dimenangkan oleh keputusan mediasi.
Keputusan mediasi semata-mata merupakan hasil kesepakatan para pihak, yang
merupakan solusi terbaik uutuk menghindarkan para pihak dari rasa malu ditengah-
tengah masyarakat.
5. Asas tertutup, untuk menjaga kehormatan dan kedudukan para pihak yang
bersengketa maka dalam proses penyelesaiannya tertutup untuk umum, terkecuali
para pihak menghendaki lain.
6. Asas terbuka untuk umun, artinya anggota-anggota masyarakat dapat hadir atau
mengamati, atau masyarakat dapat mengakses informasi yang muncul dalam proses
mediasi. Namun asas terbuka untuk umum ini hanya untuk menyelesaikan
sengketa publik, seperti sengketa lingkungan hidup, hak asasi manusia,
perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan.
7. Asas mediator aktif, setelah mediator ditinjau, maka langkah awal yang wajib
dilakukan mediator adalah menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian
proses mediasi. Kemudian mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri
dan menggali kepentingan mereka yang bersengketa dan mencari berbagai pilihan
penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Selain itu, mediator dengan persetujuan
para pihak dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam
menyelesaikan perbedaan. Namun harus diingat kebebasan mediator disini hanya
berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa, artinya mediator hanya
memberi semangat kerja serta saran kepada para pihak, dengan demikian mediator
tidak dapat memaksakan kehendaknya dalam menyelesaikan sengketa tersebut,
apalagi berpihak ke salah satu pihak.
8. Asas para pihak bebas memilih, dimana para pihak yang bersengketa memiliki
kebebasan untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh
pengadilan atau memilih mediator di luar daftar pengadilan.
9. Asas ketelitian, dimana kesepakatan yang telah tetjadi di antara para pihak yang
bersengketa ditandatangani secara tertulis, namun sebelum kesepakatan tersebut
ditandatangani oleh para pihak, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan
untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
10. Asas kepastian hukum, asas ini memberikan kepastian kepada para pihak yang
bersengketa, dimana setelah terjadi kesepakatan maka para pihak wajib membuat
klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai. Untuk itu, para
pihak harus menghormati substansi kesepakatan yang telah mereka buat,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Kemudian para pihak menghadap
kepada hakim untuk memberitahukan bahwa telah dicapainya kesepakatan dan
hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian sebagai
bentuk kepastian hukum bagi para pihak.
2.2.3. Perkembangan Mediasi di Indonesia
2.2.3.1. Mediasi Sebagai Budaya Bangsa Indonesia
Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia merupakan budaya
bangsa Indonesia sendiri, baik dalam masyarakat tradisional maupun sebagai dasar
negara Pancasila yang dikenal dengan istilah musyawarah untuk mufakat. Seluruh
suku bangsa di Indonesia mengenal makna dari istilah tersebut, walaupun
penyebutannya berbeda, tetapi memiliki filosofi yang sama. Dalam klausula-klausula
suatu kontrak atau perjanjiaan pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan
kata-kata “kalau terjadi suatu sengketa atau perselisihan diselesaikan dengan cara
musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di
pengadilan”. Ini artinya sejak dahulu kala penyelesaian sengketa melalui mediasi sudah
sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, sedangkan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan merupakan pilihan akhir apabila penyelesaian sengketa melalui mediasi
tidak dapat diselesaikan.7
Studi-studi antropologi hukum di Indonesia mengungkapkan, bahwa terdapat
institusi penyelesaian sengketa yang hidup dalam masyarakat selain dari sistem
pengadilan yang tunduk pada hukum negara. Beberapa diantaranya adalah:
a. Di daerah Toraja disekitar Raurepao dan Ma’kele ada sebuah Dewan yang
bernama Dewan Hadat dan merupakan lembaga adat asli Toraja, sejak dulu
telah berfungsi untuk menyelesaikan sengketa. Dewan ini anggota-anggotanya
merupakan orang-arang yang dianggap sebagai pemimpin dalam suatu desa,
7Mahkamah Agung, 2003, Court Dispute Resolution, Makalah, Puslitbang Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI, Jakarta, h.135.
seperti para tua-tua adat dan juga orang-orang yang dianggap paling
inengetahui mengenai masalah yang disengketakan. Warga masyarakat
biasanya pertania sekali mengajukan sengketa mereka kepada Hadat, kemudian
Hadat berhari-hari mengadakan sidang untuk menentukan siapa yang harus
dipersalahkan mengenai suatu sengketa dan apa hukuman yang dapat
dijatuhkan.
b. Di Minangkabau, ada dikenal Kerapatan Nagari yang dikepalai oleh Wali
Nagari. Dalam Kerapatan Nagari yang bertindak sebagai badan pencegah,
adalah hakim perdamaian, dalam sengketa. Dalam prakteknya wali nagari
memutuskan sesuatu sengketa yang diajukan ke Kerapatan Nagari bersama-
sama dengan para kepala seksi yang ada dalam Kerapatan Nagari yaitu Kepala
Seksi Adat, Kepala Seksi Umum. Sejak tahun 1974 eksistensi Kerapatan Nagari
telah diperkuat melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No.
156/GSB/1974 tentang Peradilan Perdamaian Nagari. Dalam Pasal 3 ayat (1)
Surat Keputusan tersebut ditegaskan bahwa “Proses Pengadilan dalam
mempertahankan hak kebendaan dalam sengketa harta kekayaan dilaksanakan
dalam suatu lembaga atau badan peradilan adat yang disebut Kerapatan Nagari
c. Di kalangan masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok ada pula dikenal suatu
lembaga penyelesaian sengketa yang diberi nama Begundem. Begundem
adalah suatu bentuk musyawarah untuk mengambil keputusan mengenai
penyelesaian berbagai masalah dan sengketa melalui suatu persidangan Krama
Desa atau Krama Gubug. Persidangan Krama Desa atau Krama Gubug
diketahui oleh seorang penulis yang diambil dari anggota Krama Desa.
Pimpinan sidang Krama Desa dilakukan oleh penulis persidangan Krama Desa,
dari awal hingga tercapainya suatu kemufakatan. Ketua Krama Desa hanya ikut
menunggu persidangan sampai tercapainya kebulatan pendapat dari pimpinan
persidangan Krama Desa. Setelah tercapai kata mufakat baru diambil alih oleh
Ketua Krama Desa dari penulis persidangan dan kemudian memberikan
kesimpulan dan keputusannya tentang apa yang telah dihasilkan oleh Sidang
Krama Desa. Adat seperti ini dijumpai di Daerah Sakra.
d. Di Bali misalnya terdapat Desa Adat, yang kekuasaannya dijelmakan dalam
sangkepan (rapat) Desa Adat, yaitu secara musyawarah. Terhadap sengketa-
sengketa adat yang bersifat forum yang membahas masalah-masalah tertentu
yang sedang dihadapi desa non-kriminal, penyelesaiannya dalam usaha
mengembalikan keseimbangan kosmis yang tergauggu tidak melalui proses
peradilan, sehingga bukan pidana yang dikenakan, melainkan diselesaikan
melalui sangkepan (rapat) desa dan ada kemungkinan untuk dijatuhkan sanksi
adat kepada pelakunya. Demikian pada, sengketa adat yang bersifat kriminal,
oleh masyarakat penyelesaiannya diserahkan melalui sangkepan desa yang
dipimpin oleh kepala desa adat, sehingga tidak ditempuh melalui peradilan
formal. Namun sengketa-sengketa adat yang bersifat kriminal juga diselesaikan
melalui proses peradilan formal.
Hampir di seluruh kepulauan kita didapati peradilan perdamaian desa. Hanya
di Bengkalis tidak ada institusi tersebut, sedang di Tapanuli, Minangkabau, Sumatra
Selatan dan Kalimantan Tenggara, pengadilan perdamaian desa subur berkembang.
Sedangkan di Jawa kecuali di Yogyakarta, institusi ini hampir lenyap, karena berpuluh-
puluh tahun tidak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Di Yogyakarta pengadilan
perdamaian desa kelihatan subur setelah diadakan reorganisasi sistem tanah di daerah
tersebut pada tahun 1912.
Pada tahun 1935 pemerintahan Hindia Belanda mengakui eksistensi
perdamaian adat ini berdasarkan Pasal 3 a Rechterlijk Organisatie (RO), Staatsblad
1935 Nomor 102, yang antara lain menyatakan bahwa para pihak dapat saja
mengajukan sengketa kepada hakim adat, dan hakim adat dilarang menjatuhkan
hukuman. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penyelesaian sengketa adat dapat
dilakukan secara musyawarah melalui perdamaian desa yang dipimpin kepala desa.
Kedudukan hakum perdamaian desa ini sebenarnya tidak sejajar dengan hakim
pengadilan negeri. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa melalui hakim
perdamaian desa tidak mengurangi hak dari pihak yang berperkara untuk
menyelesaikannya melalui hukum biasa pada Landraad. Hakim pengadilan biasa tidak
terikat oleh keputusan hakim perdamaian desa, tetapi mereka diharuskan
memperhatikan keputusan yang sudah ditetapkan hakim perdamaian desa tersebut dan
suatu keputusan desa tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan biasa.
Dalam perkembangan selanjutnya menunjukkan terjadinya kenyataan sebagai
berikut :
a. Secara diam-diam ketentuan di atas dianggap tidak berfungsi lagi, baik oleh
badan peradilan umum maupun oleh pihak penggugat, sementara banyak
kepala desa tidak menyadari kedudukannya selaku hakim perdamaian desa atau
kalaupun menyadari ia tidak cakap menjabatnya.
b. Pada umumnya warga desa yang bersangkutan mengajukan perkaranya
langsung ke Pengadilan Negeri setempat tanpa melalui bahkan tanpa
sepengetahuan kepala desanya.
c. Putusan perdamaian atas suatu sengketa yang menjadi wewenangnya dibuat
oleh kepala desa tanpa menyebutkan kedudukannya sebagai hakim perdamaian
desa.
d. Putusan perdamaian tersebut pada umumnya kerap kali tidak memenuhi syarat
material dan atau formal sebagaimana telah diatur di dalam ketentuan yang
berlaku bagi keputusan-keputusan perdamaian.
e. Pada umumnya desa di seluruh Indonesia tidak memiliki administrasi peradilan
desa, kalaupun ada satu dua, tidak seragam.
f. Pengajuan perkara ke pengadilan negeri kerap kali tidak efesien. Artinya objek
yang diperkarakan atau dipersengketakan nilainya jauh lebih rendah
dibandingkan dengan ongkos perkara dan biaya lainnya.
g. Juga biasanya tidak efektif karena menyeret orang sekampung ke meja hijau
oleh yang bersangktitan dipandang sebagai penghinaan dan dengan demikian
timbullah sebagai akibat sosial negatif, seperti dendam, kekecewaan dan
sebagainya.
h. Pengajuan perkara ke pengadilan negeri kerap kali bukannya menghasilkan
ketenangan, kerukunan kembali atau perdamaaian. Melainkan permusuhan dan
memberi kesempatan kepada oknum tertentu untuk menghasut salah satu
pihak..
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951
Tentang Tindakan - Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil,perdamaian desa ini tetap
dipertahankan untuk diteruskan, yang dihapus hanyalah wadahnya untuk dicarikan
penggantinya. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tersebut
diatas, antara lain ditentukan bahwa pengadilan adat akan dihapuskan secara
berangsur-angsur, tetapi hak dan kekuasaan yang selama ini diberikan kepada hukum
perdamaian desa tidak dikurangi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan
hakim perdamaian desa masih diakui oleh peraturan perundang-undangan, tetapi
wadahnya dihapuskan untuk diganti dengan wadah atau lembaga lain.
Kemudian peranan kepala desa sebagai hakim perdamaian desa juga diakui
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang antara
lain menyatakan dalam rangka pelaksanaan tugasnya kepala desa di bidang
ketentraman dan ketertiban dapat mendamaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi
di desa. Bahkan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 ini tetap mengakui adanya
kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup di dalam masyarakat.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang juga mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,
pelembagaan peranan kepala desa sebagai hakim perdamaian tetap dilanjutkan. Dalam
penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dinyatakan, bahwa:
“Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa mempunyai
wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari pada warganya.
Selanjutnya Pasal 101 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah menentukan salah satu dan kewajiban Kepala Desa adalah
mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa. Sedangkan penjelasannya menyatakan:
“Untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat dibantu
oleh lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa
bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih”.
2.2.3.2. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dapat dibagi ke dalam dua bagian,
yaitu:
a. Mediasi di luar pengadilan.
Mediasi di luar pengadilan sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa
(APS) dan alternative dispute resolution (ADR) telah diatur dalam Uudang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Selain ADR menurut Arbitrase, diatur juga penyelesaian sengketa dengan
menggunakan dading yang diatur dalam Pasa1 1851-1864 KUH Perdata, adapun
penyelesaian sengketa dengan menggunakan dading berdasarkan Pasal 1338 KUH
Perdata mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. Dapat dikatakan
perkembangan dalam perundang-undangan, secara tegas mengakui ADR sebagai
mekanisme yang diakui dalam penyelesaian sengketa.
Lembaga-lembaga ADR berikut ini menunjukkan bahwa keberadaan ADR di
luar pengadilan merupakan pilihan penyelesaian sengketa tertentu yang diakui,
seperti:
1) BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
Didirikan atas prakarsa KADIN sesuai amanat Undang-undang Nomor 1
Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. BANI merupakan
perwujudan arbitrase yang juridiksinya meliputi sengketa-sengketa perdata
dalam perdagangan, indusri dan keuangan baik nasional maupun internasional.
2) Penyelesaian Sengketa Jasa Kontruksi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 dan Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kontruksi, telah dibentuk
sesuai lembaga ADR sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000
tentang Mediasi dalam penyelesaian Sengketa Jasa Kontruksi yang dilakukan
oleh 1 orang mediator. Juga mengatur tentang konsiliasi oleh seorang
konsiliator, dan arbitrase oleh seorang arbiter.Juridiksinya dibatasi pada
masalah perdata saja.
3) Penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Sebaiknya diselesaikan di luar pengadilan.Kemungkinan penyelesaian
sengketa HAKI di luar lembaga pengadilan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahum 2000 tentang Rahasia Dagang. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2000 tentang Desain Indutri, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahtui 2001 tentang Merek,
Undang-Undang Nomor 32 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
4) Penyelesaian perselisihan praktek monopoli dan persaingan usaha.
Dapat dilakukan di luar lembaga pengadilan yang didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan Keppres RI Nomor 75 Tahun 1999
dibentuk KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha).Atas putusan KPPU
dapat diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.
5) Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur tentang
Perlindungan Konsumen dan juga mengatur BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen) yang dibentuk di Daerah Tingkat Kabupaten/Kota.
Keputusan BPSK antara konsumen dan pelaku usaha dapat diajukan keberatan
ke Pengadilan Negeri dan atas putusan Pengadilan tersebuta dapat diajukan
kasasi.
6) Penyelesaian Perselisihan Lingkungan Hidup.
Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan atas sengketa lingkungan
hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Sengketa Lingkungan Hidup.
Pilihan forum ADR dapat berbentuk negoisasi, mediasi, arbitrase, maupun
bentuk lainnya yang merupakan pengembangan dari ketiga bentuk tersebut.
7) ADR dalam menyelesaikan Restrukturisasi Utang.
Dalam hal ini Satuan Tugas Prakarsa di Jakarta adalah lembaga yang didirikan
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator bidang Ekonomi,
Keuangan dan Industri selaku Ketua Kamite Kebijakan Sektor Keuangan
dengan Nomor: KEP.04/M.EKUIN/02/2000 untuk melakukan penyelesaian
penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang perusahaan dalam rangka
pemulihan ekonomi nasional. Lembaga ini adalah satu-satunya lembaga
mediasi di Indonesia dengan menerapkan proses mediasi dan menerapkan
teknik-teknik mediasi. Perkara yang dimajukan ke lembaga di tengahi mediator
yang sudah terlatih.
8) Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4).
Badan ini merupakan badan yang dibentuk oleh Departemen Agama
dikhususkan untuk mendamaikan dan memediasikan para pihak yang beragama
Islam yang ingin bercerai. Biasanya pihak-pihak yang ingin mengajukan
perceraian ke Pengadilan Agama pertama kali mereka mendatangi BP4. Namun
meskipun para pihak, belum mendatangi atau belum melalui proses BP4 dan
langsung mengajukan perceraian ke Pengadilan Agania, Pengadilan Agama
tetap meneruskan perkara tersebut. Perkara yang dimajukan ke Pengadilan
Agama oleh para pihak, baik yang sudah melalui proses BP4 maupun yang
belum, maka dalam perkara tersebut tetap wajib didamaikan oleh hakim yang
memeriksa dan mengadili perkaranya.
9) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, dibentuk suatu badan untuk melakukan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Bila terjadi perselisihan antara
pekerja dengan pihak pengusaha maka wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk
mencapai mufakat.Apabila tidak mendapatkan kesepakatan maka penyelesaian
dilanjutkan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan bila hal ini gagal
kembali maka dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
10) Mediasi perbankan.
Lembaga mediasi perbankan didirikan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 8/5/PBI/2006. Mediasi di bidang perbankan ini dilakitkan oleh
Lembaga Mediasi Perbankan independen yang dibentuk oleh Asosiasi
Perbankan, namun dalam pelaksanaan tugasnya tetap melakukan koordinasi
dengan Bank Indonesia. Adapun fungsi mediasi perbankan ini hanya terbatas
pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara
mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan. Bahkan lembaga mediasi
perbankan ini hanya menyelesaikan setiap sengketa yang memiliki nilai
finansial paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Nasabah
tidak dapat mengajukan tuntutan finansial melalui lembaga mediasi perbankan
yang diakibatkan oleh keugian imateril.
b. Mediasi di pengadilan
Mediasi di pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBg mengenai
perdamaian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perkara perdata
hakim harus bersifat aktif untuk mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak
yang berperkara, guna menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.
Terwujudnya keadilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan
dambaan dari setiap pencari keadilan dimanapun. Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dirumuskan di dalam Pasal 4 ayat (2) “Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan”. Di dalam perkara perdata hukum harus
membantu para pencari keadilan dan berusaha semaksimal mungkin mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan tersebut.
Untuk pemberdayaan pasal 130 HIR/154 RBg telah dikeluarkan SEMA No. 1
Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam
menerapkan lembaga damai (dading) yang isinya sebagai berikut:
1) Agar semua hakim (majelis hakim) yang menyidangkan perkara secara
sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan
ketentuan pasal 130 HIR/154 RBg, tidak hanya sekedar formalitas
menganjurkan perdamaian.
2) Hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu
para pihak dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data dan argumentasi
para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian.
3) Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang berperkara,
hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang
akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan
mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan berdasarkan informasi
yang diperoleh serta diinginkan masing-masing pihak dalam rangka
perdamaian. Selanjutnya menyetujui proposal perdamaian yang kemudian
dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling
menguntungkan.
4) Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator (mediator) oleh pihak tidak dapat
menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan untuk menjaga
obyektifitas.
5) Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim
yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat
diperpanjang apabila ada alasan untuk ini dengan persetujuan Ketua
Pengadilan Negeri, waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian
perkara sebagiamana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun 1992.
6) Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetsujuan tertulis dan ditanda
tangani, kemudian dibuatkan akta perdamaian (dading), agar dengan akta
perdamaian ini para pihak dihukum untuk menepati apa yang
disepakati/disetujui.
7) Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian dapat dijadikan
bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator / mediator.
8) Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil,
hakim yang bersangkutan melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri/Ketua
Majelis dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh Majelis Hakim
dengan tidak menetapkan peluang bagi para pihak untuk berdamai selama
proses pemeriksaan berlangsung.
9) Hakim yang menjadi fasilitator maupun mediator wajib membuat laporan
kepada Ketua Pengadilan Negeri secara teratur.
10) Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat
dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan.
2.3. Tinjauan Hubungan Kerja
2.3.1. Pengertian Hubungan Kerja
Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha sesungguhnya adalah
hubungan perdata yang didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk
mendapatkan hak dan menjalankan kewajiban masing-masing.8 Sedangkan menurut
UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah
8Libertus Jehani, 2006, Hak-hak Pekerja Bila Di PHK, Visimedia, Jakarta,h 2.
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dari pengertian diatas, jelas bahwa
hubungan kerja terjadi setelah ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja
yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 adalah perjanjian
antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja, hak dan kewajiban para pihak.Sedangkan menurut Pasal 1601a KUHPerdata,
perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan
dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu
tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Dari pengertian perjanjian kerja
menurut KUHPerdata, jelas bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah
hubungan bawahan dan atasan (subordinasi), yaitu pengusaha sebagai pihak yang lebih
tinggi secara sosial ekonomi yang memberikan perintah kepada pihak pekerja yang
secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan
pekerjaan tertentu. Sedangkan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja
bersifat umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Berdasar pengertian perjanjian kerja diatas, maka unsur-unsur perjanjian kerja
yaitu :
1. Adanya unsur pekerjaan
Pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dikerjakan oleh pekerja untuk
kepentingan pengusaha sesuai dengan perjanjian kerja. Pekerjaan harus dikerjakan
sendiri oleh pekerja, dan hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1603a KUHPerdata.
2. Adanya unsur perintah
Pekerja harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai
dengan yang diperjanjikan. Hubungan kerja dalam ketenagakerjaan berbeda dengan
hubungan antara dokter dengan pasien atau pengacara dengan kliennya.
3. Adanya waktu
Dalam melakukan pekerjaan harus ditentukan jangka waktunya agar pengusaha
tidak semena-mena dalam mempekerjakan pekerjanya. Adanya jangka waktu
biasanya terdapat dalam perjanjian kerja untuk pekerja kontrak.
4. Adanya upah
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Syarat sahnya perjanjian secara umum menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah
:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya .
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Sebagaimana perjanjian pada umumnya seperti yang tercantum dalam pasal
1320 KUHPerdata di atas, maka menurut Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan Tahun
2003, perjanjian kerja harus dibuat berdasar atas :
1. Kesepakatan kedua belah pihak.
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Tetapi dewasa ini
perjanjian kerja umumnya secara tertulis, walaupun kadang-kadang masih ada yang
disampaikan secara lisan. Pasal 63 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 membolehkan hal
tersebut dengan syarat perjanjian kerja yang dibuat secara lisan, pengusaha wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan yang berisi antara lain :
1. Nama dan alamat pekerja
2. Tanggal mulai bekerja
3. Jenis pekerjaan
4. Besarnya upah
Dalam perjanjian kerja tertulis harus memuat tentang jenis pekerjaan yang akan
dilakukan, besarnya upah yang akan diterima dan hak serta kewajiban bagi masing-
masing pihak. Secara normatif, bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban
para pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu dalam proses
pembuktian.9
Pasal 54 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja tertulis
memuat :
1. Nama, alamat perusahaan dan jenis usahanya
2. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ buruh
3. Jabatan atau jenis pekerjaan
4. Tempat pekerjaan
5. Besarnya upah dan cara pembayarannya
6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/
buruh
7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat
9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja
Jenis perjanjian kerja dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Perjanjian kerja waktu tertentu
Perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang jangka berlakunya
telah ditentukan. Pekerjaan dapat dikategorikan sebagai perjanjian kerja waktu
tertentu apabila :
9Lalu Husni, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta,h 56.
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama tiga tahun.
c. Pekerjaan yang bersifat musiman.
d. Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan (Pasal 59 UU
Ketenagakerjaan Tahun 2003).
Perjanjian kerja waktu tertentu diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan satu kali dan paling lama dua
tahun.
2. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah
perjanjian dimana waktu berlakunya tidak ditentukan baik dalam perjanjian,
undang-undang maupun dalam kebiasaan. Dalam perjanjian kerja waktu tidak
tertentu dapat memberlakukan masa percobaan kepada pekerjanya asal hal tersebut
dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis atau bila perjanjian kerjanya bersifat
lisan masa percobaan harus dicantumkan dalam surat pengangkatan.
Menurut Pasal 61 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, perjanjian kerja waktu
tidak tertentu berakhir apabila :
1. Pekerja meninggal dunia.
2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja .
3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan/ penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
2.3.2. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hubungan Kerja
Selain perjanjian kerja, ada juga peraturan yang berhubungan erat dengan
hubungan kerja, yaitu peraturan perusahaan. Menurut UU Ketenagakerjaan Tahun
2003, peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.Peraturan perusahaan
merupakan petunjuk teknis dari perjanjian kerja bersama maupun perjanjian kerja yang
dibuat oleh pekerja/ serikat pekerja dengan pengusaha.10
Tetapi menurut Pasal 108 ayat (2) UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 kewajiban
membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki
perjanjian kerja bersama. Menurut Pasal 111 ayat (3) UU Ketenagakerjaan Tahun 2003
Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui
setelah habis masa berlakunyaHal ini dapat dilihat bahwa ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya, tetap
berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian kerja bersama atau disahkannya peraturan
perusahaan baru.
10Ibid,h 79.
Di dalam perjanjian, secara tidak langsung memuat hak dan kewajiban pekerja
dan pengusaha. Secara umum, kewajiban pekerja adalah hak yang diperoleh
pengusaha. Sedangkan kewajiban pengusaha adalah hak yang diterima pekerja.
Kewajiban pengusaha antara lain :
a. Membayar imbalan kerja berupa upah kepada para pekerja
b. Memberikan waktu istirahat dan cuti
c. Mengatur tempat kerja dan alat-alat kerja, serta memberikanpetunjuk pemakaian
untuk menghindari kecelakaan
d. Memberi surat keterangan kepada pekerja yang berhenti bekerja pada suatu
perusahaan
e. Bertindak sebagai pengusaha yang baik
f. Mengurus perawatan dan pengobatan pekerja yang sakit atau mengalami
kecelakaan pada saat bekerja.
Kewajiban pekerja antara lain :
a. Melakukan pekerjaan sendiri tanpa bantuan atau penggantian orang lain di luar
sepengetahuan pengusaha
b. Mentaati tata tertib yang berlaku di perusahaan
c. Membayar denda dan ganti rugi atas kesengajaan atau kelalaianyang dilakukan
d. Bertindak sebagai pekerja yang baik.
2.4. Tinjauan Hubungan Industrial
2.4.1. Pengertian Dan Jenis Hubungan Indutrial
Pada Pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, hubungan industrial
didefinisikan sebagai “Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai‐nilai Pancasila dan Undang‐Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945”. Yang paling mendasar dalam konsep
hubungan industrial adalah kemitra‐sejajaran antara pekerjadan pengusaha yang
keduanya mempunyai kepentingan yang sama, yaitu bersama‐sama ingin
meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan perusahaan.
Keseimbangan antara pengusaha dan pekerja merupakan tujuan ideal yang
hendak dicapai agar terjadi hubungan yang harmonis antara pekerja dan pengusaha
karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah
hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi satu dengan yang lainnya.
Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung
oleh pekerja, demikian pula sebaliknya.
Tujuan hubungan industrial adalah mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, kondusif dan berkeadilan di perusahaan. Ada tiga unsur yang
mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial, yaitu :
a. Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan
b. Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan secara internal/bipartit
c. Mogok kerja oleh pekerja serta penutupan perusahaan oleh pengusaha, tidak perlu
digunakan untuk memaksakan kehendak masing‐masing, karena perselisihan yang
terjadi telah dapat diselesaikan dengan baik.
Ada beberapa jenis hubungan industrial yang kita kenal, yaitu:
1. Hubungan Industrial berdasarkan Demokrasi Liberal.
Hubungan Industrial ini berlandaskan kepada falsafah individualism dan
liberalismeyang dianut negara-negara industri barat pada umumnya.
Ciri-ciri hubungan industrial atas dasar demokrasi liberal ini adalah:
• Pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan yang berbeda. Kepentingan
pihak pekerja adalah bagaimana mendapatkan upah yang setinggi-tinginya
sedangkan kepentingan pihak pengusaha adalah bagaimana keuntungan dapat
dicapai setinggi-tingginya.
• Perbedaan pendapat diselesaikan dengan kekuatan. Buruh/pekerja senjatanya
adalah mogok, sedangkan pengusaha senjatanya adalah pemecatan atau
penutupan perusahaan.
• Pekerja sebagai mahluk pribadi sosial. Partisipasi pekerja dalam membuat
kebijaksanaan; karena pekerja telah dianggap sebagai mahluk sosial (bukan lagi
sebagai mesin) maka ia diikutsertakan didalam membuat kebijaksanaan.
2. Hubungan industrial atas dasar perjuangan kelas (class struggle).
Hubungan industrial ini berlandaskan kepada falsafah marxisme/komunisme, ciri-
cirinya adalah :
• Berdasarkan kepada teori nilai lebihdari Karl Marx, yaitu dimana pengusaha
selalu berusaha agar ada nilai lebih yang bias didapatkan untuk ditambahkan
kepada upah buruh/pekerja.
• Pekerja dan pengusaha adalah dua pihakyang bertentangan kepentingan.
3. Hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup (long life employment).
Hubungan industrial semacam ini ditemukan di Jepang, yaitu berlandaskan kepada
falsafah dan budaya Jepang.
4. Hubungan Industrial Pancasila (HIP).
Hubungan Indutrial Pacasila adalah hubungan industrial yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah)
yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-
sila dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tumbuh dan berkembang
diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.
2.4.2. Peran Para Pihak Dalam Hubungan Industrial
Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pihak dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur penguasa,
pekerja/buruh, dan pemerintah. Peran para pihak dalam hubungan industrial adalah
sebagai berikut :
1. Peran pemerintah :
- menetapkan kebijakan ;
- memberikan pelayanan ;
- melaksanakan pengawasan ;
- melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.
2. Peran pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh :
- menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya ;
- menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi ;
- menyalurkan aspirasi secara demokratis ;
- mengembangkan keterampilan dan keahliannya ;
- memajukan perusahaan ;
- memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
3. Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya :
- menciptakan kemitraan ;
- mengembangkan usaha ;
- memperluas lapangan kerja ;
- memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan
berkeadilan.
2.4.3. Lembaga-lembaga Dalam Hubungan Industrial
Agar tertibnya kelangsungan dan suasana bekerja dalam hubungan industrial,
maka perlu adanya peraturan‐peraturan yang mengatur hubungan kerja yang harmonis
dan kondusif. Peraturan tersebut diharapkan mempunyai fungsi untuk mempercepat
pembudayaan sikap mental dan sikap sosial hubungan industrial. Oleh karena itu setiap
peraturan dalam hubungan kerja tersebut harus mencerminkan dan dijiwai oleh nilai‐
nilai budaya dalam perusahaan, terutama dengan nilai‐nilaiyang terdapat dalam
hubungan industrial.
Dengan demikian maka kehidupan dalam hubungan industrial berjalan sesuai
dengan nilai‐nilai budaya perusahaan tersebut. Dengan adanya pengaturan mengenai
hal‐hal yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan pengusahadalam melaksanakan
hubungan industrial, maka diharapkan terjadi hubungan yang harmonis dankondusif.
Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud
dalam pasal 103 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 bahwa hubungan industrial
dilaksanakan melalui lembaga-lembaga sebagai berikut :
1. Lembaga kerja sama bipartit.
Adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi yang dibentuk oleh pekerja
dan pengusaha.Setiap pengusaha yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang
pekerja atau lebih dapat membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan
anggota‐anggota yang terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang ditunjuk
berdasarkan kesepakatan dan keahlian.
LKS Bipartit bertugas dan berfungsi sebagai Forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah dalam memecahkan permasalahan‐permasalahan ketenagakerjaan
pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja. Para manager
perusahaan diharapkan ikut mendorong berfungsinya Lembaga Kerjasama Bipartit,
khususnya dalam hal mengatasi masalah bersama, misalnya penyelesaian
perselisihan industrial.
2. Lembaga kerja sama tripartit.
Lembaga kerjasama tripartit merupakan LKS yang anggota‐anggotanya terdiri dari
unsur-unsur pemerintahan, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Fungsi
lembaga kerjasama tripartit adalah sebagai forum komunikasi, konsultasi dengan
tugas utama menyatukan konsepsi, sikap dan rencana dalam menghadapi masalah‐
masalah ketenagakerjaan, baik berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul
karena faktor-faktor yang tidak diduga maupun untuk mengatasi hal‐hal yang akan
datang.
3. Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh.
Organisasi pekerja adalah suatu organisasi yang didirikan secara sukarela dan
demokratis dari, oleh dan untuk pekerja dan berbentuk Serikat Pekerja, Gabungan
serikat Pekerja, Federasi, dan Non Federasi. Kehadiran Serikat Pekerja di
perusahaan sangat penting dan strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan
hubungan industrial.
4. Organisasi Pengusaha.
Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi
pengusaha yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang khusus menangani
bidang ketenagakerjaan dalam rangka pelaksanaan hubungan industrial. Hal
tersebut tercermin dari visinya yaitu terciptanya iklim usaha yang baik bagi dunia
usaha dan misinya adalah meningkatkan hubungan industrial yang harmonis
terutama ditingkat perusahaan, merepresentasikan dunia usaha Indonesia di lembaga
ketenagakerjaan, dan melindungi,membela dan memberdayakan seluruh pelaku
usaha khususnya anggota. Untuk menjadi anggota APINDO Perusahaan dapat
mendaftar di Dewan Pengurus Kota/Kabupaten (DPK) atau di Dewan Pengurus
Privinsi (DPP) atau di Dewan Pengurus Nasional (DPN)
top related