BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Piringan cakramdigilib.unimus.ac.id/files/disk1/152/jtptunimus-gdl-dwioktaisn... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Piringan cakram Rem cakram dapat digunakan
Post on 02-Feb-2018
264 Views
Preview:
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Piringan cakram
Rem cakram dapat digunakan dari berbagai suhu, sehingga hampir semua kendaraan
menerapkan sistem rem cakram sebagai andalannya. selain itu rem cakram tahan terhadap
genangan air sehingga pada kendaraan yang telah menggunakan rem cakram dapat menerjang
banjir. Kemudian rem cakram memiliki sistem rem yang berpendingin diluar (terbuka)
sehingga pendinginan dapat dilakukan pada saat kendaraan bermotor melaju, ada beberapa
cakram yang juga dilengkapi oleh ventilasi (ventilatin disk) atau cakram yang memiliki
lubang sehingga pendinginan rem lebih maksimal digunakan.
pegunaan rem cakram banyak dipergunakan pada roda depan kendaraan karena gaya
dorong untuk berhenti pada bagian depan kendaraan lebih besar dibandingkan di belakang
sehingga membutuhkan pengereman yang lebih pada bagian depan. Namun saat ini telah
banyak kendaraan roda dua yang menggunakan rem cakram pada kedua rodanya.
Piringan cakram merupakan komponen yang sangat penting dalam sebuah
kendaraan yang berfungsi untuk menghentikan atau menghambat laju putaran roda atau
kendaraan. Ditinjau dari kondisi sistem kerja yang demikian maka pemilihan material
dan proses pembentukan dalam proses produksi rem cakram sangatlah penting, dimana
material harus dapat memenuhi syarat-syarat diantaranya: tahan terhadap suhu yang
tinggi, mampu menahan beban, keuletan, kekuatan dan tahan aus.
Karena rem cakram yang sifatnya terbuka sehinga memudahkan debu dan lumpur
menempel, lama kelamaan lumpur (kotoran) tersebut dapat menghambat kinerja
pengeraman sampai merusak komponen pada bagian disc brake, Oleh sebab itu perlu
dilakukan pembersihan sesering mungkin. Keausan umumnya didefinisikan sebagai
kehilangan material secara progresif akibat adanya gesekan (friksi) antar permukaan
padatan atau pemindahan sejumlah material dari suatu permukaan sebagai suatu hasil
pergerakan relatif antara permukaan tersebut dan permukaan lainnya (Yuwono, 2008).
Keausan merupakan hal yang biasa terjadi pada setiap material yang mengalami gesekan
dengan material lain. Keausan bukan merupakan sifat dasar material, melainkan respons
material terhadap sistem luar (kontak permukaan).
Material apapun dapat mengalami keausan yang disebabkan oleh berbagai
mekanisme yang beragam. Aus terjadi karena adanya kontak gesek antara dua
permukaan benda dan menyebabkan adanya perpindahan material. Hal ini menyebabkan
adanya pengurangan dimensi pada benda tersebut. Keausan dapat juga berarti kehilangan
material secara bertahap dari permukaan benda yang bersentuhan akibat dari adanya
kontak dengan solid (benda padat), liquid (benda cair), atau gas pada permukaannya.
Keausan yang terjadi pada setiap sistem mekanisme sebenarnya sangat sulit
diprediksi secara teori atau perumusan, karena banyak faktor dilapangan yang
menyebabbkan kesulitan dan kekeliruan dalam memprediksi keausan tersebut.
Gambar 2.1: Keausan Piringan Cakram (http://www.google.com/
ariblogmotor)
Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang
berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan
benda uji. Pengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode yang
semuanya bertujuan untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual. Pengujian laju
keausan dapat dinyatakan dengan pembandingan jumlah kehilangan/pengurangan
spesimen tiap satuan luas bidang kontak dan lama pengausan (Viktor Malau dan Adhika
widyaparaga, 2008).
Gambar 2.2: Piringan Cakram (Viktor Malau dan Adhika widyaparaga, 2008).
2.2 Material Rem Cakram
Dalam memilih material untuk piringan cakram, perlu untuk mempertimbangkan
koefisien gesekan antara material dan sifat termal, karena cukup panas yang dihasilkan
selama pengereman. Konvensional, piringan cakram untuk kendaraan penumpang telah
dibuat dari besi abu-abu unalloyed terdiri dari serpihan grafit dalam matriks perlitik.
Selain pertimbangan termal dan mekanik, bahan untuk rem cakram rotor harus
menunjukkan ketahanan aus yang baik. Dalam besi unalloyed, ketahanan aus terutama
fungsi dari struktur matriks dan kekerasannya. (ASM Handbook, Vol.1, 2005)
Pemaduan besi karbida dapat menciptakan ketahanan aus sehingga menjadi lebih
merupakan fungsi dari properti dari karbida. Namun, ketika vanadium, titanium dan
kromium ditambahkan untuk besi dalam jumlah yang berlebihan, penurunan kekuatan
terjadi timbul dari pembentukan karbida intergranular dalam matriks. Carbide
menstabilkan elemen seperti kromium, molibdenum serta vanadium juga meningkatkan
kecenderungan pembentukan ferit bebas yang merugikan kekuatan dan sifat tribological.
Untuk alasan ini, elemen-elemen ini biasanya digunakan pada tingkat yang di bawah
mereka di mana karbida bebas terbentuk agar manfaat dari karbida bebas memakai tidak
diperoleh. Hal ini juga dipertimbangkan bahwa penggunaan struktur paduan tinggi
mengandung bebas karbida akan menyebabkan pembentukan "titik panas" yang
mengakibatkan judder rem dan panas retak. Selain besi cor kelabu, piringan cakram juga
dibuat dengan menggunakan meterial besi besi cor nodular. Besi cor nodular memiliki
grafit berbentuk bulat bersifat ulet tahan terhadap retak (Yamagata, H, 2005 ).
a) Besi Cor
Besi cor adalah paduan golongan besi dengan karbon 2,14 %wt , pada
umumnya besi cor memiliki 3,0 sampai 4,5 % wt C, dan unsur paduan lainnya. Suhu
pencairan besi cor antara 1150 °C sampai 1300 °C jauh lebih rendah daripada baja (
Callister, 2007). Hal ini menguntungkan karena mudah dicairkan, bahan bakar lebih
irit dan dapur peleburan lebih sederhana. Besi cor cair selain mudah mengisi cetakan
yang rumit, material ini harganya murah dan serba guna bila ditinjau dari segi desain
produk.
Secara umum besi cor dapat dikelompokkan berdasarkan keadaan dan bentuk
karbon yang terkandung di dalamnya menjadi empat golongan di bawah ini :
1) Besi cor kelabu (grey cast iron), karbonnya berupa grafit berbentuk flake
(serpih) dengan matriks ferritik atau perlitik.
2) Besi cor nodular (nodular cast iron / ductile cast iron ), karbonnya berupa
nodular graphite (grafit nodular, berbentuk bola) dengan matriks ferritik atau
perlitik.
3) Besi cor putih (white cast iron), seluruh karbon dalam besi cor berupa
sementit.
4) Besi cor mampu tempa (malleable cast iron), karbonnya berupa temper karbon
dengan matriks perlitik atau ferritik.
Kecenderungan pembentukan grafit dipengaruhi oleh komposisi material
dan laju pendinginan. Pembentukan grafit dipengaruhi oleh silikon dalam konsentrasi
lebih besar dari 1%. Juga, tingkat pendinginan lebih lambat selama mendukung
pembentukan grafit. Untuk besi cor kebanyakan, karbon berbentuk grafit, mikro dan
sifat mekanik tergantung pada komposisi dan perlakuan panas.
b) Besi Cor Kelabu
Besi cor kelabu merupakan besi cor yang paling banyak digunakan dalam
industri. Grafit pada besi cor kelabu terbentuk pada saat pembekuan. Proses grafitisasi
ini didorong oleh tingginya kadar karbon, adanya unsur grafite stabilizer, terutama
silikon, temperatur penuangan tinggi dan pendinginan yang lambat. Banyaknya grafit
pada besi cor ini mengakibatkan patahan pada penampang tampak kelabu, oleh karena
itu dinamakan besi cor kelabu. Grafit besi cor kelabu berbentuk flake (serpih), berupa
lempeng-lempeng kecil yang melengkung.
Ujung-ujung ini runcing sehingga dapat dianggap sebagai ujung takikan,
menyebabkan ketangguhan besi tuang ini rendah. Grafit merupakan bagian terlemah
dalam besi cor, kekuatan besi cor tergantung dari kekuatan matriksnya. Bila
komposisi dan laju pendinginan diatur sedemikian rupa sehingga sementit pada
eutektoid menjadi grafit, maka struktrur dari matriks seluruhnya ferritik. Oleh karena
itu sifat dan kekuatan besi cor ini akan bervarias (ASM, vol.1, 2005).
Struktur matriks yang ferritik adalah struktur dari besi cor kelabu yang paling
lunak dan lemah. Kekuatan dan kekerasan besi cor kelabu dapat dinaikkan dengan
cara menaikkan jumlah karbon yang berupa sementit dalam eutektoid dan akan
mencapai maksimum pada struktur matriks perlitik. (Raymond A Higgins, 1984).
Tipe-tipe grafit besi cor kelabu dapat dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu
:
1) Tipe A
Tipe A memilki serpih-serpih grafit yang terbagi rata dan orientasinya
sebarang. Struktur seperti ini timbul pada besi cor kelas tinggi dengan matriks
perlit dan ukuran grafit yang cocok. Selain itu terdapat juga potongan-potongan
grafit yang bengkok yang memberikan kekuatan tertinggi pada besi cor. Grafit
bengkok ini diperoleh dengan cara meningkatkan pengendapan kristal-kristal
sepanjang austenit proeutektik.
Besi cor dengan kandungan karbon tinggi sukar mempunyai potongan-
potongan grafit bengkok disebabkan oleh pengendapan kristal yang sedikit. Karena
itu perlu dilakukan penghilangan oksida dan inokulasi penggrafitan pada besi cair.
2) Tipe B
Potongan grafit tipe B memiliki bentuk seperti bunga ros (rosette) dengan
orientasi sebarang. Struktur ini merupakan salah satu sel eutektik yang bagian
tengahnya mempunyai potongan-potongan eutektik halus dari grafit dan sepih-
serpih grafit radial di sekitarnya. Struktur seperti ini biasanya ditemukan pada
produk coran tipis yang mengalami pendinginan cepat. Tipe rosette tersebar dalam
besi cor yang mempunyai kandungan karbon tinggi karena banyak pengendapan
grafit.
3) Tipe C
Struktur ini muncul pada sistem hipereutektik. Pada tipe C ukuran serpih
saling menumpuk dengan orientasi sebarang. Hal ini disebabkan jumlah grafit yang
begitu banyak sehingga ferrit sangat mudah mengendap. Namun demikian,
pengendapan ferrit mengakibatkan struktur menjadi lemah sehingga besi cor
dengan tipe grafit seperti ini sangat jarang dipakai.
4) Tipe D
Struktur ini mempunyai potongan-potongan grafit eutektik yang halus yang
mengkristal di antara dendrit-dendrit kristal austenit. Karena itu potongan grafit
tipe ini dikenal juga sebagai penyisihan antar dendrit dengan orientasi sembarang.
Keadaan ini disebabkan oleh pendinginan lanjut pada proses pembekuan eutektik
seperti oksidasi dalam pencairan. Potongan grafit seperti ini menyebabkan besi cor
memiliki kekuatan yang tinggi dengan keuletan yang rendah.
5) Tipe E
Potongan grafit tipe E muncul apabila kandungan karbon agak rendah. Hal
ini akan mengurangi kekuatan karena jarak yang dekat antara potongan-potongan
grafit terdistribusi seperti pada tipe D. Tetapi kadang-kadang kekuatannya tinggi
yang disebabkan karena kandungan karbon yang rendah dan berkurangnya
pengendapan grafit.
Berdasarkan ASM vol.1 untuk tipe-tipe grafit tersebut diatas ditunjukkan
pada Gambar 2.3 berikut ini.
Gambar 2.3 Tipe-tipe grafit pembesaran 100x (ASM vol.1, 1990)
Tabel 2.1 : Tabel Komposisi kimia standar besi cor (ASM vol.9, 2004)
c) Besi Cor Nodular
Besi cor nodular juga dikenal dengan nama besi cor ductile adalah besi cor
yang mempunyai grafit yang tampak seperti bola. Karbon yang terdapat berbentuk
nodule grafit yang diperoleh dengan menambahkan bahan yang mengandung
magnesium seperti nikel- magnesium atau magnesium tembaga- ferro silikon dalam
besi cor kalabu cair. Jumlah magnesium yang diperluka tergantung dari kadar
belerang yang ada. Mula – mula kadar belerang diturunkan dengan cara
mengubahnya menjadi sulfida magnesium. Sisa magnesium yang ada merubah bentuk
menjadi nodular. ( Amsterad, B.H. 1995 ). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar
2.4.
Gambar 2.4 : Mikrostruktur besi cor ductile (a) As-cast ferritic. (b) As-cast
pearlitic; hardness, 255 HB. (c) Ferritic, annealed 3 h at 700 °C (1290
°F). (d) Pearlitic ductile iron quenching oli dan di temper 255 HB.
Semua gambar dengan etsa 2% nital. 100× (ASM vol.1, 2005 )
Mengenai komposisi kimia besi cor nodular bisa dilihat pada Tabel 2.1.
Spesifikasi penggolongan besi cor nodular berdasar pada sifat, kekuatan, kekerasan
yang dimiliki tingkatan besi cor nodular serta memperhatikan komposisi kimia untuk
kegunaan mekanik. Tabel 2.2 :
Tabel 2.2 : Komposisi dan penggunaan umum serta tingkat kelas Besi cor nodular /
besi cor ductile (ASM vol.1, 2005 )
Spesifikation
no.
Grade or
class
UNC
TC ( a
)
Typical Composition % disription General uses
Si Mn P S
ASTM A 395; ASME SA395
60-40-18
F32800 3.00
min
2.50
Max
(b)
... ... 0.08
max ;
Ferritic; annealed
Pressure-contai ning parts for
use at elevated temperatures
ASTM A 476;
SAE
AMS 5316C
80-60-03 F34100 3.00
min(c)
3.0
max
... 0.08
max
0.05
max
As-cast Paper mill
dryer rolls, at
temperatures up to 230 °C
(450 °F)
ASTM A 536
60-40-
18(d)
F32800
Ferritic;
may be
annealed
Shock-resistant
parts; low-temperatur
e service
SAE J434
D4018(e) F32800 3.20−
4.10
1.80−
3.00
0.10−
1.00
0.015
−0.10
0.005−
0.035
Ferritic
Ferritic
Moderately stressed parts
requiring good
ductility and machinability
D4512(e) F33100
Ferritic/
pearlitic
Moderately
stressed parts
requiring
moderate
machinability
D7003(e)
F34800 Pearlitic Highly
stressed
parts requiring
very good
wear
resistance and
good response
to selective
hardening
(a) Note: For mechanical properties and typical applications, see Table. (b) TC, total carbon. (c) The silicon limit
may be increased by 0.08%, up to 2.75 Si, for each 0.01% reduction in phosphorus content. (d) Carbon
equivalent (CE), 3.8−4.5; CE = TC + 0.3 (Si + P). (e) Composition subordinate to mechanical properties;
composition range for any element may be specified by agreement between supplier and purchaser.
2.3 Sifat-sifat material
2.3.1 Struktur Mikro
Mikrografi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh gambar yang
menunjukkan struktur mikro pada hal ini struktur logam dan paduannya. Dengan
pengujian mikrografi ini kita dapat mengetahui struktur dari suatu logam dengan
memperjelas batas-batas butir logam. Dalam setiap butir, semua sel satuan teratur dalam
satu arah dan satu pola tertentu.
Batas butir mempunyai lima derajat kebebasan, Pada batas butir antara dua butir
yang berdekatan terdapat daerah transisi yang tidak searah dalam kedua butiran tadi.
Batas butir dapat kita anggap berdimensi dua, bentuknya mungkin melengkung dan
sesungguhnya memiliki ketebalan tertentu yaitu antara dua sampai tiga jarak atom.
Ketidakseragaman orientasi antara butiran yang berdekatan menghasilkan tumpukan
atom yang kurang efisien sepanjang batas.
Struktur mikro sangat penting dalam suatu logam dalam suatu logam yang
diperlukan untuk mengetahui sifat-sifat dari logam tersebut. Strukturmikro pada baja
akan mempengaruhi sifat-sifat mekanik dan juga sifat fisik. Struktur matrik pada baja
antara lain:
a) Ferrite (besi alpha)
b) Austenit (besi gamma)
c) Besi Delta
d) Cementit (Karbida besi)
e) Bainit
f) Martensit
g) Perlit
Struktur mikro dari baja pada umumnya tergantung dari kecepatan
pendinginannya dari suhu daerah austenit sampai suhu kamar. Karena perubahan struktur
ini maka dengan sendirinya sifat-sifat mekanik yang dimiliki baja juga akan berubah.
Fase – fase berubahnya struktur mikro akibat pemanasan dapat dilihat dalam Gambar
2.5 diagram Kesetimbangan Fe – C.
Gambar 2.5. Kesetimbangan Diagram Fe – C (ASM Hanbook, 1990)
Ferrite batas butir terbentuk pertama kali pada transformasi austenite - ferrite
dan biasanya terbentuk di sepanjang batas austenite pada suhu 1000 – 650 0C. Ferrite
widmanstatten terbentuk pada suhu 750 – 650 0C di sepanjang batas butir austenite.
Ukurannya besar dan pertumbuhannya cepat sehingga akan memenuhi permukaan
butirnya. Ferit widmanstatten mempunyai ukuran besar dengan orientasi arah yang
hampir sama sehingga memudahkan terjadinya perambatan retak. Ferrite acicular,
berbentuk intragranular dengan ukuran yang kecil dan mempunyai orientasi arah yang
acak, berbentuk bilah – bilah yang saling bersilangan. Jika terjadi retak hasil las dengan
struktur mikro ferit acicular, maka retak tersebut tidak akan cepat merambat karena
orientasi arahnya acak, maka struktur ini memiliki ketangguhan yang bagus. Biasanya
ferrite acicular ini terbentuk sekitar suhu 650 0C. Bainite merupakan ferrite yang tumbuh
dari batas butir austenite dan terbentuk pada suhu 400 -500 0C. Martensite terbentuk
pada proses pendinginan yang sangat cepat, mempunyai sifat sangat keras dan getas
sehingga kekuatan tarik dan ketangguhannya rendah
Besi dan baja merupakan bahan yang paling banyak digunakan dalam dunia
industri karena nilai ekonomisnya, tetapi yang paling penting karena sifatnya yang
bervariasi. Baja merupakan paduan yang terdiri dari besi, karbon dan unsur lainnya.
Karbon merupakan salah satu unsur terpenting karena dapat meningkatkan kekerasan dan
kekuatan baja. Baja merupakan logam yang paling banyak digunakan dalam teknik,
dalam bentuk plat, lembaran, pipa, batang, profil dan sebagainya (Amstead dkk, 1995).
Sifat dari baja karbon tergantung dari seberapa besar karbon yang
dikandungnya. Berdasarkan kadar karbonnya baja dikelompokkan sebagai berikut
(Surdia, dkk, 2000) :
Baja karbon rendah (Low Cabon Steel), kandungan kadar karbon kurang dari 0,3%.
Baja karbon sedang (Medium Carbon Steel), kandungan kadar karbon antara 0,3-0,45%.
Baja karbon tinggi (High Carbon Steel), kandungan kadar karbon antara 0,45-1,7%.
Tabel 2.3. Spesifikasi baja lunak (JIS)
Standar Jenis Tebal Plat (t)
(mm)
Komposisi kimia (%) Kekuatan
luluh
(kg/mm2)
Kekuatan
Tarik
(kg/mm2)
Perpanjang
an
(%) C Si Mn P S
Baj
a ro
l pan
as u
ntuk
kon
stru
ksi u
mum
G 3
101
– 19
76
SS 34
t
5 < t
16 < t
40 < t
≤ 5
≤ 16
≤ 40
- - -
≤ 0,05
“
“
“
≤ 0,05
“
“
“
≥ 21
“
≥ 20
≥ 18
34 – 44
≥ 26
≥ 21
≥ 26
≥ 28
SS 41
t
5 < t
16 < t
40 < t
≤ 5
≤ 16
≤ 40
- - -
≤ 0,05
“
“
“
≤ 0,05
“
“
“
≥ 25
“
≥ 24
≥ 22
41 – 52
≥ 21
≥ 17
≥ 21
≥ 23
SS 50
t
5 < t
16 < t
40 < t
≤ 5
≤ 16
≤ 40
- - -
≤ 0,05
“
“
“
≤ 0,05
“
“
“
≥ 29
“
≥ 28
≥ 26
50 – 62
≥ 19
≥ 15
≥ 19
≥ 21
SS 55
t
5 < t
16 < t
40 < t
≤ 5
≤ 16
≤ 40
≤ 0,30 - ≤ 1,6 ≤ 0,40
≤ 0,04
“
“
“
≥ 41
“
≥ 40
≥ 50
≤ 16
≥ 13
≥ 27
Baj
a ro
l unt
uk k
etel
& b
ejan
a
teka
n te
mpe
ratu
r tin
ggi G
3103
–
1977
SB 42
t
25 < t
50 < t
≤ 25
≤ 50
≤ 200
≤ 0,24
≤ 0,27
≤ 0,30
0,15–0,30 ≤ 0,90 ≤ 0,035 ≤ 0,04 ≥ 23 42 – 56 ≥ 21
≥ 25
SB 46
t
25 < t
50 < t
≤ 25
≤ 50
≤ 200
≤ 0,28
≤ 0,31
≤ 0,33
0,15–0,30 ≤ 0,90 ≤ 0,035 ≤ 0,04 ≥ 25 46 – 60 ≥ 19
≥ 25
SB 49
t
25 < t
50 < t
≤ 25
≤ 50
≤ 200
≤ 0,31
≤ 0,33
≤ 0,35
0,15–0,30 ≤ 0,90 ≤ 0,035 ≤ 0,04 ≥ 27 49 – 63 ≥ 27
≥ 21
Baj
a ro
l pan
as u
n
G31
06 –
197
7
SM 41A
t
5 < t
16 < t
40 < t
50 < t
≤ 5
≤ 16
≤ 40
≤ 50
≤ 100
≤ 0,23
“
“
“
≤ 0,25
– ≤ 2,5C ≤ 0,04 ≤ 0,04
≥ 25
“
≥ 24
≥ 22
”
41 – 52
≥ 23
≥ 18
≥ 22
≥ 24
”
SM 41B
t
5 < t
16 < t
40 < t
50 < t
≤ 5
≤ 16
≤ 40
≤ 50
≤ 100
≤ 0,20
“
“
“
≤ 0,22
≤ 0,35 ≤ 0,6–1,2 ≤ 0,04 ≤ 0,04
≥ 25
“
≥ 24
≥ 22
”
41 – 52
≥ 23
≥ 18
≥ 22
≥ 24
”
SM 41C
t
5 < t
16 < t
40 < t
≤ 5
≤ 16
≤ 40
≤ 50
≤ 0,18 ≤ 0,35 ≤ 1,4 ≤ 0,04 ≤ 0,04
≥ 25
“
≥ 24
≥ 22
41 – 52
≥ 23
≥ 18
≥ 22
≥ 24
Plat
baj
a u/
bej
ana
teka
n te
mpe
. sed
ang
G 3
115
– 19
77
SPV 24
T
16 < t
40 < t
50 < t
≤ 16
≤ 40
≤ 50
≤ 100
≤ 0,18
”
“
≤ 0,20
0,15-0,35 ≤ 1,4 ≤ 0,035 ≤ 0,04
≥ 24
“
≥ 22
”
41 – 52
≥ 17
21
≥ 24
(Sumber : Wiryosumarto, 2008).
Baja lunak termasuk baja kadar karbon rendah. Biasanya mempunyai kekuatan
tarik antara 40 – 50 Kg/mm2. Baja karbon rendah sangat luas penggunaannya sebagai
baja konstruksi, rangka kendaraan, mur, baut, pipa, tangki minyak, ketel, bejana tekan
dan penggunaan pada suhu tinggi, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.3. Baja
karbon rendah memiliki sifat pengerjaan yang baik seperti sifat keuletan, sifat mampu
tempa, kelunakan dan mampu mesin yang baik. Sehingga dengan keadaan tersebut baja
karbon rendah sangat baik sekali untuk disambung dengan proses pengelasan. Untuk
pemakaian pada suhu tinggi baja sejauh mungkin bebas dari nitrogen dengan jalan
menambahkan Al tetapi tidak melebihi 300 gr/ton baja cair (Wiryosumarto, 2008).
Komposisi kimia baja tersebut adalah C ≤ 0,23%, S ≤ 0,04% dan P ≤ 0,04%.
Baja yang tidak mengandung unsur lain selain Si dan Mn disebut baja lunak (mild steel),
yang banyak dipakai untuk konstruksi baja karena mempunyai sifat mampu las dan
mampu bentuk yang baik (Surdia, 2005).
1. Ferrite
Ferrite adalah fase larutan padat yang memiliki struktur BCC (body
centered cubic). Ferrite dalam keadaan setimbang dapat ditemukan pada temperatur
ruang, yaitu alpha-ferrite atau pada temperatur tinggi, yaitu delta-ferrite. Secara
umum fase ini bersifat lunak (soft), ulet (ductile), dan magnetik (magnetic) hingga
temperatur tertentu, yaitu T curie. Kelarutan karbon di dalam fase ini relatif lebih
kecil dibandingkan dengan kelarutan karbon di dalam fase larutan padat lain di
dalam baja, yaitu fase Austenite.
Pada temperatur ruang, kelarutan karbon di dalam alpha-ferrite hanyalah
sekitar 0,05%. Berbagai jenis baja dan besi tuang dibuat dengan mengeksploitasi
sifat-sifat ferrite. Baja lembaran berkadar karbon rendah dengan fase tunggal ferrite
misalnya, banyak diproduksi untuk proses pembentukan logam lembaran. Dewasa
ini bahkan telah dikembangkan baja berkadar karbon ultra rendah untuk karakteristik
mampu bentuk yang lebih baik. Kenaikan kadar karbon secara umum akan
meningkatkan sifat-sifat mekanik ferrite sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Untuk paduan baja dengan fase tunggal ferrite, faktor lain yang berpengaruh
signifikan terhadap sifat-sifat mekanik adalah ukuran butir.
2. Austenite
Fase Austenite memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam
keadaan setimbang fase Austenite ditemukan pada temperatur tinggi. Fase ini
bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi. Kelarutan atom
karbon di dalam larutan padat Austenite lebih besar jika dibandingkan dengan
kelarutan atom karbon pada fase Ferrite. Secara geometri, dapat dihitung
perbandingan besarnya ruang intertisi di dalam fase Austenite (kristal FCC) dan fase
Ferrite (kristal BCC).
Perbedaan ini dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena transformasi
fase pada saat pendinginan Austenite yang berlangsung secara cepat. Selain pada
temperatur tinggi, Austenite pada sistem Ferrous dapat pula direkayasa agar stabil
pada temperatur ruang. Elemen-elemen seperti Mangan dan Nikel misalnya dapat
menurunkan laju transformasi dari gamma-austenite menjadi alpha-ferrite.
Dalam jumlah tertentu elemen-elemen tersebut akan menyebabkan
Austenite stabil pada temperatur ruang. Contoh baja paduan dengan fase Austenite
pada temperatur ruang misalnya adalah Baja Hadfield (12% Mg) dan Baja Stainless
18-8 (8%Ni).
3. Cementite
Cementite atau carbide dalam sistem paduan berbasis besi adalah
stoichiometric inter metallic compund Fe3C yang keras (hard) dan getas (brittle).
Nama cementite berasal dari kata caementum yang berarti stone chip atau
lempengan batu. Cementite sebenarnya dapat terurai menjadi bentuk yang lebih
stabil yaitu Fe dan C sehingga sering disebut sebagai fase metastabil.
Namun, untuk keperluan praktis, fase ini dapat dianggap sebagai fase stabil.
Cementite sangat penting perannya di dalam membentuk sifat-sifat mekanik akhir
baja. Cementite dapat berada di dalam sistem besi baja dalam berbagai bentuk
seperti: bentuk bola (sphere), bentuk lembaran (berselang seling dengan alpha-
ferrite), atau partikel-partikel carbide kecil. Bentuk, ukuran, dan distribusi karbon
dapat direkayasa melalui siklus pemanasan dan pendinginan.
Jarak rata-rata antar karbida, dikenal sebagai lintasan Ferrite rata-rata
(Ferrite Mean Path), adalah parameter penting yang dapat menjelaskan variasi sifat-
sifat besi baja. Variasi sifat luluh baja diketahui berbanding lurus dengan logaritmik
lintasan ferrite rata-rata.
2.3.2 Pengujian Komposisi Kimia
Proses pengujian komposisi kimia berlangsung dengan pembakaran bahan
menggunakan elektroda dimana terjadi suhu rekristalisasi, dari suhu rekristalisasi terjadi
penguraian unsur yang masing-masing beda warnanya. Penentuan kadar berdasar sensor
perbedaan warna. Proses pembakaran elektroda ini tidak lebih dari tiga detik. Pengujian
komposisi dapat dilakukan untuk menentukan jenis bahan yang digunakan dengan
melihat persentase unsur yang ada.
Uji komposisi merupakan pengujian yang berfungsi untuk mengetahui seberapa
besar atau seberapa banyak jumlah suatu kandungan yang terdapat pada suatu logam,
baik logam ferro maupun logam non ferro. Uji komposisi biasanya dilakukan ditempat
pabrik-pabrik atau perusahaan logam yang jumlah produksinya besar, ataupun juga
terdapat di Instititut pendidikan yang khusus mempelajari tentang logam.
Untuk mengetahui komposisi logam cair dilakukan inspeksi logam cair. Alat uji
yang digunakan CE meter atau spektrometer. Seperti yang dijelaskan sebelumnya setelah
diketahui komposisi logam cair dengan pengujian komposisi dilakukan proses
penyesuaian untuk mencapai komposisi yang sesuai dengan standar. Pada Gambar 2.6
ada tiga bagian utama proses pengujian komposisi yaitu (Hendri, 2002).
1. Furnace berisi logam cair yang dilebur dari beberapa raw material
2. Standar material yang menentukan kandungan komposisi masing-masing unsur yang
ditetapkan
3. Proses pengujian komposisi yang menggunakan CE meter dan Spectrometer.
Gambar 2.6 Ilustrasi proses pengujian komposisi dan proses penyesuaian (Hendri,
2002)
2.3.3 Pengujian Struktur Mikro
Struktur mikro adalah struktur terkecil yang terdapat dalam suatu bahan yang
keberadaannya tidak dapat di lihat dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan
alat pengamat struktur mikro diantaranya; mikroskop cahaya, mikroskop electron,
mikroskop field ion, mikroskop field emission dan mikroskop sinar-X. Penelitian ini
menggunakan mikroskop cahaya, adapun manfaat dari pengamatan struktur mikro ini
adalah:
1. Mempelajari hubungan antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan.
2. Memperkirakan sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui.
Langkah-langkah untuk melakukan pengamatan struktur mikro dapat memakai
referensi ASTM E3 dari persiapan sempel dan prosedur pengujian mikroskop sebagai
berikut :
a. Cutting (Pemotongan)
Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik
merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada tujuan
pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak homogen,
Sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat dianggap
representatif.
Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian sehingga menghasilkan
sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau kondisi di tempat-tempat
tertentu (kritis) yang mana ditunjukan pada Gambar 2.7 dengan memperhatikan
kemudahan pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada
daerah yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh,
untuk pengamatan struktur mikro material yang mengalami kegagalan.
Maka sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah
kritis dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang
diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam
proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan.
Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.
Symbol
in
diagram
Suggested designation
A Rolled Surface
B Direction of rolling
C Rolled edge
D Plannar edge
E Longitudinal section perpendicular
Gambar 2.7 Metode menentukan lokasi pemotongan untuk menentukan
area yang dimikrografi (ASTM Handbook E18, 2002).
Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong yang
digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian,
pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge
Machining)yang bisa dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Macam-macam pisau pemotong material (ASTM E18, 2002)
Hardness HV Materials abrasive Bond Bond
Hardness
Up to 300 non-ferrous (Al, Cu) SiC P or R Hard
Up to 400 non-ferrous (Ti) SiC P or R med hard
Up to 400 soft ferrous Al2O3 P or R Hard
Up to 500 Medium soft ferrous Al2O3 P or R med hard
Up to 600 Medium hard ferrous Al2O3 P or R Medium
Up to 700 hard ferrous Al2O3
P or
R&R med soft
Up to 800 very hard ferrous Al2O3
P or
R&R Soft
> 800 extremely hard ferrous CBN P or R Hard
more brittle ceramics diamond P or R very hard
tougher ceramics diamond M ext hard
P – phenolic R&R - resin and rubber
R – rubber M – Metal
Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi
menjadi dua, yaitu:
Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda
to rolled surface
F Transverse section
G Radial longitudinal section
H Tangential longitudinal section
Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan diamond saw
b. Mounting
Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan
akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan
akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran logam
tipis, potongan yang tipis dan lain-lain. Untuk memudahkan penanganannya, maka
spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting).
Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :
Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)
Sifat eksoterimis rendah
Viskositas rendah
Penyusutan linier rendah
Sifat adesif baik
Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan
yang terdapat pada sampel
Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus
kondusif
Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis
reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material
plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur dengan
hardener atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan
lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan
tekanan.
Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih
sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan.
Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak)
sehingga kurang cocok untuk material-material yang keras. Teknik mounting yang
paling baik adalah menggunakan thermosetting resin dengan menggunakan material
bakelit. Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam.
c. Grinding (Pengamplasan)
Tabel 2.5. Ukuran grit amplas standart Eropa dan USA (ASTM E18, 2002).
FEPA ANSI/CAMI
Grit Number Size (m) Grit
Number
Size
(m)
P120 125.0 120 116.0
P150 100.0 180 78.0
P220 68.0 220 66.0
P240 58.5 …. ….
P280 52.2 240 51.8
P320 46.2 …. ….
P360 40.5 280 42,3
P400 35.0 320 34.3
P500 30.2 …. ….
P600 25.8 360 27.3
P800 21.8 400 22.1
P1000 18.3 500 18.2
P1200 15.3 600 14.5
P1500 12.6 800 11.5
P2000 10.3 1000 9.5
P2500 8.4 1500 8.0
not found in the FEPA granding system
ANSI - Amirican National Standart institute
CAMI - Coated abrasives manucfacturers institute
FEPA - european federation of abrasive producers
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki
permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan
struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas
amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan
harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi
(2000 mesh) bisa dilihat pada Tabel 2.5. Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung
pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh
pemotongan.
Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air.
Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan akibat panas yang
timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa
pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan
perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau 90
0 terhadap arah
sebelumnya.
d. Polishing (Pemolesan)
Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.
Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas goresan
dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan sampel hingga orde
0.01 μm. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus rata. Apabila
permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan
sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara
acak oleh permukaan sampel.
Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian
dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara lain yaitu sebagai
berikut :
1. Pemolesan elektrolit kimia
Hubungan rapat arus dan tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan material
yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada permukaan, dan
hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan pada
tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.
2. Pemolesan kimia mekanis
Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang dilakukan
serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur dengan larutan
pengetsa yang umum digunakan.
3. Pemolesan elektro mekanis (Metode Reinacher)
Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada piring
pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga, kuningan, dan
perunggu.
e. Etching (Etsa)
Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara
selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik
menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel, sehingga detil struktur yang
akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material, struktur
mikro baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat
untuk memilih zat etsa yang tepat.
1. Etsa kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia, lihat
Tabel 2.6 dimana zat etsa yang digunakan memiliki karakteristik tersendiri
sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang diamati.
2. Elektro etsa (Etsa Elektrolitik)
Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektroetsa. Cara ini
dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu
pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan
etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya.
Tabel 2.6 Jenis-jenis Etsa kimia pada uji mikrografi material (ASTM Handbook E18,
2002).
6H HCL plus 2 gl
hexametylene tetamine
immerse specimentin solution for 1 to 15 min. good for
steels.cleaning action can be enhanced by light brushing or by
brief (5 s) periods in an ultrasonic cleaner
3 mL HCL use a fresh solution at room temperature. Use in an ultrasonic
cleaner for about 30 s 4 mL 2-Butyne-, 4 diol
inhibitor
50 mL water
49 mL water wash speciment in alcohol for 2 min in ultrasonic cleaner before
and after a 2 min ultrasonic cleaning period with the inhibeted
acid bath
49 mL HCL
2 mL Rodine -50
Inhibitor
6 g sodium cyanide electrolytic rust removal solution. Use under a hood with care.
5 g sodium sulphite Use 100-mA/cm2 current density for up to 15 min
100 mL distiled water
10 g ammonium
citrate use solution heated to 30oC (86F)
100 mL distiled water
70 mL
orthophosphoric acid recommended for removin oxides from aluminum alloy fracture
( some sources claim that only organic solvent shoild be used) 32 g chromic acid
130 mL water
8 0z endox 214
powder use electrolytically at 250-mA/cm2current density for 1 min
with a Pt cathoda to remove oxidation products. Wash in
ultrasonic cleaner with the solution for 1 min. repeat this cycle
several times if necessary.use under a hood
1000 mL cold water (
add small amount of
photo-flo)
f. Pengamatan Struktur Makro dan Mikro
Pengamatan metalografi dengan mikroskop dapat dibagi dua, yaitu :
1. Metalografi makro yaitu pengamatan struktur pembesaran 10-100 kali
2. Metalografi mikro yaitu pengamatan struktur pembesaran di atas 100 kali.
Selanjutnya pengamatan dapat dilakukan dengan Microscope elektron Untuk
Gambar 2.8 menunjukan material piringan cakram yang akan di mikrografi.
Mengetahui jenis dan jumlah/ distribusi strukturmikro yang menjadi salah satu alat
dalam control kualitas bahan, karena sifat bahan dipengaruhi oleh struktur mikronya.
Gambar 2.8. Piringan cakram sepeda motor Honda, Suzuki, dan Yamaha
g. Metode perhitungan besar butir
Ada tiga metode yang direkomendasikan ASTM, yaitu :
1. Metode Perbandingan
Foto struktur mikro bahan dengan perbesaran 100X dapat dibandingkan
dengan grafik ASTM E11 dapat ditentukan besar butir. Nomor besar butir
ditentukan dengan rumus :
N–2n-1
(2.1) Dimana N
adalah jumlah butir per inch2 dengan perbesaran 100X. Metode ini cocok untuk
sampel dengan butir beraturan.
2. Metode intercept
Plastik transparan dengan grid (bergaris kotak-kotak) diletakkan di atas foto
atau sampel. Kemudian dihitung semua butir yang berpotongan pada akhir garis
dianggap setengah. Perhitungan dilakukan pada tiga daerah agar mewakili. Nilai
diameter rata-rata ditentukan dengan membagi jumlah butir yang berpotongan
dengan panjang garis. Metode ini cocok untuk butir yang tidak beraturan.
3. Metode Planimetri
Metode ini menggunakan lingkaran yang umumnya memiliki 5000 mm2.
Perbesaran. Sehingga ada sedikitnya 75 butir yang berada di dalam lingkaran.
Kemudian hitung jumlah total semua butir dalam lingkaran ditambah setengah dari
jumlah butir yang berpotongan dengan lingkaran.
2.3.4 Pengujian Kekerasan Logam
Kekerasan merupakan ketahanan suatu material terhadap penetrasi material
lain. Pada umumnya kekerasan menyatakan ketahanan terhadap deformasi, dan untuk
logam dengan sifat tersebut merupakan ketahanannya terhadap deformasi plastik atau
deformasi permanen. Ada 2 (dua) tipe pengidentasian, yaitu statik dan dinamis. Test
identasi statik yang umumnya dipakai merupakan pengidentasian yang dilakukan
pada permukaan material dengan beban tertentu. Sedangkan test identasi dinamik
meliputi beban bebas yang dijatuhkan yang memberikan impak terhadap material.
Berikut ini metode-metode pengujian logam :
a) Metode Brinell
Penetrator yang digunakan berupa bola baja yang dikeraskan dengan
diameter 0,625 s/d 10 mm dan standard beban 0,97 s/d 3000 Kgf. Lama
penekanan 10 s/d 30 detik. Bola harus berupa baja yang dikeraskan, ditemper,
dan dengan kekerasan minimum 850 VPN.
Kekerasan yang diberikan merupakan hasil bagi beban penekan dengan
keras permukaan lekukan bekas penekanan dari bola baja yang ditunjukan pada
Gambar 2.9.
22 -
2
dDDD
FHB
(2.2)
Dimana : HB = Nilai kekerasan Brinell
F = Beban yang diterapkan (Kg)
D = Diameter bola (mm)
d = diameter (mm)
Diameter lekukan diukur pada kaca pembesar dengan menggunakan mistar
yang sesuai dengan pembesarannya. HB dilihat langsung dalam Tabel 2.7 yang
tertera pada body preparat. Bola baja hanya digunakan untuk mengetes baja yang
dikeraskan, besi tuang kelabu dan non logam.
Tabel 2.7. Standar Uji Brinell (ASTM E-10,1990)
Diameter Bola (mm) Beban ( kg ) Daerah Angka
Kekerasan
10 mm 3000 96 s/d 600
10mm 1500 48 s/d 300
10mm 500 16 s/d 100
b) Metode Rockwell
Pengujian kekerasan Rockwell didasarkan pada kedalaman masuknya
penekan benda uji. Nilai kekerasan dapat langsung dibaca setelah beban utama
Gambar 2.9 Metode Brinell (Callister,2007).
dihilangkan. Untuk menghittung nilai kekerasan Rokwell dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
eHR -E= (2.3)
Dimana: HR= nilai kekerasan Rockwell
E = konstanta tergantung pada bentuk identor.
e = perbedaan antara dalamnya penembusan,
Untuk itulah digunakan Tabel 2.8 Skala Kekerasan Rockwell yang memperlihatkan
skala yang digunakan untuk tipe-tipe material tertentu.
Tabel 2.8. Skala Kekerasan Rockwell (Callister,2007).
Skala Beban Mayor (Kg) Tipe Indentor Tipe Material Uji
A 60 1/16” bola intan
kerucut
Sangat keras, tungsten,
karbida
B 100 1/16” bola
Kekerasan sedang, baja
karbon rendah dan sedang,
kuningan, perunggu
C 150 Intan kerucut
Baja keras, paduan yang
dikeraskan, baja hasil
tempering
D 100 1/8” bola Besi cor, paduan alumunium,
magnesium yg dianealing
E 100 Intan Kerucut Baja kawakan
F 60 1/16” bola Kuningan yang dianealing
dan tembaga
G 150 1/8” bola Tembaga, berilium, fosfor,
perunggu
H 60 1/8” bola Pelat alumunium, timah
K 150 ¼” bola Besi cor, paduan alumunium,
timah
L 60 ¼” bola Plastik, logam lunak
M 100 ¼” bola Plastik, logam lunak
R 60 ¼” bola Plastik, logam lunak
S 100 ½” bola Plastik, logam lunak
V 150 ½” bola Plastik, logam lunak
Kekerasan adalah ukuran resistansi bahan terhadap deformasi plastik lokal
(misalnya : penyok kecil atau goresan). Tes kekerasan didasarkan pada mineral alami
dengan skala yang dibuat berupa kemampuan dari salah satu bahan untuk menggores
material lain yang lebih lembut. Pengukuran kekerasan menggunakan skala Mohs dengan
nilai 1 (lunak) untuk bedak sampai 10 (keras) untuk berlian. Teknik kekerasan kuantitatif
telah dikembangkan selama bertahun-tahun dimana indentor kecil ditekan ke permukaan
material yang akan diuji, dengan beban terkontrol. Kedalaman atau ukuran yang
dihasilkan indentasi diukur dan dikonversikan dengan angka kekerasan semakin besar dan
dalam semakin rendah indeks kekerasannya. Tes Kekerasan lebih sering dilakukan
daripada uji mekanis lainnya karena beberapa alasan yaitu (Calister, 2007) :
1. Tes kekerasan relatif sederhana dan murah, tidak ada spesimen khusus yang perlu
disiapkan.
2. Tes ini tidak merusak spesimen terlalu berlebihan sperti retak atau patah, hanya sebuah
cekungan kecil.
3. Sifat mekanik lain sering dapat diperkirakan dari data kekerasan,
seperti kekuatan tarik.
Terdapat tiga jenis umum mengenai ukuran kekerasan yang tergantung pada
cara melakukan pengujian. Ketiga jenis tersebut adalah kekerasan goresan, kekerasan
lekukan dan kekerasan pantulan (rewbound hardness). Akan tetapi pengujian yang sering
dilakukan adalah pengujian penekanan. Pada pengujian penekanan terdapat beberapa alat
uji yang dapat digunakan, antara lain alat uji Brinell, Vickers, Rockwell dan
microhardness.
c) Metode Vickers
Banyak masalah metalurgi yang membutuhkan penentuan kekerasan pada
permukaan yang sangat kecil misalnya penentuan kekerasan pada permukaan
terkarburasi, daerah sambungan, daerah difusi dua material yang berbeda dan penentuan
kekerasan pada part jam tangan. Untuk pengujian spesimen-spesimen sangat kecil ini,
mengunakan uji Vickers dan untuk prosedur pengujian menggunakan referensi ASTM E
384.
Pada metode ini, digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut
136o, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.10. Prinsip pengujian adalah sama dengan
metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal.
Beban yang digunakan biasanya 1 s/d 120 kg. Panjang diagonal diukur dengan skala
pada mikroskop pengujur jejak. Untuk menghitung nilai kekerasan suatu material
menggunakan rumus sebagai berikut:
2
21 DDD
2
854,1D
FHVN
Dimana : F = Beban yang ditetapkan
D = Panjang diagonal rata-rata
D1 = Panjang diagonal 1
D2 = Panjang diagonal 2
D = Panjang diagonal rata-rata
Gambar 2.10 Indentasi dengan metode Vickers (ASM Hand book, 2000)
top related