BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kelelahan Kerja Pengertian ... II.pdf · ... kelelahan kerja dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kinerja yang berakibat pada peningkatan ... dimana tubuh
Post on 06-Mar-2019
255 Views
Preview:
Transcript
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kelelahan Kerja
Pengertian kelelahan kerja
Banyak pengertian mengenai kelelahan kerja yang telah dikemukakan oleh
para ahli. Secara garis besar kelelahan kerja merupakan suatu kondisi yang timbul
karena aktivitas individu hingga individu tersebut tidak mampu lagi mengerjakannya.
Dengan kata lain, kelelahan kerja dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kinerja
yang berakibat pada peningkatan kesalahan kerja dan berujung pada kecelakaan kerja
(Nurmianto, 2004).
Beberapa teori oleh para ahli mengenai definisi kelelahan kerja, yaitu menurut:
a. Nurmianto (2004), kelelahan merupakan kondisi dimana tubuh mengalami
kehabisan energi karena perpanjangan kerja yang dilakukan. Kelelahan sering
muncul pada jenis pekerjaan yang dilakukan secara berulang-ulang atau monoton.
b. Suma’mur (2009), kelelahan merupakan kondisi yang menunjukkan keadaan tubuh
baik fisik maupun mental yang semuanya berakibat pada penurunan daya kerja serta
ketahanan tubuh.
c. Tarwaka (2014), kelelahan merupakan suatu bagian dari mekanisme tubuh untuk
melakukan perlindungan agar tubuh terhindar dari kerusakan yang lebih parah, dan
akan kembali pulih apabila melakukan istirahat.
8
Jenis kelelahan
Menurut Suma’mur (2009) dan Tarwaka (2014), kelelahan dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Kelelahan menurut proses
a. Kelelahan otot, merupakan kelelahan yang ditandai dengan kondisi tremor
atau perasaan nyeri pada otot. Kelelahan ini terjadi karena penurunan
kapasitas otot dalam bekerja akibat dari kontraksi yang berulang, baik
karena gerakan yang statis maupun dinamis. Sehingga seseorang tampak
kehilangan kekuatannya untuk melakukan pekerjaan.
b. Kelelahan umum, merupakan kelelahan yang ditandai dengan berkurangnya
kemauan untuk bekerja karena pekerjaan yang monoton, intensitas, lama
kerja, kondisi lingkungan, sesuatu yang mempengaruhi mental, status gizi,
dan status kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardiani (2011)
juga membuktikan bahwa sebesar 60% pekerja buruh angkut dengan sikap
kerja yang tidak baik mengalami kelelahan secara umum.
2. Kelelahan menurut waktu
a. Kelelahan akut, merupakan kelelahan yang ditandai dengan kehabisan
tenaga fisik dalam melakukan aktivitas, serta akibat beban mental yang
diterima saat bekerja. Kelelahan ini muncul secara tiba-tiba karena organ
tubuh bekerja secara berlebihan.
b. Kelelahan kronis, juga disebut dengan kelelahan klinis yaitu kelelahan yang
diterima secara terus-menerus karena faktor atau kegiatan yang dilakukan
berlangsung lama dan sering. Kelelahan ini sering terjadi sepanjang hari
dalam jangka waktu yang lama, serta kadang muncul sebelum melakukan
9
pekerjaan dan menimbulkan keluhan seperti sakit kepala, sulit tidur, hingga
masalah pencernaan.
Gejala kelelahan
Daftar gejala-gejala kelelahan atau perasaan yang berhubungan dengan
kelelahan menurut Suma’mur (2009):
Tabel 2.1 Gejala-gejala Kelelahan
Sedangkan gejala-gejala kelelahan menurut Nurmianto (2004) hanya terdiri atas empat
gejala, yaitu:
1. Rasa letih, lelah, lesu, dan lemah (4L)
2. Mengantuk
3. Motivasi kerja menurun
4. Rasa pesimis
Gejala Kelelahan
1. Perasaan berat di kepala
2. Lelah di seluruh badan
3. Kaki terasa berat
4. Sering menguap
5. Pikiran terasa kacau
6. Mudah mengantuk
7. Terasa berat pada mata
8. Kaku dan canggung dalam
gerakan
9. Tidak seimbang dalam berdiri
10. Mau berbaring
11. Sulit berpikir
12. Lelah bicara
13. Menjadi gugup
14. Tidak mampu berkonsentrasi
15. Tidak dapat memusatkan
perhatian terhadap sesuatu
16. Cenderung untuk mudah lupa
17. Kurang kepercayaan
18. Cemas terhadap sesuatu
19. Tidak mampu mengontrol
sikap
20. Tidak bisa tekun dalam
melakukan pekerjaan
21. Sakit kepala
22. Kaku pada bahu
23. Nyeri pada punggung
24. Pernafasan terasa tertekan
25. Haus
26. Suara serak
27. Merasa pening
28. Spasme pada kelopak mata
29. Tremor pada anggota badan
30. Merasa kurang sehat
10
Pengukuran kelelahan
Hingga saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara
langsung dan akurat. Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian-penelitian
sebelumnya menjadi indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan kerja. Menurut
Grandjean (1997) metode pengukuran kelelahan dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kualitas dan kuantitas kerja
Dalam metode ini, kualitas output digambarkan sebagai suatu jumlah proses
kerja atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Jumlah proses kerja
yang dimaksudkan adalah waktu yang digunakan dalam setiap item. Namun
demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti, target produksi,
faktor sosial, dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas output
berupa kerusakan produk maupun penolakan produk atau frekuensi kecelakaan
dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tapi faktor tersebut bukanlah faktor
penyebab atau (causal factor). Kuantitas kerja dapat dilihat pada prestasi kerja
yang dinyatakan dalam banyaknya produksi per satuan waktu. Dan untuk kualitas
kerja diperoleh dari menilai jumlah kesalahan, jumlah produk yang ditolak, serta
jumlah kerusakan material (Tarwaka, 2014).
2. Uji psikomotor (psychomotor test)
Metode ini menggunakan fungsi persepsi, interpretasi, dan reaksi motorik.
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan pengukuran waktu reaksi. Waktu
reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsangan sampai kepada suatu
saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat
digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit, atau goyangan badan.
Terjadinya perpanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya perlambatan
pada proses faal syaraf dan otot (Grandjean, 1997).
11
Menurut Sanders dan McCormick (1987) dalam Tarwaka (2014) waktu reaksi
adalah waktu untuk membuat suatu respon yang spesifik saat suatu stimulasi
terjadi. Waktu stimulasi terpendek biasanya berkisar antara 150 hingga 200
milidetik. Waktu reaksi tergantung dari beberapa aspek yaitu, stimuli yang dibuat,
umur subyek, intensitas dan lamanya perangsangan, serta perbedaan-perbedaan
individu lainnya.
Alat ukur waktu reaksi yang telah berkembang di Indonesia menggunakan
nyala lampu dan denting suara sebagai stimulinya, contohnya adalah reaction
timer. Pengukuran menggunakan reaction timer bertujuan untuk mengetahui
tingkat kelelahan responden yang hasilnya nanti lebih bernilai kuantitatif, maka
dalam penelitian ini alat yang digunakan adalah reaction timer. Berikut ini adalah
kriteria kelelahan menurut Balai Hiperkes (2004).
Tabel 2.2 Kriteria Kelelahan Menurut Balai Hiperkes Tahun 2004
Kriteria Waktu Reaksi
Normal 150 hingga 240 milidetik
Kelelahan Kerja Ringan (KKR) >240 hingga <410 milidetik
Kelelahan Kerja Sedang (KKS) 410 hingga <580 milidetik
Kelelahan Kerja Berat (KKB) ≥580 milidetik
3. Uji hilangnya kelipan (flicker-fusion test)
Dalam kondisi lelah, kemampuan seorang tenaga kerja untuk melihat kelipan
akan berkurang. Apabila kondisinya semakin lelah, maka akan semakin panjang
waktu yang diperlukan untuk melihat jarak antara dua kelipan. Di samping untuk
mengukur kelelahan, uji kelipan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga
kerja (Tarwaka, 2014).
12
4. Pengukuran kelelahan secara subyektif (subjective feelings of fatigue)
Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research Committee
(IFRC) Jepang yang merupakan salah satu kuesioner yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kelelahan secara subyektif. Kuesioner tersebut terdiri atas 30
pertanyaan yang terbagi atas 10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan, 10
pertanyaan pelemahan motivasi, dan 10 pertanyaan tentang gambaran kelelahan
fisik. Jika metode ini digunakan hanya untuk beberapa orang pekerja di suatu
populasi kerja yang besar, maka hasilnya tidak akan valid (Tarwaka, 2014).
Akibat kelelahan
Kelelahan merupakan komponen fisik dan psikis seseorang. Kelelahan yang
terjadi secara terus-menerus akan berakibat kepada kelelahan kronis (Suma’mur,
2009). Menurut Tarwaka (2014) kerja fisik yang memerlukan konsentrasi yang terus-
menerus dapat menyebabkan kelelahan fisiologis hingga terjadi perubahan faal dan
penurunan keinginan untuk melakukan suatu aktivitas kerja yang dikarenakan oleh
kelelahan psikis. Semakin berat beban kerja seseorang maka akan semakin pendek
waktu kerja yang dijalankan untuk bekerja tanpa mengalami kelelahan dan gangguan
fisiologi lain. Namun apabila beban kerja yang diterima seseorang melebihi
kapasitasnya, maka akan menimbulkan kelelahan dan gangguan fisiologis seperti
gangguan pada sistem kardiovaskular (Tarwaka, 2014). Perasaan lelah tidak hanya
dirasakan pada saat setelah bekerja, tetapi juga bisa dirasakan sebelum melakukan
pekerjaan dan saat melakukan pekerjaan. Kelelahan akibat kerja dapat ditanggulangi
dengan menyediakan sarana istirahat, memberi waktu libur, penerapan ergonomi,
lingkungan kerja yang sehat dan nyaman (Eraliesa, 2009).
13
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan
Karakteristik individu
1. Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan kerja
seorang individu. Pemakaian energi per-jam pada kondisi dari kerja otot untuk tiap
orang itu berbeda, dan salah satunya adalah faktor usia. Menurut Suma’mur (2009)
kerja otot memiliki peranan penting dalam meningkatkan kebutuhan kalori seseorang
dan salah satunya adalah kebutuhan akan metabolisme basal atau Basal Metabolic
Rate (BMR). Basal Metabolic Rate merupakan jumlah energi yang digunakan untuk
proses mengolah bahan makanan dan oksigen menjadi energi untuk mempertahankan
tubuh. Metabolisme basal seorang anak akan berbeda dengan orang dewasa, karena
anak-anak akan membutuhkan energi lebih banyak pada masa pertumbuhannya.
Dengan kata lain, faktor usia seseorang akan mempengaruhi metabolisme basal dari
individu tersebut. Semakin tua individu tersebut maka metabolisme basal akan
semakin menurun dan individu tersebut akan mudah mengalami kelelahan (Mahan &
Stump, 2008).
Melalui penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2009) diperoleh sebanyak
61,5% pekerja yang berusia di atas 41 tahun mengalami kelelahan. Dengan rincian
50% menyatakan sangat lelah dan 11,5% menyatahan lelah. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Mentari (2012) juga memperlihatkan bahwa persentase individu
dengan usia di atas 45 tahun 57,6% lebih mudah mengalami kelelahan daripada yang
berusia di bawah 45 tahun. Pekerja yang berusia lanjut akan merasa cepat lelah dan
tidak mampu lagi untuk bekerja dengan cepat (Umyati, 2010). Maka dapat
disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki usia lebih muda akan sanggup
melakukan pekerjaan berat daripada yang berusia tua.
14
2. Masa kerja
Faktor lain yang mempengaruhi kelelahan kerja adalah masa kerja. Masa kerja
merupakan panjangnya waktu bekerja terhitung mulai pertama kali masuk kerja
hingga dilakukannya penelitian (Amalia, 2007 dan Umyati, 2010). Pengalaman kerja
seseorang akan mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja. Karena semakin lama
seseorang bekerja dalam suatu perusahaan, maka selama itu perasaan jenuh akan
pekerjaannya akan mempengaruhi tingkat kelelahan yang dialaminya (Langgar, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Umyati (2010) membuktikan bahwa masa
kerja yang lebih lama akan mempengaruhi kelelahan. Kelelahan kerja yang paling
banyak dialami oleh pekerja dengan masa kerja lebih dari 8 (delapan) tahun sebesar
69,7%. Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati (2009) kelelahan
banyak dialami oleh pekerja dengan masa kerja lebih dari 15 tahun yaitu sebanyak 32
orang (69,6%).
3. Status gizi
Dalam hubungan pekerjaan, makanan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja
adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka terutama untuk menambah kalori
ketika melakukan pekerjaan. Untuk pekerja yang bekerja pada suhu tinggi, harus
diperhatikan juga kebutuhan air dan garam mereka sebagai pengganti cairan tubuh
yang keluar akibat proses penguapan (Suma’mur, 2009). Selain itu makanan juga
dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan proses metabolisme, yaitu mengubah bahan
makanan yang masuk ke tubuh menjadi energi yang digunakan selama kerja fisik.
Kerja fisik adalah kerja yang membutuhkan energi fisik sebagai sumber tenaganya
pada otot manusia. Kerja fisik biasa dikonotasikan dengan kerja berat atau kerja otot.
Kerja otot yang berat akan memerlukan konsumsi energi yang besar. Salah satu
15
kebutuhan utama penggerak otot adalah kebutuhan oksigen yang dibawa oleh darah
ke otot untuk proses pembakaran zat yang menghasilkan energi (Tarwaka, 2014).
Proses metabolisme tertinggi dan begitu cepat berada selama periode
pertumbuhan seorang anak, terutama pada tahun-tahun pertama dan kedua kehidupan
anak tersebut (1000 hari pertama kehidupan). Dalam tubuh seorang bayi yang sedang
tumbuh, dapat menyimpan sebanyak 12% sampai 15% nilai energi yang berasal dari
makanan mereka untuk bentuk jaringan baru. Seiring berjalannya waktu seorang anak
akan tumbuh dan menjadi lebih tua, maka kebutuhan kalori untuk pertumbuhannya
juga berkurang menjadi sekitar 1% dari kebutuhan energi total (Mahan & Stump,
2008).
Dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli, status gizi biasanya
diukur dengan penghitungan indeks massa tubuh (IMT) dengan membandingkan berat
badan dan tinggi badan (BB/TB2). Menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2003) batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Batas Ambang IMT Indonesia
Laki-laki
(kg/m2) Perempuan
(kg/m2)
Kurus <17 <18
Normal 17-23 18-25
Kegemukan 23-27 25-27
Obesitas >27 >27
Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Adi (2013) dan Langgar (2014)
memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan kelelahan kerja.
Dalam penelitian tersebut dibuktikan bahwa orang dengan status gizi yang rendah akan
mudah mengalami kelelahan. Karena kekurangan gizi yakni berupa kalori akan
mempengaruhi kemampuan kerja, waktu untuk menyelesaikan pekerjaan akan
16
semakin panjang. Penelitian lain milik Eraliesa (2009) juga membuktikan bahwa status
gizi mempengaruhi kelelahan kerja dengan rincian, sebesar 26,9% pekerja dengan
status gizi baik mengalami kelelahan. Kemudian sebesar 38,5% kelelahan dialami
oleh pekerja dengan status gizi sedang, dan sisanya (34,6%) adalah pekerja dengan
status gizi kurang.
4. Status perkawinan
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang biasa disebut sebagai
Undang-undang Perkawinan, kata perkawinan memiliki arti sebagai ikatan batin
antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (Mas, 1993). Sedangkan menurut pendapat para ahli yakni Duvall dan
Miller (1985) perkawinan merupakan hubungan antara pria dan wanita yang berupa
hubungan seksual dengan tujuan untuk memiliki keturunan serta membagi peran
menjadi suami dan istri.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2009) dan Mauludi (2010),
terdapat hubungan antara status perkawinan dengan tingkat kelelahan kerja. Seseorang
yang sudah menikah dan memiliki anak akan lebih mudah mengalami kelelahan,
karena waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat digunakan untuk
mengurus dan memperhatikan anak dan istri atau keluarganya (Hidayat, 2003 dan
Mauludi, 2010).
5. Status kesehatan
Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pengertian
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
17
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Grafika, 1992). Dalam
kehidupan sehari-hari kesehatan merupakan hal yang patut diutamakan terutama bagi
para pekerja. Karena apabila pekerja tersebut dalam kondisi sehat, maka mereka
mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik sehingga produktivitas perusahaan
tempat mereka bekerja juga meningkat. Namun apabila pekerja tersebut mengalami
sakit, maka produktivitas kerja juga menurun. Manusia dan beban kerja tidak dapat
dipisahkan, apabila salah satunya terganggu maka akan berakibat pada gangguan daya
kerja, kelelahan, gangguan kesehatan, hingga cacat dan kematian (Suma’mur, 2009).
Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu dari penyebab kelelahan kerja adalah
kondisi kesehatan dari pekerja tersebut. Riwayat penyakit yang dimiliki oleh seorang
pekerja akan mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja. Tidak mungkin seseorang
dapat menyelesaikan pekerjaan dalam kondisi sakit (Hasibuan, 2000 dan Mauludi,
2010).
Penyakit yang dialami oleh seorang pekerja mungkin saja berasal dari
pekerjaannya tersebut dan berasal dari riwayat keturunan. Untuk penyakit yang berasal
dari riwayat keturunan memang tidak bisa dihindari seperti penyakit diabetes, jantung
koroner, obesitas dan lain-lain. Namun penyakit yang berasal dari jenis pekerjaannya
bisa dicegah. Penyakit yang berasal dari jenis pekerjaannya disebut denga penyakit
akibat kerja. Penyakit ini muncul karena beberapa faktor risiko yaitu, kondisi tempat
kerja, peralatan kerja, material yang digunakan, proses produksi, cara kerja, limbah
serta hasil produksinya (Buchari, 2007).
Jam kerja
Waktu kerja bagi seseorang dapat menentukan efisiensi dan produktivitasnya.
Hal-hal yang penting untuk persoalan waktu kerja terdiri atas (Suma’mur, 2009):
18
1. Lamanya seseorang untuk mampu bekerja dengan baik.
2. Hubungan antara waktu kerja dan istirahat.
3. Waktu bekerja sehari menurut periode meliputi siang dan malam.
Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lamanya
seseorang bekerja dalam sehari adalah 8 (delapan) jam atau 40 jam seminggu.
Sedangkan untuk lembur, waktu yang diperbolehkan maksimal 3 (tiga) jam/hari.
Makin panjang jam kerja maka makin besar kemungkinan untuk terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan seperti penyakit dan kecelakaan kerja. Pekerjaan kategori biasa yakni
tidak terlalu berat atau ringan, produktivitas seseorang akan menurun setelah 4 (empat)
jam bekerja. Keadaan ini sejalan dengan penurunan kadar gula dalam darah. Oleh
karena itu diperlukan waktu untuk istirahat dan kesempatan makan untuk menambah
kembali energi tubuh. Istirahat selama 30 menit setelah bekerja 4 (empat) jam kerja
terus menerus sangat penting untuk dilakukan (Suma’mur, 2009).
Untuk persoalan periode kerja siang atau malam, perlu dilakukannya kerja
secara bergilir (shift), terutama untuk bekerja pada malam hari. Hal tersebut dilakukan
karena bekerja pada malam hari akan membuat irama faal manusia menjadi terganggu,
metabolisme tubuh juga menjadi tidak sempurna, mudah mengalami kelelahan kerja,
dan sistem pencernaan menjadi terganggu (Nurmianto, 2004 dan Suma’mur, 2009).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Umyati (2010) dan Irma dkk. (2014)
kejadian kelelahan terjadi pada pekerja setelah bekerja lebih dari 8 (delapan) jam/hari.
Sedangkan menurut Handayani (2010) terdapat hubungan yang bermakna
antara lama jam kerja dengan kejadian kelelahan kerja dengan rincian pekerja yang
bekerja shift pagi dengan kategori sangat lelah sebanyak 13,2% sedangkan pekerja
pada shift malam pada kategori yang sama sebanyak 21%. Penelitian yang dilakukan
Ihsan (2012) dengan alat reaction timer menunjukkan hasil yang berbeda, pada pekerja
19
shift I (pagi) diperoleh rata-rata reaksi sebesar 284,79 milidetik, dan shift II (malam)
diperoleh rata-rata reaksi sebesar 307,76 milidetik. Ini termasuk dalam kategori
kelelahan kerja ringan, dimana kelelahan kerja ringan memiliki rentang waktu reaksi
antara 240 hingga 410 milidetik. Dari penelitian-penelitian tersebut dapat dibuktikan
bahwa jam kerja yang melebihi 8 jam/hari dapat menimbulkan kelelahan kerja yang
bisa memicu terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (Suma’mur, 2009).
Lingkungan kerja
Lingkungan kerja menurut Tarwaka (2014) dapat memberikan beban tambahan
kepada pekerja meliputi:
1. Lingkungan kerja fisik, seperti suhu udara, kelembaban udara, radiasi,
intensitas penerangan, dan kebisingan.
2. Lingkungan kerja kimiawi, seperti debu, gas pencemar, uap logam, dan fume
dalam udara.
3. Lingkungan kerja biologis, seperti bakteri, virus, jamur, serangga, dan binatang
pengganggu.
4. Lingkungan kerja psikologis, seperti hubungan antara pekerja, stres kerja,
pemilihan dan penempatan tenaga kerja.
Untuk jenis pekerjaan di luar ruangan seperti konstruksi bangunan, faktor lingkungan
kerja yang paling diperhatikan adalah faktor lingkungan fisik seperti pengukuran
kebisingan dan suhu atau cuaca kerja. Kemudian untuk faktor lingkungan kimiawi
meliputi debu, faktor lingkungan biologis seperti virus dan binatang pengganggu,
serta faktor lingkungan psikologis seperti stres kerja. Berikut ini adalah penjelasan
mengenai faktor-faktor tersebut.
a. Kebisingan
20
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.
13/Men/X/2011 tahun 2011, tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor
Kimia di Tempat Kerja, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Selain itu menurut Suma’mur
(2009) kebisingan adalah bunyi yang didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada
telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut
tidak dikehendaki. Nilai ambang batas kebisingan ditetapkan sebesar 85 dBA
(Kemenakertrans, 2011). Jenis-jenis kebisingan menurut Suma’mur (2009) dibedakan
menjadi 5 (lima), yaitu:
1. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi luas, contohnya kipas angin.
2. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit, contohnya gergaji
sirkuler.
3. Kebisingan terputus-putus, contohnya suara pesawat terbang.
4. Kebisingan impulsif, contohnya ledakan meriam.
5. Kebisingan impulsif berulang, contohnya mesin tempa di perusahaan.
Alat ukur utama untuk kebisingan adalah soundlevel meter. Kebisingan akan
mempengaruhi kesehatan seseorang. Dimana pengaruh dari kebisingan adalah
kerusakan pada indera pendengar yang menyebabkan ketulian (Suma’mur, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mauludi (2010) membuktikan bahwa kebisingan
(>85 dBA) mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja berat sebesar 53,3%. Didukung
juga penelitian dengan kebisingan di tempat kerja lebih dari 85 dBA dilaporkan 60%
dari pekerjanya mengalami kelelahan kerja (Irma dkk., 2014). Maka berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, kebisingan yang merupakan bagian dari faktor
lingkungan fisik mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja (Suma’mur, 2009).
21
b. Cuaca kerja
Disebut juga dengan iklim kerja yang menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 tahun 2011, tentang Nilai Ambang
Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja merupakan hasil perpaduan
antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi, dengan tingkat
pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat dari pekerjaannya, yang
dimaksudkan dalam peraturan ini adalah iklim kerja panas. Tubuh manusia memiliki
sistem untuk mempertahankan suhu tubuh. Hal ini terjadi karena keseimbangan antara
panas yang dihasilkan di dalam tubuh akibat dari metabolisme dan pertukaran panas
yang ada pada tubuh dengan lingkungan sekitar. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertukaran panas di antara tubuh dengan lingkungan sekitar adalah konduksi,
konveksi, radiasi, dan penguapan. Konduksi merupakan proses pertukaran panas yang
ada dalam tubuh dengan benda-benda di sekitarnya. Panas tubuh dapat menghilang
apabila benda-benda di sekitarnya suhunya lebih dingin, dan dapat menambah panas
tubuh apabila suhu di sekitarnya juga panas. Konveksi adalah pertukaran panas tubuh
dengan lingkungan melalui kontak udara. Tanda tubuh yang paling umum apabila
mengalami suhu yang panas adalah dengan mengeluarkan keringat. Tekanan suhu
yang tinggi akan mengakibatkan heat cramps, heat exhaustion, heat stroke, dan
miliaria (Suma’mur, 2009).
Alat ukur suhu adalah termometer bola disertai indeks suhu basah dan bola
(ISBB). Suhu yang ideal untuk orang Indonesia adalah 24oC sampai 26oC (Suma’mur,
2009). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Per.13/Men/X/2011 tahun 2011, tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor
Kimia di Tempat Kerja, nilai ambang batas ISBB yang diperkenankan adalah 32,2oC
untuk kategori kerja ringan, dan 31,1oC untuk kategori kerja sedang, serta 30,5oC
22
untuk kategori kerja berat pada 0% hingga 25% waktu kerja setiap jam
(Kemenakertrans, 2011).
c. Debu
Debu merupakan salah satu masalah yang paling sering ditemui pada jenis
pekerjaan luar ruangan seperti konstruksi bangunan. Debu yang dihirup oleh para
pekerja konstruksi dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan, salah satunya
adalah penyakit pneumoconiosis. Penyakit ini disebabkan oleh penimbunan debu-debu
dalam paru-paru. Tergantung dari jenis debu yang tertimbun dalam paru-paru, maka
nama penyakitnya juga berbeda. Misalnya saja timbunan debu asbes dalam paru-paru
disebut dengan asbestosis. Untuk pengendalian hazard debu dalam pekerjaan
konstruksi bangunan memang sulit dilakukan, karena debu yang dihirup oleh pekerja
bermacam-macam jenisnya (Suma’mur, 2009).
d. Virus dan binatang pengganggu
Faktor biologis merupakan salah satu beban tambahan yang dialami pekerja
saat melakukan pekerjaan. Khusus untuk pekerjaan yang berada di luar ruangan seperti
konstruksi bangunan, faktor lingkungan biologis yang rentan diterima oleh pekerja
bisa berupa virus dan binatang penganggu. Virus yang diterima oleh pekerja bisa
berasal dari penyakit infeksi atau penyakit menular yang dialami oleh pekerja lainnya,
contohnya saja penyakit tuberkulosis. Penyakit ini dapat ditularkan melalui udara dari
pekerja satu ke pekerja lainnya. Sedangkan untuk binatang pengganggu yang rentan
diterima oleh pekerja konstruksi adalah cacing berkaitan dengan penyakit kecacingan,
kutu berkaitan dengan penyakit kulit, nyamuk berkaitan dengan penyakit malaria atau
23
demam berdarah, dan binatang lainnya yang berisiko menularkan penyakit kepada
pekerja (Suma’mur, 2009).
e. Stres kerja
Menurut Manuaba (1998) dalam Tarwaka (2014), stres merupakan segala
rangsangan dari tubuh manusia yang berasal dari dalam maupun luar yang dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif yang dimulai dari menurunnya kesehatan
hingga timbulnya penyakit. Banyak hal yang dapat menjadi faktor timbulnya stres,
seperti kondisi individu itu sendiri, ciri kepribadian individu tersebut, hubungan sosial,
hingga strategi untuk menghadapi stres yang muncul. Apabila stres tersebut tidak
ditangani dengan baik maka akan menimbulkan beberapa efek samping seperti
depresi, gangguan tidur, dan gangguan mental (Tarwaka, 2014).
PT. Adhi Karya Divisi Konstruksi IV Wilayah Operasional II Bali dan Proses
Kerja
PT. Adhi Karya Divisi Konstruksi IV Wilayah Operasional II Bali
PT Adhi Karya (ADHI) merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di
bidang konstruksi di Indonesia. Bisnis dari perusahaan ini berupa layanan konstruksi,
Engineering, Procurement, and Contruction (EPC), investasi infrastruktur, properti,
dan real estate. PT. Adhi Karya memiliki sebelas cabang yang tersebar di seluruh
Indonesia. Diantaranya adalah Medan, Padang, Pekanbaru, Bandar Lampung,
Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, Makasar, Bali, dan Jayapura. Khusus
untuk Bali, pada awalnya kawasan ini termasuk ke dalam Divisi Konstruksi IV
Wilayah Operasional III. Namun sejak Januari 2013, Bali berada di bawah pimpinan
24
Surabaya yakni Divisi Konstruksi IV Wilayah Operasional II yang terdiri dari Jawa
Timur, Bali, NTB dan NTT.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada proyek pembangunan gedung
parkir dan studio tari Institut Seni Indonesia Denpasar yang dilakukan oleh PT. Adhi
Karya Divisi Konstruksi IV Wilayah Operasional II Bali secara garis besar komponen
konstruksi terdiri dari empat tahapan, yaitu:
1. Tahap perencanaan.
Tahap ini merupakan tahap awal kegiatan yang meliputi, kegiatan perekrutan
konsultan pengawas, melaksanakan survei lapangan, melakukan studi kelayakan
proyek, pemilihan desain dan skema desain, serta perancangan budget dan
finansialnya.
2. Tahap perancangan.
Tahap perancangan ini terdiri dari:
a. Pra rancangan yang mencakup kriteria desain dan gambar situasi tata ruang.
b. Pengembangan rancangan yang mencakup perhitungan detail dalam struktural
dan non struktural, gambar-gambar detail, dan estimasi cost konstruksi.
c. Desain akhir dan penyiapan dokumen pelaksanaan.
3. Tahap pengadaan.
Pada tahap ini dilakukannya pengadaan untuk konsultan perencanaan konstruksi
dan konsultan pengawas konstruksi.
4. Tahap pelaksanaan.
Tahap pelaksanaan meliputi beberapa kegiatan yaitu:
a. Rencana kerja (schedule)
b. Rencana lapangan seperti peletakan bahan, alat, dan bangunan
c. Organisasi lapangan
25
d. Pengadaan material
e. Pengadaan alat
f. Pengadaan tenaga
g. Pengukuran (stake out)
Proses kerja
Seperti yang dilakukan pada proyek pembangunan gedung parkir dan studio
tari di Institut Seni Indonesia Denpasar, PT. Adhi Karya memperkerjakan pekerja
dengan keahlian dan proses kerja yang tidak sama. Berikut ini adalah proses kerja
pekerja proyek konstruksi bangunan.
1. Pekerja pemasangan rangka baja
Pekerja pemasangan rangka baja biasa melakukan pekerjaannya pada siang
hari. Karena pemasangan rangka baja sangat bergantung pada penerangan.
Pekerja pemasangan baja ini bekerja mulai dari pukul 08.00 hingga 17.00,
dengan waktu istirahat selama 1 jam (pukul 12.00-13.00). Dari segi jam kerja,
pekerja pemasangan rangka baja termasuk kategori ringan. Namun berdasarkan
beban tambahan yang diperoleh di lapangan, pekerja pemasangan rangka baja
bekerja di bawah sinar matahari langsung pada suhu yang lumayan panas
terutama saat musim kemarau. Baja juga bukan jenis benda yang ringan, butuh
tenaga yang besar untuk mengangkatnya walau hanya untuk dipindahkan
beberapa centimeter saja.
2. Pekerja pembesian
Pekerja pembesian melakukan pekerjaan wajibnya mulai pukul 08.00 hingga
17.00. Apabila mereka lembur, maka mereka mendapatkan tambahan waktu
26
kerja mulai pukul 18.00 hingga 22.00. Secara keseluruhan total tambahan
waktu lembur yang mereka peroleh adalah 4 (empat) jam/hari. Dan waktu
lembur tersebut lebih dari waktu lembur yang seharusnya (3 jam/hari). Dalam
hal jam kerja, pekerja pembesian menerima jam kerja yang lebih dari normal
(11 jam/hari termasuk lembur). Dikarenakan jumlah pekerja pembesian sedikit,
maka semua pekerja melakukan lembur hampir setiap hari.
3. Pekerja bekisting vertikal dan horizontal
Pekerjaan bekisting adalah proses pemasangan plat yang terbuat dari besi
sebagai rangka untuk membangun pondasi. Pembangunan pondasi dinding dan
tiang-tiang tersebut dinamakan bekisting vertikal. Kemudian dilakukan
pemasangan kayu dan tripleks secara horizontal yang nantinya berguna sebagai
rangka pondasi lantai disebut dengan bekisting horizontal. Setelah rangka-
rangka tersebut jadi, maka dilakukanlah pemadatan pondasi dengan semen.
Pemadatan bekisting dibantu dengan alat mobil cor sehingga mempermudah
pekerjaan mereka. Dalam hal jam kerja, pekerja bekisting memiliki waktu kerja
yang hampir sama dengan pekerja pembesian. Mereka memulai pekerjaan
pukul 08.00 hingga 17.00. Pekerja yang melakukan lembur malam akan
melanjutkan pekerjaannya kembali pukul 18.00 hingga 22.00. Untuk waktu
dilakukannya pengecoran biasanya tidak menentu. Bisa dilakukan saat siang
hari, malam hari saat lembur, atau dilakukan saat tengah malam hingga pagi
hari, tergantung dengan kondisi cuaca dan ketersediaan mobil cor. Waktu yang
diperlukan untuk melakukan pengecoran tergantung dengan luas pondasi.
Semakin besar pondasi maka waktu yang diperlukan semakin lama, begitu juga
sebaliknya. Untuk pekerja yang akan melakukan pengecoran, mereka akan
27
menyesuaikan diri. Apabila mereka melakukan lembur hingga 6 (enam)
jam/hari, maka keesokan harinya akan istirahat selama 6 jam.
4. Pekerja bata merah
Pekerja bata merah memiliki jam kerja yang sama dengan pekerja pembesian.
Mereka memulai pekerjaan pukul 08.00 hingga pukul 17.00. Hampir semua
pekerja ikut melakukan lembur yang dimulai pukul 18.00 hingga pukul 22.00.
Selain itu pekerja bata merah juga menerima beban tambahan di lingkungan
kerja mereka berupa debu, suhu panas yang berasal dari matahari, dan faktor
kimia yang berasal dari semen.
5. Pekerja paras (Style Bali)
Pekerja paras melakukan pekerjaan wajibnya mulai pukul 08.00 hingga 17.00.
Jarang dari pekerja paras melakukan lembur. Namun jika ada yang lembur,
maksimal mereka akan bekerja mulai pukul 18.00 hingga 22.00 sama seperti
pekerja lainnya. Pekerjaan pemasangan paras ini akan lebih baik hasilnya
apabila dilakukan pada siang hari karena pekerjaan memasang paras ini
membutuhkan ketelitian dan pencahayaan yang cukup. Selain itu pekerja paras
ini juga menerima beban tambahan di lingkungan berupa debu hasil
pemotongan paras.
6. Pekerja listrik dan pipa air
Pekerja listrik dan pipa air adalah pekerja untuk bagian akhir (finishing).
Artinya mereka baru bisa memulai pekerjaannya apabila bangunan berbentuk
ruangan sudah jadi. Pekerja listrik dan pipa air memulai pekerjaannya pukul
28
08.00 hingga 17.00. Pekerja jenis ini jarang sekali melakukan lembur karena
pekerjaannya yang berhubungan dengan listrik cukup berbahaya. Pekerjaan
pemasangan listrik membutuhkan ketelitian dan cahaya yang cukup.
Berdasarkan pemaparan proses kerja di atas dapat disimpulkan bahwa jenis
pekerjaan yang memiliki risiko untuk mengalami kelelahan pada semua jenis
pekerjaannya, baik kelelahan yang timbul karena faktor jam kerjanya, berat beban
yang diambil saat bekerja, hingga beban tambahan yang berasal dari lingkungan kerja.
top related